pm10 dalam rumah dengan kejadian infeksi saluran
TRANSCRIPT
PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos Tahun 2017
Fuad Najar Mukti, Sri Tjahyani Budi Utami
Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI,
Depok, 16424, Jawa Barat, Indonesia.
Email : [email protected]
Abstrak
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita masih menjadi masalah yang besar di Indonesia. ISPA balita menjadi penyebab kematian balita urutan kedua di Jawa Barat dan di kota Depok menempati urutan pertama dari 10 penyakit yang di rawat jalan di Puskesmas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh PM10 udara dalam rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tapos Kota Depok tahun 2017. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan disain cross sectional. Jumlah sampel 100 balita dengan metode cluster sampling yang diambil secara acak pada 2 kelurahan. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ISPA pada balita tergolong tinggi (57,7% dan 66,7%), Konsentrasi PM10 dalam rumah (OR = 3,477; 1,077-11,229), suhu ruangan (OR = 2,333; 1,017-5,351), kelembaban ruangan (OR = 1,119; 0,443-2,827), luas ventilasi ruangan (OR = 1,233; 0,108-14,082), dan status imunisasi (OR = 1,233; 0,108-14,082) menjadi faktor risiko penyebab kejadian ISPA balita.
Kata kunci : Balita; ISPA; PM10
PM10 Inside The House Which Acute Respiratory Infection (ARI) Occurred in Infant
Within Tapos Puskesmas in Depok Area in 2017
Abstract
Acute Respiratory Infection (ARI)’s occurrence in infant remains a prominent problem in Indonesia. ARI are the second largest cause of death in West Java Province, and are the first cause of 10 diseases commonly occurred in patients coming to Community Health Clinic within Depok area. This research conducted aiming at observing PM10 factor in the air inside the house towards ARI’s occurrence in infant within Tapos Community Health Clinic in Depok area in 2017. This research conducted using quantitative methods with cross sectional design. The samples were randomly chosen in 2 districts using cluster sampling method, collected 100 infants in total. Chi-square test applied to measure the statistical data. The result suggests that ARI’s occurrence in infant is utterly high (57,7% and 66,7%), PM10 concentration (OR = 3,477; 1,077-11,229), temperature (OR = 2,333; 1,017-5,351), humidity (OR = 1,119; 0,443-2,827), ventilation (OR = 1,233; 0,108-14,082), and immunization status (OR = 1,233; 0,108-14,082) be risk factors cause the ARI occurred in infant. Keywords: ARI; infant; PM10
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Pendahuluan
Berdasarkan laporan kinerja KLHK bidang lingkungan hidup tahun 2014 tentang
konsentrasi Particulate Matter 10 (PM10) di 45 kota pada tahun 2013 dan 2014, di Indonesia
masih terdapat kota-kota yang memiliki konsentrasi PM10 di atas batas normal yaitu 150
𝜇g/m3. Sedangkan data pengukuran PM10 di 17 titik oleh BPLHD kota Depok pada tahun
2013, terdapat 4 titik pengukuran yang memiliki konsentrasi PM10 di atas batas normal (150
𝜇g/m3), yaitu Rumah Sakit Meilina (196 𝜇g/m3), Kecamatan Limo (185 𝜇g/m3), Kecamatan
Tapos (279 𝜇g/m3), dan Kecamatan Cinere (185 𝜇g/m3). Pada tahun 2014, terdapat 2 titik
pengukuran yang memiliki konsentrasi PM10 berada di atas normal yaitu Kecamatan Pancoran
Mas (176 𝜇g/m3) dan Terminal Depok (173 𝜇g/m3).
Kejadian ISPA pada balita di kota Depok tahun 2012 menempati urutan pertama dari
10 penyakit terbanyak pada pasien yang dirawat jalan di Puskesmas yaitu sebesar 14%. Pada
tahun 2013, pasien rawat jalan yang menderita ISPA di Puskesmas pada kelompok umur 0 - <
1 tahun sebanyak 43,97%, pada kelompok umur 1 – 4 tahun sebanyak 44,73%. Pada tahun
2013, terdapat 11 balita meninggal 1 diantaranya meninggal karena ISPA. Pada tahun 2014,
kejadian ISPA menempati urutan pertama pada pasien yang melakukan rawat jalan di rumah
sakit yaitu sebesar 23,8%. Kasus ISPA pada balita pun menjadi urutan pertama pada sepuluh
penyakit terbanyak yang melakukan rawat jalan di Puskesmas yaitu sebesar 18,9% (Profil
Kesehatan Kota Depok tahun 2012, 2013, dan 2014).
Berdasarkan data profil kesehatan dari UPT PKM Tapos, kejadian ISPA tahun 2013
pada balita adalah 1276 kasus atau 60,62 % dengan kasus baru 520 atau 64, 68%. Kejadian
ISPA pun menempati urutan pertama dari 10 penyakit yang diderita oleh pasien rawat jalan
kelompok balita tahun 2013-2014.
Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian PM10 dalam Rumah dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tapos Tahun 2017. Melalui penelitian ini, penulis ingin menjelaskan pengaruh PM10 udara
dalam rumah terhadap kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaaat
bagi puskesmas dan dinas kesehatan untuk mengetahui faktor penyebab kejadian ISPA balita
sehingga dapat menentukan prioritas program penanggulangan ISPA balita. Melalui
penelitian ini pula, masyarakat dapat mengetahui faktor-risiko penyebab ISPA balita dan
pencegahannya. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh institusi sebagai gambaran awal
penelitian selanjutnya terkait kejadian ISPA balita
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Tinjauan Teoritis
Particulate Matter 10 (PM10) Particulate Matter (PM) merupakan polutan udara yang terdiri atas campuran partikel
padat dan cair tersuspensi di udara. Indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan
konsentrasi PM yang relevan dengan kesehatan merujuk pada konsentrasi massa partikel
dengan diameter kurang dari 10 pm (PM10). Particulate Matter (PM) merupakan campuran
yang memiliki karakteristik fisik dan kimia yang berbeda-beda menurut lokasi. Kandungan
kimia yang umum dari PM antara lain sulfat, nitrat, amonium, dan ion anorganik lainnya
seperti ion natrium, kalium, kalsium, magnesium dan klorida, karbon organik dan unsur,
materi kerak, partikel air terikat, logam (termasuk kadmium, tembaga, nikel, vanadium, dan
seng) dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs). Selain itu, komponen biologis seperti
alergen dan senyawa mikroba yang dapat ditemukan juga pada PM (WHO, 2005).
Upaya pengendalian PM10 di lingkungan rumah dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Cara pertama dengan penyaringan (filtrasi). Penyaringan digunakan untuk memisahkan
partikel dari udara. Apabila pemasukan udara dalam ruang menggunakan sistem ventilasi
mekanik, biasanya telah dilengkapi dengan media penyaringan. Cara kedua dengan
pengaturan letak pemasukan udara (ventilasi). Sistem ventilasi dapat dibuat dengan cara
sistem silang sehingga terjadi aliran udara. Adapun untuk rumah yang dekat dengan sumber
pencemaran seperti jalan raya, ventilasi tidak diletakkan pada dinding yang berhadapan
dengan sumber tersebut. Selanjutnya, waktu pengaturan masuknya udara segar. Udara pagi
diupayakan masuk sebanyak-banyaknya agar terjadi pertukaran dengan udara yang berada di
dalam rumah. Cara ketiga dengan menanami sekeliling rumah dengan tanaman hias. Hal ini
dapat membantu memperindah dan menyejukkan ruangan selain itu juga untuk mengurangi
masuknya bahan pencemar yang berasal dari udara luar.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan akut yang
menyerang saluran pernapasan yang meliputi saluran pernapasan bagian atas. Penyakit yang
terjadi pada saluran pernapasan bagian atas antara lain rhinitis, fharingitis, dan ototis serta
saluran pernapasan bagian bawah antara lain laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan
pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk
menentukan batas akut dari penyakit tersebut. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
hidung sampai alveoli beserta organ seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura (Depkes RI,
2009).
Penyakit ISPA disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Bakteri penyebab ISPA
adalah Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan lain-lain
(Widoyono, 2008). Bakteri Streptococcus pneumoniae di banyak negara merupakan penyebab
paling umum pneumonia. Virus yang dapat menyebabkan ISPA pada balita adalah rhinovirus,
respiratory syncytial virus, parain influenzaenza virus, severe acute respiratory syndrome
associated coronavirus (SARS-CoV), dan virus Influenza (WHO, 2007). Jamur penyebab
ISPA adalah Aspergilosis sp, Candida albikans, Hitoplasma dan lain-lain. Balita dapat
menderita ISPA sebanyak 6 – 8 kali dalam setahun.
Berdasarkan Depkes RI (2002), tanda dan gejala ISPA balita pada klasifikasi bukan
Pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan
gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam. Selain itu, seseorang balita ditemukan satu atau lebih dari gejala-
gejala seperti batuk, serak, pilek, panas atau demam. Serak adalah suara parau pada balita
ketika balita berbicara atau menangis. Pilek adalah keluarnya lendir atau ingus dari hidung
balita dan demam atau panas adalah ketika suhu badan balita lebih dari 37oC. Dengan
demikian klasifikasi bukan Pneumonia mencakup penyakit penyakit ISPA lain di luar
Pnemonia seperti batuk pilek bukan Pneumonia (common cold, pharyngitis, tonsilitis, otitis).
Gejala dominan pada common cold antara lain meler, mampet, bersin, dan nyeri tenggorokan
dan batuk.
Dalam Kusetiarini, 2012, beberapa faktor risiko ISPA di antaranya faktor risiko
pencemar udara dalam rumah dan faktor risiko individu balita. Faktor risiko pencemar udara
dalam rumah meliputi asap rokok dan penggunaan obat nyamuk bakar. Faktor risiko individu
balita mencakup umur balita, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, dan ASI eksklusif.
Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak
pada bayi dan balita. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 –12 bulan. Hal ini dipengaruhi oleh
faktor imunitas pada bayi yang masih rentan dengan pajanan dari lingkungan luar. Selain itu,
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran
karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena
penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.
Status imunisasi pun menjadi salah satu faktor risiko kejadian ISPA balita.
Pelaksanaan imunisasi ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Setiap anak mendapatkan
imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1 tahun. Peningkatan cakupan
imunisasi penyakit ISPA dengan menggalakkan imunisasi difteri, pertusis dan morbilitas
sangat berperan dalam usaha pemberantasan ISPA (Daulay, 1992 dalam Afandi 2012).
Adapun pemberian ASI eksklusif kepada bayi selama enam bulan pertama terbukti
menurunkan angka kematian pada anak balita. Selain itu, ASI juga memberi keuntungan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi dan terbukti dapat mencegah berbagai
penyakit akut dan menahun. WHO menganjurkan agar bayi diberikan ASI eksklusif selama
enam bulan pertama. Sebab, terbukti bahwa menyusui eksklusif selama enam bulan
menurunkan angka kematian dan kesakitan pada umumnya dibandingkan dengan menyusu
ASI selama empat bulan (Lindawaty, 2010).
Karakteristik Rumah Sehat Rumah sehat memungkinkan penghuni untuk dapat hidup sehat, dan menjalankan
kegiatan hidup sehari-hari secara layak. Menurut Permenkes nomor 1077 tahun 2011 faktor
fisik yang harus diperhatikan untuk rumah sehat antara lain :
1) Suhu
Suhu ruangan yang disyaratkan adalah 18o – 30oC. Perubahan suhu udara dalam
rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penggunaan bahan bakar biomassa,
ventilasi yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian, bahan dan struktur bangunan,
kondisi geografis, dan kondisi topografi.
2) Pencahayaan
Pencahayaan ruangan yang disyaratkan adalah minimal 60 lux. Cahaya yang terlalu
tinggi akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan. Faktor resiko pencahayaan adalah
intensitas cahaya yang rendah, baik cahaya yang bersumber dari alamiah maupun buatan.
Pencahayaan alamiah diperoleh dari sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui
jendela. Cahaya matahari berguna untuk mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk,
dan membunuh kuman penyakit.
3) Kelembaban
Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan suburnya
pertumbuhan mikroorganisme. Spora-spora dan virus merupakan jenis mikroorganisme yang
dapat lebih bertahan di udara bebas (Slamet, 2000 dalam Sinaga, 2012). Kelembaban ruangan
sangat dipengaruhi oleh aliran udara dan pencahayaan. Aliran udara yang kurang atau tidak
lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
kelembaban tinggi dalam ruangan. Kelembaban udara rendah dapat menyebabkan kerusakan
pada lapisan epitel saluran pernapasan dan atau mengurangi kebersihan siliamukosa, sehingga
meningkatkan risiko terinfeksi virus influenza, dimana stabilitas virus ini mencapai nilai
maksimal pada kelembaban yang relatif rendah (20-40%) dan stabilitas minimum pada
kondisi dengan kelembaban relatif sedang (50%) dan tinggi (60-80%) (Sinaga, 2012).
Kelembaman dalam rumah yang memenuhi syarat adalah 40 – 60% Rh.
4) Laju Ventilasi
Pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya
pertumbuhan mikroorganisme, yang mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan manusia.
Laju ventilasi yang disyaratkan adalah 0,15 – 0,25 m/detik. Faktor resiko dari laju ventilasi
antara lain kurangnya ventilasi (jumlah dan luas ventilasi tidak cukup, sesuai persyaratan
kesehatan), tidak ada pemeliharaan AC secara berkala. Luas ventilasi yang disyaratkan adalah
10% dari luas lantai dengan sistem ventilasi silang. Saluran ventilasi pada sebuah rumah
mempunyai berbagai fungsi, fungsi yang pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam
rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi
menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi kedua adalah
untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen dan
menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo 2007 dalam
Afandi 2012).
Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional untuk melihat hubungan
antara variabel dependen dan independen yang diamati secara bersama-sama pada saat dan
satu periode pengamatan. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tapos Kota
Depok yaitu kelurahan Tapos dan Leuwinanggung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari – Maret 2017. Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Tapos dengan unit informasinya adalah ibu balita tersebut. Sampel penelitian ini
adalah balita. Kriteria inklusi sampel adalah ibu yang memiliki balita laki-laki/perempuan
usia 24-59 bulan, bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tapos dan bersedia menjadi
responden. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ibu balita laki-laki/perempuan bertempat
tinggal di luar wilayah kerja Puskesmas Tapos dan ibu tidak bersedia menjadi responden.
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Jumlah sampel minimal adalah 100 orang. Seratus sampel tersebut dibagi dengan
proporsi 52 orang di Kelurahan Tapos dan 48 orang di Kelurahan Leuwinanggung. Sampel
yang dilakukan pengukuran tidak mendapatkan asuransi selama penelitian.
Penentuan pengambilan sampel dilakukan dengan metode cluster sampling yaitu
dengan membagi membagi 2 klaster (sesuai dengan jumlah kelurahan yang menjadi wilayah
kerja Puskesmas Tapos). Dari 2 klaster tersebut dipilih secara simple random sampling yaitu
pemilihan sampel secara acak pada ibu yang memiliki balita.
Jumlah sampel balita menjadi dasar sampel PM10. Titik sampel PM10 dalam rumah
adalah ruangan paling sering balita beraktifitas. Jumlah titik sampel sebanyak 100 titik yang
terbagi 52 titik di Kelurahan Tapos yang tersebar pada 20 RW dan 48 titik di Kelurahan
Leuwinanggung yang tersebar pada 14 RW. Sebelum turun ke lapangan, beberapa persiapan
dilakukan, seperti survey awal lokasi penelitian, menyiapkan surat izin penelitian,
menyiapkan kuesioner penelitian, mengecek kelengkapan identitas, mengecek isian data, dan
peminjaman alat.
Pada penelitian ini terdapat dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer pada penelitian ini didapatkan dari hasil pengukuran konsentrasi PM10 udara dalam
rumah, hasil pengukuran kondisi rumah tinggal (suhu, kelembaban, pencahayaan, luas
ventilasi), dan kuesioner hasil wawancara dan observasi langsung pada 100 rumah yang
meliputi faktor lain yang diteliti adalah faktor imunitas balita yaitu status imunisasi dan ASI
eksklusif. Sementarar itu, data sekunder penelitian ini didapatkan dari data Profil Kesehatan
Puskesmas Tapos.
Pengukuran PM10 dilakukan selama 30 menit bersama dengan pengukuran
kelembaban, pencahayaan, luas ventilasi, dan suhu serta wawancara dan observasi langsung
terhadap responden. Pengukuran PM10 dilakukan dengan menggunakan alat Haz Dust dengan
metode direct sampling (hasil dapat langsung diketahui), kelembaban diukur menggunakan
Hygrometer, dan pencahayaan diukur dengan Luxmeter. Luas ventilasi diukur dengan
menggunakan meteran.
Data primer dan sekunder tersebut diolah secara statistik kemudian dianalisis. Pada
penelitian ini dilakukan analisis univariat untuk meringkas kumpulan data hasil pengukuran
sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna
berupa ukuran statistik, tabel, grafik. Adapun analisis bivariat untuk mengetahui hubungan
dua variabel. Adanya hubungan atau tidak dapat dilihat dari nilai p (p-value), kemudian
dibandingkan dengan α = 0,05. Apabila nilai p < α, maka ada hubungan antara dua variabel
tersebut. Apabila ada hubungan, maka dilakukan langkah berikutnya yaitu perhitungan nilai
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Odds Ratio (OR) untuk melihat besar resiko (efek size). Bila nilai OR < 1. maka faktor resiko
sebagai faktor pencegah timbulnya penyakit. Bila nilai OR = 1. maka faktor resiko tidak
berhubungan dengan timbulnya penyakit. Bila nilai OR > 1. maka faktor resiko sebagai faktor
penyebab/faktor resiko timbulnya penyakit.
Hasil Penelitian
Hasil Pengukuran Konsentrasi PM10, Kelembaban, Pencahayaan, dan Suhu dalam Rumah
Balita Tabel 5. 2. 1 Hasil Pengukuran Konsentrasi PM10, Kelembaban, Pencahayaan, dan Suhu
Variabel N Min – Max Mean SD 95% CI Mean Konsentrasi PM10 100 4,0 – 309,0 51,4 59,0 39,6 – 63,0 Kelembaban 100 44,0 – 79.8 66,7 7,2 65,3 – 68,2 Pencahayaan 100 0,5 – 664,0 58,2 89,6 40,5 – 76,0 Suhu 100 24,1 – 32,6 29,8 1,4 29,6 – 30,1
Dari hasil pengukuran pada 100 ruangan dalam rumah balita, rata-rata konsentrasi
PM10 51,4 µg/m3. Konsentrasi terendah adalah 4,0 µg/m3 dan konsentrasi tertinggi adalah
309,0 µg/m3. Rata-rata kelembaban ruangan dalam rumah adalah 66,7%. Kelembaban
terendah adalah 44,0% dan kelembaban tertinggi adalah 79,8%. Adapun untuk rata-rata
pencahayaan ruangan rumah adalah 58,2 lux. Pencahayaan tertinggi adalah 664,0 lux dan
pencahayaan terendah adalah 0,5 lux. Rata-rata suhu ruangan adalah 29,8oC. Suhu ruangan
tertinggi adalah 32,6oC dan suhu ruangan terendah adalah 24,1oC.
GambaranKonsentrasiPM10Tabel 5. 2. 2 Gambaran Distribusi Variabel Penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos Tahun 2017.
Variabel N Tapos Leuwinanggung Total
Keberadaan PM10 Memenuhi Syarat 44 34 78 Tidak Memenuhi Syarat 8 14 22 Kejadian ISPA Balita Tidak Sakit 22 16 38 Sakit 30 32 62 Faktor Kondisi Rumah Suhu Memenuhi Syarat 32 8 40 Tidak Memenuhi Syarat 20 40 60 Pencahayaan Memenuhi Syarat 10 16 26 Tidak Memenuhi Syarat 42 32 74 Kelembaban Memenuhi Syarat 1 24 25 Tidak Memenuhi Syarat 51 24 75 Luas Ventilasi
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Memenuhi Syarat 51 46 97 Tidak Memenuhi Syarat 1 2 3 Faktor Imunitas Balita Status imunisasi Lengkap 51 46 97 Tidak Lengkap 1 2 3 ASI eksklusif Ya 25 27 52 Tidak 27 21 48
Konsentrasi PM10 yang dipersyaratkan berdasarkan Permenkes no 1077 tahun 2011
adalah ≤ 70 µg/m3. Dari 100 rumah responden yang diukur konsentrasi PM10nya, rumah
yang memenuhi syarat sebanyak 78 rumah dan 22 rumah tidak memenuhi syarat karena
memiliki kadar di atas 70 µg/m3. Dari 78 rumah yang memenuhi syarat tersebut, 44 rumah
berada di Kelurahan Tapos dan 34 rumah di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan dari 22
rumah yang tidak memenuhi syarat, 8 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 14 rumah berada
di Kelurahan Leuwinanggung.
Gambaran Kejadian ISPA pada Balita
Penentuan kejadian ISPA pada balita suatu gejala infeksi yang berupa batuk, pilek,
dan demam selama 2 minggu terakhir. Hasil wawancara pada 100 responden didapatkan
balita yang tidak menderita penyakit ISPA sebanyak 38 orang dan balita yang menderita
penyakit ISPA sebanyak 62 orang. Dari 38 balita yang tidak menderita ISPA tersebut, 22
balita terdapat di Kelurahan Tapos dan 16 balita di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan
dari 62 balita yang menderita ISPA, 30 balita berada di Kelurahan Tapos dan 32 balita di
Kelurahan Leuwinanggung.
Gambaran Faktor Kondisi Rumah
Faktor kondisi rumah terhadap kejadian ISPA balita yang diteliti dalam penelitian ini
adalah suhu, pencahayaan, kelembaban, dan luas ventilasi ruangan. Berdasarkan Permenkes
no 1077 tahun 2011, syarat suhu ruangan adalah berkisar antara 18 – 30oC, pencahayaan
adalah < 60 lux, kelembaban adalah berkisar antara 40–60%, dan luas ventilasi adalah > 10%
dari luas lantai.
Dari 100 rumah yang diukur suhunya didapati 40 rumah responden memenuhi syarat
dan 60 rumah yang tidak memenuhi syarat. Dari 40 rumah yang memenuhi syarat tersebut, 32
rumah berada di Kelurahan Tapos dan 8 rumah berada di Kelurahan Leuwinanggung.
Sedangkan dari 60 rumah yang tidak memenuhi syarat, 20 rumah berada di Kelurahan Tapos
dan 40 berada di Kelurahan Leuwinanggung. Adapun untuk pencahayaan, dari 100 rumah
resonden terdapat 26 rumah responden memenuhi syarat dan 74 rumah yang tidak memenuhi
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
syarat (lebih dari 60 lux). Dari 26 rumah yang memenuhi syarat tersebut, 10 rumah berada di
Kelurahan Tapos dan 16 rumah berada di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan dari 74
rumah yang tidak memenuhi syarat, 42 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 32 berada di
Kelurahan Leuwinanggung.
Dari 100 rumah responden yang diukur kelembabannya terdapat sebanyak 25 rumah
responden yang memiliki kelembaban ruangan yang memenuhi syarat dan 75 rumah tidak
memenuhi syarat. Dari 25 rumah yang memenuhi syarat tersebut, 1 rumah berada di
Kelurahan Tapos dan 24 rumah berada di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan dari 75
rumah yang tidak memenuhi syarat, 51 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 24 berada di
Kelurahan Leuwinanggung.
Sedangkan untuk luas ventilasi, dari 100 rumah didapati rumah yang memenuhi syarat
sebanyak 97 rumah dan 3 rumah tidak memenuhi syarat. Dari 97 rumah yang memenuhi
syarat tersebut, 51 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 46 rumah berada di Kelurahan
Leuwinanggung. Sedangkan dari 3 rumah yang tidak memenuhi syarat, 1 rumah berada di
Kelurahan Tapos dan 2 berada di Kelurahan Leuwinanggung.
Gambaran Faktor Imunitas Balita
Faktor imunitas balita terhadap kejadian ISPA balita yang diteliti dalam penelitian ini
adalah status imunisasi balita dan pemberian ASI eksklusif. Status imunisasi pada penelitian
ini disebut lengkap apabila KMS balita menunjukkan bahwa balita tersebut sudah di imunisasi
DPT dan dan campak. Dari 100 balita yang dilihat KMSnya didapati bahwa hampir seluruh
balita mendapatkan imunisasi lengkap yaitu sebanyak 97 orang balita sudah terimunisasi DPT
dan campak, hanya 3 orang balita yang memiliki status imunisasi tidak lengkap yaitu terlewat
imunisasi campaknya. Dari 97 balita yang sudah lengkap imunisasinya tersebut, 51 rumah
berada di Kelurahan Tapos dan 46 rumah berada di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan
dari 3 balita yang tidak lengkap imunisasinya, 1 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 2
berada di Kelurahan Leuwinanggung.
ASI eksklusif pada penelitian ini didasarkan pada riwayat balita mendapatkan ASI
eksklusif dari usia 0–6 bulan balita tidak diberikan makanan dan atau minuman lain selain air
susu ibu saja kecuali obat sirup. Hasil wawancara dengan 100 responden didapati bahwa
balita yang mendapat ASI Eksklusif sebanyak 52 orang balita dan balita yang tidak
mendapatkan ASI Eksklusif sebanyak 48 orang balita. Dari 52 balita yang mendapat ASI
eksklusif tersebut, 25 balita berada di Kelurahan Tapos dan 27 balita berada di Kelurahan
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Leuwinanggung. Sedangkan dari 48 balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, 27 balita
berada di Kelurahan Tapos dan 21 balita berada di Kelurahan Leuwinanggung.
Hasil Analisis Bivariat Tabel 5.3. 1 Distribusi Berdasarkan Hubungan Variabel di Puskesmas Tapos Tahun 2017
Variabel ISPA P Value OR (95% CI) Tidak Sakit % Sakit %
Keberadaan PM10 Memenuhi Syarat 34 43,6 44 56,4
0,045* 3,477 1,077-11,229 Tidak Memenuhi
Syarat 4 18,2 18 81,8
Faktor Kondisi Rumah Suhu Memenuhi Syarat 20 50,0 20 50,0
0,059 2,333 1,017-5,351 Tidak Memenuhi
Syarat 18 30,0 42 70,0
Pencahayaan Memenuhi Syarat 8 30,8 18 69,2
0,483 0,652 0,251-1,691 Tidak Memenuhi
Syarat 30 40,5 44 59,5
Kelembaban Memenuhi Syarat 10 40,0 15 60,0
0,816 1,119 0,443-2,827 Tidak Memenuhi
Syarat 28 37,3 47 62,7
Luas Ventilasi Memenuhi Syarat 37 38,1 60 61,9
1,000 1,233 0,108-14,082 Tidak Memenuhi
Syarat 1 33,3 2 66,7
Faktor Imunitas Balita Status imunisasi Lengkap 37 38,1 60 61,9 1,000 1,233 0,108-
14,082 Tidak Lengkap 1 33,3 2 66,7 ASI eksklusif Ya 19 36,5 33 63,5 0,838 0,879 0,392-
1,972 Tidak 19 39,6 29 60,4 Keterangan : * signifikan pada level ≤ 0,05
Hubungan keberadaan PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita
Responden yang konsentrasi PM10 dalam rumahnya memenuhi syarat dan balitanya
menderita ISPA sebanyak 44 (56,4%), sedangkan responden yang konsentrasi PM10 dalam
rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 18 (81,8%).
Selanjutnya p-value sebesar 0,045 berarti ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi
atau keberadaan PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 3,477
artinya rumah yang memiliki konsentrasi PM10 tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3,5
kali lebih besar balitanya menderita ISPA dibandingkan dengan rumah yang memiliki
konsentrasi PM10 yang memenuhi syarat. Nilai OR > dari 1, hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan atau konsentrasi PM10 merupakan faktor risiko timbulnya penyakit ISPA balita
pada penelitian ini.
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Hubungan suhu ruang dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita
Responden yang suhu ruangan rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita
ISPA sebanyak 20 (50,0%), sedangkan responden yang suhu ruangan rumahnya tidak
memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 42 (70,0%). Selanjutnya p-
value sebesar 0,059 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara suhu ruangan dengan
kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 2,33 artinya rumah yang suhu ruang dalam rumahnya
tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,6 kali lebih besar balitanya menderita ISPA
dibandingkan dengan rumah yang suhu ruang dalam rumahnya memenuhi syarat. Nilai OR >
1, hal ini menunjukkan bahwa suhu ruangan merupakan faktor risiko timbulnya penyakit
ISPA balita pada penelitian ini.
Hubungan pencahayaan ruang dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita
Responden yang pencahayaan ruangan rumahnya memenuhi syarat dan balitanya
menderita ISPA sebanyak 18 (69,2%), sedangkan responden yang pencahayaan ruangan
rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 44 (59,5%).
Selanjutnya p-value sebesar 0,483 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara
pencahayaan ruangan dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 0,652 nilainya < 1, hal
ini menunjukkan bahwa pencahayaan merupakan bukan faktor risiko timbulnya penyakit
ISPA balita pada penelitian ini.
Hubungan kelembaban ruang dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita
Responden yang kelembaban ruangan rumahnya memenuhi syarat dan balitanya
menderita ISPA sebanyak 15 (60,0%), sedangkan responden yang kelembaban ruangan
rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 47 (62,7%).
Sedangkan p-value sebesar 0,816 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara
kelembaban ruangan dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 1,119 artinya rumah yang
memiliki kelembaban ruangan tidak memenuhi syarat memiliki risiko 1,1 kali lebih besar
balitanya menderita ISPA dibandingkan dengan rumah yang memiliki kelembaban yang
memenuhi syarat. Nilai OR > dari 1, hal ini menunjukkan bahwa kelembaban merupakan
faktor risiko timbulnya penyakit ISPA balita pada penelitian ini.
Hubungan luas ventilasi ruangan dengan kejadian ISPA pada balita
Responden yang ventilasi ruangan rumahnya memenuhi syarat dan balitanya
menderita ISPA sebanyak 60 (61,9%), sedangkan responden yang ventilasi rumahnya tidak
memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 2 (66,7%). Selain itu, p-
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
value sebesar 1,000 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara ventilasi ruangan
dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 1,233 artinya rumah yang memiliki luas
ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki risiko 1,2 kali lebih besar balitanya menderita ISPA
dibandingkan dengan rumah yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat. Nilai OR >
dari 1, hal ini menunjukkan bahwa luas ventilasi merupakan faktor risiko timbulnya penyakit
ISPA balita pada penelitian ini.
Hubungan status imunisasi balita dengan kejadian ISPA pada balita
Responden yang balitanya diimunisasi secara lengkap dan menderita ISPA sebanyak
60 (61,9%), sedangkan responden yang balitanya tidak diimunisasi secara lengkap menderita
ISPA adalah sebanyak 2 (66,7%). Selain itu, p-value sebesar 1,000 berarti tidak ada hubungan
yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 1,233
artinya balita yang tidak lengkap imunisasinya memiliki risiko 1,3 kali lebih besar balitanya
menderita ISPA dibandingkan balita yang lengkap imunisasinya. Nilai OR > dari 1, hal ini
menunjukkan bahwa status imunisasi merupakan faktor risiko timbulnya penyakit ISPA balita
pada penelitian ini.
Hubungan ASI eksklusif balita dengan kejadian ISPA pada balita
Responden yang balitanya diberikan ASI eksklusif dan menderita ISPA sebanyak 33
(63,5%), sedangkan responden yang balitanya tidak diberikan ASI eksklusif dan menderita
ISPA adalah sebanyak 29 (60,4%). Selain itu, p-value sebesar 0,838 berarti tidak ada
hubungan yang signifikan antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita.
Nilai OR = 0,879 < 1, hal ini menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusi merupakan bukan
faktor risiko timbulnya penyakit ISPA balita pada penelitian ini.
Pembahasan
Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan yang ditemui dalam penelitian ini antara lain jenis desain
penelitian dan bias informasi. Dalam penelitian ini digunakan desain penelitian cross
sectional yang mempunyai kelemahan sulitnya membedakan variabel penyebab dengan
variabel akibat. Hal itu karena kedua variabel diukur pada saat yang bersamaan. Hubungan
yang bisa digambarkan melalui desain ini hanya menunjukkan keterkaitan atau hubungan saja,
bukan menunjukkan sebab akibat. Sehingga apabila penelitian dilakukan pada waktu yang
berbeda kemungkinan hasil dari penelitian tersebut akan berbeda.
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Kelemahan dalam sampel penelitian pun dapat dilihat dari hasil sampel yang kurang
representatif. Hal itu karena sebaran sampel penelitian (responden) yang cukup berjauhan
sedangkan pengambilan data terbatas pada waktu dan dana dalam penelitian. Selain itu,
sampel yang diambil pun secara acak tidak mengikuti data yang diberikan oleh puskesmas.
Kelemahan lain adalah bias informasi yang berasal dari alat ukur maupun sampel
penelitian. Alat yang dipergunakan (hygrometer dan luxmeter) tidak terkalibrasi secara teratur
dan pengukuran yang dilakukan hanya satu kali. Bias informasi pada sampel penelitian
berupa recall bias karena wawancara terkait definisi ISPA balita dilakukan oleh peneliti
sendiri tanpa tenaga kesehatan. Bias yang terjadi ketika responden tidak memberikan jawaban
yang sebenarnya ataupun kurang memahami pertanyaan yang disampaikan peneliti.
Gambaran Keberadaan PM10 dalam Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos Tahun
2017
Pengukuran PM10 pada 100 rumah di wilayah kerja Puskesmas Tapos didapati
sebanyak 78 rumah memenuhi syarat dan 22 rumah tidak memenuhi syarat. Secara proporsi,
52 rumah di Kelurahan Tapos, sebanyak 44 rumah (84%) memenuhi syarat dan 8 rumah
(15,4%) tidak memenuhi syarat. Sedangkan di Kelurahan Leuwinanggung dari 48 rumah,
yang memenuhi syarat 34 rumah (70,8%) dan yang tidak memenuhi syarat 14 rumah (29,2%).
Presentase rumah yang memenuhi syarat lebih banyak di Kelurahan Tapos dan rumah yang
tidak memenuhi syarat lebih banyak di Kelurahan Leuwinanggung. Hal itu karena secara
jarak pada pada UPT Puskesmas, Kelurahan Tapos lebih dekat (2 km). Sedangkan Kelurahan
Leuwinanggung berjarak 7 km ke UPT Puskesmas. Jarak yang berbeda memberikan
jangkauan program penyehatan UPT Puskesmas yang berbeda.
Gambaran Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos 2017
Hasil wawancara dengan 100 responden tentang kejadian penyakit ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Tapos didapati 62 balita yang sakit ISPA dan 31 balita yang tidak
menderita penyakit ISPA. Secara proporsi, dari 52 sampel balita di Kelurahan Tapos, 30
balita (57,7%) menderita ISPA dan 22 balita (42,3%) tidak menderita ISPA. Sedangkan dari
48 sampel balita di Kelurahan Leuwinanggung, 32 balita (66,7%) menderita ISPA dan 16
balita (33,3%) tidak menderita ISPA. Presentase berdasarkan proporsi dari setiap kelurahan
menunjukkan Kelurahan Leuwinanggung lebih banyak yang sakit dari pada Kelurahan Tapos.
Hal itu karena jarak UPT Puskesmas Tapos dengan Kelurahan Tapos paling jauh 2 km
sedangkan dengan Kelurahan Leuwinanggung paling berjauh 7 km. Selain itu, akses
penduduk di Kelurahan Leuwinanggung menuju UPT Puskesmas Tapos ditempuh dengan dua
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
kali naik angkutan umum. Hal itu menyebabkan biaya yang harus ditanggung penduduk
cukup besar.
Hubungan antara Variabel Dependen dengan Variabel Independen
Kejadian ISPA dengan Keberadaan PM10 dalam Rumah
Hasil p-value dari konsentrasi PM10 dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,045 (<
0,05) menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian ISPA balita. Selain itu, nilai OR yang
didapatkan 3,477 (> 1) menunjukkan bahwa konsentrasi PM10 menjadi faktor penyebab dari
kejadian ISPA balita. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian
Wahyuni (2014) bahwa PM10 dalam rumah memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian ISPA pada balita.
Keberadaan PM10 dalam rumah dapat disebabkan dari pembakaran sampah yang
masih sering dilakukan oleh penduduk. Dari observasi yang dilakukan, penduduk Kelurahan
Tapos dan Leuwinanggung masih memiliki kebiasaan membakar sampah. Hal itu karena tidak
adanya petugas dan sarana kebersihan dari pemerintah desa dan kecamatan. Pada 62 balita
yang sakit ISPA, terdapat 44 balita yang sakit ISPA dengan konsentrasi PM10 dalam rumah
memenuhi persyaratan. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena faktor lain yaitu kelembaban,
dimana terdapat 75 rumah yang kelembabannya tidak memenuhi syarat. Kelembaban yang
tinggi dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme. Adupun ISPA pada balita
disebabkan oleh mikroorganisme. Selain itu, dari 100 rumah yang diukur suhunya, terdapat
60 rumah yang tidak memenuhi syarat. Suhu udara yang tinggi dapat mengakibatkan pertikel
debu di udara melayang lebih lama. Sehingga kemungkinan terhirup oleh balita menjadi lebih
besar.
Kejadian ISPA dengan Suhu Dalam Ruang
Hasil p-value dari suhu ruangan dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,059 (> 0.05)
menunjukkan tidak adanya hubungan suhu ruangan dengan kejadian ISPA balita. Akan tetapi,
nilai OR yang didapatkan besarnya 2,333 (> 1) menunjukkan bahwa suhu ruangan dapat
menjadi faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Lindawaty (2010). Keadaan suhu dalam ruang dipengaruhi oleh adanya
pencahayaan dan sirkulasi udara. Suhu akan meningkat apabila cahaya yang masuk terlalu
tinggi. Begitu dengan sirkulasi udara, apabila udara di dalam ruangan tidak berganti dengan
baik akan membuat mikroorganisme pencetus ISPA tetap bertahan dalam udara. Selain itu,
hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar ventilasi yang terpasang tidak berfungsi
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
dengan baik. Ventilasi terdiri dari jendela dan lubang angin. Dalam observasi ditemukan
banyak jendela yang tidak dapat dibuka serta lubang angin yang ditutup oleh kertas atau
kardus atau pun sangat dipenuhi oleh debu. Hal itu dapat menyebabkan peningkatan suhu
karena udara dalam ruangan tidak bersirkulasi dengan baik.
Kejadian ISPA dengan Pencahayaan Dalam Ruang
Hasil p-value dari pencahayaan ruangan dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,483 (>
0.05) menunjukkan tidak adanya hubungan pencahayaan ruangan dengan kejadian ISPA
balita. Selain itu, nilai OR yang didapatkan besarnya 0,652 (< 1) menunjukkan bahwa
pencahayaan ruangan bukan faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita. Tidak ada
hubungan yang bermakna antara pencahayaan dalam ruang rumah dengan kejadian ISPA pada
balita sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012).
Pencahayaan yang cukup didapatkan dengan pengaturan cahaya alami dan buatan.
Pencahayaan alami ditentukan oleh letak dan luas jendela. Pencahayaan alami diperoleh dari
sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui jendela. Cahaya matahari berguna untuk
mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk, dan membunuh kuman penyakit.
Cahaya yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan. Pencahayaan
yang terlalu rendah akan menimbulkan suasana gelap dan pengap. Untuk mengatasi
pencahayan yang tidak memenuhi syarat dapat dilakukan dengan membiasakan membuka
jendela dan pintu pada pagi hari. Hal lainnya adalah dengan memperbanyak jumlah ventilasi.
Selain itu, dapat dilakukan dengan mengganti genteng dengan genteng kaca sehingga cahaya
matahari dapat masuk ke dalam ruangan.
Kejadian ISPA dengan Kelembaban Dalam Ruang
Hasil p-value dari kelembaban ruangan dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,816 (>
0.05) menunjukkan tidak adanya hubungan kelembaban ruangan dengan kejadian ISPA balita.
Akan tetapi, nilai OR yang didapatkan besarnya 1,119 (> 1) menunjukkan bahwa kelembaban
ruangan dapat menjadi faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita. Tidak adanya yang
hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Sinaga (2012).
Hasil pengukuran kelembaban pada 100 rumah responden, 25 rumah memenuhi syarat
dan 75 rumah tidak memenuhi syarat. Dari 75 rumah yang kelembabannya tidak memenuhi
syarat tersebut terdapat 62,7% (47 rumah) yang balitanya sakit. Hal tersebut dapat
dimungkinkan karena pencahayaan yang rendah, ventilasi yang kurang berfungsi dengan baik.
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat mengakibatkan suburnya
pertumbuhan mikroorganisme. Konstruksi rumah yang tidak baik seperti atap yang bocor,
lantai dan dinding rumah yang tidak kedap air serta kurangnya pencahayaan dapat
menyebabkan kelembaban dalam ruang rumah tidak memenuhi syarat. Untuk mendapatkan
kelembaban yang memenuhi syarat dapat dilakukan dengan membuka jendela rumah,
menambah jumlah dan luas jendela rumah, meningkatkan pencahayaan serta sirkulasi udara.
Hal ini dapat mungkin terjadi apabila para pemiliki rumah memiliki pengetahuan yang cukup
tentang kelembaban.
Kejadian ISPA dengan Luas Ventilasi Ruangan
Nilai p-value luas ventilasi terhadap kejadian ISPA balita sebesar 1,000 (> 0.05)
menunjukkan tidak adanya hubungan luas ventilasi dengan kejadian ISPA balita. Akan tetapi,
nilai OR yang didapatkan besarnya 1,233 (> 1) menunjukkan luas ventilasi ruangan dapat
menjadi faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita. Hasil ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sinaga (2012).
Pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya
pertumbuhan mikroorganisme sehingga dapat mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan.
Hal itu dapat terjadi apabila kurangnya ventilasi baik dari jumlah maupun luasnya. Ventilasi
dapat berupa lubang angin, pintu, dan jendela. Untuk lebih memberikan aliran udara dengan
baik, ventilasi dibuat secara menyilang atau cross ventilation. Ventilasi membuat udara yang
mengalir dari luar ke dalam ataupun sebaliknya tidak mengendap terlebih dahulu di dalam
ruangan. Udara yang masuk dari satu ventilasi langsung dialirkan keluar oleh ventilasi yang
ada di hadapannya sehingga udara terus berganti dengan udara yang baru.
Dalam pengamatan di lapangan, hasil pengukuran menunjukkan bahwa luas ventilasi
warga hampir seluruhnya sudah lebih dari 10% luas lantai. Akan tetapi, masih banyak dari
semua ventilasi tersebut tidak dapat dibuka dan dalam keadaan yang jarang dibersihkan.
Hanya sebagian kecil rumah yang sering melakukan pembersihan ventilasi secara berkala.
Selain itu, bagian lubang angin banyak yang masih ditutup dengan kertas maupun kardus.
Kejadian ISPA dengan Status Imunisasi Balita
Status imunisasi balita dengan kejadian ISPA balita p-value nya sebesar 1,000 (> 0.05).
menunjukkan tidak adanya hubungan dengan kejadian ISPA balita. Hasil ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kusetiarini (2012) dan Wahyuni (2014). Akan tetapi, nilai OR
yang didapatkan besarnya 1,233 (> 1) menunjukkan bahwa status imunisasi dapat menjadi
faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita.
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Kematian karena ISPA sebagian besar berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi misal difteri, pertusis dan campak. Imunisasi
lengkap berguna untuk mengurangi mortalitas ISPA, sehingga balita yang mempunyai status
imunisasi lengkap jika terkena ISPA maka diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan
menjadi berat. (Achmadi, 2006). Hasil wawancara dan observasi KMS dari 100 orang
responden menunjukkan 97 orang telah di imunisasi secara lengkap dan 3 orang tidak di
imunsasi dengan lengkap. Hal ini sesuai dengan data cakupan imunisasi Puskesmas Tapos
yang mencapai lebih dari 80% setiap tahunnya. Adapun alasan status imunisasi tidak lengkap
adalah karena ketika jadwal imunisasi balita mereka sedang sakit.
Kejadian ISPA dengan ASI Eksklusif Balita
Hasil p-value dari ASI eksklusif dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,838 (> 0.05)
menunjukkan tidak adanya hubungan dengan kejadian ISPA balita. Selanjutanya nilai OR
yang didapatkan besarnya 0,879 (< 1) menunjukkan bahwa ASI eksklusif bukan faktor risiko
penyebab dari kejadian ISPA balita. Hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara
pemberian ASI eksklusi dengan kejadian ISPA pada balita dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kusetiarini (2012). Dalam uji statistik tersebut proporsi yang mendapat ASI ekslusif
(63,5%) dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (60,4%) semuanya menderita ISPA
balita. Hal tersebut menunjukkan faktor lain yang berpengaruh yaitu faktor lingkungan rumah.
Faktor kondisi rumah tersebut antara lain suhu, pencahayaan dan kelembaban.
Kesimpulan
Kesimpulan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tapos, Depok tahun 2017 ini antara lain :
1) Keberadaan PM10 dalam rumah dari 52 sampel rumah di Kelurahan Tapos, 44 rumah
(84,6%) memenuhi syarat dan 8 rumah (15,4%) tidak memenuhi syarat. Sedangkan dari
48 sampel rumah di Kelurahan Leuwinanggung, 34 rumah (70,8%) memenuhi syarat dan
14 rumah (29,2%) tidak memenuhi syarat.
2) Kejadian ISPA balita dari 52 sampel balita di Kelurahan Tapos, 30 balita (57,7%)
menderita ISPA dan 22 balita (42,3%) tidak menderita ISPA. Sedangkan dari 48 sampel
balita di Kelurahan Leuwinanggung, 32 balita (66,7%) menderita ISPA dan 16 balita
(33,3%) tidak menderita ISPA.
3) Faktor-faktor risiko kejadian ISPA balita di wilayah kerja Puskesmas Tapos antara lain :
Keberadaan PM10 dalam rumah (OR = 3,477; 1,077-11,229), suhu ruangan (OR = 2,333;
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
1,017-5,351), kelembaban ruangan (OR = 1,119; 0,443-2,827), luas ventilasi ruangan (OR
= 1,233; 0,108-14,082), status imunisasi (OR = 1,233; 0,108-14,082).
Saran
Saran berdasarkan penelitian yang telah dilakukan antara lain :
1) Oleh karena konsentrasi PM10 dalam rumah dan faktor kondisi rumah berhubungan secara
bermakna dan menjadi faktor penyebab terjadinya ISPA pada balita, maka dirasa perlu
dilakukan penyuluhan tentang rumah sehat untuk penyehatan lingkungan rumah.
2) Program P2 ISPA perlu ditunjang dengan pelaksanaan program rumah sehat dan kerja
sama lintas sektor dan lintas program.
3) Kelembaban dalam ruang rumah mayoritas responden tidak memenuhi syarat, dapat
digunakan genting kaca untuk menambah pencahayaan dalam ruangan ataupun dengan
membuka jendela dan memodifikasi sirkulasi udara.
4) Luas ventilasi yang sudah memenuhi syarat hendaknya didukung dengan jendela yang
bisa dibuka dan ditutup, lubang angin ditutup dengan kawat nyamuk dan dilakukan
pembersihan berkala.
5) Untuk penelitian yang akan selanjutnya dilakukan sebaiknya analisis dilakukan hingga
multivariat sehingga diketahui faktor yang paling berhubungan dengan kejadian ISPA
balita.
Daftar Referensi
Anthony, Fery. (2008). Partikulat Debu (PM10) dalam Rumah dengan Gangguan Infeksi
Saluran Penapasan Akut (ISPA) pada Balita. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Depok.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset
Kesehatan Dasar 2013. Jakarta
Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2014. Jawa Barat dalam Angka.
Depkes RI. (2002). Pedoman pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
untuk menanggualngi Pneumonia pada Balita. Depkes RI, Jakarta
Dinas Kesehatan Kota Depok. 2012. Profil Kesehatan Kota Depok 2012. Depok.
Dinas Kesehatan Kota Depok. 2013. Profil Kesehatan Kota Depok 2013. Depok.
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017
Dinas Kesehatan Kota Depok. 2014. Profil Kesehatan Kota Depok 2014. Depok.
Faruli Welly.(2014). Partikulat (PM10) Udara Dalam Rumah dan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Karawang Kabupaten
Karawang Tahun 2014. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universiatas
Indonesia. Depok.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Profil Kesehatan Indonesia
2015.Jakarta.
Kusetiarini Aprilia. (2012). Infeksi Saluran Pernapasan Akut Non Pneumonia pada Balita
di Puskesmas Simo Kabupaten Madiun Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Lindawaty. (2010). Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal yang Mempengaruhi
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita (Penelitian di
Kecamatan Mampang Prapatan Jakarta Selatan tahun 2009-2010). Tesis.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077 / MENKES / PER / V /
2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Jakarta
Puskesmas Tapos. 2013. Profil Kesehatan 2013 UPT Puskesmas Tapos. UPT Puskesmas
Tapos. Depok.
Puskesmas Tapos. 2014. Profil Kesehatan 2014 UPT Puskesmas Tapos. UPT Puskesmas
Tapos. Depok.
Puskesmas Tapos. 2015. Profil Kesehatan 2014 UPT Puskesmas Tapos. UPT Puskesmas
Tapos. Depok.
Ria Kristina Sinaga Epi. (2012). Kualitas Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara Tahun 2011. Skripsi.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
WHO. (2005b). Air Quality Guidelines for Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide
and Sulfur Dioxide: Summary Of Risk Assessment WHO
Widoyono. (2008). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantaasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga.
PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017