infeksi saluran napas

29
xxiii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi saluran Pernapasan Akut 2.1.1. Pengertian ISPA Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksa seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002). Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah/kedalam (Depkes RI, 2002). Universitas Sumatera Utara

Upload: mardatillah-wiranata

Post on 30-Oct-2014

89 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ispa

TRANSCRIPT

Page 1: infeksi saluran napas

xxiii

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi saluran Pernapasan Akut 2.1.1. Pengertian ISPA

Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan

akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia

dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran

pernapasan adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksa

seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup

saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ

adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang

berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses

akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini

dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002).

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

(alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala

klinis batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian

bawah/kedalam (Depkes RI, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: infeksi saluran napas

xxiv

2.2. Epidemiologi

2.2.1. Distribusi dan Frekwensi ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia

dari bayi, anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga

penyebab kematian anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar

75% dari semua jumlah kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa

pneumonia menyebabkan 28% kematian anak di dunia (Zairil, 2000).

Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian

besar kasus ISPA terjadi pada kelompok umur 7 – 12 bulan (65,23%) dan sebagian

besar kasus terjadi pada bayi laki-laki (73, 45 %). (Dewi, 1996).

ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian

besar kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih

awam dengan gangguan ini. Penderita cepat meninggal akibat pneumonia berat dan

sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini disebabkan oleh ketidaktahuan

masyarakat tentang gangguan ini (DepKes RI., 2000).

2.2.2. Determinan ISPA

Terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita disamping adanya

bibit penyakit, juga dipengaruhi oleh faktor anak itu sendiri, seperti anak yang belum

mendapat imunisasi campak dan kontak dengan asap dapur, serta kondisi perumahan

yang ditempatinya. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3

bagian yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 3: infeksi saluran napas

xxv

a. Bibit Penyakit (Agent)

ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih

jenis virus, bakteri, ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus

Streptococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan

Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain, golongan Paramyksovirus

termasuk didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan virus campak, adenovirus,

Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain.

Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang

tersering sebagai penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan

Haemofilus influenza. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak

umumnya disebabkan oleh virus.

b. Pejamu (Host)

Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit,

terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti :

1. Umur Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita

dipengaruhi oleh faktor usia anak. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan

mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan

anak umur 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI., 1996).

Hasil analisis faktor resiko membuktikan bahwa umur merupakan salah satu

faktor resiko penyebab terjadinya kematian pada balita yang sedang menderita

Universitas Sumatera Utara

Page 4: infeksi saluran napas

xxvi

pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil

resiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia muda (Djaja S,

1999).

Insidens ISPA paling tinggi terdapat pada bayi dibawah satu tahun dan

insidens menurun dengan bertambahnya umur (Kartasamita, 2000).

Hasil penelitian Sukar dkk (1996) didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2

tahun lebih peka 5 kali terkena ISPA dibandingkan dengan umur 5 tahun.

2. Jenis Kelamin Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk

penanggulangan pneumonia pada balita (1996), anak jenis kelamin laki-laki

mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak

perempuan (Depkes RI., 1996).

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa

proporsi kasus ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki

59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda.

Hasil Survei Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997,

menunjukkan adanya perbedaan prevalensi 2 minggu pada balita dengan batuk dan

napas cepat (yang merupakan ciri khas pneumonia) antara anak laki-laki dengan anak

perempuan, dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4% sedangkan

perempuan 8,5% (Depkes RI., 1997).

Universitas Sumatera Utara

Page 5: infeksi saluran napas

xxvii

3. Status Gizi

Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk ISPA

menurut Martin yang dikutip oleh Djaja (1999), membuktikan adanya hubungan

antara gizi buruk dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering

mendapat pneumonia. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa

malnutrisi merupakan faktor resiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita

malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak dengan

berat badan normal.

Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat

mengakibatkan daya tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit

infeksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa

status gizi kurang pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali

lebih besar dibandingkan dengan anak yang bergizi baik. Dalam penelitian ini

proporsi anak yang bergizi kurang lebih banyak pada kasus (41,03%) dari pada

pembanding (25,64%).

3. Berat Badan Lahir Berat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari 2500 gram.

Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan

kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan

bagian bawah. Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang

Universitas Sumatera Utara

Page 6: infeksi saluran napas

xxviii

cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat

menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia

defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir

dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur (Sulistyowati (1999).

Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi

pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Menurut Thomson (1959) yang diikutip

Pudjiadi (2000) membuktikan bahwa berat badan lahir bayi naik dan insiden BBLR

menurun bila kandungan energi diet ibu bertambah.

Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko morbiditas maupun mortalitas

bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur

lebih besar (Pudjiadi, 2000).

Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari

pada bayi dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama tahun pertama

kehidupannya. ISPA adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi

yang baru lahir dengan berat rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang beratnya

diatas 2500 gram (Tuminah, S., 1999).

4. Status ASI dan Makanan Tambahan

ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi tanpa tambahan cairan

lain (seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih), dan tanpa makanan

tambahan (seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim).

Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: infeksi saluran napas

xxix

Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan pendamping secara

bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari

buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat.

Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan

sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang tidak memungkinkan untuk

menyusukan, jika memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun (Roesli, 2001).

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun terakhir ini

menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi

bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan

menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan

(imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat

penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang

berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran

pernapasan berat. Angka kematian kasus secara berarti lebih tinggi pada anak yang

telah disapih daripada anak yang masih diberi ASI (Tuminah, S., 1999).

Menurut Roesli (2001) yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie

(1990) bahwa kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 – 6 kali lebih banyak

pada bayi yang diberi susu formula daripada bayi yang mendapat ASI.

Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA

5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak

menderita ISPA.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: infeksi saluran napas

xxx

Bila ASI cukup bayi tidak perlu diberikan makanan tambahan dengan

makanan lain sampai usia 4 bulan atau bahkan 6 bulan. Namun bila ternyata bayi

menangis karena lapar, dapat diberikan makan tambahan sejak kira-kira umur 2

bulan. Sejak 2 bulan dapat diberikan buah-buahan (pisang) atau biskuit, sedangkan

pemberian makanan lumat sampai lembek (bubur susu) pada usia 3-4 bulan sesuai

keperluan bayi masing-masing. Bayi akan lapar dan menangis terus bila ASI kurang

memuaskan. Untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu ditimbang secara berkala.

Pada bulan ke empat biasanya mulai pemberian makanan padat bayi yang pertama,

yaitu makanan lumat misalnya; bubur susu yang dapat dibuat dari tepung, susu dan

gula (Roesli, 2001).

5. Status Imunisasi Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap

anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1

tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B. (Roesli, 2001).

Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai

penyakit. Anak yang belum pernah diimunisasi campak lebih berisiko terhadap

terjadinya kematian karena pneumonia, terutama pada balita yang sedang menderita

pneumonia (Djaja, S., 1999)

Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat

meningkatkan insidens ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat

menentukan dalam tingginya angka insidens ISPA (Depkes RI., 1996).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: infeksi saluran napas

xxxi

Menurut The World Health Report 2005, angka kematian balita di Indonesia

sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup, penyebab utama kematian pada anak balita

adalah penyakit infeksi saluran napasan akut, diare, penyakit yang ditularkan

binatang dan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi .

UNICEF menyebutkan bahwa 27 juta anak balita dan 40 juta ibu hamil di

seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibat penyakit

yang dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta

kematian tiap tahun, termasuk 1,4 juta anak balita yang meninggal karena tidak

divaksin. Di Indonesia 2.400 anak meninggal setiap hari termasuk yang meninggal

karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin. Misalnya

tuberculosis, pertusis, difteri dan tetanus (Francais, 2007).

Penelitian yang dilakukan Dewi dkk (1996), diketahui bahwa ketidakpatuhan

imunisasi (imunisasi tidak lengkap) mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak

balita. Jumlah anak pada penelitian ini yang imunisasi tidak lengkap pada kasus

10,25% dan kontrol 5,13%.

6. Vitamin A Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai

macam infeksi, namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi

tidak begitu jelas (Pudjiadi, 2000).

Vitamin A mulai menarik perhatian para ilmuwan setelah beberapa laporan

penelitian oleh Somar dkk mengenai pentingnya vitamin A. Sejak itu beberapa

Universitas Sumatera Utara

Page 10: infeksi saluran napas

xxxii

penelitian dilakukan untuk mengetahui efek suplementasi vitamin A terhadap

morbiditas, mortalitas dan lamanya ISPA, akan tetapi hasilnya masih saling

bertentangan (Zairil, 2000).

Sampai saat ini satu hal mengenai suplementasi vitamin A yang diterima

secara luas yang juga direkomendasikan oleh WHO adalah untuk memberikan

vitamin A pada penderita campak, didaerah dimana angka kematian akibat penyakit

campak (CFR) lebih dari 1%.

Hasil penelitian prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan tidak adanya

perbedaan bermakna pada insiden dan derajat ISPA diantara anak yang mendapat

vitamin A, juga tidak didapatkan perbedaan ISPA sebelum dan setelah pemberian

vitamin A, hanya didapatkan lama ISPA agak lebih panjang pada anak yang tidak

mendapat vitamin A (Kartasasmita, 2000).

c. Lingkungan (environment) Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan

terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses

terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik,

biologis dan sosial.

Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara

langsung maupun tidak terhadap lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan

sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara, kelembaban,

air, dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA, adalah tergolong air borne

Universitas Sumatera Utara

Page 11: infeksi saluran napas

xxxiii

diasease karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke

dalam tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemiologi

mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan.

Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam

ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian

atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis,

bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993).

Secara garis besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap

dalam ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang /

minyak tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh

ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya.

1. Asap Dalam Ruangan Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas

penghuninya, antara lain ; penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak maupun

memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan minyak

tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan insektisida semprot maupun

bakar. Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan bahan bangunan

sintetis berupa cat dan asbes (Anwar, A., 1992).

Penggunaan bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang

dan minyak tanah muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya infeksi saluran

pernapasan. Saat ini sebagian masyarakat pedesaan masih menggunakan bahan bakar

Universitas Sumatera Utara

Page 12: infeksi saluran napas

xxxiv

biomasa untuk memasak (Charles dkk, 1996). Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu

yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap sambil memasak akan

mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan ibu

yang tidak membawa bayi/anak balitanya didapur (Sukar dkk., 1997).

Rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun

sumber penerangan memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali lebih besar

dibandingkan dengan bahan bakar gas (Soesanto, dkk, 2000). Keadaan dapur yang

penuh dan lembab juga merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pernapasan.

(Charles, dkk.,1996)

Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan bakar kimia. Satu batang

rokok dibakar akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, karbon

monoksida, nitrogen oksida, hiydrogen cyanida, amoniak, acrolein, artcresor, peryline

dan lain-lain. Secara umum bahan ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu

komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat atau

partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Bila rokok dibakar maka asapnya akan

berterbangan disekitar perokok. Asap yang berterbangan itu mengandung bahan yang

berbahaya dan bila dihisap oleh orang yang berada disekitar si perokok, maka orang

itu juga akan menghisap bahan kimia berbahaya didalam dirinya walau ia sendiri

tidak merokok. Anak balita misalnya akan lebih berbahaya dibanding orang dewasa

karena daya tahan tubuhnya masih rendah (Aditama, T.Y., 1996).

Menurut Riyadina (1995), bahwa pada anak-anak paparan asap rokok

(sidestream smoke) dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama mempererat

Universitas Sumatera Utara

Page 13: infeksi saluran napas

xxxv

timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan fungsi paru-paru pada waktu

dewasanya nanti.

Paparan asap rokok memperberat timbulnya ISPA, karena dari 1 batang rokok

yang dinyalakan akan menghasilkan asap sampingan selama sekitar 10 menit,

sementara asap utamanya hanya akan dikeluarkan pada waktu rokok itu dihisap dan

biasanya hanya kurang dari 1 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu

ke udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena kadar bahan

berbahayanya lebih tinggi dari pada asap utamanya, maka perokok pasif tetap

menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok orang sekitarnya (Aditama, T. Y.,

1996). Di negara maju, anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah

didapatkan memiliki suatu peningkatan resiko bronkitis dan pnemonia jika

dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak merokok (Tuminah, 1999).

2. Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah

menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap

terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar

CO2 menjadi racun Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam

kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007).

Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, dengan

kelembaban sekitar 60% optimum. Untuk memperoleh kenyaman udara seperti

Universitas Sumatera Utara

Page 14: infeksi saluran napas

xxxvi

dimaksud diatas diperlukan adanya ventilasi yang baik. Luas lubang ventilasi

insidentil (dapat buka tutup) minimum 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya

adalah 10% dari luas lantai ruangan (Sanropie, D., 1989).

Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat

diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan

masalah ventilasi. Sebuah penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran

pernapasan dengan kondisi ventilasi. Sebab itu kondisi ventilasi dapat dijadikan

indikator rumah sehat (Achmadi, U.F., 1991).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (1996) diketahui bahwa rumah

yang berventilasi buruk lebih banyak anggota keluarganya yang menderita ISPA

dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan.

3. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.

Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal

jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur,

ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.

Hasil dari beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara

kesehatan lingkungan dalam rumah dengan kejadian kesakitan. Studi terhadap

kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan

kepadatan penghuni per meter persegi, sehingga adanya efek sinergi yang diciptakan

dimana sumber pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan, bersamaan

Universitas Sumatera Utara

Page 15: infeksi saluran napas

xxxvii

dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan penghuni pada

setiap keluarga. Dengan demikian kuman yang umumnya sebagai penyebab penyakit

menular saluran pernapasan terdapat makin banyak, bila jumlah penghuni semakin

banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah penghuni yang padat

serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit

melalui droplet kontak langsung (Poerno, K., 1983).

Demikian halnya dengan Achmadi (1991) yang melaporkan bahwa anak yang

tinggal dirumah yang padat (<10 m2 / orang) akan mendapat resiko ISPA sebesar 1,75

kali dibandingkan anak yang tinggal dirumah yang tidak padat.

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,

artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya.

Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan

perjubelan (overcrowded). Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat

menyediakan 2,5 – 3 m2 untuk setiap anggota keluarga (Notoatmodjo, 2007).

Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Tehnik

Universita Indonesia (FT UI) menggunakan luas rumah per penghuni, yang

dibedakan dalam 5 kategori yaitu ≤ 3,9 m2 / orang, 4-5 m 2 / orang, 5-6,9 m2/ orang,

7-8 m2/ orang, dan ≥ 9 m2/ orang (FT UI., 1983).

4. Status Ekonomi dan Kependidikan Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan faktor

yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan, serta upaya pencegahan penyakit. Pada

Universitas Sumatera Utara

Page 16: infeksi saluran napas

xxxviii

kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya status

ekonominya rendah pula. Mereka sulit untuk menyerap informasi mengenai

kesehatan dalam hal penularan dan cara pencegahannya. Pendidikan yang rendah

menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk memilih makanan yang bergizi dan

pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Soewasti, dkk., 1997).

Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang

meningkatkan kematian ISPA terutama pnemonia. Kekurangpahaman orang tua

terhadap pnemonia juga menyebabkan keterlambatan mereka mambawa anak mereka

yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka beranggapan bahwa bayi/anak balita

mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang sebenarnya merupakan tanda awal

pnemonia. Orang tua hanya memberikan obat batuk tradisional yang tidak

memecahkan masalah (Tuminah, S., 1999).

Dari hasil penelitian yang dilakukan Djaya (1999), ibu dengan pendidikan

lebih tinggi akan lebih banyak membawakan anak berobat ke fasilitas kesehatan,

sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri maupun

berobat ke dukun ketika anaknya sakit.

2.3 Arah dan Kebijakan P2 ISPA Pelaksanaan pemberantasan penyakit ISPA ditujukan pada kelompok usia

balita, yaitu bayi ( 0 - <1 tahun ) dan anak balita ( 1- <5 tahun ) dengan fokus

penanggulangan pada penyakit pnemonia (Depkes RI,2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 17: infeksi saluran napas

xxxix

2.3.1. Kebijakan

Untuk mencapai tujuan program pemberatasan penyakit ISPA balita maka

dirumuskan kebijakan sebagai berikut :

a. Melaksanakan promosi penanggulangan pnemonia balita sehingga masyarakat,

mitra kerja terkait dan pengambil keputusan mendukung pelaksanaan

penanggulangan pnemonia balita.

b. Melaksanakan penemuan penderita melalui saran kesehatan dasar (pelayanan

kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Sarana Rawat Jalan

Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan Posyandu dan Kader Posyandu.

c. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi dini,

pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi dan rujukan ke sarana

kesehatan yang lebih memadai.

d. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pnemonia balita serta faktor

resikonya termasuk faktor resiko lingkungan dan kependudukan.

2.3.2. Strategi Rumusan umum strategi pemberantasan penyakit ISPA adalah sebagai

berikut:

a. Promosi penanggulangan pnemonia balita melalui advokasi, bina suasana dan

gerakan masyarakat.

b. Penurunan angka kesakitan dilakukan dengan upaya pencegahan atau

penanggulangan faktor resiko melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor,

seperti melalui kerjasama dengan program imunisasi, program bina kesehatan

Universitas Sumatera Utara

Page 18: infeksi saluran napas

xl

balita, program bina gizi masarakat dan program penyehatan lingkungan

pemukiman.

c. Peningkatan penemuan melalui upaya peningkatan prilaku masyarakat dalam

pencaharian pengobatan yang tepat.

d. Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan Manejemen Terpadu Balita

sakit (MTBS) dan audit kasus untuk peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA.

e. Peningkatan sistem surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans rutin, autopsi

verbal dan pengembangan informasi kesehatan serta audit manejemen program.

2.4 Kegiatan Pokok P2 ISPA Dalam mencapai sasaran dan tujuan pemberantasan penyakit ISPA, maka

Strategi Pemberantasan Penyakit ISPA dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu

promosi penanggulangan pnemonia balita, kemitraan, peningkatan penemuan kasus,

peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA, peningkatan kualitas sumber daya,

surveilans ISPA, pemantauan dan evaluasi dan pengembangan program ISPA.

Dalam pelaksanaannya kegiatan P2ISPA mengacu kepada pendekatan

Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular Berbasis Wilayah atau dengan kata lain

diarahkan menanggulangi secara komprehensif faktor-faktor yang berhubungan

dengan ksakitan dan kematian balita termasuk faktor resiko lingkungan, faktor resiko

kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan secara terpadu dengan mitra

kerja terkait yang didukung oleh surveilans yang baik serta tercemin dalam

perencanaan dan penganggaran kesehatan secara terpadu (P2KT).

Universitas Sumatera Utara

Page 19: infeksi saluran napas

xli

Secara rinci kegiatan pokok ISPA dijabarkan sebgai berikut:

2.4.1. Promosi Penanggulangan Pnemonia Balita

Promisi pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan

advokasi, bina suasana dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari

kegiatan promosi balita secara umum adalah meningkatnya pengetahuan, sikap dan

tindakan masyarakat dalam upaya dalam penanggulangan pnemonia balita. Sasaran

promosi dalam P2 ISPA mencakup sasaran primer (ibu balita dan keluarganya),

sasaran sekunder (petugas kesehatan dan petugas lintas program serta lintas sektor),

dan sasaran tersier (pengambil keputusan). Pesan pokok, metode dan media yang

digunakan sesuai dengan sasaran.

2.4.2. Kemitraan Merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program.

Pembangunan kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan untuk meningkatkan

peran serta masyarakat, peran serta lintas program dan lintas sektor terkait serta peran

pengambil keputusan termasuk penyandang dana. Dengan demikian pembangunan

kemitraan diharapkan pendekatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit

ISPA khususnya pnemonia dapat terlaksana secara terpadu dan kompherensif.

Dengan kata lain intervensi pemberantasan penyakit ISPA tidak hanya tertuju

pada penderita saja, tetapi juga terhadap faktor resiko (lingkungan dan

kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor

lain yang berkompeten.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: infeksi saluran napas

xlii

2.4.3. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus

Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya

penurunan kematian pnemonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya

penemuan dan tatalaksana penderita ini.

Dalam kebijakan dan strategi Program P2 ISPA maka penemuan dan

tatalaksana penderita ini dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga,

kader dan posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan swasta (praktek dokter,

poliklinik swasta, RS swasta). Dengan demikian yang melaksanakan kegiatan secara

langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana kesehatan tersebut dan kader

posyandu di masyarakat. Adapun prosedur penemuan dan tatalaksana penderita ISPA

di masing-masing sarana/tingkatan mengacu pada tatalaksana standar yang

ditetapkan.

Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) disarana kesehatan dasar. Disamping itu

perlu dilakukan audit kasus dalam upaya peningkatan kualitas tatalaksana kasus yang

dilaksanakan dengan koordinasi tingkat kabupaten/kota.

2.4.4. Peningkatan Kualitas Sumber Daya a. Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA meliputi kader,

petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA di sarana pelayanan kesehatan

(Polindes, Pustu, Puskesmas, RS, Poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas,

Universitas Sumatera Utara

Page 21: infeksi saluran napas

xliii

kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA

dilakukan di berbagai jenjang melalui kegiatan pelatihan, setiap pelatihan yang

dilakukan perlu ditindaklanjuti dengan supervisi dan monitoring serta pembinaan di

lapangan. Selanjutnya pelaksanaan pelatihan secara terpadu dengan program lain

perlu dikembangkan, terutama pelatihan menyangkut aspek manajemen atau

pengelola program P2 ISPA dilakukan pula melalui kegiatan magang, asistensi

tatalaksana oleh dokter ahli, studi banding, seminar dan workshop sesuai dengan

kebutuhan.

b. Logistik Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan program

P2 ISPA. Aspek logistik Pemberantasan Penyakit ISPA mencakup peralatan, bahan

dan sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini

logistik kegiatan distandarisasi, dari logistik untuk kegiatan penemuan dan

tatalaksana penderita dan logistik untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran

informasi. Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita mencakup obat dan

alat bantu hitung pernapasan (soundtimer). Untuk kegiatan komunikasi dan

penyebaran informasi, logistik yang telah disediakan program meliputi media cetak

dan elektronik.

2.4.5. Surveilans ISPA Untuk melaksanakan kegiatan pencegahan, pemberantasan dan

penanggulangan penyakit termasuk ISPA secara efektif dan efisien, diperlukan data

Universitas Sumatera Utara

Page 22: infeksi saluran napas

xliv

dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat. Upaya dalam

mendapatkan data atau informasi tersebut diatas dilakukan melalui kegiatan

surveilans epidemiologi ISPA yang aktif dengan diferivikasi oleh survey atau

penelitian yang sesuai.

Surveilans epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan

informasi yang dapat digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan

pelaksanaan kegiatan program pemberantasan ISPA secara efektif dan efisien serta

mampu mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang bakal muncul. Data dan

informasi dimaksud meliputi data dan informasi kesakitan dan kematian pnemonia,

sumber penularan, faktor resiko yang berhubungan dengan pnemonia (faktor resiko

lingkungan dan kependudukan) dan data yang berhubungan dengan kinerja program.

Untuk itu mulai tahun 2002 dikembangkan kegiatan autopsi verbal kematian balita

akibat pnemonia dan audit kasus pnemonia.

Dalam pelaksanaanya di lapangan, kegiatan surveilans dapat disesuaikan

dengan situasi dan kebutuhan setempat, baik mekanisme kerja maupun bentuk

instrumennya. Namun demikian secara umum pelaksanaan surveilans Program P2

ISPA mengikuti langkah-langkah surveilans epidemiologi pada umumnya,

sebagaimana diuraikan berikut:

a. Tujuan Surveilans ISPA Menyediakan informasi tentang situasi dan besarnya masalah penyakit ISPA

khususnya kejadian pnemonia balita dan kematian balita akibat pnemonia di

Universitas Sumatera Utara

Page 23: infeksi saluran napas

xlv

masyarakat beserta faktor resikonya dan informasi lain yang diperlukan bagi upaya

pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA secara efektif sehingga angka

kesakitan dan kematian balita akibat pnemonia dapat diturunkan sesuai tujuan

pemberantasan penyakit ISPA.

b. Kegiatan 1. Pengumpulan data

Data penyakit ISPA termasuk pnemonia balita dikumpulkan di sarana kesehatan

tingkat pertama (rawat jalan rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Posyandu, serta

pelayanan kesehatan swasta) dengan menggunakan formulir, kartu atau buku

khusus. Selanjutnya kasus pnemonia dari sarana tersebut dilaporkan ke

puskesmas yang menangani wilayah kerja dari sarana kesehatan yang

bersangkutan, secara aktif (melaporkan sendiri) maupun pasif (puskesmas

menjemput laporan dari sarana kesehatan di wilayah kerjanya) dengan

menggunakan instrumen standar yang dibuat oleh puskesmas. Puskesmas

selanjutnya meneruskan laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Untuk

laporan kasus pnemonia dari rumah sakit, laporan langsung ke Dinas Kesehatan

(Subdin P2M).

2. Pengolahan dan Analisa Data Data yang telah terkumpul, baik dari institusi sendiri maupun dari luar

selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisa. Pengolahan dan analisa data

dilaksanakan baik oleh puskesmas, Kabupaten/kota maupun Propinsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: infeksi saluran napas

xlvi

3. Penyajian Data Umpan Balik

Sebagai bahan atau dasar bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan atau perbaikan

pelaksanaan kegiatan, hasil kerja survailans ISPA perlu disajikan dan

disebarluaskan atau diumpanbalikan kepada pihak-pihak yang memerlukannya

secara teratur, baik kalangan internal maupun eksternal.

4. Peningkatan Jaringan Informasi

Jaringan informasi antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan pusat sangat diperlukan

untuk membangun sistem informasi kesehatan yang handal sehingga mampu

meningkatkan koordinasi dan keterpaduan pelaksanaannya pemberantasan

penyakit ISPA antar berbagai jenjang dari mulai perencanaan sampai dengan

evaluasi program.

2.4.6. Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan

(monitoring) dan penilaian (evaluasi).

a. Pemantauan

Pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk

memantau secara teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat

diketahui apakah kegiatan program dilaksanakan sesuai dengan yang telah

direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program.

Pelaksanaan pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA dapat memanfaatkan

kegiatan supervisi dan bimbingan tehnis, Pencatatan Pelaporan

Universitas Sumatera Utara

Page 25: infeksi saluran napas

xlvii

Pemberantasan Penyakit ISPA, dan Pemantauan program P2M&PL di

Kabupaten/kota.

b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah

memenuhi target yang diharapkan, mengidentifikasi masalah dan hambatan

yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan selanjutnya

termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi dilaksanakan di

berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi

maupun Kabupaten/Kota.

2.4.7. Peningkatan Manajemen Program

Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian terus

ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan,dan administrsi. Aspek

manajemen tersebut diatas merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang

mengelola Pemberantasan Penyakit ISPA baik di tingkat pusat, provinsi maupun

Kabupaten/Kota. Kegiatan ini juga dilaksanakan di berbagai tingkat administrasi

kesehatan.

Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan dilakukan melalui

penerapan perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT) dalam

perencanaan kegiatan program P2 ISPA. Penerapan P2KT dalam pelaksanaan

program P2ISPA akan efektif bila didukung kinerja surveilans yang mampu

memberikan informasi yang lengkap dan akurat sehingga menghasilkan perencanaan

program P2 ISPA berdasarkan fakta (evidence based palanning).

Universitas Sumatera Utara

Page 26: infeksi saluran napas

xlviii

Dalam meningkatkan manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi

sumber biaya masyarakat, swasta, organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga

donor, mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk program

cukup terbatas. Pembiayaan dipusat terutama bersumber pada APBN dengan sumber

dana tambahan dari sumber dana lain seperti dana kerjasama Pemerintah RI dengan

organisasi internasional, dana bantuan pinjaman luar negeri.

Di provinsi pembiayaan terutama bersumber dari APBN dan Dana Alokasi

Umum (DAU) provinsi disamping sumber dana lain. Begitu pula di tingkat

Kabupaten/Kota sebagian besar masih bertumpu pada APBN disamping DAU

Kabupaten/Kota, sedangkan potensi sumber dana dari masyarakat atau swasta belum

teralokasi dengan baik. Untuk itu dalam mewujudkan pembiayaan program P2ISPA

yang memadai di berbagai jenjang administrasi kesehatan, perlu diupayakan secara

terus-menerus penggalian potensi sumber biaya non pemerintah.

2.4.8. Pengembangan Program

Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA khususnya

pnemonia, perlu dilakukan pengembangan program sesuai dengan tuntutan

perkembangan di masyarakat. Pengembangan program P2 ISPA dilakukan

diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba konsep-konsep intervensi baru

seperti pendekatan tatalaksana penderita ISPA, pencegahan dan penanggulangan

faktor resiko baik dilingkungan maupun kependudukan, peningkatan kemitraan,

Universitas Sumatera Utara

Page 27: infeksi saluran napas

xlix

peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya

seperti pertemuan kajian program, seminar, workshop dan sebagainya.

2.5 Landasan Teori

Menurut John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh

adanya pengaruh faktor pejamu (host) dan lingkungan (Environment) yang

digambarkan dengan model tuas (gambar 2.1.). Agent suatu penyakit meliputi agent

biologis dan non-biologis, misalnya agent fisik, kimia. Faktor host adalah faktor-

faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap faktor agent.

Sedangkan faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinsik yang dapat

mempengaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.

Host Agent

Environment Gambar 2.1. Neraca keseimbangan model terjadinya gangguan kesehatan atau

penyakit termasuk didalamnya “kejadian ISPA”.

Berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia dan

berbagai publikasi ilmiah dilaporkan berbagai faktor resiko yang meningkatkan

kejadian (morbiditas) ISPA yang akan dijelaskan berikut, yaitu:

a. Host (pejamu)

Manusia yang keberadaannya dipengaruhi oleh ; umur, jenis kelamin, status

ASI, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A dan

pemberian makanan tambahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: infeksi saluran napas

l

b. Agent (Infectious agent)

Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus, dan parasit

(infection agent)

c. Environment (lingkungan)

Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host yang

terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan

sebagai faktor lingkungan meliputi ; Bakteri, virus dan parasit (infectious agent),

polusi udara (asap rokok dan dapur) dan kepadatan tempat tinggal.

Konsep di atas adalah suatu konsep yang dinamis, setiap perubahan dari

ketiga lingkungan tersebut akan menyebabkan bertambah atau berkurangnya kejadian

suatu penyakit. Untuk itu guna menurunkan kesakitan/kejadian ISPA. Maka

dirumuskan suatu upaya pemberantasan penyakit dengan pendekatan terhadap faktor

resiko yang berhubungan melalui kerjasama dengan program imunisasi, program bina

kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan program penyehatan lingkungan

pemukiman (Depkes RI., 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 29: infeksi saluran napas

li

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Determinan

Gambar.2.2. Kerangka konsep penelitian

Kerangka konsep penelitian pada gambar 2.2 terlihat bahwa ISPA pada anak

balita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam yaitu status gizi,

status ASI dan berat badan lahir sedangkan faktor dari luar yaitu asap rokok, asap

dapur, kepadatan hunian, status imunisasi, vitamin A dan makanan tambahan dini.

Faktor internal : - Status Gizi - Status ASI - BBL

Faktor External: - Asap Rokok - Asap Dapur - Kepadatan hunian - Status imunisasi - Vitamin A - Pemberian makanan

tambahan

Kasus Ispa

Bukan Ispa

Universitas Sumatera Utara