piper nina

18

Click here to load reader

Upload: fendy-prabowo

Post on 03-Jul-2015

105 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Piper Nina

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pembentukan tanah dibagi menjadi 2 macam yaitu (1) perubahan massa padat (batuan)

menjadi material yang tidak padat atau halus (2) perubahan material yang halus menjadi tanah

seiiring dengan berjalannya waktu (disebut dengan perkembangan tanah/soil development).

Pembentukan tanah (soil formation) merupakan pembentukan material yang tidak padat

dengan adanya proses pelapukan dan pembentukan profil tanah (termasuk perkembangan

horison). Profil tanah adalah penampang tegak lurus/vertikal tanah yang menunjukkan lapisan-

lapisan tanah atau horison. Horizon adalah lapisan tanah yang kurang lebih sejajar dengan

permukaan bumi dan berbeda dengan lapisan yang berdekatan

Proses pembentukan tanah : penambahan (additions), kehilangan (losses), perubahan

bentuk (transformation), pemindahan lokasi (translocation). Additions : penambahan air (hujan,

irigasi), nitrogen dari bakteri pengikat N, energi dari sinar matahari, dsb. Losses : dihasilkan dari

kemikalia yang larut dalam air, adanya erosi, pemanenan atau penggembalaan, denitrifikasi, dll.

Transformation : terjadi karena banyak reaksi kimia dan biologi pada proses dekomposisi bahan

organik, pembentukan material tidak larut dari material yang larut. Translocation : terjadi karena

adanya gerakan air maupun organisme didalam tanah misalnya clay beregrak ke lapisan yang

lebih dalam atau gerakan garam terlarut ke permukaan krn evaporasi.

Pelapukan batuan secara kimia (dekomposisi) lebih dominan dibanding pelapukan

secara fisik di daerah beriklim basah. Untuk daerah cold arid maka pelapukan fisik lebih

dominan. Pelapukan fisik (disintegrasi) :

1. Pembekuan dan pencairan : air yang membek mampu memecah batuan atau mineral.

Air yang membeku mempunyai kekuatan tekanan 146 kg/cm2

2. Friksi antar batuan yang bergerak yang disebabkan oleh air, angin, es, gravitasim dsb

3. Organisme : perkembangan perakaran mampu memecahkan batuan. Manusia

mempercepat pelapukan dengan pengolahan tanah, pembajakan, penambangan, dll.

Pelapukan kimia menyebabkan mineral terlarut dan mengubah sturkturnya sehingga

mudah terfragmentasi. Perubahan daya larut (solubility) disebabkan oleh solution (oleh air),

Page 2: Piper Nina

hidrolisis, karbonasi, dan oksidasi-reduksi. Perubahan struktur disebabkan oleh hidrasi dan

oksidasi-reduksi.

Solution : terlarutnya bahan padat ke cairan menjadi ion yang dapat larut yang dikellilingi

oleh molekul cairan (air). Contoh :

NaCl + H2O menjadi Na+, Cl-, H2O

(Garam mudah larut) air (ion terlarut,dikelilingi air)

Hidrolisis : reaksi suatu substansi dengan air yang membentuk hidroksida dan substansi

baru lain yang lebih mudah terlarut dari substansi asalnya. Hidrolisis merupakan salah satu reaksi

pelapukan yang terpenting yang menyebabkan perubahan profil tanah. Contoh :

KAlSi3O8 + HOH menjadi HAlSi3O8 + KOH

(ortoclase, sangat (clay silikat) (sgt mudah terlarut)

lambat keterlarutannya)

Karbonasi : reaksi senyawa dengan asam karbonat (asam karbonat merupakan asam

lemah yang diproduksi dari gas CO2 yang terlarut dalam air). Contoh :

CO2 + H2O H2CO3 menjadi H+ + HCO3-

CaCO3 + H+ + HCO3- menjadi Ca (HCO3)2

(kalsit,sedikit larut) mudah larut

Hidrolisis dan karbonasi merupakan proses pelapukan kimia yang paling efektif dan juga

dalam pembentukan tanah.

Reduksi : proses kimia dimana muatan negatif naik, sedang muatan positif turun. Misal

CaSO4 (keras) dilarutkan dalam air menjadi CaSO4.2H2O (lebih lunak).

Oksidasi : kehilangan elektron atau penggabungan senyawa dengan oksigen. Mineral

yang teroksidasi meningkat volumenya karena penambahan oksigen dan umumnya lebih lunak.

Perubahan bilangan oksidasi juga menyebabkan ketidakseimbangan muatan listrik sehingga

lebih mudah “terserang” air dan asam karbonat. Oksidasi dan reduksi merupakan proses yang

selalu bersama. Contoh :

4FeO + O2 menjadi 2Fe2O3

[ferro oksida, Fe(II)] [ferri oksida,Fe (III)]

Besi dalam mineral primer dapat bereaksi dengan oksigen yang menyebabkan

bertambahnya ukuran mineral sehingga mineral tsb dapat pecah. Pertambahan ukuran didukung

Page 3: Piper Nina

oleh proses hidrasi, dimana molekul besi oksida dikelilingi oleh oksigen. Total volume mineral

menjadi sangat tinggi akan tetapi ikatannya lemah shg mudah terlapukkan.

Hidrasi : kombinasi kemikalia padat, seperti mineral atau garam, dengan air. Hidrasi

menyebabkan perubahan struktur mineral, meningkatkan volumenya, kemudian menyebabkan

mineral lebih lunak dan mudah terdekomposisi.

Contoh :

2Fe2O3 + 3H2O 2Fe2O3.3H2O

hematit limonit

Faktor pembentuk tanah (Soil Forming Factors)

Faktor pembentuk tanah : Bahan induk, iklim, organisme, topografi, waktu

Bahan induk berpengaruh terhadap pembentukan tanah melalui : perbedaan laju

pelapukan, nutrisi yang terkandung dalam bahan induk tsb, dan partikel yang

terkandung (misal sandstone = pasir; shales = clay). Hasil pelindihan, translokasi dan

transformasi oleh air maupun organisme menunjukkan bahwa tanah mengalami

perkembangan. Pembentukan clay didukung oleh persentase yang tinggi dari mineral

gelap mudah terdekomposisi dan sedikit kuarsa.

Iklim merupakan faktor dominan yang semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya waktu. Faktor iklim yanag utama adalah presipitasi dan temperatur.

Organisme : perbedaan vegetasi, makro dan mikro organisme yang ada diatas tanah

maupun dalam tanah, manusia dalam managemen lahannya.

Topografi (relief) berpengaruh terhadap pembentukan tanah melalui pengaruhnya

terhadap air dan temperatur.

Time : waktu yang diperlukan tanah untuk berkembang kemudian pembentukan

lapisan-lapisan/horizon (genetik horizon). Horison berkembang sangat cepat pada

daerah yang hangat, humid, berhutan karena cukup air. Pada kondisi yang ideal, profil

tanah dapat terbentuk selama 200 tahun, sedang pada kondisi yang kurang

mendukung dapat terbentuk ribuan tahun. Berbagai kondisi yang menghambat

perkembangan profil tanah :

1. curah hujan rendah (pelapukan rendah, material terlarut yang tercuci sedikit)

Page 4: Piper Nina

2. kelembaban relatif rendah (pertumbuhan mikroorganisme seperti alga, fungi, lichenes

rendah)

3. bahan induk mengandung sodium karbonat atau lime yang tinggi (material tanah

rendah mobilitasnya)

4. bahan induk mengandung kuarsa yang tinggi dengan kandungan debu dan clay

rendah (pelapukan lambat, gerakan koloid rendah)

5. kandungan clay tinggi (aerasi jelek, pergerakan air lambat)

6. bahan induk resisten misal quartzite (pelapukan lambat)

7. kelerengan tinggi (erosi menyebabkan hilangnya lapisan top soil; pengambilan air

tanah rendah)

8. tingginya air tanah (pencucian rendah, laju pelapukan rendah)

9. suhu dingin (semua proses pelapukan dan aktivitas mikrobia lambat)

10. akumulasi material secara konstan (material baru menyebabkan perkembangan

tanah menjadi baru)

11. erosi air dan angin yang berat (tereksposnya material baru)

12. Pencampuran oleh binatang dan manusia (pengolahan tanah, penggalian) akan

meminimalisir pergerakan koloid ke bagian tanah lebih dalam

13. Adanya subtansi racun bagi tanaman, misal garam yang berlebihan,heavy metal,

herbisida yang berlebihan

I.2. Tujuan Penulisan

Adapun Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sifat – sifat tanah

ordo Ultisol dalam klasifikasi tanah.

\

Page 5: Piper Nina

II. PEMBAHASAN

2.1. Definisi Tanah

1. Pendekatan Geologi (Akhir Abad XIX)

Tanah: adalah lapisan permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang telah mengalami

serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit (lapisan partikel

halus).

2. Pendekatan Pedologi (Dokuchaev 1870)

Pendekatan Ilmu Tanah sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Murni. Kata Pedo =i gumpal

tanah.Tanah: adalah bahan padat (mineral atau organik) yang terletak dipermukaan bumi, yang

telah dan sedang serta terus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor: Bahan

Induk, Iklim, Organisme, Topografi, dan Waktu.

3. Pendekatan Edaphologis (Jones dari Cornel University Inggris)

Kata Edaphos = bahan tanah subur. Tanah adalah media tumbuh tanaman

4. Definisi Tanah (Berdasarkan Pengertian yang Menyeluruh)

Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat

tumbuh & berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan menyuplai

kebutuhan air dan udara; secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau

nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: N, P, K, Ca,

Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, Cl); dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme)

yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh,

proteksi) bagi tanaman, yang ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas tanah

untuk menghasilkan biomass dan produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri

perkebunan, maupun kehutanan.

Page 6: Piper Nina

2.2. Perbedaan Pedologis dan Edaphologis

1. Kajian Pedologis:

Mengkaji tanah berdasarkan dinamika dan evolusi tanah secara alamiah atau berdasarkan

Pengetahuan Alam Murni.Kajian ini meliputi: Fisika Tanah, Kimia Tanah, Biologi tanah,

Morfologi Tanah, Klasifikasi Tanah, Survei dan Pemetaan Tanah, Analisis Bentang Lahan, dan

Ilmu Ukur Tanah.

2. Kajian Edaphologis:

Mengkaji tanah berdasarkan peranannya sebagai media tumbuh tanaman. Kajian ini

meliputi: Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah dan Air, Agrohidrologi, Pupuk dan Pemupukan,

Ekologi Tanah, dan Bioteknologi Tanah.

2.3. Paduan antara Pedologis dan Edaphologis:

Meliputi kajian: Pengelolaan Tanah dan Air, Evaluasi Kesesuaian Lahan, Tata Guna

Lahan, Pengelolaan Tanah Rawa, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.

2.4. Klasifikasi tanah

Klasifikasi tanah memiliki berbagai versi. Terdapat kesulitan teknis dalam melakukan

klasifikasi untuk tanah karena banyak hal yang memengaruhi pembentukan tanah. Selain itu,

tanah adalah benda yang dinamis sehingga selalu mengalami proses perubahan. Tanah terbentuk

dari batuan yang aus/lapuk akibat terpapar oleh dinamika di lapisan bawah atmosfer, seperti

dinamika iklim,topografi/geografi, dan aktivitas organisme biologi. Intensitas dan selang waktu

dari berbagai faktor ini juga berakibat pada variasi tampilan tanah.

Dalam melakukan klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya berdasarkan

ciri fisika dan kimia, serta dengan melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah.

Selanjutnya, setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar yang

membentuk tanah serta proses pelapukan batuan yang kemudian memberikan ciri-ciri khas

tertentu pada tanah yang terbentuk.

Berdasarkan kriteria itu, ditemukan banyak sekali jenis tanah di dunia. Untuk

memudahkannya, seringkali para ahli melakukan klasifikasi secara lokal. Untuk Indonesia

Page 7: Piper Nina

misalnya dikenal sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (1957-1961)[1] yang masih dirujuk

hingga saat ini di Indonesia untuk kepentingan pertanian, khususnya dalam versi yang

dimodifikasi oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi (Puslittanak) pada tahun 1978 dan

1982.

Pada tahun 1975 dirilis sistem klasifikasi USDA (Departemen Pertanian AS). Sistem ini

dibuat karena sistem-sistem klasifikasi lama saling tumpang tindih dalam penamaan akibat

perbedaan kriteria. Dalam pemakaiannya, sistem USDA memberikan kriteria yang jelas

dibandingkan sistem klasifikasi lain, sehingga sistem USDA ini biasa disertakan dalam

pengklasifikasian tanah untuk mendampingi penamaan berdasarkan sistem FAO atau PPT (Pusat

Penelitian Tanah). Kelemahan dari sistem ini, khususnya untuk negara berkembang, adalah

kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium yang rinci, sehingga para

praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di lapangan. Walaupun demikian, sistem USDA

sangat membantu karena memakai sistem penamaan yang konsisten.

Untuk komunikasi di antara para ahli tanah dunia, Organisasi Pangan dan

Pertanian (FAO) telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah pula sejak 1974. Pada tahun

1998 kemudian disepakati dipakainya sistem klasifikasi WRB dari World Reference Base for

Soil Resources, suatu proyek bentukan FAO, untuk menggantikan sistem ini. Versi terbaru dari

sistem WRB dirilis pada tahun 2007.

2.5. Sifat-sifat Tanah Order Ultisol

Tanah Ultisol memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat kimia, komponen

kimia tanah yang berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya pada

kesuburan tanah. Nilai pH yang mendekati minimun dapat ditemui sampai pada kedalaman

beberapa cm dari dari batuan yang utuh (belum melapuk). Tanah-tanah ini kurang lapuk atau

pada daerah-daerah yang kaya akan basa-basa dari air tanah pH meningkat pada dan di bagian

lebih bawah solum (Hakim,dkk. 1986).

Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi sesungguhnya

bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan dilakukan pengelolaan yang

memperhatikan kendala (constrain) yang ada pada Ultisol ternyata dapat merupakan lahan

Page 8: Piper Nina

potensial apabila iklimnya mendukung. Tanah Ultisol memiliki tingkat kemasaman sekitar 5,5 

(Munir, 1996).

Untuk meningkatkan produktivitas Ultisol, dapat dilakukan melalui pemberian kapur,

pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanah adaptif, penerapan tekhnik budidaya

tanaman lorong (atau tumpang sari), terasering, drainase dan pengolahan tanah yang seminim

mungkin. Pengapuran yang dimaksudkan untuk mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan

kegiatan jasad renik tanah. Pengapuran pada Ultisol di daerah beriklim humid basah seperti di

Indonesia tidak perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5 sudah dianggap

baik sebab yang terpenting adalah bagaimana meniadakan pengaruh meracun dari aluminium

dan penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman (Hakim,dkk, 1986).

Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia banyak ditemukan di

daerah dengan bahan induk batuan liat. Tanah ini merupakan bagian terluas dari lahan kering di

Indonesia yang belum dipergunakan untuk pertanian. Problem tanah ini adalah reaksi masam,

kadar Al tinggi sehingga menjadi racun tanaman dan menyebabkan fiksasi P, unsure hara rendah,

diperlukan tindakan pengapuran dan pemupukan, keadaan tanah yang sangat masam sangat

menyebabkan tanah kehilangan kapasitas tukar kation dan kemampuan menyimpan hara kation

dalam bentuk dapat tukar, karena perkembangan muatan positif. (Hardjowigeno,1993).

Senyawa-senyawa Al monomerik dan Al –hidroksi merupakan sumber utama

kemasaman dapat tukar dan kemasaman tertitrasi pada Ultisol. Sumber-sumber lain adalah

kation-kation ampoter dapat tukar atau senyawa-senyawa hidroksinya, bahan organik dan

hidrogen dapat tukar (Lopulisa,2004).

Sifat-sifat penting pada tanah Ultisol berkaitan dengan jumlah fosfor dan mineral-mineral

resisten dalam bahan induk, komponen-komponen ini umumya terdapat dalam jumlah yang tidak

seimbang, walupun tidak terdapat beberapa pengecualian. Ultisol yang berkembang pada bahan

induk dengan kandungan fosfor yang lebih tinggi. Translokasi/pengangkutan liat yang ekstensif

berlangsung meninggalkan residu yang cukup untuk membentuk horizon-horison permukaan

bertekstur kasar atau sedang (Lopulisa, 2004).

Page 9: Piper Nina

Selain bahan organic melalui proses dekomposisi dapat menyediakan nutrisi tanaman.

Dekomposisi bahan organic oleh berbagai mikroorganisme tanah berlangsung lamban akan tetapi

terus berlangsung secara beransur-ansur, keadaan demikian  menyebabkan terbebasnya fosfor

dan elemen-elemen lainnya yang esensial bagi pertumbuhan tanaman (Munir, 1996).

Cara konvensional dengan system tebang bebas dan bakar ternyata menyebabkan pH

tanah basa-basa dapat tukar dan fosfor tersedia dalam tanah akan meningkat pada awalnya, tetapi

setelah 1,5 tahun kemudian akan mengalami penurunan, sehingga ditanami dua atau tida tahun

produktivitasnya akan menurun secara tajam (Soepardi, 1979).

Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami proses pelapukan lanjut melalui proses

Luxiviasi dan Podsolisasi. Ditandai oleh kejenuhan basa rendah (kurang dari 35% pada

kedalaman 1,8 m), Kapasitas Tukat Kation kurang dari 24 me per 100 gram liat, bahan organic

rendah sampai sedang, nutrisi rendah dan pH rendah (kurang dari 5,5) (Munir, 1996).

Tingkat pelapukan dan pembentukan Ultisol berjalan lebih cepat, daerah-daerah yang

beriklim humid dengan suhu tinggi dan curah hujan tinggi menyebabkan Ultisol mempunyai

kejenuhan basa-basa rendah. Selain itu Ultisol juga mempunyai kemasaman tanah, kejenuhan

Aldd tinggi, Kapasitas Tukar Kation rendah (kurang dari 24 me per 100 gram tanah), kandungan

nitrogen rendah, kandungan fosfat dan kalium tanah rendah serta sangat peka terhadap

erosi(Soepraptoharjo, 1979).

Pengaruh pemupukan lebih lanjut pada tanah Podsolik merah kuning untuk menambah

jumlah dan tingkat ketersediaan unsure hara makro, karena telah diketahui bahwa Ultisol miskin

akan basa-basa (yang ditandai dengan kejenuhan basa kurang dari 35%) dan KTK rendah

(kurang dari 24 me per 100 gram liat) (Munir, 1996).

KTK dan jumlah kemasaman terukur pada Ultisol sanagt tergantung pada pH larutan

yang digunakan dalam penetapan, misalnya nilai terbesar dari KTK dan kemasaman umumnya

diperoleh bila penetapan dilakukan pH 8,2 sedang pada pH 7,0 dan terendah bila ditetapkan pada

pH tanah. Sumber utama KTK bergantung pH dan kemasaman mencakup hidrolisis senyawa-

senyawa Al hidroksi antar lapisan (Soepardi, 1979).

Page 10: Piper Nina

Tanah yang termasuk ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan liat

di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah

kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah

Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu. Misalnya ;

1. Ultisol.

2. Nitosols; Acrisols; Planosols; - .

3. Red Yellow Podsolic Soils; Latosols; Planosols (Hydrosols); Gray Hidromorphic Soils

(Hydrosols).

4. Red-Yellow Podsolic Soils; Laterite Soils (Latosols); Planosols; - .

III. PENUTUP

Page 11: Piper Nina

III.1. Kesimpulan

Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang ersebar luas di

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya serta sebagian kecil di pulau Jawa, terutama di

Wilayah Jawa Barat.

Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut dan berasal dari bahan

induk yang sangat masam. Tanah ini mengandung bahan organik rendah dan strukturnya tidak

begitu mantap sehingga peka terhadap erosi.

Pembentukan tanah berjalan cepat didaerah yang beriklim humid dengan suhu tinggi dan

curah hujan tinggi. Seperti halnya di Indonesia Ultisol telah mengalami pencucian yang sangat

intensif menyebabkan ultisol memiliki kejenuhan basa yang rendah dan pelapukan mineral yang

rendah. Tanah Ultisol memiliki kepadatan tanah 1,10-1,35 g/cm3, tingkat permeabilitas, infiltrasi

dan perkolasi sedang hingga lambat dan kemasaman tanah tinggi, kejenuhan Al tinggi, KTK

rendah, kandungan N, P,dan K rendah sehingga Ultisol miskin secara fisik dan kimia. Pelapukan

yang telah lanjut pada Ultisol membentuk liat oksida hodrous Fe dan Al dalam jumlah yang

tinggi dan dapat bereaksi dengan P membentuk sederetan P hidrouksid yang sukar larut,

sehingga kurang tersedia bagi tanaman.

Tanah yang termasuk ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan liat

di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah

kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah

Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu.

DAFTAR PUSTAKA

Page 12: Piper Nina

Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. Heddy, S. 1996. Hormon Pertumbuhan, Program Penulisan Proyek Pelita DEPDIKBUD dan Pelaksanaan Pendidikan Diploma (DIII)

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman.

Hendarsin, S.L., 1994, Penuntun Praktis Geoteknik dan Mekanika Tanah, Penerbit Nova, Bandung.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_tanah

http://robeeon.net/search/Dasar+Dasar+Ilmu+Tanah

Nurhayati, H, 1986., Dasar-dasar Ilmu Tanah, UN. Lampung.

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com

Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.