piper nina
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pembentukan tanah dibagi menjadi 2 macam yaitu (1) perubahan massa padat (batuan)
menjadi material yang tidak padat atau halus (2) perubahan material yang halus menjadi tanah
seiiring dengan berjalannya waktu (disebut dengan perkembangan tanah/soil development).
Pembentukan tanah (soil formation) merupakan pembentukan material yang tidak padat
dengan adanya proses pelapukan dan pembentukan profil tanah (termasuk perkembangan
horison). Profil tanah adalah penampang tegak lurus/vertikal tanah yang menunjukkan lapisan-
lapisan tanah atau horison. Horizon adalah lapisan tanah yang kurang lebih sejajar dengan
permukaan bumi dan berbeda dengan lapisan yang berdekatan
Proses pembentukan tanah : penambahan (additions), kehilangan (losses), perubahan
bentuk (transformation), pemindahan lokasi (translocation). Additions : penambahan air (hujan,
irigasi), nitrogen dari bakteri pengikat N, energi dari sinar matahari, dsb. Losses : dihasilkan dari
kemikalia yang larut dalam air, adanya erosi, pemanenan atau penggembalaan, denitrifikasi, dll.
Transformation : terjadi karena banyak reaksi kimia dan biologi pada proses dekomposisi bahan
organik, pembentukan material tidak larut dari material yang larut. Translocation : terjadi karena
adanya gerakan air maupun organisme didalam tanah misalnya clay beregrak ke lapisan yang
lebih dalam atau gerakan garam terlarut ke permukaan krn evaporasi.
Pelapukan batuan secara kimia (dekomposisi) lebih dominan dibanding pelapukan
secara fisik di daerah beriklim basah. Untuk daerah cold arid maka pelapukan fisik lebih
dominan. Pelapukan fisik (disintegrasi) :
1. Pembekuan dan pencairan : air yang membek mampu memecah batuan atau mineral.
Air yang membeku mempunyai kekuatan tekanan 146 kg/cm2
2. Friksi antar batuan yang bergerak yang disebabkan oleh air, angin, es, gravitasim dsb
3. Organisme : perkembangan perakaran mampu memecahkan batuan. Manusia
mempercepat pelapukan dengan pengolahan tanah, pembajakan, penambangan, dll.
Pelapukan kimia menyebabkan mineral terlarut dan mengubah sturkturnya sehingga
mudah terfragmentasi. Perubahan daya larut (solubility) disebabkan oleh solution (oleh air),
hidrolisis, karbonasi, dan oksidasi-reduksi. Perubahan struktur disebabkan oleh hidrasi dan
oksidasi-reduksi.
Solution : terlarutnya bahan padat ke cairan menjadi ion yang dapat larut yang dikellilingi
oleh molekul cairan (air). Contoh :
NaCl + H2O menjadi Na+, Cl-, H2O
(Garam mudah larut) air (ion terlarut,dikelilingi air)
Hidrolisis : reaksi suatu substansi dengan air yang membentuk hidroksida dan substansi
baru lain yang lebih mudah terlarut dari substansi asalnya. Hidrolisis merupakan salah satu reaksi
pelapukan yang terpenting yang menyebabkan perubahan profil tanah. Contoh :
KAlSi3O8 + HOH menjadi HAlSi3O8 + KOH
(ortoclase, sangat (clay silikat) (sgt mudah terlarut)
lambat keterlarutannya)
Karbonasi : reaksi senyawa dengan asam karbonat (asam karbonat merupakan asam
lemah yang diproduksi dari gas CO2 yang terlarut dalam air). Contoh :
CO2 + H2O H2CO3 menjadi H+ + HCO3-
CaCO3 + H+ + HCO3- menjadi Ca (HCO3)2
(kalsit,sedikit larut) mudah larut
Hidrolisis dan karbonasi merupakan proses pelapukan kimia yang paling efektif dan juga
dalam pembentukan tanah.
Reduksi : proses kimia dimana muatan negatif naik, sedang muatan positif turun. Misal
CaSO4 (keras) dilarutkan dalam air menjadi CaSO4.2H2O (lebih lunak).
Oksidasi : kehilangan elektron atau penggabungan senyawa dengan oksigen. Mineral
yang teroksidasi meningkat volumenya karena penambahan oksigen dan umumnya lebih lunak.
Perubahan bilangan oksidasi juga menyebabkan ketidakseimbangan muatan listrik sehingga
lebih mudah “terserang” air dan asam karbonat. Oksidasi dan reduksi merupakan proses yang
selalu bersama. Contoh :
4FeO + O2 menjadi 2Fe2O3
[ferro oksida, Fe(II)] [ferri oksida,Fe (III)]
Besi dalam mineral primer dapat bereaksi dengan oksigen yang menyebabkan
bertambahnya ukuran mineral sehingga mineral tsb dapat pecah. Pertambahan ukuran didukung
oleh proses hidrasi, dimana molekul besi oksida dikelilingi oleh oksigen. Total volume mineral
menjadi sangat tinggi akan tetapi ikatannya lemah shg mudah terlapukkan.
Hidrasi : kombinasi kemikalia padat, seperti mineral atau garam, dengan air. Hidrasi
menyebabkan perubahan struktur mineral, meningkatkan volumenya, kemudian menyebabkan
mineral lebih lunak dan mudah terdekomposisi.
Contoh :
2Fe2O3 + 3H2O 2Fe2O3.3H2O
hematit limonit
Faktor pembentuk tanah (Soil Forming Factors)
Faktor pembentuk tanah : Bahan induk, iklim, organisme, topografi, waktu
Bahan induk berpengaruh terhadap pembentukan tanah melalui : perbedaan laju
pelapukan, nutrisi yang terkandung dalam bahan induk tsb, dan partikel yang
terkandung (misal sandstone = pasir; shales = clay). Hasil pelindihan, translokasi dan
transformasi oleh air maupun organisme menunjukkan bahwa tanah mengalami
perkembangan. Pembentukan clay didukung oleh persentase yang tinggi dari mineral
gelap mudah terdekomposisi dan sedikit kuarsa.
Iklim merupakan faktor dominan yang semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya waktu. Faktor iklim yanag utama adalah presipitasi dan temperatur.
Organisme : perbedaan vegetasi, makro dan mikro organisme yang ada diatas tanah
maupun dalam tanah, manusia dalam managemen lahannya.
Topografi (relief) berpengaruh terhadap pembentukan tanah melalui pengaruhnya
terhadap air dan temperatur.
Time : waktu yang diperlukan tanah untuk berkembang kemudian pembentukan
lapisan-lapisan/horizon (genetik horizon). Horison berkembang sangat cepat pada
daerah yang hangat, humid, berhutan karena cukup air. Pada kondisi yang ideal, profil
tanah dapat terbentuk selama 200 tahun, sedang pada kondisi yang kurang
mendukung dapat terbentuk ribuan tahun. Berbagai kondisi yang menghambat
perkembangan profil tanah :
1. curah hujan rendah (pelapukan rendah, material terlarut yang tercuci sedikit)
2. kelembaban relatif rendah (pertumbuhan mikroorganisme seperti alga, fungi, lichenes
rendah)
3. bahan induk mengandung sodium karbonat atau lime yang tinggi (material tanah
rendah mobilitasnya)
4. bahan induk mengandung kuarsa yang tinggi dengan kandungan debu dan clay
rendah (pelapukan lambat, gerakan koloid rendah)
5. kandungan clay tinggi (aerasi jelek, pergerakan air lambat)
6. bahan induk resisten misal quartzite (pelapukan lambat)
7. kelerengan tinggi (erosi menyebabkan hilangnya lapisan top soil; pengambilan air
tanah rendah)
8. tingginya air tanah (pencucian rendah, laju pelapukan rendah)
9. suhu dingin (semua proses pelapukan dan aktivitas mikrobia lambat)
10. akumulasi material secara konstan (material baru menyebabkan perkembangan
tanah menjadi baru)
11. erosi air dan angin yang berat (tereksposnya material baru)
12. Pencampuran oleh binatang dan manusia (pengolahan tanah, penggalian) akan
meminimalisir pergerakan koloid ke bagian tanah lebih dalam
13. Adanya subtansi racun bagi tanaman, misal garam yang berlebihan,heavy metal,
herbisida yang berlebihan
I.2. Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sifat – sifat tanah
ordo Ultisol dalam klasifikasi tanah.
\
II. PEMBAHASAN
2.1. Definisi Tanah
1. Pendekatan Geologi (Akhir Abad XIX)
Tanah: adalah lapisan permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang telah mengalami
serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit (lapisan partikel
halus).
2. Pendekatan Pedologi (Dokuchaev 1870)
Pendekatan Ilmu Tanah sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Murni. Kata Pedo =i gumpal
tanah.Tanah: adalah bahan padat (mineral atau organik) yang terletak dipermukaan bumi, yang
telah dan sedang serta terus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor: Bahan
Induk, Iklim, Organisme, Topografi, dan Waktu.
3. Pendekatan Edaphologis (Jones dari Cornel University Inggris)
Kata Edaphos = bahan tanah subur. Tanah adalah media tumbuh tanaman
4. Definisi Tanah (Berdasarkan Pengertian yang Menyeluruh)
Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat
tumbuh & berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan menyuplai
kebutuhan air dan udara; secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau
nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: N, P, K, Ca,
Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, Cl); dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme)
yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh,
proteksi) bagi tanaman, yang ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas tanah
untuk menghasilkan biomass dan produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri
perkebunan, maupun kehutanan.
2.2. Perbedaan Pedologis dan Edaphologis
1. Kajian Pedologis:
Mengkaji tanah berdasarkan dinamika dan evolusi tanah secara alamiah atau berdasarkan
Pengetahuan Alam Murni.Kajian ini meliputi: Fisika Tanah, Kimia Tanah, Biologi tanah,
Morfologi Tanah, Klasifikasi Tanah, Survei dan Pemetaan Tanah, Analisis Bentang Lahan, dan
Ilmu Ukur Tanah.
2. Kajian Edaphologis:
Mengkaji tanah berdasarkan peranannya sebagai media tumbuh tanaman. Kajian ini
meliputi: Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah dan Air, Agrohidrologi, Pupuk dan Pemupukan,
Ekologi Tanah, dan Bioteknologi Tanah.
2.3. Paduan antara Pedologis dan Edaphologis:
Meliputi kajian: Pengelolaan Tanah dan Air, Evaluasi Kesesuaian Lahan, Tata Guna
Lahan, Pengelolaan Tanah Rawa, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
2.4. Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah memiliki berbagai versi. Terdapat kesulitan teknis dalam melakukan
klasifikasi untuk tanah karena banyak hal yang memengaruhi pembentukan tanah. Selain itu,
tanah adalah benda yang dinamis sehingga selalu mengalami proses perubahan. Tanah terbentuk
dari batuan yang aus/lapuk akibat terpapar oleh dinamika di lapisan bawah atmosfer, seperti
dinamika iklim,topografi/geografi, dan aktivitas organisme biologi. Intensitas dan selang waktu
dari berbagai faktor ini juga berakibat pada variasi tampilan tanah.
Dalam melakukan klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya berdasarkan
ciri fisika dan kimia, serta dengan melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah.
Selanjutnya, setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar yang
membentuk tanah serta proses pelapukan batuan yang kemudian memberikan ciri-ciri khas
tertentu pada tanah yang terbentuk.
Berdasarkan kriteria itu, ditemukan banyak sekali jenis tanah di dunia. Untuk
memudahkannya, seringkali para ahli melakukan klasifikasi secara lokal. Untuk Indonesia
misalnya dikenal sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (1957-1961)[1] yang masih dirujuk
hingga saat ini di Indonesia untuk kepentingan pertanian, khususnya dalam versi yang
dimodifikasi oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi (Puslittanak) pada tahun 1978 dan
1982.
Pada tahun 1975 dirilis sistem klasifikasi USDA (Departemen Pertanian AS). Sistem ini
dibuat karena sistem-sistem klasifikasi lama saling tumpang tindih dalam penamaan akibat
perbedaan kriteria. Dalam pemakaiannya, sistem USDA memberikan kriteria yang jelas
dibandingkan sistem klasifikasi lain, sehingga sistem USDA ini biasa disertakan dalam
pengklasifikasian tanah untuk mendampingi penamaan berdasarkan sistem FAO atau PPT (Pusat
Penelitian Tanah). Kelemahan dari sistem ini, khususnya untuk negara berkembang, adalah
kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium yang rinci, sehingga para
praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di lapangan. Walaupun demikian, sistem USDA
sangat membantu karena memakai sistem penamaan yang konsisten.
Untuk komunikasi di antara para ahli tanah dunia, Organisasi Pangan dan
Pertanian (FAO) telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah pula sejak 1974. Pada tahun
1998 kemudian disepakati dipakainya sistem klasifikasi WRB dari World Reference Base for
Soil Resources, suatu proyek bentukan FAO, untuk menggantikan sistem ini. Versi terbaru dari
sistem WRB dirilis pada tahun 2007.
2.5. Sifat-sifat Tanah Order Ultisol
Tanah Ultisol memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat kimia, komponen
kimia tanah yang berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya pada
kesuburan tanah. Nilai pH yang mendekati minimun dapat ditemui sampai pada kedalaman
beberapa cm dari dari batuan yang utuh (belum melapuk). Tanah-tanah ini kurang lapuk atau
pada daerah-daerah yang kaya akan basa-basa dari air tanah pH meningkat pada dan di bagian
lebih bawah solum (Hakim,dkk. 1986).
Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi sesungguhnya
bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan dilakukan pengelolaan yang
memperhatikan kendala (constrain) yang ada pada Ultisol ternyata dapat merupakan lahan
potensial apabila iklimnya mendukung. Tanah Ultisol memiliki tingkat kemasaman sekitar 5,5
(Munir, 1996).
Untuk meningkatkan produktivitas Ultisol, dapat dilakukan melalui pemberian kapur,
pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanah adaptif, penerapan tekhnik budidaya
tanaman lorong (atau tumpang sari), terasering, drainase dan pengolahan tanah yang seminim
mungkin. Pengapuran yang dimaksudkan untuk mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan
kegiatan jasad renik tanah. Pengapuran pada Ultisol di daerah beriklim humid basah seperti di
Indonesia tidak perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5 sudah dianggap
baik sebab yang terpenting adalah bagaimana meniadakan pengaruh meracun dari aluminium
dan penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman (Hakim,dkk, 1986).
Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia banyak ditemukan di
daerah dengan bahan induk batuan liat. Tanah ini merupakan bagian terluas dari lahan kering di
Indonesia yang belum dipergunakan untuk pertanian. Problem tanah ini adalah reaksi masam,
kadar Al tinggi sehingga menjadi racun tanaman dan menyebabkan fiksasi P, unsure hara rendah,
diperlukan tindakan pengapuran dan pemupukan, keadaan tanah yang sangat masam sangat
menyebabkan tanah kehilangan kapasitas tukar kation dan kemampuan menyimpan hara kation
dalam bentuk dapat tukar, karena perkembangan muatan positif. (Hardjowigeno,1993).
Senyawa-senyawa Al monomerik dan Al –hidroksi merupakan sumber utama
kemasaman dapat tukar dan kemasaman tertitrasi pada Ultisol. Sumber-sumber lain adalah
kation-kation ampoter dapat tukar atau senyawa-senyawa hidroksinya, bahan organik dan
hidrogen dapat tukar (Lopulisa,2004).
Sifat-sifat penting pada tanah Ultisol berkaitan dengan jumlah fosfor dan mineral-mineral
resisten dalam bahan induk, komponen-komponen ini umumya terdapat dalam jumlah yang tidak
seimbang, walupun tidak terdapat beberapa pengecualian. Ultisol yang berkembang pada bahan
induk dengan kandungan fosfor yang lebih tinggi. Translokasi/pengangkutan liat yang ekstensif
berlangsung meninggalkan residu yang cukup untuk membentuk horizon-horison permukaan
bertekstur kasar atau sedang (Lopulisa, 2004).
Selain bahan organic melalui proses dekomposisi dapat menyediakan nutrisi tanaman.
Dekomposisi bahan organic oleh berbagai mikroorganisme tanah berlangsung lamban akan tetapi
terus berlangsung secara beransur-ansur, keadaan demikian menyebabkan terbebasnya fosfor
dan elemen-elemen lainnya yang esensial bagi pertumbuhan tanaman (Munir, 1996).
Cara konvensional dengan system tebang bebas dan bakar ternyata menyebabkan pH
tanah basa-basa dapat tukar dan fosfor tersedia dalam tanah akan meningkat pada awalnya, tetapi
setelah 1,5 tahun kemudian akan mengalami penurunan, sehingga ditanami dua atau tida tahun
produktivitasnya akan menurun secara tajam (Soepardi, 1979).
Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami proses pelapukan lanjut melalui proses
Luxiviasi dan Podsolisasi. Ditandai oleh kejenuhan basa rendah (kurang dari 35% pada
kedalaman 1,8 m), Kapasitas Tukat Kation kurang dari 24 me per 100 gram liat, bahan organic
rendah sampai sedang, nutrisi rendah dan pH rendah (kurang dari 5,5) (Munir, 1996).
Tingkat pelapukan dan pembentukan Ultisol berjalan lebih cepat, daerah-daerah yang
beriklim humid dengan suhu tinggi dan curah hujan tinggi menyebabkan Ultisol mempunyai
kejenuhan basa-basa rendah. Selain itu Ultisol juga mempunyai kemasaman tanah, kejenuhan
Aldd tinggi, Kapasitas Tukar Kation rendah (kurang dari 24 me per 100 gram tanah), kandungan
nitrogen rendah, kandungan fosfat dan kalium tanah rendah serta sangat peka terhadap
erosi(Soepraptoharjo, 1979).
Pengaruh pemupukan lebih lanjut pada tanah Podsolik merah kuning untuk menambah
jumlah dan tingkat ketersediaan unsure hara makro, karena telah diketahui bahwa Ultisol miskin
akan basa-basa (yang ditandai dengan kejenuhan basa kurang dari 35%) dan KTK rendah
(kurang dari 24 me per 100 gram liat) (Munir, 1996).
KTK dan jumlah kemasaman terukur pada Ultisol sanagt tergantung pada pH larutan
yang digunakan dalam penetapan, misalnya nilai terbesar dari KTK dan kemasaman umumnya
diperoleh bila penetapan dilakukan pH 8,2 sedang pada pH 7,0 dan terendah bila ditetapkan pada
pH tanah. Sumber utama KTK bergantung pH dan kemasaman mencakup hidrolisis senyawa-
senyawa Al hidroksi antar lapisan (Soepardi, 1979).
Tanah yang termasuk ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan liat
di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah
kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah
Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu. Misalnya ;
1. Ultisol.
2. Nitosols; Acrisols; Planosols; - .
3. Red Yellow Podsolic Soils; Latosols; Planosols (Hydrosols); Gray Hidromorphic Soils
(Hydrosols).
4. Red-Yellow Podsolic Soils; Laterite Soils (Latosols); Planosols; - .
III. PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang ersebar luas di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya serta sebagian kecil di pulau Jawa, terutama di
Wilayah Jawa Barat.
Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut dan berasal dari bahan
induk yang sangat masam. Tanah ini mengandung bahan organik rendah dan strukturnya tidak
begitu mantap sehingga peka terhadap erosi.
Pembentukan tanah berjalan cepat didaerah yang beriklim humid dengan suhu tinggi dan
curah hujan tinggi. Seperti halnya di Indonesia Ultisol telah mengalami pencucian yang sangat
intensif menyebabkan ultisol memiliki kejenuhan basa yang rendah dan pelapukan mineral yang
rendah. Tanah Ultisol memiliki kepadatan tanah 1,10-1,35 g/cm3, tingkat permeabilitas, infiltrasi
dan perkolasi sedang hingga lambat dan kemasaman tanah tinggi, kejenuhan Al tinggi, KTK
rendah, kandungan N, P,dan K rendah sehingga Ultisol miskin secara fisik dan kimia. Pelapukan
yang telah lanjut pada Ultisol membentuk liat oksida hodrous Fe dan Al dalam jumlah yang
tinggi dan dapat bereaksi dengan P membentuk sederetan P hidrouksid yang sukar larut,
sehingga kurang tersedia bagi tanaman.
Tanah yang termasuk ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan liat
di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah
kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah
Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu.
DAFTAR PUSTAKA
Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. Heddy, S. 1996. Hormon Pertumbuhan, Program Penulisan Proyek Pelita DEPDIKBUD dan Pelaksanaan Pendidikan Diploma (DIII)
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman.
Hendarsin, S.L., 1994, Penuntun Praktis Geoteknik dan Mekanika Tanah, Penerbit Nova, Bandung.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_tanah
http://robeeon.net/search/Dasar+Dasar+Ilmu+Tanah
Nurhayati, H, 1986., Dasar-dasar Ilmu Tanah, UN. Lampung.
Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com
Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.