phlebitis.docx

19
PHLEBITIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu kedokteran tentang cairan dan tehnik pemberian cairan memberikan tantangan akan pengetahuan tentang pengaruh dan respon yang dapat terjadi akibat pemberian cairan tersebut. Pada masa awal tahun 1930-an penggunaan cairan infus yang dikenal hanya terbatas antara lain ; infus Nacl dan dextrose 5 % , akan tetapi sekarang ini telah banyak tersedia berbagai macam cairan mulai dari cairan infus untuk mengkoreksi ketidakseimbangan elektrolit dan cairan infus yang merupakan suatu terapi dari suatu masalah kesehatan, maupun cairan infus yang ditujukan untuk pemberian nutrisi (Wiensten. Sharon, 2007). Cairan infus yang diindikasikan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi atau sering disebut nutrisi parenteral juga mengalami banyak kemajuan. Nutrisi parenteral mengalami kemajuan yang bermakna, dimulai dengan adanya aturan pemberian cairan nutrisi parenteral yang dikembangkan oleh Dr. Stanley Dudrik dan kolega pada tahun 1970-an. Studi terbaru menunjukkan kira-kira 40% pasien rawat inap mengalami malnutrisi dengan berbagai derajat keparahan. Lebih dari 1/3 pasien bedah gastrointestinal mengalami malnutrisi sedang (Heys SD. 1999). Pada penderita dengan penyakit kritis, baik yang diakibatkan oleh trauma, pembedahan, sepsis, luka bakar maupun radio/kemoterapi, akan mengalami perubahan metabolisme dasar yang disebut stres metabolik. Respons pada stress metabolik atau hipermetabolik ini meningkatkan kebutuhan energi, mempercepat proteolisis diseluruh badan, katabolisme, lipolisis, peningkatan cardiac out put, peningkatan komsumsi oksigen dan temperatur badan. Pada kondisi ini penderita harus mendapatkan tambahan nutrisi yang adekuat. Penambahan yang paling baik adalah melalui enteral nutrisi, akan tetapi pada kondisi yang tidak memungkinkan penambahan melalui enteral, pemberian nutrisi parenteral menjadi pilihan untuk pemenuhan nutrisi. Tehnik atau cara pemberian melalui infus juga mengalami kemajuan, yang digunakan sebagai tindakan diagnostik ataupun sebagai cara pemberian terapi. Salah satu cara pemberian yang paling sering digunakan adalah pemasangan infus perifer atau perifer intravenous catheter (PIC) untuk memberikan transfusi darah, obat, cairan maupun untuk pengambilan sampling darah (Nassaji dan Ghorbani, 2007). Menurut United Kingdom of Central Council for Nursing, Midwifery and Health Visiting (UKCC) terapi melalui infus sekarang ini merupakan bagian integral dalam praktek

Upload: nanu-gomez

Post on 10-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PHLEBITIS.docx

PHLEBITISBAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Perkembangan ilmu kedokteran tentang cairan dan tehnik pemberian cairan memberikan

tantangan akan pengetahuan tentang pengaruh dan respon yang dapat terjadi akibat pemberian cairan

tersebut. Pada masa awal tahun 1930-an penggunaan cairan infus yang dikenal hanya terbatas antara

lain ; infus Nacl dan dextrose 5 % , akan tetapi sekarang ini telah banyak tersedia berbagai macam cairan

mulai dari cairan infus untuk mengkoreksi ketidakseimbangan elektrolit dan cairan infus yang merupakan

suatu terapi dari suatu masalah kesehatan, maupun cairan infus yang ditujukan untuk pemberian nutrisi

(Wiensten. Sharon, 2007).

Cairan infus yang diindikasikan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi atau sering disebut nutrisi

parenteral juga mengalami banyak kemajuan. Nutrisi parenteral mengalami kemajuan yang bermakna,

dimulai dengan adanya aturan pemberian cairan nutrisi parenteral yang dikembangkan oleh Dr. Stanley

Dudrik dan kolega pada tahun 1970-an.

Studi terbaru menunjukkan kira-kira 40% pasien rawat inap mengalami malnutrisi dengan

berbagai derajat keparahan. Lebih dari 1/3 pasien bedah gastrointestinal mengalami malnutrisi sedang

(Heys SD. 1999). Pada penderita dengan penyakit kritis, baik yang diakibatkan oleh trauma,

pembedahan, sepsis, luka bakar maupun radio/kemoterapi, akan mengalami perubahan metabolisme

dasar yang disebut stres metabolik. Respons pada stress metabolik atau hipermetabolik ini meningkatkan

kebutuhan energi, mempercepat proteolisis diseluruh badan, katabolisme, lipolisis, peningkatan cardiac

out put, peningkatan komsumsi oksigen dan temperatur badan. Pada kondisi ini penderita harus

mendapatkan tambahan nutrisi yang adekuat. Penambahan yang paling baik adalah melalui enteral

nutrisi, akan tetapi pada kondisi yang tidak memungkinkan penambahan melalui enteral, pemberian

nutrisi parenteral menjadi pilihan untuk pemenuhan nutrisi.

Tehnik atau cara pemberian melalui infus juga mengalami kemajuan, yang digunakan sebagai

tindakan diagnostik ataupun sebagai cara pemberian terapi. Salah satu cara pemberian yang paling

sering digunakan adalah pemasangan infus perifer atau perifer intravenous catheter (PIC) untuk

memberikan transfusi darah, obat, cairan maupun untuk pengambilan sampling darah (Nassaji dan

Ghorbani, 2007).

Menurut United Kingdom of Central Council for Nursing, Midwifery and Health Visiting (UKCC)

terapi melalui infus sekarang ini merupakan bagian integral dalam praktek keperawatan profesional tidak

hanya mengawasi masuknya infus, akan tetapi dengan perkembangan ilmu keperawatan seorang

perawat professional akan terlibat dan bertanggungjawab akan pemasangan dan pelepasan katheter,

dan juga bertanggungjawab akan komplikasi akibat pemasangan katheter. UKCC tahun 1992 telah

menerbitkan dokumen The Scope Of Profesional Practice yang berisi tentang peningkatan pengetahuan,

ketrampilan perawat dan tanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan. Setelah tahun 2002 UKCC

diganti dengan Nursing and Midwifery Council (NMC) dengan menerbitkan dokumen The Code of

Profesional Conduct, yang berisi tidak hanya keharusan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan

Page 2: PHLEBITIS.docx

perawat, akan tetapi perawat harus menerima tanggung gugat akan tindakan yang dilakukan (Royal

College of Nursing, 2010)

Sedemikian besar tanggung jawab yang dihadapkan pada seorang perawat akan tindakan

pemberian infus itu tentunya akan menjadi pemicu agar perawat terus berkembang dan meningkatkan

kemampuannya. Seperti telah diketahui bahwa semua tindakan akan memberikan dampak baik yang

positif atau negatif atau dengan kata lain memberikan komplikasi. Pada tindakan pemasangan infus

dikenal dengan adanya komplikasi sistemik dan komplikasi lokal antara lain phlebitis, ekstravasasi,

infiltrasi dan hematoma.

Salah satu komplikasi yang sering didapatkan dari kathether intravena adalah kejadian phlebitis.

Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini

ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau

sepanjang vena. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena.

Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula

dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat

penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002). Akibat dari kejadian phlebitis yang dapat menimbulkan masalah

pada ketidaknyamanan pasien, penggantian katheter baru, menambah lama perawatan, dan akan

menambah biaya perawatan.

Berdasarkan laporan hasil penelitian Nassaji dan Ghorbani yang dilakukan mulai bulan April 2003

sampai dengan Pebruari 2004 pada suatu rumah sakit di Semman Iran, didapatkan hasil, komplikasi

pemberian infus berupa phlebitis sebesar 26 %. Dan telah banyak penelitian dilakukan dalam hal

kejadian phlebitis yang akhirnya dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemberian cairan infus.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh pujasari tahun 2002 di suatu bangsal penyakit dalam salah satu

RSU di Jakarta pada tahun 2001, ditemukan angka kejadian plebitis sebesar 10,1% (11 dari 109

responden), dengan prosentase menurut lama waktu terpasangnya infus adalah pada hari pertama (0-24

jam ) sebesar 18,2%, pada hari kedua ( >24-48 jam ) sebesar 54,5%, dan pada hari ketiga (>48-72 jam)

sebesar 27,2%. Sedangkan prosentase berdasarkan lokasi yang lebih banyak menimbulkan plebitis

adalah vena metakarpal (72;7 %), dan kemudian pada vena sefalika (27,3%).

Khusus penelitian yang dilakukan berkaitan dengan pemberian infus nutrisi parenteral seperti

yang dilakukan oleh Nordenstrom J dkk (2005) angka kejadian phlebitis yang terjadi sebesar 18 % pada

pasien yang dirawat di bangsal bedah (Darmawan, 2008). Dalam sebuah artikel berjudul ”Peripher

Intravenous Nutrition Therapy”, Bier D. Ian menyatakan adanya perhatian khusus pada osmolaritas

cairan, lama pemasangan, kecepatan tetesan dalam memberikan terapi nutrisi parenteral. Hal tersebut

didasarkan pada beberapa penelitian yang telah banyak dilakukan seperti dilaporkan Gazitua dkk (1979)

kejadian kekerapan terjadinya phlebitis pada pemberian cairan yang mempunyai osmolaritas lebih dari

600 mOsm/L, dan peningkatan kejadian phlebitis pada pemberian cairan yang berisi amino acid.

Sedangkan hasil penelitian Daly dkk (1985) tidak ada perbedaan kejadian phlebitis antara pasien yang

mendapatkan cairan nutrisi hiperosmoler dengan cairan iso-osmoler. Lama terpasangnya katheter IV juga

mempunyai pengaruh yang besar terhadap kejadian phlebitis, seperti yang dilaporkan oleh Lundgren dkk

(1996) yang mempelajari hubungan antara lama terpasangnya infus dan kejadian phlebitis, menemukan

hasil yang signifikan dimana frekuensi kejadian meningkat pada pasien yang terpasang selama lima hari

dibanding kelompok kontrol yang terpasang kurang dari 24 jam. (Ian D. Bier, 2000)

Page 3: PHLEBITIS.docx

Untuk RS Dr. Kariadi, angka kejadian phlebitis yang berkaitan dengan pemasangan infus nurtisi

parenteral belum pencatatan yang adekuat, hal ini mungkin kurangnya kesadaran dari tingkat pelaksana.

Berdasarkan laporan dariThe Antimicrobial Resistance in Indonesia : Prevalence and Preventing (AMRIN

– Study) yang melakukan penelitian di dua rumah sakit yaitu RS. Dr Sutomo dan RS. Dr. Kariadi selama

tahun 2003 sampai dengan 2004, mencatat khususnya untuk RS Dr. Kariadi, bahwa 60 % pasien yang

dirawat menerima prosedur infasif, dan angka kejadian phlebitis hampir 4 %. Hal tersebut menjadi

perhatian khusus jika merujuk pada Kepmenkes No. 228 / 2002, tentang penyusunan Standar Pelayanan

Minimal RS pada indikator pelayanan rawat inap, dimana angka kejadian phlebitis harus kurang dari 2 %.

(Buletin IHQN, 2006) .

B.     Rumusan MasalahRumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan uraian latar belakang masalah adalah faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian phlebitis pada pemberian cairan nutrisi parenteral.

C.    Tujuan1.      Tujuan umum

Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pemberian cairan nutrisi parenteral.

2.      Tujuan khusus.a.       Mendeskripsikan osmolaritas cairan, yang diberikan pada pemberian nutrisi parenteral.b.      Mendeskripsikan lokasi pemasangan dan tehnik perawatan balutan yang dilakukan dalam

pemberian nutrisi parenteral.c.       Mendeskripsikan kejadian phlebitis.d.      Menganalisis osmolaritas cairan dengan kejadian phlebitis.e.       Menganalisis lokasi pemasangan, tehnik perawatan dan jenis kelamin dengan kejadian phlebitis.

BAB IITINJAUAN TEORI

A.    Phlebitis1.      Pengertian

Dalam pemberian terapi intravena tidak bisa lepas dari adanya komplikasi. Komplikasi yang bisa didapatkan dari pemberian terapi intravena adalah komplikasi sistemik dan komplikasi lokal. Komplikasi sistemik lebih jarang terjadi tetapi seringkali lebih serius dibanding komplikasi lokal seperti kelebihan sirkulasi, emboli udara dan infeksi. Komplikasi lokal dari terapi intravena antara lain infiltrasi, phlebitis, trombophlebitis, hematoma, dan ekstravasasi (Potter and Perry, 2005)

Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002)

Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) phlebitis merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut.

2.      Klasifikasi Phlebitis

Page 4: PHLEBITIS.docx

Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada empat kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi, dan post infus (INS, 2006)

a.       Chemical Phlebitis (Phlebitis kimia)Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik. Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H20 (Sylvia, 1991). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika inti mati.

Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006).

Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadinya phlebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko phlebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut. (Darmawan, 2008)

b.      Mechanical Phlebitis (phlebitis mekanik)Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan  katheter

intravena. Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan meyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers for Disease Control and Prevention, 2002)

c.       Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri)Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri. Berdasarkan laporan dari The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikelintravaskuler catheter – related infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalahstapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat.

Tabel 2.1 Kuman pathogen yang sering ditemukan di aliran darah Pathogen

Phatogen 1986 – 1989 1992 - 1999Coagulase-negatif Staphylococus 27 37S Aureus 16 13Enterococcus 8 13

Page 5: PHLEBITIS.docx

E coli 6 2Enterobacter 5 5P aeruginosa 4 4K pneumoniae 4 3Candida species 8 8Gram-negatif rods 19 14

Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :

1.      Teknik cuci tangan yang tidak baik.2.      Teknik aseptik yang kurang pada saat penusukan.3.      Tehnik pemasangan katheter yang buruk.4.      Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2002)

Cuci tangan merupakan hal yang penting untuk mencegah kontaminasi dari petugas kesehatan dalam tindakan pemasangan infus. Dalam pesan kewaspadaan universal petugas kesehatan yang melakukan tindakan invansif harus memakai sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung tangan, tehnik cuci tangan yang baik harus tetap dilakukan dikarenakan adanya kemungkinan sarung tangan robek, dan bakteri mudah berkembang biak di lingkungan sarung tangan yang basah dan hangat, terutama sarung tangan yang robek ( CDC, 1989). Tujuan dari cuci tangan sendiri adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci tangan menggunakan sabun biasa dan air, sama efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun anti mikroba (Pereira, Lee dan Wade, 1990).

Selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunakan tehnik aseptic. Area yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu untuk meminimalkan mikroorganisme yang ada, bila kulit kelihatan kotor harus dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan antiseptic.

Lama pemasangan katheter infus sering dikaitkan dengan insidensi kejadian phlebitis. May dkk (2005) melaporkan hasil, di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Preventionmenganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi (Darmawan, 2008)

d.      Post Infus PhlebitisPhlebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya sebagai akibat pemasangan infus. Phlebitis post infus adalah peradangan pada vena yang didapatkan 48 – 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan dengan kejadian phlebitis post infus, antara lai :

1.      Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik.2.      Pada pasien dengan retardasi mental.3.      Kondisi vena yang baik.4.      Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam.5.      Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.3.      Diagnosa dan Pengenalan tanda Phlebitis

Page 6: PHLEBITIS.docx

Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk kejadian phlebitis, yaitu :Tabel 2.2 VIP Score ( Visual Infusion Phlebitis Score) oleh Andrew Jackson.

SKOR  KEADAAN AREA PENUSUKAN PENILAIAN 0 Tempat suntikan tampak sehat Tak ada tanda

phlebitis1 Salah satu dari berikut jelas

a. Nyeri area penusukanb. Adanya eritema di area penusukan

Mungkin tanda dini phlebitis

2 Dua dari berikut jelas ;a. Nyeri area penusukanb. Eritemac. pembengkakan

Stadium dini phlebitis

3 Semua dari berikut jelas ;a. nyeri sepanjang kanulb. eritemac. indurasi

Stadium moderat phlebitis

4 Semua dari berikut jelas ;a. nyeri sepanjang kanulb. eritemac. indurasid. venous chord teraba

Stadium lanjut atau awal thrombophlebitis

5 Semua dari berikut jelas ;a. nyeri sepanjang kanulb. eritemac. indurasid. venous chord terabae. demam

Stadium lanjut thrombophlebitis

Page 7: PHLEBITIS.docx

Gambar 2.2

4.      Tindakan Pencegahan PhlebitisKejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian phlebitis. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain :

a.       Mencegah phlebitis bakterialPedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Untuk pemilihan larutan antisepsis, CDC merekomendasikan penggunaan chlorhexedine 2 %, akan tetapi penggunaan tincture yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa digunakan.

b.      Selalu waspada dan tindakan aseptic.Selalu berprinsip aseptic setiap tindakan yang memberikan manipulasi pada daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai jalan pemberian obat, pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah ) merupakan jalan masuk kuman.

c.       Rotasi katheter.May dkk (2005) melaporkan hasil pemberian Perifer Parenteral Nutrition (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasienmenyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi.

d.       Aseptic dressing

Page 8: PHLEBITIS.docx

INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan sehingga mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam.

e.       Kecepatan pemberianPara ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.

f.        Titrable acidityTitratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karenatitrable acidity nya sangat rendah(0.16 mEq/L). Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko phlebitisnya.

g.      Heparin dan hidrokortisonHeparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang katheter. Risiko phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.

B.     Jenis cairan infusPembagian jenis cairan infus tergantung pada konteks apa cairan tersebut yang akan

dibedakan, bisa berdasarkan tonisitas suatu larutan, besar molekul suatu cairan, atau dibedakan pada komposisi atau kandungan dalam suatu larutan infusPembagian cairan infus menurut tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada tekanan osmotik yang terdapat dalam larutan tersebut, antara lain :

1.       Larutan isotonik.Adalah cairan infus yang mempunyai tekanan osmotik sama seperti cairan tubuh normal. Sebagai contoh : normal saline (Na Cl0,9%), Ringer Laktat (RL).

2.       Larutan hipotonikLarutan dikatakan hipotonik apabila mempunyai tekanan osmotic lebih rendah dari cairan tubuh, misalnya : D5%, dan cairan rumatan.

3.       Larutan HipertonikCairan infus yang memiliki tekanan osmotik lebih tinggi dari plasma darah disebut hipertonik. Contohnya adalah cairan manitol.

Berdasarkan besar molekul yang terkandung dalam suatu larutan, cairan infus dapat dibedakan menjadi :

Page 9: PHLEBITIS.docx

1.      Cairan koloid.Mempunyai ukuran molekul yang besar, sehingga tidak akan keluar dari membrane kapiler. Contohnya adalah larutan albumin dan steroid.

2.      Cairan kristaloid.Ukuran molekulnya lebih kecil disbanding cairan koloid. Cairan ini berfungsi untuk mengisi sejumlah volume cairan kedalam plasma(volume expander). Misalnya cairan NaCl 0,9% dan RL.

Sedangkan berdasarkan komposisi yang terkandung dalam suatu cairan infus, dapat dibedakan menjadi :

1.      Cairan elektrolitCairan ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan akan beberapa elektolit tubuh yang mengalami kekurangan, misalnya NaCl, RL, Ringer Asetat.

2.      Cairan nutrisiUntuk cairan ini komposisi yang ada dalam larutan diberikan untuk memberikan dukungan nutrisi.

C.     Nutrisi Parentral1.      Pengertian

Istilah untuk pemberian cairan nutrisi yang diberikan secara parenteral ada bermacam – macam. Istilah Intravenous Hyperalimentasion (IVH) sering dihubungkan dengan pemberian asam amino dan cairan hiperosmoler dekstrosa yang banyak, yang menghasilkan produksi nitrogen dalam proses katabolisme. Total Parenteral Nutrition (TPN) sering diartikan pemberian semua kebutuhan nutrisi melalui jalur intravena. Suplemental Parenteral Nutrition (SPN) adalah pemberian beberapa substrat nutrisi yang diperlukan. Ada lagi istilah central parenteral nutrition (CPN) dan peripher parenteral nutrition (PPN), yang dihubungkan dengan rute atau cara yang digunakan dalam memberikaan cairan nutrisi parenteral, apakah melalui akses vena perifer ataukah melalui akses vena sentral. Dari semua istilah tersebut TPN lebih sering digunakan sebagai pengertian pemebrian nutrisi melalui jalur vena, walaupun para ahli lebih menyukai penggunaan istilah Parenteral Nutrition atau PN ( Hamilton, Helen. 2000).

2.      Indikasi pemberianSetiap pasien yang masuk RS harus dinilai status nutrisinya dengan cepat (quick nutritional assesment) untuk dapat memberikan informasi tentang kebutuhan akan dukungan nutrisi yang diperlukan. Pengkajian yang dilakukan bisa melalui parameter penampilan klinis ataupun melalui pemeriksaan biokimia.Untuk penampilan klinis dapat dilakukan asessmen tentang total kehilangan berat badan, riwayat vomitus, anoreksia, diare dan penilaian klinis pada otot dan jaringan lemak. Pemeriksaan biokimia bisa dilakukan mulai dari yang sederhana, misalkan pemeriksaan yang sering dilakukan adalah penilaian terhadap serum albumin. Nilai kadar albumin kurang dari 3,5 gr/dl mengindikasikan adanya malnutrisi moderat, sedangkan nilai albumin kurang dari 3 gr/dl dikatakan sebagai kondisi malnutrisi berat. Penilaian biokimia dapat dilakukan yang lebih akurat dengan pemeriksaan serum pre-albumin dan retinol, akantetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan dan butuh biaya mahal. (Labeda, 2001)Sebagai contoh pasien yang didapatkan keadaan malnutrisi berat harus segera mendapatkan dukungan nutrisi, melalui jalur intravaskuler apabila jalur enteral tidak memungkinkan. Beberapa keadaan yang diindikasikan untuk pemberian nutrisi parenteral, antara lain :Tabel 2.3 Indikasi pemberian nutrisi parenteral

Page 10: PHLEBITIS.docx

Absolut Kondisi saluran pecernaan yang tidak adekuat.Short Bowel Syndrome ( oleh karena prosedur operasi) Illeus paralitikAdanya obstruksi mekanik non-operatif.Relative Severe radiation enteritis.Diarhe refractory.Kelainan serum elektrolit, glukosa dan mineral.Intoleran pemberian makanan enteral.Vomiting refractory.

3.      Komposisi nutrisi parenteral

a.       Larutan dextrose hipertonik.

Larutan Dextrosa Hypertonik adalah larutan awal yang digunakan untuk TPN. Larutan dektrosa hipertonik ini harus di infus melalui jalur sentral vena besar, high-flow untuk menghindari thrombophlebitis.

b.       Larutan lemak (lipid)Lemak menghasilkan 9 kalori/gram sedangkan dextrosa menghasilkan 4 kalori/gram. Keuntungan tambahan dari larutan lemak adalah isotonis, sehingga dapat di infus lewat perifer. Lemak sangat dibutuhkan oleh pasien-pasien yang mengalami stress, karena metabolisme lebih banyak penggunaan lemak daripada glukosa selama stress phase. Larutan lemak juga mengandung asam lemak esensial seperti acid Arachidonic, acid Linolenic, dan acid Linoleic meskipun kandungannya sangat kecil.Larutan lemak untuk TPN berupa emulsi (minyak dalam air) yang stabil tapi tidak dapat bertahan dengan beberapa zat tambahan. Penambahan dextrosa konsentrasi tinggi atau larutan acidic/obat-obatan dapat merusak emulsi ini, lemak akan membentuk lapisan pemisah. Infus dengan larutan yang telah terurai ini dapat berakibat fatal. Meskipun hal seperti ini jarang ditemukan, tetapi tetap harus diperhatikan bila mencampur emulsi lemak dengan larutan lain.

c.        Larutan asam aminoLarutan asam amino harus dibedakan dari larutan protein tersedia lainnya misalnya Albumin atau Plasma. Larutan Albumin dan Plasma mengandung molekul protein yang lebih besar yang akan dipecah menjadi asam amino sebelum digunakan untuk menyusun komposisi protein baru. Sebaliknya asam amino sederhana dapat digunakan secara langsung untuk menyusun komposisi protein baru. Larutaan asaam amino tidak menimbulkan resiko transmisi infeksi seperti pada larutan Albumin atau Plasma. Asam amino jika dioxidasi menghasikan 4 kal/gr. Walaupun demikian larutan ini, harus dilindungi dari oxidasi yang tidak perlu dan harus murni digunakan untuk penyusunan protein. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan sejumlah substrat energi yang adekuat secara bersamaan (dextrose, lemak). Untuk itu, sebelum infus asam amino diberikan, ketersediaan kalori yang adekuat harus dipastikan dulu.Ada beberapa macam larutan asam amino yang bersifat khusus dalam penggunaannya, yang biasaanya disesuaikan dengan penyakit dasarnya. Pada pasien-pasien dengan penyakit hati lebih baik menggunakan asam amino Branched-chain. Larutan asam amino yang diperkaya denganGlutamine terbukti meningkatkan survivalitas pada pasien-pasien dengan

Page 11: PHLEBITIS.docx

stress. Arginine memperbaiki fungsi imun. Larutan asam amino yang diperkaya dengan asam amino esensial terbukti bermanfaat pada pasien-pasien dengan gagal ginjal.Sediaan asam amino biasanya dalam larutan 10%. Ini terlalu hyperosmolar untuk penggunaan perifer. Tersedia juga larutan 5% yang dapat digunakan secara perifer untuk beberapa hari. Asam amino tidak mempunyai efek samping yang berat. Meskipun demikian asam amino dosis tinggi harus dihindari pada Encephalopathy hepatis. (Labeda.Ibrahim, 2001)

d.      Multivitamin dan Trace elemenKebanyakan pasien telah mengalami defesiensi vitamin dan trace elemen saat diberikan TPN, sehingga harus diberikan suplemen sesegera mungkin. Larutan multivitamin dan Trace Elemen keduanya relatif tidak stabil bila dicampur dan tidak tersedia dalam komposisi larutan TPN siap pakai serta digunakan hanya sebelum larutan yang lain diberikan. Trace Elemen oral dapat diberikan jika pasien mampu untuk intake oral walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit.

e.       Zat additive lainnya.Pada pasien diabetes cenderung terjadi hyperglicaemi karena penggunaan larutan hypertonis dengan volume yang besar. Bahkan pasien non-diabetes harus memerlukan insulin jika terdapat glycosuria selama infus dextrosa hypertonis. Suplemen Calcium diberikan secara khusus karena merusak larutan TPN dan jika dibutuhkan diberikan lewat jalur vena lainnya. Jika bercampur dengan larutan TPN, calcium dapat menyebabkan presipitasi dari setiap phosphate inorganik dalam larutan tersebut dan infus seperti ini sangat berbahaya. Dengan adanya lemak dalam larutan TPN akan mengganggu perkiraan presipitasi yang terjadi. Larutan-larutan TPN khusus yang mengandung phophate organik yang tidak dapat terpresipitasi juga mengandung calcium.Heparin kadang-kadang juga ditambahkan pada larutan all-in-one dengan kadar yang kecil untuk mengurangi terjadinya thrombophlebitis dan thrombosis vena. Juga memperlancar metabolisme lemak.

f.       Larutan All in oneLarutan-larutan all-in-one (juga disebut dengan larutan Three-in-one) merupakan pengembangan terapi TPN yang paling besar saat ini. Larutan asam amino, larutan dextrosa hypertonik dan emulsi lemak dicampur didalam satu komposisi dan diberikan sebagai infus. Keuntungan dari jenis ini adalah:

1.      Mengurangi resiko infeksi. Setiap penggantian botol infus di bangsal membawa resiko infeksi melalui jalur sentral. Dengan penambahan semua larutan ke dalam satu wadah yang aseptik akan mengurangi jumlah penggantian infus menjadi sekali sehari, mengurangi angka kejadian infeksi.

2.      Larutan yang diberikan menjadi lebih cair. Dengan penambahan larutan asam amino dan larutan lemak akan melarutkan larutan dextrosa dan sebaliknya. Sehingga 250 gr glukosa (rata-rata kebutuhan perhari) dapat diberikan seperti halnya 1000 ml dextrosa 25% atau seperti halnya 2.500 ml dextrosa 10%. 2.500 ml larutan, pada contoh ini, dapat dicapai dengan mencampurkan 1000 ml dextrosa 25% dengan 500 ml larutan lemak, 500 ml larutan asam amino dan 500 ml normal saline. Ini akan melarutkan dextrosa dan larutan asam amino hypertonis. Dengan campuran kadar lemak yang tinggi dari larutan Three-in-one, infus lewat vena perifer dapat diberikan.

4.      Komplikasi pemberian nutrisi parenteralBeberapa komplikasi yang dapat timbul akibat pemberian cairan nutrisi parenteral harus selalu menjadi perhatian, baik komplikasi metabolik maupun komplikasi terkait dengan jalur pemberian cairan nutrisi parenteral. Komplikasi metabolik akibat pemberian cairan nutrisi parenteral bisa menjadi serius, tetapi bisa diminimalkan dengan pemantauan yang adekuat. Komplikasi metabolic mencakup defisiensi metabolic, khususnya kalium, magnesium fosfor dan

Page 12: PHLEBITIS.docx

magnesium. Dengan pemberian dektrosa bisa menimbulkan kejadian hiperglikemia, yang dapat memperburuk prognosa penyakit yang diderita misalkan mikoard infark, stroke, dan pasien post operasi jantung. Keadaan hiperglikemia juga bisa mengganggu fungsi leukosit sehingga meningkatkan angka kejadian infeksi nosokomial. Hipertrigliseridemia bisa meningkatkan resiko perlemakan hati (steatosis hepatis).

Tabel 2.4 Komplikasi metabolik terkait pemberian nutrisi parenteralKomplikasi BuktiHiperglikemia Lebih dari 12 mmol/LHipoglikemia Kurang dari 3 mmol/LKAD pH arteri kurang dari 7,3 ditambah

bendo keton urin atau serumHONK Glukosa darah sangat tinggi, osmolaritas

serum lebih dari 350 mOsm/L, tanpa benda keton

Kelainan elektrolit Nilai serum diluar kisaran normalHipertrigliseridemia Lebih dari 150% pagu atas normalAsidosis Hiperkloremik Serum Chlorida lebih 115 mmol/L, pH

kurang 7,3Hiperazotemia Lebih dari dua kali pagu atas normal.Disfungsi hati Hasil ALT,AST,ALP, dan bilirubin

lebih dari dua kali pagu atas normal.Kelebihan cairan Gagal jantung, edemaKoagulopati Waktu protrombin atau parsial

tromboplastin time lebih dari150% pagu atas normal.

Sedangkan komplikasi pada jalur pemberian nutrisi parenteral antara lain ;a.       Jalur vena sentral

Jenis komplikasinya ialah trauma pada saraf-saraf dan pembuluh darah yang berdekatan, pneumothorax, emboli udara, masuknya larutan TPN kedalam cavum pleura karena salah penempatan jalur dan infeksi. Letak dari pemasangan pada semua jalur vena sentral harus dipastikan dengan x-ray sebelum diberikan infus. Harus dengan prosedur aseptik.

b.      Jalur vena perifer.Thrombophlebitis merupakan komplikasi tersering dari TPN perifer.

  BAB III

  PENUTUPKESIMPULANPlebitis masih merupakan masalah lazim dalam terapi cairan, ketika kita memberikan obat intravena, terapi cairan rumatan serta nutrisi parenteral. Berbagai faktor terkait dan faktor-faktor predisposisi meliputi usia lanjut, trauma, ukuran kateter besar, diabetes, infeksi, hiperosmolaritas, pH, teknik aseptik yang jelek dll. Klinisi harus memikirkan sebab-sebab multifaktor ini dan melakukan pemantauan ketat untuk mencegah dan mengatasi komplikasi serius.

Indikasi pemberian nutrisi perential

Page 13: PHLEBITIS.docx

A.    Absolut1.      kondisi saluran pencernaan yang tidak adekuat.2.      Short Bowel Syndrome (karena prosedur operasi).3.      Illeus Paralitik.B.     Relative1.      Severe Radiation Enteritis.2.      Diarhe Refractory.3.      Kelainan serum elektrolit, glukosa dan mineral.4.      Intoleran pemberian makanan enteral.5.      Vomiting refractory. 

 DAFTAR PUSTAKAAlexander, M., Corrigan, A., Gorski, L. (2010). Infusion Nursing : An Evidence Based Approach. Saunders Elsevier Inc.

Charney, P., & Malone, A. (2007). ADA Pocket Guide to Parenteral Nutrition. American Dietetic Asociation : United State of America

Darmawan, I. (2008). Flebitis, apa penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya?.

Djojosugito, M Ahmad et. al. 2001. Buku Manual Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. IDI, Jakarta. 

Farichah, H., Djasri, H., Kuntjoro, T. (2006). Pengalaman dalam penyusunan Standar Pelayanan Minimal RS Sebagai bagian dari persyaratan Badan Layanan Umum. Buletin IHQN Volume II/Nomor. 03. 

Hamilton, H. (200). Total Parenteral Nutrition : A Practical Guide for Nurses. Harcourt Publisher: London.

Ian D, Bier. (2000;5(4):347-354). Peripheral Intravenous Nutrition Therapy ; Outpatient, Office-Based Administration

Nassaji, M., & Ghorbani, R. (2007). Peripheral Intravenous catheter related phlebitis and related risk factors. Singapore Medicine Journal 48 (8) : 733. 

Potter, Patricia A. and Perry, Anne G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, dan Praktik. EGC, Jakarta 

Royal College of Nursing. (2010). Standards for Infusion Therapy (3th ed). RCN IV forum.

Sharon Wienstein, Ada Lawrence  Plumer, (2007). Principles and practice of intravenous therapy, edisi 8. Lippincott Wiliams & Wilkins

Smeltzer, Suzanne C.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner & Suddarth. Editor Suzanne C. smeltzer. Alih Bahasa Monika Ester. EGC, Jakarta.Diposkan oleh sinta wening di 02.34