perubahan uud' 45, makalah pancasila
TRANSCRIPT
Tugas
Pendidikan Pancasila
DI SUSUN OLEH :
NAMA : ANDI IRMA PADUWAI
STB : 101448
KELAS : O
BAB I
1
PENDAHULUAN
A.Pendahuluan
Sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945,
sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja
berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum
yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan.
Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di
tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di
bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.
Tentu semua cakupan masalah yang begitu luas, tidak dapat saya
ketengahkan dalam ceramah yang singkat ini. Ceramah ini hanya akan
menyoroti beberapa aspek perubahan konstitusi dan pengaruhnya
terhadap lembaga-lembaga negara, yang menjadi ruang lingkup kajian
hukum tata negara. Terkait dengan hal itu, saya tentu harus menjelaskan
sedikit latar belakang sejarah, gagasan dan hasil-hasil perubahan, yang
menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dengan UUD 1945 sebelum
amandemen. Saya ingin pula mengetengahkan serba sedikit analisis,
tentang kelemahan-kelemahan UUD 1945 pasca amandemen, untuk
menjadi bahan telaah lebih mendalam, dan mungkin pula dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan bagi penyempurnaan UUD 1945 pasca
amandemen.
B.Latar Belakang Perubahan UUD ‘45’
Keinginan politik untuk mengubah UUD 1945 di era reformasi
didorong oleh pengalaman-pengalaman politik selama menjalankan UUD
itu dalam dua periode, yakni periode yang disebut sebagai Orde Lama
2
(1959-1966) dan periode yang disebut sebagai Orde Baru (1966-1998).
Seperti saya katakan di awal ceramah ini, UUD 1945 memang dibuat
dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga mengandung segi-segi
kelemahan, yang memungkinkan munculnya pemerintahan diktator, baik
terang-terangan maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik
pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945
sebelum amandemen, memberikan titik berat kekuasaan kepada
Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat, meskipun disebut sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaan seluruh rakyat, dalam
kenyataannya susunan dan kedudukannya diserahkan untuk diatur dalam
undang-undang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perubahan Mendasar Di bidang Ketatanegaraan
Secara umum dapat kita katakan bahwa perubahan mendasar
setelah empat kali amandemen UUD 1945 ialah komposisi dari UUD
tersebut, yang semula terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan
3
Penjelasannya, berubah menjadi hanya terdiri atas Pembukaan dan
pasal-pasal. Penjelasan UUD 1945, yang semula ada dan kedudukannya
mengandung kontroversi karena tidak turut disahkan oleh PPKI tanggal
18 Agustus 1945, dihapuskan. Materi yang dikandungnya, sebagian
dimasukkan, diubah dan ada pula yang dirumuskan kembali ke dalam
pasal-pasal amandemen.
Perubahan mendasar UUD 1945 setelah empat kali
amandemen, juga berkaitan dengan pelaksana kedaulatan rakyat, dan
penjelmaannya ke dalam lembaga-lembaga negara. Sebelum
amandemen, kedaulatan yang berada di tangan rakyat, dilaksanakan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis yang terdiri
atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah
dan golongan-golongan itu, demikian besar dan luas kewenangannya.
Antara lain mengangkat dan memberhentikan Presiden, menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara, serta mengubah Undang-Undang
Dasar. Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah”
Amandemen UUD 1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD
memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6
Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu
Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi(MK).
1. Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat
(3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai
4
kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia
serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para
pejabat negara, seperti Hakim.
Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check
and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang
berdasarkan fungsi masing-masing.
Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta
membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan
sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-
masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara
demokrasi modern.
2. MPR
Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga
tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
Menghilangkan supremasi kewenangannya.
Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena
presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
3. DPR
Posisi dan kewenangannya diperkuat.
5
Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan
presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja)
sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga
negara.
4. DPD
Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan
kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional
setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang
diangkat sebagai anggota MPR.
Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara
Republik Indonesia.
Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU
lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
5. BPK
Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan
negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil
pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat
penegak hukum.
Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap
provinsi.
Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal
departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
6
6. PRESIDEN
Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata
cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya
serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode
saja.
Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden
dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui
pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa
jabatannya.
7. MAHKAMAH AGUNG
Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu
kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan
hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain
yang diberikan Undang-undang.
8. MAHKAMAH KONSTITUSI
Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi
(the guardian of the constitution).
Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus
7
pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing
oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh
Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang
kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
BAB III
PENUTUP
A. Penutup
Saya telah menguraikan perubahan-perubahan mendasar sistem
ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945. Penerapan perubahan itu,
baik dalam merumuskan undang-undang pelaksanaanya, maupun
penerapannya dalam praktik, tidaklah mudah. Namun, masih
mengandung banyak kelemahan dan kekurangan, sehingga perlu untuk
terus-menerus disempurnakan. Kesulitan merumuskan undang-undang
pelaksanaannya itu, seringkali pula disebabkan oleh ketidakjelasan
rumusan pasal-pasal UUD 1945 pasca amandemen. Bahasa yang
digunakan kerapkali bukan bahasa hukum, seperti istilah tindak pidana
berat? Dan perbuatan tercela? yang dapat dijadikan sebagai alasan
impeachment kepada Presiden dan Wakil Presiden. Sistematika
perumusan pasal-pasal juga menyulitkan penafsiran sistematis. Hal ini
disebabkan oleh keengganan MPR untuk menambah jumlah pasal UUD
1945, dan merumuskan ulang seluruh hasil amandemen itu secara
sistematis.
8
Tentu saja penerapan dan pelaksanaan sebuah undang-undang dasar
akan sangat dipengaruhi oleh situasi perkembangan zaman, serta
kedewasaan bernegara para pelaksananya. Adanya semangat para
penyelenggara negara yang benar-benar berjiwa kenegerawanan,
sangatlah mutlak diperlukan untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan
rumusan sebuah undang-undang dasar. Tanpa itu, undang-undang dasar
yang baik dan sempurna pun, dapat diselewengkan ke arah yang
berlawanan. Namun, apapun juga, amandemen konstitusi itu telah terjadi,
dan menjadi bagian sejarah perjalanan bangsa ke depan. Saya hanya
berharap, semoga perubahan itu membawa perjalanan bangsa dan
negara kita ke arah yang lebih baik.
9