perspektif antropologi

Upload: hanafi-isdevice-outsaider

Post on 20-Jul-2015

88 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

perspektif antropologi manusia dalam kehidupan sosial Langsung ke isi

Beranda sebuah perspektif antropologi

Tari Barong dan Keris Bali Mari Mengenal Antropologi

Tahlilan, Ritual Upacara Kematian Adat JawaPosted on Februari 24, 2011 | 6 Komentar

Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di pulau jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang popular dengan sebuatan wali

songo. Atas mendirikan sebuah kerajaan Demak Jawa Tengah.

perjuangan Islam pertama

di

mereka, Pulau Jawa yang

berhasil berpusat di

Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam. Para ulama yang sembilan (wali songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu Aliran Giri dan Aliran Tuban. Aliran Giri adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain. Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syariat Islam tanpare seve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut Islam Putih. Adapun Aliran Tuban adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati. Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syariat Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang radikal. aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syariat Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan. Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajiansajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna besar dan Yajna kecil. Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajn a dan Somayjna. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang. Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.

Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasukik a rm a n , yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya. Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengana ghnidey a, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si pulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyiannyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan. Musyawarah para wali Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman. Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut : Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bidah. Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : Saya sangat dengan pendapat Sunan Kali Jaga. Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelu dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu. Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur,

akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran kleni/aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut Manunggaling Kaula Gusti yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan. Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang. Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi pra raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syariat Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri. Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu. Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulamaulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulamaulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian. Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu. Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta

bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Quran dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyarakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Quran dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bidah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional. Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu. Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama Nahdhotul Ulama yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat. Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang. Sumber: blog.unikom.ac.id/

Like this:Suka Be the first to like this post. Entri ini ditulis dalam antropologi agama. Buat penanda ke permalink. Tari Barong dan Keris Bali Mari Mengenal Antropologi

6 Respon untuk Tahlilan, Ritual Upacara Kematian Adat Jawa

1.

artav | Agustus 24, 2011 pada 1:27 pm | Balas Salam, ini merupakan kunjungan pertama saya, memang saya belum mengerti benar tentang topik yang anda bahas, namun stelah membaca tulisan anda, pengetahuan saya tentang adat istiadat di Indonesia semakin betambah, sungguh menakjubkan. Saya salut dengan blog anda, salam hormat saya artav 2011.

2.

antrop | Agustus 24, 2011 pada 2:46 pm | Balas terima kasih atas dukungan serta salam hormat anda. Salam homat saya kembali untuk anda. begini artav, topik tentang tahlilan ini saya bahas secara kajian budaya (mulai dari sejarah makna serta cerita mythe/kepercayaan dalam sebuah ritual) dalam ritual tahlilan ini. Blog ini saya buat agar kita dapat lebih mengenal budaya indonesia yg selama ini sedikit luput dari perhatian kita, dari berbagai sudut, kajian antropologis membahas suatu fenomena sosial-budaya, dan itulah yg sedang saya lakukan

3.

MKAnne | September 9, 2011 pada 1:22 pm | Balas Terima kasih atas ulasannya Membuka mata saya sejarah dari penyebaran Islam di Indonesia. Thanks

o

antrop | September 10, 2011 pada 11:59 am | Balas Terima kasih kembali telah mengunjungi bolg saya. Mohon maaf jika masih ada kekurangan dalam artikelnya..

4.

rifai | September 9, 2011 pada 5:39 pm | Balas saya rasa data yg ndasampaikan tidak validbelum sya dengar syeh siti jenar mjd murid sunan kalijaga. kemudian pembantaian amangkurat I thdp ulama yg terkait maslh politik dn tdk se-simple hanya terkait malahan modert atau yg keras. tidak ada data valid tentang teks pembicaraan sunan kalijaga dan sunan ampel maupun suna kudus terkait ritual tersebut anda jga perlu tahu bahwa selama tujuan syariatnya baik tantunya masalah haria atau bulanan acar tersebut tdk menjdi persoalan ulama2 di NU sprti KH. Hasyim Asari yag mana beliau adlh ahli hadis sahih Buhori sanad 25 dimana di Indonesia beliaulah satu2nya ulama hadis yg mendapat ijazah terkait sanad keilmuan hadis tentu lebh tahu mengenai penerapan Quran dan Sunah yg murni seperti yg dilakukan di NU maaf sblmnnya.

o

antrop | September 10, 2011 pada 11:58 am | Balas

Mohon maaf sebelumnya mas rifai. artikel ini sesungguhnya saya dapat dari blog lainnya. Jadi persoalan valid atau tidak data artikel ini bukan saya yg menulisnya. Silahkan cek sumbernya saja Saya juga tidak memfokuskan bahasan ini ke ranah kepercayaan (agama), sehingga saya tidak tau persis soal basic keyakinan tahlilan ini. Saya hanya ingin mempost artikel ini sebagai tandai bahwa tahlilan itu bagian dari tradisi (budaya) Indonesia, yang memang fokus bahasan saya.

Tinggalkan Balasanguest

Enter your comment here...

1336132902

Cari itu!Pencarian untuk:Cari

Entri Terkinio o o o o o o o o o

Genjer Genjer (Folksong of Banyuwangi People) Polisi dan Politisi Apa yang Kurang di Wall Street? Antropolog! Etnis Rohingya: Jalan Panjang Menuju Daratan Adat di Maluku: Nilai Baru atau Ekslusivisme Lama? Orang Rimba : Sebuah Identitas Yang Terampas Review Buku: Penduduk Irian Barat (Koentjaraningrat) Review Buku: Arti Antropologi Untuk Indonesia Masa Ini (Koentjaraningrat) Membangun Masyarakat Yang Inklusif (Makna Inklusif Bagi Difabel) Arkeologi Adalah Bagian dari Antropologi Discuss Get Inspired Get Polling Get Support Learn WordPress.com WordPress Planet WordPress.com News

Tautano o o o o o o

Tema: Coraline by Automattic. Blog pada WordPress.com. Ikuti

Follow perspektif antropologiGet every new post delivered to your Inbox.Enter your

subscribe

18802570

http://theperspec

loggedout-follow

45423c6e23

/2011/02/24/tahlila

Sign me up

Powered by WordPress.com