persepsi pasien terhadap komunikasi terapeutik...

109
PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS CIPUTAT DAN PUSKESMAS PAMULANG TAHUN 2018 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Disusun Oleh : YOURIKE ALIA STEPHANI NIM : 1111101000099 PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

Upload: dinhquynh

Post on 02-Apr-2019

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK

DALAM PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU DI

PUSKESMAS CIPUTAT DAN PUSKESMAS PAMULANG

TAHUN 2018

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh :

YOURIKE ALIA STEPHANI

NIM : 1111101000099

PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018

Page 2: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

i

Page 3: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN

Skripsi, Agustus 2018

Yourike Alia Stephani, NIM 1111101000099

Persepsi Pasien Terhadap Komunikasi Terapeutik Dalam Pengobatan Tuberkulosis Paru

di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang Tahun 2018

(xiii + 94 halaman, 12 tabel, 2 bagan, 2lampiran)

ABSTRAK

Latar Belakang. Tuberkulosis paru sebagai penyakit menular sampai saat ini masih menjadi

masalah utama kesehatan, terutama di negara berkembang seperti di Indonesia. Kegagalan dalam

pengobatan akan resiko morbiditas dan mortalitas. Salah satu yang mempengaruhi proses

pengobatan ialah interaksi yang terjadi antara pasien dan dokter Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui gambaran persepsi pasien terhadap komunikasi terapeutik dalam pengobatan

tuberkulosis paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang pada tahun 2018.

Metode. Penelitian ini bersifat analitik deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif

dan desain studi cross sectional. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner yang

menggunakan surat persetujuan pasien (Informed Concent) sebagai data sekunder dan data

primer berupa profil puskesmas. Besar sampel dalam penelitian ini berjumlah 114 responden

yang merupakan pasien di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang. Data yang didapat

kemudian dianalisis secara deskriptif.

Hasil. Dari 114 responden menunjukkan karakteristik pasien tuberkulosis paru didominasi oleh

laki-laki sebesar 52,6%, usia produktif 70,2%, pendidikan lanjutan sebesar 86%, bekerja 57,9%,

pengetahuan tinggi 52,6%, jarak dekat 50%, serta mengalami efek samping 57%. Pada variabel

komunikasi terapeutik, 83,3% responden menganggap sikap mendukung dokter sudah baik.

Saran. Peningkatan pengetahuan dengan edukasi melalui penyuluhan menggunakan media

massa untuk meningkatkan pengetahuan akan gejala dan penularan TB serta menyediakan

layanan berupa kotak surat sebagai wadah pasien mengemukakan saran dan masukannya

mengenai pelayanan kesehatan, khususnya terkait komunikasi pelayanan kesehatan dokter.

Kata Kunci : Komunikasi Terapeutik, Tuberkulosis Paru

Daftar Bacaan : (1990 – 2017)

Page 4: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

iii

STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FACULTY OF HEALTH SCIENCE

STUDY PROGRAM PUBLIC HEALTH

DEPARTMENT OF HEALTH PROMOTION

Undergraduate Thesis, Agustus 2018

Yourike Alia Stephani, NIM 1111101000099

Patient Perception of Therapeutic Communication in Treatment of Pulmonary

Tuberculosis in Ciputat Health Center and Pamulang Public Health Center in 2018

(xiii + 94 pages, 12 tables, 2 graphics, 2 attachment)

ABSTRACT

Introduction. Pulmonary tuberculosis as an infectious disease is still be a major health problem,

especially in developing countries such as Indonesia. Treatment failure will risk morbidity and

mortality. One of the factors that influence the treatment process is the interaction between the

patient and the doctor. This study aims to describe the patient's perception of therapeutic

communication in the treatment of pulmonary tuberculosis in Ciputat Health Center and

Pamulang Health Center in 2018.

Method. This research is an analytical research with quantitative approach and cross sectional

study design. The data collected by using questionnaire with informed consent letter as a

secondary data and primary data obtained by public health center profile. Sample size of this

research is 114 respondent which is a patient in Ciputat Public Health Center and Pamulang

Public Health Center. Data obtained is analyzed descriptively.

Results. From 114 respondents of pulmonary tuberkulosis patients dominated by men equal to

52.6%, productive age 70.2%, advanced education by 86%, working for 57.9%, high knowledge

52.6%, close distance 50%, and also side effects 57%. On communication therapeutics variable,

83,3% respondent assume that the attitude of doctor’s supporting is good.

Advice. Increasing knowledge through education counseling using mass media to increase

knowledge about symptoms and transmission of TB and providing services like a mailbox as a

forum for patients to express their suggestions about health services, especially related to

communication of health services.

Keyword : Therapeutic Communication, Pulmonary Tuberkulosis

References : (1990 – 2017)

Page 5: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

iv

Page 6: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

v

Page 7: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

vi

Page 8: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

vii

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Yourike Alia Stephani

Nama Panggilan : Alia

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 11 Maret 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Komp. Sapta Pesona Jl. Alpukat Blok C2 No. 3 RT 02 RW 08

Jatiluhur, Jati Asih, Bekasi 17425

No. Telepon/ HP : 021-8228433 / 087771564793

Email : [email protected]

[email protected]

Riwayat Pendidikan Formal

1. 1999 – 2005 : SD Islam Ar-Rahman, Bekasi

2. 2005 – 2008 : SMP Nasional I, Bekasi

3. 2008 – 2011 : SMAN 5 Bekasi

4. 2011 – 2018 : S1 Peminatan Promosi Kesehatan

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 9: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

viii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Persepsi Pasien Terhadap Komunikasi

Terapeutik Dalam Pengobatan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas

Pamulang Tahun 2018”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

Pendidikan Strata Satu (S1) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa bantuan dari

berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terutama kepada orangtua penulis

yang selalu mendukung setiap langkah penulis. Oleh karena itulah, penulis ingin menyampaikan

terima kasih kepada pihak-pihak terkait yang telah membantu proses pengerjaan proposal skripsi

ini.

Proposal skripsi yang telah dibuat oleh penulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan di masa yang akan datang. Semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Ciputat, 28 Agustus 2018

Penulis

Page 10: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………………………. i

ABSTRAK ………………………………………………………………………………… ii

ABSTRACT ………………………………………………………………………………. iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ……………………………………………………….. iv

LEMBAR PANITIA SIDANG SKRIPSI …………………………………………………. v

RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………………………….. vi

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. vii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… viii

DAFTAR BAGAN ……………………………………………………………………….. xi

DAFTAR TABEL ………………………………………………………………………... xii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………………... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………………………………………………………. 1

B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………… 7

C. Pertanyaan Penelitian . …………………………………………………………….. 8

D. Tujuan Penelitian …………………………………………………………………. 8

E. Manfaat Penelitian ………………………………………………………………… 9

F. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………………………… 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi Terapeutik ……………………………………………………………. 11

1. Tujuan Komunikasi Terapeutik ………………………………………………... 12

2. Teknik Komunikasi Terapeutik ……………...………………………………... 12

3. Tahapan dalam Komunikasi Terapeutik ……………………………………... 15

4. Faktor-Faktor Efektivitas Komunikasi Terapeutik …………………………… 18

B. Tuberkulosis Paru …………………………………………………………………. 20

1. Pengertian Tuberkulosis Paru …………………………………………………. 20

2. Gejaka Tuberkulosis Paru ……………………………………………………... 20

3. Diagnosa Tuberkulosis Paru …………………………………………………... 20

4. Klasifikasi dan Tipe Penderita Tuberkulosis Paru …………………………….. 21

5. Cara Penularan ………………………………………………………………… 22

6. Pencegahan ……………………………………………………………………. 23

7. Prinsip Pengobatan …………………………………………………………….. 23

Page 11: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

x

8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Paru …………………………………………... 24

9. Efek Samping Obat ……………………………………………………………. 25

10. Proses Pengobatan TB Paru …………………………………………………… 26

11. Hasil Pengobatan Tuberkulosis ……………………………………………….. 27

C. Kerangka Teori ……………………………………………………………………. 29

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep …………………………………………………………………. 30

B. Definisi Operasional …………………………………………………………….… 32

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian ………………………………………………………………….. 37

B. Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………………….….. 37

C. Populasi dan Sampel Penelitian ………………………………………………….... 38

D. Etika Penelitian …………………………………………………………………… 39

E. Metode Pengumpulan Data ………………………………………………………... 40

F. Instrumen Penelitian ………………………………………………………………. 40

G. Manajemen Data …………………………………………………………………… 42

H. Analisis Data ……………………………………………………………………… . 43

BAB V HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian ……………………………………………. 44

1. Puskesmas Ciputat …………………………………………………………. 44

2. Puskesmas Pamulang ………………………………………………………….. 44

B. Analisis Univariat …………………………………………………………………. 45

1. Karakteristik Responden Penelitian …………………………………………… 45

2. Gambaran Faktor Terapi Pasien ………………………………………………. 47

3. Gambaran Faktor Lingkungan Pasien ………………………………………… 47

4. Gambaran Komunikasi Terapeutik Dokter …………………………………… 48

5. Persepsi Pasien Terhadap Komunikaksi Terapeutik ………………………….. 49

BAB VI PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian ……………………………………………………………. 55

B. Gambaran Univariat ……………………………………………………………….. 55

1. Gambaran Karakteristik Pasien …..……………………………………………. 55

2. Gambaran Faktor Terapi Pasien …..…………………………………………... 61

3. Gambaran Faktor Lingkungan Pasien …..……………………………………... 63

4. Gambaran Persepsi Komunikasi Terapeutik Dokter .…………………………... 65

BAB VII PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………………………. 72

B. Saran ………………………………………………………………………………... 73

Page 12: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

xi

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………. 74

KUESIONER ……………………………………………………………………………...... 82

OUTPUT ANALISIS DATA ……...……………………………………………………....... 91

Page 13: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2. 1 Bagan Kerangka Teori ……………………………………………………… 29

Bagan 3.1 Bagan Kerangka Konsep …………………………………………………… 31

Page 14: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Klasifikasi Penyakit TB menurut Price dan Lorraine….…………………… 21

Tabel 2. 1 Efek Samping Ringan dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ………………... 26

Tabel 2. 3 Efek Samping Berat dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ………………….. 26

Tabel 5. 1 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian …………………………... 46

Tabel 5. 2 Gambaran Faktor Terapi Pasien …………………………………………... 47

Tabel 5. 3 Gambaran Faktor Lingkungan Pasien ……………………………………... 47

Tabel 5. 4 Gambaran Komunikasi Terapeutik Dokter ……………………………….. 48

Tabel 5. 5 Persepsi Pasien Terhadap Komunikasi Terapeutik Aspek Keterbukaan …. 49

Tabel 5. 6 Persepsi Pasien Terhadap Komunikasi Terapeutik Aspek Empati ……….. 51

Tabel 5. 7 Persepsi Pasien Terhadap Komunikasi Terapeutik Aspek Mendukung …... 52

Tabel 5. 8 Persepsi Pasien Terhadap Komunikasi Terapeutik Aspek Positif ………… 53

Tabel 5. 9 Persepsi Pasien Terhadap Komunikasi Terapeutik Aspek Kesetaraan ….. 54

Page 15: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Kuesioner

Lampiran 2. Output Analisis Data

Page 16: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) paru sampai saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan,

terutama di negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran penyakit Tuberkulosis

paru begitu cepat, karena penularannya yang begitu mudah yaitu melalui percikan droplet

atau dahak yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat

menyerang seluruh organ tubuh, namun lokasi terbanyak diserang adalah di paru-paru

yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Bakteri Mycobacterium tuberculosis

mampu bertahan di dalam suhu lembab sehingga kesehatan lingkungan juga sangat

penting untuk diperhatikan (Depkes, 2002).

Data dari Global Report WHO tahun 2017, tercatat bahwa terdapat 10.400.000

orang menderita TB Paru dan 1.700.000 penderitanya meninggal dunia. TB paru

merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan

penyakit saluran pernafasan dan merupakan nomor satu terbesar penyebab kematian

dalam kelompok penyakit infeksi. Sampai saat ini, belum ada satupun negara di dunia

yang terbebas dari TB Paru.

Laporan dari Global Tuberculosis Report 2016, pada tahun 2015 tercatat bahwa

61% dari total penderita TB di dunia berasal dari Asia, 26% dari Afrika, 7% dari regional

Mediterania Timur, 3% dari Eropa dan 3% dari Amerika sehingga membuat Indonesia

menempati peringkat ke-2 negara dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia setelah

India. Sedangkan data sebelumnya dari Pengawasan Penyakit dan Pengelolaan

Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2013, Indonesia menempati

peringkat ke-4 sebagai penyumbang kasus TB paru terbesar di dunia setelah India, Cina

Page 17: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

2

dan Afrika Selatan. Selain itu, Indonesia juga menempati urutan ke 9 dengan kasus

MDR TB (Multi Drugs Resisten) terhadap obat-obatan TB. Menurut laporan WHO tahun

2017, terdapat 1.020.000 kasus TB per tahun di Indonesia dengan angka kematian 42 per

100.000 penduduk dan jumlah notifikasi kasus dari seluruh kasus TB dilaporkan

sebanyak 360.565 kasus. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan kasus TB

pada tahun 2016 sebanyak 298.128 kasus pada Laporan Kinerja Kementrian Kesehatan

tahun 2017.

Berdasarkan sumber data Dinas Kesehatan Provinsi Banten tahun 2017, jumlah

penderita TB paru Provinsi Banten menempati peringkat 6 tertinggi di Indonesia dengan

16.608 kasus dimana Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang memiliki penderita TB

terbanyak mencapai 2.089 penderita, kemudian disusul dengan Kabupaten Serang 2.557

penderita, Kota Tangerang 1.792 penderita, Kabupaten Pandeglang 1.426 penderita,

Kabupaten Lebak 1.426 penderita, Kota Cilegon 1.320 penderita,dan Kota Serang 1.191

penderita.

Data dari Laporan Program TB DOTS pada Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Selatan tahun 2016, didapatkan bahwa terjadi peningkatan pasien suspek TB Paru pada

tahun 2015 sebanyak 884 orang, menjadi 968 orang ditahun 2016 sedangkan pasien

TB(+) pada tahun 2015 sebanyak 626 penderita meningkat menjadi 792 ditahun 2016.

Laporan BPS Kota Tangerang Selatan pada tahun 2015, Kota Tangerang Selatan

memiliki 1.543.209 penduduk dengan 25 puskesmas yang semuanya telah mennjalankan

Program TB DOTS, dengan penemuan angka CDR pada kasus TB Paru tahun 2015

sebesar 52% dimana angka tersebut masih lebih rendah dari standar program nasional

yaitu 70%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan TB di Kota Tangerang Selatan

masih dibawah angka standar nasional program TB (85%) dengan presentase 74% pada

tahun 2014 dan 83% pada tahun 2015 (Dinkes Tangerang Selatan, 2015).

Page 18: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

3

Data dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2014 diketahui bahwa

angka kesembuhan TB (58%) dan keberhasilan pengobatan TB (63%) di Puskesmas

Ciputat dan Puskesmas Pamulang masih tergolong rendah dibawah standar Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan yaitu 80% ditambah lagi dengan presentase drop out

(DO) tertinggi (40%) di Tangerang Selatan.

Pada proses pengobatan TB paru, hal penting yang harus diperhatikan dan

dilakukan oleh penderita TB paru untuk keberhasilan pengobatannya adalah kepatuhan

dan keteraturan dalam menjalani pengobatan TB paru sampai dinyatakan sembuh. Sesuai

dengan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang telah ditetapkan

pemerintah, pengobatan TB paru akan selesai dalam jangka waktu 6 bulan, yaitu 2 bulan

pertama setiap hari (tahap intensif) di lanjutkan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan

tahap lanjut (Depkes, 2007). Namun dalam kondisi dilapangannya, masih banyak terdapat

penderita TB paru yang gagal menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur sehingga

pengobatannya dapat lebih dari 6 bulan. Hal tersebut disebabkan karena ketidakpatuhan

penderita dalam menjalani pengobatan, penderita TB paru yang merasa bosan dengan

waktu pengobatan yang lama dan biaya pengobatan yang dirasakan mahal (Gough, 2011).

TB Paru merupakan penyakit menular, sehingga angka pengobatan serta

ketidakpatuhan dalam menjalankan pengobatan akan meningkatkan angka kegagalan

pengobatan TB paru, meningkatkan resiko morbiditas, mortalitas dan akan semakin

banyak pula ditemukannya pasien TB paru dengan BTA yang resisten dengan

pengobatan standar. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010,

didapatkan sebanyak 19,3% penderita TB paru tidak patuh dalam minum obat dan pada

tahun 2011 dan sudah ada 65.000 orang yang mengalami kebal obat atau Multi-Drugs

Resistance (MDR), yang pada akhirnya mengakibatkan proses pengobatannya jauh lebih

lama, sulit, dan mahal (WHO, 2011). Selain itu, jika penderita TB tidak berhasil dalam

Page 19: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

4

pengobatannya maka penderita tersebut memberikan peluang untuk menularkan

penyakitnya ke anggota keluarga dan masyarakat disekitarnya (Amiruddin, 2016).

Padahal menurut Djafar (2015) faktor kepatuhan berobat memiliki presentase yang cukup

tinggi (80%) dalam mencapai keberhasilan dalam pengobatan TB paru.

Pada dunia kedokteran, pengobatan didefinisikan sebagai tingkat perilaku

penderita dalam melaksanakan cara pengobatannya sesuai dengan yang disarankan oleh

petugas kesehatannya (Sarafino, 1999). Namun dalam hal kasus TB paru yang memiliki

tipe pengobatan jangka panjang, menyebabkan penderita TB paru tidak konsisten

terhadap pengobatannya karena merasa jenuh dan bosan.Untuk mencapai keberhasilan

pengobatan, tidaklah semata-mata menjadi tanggungjawab pasien saja, namun harus

dilihat bagaimana faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam

menjalani pengobatannya dan mematuhi pengobatan mereka. Banyak faktor yang

berhubungan dengan pengobatan pasien TB paru, termasuk karakteristik pasien,

hubungan antara petugas pelayanan kesehatan dan pasien, regimen terapi dan system

penyelenggaraan pelayanan kesehatan (WHO, 2003).

Rosencheck (1999) juga mengatakan bahwa terdapat 3 faktor yang dapat

mempengaruhi perilaku kesehatan dalam pengobatan, yaitu faktor penderita, faktor obat

dan faktor petugas kesehatan dimana yang termasuk kedalam faktor penderita antara lain

adalah usia penderita, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan.

Efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) masuk kedalam faktor obat. Sedangkan yang

termasuk kedalam faktor petugas kesehatan antara lain interaksi dan komunikasi dari

petugas kesehatan, baik itu dokter, perawat ataupun petugas lainnya di pelayanan

kesehatan.

Maesaroh (2009) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa variabel pengetahuan

dan sikap pasien dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam menjalani

Page 20: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

5

pengobatan. Horne (2006) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa secara umum

terdapat 4 hal yang mempengaruhi pengobatan, yaitu persepsi dan perilaku pasien,

interaksi antara pasien dan dokter dan komunikasi medis antara kedua belah pihak seperti

ketrampilan dalam memberi konsultasi dapat memperbaiki kepatuhan, kebijakan dan

praktek pengobatan di publik yang dibuat oleh pihak yang berwenang, serta berbagai

intervensi yang dilakukan agar kepatuhan dalam mengkonsumsi obat meningkat. Pada

penelitian lain yang dilakukan oleh Prayogo pada tahun 2013 bahwa tingkat pendidikan,

pengetahuan, dan jarak tempat berobat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

pasien dalam menjalani pengobatannya dimana semakin tinggi pendidikan dan

pengetahuan pasien, maka semakin tinggi pula angka kepatuhannya karena lebih

memahami mengenai proses pengobatannya. Begitu juga dengan jarak tempat berobat,

semakin dekat tempat berobat, maka semakin tinggi pula angka kepatuhan pasien.

Kegagalan penderita Tuberkulosis paru dalam pengobatan Tuberkulosis paru

dapat diakibatkan oleh banyak faktor, seperti obat, penyakit, dan penderitanya

sendiri.Faktor obat terdiri dari panduan obat yang tidak adekuat, dosis obat yang tidak

cukup, tidak teratur minum obat, jangka waktu pengobatan yang kurang dari semestinya,

dan terjadinya resistensi obat. Faktor penyakit biasanya disebabkan oleh lesi yang terlalu

luas, adanya penyakit lain yang mengikuti, dan adanya gangguan imunologis (Amin,

2006). Faktor terakhir adalah masalah penderita sendiri, seperti kurangnya pengetahuan

mengenai Tuberkulosis paru, kekurangan biaya, malas berobat, dan merasa sudah sembuh

dengan presentase sebanyak 87,6% (Bagiada, 2010).

Pada penelitian lain yang dilakukan Aditama (2004), faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah pengetahuan, motivasi minum obat dan KIE

(Komunikasi, Informasi dan Edukasi) oleh dokter. Faktor penting lainnya adalah tingkat

pendidikan pasien, Pendidikan yang rendah mengakibatkan pengetahuan rendah.

Page 21: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

6

Penelitian yang dilakukan oleh Dermawanti mengenai hubungan komunikasi

terapeutik petugas kesehatan terhadap kepatuhan pasien menjalani pengobatan TB Paru

di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014 menyatakan bahwa variabel keterbukaan,

empati, sikap mendukung dan kesetaraan dokter memiliki peran terhadap kepatuhan

berobat pasien TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan. Hal tersebut sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Patriani (2012) bahwa terdapat hubungan antara

komunikasi efektif dengan sikap konkordansi pasien, dimana semakin efektif pola

komunikasi yang terjadi antara dokter-pasien maka akan semakin tinggi pula tingkat

konkordansi/ kepatuhan pasien TB paru, hipertensi, dan asma untuk berobat. Serta

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asmariani (2012) bahwa kegagalan dalam

berobat dapat terjadi karena gagalnya informasi yang disampaikan oleh dokter dan

petugas kesehatan yang menanganinya.

Hasil penelitian Erawatyningsih (2009), interaksi yang terjalin antara dokter dan

pasien TB paru, seperti perhatian dan komunikasi, ikut menentukan kepatuhan berobat

pasien. Dokter perlu meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman dan

memberikan motivasi bagi pasien TB paru agar penderita dan keluarga dapat memahami

tentang penyakit TB paru, cara pencegahan dan akibat dari tidak teraturnya menjalankan

pengobatan, sehingga meningkatkan kepatuhan penderita untuk datang berobat. Dokter

harus memberikan penjelasan secara rinci, berlaku simpatik dan ramah, serta

empati.Soewono (2007) berpendapat bahwa dalam interaksi antara dokter dan pasien,

masih terdapat anggapan dari pasien bahwa dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi

sehingga pasien enggan untuk bertanya karena perasaan malu, takut dianggap bodoh atau

enggan karena dokter berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh pasien.

Basuki (2009) dalam Majalah Kedokteran Indonesia mengenai kunci menuju

kepatuhan pasien juga menyarankan untuk dilakukannya penelitian mengenai konseling/

Page 22: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

7

komunikasi terapeutik, terutama yang berkaitan dengan kepuasan pasien dan kepatuhan

pasien kepada peneliti selanjutnya. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana

persepsi pasien terhadap komunikasi terapeutik dokter dalam pengobatan tuberculosis

paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang.

B. Rumusan Masalah

Data dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2014 diketahui bahwa

angka kesembuhan TB (58%) dan keberhasilan pengobatan TB (63%) di Puskesmas

Ciputat dan Puskesmas Pamulang masih tergolong rendah dibawah standar Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan yaitu 80% ditambah lagi dengan presentase drop out

(DO) tertinggi (40%) di Tangerang Selatan. Pada tahun 2015 Triwulan ke 2 di Puskesmas

Ciputat terdapat 3 dari 5 penderita TB paru dengan BTA+ yang mengalami DO dan

angka kepatuhan sebesar 47%. Hal tersebut menunjukkan bahwa penderita TB paru

belum patuh untuk menjalankan pengobatannya padahal pengobatan TB dapat

memberikan kesembuhan bagi pasien TB jika pasien mau patuh dan melakukan

pengobatan secara teratur. Namun faktor pengetahuan, efek samping obat, jarak tempat

berobat, dan hubungan antara dokter pasien dapat mempengaruhi kepatuhan

seseorang.Tingkat kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan yang dijalankan oleh

pasien TB akan meningkatkan angka kegagalan pengobatan TB, meningkatkan resiko

morbiditas, mortalitas, kemungkinan kambuhnya penyakit, dan akan semakin banyak pula

ditemukannya pasien TB paru dengan BTA yang resisten.

Page 23: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

8

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana persepsi pasien terhadap komunikasi terapeutik dalam pengobatan

tuberkulosis paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang?

2. Bagaimana gambaran karakteristik (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan,

dan pengetahuan) pasien TB paru yang menjalani pengobatan tuberkulosis paru di

Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang?

3. Bagaimana gambaran faktor terapi (efek samping obat dan riwayat penyakit lain)

pasien TB paru yang menjalani pengobatan tuberkulosis paru di Puskesmas Ciputat

dan Puskesmas Pamulang?

4. Bagaimana gambaran faktor lingkungan (jarak tempat berobat) pasien TB paru yang

menjalani pengobatan tuberkulosis paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas

Pamulang?

5. Bagaimana gambaran komunikasi terapeutik dokter dilihat dari aspek keterbukaan,

empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan dokter di Puskesmas Ciputat

dan Puskesmas Pamulang?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran persepsi pasien terhadap komunikasi terapeutik dokter

dalam pengobatan tuberculosis paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran karakteristik (usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan) pasien tuberkulosis paru di Puskesmas

Ciputat dan Puskesmas Pamulang.

Page 24: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

9

b. Untuk mengetahui gambaran faktor terapi (efek samping obat dan riwayat penyakit

lain) pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang.

c. Untuk mengetahui gambaran faktor lingkungan (jarak tempat berobat) pasien

tuberkulosis paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang.

d. Untuk mengetahui gambaran komunikasi terapeutik dilihat dari aspek keterbukaan,

empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan dokter terhadap pasien

tuberkulosis paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

a. Sebagai syarat untuk meraih gelar SKM pada Program Studi Kesehatan

Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Sebagai aplikasi dari materi-materi yang dipelajari selama perkuliahan

c. Sebagai pengalaman dalam melakukan penelitian

2. Bagi Instansi Terkait

a. Sebagai bahan masukan kepada para dokter, terutama dokter di bagian Poli TB

demi terciptanya pelayanan dan kesembuhan yang optimal melalui komunikasi

dokter-pasien

3. Bagi Masyarakat

a. Sebagai saran kepada masyarakat, baik penderita TB paru ataupun bukan, baik

keluarga penderita TB paru ataupun bukan mengenai pentingnya kepatuhan

berobat dalam proses penyembuhan TB paru.

b. Sebagai data dasar bagi peneliti lain untuk mengembangkan ilmu yang berkaitan

dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru.

Page 25: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

10

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi pasien terhadap

komunikasi terapeutik dokter dalam pengobatan tuberkulosis paru di Puskesmas Ciputat

dan Puskesmas Pamulang. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret - Juni 2018

oleh mahasiswi peminatan Promosi Kesehatan Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Puskesmas Ciputat dan

Puskesmas Pamulang. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita TB paru yang

datang berobat ke Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang. Penelitian ini

merupakan penelitian kuantitatif dengan studi cross sectional dengan mengumpulkan

data langsung ke lapangan menggunakan kuesioner yang dibagikan langsung kepada

responden.

Page 26: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi Terapeutik

World Health Organization (Smet,1994) mendefinisikan kesehatan sebagai

“…keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial, dan bukan hanya

suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan…”. Untuk mengetahui

seseorang sehat atau tidak tentunya harus diperiksa terlebih dahulu.Selain menggunakan

alat-alat kesehatan, komunikasi terapeutik yang terjalin antara tenaga medis dan

pasienjuga dapat digunakan sebagai sarana untuk mendiagnosa penyakit pasien sehingga

memudahkan tenaga medis untuk melakukan tindakan penyembuhan pada pasien.

Secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, te·ra·peu·tik /

térapéutik/ a berkaitan dengan terapi. As Hornby (Nurjanah, 2001) juga mengungkapkan

bahwa terapeutik merupakankata sifat yang dihubungkan dengan seni penyembuhan atau

memiliki segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan.Menurut Purwanto

(1994) komunikasi terapeutik ialah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan

dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Sedangkan menurut Stuart &

Sundeen (1995) komunikasi terapeutik merupakan cara untuk membina hubungan dimana

terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk

mempengaruhi orang lain. Komunikasi terapeutik juga dapat dipersepsikan sebagai proses

interaksi antara pasien dan petugas kesehatan yang membantu pasien dalam mengatasi

stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang lain, menyesuaikan dengan sesuatu

yang tidak dapat diubah dan mengatasi hambatan psikologis yang menghalangi (Kozier,

2000).

Dalam Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2006, komunikasi terapeutik yang terjadi

antara dokter dan pasien adalah pengembangan antara hubungan dokter pasien secara

efektif yang berlangsung secara efisien dengan tujuan utama penyampaian informasi atau

pemberian penjelasan yang diperlukan dalam rangka membangun kerjasama antara dokter

dan pasien. Komunikasi terapeutik yang dilakukan secara verbal dan non verbal akan

membuat pasien paham terhadap keadaan kesehatannya, peluang dan kendalanya

sehingga pasien dan dokter dapat bersama-sama mencari alternatif untuk mengatasi

permasalahan sang pasien.

Dalam hubungan antara dokter dan pasien, komunikasi yang terjalin antara dokter dan

pasien menjadi satu elemen penting. Komunikasi terapeutikyang baik dapat

Page 27: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

12

meningkatkan kepuasan pasien, kepatuhan pasien dalam melaksanakan terapi

pengobatannya bahkan dapat berujung pada kesembuhan pasien. Pasien yang memahami

sifat penyakit mereka beserta penanganannya, dan pasien yang percaya bahwa dokter

yang merawatnya benar-benar memperdulikan kesembuhan pasiennya akan menunjukkan

kepuasan yang lebih besar dan lebih mungkin untuk mematuhi aturan pengobatan.

Pengakuan tentang pentingnya komunikasi terapeutik telah ada secara meluas, namun

penekanan dalam bidang medis sendiri kurang diperhatikan.

Pada contoh komunikasi terapeutik, interaksi yang terjadi antara dokter dan pasien

saat ini kebanyakan menganut pola paternalistik dengan dokter pada posisi yang lebih

dominan daripada pasien. Sehingga efektifitas komuniksi antara dokter dan pasien dapat

terganggu. Dianne (2007) dalam bukunya mengemukakan bahwa terjadinya sengketa

medis lebih sering disebabkan kesenjangan persepsi antara dokter dan pasien. Pada sisi

lain, pasien dan keluarga merasa kurang puas dengan proses atau hasil pengobatan yang

dilakukan, sedangkan pada sisi lain, dokter dan pihak rumah sakit merasa sudah

melakukan pengobatan secara optimal. Sengketa medis ini terjadi karena adanya

perbedaan persepsi antara dokter dan pasien mengenai penyakit, adanya ekspektasi yang

berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan “bahasa”, makna pesan, dokter

dengan pasien, dan atau ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik.

1. Tujuan Komunikasi Terapeutik

Menurut Purwanto (1994), tujuan komunikasi terapeutik adalah, membantu

pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat

mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal

yang diperlukan, mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan

yang efektif serta mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.

Pasien dengan penyakit tuberkulosis paru harus melakukan pengobatan

dengan jangka waktu yang panjang dan teratur agar tidak terjadi komplikasi yang

serius terhadap penyakitnya tersebut.Sehingga tidak jarang mereka merasa frustasi

dan tidak mematuhi pengobatannya.Untuk itu, komunikasi terapeutik memegang

peranan penting karena dengan komunikasi yang baik diberikan oleh petugas

kesehatan dapat membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban pikiran pasien,

meningkatkan pengetahuan pasien dan diharapkan dapat memengaruhi pasien untuk

menanamkan kepatuhan dalam menjalankan pengobatan yang dianjurkan.

2. Teknik Komunikasi Terapeutik

Menurut Stuart dan Sundeen (1995), teknik komunikasi terapeutik terdiri dari:

Page 28: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

13

a. Mendengarkan (Listening)

Mendengarkan merupakan dasar dalam komunikasi yang akan mengetahui

perasaan klien dalam hal ini ialah pasien. Teknik mendengarkan dengan cara

memberi klien kesempatan untuk bicara banyak dan petugas kesehatan lebih

khususnya kepada dokter, bidan atau perawat sebagai pendengar aktif. Ellis

(1998) menjelaskan bahwa mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian

akan menunjukkan pada orang lain bahwa apa yang dikatakannya adalah penting

dan ia adalah orang yang penting. Mendengarkan juga menunjukkan pesan “anda

bernilai untuk saya” dan “saya tertarik padamu”.

b. Pertanyaan terbuka (Broad Opening)

Memberikan inisiatif kepada pasien mendorong pasien untuk mneyeleksi topik

yang akan dibicarakan. Kegiatan ini bernilai terapeutik apabila pasien

menunjukkan penerimaan dan nilai dari inisiatif pasien dan menjadi non

terapeutik apabila petugas kesehatan mendominasi interaksi dan menolak respon

pasien (Stuart, 1995)

c. Mengulang (Restarting)

Merupakan teknik yang dilaksanakan dengan cara mengulang pokok pikiran

yang diungkapkan pasien, yang berguna untuk menguatkan ungkapan pasien dan

memberi indikasi petugas kesehatan untuk mengikuti pembicaraan. Teknik ini

bernilai terapeutik ditandai dengan petugas kesehatan mendengar dan melakukan

validasi, mendukung pasien dan memberikan respon terhadap apa yang baru saja

dikatakan oleh pasien.

d. Penerimaan (Acceptance)

Penerimaan ialah mendukung dan menerima informasi dengan tingkah laku

yang menunjukkan ketertarikan dan tidak menilai.Penerimaan bukan berarti

persetujuan.Menunjukkan penerimaan berarti kesediaan mendengar tanpa

menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.Dikarenakan hal tersebut, petugas

kesehatan harus sadar terhadap ekspresi nonverbal.Bagi petugas kesehatan perlu

menghindari memutar mata keatas, menggelengkan kepala, mengerutkan atau

memandang dengan muka masam pada saat berinteraksi dengan pasien.

e. Klarifikasi

Klarifikasi merupakan teknik yang digunakan apabila petugas kesehatan

merasa ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau saat pasien malu untuk

Page 29: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

14

mengemukakan informasi dan perawat mencoba memahami situasi yang

digambarkan pasien.

f. Refleksi

Refleksi ini dapat berupa refleksi isi dengan cara memvalidasikan apa yang

didengar, refleksi perasaan dengan cara memberikan respon pada perasaan pasien

terhadap isi pembicaraan agar pasien mengetahui dan menerima perasaannya.

Teknik ini akan membantu petugas kesehatan untuk memelihara pendekatan yang

tidak bernilai (Boyd dan ihart, 1998).

g. Asertif

Menurut Smith (1992), asertif adalah kemampuan dengan cara meyakinkan

dan nyaman mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai

hak orang lain. Tahap-tahap menjadi lebih asertif antara lain menggunakan kata

“tidak” sesuai dengan kebutuhan, mengkomunikasikan maksud dengan jelas,

mengembangkan kemampuan mendengar, pengungkapan komunikasi disertai

dnegan bahasa tubuh yang tepat, meningkatkan kepercayaan diri dan gambaran

diri dan menerima kritik dengan ramah.

h. Memfokuskan

Cara ini dengan memilih topik yang penting atau yang telah dipilih dengan

menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yang lebih spesifik, lebih jelas dan

berfokus pada realitas.

i. Membagi Persepsi

Merupakan teknik komunikasi dengan cara meminta pendapat pasien

mengenai hal-hal yang dirasakan dan dipikirkan.

j. Identifikasi “tema”

Merupakan teknik dengan mencari latar belakanng masalah pasien yang muncul

dan berguna untuk menngkatkan pengertian dan eksplorasi masalah yang penting.

k. Diam

Diam dilakukan dengan tujuan untuk mengorganisir pemikiran, memproses

informasi, menunjukkan bahwa petugas kesehatan bersedia untuk menunggu

respon. Diam tidak dilakukan dalam waktu yang lama karena akan mengakibatkan

pasien menjadi khawatir. Diam juga dapat diartikan sebagai mengerti atau marah.

Diam disini juga menunjukkan kesediaan seseorang untuk menanti orang lain

untuk berpikir, meskipun begitu diam yang tidak tepat dapat menyebabkan orang

lain merasa cemas (Myers, 1999).

Page 30: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

15

l. Informing

Menyediakan tambahan informasi dengan tujuan untuk mendapatkan respon

lebih lanjut. Beberapa keuntungan dari menawarkan informasi adalah akan

memfasilitasi komunikasi, mendorong pendidikan kesehatan dan memfasilitasi

pasien untuk mengambil keputusan. Kurangnya pemberian informasi yang

dilakukan saat pasien membutuhkan akan mengakibatkan pasien tidak percaya.

Hal yang tidak boleh dilakukan adalah menasehati klien pada saat memberikan

informasi.

m. Humor

Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu mengurangi ketegangan

dan rasa sakit yang disebabkan oleh stress, dan meningkatkan keberhasilan

petugas kesehatan dalam memberikan dukungan emosional terhadap pasien.

Sullivan dan Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang produksi

catecholamines dan hormone yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan

toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi

pernafasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak

atau menutupi ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan pasien.

Sedangkan menurut Nurjanah (2001), humor sebagai hal yang penting dalam

komunikasi verbal dikarenakan tertawa mengurangi stress, ketegangan, dan rasa

sakit akibat stress, serta meningkatkan keberhasilan asuhan keperawatan.

n. Saran

Teknik yang bertujuan memberi alternative ide untuk pemecahan

masalah.Teknik ini tidak tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase

awal hubunngan.

3. Tahapan dalam Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik tidak sama dengan komunikasi sosial. Komunikasi

sosial tidak memiliki tujuan yang spesifik dan pelaksanaan komunikasi ini terjadi

begitu saja.Sedangkan terapeutik berfungsi untuk mencapai kesembuhan pasien

melalui perubahan dalam diri pasien.Karena itu pelaksanaan komunikasi terapeutik

harus direncanakan dan terstruktur dengan baik. Menurut Struart, G. W (1998)

Struktur dalam proses komunikasi terapeutik terdiri dari dari empat tahap yaitu tahap

prainteraksi, tahap perkenanlan atau orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi. Pada

setiap tahap terdapat tugas atau kegiatan yang harus diselesaikan.

Page 31: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

16

a. Fase Pra-Interaksi

Pada tahap Pra-Interaksi, dimulai sebelum petugas kesehatan, dalam hal ini

dokter, bertemu dengan pasien.Petugas kesehatan terlebih dahulu menggali

kemampuan yang dimiliki sebelum kontak/berhubungan dengan pasien termasuk

kondisi kecemasan yang menyelimuti diri petugas kesehatan sehingga terdapat

dua unsur yang perlu dipersiapkan dan dipelajari pada tahap prainteraksi yaitu

unsur diri sendiri dan unsur dari pasien.Menurut Nasir (2009) dapat diketahui

bahwa hal-hal yang dipelajari dari diri sendiri adalah pengetahuan yang dimiliki

yang terkait dengan penyakit dan masalah pasien, kecemasan dan kekalutan diri,

analisis kekuatan diri, dan waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama

pertemuan.Sedangkan, hal-hal yang perlu dipelajari dari unsur pasien adalah

perilaku pasien dalam menghadapi penyakitnya, adat istiadat, dan tingkat

pengetahuan.

b. Fase Orientasi

Pada tahap perkenalan atau orientasi, petugas kesehatan memulai kegiatan

yang pertama kali dimana petugas kesehatan bertemu pertama kali dengan

pasien.Kegiatan yang dilakukan adalah memperkenalkan diri kepada pasien dan

keluarga bahwa saat ini yang menjadi petugas kesehatan adalah dirinya. Menurut

Suryani (2006), Tugas petugas kesehatan pada tahap perkenalan adalah pertama,

membina hubungan rasa saling percaya dengan menunjukan penerimaan dan

komunikasi terbuka. Penting bagi petugas kesehatan untuk mempertahankan

hubungan saling percaya agar pasien dan petugas kesehatan ada keterbukaan dan

saling menutup-nutupi.Kedua, memodifikasi lingkungan yang kondusif dengan

peka terhadap respon pasien dan menunjukan penerimaan, serta membantu pasien

mengekspresikan perasaan dan pikirannya.

Menurut Nasir et al (2009), petugas kesehatan dituntut mampu membuat

suasana tidak terlalu formal sehingga suasana tidak terkesan tegang dan tidak

bersifat menginterograsi. Lingkungan yang kondusif membantu pasien bisa

berpikir jernih dan mengutarakan keluhan yang diderita secara terbuka, lengkap

sistematis, dan objektif.Tugas petugas kesehatan yang ketiga pada tahap

perkenalan adalah membuat kontrak dengan pasien. Menurut Suryani (2006)

kontrak harus disetujui bersama dengan pasien antara lain, tempat, waktu

pertemuan, dan topik pembicaraan. Tugas yang keempat pada tahap ini, petugas

kesehatan menggali keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien dan divalidasi

Page 32: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

17

dengan tanda dan gejala yang lain, maka dari itu petugas kesehatan perlu

mendenarkan secara aktif untuk mengumpulkan data tersebut.

Petugas kesehatan dituntut memiliki keahlian yang tinggi dalam menstimulasi

pasien maupun keluarga agar mampu mengungkapkan keluhan yang dirasakan

secara lengkap dan sistematis serta objektif.Keahlian yang harus dimiliki petugas

kesehatan adalah terkait dengan teknik komunikasi agar pasien mengungkapkan

keluhannya dengan sebenarnya tanpa dututup-tutupi ataupun diada-adakan

sehingga mengacaukan rencana tindakan.

c. Fase Kerja

Pada tahap kerja, biasanya merupakan tahap yang paling lama diantara tahap-

tahap lain. Pada tahap ini, petugas kesehatan dan pasien bertemu untuk

menyelesaikan masalah dan membentuk hubungan yang saling menguntungkan

secara profesional, yaitu mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Tugas petugas

kesehatan pada fase ini adalah memenuhi kebutuhan dan mengembangkan pola-

pola adaptif pasien, memberi bantuan yang dibutuhkan pasien, mendiskusikan

dengan pasien teknik-teknik untuk mencapai tujuan.Selain sebagai pemberi

pelayanan, peran, petugas kesehatan sebagai pengajar dan konselor sangat

diperlukan pada fase ini.Peran ini meliputi upaya meningkatkan motivasi pasien

untuk mempelajari dan melaksanakan aktivitas peningkatan kesehatan, untuk

mengikuti program pengobatan dokter, dan untuk mengekspresikan

perasaan/pengalaman yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan

kebutuhan perawatan yang terbentuk, contohnya memberikan pengajaran tentang

diet yang harus dipatuhi pasien dengan hemodialisa. Interaksi yang memuaskan

akan menciptakan situasi suasana yang meningkatkan integritas pasien dengan

meminimalkan ketakutan, kecemasan, ketidakpercayaan, dan tekanan pada pasien

(Tamsuri, 2005)

d. Fase Terminasi

Tahap terakhir pada komunikasi terapeutik adalah tahap terminasi.Tahap

terminasi dimulai ketika pasien dan petugas kesehatan memutuskan untuk

mengakhiri hubungan dengan pasien. Menurut Tamsuri (2005), tahap terminasi

dibagi menjadi dua yaitu terminasi hubungan yang temporer, terjadi ketika

petugas kesehatan dan pasien harus berpisah pada akhir shift petugas kesehatan,

sementara terminasi scara permanen dilakukan ketika pasien telah sembuh (tujuan

telah tercapai) atau dipindah ke unit lain atau ketika petugas kesehatan pindah ke

Page 33: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

18

unit lain sehingga tidak memungkinan lagi pertemuan dengan pasien dalam situasi

profesional. Tugas petugas kesehatan pada tahap ini menurut Suryani (2005)

adalah mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan,

menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan dan membuat

kontrak untuk pertemuan berikutnya.

4. Faktor-Faktor Efektivitas Komunikasi Terapeutik

Devito (1997) menjelaskan bahwa faktor-faktor efektivitas komunikasi

terapeutikdimulai dengan 5 kualitas umum, yaitu:

a. Keterbukaan (Openness)

Keterbukaan bukan hanya menjadi modal penting dalam komunikasi, tetapi

juga di seluruh kehidupan manusia, terutama dalam proses belajar yang

berlangsung sepanjang hayat. Keterbukaan memungkinkan dan memudahkan

seseorang untuk dapat menerima gagasan atau pendapat dari orang lain serta

belajar dari orang lain. Keterbukaan juga menjadi suatu prasyarat untuk

membangun sikap saling pengertian dan memahami antar manusia (Wiryanto,

2004).

b. Empati (Emphaty)

Empati dianggap sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang

sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain

tersebut dan melalui kacamata orang lain tersebut. Apabila bersimpati diartikan

sebagai “merasakan bagi orang lain” atau merasa ikut bersedih, maka berempati

ialah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di tempat yang

sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang

berempatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan

sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa yang akan

mendatang

Empati dapat dikomunikasikan secara verbal maupun non verbal. Secara

nonverbal, empati dapat dilihat dari keterlibatan aktif lawan bicara melalui

ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai, konsentrasi yang terpusat pada

kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta

sentuhan atau belaian yang sepantasnya (Mulyana, 2007).

Page 34: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

19

c. Sikap Mendukung (Supportiveness)

Hubungan komunikasi akan menjadi efektif apabila terdapat sikap mendukung

atausupportiveness, karena komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat

berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Cara memperlihatkan sikap

mendukung dapat berupa dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan

bukan strategic, dan provisional bukan sangat yakin (Gibb, 1961).

d. Sikap Positif (Positiveness)

Cara mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi terapeutik dapat

ditunjukkan dengan dua cara, yaitu menyatakan sikap positif dan secara positif

mendorong orang yang menjadi teman kita untuk berinteraksi. Sikap positif

mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi terapeutik. Pertama,

komunikasi terapeutik terbina jika seseorang pasien memiliki sikap positif

terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi

pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif, karena tidak ada yang

lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang menikmati

interaksi atau bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana

interaksi (Devito, 1997)

e. Kesetaraan (Equality)

Dalam setiap situasi, ketidaksetaraan sangat mungkin terjadi. Seperti salah

seorang mungkin lebih pandai, lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih

atletis daripada yang lain. Terlepas dari ketidaksetaraan yang ada, komunikasi

terapeutik akan lebih efektif apabila terjadi dalam suasana yang setara antara

dokter dan pasien, dalam arti terdapat pengakuan secara diam-diam bahwa kedua

pihak yang berkomunikasi sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-

masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Perbedaan

pendapat dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan

daripada untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan setiap

pihak yang berkomunikasi untuk menerima dan menyetujui begitu saja semua

perilaku verbal dan nonverbal lawan bicaranya. John Sommers Flanagan(2015)

mengistilahkan kesetaraan sebagai permintaan untuk memberikan ”penghargaan

positif tak bersyarat” kepada lawan bicara.

Page 35: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

20

B. Tuberkulosis Paru

1. Pengertian

Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan

bakteri kompleks mycobacterium tuberculosis.Bakteri ini merupakan bakteri basil

yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya.Bakteri ini

lebih sering menginfeksi organ paru-paru (90%) dibandingkan bagian lain tubuh

manusia (Masrin, 2008).Penyakit ini ditularkan melalui cairan dari tenggorokan dan

paru-paru seperti ludah ataupun dahak penderita TB (WHO, 2012).

Bakteri mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dengan panjang 5µ dan

lebar 3µ, tidak membentuk spora, dan termasuk kedalam bakteri aerob sertamemilliki

sifat khusus tahan terhadap asam pada pewarnaan.Oleh karena itu bakteri ini disebut

juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes, 2002).

2. Gejala TB Paru

TB paru memiliki gejala seperti demam tingkat rendah, keletihan, anoreksia,

penurunan berat badan, keringat di malam hari, nyeri di dada, dan batuk yang

menetap (Smeltzer, 2002).Namun, gejala utama penderita TB Paru adalah batuk

berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan

yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam hari

tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes, 2007).

Meskipun gejala-gejala yang disebutkan tadi dapat dijumpai juga pada

penyakit selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan

lain-lain. Namun mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi,

maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala

tersebut di atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB Paru dan

perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes, 2007).

3. Diagnosa TB Paru

Untuk menegakkan diagnosis penyakit TB paru maka dilakukan serangkaian

tindakan yang dimulai anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lanjutan.

Seorang dikatakan menderita TB apabila pada pemeriksaan SPS sekurang-kurangnya

2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, atau 1 spesimen dahak SPS

Page 36: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

21

memiliki BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis

aktif (Depkes, 2007).

Pada diagnosa TB Paru, seluruh suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam

2 hari, yaitu SPS atau sewaktu-pagi-sewaktu. Diagnosa TB Paru pada orang dewasa

ditegakkan apabila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan dahak mikroskopik.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai

penunjang diagnosis sesuai dengan indikasinya. Namun diagnosis tidak dapat

ditegakkan jika hanya berdasarkan foto toraks saja, karena foto toraks tidak selalu

memberikan gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi over

diagnosis, selain itu gambaran kelainan radiologi paru juga tidak selalu menunjukkan

aktivitas penyakit (Depkes, 2007).

4. Klasifikasi dan Tipe Penderita TB Paru

Tabel 2.1

Klasifikasi Penyakit TB menurut Price dan Lorraine (2005)

Kelas Tipe Keterangan

0 Tidak ada pajanan TB

Tidak Terinfeksi

Tidak ada riwayat terpajan

Reaksi terhadap tes kulit tuberculin negatif.

1 Terpajan TB

Tidak ada bukti infeksi

Riwayat terpajan

Reaksi tes kulit tuberculin negatif.

2 Ada infeksi TB

Tidak timbul penyakit

Reaksi tes kulit tuberculin positif.

Pemeriksaan bakteri negatif bila dilakukan.

Tidak ada bukti klinis, bakteriologik atau

radiografik TB aktif.

3 TB, aktif secara klinis Terdapat biakan mycobacterium tuberculosis.

Terdapat bukti klinis bakteriologik atau

radiografik penyakit.

4 TB, tidak aktif secara

klinis

Memiliki riwayat TB atau ditemukan hasil

radiografik yang abnormal atau tidak berubah.

Reaksi tes kulit tuberculin positif dan tidak aka

bukti klinis atau radiografik penyakit sekarang

5 Tersangka TB Diagnosa ditunda, pasien seharusnya tidak

boleh berada pada kelas ini lebih dari 3 bulan

Page 37: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

22

Menurut Depkes RI (2007), ada beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan

riwayat pengobatan sebelumnya yaitu :

a. Kasus baru adalah penderita TB Paru yang belum pernah diobati dengan OAT

atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah penderita TB Paru yang telah

berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih, kemudian kembali berobat dengan

BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (Failure) adalah penderita TB Paru yang hasil pemeriksaan

dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih

selama pengobatan.

e. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita TB Paru yang dipindahkan dari

UPK yang memiliki register TB ke UPK lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam

kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu penderita TB Paru dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

5. Cara Penularan

Penularan TB dapat terjadi pada saat penderita TB batuk atau bersin, penderita

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).Dalam

sekali batuk penderita dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.Namun pada

umumnya penularan terjadi didalam ruangan yang mana percikan dahak dapat berada

dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan

yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dari parunya.semakin tinggi derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak, maka semakin menular penyakit penderita tersebut (Budianto,

2003).Depkes (2007) pada Pedoman Nasional Penanggulangan TB menjelaskan

bahwa faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Page 38: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

23

6. Pencegahan

Franklin (2005) menyatakan pencegahan penyakit TB dapat dilakukan dengan

cara penyediaan nutrisi yang baik, sanitasi yang adekuat, perumahan yang tidak

terlalu padat dan udara yang segar merupakan tindakan yang efektif dalam

pencegahan penularan penyakit TB. Sedangkan Perkumpulan Pemberantasan

Tuberkulosis Indonesia (PPTI, 2010) menjelaskan bahwa pencegahan penularan TB

dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

a. Bagi Masyarakat

1) Memakan makanan yang bergizi dan seimbang sheinga daya tahan tubuh

meningkat untuk membunuh bakteri TB

2) Tidur dan istirahat yang cukup

3) Tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba

4) Membuka ajendela agar sinar matahari dapat masuk kerumah, karena bakteri

TB akan mati apabila terkena sinar matahari

5) Imunisasi BCG bagi balita, guna mencegah kondisi balita tidak lebih parah

bila terinfeksi TB

6) Menyarankan kepada teman, tetangga, keluarga, ataupun orang lain yang

dicurigai terinfeksi TB agar segera memeriksakan diri dan berobat sesuai

aturan hingga sembuh.

b. Bagi Penderita

1) Tidak meludah disembarang tempat

2) Menutup mulut saat batuk atau bersin

3) Berperilaku hidup bersih dan sehat

4) Berobat sesuai aturan sampai sembuh

5) Memeriksakan balita yang tinggal serumah agar segera diberikan pengobatan

pencegahan

7. Prinsip Pengobatan

Tujuan dari pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan.

Obat anti tuberculosis (OAT) yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa

jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat deduai dengan kategori pengobatan,

umumnya selama 6-8 bulan, agar seluruh bakteri TB, termasuk bakteri yang persisten

dapat dibunuh (Depkes RI, 2007).

Page 39: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

24

Pengobatan tuberculosis paru dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip

bahwa obat anti tuberculosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan dan tidak boleh menggunakan OAT tunggal (monoterapi).Pemakaian

OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat

dianjurkan.Selain itu, untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (Directly Observed Treatment atau DOT) oleh seorang

pengawas minum obat (PMO).

Menurut PedomanNasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI (2007),

pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap yaitu :

a. Tahap Awal (Intensif)

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.Apabila

pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan sebagian besar

penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan.

b. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama.Pada tahap lanjutan ini, membunuh kuman

persistenmenjadi sasaran utama untuk mencegah terjadinya kekambuhan.

8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Paru

Berdasarkan paduan OAT yang dikeluarkan oleh Depkes (2007), OAT

disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan

pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. OAT terdiri

dari satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Program Nasional

Penaggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT :

a. Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan

Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).

Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Obat ini diberikan untuk penderita baru TB Paru BTA positif, TB Paru BTA

negatif Rontgen positif yang sakit berat, dan TBC Ekstra paru berat.

Page 40: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

25

b. Kategori 2 (2HRZE / HRZE / 5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan

Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan

Streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid (H),

Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga

kali seminggu.Perlu diperhatikan bahwa suntikan Streptomisin diberikan setelah

penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh

(relaps), gagal (failure) dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after

default).

c. Kategori 3 (2HRZ / 4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari selama 2 bulan

(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan yang

diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan pada penderita baru BTA

negatif dan rontgen positif sakit ringan serta penderita Ekstra paru ringan yaitu

TBC kelenjar limfe (limfademitis), pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC

tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

d. OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan

kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil

pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari

selama satu bulan.

9. Efek Samping Obat

Bagi penderita TB, banyak yang dapat menyelesaikan pengobatannya tanpa

mengalami efek samping, namun tidak sedikit pula yang dapat mengalami efek

samping dari obat yang dikonsumsinya.Oleh karena itu, pemantauan efek samping

sangat penting untuk dilakukan selama pasien menjalani pengobatan. Pemantauan

efek samping dapat dilakukan dengan cara menjelaskan kepada penderita TB

mengenai tanda-tanda efek samping, serta menanyakan adanya gejala efek samping

kepada penderita saat penderita mengambil OAT (Soeparman, 1994).

Page 41: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

26

Tabel 2.2

Efek Samping Ringan dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat Efek Samping Penanganan

Rifampisin Tidak ada nafsu makan,

mual, sakit perut, warna

kemerahan urin

Perlu diberikan penjelasan

kepada penderita serta obat

diminum pada malam hari

sebelum tidur

Pirasinamid Nyeri Sendi Beri Aspirin

INH Kesemutan hingga rasa

terbakar dikaki

Beri Vitamin B6 (Piridoxin)

100mg per hari

Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2007

Tabel 2.3

Efek Samping Berat dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat Efek Samping Penanganan

Streptomisin Tuli, gangguan

keseimbangan

Streptomisin dihentikan

dan diganti dengan

Etambutol

Rifampisin Purpura dan syok Hentikan Rifampisin

Semua Jenis OAT Gatal dan kemerahan

pada kulit

Diberi Antihistamin

Hampir semua OAT Ikterus tanpa

penyebab lain, rasa

bingung, dan muntah-

muntah

Hentikan semua OAT

hingga Ikterus menghilang

dan segera lakukan tes

fungsi hati

Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2007

10. Proses Pengobatan TB Paru

Pada proses pengobatan TB paru, hal penting yang harus diperhatikan dan

dilakukan oleh penderita TB paru untuk keberhasilan pengobatannya adalah

kepatuhan dan keteraturan dalam menjalani pengobatan TB parusampai dinyatakan

sembuh. Sesuai dengan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse(DOTS)

yang telah ditetapkan pemerintah, pengobatan TB paru akan selesai dalam jangka

waktu 6 bulan, yaitu 2 bulan pertama setiap hari (tahap intensif) di lanjutkan 3 kali

dalam seminggu selama 4 bulan tahap lanjut (Depkes, 2007).

Page 42: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

27

Pengobatan bagi penderita penyakit TBC akan menjalani proses yang cukup

lama, yaitu berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan lebih. Penyakit TB dapat

disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan

yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup

baik.

Selama proses pengobatan, untuk mengetahui perkembangannya yang lebih

baik maka disarankan pada penderita untuk menjalani pemeriksaan baik darah,

sputum, urine dan X-ray atau rontgen setiap 3 bulannya. Adapun obat-obtan yang

umumnya diberikan adalah Isoniazid dan rifampin sebagai pengobatan dasar bagi

penderita TBC, namun karena adanya kemungkinan resistensi dengan kedua obat

tersebut maka dokter akan memutuskan memberikan tambahan obat seperti

pyrazinamide dan streptomycin sulfate atau ethambutol HCL sebagai satu kesatuan

yang dikenal 'Triple Drugs.

Pengobatan denga jangka waktu yang panjang mengakibatkan tidak sedikit

pasien yang putus berobat di tengah-tengah proses pengobatan. Selain karena jangka

waktu yang lama, alasan lain penghentian pengobatan secara sepihak adalah karena

sudah merasa sembuh setelah beberapa kali minum obat. Dalam minggu awal

pengobatan gejala TB paruakan mereda bahkan menghilang sehingga menyebabkan

pasien merasa sembuh dan tidak memerlukan obat lagi. Padahal hilangnya gejala

tidak sama dengan sembuh. Walaupun gejala sudah membaik namun bakteri TB tetap

ada di tubuh.

11. Hasil Pengobatan Tuberkulosis

Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai sembuh,

pengobatan lengkap, meninggal, pindah, putus berobat, dan gagal (Depkes RI, 2008).

a. Sembuh

Penderita dinyatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan secara

lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada Akhir

Pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow up sebelumnya negatif.

b. Pengobatan lengkap

Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak

memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

c. Meninggal

Penderita yang meninggal dalam masa pengobatan dikarenakan sebab apapun.

Page 43: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

28

d. Pindah

Penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil

pengobatannya tidak diketahui.

e. Putus berobat

Penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

pengobatannya selesai.

f. Gagal

Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

Page 44: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

29

C. Kerangka Teori

Bagan 2.1

(WHO, 2003;Devito 1997)

Proses

Pengobatan

Faktor Pasien:

- Usia

- Jenis Kelamin

- Pendidikan

- Pekerjaan

- Pengetahuan

Faktor Terapi:

- Efek Samping Obat

- Riwayat Penyakit Lain

Faktor Sistem

Penyelenggaraan Kesehatan

Faktor Lingkungan:

- Jarak tempat berobat

Faktor Sosial Ekonomi:

- Penghasilan

- Komunikasi Terapeutik

Dokter (berdasarkan aspek

keterbukaan dokter, empati

dokter, sikap mendukung

dokter, sikap positif dokter,

dan kesetaraan antara dokter

dan pasien)

Page 45: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

30

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori dari WHO (2003) dan Devito (1997) yang telah

diuraikan pada bab sebelumnya, pengobatan seseorang dipengaruhi oleh 5 faktor, yaitu

faktor pasien, faktor terapi, faktor system penyelenggaraan pelayanan kesehatan, faktor

lingkungan dan faktor sosial ekonomi. Pada penyakit TB paru di Puskesmas, petugas

kesehatan yang berperan langsung pada penderita TB paru adalah dokter yang berada di

Poli TB. Oleh karena itu, pada sosial ekonomi, variabel yang diukur adalah komunikasi

terapeutik dokter.

Variabel sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak diteliti dikarenakan

beberapa aspek penunjang system penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Puskesmas

Ciputat sudah cukup baik seperti tersedianya dokter dan perawat untuk menangani pasien

TB di Poli TB serta kondisi obat-obatan yang juga memadai. Selain itu Puskesmas

Ciputat dan Puskesmas Pamulang juga telah memiliki kegiatan pelayanan untuk Poli TB

pada setiap hari Selasa dan Kamis serta Kamis dan Jumat. Pada variabel penghasilan juga

tidak diteliti dikarenakan setiap pasien yang hendak berobat di Puskesmas Ciputat hanya

dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 2.000,- saja bahkan pengobatan TB dapat

dilakukan secara secara cuma-cuma apabila menggunakan kartu BPJS ataupun asuransi

kesehatan lainnya.

Adapun dalam penelitian ini, variabel yang akan diteliti lebih spesifik adalah

variabel umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, efek samping

obat, dan jarak tempat berobat sebagai variabel bebas (independen) dan komunikasi

Page 46: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

31

terapeutik dokter dengan 5 aspek pendukungnya yaitu aspek keterbukaan, empati, sikap

mendukung, sikap positif dokter, dan kesetaraan antara dokter-pasien yang dilihat dari

persepsi pasien sebagai variabel terikat (dependen).

Dalam buku yang ditulis oleh Dianne (2007), menyatakan bahwa pada sejumlah

negara, kemampuan terapeutik dokter kepada pasiennya memiliki peran dalam upaya

kesembuhan pasien. Seorang praktisi kesehatan yang berusaha untuk membentuk

hubungan baik dan hubungan persahabatan dengan pasien serta meyakinkan mereka

bahwa mereka akan segera menjadi lebih baik, lebih efektif daripada praktisi kesehatan

yang terus-menerus berkonsultasi secara impersonal (tidak akrab dan tidak bersahabat),

formal atau tidak pasti.

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka konsep untuk penelitian ini dapat

digambarkan sebagai berikut:

Bagan 3.1

Kerangka Konsep

Persepsi Pasien

Terhadap Komunikasi Terapeutik

Faktor Pasien:

- Usia

- Jenis Kelamin

- Pendidikan

- Pekerjaan

- Pengetahuan

Faktor Terapi:

- Efek Samping Obat

- Riwayat Penyakit Lain

Faktor Lingkungan:

- Jarak tempat berobat

Page 47: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

32

B. Definisi Operasional

No Variabel

Definisi

Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

1. Kepatuhan

Berobat

Perilaku atau

perbuatan responden

(penderita TB) yang

sesuai dengan

ketentuan atau

instruksi yang

diberikan oleh tenaga

medis dalam

mengikuti

penggunaan Obat

Anti Tuberkulosis

(OAT) sesuai dengan

aturan pakai yang

tepat, termasuk

kepatuhan untuk

selalu minum obat,

kepatuhan terhadap

jumlah butir obat

yang diminum,

frekuensi dan waktu

minum obat yang

Kartu berobat

pasien,

wawancara,

dan kuesioner.

0. Tidak patuh,

jika responden

gagal memenuhi

satu atau lebih

kriteria kepatuhan

di definisi

operasional.

1. Patuh, jika

responden

memenuhi seluruh

kriteria kepatuhan

yang telah

disebutkan di

definisi

operasional.

(Depkes, 2002)

Ordinal

Page 48: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

33

tepat dan ketepatan

waktu untuk datang

mengambil obat,

kontrol serta

memeriksakan ulang

dahak ke puskesmas

sesuai dengan waktu

yang telah

ditentukan.

2. Usia Banyaknya angka

dalam tahun yang

dihitung sejak

responden lahir

hingga dilakukannya

penelitian ini.

Kuesioner,

Wawancara

0. Produktif, Jika

berusia 16 - 64

tahun

1. Non Produktif,

Jika berusia ≥ 65

tahun

(Pusat Data dan

Informasi

Kemenkes RI,

2016)

Nominal

3 Jenis

Kelamin

Perbedaan responden

yang didasarkan pada

gender

Kuesioner,

Wawancara

0. Laki-Laki

1. Perempuan

Nominal

4 Tingkat

Pendidikan

Sekolah formal yang

berhasil diselesaikan

oleh responden

Kuesioner,

Wawancara

0. Pendidikan

Dasar, Jika

memiliki

Nominal

Page 49: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

34

pendidikan

terakhir SD dan/

atau SLTP/

Sederajat

1. Pendidikan

Lanjut, Jika

memiliki

pendidikan

terakhir SLTA/

sederajat dan/ atau

Perguruan Tinggi

(UU SISDIKNAS,

2003)

5 Pekerjaan Kegiatan tetap yang

dilakukan sehari-hari

untuk menghidupi

kehidupan responden

dan keluarganya.

Kuesioner,

Wawancara

0. Bekerja

1. Tidak Bekerja

Nominal

6 Pengetahuan Pemahaman

responden mengenai

kepatuhan dalam

berobat TB paru.

Kuesioner,

Wawancara

0. Pengetahuan

rendah jika total

nilai 0-5

1. Pengetahuan

tinggi jika total

nilai <6

Ordinal

Page 50: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

35

7 Efek

Samping

Obat

Keluhan responden

akibat timbulnya

gejala atau tanda-

tanda yang timbul

seperti mual, sakit

perut, warna

kemerahan pada urin,

gangguan

keseimbangan, gatal,

kemerahan pada

kulit, dan ikterus

selama/ setelah

minum obat TB

Kuesioner,

Wawancara

0. Ada efek

samping, jika

terdapat 1 atau

lebih efek samping

OAT yang

dirasakan.

1. Tidak ada efek

samping, jika tidak

ada satupun efek

samping OAT

yang dirasakan.

(Depkes, 2007)

Ordinal

8 Jarak tempat

berobat

Jawaban responden

mengenai dekat atau

tidaknya jarak antara

tempat tinggal

responden ke

tempatnya berobat

Kuesioner,

Wawancara

0. Tidak dekat,

jika jarak > 2 km

1. Dekat, Jika

jarak ≤ 2 km

(Maulidia, 2014)

Ordinal

9 Komunikasi

Terapeutik

Jawaban responden

mengenai

komunikasi dokter

dilihat dari aspek

keterbukaan dokter,

aspek empati, aspek

Kuesioner,

Wawancara

menggunakan

Skala Likert

0. Kurang baik,

jika jumlah

skor yang

diperoleh ≤

median.

1. Baik, jika

Ordinal

Page 51: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

36

sikap mendukung,

aspek sikap positif

dan aspek kesetaraan

antara dokter dan

pasien pada saat

sedang melayani

pasien di Poli TB.

(Devito, 1997)

jumlah skor

nilai yang

diperoleh >

median

Page 52: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

37

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dimana pengukuran terhadap

variabel dependen dan variabel independen dilakukan pada satu waktu, secara bersamaan

dengan melihat bagaimana komunikasi dokter saat melayani pasien yang sedang

menjalani pengobatan terhadap kepatuhan pasien sehingga waktu yang digunakan cukup

efektif dan efisien.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, yaitu selama bulan Maret sampai dengan Juni

2018.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Ciputat dan Puskesmas

Pamulang. Pengambilan data responden dan pengisian kuesioner dilakukan di ruang

Poli TB yang dibuka pada hari kamis dan jumat untuk Puskesmas Pamulang dan

selasa kamis untuk Puskesmas Ciputat. Program TB yang dilakukan berupa konsultasi

pasien, pemeriksaan dahak, dan pembagian obat secara cuma-cuma.

Page 53: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

38

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh penderita TB paru

yang sedang menjalani pengobatan TB paru minimal selama 3 bulan di wilayah Kerja

Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang.

2. Sampel

Responden untuk penelitian ini adalah penderita TB paru yang sudah

terdiagnosis dan menjalani pengobatan TB dan dibuktikan dengan rekam medik,

berusia 16 tahun keatas, dalam keadaan sadar, dapat membaca dan menulis, dapat

berkomunikasi dengan baik dan bersedia untuk menjadi responden.Serta observasi

langsung terhadap dokter yang menangani Poli TB Paru dengan menggunakan tabel

checklist.

Dalam menentukan responden, peneliti menggunakan teknik purposive

sampling dengan memberikan kuesioner kepada penderita TB paru yang sedang

melakukan pengobatan ataupun konseling di Poli TB Puskesmas Ciputat dan

Puskesmas Pamulang.Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus

Stephen Isaac & Willian B. Michael (1981:92). Rumus besar sampel menurut

Lemeshow adalah sebagai berikut:

n =𝑁. 𝑍1−∝/2². 𝑃(1 − 𝑃)

(𝑁 − 1)𝑑2 + 𝑍1−∝/2². 𝑃(1 − 𝑃)

Keterangan:

n = Jumlah sampel

Z1-α/2 = Derajat kepercayaan 95% dengan nilai 1,96

P = Proporsi populasi = 0,5

d = Presisi absolut = 0,1

Page 54: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

39

N = Jumlah anggota populasi TB Paru di Puskesmas Ciputat = 93 dan di

Puskesmas Pamulang sebanyak 139

𝑛 = 93 (1,96)2. (0,5)(1 − 0,5)

(93 − 1)(0,1)2 + (1,96)2. (0,5)(1 − 0,5)

𝑛 = 48

𝑛 = 139 (1,96)2. (0,5)(1 − 0,5)

(139 − 1)(0,1)2 + (1,96)2. (0,5)(1 − 0,5)

𝑛 = 57 Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus diatas, didapatkan besar

sampel minimal yang diperlukan adalah 48 dan 57 sampel dan masing-masing sampel

ditambah 10% sebagai perkiraan terjadinya drop out. Sehingga total sampel secara

keseluruhan ialah sebanyak 52 orang di Puskesmas Ciputat dan 62 orang di

Puskesmas Pamulang.

D. Etika Penelitian

Sebelum melakukan wawancara dengan responden, peneliti menjamin hak-hak

responden dengan terlebih dahulu melakukan informed consent atau lembar persetujuan

responden dimana responden berhak menolak apabila tidak bersedia untuk menjadi

subjek penelitian.

Dalam meminta persetujuan dari responden, peneliti menjelaskan terlebih dahulu

mengenai topik, tujuan penelitian, teknis pelaksanaan penelitian, dan hak-hak responden.

Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden dengan cara menggunakan nama

samaran dalam bentuk inisial, tidak menyebutkan identitas responden dalam laporan

penelitian dan hasil penelitian hanya digunakan untuk perkembangan dunia pendidikan.

Page 55: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

40

E. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder.Data primer yaitu data yang diambil dari sumbernya langsung yang dirumuskan

melalui kuesioner dan diisi langsung oleh responden yang menyangkut kepatuhan berobat

pasien terhadap komunikasi terapeutik dokter di Poli TB Puskesmas Ciputat. Sedangkan

data sekunder yaitu data penunjang yang diambil oleh peneliti dari Puskesmas dan Dinas

Kesehatan Tangerang Selatan. Adapun prosedur pengumpulan data primer ialah sebagai

berikut:

1. Pembuatan surat izin yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Selatan.

2. Permohonan izin pengambilan data dan studi pendahuluan di Puskesmas terkait.

3. Melakukan uji validitas dan reliabilitas instrument.

4. Pengolahan data uji validitas dan reliabilitas.

5. Pengambilan data melalui kuesioner sebagai data primer.

6. Pengolahan hasil penelitian.

F. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan lembaran

kuesioner yang disusun secara terstruktur berdasarkan teori dan berisikan pertanyaan

yang harus dijawab responden. Instrument ini terdiri tiga bagian yaitu karakteristik

pasien, penilaian pengetahuan, dan penilaian persepsi pasien terhadap komunikasi

terapeutik dokter.

1. Bagian pertama dari kuesioner ialah data karakteristik pasien yang mana meliputi

inisial nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, jarak tempat berobat dan

efek samping obat.

Page 56: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

41

2. Bagian kedua berisi 10 pernyataan dengan pilihan ganda untuk mengukur

pengetahuan responden terhadap pengobatan TB Paru, dimana jawaban benar bernilai

1 dan salah bernilai 0. Sehingga jika dijumlahkan, nilai tertinggi 10 dan nilai terendah

0. Pengetahuan dianggap tinggi jika jumlah nilai diatas 6 dan pengetahuan dianggap

rendah jika jumlah nilai 0-5.

3. Bagian ketiga, berisi penilaian mengenai persepsi pasien terhadap komunikasi

terapeutik dokter dilihat dari aspek keterbukaan dokter, empati dokter, sikap

mendukung dokter, sikap positif dokter, dan kesetaraan dokter yang mana

penilaiannya menggunakan skala Likert. Penilaian untuk pertanyaan positif yaitu:

Selalu : 4

Sering : 3

Kadang-kadang : 2

Tidak Pernah : 1

Pertanyaan mengenai keterbukaan dan sikap mendukung dokter dalam melayani

pasien terdapat 6 pernyataan yang jika dijumlahkan nilai tertinggi 24 dan nilai

terendah 6 dengan median 12,5. Pada pertanyaan mengenai empati dan kesetaraan

dokter pasien terdapat 3 pertanyaan dimana jumlah nilai tertinggi 12 dan nilai

terendah 3 dengan median 6,5. Pertanyaan mengenai sikap positif dokter berjumlah 4

pertanyaan dengan jumlah nilai tertinggi 16 dan nilai terendah 4 dimana mediannya

8,5.

Komunikasi terapeutik dari aspek keterbukaan dokter, empati dokter, sikap

mendukung dokter, sikap positif dokter, dan kesetaraan dokter dianggap kurang baik

jika jumlah nilai yang diperoleh ≤ median dan dianggap baik jika jumlah nilai >

median.

Page 57: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

42

G. Manajemen Data

Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah dan dianalisis menggunakan

komputer. Agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar, Nazir (2005)

dalam bukunya menyebutkan bahwa ada 4 tahapan dalam pengolahan yang harus dialui,

yaitu:

1. Editing

Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan terhadap semua isian pada setiap item

pertanyaan dalam kuesioner untuk mengetahui kelengkapan pengisian kuesioner,

konsisten dan relevansi jawaban.Pada saat melakukan penelitian, apabila terdapat

pertanyaan yang belum terjawab oleh responden, maka responden diminta untuk

mengisi kembali.Sedangkan apabila terdapat jawaban ganda pada kuesioner maka

dianggap salah.

2. Coding

Coding merupakan kegiatan mengklasifikasikan jawaban dari responden menurut

criteria tertentu dengan merubah data berbentuk huruf menjadi data yang berbentuk

angka atau bilangan.Kegunaan dari coding adalah untuk mempermudah pada saat

analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data.

3. Scoring

Setelah melakukan pengkodingan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan

scoring atau penentuan jumlah skor, dalam penelitian ini menggunakan skala

ordinal.Oleh karena itu, hasil kuesioner yang telah diisi bila benar diberi skor 1 dan

bila salah diberi skor 0.

4. Tabulating

Tabulating ialah kegiatan penyusunan data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

hingga kemudian di analisis univariat.

Page 58: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

43

H. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan secara

univariat untuk mengetahui deskripsi atau gambaran masing-masing variabel yaitu

karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan),

variabel faktor terapi (efek samping obat riwayat penyakit lain), faktor lingkungan (jarak

tempat berobat) dan pelaksanaan komunikasi terapeutik dokter dilihat dalam aspek

keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan dokter dalam

menangani pasiennya terhadap pengobatan pasien TB paru.

Page 59: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

44

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

1. Puskesmas Ciputat

Puskesmas Ciputat terletak ± 6 km sebelah Utara Kota Tangerang Selatan.

Puskesmas Ciputat merupakan salah satu dari 3 Puskesmas yang ada di wilayah

Kecamatan Ciputat. Letaknya berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas Kampung

Sawah pada sebelah utara, Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang pada sebelah selatan,

Wilayah Kerja Puskesmas Benda Baru pada sebelah barat, dan Wilayah Kerja

Puskesmas Ciputat Timur pada sebelah timur.

Puskesmas Ciputat terletak di Jalan Ki Hajar Dewantara No.7 Kelurahan

Ciputat, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan yang terdiri dari 2 lantai.

Kegiatan pelayanan di pusatkan di lantai 1 sedangkan lantai 2 difungsikan sebagai

ruang pimpinan, staff, data dan ruang rapat. Di lantai 2 juga terdapat ruang pelayanan

pengobatan TB paru, klinik Sanitasi, klinik PTRM dan laboratorium. Wilayah kerja

Puskesmas Ciputat terdiri dari 2 kelurahan yaitu Kelurahan Ciputat dan Kelurahan

Cipayung. Adapun Puskesmas Ciputat ialah:

a. Program kegiatan pokok seperti kegiatan perbaikan gizi, pencegahan dan

pemberantasan penyakit, serta pelayanan pengobatan.

b. Program pengembangan wajib seperti program untuk lansia.

2. Puskesmas Ciputat

Puskesmas Pamulang memiliki 4 wilayah kerja, yaitu Kelurahan Pamulang

Barat, Kelurahan Pamulang Timur, Kelurahan Pondok Cabe Ilir dan Keluarahn

Pondok Cabe Udik.

Page 60: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

45

Puskesmas Pamulang memiliki 3 program kesehatan, yaitu program

kesehatan dasar, pengembangan wajib, dan pengembangan pilihan.

a. Pengembangan kesehatan dasar meliputi romosi Kesehatan, Penyehatan

Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, Perbaikan Gizi,

Penyegahan Penyakit Menular (Tuberkulosis dan Kusta) serta Pengobatan.

b. Pengembangan Wajib meliputi pengembangan untuk Lansia, Usaha Kesehatan

Sekolah (UKS) dan pengembangan Anti Napza.

c. Pengembangan Pilihan meliputi pengembangan fasilitas laboratorium, UKGMD,

dan DUKS/ DUKS.

B. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran masing-masing variabel

yang diteliti.Pada dua lokasi yang diteliti, jumlah kuesioner yang diisi lengkap dan dapat

digunakan di Puskesmas Ciputat sebanyak 52 kuesioner dan di Puskesmas Pamulang total

kuesioner yang terisi lengkap dan dapat digunakan sebanyak 62 kuesioner sehingga total

kuesioner yang dapat digunakan sebanyak 114 kuesioner. Hasil analisis univariat dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini ialah usia, jenis kelamin,tingkat

pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pengetahuan responden. Usia berdasarkan Pusat

Data dan Informasi Kemenkes RI Tahun 2016 dikelompokkan menjadi 2 kelompok

yaitu usia produktif dengan rentang usia 16 - 64 tahun, dan usia non produktif dengan

usia diatas 65 tahun. Dilihat pada karakteristik usia, sebagian besar responden pada

penelitian ini berada pada kelompok usia produktif (70,2%) dengan usia paling muda

adalah 16 tahun dan usia paling tua adalah 64 tahun.

Page 61: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

46

Dari tabel 5.1 dapat dilihat distribusi frekuensi responden menurut jenis

kelamin bahwa lebih banyak responden laki-laki (52,6%) daripada responden

perempuan (47,4%). Hal tersebut juga sesuai dengan hasil laporan TB.01 di

Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang bahwa kejadian kasus TB lebih banyak

ditemukan pada jenis kelamin laki-laki daripada perempuan.

Pada penelitian ini sesuai UU SISDIKNAS Tahun 2003, tingkat pendidikan

dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu tingkat pendidikan dasar yang meliputi SD dan

SLTP/ sederajat serta tingkat pendidikan lanjut yang meliputi SLTA/ sederajat dan

perguruan tinggi. Sebagian besar responden pada penelitian ini berada pada tingkat

pendidikan lanjut (86%) setara dengan tingkat SLTA dan Perguruan tinggi.

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat juga bahwa sebagian besar responden

tidak memiliki pekerjaan/ tidak bekerja yaitu sebanyak 66 responden (57,9%),

sedangkan 48 responden lainya bekerja (42,1%).

Pada variabel tingkat pengetahuan, diketahui bahwa 54 responden memiliki

pengetahuan rendah (47,4%) tentang tuberkulosis paru dan 60 responden (52,6%)

memiliki pengetahuan tinggi tentang tuberkulosis paru.

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian

No Variabel Frekuensi (N) Presentase (%)

1 Usia

Produktif 80 70.2

Non Produktif 34 29.8

2 Jenis Kelamin

Laki-laki 60 52.6

Perempuan 54 47.4

3 Tingkat Pendidikan

Pendidikan Dasar 16 14

Pendidikan Lanjutan 98 86

4 Pekerjaan

Bekerja 66 57.9

Tidak Bekerja 48 42.1

5 Pengetahuan

Rendah 54 47.4

Tinggi 60 52.6

Page 62: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

47

2. Gambaran Faktor Terapi Pasien

Distribusi frekuensi menurut faktor terapi pasien berupa efek samping OAT,

hasil efek samping OAT, dan riwayat penyakit lain dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.2 Gambaran Faktor Terapi Pasien

No Variabel Frekuensi (N) Presentase (%)

1 Efek Samping Obat

Mengalami efek samping 65 57

Nyeri perut/mual/muntah 52 45.6

Kulit gatal/ kemerahan 8 7

Demam / Menggigil 3 2.6

Nyeri sendi/ otot 1 0.9

Gangguan keseimbangan 1 0.9

Tidak mengalami efek 49 43

2 Hasil Efek Samping

Berhenti Minum Obat 1 0.9

Lanjut Minum Obat 113 99.1

3 Riwayat Penyakit Lain

Ada 3 2.6

Tidak ada 111 97.4

Berdasarkan Tabel 5.3, dari 114 responden sebanyak 65 responden merasakan

efek samping (57%) dari Obat Anti TB yang dikonsumsinya berupa nyeri perut/

mual/ muntah (45,6%), kulit gatal/ kemerahan (7%), demam/ menggigil (2,6%),

nyeri sendi (0,9%), dan gangguan keseimbangan (0,9%) yangmenyebabkan salah satu

responden berhenti untuk mengkonsumsi obat TB (1,9%).

3. Gambaran Faktor Lingkungan Pasien

Distribusi frekuensi menurut faktor lingkungan pasien berupa jarak antara

rumah dengan pelayanan atau puskesmas dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.3 Gambaran Faktor Lingkungan Pasien

Variabel Frekuensi (N) Presentase (%)

Jarak

Tidak Dekat 57 50

Dekat 57 50

Page 63: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

48

Pada variabel jarak dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu jarak dekat dan

jarak jauh. Dimana jarak dikatakan dekat apabila jarak dari rumah menuju pelayanan

kesehatan atau puskesmas kurang dari 2 km dan dikatakan tidak dekat atau jauh

apabila jarak dari rumah menuju pelayanan atau puskesmas lebih 2 km.

Dari Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa dari 114 responden terjadi keseimbangan

antara responden yang memiliki jarak dekat maupun jarak jauh dari rumah ke

pelayanan kesehatan/ puskesmas (50%).

4. Gambaran Komunikasi Terapeutik Dokter

Distribusi frekuensi menurut komunikasi terapeutik dokter yang meliputi

aspek keterbukaan, aspek empati, aspek sikap mendukung, aspek sikap positif, dan

aspek kesetaraan dokter dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.4 Gambaran Komunikasi Terapeutik Dokter

No Variabel Frekuensi (N) Presentase (%)

1 Aspek Keterbukaan

Kurang baik 50 43.9

Baik 64 56.1

2 Aspek Empati

Kurang baik 52 45.6

Baik 62 54.4

3 Aspek Sikap Mendukung

Kurang mendukung 19 16.7

Mendukung 95 83.3

4 Aspek Sikap Positif

Kurang 49 43

Baik 65 57

5 Aspek Kesetaraan Dokter

Kurang baik 43 37.7

Baik 71 62.3

Berdasarkan Tabel 5.4, dapat dilihat bahwa 56,1% responden menilai aspek

keterbukaan doktersudah baik. Begitu juga dalam aspek empati dokter dinilai sudah

baik (54.5%). Pada aspek sikap mendukung dokter, sebagian besar responden menilai

Page 64: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

49

dokter sudah mendukung pengobatan dengan baik (83,3%). Aspek sikap positif

dokter, 43% responden masih menganggap dokter kurang memberikan sikap positif

pada saat proses pengobatan dan 57% sisanya menganggap dokter sudah baik dalam

memberikan energi positif kepada pasien pada saat pengobatan.Begitu pula dengan

aspek kesetaraan dokter, masih terdapat 37,7% responden yang menilai kurang baik

dan 62,3% responden yang menilai sudah baik.

5. Persepsi Pasien terhadap Komunikasi Terapeutik

Tabel 5.6 Persepsi Pasien terhadap Komunikasi Terapeutik

Aspek Keterbukaan Dokter

Variabel

Aspek Keterbukaan

Kurang Baik Baik

N % n %

Usia

Produktif 34 42.5 46 57.5

Non Produktif 16 47.1 18 52.9

Jenis Kelamin

Laki-laki 21 35 39 65

Perempuan 29 53.7 25 46.3

Pendidikan Terakhir

Pendidikan Dasar 10 62.5 6 37.5

Pendidikan Lanjutan 40 40.8 58 59.2

Pekerjaan

Bekerja 23 34.8 43 65.2

Tidak Bekerja 27 56.3 21 43.8

Pengetahuan

Rendah 14 35.9 25 64.1

Tinggi 36 48 39 52

Efek Samping

Ada Efek Samping 31 47.7 34 52.3

Tidak Ada Efek Samping 19 38.8 30 61.2

Jarak

Tidak Dekat 21 36.8 36 63.2

Dekat 29 50.9 28 49.1

Dari table 5.6 dapat dilihat bahwa pada aspek sikap keterbukaan dokter, dari

80 responden pada usia produktif mengatakan bahwa sebagian besar dokter sudah

memiliki aspek keterbukaan yang baik (57,5%). Begitu juga pada kelompok usia

Page 65: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

50

produktif menilai bahwa dokter telah memiliki aspek keterbukaan yang baik kepada

pasiennya (52,9%). Apabila dilihat dari karakteristik jenis kelamin responden,

responden laki-laki menilai bahwa aspek keterbukaan dokter sudah cukup baik (65%).

Namun pada sebagian responden wanita menilai bahwa dokter kurang

memperlihatkan aspek keterbukaannya kepada pasien (53,7%). Sama halnya dengan

kelompok responden laki-laki dan perempuan, kelompok dengan pendidikan dasar

menilai bahwa kurangnya aspek kesetaraan dokter pad saat pelayanan. Namun pada

kelompok tingkat pendidikan lanjutan menilai bahwa dokter sudah memiliki aspek

kesetaraan pada saat melakukan pelayanan.

Kelompok responden yang bekerja menilai bahwa aspek keterbukaan dokter

pada saat pelayanan sudah baik (65,2%), namun pada kelompok responden yang tidak

bekerja menilai bahwa aspek keterbukaan dokter kurang baik (56,3%). Berbeda

dengan kelompok bekerja dan tidak bekerja, pada kelompon dnegan pengetahuan

tinggi dan rendah sama-sama menilai bahwa aspek kesetaraan dokter sudah baik

dengan presentase 64,1% dan 52%.

Dalam kelompok responden yang mengalami efek samping pada saat

mengkonsumsi obat TB menilai bahwa 52,3% dokternya sudah menunjukkan sikap

keterbukaannya pada saat melayani pasien. Begitu pula dengan penilaian dari

kelompok responden yang tidak mengalami efek samping obat bahwa aspek

keterbukaan sudah dirasakan saat melakukan kunjungan rutin TB Paru (61,2%).

Pada kelompok responden yang memiliki jarak dekat antara pusat pelayanan

dengan rumahnya menilai bahwa sebagian besar dokter sudah menunjukkan sikap

keterbukaannya dengan baik pada saat melayani pasien (63,2%). Sedangkan pada

kelompok responden yang memiliki jarak dekat antara pelayanan dengan rumahnya

menilai bahwa sikap keterbukaan dokter kurang terlihat (50,9%).

Page 66: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

51

Tabel 5.7 Persepsi Pasien terhadap Komunikasi Terapeutik

Aspek Empati Dokter

Variabel

Aspek Empati

Kurang Baik Baik

N % n %

Usia

Produktif 45 56.3 35 43

Non Produktif 17 50 17 50

Jenis Kelamin

Laki-laki 27 45 33 55

Perempuan 35 64.8 19 35.2

Pendidikan Terakhir

Pendidikan Dasar 9 56.3 7 43.8

Pendidikan Lanjutan 53 54.1 45 45.9

Pekerjaan

Bekerja 32 48.5 34 51.5

Tidak Bekerja 30 62.5 18 37.5

Pengetahuan

Rendah 22 56.4 17 43.6

Tinggi 40 53 35 47

Efek Samping

Ada Efek Samping 35 53.8 30 46.2

Tidak Ada Efek Samping 27 55.1 22 44.9

Jarak

Tidak Dekat 26 45.6 31 54.4

Dekat 36 63.2 21 36.8

Berdasarkan hasil distribusi pada tabel 5.7 mengenai komunikasi terapeutik

dokter pada aspek empati diketahui bahwa kelompok responden yang menilai sikap

empati dokter sudah baik paling banyak berada pada kelompok responden laki-laki

(55%) sedangkan perempuan menilai bahwa empati dokter masih kurang terlihat.

Sedangkan pada kelompok usia produktif (56,3%), responden yang memiliki

pendidikan terakhir hanya pendidikan dasar (56,3%), tidak bekerja (62,5%), tingkat

pengetahuan rendah (56,4%) yang mengalami efek samping OAT (53,8%) dan

memiliki jarak yang dekat anatar pelayanan kesehatan dengan rumahnya (63,2)

menilai bahwa sikap empati dokter kurang dirasa pada saat melakukan kunjungan

rutin.

Page 67: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

52

Tabel 5.8 Persepsi Pasien terhadap Komunikasi Terapeutik

Aspek Sikap Mendukung Dokter

Variabel

Aspek Sikap Mendukung

Kurang Baik Baik

N % n %

Usia

Produktif 13 16.3 67 83.3

Non Produktif 6 17.6 28 82.4

Jenis Kelamin

Laki-laki 7 11.7 53 88.3

Perempuan 12 22.2 42 77.8

Pendidikan Terakhir

Pendidikan Dasar 1 6.3 15 93.8

Pendidikan Lanjutan 18 18.4 80 81.6

Pekerjaan

Bekerja 9 13.6 57 86.4

Tidak Bekerja 10 20.8 38 79.2

Pengetahuan

Rendah 5 12.8 34 87.2

Tinggi 14 18.6 61 81.3

Efek Samping

Ada Efek Samping 14 21.5 51 78.5

Tidak Ada Efek Samping 5 10.2 44 89.8

Jarak

Tidak Dekat 6 10.5 51 89.5

Dekat 13 22.8 44 77.2

Pada tabel 5.8, dapat kita lihat bahwa aspek sikap mendukung dokter dinilai

sudah baik oleh sebagian besar kelompok responden. Baik pada kelompok usia

produktif (82,3%) dan non produktif (82,4%), pada kelompok laki-laki (88,3%) dan

perempuan (77.8%), pada kelompok dengan pendidikan dasar (93,8%) dan

pendidikan lanjutan (81,6%), kelompok bekerja (86,4%) dan tidak bekerja (79,2%),

kelompok dengan pengetahuan rendah (87,2%) dan pengetahuan tinggi (81,3%),

kelompok yang mengalami efek samping (78,5%) dan tidak mengalami efek samping

(89,8%), serta kelompok dengan jarak antara pelayanan kesehatan dengan rumahnya

tidak dekat (89,5%) dan jarak dekat (77,2%).

Page 68: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

53

Tabel 5.9 Persepsi Pasien terhadap Komunikasi Terapeutik

Aspek Sikap Positif Dokter

Variabel

Aspek Sikap Positif

Kurang Baik Baik

N % n %

Usia

Produktif 35 43.8 45 56.3

Non Produktif 14 41.2 20 58.8

Jenis Kelamin

Laki-laki 26 43.3 34 56.7

Perempuan 23 42.6 31 57.4

Pendidikan Terakhir

Pendidikan Dasar 7 43.8 9 56.3

Pendidikan Lanjutan 42 42.9 56 57.1

Pekerjaan

Bekerja 27 40.9 39 59.1

Tidak Bekerja 22 45.8 26 54.2

Pengetahuan

Rendah 18 46.2 21 53.8

Tinggi 31 41.3 44 58.6

Efek Samping

Ada Efek Samping 28 43.1 37 56.9

Tidak Ada Efek Samping 21 42.9 28 57.1

Jarak

Tidak Dekat 27 47.4 30 52.6

Dekat 22 38.6 35 61.4

Selain aspek sikap mendukung, dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa aspek sikap

positif dokter juga dinilai sudah baik oleh sebagian besar kelompok responden. Baik

pada kelompok usia produktif (56,3%) dan non produktif (58,8%), pada kelompok

laki-laki (56,7%) dan perempuan (57,4%), pada kelompok dengan pendidikan dasar

(56,3%) dan pendidikan lanjutan (57,1%), kelompok bekerja (59,1%) dan tidak

bekerja (54,2%), kelompok dengan pengetahuan rendah (53,8%) dan pengetahuan

tinggi (58,6%), kelompok yang mengalami efek samping (56,9%) dan tidak

mengalami efek samping (57,1%), serta kelompok dengan jarak antara pelayanan

kesehatan dengan rumahnya tidak dekat (52,6%) dan jarak dekat (61,4%).

Page 69: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

54

Tabel 5.10 Persepsi Pasien terhadap Komunikasi Terapeutik

Aspek Kesetaraan Dokter

Variabel

Aspek Kesetaraan

Kurang Baik Baik

N % n %

Usia

Produktif 29 36.3 51 63.8

Non Produktif 14 41.2 20 58.8

Jenis Kelamin

Laki-laki 19 31.7 41 68.3

Perempuan 24 44.4 30 55.6

Pendidikan Terakhir

Pendidikan Dasar 8 50 8 50

Pendidikan Lanjutan 35 35.7 63 64.3

Pekerjaan

Bekerja 26 39.4 40 60.6

Tidak Bekerja 17 35.4 31 64.4

Pengetahuan

Rendah 13 33.3 26 66.7

Tinggi 30 40 45 60

Efek Samping

Ada Efek Samping 18 27.7 47 72.3

Tidak Ada Efek Samping 25 51 24 49

Jarak

Tidak Dekat 25 43.9 32 56.1

Dekat 18 31.6 39 68.4

Distribusi pada tabel 5.10 ini menjelaskan bahwa sebagian besar responden

dengan berbagai macam kelompok variabel menilai bahwa aspek kesetaraan yang

dilakukan oleh dokter pada saat melakukan pelayanan kepada pasien sudah baik. Hal

tersebut dapat kita lihat sesuai dnegan presentase baik yang dimiliki oleh setiap

kelompok. Baik pada kelompok usia produktif (63,8%) dan non produktif (58,8 %),

pada kelompok laki-laki (68,3%) dan perempuan (55,6%), pada kelompok dengan

pendidikan dasar (50%) dan pendidikan lanjutan (64,3%), kelompok bekerja (60,6%)

dan tidak bekerja (64,4%), kelompok dengan pengetahuan rendah (66,7%) dan

pengetahuan tinggi (60%), kelompok yang mengalami efek samping (72,3%) dan

tidak mengalami efek samping (49%), serta kelompok dengan jarak antara pelayanan

kesehatan dengan rumahnya tidak dekat (56,1%) dan jarak dekat (68,4%).

Page 70: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

55

BAB VI

PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian mengenai persepsi pasien terhadap komunikasi terapeutik dokter

dalam pengobatan TB ini, peneliti tidak menemukan kuesioner dalam bentuk baku

sehingga peneliti harus membuat validasi kuesioner sendiri. Selain itu, pengukuran jarak

tempat berobat responden memiliki kelemahan akan terjadinya bias informasi yaitu bias

yang muncul karena informasi yang dikumpulkan dari responden salah atau kurang tepat.

Hal ini bisa terjadi karena responden hanya memperkirakan seberapa jauh jarak rumah

dengan pelayanan kesehatan sehingga kerjasama dan kejujuran responden sangat

menentukan hasil yang diperoleh.

B. Gambaran Univariat

1. Gambaran Karakteristik Pasien TB

Pada penelitian ini yang termasuk kedalam karakteristik responden ialah usia,

jenis kelamin,tingkat pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pengetahuan responden.

Pada karakteristik usia, usia responden sebagian besar berada pada usia

produktif yaitu 16-64 tahun sebanyak 80 responden (70,2%). Organisasi Kesehatan

Dunia melaporkan bahwa kejadian TB sebagian besar terjadi pada usia produktif

(WHO, 2008). Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Linda (2012) yang

melaporkan bahwa di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa pasien TB berada pada usia

produktif usia produktif. Penelitian Kondoy (2014) di Manado juga didapatkan

bahwa sebagian besar pasien TB paru tergolong masih dalam usia yang produktif

serta pada penelitian Rinto pada tahun 2017 di RSUD Gunung Jati yang menyatakan

bahwa kelompok terbesar TB berada pada usia produktif (59,22%). Tuberkulosis

Page 71: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

56

paru lebih banyak terjadi pada usia produktif karena pada usia produktif manusia

cenderung mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga kemungkinan untuk terpapar

kuman TB lebih besar (Ariel, 2002). Usia produktif merupakan usia yang aktif

beraktivitas diluar lingkungan rumah sehingga lebih beresiko mudah menularnya

penyakit TB paru terutama di lingkungan yang padat. Usia mempengaruhi pertahanan

tubuh seseorang, semakin tinggi usia maka semakin menurun pertahanan tubuh

seseorang tersebut. Penderita TB paru yang berusia produktif lebih rentan beresiko

tertular penyakit TB paru karena lebih aktif beraktivitas di luar lingkungan rumah.

Sebagian pasien TB yang berusia produktif ini, memiliki aktivitas dari pagi sampai

tengah malam yang dipengaruhi oleh faktor cuaca, kurang beristirahat, dan kurangnya

memakan-makanan yang bergizi. Dikarenakan aktivitas pasien TB paru yang padat

pada usia produktif membuat sebagian penderita TB paru tidak memperhatikan

kesehatannya. Dari hasil wawancara dengan responden pada usia produktif diketahui

bahwa pada rentang usianya saat ini, responden memiliki tingkat mobilitas yang

tinggi, dimana pada usia ini adalah usia sekolah dan usia pekerja produktif sehingga

responden lebih mementingkan atau mengutamakan aktivitasnya dari pada penyakit

yang dideritanya. Selama masih bisa menahan rasa sakit yang ada dan rasa sakit

tersebut dirasa tidak mengganggu aktivitasnya maka responden akan berusaha

mengabaikan rasa sakit yang ada tanpa mengetahui dampak setelahnya. Hal tersebut

menyebabkan banyaknya penderita TB paru pada usia produktif. Namun setelah

diketahui menderita TB paru, mereka merasa ingin sembuh dari penyakitnya sehingga

patuh untuk mengikuti setiap panduan pengobatan yang diberikan meskipun

membutuhkan waktu yang lama.

Karakteristik jenis kelamin penelitian ini dapat dilihat bahwa lebih banyak

responden laki-laki (52,6%) daripada responden perempuan (47,4%) yang

Page 72: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

57

mpenderita TB. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Laily

(2015) dan Ahzahra (2017) di Tangerang Selatan dimana jumlah pasien TB Paru

laki-laki lebih banyak daripada perempuan serta Penelitian Adelia pada tahun 2017 di

5 Puskesmas se-Kota Pekanbaru bahwa penderita TB kebanyakan berjenis kelamin

laki-laki (64%). Banyaknya jumlah pasien TB Paru laki-laki ini dikarenakan laki-laki

memiliki mobilitas yang lebih tinggi daripada perempuan sehingga kemungkinan

untuk terpapar TB lebih besar. Pada penelitian Nurvita (2013), penyakit TB

cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Pada jenis

kelamin laki-laki, penyakit ini lebih tinggi karena kebiasaan merokok dan minum

alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh dan mudah terpapar

dengan agen penyebab penyakit TB Paru. Laki-laki memiliki beban kerja yang berat

serta gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok dan alkohol. Selain itu, laki-laki

lebih sering beraktivitas di luar rumah. Tugas laki-laki sebagai kepala keluarga yang

bertugas mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga menyebabkan harus bekerja dari

pagi sampai malam sehingga beresiko mudah tertular penyakit TB paru. Menurut

Notoatmojo dalam Nurnisa (2012), perempuan lebih memperhatikan kesehatannya

dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu perempuan lebih jarang terserang penyakit TB

Paru. Erawatyningsih dkk (2009) mengemukakan bahwa perempuan lebih banyak

melaporkan gejala penyakitnya dan berkonsultasi dengan dokter karena perempuan

cenderung memiliki perilaku yang lebih tekun daripada laki-laki.

Pada tingkat pendidikan, pendidikan formal merupakan landasan seseorang

dalam berbuat sesuatu, membuat lebih mengerti dan memahami sesuatu, atau

menerima dan menolak sesuatu.Tingkat pendidikan formal juga memungkinkan

perbedaan pengetahuan dan pengambilan keputusan. Hal tersebut disebabkan karena

pendidikan sangat erat kaitanya dengan pengetahuan, pendidikan merupakan proses

Page 73: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

58

belajar mengajar sehingga akan terbentuk seperangkat tingkah laku, kegiatan atau

aktivitas. Dengan belajar baik secara formal maupun non formal manusia akan dapat

meningkatkan kematangan intelektual dan memiliki pengetahuan. Hasil penelitian

ini, sebagian besar responden yang menderita TB paru berada pada tingkat pendidikan

lanjut (86%) setara dengan tingkat SLTA dan Perguruan tinggi. Apabila kita lihat

penelitian lain seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Putri di Lampung pada

tahun 2015, responden yang tidak tamat SD 20,83%, responden dengan pendidikan

terakhir SD 31,25%, responden yang memiliki pendidikan terakhir SMP 22,92% dan

responden yang memiliki pendidikan tinggi yaitu SLTA dan diploma sebesar 25%.

maka dapat dilihat bahwa pasien TB paling banyak berada pada tingkat pendidikan

terakhir SD.

Karakteristik selanjutnya ialah status pekerjaan. Orang yang bekerja

cenderung memiliki sedikit waktu untuk mengunjungi fasilitas kesehatan

(Notoatmodjo, 2007). Selain itu, penderita TB paru yang bekerja lebih sering berada

di luar ruangan dengan kondisi lingkungan yang mudah terpapar polusi udara dan

tidak patuh dalam menggunakan masker. Pada penelitian ini didapatkan bahwa

sebagian besar responden yang menderita TB paru tidak memiliki pekerjaan/ tidak

bekerja yaitu sebanyak 57,9% sedangkan 42,1% lainya bekerja. Hal ini disebabkan

karena sebagian besar responden masih berada pada jenjang sekolah, yaitu SLTA

dan perguruan tinggi. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan responden yang

masih berada pada jenjang sekolah diketahui bahwa kegiatan mereka bisa dibilang

cukup padat. Seperti kegiatan OSIS, ektrakurikuler sekolah dan les mata pelajaran

seusai sekolah untuk siswa serta kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan

kegiatan UKM lainnya sehingga berdampak pada kurangnya istirahat, kurang

memperhatikan makan makanan yang bergizi, gaya hidup yang tidak sehat, mudah

Page 74: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

59

lelah, dan terkadang stress yang berlebihan apabila terlalu banyaknya tekanan pada

setiap kegiatan yang akhirnya dapat mengganggu kesehatan sehingga mudah tertular

penyakit TB paru. Selain itu kondisi lingkungan juga mempengaruhi penularan,

kondisi udara yang tercemar dan dekat dengan paparan debu merupakan pencetus

awal gejala gangguan infeksi saluran nafas yang bisa mengarah ke TB paru. Namun

meskipun padatnya aktivitas, hal tersebut tidaklah menghalangi responden untuk

mengkonsumsi obat secara teratur setiap hari dikarenakan untuk mengkonsumsi obat

tidaklah menyita banyak waktu. Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah

dilakukan oleh Maulidia pada tahun 2014 di Puskesmas Ciputat bahwa tidak adanya

hubungan antara pekerjaan dengan kepatuhan berobat pasien dikarenakan bekerja

bukanlah halangan untuk para pasien tidak melakukan pengobatan mengingat jadwal

pengobatan yang hanya 2 minggu sekali sehingga tidak mengganggu rutinitas

pekerjaan penderita.

Selain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan, tingkat

pengetahuan juga dapat menjadi salah satu faktor seseorang untuk melakukan

pengobatan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, baik melalui penglihatan,

pendengaran, penciuman rasa dan raba. Dimana dari tahu tersebut membuat seseorang

memiliki kemampuan untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya dalam

bentuk bukti jawaban baik lisan maupun tulisan (Notoatmodjo, 2012). Dalam

penelitian ini, ditemukan bahwa tingkat pengetahuan dari hasil pengisian kuesioner,

sebesar 54 responden yang menderita TB paru masih memiliki pengetahuan rendah

(47,4%) tentang tuberkulosis paru dan 60 responden (52,6%) sudah memiliki

pengetahuan tinggi tentang tuberkulosis paru. Responden yang memiliki pengetahuan

tinggi dapat mengubah sikapnya untuk menjadi patuh dalam pengobatan dan bisa

Page 75: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

60

menyelesaikan pengobatannya dibandingkan dengan penderita TB paru yang

memiliki pengetahuan rendah (Okamura, 2008). Hal tersebut sejalan dengan

penelitian Liria pada tahun 2017 di Puskesmas Bahu Manado bahwa 96,67%

responden sudahmemiliki pengetahuan yang baik mengenai TB Paru. Prayogo pada

penelitiannya di Puskesmas Pamulang pada tahun 2013 juga menyatakan bahwa

pengetahuan pasien TB erat kaitannya dengan kepatuhan berobat dan sesuai dengan

pendapat Notoadmojo (2005) bahwa tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan

pada dasarnya akan dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang mengenai masalah

tersebut. Dalam hal ini, pengetahuan yang dimiliki oleh penderita TB Paru

berhubungan dengan kepatuhan datang berobat dan sikap setuju untuk mengambil

obat ke sarana pelayanan kesehatan sesuai ketentuan. Dimana semakin tinggi

pengetahuan pasien mengenai penyakitnya maka akan semakin banyak pasien yang

berobat. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Octaria (2013) di Lampung,

dikarenakan pengetahuan yang kurang maka tindakan dalam pencegahan penyakit

TB Paru pun kurang dan menyebabkan pasien TB paru bertambah.

Tingkat pengetahuan pasien yang rendah akan menyebabkan resiko terjadi

kegagalan pengobatan dua kali lipat dibandingkan dengan pasien dengan pengetahuan

tinggi. Rendah nya pengetahuan pasien akan penyakitnya menyebabkan

ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan karena pasien kurang mendapatkan

penyuluhan dan informasi (KIE) yang adekuat baik dari dokter yang menanganinya,

petugas kesehatan ataupun media komunikasi lainnya. Pengetahuan mengenai TB

dan kepercayaan tentang kemanjuran pengobatan akan mempengaruhi pasien untuk

memilih mau atau tidak mau melanjutkan pengobatannya (WHO, 2003). Dari hasil

wawancara di Puskesmas Ciputat dan Pamulang, responden menyatakan bahwa

pengetahuan mereka mengenai TB paru didapatkan dari penjelasan dokter pada saat

Page 76: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

61

mereka berobat. Selain itu, informasi yang diberikan oleh anggota keluarga juga

membuat responden menjadi lebih sadar akan penyakit yang dideritanya serta

bagaimana tata cara pengobatannya. Hal tersebutlah yang membuat pengetahuan pada

sebagian besar responden di penelitian ini menjadi tinggi karena responden

sebelumnya sudah terpapar informasi terkait TB paru. Untuk mengetahui pengetahuan

apa saja yang kurang diketahui oleh responden maka dari itu dilakukan analisis lebih

lanjut untuk melihat distribusi pengetahuan pasien terkait pengobatan TB paru.

Setelah dilakukan analisis lebih lanjut didapatkan bahwa sebagian besar responden

sudah menjawab pertanyaan di kuesioner dengan benar dengan proporsi penderita

yang menjawab benar sebanyak 51%. Selebihnya responden menjawab tidak benar

mengenai gejala TB paru yang seharusnya diidentifikasi dengan batuk berdahak lebih

dari 3 minggu, badan kurus, dan berkeringat di malam hari dijawab dengan batuk

pilek (19%) ataupun batuk kering (16%) serta cara penularan TB paru yang

seharusnya didapatkan melalui udara dan percikan dahak atau ludah dijawab menjadi

melalui alat-alat makan (16%). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penderita

TB di Poli TB Paru Puskesmas Ciputat dan Poli TB Puskesmas Pamulang sudah

memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai tata cara pengobatan

namun masih kurang pemahaman mengenai gejala serta penularan atas penyakitnya

tersebut.

2. Gambaran Faktor Terapi Pasien TB

Yang termasuk dalam faktor terapi pasien pada penelitian ini ialah efek

samping saat mengkonsumsi obat anti tuberkulosis.Pada penderita TB paru sebagian

besar dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil

dapat mengalami efek samping. Adanya efek samping OAT bisa menjadi salah satu

Page 77: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

62

penyebab terjadinya kegagalan dalam pengobatan TB paru. Semakin pasien memiliki

banyak keluhan/ efek samping maka semakin tidak patuh pasien untuk berobat. Oleh

karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting

dilakukan selama pengobatan. Pada umumnya gejala efek samping obat yang

ditemukan pada penderita adalah sakit kepala, mual-mual, muntah, serta sakit sendi

tulang. Gejala efek samping obat dapat terjadi pada fase intensif atau awal

pengobatan bahwa obat yang harus diminum penderita jumlah banyak sehingga

membuat penderita malas untuk minum obat (Erawatyningsih, 2009). Asnawi (2002)

menyatakan bahwa pemakaian OAT yang berbulan-bulan dapat menimbulkan efek

samping. Efek samping obat dapat terjadi pada setiap penderita dan penanganannya

tergantung pada efek yang ditimbulkan, dapat berhenti berobat ataupun dapat terus

minum obat dengan pemberian obat simptomatik.

Pada penelitian ini, hampir sebagian besar responden masih mengeluhkan

tentang efek samping setelah minum OAT (57%) berupa rasa nyeri, mual ataupun

muntah (45,6%), kulit gatal atau kemerahan (7%), demam atau menggigil (2,6%),

nyeri otot atau sendi (0,9%), gangguan keseimbangan (0,9%). Meskipun responden

telah mengkonsumsi OAT lebih dari 2 bulan, namun masih ada sebagian responden

yang tetep merasakan gejala tersebut. Hal inilah yang cukup berpengaruh terhadap

kepatuhan pasien untuk minum obat, karena dapat menyebabkan rasa trauma akan

efek samping yang timbul setelah minum obat. Selain karena merasa kurang nyaman,

efek samping tersebut juga dapat mengganggu aktivitas responden mengingat

sebagian responden adalah pekerja, maka dengan terganggunya pekerjaan responden

juga akan berpengaruh terhadap penghasilan mereka. Selain itu, responden baru akan

mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan apabila efek samping yang dirasakan

tersebut semakin parah.

Page 78: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

63

Berdasarkan hasil pengamatan pada saat melakukan pengambilan data,

responden yang kepatuhannya rendah disebabkan karena beberapa hal yaitu

kurangnya pengetahuan responden mengenai efek samping yang timbul selama

menjalani pengobatan sehingga akhirnya berhenti minum obat, dan masih ada

responden yang belum tahu aturan pengobatan sehingga saat responden pindah tempat

atau mudik namun tidak memberi tahu petugas terlebih dahulu yang berimbas pada

pengulangan pengobatan ditempat tinggalnya yang baru. Oleh karena itu, perlu

dilakukan tindakan pencegahan melalui kegiatan penyuluhan atau pemberian

penjelasan kepada setiap penderita TB Paru terlebih dahulu mengenai efek samping

obat sehingga penderita tidak perlu merasa cemas apabila saat proses pengobatan

mengalami efek samping obat tersebut.

3. Gambaran Faktor Lingkungan Pasien TB

Keterjangkauan akses ke pelayanan kesehatan adalah mudah atau sulitnya

seseorang untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan. Niven (2002) menyatakan

bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pengobatan adalah faktor yang

mendukung, yang terdiri atas tersedianya fasilitas kesehatan, kemudahan untuk

menjangkau sarana kesehatan serta keadaan sosial ekonomi dan budaya. Hal tersebut

sejalan dengan Sarwono (1993) yang juga menyebutkan bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi pencapaian kesehatan individu/ masyarakat adalah faktor

keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan. Menurut Siswantoro (2012), tidak

tersedianya alat transportasi menuju tempat berobat dan tidak tersedianya biaya untuk

menjangkau pelayanan kesehatan yang jauh dari rumah tempat tinggal penderita dapat

menjadi hambatan untuk terjadinya perilaku pencarian pengobatan penderita.

Seseorang yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan Puskesmas yang ada,

Page 79: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

64

mungkin bukan karena dia tidak tahu akan bahaya penyakitnya atau karena tidak

percaya pada Puskesmas, tetapi karena jarak rumahnya jauh dengan sarana pelayanan

kesehatan, sedangkan sarana transportasi umum untuk menuju puskesmas sulit dan

mahal. Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa meskipun memiliki tempat tinggal

yang jauh dari pelayanan kesehatan, namun jika ada kemudahan transportasi menuju

tempat pelayana kesehatan, penderita akan datang ke pelayanan kesehatan untuk

mendapatkan pengobatan.

Rendahnya penggunaan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, rumah sakit dan

sebagainya, seringkali kesalahan atau penyebabnya dilemparkan pada faktor akses ke

pelayanan kesehatan baik itu akses tempuh dan jarak ke fasilitas kesehatan.

Keterjangkauan akses yang dimaksud dalam penelitian ini dilihat dari segi jarak,

waktu tempuh dan kemudahan transportasi untuk mencapai pelayanan kesehatan.

Semakin jauh jarak rumah pasien dari tempat pelayanan kesehatan dan sulitnya

transportasi maka, akan berhubungan dengan kepatuhan berobat. Hal tersebut juga

didukung oleh pendapat WHO yang menyatakan bahwa jarak tempat tinggal penderita

dan tempat pengobatan harus diusahakan sedekat mungkin antara 3-5 km.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat keseimbangan antara responden yang

memiliki jarak dekat maupun jauh dengan puskesmas (50%). Hasil wawancara

peneliti dengan responden, jarak dari rumah untuk menjangkau puskesmas atau

fasilitas kesehatan tidak menjadi alasan untuk tidak mendapatkan pengobatan. Hal ini

disebabkan karena banyaknya berbagai macam sarana angkutan umum sehingga

lokasi puskesmas dapat terjangkau dengan mudah. Salah satu jenis transportasi yang

paling sering digunakan penderita TB paru menuju puskesmas adalah dengan

menggunakan sepeda motor, baik itu mengendarai sepeda motor sendiri, diantar oleh

anggota keluarga, ataupun menggunakan jasa ojek pangkalan dan ojek online.

Page 80: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

65

Responden berinisiatif menggunakan sepeda motor dikarenakan sepeda motor

merupakan alat transportasi alternatif daripada sepeda, mobil dan angkutan umum

lainnya. Selain itu, sepeda motor lebih bisa diandalkan untuk menghindari kemacetan

di pagi hari, sehingga penderita bisa segera sampai ke puskesmas dan menghindari

antrian pasien yang panjang serta mempermudah responden untuk melanjutkan

aktivitasnya setelah dari Poli TB Puskesmas seperti untuk pergi bekerja ataupun

aktivitas lainnya.

4. Gambaran Persepsi Komunikasi Terapeutik Dokter

Menurut Devito 1997, faktor-faktor efektivitas komunikasi terapeutik dimulai

dengan 5 kualitas umum yang berhubungan dengan kepatuhan berobat diantaranya

aspek keterbukaan, aspek empati, aspek sikap mendukung, aspek sikap positif, dan

aspek kesetaran. Komunikasi terapeutik tersebut dapat terlihat dari unsur

keterbukaan dokter yang dirasakan oleh pasien sehingga dapat menimbulkan rasa

percaya dan pasien berkata jujur tentang hal yang dirasakan. Hal tersebut membuat

informasi atas rasa sakit yang dialami oleh pasien dapat dikomunikasikan dengan

baik. Untuk mencapai tujuan komunikasi, penerima informasi dapat mengetahui

sesuatu yang dia inginkan. Selain itu, unsur empati dan simpati turut menyusun

komunikasi efektif. Rasa empati yang timbul dan ditunjukkan oleh dokter kepada

pasien membuat pasien mau memahami penjelasan dan saran dari dokter. Rasa

simpati dapat muncul karena penggunaan bahasa yang mudah dimengerti. Dengan

sikap dokter yang mendukung, pasien merasa mendapat motivasi untuk melakukan

saran-saran yang diberikan.

Komunikasi terapeutik berperan untuk saling mengubah. Melalui interaksi

dengan pasien, seorang dokter perlu menjalin keakraban dengan pasien. Tidak sekadar

Page 81: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

66

hanya memberikan obato-batan, tetapi jika diperlukan dapat memberi masukan-

masukan, dorongan semangat untuk mengubah pemikiran, perasaan dan sikap demi

kesembuhan pasien. Demikian juga dari pasien yang berharap kepada dokter untuk

memberikan pelayanan yang terbaik melalui pesan maupun umpan balik yang

disampaikan.

Peran dokter sebagai petugas kesehatan adalah suatu sistem pendukung bagi

pasien dengan memberikan bantuan berupa informasi atau nasehat, bantuan nyata,

atau tindakan yang mempunyai manfaat emosional atau terpengaruh pada perilaku

penerimanya (Depkes, 2002). Peranan dokter dalam melayani pasien diharapkan

dapat membangun hubungan yang baik dengan pasien. Unsur kinerja dokter memiliki

pengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan

terhadap pasien Tuberkulosis Paru yang secara langsung atau tidak langsung akan

berpengaruh terhadap keteraturan berobat pasien yang pada akhirnya juga

menentukan hasil pengobatan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Patriani (2012) di RSUD Mataram,

ditemukan bahwa variabel yang memengaruhi pengobatan pasien TB paru,

hipertensi, dan asma di RSUD Kota Mataram ialah variabel tingkat pendidikan

responden, pengeluaran per bulan responden, keterbukaan, dan sikap mendukung

dokter. Dimana pada uji multivariat, variabel yang paling memengaruhi adalah aspek

keterbukaan. Patriani juga mengatakan aspek keterbukaan antara dokter-pasien dapat

meningkatkan kepercayaan tentang proses pengobatan yang akan dan sedang

dilakukan. Hal tersebut dikarenakan dokter yang berpengalaman menangani pasien

dari berbagai latar belakang sosioekonomi, sehingga dokter mampu berkomunikasi

dengan baik dan dapat diterima oleh pasien. Menurut Dermawanti (2014) penilaian

responden terhadap keterbukaan petugas tercermin dari sikapnya yang terbuka,

Page 82: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

67

ramah dan mau mendengarkan keluhan dan memberi konsultasi kepada pasien dan

menciptakan komunikasi yang menyenangkan bagi pasien menjadi salah satu faktor

penyebab kepuasan yang dirasakan pasien sehingga mendorong pasien untuk patuh

mengikuti pengobatan. Pada penelitian ini didapatkan bahwa 56,1% responden

menilai aspek keterbukaan dokter di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang

sudah cukup baik. Hal tersebut relevan dengan pendapat Suryani (2006) yang

menyatakan bahwa perawat atau tenaga kesehatan yang enggan berkomunikasi

dengan menunjukkan raut wajah yang tegang akan berdampak serius bagi penderita.

Penderita akan merasa tidak nyaman bahkan terancam dengan sikap perawat atau

tenaga kesehatan lainnya yang tertutup. Kondisi ini tentunya akan sangat berpengaruh

terhadap proses penyembuhan pasien. Dari hasil observasi dan wawancara yang

dilakukan peneliti saat pengambilan data diketahui bahwa meskipun aspek

keterbukaan komunikasi antara dokter dan pasien yang terjadi di Puskesmas Ciputat

dan Puskesmas Pamulang dinilai sudah cukup baik, namun masih terdapat beberapa

responden yang kurang bersikap terbuka kepada dokter walau dokternya sudah

bersikap terbuka kepada responden. Hal ini disebabkan karena pada saat melakukan

kunjungan rutin, penderita TB paru tidak selalu dihadapkan dengan petugas

kesehatan yang sama sehingga membuat responden harus kembali beradaptasi dengan

petugas kesehatan yang melayaninya saat melakukan kunjungan rutin.

Aspek selanjutnya dalam komunikasi terapeutik ialah aspek empati dokter.

Pada aspek empati dalam penelitian ini didapatkan bahwa rasa empati dokter kepada

penderita TB paru di Poli TB Paru Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang

masih dinilai kurang (54.5%). Dermawanti (2014) menyatakan bahwa empati

berpengaruh terhadap kepatuhan karena dalam komunikasi yang efektif akan

menimbulkan sikap penerimaan dan pengertian terhadap perasaan orang lain secara

Page 83: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

68

tepat serta meningkatkan efektivitas komunikasi yang menyebabkan timbulnya

kesepahaman antar petugas dan pasien sehingga dapat mendorong kepatuhan pasien

dalam menjalani pengobatan TB Paru. Supranto (2001) dalam penelitiannya juga

menyatakan bahwa dimensi empati sangat penting dalam memberikan pelayanan yang

bermutu. Empati merupakan salah satu cara utama memberikan jasa pelayanan yang

berkualitas lebih tinggi dari pesaing secara konsisten. Adanya pengaruh dimensi

empati dalam komunikasi interpersonal terhadap kepatuhan dapat dijelaskan bahwa

empati memberikan sumbangan guna terciptanya hubungan yang saling mempercayai

antar petugas penyuluh. Empati dalam komunikasi akan menimbulkan sikap

penerimaan dan pengertian terhadap perasaan orang lain secara tepat, serta

meningkatkan efektivitas dari komunikasi yang menyebabkan timbulnya

kesepahaman antar petugas sehingga dapat memperlancar hubungan kerja dan

meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Rahmat (2007) yang

mengutip Devitojuga menyatakan sikap sportif adalah sikap yang mengurangi sikap

defensif dalam komunikasi. Orang bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak

empati. Orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang

ditanggapinya dalam berkomunikasi dari pada memahami pesan orang lain.

Pada aspek sikap mendukung dokter, sebagian besar responden menilai

dokter di Poli TB Puskesmas Ciputat dan Puskesmas Pamulang sudah mendukung

pengobatan penderita dengan baik (83,3%). Dari hasil observasi dan wawancara pada

saat melakukan pengambilan data, dokter di Poli TB Puskesmas Ciputat dan

Puskesmas Pamulang selalu memotivasi dan mengingatkan kepada setiap penderita

yang melakukan kunjungan rutin untuk selalu mengkonsumsi obatnya tepat waktu dan

mengambil obatnya tepat waktu. Selain itu, dokter selalu memperhatikan

perkembangan pasien dengan pertanyaan-pertanyaan seputar perasaan penderita,

Page 84: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

69

keseharian penderita serta rasa antusiasme saat mendengar atau mengungkapkan

kemajuan pengobatan penderita sehingga penderita TB paru merasa diperhatikan oleh

dokter dan menerima semua anjuran dokter selama pengobatan. Dukungan dokter

tersebut sangat diperlukan oleh seorang yang sedang menjalani pengobatan, karena

seseorang yang sedang sakit tentunya membutuhkan perhatian. Dokter dapat berperan

sebagai motivator dan mendukung setiap penderita yang sakit sehingga mendorong

mereka untuk terus berpikir positif terhadap sakitnya dan patuh terhadap pengobatan

yang dianjurkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Prayogo (2013) bahwa dokter

berperan dalam memotivasi dan mendukung penderita TB Paru untuk berobat secara

teratur. Adanya faktor dukungan dokter tersebut dapat mempengaruhi perilaku

minum obat pasien sehingga dapat mendukung jalannya pengobatan secara teratur

sampai penderita dinyatakan sembuh oleh dokter. Menurut Niven (2002), dukungan

petugas kesehatan merupakan faktor lain yang mempengaruhi perilaku kepatuhan.

Dukungan dokter terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat

yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi

perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan

tertentu dari pasien, dan secara terus menerus, memberikan penghargaan yang positif

bagi pasien yang telah mampu berapdatasi dengan program pengobatannya. Dimana

semakin baik dukungan dokter maka kepatuhan pasien untuk datang berobat semakin

tinggi. Dengan memberikan perhatian khusus serta memberikan informasi yang jelas

dapat membuat hubungan baik antara pasien dengan dokter. Selain dukungan, aspek

empati juga menjadi hal penting dalam komunikasi terapeutik. Seorang dokter harus

bisa untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi pasien sehingga dengan

empati yang dimiliki dokter dapat berusaha merasakan seperti apa yang dirasakan

oleh pasien.

Page 85: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

70

Pada aspek sikap positif dokter, 43% responden masih menganggap dokter

kurang memberikan sikap positif pada saat proses pengobatan dan 57% sisanya

menganggap bahwa dokter sudah baik dalam memberikan energi positif kepada

pasien pada saat pengobatan. Hal ini diwujudkan dengan kesabaran dokter atau

petugas pelayanan kesehatan pada saat melayani pasien serta tutur kata yang baik saat

menyapa pasien. Meskipun antrian panjang akan pasien TB menanti, namun dokter

tetap memberikan senyuman kepada setiap pasien yang melakukan kunjungan. Selain

memperhatikan perkembangan kesehatan pasien, dokter juga memberi informasi

pengobatan yang lengkap dan jelas kepada pasien dan juga anggota keluarga pasien

yang ikut mendampingi pasien pada saat melakukan kunjungan rutin sehingga pasien

dan anggota keluarga pasien benar-benar memahami keadaan penyakit pasien, cara

penularannya sehingga dapat mencegah penularan penyakit kepada anggota keluarga

lainnya serta bagaimana proses pengobatannya agar pasien dapat sembuh dan

terhindar dari kasus TB MDR. Rahmat (2005), menyatakan bahwa suksesnya

komunikasi banyak tergantung pada kualitas pandangan dan perasaan diri, positif atau

negatif. Pandangan dan perasaan yang positif, akan lahir pola perilaku komunikasi

yang positif juga. Sugiyo (2005), mengartikan bahwa sikap positif adalah adanya

kecenderungan bertindak untuk memberikan penilaian yang positif pada diri lawan

bicara. Komunikasi akan efektif jika seseorang mempunyai rasa positif terhadap

dirinya dan dikomunikasikan kepada orang lain, akan membuat orang lain juga

memiliki rasa positif, merasa lebih baik dan mempunyai keberanian untuk lebih

berpartisipasi dalam setiap kesempatan sehingga bermanfaat untuk mengefektifkan

kerjasama (Thoha, 2007). Pada penelitian Perdana, didapatkan hubungan bermakna

antara pelayanan kesehatan berupa sikap positif dokter terhadap kepatuhan berobat

pasien TB Paru. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa terdapat

Page 86: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

71

hubungan yang saling mendukung antar pelayanan kesehatan dengan kepatuhan

minum obat dan tidak kalah pentingnya keyakinan pasien untuk sembuh (Pare, 2012).

Selain sikap positif dokter, kemauan responden dan dokter untuk

menciptakan kesetaraan dengan upaya mewujudkan suasana saling menghargai satu

sama lain, demokratis, dan tidak membeda-medakan status sosial selama

berkomunikasi ternyata memberi pengaruh yang bermakna terhadap kepatuhan pasien

menjalanai pengobatan. Menurut Hidayat (2012) dapat disimpulkan bahwa

kesetaraan dalam komunikasi yang efektif adalah penting dalam meningkatkan

kepatuhan. Menurut Effendi (2003) orang yang berkomunikasi dalam suasana

ketidaksetaraan akan menimbulkan ketidak mengertian dalam komunikasi, yang

selanjutnya akan menyebabkan pesan yang disampaikan kepada mereka diabaikan.

Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa aspek kesetaraan dokter di Puskesmas

Ciputat dan Puskesmas Pamulang terdapat 37,7% responden yang menilai kurang baik

dan 62,3% responden yang menilai aspek kesetaraan dokter dan pasien sudah baik.

Peran dokter dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan dalam menjalani

pengobatan. Hal ini terjadi karena sebagian besar responden menyatakan adanya

pelayanan yang baik dari dokter yang mereka terima, pelayanan yang baik inilah

yang menyebabkan perilaku positif dari pasien. Perilaku dokter yang ramah dan

segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-lama dan memandang status sosial

merupakan sebuah bentuk dukungan dari dokter atau tenaga kesehatan yang dapat

berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan pasien tersebut.

Page 87: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

72

BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tuberkulosis adalah penyakit yang mudah menular dan menyebar melalui udara. Jika

tidak diobati, setiap orang dengan TB aktif dapat menginfeksi rata-rata 10 sampai 15

orang per tahun. Lebih dari dua miliar orang, sama dengan sepertiga dari total penduduk

dunia, terinfeksi basil TB, mikroba yang menyebabkan TB. Satu dari setiap 10 orang-

orang akan menjadi sakit dengan TB aktif dalam seumur hidupnya. Orang yang hidup

dengan HIV berada pada risiko yang jauh lebih besar. Oleh karena itu sangat diperlukan

perilaku berobat yang teratur bagi setiap pasien.

Berdasarkan data yang telah diperoleh dan dianalisa, maka penulis menarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. 70,2% responden yang penderita TB paru berada pada usia produktif dengan jenis

kelamin laki-laki pada tingkat pendidikan lanjutan yang bekerja dan memiliki

pengetahuan tinggi.

2. 57% responden mengalami efek samping OAT berupa nyeri perut, mual atau muntah

namun tetap melanjutkan konsumsi obat mereka.

3. 50% responden memiliki jarak rumah yang dekat dengan Puskesmas Ciputat dan

Puskesmas Pamulang.

4. 83,3% responden menganggap komunikasi terapeutik dokter di Puskesmas Ciputat

dan Puskesmas Pamulang sudah sangat baik pada aspek sikap mendukung.

Page 88: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

73

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan maka peneliti mengajukan saran sebagai

berikut:

1. Bagi para dokter atau penyedia jasa layanan kesehatan khususnya yang berada di

klinik atau Puskesmas, dapat menyediakan layanan berupa kotak surat sebagai wadah

pasien mengemukakan saran dan masukannya mengenai pelayanan kesehatan,

khususnya terkait komunikasi pelayanan kesehatan dokter

2. Upaya peningkatan pengetahuan pasien TB paru dengan meningkatkan pelaksanaan

edukasi melalui penyuluhan dengan menggunakan media masa seperti, brosur, poster,

leaflet ataupun media elektronik yang bias dilihat dan didengar oleh pasien ketika

menunggu antrian saat berobat, sehingga pasien mudah menangkap informasi

mengenai penyakit TB paru dan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang

TB paru, baik dari gejalanya, cara penularan, serta proses pengobatannya.

Page 89: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

74

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Tjandra Yoga. 2004. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta: UI Press

Ali, Lukman. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Aliviyanti, Risa Umari. 2015. Kepatuhan Pasien: Faktor Penting dalam Keberhasilan

Terapi. Diakses pada tanggal 14 Desember 2015 di http://uad.ac.id/id/kepatuhan-

pasien-faktor-penting-dalam-keberhasilan-terapi

Arikunto, S. 2010. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi. Jakarta:

Rineka Cipta

Asmariani, Siti. 2012. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Ketidak patuhan Penderita TB

Paru Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Wilayah Kerja Puskesmas Gajah Mada

Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir. Riau: PSIK Universitas

Riau

Bahar.1990. TB Paru dalamI lmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Bart, Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia

Basuki, Endang S. 2009. Konseling Medik: KunciMenuju Kepatuhan Pasien. Majalah

Kedokteran Indonesia, Vol. 59 No. 2

Beelt, Melinda Christine, dkk. 2014. Hubungan Kepatuhan Pengobatan dengan Hilangnya

Gejala Klinis Tuberkulosis Paru di PoliParu RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

Manado: PSIK Universitas Sam Ratulangi

Budiyanto, K. 2002.Mikrobiologi Terapan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang

Burgoon, Michael. 1978. Human Communication: A Revision of Approach Speech

Communication. New York: Holt.

Chapman, Elwood N. 1987. Sikap Kekayaan Anda Yang Paling Berharga. Jakarta: Bina

Aksara

Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI

Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI

Page 90: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

75

Dermawanti. 2014. Hubungan Komunikasi Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien

Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014. Medan:

FKM Universitas Sumatera Utara

Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi antar manusia (5th Ed).Jakarta: Professional Books.

Dhewi, GI, AMriyati. 2012. Hubungan antara Pengetahuan, Sikap Pasien dan Dukungan

Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien TB Paru di BKPM Pati.

Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Desember

Dianne, Berry. 2007. Health Communication: Theory and Practice. New York: McGraw-Hill

Education

Dinkes Kota Tangerang Selatan.2012. Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Selatan Tahun 2012.Tangerang Selatan: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Dinkes Kota Tangerang Selatan. 2014. Rekapitulasi Cakupan Laporan Tuberkulosis tahun

2014. Tangerang Selatan: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Effendi, OnongUchjana.2007. Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Erawatyningsih, E., dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat

Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat

Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Berita Kedokteran Masyarakat

Volume 25 No. 3

Flanagan, John Sommers and Rita Sommers. 2015. Counseling and Psychotherapy Theories

in Context and Practice. United States: John Willey & Sons

Franklin, T. J. and G. A. Snow,. 2005. Biochemistry and Molecular Biology of Antimicrobial

Drug Action, 6th Edition. England: Spinger Science and Business Media

Gendhis I, Yunie A. 2011.Hubungan antara Pengetahuan, Sikap Pasien dan Dukungan

Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien TB di BKPM Pati

Gibb, Jack. 1961. Defensive Communication. Journal of Communication Volume 11

Gough, A and Garri Kaufman. 2011. Pulmonary Tuberculosis: Clinical Features and Patient

Manager. Journal of Nursing Standard Volume 25

Greca, L. and Stone. 1985. Penuntun Diet, Bagian Gizi. Jakarta: RSCM.

Page 91: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

76

Hardjana, Agus. 2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Haynes, N. 1973.Biological Science and Ecological Approach (BSCS Green

Version).Chicago; Rand McNally and Company.

Horne, R. 2006. Compliance, Adherence & Concordance: Implications for Asthma

Treatment. Chest: Official Publication of America College of Chest Physicians

Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Penelitiandan

Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Kemenkes RI. 2012. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2012. Jakarta: Penelitiandan

Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Kemenkes RI. 2013. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Ditjen

Pengawasan Penyakit dan Pengelolaan Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia

Kemenkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia

Kodoydkk. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Tuberkulosis Paru di Lima Puskesmas di Kota Manado. Jurnal Kedokteran

Komunitas dan Tropik Volume 3 Nomor 1

Lloyd, M. and Bor, R. 1996.Communication Skills for Medicine. Edinburgh: Churchill

Livingstone.

Maesaroh, Siti. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Tuberkulosis Paru di Klinik Jakarta Respiratory Centre (JRC)/ PPTI Tahun 2009.

Ciputat: PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Maulidia, DesyFitri. 2014. Hubungan Antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum

Obat Pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014. Ciputat: PSIK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Misnadiarly. 2006. Penyakit Infeksi TB Paru dan Ekstra Paru: Mengenal, Mencegah,

Menanggulangi TBC Paru, Ekstra Paru, Anak pada Kehamilan. Jakarta: Pustaka

Populer Obor

Page 92: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

77

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Nazir, Mochammad. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia

Niven, Neil. 2002.Psikologi Pengantar Kesehatan untuk Perawat dan Profesional Kesehatan

Lain. Jakarta: EGC

Niven, Neil. 2002, Psikologi Kesehatan, Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: RinekaCipta

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT.

RinekeCipta

Nurnisaa, P. 2012. Hubungan Karakteristik Demografi dengan Kepatuhan Berobat Pasien

TB Paru di RS Paru JemberTahun 2012. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas

Jember

Nurvita, P. P. 2013. Hubungan Dukungan Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Kepatuhan

Berobat Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo

.Gorontalo: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Gorontalo

Octaria Y, Sibuea S. Faktor-faktor yang berhubungan terhadap kepatuhan ibu/bapak dalam

pengobatan Tuberkulosis anak di Poli Anak Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar

Lampung Desember 2012-2013. Medical Journal of Lampung University 2013

Okamura, K., Kitayaporn, P. Akarasewi. 2008. FactorsCOntributing to Treatment Success

among Tuberculosis Patients: A Prospective Cohort Study in Bangkok. Bangkok:

International Journal Tuberculosis Lung Disease

Ong, L.M., de Haes, J.C., Hoos, A.M. and Lammes, F.B. 1995.Doctor–Patient

Communication: A Review Of The Literature, Social Science and Medicine Journal

Pare, Amelda Lisu, dkk. 2013. Hubungan Antara Pekerjaan, PMO, Pelayanan Kesehatan,

Dukungan Keluarga dan Diskriminasi dengan Perilaku Berobat Pasien TB Paru.

Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitan Hasanudin

Page 93: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

78

Patriani, Ita. 2012. Komunikasi Dokter dengan Sikap Konkordansi Pada Pasien Tuberkulosis

Paru, Hipertensi, dan Asma di RSUD Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Masyarakat

Nasional Vol. 8 No. 2

Perdana, P. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Penderita

TB Paru di Puskesmas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur. Jakarta FIIK Universitas

Pembangunan Nasional

PPTI.2010. Buku Saku Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI). Jakarta:

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

Prayogo, Akhmad Hudan Eka. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum

Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Pamulang Kota

Tangerang Selatan Provinsi Banten Periode Januari 2012-Januari 2013. Ciputat:

PSPD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Price, Sylvia A and Lorraine, M Wilson. 2005 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Rahmansyah, Ali. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Drop Out (DO) pada

Penderita TB Paru di Rumah Sakit Paru Palembang Tahun 2010. Depok: Universitas

Indonesia

Rumanti, Sr. Maria Assumpta. 2002. Dasar-Dasar Public Relation; Teori dan Praktik.

Jakarta: Grasindo.

Rogers, E.M. 1996. The Field Of Health Communication Today: An Up-To-Date Report.

Journal of Health Communication

Rosencheck, R. and J. A. Cramer. 1999. Enhancing Medication Compliance for People with

Serious Mental Illness. Amerika: Psychiatric Services

Rusmani, A. Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Rumah SakitUmum Daerah (RSUD)

Dr. Doris Sylvanus Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Yogyakarta:

Pascasarjana Universitas Gajah Mada

Sarafino, E. 1990. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. New York; John Wiley

& Sons.

Page 94: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

79

Sarafino, E. P. and M. Ewing. 1999. The Hassles Assessment Scale for Students in Collage:

Measuring The Frequency and Unpleasantness and Dwelling on Stressfiul Events.

Journal of American College Health Volume 48

Setiawati. 2008. Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan. Jakarta: TIM

Siswanto, Toto. 2012. Analisis Pengaruh Predisposing, Enabling dan Reinforcing Factors

terhadap Kepatuhan Pengobatan TB Paru di Kabupaten Bojonegoro. Jurnal

Administrasi Kebijakan Kesehatan Volume 10 Nomor 3

Soeparman. 1994. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Soewono, Hendrojono. 2007. Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter dalam

Transaksi Terapeutik. Surabaya: Srikandi

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta

Sunarto. 2003. Manajemen dan Komunikasi Antar Pribadi dan Gairah Kerja Karyawan.

Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Departemen Kehakiman dan HAM

Suryatenggara, W. 1990.Pengobatan TB Paru. Jakarta: Cermin DuniaKedokteran

Ulfah, Maria. 2011. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada

Pasien Tuberkulosis (TBC) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Kota Tangerang

Selatan Tahun 2011.Ciputat: PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Umar, F, dkk. 2005. Faktor-FaktorPenderita Tuberkulosis Paru Putus Berobat. Jakarta

Uripni, Christina Lia. 2003. Komunikasi Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

WHO. 2003. Adherence to Long Term Therapies for Tuberculosis. Geneva: World Health

Organization

WHO. 2011. Global Tuberculosis Burden Report. Geneva: World Health Organization

WHO. 2012. Global Tuberculosis Control: WHO Report 2012. Geneva: World Health

Organization

WHO. 2013. Global Tuberculosis Control: WHO Report 2013. Geneva: World Health

Organization

Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Grasindo.

Wiryanto. 2006. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Page 95: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

80

Zuliana I. 2009. Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Faktor

Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru

dalam Pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan. Medan: Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Page 96: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

81

LAMPIRAN

Page 97: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

82

INFORMED CONSENT

PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM

PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS CIPUTAT DAN

PUSKESMAS PAMULANG TAHUN 2018

Kepada Yth. Bapak/ Ibu/ Saudara/ I

Bersama ini saya, mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk ikut serta

dalam menjawab pertanyaan yang ada di daftar pertanyaan sebagai bahan penelitian skripsi

saya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pasien terhadap komunikasi

terapeutik dalam pengobatan tuberculosis paru di Puskesmas Ciputat dan Puskesmas

Pamulang.

Penelitian ini bersifat sukarela. Keputusan bapak/ibu/saudara/i untuk ikut serta

ataupun menolak tidak akan mempengaruhi perawatan yang akan diberikan. Jika

memutuskan untuk ikut serta dalam penelitian ini, Bapak/ibu/saudara/i akan diminta untuk

menjawab beberapa pertanyaan dari daftar pertanyaan yang ada selama sekitar 15 menit.

Kerahasiaan jawaban bapak/ibu/saudara/i sangat terjaga, oleh karena itu sangat diharapkan

untuk memberikan jawaban yang sebenar-benarnya.

Atas bantuan dan kerjasama yang diberikan, saya ucapkan terima kasih.

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bersedia untuk menjadi responden

penelitian ini dan saya memahami dan menyadari bahwa penelitian ini bersifat rahasia dan

tidak akan mempengaruhhi atau mengakibatkan hal yang merugikan saya. Oleh karena itu

saya bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini.

Ciputat, Januari 2018

Responden

______________________

No. Responden :

Page 98: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

83

KUESIONER PENELITIAN

Hubungan Komunikasi TerapeutikDokter dan Faktor Lain terhadap Kepatuhan

Berobat Pasien TB di Poli TB Puskesmas (Ciputat / Pamulang) Tahun 2018

I. Karakteristik Responden

Petunjuk pengisian: Isilah data diri dibawah ini dengan sebenar-benarnya dan lingkari

jawaban yang benar.

Inisial Responden :

Usia :

Jenis Kelamin : a. Laki-laki

b. Perempuan

Pendidikan Terakhir : a. SD

b. SLTP/ sederajat

c. SLTA/ sederajat

d. Perguruan Tinggi

Pekerjaan : a. Bekerja

b. Tidak bekerja

Tanggal diagnosis TB :

Lama Pengobatan :

Jarak ke puskesmas :

Efek samping obat TB : a. Ada efek samping

1. Gangguan penglihatan

2. Nyeri perut/ mual/ muntah

3. Kulit gatal/ kemerahan

4. Demam/ menggigil

5. Nyeri sendi/ otot

6. Gangguan Keseimbangan

7. Kesemutan hingga rasa terbakar dikaki

8. Gangguan pendengaran

b. Tidak ada efek samping

Efek samping membuat : a. Ya

Page 99: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

84

berhenti minum OAT b. Tidak

Obat lain yang dikonsumsi : a. Ada

Sebutkan: ………………..

b. Tidak ada

II. Pengetahuan mengenai Kepatuhan Berobat Tuberkulosis

Petunjuk pengisian: Silahkan baca terlebih dahulu pertanyaan di tiap-tiap poin dan

lingkarilah jawaban yang anda anggap benar.

1. Apakah penyebab penyakit TB?

a. Keturunan b. Bakteri c. Banyak pikiran d. Tidak tahu

2. Bagaimana gejala seseorang yang terkena TB?

a. Batuk pilek

b. Batuk berdahak >3 minggu, badan kurus, berkeringat dimalam hari

c. Batuk kering

d. Tidak tahu

3. Bagaimana cara penularan penyakit TB?

a. Melalui alat-alat makan

b. Melalui udara dan percikan dahak/ ludah

c. Melalui pakaian

d. Tidak tahu

4. Berapa lama pengobatan TB agar dapat sembuh?

a. 2 bulan setelah berobat

b. 6 bulan atau lebih setelah berobat hingga tuntas

c. Lama pengobatan tidak pasti

d. Tidak tahu

5. Berapa butir jumlah obat TB untuk setiap kali dikonsumsi?

a. 1 butir b. 2 butir c. 3 butir d. 4 butir e. 5 butir f. tidak

tahu

6. Kapan waktu yang dianjurkan untuk mengkonsumsi obat TB?

a. Pagi hari b. Siang hari c. Malam hari d. Tidak tahu

7. Kapan sebaiknya waktu minum obat?

a. Sebelum makan b. Sesudah makan c. Sebelum tidur d. Tidak tahu

8. Apakah yang terjadi jika obat TB tidak dikonsumsi secara teratur hingga habis?

Page 100: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

85

a. Penyakit akan sembuh dengan sendirinya

b. Kuman kebal terhadap obat dan penyakit tidak sembuh serta dapat menular

c. Tidak ada akibatnya

d. Tidak tahu

9. Apakah ada kemungkinan untuk timbul efek samping akibat mengkonsumsi OAT?

a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu d. Tidak Tahu

10. Jika Ya, apa efek samping yang mungkin akan timbul?

a. Nyeri perut/ mual/ muntah

b. Perasaan selalu uring-uringan

c. Kesemutan hingga rasa terbakar dikaki

d. A, B, C benar

III. Komunikasi Terapeutik

Petunjuk pengisian: Silahkan baca terlebih dahulu pernyataan di tiap-tiap poin dan

berikan tanda centang () dipilihan jawaban.

No Pertanyaan Selalu Sering Kadang

-kadang

Tidak

Pernah

Keterbukaan dokter dalam melayani pasien

1 Dokter bersedia memberikan waktu

konsultasi kepada pasien.

2 Dokter bersikap terbuka dan ramah

saat berkonsultasi.

3 Dokter menanggapi pertanyaan

yang diajukan pasien dengan sopan.

4 Dokter menanyakan perkembangan

kesehatan pasien.

5

Dokter ramah selama melayani

pasien mengambil obat di

puskesmas.

6 Dokter perhatian kepada pasien saat

pasien mengutarakan keluhannya.

Empati dokter saat melayani pasien

Page 101: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

86

1 Dokter mendengarkan keluhan

pasien dengan penuh perhatian.

2 Dokter mampu memberikan kata-

kata yang menenangkan pasien.

3 Dokter memberikan nasehat sesuai

dengan kondisi pasien

Sikap mendukung dokter saat melayani pasien

1

Pada awal pengobatan dokter

menjelaskan bahwa waktu

pengobatan TB sampai sembuh

selama 6 bulan atau bisa lebih.

2

Pada awal pengobatan dokter

menjelaskan bahwa pengobatan

tetap dilakukan meskipun gejala

yang diderita penderita sudah

hilang.

3

Pada awal pengobatan dokter

menjelaskan dengan rinci hal apa

saja yang harus dilakukan dan

dihindari selama pengobatan TB

berlangsung.

4

Pada awal pengobatan dokter

menjelaskan kepada pasien bahwa

pengobatan yang tidak dilakukan

hingga selesai akan memperparah

sakit pasien dan memperlama

proses penyembuhannya.

5

Dokter mengingatkan pasien untuk

selalu kontrol memeriksakan

perkembangan penyakitnya dan

mengambil obat

6 Dokter memotivasi pasien untuk

minum obat teratur didukung

Page 102: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

87

dengan gizi seimbang.

Sikap positif yang ditunjukkan dokter saat melayani pasien

1

Dokter memberikan pujian

mengenai perkembangan kesehatan

pasien.

2

Dokter dapat membuat pasien

merasa percaya diri untuk

kesembuhannya.

3

Dokter dapat membuat pasien

merasa tenang terhadap

penyakitnya

4 Dokter tidak menghakimi pasien

atas keadaan dirinya

Kesetaraan antara dokter dan pasien

1

Dokter memahami kebutuhan

pasien akan rasa nyaman dan

tenang saat berkonsultasi.

2 Dokter tidak membedakan antara

pasien satu dengan pasien lainnya.

3

Dokter memberikan informasi

dengan menggunakan bahasa/

kalimat yang mudah dipahami oleh

pasien.

Terimakasih atas kesediaan menjawab pertanyaan ini dengan lengkap

LEMBAR OBSERVASI

No Pertanyaan Selalu Sering Kadang

-kadang

Tidak

Pernah

Keterbukaan dokter dalam melayani pasien

1 Dokter bersedia memberikan waktu

konsultasi kepada pasien.

Page 103: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

88

2 Dokter bersikap terbuka dan ramah

saat berkonsultasi.

3 Dokter menanggapi pertanyaan

yang diajukan pasien dengan sopan.

4 Dokter menanyakan perkembangan

kesehatan pasien.

5

Dokter ramah selama melayani

pasien mengambil obat di

puskesmas.

6 Dokter perhatian kepada pasien saat

pasien mengutarakan keluhannya.

Empati dokter saat melayani pasien

1 Dokter mendengarkan keluhan

pasien dengan penuh perhatian.

2 Dokter mampu memberikan kata-

kata yang menenangkan pasien.

3 Dokter memberikan nasehat sesuai

dengan kondisi pasien

Sikap mendukung dokter saat melayani pasien

1

Pada awal pengobatan dokter

menjelaskan bahwa waktu

pengobatan TB sampai sembuh

selama 6 bulan atau bisa lebih.

2

Pada awal pengobatan dokter

menjelaskan bahwa pengobatan

tetap dilakukan meskipun gejala

yang diderita penderita sudah

hilang.

3

Pada awal pengobatan dokter

menjelaskan dengan rinci hal apa

saja yang harus dilakukan dan

Page 104: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

89

dihindari selama pengobatan TB

berlangsung.

4

Pada awal pengobatan dokter

menjelaskan kepada pasien bahwa

pengobatan yang tidak dilakukan

hingga selesai akan memperparah

sakit pasien dan memperlama

proses penyembuhannya.

5

Dokter mengingatkan pasien untuk

selalu kontrol memeriksakan

perkembangan penyakitnya dan

mengambil obat

6

Dokter memotivasi pasien untuk

minum obat teratur didukung

dengan gizi seimbang.

Sikap positif yang ditunjukkan dokter saat melayani pasien

1

Dokter memberikan pujian

mengenai perkembangan kesehatan

pasien.

2

Dokter dapat membuat pasien

merasa percaya diri untuk

kesembuhannya.

3

Dokter dapat membuat pasien

merasa tenang terhadap

penyakitnya

4 Dokter tidak menghakimi pasien

atas keadaan dirinya

Kesetaraan antara dokter dan pasien

1

Dokter memahami kebutuhan

pasien akan rasa nyaman dan

tenang saat berkonsultasi.

Page 105: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

90

2 Dokter tidak membedakan antara

pasien satu dengan pasien lainnya.

3

Dokter memberikan informasi

dengan menggunakan bahasa/

kalimat yang mudah dipahami oleh

pasien.

Page 106: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

91

HASIL SPSS

A. Uji Univariat

1. Karakteristik Responden

a. Usia

usia2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Remaja 35 30.7 30.7 30.7

Dewasa 45 39.5 39.5 70.2

Lansia 34 29.8 29.8 100.0

Total 114 100.0 100.0

b. Jenis Kelamin

JENIS_KELAMIN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Laki-laki 60 52.6 52.6 52.6

Perempuan 54 47.4 47.4 100.0

Total 114 100.0 100.0

c. Pendidikan Terakhir

PENDIDIKAN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

SD 10 8.8 8.8 8.8

SLTP / Sederajat 5 4.4 4.4 13.2

SLTA / Sederajat 63 55.3 55.3 68.4

Perguruan Tinggi 36 31.6 31.6 100.0

Total 114 100.0 100.0

Page 107: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

92

d. Pekerjaan

PEKERJAAN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Bekerja 66 57.9 57.9 57.9

Tidak Bekerja 48 42.1 42.1 100.0

Total 114 100.0 100.0

e. Pengetahuan

pengetahuan2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Rendah 39 34.2 34.2 34.2

Cukup 55 48.2 48.2 82.5

Tinggi 20 17.5 17.5 100.0

Total 114 100.0 100.0

2. Faktor Terapi Pasien

a. Efek samping obat

EFEKSAMPING

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Nyeri perut / mual / muntah 52 45.6 45.6 45.6

Kulit gatal / kemerahan 8 7.0 7.0 52.6

Demam / menggigil 3 2.6 2.6 55.3

Nyeri sendi / otot 1 .9 .9 56.1

Gangguan keseimbangan 1 .9 .9 57.0

Tidak ada efek samping 49 43.0 43.0 100.0

Total 114 100.0 100.0

Efek2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Ada Efek Samping 65 57.0 57.0 57.0

Tidak Ada Efek Samping 49 43.0 43.0 100.0

Total 114 100.0 100.0

Page 108: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

93

b. Hasil Efek Samping

BERHENTI_OBAT

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Ya 1 .9 .9 .9

Tidak 113 99.1 99.1 100.0

Total 114 100.0 100.0

c. Riwayat Penyakit lain

MINUM_OBATLAIN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Ya 3 2.6 2.6 2.6

Tidak 111 97.4 97.4 100.0

Total 114 100.0 100.0

3. Faktor Lingkungan (Jarak)

jarak2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Tidak Dekat 57 50.0 50.0 50.0

Dekat 57 50.0 50.0 100.0

Total 114 100.0 100.0

4. Komunikasi Terapeutik Dokter

a. Aspek Keterbukaan

keterbukaan2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Kurang 50 43.9 43.9 43.9

Baik 64 56.1 56.1 100.0

Total 114 100.0 100.0

Page 109: PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42347/1/Yourike... · PERSEPSI PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENGOBATAN

94

b. Aspek Empati

empati2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Kurang 52 45.6 45.6 45.6

Baik 62 54.4 54.4 100.0

Total 114 100.0 100.0

c. Aspek Sikap Mendukung

mendukung2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Kurang 19 16.7 16.7 16.7

Baik 95 83.3 83.3 100.0

Total 114 100.0 100.0

d. Aspek Sikap Positif

positif2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Kurang 49 43.0 43.0 43.0

Baik 65 57.0 57.0 100.0

Total 114 100.0 100.0

e. Aspek Kesetaraan Dokter

kesetaraan2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Kurang 43 37.7 37.7 37.7

Baik 71 62.3 62.3 100.0

Total 114 100.0 100.0