peror pertemuan 4

19
PERILAKU KEORGANISASIAN DINAMIKA PERILAKU INDIVIDU: KONSEP NILAI, SIKAP, DAN KEPUASAN KERJA Kelompok 5: Ni Luh Nyoman Sherina Devi (1391662026) I Gst. Agung Ayu Mas Candraeni (1391662027) Ida Ayu Ratih Manuari (1391662028) Ni Nyoman Kristiana Dewi (1391662029)

Upload: sherinadevi

Post on 02-Oct-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

perilaku organisasi

TRANSCRIPT

PERILAKU KEORGANISASIAN

DINAMIKA PERILAKU INDIVIDU:

KONSEP NILAI, SIKAP, DAN KEPUASAN KERJA

Kelompok 5:

Ni Luh Nyoman Sherina Devi (1391662026)

I Gst. Agung Ayu Mas Candraeni (1391662027)

Ida Ayu Ratih Manuari(1391662028)

Ni Nyoman Kristiana Dewi(1391662029)

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

KONSEP NILAI, SIKAP, DAN KEPUASAN KERJA

I. KONSEP NILAI

Nilai (value) mengandung elemen penilaian yang membawa ide-ide seorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik atau diinginkan. Nilai menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memiliki atribut isi dan intensitas. Atribut isi menyampaikan bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir dari kehidupan adalah penting. Atribut intensitas menjelaskan betapa pentingnya hal tersebut. Ketika menggolongkan nilai seorang individu menurut intensitasnya, kita memperoleh sistem nilai (value system) orang tersebut.

1.1. Pentingnya Nilai

Nilai penting terhadap penelitian organisasional karena menjadi pondasi yang mendasari pemahaman sikap dan motivasi individu, dan karena nilai berpengaruh terhadap persepsi kita. Secara umum, nilai mengaburkan objektivitas dan rasionalitas, serta mempengaruhi sikap dan perilaku.

1.2. Jenis-Jenis Nilai

Terdapat dua pendekatan untuk mengembangkan tipologi-tipologi nilai. Milton Rokeach menciptakan Rokeach Value Survey (RVS). RVS terdiri atas dua kumpulan nilai, dengan setiap kumpulan memuat 18 pokok nilai individual. Milton Rokeach berpendapat bahwa kita dapat memisahkan nilai ke dalam dua kategori. Kumpulan nilai pertama disebut dengan nilai terminal yang merujuk pada hasil akhir yang diinginkan. Ini adalah tujuan yang ingin dicapai seseorang selama masa hidupnya. Kumpulan lainnya disebut dengan nilai instrumental, yang merujuk pada perilaku atau alat yang lebih disukai untuk mencapai nilai terminal. Setiap individu menempatkan nilai baik pada hasil (nilai terminal) dan alat (nilai instrumental) di mana keseimbangan keduanya adalah penting.

1.3. Nilai-Nilai pada Generasi: Kelompok Kerja Kontemporer

Beberapa keterbatasan dari analisa ini, Pertama, kita tidak membuat asumsi bahwa kerangka ini bisa diterapkan secara universal di seluruh kultur. Kedua, hanya terdapat sangat sedikit penilaian yang tepat mengenai nilai generasional, sehingga kita harus mengandalkan kerangka intuitif. Terakhir, hal ini merupakan kategori-kategori yang tidak tepat. Tidak ada aturan hukumnya bahwa seseorang yang lahir pada tahun 1985 tidak bisa memiliki nilai yang sama dengan seseorang yang lahir pada tahun 1955. Pemahaman bahwa nilai individual berbeda berbeda tetapi cenderung mencerminkan nilai sosial pada periode dimana individu tumbuh dapat menjadi sebuah masukan yang berharga dalam menjelaskan dan memprediksi prilaku.

1.4. Mengaitkan Kepribadian dan Nilai-Nilai Individu di Tempat Kerja

1) Kecocokan Orang-Pekerjaan

Teori kecocokan kepribadian-pekerjaan (personality-job fit theory) yang dikemukakan John Holland merupakan sebuah teori yang mengidentifikasi enam tipe kepribadian dan mengusulkan bahwa kecocokan antara tipe kepribadian dan lingkungan pekerjaan menentukan kepuasan dan perputaran tenaga kerja. Holland menampilkan enam tipe kepribadian serta mengusulkan bahwa kepuasan dan keinginan untuk meninggalkan sebuah posisi tergantung pada seberapa baik individu itu mencocokkan kepribadiannya dengan pekerjaan. Poin penting model ini adalah bahwa orang-orang yang memiliki pekerjaan yang kongruen dengan kepribadiannya seharusnya lebih puas dan kurang berisiko mengundurkan diri dibandingkan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang tidak kongruen.

2) Kecocokan Orang-Organisasi

Kecocokan orang-organisasi pada dasarnya berpendapat bahwa orang-orang tertarik pada organisasi yang sesuai dengan nilai-nilai mereka, dan mereka meninggalkan organisasi yang tidak cocok dengan kepribadiannya. Beberapa riset mendapati bahwa kecocokan orang-organisasi lebih penting dalam memprediksi perputaran pekerja di negara kolektivistik daripada di negara yang lebih individualistik.

1.5. Nilai-Nilai Internasional

Manajer dan karyawan memiliki lima dimensi nilai dari budaya nasional yang berbeda-beda. Kelima dimensi tersebut disebutkan dan didefinisikan sebagai berikut:

Jarak kekuasaan. Tingkat di mana individu dalam suatu negara setuju bahwa kekuatan dalam institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak sama.

Individualisme versus kolektivisme. Individualisme adalah tingkatan dimana individu lebih suka bertindak sebagai individu daripada sebagai anggota suatu kelompok dan menjungjung tinggi hak-hak individual. Kolektivisme menekankan kerangka social yang kuat dimana individu mengharap individu lain dalam kelompok mereka untuk menjaga dan melindungi mereka.

Maskulinitas versus femininitas. Tingkatan di mana kultur lebih menyukai peran-peran maskulin tradisional seperti pencapaian, kekuatan dan pengendalian versus kultur yang memandang pria dan wanita memiliki kedudukan yang sejajar.

Penghindaran ketidakpastian. Tingkatan dimana individu dalam suatu Negara lebih memilih situasi terstruktur dibandingkan situasi tidak terstruktur.

Orientasi jangka panjang versus orientasi jangka pendek. Ini merupakan poin terbaru dalam tipologi Hofstede.

1.6. Kerangka GLOBE untuk Menilai Budaya

Program penelitian Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness (GLOBE) adalah sebuah penyelidikan lintas kulturtal mengenai kepemimpinan dan kultur nasional yang terus menerus dilakukan, dimulai pada tahun 1933. Menggunakan data dari 825 organisasi di 62 negara, tim GLOBE mengidentifikasikan Sembilan dimensi dalam kultur nasional yang saling berbeda:

Ketegasan. Tingkatan sampai mana suatu masyarakat mendorong individu untuk bersikap tegar, konfrontatif, tegas, dan kompetitif dibandingkan rendah hati dan lembut.

Orientasi masa depan. Tingkatan sampai mana suatu masyarakat mendorong dan menghargai prilaku yang berorientasi pada masa depan, seperti perencanaan, investasi masa depan, dan penundaan keputusan.

Perbedaan gender. Tingkatan sampai mana suatu masyarakat memperbesar perbedaan peran gender.

Penghindaran ketidakpastian. Seperti yang didefinisikan oleh Hofstede, tim GLOBE mendefinisikan istilah ini sebagai kepercayaan masyarakat terhadap norma dan prosedur sosial untuk mengurangi ketidakmampuan dalam memprediksi kejadian masa depan.

Jarak kekuasaan. Seperti Hofstede, Tim GLOBE mendefinisikan hal ini sebagai tingkatan sampai mana angota suatu masyarakat dapat menerima kekuasaan dibagi secara tidak adil.

Individualisme/kolektivisme. Tingkatan sampai mana individu didorong oleh situasi-situasi sosial untuk bergabung dalam kelompok-kelompok suatu organisasi masyarakat.

Kolektivisme dalam kelompok. Berlawanan dengan berfokus pada instiyusi sosial, dimensi ini mencakup hal luas dari bagaimana anggota suatu institusi sosial merasa bangga atas keanggotaanya dalam kelompok kecil, seperti keluarga, teman-teman disekitarnya, dan perusahaan tempatnya bekerja.

Orientasi kerja. Hal ini merujuk pada tingkatan sampai mana suatu masyarakat mendorong dan menghargai anggotanya atas peningkatan prestasi dan keunggulan.

Orientasi kemanusiaan. Hal ini didefinisikan sebagai tingkat sampai mana suatu masyarakat mendorong dan menghargai individu untuk bersikap adil, altruitis (mendahulukan kepentingan individu lain), murah hati, perhatian, dan baik terhadap individu lain.

1.7. Implikasi terhadap Perilaku Organisasi

Perilaku organisasi telah menjadi sebuah disiplin ilmu global dan konsep-konsepnya harus mencerminkan nilai-nilai budaya yang berbeda dari individu di negara-negara yang berbeda. Untungnya, terdapat banyak penelitian yang telah diterbitkan selama beberapa tahun terakhir, yang memungkinkan kita untuk menentukan di mana konsep-konsep perilaku organisasi dapat diterapkan secara universal pada seluruh kultur dan di mana konsep-konsep tersebut tidak bisa diterapkan.

II. SIKAP

Sikap (attitude) adalah pernyataan-pernyataan evaluatif baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan mengenai objek, individu, atau peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Untuk secara penuh memahami sikap, kita harus mempertimbangkan karakteristik atau komponen dasarnya.

2.1. Komponen Utama Sikap

Umumnya peneliti mengasumsikan bahwa sikap mempunyai tiga komponen, yaitu sebagai berikut:

1) Komponen kognitif dari suatu sikap merupakan deskripsi atau kepercayaan tentang suatu hal.

2) Komponen afektif merupakan segmen emosional atau perasaan dari suatu sikap.

3) Komponen perilaku dari sikap menjelaskan maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.

2.2. Seberapa Konsisten Sikap Itu?

Pada tahun 1950-an, Leon Festinger mengemukakan teori ketidaksesuaian kognitif (cognitive dissonance). Teori ini berusaha menjelaskan hubungan antara sikap dan prilaku. Ketidaksesuaian kognitif merujuk pada ketidaksesuaian yang dirasakan oleh seorang individu antara dua sikap atau lebih, atau anatara prilaku dan siakp. Festinger berpendapat bahwa bentuk ketidakkonsistenan apapun tidaklah menyenangkan dan bahwa individu akan berusaha mengurangi ketidak sesuaian dan, tentunya, ketidaknyamanan tersebut. Oleh karena itu, individu akan mencari keadaan yang stabil, dimana hanya ada sedikit ketidak sesuaian.

Festinger menduga bahwa keinginan untuk mengurangi ketidaksesuaian akan ditentukan oleh pentingnya elemen-elemen yang menciptakan ketidaksesuaian, tingkat pengaruh yang dimiliki oleh seorang individu terhadap elemen-elemen tersebut, dan penghargaan yang mungkin terlibat dalam ketidaksesuaian.

Yang termasuk implikasi organisaional dari teori ketidaksesuaian kognitif adalah hal ini bisa membantu memprediksi kecenderungan untuk terlibat dalam perubahan sikap dan prilaku. Sebagai contoh, apabila tuntutan pekerjaan mengharuskan individu untuk mengatakan atau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan sikap pribadi, mereka cenderung merubah sikap mereka untuk membuatnya selaras dengan kesadaran akan apa yang telah mereka katakan atau lakukan. Selain itu, semakin besar ketidaksesuaian setelah ditinjau dari faktor kepentingan, pilihan, dan penghargaan semakin besar tekanan untuk menguranginya.

2.3. Apakah Perilaku Selalu Mengikuti Sikap?

Penelitian sebelumnya tentang sikap menganggap bahwa sikap mempunyai hubungan sebab akibat dengan prilaku; yaitu, sikap yang dimiliki individu menentukan apa yang mereka lakukan. Namun pada akhir 1960an, hubungan yang diterima tentang sikap dan prilaku ditentang oleh sebuah tinjauan dari penelitian. Berdasarkan evaluasi sejumlah penelitian yang menyelidiki hubungan sikap prilaku, peninjau menyimpulkan bahwa sikap tidak berhubungan dengan prilaku atau, paling banyak, hanya berhubungan sedikit. Meskipun Festinger berpendapat bahwa sikap mengikuti perilaku, para peneliti lainnya mempertanyakan apakah ada hubungan atau tidak sama sekali. Riset terkini lainnya menunjukkan bahwa sikap memprediksi perilaku di masa depan dan menguatkan pendapat Festinger bahwa variabel moderasi dapat memperkuat hubungan tersebut.

Variabel Moderasi. Moderator yang paling kuat dari hubungan sikap-perilaku yang paling kuat adalah pentingnya sikap, korespondensinya dengan perilaku, aksesibilitanya, apakah ada tekanan-tekanan sosial, dan apakah seseorang mempunyai pengalaman langsung dengan sikap tersebut.

Sikap yang penting adalah sikap yang mencerminkan nilai-nilai fundamental, minat diri, atau identifikasi dengan individu atau kelompok yang dihargai oleh seseorang. Hubungan sikap-prilaku mungkin sekali menjadi jauh lebih kuat apabila sebuah sikap merujak pada sesuatu dengan mana individu tersebut mempunyai pengalaman secara langsung. Teori persepsi diri membuktikan bahwa siakp digunakan, setelah melakukan sesuatu, untuk memahami suatu tindakan yang telah terjadi daripada sebagai alat yang mendahului dan memandu tindakan.

2.4. Apakah Sikap Kerja yang Utama?

Sebagian besar penelitian dalam perilaku organisasional berhubungan dengan tiga sikap: kepuasan kerja, keterlibatan pekerjaan, dan komitmen organisasional.

1) Kepuasan Kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristikanya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan tersebut.

2) Keterlibatan Pekerjaan mengukutr tingkat sampai mana individu secara psikologis memihak pekerjaan mereka dan menganggap pentingnya tingkat kinerja yang dicapai sebagai bentuk penghargaan diri. Konsep pemberian wewenang psikologis (psychological emprowerment), yaitu keyakinan karyawan terhadap sejauh apa mereka memiliki lingkungan kerja, kompetensi, makna pekerjaan, dan otonomi dalam pekerjaan, juga sangat berkaitan dengan sikap kerja.

3) Komitmen organisasional didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut.

Tiga dimensi terpisah komitmen organisasional adalah:

Komitmen afektif (affective commitment) merupakan perasaan emosional untuk organiasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya.

Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) merupakan nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut.

Komitmen normatif (normative commitment) merupakan kewajiban untuk bertahan dalam organisai untuk alasan-alasan moral atau etis.

4) Sikap kerja yang lain. Dukungan organisainya yang dirasakan (perceived organizational support POS) adalah tingkat sampai mana karyawan yakin organisasi menghargai kontribusi mereka dan peduli dengan kesejahteraan mereka (sebagai contoh, seorang karyawan yakin bahwa organisasinya akan mengakomodasi dirinya apabila ia mempunyai masalah pengasuhan anak atau akan memaafkan kesalahan yang jujur di pihaknya). Sebuah konsep yang paling baru adalah keterlibatan karyawan (employee engagement), yaitu keterlibatan, kepuasan, dan antusiasme individual dengan kerja yang mereka lakukan.

5) Bagaimana Sikap Karyawan Dapat Diukur ?

Survei sikap merupakan upaya mendapatkan respons dari karyawan melalui kuosioner mengenal perasaan mereka terhadap pekerjaan, tim kerja, penyelia, dan organisasi.

6) Apa Arti Penting dari Sikap terhadap Keberagaman di Tempat Kerja ?

Para manajer semakin khawatir dengan sikap karyawan yang berubah untuk mencerminkan perspektif yang berubah mengenai ras, gender, dan persoalan perbedaan lainnya. Aktivitas tambahan yang dirancang untuk mengubah sikap termasuk mengatur individu untuk melakukan pekerjaan sukarela di pusat-pusat layanan sosial atau masyarakat guna bertemu secara langsung dengan individu atau kelompok dari latar belakang yang berbeda-beda serta menggunakan latihan yang membiarkan para partisipan merasakan seperti apakah menjadi berbeda itu.

III. KEPUASAN KERJA

3.1. Mengukur Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Berdasarkan intuisi, merupakan penyimpulan respons terhadap sejumlah faktor pekerjaan akan menghasilkan evaluasi kepuasan kerja yang lebih akurat. Penyajian akhir dari segi pekerjaan membantu manajer berfokus pada keberadaan masalah-masalah, membuatnya lebih mudah untuk menangani karyawan yang tidak bahagia serta menyelesaikan masalah dengan lebih cepat dan akurat.

3.2. Seberapa Puas Individu dengan Pekerjaan Mereka?

Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepuasan mengalami banyak perubahan bergantung pada segi kepuasan kerja. Kecenderungan tidak begitu puas dengna bayaran dan peluang promosi yagn diberikan perusahaan dimana alasanya tidak begitu jelas. Riset juga menunjukkan tingkat kepuasan yang sangat beragam. Hal ini bergantung pada aspek dari kepuasan kerja apa yang ditinjau. Meskipun kepuasan kerja tampak relevan di berbagai budaya, namun hal ini bukan berarti tidak ada perbedaan budaya dalam kepuasan kerja. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa pekerja di budaya Barat memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja di budaya Timur.

3.3. Apakah yang Menyebabkan Kepuasan Kerja?

Segi kepuasan kerja yaitu kerja itu sendiri, bayaran, kenaikan jabatan, pengawasan, dan rekan kerja, menikmati kerja itu sendiri hampir selalu merupakan segi yang paling berkaitan erat dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi secara keseluruhan. Pekerjaan menarik yang memberikan pelatihan, variasi, kemerdekaan, dan kendali memuaskan sebagian besar karyawan. Dengan kata lain, lebih menyukai pekerjaan yang menantang dan membangkitakan semangat daripada kerja yang dapat diramalkan dan rutin.

3.4. Pengaruh dari Karyawan yang Tidak Puas dan Puas di Tempat Kerja

Sebuah kerangka teoritis merupakan kerangka keluar pengaruh kesetiaan pengabaian yang sangat bermanfaat dalam memahami konsekuensi dari ketidakpuasan. Respon-respon seperti berikut :

1) Keluar (exit) : Perilaku yang ditujukan untuk meninggalkan organisasi termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.

2) Aspirasi (voice) : Secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan dan bebarapa bentuk aktivitas serikat kerja.

3) Kesetiaan (loyalty) : Secara pasif tetapi optimistis menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan manjemennya untuk melakukan hal yang benar.

4) Pengabaian (neglect) : Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus-menerus, kurangnya usaha, dan meningkatnya angka kesalahan.

Perilaku keluar dan pengabaian mencakup variabel-variabel kinerja produktivitas, ketidakhadiran, dan perputaran karyawan. Kepuasan kerja dan kinerja diman pekerja yang bahagia cenderung lebih produktif, meskipun sulit untuk mengatakan ke mana arah hubungan sebab akibatnya. Peneliti biasanya percaya bahwa hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja pekerjaan adalah mitos manajemen. Ketika data produktivitas dan kepuasan secara keseluruhan dikumpulkan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang lebih puas cenderung lebih efektif bila dibandingkan organisasi yang mempunyai karyawan yang kurang puas. Kepuasan kerja dan OCB (oerganizational citizenship behavior) yang mana karyawan yang puas cenderung berbicara secara positif tentang organisasi, membantu individu lain, dan melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka. Kepuasan kerja dan kepuasan pelanggan menunjukkan bahwa karyawan yang puas bisa meningkatkan kepuasan dan kesetiaan pelanggan. Yang mana karyawan lebih ramah, ceria, dan responsif yang dihargai oleh pelanggan. Karyawan memiliki hubungan tetap dengan pelanggan jika pelanggan kasar, tidak mempertimbangkan orang lain, atau menuntut dengan tidak masuk akal mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.

Kepuasan kerja dan ketidakhadiran menemukan suatu hubungan negatif, yang konsisten antara kepuasan dan ketidakhadiran, tetapi korelasi berkisar antara sedang sampai lemah. Karyawan yang tidak puas cenderung melalaikan pekerjaan, faktor-faktor lain memiliki pengaruh hubungan dan mengurangi koefisien korelasi. Kepuasan kerja dan perputaran karyawan pada tingkat kepuasan tidak begitu penting dalam memprediksi perputaran karyawan utnuk pekerja-pekerja ulung. Organisasi biasanya melakukan banyak upaya untuk mempertahankan orang-orang ini dan mendapatkan kenaikan bayaran, pujian, pengakuan, peluang promosi yang meningkat.

Kepuasan kerja dan perilaku menyimpang di tempat kerja yang memprediksi banyak perilaku khusus, termasuk upaya pembentukan serikat kerja, penyalahgunaan hakikat, pencurian di tempat kerja, pergaulan yang tidak pantas, dan kelambanan perilaku ini adalah indikator sebuah sindrom yang lebih luas yang disebut perilaku menyimpang di tempat kerja. Apabila karyawan tidak menyukai lingkungan kerja mereka, entah bagaimana mereka akan merespons. Apabila pemberi kerja ingin mengendalikan konsekuensi yang tidak diinginkan dari ketidakpuasan kerja, lebih baik menyelesaikan sumber masalahnya daripada berusaha mengendalikan respon-respon yang berbeda.

Manajer seharusnya tertarik dengan sikap para pekerjanya karena sikap memberikan peringatan mengenai masalah potensial dan memengaruhi perilaku. Menciptakan angkatan kerja yang puas hampir tidak pernah menjamin kinerja organisasi yang sukses, tetapi bukti menyatakan dengan kuat bahwa apapun yang dapat dilakukan manajer untuk meningkatkan sikap pekerja akan mungkin menghasilkan efektivitas organisasi yang meningkat sampai pada kepuasan pelanggan yang tinggi bahkan berdampak pada laba.

12