perlindungan terhadap wakil diplomatik menurut konvensi wina tahun 1961
DESCRIPTION
studi kasus tewasnya Dubes AS di LibyaTRANSCRIPT
PERLINDUNGAN TERHADAP WAKIL DIPLOMATIK MENURUT
KONVENSI WINA TAHUN 1961 (STUDI KASUS TEWASNYA DUTA
BESAR AMERIKA SERIKAT DI LIBYA)
A. Latar Belakang Masalah
Saling membutuhkan antara bangsa-bangsa diberbagai
lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang
tetap dan terus menerus mengakibatkan timbulnya kepentingan
untuk memelihara dan mengatur hubungan tersebut. karena
kebutuhan antar bangsa yang sifatnya timbal balik maka kepentingan
untuk memelihara hubungan tersebut merupakan kepentingan
bersama.1 Tidak ada satupun di dunia yang dapat membebaskan diri
dari keterlibatannya dengan negara lain, karena adanya kepentingan
sosial, ekonomi, politik, maupun budaya terlebih lagi bagi negara-
negara yang baru lahir dan negara yang sedang berkembang dengan
maksud untuk bernegosiasi dengan negara lain sebagai pencapaian
suatu tujuan. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan untuk
menuntaskan segala masalah yang timbul dalam hubungan antar
negara tersebut. Maka lahirlah hukum Internasional yang bertujuan
untuk membina masyarakat Internasional yang bersih dari segala hal
yang dapat merugikan negara, dengan demikian dapat mempererat
1 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm 117
1
terjalinnya hubungan Internasional secara sehat, dinamis, dan
harmonis.
Hukum Internasional merupakan sekumpulan kaedah hukum
yang terdiri dari prinsip-prinsip dan kebiasaan-kebiasaan
internasional yang mengatur hubungan antara subjek-subjek hukum
Internasional, menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta
membatasi hubungan yang terjadi antara subjek hukum tersebut
dengan masyarakat sipil.
Dalam memenuhi kepentingan dan cita-cita suatu negara
maka diciptakan suatu hubungan yakni membuka hubungan
diplomatik. Untuk memudahkan proses interaksi tersebut maka
setiap negara mengirim perwakilan-perwakilan mereka ke negara
lain berdasarkan prinsip timbal balik (respirocity), sebagai
penghubung kepentingan antar negara untuk berunding dengan
negara lain dalam rangka memperjuangkan dan mengamankan
negaranya masing-masing disamping mewujudkan kepentingan
bersama.
Dengan meluasnya hubungan diplomatik tersebut maka tidak
menutup kemungkinan suatu negara akan mempunyai hubungan
lebih dari satu negara saja namun hampir seluruh negara di dunia.2
Dalam menjalin dan mengembangkan hubungan dengan negara
lainnya maka harus berdasarkan atas prinsip persamaan hak serta
2 Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandar Madju, Bandung, 1992, hlm. 3
2
perdamaian antar negara seperti yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat
(2) piagam PBB dan juga pembukaan Konvensi Wina 1961 tentang
hubungan diplomatik, yaitu:
“mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain untuk memperteguh perdamaian universal”.3
Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antar negara
didasarkan pada prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik
negara. Kebiasaan tersebut lahir dengan diakuinya duta yang dikirim
bangsa lain ke suatu negara untuk mewakili bangsa dan
pemerintahnnya, sehingga pihak penerima tidak dapat mencampuri
urusannya. Prinsip kebiasaan tersebut berkembang sangat pesat,
hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasional
berdasarkan pada prinsip tersebut. Karena semakin pesatnya
penggunaan prinsip tersebut yang dianut oleh negara di dunia maka
prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan
kebiasaan yang dapat diterima umum sebagai hukum oleh
masyarakat internasional. Oleh karena itu hukum Internasional
dibidang hubungan diplomatik dan konsuler menjadi pedoman bagi
negara-negara dalam melaksanakan hubungannya dengan negara-
negara lain. Negara-negara di dunia juga melakukan usaha untuk
mengkodifikasi hukum diplomatik dan konsuler tersebut, hingga
pada tahun 1961 kodifikasi hukum diplomatik mencapai puncaknya,
3 Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB dan Pembukaan Konvensi Wina tahun 1961
3
dengan ditandatanganinya The Vienna Convention on Diplomatic
Relation.
Pada abad ke-16 dan 17 dalam pergaulan masyarakat, negara
sudah dikenal semacam misi-misi konsuler dan diplomatik dalam
arti yang sangat umum seperti yang dikenal dikenal sekarang.
Praktik dan kebiasaan itu kemudian dirumuskan dalam sejumlah
peraturan yang lambat laun menjadi hukum tertulis yang kemudian
dikenal dengan hukum diplomatik dan konsuler. Sejak kongres wina
1815, para anggota diplomatik diberikan penggolongan dan tatacara
sementara telah dibicarakan, namun tidak ada satupun yang berusaha
untuk merumuskan prinsip-prinsip dalam hubungan diplomatik
dalam suatu kodifikasi yang dapat diterima oleh masyarakat
internasional. Kongres tersebut hanya didasarkan atas kebiasaan-
kebiasaan hukum internasional yang juga diambil dari praktik
negara-negara. Penggolongan pangkat diplomatik telah disetujui
dalam kongres wina kemudian mengalami perubahan dengan
diubah dan disempurnakannya protokol aix-la-chapelle. Dalam
konvensi wina tersebut penggolongan Kepala Perwakilan
Diplomatik ditetapkan sebagai berikut:
1. Duta-duta besar dan para utusan (Ambasadors and legats)
2. Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Luar Biasa (minister
Plenipotentiary and Envoys Extraordinary)
3. Kuasa Usaha (Charge d’ affaires)4
4 T. May Rudi, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung : 2006, hlm. 65
4
Sedangkan didalam kongres Aix-la-Chapelle 1818, penggolongan
tersebut telah ditambahkan lagi dengan Minister Resident sebagai
golongan ketiga. Sebenarnya kongres Wina ini dilihat dari segi
substansi, ptaktis tidak mengubah apa-apa terhadap praktik yang
sudah ada sebelumnya, yang jelasnya hanya sebagai upaya positif
mengkodifikasi praktik-praktik negara-negara dalam bidang
hubungan diplomatik menjadi hukum tertulis, sehingga lebih
terjamin kepastiannya bagi negara-negara yang melaukan hubungan
diplomatik.5
Dalam kerangka LigaBangs-Bangsa diupayakan kodifikasi yang
sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai oleh Komisi ahli
ditolak oleh Dewan Liga Bangsa-Bangsa. Alasannya yaitu belum
waktunya untuk merumuskan kesepakatan global mengenai hak-hak
istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks. Oleh
karena itu masalah tersebut tidak dimasukkan kedalam Konferensi
Deen Haag. Disamping itu di Havana dalam konverensi ke-6
Negara-Negara Amerika (OAS) menerima Convention On
Diplomatik Officers yang diratifikasi oleh negara-negara Amerika
kecuali Amerika Serikat yang hanya menandatangani kerena
menolak ketentuan yang menyetujui pemberian suaka politik.
Pada tahun 1974, komisi hukum internasional yang dibentuk
oleh majelis umum PBB (GA. Res. 174 II/1947) menetapkan topik
5 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik teori dan kasus, Alumni, Bandung: 2013,hlm. 6-7
5
pembahasan yang termasuk didalamnya mengenai hubungan
diplomatik dan kekebalan-kekebalan. Namun pembahasan mengenai
hubungan diplomatik tidak mendapatkan perioritas. Selanjutnya
sering terjadi insiden hubungan diplomatik sebagai akibat perang
dingin, dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan mengenai hubungan
diplomatik. Pada tahun 1954 komisi mulai membahas masalah-
masalah hubungan dan kekebalan diplomatik dan sebelum akhir
1959 Majelis Umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk
menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional untuk membahas
masalah-masalah dan kekebalan-kekebalan diplomatik. Konfrensi
tersebut dengan nama The United Nations Conference of Diplomatic
Intercource and Imunites mengadakan sidangnya di Wina dari
tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961. Konvensi tersebut diterima
oleh 27 negara dengan 52 pasal dan 2 protokol. Tiga tahun kemudian
konvensi tersebut mulai berlaku dan sekarang hampir seluruh negara
di dunia telah meratifikasi konvensi tersebut.6 Konvensi Wina 1961
tentang Diplomatic Relation memberikan landasan hukum
(Internasional) yang kuat dan tepat bagi negara-negara untuk
menjalin dan meningkatkan hubungan antar negara dalam rangka
memenuhi nation interest mereka dan menjaga perdamaian dunia
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (human rights).7
6 Boer Mauna, Hukum Internasional, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, P.T. Alumni, Bandung, 2000, hlm. 512
7 Syafrinaldi, Hukum Internasional Antara Harapan Dan Kenyataan, UIR Press, Pekanbaru, 2000, hlm. 54
6
Secara umum diakui bahwa dalam melaksanakan hubungan
diplomatik setiap negara mempunyai right of legation. Hak legasi ini
ada yang aktif dan ada yang aktif. Hak legasi yang aktif yaitu hak
suatu negara untuk mengakreditasikan wakilnya ke negara lain dan
hak legasi pasif yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil negara
asing.akan tetapi hak legasi ini secara berangsur-angsur telah
ditinggalkan oleh karena itu, hukum internasional tidak
mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan
negara lain, seperti juga tidak ada keharusan untuk menerima misi
diplomatik asing disuatu negara. Demikian juga suatu negara tidak
mempunyai hak meminta negara lain untuk menerima wakil-
wakilnya. Seperti ditegaskan dalam pasal 2 Konvensi Wina tahun
1961:
“The establishment of diplomatic relations between states, and of
permanent diplomatic mission, take place by mutual consent”.8
Dalam hal ini dalam melakukan hubungan diplomatik dengan
negara-negara di dunia haruslah berdasarkan kesepakatan bersama.
Kesepakatan ini biasanya diumumkan dalam bentuk resmi seperti
komunike bersama, perjanjian persahabatan, dan lain-lain. Prinsip
kesepakatan bersama yang terdapat dalam konvensi merupakan hasil
kompromi rasional yang sepenuhnya sesuai dengan prinsip bahwa
setiap pembatasan kedaulatan harus disetujui negara yang
bersangkutan.
8 Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1961
7
Dalam konvensi wina pembukaan dan penerimaan wakil
diplomatik adalah hal yang berbeda, sebuah negara bisa saja
membuka hubungan diplomatik, tetapi belum tentu negara tersebut
dapat menerima perwakilan diplomatik yang tetap. Pembukaan
hubungan diplomatik ini juga terkait dengan pengakuan terhadap
suatu negara. Dalam hukum internasional tidaklah dapat dipaksakan
suatu negara untuk mengakui sebuah negara lain, oleh karena itu
penolakan terhadap wakil-wakil diplomatik adalah hal yang biasa
dilakukan. Dalam praktiknya suatu negara memberi pengakuan
terlebih jadi atas berdaulatnya suatu negara yang lain kemudian
membuka hubungan diplomatik, dan dapat juga terjadi pembukaan
hubungan diplomatik merupakan pengakuan terhadap suatu negara.
Bila dua negara telah mencapai kesepakatan untuk membuka
perwakilan diplomatik maka yang harus ditentukan selanjutnya
adalah tingkat perwakilan yang dibuka oleh masing-masing negara.
Dalam konvensi Wina 1961 pasal 14 penetapan tingkat-tingkat
perwakilan diplomatik sebagai berikut:
1. Para duta besar atau nuncios yang diakreditasikan kepada kepala
negara dan para kepala perwakilan lain yang sama pangkatnya
2. Para utusan, duta dan internuncios yang diakreditasikan kepada
kepala negara
3. Para kuasa usaha yang diakreditasikan kepada menteri luar
negeri.
8
Sebagian besar perwakilan diplomatik dipimpin oleh envoys
extraordinary atau minisers seperti yang terdapat dalam klasifikasi
pejabat diplomatik dalam Konvensi Wina 1815, tetapi semenjak
tahun 1960-an terdapat perubahan hampir semua perwakilan
diplomatik di dunia berstatus kedutaan besar dan dipimpin oleh
seorang duta besar. Pengangkatan seorang duta besar biasanya
dilakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan
oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan
persetujuannya. Cara-cara memilih calon-calon tidak selalu sama
bergantung pada sistem dan praktik yang berlaku disuatu negara.
Dapat dilakukan pemilihan calon ditentukan oleh kabinet atau
dilakukan oleh kementerian luar negeri saja setelah memperhatikan
berbagai faktor. 9
Salah satu prinsip negara beradab dalam hukum Internasional
adalah dengan memberikan perlindungan terhadap orang asing.
Orang asing harus diperlakukan sesuai dengan perilaku internasional
terhadap hak-hak dasar manusia. Dasar prinsip ini adalah “Universal
Respect for and Observance of Human Rights and Fundamental
Freedom” sebagaimana dicantumkan dalam pasal 1 ayat (3) Piagam
PBB dan bertujuan untuk menjamin pemberian perlindungan dengan
kepentingan-kepentingan hukum tanpa membedakan warga negara.10
9 Boer Mauna, Op. Cit, hlm. 524-52710 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 113
9
Konvensi Wina 1961 sebagai pengakuan adanya wakil-wakil
diplomatik oleh semua negara-nagara, maka konvensi ini
merupakan faktor penting dalam melaksanakan hubungan diplomatik
kerena konvensi tersebut telah dapat menyusun prinsip-prinsip
hukum diplomatik khususnya mengenai kekebalan dan keistimewan
diplomatik yang mutlak diperlukan oleh semua negara Setiap negara
yang menjadi peserta konvensi harus tunduk dan patuh pada
peraturan-peraturan yang terdapat dalam konvensi baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Akibat dari adanya perbedaan-
perbedaan pandangan yang bertentanagan mengenai dilaksanakan
atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian
Internasional oleh keduan negara akan menimbulkan sengketa.
Perlindungan terhadap suatu wilayah kedutaan disuatu negara
merupakan salah satu dari kekebalan dan keistimewaan hukum
diplomatik. Kekebalan dan keistimewaan hukum diplomatik ini tidak
hanya menyangkut pada wilayah kedutaan saja tetapi juga mencakub
kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik. Pemberian
kekebalan dan keistimewaan tersebut bertujuan untuk memperlancar
dan memudahkan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik dan
bukan atas pertimbangan-pertimbangan lain. Kekebalan dan
keistimewaan diplomatik tidak saja dinikmati oleh para kepala
perwakilan (seperti duta besar, duta atau kuasa usaha), tetapi juga
10
oleh anggota keluarganya yang tinggal bersamanya, termasuk para
diplomat lainnya yang menjadi anggota perwakilan. 11
Kedutaan merupakan kedudukan resmi perwakilan diplomatik
dari negara lain yang perlindungan terhadap wilayahnya menjadi hal
yang sangat penting untuk dibicarakan karna Para pejabat diplomatik
yang dikimkan oleh suatu negara ke negara lainnya telah dianggap
sifat suci yang khusus, gedung kedutaan sendiri telah memiliki
kekebalan yang diakui oleh negara-negara yang melakukan
hubungan diplomatik. Kekebalan terhadap kedutaan meliputi gedung
perwakilan, lingkungan dalam perwakilan maupun lingkungan luar
perwakilan, selain itu kantor perwakilan atau kedutaan diluar negeri
tidak boleh dimasuki oleh pejabat-pejabat dari negara penerima
secara sembarangan tanpa persetujuan dari perwakilan diplomatik.
Sehingga negara negara penerima wajib menjaga ketenteraman
setiap pejabat-pejabat diplomatik. Untuk menunjukkan totalitas
kekebalan dan keistimewaan diplomatik, sering digunakan istilah
exterritoriality atau extra-territoriality. Istilah ini mencerminkan
kenyataan bahwa para pejabat-pejabat diplomat hampir dalam segala
hal harus diperlakukan sebagaimana mereka tidak dalam berada
dalam wilayah negara penerima. Sifat exterritoriality itu diberikan
kepada para pejabat-pejabat diplomatik oleh hukum nasional negara
penerima yang didasarkan adanya keperluan bagi mereka untuk
menjalankan tugasnya bebas dari juridiksi, pengawasan negara
11 Boer Mauna, Op. Cit, hlm 584
11
setempat. Gedung yang dipergunakan oleh sutu perwakilan
diplomatik, baik gedung itu milik negara atau kepala perwakilan
maupun disewa dari perorangan, biasanya dianggap tidak dapat
diganggu gugat oleh para penguasa negara penerima, dibebaskan
dari perpajakan, kecuali bagi pajak-pajak dalam bentuk biaya
pelayanan khusus seperti tarif air dari PDAM (Perusahaan Daerah
Air Minum).12 Suatu kewajiban yang bagi negara setempat untuk
mencegah setiap setiap serangan yang ditujukan kepada seseorang,
kebebasan dan kehormatan para diplomat, serta untuk melindungi
gedung perwakilan diplomatik. Adanya pemberian kekebalan dan
keistimewaan diplomatik bagi para pejabat diplomatik merupakan
pemberian yang dianggap sudah menjadi kebiasaan hukum
Internasional, sesuai dengan aturan-aturan kebiasaan dalam hukum
Internasional. Kekebalan-kekebalan tersebut sering diberikan secara
jelas dalam hukum dan peraturan-peraturan negara penerima.
Sehubungan dengan hal tersebut terdapat tiga teori mengenai
landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik
yaitu: teori eksterritorialitas, teori representatif, dan teori kebutuhan
fungsional.13
Kekuatan Konvensi Wina adalah diterimanya prinsip
resiprositas yang telah merupakan sanksi efektif dan tetap atas
ketaatan terhadap ketentuan-ketentuan konvensi. Tiap negara
12 Sumaryono Suryokusumo, Op Cit, hlm. 5313 Syahmin, AK., Hukum Diplomatik dalam kerangka studi analisis, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 19
12
sekaligus merupakan negara pengirim dan penerima, bila suatu
negara lalai dalam memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan
atau perlindungan terhadap wakil-wakil negara asing, maka
negara asing tersebut diperkirakan akan mengambil sikap yang
sama.
Kelalaian dan dan kegagalan negara penerima dalam
memberikan perlindungan diplomatik merupakan pelanggaran
terhadap ketentuan konvensi. Oleh karenanya negara penerima
wajib bertanggung jawab atas terjadinya hal yang tidak
menyenangkan tersebut. Kelalaian dan kegagalan tersebutlah
yang akhirnya memunculkan tanggung jawab tersendiri yang
dikenal sebagai pertanggung jawaban negara. Oleh karena itu
penting bagi suatu negara untuk memberikan perlakuan yang
baik kepada perwakilan diplomatik dari negara asing agar wakil
diplomatik di negara lain juga mendapat perlakuan yang sama.
Meningkatnya sejumlah kejahatan serius yang dilakukan
terhadap perwakilan diplomatik dan misi-misi diplomatik,
seperti pembunuhan dan penculikan para putusan serta
serangan-serangan yang diajukan terhadap gedung-gedung
kedutaan, menyebabkan dilakukannya pengesahan oleh PBB
atas konvensi tentang pencegahan dan penghukuman atas
kejahatan-kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi
secara Internasional termasuk wakil-wakil diplomatik.14
14 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 2, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 568
13
Namun dalam prakteknya diberbagai tempat masih terus
sering terjadi gangguan dan serangan oleh berbagai kelompok
tertentu. Salah satu contoh perlakuan yang tidak menyenangkan
adalah insiden demo yang dilakukan warga Libya dikantor
perwakilan diplomatik Amerika Serikat yang ada di Benghazi,
Libya yang mengakibatkan tewasnya Duta Besar Amerika Serikat
dan tiga Staffnya, Pada 11 september 2012 lalu. terjadi pengeboman
melalui roket di gedung Konsulat Amerika Serikat di timur kota
Benghazy, Libya. Peristiwa ini merupakan aksi protes sekelompok
masyarakat Libya tepatnya terhadap sebuah film berjudul “innocence
of Moeslem” yang melecehkan Nabi Muhammad SAW. Film
tersebut diproduksi oleh seseorang keturunan Mesir yang menjadi
warganegara Amerika Serikat. Duta besar Amerika Serikat,
Christopher Stevens adalah satu dari empat pejabat Amerika Serikat
yang tewas dalam demonstrasi rakyat Libya tersebut
Insiden atas kematian Duta Besar Amerika di Libya merupakan
masalah yang beterkaitan dengan ketidak patuhan terhadap konvensi
Wina 1961 kerena negara Libya sebagai negara penerima telah lalai
dalam memberikan perlindungi terhadap hak dan kekebalan wakil
diplomatik Amerika Serikat.
Dari uraian diatas mengenai pelanggaran terhadap perwakilan
diplomatik, penulis tertarik untuk menulis penelitian yang berjudul
14
PERLINDUNGAN TERHADAP WAKIL DIPLOMATIK
MENURUT KONVENSI WINA TAHUN 1961 (STUDI KASUS
TEWASNYA DUTA BESAR AMERIKA SERIKAT DI LIBYA)
B. Masalah Pokok
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah
terkait dengan permasalahan tersebut adalah:
1. Bagaimana perlindungan terhadap wakil diplomatik menurut
Konvensi Wina tahun 1961?
2. Bagaimana pertanggung jawaban negara Libya terhadap
tewasnya duta besar Amerika Serikat di Libya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan adanya skripsi ini diharapkan adanya suatu kondisi
yang baik, adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui perlindungan terhadap wakil diplomatik
menurut Konvensi Wina tahun 1961 tentang hubungan
Diplomatik
2. Untuk mengetahui kasus tewasnya Duta Besar Amerika
Serikat di Libya
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban negara Libya atas
tewasnya Duta Besar Amerika Serikat di Libya
15
Sedangkan manfaat yang ingin dicapai Peneliti adalah bahwa
peneliti berharap penelitian ini memiliki manfaat praktis maupun
manfaat akademis bagi mahasiswa maupun masyarakat umum yang
berminat terhadap masalah-masalah diplomatik:
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk menambah pengetahuan dalam bidang hukum
diplomatik khususnya dalam bidang perlindungan
terhadap wakil diplomatik
b. Agar dapat menerapkan ilmu hukum secara teoritis
dibangku perkuliahan dan menghubungkannya
dengan kenyataan yang ada dilapangan.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan akan bermanfaat bagi perkembangan
hukum diplomatik di Indonesia
b. Menjadi bahan referansi oleh pembaca, baik
mahasiswa, maupun dosen ataupun masyarakat umum
sehubungan masih kurangnya literatur berkaitan
dengan hukum diplomatik khususnya dalam bidang
perlindungan terhadap wakil diplomatik.
D. Tinjauan Pustaka
Hukum Internsional diartikan sebagai himpunan dari
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta
16
mengatur hubungan antar negara-negara dan subjek-subjek hukum
lainnya dalam kehidupan masyarakat Internasional. Dengan
berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi meningkat
pula hubungan kerjasama dan saling ketergantungan antar negara,
muncul oragnisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang
sangat banyak telah menyebabkan ruang lingkup hukum
Internasional menjadi luas. Hukum Internasional publik mengatur
hubungan antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya. Mengingat
bahwa yang memuat Hukum Internasional adalah negara-negara,
baik melalui kebiasaan-kebiasaan maupun hukum tertulis dan
sekaligus merupakan pengawas dari pelaksanaan hukum tersebut.15
Terbentuknya hukum kebiasaan-kebiasaan Internasional merupakan
hasil dari praktek-praktek tindakan sama negara-negara dalam
menyelesaikan suatu persoalan yang dilakukan secara konstant
secara universal tanpa adanya tentangan. Hukum Kebiasaan-
kebiasaan tersebut salah satunya adalah Hubungan Diplomatik.
Diplomatik merupakan perundingan, yang didalamnya
mengandung pengertian atau makna untuk menyusun dan mencari
kesepakatan-kesepakatan bersama didalam berbagai bidang antara
dua negara atau lebih. Perundingan tersebut merupakan kegiatan
diplomatik untuk saling memberi, menerima, dan saling
menguntungkan antara masing-masing pihak. Perwakilan diplomatik
merupakan wakil resmi dari suatu negara yang cukup penting untuk
15 Boer Mauna, Op. Cit. Hlm. 1
17
memperlancar hubungan internasional.16Agar perwakilan-perwakilan
tersebut dapat menjalankan tugasnya secara bebas dan aman
dinegara penerima maka diberikan hak keistimewaan dan hak
kekebalan hukum. Pemberian hak kekebalan dan hak keistimewaan
tersebut pada hakikatnya merupakan hasil sejarah diplomasi yang
sudah lama sekali dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai
kebiasaan internasional.17 Pada zaman weda, orang-orang India kuno
menganggap bahwa utusan negara sebagai figur suci yang tidak
boleh dianiaya.18 Dalam melakukan hubunagan diplomatik tidak
diharuskan suatu negara untuk membuka hubungan diplomatik,
karna untuk membuka hubungan diplomatik haruslah berdasarkan
kesepakatan antar negara. Setiap negara mempunyai hak aktif
maupun hak pasif. Hak passif, hak setiap negara penerima untuk
menerima atau menyetujui pembukaan perwakilan. Sebaliknya hak
aktif suatu negara untuk aktif membuka perwakilan di negara lain.
Aktivitas maupun pasivitas tersebut terkait dengan kepentingan
subyektif masing-masing negara.
Dalam ilmu hukum, terutama dalam hukum positif sumber
hukum merupakan nilai yang sangat penting. mengenai sumber
hukum, dapat dibedakan sumber hukum meteriil dan formal.
Mochtar Kusumaatmaja mengatakan sumber hukum materiil berarti
membicarakan dasar berlakunya hukum dan mengapa hukum
16 A. Masyhur Efendi, Hukum Diplomatik Internasional Hubungan Bebas Aktif Asas Hukum Diplomatik Dalam Era Ketergantungan Antar Bangsa, Usaha Nasional, Surabaya, Tanpa Tahun, Hlm. 6517 Jurnal Mahkamah, Vol. 5 No. 1, hlm 85 18 Widodo, Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, Laks Bang Justitia, Surabaya:2009, hlm. 122
18
mengikat. Sedangkan sumber hukum formal merupakan tempat
ditemukannya hukum yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
Sumber hukum formal dalam hukum internasional anta lain
perjanjian internasional, sebagaimana ditentukan dalam pasal 38
ayat 1 statuta Mahkama Internasional, mengikat para pihak.19
Status perwakilan diplomatik sudah diakui sejak lampau.
Hal ini dapat diketahui melalui pembukaan konvensi wina tahun
1961 tentang hubungan diplomatik, bahwa :
“People off all nations from ancient time have recognized the status
of diplomatics agens”20
Dalam abad ke-16 dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta
besar keistimewaan dan kekebalan diplomatik telah diterima sebagai
praktek-praktek negara dan telah diterima oleh para ahli hukum
internasional bahkan jika terbukti bahwa seorang duta besar telah
terlibat dalam komplotan atau penghianatan melawan kedutaan
negara penerima. Seorang duta dapat di usir tetapi tidak dapat
ditangkat atau diadili. Kemudian pada abad ke 18 aturan mengenai
kekebalan dan keistimewaan diplomatik mulai ditetapkan.21
Tingkatan dalam perwakilan diplomatik ada dua macam,
yakni wakil diplomatik yang dikirimkan untuk melakukan
perundingan-perundingan diplomatik dan wakil diplomatik yang
dikirim untuk menghadiri upacara-upacara kenegaraan, seperi
19 A. Masyhur Efendi, Hukum Diplomatik Internasional Hubungan Bebas Aktif Asas Hukum Diplomatik Dalam Era Ketergantungan Antar Bangsa, Usaha Nasional, hlm. 78-7920 Pembukaan vienna convention on Diplomatic Relations 196121 Sumaryono suryokusumo, Op. Cit, hlm. 26
19
upacara penobatan, pemakama, perkawinan, atau hari-hari
peringatan.
Dalam proses perkembangan politik internasional lebih
lanjut, adanya gerakan kemerdekaan suatu bangsa, ketidakpuasan
dari sebagian warga negara suatu negara terhadap pemerintahnya
mengakibatkan adanya kekuatan politik baik lokal maupun
regional yang dapat mempengaruhi kedudukan para diplomat,
seringkali keselamatan diplomat terancam jiwanya sampai
disandera atau dihabisi nyawanya.
Libya adalah sebuah negara di Wilayah Afrika Utara, dengan
luas wilayah hampir 1,8 juta square kilometer(700.000 mil).
Libya adalah negara terbesar ke empat di Afrika menurut luas
wilayah, dan ke-17 terbesar di dunia. Libya memiliki cadangan
minyak terbesar ke-10 didunia. Sejarah Libya banyak deiselimuti
dengan perjuangan dan pergolakan, beberapa kali Libya bergolak
karena konflik kepentingan yang tiada henti, diantaranya karena
kandungan minyak yang lebih dinikmati oleh bangsa asing
daripada bangsa Libya sendiri. Sebagai negara yang memiliki
cadangan tertinggi di dunia, banyak negara yang ingin menjalin
kerjasama dengan Libya, salah satu diantaranya adalah Amerika
Serikat.22
22 http://blogs.itb.ac.id/djadja/2012/09/14/sejarahpembebas-libya-negara-yang-terkoyak-dari-jaman-umar-mukhtar-sampai-dengan-muammar-khaddafi/, diakses 06 meret 2015
20
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif
dengan bentuk studindokumen yaitu berusaha mengumpulkan
data dan informasi yang berhubungan dengan judul penelitian
yaitu tentang Perlindungan wakil diplomatik menurut konvensi
wina 1961 (studi kasus tewasnya duta besar AS di Libya).
Penelitian dilihat dari sifatnya, maka penelitian ini adalah
bersifat deskriptif yang berarti penelitian bermaksud untuk
memberikan gambaran secara rinci, jelas, dan sistematis tentang
masalah pokok penelitian.
2. Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah data yang terdiri atas:
a. Bahan Hukum Primer
Adalah data pokok bahan yang menjadi dasar penelitian
ini adalah Konvensi wina tahun 1961
b. Bahan Hukum Sekunder
Adalah merupakan data atau bahan-bahan penunjang
yang penulis kimpulkan melalui buku-buku
kepustakaan sebagai bahan hukum primer, terutama
buku-buku dan literatur-literatur hukum lainnya bdan
hasil penelitoian hukum yang lalu sehubungannya
dengan pembahasan dalam penelitian ini.
21
c. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan hukum tambahan yang mendukung
penelitian ini yang didapat melalui media masa
elektronik (internet) yang berupa website yang
membahas mengenai permasalahan yang akan diteliti
dan memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
3. Analisis Data
Analisis data yang penulis gunakan pada penelitian yang
bersifat normatif ini dengan cara, dari data yang telah penulis
peroleh dan kumpulkan dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder serta bahan hukum tersier, kemudian dari data-
data tersebut kemudian penulis ,erangkum dan membuat
pengelompokan berdasarkan jenis buku secara tersusun yang
sistematis yang kemudian diolah selanjutnya disajikan kedalam
bentuk kalimat-kalimat yang sistematis, denagan cara-cara
perbandinagn teori-teori, pendapat-pendapat, para ahli serta
membandingkannya dengan konvensi wina tahun 1961 tentang
hubungan diplomatik . kemudian barulah ditarik kesimpulan
dari apa yang penulis peroleh dengan berpedoman kepada tujuan
tujuan penelitian, adapun hasil dari kesimpulan dari penelitian
ini ditentukan dengan metode induktif, yaitu mengambil hasil
kesimpulan dari hal yang bersifat khusus kepada hal yang
bersifat umum yakni Konvensi wina tahun 1961 tentang
22
hubungan diplomatik kepada pelanggaran atas tewasnya duta
besar AS di Libya.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN WAKIL
DIPLOMATIK MENURUT KONVENSI WINA TAHUN 1961
(STUDI KASUS TEWASNYA DUTA BESAR AS DI LIBYA)” ini
berisikan empat bab yang berhubunagan antara yang satu dengan
yang lain yang diussun sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Pda bagian ini dibahas tentang latar belakang masalah, maksud dan
tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan,
agar dapat mengetahui apa yang dicapai dalam penelitian serta
sistematika skripsi untuk memberikan gambaran yang jelas dalam
penulisan skripsi ini.
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTENG PERLINDUNGAN
WAKIL DIPLOMATIK MENURUT KONVENSI WINA
TAHUN 1961(STUDI KASUS TEWASNYA DUTA BESAR AS
DI LIBYA)
Berisikan uraian tentang peristilahan dan pengertian serta pengaturan
perlindungan wakil diplomatik dalam kaitannya dengan hal
hubungan diplomatik, buku-buku serta teori-teori para sarjana yang
23
dijadikan sumber dalm kebiasaan dalam hukum internasional yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas.
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini dibahas tentang perlindungan wakil diplomatik menurut
konvensi wina tahun 1961tentang hubungan diplomatik, dan
pertanggungjawaban negara Libya atas tewasnya duta besar AS di
Libya.
BAB IV PENUTUP
Peneliti membuat kesimpulan dan penelitian setelah dilakukan
analisa-analisa bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan
tujuan serta saran-saran yang bermanfaat bagi ilmu hukum
khususnya.
G. Daftar Pustaka
A. Masyhur Efendi, Hukum Diplomatik Internasional Hubungan
Bebas Aktif Asas Hukum Diplomatik Dalam Era
Ketergantungan Antar Bangsa, Usaha Nasional
Boer Mauna, Hukum Internasional, Hukum Internasional Pengertian
Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, P.T.
Alumni, Bandung, 2000
24
Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandar Madju,
Bandung, 1992
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 2,
Sinar Grafika, Jakarta
Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik teori dan kasus,
Alumni, Bandung: 2013
Syafrinaldi, Hukum Internasional Antara Harapan Dan Kenyataan,
UIR Press, Pekanbaru, 2000
Syahmin, AK., Hukum Diplomatik dalam kerangka studi analisis,
Rajawali Pers, Jakarta, 2008
T. May Rudi, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung :
2006
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai,
Alumni, Bandung, 2003
Konvensi Wina tahun 1961
Piagam PBB
Jurnal Mahkamah, Vol. 5 No. 1
http://blogs.itb.ac.id/djadja/2012/09/14/sejarahpembebas-libya-
negara-yang-terkoyak-dari-jaman-umar-mukhtar-sampai-
dengan-muammar-khaddafi/
25
26