perlindungan saksi dan korban dalam pelanggaran … · kecuali. dari pengaturan hak dan kewajiban...
TRANSCRIPT
i
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM
PELANGGARAN HAM BERAT
Jurnal Ilmiah
Oleh :
ARTUR CAECAREA
D1A 010 362
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2014
ii
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM
PELANGGARAN HAM BERAT
Oleh :
ARTUR CAECAREA
D1A 010 362
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
Dr. Lalu Parman, S.H., M.Hum.
NIP : 19580408 198602 1001
iii
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM
PELANGGARAN HAM BERAT
ARTUR CAECAREA
D1A 010 362
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
Saksi dan Korban pelanggaran HAM Berat untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK dan
mekanisme perlindungan terhadap Saksi dan Korban dalam pelanggaran HAM Berat menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jenis
penelitian yang digunakan ialah penelitian normatif. Berdasarkan hasil penelitian, syarat-syarat
yang yang harus dipenuhi oleh saksi dan korban pelanggaran HAM Berat tidak dijelaskan secara
rinci dalam Undang-Undang 13 Tahun 2006. Serta mekanisme perlindungan oleh LPSK terhadap
Saksi dan Korban khususnya dalam kasus pelanggaran HAM Berat tidak diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya mengatur hak-hak Saksi
dan Korban yang harus dilindungi terhadap kasus peradilan pidana secara umumnya saja.
Sehingga untuk mendapatkan perlindungan, saksi dan korban perlu dalam mengetahui syarat-
syarat yang harus dipenuhi dalam mendapatkan perlindungan oleh LPSK. Mengingat bahwa
LPSK dibentuk untuk memberikan perlindungan bagi Saksi dan Korban dalam menjalani proses
pemeriksaan peradilan.
Kata kunci : Perlindungan Saksi dan Korban pelanggaran HAM Berat.
PROTECTION OF WITNESSES AND VICTIMS OF WEIGHT HUMAN RIGHTS
VIOLATIONS.
Abstract
The aim of this research is to determine the requirements that must be met by the witness
and victim of weight human rights violations to gain protection from the Witnesses and Victims
Protection Agency (LPSK) and the mechanism of protection of witnesses and victims of the
weight crimes according to Law Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims.
The type of this research is normative research. Based on the research results, the conditions that
must be met by witnesses and victims of human rights violations are not described in detail at
Law Number 13 of 2006. After that the mechanism of protection by the Witness and Victim
Protection Agency especially in the case of human rights violations are not regulated in Law
Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims. Law Number 13 of 2006 on the
Protection of Witnesses and Victims only sets the rights of witness and victims that must be
protected toward the case of criminal justice only in general. So to gain the protection, witnesses
and victims need to know the requirements that must be met in getting protection by the
Witnesses and Victims Protection Agency (LPSK). Considered that the Agency was established
to provide protection for witnesses and victims in carrying out the judicial inspection process.
Keyword : Protection of Witnesses and Victims of weight human rights violations.
i
I. PENDAHULUAN
Dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.1
Rumusan pasal tersebut mengatur bahwa setiap warga negara memiliki hak yang
sama terkait kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan serta memiliki kewajiban
yang sama pula dalam hal menjunjung norma-norma hukum dan pemerintahan itu tanpa
kecuali. Dari pengaturan hak dan kewajiban tersebut mengingat bahwa Negara Indonesia
yang merupakan Negara Hukum yang memberikan kepastian hukum pada setiap warga
negaranya.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia (HAM) juga disebutkan mengenai jenis-jenis dari pelanggaran HAM Berat,
yang menyatakan bahwa :2
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi :
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusiaan;
Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi Dan Korban tidak menjelaskan secara jelas mengenai bentuk-bentuk perlindungan
yang diberikan kepada saksi dan korban dalam hal saksi dan korban tersebut menyampaikan
kesaksiannya dari proses penyidikan hingga pada ranah dimuka persidangan. Sehingga
dalam proses penegakan hukummnya pun akan berdampak besar. Seperti halnya pada
1Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Psl. 27.
2 Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Psl.7, LN
No.208 Tahun 2000, TLN No.4026.
ii
Peradilan HAM yang juga tidak dapat berjalan secara efektif dikarenakan tidak ada regulasi
hukum yang megatur secara khusus (special) terhadap penegakan pelangggaran HAM berat
ini.
Berdasarkan latar belakang dengan topik kajian sebagaimana telah dipaparkan di
atas, mendorong penyusun untuk melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Saksi
dan Korban Dalam Pelanggaran HAM Berat”.
Perlindungan saksi dan korban Pelanggran HAM berat menarik untuk dikaji
mengingat keterangan saksi merupakan alat buktui utama dalam upaya penegakan hukum
sehingga permaslahhannya adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi dan
korban pelanggaran HAM Berat untuk mendapatkan perlindungan dari Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan mekanisme perlindungan saksi dan korban
terhadap pelanggaran HAM Berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang saksi dan korban pelanggaran HAM Berat dalam mendapatkan perlindungan dari
Lembaga Perlindungan saksi dan korban (LPSK). Serta untuk mengetahui dan memahami
mekanisme Perlidungan Saksi dan Korban terhadap pelanggaran HAM Berat menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Adapun manfaat penelitian yang dapat diuraikan dalam penelitian ini antara lain :
Secara akademis, melalui penelitian ini penyusun dapat memperoleh bahan penyusunan
skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi ilmu hukum tingkat
strata satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Mataram. Secara teoritis, penelitian ini
dapat menambah pengetahuan serta memberikan konstribusi yang berarti dan bermanfaat
iii
bagi Sistem Ilmu Hukum Pidana, khususnya dalam mekanisme perlindungan saksi dan
korban dalam pelanggaran HAM Berat di Indonesia. Secara praktis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan konstribusi yang berarti dan bermanfaat dalam mekanisme
perlindungan saksi dan korban dalam pelanggaran HAM Berat dapat sesuai diterapkan atau
diaplikasikan dalam sistem peradilan di Indonesia.
Untuk mencegah meluasnya penafsiran, maka ruang lingkup dalam penelitian ini
pelru dibatasi, yang difokuskan pada syarat-syarat perlindungan yang harus dipenuhi oleh
seorang saksi dan korban pelanggaran HAM Berat yang diberikan oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta mekanisme hukum dalam perlindungan saksi
dan korban dalam pelanggaran HAM Berat di Indonesia.
iv
II. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah hukum normatif, yaitu jenis penelitian
yang dilakukan dengan mengkaji kaidah atau norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan dan sumber referensi lain yang terkait dengan perlidungan saksi dan korban dalam
pelanggaran HAM berat.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Pendekatan
Konseptual (conceptual approach) adalah pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang dalm ilmu hukum; 2. Pendekatan Perundang-undangan
(statute approach) adalah pendekatan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan
dan regulasi yang terkait dengan permasalahan.
Dalam melakukan penelitian hukum normatif, diperlukan adanya beberapa bahan
hukum sebagai bahan pendukung dalam melakukan penelitian ini, yang meliputi: 1. Bahan
Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terkait langsung dengan
permasalahan yang dianalisa. Bahan hukum ini terdiri dari peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perlindungan saksi dan korban dalam pelanggaran HAM Berat, yaitu:
a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; c) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia; d) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban; e) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata
Cara Perlindungan Bagi Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM Berat; f) Peraturan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian
Perlindungan Saksi dan Korban; g) Peraturan Perundang-undangan yang terkait; 2. Bahan
Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang dipergunakan untuk membantu menjelaskan dan
v
melengkapi bahan hukum primer atau dalam hal ini dapat disebut sebagai bahan hukum
pendukung yang sesuai dengan pokok permasalahannya antara lain, pendapat hukum yang
dikemukakan oleh ahli hukum, dalam buku, media masa baik cetak atau elektronik, makalah,
artikel dan hasil penelitian dan karya tulis lainnya yang berkaitan perlindungan saksi dan
korban dalam pelanggaran HAM Berat; 3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang
dipakai sebagai pelengkap dan juga berfungsi memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang tidak berhubungan langsung dengan pokok
permasalahan yang ada, namun sangat dibutuhkan untuk menunjang kelengkapan dan
kejelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder tersebut, misalnya Kamus Bahasa
Indonesia, Kamus Hukum dan Ensiklopedia.
Dalam melakukan penelitian ini sumber bahan hukum diperoleh dari : a) Kepustakaan
yaitu sumber bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku literatur, jurnal, makalah dan lain-
lain yang ada di perpustakaan; b) Toko Buku yaitu sumber bahan hukum yang diperoleh dari
membeli buku-buku literatur yang berhubungan dengan penelitian di toko-toko buku; c)
Media Internet yaitu sumber bahan hukum yang diperoleh dari mengakses bahan-bahan
hukum yang berhubungan dengan penelitian ini di media internet.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
dokumen atau studi kepustakaan, yang dilakukan terhadap bahan hukum berupa peraturan
perundang-undangan, buku, hasil karya tulis yang berhubungan dengan permasalahan yang
dibahas.
Penelitian ini menggunakan metode analisis Penafsiran yaitu mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-dalil yang ada dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.
vi
III. PEMBAHASAN
Syarat-Syarat yang Harus Dipenuhi oleh Saksi dan Korban Pelanggaran Ham Berat untuk
Memperoleh Perlindungan dari Lembaaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Pasal 1 Angka 3 Undang-undang 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban menyebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban selanjutnya
disebut (LPSK) bertugas dan berwenang memberikan perlindungan hak-hak lain kepada
saksi dan/atau korban sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang itu. LPSK juga
ditujukan untuk memperjuangkan hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan
pidana.
Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban menyebutkan bahwa :3
“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan
oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini”.
Saat ini sekalipun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah ada,
namun dalam praktiknya tidaklah mudah. Memasukkan saksi atau korban ke dalam
program perlindungan saksi sangat banyak kendalanya, hal ini dikarenakan masalah
kesulitan kesediaan dari saksi atau dari korban untuk mengikuti program perlindungan
saksi dan korban dari LPSK. Ketika seorang saksi atau korban menyatakan diri ikut
masuk program perlindungan, maka ia harus sepakat mengenai persyaratan standar
(standard regulations) yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun
3 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Psl. 1 Angka
6, LN No.64Tahun 2006, TLN No.4635.
vii
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
saksi dan korban khusunya saksi dan korban kasus Pelanggaran Ham Berat tidak
dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam hal ini penyusun mencoba membandingkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Saksi dan Korban dalam kasus-kasus tertentu.
Berdasarkan bagian penjelasan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa :4
Yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu” antara lain tindak pidana korupsi,
tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana
lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang
sangat membahayakan jiwanya.
Dalam hal ini penyusun akan mencoba menguraikan atau menjelaskan syarat-
syarat yang menjadi bahan pertimbangan bagi LPSK dalam memberikan perlindungan
terhadap kepada saksi dan korban terkait dengan tindak pidana tertentu sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas. Kemudian syarat-syarat yang dipenuhi oleh pemohon untuk
mendapatkan perlindungan.
Sesuai yang diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengenai syarat-syarat yang menjadi
pertimbangan bagi LPSK dalam memberikan perlindungan, yaitu:5
Pasal 28 :
“Perjanjian perlindungan LPSK terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (2) diberikan dengan
mempertimbangkan syarat sebagai berikut :
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Penjelasan
Psl. 5 Ayat (2), LN No.64Tahun 2006, TLN No.4635. 5 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Psl. 28, LN
No.64Tahun 2006, TLN No.4635.
viii
c. Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.”
Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban Terhadap Pelanggaran HAM Berat Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menganut pengertian mengenai saksi maupun korban. Hadirnya Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Sakis dan Korban atau sering juga kita dengar
dengan sebutan UU PSK memberikan harapan bahwa kesaksian yang diberikan
berlandaskan rasa aman dan nyaman. Perlindungan terhadap saksi dan korban diberikan
berdasarkan beberapa asas seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu :6
1. Penghargaan atas harkat dan martabat;
2. Rasa aman;
3. Keadilan;
4. Tidak diskriminasi; dan
5. Kepastian Hukum.
6 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Psl. 3, LN
No.64Tahun 2006, TLN No.4635.
ix
Bagan 1.
Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
PERMOHONAN
TERTULIIS
PEMOHON: 1. Saksi/Korban 2. Aparat Penegak Hukum
(inisiatif sendiri)
LPSK melakukan Pemeriksaan atas
Permohonan Saksi/ Korban
LPSK membuat Keputusan Tertulis dalam waktu 7 hari
dihitung setelah permohonan diajukan
mengajukan
LPSK (bersedia
menandatangani pernyataan untuk
memberikan kesaksian
LPSK wajib
memberikan
perlindungan
x
Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban berdasarkan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban diatur dalam Pasal 29, Pasal 30,
Pasal 31, dan Pasal 32, sebagai berikut :7
(1) Saksi dan/atau korban, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan
pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada
LPSK;
(2) Dalam rangka Saksi dan/atau Korban mengajukan permohonan, Saksi
dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. Pernyataan yang ditanda tangani
oleh saksi dan/atau korban tersebut memuat:
a. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam
proses peradilan;
b. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk mentaati aturan yang berkenan
dengan keselamatannya;
c. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada
dalam perlindungan LPSK;
d. Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
(3) Penandatanganan pernyataan kesediaan tersebut merupakan kesediaan Saksi
dan/atau Korban dalam mengajukan permohonan kepada LPSK, maka dari
permohonan tersebut LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap
permohonan yang telah diajukan oleh Saksi dan/atau Korban
(4) LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau
Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan
atau permohonan tersebut.
(5) Pembiayaan perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(6) Dari permohonan yang diajukan oleh Saksi dan/atau Korban kepada LPSK
tersebut, LPSK akan menindak lanjuti dengan mengeluarkan berupa
Keputusan yaitu Keputusan LPSK yang diberikan secara tertulis kepada Saksi
dan/atau Korban dalam tenggang waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
permohonan perlindungan diajukan.
(7) Keputusan LPSK yang diterima oleh Saksi dan/atau Korban merupakan dasar
diberikannya perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban oleh LPSK.
(8) Dalam perlindungan yang diberikan oleh LPSK terhadap Saksi dan/atau
Korban dapat dihentikan berdasarkan alasan :
a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan
dalam hal permohonan diajukan atas insiatif sendiri;
7 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Psl. 29, Psl.
30, Psl. 31, dan Psl. 32, LN No.64Tahun 2006, TLN No.4635.
xi
b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan
pejabat yang bersangkutan;
c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam
perjanjian; atau
d. LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan
perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
(9) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban harus
dilakukan secara tertulis.
xii
IV. PENUTUP
Syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat untuk
mendapatkan perlindungan dari LPSK diatur sebagai berikut : 1. Pihak yang mengajukan
permohonan adalah Saksi dan/atau Korban atau keluarga atau pejabat yang berwenang; 2.
Pemohon mengajukan secara tertulis dan diberi materai yang cukup sebagai konsep perjajian
antara LPSK dan pemohon kepada Ketua LPSK yang selanjutnya untuk diteliti oleh Unit
Penerimaan Permohonan LPSK; 3. Pemohon mengisi formulir penerimaan pemohonan.
Permohonan yang diajukan berisikan tanda tangan pemohon yaitu menandatangani pernyataan
kesediaan mengikuti syarat perlindungan yang ditentukan oleh LPSK; 4. Pemohon harus
melengkapi permohonan yang diajukan dengan kelengkapan yang meliputi : a) Kelengkapan
Materil (kejelasan identitas pemohon); b) Kelengkapan Formil (tambahan identitas lain); 5.
Pemohon harus melengkapi segala bentuk permohonan selama 7 (tujuh) hari untuk dapat diteliti
oleh Unit Penerimaan Permohonan LPSK sehingga dapat dikeluarkannya Keputusan LPSK
mengenai Perlindungan Saksi dan Korban.
Mekanisme perlindungan Saksi dan Korban terhadap pelanggaran HAM Berat dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak diatur
secara rinci, Undang-Undang ini hanya mengatur tata cara pengajuan permohonan perlindungan
dan bantuan. Mengenai mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban terhadap pelanggaran HAM
Berat lebih lanjut diatur dalam Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 6
Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban yaitu : 1. Dalam hal
kewenangan LPSK terhadap perlindungan fisik dilakukan oleh Bidang Perlindungan LPSK yang
bekerjasama dengan instansi terkait yang dalam hal ini adalah Kepolisian, Kejaksaan,
xiii
Pengadilan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lembaga penegak hukum lainnya yang
mendukung kerja LPSK dalam memberikan perlindungan atas keamanan, penjagaan,
pengawalan, dan pendampingan terhadap pribadi, keluarga, dan harta benda saksi atau korban
pelanggaran HAM Berat; 2. Dalam hal ancaman yang sangat serius terhadap saksi atau korban
pelanggaran HAM Berat perlindungan dilakukan dengan menyediakan tempat kediaman
baru/rumah aman. Selain itu saksi atau korban mendapatkan identitas baru atau dirahasiakan
identitas dan keberadaannya dengan memutuskan hubungan atau komunikasi dengan pihak
manapun yang mempengaruhi kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya dalam
proses peradilan; 3. Dalam hal kewenangan LPSK terhadap perlindungan non fisik untuk saksi
atau korban pelanggaran HAM berat dibebankan kepada Bidang Bantuan LPSK dalam
memberikan bantuan medis dan psiko-sosial mengenai gangguan kejiwaan atau traumatic,
kesehatan, dan kesulitan dalam berbahasa Indonesia; 4. Dalam hal kewenangan LPSK terhadap
Pemenuhan Hak Prosedural mengenai Bantuan Kompensasi dan Resitusi dilakukan melalui
LPSK yaitu Bidang Bantuan Kompensasi dan Restitusi LPSK yang diajukan kepada Pengadilan
yang menangani kasus pelanggaran HAM Berat untuk mendapatkan Keputusan Pengadilan; 5.
Dalam hal keadaan situasi dan kondisi tertentu terhadap saksi atau korban pelanggaran HAM
berat, LPSK melakukan perlindungan yang bersifat darurat dengan melakukan tindakan
pengamanan, pengawalan, pendampingan, dan menempatkan pada rumah aman yang sama
halnya LPSK bekerja sama dengan instansi terkait atau lembaga penegak hukum.
xiv
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Makalah dan Artikel
Ahmad Kosasih. HAM dalam Perspektif Islam Menyikap Persamaan dan Perbedaan
antara Islam dan Barat. Edisi Pertama, Salemba Diniyah. Jakarta, 2003.
Arief Gosita. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta, 1993.
Bambang Waluyo. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Sinar Grafika, Jakarta,
2011.
Dikdik M.Ariif Mansur dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
antara Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Lalu Husni. Hukum Hak Asasi Manusia. Cet ke 2, PT. Indeks Kelompok Gramedia,
Jakarta, 2010.
Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Victimologi. Djambatan,
Jakarta, 2007.
Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System
& Out Court System. Gratama Publishing, Jakarta, 2011.
Muhadar. Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana. PMN,
Surabaya, 2010
Rena Yulia. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Edisi I, Cet
ke-1, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.
Siswanto Sunarso. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Sinar Grafika, Jakarta,
2012.
Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme
Dalam Sistem Peradilan Pidana. Refika Aditama, Bandung, 2007.
Titon Selamet Kurnia. Reparasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia. Cet
ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
xv
Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan
Bagi Saksi dan Korban
Himpunan Undang-Undang Peradilan. Cet Ke 1, Pertama Redaksi Sinar Grafika, Jakarta,
2004.
C. Kamus dan Inseklopedia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga,
Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, Bina Aksara,
Jakarta, 1996.
D. Internet
Http : // hnikawawz . blogspot . com / 2011 / 11 / kajian – teori – perlindungan - hukum .
html, diunduh pada Senin 25 Agustus 2014.
Http : // www . elsam . or . Id / pdf / Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM
Berat . pdf , diunduh pada Selasa 15 April 2014.
Http : // perlindungan saksi . files . wordpress . com / 2008 / 07 / pemetaan-peraturan –
saksi . pdf , diunduh pada Kamis 27 Maret 2014.
Http : // www . elsam . or . Id / pdf / Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM
Berat . pdf, diunduh pada Selasa 15 April 2014.
Http : // ejournal . unsrat . ac . id / index . php / lexcrimen / article / view File / 1541 / 1236,
diunduh pada Minggu 30 Maret.