makalah perbandingan perlindungan hukum terhadap pelaku, saksi dan korban tindak pidana didalam r

23
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN HUKUM ACARA PIDANA SEBAGAI SUATU KEBUTUHAN 1 Oleh: Basrief Arief 2 1. PENDAHULUAN Dimasa sekarang ini, tindak kriminal sudah menjadi salah satu masalah penting yang perlu segera ditanggulangi oleh pihak- pihak/aparat-aparat hukum di Indonesia. Tindak kriminal tersebut dilakukan oleh masyarakat yang tentu saja belum mengerti tentang aturan-aturan yang berlaku di Indonesia yang semestinya mereka patuhi. Selain itu, mungkin juga karena faktor ekonomi, kelalaian, karena masalah pribadi dan masih banyak alasan lainnya untuk berbuat jahat dan melakukan perbuatan melawan hukum. Perkembangan tindak kriminal tersebut tentu saja harus diimbangi dengan kemampuan hukum untuk bisa mengakomodirnya tidak terkecuali dalam hukum acaranya. Hukum acara yang masih berlaku 1 Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pasundan di Aula Suradiredja, FH UNPAS, Jumat, 14 Desember 2012. 2 Jaksa Agung Republik Indonesia.

Upload: lana-dwi-tiffany

Post on 27-Nov-2015

121 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

to describe how to protect witness and victim

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

JAKSA AGUNG

REPUBLIK INDONESIA

PERUBAHAN HUKUM ACARA PIDANA SEBAGAI SUATU KEBUTUHAN1

Oleh:

Basrief Arief2

1. PENDAHULUAN

Dimasa sekarang ini, tindak kriminal sudah menjadi salah satu masalah

penting yang perlu segera ditanggulangi oleh pihak-pihak/aparat-aparat

hukum di Indonesia. Tindak kriminal tersebut dilakukan oleh masyarakat

yang tentu saja belum mengerti tentang aturan-aturan yang berlaku

di Indonesia yang semestinya mereka patuhi. Selain itu, mungkin juga karena

faktor ekonomi, kelalaian, karena masalah pribadi dan masih banyak alasan

lainnya untuk berbuat jahat dan melakukan perbuatan melawan hukum.

Perkembangan tindak kriminal tersebut tentu saja harus diimbangi

dengan kemampuan hukum untuk bisa mengakomodirnya tidak terkecuali

dalam hukum acaranya. Hukum acara yang masih berlaku saat ini adalah

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan ciptaan bangsa

Indonesia menggantikan Herziene Inlands Reglement ciptaan pemerintah

kolonial. Mengingat hukum acara pidana tersebut sudah berlaku lebih dari

seperempat abad tentu saja saat ini harus segera disesuaikan dengan

perkembangan pola pikir hukum masa depan sebagai imbas dari kemajuan

1 Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pasundan di Aula Suradiredja, FH UNPAS, Jumat, 14 Desember 2012.

2 Jaksa Agung Republik Indonesia.

Page 2: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

2

teknologi terutama di bidang komunikasi dan transportasi yang membawa

akibat di bidang sosial, ekonomi, dan hukum termasuk hukum pidana.

Dunia terasa makin sempit dan globalisasi Tidak satu negara pun dapat

menutup diri rapat-rapat dari perubahan tersebut. Tercipta banyak konvensi

internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia seperti, United Nations

Convention Against Corrruption, International Convention Against Torture dan

International Covenant on Civil and Political Rights. Ikut pula hadir dalam

penyusunan International Criminal Court. Semua konvensi tersebut lahir dan

diratifikasi sesudah KUHAP, berkaitan langsung dengan hukum acara pidana.

Dalam covenant mengenai hak-hak sipil dan politik itu terkandung

ketentuan yang berkaitan dengan hukum acara misalnya tentang hak-hak

tersangka dan ketentuan mengenai penahanan yang diperketat. Berhubung

dengan hal tersebut ada negara yang membuat KUHAP baru sama sekali

seperti Italia, Rusia, Lithuania, Georgia, dan lain-lain. Ada pula yang

mengubah KUHAP nya selaras dengan perubahan yang mendunia tersebut

seperti Austria.

Dari sanalah kita dapat menyimpulkan bahwa KUHAP harus

diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman. Ada konsekuensi akibat

diratifikasikannya beberapa konvensi internasional, misalnya tentang

penahanan yang dilakukan oleh penyidik harus sesingkat mungkin dan

segera dibawa kepada hakim. Amerika Serikat menafsirkan segera mungkin

(promptly) adalah dua kali dua puluh empat jam. Di Eropa umumnya

diartikan paling lama dua kali dua puluh empat jam kecuali untuk terorisme

yang lamanya 6 (enam) hari atau 1 (satu) hari penangkapan ditambah 5

(lima) hari penahanan. Ketika Tim Penyusun KUHAP mencantumkan waktu

penahanan 15 (lima belas) hari oleh penyidik ditambah 1 (satu) hari

penangkapan menjadi 16 (enam belas) hari maka amnesti internasional dan

pakar hukum pidana dan acara pidana Amerika Serikat (Prof. Dr. iur. Stephen

C. Thaman) yang mengingatkan dan kritikan atas Rancangan KUHAP, agar

hal tersebut disesuaikan dengan ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia,

sehingga toleransinya hanya sampai dua kali dua puluh empat jam

Page 3: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

3

penahanan yang dilakukan oleh penyidik. Selebihnya ditambahkan pada

hakim komisaris, sehingga penahanan oleh Hakim Komisaris yang kemudian

dapat diperpanjang oleh hakim Pengadilan Negeri. Hakim Pengadilan Negeri

dapat memperpanjang menjadi 3 kali 30 hari. Jaksa tidak melakukan

penahanan, akan tetapi dia memegang formulir penahanan, baik yang

dilakukan oleh hakim komisaris maupun oleh hakim Pengadilan Negeri,

karena pada prinsipnya menurut ICCPR, hakimlah yang berwenang

melakukan penahanan. Akan tetapi bagaimana pun juga penuntut umumlah

yang mengajukan permohonan kepada hakim.

2. Penyempurnaan Hukum Acara Pidana

Tujuan hukum acara pidana di masa depan ialah mencari kebenaran

materiel, melindungi hak-hak dan kemerdekaan orang dan warganegara,

menyeimbangkan hak-hak para pihak, orang yang dalam keadaan yang

sama dan dituntut untuk delik yang sama harus diadili sesuai dengan

ketentuan yang sama, mempertahankan sistem konstitusional Republik

Indonesia terhadap pelanggaran kriminal, mempertahanakan perdamaian

dan keamanan kemanusiaan dan mencegah kejahatan.

(The aim of the future Criminal Procedure Code is the pursue of

objective truth, the protection of the rights and freedom of man and

citizen, preserves a balance between the rights of the parties, persons

in similar situation and prosecuted for the same offences should be

judged according to the same rules, the maintenance of constituional

system of the Republic of Indonesia against criminal encroachment, the

maintanance of peace and security of mankind and the prevention of

crimes).

Kegunaannya adalah para pejabat negara dan warganegara dalam

rangka melakukan kewajibannya dalam penyidikan, penuntutan, peradilan,

dan pembelaan di pengadilan menjalankan kewajibannya dengan mulus,

beserta bagaimana masyarakat luas dapat memahami dan menghayati

hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

Page 4: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

4

Dalam rancangan KUHAP yang baru nanti tentu saja akan disesuaikan

dengan kebutuhan-kebutuhan yang memang diperlukan terutama dalam

menitik beratkan perlindungan hak asasi manusia kepada pelaku, korban dan

saksi. Sehingga dalam rancangan KUHAP tersebut terdapat beberapa hal

yang baru.

2.1. Hakim Komisaris

Dalam Rancangan KUHAP yang baru diperkenalkan adanya

lembaga baru yaitu hakim komisaris. Sebenarnya isinya bukan hal

baru, tetapi lebih merupakan revitalisasi praperadilan yang sudah ada

dalam KUHAP 1981. Hakim komisaris di dalam Rancangan lain sama

sekali dibanding dengan Rechtercommissaris di Belanda atau juge d’

instruction di Perancis atau Inschuhungsrichter dulu di Jerman atau

Giudice Istructtore dulu di Italia. Hakim komisaris versi Rancangan

sama sekali tidak memimpin penyidikan sebagaimana

rechtercommissaris di Belanda atau juge d’instruction di Perancis.

Kedua lembaga di Belanda dan Perancis itu bersifat inquisitoir,

sedangkan kecenderungan dunia sekarang mengarah ke sistem

adversarial, artinya kedudukan penuntut umum dan terdakwa beserta

penasihat hukumnya di pengadilan berimbang. Italia telah

menghapus giudice istructtore (model hakim komisaris Perancis dan

Belanda) dan menggantikannya dengan lembaga baru yang disebut

giudice per le indagini preliminary (bahasa Indonesia: “hakim

pemeriksa pendahuluan”). Jerman pun telah menghapus lembaga

inschuhungsrichter model hakim komisaris Belanda dan Perancis.

Hakim komisaris versi Rancangan mirip dengan lembaga baru di

Italia. Lembaga ini sama sekali tidak memimpin penyidikan, akan

tetapi sama dengan praperadilan yang wewenangnya diperluas dan

dimandirikan. Dengan demikian, lembaga hakim komisaris versi

Rancangan tidak dapat diterjemahkan ke bahasa Inggeris menjadi

Page 5: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

5

investigating judge. Terjemahan ke bahasa Inggris ialah

Commissioner Judge.

Oleh karena itu, salah satu wewenang hakim komisaris versi

Rancangan ialah menentukan layak tidak layaknya suatu perkara

diajukan ke pengadilan atas permohonan jaksa (pretrial). Dengan

demikian, jika jaksa tidak menuntut dan terjadi desakan masyarakat

awam, jaksa dapat menunjuk putusan hakim komisaris. Namun

demikian, jika kemudian ditemukan bukti baru, dapat diajukan lagi ke

hakim komisaris agar penuntutan dapat dilakukan. Dalam

pemeriksaan itu, tersangka dan saksi dapat didengar keterangannya

begitu pula konklusi penuntut umum.

Dengan dibentuknya lembaga hakim komisaris, maka diharapkan

dapat dicapai tujuan hukum acara pidana due process of law atau

behoorlijk procesrecht. Tujuan hukum acara pidana ialah mencari

kebenaran materiel (objective truth) dan melindungi hak asasi

terdakwa jangan sampai terjadi orang tidak bersalah dijatuhi pidana di

samping perhatian kepada korban kejahatan.

Alat bukti tidak boleh diperoleh secara melawan hukum.

Pemancingan tidak dibolehkan (kasus seperti Mulyana Kusumah

dilarang di Perancis dan Italia). Hasil penyidikan adalah rahasia

(secret d’instruction). Dilarang keras penyidik membeberkan hasil

penyidikan. Pasal 434-7-2 Code Penal mengancam pidana bagi orang

yang membocorkan hasil penyidikan.Terbalik di Indonesia,

masyarakat menghendaki penyidikan transparan. Tujuan penyidikan

adalah rahasia, ialah menjaga praduga tak bersalah (Inggris:

presumption of innocence, Belanda: presumptie van onschuldig,

Perancis: presumption d’innocence). Di samping itu, juga untuk

kepentingan penyidikan sendiri jangan sampai tersangka

menghilangkan alat-alat bukti atau mempengaruhi saksi.

Wewenang hakim komisaris diatur di dalam Pasal 111 ayat (1)

Rancangan berupa menetapkan atau memutuskan :

Page 6: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

6

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,

penyitaan atau penyadapan;

b. pembatalan atau penangguhan penahanan;

c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa

dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;

d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak

dapat dijadikan alat bukti;

e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang

ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian

untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;

f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk

didampingi oleh pengacara;

g. bahwa penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan

yang tidak sah;

h. penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang

tidak berdasarkan asas oportunitas;

i. layak atau tidak layak suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan

ke pengadilan;

j. pelanggaran terhadap hak tersangka yang terjadi selama tahap

penyidikan.

Sebenarnya, hampir semua wewenang ini sudah dimiliki oleh

hakim praperadilan, kecuali yang tersebut pada butir c, d. f, g, i dan j.

Beberapa wewenang yang berdasarkan KUHAP 1981 ada di

tangan atau mestinya diberikan kepada ketua Pengadilan Negeri

dibebankan kepada hakim komisaris seperti izin penggeledahan,

penyitaan, penyadapan. Begitu pula perpanjangan penahanan dalam

tahap penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh penuntut

umum selama 40 (empat puluh) hari, berpindah ke hakim komisaris

selama 25 hari, selanjutnya diperpanjang oleh hakim Pengadilan

Negeri selama tiga kali 30 (tiga puluh) hari, walaupun formulir diisi

dan diajukan oleh penuntut umum.

Page 7: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

7

Hakim komisaris diangkat oleh Presiden atas usul Ketua

Pengadilan Tinggi setempat untuk masa dua tahun yang dapat

diperpanjang selama satu periode (Pasal 116 Rancangan). Selama

menjabat, hakim komisaris dibebaskan dari tugas mengadili semua

jenis perkara dan tugas lain yang berhubungan dengan tugas

Pengadilan Negeri (Pasal 119 Rancangan). Inilah perbedaan antara

hakim komisaris dan hakim praperadilan. Selama menjabat hakim

komisaris lepas dari kaitan dengan ketua Pengadilan Negeri. Hakim

komisaris tidak berkantor di Pengadilan Negeri akan tetapi di RUTAN

atau di dekat RUTAN. Hal ini agar memudahkan dia berhubungan

dengan tahanan, lagi pula setelah dia menetapkan atau

menandatangani perpanjangan penahanan, para tahanan dimasukkan

ke ruang tahanan di dekat kantornya.

2.2. Hubungan penyidik dan penuntut umum lebih diakrabkan.

Dalam praktek sekarang ini terjadi berkas bolak-balik antara

penyidik dan penuntut umum yang sebagian (dalam jumlah besar)

tidak lagi muncul ke pengadilan. Hal ini menurut Prof. Oemar Seno

Adji dalam beberapa kali kesempatan, “sangat merugikan pencari

keadilan”. Ada P 19 yaitu pengembalian berkas ke penyidik untuk

dilengkapi (yang sebagian tercecer tidak tahu rimbanya), terbitnya P

21 yang menyatakan bahwa berkas perkara sudah lengkap, seolah

tanggung jawab penyidik sudah selesai .

Demikian, sehingga dalam Rancangan, pada saat penyidikan

dimulai dan diberitahukan kepada penuntut umum, penuntut umum

sudah memberi petunjuk, bukan ketika berkas sudah selesai disusun

oleh penyidik. Petunjuk pun tidak perlu tertulis, boleh secara lisan,

SMS, telepon, e-mail. Di Perancis ada jaksa yang piket menunggu

telepon dari penyidik dimulainya penyidikan dan langsung memberi

petunjuk. Oleh karena itu dalam PP pelaksanaan KUHAP akan ditunjuk

jaksa zona yang akan memberikan petunjuk kepada penyidik terkait

Page 8: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

8

perkara yang terjadi di zonanya, sama dengan di Belanda. Jadi, untuk

lebih memudahkan penyidik menghubungi. Jaksa zona akan ditunjuk

per kecamatan (POLSEK). Menurut pendapat Penulis, untuk perkara

kecil tidak perlu diberitahu jaksa tentang dimulainya penyidikan dan

jaksa memberi petunjuk, hanya untuk perkara serius atau sulit

pembuktiannya secara yuridis. Apalagi dengan diperkenalkannya

sistem adversarial yang penuntut umum boleh menambah alat bukti

(saksi) pada saat sidang sudah dimulai. Jadi, berkas perkara tidak

sepenting sekarang ini, karena pada prinsipnya pembuktian terjadi

di sidang pengadilan.

2.3. Sistem Penuntutan

Hal lain yang juga berubah, ialah sistem penuntutan, walaupun

seperti halnya di Belanda, penuntutan pidana dimonopoli oleh jaksa.

Dengan demikian, sistem yang berlaku di Indonesia sama dengan di

Belanda, jaksa dominus litis penuntutan. Berbeda dengan England,

Perancis, Belgia, Rusia, Thailand, RRC dan Filipina yang swasta

(korban) langsung dapat melakukan penuntutan ke pengadilan tanpa

melalui penyidik dan jaksa. Biasanya hanya untuk perkara ringan,

seperti penghinaan, penganiayaan (ringan), penipuan, dll. Di Thailand

ada tiga macam penuntutan, yaitu yang dilakukan oleh penuntut

umum (public prosecutor), swasta atau korban dan gabungan antara

swasta (korban) dan jaksa yang disebut joint prosecution. Hal ini

disebabkan karena penuntutan pidana itu memerlukan keahlian teknis-

yuridis. Belum terpikirkan untuk memperkenalkan private prosecution

di Indonesia, karena hal itu berarti akan merombak seluruh sistem

acara pidana.

Oleh karena Indonesia menganut asas oportunitas sama dengan

Belanda, Perancis, Jepang, Korea, Israel dll, maka diperkenalkan

penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten proces).

Page 9: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

9

Hal ini sesuai dengan asas peradilan cepat, biaya murah dan

sederhana. Asas oportunitas secara global diartikan “The public

prosecutor may decide conditionally or unconditionally to make

prosecution to court or not.” (Penuntut umum boleh menentukan

menuntut atau tidak menuntut ke pengadilan dengan syarat atau

tanpa syarat.”).

Penyelesaian di luar pengadilan tercantum di dalam Pasal 42 ayat

(2) dan (3) Rancangan. Pasal 42 ayat (2) berbunyi: ”Penuntut umum

juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu

menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat.”

Pasal 42 ayat (3) menyebut syarat-syarat itu sbb :

a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;

b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat) tahun;

c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana

denda;

d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas tujuh

puluh tahun; dan/atau

e. kerugian sudah diganti.

Tindak pidana bersifat ringan, misalnya menipu (Pasal 378 KUHP)

yang ancaman pidananya maksimum empat tahun penjara dengan

kerugian sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) kemudian

terpidana membayar ganti rugi sebesar kerugian tersebut kepada

korban. Dengan demikian, korban mendapat kembali uangnya, dan

juga pelaku mendapatkan kompensasi tidak dilakukan penuntutan.

Penyelesaian seperti ini termasuk peradilan restoratif (restorative

justice), adanya perdamaian antara korban dan pelaku.

Penyelesaian di luar pengadilan ini termasuk peradilan restoratif

(restorative justice). Hukum Islam mengenal restorative justice bahkan

sampai delik berat seperti pembunuhan yang disebut diat. Akan tetapi

ada perbedaan karena penyelesaian di luar pengadilan (afdoening

Page 10: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

10

buiten proces) hanya untuk delik ringan dan motifnya pun harus

ringan.

Asas oportunitas yang disebut di dalam undang-undang

Kejaksaan, benar-benar untuk kepentingan umum termasuk delik

berat, akan tetapi hanya Jaksa Agung yang boleh menerapkannya.

Dalam Pasal 42 Rancangan, hanya delik ringan yang ancaman

pidananya 4 (empat) tahun penjara ke bawah kecuali pelaku yang

berumur 70 tahun ke atas ancaman pidananya maksimum 5 (lima)

tahun penjara.

Jadi, ada keuntungan (bargain) jika seseorang mengaku.

Ketentuan seperti itu belum diakomodasikan di dalam Rancangan

KUHAP, karena merupakan hal baru sama sekali yang tidak ditemui

dalam KUHAP negara lain, yang mungkin orang Indonesia menganggap

ketentuan seperti itu terlalu canggih.

Swedia yang menganut asas legalitas dalam penuntutan sebagai

lawan asas oportunitas, namun mengenal jaksa dapat langsung

menerapkan pidana yang bersifat ringan, misalnya denda tanpa

melalui pengadilan.3 Jadi, Swedia tidak menerapkan trias politica secara

ketat karena jaksa dapat mengenakan sanksi tanpa melalui pengadilan.

Dengan demikian, pengenaan sanksi ringan terhadap delik ringan tidak

berkaitan dengan asas oportunitas, karena Swedia menganut asas

legalitas dalam penuntutan bukan asas oportunitas. Begitu juga

dengan Norwegia yang menciptakan KUHAP baru pada tahun 1986,

jaksa dapat menjatuhkan pidana tanpa persetujuan hakim yang disebut

patale unnlatese4. Belanda telah menentukan, bahwa jaksa dapat

menyampingkan perkara yang diancam dengan pidana tidak lebih dari

enam tahun dengan pembayaran denda administratif.

Hakim Komisaris versi Rancangan KUHAP tidak melakukan

penyidikan sebagaimana terjadi di Perancis. Di Indonesia karena

3 Peter P.J.Tak (ed) Task and powers of the prosecutioin services in the EU member states, hlm. 429.4 David Fogel, On doing less harm, hlm. 237..

Page 11: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

11

penegak hukum selalu dicurigai, maka keputusan jaksa untuk tidak

melakukan penuntutan sering dipermasalahkan. Sebaliknya di negara-

negara Eropa dan Amerika Utara justru masalah crucial ialah ketika

jaksa memutuskan untuk menuntut terdakwa ke pengadilan, bukan

ketika hendak menghentikan penuntutan.

Dengan adanya lembaga penyaring di samping hakim (trial judge)

maka dapat dihindari penuntutan yang sewenang-wenang yaitu karena

alasan pribadi atau alasan balas dendam, atau yang khusus Indonesia

penuntut umum ingin dikatakan berhasil dengan sistem target.

Penuntutan menurut cara itu disebut malice prosecution atau

penyalahgunaan penuntutan (abuse of prosecution) yang tidak dapat

dibenarkan oleh hakim.

2.4. Posisi saksi dan korban

Kenyataannya perangkat hukum di Indonesia khususnya KUHAP,

belum mampu memberikan suatu bentuk pengaturan bantuan hukum

yang dapat memberikan perlindungan bagi pihak saksi. Hal serupa pun

terjadi dipihak korban yang sama sekali tidak memiliki perlindungan

hukum ketika mereka memberikan kesaksiannya. Perlindungan hukum

untuk pihak saksi/korban seharusnya ada untuk melindungi diri mereka

sendiri maupun keluarga mereka dari segala macam bentuk kekerasan

fisik dan mental.

Sebenarnya masalah pengaturan bantuan hukum untuk pihak

saksi/korban tidak ada pengaturannya dalam KUHAP. Tidak ada satu

pasal pun yang menyebutkan mengenai adanya pengaturan bantuan

hukum untuk pihak saksi/korban.

Meskipun demikian, bahwa perlindungan terhadap saksi dalam

KUHAP diatur dalam Pasal 116-120 dan Pasal 159-179, dimana diatur

bahwa :

1. adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali

untuk:

Page 12: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

12

a. anak yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir

(a))

b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang

ingatannya baik kembali (Pasal 171 butir (b))

2. dapat didengarnya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa

(Pasal 173)

3. dapat ditunjuknya juru bahasa bagi saksi yang tidak paham

bahasa Indonesia (Pasal 177)

4. dapat ditunjuknya penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak

dapat menulis (Pasal 178).

Akan tetapi, Mekanisme perlindungan yang ada dalam KUHAP

tersebut dalam perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya

mendukung proses penegakan hukum dan keadilan. Dalam

kenyataannya, hukum pidana materil dan formil hanya lebih

menekankan kewajiban saksi dari pada hak-haknya. Hal tersebut dapat

dilihat dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP. Dimana dalam Pasal 224

menyebutkan bahwa barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau

juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi

suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus

dipenuhinya,diancam :

Ke-1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan.

Ke-2. dalam perkara lain, dengan pidana paling lama enam bulan. 

Selain itu dalam Pasal 184 (1) KUHAP hanya menyebutkan bahwa

saksi merupakan salah satu alat bukti sehingga secara tersirat dapat

dilihat bahwa saksi wajib memberikan keterangan/kesaksiannya karena

keterangan saksi adalah alat bukti utama untuk membantu hakim

menjatuhkan putusan untuk terdakwa.

Karena kelemahan-kelemahan KUHAP inilah, sejak sebelum orde

reformasi pun, banyak kalangan yang menyatakan perlunya revisi

terhadap substansi dalam KUHAP. Salah satunya adalah masalah

Page 13: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

13

pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban. Karena

meskipun saksi diberikan perlindungan namun dalam realitanya,

saksi/korban tidak mendapatkan perlindungan hukum yang

semestinya.

Dalam rancangan KUHAP ini pengaturan mengenai perlindungan

saksi dan korban diatur dalam pasal 40 – 41 dan juga untuk korban

kejahatan dapat mendapatkan ganti kerugiaan sebagaimana diatur

dalam pasal 133 rancangan KUHAP. Jadi dalam pasal 133 tersebut

apabila ada korban yang menderita kerugian materiil akibat tidak

pidana yang dilakukan oleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana

membayar ganti rugi kepada korban dan apabila terpidana tidak

membayar ganti kerugian harta benda terpidana disita dan dilelang

untuk membayar ganti kerugian serta apabila korban menghindar

untuk membayar kompensasi kepada korban maka terpidana tidak

berhak mendapatkan pengurangan masa pidana dan tidak

mendapatkan pembebasan bersyarat.

2.5. konsep whistleblower dan justice collaborator

Pengaturan whistleblower dan justice collaborator saat ini diatur

dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

Didalam pasal 10 UU tersebut diatur mengenai reward bagi saksi,

korban dan pelapor (whistleblower), serta saksi yang juga tersangka

(justice collaborator), yaitu :

a.  Bagi saksi, korban dan pelapor tidak bias dituntut secara pidana

dan perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau

telah diberikan, kecuali kalau ternyata yang bersangkutan

memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

b. Bagi saksi yang juga berstatus terdakwa, maka kalau dia

dinyatakan terbukti  secara sah dan menyakinkan bersalah, tidak

dapat dibebaskan, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan alasan

untuk meringankan pidana.

Page 14: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

14

Khusus untuk reward  whistleblower dan justice

collaborator dalamn delik-delik khusus (di luar KUHP), Mahkamah

Agung RI telah mengeluarkan SEMA No. 4 tahu 2011 tentang Perlakuan

Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang

bekerjasama  (justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana

tertentu.

Dasar pemikiran dikeluarkannya SEMA ini sama dengan yang

disebutkan dalam konsideran UU No. 13 tahun 2006, yaitu perlunya

mendorong partisipasi publik dalam pengungkapan tindak pidana

terorganisir, seperti korupsi, terorisme, narkoba, pencucian uang,

perdagangan orang yang telah membahayakan sendi-sendi kehidupan

masyarakat dan pembangunan bangsa. Dengan cara memberikan

perlindungan hukum dan perlakuan khusus kepada setiap orang yang

mengetahui, melaporkan atau menentukan suatu hal yang dapat

membantu aparat penegak hukum dalam penggungkapan dan

penangganan tindak pidana dimaksud secara efektif.

Isi SEMA ini mengacu kepada pasal 37 konvensi PBB anti korupsi

(UNCAC, 2003, yang telah teratifikasi dengan UU No. 7 tahun 2006) dan

pasal 26 konvensi PBB anti kejahatan transnasional yang terorganisasi

(UNTOC, 2000, yang telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 2009 ),

yang mewajibkan Negara anggota untuk mempertimbangkan

pengurangan hukuman dan kekebalan penuntutan bagi  justice

collaborator dalam kasus-kasus tertentu.

Pada dasarnya, ide justice collaborator ini diperoleh dari Pasal 37

ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun

2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No 7

Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against

Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Antikorupsi).

Pasal 37 ayat (2) UNCAC menegaskan: “Setiap negara peserta

wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-

kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang

Page 15: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

15

memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau

penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi

ini.”

Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan: “Setiap

negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan

prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan

dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial

dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak

pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”

SEMA ini dimaksudkan sebagai penjabaran lebih lanjut ketentuan

pasal 10 UU No. 13 tahun 2006, untuk dijadikan pedoman bagi para

hakim dalam pemeriksaan perkara-perkara pidana tertentu.

Didalam butir 8 diatur perlindungan bagi peelapor yang bukan

pelaku (whistleblower), yaitu bila yang bersangkutan dilaporkan oleh

pelapor maka penanganan perkara yang dilaporkan oleh pelapor

didahulukan dari pada laporan terlapor.

Didalam butir 9 ditetapkan syarat-syarat bagi justice

collaborator untuk mendapat reward, yaitu menggakui kejahatan yang

dilakukan, ia bukan pelaku utama dan ia memberikan keterangan saksi

di pengadilan, serta penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan

bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-

bukti yang sangat signifikan dalam pengungkapan tindak pidana secara

efektif dan keterlibatan pelaku-pelaku lainnya yang berperan  lebih

besar dalam pengambilan asset atau hasil tindak pidana kepada

Negara.Reward yang dapat diberikan kepada justice collaborator yang

memenuhi syarat-syarat tersebut adalah :

1.   Menjatuhkan pidana bersyarat

2.   Menjatuhkan pidana yang paling ringan diantara para terdakwa

lainnya yang terbukti bersalah

Dalam rancangan KUHAP disebutkan pada pasal 200 ayat (1)

disebutkan “Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya

Page 16: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

16

paling ringan dapat dijadikan Saksi dalam perkara yang sama dan

dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, apabila Saksi membantu

mengungkapkan keterlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam

tindak pidana tersebut”. Yang dapat disebut whistleblower ini adalah

apabila yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana

tertentu, kemudian mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan

pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan

sebagai saksi di dalam proses peradilan dan yang bersangkutan telah

memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan

sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak

pidana dimaksud secara efektif. Dalam rancangan KUHAP posisi tersebut

disebut sebagai saksi Mahkota.

Dalam KUHAP lama walaupun secara nyata tidak diatur namun

dalam praktek di pengadilan salah satu hal yang paling sering disalah

mengerti ialah saksi mahkota. Ada yang mengartikan saksi mahkota

ialah jika para terdakwa bergantian menjadi saksi atas kawan

berbuatnya. Justru hal itu dilarang karena berarti selfincrimination.

Sebagai saksi dia disumpah, jadi jika dia berbohong dia bersumpah

palsu, padahal dia juga terdakwa dalam kasus itu yang jika dia

berbohong tidak diancam dengan pidana. Saksi mahkota hanya ada

dalam buku teks dan yurisprudensi, tidak tercantum di dalam undang-

undang. Saksi mahkota ialah salah seorang tersangka/terdakwa yang

paling ringan perannya dalam delik terorganisasikan yang bersedia

mengungkap delik itu, dan untuk “jasanya” itu dia dikeluarkan dari

daftar tersangka/terdakwa dan dijadikan saksi. Jika tidak ada peserta

(tersangka/terdakwa) yang ringan perannya dan tidak dapat

dimaafkan begitu saja, tetap diambil yang paling ringan perannya dan

dijadikan saksi kemudian menjadi terdakwa dengan janji oleh

penuntut umum akan menuntut pidana yang lebih ringan dari kawan

berbuatnya yang lain. Demikian ketentuan undang-undang Italia

tentang saksi mahkota. Jadi, ketentuan tentang saksi mahkota yang

Page 17: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

17

dituangkan di dalam Pasal 200 Rancangan sesuai dengan asas

oportunitas juga yang dianut di Indonesia. Tentu hal ini harus

disampaikan oleh penuntut umum kepada hakim. Penuntut umumlah

yang menentukan terdakwa dijadikan saksi mahkota.

Hal ini tercantum di dalam 199 Rancangan yang berjudul jalur

khusus. Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan,

terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku

bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang

didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun penjara, penuntut umum

dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.

Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 dari maksimum. Di

sinilah letak pengakuan yang memberi keuntungan (semacam plea

bargaining). Hakim dapat menolak pengakuan ini dan meminta

penuntut umum mengajukan ke sidang pemeriksaan biasa.

Dalam rancangan KUHAP mengenai pengurangan hukuman ini

juga diataur yaitu disebutkan pada pasal 200 ayat (2) “Apabila tidak

ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringan dalam tindak

pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka tersangka atau

terdakwa yang mengaku bersalah berdasarkan Pasal 199 dan

membantu secara substantif mengungkap tindak pidana dan peran

tersangka lain dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaan hakim

pengadilan negeri”.

3. Penutup

Rancangan undang-undang hukum acara pidana kiranya sangat penting

untuk segera diundangkan karena dalam rancangan hukum acara pidana

yang baru tersebut hak-hak korban, saksi dan tersangka diakomodir secara

porposional. Oleh karena itu marilah kita secara bersama-sama mendorong

rancangan hukum acara pidana ini segera diundangkan dan pembahasan

RUU KUHAP agar didahulukan atau setidak-tidaknya bersama-sama dengan

undang-undang kelembagaan dari penegak hukum agar tidak terjadi

Page 18: Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R

18

tumpang tindih atau bertentangan satu dengan lainnya dan terdapat benang

merah dengan rancangan KUHAP.

Bandung, 14 Desember 2012

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika.

Tak, Peter J.P., 2004, Tasks and Powers of the Prosecution Service in the

EU Member States, Nijmegen: Wolf Legel Publishers.

Weissbrodt, David, 2001, The Right to a Fair Trial Under themUniversal

Declaration of Human Rights and the International Covenant on Civil and

Political Rights, The Hague / Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers.

Rancangan Undang-Undang RI tentang Hukum Acara Pidana