perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam undang-undang...

63
i PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Daniel Hasto Legowo E 0005127 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: s1mb4h

Post on 29-Nov-2015

831 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

i

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK

ASASI MANUSIA YANG BERAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13

TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Daniel Hasto Legowo

E 0005127

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penegakan peradilan dan hukum pidana di Indonesia sering mengalami kesulitan terutama dalam proses penyidikan maupun peradilan yang berkaitan dengan keterangan saksi atau korban, terutama terhadap korban. Hal ini dikarenakan banyak saksi terutama korban enggan untuk memberikan keterangan atau kesaksian dalam suatu tindak pidana atau kejahatan dengan berbagai macam alasan terutama masalah keselamatan dirinya dari ancaman pelaku atau pihak lain jika ia memberi kesaksian atau keterangan, padahal keterangan dari saksi atau korban inilah yang sangat berperan penting untuk mengungkap suatu tindak pidana.

Dalam pengaturan Hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi (merekonstruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik di tingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di pengadilan.

Ketika korban dimintai keterangannya sebagai saksi di tingkat penyidikan maupun pengadilan, sering dijumpai korban harus datang sendiri tanpa memperoleh pengamanan/pengawalan yang memadai dari aparat keamanan. Keadaan ini tidak hanya terjadi pada kasus-kasus “kecil” dalam kasus “besar”pun (kasus yang menjadi perhatian publik) seperti kasus pembunuhan, terorisme, kejahatan/pelanggaran HAM, korban sering harus datang sendiri ke pengadilan, padahal potensi terjadinya kekerasan terhadap saksi (korban) sangat tinggi, terlebih apabila pelaku divonis hukuman maksimal oleh pengadilan. (Dikdik M.Arief Mansur, 2006:79-80).

Untuk Indonesia, kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai kasus

pelanggaran hak asasi manusia, antara lain: peristiwa Tanjung Priok, Lampung,

dan Timor Timur. Khusus Timor Timur telah selesai diperiksa di pengadilan

bahkan beberapa pelakunya telah dijatuhi hukuman pidana dan pelaku lainnya

memperoleh vonis bebas (Dikdik M.Arief Mansur,2006:116). Pada masa orde

baru pada kekuasaan rezim Soeharto, menurut Komisi Nasional Hak Asasi

1

Page 3: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

iii

Manusia (Komnas HAM) menyatakan ada lima peristiwa yang dikategorikan

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan oleh mantan

Presiden Soeharto dan rezim orde baru yang dipimpinnya. Pelanggaran itu adalah

peristiwa penangkapan dan penahanan di luar hukum terhadap orang-orang yang

dituduh sebagai anggota PKI ke Pulau Buru, peristiwa penembakan misterius

(petrus), peristiwa Tanjung Priok, empat kasus daerah operasi militer (DOM)

Aceh dan Papua, serta kasus 27 Juli.

(http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,20070125-

91968,id.html). Sementara kasus pelanggaran hak asasi manusia yang baru-baru

ini terjadi di Indonesia seperti halnya pada kasus Ahmadiyah. Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM berat pada

beberapa kasus penyerangan terhadap jema'ah ahmadiyah tahun 2005 dan 2006.

Serangan yang dilakukan sekelompok orang itu ditujukan kepada penduduk sipil

sebagai hasil dari kebijakan organisasi. Serangan tersebut dilakukan secara meluas

dan sistematis serta adanya unsur pengusiran atau pemindahan secara paksa yang

menyebabkan penyerangan itu dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM

berat. (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,20070125-

91968,id.html).

Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, diantaranya melalui berbagai produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya maupun oleh pemerintah. .(Dikdik M.Arief Mansur,2006:158).

Selama ini penegakan hukum di Indonesia terkesan tidak memperhatikan

masalah tersebut sehingga masih banyak tindak pidana atau kejahatan terutama

kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang belum terungkap oleh

aparat penegak hukum kita. Sistem peradilan kita yang selama ini hanya terfokus

pada penyidikan terhadap pelaku yang dilindungi hak-hak-nya dalam proses

penyidikan dan peradilan sedangkan selama ini hak-hak daripada korban masih

Page 4: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

iv

terus diabaikan baik dalam hak perlindungan dalam proses pemberian kesaksian

maupun setelah pelaku dijatuhi putusan hakim.

Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan atau pelanggaran hak

asasi manusia di Indonesia masih sangatlah minim, padahal perlindungan hukum

terhadap korban ini sangatlah penting bagi kehidupan korban setelah mengalami

kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran oleh pelaku kejahatan terutama bagi

korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat menyangkut bagaimana

pemulihan korban setelah mengalami atau menjadi korban pelanggaran hak asasi

manusia yang berat. Aparat penegak hukum selalu hanya terfokus pada

penyelesaian kasus saja tanpa memperhatikan efek kehidupan korban selanjutnya

setelah mengalami kejahatan atau pelanggaran.

Apabila memperhatikan kehidupan nyata, apa yang diharapkan sangat berbeda dengan kenyataan. Kita sering menyaksikan bagaimana hak asasi manusia seseorang dilanggar, baik oleh perorangan, kelompok maupun negara. (Dikdik M.Arief Mansur,2006:160). Berdasarkan pengamatan, pengadilan sangat timpang akibat tidak mampu memberikan jaminan perlindungan saksi dan korban selama persidangan. Sejak awal Juni 2002, setidaknya tiga orang saksi korban atau keluarga korban yang batal hadir dengan alasan tidak adanya jaminan keamanan bagi para saksi. Jika pun ada yang hadir dalam persidangan, saksi mengalami kesulitan untuk memberikan keterangan dengan leluasa karena persidangan dihadiri oleh jajaran pimpinan teras TNI lengkap dengan seragam dan tongkat komandonya. Selain itu, pengunjung sidang sering berteriak-teriak mencemooh selama saksi memberikan keterangannya, sementara di luar pengadilan ada berbagai kelompok yang berunjuk rasa. Mengenai hal ini,, Harkristuti Harkrisnowo, berpendapat: dalam kasus pelanggaran HAM yang berat seharusnya hak-hak korban dan saksi lebih diperhatikan hal ini berkenaan dengan para tersangka yang umumnya berasal dari kelompok yang setidaknya pernah memegang kekuasaan dan memiliki akses pada senjata.(Dikdik M.Arief Mansur,2006:118).

Hal tersebut masih mungkin terus terjadi dalam sistem penegakan hukum

terutama menyangkut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang

berat baik dalam penyelesaian kasus maupun penanganan saksi atau korban. Hal

ini disebabkan karena ditambah dengan belum adanya undang-undang yang

khusus mengatur tentang perlindungan hukum bagi korban khususnya mengenai

perlindungan hukum korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Page 5: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

v

Akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, setelah menunggu sekian lama

akan lahirnya undang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan saksi

dan korban, akhirnya muncul dan disahkannyalah undang-undang nomor 13 tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di dalamnya terdapat beberapa

butir ketentuan tentang bagaimana pengaturan perlindungan hukum bagi korban

pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Perlu ditekankan bagaimana setelah muncul dan berlakunya Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban tersebut, bagaimana korban kejahatan pada umumnya dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada khususnya dapat menerima perlindungan hukum baik dalam proses penyidikan, peradilan maupun setelah putusan hakim dijatuhkan atau dalam proses pemulihan korban serta lewat undang-undang perlindungan saksi dan korban ini dapat diatur mengenai bagaimana pemberian perlindungan hukum bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat serta juga dalam pemberian perlindungan hukum tersebut apakah hak-hak dari korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat sudah terpenuhi sebagai korban melalui undang-undang tersebut atau adakah kelemahan dalam pengaturan perlindungan hukum dalam undang-undang perlindungan saksi dan korban tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan, maka penulis ingin

menyusun skripsi dengan judul : “ PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah

dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak

asasi manusia yang berat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban?

Page 6: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

vi

2. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran

hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan

maksud penelitian. Adapun dari tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam

penelitian ini adalah :

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap

korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum

terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat

menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban.

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang hukum

pidana khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap korban dalam

pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

c. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam

bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Page 7: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

vii

D. Manfaat Penelitian

Di dalam penelitian sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan karena nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang

bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang

diteliti.

b. Penelitian ini diharapkan, penulis memperoleh tambahan pengetahuan

mengenai permasalahan yang diteliti sehingga penulis dapat membagi

kembali ilmu tersebut kepada orang lain.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian guna mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, juga akan mempermudah pengembangan data, sehingga penyusunan penulisan hukum ini sesuai dengan metode ilmiah. Metode dalam penelitian ini dapat diperinci sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum dapat dikategorikan sebagai suatu penelitian doktrinal maupun non-doktrinal, penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum yang bersifat preskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam (Peter Mahmud, 2006:33).

Jenis penelitian dalam penyusunan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

Page 8: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

viii

data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu suatu ilmu yang mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Langkah awal dari penelitian ini adalah perbincangan mengenai makna hukum dalam hidup bermasyarakat, di mana ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejala sosial yang dipandang dari luar tetapi masuk ke dalam suatu yang esensial yaitu sisi instrinsik dari hukum ( Peter Mahmud, 2006 :22).

Dalam penulisan hukum ini, khususnya akan dibahas mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dimana

dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari berbagai

aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pada

penelitian ini digunakan pendekatan undang-undang (statute approach).

Pendekatan undang-undang yang dimaksud adalah dengan menelaah semua

undang- undang dan legislasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang

diteliti.

Page 9: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

ix

4. Sumber Data

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh

secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang

diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data kasar),

sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data

sekunder.(Soerjono Soekanto, 2007:12). Dalam penelitian hukum normatif

yang digunakan adalah data sekunder (bahan-bahan pustaka). Sumber data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

d. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai

kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar

peraturan perundang-undangan, yakni :

1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi.

3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak

Asasi Manusia Yang Berat.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,

Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi

Manusia Yang Berat.

6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan

Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak

Pidana Perdagangan Orang.

7) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi,

Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Page 10: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

x

e. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku, skripsi, tesis dan disertai

jurnal-jurnal hukum terkait dengan permasalahan yang penulis angkat

yaitu tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam

pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif undang-

undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban serta

tentang pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam

pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif undang-

undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban .

f. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni bahan

dari media internet yang relevan dengan penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Data

Pada penulisan hukum ini, penulis menggunakan pengumpulan data

dengan studi kepustakaan atau collecting by library. Dengan mengumpulkan

data sekunder berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, artikel-

artikel dan lain sebagainya. Kemudian dari data yang telah dikumpulkan

dikategorikan menurut kelompok yang tepat.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang penting dalam sebuah penelitian,

karena peneliti harus mengolah data dan mendapatkan jawaban dari

permasalahan yang diteliti dan selanjutnya dibuat kesimpulan. Teknik analisis

data yang digunakan penulis adalah teknik interprestasi atau penafsiran.

Menurut Von Savigny, interprestasi merupakan rekontruksi buah pikiran yang

tak terungkapkan di dalam undang-undang (Peter Mahmud, 2008:106).

Interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum yakni: interpretasi gramatikal,

Page 11: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xi

interpretasi sistematis, interpretasi teologi atau sosiologi, interpretasi histories,

interpretasi komparatif dan interpretasi futuristis. Selain itu dikenal juga

interpretasi autentik. Bahkan interpretasi gramatikal dan interpretasi autentik

dapat dimasukkan ke dalam interpretasi sistematis.

Penelitian ini tidak hanya mengunakan satu interpretasi, interpretasi

yang digunakan yaitu interpretasi gramatikal, yakni cara penafsiran untuk

mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikan menurut

bahasa, susunan kata atau bunyinya. Selanjutnya interpretasi autentik, yakni

penjelasan yang diberikan undang-undang dan terdapat di dalam teks undang-

undang. Peneliti juga menggunakan interpretasi sistematis yang menurut

Akkerman adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara

aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung (Peter Mahmud,

2008: 112). Interpretasi sistematis ini hubungan tidak hanya dilihat secara

teknis, tapi juga dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran

interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan

tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang

berdiri sendiri.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun penulis adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika penulisan hukum.

Page 12: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xii

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan judul dan

masalah yang diteliti yang memberikan landasan teori serta diuraikan

mengenai kerangka pemikiran. Kajian pustaka terdiri dari :

1. Kerangka Teori

2. Kerangka Pemikiran

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas

sekaligus menjawab tentang permasalahan yang telah ditentukan

sebelumnya. Pertama mengenai pengaturan perlindungan hukum

terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi

dan korban. Kedua, mengenai bagaimana bentuk-bentuk perlindungan

hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat

menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan

saksi dan korban.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan dan

saran-saran mengenai permasalahan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Page 13: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xiii

Kerangka Teori

a. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

a. Pengertian Hukum

Pertanyaan yang seringkali muncul ketika pertama kali mempelajari

ilmu hukum adalah mengenai apakah sebenarnya hukum itu. Pada dasarnya

definisi hukum itu sulit dibuat karena menurut W.L.G. Lemaire hukum itu

mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin

tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu ke dalam suatu definisi

(C.S.T Kansil, 1989 : 36).

Definisi hukum sangat sulit karena para sarjana hukum memiliki

pendapat yang berbeda walaupun ada kesamaan, beberapa definisi hukum oleh

para sarjana meliputi: (C.S.T Kansil,1989:38)

1) S.M. Amin

Dalam buku beliau yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum”, hukum dirumuskan sebagai berikut; “Kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara”.

2) J.C.T.Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto

Dalam buku yang disusun bersama berjudul”Pelajaran Hukum Indonesia” telah diberikan definisi hukum sebagai berikut; “Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”.

3) M.H.Tirtaatmidjaja

Dalam buku beliau “Pokok-pokok Hukum Perniagaan” ditegaskan bahwa “Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan

13

Page 14: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xiv

diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya”.

Sebagai kaidah (norma) hukum dapat dirumuskan sebagai berikut:

Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang

mengatur tatatertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh

anggota masyarakat yang bersangkutan (E. Utrecht, 1989: 3).

b. Pengertian perlindungan

1). Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan

untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau Korban yang wajib

dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006).

2). Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan

oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa

aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman,

gangguan, terror dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada

tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di

sidang pengadilan (Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2002).

c. Pengertian perlindungan hukum

Perlindungan hukum adalah perlindungan dengan sarana hukum, tetapi

tidak semua kepentingan perlu dilindungi hukum. Kepentingan yang

dilindungi hukum adalah kepentingan yang dikatakan sebagai hak.

Prinsip dari perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan

pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, karena menurut sejarahnya di

barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap

Page 15: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xv

hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan

peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.

Hukum juga dapat berfungsi sebagai perlindungan kepentingan

masyarakat. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus

dilaksanakan. Dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu

perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif.

Bentuk perlindungan hukum terhadap rakyat atau masyarakat juga

tidak harus berbentuk konstitusi/Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang,

namun juga bisa dengan keputusan hakim (Sri Hastuti Puspitasari, 2009: 230-

233).

Dengan adanya perlindungan hukum, para korban akan menjadi

tenang, tidak khawatir ada ancaman lahir maupun batin (mental cruelty)

sepanjang hidupnya dan ketenangan tersebut adalah merupakan bagian dari

hak asasi yang dilindungi oleh negara dan harus dilaksanakan oleh pemerintah

(Masyhur Effendi, 2005:146).

b. Tinjauan Umum Tentang Viktimologi

a. Pengertian Viktimologi

Pengertian viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti

korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti

suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban

dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia

sebagai suatu kenyataan sosial (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 33).

Arif Gosita menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh dengan

mempelajari viktimologi, yaitu sebagai berikut:

Page 16: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xvi

1) Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang

menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi

bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi;

2) Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang

korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental,

fisik, dan sosial;

3) Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai

hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapi

berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka;

4) Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak

langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat

penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada

setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi,

politik dan sosial;

5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian

viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan

dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan

terhadap pelaku kriminal (Arif Gosita, 2004: 40-41)

Viktimologi berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Viktimologi bermanfaat bagi kinerja aparatur penegak hukum seperti, aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasa dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya, serta aspek-aspek lainya yang terkait. Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdawa, mengingat

Page 17: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xvii

dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan.

Bagi kehakiman, dengan adanya viktimologi, hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkretisasi dalam putusan hakim. Hakim dapat mempertimbangkan berat ringanya hukuman yang akan dijatuhkan pada terdakwa dengan melihat seberapa besar penderitaan yang dialami oleh korban pada terjadinya kejahatan (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 65-66).

b. Ruang lingkup Viktimologi

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan

korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan

korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan

pidana.

1) Peranan korban pada terjadinya tindak pidana

Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang sangat luas

karena tidak terbatas pada individu yang secara nyata menderita

kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah.

Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas

kejahatan disebabkan korban memiliki peranan yang sangat penting

dalam terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang

sangat luas dan mendalam tentang korban kejahatan, diharapkan dapat

memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang

pada akhirnya akan bermuara pada menurunya kuantitas dan kualitas

kejahatan. Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang

mempelajari suatu viktimisasi/kriminal sebagai suatu permasalahan

Page 18: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xviii

manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Dikdik M. Arief

Mansur, 2006: 34).

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana Stephen

Schafer membagi menjadi empat tipe korban, yaitu sebagai berikut

(Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 50-51):

a). Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetapi tetap

menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku;

b). Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang

merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini,

korban mempunyai peran atau andil dalam terjadinya kejahatan

sehingga kesalahan terletak pada korban dan pelaku;

c). Mereka yang secara biologis dan sosial berpotensi menjadi korban.

Dalam hal ini orang mudah menjadi korban, misalnya: anak-anak,

orang tua, orang yang cacat fisik maupun mental, orang miskin,

golongan minoritas dan sebagainya. Pihak yang harus bertanggung

jawab adalah masyarakat;

d). Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Misalnya pelacuran,

perjudian, dan zina. Pihak yang bersalah adalah korban karena dia

sebagai pelaku.

2) Hubungan antara Pelaku dengan Korban

Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu

kejahatan. Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi

korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa

hubungan antara korban dan pelaku adalah hubungan sebab akibat.

Akibat dari perbuatan pelaku yaitu suatu kejahatan dan korban yang

menjadi objek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus

menderita karena kejahatan.

Page 19: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xix

Kadang kala, hubungan antara korban dan pelaku kejahatan sering kali

bersifat personal. Hal ini dapat ditemui dalam berbagai jenis kejahatan

yang melibatkan keluarga atau yang terjadi dalam rumah tangga. Pada

jenis kejahatan semacam ini, seringnya terjadi kontak dengan pelaku

akan semakin menambah ketakutan dari si korban untuk mengambil

tindakan. Apabila korban mengambil tindakan dengan cara melaporkan

kepada pihak lain tentunya akan mengundang kemarahan tidak hanya

kemarahan si pelaku tetapi juga dari pihak lainnya. Karena itulah,

perlindungan terhadap korban sangat diperlukan, tidak hanya dari si

pelaku itu sendiri, melainkan juga dari pihak-pihak yang cenderung

tidak menyukai korban maupun perbuatan si korban dengan melaporkan

si pelaku. Untuk kejahatan-kejahatan di luar kekerasan dalam rumah

tangga hubungan pelaku dengan korban sangat beragam, tetapi pada

umumnya antara pelaku dan korban tidak memiliki relasi secara

langsung atau tidak saling mengenal (Dikdik M. Arief Mansur, 2006:52-

55).

3) Rentannya Posisi Korban

Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subyek yang banyak

disoroti adalah si pelaku, padahal dari suatu kejahatan, kerugian yang

paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Dalam hal

ini, sedikit sekali hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang

dapat kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan

terhadapnya (Marjono Reksodiputro, 1994:81).

4) Peranan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

Hukum pidana memperlakukan korban seperti hendak mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal. Padahal apabila kita hendak mengamati masalah kejahatan secara komprehensif, kita tidak boleh mengabaikan peranan korban dalam terjadinya kejahatan. Bahkan, apabila memperhatikan pada aspek pencarian kebenaran materiil sebagai tujuan yang akan dicapai dalam

Page 20: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xx

pemeriksaan suatu kejahatan, peranan korban pun sangat strategis, dengan demikian sedikit banyak menentukan dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukanya.

Tidak berlebihan apabila selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan bahwa korban merupakan aset yang penting dalam upaya menghukum pelaku kejahatan. Pada sebagian kasus-kasus kejahatan, korban sekaligus merupakan saksi penting yang dimiliki untuk menghukum pelaku kejahatan. Sayangnya dalam kerangka pemeriksaan suatu perkara di mana korban merupakan saksi bagi pengungkapan suatu kejahatan hanya diposisikan sebagai instrument dalam rangka membantu aparat penegak hukum umtuk menghukum si pelaku, dan tidak pernah berlanjut pada apa yang dapat negara serta aparat penegak hukum lakukan untuk si korban, sehingga penderitaan (kerugian) yang diderita korban dapat dipulihkan seperti keadan sebelum terjadi kejahatan yang menimpa dirinya (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 37).

Selain itu menurut Muladi, viktimologi merupakan studi yang bertujuan

untuk :

1). Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban,

2). Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya

viktimisasi;

3). Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan

manusia.

Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi

bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim

yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula

korban kecelakaan dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan

penyalahgunaan kekuasaan (Dikdik M. Arief Mansur,2006:43-44)

c. Tinjauan Umum Tentang Korban

Pengertian, istilah korban masih diberikan arti yang luas, bahwa korban

merupakan akibat dari perbuatan disengaja atau kelalaian, kemauan sukarela atau

Page 21: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxi

dipaksa atau ditipu, bencana alam dan semuanya itu benar-benar berisi sifat

penderitaan jiwa, raga, harta dan moral serta sifat ketidakadilan (Iswanto, 2002:

57).

Berbagai pengertian tentang korban banyak dikemukakan baik oleh ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut: a. Arief Gosita

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

b. Ralph de Sola Korban (victim) adalah “…person who has injuried mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemted criminal offense commited by another…”

c. Cohen Korban (victim) adalah “…whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering…”

d. Z.P Zeparovic Korban (victim) adalah “…the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organization or institution) and consequently a victim would be anyone who has suffered from or been threatened by punishable act (not only criminal act but also another punishable acts as misdemeanors, economics offense, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering maybe caused by another man or another sructure, where people also involve.”

e. Muladi Korban adalah orang-orang yang baik yang secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga

g. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korban adalah orang atau perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah hak warisnya.

Page 22: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxii

h. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror dan kekerasan pihak manapun.

i. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principlas of Justice for Victims of Crime and Abuse Power 1985 Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative whitin member states, including those laws proscribing criminal abuse power.

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi. (Dikdik M. Arief Mansur,2006:46-48)

Selain dari pengertian-pengertian korban yang tersebut di atas, pengertian

korban juga diatur dalam;

a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban Pasal 1 ayat (2) yakni, Korban adalah seseorang yang mengalami

penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh

suatu tindak pidana.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi,

dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang

Berat Pasal 1 ayat (3) yakni, Korban adalah orang atau perseorangan atau

kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun

emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau

perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia

yang berat, termasuk korban adalah hak warisnya.

Page 23: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxiii

c. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi, Restitusi,

dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban Pasal 1 ayat (2) yakni, Korban adalah

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Tipologi korban kejahatan dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif

yaitu:

a. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya

kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah

menyebutkan beberapa tipologi korban kejahatan, yaitu :

1) Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak

kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam

penganggulangan kejahatan.

2) Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter

tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.

3) Provocative Victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau

pemicu kejahatan.

4) Participating Victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki

perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.

5) False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.

b. Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stephen

Schafer mengemukakan tipilogi korban kejahatan menjadi tujuh bentuk yaitu :

(Lilik Mulyadi.2003:123-125)

1) Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan pelaku

dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek

tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.

Page 24: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxiv

2) Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban

untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung

jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.

3) Participating victims pada hakikatnya perbuatan korban tidak disadari

dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil

uang di bank dalam jumlah yang besar tanpa pengawalan, kemudian

dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk

merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban penuh ada pada pelaku.

4) Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan

fisik korban seperti wanita, anak-anak dan manusia lanjut usia (manula)

merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari

pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah

setempat karena tidak dapat meberikan perlindungan kepada korban yang

tidak berdaya.

5) Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh

masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial

yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak

pada penjahat atau masyarakat.

6) Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri

(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu

pertanggungjawaban sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai

pelaku kejahatan.

7) Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara

sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya

perubahan konstelasi politik.

c. Selain pengelompokan di atas, masih ada pengelompokan korban menurut

Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut.(Dikdik M. Arief Mansur,2006:50)

Page 25: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxv

1). Primary victmization, yaitu korban berupa individu perorangan(bukan

kelompok)

2). Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.

3). Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.

4). No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya

konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.

4. Tinjauan Umum Tentang LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)

Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan

saksi dan korban, dalam Pasal 1 angka 3 disebutkan Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan

berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi

dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Dijelaskan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 secara

umum disebutkan bahwa LPSK merupakan lembaga yang mandiri yang

berkedudukan di ibukota Negara dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai

dengan keperluan. Pasal 12 juga menyebutkan bahwa LPSK bertanggungjawab

untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban

berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

ini. Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa LPSK bertanggungjawab kepada

Presiden, dan pada ayat (2) menyebutkan LPSK membuat laporan secara berkala

tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit

sekali dalam 1 (satu) tahun.

Mengenai kelembagaan LPSK diatur dalam Pasal 14 yakni anggota LPSK

terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai

pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum

dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia, akademisi, advokat atau lembaga swadaya masyarakat.

Page 26: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxvi

Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun seperti yang tersebut

dalam Pasal 15 ayat (1), setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), anggota LPSK dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama,

hanya untuk 1 (satu) kali jabatan berikutnya. Pasal 16 ayat (1) menyebutkan

LPSK terdiri atas pimpinan dan Anggota, ayat (2) menyebutkan Pimpinan LPSK

terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. Dalam ayat (3) dan

(4) disebutkan, Pimpinan LPSK dipilih dari dan oleh anggota LPSK dan ketentuan

lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK diatur dengan peraturan

LPSK. Pasal 17 mengatur Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK selama 5

(lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama

hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

5. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

a. Pengertian Hak Asasi Manusia

Secara harafiah yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia adalah

hak pokok atau hak dasar (Harum Pudjianto, 1999:25). Sementara dalam

Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1

angka 1 dan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia Pasal 1 angka 1 menyebutkan, Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai

mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.

Batasan-batasan mengenai hak asasi manusia sendiri dimulai pada

masa perang dunia I dan perang dunia II, dimana Presiden Amerika Serikat

pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt, merumuskan empat macam hak asasi,

yang kemudian dikenal dengan “the four of freedoms”:

Page 27: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxvii

1). Freedom of speech

2). Freedom of religion

3). Freedom of fear

4). Freedom of want

Formulasi ini yang kemudian menjadi inspirasi utama dan bagian tak

terpisahkan dari Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi

Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948, yang

dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa.(I Made Subamia, 2009: 13).

DUHAM yang sarat dengan pengaturan tentang hak-hak Yuridis dan Politik itu kemudian dalam perkembangannya digolongkan sebagai generasi pertama HAM. Pada 1966, sejalan dengan perkembangan pemahaman konseptual akan HAM, PBB mensahkan dua buah kovenan internasional, yakni International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights and International Covenant on Civil and Political Rights, yang digolongkan sebagai generasi kedua HAM. Kalau dalam Generasi Pertama HAM konsepsi dasarnya ditekankan pada hak-hak yuridis dan politik, dalam generasi kedua HAM konsepsi dasar HAM diperluas mencakup hak-hak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta penegasan kembali hak-hak sipil dan politik. Generasi Ketiga HAM lahir dengan munculnya konsep tentang the rights to developments (hak-hak atas pembangunan), yang diawali dengan keluarnya piagam Afrika mengenai hak-hak rakyat dan manusia (The African Charter of Human and People’s Rights). Konsepsi dasar Generasi Ketiga HAM menjadi sintesa baru bagi generasi Pertama dan kedua HAM dan menjadi paradigma alternatif bagi konsepsi dan implementasi kebijakan pembangunan yang selama ini dinilai telah mengabaikan hak-hak rakyat yang fundamental.(I Made Subamia, 2009:13).

Dari batasan-batasan dan sejarah generasi HAM di atas, orang sering

salah mengartikan hak asasi manusia (HAM). HAM dianggap sebagai senjata

dari negara-negara barat yang dipaksakan secara sepihak kepada negara-

negara berkembang.(Yosep Adi Prasetyo,2009: 46). Dalam perspektif politik

HAM merupakan alat politik yakni sebagai agenda untuk mengangkat issue

tentang ketidakadilan sosial yang dialami suatu masyarakat yang pada

muaranya merupakan perwujudan kehendak untuk menentang kekuasaan yang

otoriter. (Agus Yulianto, 2009: 25).

Page 28: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxviii

Todung Mulya Lubis menyebutkan ada empat teori HAM, yaitu,

pertama, hak-hak alami (natural rights), berpandangan bahwa HAM adalah

hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat

berdasarkan takdirnya sebagai manusia. Kedua, teori positivis (positivist

theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum

yang riel, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi.

Ketiga, teori relativis cultural (cultural relativist theory), menganggap hak itu

bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap

dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural

imperialism). Keempat, doktrin Marxist (Marxist doctrine and human rights),

hak-hak mendapat pengakuan sebagai hak individual, apabila telah mendapat

pengakuan dari negara dan kolektivitas (Majda El Muhtaj, 2008:5-6).

Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang melekat pada manusia

yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum,

sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum

(Maidin Gultom, 2008: 7). Hak asasi manusia secara khusus bertujuan untuk

melindungi hak-hak individu, tujuan tertinggi adalah menjamin kepentingan

dan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan di mana pun mereka

berada. Melindungi kesejahteraan individu pada akhirnya memastikan

kesejahteraan masyarakat/publik dan demikian pula sebaliknya. (Mashood

A.Baderin, 2007:42).

b. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Human Rights covers an exceptionally broad spectrum of human rights issues: human rights and the law, race, religion, gender, children, class, refugees and immigration. In other hand, gross violation of human right includes: genocide or mass murder, torturing, death sentence and articles of war and war crime (Routledge,2010).

Hak asasi manusia mencakup spektrum yang luar biasa luas, diantaranya tentang hak asasi manusia dan hukum, ras, agama, jenis kelamin, anak-anak, kelas, pengungsi dan imigrasi. Sementara dari segi bentuknya, pelanggaran hak asasi manusia diantaranya: genosida atau pembunuhan massal, penyiksaan, hukuman mati dan hukum perang dan kejahatan perang.

Page 29: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxix

Istilah “pelanggaran berat hak asasi manusia”, belum mendapat

kesepakatan yang diterima secara umum. Kata “berat” menerangkan kata

“pelanggaran”, yaitu menunjukkan betapa parahnya pelanggaran yang

dilakukan. Akan tetapi, kata “berat” juga berhubungan dengan jenis-jenis hak

asasi manusia yang dilanggar. Pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi jika

yang dilanggar adalah hak berjenis non-derogable.

Unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM dilakukan

secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan hal

tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah

direncanakan. Untuk Indonesia, kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai

kasus pelanggaran hak asasi manusia, antara lain: peristiwa Tanjung Priok,

Lampung, dan Timor Timur (Dikdik M.Arief Mansur,2006:116). Sementara

kasus pelanggaran hak asasi manusia yang baru-baru ini terjadi di Indonesia

seperti halnya pada kasus Ahmadiyah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM berat pada beberapa kasus

penyerangan terhadap jema'ah ahmadiyah tahun 2005 dan 2006

(http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,20070125-

91968,id.html).

Hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran

berat HAM. Dilihat dari peristilahannya yang digunakan pun bermacam-

macam, ada yang menggunakan istilah gross and systematic violations, the

most serious crime, gross violations, grave violations, dsb.(Andrey

Sujatmoko,2005:70).

Dalam kaitan hak asasi manusia, Gross violation of human rights

termasuk juga di dalamnya crimes against humanity yang meliputi tindak

pidana yang dilakukan untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan

individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana yang teror,

karena dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang

diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk

Page 30: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxx

sipil, lebih-lebih diarahkan kepada jiwa-jiwa orang tidak bersalah atau public

by innocent (Indriyanto Seno Adji, 2009: 247-258).

Cecilia Medina Quiroga berpendapat bahwa istilah pelanggaran berat

HAM adalah sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-

pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan

pemerintah, yang dilakukan dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara

untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau

hak atas kebebasan pribadi dari penduduk (population) secara keseluruhan

atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk suatu negara secara terus

menerus dilanggar atau diancam. Istilah pelanggaran berat HAM yang telah

dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik di

dalam resolusi, deklarasi maupun perjanjian HAM. Namun pada umumnya

pelanggaran HAM yang berat dapat diartikan sebagai pelanggaran secara

sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius

(Andrey Sujatmoko 2005 : 70).

Dalam perundang-undangan di Indonesia juga diatur tentang

pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, seperti pada Pasal 7, 8

dan 9 Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia yang berbunyi sebagai berikut:

1) Pasal 7 Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a). Kejahatan genosida b). Kejahatan terhadap kemanusiaan

2) Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a). Membunuh anggota kelompok b). Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota kelompok c). Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan

mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

Page 31: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxxi

d). Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;

e). Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain

3) Pasal 9 Kejahatan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a). Pembunuhan b). Pemusnahan; c). Perbudakan; d). Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa e). Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain

secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional

f). Penyiksaan g). Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.

h). Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i). Penghilangan orang secara paksa; atau j). Kejahatan apartheid.

6. Tinjauan Umum tentang Kompensasi, Restitusi, Rehabilitasi dan Bantuan

Dalam setiap pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran hak

asasi manusia yang berat senantiasa menimbulkan kewajiban negara untuk

mengupayakan pemulihan (reparation) kepada para korbannya. Pemenuhan

terhadap hak-hak korban harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan

perlindungan hak asasi manusia secara keseluruhan. Tidak ada HAM tanpa

pemulihan atas pelanggarannya sama artinya dengan impunitas akan terus

berlangsung apabila tidak ada langkah konkrit untuk pemenuhan hak-hak korban

pelanggaran hak asasi manusia.

Istilah reparation dapat diterjemahkan menjadi pemulihan yang artinya

adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun

Page 32: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxxii

non-material bagi para korban pelanggaran HAM, pemulihan itu dikenal dengan

istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang merupakan bentuk umum dari

berbagai bentuk pemulihan kepada para korban ( Andrey Sujatmoko,2005:85-86).

Yang pengertian dari kesemuanya itu adalah sebagai berikut:

a. Pengertian Kompensasi dan Restitusi

1) Pengertian Kompensasi

Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam

bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti

perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan,

pendidikan dan tanah. (Andrey Sujatmoko, 2005: 87). Menurut Theo van

Boven, kompensasi akan diberikan untuk setiap kerusakan yang secara

ekonomis dapat diperkirakan nilainya, yang timbul dari pelanggaran

HAM, misalnya : (http://www.prakarsa-

rakyat.org/download/HAM/Kampanye%20ELSAM%20RUU%20Perlind

ungan%20Saksi%202.pdf)

a). Kerusakan fisik dan mental

b). Kesakitan, penderitaan dan tekanan batin;

c). Kesempatan yang hilang temasuk pendidikan;

d). Hilangnya mata pencarian dan kemampuan mencari nafkah;

e). Kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang

hilang;

f). Kerugian terhadap reputasi atau martabat;

g). Biaya dan bayaran untuk masuk akal untuk bantuan hukum atau

keahlian untuk memperoleh suatu pemulihan.

Dalam pengaturan hukum di Indonesia kompensasi diatur

diantaranya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang

Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran

Hak Asasi Manusia yang Berat, Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun

Page 33: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxxiii

2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada

Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor

26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35,

yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan Kompensasi

adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak

mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung

jawabnya. Jadi dengan demikian kompensasi baru diberikan kepada

korban atau keluarganya oleh negara, jika pelaku tidak mampu

memberikan sepenuhnya restitusi yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi

terdapat keterkaitan antara pemberian restitusi dengan kompensasi (R.

Wiyono, 2006:88).

2) Pengertian Restitusi

Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau

pembayaran atas kerusakan, kerugian yang diderita, penggantian biaya-

biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa

oleh pelakunya sendiri. (Andrey Sujatmoko,2005: 87). Menurut Theo

van Boven, restitusi haruslah diberikan untuk menegakkan kembali

sejauh mungkin situasi yang ada bagi korban sebelum terjadinya

pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Restitusi mengharuskan antara

lain, pemulihan kebebasan, kewarganegaraan atau tempat tinggal,

lapangan kerja atau hak milik (R. Wiyono,2006:87-88).

Dalam pengaturan hukum di Indonesia restitusi diatur diantaranya

di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang

Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran

Hak Asasi Manusia yang Berat, Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun

Page 34: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxxiv

2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada

Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor

26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35,

yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan restitusi

adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya

oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik,

pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau

penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

3) Lima Sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban kejahatan

(Andrey Sujatmoko, 2005 : 87-88).

a). Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana.

b). Kompensasi bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana.

c). Restitusi bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidananya. Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah “denda kompensasi” (compensatory fine). Denda ini merupakan “kewajiban yang bernilai uang” yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban di samping pidana yang seharusnya diberikan.

d). Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.

Page 35: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxxv

e). Kompensasi yang bersifat netral, diberikan melalui prosedur khusus. Sistem ini diterapkan dalam hal korban memerlukan ganti rugi, sedangkan si pelaku dalam keadaan bangkrut dan tidak dapat memenuhi tuntutan ganti rugi kepada korban. Pengadilan perdata atau pidana tidak berkompeten untuk memeriksa, tetapi prosedur khusus/tersendiri dan independen yang menuntut campur tangan negara atas permintaan korban.

Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang

dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable).

Namun, menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu

adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan dan timbul dari permintaan

korban dan dibayar oleh masyarakat atau yang merupakan bentuk

pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of society),

sedangkan restitusi lebih bersifat ke pidana yang timbul dari putusan

hakim pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana yang merupakan

wujud pertanggungjawaban dari si terpidana (the responsible of the

offender) ( Dikdik M. Arief, 2006 : 167).

b. Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara

medis dan sosial. Theo van Boven merumuskan dalam usulannya,

memasukkan pula aspek kepuasan (satisfaction) dan jaminan tak terulangnya

pelanggaran (guarantees of non repetition) dalam bagian rehabilitasi sebagai

bagian dari bentuk-bentuk khusus pemulihan yang menjadi tanggung jawab

negara. (Andrey Sujatmoko, 2005:38). Rehabilitasi haruslah disediakan, yang

mencakupi pelayanan hukum, psikologis, perawatan medis, dan pelayanan

atau perawatan lainnya, maupun tindakan untuk memulihkan martabat dan

reputasi (nama baik) sang korban. Aspek kepuasan (satisfaction) dan jaminan

tak terulangnya pelanggaran (guarantees of non reparation) menurut Theo

Van Boven mencakup diantaranya: (http://www.prakarsa-

rakyat.org/download/HAM/Kampanye%20ELSAM%20RUU%20Perlindunga

n%20Saksi%202.pdf)

Page 36: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxxvi

1) Dihentikannya pelanggaran yang berkelanjutan;

2) Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan kebenaran sepenuhnya dan

secara terbuka;

3) Keputusan yang diumumkan demi kepentingan korban;

4) Permintaan maaf, termasuk pengakuan di depan umum mengenai fakta-

fakta dan penerimaan tanggung jawab;

5) Diajukannya ke pengadilan orang-orang yang bertanggung jawab atas

pelanggaran;

6) Peringatan dan pemberian hormat kepada korban;

7) Dimasukkannya suatu catatan yang akurat mengenai pelanggaran HAM

dalam kurikulum dan bahan-bahan pendidikan;

8) Mencegah berulangnya pelanggaran dengan cara seperti :

a). memastikan pengendailan sipil yang efektif atas militer dan pasukan

keamanan.

b). Membatasi yursidiksi mahkamah militer;

c). Memperkuat kemandirian badan peradilan;

d). Melindungi profesi hukum dan para pekerja hak asasi manusia.

e). Memberikan pelatihan HAM pada semua sektor masyarakat,

khususnya pada militer dan pasukan keamanan dan kepada para

pejabat penegak hukum.

Dalam pengaturan hukum di Indonesia rehabilitasi diatur diantaranya

di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,

Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia

yang Berat serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 26 tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35, yang kesemuanya

berbunyi bahwa yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan pada

kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak

lain.

Page 37: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxxvii

Peraturan perundang-undangan yang lain juga menyebutkan tentang

rehabilitasi kesehatan dan rehabilitasi sosial, yakni di dalam peraturan

pemerintah nomor 9 tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan

terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Di

dalam Pasal 1 yang berbunyi, rehabilitasi kesehatan adalah pemulihan saksi

dan/atau korban dari gangguan kesehatan yang dideritanya baik fisik maupun

psikis yang dilaksanakan di PTT. Rehabilitasi sosial adalah pemulihan adalah

pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kondisi psikososial dan

pengembalian keberfungsian sosial secara wajar baik dalam keluarga maupun

dalam masyarakat.

c. Pengertian Bantuan

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban dalam Pasal 1

menyebutkan, Bantuan adalah layanan yang diberikan kepada Korban

dan/atau saksi oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan bantuan

rehabilitasi psiko-sosial.

Apa yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko sosial di dalam

penjelasan atas Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban pada Pasal 6 huruf (b) adalah bantuan yang diberikan oleh

psikologi kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan

lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban.

Bantuan medis atau pelayanan medis diberikan kepada korban yang

menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang

dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum

atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama

dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban

hendak melaporkan kejadian kejahatan yang menimpanya ke aparat kepolisian

untuk ditindak lanjuti (Dikdik M. Arief:2006:171).

Page 38: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxxviii

Kerangka Pemikiran

Skema Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Penjelasan Kerangka Pemikiran:

Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu: 1. Korban Tindak pidana korupsi 2. Korban tindak pidana narkotika/psikotropika 3. Korban tindak pidana terorisme 4. Korban tindak pidana lain.

Pengaturannya dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan saksi dan korban

Korban

Perlindungan

Hukum

Korban pelanggaran hak

asasi manusia yang berat

Sesuai dengan keputusan LPSK

Bentuk-bentuk perlindungan

Hukum menurut perspektif

Undang-Undang nomor 13

tahun 2006 tentang

Perlindungan saksi dan

Cukup memadai atau tidak?

Page 39: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xxxix

Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan

korban muncul sebagai dasar hukum perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

Sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat dalam Undang-Undang tersebut

bahwa saksi dan korban berhak untuk mendapatkan berbagai hak-hak dalam

perlindungan hukumnya. Yang berhak mendapat perlindungan hukum diantaranya

korban-korban tindak pidana tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), selain itu korban pelanggaran hak asasi

manusia yang berat mendapat porsi perlindungan hukum yang khusus dalam

beberapa Pasal Undang-Undang ini.

Oleh penulis, lebih memfokuskan penelitian pada perlindungan korban

pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Perlu dikaji bagaimana pengaturan

pemberian perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi

manusia yang berat dalam Undang-Undang ini, serta kemudian penulis mengkaji

lebih dalam bagaimana dan bentuk-bentuk perlindungan apa saja yang diberikan

kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-

Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban ini

kemudian dikaji apakah perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran

hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini telah sesuai dengan hak-

hak korban kejahatan sebagaimana mestinya atau apakah ada kelemahan dalam

pengaturan dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2006

tentang perlindungan saksi dan korban tersebut.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi

Manusia Yang Berat Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban

Page 40: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xl

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 yang lalu, masih tercipta adanya

suatu kondisi dalam upaya pemberian perlindungan hukum terhadap korban

kejahatan maupun korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang

belum secara khusus diatur dalam suatu perundangan. Memang sebenarnya sudah

ada Undang-Undang lain yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap

korban khususnya korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, misalnya

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

dengan Peraturan Pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002

tentang pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban

pelanggaran HAM berat, yang dalam Undang-Undang tersebut memberikan hak

kepada korban atau ahli warisnya untuk memperoleh juga apa yang dinamakan

perlindungan hukum atau bantuan hukum yang dalam Undang-Undang tersebut

dinamakan dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, akan tetapi dalam

perundang-undangan tersebut tidak dijelaskan secara khusus bagaimana tata cara

atau prosedur pengajuan bantuan hukum tersebut, serta juga tidak diatur tentang

siapa yang berhak mengajukan bantuan hukum atau perlindungan hukumnya.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, serta lewat peraturan

pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, dapat

memberikan kepastian tentang siapa yang berhak menerima perlindungan hukum

atau bantuan hukum yakni korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat

melalui LPSK. Lewat Undang-Undang ini, juga korban pada khususnya korban

dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permintaan

perlindungan hukum dengan cara-cara atau prosedur yang telah diatur dalam

Undang-Undang ini, sehingga dengan Undang-Undang ini minimal memberikan

gambaran kepada korban bagaimana, kemana dan kepada siapa ia harus

mengajukan perlindungan tersebut, hal ini sangat penting untuk diatur, karena

mengingat pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan kejahatan luar

biasa dengan jumlah korban yang biasanya tidak sedikit dan antara lokasi tempat

kejadian dengan tempat dilakukannya persidangan yakni pengadilan Hak Asasi

41

Page 41: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xli

Manusia sangat jauh, sehingga dapat mengakibatkan ketidaktahuan para korban

tentang perkara dengan terdakwa yang telah merugikan mereka, sehingga para

korban dapat kehilangan haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum atau

bantuan hukum. Maka dengan munculnya Undang-Undang ini, korban

pelanggaran hak asasi manusia yang berat diharapkan dapat terlindungi hak-

haknya dengan bantuan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang ini.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, pengaturan

perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang

berat sendiri termuat dalam beberapa pasal yakni misalnya mengenai:

1. Pengaturan Tata Cara Pemberian Perlindungan

Pengaturan tata cara pemberian perlindungan kepada korban

pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini diatur

dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32. Pasal 29 sendiri mengatur

tentang bagaimana atau tata cara untuk memperoleh perlindungan hukum

dalam Undang-Undang ini, tata cara korban terutama korban pelanggaran hak

asasi manusia memperoleh perlindungan hukum tersebut antara lain:

a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK.

b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.

Setelah LPSK menerima permohonan korban seperti dimaksud dalam

Pasal 29 tersebut maka korban harus menandatangani pernyataan kesediaan

mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban yang memuat:

a. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan,

b. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya.

Page 42: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xlii

c. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia dalam perlindungan LPSK,

d. Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK, dan

e. Hal-hal yang dianggap perlu oleh LPSK.

Mengenai penandatanganan pernyataan kesediaan dan isi muatan dari

syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban tersebut diatur dalam

Pasal 30 ayat (1) dan (2), kemudian dalam Pasal 31 disebutkan supaya LPSK

wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban,

termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tersebut.

Tentu saja perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi

manusia yang berat tidak selamanya akan terus diberikan kepada korban

tersebut, pastilah akan ada suatu saat perlindungan hukum terhadap korban

tersebut berakhir, mengenai penghentian perlindungan hukum tersebut diatur

dalam Pasal 32 yang mengatur misalnya dalam Pasal 32 ayat (2) yang

menyebutkan bahwa penghentian perlindungan keamanan seorang saksi

dan/atau korban harus dilakukan secara tertulis. Pada Pasal 32 ayat (1)

menjelaskan mengenai penghentian perlindungan atas keamanan saksi

dan/atau korban dengan alasan:

a. Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri,

b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan,

c. Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian, atau

d. LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan.

Dalam hal ini, jadi, penghentian perlindungan hukum terhadap korban

pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat dikarenakan berbagai alasan

yang disebabkan baik dari pihak korban sendiri yang meminta supaya

dihentikan, atau korban sendiri yang membuat kesalahan melanggar syarat dan

Page 43: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xliii

ketentuan perlindungan korban, serta juga bisa dari inisiatif pihak lain baik

pejabat yang berwenang maupun juga dari LPSK yang menilai bahwa korban

pelanggaran hak asasi manusia yang berat sudah tidak lagi memerlukan

perlindungan hukum.

2. Pengaturan Tata Cara Pemberian Bantuan

Pengaturan tata cara pemberian bantuan terhadap korban dalam

pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang nomor 13

tahun 2006 ini misalnya diatur dalam Pasal 33 yang menyebutkan bahwa

bantuan sebagaimana dimaksud yakni bantuan medis dan bantuan rehabilitasi

psiko-sosial diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang

berat atas permintaan tertulis dari korban tersebut ataupun orang yang

mewakilinya kepada LPSK, kemudian dalam Pasal 36 ayat (1) ditegaskan lagi

kemudian dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK

dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang yakni lembaga

pemerintah dan non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang

memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun

tidak langsung yang dapat mendukung kerja LPSK, yang diperlukan dan

disetujui keberadaannya oleh saksi dan/atau korban.

Contoh instansi terkait yang berwenang yang dapat bekerja sama

dengan LPSK misalnya, lembaga Kepolisian, dalam hal pemberian

perlindungan hukum terhadap korban khususnya korban pelanggaran hak asasi

manusia yang berat, Kepolisian dapat berfungsi sebagai pemberi informasi

kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan

pemeriksaan suatu tindak pidana atau pelanggaran hak asasi manusia yang

berat yang dialami oleh korban. Selain lembaga Kepolisian yang merupakan

lembaga pemerintah, kerjasama LPSK juga dapat dengan lembaga swadaya

masyarakat (LSM), misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang

menangani kasus Trisakti 1998 dan kasus Tanjung Priok pada waktu itu

(Dikdik M.Arief, 2006:171).

Page 44: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xliv

Di dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) tersebut di atas, instansi terkait sesuai

dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini,

ketentuan ini seperti yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2).

B. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi

Manusia Yang Berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban dalam Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa seorang korban berhak

mendapatkan hak-haknya dalam hal perlindungan hukum. Dalam Pasal 5 ayat (1)

tersebut mengatur beberapa hak yang diberikan kepada korban, yakni meliputi:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang

akan, sedang atau telah diberikannya,

Dalam penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa

perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan

korban. Apabila perlu, korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang

dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar saksi dan korban aman.

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan.

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan,

d. Mendapat penerjemah

Page 45: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xlv

Hak untuk mendapat penerjemah diberikan kepada korban yang tidak lancar

berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan, hal ini seperti pada apa

yang tertuang dalam penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) huruf d.

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus,

Hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus juga

mutlak harus diberikan kepada korban tindak pidana karena seperti apa yang

dijelaskan pada Pasal 5 ayat (1) huruf f dalam penjelasannya, seringkali

Korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi saksi

dan korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh

karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus

diberikan kepada korban.

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan

Sama halnya dengan hak untuk mendapatkan informasi perkembangan kasus,

korban juga berhak untuk mendapatkan informasi mengenai putusan

pengadilan, seperti halnya hak mendapatkan informasi perkembangan kasus,

hak untuk mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan ini juga

sangat penting bagi korban karena seperti apa yang dijelaskan dalam

penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) huruf g, informasi mengenai putusan

pengadilan ini penting untuk diketahui korban sebagai tanda penghargaan

kesediaan korban dalam proses peradilan tersebut, terlepas dari apakah

terdakwa atau terpidana diputus bersalah atau dibebaskan oleh putusan

Page 46: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xlvi

pengadilan, yang terpenting adalah putusan pengadilan tersebut harus

diinformasikan kepada korban suatu perkara tersebut.

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan,

Terlebih jika dalam halnya terdakwa maupun terpidana dibebaskan, maka hak

mengetahui dalam halnya terpidana dibebaskan sangat mutlak diberikan atau

diberitahukan kepada korban karena ketakutan korban akan adanya balas

dendam dari terdakwa cukup beralasan dan ia berhak diberi tahu apabila

seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan, ketentuan ini

seperti apa yang tertuang dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf h.

i. Mendapatkan identitas baru,

Hak bagi korban untuk mendapatkan identitas baru diberikan dalam berbagai

kasus misalnya pada kasus yang menyangkut kejahatan terorganisasi, saksi

dan korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Maka dalam

kasus-kasus tertentu seperti ini, seperti dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf

i, maka korban dapat diberikan identitas baru.

j. Mendapatkan tempat kediaman baru,

Selain mendapatkan identitas baru, korban juga berhak mendapatkan tempat

kediaman baru, tempat kediaman baru di sini dimaksudkan adalah tempat

tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman bagi korban. Dalam

penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf j, juga dijelaskan bahwa tempat kediaman

baru diberikan kepada korban apabila keamanan korban sudah sangat

Page 47: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xlvii

mengkhawatirkan, pemberian tempat kediaman baru pada korban harus

dipertimbangkan agar korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa

ketakutan.

Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j ini, menimbulkan satu pertanyaan yakni

pertanyaannya adalah, siapa atau lembaga mana yang berkewajiban harus

menyediakan tempat tersebut serta juga berapa lamakah korban maupun

korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak untuk tinggal di

tempat kediaman baru tersebut serta siapa atau lembaga apa yang akan

menanggung semua biaya tempat kediaman baru tersebut, hal ini belum jelas

diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini khususnya dalam

Pasal 5 ayat (1) huruf j ini (Dikdik M. Arief, 2006:178).

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan,

Hak memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan

diberikan kepada korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk

mendatangi lokasi, maka korban perlu mendapat bantuan biaya dari negara

sesuai dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf k. Lokasi dalam hal ini adalah

lokasi pengadilan ataupun penyidikan dalam halnya keterangan korban

dibutuhkan sebagai alat bukti, akan tetapi korban tidak mampu mendatangi

lokasi maka negara memberikan biaya transportasi kepada korban sehingga

korban mampu mendatangi lokasi tersebut dan mampu juga memberikan

keterangan maupun kesaksian sebagai alat bukti baik dalam hal penyidikan

maupun juga persidangan.

l. Mendapatkan nasihat hukum, dan/atau

Page 48: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xlviii

Selain bantuan biaya transportasi dari negara kepada korban untuk mendatangi

lokasi, korban juga berhak untuk mendapatkan nasihat hukum serta

memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir. Yang dimaksud dengan nasihat hukum adalah nasihat hukum yang

dibutuhkan oleh korban apabila diperlukan.

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir.

Yang dimaksud dengan biaya hidup sementara adalah biaya hidup yang sesuai

dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan

sehari-hari. Ketentuan ini terdapat dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf m.

Hak-hak seperti apa yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak

mutlak diberikan kepada semua korban tindak pidana, karena kemudian di dalam

Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksudkan dalam pada ayat

(1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus

tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK). Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam penjelasan dari Pasal 5 ayat (2)

tersebut yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu”,

antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak

pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan

korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

Dari apa yang dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (2) tersebut, maka jelas dan

tampak bahwasanya tidak setiap korban secara otomatis berhak mendapatkan

Page 49: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

xlix

perlindungan hukum, korban yang mendapat perlindungan hukum hanyalah

korban yang benar-benar terancam keselamatannya oleh pihak lain selama proses

baik dari pemberian keterangan dan kesaksian dalam penyidikan, peradilan

sampai pada putusan hakim, dan hal ini juga harus sesuai dengan keputusan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu, apakah korban

tersebut benar-benar terancam keselamatannya oleh karena ancaman pihak lain

selama proses penyidikan, peradilan sampai pada putusan pengadilan, jika benar

demikian korban terancam maka Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK) dapat memutuskan bahwa korban tersebut berhak mendapat perlindungan

hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 34 ayat (1)

yang berbunyi bahwa LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada

para saksi dan/atau korban.

Pertimbangan LPSK dalam memutus apakah korban dapat diberikan

perlindungan hukum atau tidak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan

Pasal 34 ayat (1) tersebut dipertegas kembali di dalam Pasal 28 di mana syarat

pemberian perlindungan dan bantuan dalam rangka perjanjian perlindungan LPSK

terhadap Saksi dan Korban tindak pidana diberikan dengan pertimbangan syarat

antara lain:

a. sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban b. tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan korban c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban d. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.

Page 50: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

l

Jika dalam halnya korban tidak memenuhi ke-empat pertimbangan syarat

dalam Pasal 28 tersebut maka korban tersebut tidak akan mendapatkan

perlindungan hukum, tetapi jika ke-empat pertimbangan syarat tersebut ada dan

terpenuhi dalam diri seorang korban maka kemudian sesuai aturan Pasal 34 ayat

(2), LPSK menentukan jangka waktu dan besarnya biaya yang diperlukan untuk

memenuhi hak-hak dan perlindungan hukum dari korban yang layak diberi

bantuan tersebut. Jangka waktu dan besarnya biaya perlidungan hukum tersebut

kemudian lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008

tentang Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Peraturan

Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 ini adalah sebagai peraturan pelaksana dari

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Berbeda halnya dengan ketentuan di atas, korban dalam pelanggaran hak

asasi manusia yang berat, dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 ini

mendapatkan “perlakuan” atau pengaturan khusus dibandingkan dengan korban

tindak pidana lain yang harus mendapatkan putusan dari Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu untuk kemudian mendapatkan

perlindungan hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa korban dalam pelanggaran hak

asasi manusia yang berat oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini secara

“otomatis” berhak dan mendapatkan perlindungan hukum.

Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara langsung

mendapatkan hak-hak perlindungan perlindungan hukum seperti apa yang

terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) yang telah dijabarkan di atas tersebut. Ketentuan

Page 51: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

li

tersebut dipertegas seperti apa yang diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi bahwa

Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan bantuan

medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat selain

mendapatkan perlindungan hukum berupa bantuan medis dan bantuan rehabilitasi

psiko-sosial seperti apa yang diatur dalam Pasal 6 tersebut, korban dalam

pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga dapat meminta perlindungan

hukum yang lain selain bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial di

atas, yakni korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga tidak

menutup kemungkinan dapat menuntut melalui LPSK sesuai dengan aturan Pasal

7 ayat (1) supaya diberikan adanya perlindungan hukum yang lain berupa hak atas

kompensasi serta juga hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi

tanggung jawab pelaku tindak pidana.

Pada Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini, maka

pada intinya korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat mendapatkan

bentuk perlindungan hukum antara lain bantuan medis dan bantuan rehabilitasi

psiko-sosial yang diatur dalam Pasal 6, kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) juga

diatur di mana korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga berhak atas

perlindungan hukum yakni atas hak atas kompensasi serta juga hak atas restitusi

dan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.

Page 52: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lii

Jadi, bentuk-bentuk perlindungan hukum berupa hak-hak terhadap korban

dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban antara lain:

1. Bantuan Rehabilitasi

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam

Pasal 6 disebutkan bahwa bantuan terdiri atas:

a. Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial

Apa yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko sosial di dalam

penjelasan atas Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 6 huruf (b) adalah bantuan

yang diberikan oleh psikologi kepada korban yang menderita trauma atau

masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan

Korban.

b. Bantuan Medis

Bantuan medis atau pelayanan medis diberikan kepada korban yang

menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang

dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum

atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama

dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila

korban hendak melaporkan kejadian kejahatan yang menimpanya ke

aparat kepolisian untuk ditindak lanjuti. (Dikdik M. Arief, 2006:171).

Pemberian bantuan, baik bantuan medis maupun

bantuan rehabilitasi psiko-sosial diberikan

berdasarkan atas keterangan dokter, psikiater,

psikolog, rumah sakit dan/atau pusat

kesehatan/rehabilitasi. Misalnya penberian bantuan

dalam bentuk konseling, pemberian bantuan bentuk

Page 53: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

liii

konseling ini sangat tepat diberikan kepada atau

untuk korban pelanggaran hak asasi manuisa yang

berat khususnya jika korbannya adalah wanita yang

mengalami perkosaan, penghamilan secara paksa,

pelacuran secara paksa, tindakan asusila ataupun

perbudakan seksual yang tentu saja pasti

menimbulkan trauma berkepanjangan bagi wanita

korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat

tersebut, sehingga layaklah bila ia mendapat

perlindungan hukum dengan pemberian bantuan

dengan cara bantuan konseling. Jangka waktu

pemberian Bantuan tersebut dapat diperpanjang atau

dihentikan setelah mendenganr keterangan dokter,

psikiater atau psikolog.

2. Kompensasi

Kompensasi sendiri merupakan kewajiban yang harus dibayarkan

dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti

perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan,

pendidikan dan tanah. (Andrey Sujatmoko, 2005: 87). Dalam pengaturan

hukum di Indonesia kompensasi diatur diantaranya di dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan

Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat,

Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,

Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas

Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

dalam Pasal 35, yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku

Page 54: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

liv

tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung

jawabnya.

Pemberian kompensasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a di mana ditegaskan bahwa korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kemudian berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini adalah Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah ini sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tersebut.

3. Restitusi

Sementara Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik

atau pembayaran atas kerusakan, kerugian yang diderita, penggantian biaya-

biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh

pelakunya sendiri. (Andrey Sujatmoko,2005: 87). Restitusi haruslah diberikan

untuk menegakkan kembali sejauh mungkin situasi yang ada bagi korban

sebelum terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Restitusi

mengharuskan antara lain, pemulihan kebebasan, kewarganegaraan atau

tempat tinggal, lapangan kerja atau hak milik (R. Wiyono,2006:87-88). Dalam

pengaturan hukum di Indonesia restitusi diatur diantaranya di dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan

Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat,

Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,

Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas

Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

dalam Pasal 35, yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan

restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau

Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta

Page 55: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lv

milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau

penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Pemberian restitusi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b di mana ditegaskan bahwa korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Sama halnya dengan kompensansi, restitusi juga diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, ketentuan ini berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi di atur dengan Peraturan Pemerintah yakni Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah ini sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tersebut.

Dalam Undang-Undang ini tersirat adanya suatu kelemahan yakni belum

diaturnya secara khusus mengenai badan atau lembaga yang mengatur masalah

pemberian kompensasi, restitusi maupun rehabilitasinya. Misalnya mengenai

pemberian kompensasi, dapat dilihat juga dalam kenyataan bahwa di Indonesia

sampai sekarang ini belum ada suatu lembaga yang secara khusus mengatur dan

menangani masalah pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan maupun

terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti apa yang telah

dilakukan di beberapa negara maju, misalnya di Amerika Serikat ada suatu

lembaga yang bernama The Crime’s Victims Compensation Board. Lembaga ini

dibentuk untuk menangani pemberian bantuan finansial kepada korban kejahatan

berupa penggantian biaya pengobatan, pemakaman, kehilangan penghasilan dan

sebagainya. Adanya lembaga semacam The Crime’s Victims Compensation Board

sangat diperlukan, karena lembaga ini dapat membantu korban kejahatan yang

menderita kerugian finansial, khususnya apabila pelaku kejahatan tidak mampu

membayar ganti kerugian kepada korban sebagai akibat tindak pidana yang

dilakukan oleh pelaku, dalam hal ini misalnya dalam hal pemberian restitusi oleh

pelaku tindak pidana (Dikdik M.Arief, 2006:168).

Page 56: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lvi

Pengertian restitusi dan kompensasi sendiri merupakan istilah yang dalam

penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut

Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih

bersifat keperdataan dan timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh

masyarakat atau yang merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau

negara (the responsible of society), sedangkan restitusi lebih bersifat ke pidana

yang timbul dari putusan hakim pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana

yang merupakan wujud pertanggungjawaban dari si terpidana (the responsible of

the offender) ( Dikdik M. Arief, 2006 : 167).

Pembuat kejahatan dapat diberikan tanggung jawab terhadap semua

kerugian dan penderitaan korban baik fisik maupun moral melalui pemberian

restitusi, namun apabila tidak tersedia atau tidak mencukupi, baru dipenuhi

dengan kompensasi dari negara dan/atau bantuan dari lembaga sosial lain

(Iswanto,2002:6). Dapat dikatakan juga bahwa dengan demikian kompensasi baru

diberikan kepada korban atau keluarganya oleh negara, jika pelaku tidak mampu

memberikan sepenuhnya restitusi yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi terdapat

keterkaitan antara pemberian restitusi dengan kompensasi (R. Wiyono, 2006:88).

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dikaji, penulis dapat

mengambil kesimpulan sebagai berikut :

Page 57: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lvii

1. Pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi

manusia yang berat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban yakni:

a. Pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi

manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini

menurut analisa penulis, mempunyai beberapa kelebihan dalam

pengaturannya daripada Undang-Undang sebelumnya yang juga mengatur

tentang perlindungan hukum terhadap korban, yakni:

1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini sudah mengatur dengan

jelas tentang siapa yang berhak menerima bantuan hukum dengan

pemberian kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi yakni korban

pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui LPSK.

2) Lewat Undang-Undang ini, korban pelanggaran hak asasi manusia

yang berat dapat mengajukan kompensasi, restitusi maupun bantuan

rehabilitasi dengan cara-cara atau prosedur yang telah diatur dengan

jelas dalam Undang-Undang ini.

b. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, pengaturan

perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia

yang berat terbagi dalam dua pengaturan yakni:

1) Pengaturan Tata Cara Pemberian Perlindungan

Pengaturan tata cara pemberian perlindungan kepada korban

pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini

diatur dalam pasal 29, pasal 30, pasal 31 dan pasal 32.

2) Pengaturan Tata Cara Pemberian Bantuan

Pengaturan tata cara pemberian bantuan terhadap korban dalam

pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang

57

Page 58: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lviii

nomor 13 tahun 2006 diatur dalam beberapa pasal yakni pasal 33 dan

pasal 36.

2. Bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi

manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban yaitu:

a. Dalam pasal 5 ayat (1) mengatur beberapa hak dan perlindungan yang

diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yakni

meliputi:

n. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya,

o. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

p. Memberikan keterangan tanpa tekanan, q. Mendapat penerjemah r. Bebas dari pertanyaan yang menjerat s. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, t. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan u. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, v. Mendapatkan identitas baru, w. Mendapatkan tempat kediaman baru, x. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan

kebutuhan, y. Mendapatkan nasihat hukum, dan/atau z. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

i. Selain mendapatkan hak dan perlindungan hukum seperti pada pasal 5

ayat (1) tersebut, korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat

juga berhak untuk mendapatkan bentuk-bentuk hak dan perlindungan

hukum yang lain dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut

yakni:

1. Bantuan

Page 59: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lix

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, dalam pasal 6 disebutkan bahwa

bantuan terdiri atas:

a. Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial b. Bantuan Medis

i. Kompensasi

Pemberian kompensasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam pasal 7 ayat (1) huruf a.

ii. Restitusi

Pemberian restitusi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam pasal 7 ayat (1) huruf b.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan maka penulis merasa

perlu untuk memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya

dalam pasal 5 ayat (1) huruf j tersebut harus ditambah lagi pengaturan tentang

siapa atau lembaga mana yang berkewajiban menyediakan tempat kediaman

baru dan menanggung semua biaya tempat kediaman baru tersebut, tempat

kediaman baru di sini dimaksudkan adalah tempat tertentu yang bersifat

sementara dan dianggap aman bagi korban dan diberikan kepada korban

apabila keamanan korban sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga tidak ada

kerancuan dalam hal lembaga mana yang berwenang memberikan tempat

kediaman baru dan biaya bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang

Page 60: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lx

berat. Serta juga mengenai berapa lama korban pelanggaran hak asasi manusia

yang berat berhak tinggal ditempat kediaman baru tersebut harus ditambahkan

dalam Undang-Undang ini.

2. Dalam Undang-Undang ini juga harus diatur mengenai lembaga mana yang

berkewajiban khusus memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi

kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sehingga terdapat

kejelasan dalam pengaturan hukumnya mengenai instansi terkait mana yang

berkewajiban memberikan hak-hak dan perlindungan hukum terhadap korban

tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Buku :

A. Masyhur Effendi. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Bogor: Ghalia Indonesia.

Andrey Sujatmoko.2005.Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya.Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana.

Arif Gosita.2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : PT. Buana Ilmu Populer.

C. S.T Kansil.1989. Pengantar Imu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja Grafindo Utama.

E. Utrecht. 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru.

H. Iswanto. 2002. Restitusi Kepada Korban Mati atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana Bersyarat Pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan. Purwokerto: -.

Page 61: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lxi

Indriyanto Seno Adji. 2009. Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum. Jakarta:PT Kompas Media Nusantara.

Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi. Denpasar: Djambatan.

Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.

Majda El Muhtaj. 2008. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Mardjono Reksodiputro.1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana.

Jakarta:LKUI.

Mashood A. Baderin. 2007. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia & Hukum Islam. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

___________________. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

R. Wiyono. 2006. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.

Sri Hastuti Puspitasari. 2009. Bunga Rampai Pemikiran Hukum di Indonesia. Jogjakarta : FH UII Press.

St. Harum Pudjianto. 1999. Hak Asasi Manusia Kajian Filosofis dan Implementasinya Dalam Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Peraturan perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Page 62: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lxii

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Website :

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM. Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat. http://www.prakarsa-rakyat.org/download/HAM/Kampanye%20ELSAM%20RUU%20Perlindungan%20Saksi%202.pdf (23 Desember 2009, Pukul 23.00)

Tempo Interaktif. Komnas HAM: Lima Pelanggaran HAM Berat di Masa Soeharto. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/01/23/brk,20040123-16,id.html (28 September 2009, Pukul 11.00)

Tempo Interaktif. Pelanggaran HAM Pada Kasus Ahmadiyah. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,20070125-91968,id.html (28 September 2009, Pukul 11.00)

Jurnal

Agus Yulianto. 2009. “HAM Dalam Berbagai Perspektif”. Mediasi. Edisi 8, Volume 1, Maret 2009. Jakarta : Direktorat Informasi HAM Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

I Made Subamia. 2009. “Hak Atas Informasi Sebagai Hak Asasi Manusia”. Mediasi. Edisi 8, Volume 1, Maret 2009. Jakarta : Direktorat Informasi

Page 63: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

lxiii

HAM Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Routledge. 2010. “Democracy in Africa Conference”. Volume 14.

Yosep Adi Prasetyo. 2009. “Ekonomisasi HAM”. Suar. Nomor 1 Tahun 2009. Jakarta:Unit Penerbit Komnas HAM.