perlindungan hukum terhadap anak korban perceraian

131
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri atau terpisah dari kelompok manusia lainnya. 1 Menurut Aristoteles seorang ahli pikir Yunani yang di terdapat dalam buku C.S.T Kansil menyatakan : “Manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk hidup pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesame manusia lainnya. Jadi mahluk yang suka bermasyarakat. Oleh karena itu sifatnya yang suka bergaul satu dengan yang lain, maka manusia disebut mahluk sosial” 2 Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai 1 Lili Rasjidin, Hukum Perkawinan dan perceraian di Malaysia dan di Indonesia . PT.Remaja Rosdakarya.Bandung.hlm.1 2 C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1989,hlm

Upload: hendry-bakri

Post on 04-Aug-2015

1.332 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri atau terpisah dari kelompok manusia lainnya.1 Menurut Aristoteles seorang ahli pikir Yunani yang di terdapat dalam buku C.S.T Kansil menyatakan : “Manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk hidup pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesame manusia lainnya. Jadi mahluk yang suka bermasyarakat. Oleh

TRANSCRIPT

Page 1: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia merupakan

mahluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri atau terpisah dari kelompok

manusia lainnya.1 Menurut Aristoteles seorang ahli pikir Yunani yang di terdapat

dalam buku C.S.T Kansil menyatakan :

“Manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk hidup pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesame manusia lainnya. Jadi mahluk yang suka bermasyarakat. Oleh karena itu sifatnya yang suka bergaul satu dengan yang lain, maka manusia disebut mahluk sosial”2

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak

yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian

disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya

sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.3 Karena setiap

manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka

prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi

sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam

1 Lili Rasjidin, Hukum Perkawinan dan perceraian di Malaysia dan di Indonesia. PT.Remaja Rosdakarya.Bandung.hlm.12 C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1989,hlm3 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.

Page 2: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai

tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya,

muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi

sosial tersebut.

Berdasarkan pada teori kontrak sosial,4 untuk memenuhi hak-hak tiap

manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual,

tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang

apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang

bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian

yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam

bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of

the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan

kebijakan negara.

Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa

yang menyendiri, namun manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan

dari masyarakat karena manusia semenjak lahir, hidup berkembang dan

meninggal dunia selalu didalam lingkungan masyarakat, karena hidup bersama

merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang manusia, dan hanya manusia-

manusia yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu mengasingkan

4 Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 517 – 596.

2

Page 3: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

diri dari orang-orang lainnya. Dalam bentuknya yang terkecil hidup bersama itu

dimulai dengan adanya keluarga.

Sudah merupakan kodrat manusia untuk hidup berdampingan sesama

manusia dan berusaha untuk meneruskan keturunan dengan cara

melangsungkan perkawinan. Perkawinan adalah tempat bagi manusia untuk

mengabdikan diri satu dengan yang lain dan saling menghormati perasaan serta

merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar masyarakat dan

negara. Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, perlu

adanya landasan yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat yang

adil dan makmur. Dalam hal ini, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa

Peraturan dan Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan terutama

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi

semua warga Negara. Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

disebutkan :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Tujuan suatu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga.

Keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai

mahluk sosial dan merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari

seorang ayah, ibu, dan anak.5 5 Pasal 1 (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak. (Selanjutnya disebut UU. Perlindungan Anak).

3

Page 4: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam

dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak sebagai

penerus keturunan yang terlahir dari perkawinan yang sah mempunyai

kedudukan anak yang sah. Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi

perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya

dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang

tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-

kebijakannya dalam mengayomi anak.

Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu

dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan hak-haknya yakni hak untuk hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan,

anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu,

anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan

tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.6

Ada berbagai cara pandang dalam menyikapi dan memperlakukan anak

yang terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin dihargainya hak-

hak anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 B menyatakan bahwa:

6 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 30-1.

4

Page 5: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

1. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah.

2. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November

1990 bertempat di New York menyelenggarakan Convention on the Rights of the

Childs (CRC), di antara hasil-hasilnya menyatakan bahwa Anak adalah setiap

orang di bawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku

terhadap anak kedewasaan telah diperoleh sebelumnya.7

Adanya tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan anak,

menunjukkan bahwa anak sebagai sosok manusia dengan kelengkapan-

kelengkapan dasar dalam dirinya baru mulai mencapai kematangan hidup

melalui beberapa proses seiring dengan pertambahan usianya. Oleh karena itu

anak memerlukan bantuan, bimbingan dan pengarahan dari orang tua. Akan

tetapi fenomena kelalaian dan penelantaran anak merupakan permasalahan

yang sering terjadi dalam masyarakat, sebaliknya juga perebutan anak antara

orang tua yang bercerai sering terjadi seakan-akan anak adalah harta benda

yang dapat dibagi-bagi, dan setelah dibagi seolah putuslah ikatan orang tua yang

tidak mendapatkan hak asuhnya. Walaupun sebenarnya masalah kedudukan

anak dan kewajiban orang tua terhadap anak ini telah diatur dalam berbagai

peraturan perundang-undangan.

7 Pasal 1 Convention on the Rights of the Childs.

5

Page 6: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Anak sah sebagaimana yang disebut dalam Pasal 42 Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah :

“Anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Didasarkan ketentuan tersebut, terkandung 2 (dua) pengertian yaitu :

1. Anak yang dilahirkan “dalam perkawinan”, maksudnya anak tersebut

lahir setelah dilangsungkan perkawinan. Dalam hal ini terdapat 2

(dua) kemungkinan, yaitu :

a. Setelah perkawinan dilangsungkan isteri baru hamil

kemudian baru melahirkan anak.

b. Sebelum perkawinan isteri sudah hamil lebih dahulu,sesudah

itu dilangsungkan perkawinan.

2. Anak yang dilahirkan “akibat perkawinan”. Dalam hal ini isteri hamil

setelah perkawinan, kemudian terjadi perceraian atau kematian

suami setelah terjadi peristiwa itu isteri baru melahirkan anak.

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam, atau sebagai akibat

dari, perkawinan yang sah atau hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar

rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut, sedangkan anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga

ibunya.

Asal-usul seorang anak hanya bisa dibuktikan dengan Akta kelahiran

autentik oleh pejabat yang berwenang, jika akta autentik tidak ada maka asal-

usul anak ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan pembuktian yang memenuhi

6

Page 7: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

syarat untuk kemudian dibuatkan akte kelahiran pada instansi pencatat

kelahiran.8

Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri (dewasa) adalah 21 tahun,

sepanjang ia tidak cacat fisik atau pun mental atau belum kawin. Orang tua

mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar

pengadilan. Apabila kedua orang tua anak tidak mampu, Pengadilan dapat

menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban

orang tuanya.9

Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak

kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah

dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga

karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan

pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang

bertanggungjawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling dekat dengan

anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan

anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya.

Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak

kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi

anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Seorang ayah

yang mampu akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal

8 Pasal 55 UU. Perkawinan; Pasal 103 KHI 9 Pasal 98 KHI.

7

Page 8: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

anaknya sedang membutuhkan, dapat dipaksa oleh hakim atau dipenjarakan

sampai ia bersedia menunaikan kewajibannya. Seorang ayah yang menunggak

nafkah anaknya tetapi ternyata anaknya tidak sedang membutuhkan nafkah dari

ayahnya maka hak nafkahnya gugur, karena si anak dalam memenuhi

kebutuhan selama ayahnya menunggak tidak sampai berhutang karena ia

mampu membiayai diri sendiri, akan tetapi jika anak tidak mempunyai dana

sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhannya ia harus berhutang maka si

ayah dianggap berhutang nafkah yang belum dibayarkan kepada anaknya.10

Di sisi lain, si anak wajib menghormati orang tuanya dan wajib mentaati

kehendak dan keinginan yang baik orang tuanya, dan jika anak sudah dewasa ia

mengemban kewajiban memelihara orang tua serta karib kerabatnya yang

memerlukan bantuan sesuai kemampuannya.11

Di antara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah,

seorang ayah berkewajiban untuk memberikan jaminan nafkah terhadap

anaknya, baik pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun

hubungan perkawinan orang tua si anak putus. Suatu perceraian tidak berakibat

hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-

anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.

Setelah terjadinya perceraian, Pengadilan memutuskan siapa di antara

ayah dan ibu yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan

10 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (cet-2, Kencana, Jakarta, 2004), hal. 157-63. 11 Pasal 46 UU. Perkawinan

8

Page 9: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

pemeliharaan dan pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai

hak asuh anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan

paling layak untuk menjalankan hak asuh.

Sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa harta, dalam

sengketa harta putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah,

tetapi putusan hak asuh sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah

dengan anak yang disengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh

dipertajam ketika sudah diputuskan oleh Pengadilan.

Perceraian yang dilakukan oleh seorang suami dan istri menimbulkan

akibat terhadap anak-anaknya baik secara moril maupun materiil. Secara moril

bahwa anak-anaknya tersebut menanggung konsekuensi bahwa kedua orang

tuanya tidak bersama lagi dalam suatu rumah tangga dan otomatis perhatian dan

kasih sayang yang tercurah pada anak tidak seperti saat berkumpul dulu. Secara

materiil ialah Diberikan nafkah, yang menjadi hak seorang anak yang didapat

dari kedua orang tuanya. Perceraian akan menimbulkan akibat-akibat hukum

yang begitu banyak dan rumit, baik itu mengenai hak asuh anak yang masih

minderjarig, warisan, pembagian harta gono-gini dan sebagainya, tetapi dalam

skripsi ini, penulis lebih menyoroti tentang hak asuh anak yang masih

minderjarig, yang dimaksud minderjarig itu sendiri adalah anak-anak yang masih

kecil atau dibawah umur, karena anak merupakan masa depan bangsa.

Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada

bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan

9

Page 10: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

sesuatu kewajiban bagi bekas isteri maupun anak. Sebagai ibu atau bapak

mereka tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dan jika ada

perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan

semata-mata mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang bapak

bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang

diperlukan anak dan jika bapak ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya

pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya.12

Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya

orang tua juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk

mendapatkan penghidupan yang layak meliputi sandang, pangan, pendidikan

dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi) yang harus dipenuhi orang

tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah terjadi

perceraian.

Perlindungan anak dalam fungsi keagamaan, didasari oleh pemikiran

kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan-perubahan sehingga

harus mampu menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang timbul dari perubahan-

perubahan tetapi tetap dalam koridor keyakinan agama yang dianut. Hal ini juga

terjadi pada keluarga dalam mengasuh anak anaknya. Mempunyai anak berarti

memikul tanggung jawab yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan

anak sejak dalam kandungan hingga dewasa nanti. Orang tua atau keluarga

diharapkan memahami pentingnya penanaman kesadaran terhadap Tuhan Yang

12 Pasal 41 UU. Perkawinan 40

10

Page 11: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Maha Esa serta pendidikan nilai-nilai moral sejak dini. Diharapkan terjadi

perubahan sikap dan perilaku seluruh anggota keluarga menadi insan-insan

yang mempunyai kepribadian yang matang dan budi pekerti yang baik, penuh

rasa cinta kasih, saling menghargai dan menghormati, taat serta mampu

menciptakan suasana harmonis dalam keluarga dan masyarakat serta bangsa.

Banyak anak yang tidak berkembang potensinya karena orang tua tidak

peka terhadap kebutuhan perkembangan anak. Anak-anak yang memiliki

kebutuhan dan perlindungan khusus perlu pendidikan khusus. Banyak anak yang

mengalami ketunaan hanya dididik untuk mengemis atau memiliki keterampilan

minimal seperti membuat sapu atau keset. Anak yang mengalami ketunaan

masih memiliki potensi yang tinggi paling tidak untuk menolong dirinya sendiri

menjalani kehidupan. Penguasaan keterampilan hidup seharusnya menjadi

perhatian orang tua dalam mendidik anak. Orang tua harus sadar tidak selama

mereka ada disamping anaknya dan tidak mungkin orang tua memantau anak

selama 24 jam, Anak harus diberi kesempatan belajar untuk menjadi dirinya

sendiri. Anak-anak terjebak menjadi anak konflik hukum atau terpaksa masuk

dalam sistem peradilan pidana karena dianggap melanggar hukum. Tindakan

yang dilakukan anak-anak saat ini berentang dari tindakan yang tergolong pada

pelanggaran lalu lintas, kejahatan kecil, kejahatan dengan alat, kejahatan susila,

hingga kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain. Anak-anak terpaksa

menjadi anak konflik hukum karena tidak memperoleh dasar pendidikan agama

yang cukup, tidak diajarkan dan diberi contoh yang baik bagaimana berperilaku

11

Page 12: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

berdasarkan norma malah ada orang tua yang mengajari dan melibatkan

anaknya untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Fenomena kelalaian dan penelantaran anak merupakan permasalahan

yang sering terjadi dalam masyarakat, sebaliknya juga perebutan anak antara

orang tua sering terjadi seakan-akan anak adalah harta benda yang dapat

dibagi-bagi, dan setelah dibagi seolah putuslah ikatan orang tua yang tidak

mendapatkan hak asuhnya. Namun nafkah anak seringkali dilalaikan ayah yang

tidak mendapat hak asuh setelah terjadinya perceraian, sebenarnya nafkah anak

yang dilalaikan dapat dimintakan eksekusi oleh ibu atau anak. Jenis eksekusi

nafkah anak adalah eksekusi dengan membayar sejumlah uang yang dimulai

dari permohonan, aanmaning, sita eksekusi, dan diakhiri dengan lelang. Bahkan

Seorang PNS pria yang bercerai sudah tidak berhak penuh atas gajinya, di situ

ada hak isteri dan anak, hak PNS hanya 1/3 dari gajinya jika ia punya anak dan

ikut isteri atau ½ jika tidak memiliki anak.

Di dalam setiap peristiwa perceraian, apapun alasannya, merupakan

malapetaka bagi anak, anak tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang

tua secara bersamaan yang sangat penting bagi pertumbuhan mentalnya, tidak

jarang pecahnya rumah tangga mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak.

Walaupun sebenarnya masalah perlindungan terhadap anak dan kewajiban

orang tua terhadap anak ini telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-

undangan. Oleh karena itulah, maka penulis tertarik untuk menganngkat judul:

“Perlindungan Hukum terhadap Anak Pasca Kedua Orang Tua Bercerai ”

12

Page 13: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi

permasalahan sebagai berikut: Bagaimana perlindungan anak setelah kedua

orang tuanya bercerai dikaitkan dengan hak asasi manusia?

C. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi Tujuan

Penelitian adalah:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis perlindungan anak setelah kedua

orang tuanya bercerai dikaitkan dengan hak asasi manusia.

2. Sebagai salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan studi pada

Fakultas Hukum Universitas Pattimura di Ambon.

D. Kegunaan Penulisan

1. Mengetahui perlindungan anak setelah kedua orang tuanya bercerai

dikaitkan dengan hak asasi manusia.

2. Memperdalam pengetahuan tentang kedudukan anak setelah kedua

orang tuanya bercerai dikaitkan dengan hak asasi manusia.

E. Kerangka Teoritis

13

Page 14: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (selanjutnya disingkat UU. Perkawinan), perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk

menurut undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain

dalam masyarakat. Antara seorang pria dan seorang wanita, artinya dalam suatu

masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita

saja. Seorang pria artinya seorang yang berjenis kelamin pria, sedangkan

seorang wanita artinya seorang yang berjenis kelamin wanita, jenis kelamin ini

adalah kodrat karunia Tuhan, bukan bentukan manusia. suami istri adalah fungsi

masing-masing pihak sebagai akibat dari ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir

batin berarti tidak ada pula ada fungsi sebagai suami istri.13

Perceraian merupakan salah satu peristiwa yang dapat terjadi dalam

suatu perkawinan, perceraian adalah penghapusan perkawinan.14 Anak yang

berada di bawah perwalian, adalah:

a. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya

sebagai orang tua.

b. Anak sah yang orang tuanya telah bercerai.

c. Anak yang lahir di luar perkawinan (naturlijk kind).

13 Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti-Bandung, 2000, hlm.135. 14 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet.XXVI, Jakarta-Internusa, 1994, h.42.

14

Page 15: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Suami istri boleh melakukan perceraian apabila perkawinan mereka

sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian adalah salah satu cara

pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan hakim

yang didaftarkannya pada Catatan Sipil15, di sini yang dimaksud adalah

perceraian yang dilakukan oleh suami atau istri yang beragama non muslim.

Menurut Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang No 1 Tahun 1974 (selanjutnya disingkat PP No 9 Tahun 1975)

Pasal 19 menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-

alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

15 Ibid.

15

Page 16: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

g. Perlindungan hukum

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian ini adalah Penelitian dengan Metode Yuridis

Normatif yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah buku-buku

atau bahan-bahan maupun karya-karya ilmiah lainnya seperti hasil seminar,

simposium atau karya ilmiah yang tersaji dalam artikel, serta menelaah

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hak cipta yang dikenal dengan Studi

Kepustakaan.

Berdasarkan pendekatan metode penelitian di atas maka dalam penulisan

menggunakan sumber data yaitu data yang diperoleh dari penelitian

kepustakaan yang terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

seperti Peraturan Perundang-Undangan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan

16

Page 17: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Undang-Undang, hasil penelitian hukum, hasil karya ilmiah dari

pakar hukum.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia,

kamus Inggris-Indonesia.16

2. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam rangka penulisan ini, penulis memperoleh bahan hukum di

lapangan yang digunakan dengan cara pengumpulan bahan hukum,

menyimpulkan :

a. Teknik wawancara, dilakukan secara terstruktur dalam bentuk

tanya jawab secara langsung. Wawancara ini dimaksudkan untuk

memperjelas informasi.

b. Bahan Hukum Kepustakaan, dengan cara membaca,

menghimpun, mempelajari, dan menganalisa bahan pustaka yang

mendukung dan relevan dengan materi yang dibahas dalam tulisan

ini, seperti hasil-hasil penelitian dan pendapat para pakar, dan

untuk memperjelas bahan hukum, dilakukan pengumpulan

informasi pada masalah tersebut.

16 Ibid, hal 116.

17

Page 18: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

3. Analisa Bahan Hukum

Bahan hukum yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan teknik

analisis kualitatif, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan hasil temuan di

lapangan berdasarkan alat pengumpulan data yang ada baik wawancara

maupun kepustakaan.

4. Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Teknik pengolahan bahan hukum yang digunakan penulis dengan

mengedit bahan hukum yang sudah diperoleh, diperiksa kembali mengenai

kelengkapan, kejelasan, konsistensi, informasi, dan relevansinya bagi

penyelesaian tulisan ini.

G. Sistimatika Penulisan

Sesuai dengan aturan baku penulisan karya ilmiah dan untuk

memberikan gambaran secara menyeluruh, maka penulis menyiapkan suatu

sistematika dalam penulisan Skripsi ini sebagai berikut:

Penulisan hasil penelitian Skripsi ini secara garis besar disusun

secara sistematis yang terbagi dalam 4 (empat) bab. Bab I Menguraikan

Pendahuluan, akan dikemukakan beberapa hal mendasar sebagai bahan

18

Page 19: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

kajian, yang meliputi antara lain Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan

Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Kerangka Teoritis, dan

Sistematika Penulisan.

Bab II menjabarkan tentang Tinjauan Pustaka yang ada kaitannya

dengan judul penelitian ini yaitu Pengertian Perkawinan, Putusnya

Perkawinan, Akibat Putusnya Perkawinan, Akibat Perceraian Terhadap

Anak, .

Pada BAB III merupakan Hasil Dan Pembahasan yang berisi .Cara

menentukan hak perwalian bagi anak, apabila terjadi perceraian; Hak dan

kewajiban orang tua serta kekuasaannya Terhadap Anak; dan Kedudukan

anak setelah orang tuanya bercerai dikaitkan dengan hak asasi manusia.

Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Daftar Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perkawinan

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa Perkawinan ialah

ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

19

Page 20: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi menurut Undang-

Undang Perkawinan barulah ada perkawinan apabila dilakukan antara seorang

pria dan seorang wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan

(Verbindtenis).17 Tentulah tidak dinamakan perkawinan apabila yang terikat

dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua) orang wanita saja.

Demikian juga tidaklah merupakan perkawinan bila dilakukan antara banyak pria

dan banyak wanita. Dan tentulah juga mungkin tidak merupakan perkawinan

kalau sekiranya ikatan lahir batin itu tidak bahagia, atau perkawinan itu tidak

kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Wirjono

Prodjodikoro, peraturan yang digunkan untuk mengatur perkawinan inilah yang

menimbulkan pengertian perkawinan.18

Pasal 26 KUH Perdata menyimpulkan, bahwa undang-undang hanya

memandang perkawinan dalam hubungan-hubungan perdata. Hal yang sama,

juga dapat dilihat dalam Pasal 1 HOCI (Huwelijks Ordonnantie Christen

Indonesiers), yang menetapkan bahwa tentang perkawinan undang-undang

hanya memperhatikan hubungan perdata saja.19 Undang-undang hanya

mengenal perkawinan perdata yaitu perkawinan yang dilakukan dihadapan

seorang Pegawai Catatan Sipil.20 Beberapa sarjana memberikan pengertian

perkawinan sebagai berikut :

17 Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 7.18 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1974, hal. 7.19 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1997, hal. 8.20 H. F.A. Voolmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 50.

20

Page 21: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

1. Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki

dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang

termasuk dalam peraturan tersebut.21

2. Perkawinan adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan di

dalam hukum keluarga.22

3. Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan untuk waktu lama.23

Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan

adanya pertentangan yang sungguhsungguh antara pendapat yang satu dengan

yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus,

mengenai banyaknya jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam

pengertian perkawinan. Dengan melihat pendapat para sarjana tersebut di atas,

maka dapat dipahami bahwa para ahli memandang perkawinan itu merupakan

perjanjian untuk membentuk rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.24

Ali Afandi berpendapat perjanjian yang ada dalam perkawinan tidaklah

sama dengan perjanjian dalam Buku III KUHPerdata, karena antara perjanjian

pada umumnya dengan perkawinan terdapat beberapa perbedaan, yaitu :

21 Wirjono Prodjodikoto, Op. Cit, hal. 7.22 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 98.23 R. Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1976, hal. 23.24 Mulyadi, Op. Cit, hal. 9.

21

Page 22: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

1. Perjanjian pada umumnya hanya mengikat kedua belah pihak,

sedangkan di dalam perkawinan mengikat semua pihak.

2. Perjanjian pada umumnya dapat dilakukan oleh setiap orang,

sedangkan perkawinan hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-

laki dengan seorang perempuan.

3. Perjanjian pada umumnya dapat dilakukan oleh kedua belah pihak,

sedangkan perkawinan harus dilakukan oleh pemerintah.

4. Perjanjian pada umumnya mengatur segala hal yang disepakati

oleh kedua belah pihak, sedangkan perkawinan akibatnya diatur

oleh undang-undang.

5. Hak-hak yang timbul dari perjanjian pada umumnya dapat

dilimpahkan kepada orang lain, sedangkan hal-hal yang demikian

dalam perkawinan tidak mungkin dilakukan.

6. Perjanjian pada umumnya bukan merupakan hal yang mutlak,

sedangkan di dalam perkawinan bentuklah yang paling utama. 25

Perjanjian dalam perkawinan mempunyai atau mengandung 3 (tiga)

karakter yang khusus, yaitu :

a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur suka rela dari kedua

belah pihak.

b. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat

persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk

25 Ali Afandi, Op. Cit, hal. 83.

22

Page 23: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang

sudah ada hukum-hukumnya.

c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai

hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Persetujuan perkawinan itu pada dasarnya tidaklah sama dengan

persetujuan-persetujuan yang lainnya, misalnya persetujuan jual beli, sewa-

menyewa, tukar menukar. Menurut Wirjono Projodikoro, perbedaan antara

persetujuan perkawinan dan persetujuan-persetujuan yang lainnya adalah :

”Dalam persetujuan biasa para pihak pada pokoknya. Penuh merdeka untuk menentukan isi dari persetujuan itu sesuka hatinya, dengan ketentuan bahwa persetujuan itu tidak bertentangan dengan UndangUndang kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu perkawinan sudah sejak semula ditentukan oleh hukum, isi dari persetujuan antara suami istri itu”26

Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk

melakukan perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat

pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hal-hal

masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan

mengenai kedudukannya dalam masyarakat dan anak-anak keturunannya. Juga

dalam menghentikan perkawinan, suami dan istri tidak leluasa penuh untuk

menentukan sendiri syarat-syarat untuk penceraian itu, melainkan terikat juga

pada peraturan hukum perihal itu. Menurut Undang-Undang Perkawinan asas

26 Mohammad Idris Ramulyo, 1999, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 17.

23

Page 24: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

yang dianut adalah asas monogami sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 ayat

(1) yang berbunyi sebagai berikut :

”Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.

Kaidah Pasal 3 ayat (1) tersebut terdapat kemiripan dengan bunyi Pasal

27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :

”Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya”.27

Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum

sebagai berikut :

1. Timbulnya hubungan antara suami-istri.

2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan.

3. Timbulnyan hubungan antara orang tua dan anak.

Akibat perkawinan terhadap suami isteri menimbulkan hak dan kewajiban

antara suami isteri. Hak dan kewajiban antara suami isteri diatur dalam Pasal 30

sampai dengan Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1979, yang menetapkan sebagai

berikut :

1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan

rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

27 Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hlm.33.

24

Page 25: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam

pergaulan masyarakat.

3. Suami-isteri berhak melakukan perbuatan hukum.

4. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.

Disamping itu suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan

hidup berumah tangga dengan kemampuannya dan isteri wajib

mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.

5. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir batin satu kepada yang lain;

6. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan

tempat kediaman tesebut ditentukan oleh suami isteri bersama.

Selanjutnya apabila suami atau isteri melalaikan kewajiban, maka masing-

masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Sedangkan akibat

perkawinan yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, diatur dalam

Pasal 35 sampai Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan sebagai

berikut :

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,

sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah

penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami-isteri.

Apabila ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami isteri tersebut

25

Page 26: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

menjadi harta bersama. Untuk menentukan agar harta bawaan suami dan isteri

menjadi harta bersama, maka suami dan isteri tersebut harus membuat

perjanjian kawin. Perjanjian kawin harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan

dilangsungkan; Perjanjian kawin adalah perjanjian perjanjian yang dibuat calon

suami dan isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta

kekayaan mereka.

Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yang

menetapkan :

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak

atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang

disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya

berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-

batas hukum agama dan kesusilaan.

c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan

d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat

dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk

merubah dan Perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-

masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan

26

Page 27: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

hukum hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai

harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik

menurut Riduan Syahrani adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat, dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing . Menurut penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974,

yaitu hukum agama (kaidah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Selanjutnya akibat perkawinan terhadap anak yang lahir dalam perkawinan

menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.

a. Keadaan orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-

baiknya, sampai anak itu kawin atau kawin atau dapat berdiri sendiri-

sendiri. Selanjutnya kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan

kedua orang tua putus; Dalam praktek, apabila perkawinan putus karena

perceraian atau karena atas putusan Pengadilan, maka atas permohonan

dari pihak suami atau isteri, Pengadilan akan menyerahkan anak-anak

tersebut kepada suami atau isteri yang benar-benar beriktikad baik, untuk

dipelihara dan dididik secara baik;

b. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin,

berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut

dari kekuasaannya;

27

Page 28: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

c. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum

baik di dalam dan di luar Pengadilan;

d. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut

kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, untuk waktu tertentu

atas permintaan orang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan

saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.

Kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan alasan, ia sangat melalaikan

kewajibannya terhadap anaknya atau ia berkelakuan buruk sekali. Meskipun

tetap berkewajiban memberi biaya pemeliharaan anak mereka. Apabila No. 1

sampai dengan No. 5 di atas diperhatikan secara seksama, maka sebenarnya

No. 1 sampai dengan No. 5 tersebut merupakan kewajiban orang tua kepada

anak mereka.

Menurut penulis, yaitu apa yang menjadi kewajiban orang tua itu

merupakan hak dari anaknya. Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak

terhadap orang tuanya saja, akan tetapi anak juga mempunyai kewajiban

terhadap orang tuanya. Kewajiban tersebut, yaitu :

a. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka

yang baik;

b. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,

orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka

memerlukan bantuannya.

28

Page 29: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Menurut penulis, apa yang menjadi kewajiban anak terhadap orang

tuanya itu, merupakan hak dari orang tuanya. Kedudukan anak menurut UU No.

1 Tahun 1974 diatur dalam dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Dari ini

Pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 membedakan

antara anak sah dengan anak luar kawin Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan

dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian anak yang

dilahirkan di luar perkawinan yang sah disebut anak luar kawin. Anak yang

dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya, keluarga ibunya.

Kemudian meskipun anak itu dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah, namun bilamana suami dapat membuktikan, bahwa

isterinya telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan, maka suami dapat

menyangkal keabsahan anak tersebut. Penyangkalan keabsahan seorang anak

harus diajukan kepada Pengadilan. Kemudian pengadilan memberikan

keputusan tentang sah dan tidaknya anak, atas permintaan pihak yang

berkepentingan.

Apabila kita lihat isi Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Surat

Edaran Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb.0807, tentang

Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No. 1 Tahun

1974 dapat diketahui, bahwa Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 tersebut belum

dapat diperlakukan secara efektif. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974:

29

Page 30: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:

4. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

5. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:

1. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya. Bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.

2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Dengan demikian untuk kedudukan anak, dengan sendirinya masih

diperlakukan ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan lama, yaitu Hukum

Agama (Keadaan Agama), Hukum Adat dan KUHPerdata (Pasal 66 UU No. 1

Tahun 1974). Suatu perkawinan dapat putus dikarenakan beberapa sebab

berikut :

a. Kematian salah satu pihak

b. Perceraian baik atas tuntutan suami maupun istri

c. Karena putusan pengadilan.

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak. Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian itu harus

30

Page 31: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

dilakukan di depan pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka

yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan,

bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Namun ketentuan ini

lebih banyak mendatangkan kebaikan, maka sudah sepantasnya apabila orang

Islam wajib mengikuti ketentuan ini.28

Untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami istri

itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Perceraian dapat terjadi karena

alasan-alasan sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi yang sulit

untuk disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami istri.

e. Salah satu pernah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lainnya.

f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

28 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hal. 128.

31

Page 32: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, gugatan perceraian diajukan kepada

pengadilan, sedangkan tata cara mengajukan gugatan diatur dengan Pasal 14

dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, yang bunyinya sebagai

berikut : Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama

Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan

ditempat tinggalnya yang sesuai pemberitahuan bahwa ia bermaksud

menceraikan istrinya dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan

agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi :

(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal keduanya suami istri, suami atau istri.

(2) Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilaksanakan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.

(3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan, pembatalan perkawinan tuntutan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah.

Beberapa sengketa perkawinan serta sahnya perceraian hanya dapat

dibuktikan dengan keputusan pengadilan Agama untuk orang-orang Islam

dan Pengadilan Negeri untuk orang-orang non Islam. Akibat dari putusnya

perkawinan karena perceraian baik bagi pihak suami maupun istri tetap

berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi

kepentingan anak.

32

Page 33: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Adapun akibat perceraian terhadap anak-anak yang masih di bawah umur

ada dua bentuk yaitu:

1. Menyangkut masalah perwalian.

2. Menyangkut masalah-masalah keuntungan yang ditetapkan menurut

Undang-Undang atau menurut Perjanjian kawin.

Menurut Undang-Undang Perceraian merupakan salah satu sebab

bubarnya perkawinan. Undang-Undang memberi kepastian bahwa

perkawinan bubar karena kematian, karena keadaan tidak hadir si suami atau

isteri, selama 10 tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau

suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima bab

delapan belas. Karena putusan hakim setelah perpisahan meja dan ranjang

dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam

Register Catatan Sipil. Ketentuan ini terdapat di dalam Pasal 189 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas terdapat tiga hal yang memerlukan

penjelasan lebih lanjut, yakni :

1. Tidak hadirnya salah satu pihak.

2. Putusan Hakim; dan

3. Perceraian.

B. Pengertian Anak

33

Page 34: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Dikatakan anak yaitu seorang yang dilahirkan antara seorang perempuan

dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seorang yang

dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap

dikatakan anak.

Anak merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan

penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia pembangunan

nasional. Anak adalah suatu aset bangsa, semakin baik kepribadian anak maka

semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa.

Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan

masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan. Bagi kebanyakan anak mereka

tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat

bahwa mereka bukan lagi anak-anak tetapi orang dewasa. Menurut Hurlock

(1980), manusia berkembang melalui beberapa tahapan yang berlangsung

secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu

dan bisa berlaku umum. Lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat

dilihat pada uraian berikut:

Masa pra-lahir : dimulai saat terjadinya konsepsi lahirMasa jabang bayi : 1 - 2 mingguMasa bayi : 2 minggu - 1 tahunMasa anak : 1 tahun -12 tahunMasa remaja : 13 - 21 tahunMasa dewasa : 21 - 41 tahunMasa tengah baya : 40 – 60 tahunMasa tua : 60- meninggal29

29 Aminah Aziz. Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan, 1998. Hal 5-6

34

Page 35: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam

bidang ilmu pengetahuan (the body of knowlegde). Tetapi dapat dilihat dari sisi

pandang sentralistis kehidupan, misalnya: agama, hukum, dan sosiologi

menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan

sosial.

a. Pengertian Anak dari Aspek Sosiologis

Aspek sosiologis pengertian anak itu menunjukan bahwa anak sebagai

makhluk sosial ciptaan Tuhan, yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan

masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan sebagai

kelompok sosial paling kecil di masyarakat.

Arti anak dari aspek sosial ini mengarahkan pada perlindungan kodrati

karena keterbatasan yang dimiliki oleh anak sebagai wujud untuk berinterkasi

dengan orang dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak

berada pada proses pertumbuhan, proses belajar, dan proses sosialisasi dari

akibat usia yang belum dewasa: disebabkan kemampuan daya nalar (akal) dan

kondisi fisik dalam pertumbuhan atau mental spritual yang berada di bawah

kelompok usia orang dewasa.30

b. Pengertian Anak dari Aspek Ekonomi

30 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Grasindo. Jakarta. 2000. Hal 5

35

Page 36: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Dari aspek ekonomi, status anak sering dikelompokan pada golongan

yang non produktif. Jika terdapat kemampuan ekonomi yang persuasif dalam

kelompok anak, kemampuan tersebut dikarenakan anak mengalami transformasi

finansial yang disebabkan dari terjadinya interaksi dalam lingkungan keluarga

yang berdasarkan nilai kemanusiaan.

Kenyataan-kenyataan dalam masyarakat sering memproses anak-anak

melakukan kegiatan ekonomi atau kegiatan produktivitas yang dapat

menghasilkan nilai-nilai ekonomi.

Kelompok pengertian anak dalam bidang ekonomi, mengarah pada

konsepsi kesejahteraan anak yang ditetapkan oleh Undang-undang No. 4 Tahun

1979 tentang kesejahteraan anak adalah “hak asasi anak harus diusahakan

bersama.”31

c. Pengertian Anak dari Aspek Agama

Pandangan anak dari pengertian religius akan dibangun sesuai ajaran

agama, anak mendapat kedudukan istimewa . Anak adalah titipan Tuhan kepada

orang tua untuk di sayangi dan didik.

31 Ibid. Hal 13

36

Page 37: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

d. Pengertian Anak dari Aspek Hukum

Didalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak,

didalam hal ini adalah sebagai akibat dari tiap-tiap peraturan Perundang-

undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai pengertian anak itu

sendiri. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari

pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai

subjek hukum dan meliputi pengelompokan kedalam subsistem sebagai berikut:

1. Berdasarkan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tolak

ukur kapan seseorang dikatakan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat

dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang

yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya.

Pada pasal 7 ayat (1) undang-undang ini memuat batas minimum usia

untuk dapat kawin bagi pria 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam

belas) tahun.

Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma, menarik batas antara dewasa dan

belum dewasa sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Namun yang perlu

diperhatikan adalah anak harus dilindungi dan disayangi.32

32 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara

37

Page 38: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

2. Berdasarkan UU No 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak

Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak menyebutkan : “Anak adalah seseorang yang belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

3. Berdasarkan UU Pengadilan Anak

Anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang

berbunyi : “ anak adalah orang dalam perkara anal nakal yang telah mencapai

umur 8 tahun (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)

tahun dan belum pernah menikah.”

Didalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut:

Pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18

(delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin,

artinya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan

bercerai, apabila anak sedang terikat dalam hal perkawinan atau perkawinannya

putus karena perceraian oleh karena itu anak sudah dianggap dewasa walaupun

belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

4. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak

38

Page 39: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

senanantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan

hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

5. Berdasarkan Hukum Pidana dan Perdata

Pengertian anak didalam hukum pidana lebih diartikan pada pemahaman

terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki

subtansi yang lemah dan didalam sistem hukum dipandang sebagai subjek

hukum yang dikaitkan dari bentuk pertanggung jawaban sebagaimana layaknya

seorang subjek hukum yang normal.33

Pengertian anak dalam aspek hukum pidana ini menimbulkan aspek

hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk

membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan

anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik.

Pada hakekatnya, kedudukan status dari pengertian anak di dalam hukum

pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut:

a. Ketidak mampuan untuk bertanggung jawab tindak pidana.

b. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikann

mental spritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan

anak itu sendiri.

33 Darwin Prinst. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2003. Hal 2

39

Page 40: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

c. Pengembalian hak-hak dengan jalan mensubtitusikan hak anak

yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara, dengan

maksud untuk mensejahterahkan anak.

d. Hak untuk menerima pelayanan dan asuhan, serta hak dalam

proses hukum acara pidana.

Pengertian anak dalam hukum perdata diliat dari berbagai aspek

keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum yang tidak

mampu. Aspek tersebut meliputi: status belum dewasa sebagai subjek hukum

dan hak anak dalam hukum perdata. Pada pasal 339 KUHP Perdata

memberikan makna anak adalah orang yang belum dewasa yang belum

mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak kawin. Dalam ketentuan hukum

perdata anak mempunyai kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang

amat penting. Terutama dalam hal memberikan perlindungan terhadap hak

keperdataan anak, misalnya dalam masalah pembagian harta warisan, sehingga

anak yang berada dalam kandungan seoarang perempuan dianggap telah

dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendaki sebagaimana yang

dimaksudkan oleh pasal 2 KUH Perdata.

C. Pengertian Perlindungan Anak

Pada hakekatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai

macam ancaman mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh

40

Page 41: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

karena itu anak harus dibantu orang lain dalam melindungi diri mengingat situasi

dan kondisinya. Melindungi anak adalah melindungi manusia dan membangun

manusia seutuhnya. Perlindungan anak merupakan hal yang sangat penting

demi terciptanya kontiunitas negara, karena anak merupakan cikal bakal suatu

generasi manusia dalam pembangunan bangsa. Perlindungan anak adalah

suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan

hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif.34

Menurut Arif Gosita, perlindungan anak merupakan suatu hukum baik

yang tertulis maupun tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar dapat

melaksanakan hak dan kewajibannya. Barda Nawawi Arief mengartikan bahwa

istilah perlindungan anak adalah sebagai upaya perlindungan hukum terhadap

berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedom of

children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan

anak.35

Pengertian perlindungan anak dalam arti luas adalah semua usaha yang

melindungi anak melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi positif.

Setiap anak melaksanakan haknya, ini berarti dilindungi untuk memperoleh dan

mempertahankan haknya untuk hidup mempunyai kelangsungan hidup,

34 Romli Atmasasmita. Peradilan Anak di Indonesia. Mandar Maju. Bandung, 1997. Hal 16535 Aminah Aziz, Op Cit Hal 15

41

Page 42: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

bertumbuh kembang dan perlindungan pelaksanaan hak dan kewajibannya

sendiri dan dapat perlindungan.36

Dalam hukum perdata, perlindungan anak tidak hanya diberikan kepada

anak yang lahir saja, tetapi termasuk anak yang masih didalam kandungan

ibunya, bilamana kepentingan si anak mengendaki dan jika anak tersebut mati

sebelum dilahirkan maka anak dianggap tidak pernah ada, hal ini termuat dalam

pasal 2 KHUP Perdata. Dalam pasal 330 KHUP Perdata anak yang belum

dewasa atau belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin

perlindungannya berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali.

Selain diatur dalam pasal 330 KUHP Perdata perlindungan anak ini diatur

juga dalam pasal 345, 353, 365, dan 395 KUHP Perdata.37

Upaya perlindungan hukum bagi anak tidak hanya dengan menyiapkan

subtansi hukum (legal subtance), tetapi juga perlu dukungan oleh pemantapan

struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). Perlindungan

anak dalam hukum pidana terbagi dua yaitu: didalam KHUP dan diluar KHUP

perlindungan lagi atas perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana dan

perlindungan anak sebagai korban kejahatan.

36 Romli Atmasasmita, Op Cit. Hal 16737 Ibid. Hal 42

42

Page 43: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Perlindungan anak dalam KHUP diatur dalam pasal 283, 287,290, 292,

293, 294,295, 297, 314, 330, 332, 337, 342, 364, 347 (1) dan pasal 348 KHUP

yang kesemuanya berkaitan dengan delik kesusilaan.

Diluar KHUP banyak sekali mengatur perlindungan anak, antara lain

dapat dilihat dalam UU No. 12 Tahun 1948 jo. UU No.1 tahun 1951 tentang

Perlindungan Terhadap Pekerja Anak, Stb.1925 No 47 Tentang Pembatasan

Kerja Malam bagi Wanita, UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memaparkan sedikit bentuk

perlindungan di luar KHUP, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, karena penulis berpendapat bahwa UU ini sangat relevan dengan judul

tulisan ini.

UU No. 23 Tahun 2002 ini merupakan babak baru terhadap upaya

perlindungan anak. UU ini memberi peluang yang sebesar-besarnya kepada

pemerintah dan masyarakat untuk berperan memberi perlindungan terutama

perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Anak dari

kelompok minoritas, korban eksploitasi ekonomi dan seksual, anak korban

penyalah gunaan NAPZA, anak korban kekerasan fisik maupun mental, anak

penyandang cacat, serta anak yang mendapat perlakuan penelantaraan.

Menurut Nawawi perlindungan anak mencakup berbagai aspek antara lain:

43

Page 44: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

1. Perlindungan terhadap hak-hak anak dan kebebasan anak.

2. Perlindungan anak dalam proses pengadilan.

3. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial).

4. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi.

5. Perlindungan terhadap anak jalanan.

6. Perlindungan anak dari akibat peperangan/konflik.

7. Perlindungan anak terhadap tindak kekerasan.

8. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan.

Perlindungan anak dalam UU ini bertujuan menjamin terpenuhinya hak-

hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai harkat, martabat, dan kemanusiaan serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang

berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.38 Perlindungan anak dapat diartikan

sebagai upaya perlindungan terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak

serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

38 Aminah Aziz, Op Cit. Hal 41

44

Page 45: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak akan dapat terwujud

dengan melihat Undang-undang yang oleh pemerintah sebagai lembaga yang

berhak mengeluarkan UU bersama dengan DPR seperti UU No. 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, UU

No. 23 Tahun 2002 tetang Perlindungan Anak . Undang-undang yang tersebut di

atas mempunyai persamaan persepsi tentang kebijakan kelangsungan hidup,

tumbuh kembang, perlidungan dan peran serta anak yang didasarkan pada tiga

aspek utama Konvensi Anak yaitu: 

a. Kelangsungan hidup (survival),

b. Tumbuh Kembang (developmental) dan, 

c. Perlindungan (protection)

Hal tersebut di atas dikemukakan beberapa pengertian sebagai berikut: 

1. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan peghidupan

anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya

dengan wajar, baik secara rohaniah, jasmaniah maupun sosialnya.

2. Hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar yang seharusnya

diperoleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang

dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah, ekspoitasi dan

penelantaran terhadap anak, baik yang mencakup hak sipil, ekonom,

sosial dan budaya anak.

45

Page 46: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Perlindungan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk mencegah,

merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan

salah, ekspoitasi dan penelantaraan agar dapat menjamin kelangsungan hidup

dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya.

Hak-hak Anak Undang-undang No. 4 Tahun 1979, Bab II Pasal 2 sampai

dengan 9, mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, diperkuat dalam Undang-

undang Nomor 23/2002 dalam Bab III Pasal 4 sampai 18 sebagai berikut:

1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan. Anak

berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam

asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

Dimaksud dengan asuhan, adalah berbagai upaya yang dilakukan

kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak

terlantar dan anak yang mengalami masalah kelainan yang bersifat

sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat

tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani

maupun sosial (Pasal 1 angka 32 PP No. 2 Tahun 1988).

2. Hak atas pelayanan, Anak berhak atas pelayanan untuk

mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai

dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga

negara yang baik dan berguna. (Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 4

46

Page 47: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Tahun 1979). Hak atas pemeliharaan dan perlindungan Anak berhak

atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan

maupun sesudah dilahirkan (Pasal 2 ayat Undang-undang No. 4

Tahun 1979).

3. Hak atas perlindungan lingkungan hidup, Anak berhak atas

perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan

atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar

(Pasal 2 ayat 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1979).

4. Hak mendapat pertolongan pertama, Dalam keadaan yang

membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat

pertolongan dan bantuan dan penlindungan (Pasal 3 Undang-undang

No. 4 Tahun 1979).

5. Hak memperoleh asuhan, Anak yang tidak mempunyai orang tua

berhak memperoleh asuhan oleh negara, atau orang, atau badan lain

(Pasal 4 ayat 1 Undangundang No. 4 Tahun 1979). Dengan demikian

anak yang tidak mempunyai orang tua itu dapat tumbuh dan

berkembang secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosi

6. Hak memperoleh bantuan, Anak yang tidak mampu berhak

memperoleh bantuan, agar dalam lingkungan keluarganya dapat

tumbuh dan berkembang dengan wajar (Pasal 5 ayat 1 Undang-

undang No. 4 Tahun 1979). Menurut PP No. 2 Tahun 1988, bantuan

47

Page 48: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

itu bersifat tidak tetap dan diberikan dalam jangka waktu tertentu

kepada anak yang tidak mampu (Pasal 1 ayat 4).

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Orangtua Terhadap Hak Asuh Anak

Setelah Terjadinya Perceraian

Hak dan kewajiban orang tua setelah terjadi nya perceraian merupakan

peranan penting dan sangat berpengaruh untuk masa depan anak. Untuk itu

diperlukan lah peraturan-peraturan untuk hak asuh anak dibawah umur akibat

perceraian mengenai hak dan kewajibannya. Di Wilayah hukum memiliki

peraturan-peraturan untuk memutuskan suatu perkara mengenai hak dan

kewajiban apa saja yang harus di laksanakan oleh orang tua setelah perceraian.

Perlindungan yang harus diperoleh anak ialah masalah pendidikan, nafkah dan

hal – hal yang terkait pada Undang-undang perlindungan anak dari segi

perdatanya saja dari kedua orangtua yang telah bercerai

Pada Undang-undang  No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 26 ayat (1) ditegaskan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung

48

Page 49: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

jawab mengenai asuhan, pemeliharaan, dan melindungi anak serta menumbuh

kembangkan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

Kedua orang tua wajib memberikan hak dan kewajiban terhadap anak

dibawah umur sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan dengan menegaskan

kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,

sesuai kepentingan si anak dan bila ada perselisihan maka Pengadilan yang

memberikan keputusan.

Jika pihak ayah atau ibu tidak melaksanakan hak dan kewajibannnya

maka maka salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut melalui

pengadilan negeri. Pada Pasal 230b Kitab Undang-undang Hukum Perdata

berbunyi :

“Dalam penetapan termaksud dalam ayat ke satu pasal 229, Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah seperti teratur pula dalam ayat tersebut, dan setelah mendengar Dewan Perwalian, jika kiranya ada kekhawatiran, bahwa si bapak atau si ibu yang tidak di angkat menjadi wali, tidak akan memberikan tunjangan secukupnya guna pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang belum dewasa boleh memerintahkan pula kepada orang tua itu supaya untuk keperluan tersebut tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan atau triwulan memberikan sejumlah uang, yang ditentukan pula dalam penetapan, kepada Dewan Perwalian”

Sebuah gugatan perceraian tidak selalu diikuti dengan permohonan hak

pengasuhan anak. Dapat dilihat pada ketentuan Pasl 41 huruf a Undang-undang

No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa akibat putusnya

perkawinan karena perceraian adalah ibu atau bapak tetap berkewajiban

49

Page 50: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan

si anak. Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak , pengadilan

memberi keputusannya.

Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak dapat diartikan

secara hukum, bahwa permohonan hak asuh/penguasaan anak hanya ada

setelah perceraian dikabulkan oleh pengadilan dan memilki kekuatan hukum

yang tetap. Mengacu pada ketentuan Pasal 41 huruf a diatas, dapat dipahami

bahwa dalam kasus perceraian tidak harus diikuti dengan permohonan

penguasaan/hak pengasuhan anak. Sesungguhnya hak pengasuhan anak dan

perceraian adalah dua masalah hukum yang berbeda.

Jika dibedakan menjadi dua sisi antara perceraian dan hak asuh anak,

perceraian bisa terjadi karena alasan-alasan yang sudah di uraikan di bagian

sebelumnya. Sementara sebuah tuntutan akan hak asuh anak dilakukan karena

salah satu orang tua tersebut telah mengabaikan ketentuan tentang “ Hak dan

Kewajiban sebagai orang tua.” Kewajiban sebagai orangtua diatur dalam Pasal

49 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dalam

Pasal 26 ayat (1) Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Berikut adalah aturan hukum Indonesia.

1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.

2. Ia berlakuan buruk sekali.

3. Tidak bertanggung jawab untuk hal-hal dibawah ini;

50

Page 51: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

a. Mengasuh, memelihara,

mendidik, dan melindungi

anak.

b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,

dan minatnya.

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Penggabungan proses perceraian pemeliharaan anak dan perceraian

ialah untu menyederhanakan proses dan menghindarkan putusan yang saling

bertentangan. Praktik ini juga membuat proses peradilan menjadi lebih

sederhana, cepat, dan murah. Namun, pengadilan dalam menggabungkan

perkara antara perceraian dengan permohonan pengalihan penguasaan/hak

asuh anak dalam suatu gugatan, sepanjang dalam gugatannya, penggugat dapat

menguraikan sebab dan akibat antara kedua permasalahan tersebut, serta

dibuktikan berdasarkan fakta-fakta.

Dalam hal persengketaan hak pengasuhan anak, setelah putusnya

perkara salah satu pihak selalu ada yang tidak setuju dengan apa yang telah

diputuskan, sehingga demikian Pengadilan negeri masih bisa menerima dan

mempunyai wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut dengan adanya

mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tersebut. Bahwa masih mempunyai

wewenang untuk menyelesaikan perkara jika salah satu pihak ayah atau ibu

tidak menjalankan hak dan kewajibannya, sepanjang salah satu pihak yang

51

Page 52: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

merasa berkepentingan terhadap hak-hak anak mengajukan gugatan melalui

Pengadilan Negeri yang berhak mengadili.

Hak dan kewajiban terhadap hak asuh anak dibawah umur terkadang

tidak terlaksana sebagaimana yang telah diputuskan oleh majelis hakim. Setelah

terjadinya perceraian mayoritas dari pasangan suami isteri yang bercerai selalu

memepersengketakan masalah hak untuk mengasuh anak dibawah umur

dengan cara tidak efektif, padahal bentuk dari penyelesaian persengketaan itu

dapat dilakukan dengan cara lain yang lebih efektif.

Bentuk penyelesaian dari jika salah satu dari ayah atau ibu tidak

melakukan hak dan kewajibanya yaitu mediasi atau perdamaian diluar

pengadilan, jika mediasi tidak berhasil maka dilanjutkan ke pengadilan dan

majelis hakim akan memberikan keputusan berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan hukum dan kepatutan. Pasca perceraian, secara umum, anak

berhak mendapat:

1. Kasih sayang, meskipun orangtua sudah bercerai, anak harus tetap

mendapatkan kasih sayang dan anak berhak menentukan dengan siapa

dia akan tinggal. Setelah bercerai, banyak anak yang tidak mendapatkan

kasih sayang secara penuh akibat keegoisan dari orang tua itu sendiri.

Sehingga menumbuhkan rasa ketakutan dari anak tersebut terhadap

salah satu orang tua nya yang tidak memiliki kuasa secara penuh. Dalam

hal anak yang telah dewasa dapat menentukan pilihan kepada siapa ia

akan tinggal, namun pada anak yang belum dewasa dapat ditentukan oleh

52

Page 53: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Majelis hakim, pada putusan Perceraian kepada yang dianggap mampu

memelihara, mendidik anaknya hingga dewasa (anak tersebut dapat

menentukan kepada siapa ia akan tinggal selanjutnya).

2. Pendidikan, Memberikan pendidikan yang layak untuk anak tersebut,

seperti memasukan anak tersebut ke tempat pendidikan (sekolah),

memberikan pelajaran spiritual (agama), memberikan pelajaran tata

karma, etika dan moral si anak agar ank tersebut dapat bersosialisai

dengan baik terhadap lingkungan disekitarnya.

3. Perhatian kesehatan, Memberikan perlindungan kesehatan baik segi fisik

maupun non fisik, perlindungan segi fisik disini merupakan menjaga agar

anak tidak terkena penyakit atau menjaga kesehatan nya dengan

memberikan vitamin yang terjauhi dari penyakit.

4. Tempat tinggal yang layak, Memberikan tempat tinggal yang layak, yang

nyaman bagi anak sehingga anak dapat merasakan tempat tersebut

bukanlah suatu tempat yang berbeda dengan sebelumnya  meskipun

kedua orang tua nya telah bercerai. Diperlukannya kerja sama yang baik

dari kedua orang tua, karena dari tempat tinggal yang berbeda akan lebih

mempengaruhi pemkiran anak, dikarenakan si anak tinggal hanya dengan

salah satu orang tuanya dan mungkin di tempat yang berbeda dan

suasana yang berbeda.

53

Page 54: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Keempat unsur dasar di atas harus dipenuhi oleh orangtua terhadap anak,

jika mereka bercerai. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula, jika ada orangtuanya

bercerai, maka salah satu pihak tidak memenuhi hak-hak anak, sehingga hak-

hak anak tersebut terabaikan. Untuk kondisi seperti ini, sang orangtua bisa saja

mendapat sanksi sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditetapkan pada saat

proses perceraian dilakukan. Namun, tidak sedikit pula keluarga yang

menyelesaikan sengketa perceraian mereka dengan cara damai dan

kekeluargaan.

Walaupun demikian, penyelesaian secara kekeluargaan ini masih memiliki

satu kelemahan, yakni dalam hal monitoring atau pengawasan. Setelah dibuat

kesepakatan, bisa saja salah satu dari pasangan orangtua yang sudah bercerai

ini tidak menjalankan kesepakatannya sehingga tidak ada sanksi yang bisa

diterapkan. Terlebih lagi, jika pasangan orangtua ini menikah secara siri, Dalam

kasus ini, tidak akan ada dokumen sah dan lengkap yang harus

dipertanggungjawabkan jika mereka kemudian memutuskan untuk bercerai.

Perceraian selalu saja merupakan rentetan goncangan-goncangan yang

menggoreskan luka batin yang dalam bagi mereka yang terlibat, terutama anak-

anak. Sekalipun perceraian tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan damai

oleh orangtuanya, hal itu tetap saja menimbulkan masalah bagi anak-anak

mereka. Reaksi anak akan berbeda-beda terhadap perceraian orangtuanya.

Semua tergantung pada umur, intensitas serta lamanya konflik yang berlangsung

sebelum terjadi perceraian.

54

Page 55: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Setiap anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang

berbeda-beda. Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah

berusia sekolah atau remaja, biasanya akan merasa ikut bersalah dan

bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka juga merasa khawatir terhadap

akibat buruk yang akan menimpa mereka. Adakalanya bagi sebagian anak,

perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan

mereka. Paling tidak perceraian tersebut menyebabkan munculnya rasa cemas

terhadap kehidupan mereka di masa kini dan di masa depan.

Anak-anak yang orang tuanya bercerai sangat menderita, dan mungkin

lebih menderita daripada orangtuanya sendiri. Keterlibatan pemerintah juga

sangat diperlukan untuk memberikan solusi terbaik terhadap anak-anak korban

perceraian untuk memastikan hak-hak mereka selaku anak bisa dipertahankan.

Membuat aturan yang lebih ketat dalam proses perceraian di pengadilan bisa

menjadi salah satu alternatif bagi perlindungan terhadap anak. Dengan demikian

maka keluarga sangat dibutuhkan oleh setiap anak karena dalam keluargalah

anak akan tumbuh dan berkembang secara baik. Mereka akan mendapatkan

kasih sayang dan perlindungan yang sepenuhnya dariorangtua mereka.

Saat proses perceraian masih berjalan di Pengadilan, kedua orang tua

tetap berkewajiban untuk memelihara, mendidikan, mengasuh dan merawat

anaknya tersebut. hal ini terdapat dalam pasal 45 Undang-undang No 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan :

55

Page 56: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

mereka sebaik-baiknya.

b. Kewajiban orang tua yang di maksud dalam ayat (1) Pasal ini

berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban

mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua

putus.

Berdasarkan ketentuan Pasal 45 tersebut, selama perceraian belum di

putus, kedua orang tua tetap berkewajiban untuk menanggung segala kebutuhan

anaknya. Tidak ada yang lebih berhak dan tidak ada pula yang dapat

menyatakan tidak berhak menanggung kebutuhan anak.

Pengadilan dapat pula memberi keputusan tentang siapa diantara mereka

berdua yang menguasai anak yakni memelihara dan mendidiknya, apabila ada

perselisihan antara keduanya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu juga

didasarkan kepada kepentingan anak. Dalam Pasal 47 dinyatakan seperti

berikut:

1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya

selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam

dan di luar pengadilan.

Apabila orangtua melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak

mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya,

56

Page 57: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

maka kekuasaan orangtua dapat dicabut dengan putusan pengadilan. Menurut

M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa : Orangtua yang melalaikan kewajiban

terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orangtua itu atau sama sekali

tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena

dijatuh hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan

kepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya.

Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh

sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh

yang baik.

Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dalam hal orangtua anak tidak cakap melakukan perbuatan

hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka

seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk

sebagai wali dari anak yang bersangkutan.

Tidak semua orangtua yang dapat memberikan hak untuk pengasuhan

anak mengenai hak dan kewajiban, karena adanya keterbatasan salah satu

pihak orang tua melarang anaknya untuk bertemu salah satu pihak orang tua

yang tidak memilki kuasa penuh. Keterbatasan yang diberikan oleh salah satu

orang tua terhadap salah satu orang tua yang tidak memiliki kuasa secara penuh

sangat tidak lazim untuk dilaksanakan, karena setelah terjadinya perceraian,

dapat dikatakan bahwa hanya perkawinan lah yang diputuskan bukan hubungan

antara orang tua dan anak, dengan terjadinya keterbatasan ini akibatnya

57

Page 58: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

membawa negatif terhadap anak, yaitu psikologis anak yang terabaikan atau

terlantarkan.

Pelaksanaan pengasuhan anak, dalam lingkup hak dan kewajiban banyak

menimbulkan masalah, akibat dari anak tersebut di asuh oleh salah satu pihak

yang memiliki kuasa penuh sehingga menimbulkan kendala-kendala bagi pihak

yang tidak mengasuh anak tersebut secara penuh. Hal ini dikarenakan pasangan

suami isteri yang telah bercerai tidak dapat bekerja sama dengan baik dalam

memelihara anak tersebut.

Dampak negatif dari keterbatasannya pertemuan antara salah satu pihak

orang tua yang tidak memilki hak pengasuhan penuh adalah kepada anak

tersebut, yang memepengaruhi mental dan menumbuhkan rasa tanda tanya

yang sangat besar yang mempengaruhi perkembangan pola pikir anak tersebut.

Agar tidak tumbuhnya pola pikir yang tidak baik terhadap anak tersebut,

seharusnya orang tua dapat mencari bentuk penyelesaian jalan yang terbaik

demi kepentingan si anak yang lebih bisa diterima oleh anak sehingga tidak

adanya bentuk negatif yang memepengaruhi anak tersebut.

Dalam hal penyelesaian bentuk dari masalah hak asuh anak ini

merupakan kerjasama yang baik antara kedua orang tua agar tidak

menumbuhkan pengaruh negatif terhadap anak. Kerjasama yang dimaksud disini

ialah sama-sama memberikan nafkah, mendidik dan memelihara tanpa

menanamkan sifat tercela kepada si anak bahwa perceraian yang dilakukan

kedua orang tua itu adalah hal terburuk dan hal yang menakutkan, sehingga

58

Page 59: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

adanya rasa kebencian yang timbul dari pemikiran anak terhadap salah satu

orang tuanya.

Adapun bentuk dari penyelesaian sengketa pengasuhan anak ini dapat

melalui mediasi, yaitu perdamaian di luar Pengadilan, namun hal ini jarang dapat

dilaksanakan, karena dianggap kurang konkrit,bahkan pada kenyataannya

mediasi yang dilakukan banyak yang tidak membuahkan hasil dan mencapai titik

temu sehingga menimbulkan masalah baru dari kedua belah pihak, sehingga

pasangan suami isteri tersebut langsung melanjutkan ke pengadilan dan lebih

memilih menunggu keputusan dari Majelis Hakim yang dianggap lebih jelas,

konkrit, dan pasti.

 Bentuk penyelesaian yang ada di perlukannya mediasi dari kedua belah

pihak agar dapat diselesaikan, jika tidak mantan suami ingin memperkara kan

kembali atau mengajukan tuntutan kembali terhadap isteri karena telah

membawa anak tersebut tanpa sepengetahuan mantan suami dan tidak sesuai

dengan apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim bahwa hak pengasuhan

anak jatuh kepihak suami.

Dalam hal kekuasaan orangtua terhadap anak setelah terjadinya

perceraian dalam Pasal 300 KUHPerdata disebutkan bahwa kecuali jika terjadi

pelepasan dan atau berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan

ranjang, si ayah sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Selanjutnya ditentukan

bahwa bila si ayah dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan

orangtua, kekuasaan itu dilakukan oleh si ibu, kecuali dalam hal adanya pisah

59

Page 60: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

meja dan ranjang. Pada ayat (2) disebutkan pula bila si ibu ini juga tidak dapat

atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali

sesuai dengan Pasal 359.

Ketentuan Pasal 300 KUHPerdata tersebut diatas dimaksudkan karena

ada kekhawatiran bahwa tidak ada persesuaian antara ayah dan ibu dalam hal

kekuasaan orangtua, sehingga pihak ketiga, hakimlah yang harus turut campur.

Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 41

ayat (2) menegaskan bahwa bapak lah yang memiliki tanggung jawab atas

semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan si anak tersebut,

namun jika bapak terbukti tidak dapat untuk memenuhi kewajiban tersebut maka

pihak Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Adapun bentuk penyelesaian menurut mantan suami dan isteri ini

merupakan perdamaian dengan menjalankan kerjasama yang baik dalam hal

melaksanakan hak dan kewajiban untuk anak tersebut hingga tidak adanya

batasan untuk salah satu pihak bertemu dengan anak nya.

B. Aturan Hukum Tentang Perlindungan Anak Korban Perceraian

Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang

salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap

Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap

produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan

60

Page 61: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu

menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di

masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang

adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia

tanpa terkecuali. Ada beberapa pendapat yang dapat dikutip sebagai suatu

patokan mengenai perlindungan hukum, yaitu :

Menurut Satjipto Rahardjo:

“perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannyatersebut.”39

Menurut Setiono:

“perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.” 40

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyeksubyek

hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu :41

a. Perlindungan Hukum Preventif

39 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kompas, 2003), hal. 12140 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), hal. 341 Musrihah, Dasar dan teori Ilmu Hukum. (Bandung: Grafika Persada,2000), hal. 30.

61

Page 62: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan

dalam melakukan suatu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa

sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan

apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah

memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu,

perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam

bentuk adanya kepastian hukum. Sehingga dalam penulisan ini, perlindungan

hukum diberi batasan sebagai suatu upaya yang dilakukan di bidang hukum

dengan maksud dan tujuan memberikan jaminan perlindungan terhadap anak.

Pengertian hukum perlindungan anak, beberapa ahli memberikan batasan-

batasan sebagai berikut, Arif Gosita mengatakan :

“bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum (tertulis) maupun tidak tertulis yang menjamin anak benar- benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya“

Bismar Siregar menyebutkan :

62

Page 63: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

“aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak- hak anak yang yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban“42

Sedangkan Prof. Mr. J. E. Doek dan Mr. H. MA. Drewes memberikan

pengertian Hukum Perlindungan Anak dalam 2 (dua) pengertian masing- masing

pengertian luas dan sempit.

a. Dalam pengertian luas : segala aturan hidup yang memberi perlindungan

kepada mereka yang belum dewasa dan memberi kemungkinan bagi

mereka untuk berkembang.

b. Dalam pengertian sempit : meliputi perlindungan hukum yang terdapat

dalam :

1. Ketentuan hukum perdata

2. Ketentuan hukum pidana

3. Ketentuan hukum acara

Dalam memberikan perlindungan terhadap anak kita juga harus

memperhatikan dan berpatokan pada asas- asas dan tujuan perlindungan anak.

Dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa

penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan

Undang- undang Dasar 1945 serta sesuai dengan prinsip dasar Konvensi Hak-

Hak Anak, meliputi :

42 Wagiati Sutedjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, hal. 62

63

Page 64: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

a. Non diskriminasi, artinya bahwa dalam memberikan perlakuan terhadap

anak tidak boleh membeda- bedakan antara yang satu dengan yang lain,

dengan alasan apapun juga.

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak, maksudnya bahwa dalam semua

tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,

masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang

terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Dimana ketiga

unsur ini adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang

dilindungi oleh negara/ pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

Penghargaan terhadap pendapat anak, maksudnya : penghormatan atas

hak- hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam

pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal- hal yang mempengaruhi

kehidupannya.

Meletusnya Perang Dunia pertama, menyebabkan banyak anak-anak

yang mengalami kesengsaraan, hak-hak mereka terabaikan dan mereka menjadi

korban kekerasan. Dengan berakhirnya perang dunia, tidak berarti kekerasan

dan pelanggaran terhadap hak-hak anak berkurang. Bahkan eksploitasi terhadap

hak-hak anak berkembang kearah yang lebih memprihatinkan, bahkan dalam

kasus perceraian orang tua.

64

Page 65: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Pelanggaran hak-hak anak bukan saja terjadi di negara yang sedang

mengalami konflik bersenjata, pelanggaran juga terjadi di negara yang sedang

berkembang bahkan di negara-negara maju. Proses dinamika pembangunan

ekonomi ternyata menyisakan masalah sosial dan masalah anak, misalnya:

banyaknya anak jalanan (street children), pekerja anak (child labour), eksploitasi

seks pada anak-anak (child prostitution), dan perdagangan anak (child

trafficking).

Melihat realitas tersebut, maka pada tanggal 20 November 1989, PBB

mengesahkan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention On The Right Of The Child),

guna memberikan perlindungan terhadap anak dan menegakan hak-hak anak di

seluruh dunia. Hak-hak anak yang termaktub dalam Konvensi Hak-Hak Anak

merupakan instrumen internasional yang mengikat negara-negara yang

meratifikasi untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, Indonesia sebagai

salah satu negara yang meratifikasi, berkewajiban untuk mengimplementasikan

Konvensi Hak-Hak Anak dengan membentuk hukum atau legislasi yang

mendukung pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak.

Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) telah

disahkan pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan

memaksa (entered in to force) pada tanggal 2 September 1990. Sebelum

disahkannya Konvensi Hak-Hak Anak, perlindungan dan penegakan hak-hak

anak mengalami sejarah perjalanan yang sangat panjang. Sejarah perjalanan

65

Page 66: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

hak anak dimulai dengan usaha perumusan draf hak-hak anak yang dilakukan

oleh Mrs. Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund .

Berdasarkan catatan UNICEF, beberapa tahapan penting dalam sejarah

perkembangan hak-hak anak adalah Tahun 1923: Hak-hak anak disetujui

oleh Save the Children International Union,Tahun 1924 :Hak yang disetujui

oleh League Of Nation (hal ini merupakan upaya internasional menanggapi

pengalaman anak yang menjadi korban perang), Tahun 1948 : Majelis Umum

PBB mengesahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Walapun hak anak

secara implisit sudah termasuk didalamnya, namun banyak yang beranggapan

bahwa kebutuhan khusus anak perlu disusun dalam suatu dokumen secara

terpisah, Tahun 1959: Majelis Umum PBB mengangkat Deklarasi Kedua Hak

Anak. Kelompok Komisi Hak Asasi Manusia PBB mulai mengerjakan konsep

Konvensi Hak-Hak Anak, Tahun 1989: Konsep Konvensi Hak-Hak Anak disetujui

oleh Majelis Umum PBB.

Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-

prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Konvensi Hak-

Hak anak merupakan hasil dari konsultasi dan pembicaraan negara-negara,

lembaga-lembaga PBB dan lebih dari lima puluh organisasi Internasional.

Dalam Mukadimah Konvensi Hak-Hak anak, di jelaskan bahwa latar

belakang disahkannya Konvensi tersebut adalah berdasarkan Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia, PBB menyatakan bahwa anak-anak berhak atas

66

Page 67: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

perawatan dan bantuan khusus. Selain itu juga disebutkan bahwa, demi

pengembangan kepribadian secara utuh dan harmonis, anak harus dibesarkan

dalam lingkungan keluarga, dalam suasana kebahagiaan, kasih sayang dan

pengertian.

Latar belakang disahknya Konvensi Hak-Hak Anak secara praktis muncul

karena penegakan hak-hak anak sebagai manusia dan sebagai anak masih

sangat memprihatinkan. Konvensi Hak-Hak anak disahkan dengan tujuan untuk

memberikan perlindungan terhadap anak, dan menegakan hak-hak anak di

seluruh dunia. Perlindungan hak-hak anak diwujudkan sebagai gerakan global

negara-negara di seluruh dunia dengan mensahkan Konvensi Hak-Hak Anak

sebagai bagian dari hukum nasional negara tersebut, hal ini merupakan sebuah

kemajuan penting untuk meletakan pembangunan sosial anak sebagai bagian

dari keseluruhan proses pembangunan negara-negara di dunia.

Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak anak

dapat dikelompokkan dalam 4 kategori hak-hak anak, yaitu: Hak terhadap

Kelangsungan Hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-

Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup

(the rights of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan

perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the higest standart of health and

medical care attainable).

67

Page 68: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Hak terhadap Perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam

Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi,

perlindungan dari eksploitasi anak, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak

yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak

dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal

dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi

perkembangan fisik, mental, dan spiritual, moral, dan sosial anak.

Hak untuk Berpatisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam

Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat

dalam segala hal yang mempengaruhi anak  (the rights of a child to express

her/his views in all metters affecting that child).

Pasal 46 dan Pasal 48 Konvensi Hak-Hak Anak secara tegas menyatakan

bahwa Konvensi Hak-Hak Anak merupakan perjanjian internasional yang bersifat

terbuka. Artinya Konvensi Hak-Hak Anak terbuka untuk diratifikasi oleh negara-

negara lain yang belum menjadi perserta (state parties). Pada tanggal 25

Agustus 1990, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dengan

mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 Tentang

Pengesahan Convention on the Rights of the Child.

68

Page 69: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Konvensi Hak-Hak Anak merupakan sumber hukum yang memberikan

materi pada pembuatan hukum dan harmonisasi hukum tentang anak. Kaidah

hukum yang terdapat dalam Konvensi Hak-Hak Anak merupakan materi hukum

yang memberi isi peraturan perundang-undangan tentang anak, oleh karena itu

Konvensi Hak-Hak Anak menjadi bagian integral dari hukum tentang anak.

Sebagai perwujudan komitmen Pemerintah dalam meratifikasi Konvensi

Hak-Hak Anak, maka pada tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah mengesahkan

UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-

hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak, yang dimaksud dengan anak adalah

: “setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-

undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal”, pengertian tersebut sedikit

berbeda dengan pengertian anak dalam UU No. 23 Tahun 2002, yang

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah : “Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.

UU No. 23 Tahun 2002, telah memperluas pengertian anak, yaitu meliputi

anak yang masih berada di dalam kandungan.  Dalam ketentuan Pasal 1 butir 2

UU No. 23 Tahun 2002 yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan

69

Page 70: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi.

Dalam Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa:

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan

UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi: a.

non diskriminasi, b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup,

kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap

pendapat anak, hal ini tentu saja merupakan cerminan bahwa prinsip-prinsip

dalam Konvensi Hak-Hak Anak merupakan materi pokok yang diatur dalam UU

No. 23 Tahun 2002. Secara keseluruhan materi pokok yang diatur dalam UU No.

23 Tahun 2002 memuat ketentuan dan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak.

Konvensi Hak-Hak Anak merupakan dokumen HAM yang secara specific

mengatur tentang hak-hak anak. Oleh karena itu dalam ketentuan hukum

nasional sebelum disahkannya UU No. 23 Tahun 2002, perlindungan hak asasi

anak sebelumnya sudah diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak-hak asasi

manusia termasuk juga anak-anak, yaitu seseorang yang berusia dibawah 18

tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih didalam kandungan harus

dihormati dan mendapatkan perlindungan. Secara khusus perlindungan anak

dalam lingkup keluarga juga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang

Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam ketentuan Pasal 2

70

Page 71: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

disebutkan bahwa anak merupakan bagian dari keluarga yang harus

mendapatkan perlindungan dari kekerasan secara fisik maupun psikis.

Ketentuan hukum mengenai kesejahteraan anak dalam Konvensi Hak-

Hak Anak dapat dilihat dalam Pasal 25 yang mengatur peninjauan penempatan

anak secara berkala (periodic review of placement) Pasal 26 yang mengatur hak

anak atas jaminan sosial dan tunjangan sosial, dan pasal 27 yang mengatur

tentang hak anak untuk menikmati standar hidup yang memadai. Jauh sebelum

Konvensi Hak-Hak anak di sahkan, hukum nasional telah mengatur

kesejahteraan anak dalam UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

Substansi pengaturan kesejahteraan anak dalam konvensi Hak-Hak Anak dan

dalam UU No. 4 tahun 1979 tidak jauh berbeda.

Salah satu hak yang dilindungi dalam Konvensi Hak-Hak Anak adalah hak

untuk mengenyam pendidikan. Perwujudan jaminan pendidikan anak dalam

hukum nasional diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2003 (1) Setiap

warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib

mengikuti pendidikan dasar, (2) Setiap warga negara bertanggung jawab

terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan ketentuan

Pasal 6 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa negara menjamin pendidikan

bagi anak-anak Indonesia dengan sistem wajib belajar.

71

Page 72: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Perwujudan konvensi hak-hak anak tentang kewarganegaraan juga diatur

dalam UU No 12 Tahun 2006. Dalam ketentuan pasal 4-6 UU No. 12 Tahun

2006 diatur secara rinci tentang kewarganegaraan anak, baik anak hasil

perkawinan orang tua yang berwarga Negara Indonesia, maupun anak hasil

perkawinan campuran. Pengertian anak dalam UU No. 12 Tahun 2006 juga

sejalan dengan pengertian anak dalam Konvensi Hak-Hak anak, yaitu seseorang

yang berumur kurang dari 18 tahun.

Perwujudan ketentuan Pasal 40 Konvensi Hak-Hak Anak tentang

peradilan anak telah di atur secara khusus dalam hukum nasional yaitu dalam

UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Pengaturan tentang peradilan

anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 sejalan dengan tujuan dari Konvensi Hak-Hak

Anak, yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap anak, yaitu agar anak-

anak yang melakukan pelanggaran tetap dihargai hak asasinya, memperoleh

manfaat dari segenap aspek proses hukum, termasuk bantuan hukum atau

bantuan lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan. Dalam Ketentuan

Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1997 disebutkan bahwa Pengadilan Anak adalah

pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dilingkungan Peradilan Umum.

Peradilan anak bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara anak. Sehingga dapat simpulkan bahwa UU No. 3 Tahun

1997 merupakan perwujudan dari kaidah hukum Konvensi Hak-Hak Anak

mengenai peradilan khusus untuk anak-anak yang berkonflik dengan hukum

(children in conflict with law).

72

Page 73: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Pengaturan tentang penculikan, ekspolitasi seksual, perdagangan dan

penyelundupan anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak secara khusus juga telah

diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak Pidana

Perdagangan Orang. Dalam UU No. 21 Tahun 2007 pengertian anak meliputi

seseorang yang berusia dibawah 18 tahun termasuk anak didalam kandungan.

Dalam ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 21 tahun 2007 disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan,

pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan

seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi

bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang

memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara

mapun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang

terekpoitasi. Dengan disahkannya UU No. 21 Tahun 2007, perlindungan hak-hak

anak dari eksploitasi seksual, penculikan dan perdagangan anak sebagaimana

diatur dalam Konvensi Hak-Hak Anak telah diwujudkan oleh negara.

Dalam Pasal 32 Konevensi Hak-Hak Anak diatur larangan untuk

melakukan ekspolitasi ekonomi terhadap anak-anak. Pasal ini menegaskan

bahwa anak-anak yang bekerja tidak boleh di ekpolitasi. Hukum nasional juga

telah mengatur ketentuan tersebut dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 68 disebutkan bahwa pengusaha dilarang

memperkerjakan anak. Dalam Pasal 69 larangan tersebut dikecualikan untuk

73

Page 74: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

anak yang berusia 13 tahun sampai dengan 15 tahun untuk melakukan

pekerjaan ringan sepanjang tidak menggangu perkembangan fisik, mental, dan

sosial. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 32 Konvensi Hak-Hak Anak

tentang ketentuan batas usia minimum untuk diterima bekerja.

Dalam hal Konvensi Hak-Hak Anak, Pemerintah Indonesia telah

meratifikasi dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990,

tertanggal 25 Agustus 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of

the Child(Konvensi Hak Anak). Melihat status Konvensi Hak-Hak Anak, dapat

disimpulkan bahwa dari segi kebijakan, perlindungan anak masih belum tertata

dengan baik. Karena Konvensi Hak-Hak Anak hanya diratifikasi dengan

KEPPRES maka konskwensinya banyak kebijakan yang berkaitan dengan

perlindungan anak tidak menggunakan Konvensi Hak-Hak Anak sebagai dasar

pertimbangan, termasuk UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hal

ini terjadi karena dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Perundang-undangan

disebutkan bahwa Keppres tidak bisa menjadi dasar pertimbangan undang-

undang, padahal secara logika hukum, sumber hukum perlindungan anak

seharusnya berasal dari Konvensi Hak-Hak Anak, kemudian disesuaikan dengan

nilai-nilai sosial budaya negara bangsa Indonesia dan spirit agama-agama.

Dalam menyelesaikan masalah tersebut pemerintah seharusnya segera

meningkatkan status ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dari KEPPRES menjadi

Undang-undang, hal ini merupakan kebutuhan bangsa Indonesia dalam

74

Page 75: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

meningkatkan perlindungan anak mulai dari level peraturan daerah sampai

peraturan nasional, dan tentunya dunia internasional tidak lagi mempertanyakan

komitmen kesungguhan Indonesia dalam melakukan pemenuhan hak-hak anak.

Perlindungan anak menjadi perhatian Negara dengan tertuang dalam UUD 1945

pasal 28 b (ayat 2) yang menyatakan bahwa:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Pada pasal 45 UU No 1 tahun 1974 menyatakan:

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak (selanjutnya cukup disingkat UU Perlindungan Anak)

menegaskan bahwa :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.43

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, maka upaya perlindungan yang

diberikan undang-undang terhadap seorang anak dilaksanakan sejak dini, yakni

sejak anak masih berupa janin dalam kandungan ibunya sampai dengan anak

berumur 18 (delapan belas) tahun. Undang-undang ini meletakkan kewajiban

untuk memberikan perlindungan terhadap anak berdasarkan asas-asas

43 Minstry for Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia, Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child Protection, Jakarta : 2003, hal. 12.

75

Page 76: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup,

kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak,

sebagaimana yang termuat dalam ketentuan pasal 2 UU Perlindungan Anak

yang menyatakan :

“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi : a. non diskriminasi, b. kepentingan terbaik bagi anak, c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, d. perhargaan terhadap pendapat anak”. 44

Dalam penjelasan pasal 2 UU Perlindungan Anak di atas disebutkan

bahwa asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang

terkandung dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Anak. Lebih lanjut, yang

dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak dalam penjelasan

pasal 2 UU Perlindungan Anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang

menyangkut anak yang dilakukan oleh orang tua, pemerintah, masyarakat,

badan legislative, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak

harus menjadi pertimbangan utama.Ini seperti tertuang dalam pasal 3 UU

perlindungan anak:

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

44 Ibid, hal.14.

76

Page 77: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Sebenarnya jika di kaji secara umum perceraian tidaklah dapat tercadi

tanpa sebab yang melatar belakangi, namun secara umum yang menjadi sebab

perceraian adalah kekerasan dalam rumah tangga. Keutuhan dan kerukunan

rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan

setiap orang. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam

melaksanakan hak dan kewajiban harus didasari oleh agama. Hal itu perlu terus

ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.

Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada

setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan

pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Keutuhan dan kerukunan rumahtangga dapat terganggu jika kwalitas

pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi

kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakaman atau ketidakadilan

terhadap orang yang berbeda dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk

mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah

tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan,

dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.

Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan

dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan

terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk dikriminasi.

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik,

psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi

77

Page 78: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus

Kekerasan dalam Rumah Tangga (disingkat KDRT).

Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau

tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan

dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama KDRT. Pembaharuan hukum

tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak

sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu,

diperlukan pengaturan tentang tindak KDRT secara tersendiri karena mempunyai

kekhasan, walaupun secara umum di dalam KUHP telah diatur mengenai delik

penganiayaan (vide pasal 351 KUHP), delik kesusilaan (vide pasal 284 KUHP)

serta delik penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan (vide

pasal 304 KUHP).

Undang-undang No.23 th 2004 tentang Penghapusan KDRT ini terkait

erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku

sebelumnya, antara lain UU No.1 thn 1946 tentang KUHP serta perubahannya,

UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan

Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita

( Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women),

Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 ini selain mengatur ihwal

pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan

78

Page 79: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi

dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan

tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu undang-undang

ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga

kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk

melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap

kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan

kerukunan rumah tangga.

1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap

seseorang terutama perempuan, yang beakibat timbulnya kesengsaraan

atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah

tangga.

2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang

diberikan oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam

rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman

kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa

aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat,

79

Page 80: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik

sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan

oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum

dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Pasca perceraian orang tua wajib memperhatikan hak anak dalam hal

menafkahi yang menjadi ketentuan hukum dalam kompilasi hukum Islam

tertuang dalam pasal 149 d, yang berbunyi:

“Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.”

Hal senada juga terdapat di pasal 156 d, yang berbunyi:

“semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri.” (21 tahun).

Pasal 105 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam telah

secara spesifik mengatur bahwa hak asuh anak di bawah usia 12 tahun harus

diberikan kepada ibunya. Pasal 105 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam tersebut menyatakan :

“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”.45

Ketentuan di atas dilatarbelakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Faktor kasih sayang ; Tanpa mengurangi bahwa ayah juga menyayangi

anak, namun secara alamiah dan kudrati di manapun dan sejak

45 Arkola, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2001, hal. 213.

80

Page 81: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

kapanpun, ibu jauh lebih mampu mengembangkan kasih sayang dan

kelembutan kepada anak dibanding ayah.

2. Faktor kemanusiaan (humanity); Ditinjau dari segi kemanusiaan

(humanity), sangat menyayat hati nurani apabila anak yang masih kecil

harus ditarik, dipisahkan dan dijauhkan dari pangkuan ibu kandungnya,

terlebih jika anak tersebut masih harus menyusu (mendapatkan ASI)

ibunya.

Meski demikian, tidak menutup kemungkinan hak asuh dan perwalian

dapat dipindahkan jika pemegang hak asuh dan perwalian anak tersebut

melalaikan kewajibannya terhadap anak. Pasal 156 huruf (c) Inpres No.1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan :

“Apabila pemegang hadhanah (hak asuh anak) ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka Pengadilan dapat memindahkan hadhanah (hak asuh anak) kepada kerabat yang mempunyai hak pula”. 46

Pasca perceraian hak asuh anak yang dilakukan oleh kedua orang tuanya

tidak justru melindungan hak-hak dan kepentingan anak sebagaimana diatur

dalam UU Perlindungan anak, perceraian justru telah merusak kepentingan, hak-

hak dan perkembangan hidup si anak, jelas mengesampingkan seluruh hak anak

yang diatur dalam UU Perlindungan Anak, dan juga merupakan pelanggaran

terhadap ketentuan pasal 4, pasal 13, pasal 16 ayat (1) dan (2), UU

Perlindungan Anak yang menyatakan :

46 Ibid hal 230

81

Page 82: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

”Bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.47

“(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari: a. diskriminasi, b. eksploitasi, c. penelantaran, d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, e. ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua wali pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perlu dikenakan pemberatan hukuman“.48

“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”.49

“Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum”.50

Perceraian terkadang hingga mengesampingkan hak anak untuk

memperoleh pendidikan, anak dibawa pergi jauh ke tempat persembunyian, tidak

disekolahkan dan diposisikan di dalam rumah terus-menerus, dijauhkan dari

kehidupan sosialnya, sehingga mengesampingkan hak anak untuk bermain dan

bergaul dengan teman sebayanya. Hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran

terhadap ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan pasal 11 UU Perlindungan anak yang

menyatakan :

47 Visi Media, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : Visi Media, 2007, hal. 8.48 Ibid, hal. 10.49 Syaifullah, dkk., Undang-Undang Rumah Tangga No.23 Tahun 2004 dan Undang- Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, Padang-Sumbar : Praninta Offset, 2008, hal. 49.50 Ibid.

82

Page 83: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

“(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.51

“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembanagn diri”.52

Semua jaminan perlindungan hak-hak anak sebagaimana tersebut di atas

diberikan oleh undang-undang sejak anak masih berupa janin, sebagaimana

dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 1 UU Perlindungan Anak adalah :

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.53

Fakta di atas juga menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran hak anak

tidak hanya salah satu atau kedua orang tua yang memperebutkan hak asuh

anaknya, namun juga para aparat penegak hukum yang tidak mampu bertindak

atas kasus-kasus penculikan, penyekapan dan penganiayaan anak yang

dilakukan oleh orang tua kandungnya. Pasal 14 UU Perlindungan Anak

menyatakan bahwa :

“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.54

51 Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, Jakarta : 2003, hal. 17.52 ibid53 Ibid.Hal 1354 Syaifullah, dkk., Undang-Undang, hal. 11.

83

Page 84: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Penjelasan pasal 14 UU Perlindungan anak tersebut menyatakan bahwa :

“Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 14 UU Perlindungan Anak tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya”.55

Berpijak pada ketentuan pasal di atas, seharusnya Kepolisian maupun

Pengadilan dapat bertindak tegas terhadap orangtua kandung yang melakukan

penculikan dan penyekapan terhadap anak kandungnya sendiri. Jika tidak bisa

bersikap tegas, mungkin aparatur penegak hukum harus ditatar-ulang tentang

hak-hak anak. Sikap tegas aparat penegak hukum seharusnya adalah dengan

cara memproses orang tua yang melakukan penculikan, penyekapan dan

penganiayaan terhadap anak kandungnya sendiri berdasarkan ketentuan pasal

80 UU Perlindungan anak dan pasal 330 KUHP yang menentukan :

“(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam bulan dan atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud ayat (1) luka berat maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya” (pasal 88 UU Perlindungan Anak).56

“(1) Barang siapa dengan sengaja mencabut orang yang belum dewasa dari kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjalankan penjagaan itu, dihukum penjara selama tujuh tahun. (2) Dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika perbuatan itu dilakukan dengan memakai tipu daya, kekerasan atau

55 Ibid. Hal 5956 Ibid. Hal 44

84

Page 85: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

ancaman dengan kekerasan atau kalau orang yang belum dewasa umurnya di bawah dua belas tahun “. (pasal 330 KUHP).57

Kewajibannya untuk memberikan perlindungan terhadap anak

sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 20 UU Perlindungan Anak yang

menyatakan :

”Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”.58

Meskipun terkadang negara jelas-jelas telah melakukan perbuatan

melanggar hukum, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak anak yang diatur

dalam UU Perlindungan Anak ini, namun tidak ada tindakan tegas aparat hukum

atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Wujud lain

pelanggaran negara terhadap hak-hak anak tersebut misalnya adalah negara

masih mengabaikan hak pendidikan, hak kesejahteraan bagi anak dengan masih

banyaknya anak-anak jalanan yang tidak mengenyam pendidikan dan hidup

tidak layak di jalanan.

Masalah perceraian tidak berhenti dengan ditentukannya siapa pemegang

hak asuh si anak, ayah kandungnya atau ibu kandungnya melalui putusan

pengadilan yang inkracht, proses terus berlanjut dengan eksekusi penyerahan

anak kepada orang tua yang berhak sangat sulit dilakukan, ditambah lagi

tindakan orang tua yang tidak berhak membawa lari anaknya hingga

57 R. Soesilo, KUHP dengan Penjelasan, Bogor : Politeia, 1981.58 Minstry for Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia, Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child Protection, Jakarta : 2003, hal. 23.

85

Page 86: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

mengabaikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh si anak, dan proses-

proses lain yang sangat merugikan anak.

Mahkamah Agung hingga saat ini belum juga membuat kebijakan dan

kepastian hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan belum bisa

memastikan lembaga mana yang diberi mandat untuk melakukan “eksekusi”

terhadap putusan pengadilan tersebut. Oleh karena itu, perlu direkomendasikan

bahwa Mahkamah Agung harus membuat kebijakan dan memberikan kepastian

hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan menentukan lembaga

mana yang diberi mandat untuk melakukan “eksekusi” terhadap putusan

pengadilan tersebut.

Secara moril, tidak seharusnya orang tua dalam perceraian hanya demi

kepentingan egosentris orang tua. Orang tua seharusnya bisa berbesar hati atas

putusan pengadilan mengenai hak asuh anak jika memang hal tersebut nyata

demi kepentingan anak. Landasan filosofis undang-undang mengatur mengenai

“hak asuh anak” sebagai akibat perceraian orang tua, bukan untuk diperebutkan,

namun untuk kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child)

yakni ditangan siapakah pertumbuhan jasmani dan rohani anak itu lebih baik

sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perlindungan Anak yang menyatakan :

“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi : a. non diskriminasi, b. kepentingan terbaik bagi anak, c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, d. perhargaan terhadap pendapat anak”. 59

59 Ibid. Hal 14

86

Page 87: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Bahwa dalam ketentuan pasal 229 KUH Perdata tidak secara spesifik

mengatur kepada siapa perwalian anak pasca perceraian diberikan, namun

pasal ini hanya mengatur bahwa setelah perceraian orang tua harus pula

ditentukan perwalian bagi anak. Pasal 229 KUH Perdata menyatakan bahwa :

"Setelah mendengar/memanggil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah serta semenda dari anak-anak yang belum dewasa, Pengadilan Negeri menetapkan terhadap tiap-tiap anak, siapakah dari kedua orang tuanya, maka mereka harus melakukan perwalian atas anak-anak itu".60

Dengan demikian, melalui tulisan ini penulis mengetuk hati para orang tua

yang akan bercerai agar dalam menentukan hak asuh anak pertimbangkanlah

kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Alangkah

baiknya manakala hak asuh anak tersebut tidak diperebutkan namun dibicarakan

secara baik-baik oleh kedua orang tua “di tangan siapakah pertumbuhan jasmani

dan rohani anak itu lebih baik”.

60 R. Subekti-R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang HUkum Perdata Burgerlijk Wetboek dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Pradnya Paramita, 2001, hal. 55.

87

Page 88: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

BAB IV

PENUTUP

A . Kesimpulan

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksud dilaksanakannya perkawinan

adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang

amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan

sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian

persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri yang

pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong

antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut

menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Namun dalam pergaulan antara suami tidak jarang terjadi perselisihan

dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab sebab lain yang kadang-

kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak

88

Page 89: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

dapat dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh

kedua belah pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal

sehingga pada akhirnya jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah

perceraian.

Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban,

perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga

terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Anak-anak tersebut

harus hidup dalam suatu keluarga yang tidak harmonis sebagaimana mestinya

misalnya harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua tunggal seperti

dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa anak merupakan penerus

bangsa yang mengemban tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh

generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara,

anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat

rohani dan jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Untuk

itu, anak tersebut harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan,

Dasar hukum perlindungan anak di Indonesia terdapat dalam UU No. 4

Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak. Perlindungan anak dalam UU ini bertujuan menjamin

terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara optimal sesuai harkat, martabat, dan kemanusiaan serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak

89

Page 90: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.61 Perlindungan anak

dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap berbagai kebebasan dan

hak asasi anak serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan

kesejahteraan anak.

Ketika perkawinan tidak dapat dipertahankan dan berakhir pada

perceraian, maka anak tetap memiliki hak mendapat kasih sayang, pendidikan,

perhatian, dan tempat tinggal yang layak dari kedua orang tua sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku.

B . Rekomendasi

Rekomendasi dalam masalah perlindungan hukum anak pacsa perceraian

adalah :

1. Walaupun tindakan hukum oleh pemerintah dalam rangka memberikan

perlindungan terhadap anak, maka seharusnya tindakan hukum itu

dilakukan secara efektif baik oleh pemerintah maupun masyarakat

sehingga perlindungan hukum terhadap anak dapat ditegakan

sebagaimana dicita-citakan bersama

2. Aparat penegak hukum harus menindak tegas pelaku pelanggaran hak

anak terhadap anak dengan pasal 80 UU Perlindungan Anak atau

61 Aminah Aziz, Op Cit. Hal 41

90

Page 91: Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian

pasal 330 KUHP sekalipun pelakunya adalah orang tua kandung si

anak.

3. Mahkamah Agung harus membuat kebijakan dan memberikan

kepastian hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan

menentukan lembaga mana yang diberi mandat untuk melakukan

“eksekusi” terhadap putusan pengadilan tersebut.

4. Penentuan hak asuh anak jangan diperebutkan, namun bicarakan

secara baik-baik oleh kedua orang tua “di tangan siapakah

pertumbuhan jasmani dan rohani anak itu lebih baik”

91