perlindungan hukum terhadap anak korban perceraian
DESCRIPTION
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri atau terpisah dari kelompok manusia lainnya.1 Menurut Aristoteles seorang ahli pikir Yunani yang di terdapat dalam buku C.S.T Kansil menyatakan : “Manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk hidup pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesame manusia lainnya. Jadi mahluk yang suka bermasyarakat. OlehTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia merupakan
mahluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri atau terpisah dari kelompok
manusia lainnya.1 Menurut Aristoteles seorang ahli pikir Yunani yang di terdapat
dalam buku C.S.T Kansil menyatakan :
“Manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk hidup pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesame manusia lainnya. Jadi mahluk yang suka bermasyarakat. Oleh karena itu sifatnya yang suka bergaul satu dengan yang lain, maka manusia disebut mahluk sosial”2
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak
yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian
disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya
sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.3 Karena setiap
manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka
prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi
sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam
1 Lili Rasjidin, Hukum Perkawinan dan perceraian di Malaysia dan di Indonesia. PT.Remaja Rosdakarya.Bandung.hlm.12 C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1989,hlm3 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.
komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai
tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya,
muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi
sosial tersebut.
Berdasarkan pada teori kontrak sosial,4 untuk memenuhi hak-hak tiap
manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual,
tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang
apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang
bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian
yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam
bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of
the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan
kebijakan negara.
Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa
yang menyendiri, namun manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat karena manusia semenjak lahir, hidup berkembang dan
meninggal dunia selalu didalam lingkungan masyarakat, karena hidup bersama
merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang manusia, dan hanya manusia-
manusia yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu mengasingkan
4 Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 517 – 596.
2
diri dari orang-orang lainnya. Dalam bentuknya yang terkecil hidup bersama itu
dimulai dengan adanya keluarga.
Sudah merupakan kodrat manusia untuk hidup berdampingan sesama
manusia dan berusaha untuk meneruskan keturunan dengan cara
melangsungkan perkawinan. Perkawinan adalah tempat bagi manusia untuk
mengabdikan diri satu dengan yang lain dan saling menghormati perasaan serta
merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar masyarakat dan
negara. Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, perlu
adanya landasan yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat yang
adil dan makmur. Dalam hal ini, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa
Peraturan dan Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan terutama
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga Negara. Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
disebutkan :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tujuan suatu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga.
Keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai
mahluk sosial dan merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari
seorang ayah, ibu, dan anak.5 5 Pasal 1 (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak. (Selanjutnya disebut UU. Perlindungan Anak).
3
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak sebagai
penerus keturunan yang terlahir dari perkawinan yang sah mempunyai
kedudukan anak yang sah. Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi
perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya
dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang
tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-
kebijakannya dalam mengayomi anak.
Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu
dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan hak-haknya yakni hak untuk hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan,
anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu,
anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan
tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.6
Ada berbagai cara pandang dalam menyikapi dan memperlakukan anak
yang terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin dihargainya hak-
hak anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 B menyatakan bahwa:
6 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 30-1.
4
1. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.
2. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November
1990 bertempat di New York menyelenggarakan Convention on the Rights of the
Childs (CRC), di antara hasil-hasilnya menyatakan bahwa Anak adalah setiap
orang di bawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku
terhadap anak kedewasaan telah diperoleh sebelumnya.7
Adanya tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan anak,
menunjukkan bahwa anak sebagai sosok manusia dengan kelengkapan-
kelengkapan dasar dalam dirinya baru mulai mencapai kematangan hidup
melalui beberapa proses seiring dengan pertambahan usianya. Oleh karena itu
anak memerlukan bantuan, bimbingan dan pengarahan dari orang tua. Akan
tetapi fenomena kelalaian dan penelantaran anak merupakan permasalahan
yang sering terjadi dalam masyarakat, sebaliknya juga perebutan anak antara
orang tua yang bercerai sering terjadi seakan-akan anak adalah harta benda
yang dapat dibagi-bagi, dan setelah dibagi seolah putuslah ikatan orang tua yang
tidak mendapatkan hak asuhnya. Walaupun sebenarnya masalah kedudukan
anak dan kewajiban orang tua terhadap anak ini telah diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
7 Pasal 1 Convention on the Rights of the Childs.
5
Anak sah sebagaimana yang disebut dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah :
“Anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Didasarkan ketentuan tersebut, terkandung 2 (dua) pengertian yaitu :
1. Anak yang dilahirkan “dalam perkawinan”, maksudnya anak tersebut
lahir setelah dilangsungkan perkawinan. Dalam hal ini terdapat 2
(dua) kemungkinan, yaitu :
a. Setelah perkawinan dilangsungkan isteri baru hamil
kemudian baru melahirkan anak.
b. Sebelum perkawinan isteri sudah hamil lebih dahulu,sesudah
itu dilangsungkan perkawinan.
2. Anak yang dilahirkan “akibat perkawinan”. Dalam hal ini isteri hamil
setelah perkawinan, kemudian terjadi perceraian atau kematian
suami setelah terjadi peristiwa itu isteri baru melahirkan anak.
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam, atau sebagai akibat
dari, perkawinan yang sah atau hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar
rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut, sedangkan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibunya.
Asal-usul seorang anak hanya bisa dibuktikan dengan Akta kelahiran
autentik oleh pejabat yang berwenang, jika akta autentik tidak ada maka asal-
usul anak ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan pembuktian yang memenuhi
6
syarat untuk kemudian dibuatkan akte kelahiran pada instansi pencatat
kelahiran.8
Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri (dewasa) adalah 21 tahun,
sepanjang ia tidak cacat fisik atau pun mental atau belum kawin. Orang tua
mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan. Apabila kedua orang tua anak tidak mampu, Pengadilan dapat
menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban
orang tuanya.9
Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak
kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah
dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga
karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan
pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang
bertanggungjawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling dekat dengan
anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan
anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya.
Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak
kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi
anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Seorang ayah
yang mampu akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal
8 Pasal 55 UU. Perkawinan; Pasal 103 KHI 9 Pasal 98 KHI.
7
anaknya sedang membutuhkan, dapat dipaksa oleh hakim atau dipenjarakan
sampai ia bersedia menunaikan kewajibannya. Seorang ayah yang menunggak
nafkah anaknya tetapi ternyata anaknya tidak sedang membutuhkan nafkah dari
ayahnya maka hak nafkahnya gugur, karena si anak dalam memenuhi
kebutuhan selama ayahnya menunggak tidak sampai berhutang karena ia
mampu membiayai diri sendiri, akan tetapi jika anak tidak mempunyai dana
sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhannya ia harus berhutang maka si
ayah dianggap berhutang nafkah yang belum dibayarkan kepada anaknya.10
Di sisi lain, si anak wajib menghormati orang tuanya dan wajib mentaati
kehendak dan keinginan yang baik orang tuanya, dan jika anak sudah dewasa ia
mengemban kewajiban memelihara orang tua serta karib kerabatnya yang
memerlukan bantuan sesuai kemampuannya.11
Di antara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah,
seorang ayah berkewajiban untuk memberikan jaminan nafkah terhadap
anaknya, baik pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun
hubungan perkawinan orang tua si anak putus. Suatu perceraian tidak berakibat
hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-
anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.
Setelah terjadinya perceraian, Pengadilan memutuskan siapa di antara
ayah dan ibu yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan
10 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (cet-2, Kencana, Jakarta, 2004), hal. 157-63. 11 Pasal 46 UU. Perkawinan
8
pemeliharaan dan pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai
hak asuh anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan
paling layak untuk menjalankan hak asuh.
Sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa harta, dalam
sengketa harta putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah,
tetapi putusan hak asuh sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah
dengan anak yang disengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh
dipertajam ketika sudah diputuskan oleh Pengadilan.
Perceraian yang dilakukan oleh seorang suami dan istri menimbulkan
akibat terhadap anak-anaknya baik secara moril maupun materiil. Secara moril
bahwa anak-anaknya tersebut menanggung konsekuensi bahwa kedua orang
tuanya tidak bersama lagi dalam suatu rumah tangga dan otomatis perhatian dan
kasih sayang yang tercurah pada anak tidak seperti saat berkumpul dulu. Secara
materiil ialah Diberikan nafkah, yang menjadi hak seorang anak yang didapat
dari kedua orang tuanya. Perceraian akan menimbulkan akibat-akibat hukum
yang begitu banyak dan rumit, baik itu mengenai hak asuh anak yang masih
minderjarig, warisan, pembagian harta gono-gini dan sebagainya, tetapi dalam
skripsi ini, penulis lebih menyoroti tentang hak asuh anak yang masih
minderjarig, yang dimaksud minderjarig itu sendiri adalah anak-anak yang masih
kecil atau dibawah umur, karena anak merupakan masa depan bangsa.
Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan
9
sesuatu kewajiban bagi bekas isteri maupun anak. Sebagai ibu atau bapak
mereka tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dan jika ada
perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan
semata-mata mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang bapak
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak dan jika bapak ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya
pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya.12
Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya
orang tua juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk
mendapatkan penghidupan yang layak meliputi sandang, pangan, pendidikan
dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi) yang harus dipenuhi orang
tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah terjadi
perceraian.
Perlindungan anak dalam fungsi keagamaan, didasari oleh pemikiran
kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan-perubahan sehingga
harus mampu menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang timbul dari perubahan-
perubahan tetapi tetap dalam koridor keyakinan agama yang dianut. Hal ini juga
terjadi pada keluarga dalam mengasuh anak anaknya. Mempunyai anak berarti
memikul tanggung jawab yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak sejak dalam kandungan hingga dewasa nanti. Orang tua atau keluarga
diharapkan memahami pentingnya penanaman kesadaran terhadap Tuhan Yang
12 Pasal 41 UU. Perkawinan 40
10
Maha Esa serta pendidikan nilai-nilai moral sejak dini. Diharapkan terjadi
perubahan sikap dan perilaku seluruh anggota keluarga menadi insan-insan
yang mempunyai kepribadian yang matang dan budi pekerti yang baik, penuh
rasa cinta kasih, saling menghargai dan menghormati, taat serta mampu
menciptakan suasana harmonis dalam keluarga dan masyarakat serta bangsa.
Banyak anak yang tidak berkembang potensinya karena orang tua tidak
peka terhadap kebutuhan perkembangan anak. Anak-anak yang memiliki
kebutuhan dan perlindungan khusus perlu pendidikan khusus. Banyak anak yang
mengalami ketunaan hanya dididik untuk mengemis atau memiliki keterampilan
minimal seperti membuat sapu atau keset. Anak yang mengalami ketunaan
masih memiliki potensi yang tinggi paling tidak untuk menolong dirinya sendiri
menjalani kehidupan. Penguasaan keterampilan hidup seharusnya menjadi
perhatian orang tua dalam mendidik anak. Orang tua harus sadar tidak selama
mereka ada disamping anaknya dan tidak mungkin orang tua memantau anak
selama 24 jam, Anak harus diberi kesempatan belajar untuk menjadi dirinya
sendiri. Anak-anak terjebak menjadi anak konflik hukum atau terpaksa masuk
dalam sistem peradilan pidana karena dianggap melanggar hukum. Tindakan
yang dilakukan anak-anak saat ini berentang dari tindakan yang tergolong pada
pelanggaran lalu lintas, kejahatan kecil, kejahatan dengan alat, kejahatan susila,
hingga kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain. Anak-anak terpaksa
menjadi anak konflik hukum karena tidak memperoleh dasar pendidikan agama
yang cukup, tidak diajarkan dan diberi contoh yang baik bagaimana berperilaku
11
berdasarkan norma malah ada orang tua yang mengajari dan melibatkan
anaknya untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Fenomena kelalaian dan penelantaran anak merupakan permasalahan
yang sering terjadi dalam masyarakat, sebaliknya juga perebutan anak antara
orang tua sering terjadi seakan-akan anak adalah harta benda yang dapat
dibagi-bagi, dan setelah dibagi seolah putuslah ikatan orang tua yang tidak
mendapatkan hak asuhnya. Namun nafkah anak seringkali dilalaikan ayah yang
tidak mendapat hak asuh setelah terjadinya perceraian, sebenarnya nafkah anak
yang dilalaikan dapat dimintakan eksekusi oleh ibu atau anak. Jenis eksekusi
nafkah anak adalah eksekusi dengan membayar sejumlah uang yang dimulai
dari permohonan, aanmaning, sita eksekusi, dan diakhiri dengan lelang. Bahkan
Seorang PNS pria yang bercerai sudah tidak berhak penuh atas gajinya, di situ
ada hak isteri dan anak, hak PNS hanya 1/3 dari gajinya jika ia punya anak dan
ikut isteri atau ½ jika tidak memiliki anak.
Di dalam setiap peristiwa perceraian, apapun alasannya, merupakan
malapetaka bagi anak, anak tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang
tua secara bersamaan yang sangat penting bagi pertumbuhan mentalnya, tidak
jarang pecahnya rumah tangga mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak.
Walaupun sebenarnya masalah perlindungan terhadap anak dan kewajiban
orang tua terhadap anak ini telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itulah, maka penulis tertarik untuk menganngkat judul:
“Perlindungan Hukum terhadap Anak Pasca Kedua Orang Tua Bercerai ”
12
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi
permasalahan sebagai berikut: Bagaimana perlindungan anak setelah kedua
orang tuanya bercerai dikaitkan dengan hak asasi manusia?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi Tujuan
Penelitian adalah:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis perlindungan anak setelah kedua
orang tuanya bercerai dikaitkan dengan hak asasi manusia.
2. Sebagai salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan studi pada
Fakultas Hukum Universitas Pattimura di Ambon.
D. Kegunaan Penulisan
1. Mengetahui perlindungan anak setelah kedua orang tuanya bercerai
dikaitkan dengan hak asasi manusia.
2. Memperdalam pengetahuan tentang kedudukan anak setelah kedua
orang tuanya bercerai dikaitkan dengan hak asasi manusia.
E. Kerangka Teoritis
13
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disingkat UU. Perkawinan), perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk
menurut undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain
dalam masyarakat. Antara seorang pria dan seorang wanita, artinya dalam suatu
masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita
saja. Seorang pria artinya seorang yang berjenis kelamin pria, sedangkan
seorang wanita artinya seorang yang berjenis kelamin wanita, jenis kelamin ini
adalah kodrat karunia Tuhan, bukan bentukan manusia. suami istri adalah fungsi
masing-masing pihak sebagai akibat dari ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir
batin berarti tidak ada pula ada fungsi sebagai suami istri.13
Perceraian merupakan salah satu peristiwa yang dapat terjadi dalam
suatu perkawinan, perceraian adalah penghapusan perkawinan.14 Anak yang
berada di bawah perwalian, adalah:
a. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya
sebagai orang tua.
b. Anak sah yang orang tuanya telah bercerai.
c. Anak yang lahir di luar perkawinan (naturlijk kind).
13 Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti-Bandung, 2000, hlm.135. 14 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet.XXVI, Jakarta-Internusa, 1994, h.42.
14
Suami istri boleh melakukan perceraian apabila perkawinan mereka
sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian adalah salah satu cara
pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan hakim
yang didaftarkannya pada Catatan Sipil15, di sini yang dimaksud adalah
perceraian yang dilakukan oleh suami atau istri yang beragama non muslim.
Menurut Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang No 1 Tahun 1974 (selanjutnya disingkat PP No 9 Tahun 1975)
Pasal 19 menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-
alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
15 Ibid.
15
f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Perlindungan hukum
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian ini adalah Penelitian dengan Metode Yuridis
Normatif yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah buku-buku
atau bahan-bahan maupun karya-karya ilmiah lainnya seperti hasil seminar,
simposium atau karya ilmiah yang tersaji dalam artikel, serta menelaah
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hak cipta yang dikenal dengan Studi
Kepustakaan.
Berdasarkan pendekatan metode penelitian di atas maka dalam penulisan
menggunakan sumber data yaitu data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan yang terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
seperti Peraturan Perundang-Undangan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan
16
Undang-Undang, hasil penelitian hukum, hasil karya ilmiah dari
pakar hukum.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia,
kamus Inggris-Indonesia.16
2. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam rangka penulisan ini, penulis memperoleh bahan hukum di
lapangan yang digunakan dengan cara pengumpulan bahan hukum,
menyimpulkan :
a. Teknik wawancara, dilakukan secara terstruktur dalam bentuk
tanya jawab secara langsung. Wawancara ini dimaksudkan untuk
memperjelas informasi.
b. Bahan Hukum Kepustakaan, dengan cara membaca,
menghimpun, mempelajari, dan menganalisa bahan pustaka yang
mendukung dan relevan dengan materi yang dibahas dalam tulisan
ini, seperti hasil-hasil penelitian dan pendapat para pakar, dan
untuk memperjelas bahan hukum, dilakukan pengumpulan
informasi pada masalah tersebut.
16 Ibid, hal 116.
17
3. Analisa Bahan Hukum
Bahan hukum yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan teknik
analisis kualitatif, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan hasil temuan di
lapangan berdasarkan alat pengumpulan data yang ada baik wawancara
maupun kepustakaan.
4. Teknik Pengolahan Bahan Hukum
Teknik pengolahan bahan hukum yang digunakan penulis dengan
mengedit bahan hukum yang sudah diperoleh, diperiksa kembali mengenai
kelengkapan, kejelasan, konsistensi, informasi, dan relevansinya bagi
penyelesaian tulisan ini.
G. Sistimatika Penulisan
Sesuai dengan aturan baku penulisan karya ilmiah dan untuk
memberikan gambaran secara menyeluruh, maka penulis menyiapkan suatu
sistematika dalam penulisan Skripsi ini sebagai berikut:
Penulisan hasil penelitian Skripsi ini secara garis besar disusun
secara sistematis yang terbagi dalam 4 (empat) bab. Bab I Menguraikan
Pendahuluan, akan dikemukakan beberapa hal mendasar sebagai bahan
18
kajian, yang meliputi antara lain Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan
Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Kerangka Teoritis, dan
Sistematika Penulisan.
Bab II menjabarkan tentang Tinjauan Pustaka yang ada kaitannya
dengan judul penelitian ini yaitu Pengertian Perkawinan, Putusnya
Perkawinan, Akibat Putusnya Perkawinan, Akibat Perceraian Terhadap
Anak, .
Pada BAB III merupakan Hasil Dan Pembahasan yang berisi .Cara
menentukan hak perwalian bagi anak, apabila terjadi perceraian; Hak dan
kewajiban orang tua serta kekuasaannya Terhadap Anak; dan Kedudukan
anak setelah orang tuanya bercerai dikaitkan dengan hak asasi manusia.
Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
19
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi menurut Undang-
Undang Perkawinan barulah ada perkawinan apabila dilakukan antara seorang
pria dan seorang wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan
(Verbindtenis).17 Tentulah tidak dinamakan perkawinan apabila yang terikat
dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua) orang wanita saja.
Demikian juga tidaklah merupakan perkawinan bila dilakukan antara banyak pria
dan banyak wanita. Dan tentulah juga mungkin tidak merupakan perkawinan
kalau sekiranya ikatan lahir batin itu tidak bahagia, atau perkawinan itu tidak
kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, peraturan yang digunkan untuk mengatur perkawinan inilah yang
menimbulkan pengertian perkawinan.18
Pasal 26 KUH Perdata menyimpulkan, bahwa undang-undang hanya
memandang perkawinan dalam hubungan-hubungan perdata. Hal yang sama,
juga dapat dilihat dalam Pasal 1 HOCI (Huwelijks Ordonnantie Christen
Indonesiers), yang menetapkan bahwa tentang perkawinan undang-undang
hanya memperhatikan hubungan perdata saja.19 Undang-undang hanya
mengenal perkawinan perdata yaitu perkawinan yang dilakukan dihadapan
seorang Pegawai Catatan Sipil.20 Beberapa sarjana memberikan pengertian
perkawinan sebagai berikut :
17 Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 7.18 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1974, hal. 7.19 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1997, hal. 8.20 H. F.A. Voolmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 50.
20
1. Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang
termasuk dalam peraturan tersebut.21
2. Perkawinan adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan di
dalam hukum keluarga.22
3. Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk waktu lama.23
Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan
adanya pertentangan yang sungguhsungguh antara pendapat yang satu dengan
yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus,
mengenai banyaknya jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam
pengertian perkawinan. Dengan melihat pendapat para sarjana tersebut di atas,
maka dapat dipahami bahwa para ahli memandang perkawinan itu merupakan
perjanjian untuk membentuk rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.24
Ali Afandi berpendapat perjanjian yang ada dalam perkawinan tidaklah
sama dengan perjanjian dalam Buku III KUHPerdata, karena antara perjanjian
pada umumnya dengan perkawinan terdapat beberapa perbedaan, yaitu :
21 Wirjono Prodjodikoto, Op. Cit, hal. 7.22 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 98.23 R. Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1976, hal. 23.24 Mulyadi, Op. Cit, hal. 9.
21
1. Perjanjian pada umumnya hanya mengikat kedua belah pihak,
sedangkan di dalam perkawinan mengikat semua pihak.
2. Perjanjian pada umumnya dapat dilakukan oleh setiap orang,
sedangkan perkawinan hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-
laki dengan seorang perempuan.
3. Perjanjian pada umumnya dapat dilakukan oleh kedua belah pihak,
sedangkan perkawinan harus dilakukan oleh pemerintah.
4. Perjanjian pada umumnya mengatur segala hal yang disepakati
oleh kedua belah pihak, sedangkan perkawinan akibatnya diatur
oleh undang-undang.
5. Hak-hak yang timbul dari perjanjian pada umumnya dapat
dilimpahkan kepada orang lain, sedangkan hal-hal yang demikian
dalam perkawinan tidak mungkin dilakukan.
6. Perjanjian pada umumnya bukan merupakan hal yang mutlak,
sedangkan di dalam perkawinan bentuklah yang paling utama. 25
Perjanjian dalam perkawinan mempunyai atau mengandung 3 (tiga)
karakter yang khusus, yaitu :
a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur suka rela dari kedua
belah pihak.
b. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat
persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk
25 Ali Afandi, Op. Cit, hal. 83.
22
memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang
sudah ada hukum-hukumnya.
c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai
hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Persetujuan perkawinan itu pada dasarnya tidaklah sama dengan
persetujuan-persetujuan yang lainnya, misalnya persetujuan jual beli, sewa-
menyewa, tukar menukar. Menurut Wirjono Projodikoro, perbedaan antara
persetujuan perkawinan dan persetujuan-persetujuan yang lainnya adalah :
”Dalam persetujuan biasa para pihak pada pokoknya. Penuh merdeka untuk menentukan isi dari persetujuan itu sesuka hatinya, dengan ketentuan bahwa persetujuan itu tidak bertentangan dengan UndangUndang kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu perkawinan sudah sejak semula ditentukan oleh hukum, isi dari persetujuan antara suami istri itu”26
Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk
melakukan perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat
pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hal-hal
masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan
mengenai kedudukannya dalam masyarakat dan anak-anak keturunannya. Juga
dalam menghentikan perkawinan, suami dan istri tidak leluasa penuh untuk
menentukan sendiri syarat-syarat untuk penceraian itu, melainkan terikat juga
pada peraturan hukum perihal itu. Menurut Undang-Undang Perkawinan asas
26 Mohammad Idris Ramulyo, 1999, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 17.
23
yang dianut adalah asas monogami sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 ayat
(1) yang berbunyi sebagai berikut :
”Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
Kaidah Pasal 3 ayat (1) tersebut terdapat kemiripan dengan bunyi Pasal
27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :
”Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya”.27
Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum
sebagai berikut :
1. Timbulnya hubungan antara suami-istri.
2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan.
3. Timbulnyan hubungan antara orang tua dan anak.
Akibat perkawinan terhadap suami isteri menimbulkan hak dan kewajiban
antara suami isteri. Hak dan kewajiban antara suami isteri diatur dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1979, yang menetapkan sebagai
berikut :
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
27 Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hlm.33.
24
2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam
pergaulan masyarakat.
3. Suami-isteri berhak melakukan perbuatan hukum.
4. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.
Disamping itu suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga dengan kemampuannya dan isteri wajib
mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.
5. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin satu kepada yang lain;
6. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan
tempat kediaman tesebut ditentukan oleh suami isteri bersama.
Selanjutnya apabila suami atau isteri melalaikan kewajiban, maka masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Sedangkan akibat
perkawinan yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, diatur dalam
Pasal 35 sampai Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan sebagai
berikut :
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,
sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami-isteri.
Apabila ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami isteri tersebut
25
menjadi harta bersama. Untuk menentukan agar harta bawaan suami dan isteri
menjadi harta bersama, maka suami dan isteri tersebut harus membuat
perjanjian kawin. Perjanjian kawin harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan; Perjanjian kawin adalah perjanjian perjanjian yang dibuat calon
suami dan isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta
kekayaan mereka.
Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yang
menetapkan :
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum agama dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan Perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-
masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
26
hukum hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai
harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik
menurut Riduan Syahrani adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat, dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing . Menurut penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974,
yaitu hukum agama (kaidah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Selanjutnya akibat perkawinan terhadap anak yang lahir dalam perkawinan
menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.
a. Keadaan orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-
baiknya, sampai anak itu kawin atau kawin atau dapat berdiri sendiri-
sendiri. Selanjutnya kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan
kedua orang tua putus; Dalam praktek, apabila perkawinan putus karena
perceraian atau karena atas putusan Pengadilan, maka atas permohonan
dari pihak suami atau isteri, Pengadilan akan menyerahkan anak-anak
tersebut kepada suami atau isteri yang benar-benar beriktikad baik, untuk
dipelihara dan dididik secara baik;
b. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin,
berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya;
27
c. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum
baik di dalam dan di luar Pengadilan;
d. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut
kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, untuk waktu tertentu
atas permintaan orang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan
saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.
Kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan alasan, ia sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya atau ia berkelakuan buruk sekali. Meskipun
tetap berkewajiban memberi biaya pemeliharaan anak mereka. Apabila No. 1
sampai dengan No. 5 di atas diperhatikan secara seksama, maka sebenarnya
No. 1 sampai dengan No. 5 tersebut merupakan kewajiban orang tua kepada
anak mereka.
Menurut penulis, yaitu apa yang menjadi kewajiban orang tua itu
merupakan hak dari anaknya. Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak
terhadap orang tuanya saja, akan tetapi anak juga mempunyai kewajiban
terhadap orang tuanya. Kewajiban tersebut, yaitu :
a. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik;
b. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka
memerlukan bantuannya.
28
Menurut penulis, apa yang menjadi kewajiban anak terhadap orang
tuanya itu, merupakan hak dari orang tuanya. Kedudukan anak menurut UU No.
1 Tahun 1974 diatur dalam dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Dari ini
Pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 membedakan
antara anak sah dengan anak luar kawin Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang sah disebut anak luar kawin. Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya, keluarga ibunya.
Kemudian meskipun anak itu dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah, namun bilamana suami dapat membuktikan, bahwa
isterinya telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan, maka suami dapat
menyangkal keabsahan anak tersebut. Penyangkalan keabsahan seorang anak
harus diajukan kepada Pengadilan. Kemudian pengadilan memberikan
keputusan tentang sah dan tidaknya anak, atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
Apabila kita lihat isi Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Surat
Edaran Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb.0807, tentang
Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974 dapat diketahui, bahwa Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 tersebut belum
dapat diperlakukan secara efektif. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974:
29
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:
4. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
5. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:
1. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya. Bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian untuk kedudukan anak, dengan sendirinya masih
diperlakukan ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan lama, yaitu Hukum
Agama (Keadaan Agama), Hukum Adat dan KUHPerdata (Pasal 66 UU No. 1
Tahun 1974). Suatu perkawinan dapat putus dikarenakan beberapa sebab
berikut :
a. Kematian salah satu pihak
b. Perceraian baik atas tuntutan suami maupun istri
c. Karena putusan pengadilan.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak. Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian itu harus
30
dilakukan di depan pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka
yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan,
bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Namun ketentuan ini
lebih banyak mendatangkan kebaikan, maka sudah sepantasnya apabila orang
Islam wajib mengikuti ketentuan ini.28
Untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami istri
itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Perceraian dapat terjadi karena
alasan-alasan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi yang sulit
untuk disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami istri.
e. Salah satu pernah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lainnya.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
28 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hal. 128.
31
Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, gugatan perceraian diajukan kepada
pengadilan, sedangkan tata cara mengajukan gugatan diatur dengan Pasal 14
dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, yang bunyinya sebagai
berikut : Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama
Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan
ditempat tinggalnya yang sesuai pemberitahuan bahwa ia bermaksud
menceraikan istrinya dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan
agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi :
(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal keduanya suami istri, suami atau istri.
(2) Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilaksanakan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.
(3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan, pembatalan perkawinan tuntutan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah.
Beberapa sengketa perkawinan serta sahnya perceraian hanya dapat
dibuktikan dengan keputusan pengadilan Agama untuk orang-orang Islam
dan Pengadilan Negeri untuk orang-orang non Islam. Akibat dari putusnya
perkawinan karena perceraian baik bagi pihak suami maupun istri tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi
kepentingan anak.
32
Adapun akibat perceraian terhadap anak-anak yang masih di bawah umur
ada dua bentuk yaitu:
1. Menyangkut masalah perwalian.
2. Menyangkut masalah-masalah keuntungan yang ditetapkan menurut
Undang-Undang atau menurut Perjanjian kawin.
Menurut Undang-Undang Perceraian merupakan salah satu sebab
bubarnya perkawinan. Undang-Undang memberi kepastian bahwa
perkawinan bubar karena kematian, karena keadaan tidak hadir si suami atau
isteri, selama 10 tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau
suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima bab
delapan belas. Karena putusan hakim setelah perpisahan meja dan ranjang
dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam
Register Catatan Sipil. Ketentuan ini terdapat di dalam Pasal 189 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas terdapat tiga hal yang memerlukan
penjelasan lebih lanjut, yakni :
1. Tidak hadirnya salah satu pihak.
2. Putusan Hakim; dan
3. Perceraian.
B. Pengertian Anak
33
Dikatakan anak yaitu seorang yang dilahirkan antara seorang perempuan
dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seorang yang
dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap
dikatakan anak.
Anak merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan
penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia pembangunan
nasional. Anak adalah suatu aset bangsa, semakin baik kepribadian anak maka
semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan
masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan. Bagi kebanyakan anak mereka
tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat
bahwa mereka bukan lagi anak-anak tetapi orang dewasa. Menurut Hurlock
(1980), manusia berkembang melalui beberapa tahapan yang berlangsung
secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu
dan bisa berlaku umum. Lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat
dilihat pada uraian berikut:
Masa pra-lahir : dimulai saat terjadinya konsepsi lahirMasa jabang bayi : 1 - 2 mingguMasa bayi : 2 minggu - 1 tahunMasa anak : 1 tahun -12 tahunMasa remaja : 13 - 21 tahunMasa dewasa : 21 - 41 tahunMasa tengah baya : 40 – 60 tahunMasa tua : 60- meninggal29
29 Aminah Aziz. Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan, 1998. Hal 5-6
34
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam
bidang ilmu pengetahuan (the body of knowlegde). Tetapi dapat dilihat dari sisi
pandang sentralistis kehidupan, misalnya: agama, hukum, dan sosiologi
menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan
sosial.
a. Pengertian Anak dari Aspek Sosiologis
Aspek sosiologis pengertian anak itu menunjukan bahwa anak sebagai
makhluk sosial ciptaan Tuhan, yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan
masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan sebagai
kelompok sosial paling kecil di masyarakat.
Arti anak dari aspek sosial ini mengarahkan pada perlindungan kodrati
karena keterbatasan yang dimiliki oleh anak sebagai wujud untuk berinterkasi
dengan orang dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak
berada pada proses pertumbuhan, proses belajar, dan proses sosialisasi dari
akibat usia yang belum dewasa: disebabkan kemampuan daya nalar (akal) dan
kondisi fisik dalam pertumbuhan atau mental spritual yang berada di bawah
kelompok usia orang dewasa.30
b. Pengertian Anak dari Aspek Ekonomi
30 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Grasindo. Jakarta. 2000. Hal 5
35
Dari aspek ekonomi, status anak sering dikelompokan pada golongan
yang non produktif. Jika terdapat kemampuan ekonomi yang persuasif dalam
kelompok anak, kemampuan tersebut dikarenakan anak mengalami transformasi
finansial yang disebabkan dari terjadinya interaksi dalam lingkungan keluarga
yang berdasarkan nilai kemanusiaan.
Kenyataan-kenyataan dalam masyarakat sering memproses anak-anak
melakukan kegiatan ekonomi atau kegiatan produktivitas yang dapat
menghasilkan nilai-nilai ekonomi.
Kelompok pengertian anak dalam bidang ekonomi, mengarah pada
konsepsi kesejahteraan anak yang ditetapkan oleh Undang-undang No. 4 Tahun
1979 tentang kesejahteraan anak adalah “hak asasi anak harus diusahakan
bersama.”31
c. Pengertian Anak dari Aspek Agama
Pandangan anak dari pengertian religius akan dibangun sesuai ajaran
agama, anak mendapat kedudukan istimewa . Anak adalah titipan Tuhan kepada
orang tua untuk di sayangi dan didik.
31 Ibid. Hal 13
36
d. Pengertian Anak dari Aspek Hukum
Didalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak,
didalam hal ini adalah sebagai akibat dari tiap-tiap peraturan Perundang-
undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai pengertian anak itu
sendiri. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari
pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai
subjek hukum dan meliputi pengelompokan kedalam subsistem sebagai berikut:
1. Berdasarkan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tolak
ukur kapan seseorang dikatakan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat
dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang
yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya.
Pada pasal 7 ayat (1) undang-undang ini memuat batas minimum usia
untuk dapat kawin bagi pria 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam
belas) tahun.
Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma, menarik batas antara dewasa dan
belum dewasa sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Namun yang perlu
diperhatikan adalah anak harus dilindungi dan disayangi.32
32 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara
37
2. Berdasarkan UU No 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak
Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak menyebutkan : “Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.
3. Berdasarkan UU Pengadilan Anak
Anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang
berbunyi : “ anak adalah orang dalam perkara anal nakal yang telah mencapai
umur 8 tahun (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah menikah.”
Didalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut:
Pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18
(delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin,
artinya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan
bercerai, apabila anak sedang terikat dalam hal perkawinan atau perkawinannya
putus karena perceraian oleh karena itu anak sudah dianggap dewasa walaupun
belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
4. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
38
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senanantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan
hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
5. Berdasarkan Hukum Pidana dan Perdata
Pengertian anak didalam hukum pidana lebih diartikan pada pemahaman
terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki
subtansi yang lemah dan didalam sistem hukum dipandang sebagai subjek
hukum yang dikaitkan dari bentuk pertanggung jawaban sebagaimana layaknya
seorang subjek hukum yang normal.33
Pengertian anak dalam aspek hukum pidana ini menimbulkan aspek
hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk
membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan
anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik.
Pada hakekatnya, kedudukan status dari pengertian anak di dalam hukum
pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut:
a. Ketidak mampuan untuk bertanggung jawab tindak pidana.
b. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikann
mental spritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan
anak itu sendiri.
33 Darwin Prinst. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2003. Hal 2
39
c. Pengembalian hak-hak dengan jalan mensubtitusikan hak anak
yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara, dengan
maksud untuk mensejahterahkan anak.
d. Hak untuk menerima pelayanan dan asuhan, serta hak dalam
proses hukum acara pidana.
Pengertian anak dalam hukum perdata diliat dari berbagai aspek
keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum yang tidak
mampu. Aspek tersebut meliputi: status belum dewasa sebagai subjek hukum
dan hak anak dalam hukum perdata. Pada pasal 339 KUHP Perdata
memberikan makna anak adalah orang yang belum dewasa yang belum
mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak kawin. Dalam ketentuan hukum
perdata anak mempunyai kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang
amat penting. Terutama dalam hal memberikan perlindungan terhadap hak
keperdataan anak, misalnya dalam masalah pembagian harta warisan, sehingga
anak yang berada dalam kandungan seoarang perempuan dianggap telah
dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendaki sebagaimana yang
dimaksudkan oleh pasal 2 KUH Perdata.
C. Pengertian Perlindungan Anak
Pada hakekatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai
macam ancaman mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh
40
karena itu anak harus dibantu orang lain dalam melindungi diri mengingat situasi
dan kondisinya. Melindungi anak adalah melindungi manusia dan membangun
manusia seutuhnya. Perlindungan anak merupakan hal yang sangat penting
demi terciptanya kontiunitas negara, karena anak merupakan cikal bakal suatu
generasi manusia dalam pembangunan bangsa. Perlindungan anak adalah
suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan
hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif.34
Menurut Arif Gosita, perlindungan anak merupakan suatu hukum baik
yang tertulis maupun tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya. Barda Nawawi Arief mengartikan bahwa
istilah perlindungan anak adalah sebagai upaya perlindungan hukum terhadap
berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedom of
children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
anak.35
Pengertian perlindungan anak dalam arti luas adalah semua usaha yang
melindungi anak melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi positif.
Setiap anak melaksanakan haknya, ini berarti dilindungi untuk memperoleh dan
mempertahankan haknya untuk hidup mempunyai kelangsungan hidup,
34 Romli Atmasasmita. Peradilan Anak di Indonesia. Mandar Maju. Bandung, 1997. Hal 16535 Aminah Aziz, Op Cit Hal 15
41
bertumbuh kembang dan perlindungan pelaksanaan hak dan kewajibannya
sendiri dan dapat perlindungan.36
Dalam hukum perdata, perlindungan anak tidak hanya diberikan kepada
anak yang lahir saja, tetapi termasuk anak yang masih didalam kandungan
ibunya, bilamana kepentingan si anak mengendaki dan jika anak tersebut mati
sebelum dilahirkan maka anak dianggap tidak pernah ada, hal ini termuat dalam
pasal 2 KHUP Perdata. Dalam pasal 330 KHUP Perdata anak yang belum
dewasa atau belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin
perlindungannya berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali.
Selain diatur dalam pasal 330 KUHP Perdata perlindungan anak ini diatur
juga dalam pasal 345, 353, 365, dan 395 KUHP Perdata.37
Upaya perlindungan hukum bagi anak tidak hanya dengan menyiapkan
subtansi hukum (legal subtance), tetapi juga perlu dukungan oleh pemantapan
struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). Perlindungan
anak dalam hukum pidana terbagi dua yaitu: didalam KHUP dan diluar KHUP
perlindungan lagi atas perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana dan
perlindungan anak sebagai korban kejahatan.
36 Romli Atmasasmita, Op Cit. Hal 16737 Ibid. Hal 42
42
Perlindungan anak dalam KHUP diatur dalam pasal 283, 287,290, 292,
293, 294,295, 297, 314, 330, 332, 337, 342, 364, 347 (1) dan pasal 348 KHUP
yang kesemuanya berkaitan dengan delik kesusilaan.
Diluar KHUP banyak sekali mengatur perlindungan anak, antara lain
dapat dilihat dalam UU No. 12 Tahun 1948 jo. UU No.1 tahun 1951 tentang
Perlindungan Terhadap Pekerja Anak, Stb.1925 No 47 Tentang Pembatasan
Kerja Malam bagi Wanita, UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memaparkan sedikit bentuk
perlindungan di luar KHUP, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, karena penulis berpendapat bahwa UU ini sangat relevan dengan judul
tulisan ini.
UU No. 23 Tahun 2002 ini merupakan babak baru terhadap upaya
perlindungan anak. UU ini memberi peluang yang sebesar-besarnya kepada
pemerintah dan masyarakat untuk berperan memberi perlindungan terutama
perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Anak dari
kelompok minoritas, korban eksploitasi ekonomi dan seksual, anak korban
penyalah gunaan NAPZA, anak korban kekerasan fisik maupun mental, anak
penyandang cacat, serta anak yang mendapat perlakuan penelantaraan.
Menurut Nawawi perlindungan anak mencakup berbagai aspek antara lain:
43
1. Perlindungan terhadap hak-hak anak dan kebebasan anak.
2. Perlindungan anak dalam proses pengadilan.
3. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial).
4. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi.
5. Perlindungan terhadap anak jalanan.
6. Perlindungan anak dari akibat peperangan/konflik.
7. Perlindungan anak terhadap tindak kekerasan.
8. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan.
Perlindungan anak dalam UU ini bertujuan menjamin terpenuhinya hak-
hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai harkat, martabat, dan kemanusiaan serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.38 Perlindungan anak dapat diartikan
sebagai upaya perlindungan terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak
serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.
38 Aminah Aziz, Op Cit. Hal 41
44
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak akan dapat terwujud
dengan melihat Undang-undang yang oleh pemerintah sebagai lembaga yang
berhak mengeluarkan UU bersama dengan DPR seperti UU No. 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, UU
No. 23 Tahun 2002 tetang Perlindungan Anak . Undang-undang yang tersebut di
atas mempunyai persamaan persepsi tentang kebijakan kelangsungan hidup,
tumbuh kembang, perlidungan dan peran serta anak yang didasarkan pada tiga
aspek utama Konvensi Anak yaitu:
a. Kelangsungan hidup (survival),
b. Tumbuh Kembang (developmental) dan,
c. Perlindungan (protection)
Hal tersebut di atas dikemukakan beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan peghidupan
anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar, baik secara rohaniah, jasmaniah maupun sosialnya.
2. Hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar yang seharusnya
diperoleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang
dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah, ekspoitasi dan
penelantaran terhadap anak, baik yang mencakup hak sipil, ekonom,
sosial dan budaya anak.
45
Perlindungan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk mencegah,
merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan
salah, ekspoitasi dan penelantaraan agar dapat menjamin kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya.
Hak-hak Anak Undang-undang No. 4 Tahun 1979, Bab II Pasal 2 sampai
dengan 9, mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, diperkuat dalam Undang-
undang Nomor 23/2002 dalam Bab III Pasal 4 sampai 18 sebagai berikut:
1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan. Anak
berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
Dimaksud dengan asuhan, adalah berbagai upaya yang dilakukan
kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak
terlantar dan anak yang mengalami masalah kelainan yang bersifat
sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat
tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani
maupun sosial (Pasal 1 angka 32 PP No. 2 Tahun 1988).
2. Hak atas pelayanan, Anak berhak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai
dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga
negara yang baik dan berguna. (Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 4
46
Tahun 1979). Hak atas pemeliharaan dan perlindungan Anak berhak
atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan (Pasal 2 ayat Undang-undang No. 4
Tahun 1979).
3. Hak atas perlindungan lingkungan hidup, Anak berhak atas
perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan
atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar
(Pasal 2 ayat 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1979).
4. Hak mendapat pertolongan pertama, Dalam keadaan yang
membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat
pertolongan dan bantuan dan penlindungan (Pasal 3 Undang-undang
No. 4 Tahun 1979).
5. Hak memperoleh asuhan, Anak yang tidak mempunyai orang tua
berhak memperoleh asuhan oleh negara, atau orang, atau badan lain
(Pasal 4 ayat 1 Undangundang No. 4 Tahun 1979). Dengan demikian
anak yang tidak mempunyai orang tua itu dapat tumbuh dan
berkembang secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosi
6. Hak memperoleh bantuan, Anak yang tidak mampu berhak
memperoleh bantuan, agar dalam lingkungan keluarganya dapat
tumbuh dan berkembang dengan wajar (Pasal 5 ayat 1 Undang-
undang No. 4 Tahun 1979). Menurut PP No. 2 Tahun 1988, bantuan
47
itu bersifat tidak tetap dan diberikan dalam jangka waktu tertentu
kepada anak yang tidak mampu (Pasal 1 ayat 4).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Orangtua Terhadap Hak Asuh Anak
Setelah Terjadinya Perceraian
Hak dan kewajiban orang tua setelah terjadi nya perceraian merupakan
peranan penting dan sangat berpengaruh untuk masa depan anak. Untuk itu
diperlukan lah peraturan-peraturan untuk hak asuh anak dibawah umur akibat
perceraian mengenai hak dan kewajibannya. Di Wilayah hukum memiliki
peraturan-peraturan untuk memutuskan suatu perkara mengenai hak dan
kewajiban apa saja yang harus di laksanakan oleh orang tua setelah perceraian.
Perlindungan yang harus diperoleh anak ialah masalah pendidikan, nafkah dan
hal – hal yang terkait pada Undang-undang perlindungan anak dari segi
perdatanya saja dari kedua orangtua yang telah bercerai
Pada Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 26 ayat (1) ditegaskan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung
48
jawab mengenai asuhan, pemeliharaan, dan melindungi anak serta menumbuh
kembangkan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
Kedua orang tua wajib memberikan hak dan kewajiban terhadap anak
dibawah umur sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan dengan menegaskan
kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
sesuai kepentingan si anak dan bila ada perselisihan maka Pengadilan yang
memberikan keputusan.
Jika pihak ayah atau ibu tidak melaksanakan hak dan kewajibannnya
maka maka salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut melalui
pengadilan negeri. Pada Pasal 230b Kitab Undang-undang Hukum Perdata
berbunyi :
“Dalam penetapan termaksud dalam ayat ke satu pasal 229, Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah seperti teratur pula dalam ayat tersebut, dan setelah mendengar Dewan Perwalian, jika kiranya ada kekhawatiran, bahwa si bapak atau si ibu yang tidak di angkat menjadi wali, tidak akan memberikan tunjangan secukupnya guna pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang belum dewasa boleh memerintahkan pula kepada orang tua itu supaya untuk keperluan tersebut tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan atau triwulan memberikan sejumlah uang, yang ditentukan pula dalam penetapan, kepada Dewan Perwalian”
Sebuah gugatan perceraian tidak selalu diikuti dengan permohonan hak
pengasuhan anak. Dapat dilihat pada ketentuan Pasl 41 huruf a Undang-undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa akibat putusnya
perkawinan karena perceraian adalah ibu atau bapak tetap berkewajiban
49
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
si anak. Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak , pengadilan
memberi keputusannya.
Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak dapat diartikan
secara hukum, bahwa permohonan hak asuh/penguasaan anak hanya ada
setelah perceraian dikabulkan oleh pengadilan dan memilki kekuatan hukum
yang tetap. Mengacu pada ketentuan Pasal 41 huruf a diatas, dapat dipahami
bahwa dalam kasus perceraian tidak harus diikuti dengan permohonan
penguasaan/hak pengasuhan anak. Sesungguhnya hak pengasuhan anak dan
perceraian adalah dua masalah hukum yang berbeda.
Jika dibedakan menjadi dua sisi antara perceraian dan hak asuh anak,
perceraian bisa terjadi karena alasan-alasan yang sudah di uraikan di bagian
sebelumnya. Sementara sebuah tuntutan akan hak asuh anak dilakukan karena
salah satu orang tua tersebut telah mengabaikan ketentuan tentang “ Hak dan
Kewajiban sebagai orang tua.” Kewajiban sebagai orangtua diatur dalam Pasal
49 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dalam
Pasal 26 ayat (1) Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Berikut adalah aturan hukum Indonesia.
1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
2. Ia berlakuan buruk sekali.
3. Tidak bertanggung jawab untuk hal-hal dibawah ini;
50
a. Mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi
anak.
b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya.
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Penggabungan proses perceraian pemeliharaan anak dan perceraian
ialah untu menyederhanakan proses dan menghindarkan putusan yang saling
bertentangan. Praktik ini juga membuat proses peradilan menjadi lebih
sederhana, cepat, dan murah. Namun, pengadilan dalam menggabungkan
perkara antara perceraian dengan permohonan pengalihan penguasaan/hak
asuh anak dalam suatu gugatan, sepanjang dalam gugatannya, penggugat dapat
menguraikan sebab dan akibat antara kedua permasalahan tersebut, serta
dibuktikan berdasarkan fakta-fakta.
Dalam hal persengketaan hak pengasuhan anak, setelah putusnya
perkara salah satu pihak selalu ada yang tidak setuju dengan apa yang telah
diputuskan, sehingga demikian Pengadilan negeri masih bisa menerima dan
mempunyai wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut dengan adanya
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tersebut. Bahwa masih mempunyai
wewenang untuk menyelesaikan perkara jika salah satu pihak ayah atau ibu
tidak menjalankan hak dan kewajibannya, sepanjang salah satu pihak yang
51
merasa berkepentingan terhadap hak-hak anak mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Negeri yang berhak mengadili.
Hak dan kewajiban terhadap hak asuh anak dibawah umur terkadang
tidak terlaksana sebagaimana yang telah diputuskan oleh majelis hakim. Setelah
terjadinya perceraian mayoritas dari pasangan suami isteri yang bercerai selalu
memepersengketakan masalah hak untuk mengasuh anak dibawah umur
dengan cara tidak efektif, padahal bentuk dari penyelesaian persengketaan itu
dapat dilakukan dengan cara lain yang lebih efektif.
Bentuk penyelesaian dari jika salah satu dari ayah atau ibu tidak
melakukan hak dan kewajibanya yaitu mediasi atau perdamaian diluar
pengadilan, jika mediasi tidak berhasil maka dilanjutkan ke pengadilan dan
majelis hakim akan memberikan keputusan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan hukum dan kepatutan. Pasca perceraian, secara umum, anak
berhak mendapat:
1. Kasih sayang, meskipun orangtua sudah bercerai, anak harus tetap
mendapatkan kasih sayang dan anak berhak menentukan dengan siapa
dia akan tinggal. Setelah bercerai, banyak anak yang tidak mendapatkan
kasih sayang secara penuh akibat keegoisan dari orang tua itu sendiri.
Sehingga menumbuhkan rasa ketakutan dari anak tersebut terhadap
salah satu orang tua nya yang tidak memiliki kuasa secara penuh. Dalam
hal anak yang telah dewasa dapat menentukan pilihan kepada siapa ia
akan tinggal, namun pada anak yang belum dewasa dapat ditentukan oleh
52
Majelis hakim, pada putusan Perceraian kepada yang dianggap mampu
memelihara, mendidik anaknya hingga dewasa (anak tersebut dapat
menentukan kepada siapa ia akan tinggal selanjutnya).
2. Pendidikan, Memberikan pendidikan yang layak untuk anak tersebut,
seperti memasukan anak tersebut ke tempat pendidikan (sekolah),
memberikan pelajaran spiritual (agama), memberikan pelajaran tata
karma, etika dan moral si anak agar ank tersebut dapat bersosialisai
dengan baik terhadap lingkungan disekitarnya.
3. Perhatian kesehatan, Memberikan perlindungan kesehatan baik segi fisik
maupun non fisik, perlindungan segi fisik disini merupakan menjaga agar
anak tidak terkena penyakit atau menjaga kesehatan nya dengan
memberikan vitamin yang terjauhi dari penyakit.
4. Tempat tinggal yang layak, Memberikan tempat tinggal yang layak, yang
nyaman bagi anak sehingga anak dapat merasakan tempat tersebut
bukanlah suatu tempat yang berbeda dengan sebelumnya meskipun
kedua orang tua nya telah bercerai. Diperlukannya kerja sama yang baik
dari kedua orang tua, karena dari tempat tinggal yang berbeda akan lebih
mempengaruhi pemkiran anak, dikarenakan si anak tinggal hanya dengan
salah satu orang tuanya dan mungkin di tempat yang berbeda dan
suasana yang berbeda.
53
Keempat unsur dasar di atas harus dipenuhi oleh orangtua terhadap anak,
jika mereka bercerai. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula, jika ada orangtuanya
bercerai, maka salah satu pihak tidak memenuhi hak-hak anak, sehingga hak-
hak anak tersebut terabaikan. Untuk kondisi seperti ini, sang orangtua bisa saja
mendapat sanksi sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditetapkan pada saat
proses perceraian dilakukan. Namun, tidak sedikit pula keluarga yang
menyelesaikan sengketa perceraian mereka dengan cara damai dan
kekeluargaan.
Walaupun demikian, penyelesaian secara kekeluargaan ini masih memiliki
satu kelemahan, yakni dalam hal monitoring atau pengawasan. Setelah dibuat
kesepakatan, bisa saja salah satu dari pasangan orangtua yang sudah bercerai
ini tidak menjalankan kesepakatannya sehingga tidak ada sanksi yang bisa
diterapkan. Terlebih lagi, jika pasangan orangtua ini menikah secara siri, Dalam
kasus ini, tidak akan ada dokumen sah dan lengkap yang harus
dipertanggungjawabkan jika mereka kemudian memutuskan untuk bercerai.
Perceraian selalu saja merupakan rentetan goncangan-goncangan yang
menggoreskan luka batin yang dalam bagi mereka yang terlibat, terutama anak-
anak. Sekalipun perceraian tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan damai
oleh orangtuanya, hal itu tetap saja menimbulkan masalah bagi anak-anak
mereka. Reaksi anak akan berbeda-beda terhadap perceraian orangtuanya.
Semua tergantung pada umur, intensitas serta lamanya konflik yang berlangsung
sebelum terjadi perceraian.
54
Setiap anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang
berbeda-beda. Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah
berusia sekolah atau remaja, biasanya akan merasa ikut bersalah dan
bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka juga merasa khawatir terhadap
akibat buruk yang akan menimpa mereka. Adakalanya bagi sebagian anak,
perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan
mereka. Paling tidak perceraian tersebut menyebabkan munculnya rasa cemas
terhadap kehidupan mereka di masa kini dan di masa depan.
Anak-anak yang orang tuanya bercerai sangat menderita, dan mungkin
lebih menderita daripada orangtuanya sendiri. Keterlibatan pemerintah juga
sangat diperlukan untuk memberikan solusi terbaik terhadap anak-anak korban
perceraian untuk memastikan hak-hak mereka selaku anak bisa dipertahankan.
Membuat aturan yang lebih ketat dalam proses perceraian di pengadilan bisa
menjadi salah satu alternatif bagi perlindungan terhadap anak. Dengan demikian
maka keluarga sangat dibutuhkan oleh setiap anak karena dalam keluargalah
anak akan tumbuh dan berkembang secara baik. Mereka akan mendapatkan
kasih sayang dan perlindungan yang sepenuhnya dariorangtua mereka.
Saat proses perceraian masih berjalan di Pengadilan, kedua orang tua
tetap berkewajiban untuk memelihara, mendidikan, mengasuh dan merawat
anaknya tersebut. hal ini terdapat dalam pasal 45 Undang-undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan :
55
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
b. Kewajiban orang tua yang di maksud dalam ayat (1) Pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua
putus.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 tersebut, selama perceraian belum di
putus, kedua orang tua tetap berkewajiban untuk menanggung segala kebutuhan
anaknya. Tidak ada yang lebih berhak dan tidak ada pula yang dapat
menyatakan tidak berhak menanggung kebutuhan anak.
Pengadilan dapat pula memberi keputusan tentang siapa diantara mereka
berdua yang menguasai anak yakni memelihara dan mendidiknya, apabila ada
perselisihan antara keduanya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu juga
didasarkan kepada kepentingan anak. Dalam Pasal 47 dinyatakan seperti
berikut:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam
dan di luar pengadilan.
Apabila orangtua melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak
mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya,
56
maka kekuasaan orangtua dapat dicabut dengan putusan pengadilan. Menurut
M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa : Orangtua yang melalaikan kewajiban
terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orangtua itu atau sama sekali
tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena
dijatuh hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan
kepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya.
Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh
sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh
yang baik.
Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dalam hal orangtua anak tidak cakap melakukan perbuatan
hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka
seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk
sebagai wali dari anak yang bersangkutan.
Tidak semua orangtua yang dapat memberikan hak untuk pengasuhan
anak mengenai hak dan kewajiban, karena adanya keterbatasan salah satu
pihak orang tua melarang anaknya untuk bertemu salah satu pihak orang tua
yang tidak memilki kuasa penuh. Keterbatasan yang diberikan oleh salah satu
orang tua terhadap salah satu orang tua yang tidak memiliki kuasa secara penuh
sangat tidak lazim untuk dilaksanakan, karena setelah terjadinya perceraian,
dapat dikatakan bahwa hanya perkawinan lah yang diputuskan bukan hubungan
antara orang tua dan anak, dengan terjadinya keterbatasan ini akibatnya
57
membawa negatif terhadap anak, yaitu psikologis anak yang terabaikan atau
terlantarkan.
Pelaksanaan pengasuhan anak, dalam lingkup hak dan kewajiban banyak
menimbulkan masalah, akibat dari anak tersebut di asuh oleh salah satu pihak
yang memiliki kuasa penuh sehingga menimbulkan kendala-kendala bagi pihak
yang tidak mengasuh anak tersebut secara penuh. Hal ini dikarenakan pasangan
suami isteri yang telah bercerai tidak dapat bekerja sama dengan baik dalam
memelihara anak tersebut.
Dampak negatif dari keterbatasannya pertemuan antara salah satu pihak
orang tua yang tidak memilki hak pengasuhan penuh adalah kepada anak
tersebut, yang memepengaruhi mental dan menumbuhkan rasa tanda tanya
yang sangat besar yang mempengaruhi perkembangan pola pikir anak tersebut.
Agar tidak tumbuhnya pola pikir yang tidak baik terhadap anak tersebut,
seharusnya orang tua dapat mencari bentuk penyelesaian jalan yang terbaik
demi kepentingan si anak yang lebih bisa diterima oleh anak sehingga tidak
adanya bentuk negatif yang memepengaruhi anak tersebut.
Dalam hal penyelesaian bentuk dari masalah hak asuh anak ini
merupakan kerjasama yang baik antara kedua orang tua agar tidak
menumbuhkan pengaruh negatif terhadap anak. Kerjasama yang dimaksud disini
ialah sama-sama memberikan nafkah, mendidik dan memelihara tanpa
menanamkan sifat tercela kepada si anak bahwa perceraian yang dilakukan
kedua orang tua itu adalah hal terburuk dan hal yang menakutkan, sehingga
58
adanya rasa kebencian yang timbul dari pemikiran anak terhadap salah satu
orang tuanya.
Adapun bentuk dari penyelesaian sengketa pengasuhan anak ini dapat
melalui mediasi, yaitu perdamaian di luar Pengadilan, namun hal ini jarang dapat
dilaksanakan, karena dianggap kurang konkrit,bahkan pada kenyataannya
mediasi yang dilakukan banyak yang tidak membuahkan hasil dan mencapai titik
temu sehingga menimbulkan masalah baru dari kedua belah pihak, sehingga
pasangan suami isteri tersebut langsung melanjutkan ke pengadilan dan lebih
memilih menunggu keputusan dari Majelis Hakim yang dianggap lebih jelas,
konkrit, dan pasti.
Bentuk penyelesaian yang ada di perlukannya mediasi dari kedua belah
pihak agar dapat diselesaikan, jika tidak mantan suami ingin memperkara kan
kembali atau mengajukan tuntutan kembali terhadap isteri karena telah
membawa anak tersebut tanpa sepengetahuan mantan suami dan tidak sesuai
dengan apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim bahwa hak pengasuhan
anak jatuh kepihak suami.
Dalam hal kekuasaan orangtua terhadap anak setelah terjadinya
perceraian dalam Pasal 300 KUHPerdata disebutkan bahwa kecuali jika terjadi
pelepasan dan atau berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan
ranjang, si ayah sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Selanjutnya ditentukan
bahwa bila si ayah dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan
orangtua, kekuasaan itu dilakukan oleh si ibu, kecuali dalam hal adanya pisah
59
meja dan ranjang. Pada ayat (2) disebutkan pula bila si ibu ini juga tidak dapat
atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali
sesuai dengan Pasal 359.
Ketentuan Pasal 300 KUHPerdata tersebut diatas dimaksudkan karena
ada kekhawatiran bahwa tidak ada persesuaian antara ayah dan ibu dalam hal
kekuasaan orangtua, sehingga pihak ketiga, hakimlah yang harus turut campur.
Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 41
ayat (2) menegaskan bahwa bapak lah yang memiliki tanggung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan si anak tersebut,
namun jika bapak terbukti tidak dapat untuk memenuhi kewajiban tersebut maka
pihak Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Adapun bentuk penyelesaian menurut mantan suami dan isteri ini
merupakan perdamaian dengan menjalankan kerjasama yang baik dalam hal
melaksanakan hak dan kewajiban untuk anak tersebut hingga tidak adanya
batasan untuk salah satu pihak bertemu dengan anak nya.
B. Aturan Hukum Tentang Perlindungan Anak Korban Perceraian
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang
salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap
Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap
produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan
60
jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu
menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di
masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang
adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia
tanpa terkecuali. Ada beberapa pendapat yang dapat dikutip sebagai suatu
patokan mengenai perlindungan hukum, yaitu :
Menurut Satjipto Rahardjo:
“perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannyatersebut.”39
Menurut Setiono:
“perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.” 40
Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyeksubyek
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :41
a. Perlindungan Hukum Preventif
39 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kompas, 2003), hal. 12140 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), hal. 341 Musrihah, Dasar dan teori Ilmu Hukum. (Bandung: Grafika Persada,2000), hal. 30.
61
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan
dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa
sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan
apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah
memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu,
perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam
bentuk adanya kepastian hukum. Sehingga dalam penulisan ini, perlindungan
hukum diberi batasan sebagai suatu upaya yang dilakukan di bidang hukum
dengan maksud dan tujuan memberikan jaminan perlindungan terhadap anak.
Pengertian hukum perlindungan anak, beberapa ahli memberikan batasan-
batasan sebagai berikut, Arif Gosita mengatakan :
“bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum (tertulis) maupun tidak tertulis yang menjamin anak benar- benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya“
Bismar Siregar menyebutkan :
62
“aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak- hak anak yang yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban“42
Sedangkan Prof. Mr. J. E. Doek dan Mr. H. MA. Drewes memberikan
pengertian Hukum Perlindungan Anak dalam 2 (dua) pengertian masing- masing
pengertian luas dan sempit.
a. Dalam pengertian luas : segala aturan hidup yang memberi perlindungan
kepada mereka yang belum dewasa dan memberi kemungkinan bagi
mereka untuk berkembang.
b. Dalam pengertian sempit : meliputi perlindungan hukum yang terdapat
dalam :
1. Ketentuan hukum perdata
2. Ketentuan hukum pidana
3. Ketentuan hukum acara
Dalam memberikan perlindungan terhadap anak kita juga harus
memperhatikan dan berpatokan pada asas- asas dan tujuan perlindungan anak.
Dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa
penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan
Undang- undang Dasar 1945 serta sesuai dengan prinsip dasar Konvensi Hak-
Hak Anak, meliputi :
42 Wagiati Sutedjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, hal. 62
63
a. Non diskriminasi, artinya bahwa dalam memberikan perlakuan terhadap
anak tidak boleh membeda- bedakan antara yang satu dengan yang lain,
dengan alasan apapun juga.
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak, maksudnya bahwa dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Dimana ketiga
unsur ini adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang
dilindungi oleh negara/ pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Penghargaan terhadap pendapat anak, maksudnya : penghormatan atas
hak- hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam
pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal- hal yang mempengaruhi
kehidupannya.
Meletusnya Perang Dunia pertama, menyebabkan banyak anak-anak
yang mengalami kesengsaraan, hak-hak mereka terabaikan dan mereka menjadi
korban kekerasan. Dengan berakhirnya perang dunia, tidak berarti kekerasan
dan pelanggaran terhadap hak-hak anak berkurang. Bahkan eksploitasi terhadap
hak-hak anak berkembang kearah yang lebih memprihatinkan, bahkan dalam
kasus perceraian orang tua.
64
Pelanggaran hak-hak anak bukan saja terjadi di negara yang sedang
mengalami konflik bersenjata, pelanggaran juga terjadi di negara yang sedang
berkembang bahkan di negara-negara maju. Proses dinamika pembangunan
ekonomi ternyata menyisakan masalah sosial dan masalah anak, misalnya:
banyaknya anak jalanan (street children), pekerja anak (child labour), eksploitasi
seks pada anak-anak (child prostitution), dan perdagangan anak (child
trafficking).
Melihat realitas tersebut, maka pada tanggal 20 November 1989, PBB
mengesahkan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention On The Right Of The Child),
guna memberikan perlindungan terhadap anak dan menegakan hak-hak anak di
seluruh dunia. Hak-hak anak yang termaktub dalam Konvensi Hak-Hak Anak
merupakan instrumen internasional yang mengikat negara-negara yang
meratifikasi untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, Indonesia sebagai
salah satu negara yang meratifikasi, berkewajiban untuk mengimplementasikan
Konvensi Hak-Hak Anak dengan membentuk hukum atau legislasi yang
mendukung pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak.
Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) telah
disahkan pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan
memaksa (entered in to force) pada tanggal 2 September 1990. Sebelum
disahkannya Konvensi Hak-Hak Anak, perlindungan dan penegakan hak-hak
anak mengalami sejarah perjalanan yang sangat panjang. Sejarah perjalanan
65
hak anak dimulai dengan usaha perumusan draf hak-hak anak yang dilakukan
oleh Mrs. Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund .
Berdasarkan catatan UNICEF, beberapa tahapan penting dalam sejarah
perkembangan hak-hak anak adalah Tahun 1923: Hak-hak anak disetujui
oleh Save the Children International Union,Tahun 1924 :Hak yang disetujui
oleh League Of Nation (hal ini merupakan upaya internasional menanggapi
pengalaman anak yang menjadi korban perang), Tahun 1948 : Majelis Umum
PBB mengesahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Walapun hak anak
secara implisit sudah termasuk didalamnya, namun banyak yang beranggapan
bahwa kebutuhan khusus anak perlu disusun dalam suatu dokumen secara
terpisah, Tahun 1959: Majelis Umum PBB mengangkat Deklarasi Kedua Hak
Anak. Kelompok Komisi Hak Asasi Manusia PBB mulai mengerjakan konsep
Konvensi Hak-Hak Anak, Tahun 1989: Konsep Konvensi Hak-Hak Anak disetujui
oleh Majelis Umum PBB.
Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-
prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Konvensi Hak-
Hak anak merupakan hasil dari konsultasi dan pembicaraan negara-negara,
lembaga-lembaga PBB dan lebih dari lima puluh organisasi Internasional.
Dalam Mukadimah Konvensi Hak-Hak anak, di jelaskan bahwa latar
belakang disahkannya Konvensi tersebut adalah berdasarkan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, PBB menyatakan bahwa anak-anak berhak atas
66
perawatan dan bantuan khusus. Selain itu juga disebutkan bahwa, demi
pengembangan kepribadian secara utuh dan harmonis, anak harus dibesarkan
dalam lingkungan keluarga, dalam suasana kebahagiaan, kasih sayang dan
pengertian.
Latar belakang disahknya Konvensi Hak-Hak Anak secara praktis muncul
karena penegakan hak-hak anak sebagai manusia dan sebagai anak masih
sangat memprihatinkan. Konvensi Hak-Hak anak disahkan dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap anak, dan menegakan hak-hak anak di
seluruh dunia. Perlindungan hak-hak anak diwujudkan sebagai gerakan global
negara-negara di seluruh dunia dengan mensahkan Konvensi Hak-Hak Anak
sebagai bagian dari hukum nasional negara tersebut, hal ini merupakan sebuah
kemajuan penting untuk meletakan pembangunan sosial anak sebagai bagian
dari keseluruhan proses pembangunan negara-negara di dunia.
Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak anak
dapat dikelompokkan dalam 4 kategori hak-hak anak, yaitu: Hak terhadap
Kelangsungan Hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-
Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup
(the rights of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan
perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the higest standart of health and
medical care attainable).
67
Hak terhadap Perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam
Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi,
perlindungan dari eksploitasi anak, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak
yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.
Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak
dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal
dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, dan spiritual, moral, dan sosial anak.
Hak untuk Berpatisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam
Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat
dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express
her/his views in all metters affecting that child).
Pasal 46 dan Pasal 48 Konvensi Hak-Hak Anak secara tegas menyatakan
bahwa Konvensi Hak-Hak Anak merupakan perjanjian internasional yang bersifat
terbuka. Artinya Konvensi Hak-Hak Anak terbuka untuk diratifikasi oleh negara-
negara lain yang belum menjadi perserta (state parties). Pada tanggal 25
Agustus 1990, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 Tentang
Pengesahan Convention on the Rights of the Child.
68
Konvensi Hak-Hak Anak merupakan sumber hukum yang memberikan
materi pada pembuatan hukum dan harmonisasi hukum tentang anak. Kaidah
hukum yang terdapat dalam Konvensi Hak-Hak Anak merupakan materi hukum
yang memberi isi peraturan perundang-undangan tentang anak, oleh karena itu
Konvensi Hak-Hak Anak menjadi bagian integral dari hukum tentang anak.
Sebagai perwujudan komitmen Pemerintah dalam meratifikasi Konvensi
Hak-Hak Anak, maka pada tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah mengesahkan
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-
hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak, yang dimaksud dengan anak adalah
: “setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-
undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal”, pengertian tersebut sedikit
berbeda dengan pengertian anak dalam UU No. 23 Tahun 2002, yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah : “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
UU No. 23 Tahun 2002, telah memperluas pengertian anak, yaitu meliputi
anak yang masih berada di dalam kandungan. Dalam ketentuan Pasal 1 butir 2
UU No. 23 Tahun 2002 yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
69
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Dalam Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa:
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan
UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi: a.
non diskriminasi, b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap
pendapat anak, hal ini tentu saja merupakan cerminan bahwa prinsip-prinsip
dalam Konvensi Hak-Hak Anak merupakan materi pokok yang diatur dalam UU
No. 23 Tahun 2002. Secara keseluruhan materi pokok yang diatur dalam UU No.
23 Tahun 2002 memuat ketentuan dan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak.
Konvensi Hak-Hak Anak merupakan dokumen HAM yang secara specific
mengatur tentang hak-hak anak. Oleh karena itu dalam ketentuan hukum
nasional sebelum disahkannya UU No. 23 Tahun 2002, perlindungan hak asasi
anak sebelumnya sudah diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak-hak asasi
manusia termasuk juga anak-anak, yaitu seseorang yang berusia dibawah 18
tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih didalam kandungan harus
dihormati dan mendapatkan perlindungan. Secara khusus perlindungan anak
dalam lingkup keluarga juga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang
Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam ketentuan Pasal 2
70
disebutkan bahwa anak merupakan bagian dari keluarga yang harus
mendapatkan perlindungan dari kekerasan secara fisik maupun psikis.
Ketentuan hukum mengenai kesejahteraan anak dalam Konvensi Hak-
Hak Anak dapat dilihat dalam Pasal 25 yang mengatur peninjauan penempatan
anak secara berkala (periodic review of placement) Pasal 26 yang mengatur hak
anak atas jaminan sosial dan tunjangan sosial, dan pasal 27 yang mengatur
tentang hak anak untuk menikmati standar hidup yang memadai. Jauh sebelum
Konvensi Hak-Hak anak di sahkan, hukum nasional telah mengatur
kesejahteraan anak dalam UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Substansi pengaturan kesejahteraan anak dalam konvensi Hak-Hak Anak dan
dalam UU No. 4 tahun 1979 tidak jauh berbeda.
Salah satu hak yang dilindungi dalam Konvensi Hak-Hak Anak adalah hak
untuk mengenyam pendidikan. Perwujudan jaminan pendidikan anak dalam
hukum nasional diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2003 (1) Setiap
warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar, (2) Setiap warga negara bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 6 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa negara menjamin pendidikan
bagi anak-anak Indonesia dengan sistem wajib belajar.
71
Perwujudan konvensi hak-hak anak tentang kewarganegaraan juga diatur
dalam UU No 12 Tahun 2006. Dalam ketentuan pasal 4-6 UU No. 12 Tahun
2006 diatur secara rinci tentang kewarganegaraan anak, baik anak hasil
perkawinan orang tua yang berwarga Negara Indonesia, maupun anak hasil
perkawinan campuran. Pengertian anak dalam UU No. 12 Tahun 2006 juga
sejalan dengan pengertian anak dalam Konvensi Hak-Hak anak, yaitu seseorang
yang berumur kurang dari 18 tahun.
Perwujudan ketentuan Pasal 40 Konvensi Hak-Hak Anak tentang
peradilan anak telah di atur secara khusus dalam hukum nasional yaitu dalam
UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Pengaturan tentang peradilan
anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 sejalan dengan tujuan dari Konvensi Hak-Hak
Anak, yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap anak, yaitu agar anak-
anak yang melakukan pelanggaran tetap dihargai hak asasinya, memperoleh
manfaat dari segenap aspek proses hukum, termasuk bantuan hukum atau
bantuan lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan. Dalam Ketentuan
Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1997 disebutkan bahwa Pengadilan Anak adalah
pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dilingkungan Peradilan Umum.
Peradilan anak bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara anak. Sehingga dapat simpulkan bahwa UU No. 3 Tahun
1997 merupakan perwujudan dari kaidah hukum Konvensi Hak-Hak Anak
mengenai peradilan khusus untuk anak-anak yang berkonflik dengan hukum
(children in conflict with law).
72
Pengaturan tentang penculikan, ekspolitasi seksual, perdagangan dan
penyelundupan anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak secara khusus juga telah
diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak Pidana
Perdagangan Orang. Dalam UU No. 21 Tahun 2007 pengertian anak meliputi
seseorang yang berusia dibawah 18 tahun termasuk anak didalam kandungan.
Dalam ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 21 tahun 2007 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara
mapun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang
terekpoitasi. Dengan disahkannya UU No. 21 Tahun 2007, perlindungan hak-hak
anak dari eksploitasi seksual, penculikan dan perdagangan anak sebagaimana
diatur dalam Konvensi Hak-Hak Anak telah diwujudkan oleh negara.
Dalam Pasal 32 Konevensi Hak-Hak Anak diatur larangan untuk
melakukan ekspolitasi ekonomi terhadap anak-anak. Pasal ini menegaskan
bahwa anak-anak yang bekerja tidak boleh di ekpolitasi. Hukum nasional juga
telah mengatur ketentuan tersebut dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 68 disebutkan bahwa pengusaha dilarang
memperkerjakan anak. Dalam Pasal 69 larangan tersebut dikecualikan untuk
73
anak yang berusia 13 tahun sampai dengan 15 tahun untuk melakukan
pekerjaan ringan sepanjang tidak menggangu perkembangan fisik, mental, dan
sosial. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 32 Konvensi Hak-Hak Anak
tentang ketentuan batas usia minimum untuk diterima bekerja.
Dalam hal Konvensi Hak-Hak Anak, Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990,
tertanggal 25 Agustus 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of
the Child(Konvensi Hak Anak). Melihat status Konvensi Hak-Hak Anak, dapat
disimpulkan bahwa dari segi kebijakan, perlindungan anak masih belum tertata
dengan baik. Karena Konvensi Hak-Hak Anak hanya diratifikasi dengan
KEPPRES maka konskwensinya banyak kebijakan yang berkaitan dengan
perlindungan anak tidak menggunakan Konvensi Hak-Hak Anak sebagai dasar
pertimbangan, termasuk UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hal
ini terjadi karena dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Perundang-undangan
disebutkan bahwa Keppres tidak bisa menjadi dasar pertimbangan undang-
undang, padahal secara logika hukum, sumber hukum perlindungan anak
seharusnya berasal dari Konvensi Hak-Hak Anak, kemudian disesuaikan dengan
nilai-nilai sosial budaya negara bangsa Indonesia dan spirit agama-agama.
Dalam menyelesaikan masalah tersebut pemerintah seharusnya segera
meningkatkan status ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dari KEPPRES menjadi
Undang-undang, hal ini merupakan kebutuhan bangsa Indonesia dalam
74
meningkatkan perlindungan anak mulai dari level peraturan daerah sampai
peraturan nasional, dan tentunya dunia internasional tidak lagi mempertanyakan
komitmen kesungguhan Indonesia dalam melakukan pemenuhan hak-hak anak.
Perlindungan anak menjadi perhatian Negara dengan tertuang dalam UUD 1945
pasal 28 b (ayat 2) yang menyatakan bahwa:
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Pada pasal 45 UU No 1 tahun 1974 menyatakan:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (selanjutnya cukup disingkat UU Perlindungan Anak)
menegaskan bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.43
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, maka upaya perlindungan yang
diberikan undang-undang terhadap seorang anak dilaksanakan sejak dini, yakni
sejak anak masih berupa janin dalam kandungan ibunya sampai dengan anak
berumur 18 (delapan belas) tahun. Undang-undang ini meletakkan kewajiban
untuk memberikan perlindungan terhadap anak berdasarkan asas-asas
43 Minstry for Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia, Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child Protection, Jakarta : 2003, hal. 12.
75
nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak,
sebagaimana yang termuat dalam ketentuan pasal 2 UU Perlindungan Anak
yang menyatakan :
“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi : a. non diskriminasi, b. kepentingan terbaik bagi anak, c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, d. perhargaan terhadap pendapat anak”. 44
Dalam penjelasan pasal 2 UU Perlindungan Anak di atas disebutkan
bahwa asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang
terkandung dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Anak. Lebih lanjut, yang
dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak dalam penjelasan
pasal 2 UU Perlindungan Anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang
menyangkut anak yang dilakukan oleh orang tua, pemerintah, masyarakat,
badan legislative, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak
harus menjadi pertimbangan utama.Ini seperti tertuang dalam pasal 3 UU
perlindungan anak:
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”
44 Ibid, hal.14.
76
Sebenarnya jika di kaji secara umum perceraian tidaklah dapat tercadi
tanpa sebab yang melatar belakangi, namun secara umum yang menjadi sebab
perceraian adalah kekerasan dalam rumah tangga. Keutuhan dan kerukunan
rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan
setiap orang. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam
melaksanakan hak dan kewajiban harus didasari oleh agama. Hal itu perlu terus
ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada
setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan
pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumahtangga dapat terganggu jika kwalitas
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi
kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakaman atau ketidakadilan
terhadap orang yang berbeda dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk
mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan,
dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk dikriminasi.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik,
psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi
77
sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus
Kekerasan dalam Rumah Tangga (disingkat KDRT).
Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan
dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama KDRT. Pembaharuan hukum
tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan pengaturan tentang tindak KDRT secara tersendiri karena mempunyai
kekhasan, walaupun secara umum di dalam KUHP telah diatur mengenai delik
penganiayaan (vide pasal 351 KUHP), delik kesusilaan (vide pasal 284 KUHP)
serta delik penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan (vide
pasal 304 KUHP).
Undang-undang No.23 th 2004 tentang Penghapusan KDRT ini terkait
erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku
sebelumnya, antara lain UU No.1 thn 1946 tentang KUHP serta perubahannya,
UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
( Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women),
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 ini selain mengatur ihwal
pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan
78
dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi
dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan
tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu undang-undang
ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk
melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap
kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan
kerukunan rumah tangga.
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang beakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang
diberikan oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat,
79
lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan
oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum
dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasca perceraian orang tua wajib memperhatikan hak anak dalam hal
menafkahi yang menjadi ketentuan hukum dalam kompilasi hukum Islam
tertuang dalam pasal 149 d, yang berbunyi:
“Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.”
Hal senada juga terdapat di pasal 156 d, yang berbunyi:
“semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri.” (21 tahun).
Pasal 105 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam telah
secara spesifik mengatur bahwa hak asuh anak di bawah usia 12 tahun harus
diberikan kepada ibunya. Pasal 105 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam tersebut menyatakan :
“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”.45
Ketentuan di atas dilatarbelakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1. Faktor kasih sayang ; Tanpa mengurangi bahwa ayah juga menyayangi
anak, namun secara alamiah dan kudrati di manapun dan sejak
45 Arkola, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2001, hal. 213.
80
kapanpun, ibu jauh lebih mampu mengembangkan kasih sayang dan
kelembutan kepada anak dibanding ayah.
2. Faktor kemanusiaan (humanity); Ditinjau dari segi kemanusiaan
(humanity), sangat menyayat hati nurani apabila anak yang masih kecil
harus ditarik, dipisahkan dan dijauhkan dari pangkuan ibu kandungnya,
terlebih jika anak tersebut masih harus menyusu (mendapatkan ASI)
ibunya.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan hak asuh dan perwalian
dapat dipindahkan jika pemegang hak asuh dan perwalian anak tersebut
melalaikan kewajibannya terhadap anak. Pasal 156 huruf (c) Inpres No.1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan :
“Apabila pemegang hadhanah (hak asuh anak) ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka Pengadilan dapat memindahkan hadhanah (hak asuh anak) kepada kerabat yang mempunyai hak pula”. 46
Pasca perceraian hak asuh anak yang dilakukan oleh kedua orang tuanya
tidak justru melindungan hak-hak dan kepentingan anak sebagaimana diatur
dalam UU Perlindungan anak, perceraian justru telah merusak kepentingan, hak-
hak dan perkembangan hidup si anak, jelas mengesampingkan seluruh hak anak
yang diatur dalam UU Perlindungan Anak, dan juga merupakan pelanggaran
terhadap ketentuan pasal 4, pasal 13, pasal 16 ayat (1) dan (2), UU
Perlindungan Anak yang menyatakan :
46 Ibid hal 230
81
”Bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.47
“(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari: a. diskriminasi, b. eksploitasi, c. penelantaran, d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, e. ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua wali pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perlu dikenakan pemberatan hukuman“.48
“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”.49
“Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum”.50
Perceraian terkadang hingga mengesampingkan hak anak untuk
memperoleh pendidikan, anak dibawa pergi jauh ke tempat persembunyian, tidak
disekolahkan dan diposisikan di dalam rumah terus-menerus, dijauhkan dari
kehidupan sosialnya, sehingga mengesampingkan hak anak untuk bermain dan
bergaul dengan teman sebayanya. Hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan pasal 11 UU Perlindungan anak yang
menyatakan :
47 Visi Media, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : Visi Media, 2007, hal. 8.48 Ibid, hal. 10.49 Syaifullah, dkk., Undang-Undang Rumah Tangga No.23 Tahun 2004 dan Undang- Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, Padang-Sumbar : Praninta Offset, 2008, hal. 49.50 Ibid.
82
“(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.51
“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembanagn diri”.52
Semua jaminan perlindungan hak-hak anak sebagaimana tersebut di atas
diberikan oleh undang-undang sejak anak masih berupa janin, sebagaimana
dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 1 UU Perlindungan Anak adalah :
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.53
Fakta di atas juga menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran hak anak
tidak hanya salah satu atau kedua orang tua yang memperebutkan hak asuh
anaknya, namun juga para aparat penegak hukum yang tidak mampu bertindak
atas kasus-kasus penculikan, penyekapan dan penganiayaan anak yang
dilakukan oleh orang tua kandungnya. Pasal 14 UU Perlindungan Anak
menyatakan bahwa :
“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.54
51 Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, Jakarta : 2003, hal. 17.52 ibid53 Ibid.Hal 1354 Syaifullah, dkk., Undang-Undang, hal. 11.
83
Penjelasan pasal 14 UU Perlindungan anak tersebut menyatakan bahwa :
“Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 14 UU Perlindungan Anak tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya”.55
Berpijak pada ketentuan pasal di atas, seharusnya Kepolisian maupun
Pengadilan dapat bertindak tegas terhadap orangtua kandung yang melakukan
penculikan dan penyekapan terhadap anak kandungnya sendiri. Jika tidak bisa
bersikap tegas, mungkin aparatur penegak hukum harus ditatar-ulang tentang
hak-hak anak. Sikap tegas aparat penegak hukum seharusnya adalah dengan
cara memproses orang tua yang melakukan penculikan, penyekapan dan
penganiayaan terhadap anak kandungnya sendiri berdasarkan ketentuan pasal
80 UU Perlindungan anak dan pasal 330 KUHP yang menentukan :
“(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam bulan dan atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud ayat (1) luka berat maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya” (pasal 88 UU Perlindungan Anak).56
“(1) Barang siapa dengan sengaja mencabut orang yang belum dewasa dari kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjalankan penjagaan itu, dihukum penjara selama tujuh tahun. (2) Dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika perbuatan itu dilakukan dengan memakai tipu daya, kekerasan atau
55 Ibid. Hal 5956 Ibid. Hal 44
84
ancaman dengan kekerasan atau kalau orang yang belum dewasa umurnya di bawah dua belas tahun “. (pasal 330 KUHP).57
Kewajibannya untuk memberikan perlindungan terhadap anak
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 20 UU Perlindungan Anak yang
menyatakan :
”Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”.58
Meskipun terkadang negara jelas-jelas telah melakukan perbuatan
melanggar hukum, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak anak yang diatur
dalam UU Perlindungan Anak ini, namun tidak ada tindakan tegas aparat hukum
atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Wujud lain
pelanggaran negara terhadap hak-hak anak tersebut misalnya adalah negara
masih mengabaikan hak pendidikan, hak kesejahteraan bagi anak dengan masih
banyaknya anak-anak jalanan yang tidak mengenyam pendidikan dan hidup
tidak layak di jalanan.
Masalah perceraian tidak berhenti dengan ditentukannya siapa pemegang
hak asuh si anak, ayah kandungnya atau ibu kandungnya melalui putusan
pengadilan yang inkracht, proses terus berlanjut dengan eksekusi penyerahan
anak kepada orang tua yang berhak sangat sulit dilakukan, ditambah lagi
tindakan orang tua yang tidak berhak membawa lari anaknya hingga
57 R. Soesilo, KUHP dengan Penjelasan, Bogor : Politeia, 1981.58 Minstry for Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia, Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child Protection, Jakarta : 2003, hal. 23.
85
mengabaikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh si anak, dan proses-
proses lain yang sangat merugikan anak.
Mahkamah Agung hingga saat ini belum juga membuat kebijakan dan
kepastian hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan belum bisa
memastikan lembaga mana yang diberi mandat untuk melakukan “eksekusi”
terhadap putusan pengadilan tersebut. Oleh karena itu, perlu direkomendasikan
bahwa Mahkamah Agung harus membuat kebijakan dan memberikan kepastian
hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan menentukan lembaga
mana yang diberi mandat untuk melakukan “eksekusi” terhadap putusan
pengadilan tersebut.
Secara moril, tidak seharusnya orang tua dalam perceraian hanya demi
kepentingan egosentris orang tua. Orang tua seharusnya bisa berbesar hati atas
putusan pengadilan mengenai hak asuh anak jika memang hal tersebut nyata
demi kepentingan anak. Landasan filosofis undang-undang mengatur mengenai
“hak asuh anak” sebagai akibat perceraian orang tua, bukan untuk diperebutkan,
namun untuk kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child)
yakni ditangan siapakah pertumbuhan jasmani dan rohani anak itu lebih baik
sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perlindungan Anak yang menyatakan :
“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi : a. non diskriminasi, b. kepentingan terbaik bagi anak, c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, d. perhargaan terhadap pendapat anak”. 59
59 Ibid. Hal 14
86
Bahwa dalam ketentuan pasal 229 KUH Perdata tidak secara spesifik
mengatur kepada siapa perwalian anak pasca perceraian diberikan, namun
pasal ini hanya mengatur bahwa setelah perceraian orang tua harus pula
ditentukan perwalian bagi anak. Pasal 229 KUH Perdata menyatakan bahwa :
"Setelah mendengar/memanggil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah serta semenda dari anak-anak yang belum dewasa, Pengadilan Negeri menetapkan terhadap tiap-tiap anak, siapakah dari kedua orang tuanya, maka mereka harus melakukan perwalian atas anak-anak itu".60
Dengan demikian, melalui tulisan ini penulis mengetuk hati para orang tua
yang akan bercerai agar dalam menentukan hak asuh anak pertimbangkanlah
kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Alangkah
baiknya manakala hak asuh anak tersebut tidak diperebutkan namun dibicarakan
secara baik-baik oleh kedua orang tua “di tangan siapakah pertumbuhan jasmani
dan rohani anak itu lebih baik”.
60 R. Subekti-R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang HUkum Perdata Burgerlijk Wetboek dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Pradnya Paramita, 2001, hal. 55.
87
BAB IV
PENUTUP
A . Kesimpulan
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksud dilaksanakannya perkawinan
adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang
amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan
sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian
persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri yang
pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong
antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Namun dalam pergaulan antara suami tidak jarang terjadi perselisihan
dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab sebab lain yang kadang-
kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak
88
dapat dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh
kedua belah pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal
sehingga pada akhirnya jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah
perceraian.
Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban,
perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga
terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Anak-anak tersebut
harus hidup dalam suatu keluarga yang tidak harmonis sebagaimana mestinya
misalnya harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua tunggal seperti
dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa anak merupakan penerus
bangsa yang mengemban tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh
generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara,
anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat
rohani dan jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Untuk
itu, anak tersebut harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan,
Dasar hukum perlindungan anak di Indonesia terdapat dalam UU No. 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Perlindungan anak dalam UU ini bertujuan menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai harkat, martabat, dan kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
89
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.61 Perlindungan anak
dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap berbagai kebebasan dan
hak asasi anak serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan
kesejahteraan anak.
Ketika perkawinan tidak dapat dipertahankan dan berakhir pada
perceraian, maka anak tetap memiliki hak mendapat kasih sayang, pendidikan,
perhatian, dan tempat tinggal yang layak dari kedua orang tua sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
B . Rekomendasi
Rekomendasi dalam masalah perlindungan hukum anak pacsa perceraian
adalah :
1. Walaupun tindakan hukum oleh pemerintah dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap anak, maka seharusnya tindakan hukum itu
dilakukan secara efektif baik oleh pemerintah maupun masyarakat
sehingga perlindungan hukum terhadap anak dapat ditegakan
sebagaimana dicita-citakan bersama
2. Aparat penegak hukum harus menindak tegas pelaku pelanggaran hak
anak terhadap anak dengan pasal 80 UU Perlindungan Anak atau
61 Aminah Aziz, Op Cit. Hal 41
90
pasal 330 KUHP sekalipun pelakunya adalah orang tua kandung si
anak.
3. Mahkamah Agung harus membuat kebijakan dan memberikan
kepastian hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan
menentukan lembaga mana yang diberi mandat untuk melakukan
“eksekusi” terhadap putusan pengadilan tersebut.
4. Penentuan hak asuh anak jangan diperebutkan, namun bicarakan
secara baik-baik oleh kedua orang tua “di tangan siapakah
pertumbuhan jasmani dan rohani anak itu lebih baik”
91