perilaku lentur mortar dengan sabut kelapakonteks.id/p/06-036.pdf · sebagai contoh harga serat...
TRANSCRIPT
KoNTekS 6 MB-93
Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012
PERILAKU LENTUR MORTAR DENGAN SABUT KELAPA
Istiqomah1 dan Iswandi Imran
2
1Jurusan Pendidikan Teknik Sipil, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Setiabudhi no 207 Bandung
Email: [email protected] 2 Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa no 10 Bandung
Email: [email protected]
ABSTRAK
Salah satu kelemahan material beton adalah memiliki kapasitas lentur yang rendah. Oleh
karenanya usaha untuk meningkatkan kapasitas lentur tersebut perlu dilakukan. Salah satu upaya
untuk meningkatkan kapasitas lentur beton tersebut adalah dengan cara memberi tulangan pada
beton polos. Penulangan pada beton polos dapat dilakukan dengan menggunakan tulangan atau
penambahan serat. Serat yang dapat digunakan adalah serat baja, serat sintetik dan serat natural.
Pada paper ini akan dikaji perilaku lentur mortar dengan penambahan serat natural khususnya
sabut kelapa. Perilaku ini ditinjau pada mortar dengan faktor air semen (w/c) 0.65, dengan sabut
kelapa sebesar 1% dari berat semen. Sebelum digunakan sabut kelapa mengalami perlakuan yakni
dengan dicuci NaOH. Benda uji yang dibuat sebanyak 9 buah, yakni 3 buah benda uji lentur
mortar tanpa sabut kelapa, 3 buah benda uji lentur mortar dengan sabut kelapa tanpa perlakuan dan
3 buah benda uji lentur mortar dengan sabut kelapa yang dicuci dengan NaOH. Hasil yang
diperoleh adalah benda uji dengan sabut kelapa mengalami peningkatan kapasitas lentur sebesar
27%, kapasitas toughness sebesar 331,36%, defleksi yang terjadi meningkat 638,33%.
Kata kunci: kapasitas lentur, mortar, sabut kelapa, perlakuan .
1. PENDAHULUAN
Salah satu material yang banyak digunakan dalam pembangunan infrastruktur adalah beton. Hal ini
disebabkan beton banyak memiliki kelebihan diantaranya: (1) lebih ekonomis jika dibandingkan dengan
material yang lain, (2) beton dapat dengan mudah dicetak sesuai dengan kebutuhan baik untuk keperluan
struktural maupun untuk keperluan arsitektur, (3) beton dapat memikul beban yang berat dan memiliki
kekakuan yang cukup tinggi, (4) tahan api dan temperatur tinggi, (5) bangunan beton tidak memerlukan
perawatan khusus dan (6) ketersediaan material penyusun beton dan kemudahan pengangkutan. Namun
demikian beton memiliki kelemahan yaitu: (1) kuat tarik beton sangat kecil jika dibandingkan dengan kuat
tekan beton (2) mudah retak (3) pola keruntuhan bersifat getas.
Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan beton adalah dengan menambahkan serat pada campuran
beton. Penambahan serat pada campuran beton diharapkan dapat menjadi tulangan mikro pada campuran.
Menurut Hannant (1978) penambahan serat pada semen ataupun beton akan mempengaruhi sifat mekanik
beton sebagai berikut: (1) meningkatkan kuat tarik atau kuat lentur, (2) meningkatkan impact strength, (3)
mengurangi terjadinya retak, (4) meningkatan daktilitas pasca retak sehingga mengubah pola keruntuhan
yang bersifat getas menjadi daktail, ( 5) Mengubah karaktristik rheology atau aliran dari material saat segar.
Serat yang dapat digunakan dalam campuran semen atau beton antara lain asbestos, glass, baja, karbon,
kevlar, cellulosa, nylon dan polypropylene. Dilihat dari modulus elastisitasnya serat dibagi dalam dua
kelompok yaitu: (1) Serat dengan modulus elastisitas tinggi seperti: asbestos, baja, glass, karbon dan kevlar
(2) Serat dengan modulus elastisitas rendah contohnya serat alami, polypropylene dan nylon. Secara
umum, serat dengan modulus elastisitas yang rendah lebih murah daripada serat dengan modulus elasitas
tinggi. Sebagai contoh harga serat alami lebih murah daripada serat baja. Bahkan di negara agraris serat
alami dapat berasal dari limbah pertanian dan perkebunan.
Indonesia sebagai salah satu negara agraris memiliki sumber serat alami yang melimpah. Salah satunya
adalah sabut kelapa limbah dari perkebunan kelapa. Limbah dari perkebunan kelapa ini belum
termanfaatkan secara optimal. Ditinjau dari mekanika bahan sabut kelapa memiliki kuat tarik dan
perpanjangan yang cukup besar (Ramakrisna & Sundarajan(2005)), hal ini akan sangat bermanfaat untuk
mengubah sifat material yang semua getas menjadi daktail.
Disisi lain wilayah Indonesia berada didaerah gempa tinggi sehingga membutuhkan material yang memiliki
mekanisme keruntuhan yang daktail, dengan mekanisme keruntuhan yang daktail memungkinkan untuk
melakukan tindakan penyelamatan. Untuk mengetahui perilaku daktail material juga dapat dilihat dari
perilaku pada waktu menerima beban lentur. Hal ini dapat dilihat dari perilaku lentur yang terjadi pada
Material dan Bahan
MB-94 KoNTekS 6
Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012
material yang digunakan. Maka pada paper ini akan dikaji mekanisme lentur pada mortar dengan
penambahan sabut kelapa.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Beton Berserat ( serat reinforced concrete) (FRC)
Sekarang ini dunia material konstruksi bangunan berkembang dengan pesat. Demikian juga pada material
beton, dalam upaya untuk meningkatkan kinerja beton maka dikembangkan beton berserat. Beton berserat
( serat reinforced concrete) (FRC) adalah beton yang mendapatkan tambahan serat dengan takaran tertentu.
Penambahan serat ini menjadikan beton memiliki tulangan mikro. Penambahan serat pada beton
berdasarkan orentasinya dibedakan menjadi dua yakni secara acak dan berlapis. Pada penambahan serat
yang acak, memungkinkan serat memikul beban tarik yang terjadi secara acak sehingga tidak terjadi retak
mikro.
Kekuatan beton berserat ditentukan oleh interaksi antara matrik dan serat pengisi. Menurut Balaguru &
shah (1992) parameter yang menentukan kekuatan dari beton berserat adalah: (1) kondisi matriks, sebelum
dan sesudah retak, (2) komposisi matriks, (3) geometri serat, (4) type serat yang digunakan, (5) permukaan
serat, (6) kekakuan serat dibanding kekakuan matriks, (7) volume serat yang ditambahkan. Kondisi matriks
sebelum retak dan sesudah retak akan membedakan pola penyaluran gaya pada komposit. Geometri serat
dan permukaan serat akan menentukan kuatnya lekatan antara serat dan matriksnya. Semakin halus
permukaan serat akan menyebabkan lekatan antara mortar dan serat tidak kuat. Kekakuan serat menentukan
pola keruntuhan dan penyaluran gaya yang terjadi pada komposit. Pengaruh lain akibat penambahan serat
adalah pada workability campuran. Semakin besar volume serat yang ditambahkan pada campuran beton
maka workability campuran akan mengalami penurunan.
Sabut kelapa
Serat yang digunakan pada beton berserat dapat dikelompokkan menjadi 4 yakni: (1) logam (2) polymerir
(3) Mineral (4) Natural. Serat logam yang banyak digunakan untuk campuran beton adalah serat baja dan
stainlees steel. Serat yang berasal dari mineral salah satunya adalah serat glass. Yang sekarang ini banyak
digunakan dalam dunia konstruksi adalah serat sintetis dari polimer seperti aramid, acrilic, nylon
polypropilene, polyester dan polyethylene. Serat natural diantaranya adalah sabut kelapa,jute, rami, sisal.
Sabut kelapa merupakan serat alami yang berasal limbah dari perkebunan. Sabut kelapa diperoleh dari
penguraian kulit luar dari buah kelapa. Ada dua cara untuk penguraian sabut kelapa (1) cara klasik (2) cara
modern dengan menggunakan mesin dekurator. Penguraian dengan cara klasik dapat digunakan cara kering
dan cara basah. Penguraian dengan cara basah dilakukan dengan merendam kulit kelapa di air dengan
waktu 3-6 bulan sehingga kulit dan gabus dari kulit kelapa mulai membusuk kemudian dicuci sampai
serbuk kelapa terpisah dari sabut kelapa. Penguraian cara kering dengan cara mengeringkan di bawah sinar
matahari lalu di pukul-pukul sampai terurai antara sabut dengan gabus. Penguraian menggunakan cara
modern dilakukan dengan memasukkan ke mesin dekurator sehingga terurai antara sabut dan serbuknya.
Komposisi senyawa kimia sabut kelapa yang dominan adalah selullosa, hemiselullosa dan lignin.
Kandungan lignin sabut kelapa lebih tinggi dari serat alami yang lain. Kandungan lignin yang tinggi
menyebabkan sabut kelapa: tidak mudah rapuk, lekatan menjadi lemah dan lebih ulet.
Untuk mengatasi hal ini Gu (2009) melakukan treatment dengan menggunakan NaOH dengan konsentrasi
2%, 4%, 6%, 8%, memberikan kesimpulan semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan tegangan
tarik sabut kelapa mengalami penurunan. Hasil penelitian ini merekomendasikan konsentrasi yang optimal
adalah 2%. Hasil SEM sabut kelapa menunjukkan terjadi perubahan pada permukaan sabut yang
ditreatment dengan NaOH, permukaan menjadi rata, pori terlihat dan lebih kasar. Perubahan permukaan
ini memungkinkan lebih mudah terjadi lekat dengan matriks dan lekatan yang terjadi lebih kuat.
Kapasitas Lentur
Perilaku lentur komposit ditentukan oleh kondisi penyusunnya. Pada beton berserat sebagai material
komposit yang berperan sebagai matriks adalah mortar dan serat sebagai pengisi, sehingga perilaku beton
berserat tergantung pada tipe serat dan jumlah serat yang ditambahkan pada mortar. Berdasarkan tipe serat
dan volume serat yang ditambahkan ada empat kemungkinan yang hubungan tegangan dan regangan yang
terjadi pada komposit terjadi seperti pada Gambar 1. Pada gambar 1, kurva 1 dan 2 menunjukkan hubungan
antara beban dan defleksi yang terjadi jika komposit disusun oleh serat yang memiliki kekuatan kurang dari
kekuatan matriks sebelum terjadi retak. Sehingga pada saat kekuatan retak matriks terlampaui maka terjadi
penurunan kemampuan komposit memikul beban. Kurva 3 dan 4 menunjukkan kekuatan serat lebih tinggi
dari pada kekuatan matriks sebelum retak, sehingga ketika terjadi retak tetap terjadi peningkatan
kemampuan komposit dalam menahan beban. Kurva 4 terjadi, jika kekuatan serat lebih kuat dari pada
Material dan Bahan
KoNTekS 6 MB-95
Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012
kekuatan matriks sebelum retak dengan volume serat lebih tinggi dari 10%. Pasca retak matrik tidak terjadi
penurunan beban, bahkan terjadi penambahan beban dan defleksi yang terjadi cukup besar.
Gambar 1. Kurva beban vs defleksi untuk komposit serat dengan tipe dan volume serat berbeda
Untuk menghitung kontribusi serat pada komposit, Balaguru dan Shah (1992), merekomendasikan
pengujian lentur toughness (flexural toughness). Lentur toughness (flexural toughness) adalah kapasitas
absorbsi energy dari suatu material. Lentur toughness dapat dihitung dari luasan dibawah kurva tegangan
regangan atau perilaku hubungan beban dan defleksi dari suatu elemen. Peningkatan toughness juga berarti
peningkatan performance elemen terhadap beban fatigue, impact dan beban impuls, selain itu mekanisme
toughness juga menggambarkan daktilas elemen. Kemampuan komposit berdeformasi sebelum mengalami
kegagalan diukur dengan indeks toughness. Pengujian kapasitas lentur toughness dilakukan dengan
pengujian balok pada tumpuan sederhana dengan empat pembebanan (third point loading ) seperti pada
Gambar 2 dibawah ini.
Ganbar 2. Skema pengujian kuat lentur mortar dengan third point loading.
ACI committe 544 memberikan idealisasi perhitungan Indeks toughness sebagai berikut:
�� =���� ��� ������� ��� ����� ��� ����� �� ������ �������� ����� ��� ���� �������
���� ������� ��� ����������� �� ������ �������� ����� ��� ���� ���� � ����� ���� 1
Cara lain untuk menentuan indeks toughness berdasarkan ASTM 1018-97. Menurut ASTM indeks
toughness dibagi dalam tiga level indeks I5 I10 dan I20 yang didefinisikan sebagai berikut:
�� =���� ������� ��� ����� ��� ����� �� ������ ��
���� ������� ��� ����� ��� ����� �� ������ � 2
��� =���� ������� ��� ����� ��� ����� �� ������ �.��
���� ������� ��� ����� ��� ����� �� ������ � 3
�!� =���� ������� ��� ����� ��� ����� �� ������ ��.��
���� ������� ��� ����� ��� ����� �� ������ � 4
dimana δ adalah defleksi pada saat retak pertama.
1
2
3
4
D e fl e k s i
L
O
A
d
1. Matrik lebih kuat dari
serat.
2. Matrik lebih kuat dari
serat, volume besar.
3. Serat lebih kuat dari
matrik
4. Serat lebih kuat dari
matriks dengan
volume lebih 10%
P
100 mm 100mm 100mm
Material dan Bahan
MB-96 KoNTekS 6
Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012
Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3. Pengukuran toughness dan definisi indeks toughness menurut ASTM C1018
(Balaguru&shah(1992))
The Japan concrete Institute (JCI) mendefinisikan energi toughness adalah luasan dibawah kurva hubungan
beban dengan defleksi, defleksi yang diperhitungkan hingga defleksi S/150. Kurva hubungan beban dan
defleksi diperoleh dari pengujian lentur prisma. Ukuran prisma tergantung dari panjang serat yang
digunakan. Untuk serat lebih pendek dari 40 mm digunakan benda uji prisma 100 x 100 mm dengan
bentang 300 mm, sedangkan untuk serat yang lebih panjang disarankan menggunakan benda uji prisma
dengan ukuran 150 x 150 mm dengan panjang bentang 450 mm.
Gambar 4. Pengukuran toughness dan definisi indeks toughness menurut Japan Concrete Institute
(Balaguru & Shah,1992)
Sedangakan untuk besarnya modulus of rupture ( kapasitas lentur maksimum) digunakan rumus sebagai
berikut:
" =#$
��% 5
Dimana: R: Modulus of ruture, P: Beban maksimum, L: panjang bentang, b: lebar benda uji, d: tinggi
benda uji.
3. METODA PENELITIAN
Metoda penelitian yang dilakukan dibagi dalam beberapa tahapan. Tahapan ini dimulai dengan tahapan
material dan pengujiannya, kemudian tahap pembuatan benda uji dan tahap pengujian.
Material
Material yang dipakai dalam pembuatan benda uji terdiri dari:
1. Semen tipe PCC memenuhi SNI 15-2049-2004.
2. Agregat halus berupa pasir lolos saringan ukuran 5 mm. Dilakukan pengujian untuk mendapatkan
sifat fisis dan kandungan bahan organik dari agregat halus, pasir yang digunakan adalah pasir eks
galunggung.dengan sifat fisik seperti tabel 1.
LuasOAJ
LuasOABCII =5
LuasOAJ
LuasOABDHI =10
LuasOAJ
LuasOABEGI =30
Material dan Bahan
KoNTekS 6 MB-97
Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012
Tabel 1. Sifat-sifat fisik pasir
Kadar air 5,45 %
Absobsi air 3,95 %
Specifik grafity 2,748
Berat volume 1540 kg/ltr
Kandungan lumpur 3,03%
FM 2.47
3. Air bersih yang sesuai dengan ASTM
4. Sabut kelapa kelapa yang sudah dibersihkan, dipotong sepanjang 2-3 cm. Sabut kelapa ini dibagi
menjadi dua bagian bagian pertama tanpa perlakuan. Bagian kedua dengan perlakukan. Perlakuan
ini berupa pencucian dan perendaman 2% NaOH selama 1 jam. Setelah direndam selama satu jam
dilakukan pencucian dengan air bersih sampai PH sabut kelapa menjadi netral kembali. Sabut
kelapa dikeringkan dibawah sinar matahari sampai kering.
Pembuatan Benda Uji.
Campuran mortar yang digunakan pada penelitian ini 1: 3 satu bagian semen dan 3 bagian pasir. Faktor
air semen yang digunakan 0.65. Volume sabut kelapa yang ditambahkan sebesar 1% dari berat semen.
Sabut kelapa dicampurkan secara acak pada campuran mortar.
Metoda pencampuran dilakukan secara kering. Tahapan ini dilakukan dengan cara: semen, pasir dan sabut
kelapa dicampur tanpa air sampai tercampur rata, baru kemudian ditambahkan air dan diaduk sampai
homogen. Setelah homogen dilakukan pencetakan. Pencetakan dilakukan secara bertahap dipadatkan
dengan vibrator.
Benda uji yang disiapkan prisma ukuran 100x100x350 mm untuk pengujian lentur. Jumlah benda uji yang
dibuat adalah sebagai berikut:
1. Tiga benda uji lentur mortar tanpa penambahan sabut kelapa sebagai kontrol
2. Tiga benda uji lentur mortar dengan penambahan sabut kelapa tanpa perlakuan
3. Tiga benda uji lentur dengan penambahan sabut kelapa dengan penucian NaOH.
Pengujian
Pengujian kuat lentur mortar dilakukan pada umur benda uji 28 hari, sistem pembebanan yang digunakan
pembebanan empat titik tumpu, seperti Gambar 2. Beban diberikan secara bertahap dengan kecepatan 0.02
mm/det sampai terjadi keruntuhan. Dari hasil pengujian ini diperoleh data beban pertahapan, lendutan
tengah bentang, regangan yang terjadi. Tegangan yang terjadi dihitung berdasarkan persamaan 5.
Material dan Bahan
MB-98 KoNTekS 6
Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kuat lentur
Hasil pengujian kuat lentur mortar menggunakan sabut kelapa dengan dan tanpa perlakuan diberikan pada
tabel 2. Pada tabel 3 diberikan prosentase hasil yang diperoleh terhadap kotrol atau mortar tanpa sabut
kelapa, untuk menunjukkan peningkatan yang terjadi mortar.
Tabel 2 hasil pengujian lentur rata-rata
Tabel 3.kapasitas Lentur prosentasi terhadap kontrol
Gambar 5. Hubungan Beban dengan defleksi
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa kuat lentur mortar yang menggunakan sabut kelapa tanpa perlakuan (TP)
mengalami kenaikan sebesar 10% sedangkan kuat lentur mortar menggunakan sabut kelapa yang
mengalami pencucian dengan NaOH (NaOH) meningkat sebesar 27%. Pada mortar dengan penambahan
sabut kelapa pasca mortar retak, terjadi penyaluran gaya dari mortar ke sabut, besarnya gaya yang disaluran
tergantung dari kuatnya ikatan antara sabut dengan mortar. Hal ini menyebabkan perbedaan besarnya
kenaikan kuat lentur antara mortar dengan sabut tanpa perlakuan dangan sabut dengan perlakuan. Pada
mortar dengan sabut kelapa yang dicuci dengan NaOH menggambarkan terjadinya peningkatan lekatan
antara matriks dengan serat (Gu (2009)). Dengan adanya lekatan yang cukup maka dibutuhkan energy yang
Kontrol TP NaOH
9.62 10.58 12.25
0.45 2.58 2.87
2.89 3.18 3.67
2.25 2.23 2.22
2.79 7.95 9.25
1.13 3.41 3.87
Beban Lentur (KN)
Defleksi (mm)
Kapasitas lentur (Mpa)
Luas daerah dibawah kurva saat retak pertama
Luas daerah dibawah kurva
Indeks Toughness
Kontrol TP NaOH
100 110,00 127,29
100 572,52 638,33
100 110,00 127,29
100 99,25 98,67
100 284,68 331,36
100 301,50 342,08
Luas daerah dibawah kurva
Indeks Toughness
persen
Beban Lentur
Defleksi
Kapasitas lentur
Luas daerah dibawah kurva saat retak pertama
Material dan Bahan
KoNTekS 6 MB-99
Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012
lebih besar untuk mematahkan ikatan antara matrik dan serat. Kondisi ini tidak terjadi pada mortar dengan
sabut tanpa perlakuan, kandungan lignin yang besar pada permukaan sabut menyebabkan lekatan sabut
dengan mortar tidak kuat, sehingga peningkatan kuat lentur tidak signifikan.
Penambahan serat pada mortar terbukti memberikan peningkatan defleksi yang sangat signifikat.
Peningkatan sebesar 638.33% terjadi pada mortar dengan sabut kelapa yang dicuci dengan NaOH . Dengan
adanya serat pada mortar, mekanisme peralihan gaya pasca mortar retak terjadi , gaya dialihkan dari mortar
ke serat. Namun dengan kondisi serat yang memiliki modulus elasititas yang kecil menyebabkan penurunan
beban yang dapat dipikul oleh komposit.
Dengan adanya peningkatan defleksi pada mortar maka energi yang terserap semakin besar, maka
toughness dihasilkan semakin tinggi ini ditunjukkan dari hasil perhitungan indeks toughness yang
meningkat menjadi 342,07%. Dari gambar 5 terlihat defleksi yang terjadi pasca retak, sangat besar sehingga
daktilitas yang terjadi juga sangat besar. Kendala yang ada adalah kemampuan menahan beban pada saat
pasca retak sangat kecil jika dibandingkan dengan kemampuan awal dari mortar.misalkan pada mortar
dengan sabut kelapa yang dicuci kemampuan memikul beban lentur rata-rata sebesar 12,25 MPa pasca
beban maksimum hanya mampu menerima beban sebesar 33.33% dari beban maksimumnya yakni sekitar
4 MPa,
5. KESIMPULAN
Dari data hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa:
1. Perlakuan terhadap sabut kelapa meningkatkan kapasitas lentur mortar terhadap mortar tanpa serat
sebesar 11 % untuk serat tanpa perlakuan dan 27% pada serat dengan perlakuan.
2. Penambahan sabut kelapa meningkatkan defleksi pada mortar menjadi 638%.
3. Penambahan sabut kelapa meningkatkan energi toughness mortar sebesar 331 %.
DAFTAR PUSTAKA
ACI Committe 544.2R, (1998), ‘Measurement of Properties of Serat Reinforced Concrete”
ASTM C1018, Standart test Method for “Flexural Toughness and First Crack Strength of Serat Reinforced
Concrete (Using Beam with Third-Point Loading)”, ASTM Standart Vol 04.02, Concrete and
Aggregates,1996.
Balaguru, Perumalsamy N and Shah Surendra P,(1992),” Serat Reinforced Cement Composites”
International edition 1992, McGraw-Hill,Inc.
Gu, Huang (2009),”Tensile behaviours of the coir fibre and related composites after NaOH treatment”,
Material and design 30 (2009) 3931-3934.
Hannant, D.J. (1978), “Fibre Cement and Fibre Concrete”,John Wiley &Sons Ltd, Chichester.
Ramakrisna, G & Sundararadjan, (2005),” Studies on the durability of natural fibres and the effect of
corroded fibres on the strength of mortar”. Cement &Concrete Composite 27 (2005) 575-582
Reis J.M.L (2006), “ Fracture and flexure characterization of natural serat-reinforced polymer concrete”,
Construction and Materials 20 (2006) 673-678.