perencanaan komunikasi strategis partai golkar...
TRANSCRIPT
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 121 IBI-K57
PERENCANAAN KOMUNIKASI STRATEGIS PARTAI GOLKAR DALAM MENGANTISIPASI HASIL PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2019
(STUDI SIGMOITISME DALAM MEMPERTAHANKAN
HIGH BARGAINING POSITION)
Misnan
Email: [email protected] Program Studi Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Institut Bisnis Dan Informatika Kosgoro 1957
ABSTRAK Tujuan penelitian ingin mengetahui perencanaan komunikasi strategis Partai Golkar dalam mengantisipasi hasil pemilihan presiden tahun 2019 untuk mempertahankan high bargaining position. Metode yang digunakan adalah studi kasus. Kasus yang dimaksud karena penelitian berkaitan dengan problematika temporal dan khas, yakni dalam high bargaining position Partai Golkar, khususnya menghadapi Pemilihan Umum Presiden 2019, serta peneguhan organisasional politis yang tetap mendukung pemerintahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan komunikasi strategis Partai Golkar dalam mengantisipasi hasil Pilpres 2019, adalah sebuah diskursus baru dalam manajemen komunikasi perubahan, yakni manajemen pengetahuan, membuat investasi pengetahuan, bahwa siapa pun presidennya, Partai Golkar akan tetap berada di pemerintahan. Dengan demikian, sigmoitisme Partai Golkar akan selalu berada pada high bargaining position, karena posisi parlemen yang sanggup dan konsisten mengamankan program-program pemerintah, sekaligus pola politik yang kritis, konstruktivis namun tetap rasional. Hal ini dibuktikan dari dukungan terhadap Makruf Amin, yang menunjukkan sisi rasionalitas tinggi dari politisi Partai Golkar. Kata Kunci: Perencanaan Komunikasi Strategis, Partai Golkar, Pemilu 2019
ABSTRACT The aim of study is to know the strategic communication plan of the Golkar Party in anticipating the results of the 2019 presidential election to maintain high bargaining position. The method used is case study. The case is related to the object of research that has temporary and typical problems, namely the high bargaining position of Golkar Party, especially in facing the 2019 Presidential Election, as well as political organizational reinforcement that always supports the government. The results showed that the strategic communication plan of the Golkar Party in anticipating the results of the 2019 Presidential Election, was a new discourse in change communication management, namely “knowledge management”, making knowledge investment, that whoever the president was, the Golkar Party would remain in government. Thus, sigmoitism of Golkar Party will always be in a high bargaining position, because the parliamentary position is capable and consistent in securing government programs, as well as political communication patterns, that will always stand in critical, constructive, and rationality. This claim had been evidenced by their support for Makruf Amin as the vice president 2019, which shows the high rationality of Golkar Party politicians. Keywords: Strategic Communication Planning, Golkar Party, 2019 Election
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 122 IBI-K57
I. PENDAHULKUAN
1.1. Latar Belakang
Semua lapisan kini memandang prospek masa depan berdasarkan
kriteria perubahan. Tidak ada kemapanan yang patut dipertahankan, tetapi
prospek masa depan justru digantungkan dari masing-masing individu
pemerannya, utamanya kemampuan adaptif mereka dalam menghadapi
dan mengelola perubahan.
Demikian pula Partai Golkar yang sudah demikian lama menikmati
masa kejayaannya. Prospek partai berlambang beringin ini di masa yang
akan datang tergantung dari strategi mereka dalam mengatasi masalah.
Sebagai organisasi besar dan berpengalaman, strategi mengatasi krisis
tentu akan mengutamakan konstruksi internal, yakni konsensus
keorganisasian dibanding suara-suara kecil atau sporadifitas simpul-simpul
komunikasi, apalagi sejauh ini Golkar tetap konsisten sebagai partai yang
tidak figure sentris. Oleh karena itu, tiap-tiap solusi yang diambil Partai
Golkar tentunya akan terus mengembangkan pola penstrukturan adaptif.
Dalam sejarah dinamisnya, Partai Golkar terkenal dengan organisasi
yang “pemegang saham”nya bukan tunggal, barangkali menjadi satu-
satunya partai politik yang karakternya demikian. Wacana “kubu” selalu saja
menyeruak di setiap momentum suksesi. Seiring dengan perpencaran para
figur besar di dalamnya, soal kepemilikan para kubu ini berangsur hilang.
Berbagai suasana formal politis seperti itulah yang terjadi. Namun
demikian, patut diakui bahwa itulah “wajah kesempurnaan” demokrasi
dalam tubuh Partai Golkar. Oleh karena itu, Partai Golkar berani tanding,
berani banding, termasuk dengan partai yang dirujuk oleh kalangan
millenials sebagai partai yang aspiratif, akomodatif dan akrobatik.
Terlepas dari fenomena-fenomena tersebut, tidak salah juga jika
dikatakan bahwa yang menyelamatkan Golkar sebenarnya adalah habitus
kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari haluan politik periode pendukung dan
pengusung Prabowo di Koalisi Merah Putih, kemudian “putar haluan”
menjadi bagian kekuasaan, dengan memasukkan Airlangga Hartarto di
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 123 IBI-K57
dalam Kabinet Kerja. Dukungan pada Jokowi di Pemilu 2019 menjadi
peneguh posisi Golkar di habitus kekuasaan. Momentum inilah yang penulis
sebut sebagai puncak “kurva sigmoid”, sebagai puncak bargaining position
politik.
Sementara proses “sigmoitisme” itu berlanjut, sebagai partai besar,
tidaklah mungkin Partai Golkar hanya memiliki Plan A atau Plan B, tetapi
lebih kompleks dari itu, sebuah keniscayaan politik. Dari pemahaman inilah
penulis memilih topik perencanaan komunikasi strategis Partai Golkar
dalam mengantisipasi hasil pemilihan presiden 2019.
1.2. Tujuan Dan Rumusan
Tujuan hasil penelitian adalah ingin mengetahui perencanaan
komunikasi strategis Partai Golkar dalam mengantisipasi hasil pemilihan
presiden tahun 2019 untuk mempertahankan high bargaining position.
Dengan demikian, rumusan masalah penelitian adalah “Bagaimana
perencanaan komunikasi strategis Partai Golkar dalam mengantisipasi
hasil pemilihan presiden tahun 2019 untuk mempertahankan high
bargaining position?”
1.3. Ruang Lingkup Penelitian
a. Keluasan hasil penelitian hanya terbatas pada kapabilitas
narasumber, yakni para pengurus organisasi Kosgoro 1957 yang
mayoritas juga aktif sebagai tenaga pengajar di tempat penelitian.
b. Perencanaan strategis yang dibahas tentu hanya didasarkan oleh
narasumber, dan belum tentu merepresentasikan perencanaan
strategis keseluruhan yang benar-benar sudah menjadi road map
politik Partai Golkar.
c. Kedalaman pembahasan penelitian hanya sebatas kedalaman
pemahaman dan penggalian pustaka peneliti, sehingga belum tentu
merepresentasikan detil-detil fakta politik yang dilakukan dan akan
dilakukan oleh para politisi Partai Golkar.
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 124 IBI-K57
d. Perspektif yang disampaikan oleh narasumber penelitian tidak
mencapai para aktor tim sukses di tingkat pusat tetapi hanya sampai
para pengurus organisasi Kosgoro 1957.
II. KERANGKA TEORITIS
2.1. Manajemen Perubahan
Dalam konteks partai politik, secara sederhana, manajemen
perubahan merupakan tahapan (langkah-langkah) sebagai berikut:
a. Menyadarkan seluruh warga partai politik jika ada sesuatu atau hal
yang tidak dapat dihindari kecuali dengan melakukan perubahan,
demi kelangsungan organisasi (unfreezing).
b. Meyakinkan anggota bahwa perubahan harus diselesaikan dengan
cepat dan hasilnya merupakan hal baru yang menjanjikan harapan,
perbaikan ataupun keberhasilan (driving force dalam changing).
c. Menetralisir kekawatiran, menciptakan optimisme berkelanjutan,
bahwa apa yang telah dilakukan adalah hal terbaik dan harus
diperkuat untuk lebih baik (refreezing).
Jika sudah ada kesadaran tinggi pada masing-masing anggota partai,
program inti perubahan barulah dilaksanakan. Akibat dari sebuah
perubahan tentu ada yang sederhana, tetapi harus bersiap juga jika jatuh
dalam penolakan yang rumit. Dalam beberapa kasus, di masa transisi
sering antar anggota partai saling berkonflik, akibat hal-hal yang lama dan
sudah stabil serta banyak orang merasa nyaman di posisi yang dimaksud
harus tergantikan oleh sistem atau program yang baru. Jadi harus disadari
dan diantisipasi, bahwa penerapan sesuatu yang baru, dapat saja diikuti
dengan perubahan sikap dan tingkah-laku warga partai politik dalam
berbagai ekspresi.
Tahapan berikutnya ialah mengembalikan partai politik kepada situasi
yang normal kembali. Sesudah perubahan dilaksanakan, berbagai
ketentuan baru diberlakukan secara penuh, demikian juga para anggota
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 125 IBI-K57
diharapkan bersikap dan bertingkah-laku sesuai kondisi organisasi yang
baru. Kembali kepada tahap awal perubahan, bahwa unfreezing diciptakan
suasana ”terbuka” untuk mengondisikan perubahan, sebaliknya pada akhir
perubahan, yakni refreezing dikondisikan ”tertutupnya” proses, istilahnya
semua diajak untuk ”merayakan” perubahan, sampai stabilitas benar-benar
terjadi.
Bagaimanapun juga, perubahan sangat ditentukan oleh
”manusianya”. Jadi, faktor individu sangat berdampak pada proses
perubahan. Jika karakter anggota lebih terbuka, maka akan terbuka juga
jalan perubahan, jika sebaliknya akan sulit menembus dominasi kekerasan
personal, apalagi jika ada anggota yang mampu mempengaruhi anggota
lain dalam penolakan.
2.2. Disruption
Renald Kasali dalam bukunya berjudul Disruption (2014),
menjelaskan; Perubahan yang terjadi diawali dengan hal kecil, sedemikian
kecil sehingga terabaikan oleh mereka yang besar. Perubahan itu lebih dari
itu tidak terlihat, dan tiba-tiba begitu besar. Inilah karakter perubahan pada
abad ke-21: cepat, mengejutkan, memindahkan.
a) Disruption dalam Komunikasi Politik
Era baru dalam politik dan berpolitik di dunia sudah terjadi seiring
dengan semakin berkembangnya infrastruktur komunikasi digital. Ada dua
kekuatan utama komunikasi di era disruption technology.
Pertama, informasi apa pun secara virtual akan dengan mudah
tersebar dengan cepat dan menjangkau banyak orang. Ini bisa menjadi
senjata ampuh sekaligus mematikan untuk meraih dan kehilangan simpati
dan dukungan masyarakat luas terhadap isu-isu politik. Secara praktis, ini
akan mempengaruhi keakuratan polling yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga polling baik terkait kepopuleran maupun elektabilitas seseorang
atau partai tertentu. Hasil polling yang bersifat dinamis dan terikat dengan
dimensi masa dan metodologi, lebih dinisbikan lagi oleh mudahnya
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 126 IBI-K57
dukungan, vote, dan opini masyarakat berubah oleh pengaruh informasi
melalui komunikasi digital, salah satunya melalui media sosial. Kontestasi
dan perang opini di media sosial begitu intens, baik yang berdasarkan
fakta maupun hoax. Perang opini di media sosial ini akan sangat
mempengaruhi sentimen masyarakat terlebih jika isu dan topik yang
diangkat terkait masalah SARA.
Kedua, komunikasi di era disruption technology memungkinkan
peningkatan partisipasi politik masyarakat terhadap isu-isu politik yang
sedang ramai diperbincangkan. Diperkirakan tahun 2018 ini pengguna
smartphone di Indonesia akan meningkat melebihi 100 juta orang,
membuat Indonesia menjadi salah satu raksasa digital dunia. Dan angka
ini diperkirakan akan terus bertambah di tahun-tahun yang akan datang.
Penggunaan media komunikasi digital, media sosial melalui smartphone
tentunya akan membuat masyarakat lebih partisipatif sekaligus reaksioner
terhadap isu-isu politik aktual yang sedang terjadi baik itu akurat maupun
hoax.
b) Berpolitik di Era Disruption Technology
Di era dimana “everyone goes digital”, “everyone goes online” maka
politisi dan institusi politik juga mau tidak mau harus berubah
budaya. Budaya yang saya maksud adalah budaya melek informasi.
Politisi harus lebih antisipatif. Politisi harus memiliki kepekaan akan ide,
isu, dan kepentingan arus bawah (grass root) konstituen mereka. Tidak
ada alasan lagi bagi politisi yang gaptek. Mereka harus mampu
menggunakan fasilitas digital, sehingga komunikasi konvensional
seyogianya sudah tidak lagi menjadi orientasi utama tetapi harus
digantikan oleh komunikasi politik digital. Keterampilan
mengoperasikannya juga tidak ada pilihan lagi bagi politisi, kecuali harus
menggunakannya. Media sosial bukan hanya dipahami sebagai media
memperkenalkan diri, tetapi bagian dari strategi, persuasi, kompetisi yang
juga sama seperti mereka berkampanye dalam dunia nyata.
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 127 IBI-K57
2.3. Pemahaman Konsep Kurva Sigmoid
Dari sisi manajemen,
S-Curve menjadi tantangan
besar dan sangat serius
apabila suatu saat menemui
titik ini. Mereka akan
menukik dan berada dalam
kerugian total. Oleh karena itu, cara manajerial yang proporsional adalah
management of change dengan aware dan care bahwa segalanya mungkin
terjadi. Sementara itu, jika sebuah organisasi ingin menjaga top
positioningnya, tetap harus ada perubahan. Sistem yang sudah lama
meskipun stabil dan terkesan solid perlu dikaji untuk berubah, strategi baru
dengan pola kebijakan baru perlu ditemukan, tradisi dan iklim organisasi,
meskipun terkesan kokoh, tetap dibutuhkan terobosan agar tidak “menua”
seperti halnya manusia, tetapi di refresh, sehingga muncul hal-hal baru dan
lebih berkualitas serta semangat-semangat baru ataupun motivasi-motivasi
baru dalam tantangan-tantangan yang baru. Inilah antisipasi perubahan.
Mengubah menjadi relevant dan up to date, dari sisi S-curve, maka aktor
yang bersangkutan harus melompat, dari jalur kurva S yang lama menuju
kurva S yang baru. Semakin mudah mengatasi tanjakan maka semakin
cepat pula menemui penurunan. Disinilah Sigmoid menghampiri. Melompat
ke Sigmoid yang lain merupakan cara cepat mempertahankan diri di posisi
strategis!
III. HASIL PENELITIAN
3.1. Golkar Meneguhkan Diri Sebagai Kekuatan Nasional, Dengan
Karakter Nasionalis Kebangsaan
Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas
kolonialisme. Pengalaman dan penderitaan bersama sebagai kaum terjajah
melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 128 IBI-K57
bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Partai Golkar lebih memilih
posisi sebagai partai tengah, yang tidak sekuler sekaligus bukan partai
agama. Sebagai kekuatan nasional partai Golkar akan memosisikan diri
dalam pemerintahan, meskipun hal tersebut tidak tercantum dalam AD dan
ART.
Makna “berkarya” bagi Partai Golkar adalah berperan dalam
pemerintahan. Bukan berarti Partai Golkar akan kembali menguasai
pemerintahan seperti dalam sejarah Orde Baru, tetapi akan mendukung
siapa saja Presiden terpilih. Strategi untuk bisa diterima, dan pemerintahan
baru tetap membutuhkan koalisi dengan Partai Golkar, maka Partai Golkar
harus memiliki bargaining position di parlemen.
Kekuatan Partai Golkar saat ini untuk mendukung visi dan misi
tersebut adalah loyalitas dan kekuatan yang merata di semua daerah.
Dengan sosialisasi politik terhadap pengetahuan bahwa Partai Golkar akan
selalu mendukung pemerintahan, maka siapa pun presidennya akan
memiliki posisi yang kuat yang sekaligus pula akan berdampak pada
stabilitas pemerintahan. Hal ini sangat penting bagi ketahanan nasional
serta Partai Golkar sendiri.
Dari sisi ketahanan nasional, dengan konsistensi Golkar sebagai
partai kader tidak akan mampu didikte pihak mana pun serta tetap fleksibel
dalam percaturan kebangsaan karena ideologi Pancasila akan menjadi
pegangan operasional dalam segala tindakan dan kebijakan politis. Adapun
dari sisi internal Partai Golkar sendiri akan memiliki modal berharga dalam
strategi politik, karena secara luas sudah diketahui arah dan rencana
strategis Partai Golkar dalam dinamika dan suksesi pemerintahan. Inilah
manajemen pengetahuan politik, yang sangat berharga bagi kelangsungan
“berkarya” Partai Golkar.
Karakter kebangsaan Partai Golkar akan menjaga kelestarian dan
ketahanan identitas nasional yang antara lain selalu mendasarkan
politiknya pada 4 pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan
Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian, selama Indonesia berdiri, maka
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 129 IBI-K57
karakter politik Partai Golkar akan selalu dibutuhkan dan adaptif terhadap
segala bentuk perubahan.
3.2. Manajemen Transisi Bukan Beban, Kuncinya Ada di Parlemen
Golkar di bawah Airlangga melakukan kerja cepat, strategis, dan
berorientasi penyelesaian krisis secara sistemis. Ada empat langkah yang
sementara dinilai berhasil.
Pertama, strategi perubahan adaptif terkait dengan konsolidasi
internal. Struktur partai diisi orang-orang yang selain kompeten juga tidak
bermasalah. Perombakan di jajaran pengurus pusat Golkar dibutuhkan
dalam konteks manajemen reputasi organisasi. Golkar beruntung surplus
dengan politisi berpengalaman.
Kedua, manajemen reputasi politik yang dimulai dengan pengisian
jabatan Ketua DPR yang berasal dari Golkar secepatnya. Airlangga tegas
dan berani memilih orang yang relatif tidak bermasalah untuk mengisi
jabatan Ketua DPR. Di saat Ketua DPR dipegang dan dikendalikan
Novanto, banyak pemberitaan negatif yang tidak hanya merugikan DPR
tetapi juga merugikan Golkar.
Ketiga, fokus pada pengelolaan kontestasi elektoral di pilkada
serentak 2018 dan Pileg serta Pilpres 2019. Ada 171 daerah yang
berpilkada dan di antara mereka terdapat daerah-daerah kunci pertarungan
(battleground) nasional seperti Jabar, Jateng, dan Jatim.
Keempat, bekerja di publik. Golkar sebagai partai kekaryaan sudah
cukup lama berkurang jauh kiprahnya dalam hal-hal yang dirasakan
kehadiran di publik. Banyak isu dan tuntutan menyangkut kepentingan
publik yang perlu diagregasi dan diperjuangkan Golkar. Misalnya, Golkar
bisa mulai dengan menghentikan manuver politisi mereka di DPR yang
berpotensi melemahkan KPK.
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 130 IBI-K57
3.3. Gaya Komunikasi Golkar: Rasional, Kritis, Konstruktivis.
Dari Merdeka.com, Fadel Muhammad menyebut suara Partai Golkar
tak utuh setelah Joko Widodo memilih Ma'ruf Amin sebagai cawapres.
Pernyataan itu kemudian membuat banyak pihak bereaksi. Namun Fadel
meyakini ucapannya tidak akan menimbulkan gejolak di internal. Dia yakin
Golkar tetap solid dan utuh. Fadel kemudian meluruskan pernyataan
sebelumnya bahwa Partai Golkar bukan dalam posisi dua suara. "Bukan
dua suara, tetapi ada beberapa orang yang kecewa kenapa Jokowi tidak
mengambil Golkar sebagai wakil presiden. Wajar itu pilihan, hak perogratif
Presiden, kita tetap utuh, cuma kecewa, mau bilang apa, namanya politik."
(Fadel Muhammad)
Keputusan Presiden Joko Widodo memilih Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden (cawapres)
dalam pemilu presiden 2019 sebenarnya mengejutkan berbagai pihak.
Tidak terkecuali analis dan para pengamat politik. Beberapa analis yang
dikutip media Singapura The Straits Times mengatakan Jokowi saat ini
memerlukan figur Islami yang kuat sebagai pasangannya di pilpres
mendatang. Hal ini diperlukan tidak hanya untuk menghalau saingannya
yang mungkin saja menyerangnya dengan isu-isu agama namun juga untuk
menarik suara pemilih konservatif di Pulau Jawa.
Dalam hal ini, Partai Golkar menyadari bahwa, "Kekurangan terbesar
Jokowi adalah persepsi bahwa ia seorang anti-Islam." (Achmad Sukarsono,
analis control risks di Bloomberg.com.) "Dengan memilih Amin, Jokowi
sedang menunjukkan bahwa ia seorang muslim dan berjuang demi
kepentingan kaum muslim. Dengan demikian, ia berharap dapat
mengamankan suara pemilih muslim." Selain itu, "Investor mungkin
mengapresiasi Ma'ruf jika ia mampu menyelesaikan isu agama dan etnis
yang telah membuat mereka khawatir selama ini. Ini akan menciptakan
stabilitas, sesuatu yang dinantikan investor."
Partai Golkar menerima Makruf Amin, karena merupakan alternatif
win-win solution dengan memilih calon yang tidak berasal dari partai politik.
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 131 IBI-K57
Partai Golkar menunjukkan sikap kritisnya, dengan tetap menyampaikan
syarat-syarat jika calon yang dipilih Jokowi bukan berasal dari Partai Golkar,
hal itu terimplementasi dari posisi menteri-menteri strategis dalam Kabinet
Kerja. Sementara itu Golkar juga menunjukkan sifat rasionalitasnya,
dengan mempertimbangkan secara mendalam untung rugi terpilihnya
Makruf Amin. Dengan sikap rasional tersebut Golkar dapat menerima
keputusan Jokowi. Di sisi lain, Golkar tetap konstruktivis, konsisten dalam
memberikan dukungan untuk Pilpres 2019 kepada pasangan Jokowi dan
Amin.
IV. PEMBAHASAN
4.1. Sigmoitisme Politik
Dilihat dari kurva sigmoid (sigmoid curve) manajemen perubahan
yang diilustrasikan oleh Charles Handy, maka bargaining Partai Golkar
tampak sebagai berikut:
Posisi Partai
Golkar berada pada
titik koordinat X – Y.
Posisi X – Y dalam
garis warna ungu
merepresentasikan
Partai Golkar
merupakan posisi saat ini. Lengkungan kurva yang agak turun itu
disebabkan dari high bargaining position Partai Golkar yang “gagal”
mengajukan Airlangga Hartarto menjadi Calon Wakil Presiden 2019. Yang
patut dicermati adalah ketika kurva ungu (start-up) sedikit turun sampai
pada posisi Y, terdapat kurva kuning yang naik, itu artinya Partai Golkar
sudah merencanakan strategi baru untuk mereposisikan kembali high
bargaining position Partai Golkar dalam pemerintahan. Inilah perencanaan
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 132 IBI-K57
strategis yang menandakan bahwa Partai Golkar tidak dalam comfort zone
meskipun potensi high bargaining position tetap dominan.
4.2. Analisis Re-Code DNA
Dari bawaan naturalnya, Golkar mampu hidup dalam cladeogenesis
bukan anagenesis. Anagenesis: sebuah fenomena evolusi yang
menggeser sifat masa lalu pada inovasi baru, sedangkan claeogenesis:
pada kategori besar yang serupa muncul sub-sub kategori yang berbeda,
namun memiliki kemiripan kode-kode yang sama. Dengan demikian, DNA
(sifat bawaan) Golkar, dalam berpolitik akan selalu memosisikan diri untuk
sepakat dengan pemerintah, tidak mengekspos konflik, serta
mengemukakan solusi ofensif (memperbarui diri bahkan bertransformasi)
bukan defensif (membentuk opini publik).
Sejarah adanya golongan fungsional yang sangat dominan
menguasai sistem pemerintahan sudah tergantikan oleh sistem baru, yang
menuntut mereka untuk lebih aktif dalam kontestasi politik. Sayangnya
aspek kebebasan dan keterbukaan yang begitu cepat, membuat Golkar
terjebak dalam pragmatisme, dan banyak mengakomodasi para
pengusaha.
Banyak yang mengatakan bahwa Partai Golkar selalu pragmatis
dalam berpolitik, atau istilah lainnya adalah main “dua kaki”. Sebenarnya
sudah jelas gambaran hasil pandangan: konseptor dan manajerial.
Konseptor Partai Golkar adalah Ketua Umum-nya dan selalu disetujui oleh
Jokowi yang memang tidak terbebani sebagai pemimpin partai.
Dalam konteks “mengawasi dan diawasi” sebagaimana dinyatakan
filsuf Perancis (Michael Foucault) tentang panopticon. Panopticon adalah
istilah yang menjelaskan sebuah mekanisme pengawasan, yaitu relasi
orang mengawasi dan yang diawasi, yang dapat menimbulkan kesadaran
dikontrol secara terus-menerus bagi yang diawasi, dan cara
memperlihatkan berfungsinya kekuasaan bagi yang mengawasi, Jokowi
tentu tetap melihat pandangan induk partainya, yakni PDI-Perjuangan. Satu
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 133 IBI-K57
gaya komunikasi para petinggi Partai Golkar yang terlihat membumi adalah
bahwa mereka tidak terlihat pinter tapi lebih tepatnya juga tidak keminter.
Soal konsep demokrasi yang digaungkan Partai Golkar, bahwa Golkar
adalah suara rakyat, yang tentunya akan selalu “mendengarkan suara
rakyat”, sebenarnya tidak lebih dari sudut pandang sangat pragmatis yang
melihat rakyat “didengar” dalam arti sangat general. Dengan tagline Suara
Golkar Suara Rakyat dengan gaya politik yang terkesan tidak ambisius dan
oposisi, Partai Golkar sudah “menginvestasi” pengetahuan politik, tentang
rencana strategis Partai Golkar yang akan selalu diterima bahkan
“dibutuhkan” oleh Presiden baru.
4.3. Disrupsi Komunikasi Politik
Disrupsi politik akan menjadi berkah bagi Partai Golkar apabila partai
dan para caleg dapat memanfaatkan perkembangan teknologi yang
sedemikian pesatnya ini untuk menyuarakan nilai-nilai karya-kekaryaan dan
membangun kebangsaan, menyentuh nilai-nilai yang relevan di
masyarakat. Maka, pertarungan politik di era kini, tidak lagi ditentukan oleh
fasilitas fisik, tetapi fasilitas informasi. Manajemen jejaring lebih berdampak
dan lebih efisien dalam membangun simpati publik.
Jokowi adalah sosok pemimpin yang berada pada arus pemikiran
Frankl (filsuf eksistensialis). Frankl mengatakan bahwa penderitaan dan
ketidakbahagiaan manusia disebabkan oleh ragam disfungsi diri. Hal ini
karena berlakunya paradoks: semakin seseorang mengejar sesuatu,
semakin jauh sesuatu itu lari darinya. “Sesuatu tidak dapat dikejar, tapi
harus dialami”. Keinginan mencapai sesuatu secara ekstrim disebut Frankl
sebagai gejala hiper-intensi. Hiper-intensi sering kali diikuti oleh hiper-
refleksi, yaitu “pengolahan” (pemeriksaan, observasi, kontemplasi) diri
secara berlebihan.
Jokowi adalah gambaran tokoh yang tidak membersitkan antusiasme
kekuasaan. Tidak ada yang dikejar, melainkan hanya dialami. Blusukan
menjadi sangat jitu melejitkan nama Jokowi, karena di saat pemimpin lain
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 134 IBI-K57
mendeklarasikan “atas nama rakyat” eksistensinya justru dipertanyakan:
rakyat mana? Jokowi jelas bisa menjawab, karena Jokowi ‘mengalami’ atau
setidaknya Jokowi masuk dalam ranah pengalaman rakyatnya. Rakyat bagi
Jokowi bukan diletakkan dalam pustaka teori dan pengetahuan, seperti
kebanyakan pemimpin lain. Kebutuhan rakyat, keinginan rakyat, aspirasi
dan inspirasi rakyat bukan didalami kemudian menjadi teori dan
pengetahuan belaka, tetapi dijadikan khasanah pengalaman oleh Jokowi.
Dalam teori komunikasi efektif, secara jelas disebutkan bahwa komunikasi
paling efektif adalah jika antara komunikator dan komunikan berada dalam
pengalaman yang sama.
Blusukan tidak saja mematahkan kesan hiper-tensi dan hiper-refleksi
(Frankl) karena komunikasi “membumi” dalam konteks interpersonal antara
rakyat dan pimpinan, tetapi juga mematahkan teori politik cities without
maps Ian Chamber. Apa yang diklaim Jokowi sudah menjadi representasi
warga yang diblusukinnya. Peta keterwakilan sangat jelas. Bahkan banyak
yang berucap kenapa Jokowi dari PDI yah? Pertanyaan ini secara tersirat
performa Jokowi yang idealnya sebagai kader Golkar. Dari konteks ini,
Partai Golkar sudah cukup berhasil menanamkan pengetahuan di
masyarakat luas, bagaimana figur Golkar, yang sesungguhnya sangat
membumi dan sederhana. Gaya ini adalah disrupsi yang diyakini akan
sangat strategis bagi Partai Golkar dalam menghadapi berbagai
perubahan.
4.4. Manajemen Perubahan Komunikasi Politik
Oleh karena selama sekian waktu menjadi oposisi terbukti tidak
didapatkan gagasan yang dapat “dijual” maka manajemen perubahan jika
Jokowi – Amin kalah adalah mengganti Ketua Umum, diganti dengan figur
yang dapat diterima oleh kalangan koalisi dari presiden baru. Hal ini tidak
sulit bagi Partai Golkar, karena sejak Pilpres belum terlaksana, calon
penggantinyapun sudah disiapkan meskipun tidak dipublikasikan.
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 135 IBI-K57
Dalam pandangan politisi Golkar, historisitas bangsa Indonesia
sesungguhnya banyak diwarnai oleh manajemen komunikasi politik yang
sangat bercorak:
a. Era Sukarno, Republik Cinta Manajemen (RCM) sungguh
membahana. “Cinta” di masa itu adalah cinta terhadap tanah air dan
rela berkorban yang tinggi.
b. Era Suharto, RCM berubah menjadi RRM (Republik Rekayasa
Manajemen). Dengan manajemen rekayasa, Suharto sanggup
memimpikan bangsa ini kepada cita-cita yang direkayasa pula, adil
dan makmur. RRM yang sangat superior itu ternyata harus berevolusi
pula, dipaksa menjadi:
c. “Republik Cendekia Manajemen”. Sebuah manajemen yang
segalanya dikelabui oleh kecendekiaan. Meski tertekan, namun cukup
terbanggakan dengan kelahiran ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia) yang keren dan beken, namun sayang kurang paten.
(istilah narasumber)
d. Tanpa diduga, manajemen komunikasi politik bangsa besar ini sampai
juga pada “Republik Canda Manajemen”. Komunikasi politik yang
biasanya pada konteks “serius” karena dijiwai oleh “kuasa” (pendapat
Foucault) dan kekuasaan, cukup diselesaikan dengan gitu aja kok
repot.
e. Sejarah pun masih terus bergulir dengan keunikannya. Kebesaran
bangsa ini ternyata sungguh diuji, ketika kebesaran itu akhirnya harus
ditandai dengan “menerima” presiden wanita pertama, yang tentu saja
corak komunikasinya menjadi keibuan. Dapatlah dikatakan era itu
sebagai Republik Sensi (sensitif-red) Manajemen. Aspek politis
ditampilkan dengan main jual dan main ngambeg. Maklumlah, konon
Allah menciptakan wanita dengan 9 nafsu dengan 1 akal. (istilah/gaya
bahasa narasumber)
f. Era yang cepat berganti itu akhirnya menemui momentumnya juga,
ketika manajemen komunikasi sanggup memanfaatkan judgement
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 136 IBI-K57
realitas yang dideklarasikan oleh Filsuf Jerman, Jean Baudrillard.
Realitas yang semula hanya dipahami dalam satu dikotomis, yakni
fisika dan metafisika, ternyata ada realitas lain yang berada pada
ranah sangat strategis, yakni “patafisika”, sebuah realitas yang tidak
terjangkau secara fisis namun tampak dan nyata secara visual, yang
terbahasakan sebagai image atau “citra”. Lahirlah Republik Citra
Manajemen. Manajemen komunikasi politik difokuskan ke dalam
manajemen pencitraan politik. Setidaknya awal kelahirannya dipicu
oleh dua hal: dzolimisme dan altruisme. Sebuah paradigma publik
bahwa mereka yang terdzolimi harus dibela. Pola pikir Bangsa Timur
yang altruis memang sangat strategis untuk dieksploitasi menjadi
komunikan politik. (narasumber)
g. Comfort Zone politik itu ternyata tidak cukup ampuh menegakkan
bangsa ini ke dalam tataran “disegani” bahkan manajemen pencitraan
lebih terkesan tidak tegas, datar, formal dan jual tampang saja.
Meskipun demikian, perhatian komunikator politik bangsa ini agaknya
masih banyak percaya bahwa manajemen pencitraan tidak
sepenuhnya harus dihapuskan. Wacana terdzolimi dan altruisme
rakyat Indonesia masih cukup menjanjikan untuk dikelola. Setidaknya
kepercayaan ini didasarkan pada aspek historis Megawati yang
terdzolimi Suharto dan SBY yang terdzolimi Megawati. Sementara itu,
pengelolaan unsur altruisme tidak hanya digunakan pada momentum
kompetisi kekuasaan saja tetapi juga pada ranah-ranah hukum.
Koruptor, cukong, pengemplang sampai pengembang, semua
menunjukkan gaya komunikasi yang mencitrakan bahwa mereka ter-
dzolim-i dan mereka percaya bahwa “rakyat Indonesia adalah rakyat
altruis”.
Setidaknya Pilpres 2019 masih sangat dominan janji altruis para caleg
dan capres dengan berbagai model, sayangnya sangat banyak pula yang
intangible. Tetapi, rakyat memang dituntut arif, memandang janji sebagai
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 137 IBI-K57
hal biasa, yang selalu terjadi dan berulang, bahkan sudah menjadi
kewajaran. Rakyat juga sudah sangat paham, tahapan menjadi pemimpin
yang selalu begitu dan itu-itu, hadir dengan gaya altruis kemudian pergi
dengan gaya super egois. Mungkin manajemen pencitraan yang kemudian
berkembang menjadi manajemen pembohongan itu yang kemudian sedikit
terkuak publik, hingga pencitraan itu kini bukan lagi “mempengaruhi” tetapi
dianggap “mengelabuhi”.
Terlepas dari wacana yang telah terlampaui itu, kini Pilpres 2019 yang
akan tiba, mencipta RCM versi baru. Republik Cinta dan Citra Manajemen
itu kini dikolaborasikan dalam konteksnya yang baru, atau lebih tepatnya
telah terjadi transkontekstualisasi RCM. Teks-teks cinta dan citra masa lalu
dibuatkan teks-teksnya yang baru yang lebih sesuai dengan gairah politis
kekinian. Citra pemimpin masa lalu, yang secara fisiologis harus
berwibawa, gagah dan ksatria, kini disodorkan dalam bentuk kurus, sangat
sederhana dan apa adanya. Dari sisi sosiologisnya, jika di masa lalu harus
dari kalangan elit negarawan kini disodorkan dalam konsep wong ndeso
yang bejo. Adapun dari sisi psikologis, yang semula gaya verbalnya tertata,
terstruktur dan terpelajar, kini disodorkan dalam gaya semau gue, spontan
dan acuh tetapi butuh.
Setidaknya inilah representasi Jokowi, di bawah manajemen politik
baru, Republik Cerpen Manajemen (RCM juga). Ceritanya pendek-pendek,
di Solo sebentar pindah ke Jakarta, di Jakarta sebentar pindah ke istana.
Blusukan sebentar, tangani banjir sebentar, penertiban pedagang sebentar,
penanganan transportasi sebentar, dan kini sebentar lagi ‘percaya diri’
sebagai RI-1 seri dua. Pimpinan RCM agaknya lupa bahwa kesadaran
rakyat hanya bisa ‘dikelabui’ sebentar, buktinya kini peta politis sudah
terbelah, Jokowi bukan satu-satunya. Kasat mata publik yang dengan
gamblang melihat Jokowi di bawah kendali Mega, analisis kemudian
bergeser kepada sebuah kesadaran:
1) Bukan seperti ini yang rakyat butuhkan.
2) Bukan figur sekapasitas ini yang Indonesia perlukan.
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 138 IBI-K57
3) Bukan negarawan sekaliber ini yang Nusantara harapkan.
Sekali lagi menghadapi tudingan yang syarat dengan nuansa politis
itu RCM ternyata masih mengorek-orek strategi citra, dengan efek
terdzolimi, melawan berbagai tudingan dengan dalih “semakin dituding
semakin diuntungkan”. Yang kemudian timbul persoalan, apa yang terjadi
jika Indonesia dipimpin oleh tokoh yang proses politisnya hanya karena efek
“terkelabuinya” publik dalam periode yang sangat sebentar itu. Tidakkah
menjadi pelajaran bagi bangsa ini akibat terkelabui sebentar kemudian
kecewa berkepanjangan dan secara berulang pula rakyat menjadi biang
kesalahan. Kenapa dulu dipilih?
Secara empiris, sebenarnya fenomena Jokowi tidaklah spektakuler.
Media terlalu berpihak pada Jokowi. Efek kebosanan terhadap performa
pencitraan yang tidak to the point membuat rakyat frustasi, yang ujung
pelariannya mengarah pada sensasi baru, pada sosok polos nan tampil
beda. Aspek inilah yang mengarahkan wacana ketertarikan media terhadap
sosok Jokowi. Sebaliknya, fenomenal itu sebenarnya terjadi pada sosok
Prabowo. Kenaikan persentase perolehan suara dari seluruh konstituen
peserta Pemilu 2014, tidak ada sespektakuler Partai Gerindra. Hanya saja,
media kurang tertarik memblow up Prabowo, karena sensasi Prabowo
bukanlah sensasi yang sama sekali baru.
Inilah fenomena rakyat, yang sangat mudah terkelabui dengan
sensasi. Mereka seperti kehilangan ruang berpikir, terpaan media menjejali
mereka dengan informasi citra banal yang berjalin kelindan. Informasi
diterima tanpa menyisakan proses dipikirkan, demikian cepat berganti,
hingga akhirnya informasi tidak lebih hanya berfungsi sebagai informasi.
Untuk menjawab premis-premis itu, pencitraan yang sudah meng-
indonesia itu harus dikuliti selubung-selubungnya. Pertama, soal ideologi,
selama ini citra Pancasilais dicetak, digandakan, kopi atas kopi sehingga
keaslian Pancasila itu sudah sulit sekali ditemukan. Kedua, soal politik,
selama ini komunikasi politik tidak pernah dimaknai sebagai sinergitas,
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 139 IBI-K57
yang bertujuan kemaslahatan, tetapi dalam kenyataannya komunikasi
politik tak lebih sebagai cara mengelabui, sehingga keberadaan pemimpin
hanya menambah beban rakyat yang dipimpin. Ketiga, soal ekonomi, yang
selama ini misi ekonomi ditujukan untuk memberantas kemiskinan, ternyata
yang timbul adalah pemberantasan orang miskin. Hutang luar negeri
Indonesia 2014 sudah mencapai 3000 triliun lebih, sedangkan devisa yang
ada, masih dalam tahap penafsiran, sudah dikorupsi. Keempat, soal sosial,
yang selama ini segala kebijakan dikatakan demi peningkatan strata rakyat
miskin, realitasnya justru semakin jauh dan terus berproses semakin
memperlebar antara kaya dan miskin. Kelima, soal budaya, selama ini
seluruh elemen publik, banyak dicontohkan oleh para pemimpinnya yang
hedonis, serakah, mewah, pamer, dan sekuler. Pendidikan dan agama
hanya melahirkan generasi yang cerdas namun tanpa jiwa kebijaksanaan
yang mendalam, akibatnya korupsi bukan lagi kasus tetapi sudah menjadi
bagian dari budaya yang terus beranak pinak.
Inilah efek tragis dari citra, yang hanya mempunyai makna pada ranah
virtual tanpa ujud substansial. Kini Indonesia sudah di dasar jurang dalam,
akibat dituntut perlahan, pimpinan demi pimpinan, pemerintahan demi
pemerintahan. Dari sisi ini, Partai Golkar akan mengambil bagian dalam
edukasi politik. Partai Golkar tidak akan reaktif terhadap berbagai
fenomena, tetapi akan tetap pro aktif turut serta memberikan solusi-solusi.
4.5. Mempertahankan High Bargaining Position
Bagaimanapun high bargaining position bagi Partai Golkar tetap
penting. Di sisi lain, problem politik di negara berkembang adalah
“bebalisme”, minimnya kreativitas dalam berpolitik, acuh tak acuh terhadap
kehormatan politik, bahkan problem “malu” merosot sampai titik nadir. Yang
menjadi mind set sosial masyarakat dewasa ini adalah tingkat kepercayaan
kepada partai politik yang sangat rendah, selalu mengaitkan program
sosialisasi partai dengan “uang”, maka kegiatan politik selalu ditanggapi
dengan potensi keuangan dari politisi. Partai Golkar tentu menganggap ini
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 140 IBI-K57
sebagai hal serius yang harus diperbaiki. Karakter bangsa harus diperbaiki.
Gagasan ini juga merupakan strategi manajemen kesan Partai Golkar di
masa mendatang untuk lebih mendekatkan diri dengan publik.
Bagaimanapun Golkar meyakini, bahwa penampilan Golkar merupakan
penampilan yang paling bisa diterima oleh karakter pluralis rakyat
Indonesia. Ciri khas partai yang intelek, religious, humanis dan artistik akan
lebih ditingkatkan, dikontekskan sesuai dengan semangat kekinian.
V. KESIMPULAN
a. Perencanaan komunikasi strategis Partai Golkar dalam
mengantisipasi hasil Pilpres 2019, adalah sebuah diskursus baru
dalam manajemen komunikasi perubahan, yakni manajemen
pengetahuan, dengan merekontekstualisasi pengetahuan publik
bahwa Golkar selalu berada dalam lingkar pemerintahan.
b. Partai Golkar tidak mempersoalkan siapa presiden baru 2019, karena
siapa pun presidennya pasti membutuhkan Partai Golkar untuk
melegitimasi roda pemerintahannya.
c. Kekuatan Partai Golkar, tidak hanya loyalitas konstituennya, tetapi
juga merata di semua daerah, serta daya tawar yang tinggi di
parlemen.
d. Partai Golkar telah menetapkan tanpa keraguan akan selalu berada
dalam pemerintahan, karena makna “berkarya” yang tidak efektif
diselenggarakan dalam posisi sebagai oposisi.
e. Sigmoitisme Partai Golkar akan selalu berada pada high bargaining
position, karena posisi parlemen yang sanggup dan konsisten
mengamankan program-program pemerintah, sekaligus pola politik
yang kritis, konstruktivis namun tetap rasional.
f. Perencanaan komunikasi strategis Partai Golkar dalam
mengantisipasi hasil Pilpres 2019, menyangkut:
1) Manajemen perubahan, yang sudah direncanakan jauh hari
tentang suksesi Ketua Umum.
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 141 IBI-K57
2) Re-code DNA, mencanangkan gaya komunikasi yang membumi,
religious, intelek dan humanis yang mengedukasi masyarakat
dalam memaksimalkan perannya dalam pembangunan demokrasi
Indonesia. Partai Golkar juga akan konsisten secara menyeluruh
akan tampil sebagai partai ideal yang sesuai dengan karakter
kebangsaan: Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal
Ika.
3) Disruption, memaksimalkan pendampingan program ketahanan
ekonomik-ideologis, yang mampu memberikan big data tentang
dampak perkembangan ekonomi global, serta kemampuan
demokrat-netokrat pemenang presiden 2019.
DAFTAR PUSTAKA
Coleman, John J. , Vol. 93, No. 4, Desember 1999, “Unified Government, Divided Government, and Party Responsiveness”, The American Political Science Review.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
Firmanzah. 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hidayat, Syarif, “Mencari Terapi Pilkada Terbaik”, Batam Pos, 26 Agustus, 2006.
Inu Kencana Syafiie. 2005. Filsafat Politik. Bandung: Mandar Maju.
James G. Kellas, The Politics of Nationalism and Ethnicity, USA: St. Martin’s Press, Inc, 2008 edition.
Kompas.com dengan judul "Meluruskan Pemahaman soal "Disruption"", https://money.kompas.com/read/2017/05/05/073000626/meluruskan.pemahaman.soal.disruption. dan “Berpolitik di Era Disruption Technology: Tanggung Jawab Komunikasi Politik Digital”, 2 Januari 2018.
Littlejohn, Stephen W., 1996, Theories Human Communication, Bandung: Universitas Padjajaran (hasil terjemahan dan buku pegangan untuk kalangan terbatas)
Jurnal Mediastima ISSN 0852-7105
Volume 25, No. 2 Okt-Mar 2019
Misnan
LPPM 142 IBI-K57
Manurung, Pappilon H., Juli 2007, Komunikasi & Kekuasaan, Yogyakarta: Forum Studi Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Merdeka.com. “Hanya PDIP, PKB dan Gerindra yang Diuntungkan di Pilpres 2019” https://www.merdeka.com/politik/hanya-pdip-pkb-dan-gerindra-yang-diuntungkan-di-pilpres-2019.html umat, 7 Desember 2018 05:15
Niskanen, William, A Case for Divided Government, dalam http://www. cato.org/dailys/05-07-03.html
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.
Slivinski, Stephen, Would Divided Government Be Better?, dalam http://www. cato.org/pub_display.php?pub_id=6650.
Yasraf Amir Piliang, 2003, Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial, Solo: Tiga Serangkai.
Yasraf Amir Piliang, 2004, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra