koalisi dpr pemilu 2009

33
PROSPEK PEMERINTAHAN RI 2009-2014: Analisis terhadap pola Koalisi Partai Politik Pasca Pemilu Legislatif 2009 Disampaikan di depan KEDUTAAN BESAR RI DAN MASYARAKAT INDONESIA DI WELLINGTON Oleh: Dodik Ariyanto Wellington, Agustus 2009 Penulis adalah PhD Candidate Bidang Ilmu Politik di University of Canterbury

Upload: dodik-ariyanto

Post on 12-Jun-2015

945 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Pemilu 2009 telah berlalu dan menyisakan banyak PR setelahnya, mulai dari menyusun koalisi yang efektif di Parlemen hingga membentuk Kabinet yang ideal. Bagaimana peta koalisi pasca Pemilu 2009? Apakah format koalisi tersebut akan membuat pemerintahan menjadi efektif ataukah sebaliknya? Selengkapnya...

TRANSCRIPT

Page 1: Koalisi DPR Pemilu 2009

PROSPEK PEMERINTAHAN RI 2009-2014: Analisis terhadap pola Koalisi Partai Politik

Pasca Pemilu Legislatif 2009

Disampaikan di depan KEDUTAAN BESAR RI DAN MASYARAKAT INDONESIA

DI WELLINGTON

Oleh: Dodik Ariyanto∗

Wellington, Agustus 2009

∗ Penulis adalah PhD Candidate Bidang Ilmu Politik di University of Canterbury

Page 2: Koalisi DPR Pemilu 2009

Yang Mulia Duta Besar, Yang terhormat Para Diplomat dan Staff KBRI, Yang terhormat Para Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri, Yang terhormat Para Hadirin sekalian,

Tahun 2009 dilihat sebagai momentum yang penting bagi

Bangsa Indonesia karena di tahun ini Republik kita tercinta kembali

menyelenggarakan hajatan nasional yaitu: Pemilihan anggota

Legislatif pada April dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

pada Juli 2009.

Dari perspektif tradisi, event tersebut tentu bukan sesuatu yang luar

biasa. Popular Vote, Election, Pemilu, Referendum, Public

Participation, atau apapun namanya, an sich adalah bagian dari ritual

demokrasi, sehingga paling tidak setiap lima tahun sekali rakyat

Indonesia boleh berharap menjumpai event serupa. Pun demikian di

dunia internasional. Di tahun 2009 ini saja tak kurang dari 50 negara

juga menyelenggarakan hajatan yang kurang lebih sama. Dengan

pengecualian segelintir negara seperti Iran, Somalia, dan Afghanistan

misalnya, Pemilu-pemilu di Malta, El Savador, Bolivia, Swiss,

Micronesia, Turkmenistan, Azerbaijan, Slovakia, Macedonia,

Montenegro, Algeria, Bulgaria, Mexico, dan lain-lain pada dasarnya

hanyalah prosesi rutin tanpa perlu mendapat perhatian yang

berlebihan, baik dari masyarakat maupun media internasional. Oleh

karenanya, tradisi Pemilu dalam sistem demokrasi, tak lain dan tak

bukan, adalah fenomena “Kau Datang dan Pergi”.

Page 2 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 3: Koalisi DPR Pemilu 2009

Namun demikian, Pemilu memiliki arti yang sangat mendasar apabila

dilihat dari perspektif substansi. Pemilu bukan hanya mekanisme

yang paling feasible sekaligus legitimate dalam merefleksikan

aspirasi dan kehendak mayoritas selectorate masyarakat demokratis,

melainkan juga menjadi milestone yang diharapkan membawa

sebuah pemerintahan dan sederet pemimpin yang akan menjawab

persoalan-persoalan yang belum sempat atau belum dapat

diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya. Pemilu demokratis

dengan indikator bebas, jujur, transparan, adil, dan accountable juga

akan menjamin terjadinya transisi politik yang damai tanpa gejolak

dan korban yang tidak perlu. Jika kita simak apa yang terjadi di Iran

dan Somalia baru-baru ini misalnya, tentu tidak perlu kita jelaskan

panjang lebar pentingnya Pemilu bagi entitas demokratis, dan sudah

semestinya pula kita bersyukur karena Pemilu yang baru saja kita

lalui tidak menyisakan gejolak politik yang cukup berarti.

Pada kesempatan ini kita tidak akan membahas Pemilu sebagai

fenomena demokrasi atau berpolemik seputar ideal-tidaknya Pemilu

yang baru saja kita lalui, melainkan akan mencermati peta koalisi

antara partai-partai pemenang Pemilu 2009, serta prospeknya

terhadap masa depan hubungan Eksekutif-Legislatif periode 1999-

2014. Di samping itu, kita juga akan mencoba memprediksi jawaban

atas pertanyaan apakah kira-kira peta koalisi tersebut akan

membawa Indonesia pada pemerintahan yang kuat dan efektif

selama periode lima tahun kedepan ataukah sebaliknya. Sekedar

catatan di awal, bahwasanya efektif tidaknya sebuah pemerintahan

Page 3 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 4: Koalisi DPR Pemilu 2009

ditentukan oleh banyak faktor yang sayangnya tidak mungkin dibahas

sekaligus dalam satu sesi dan sekali lagi, diskusi kita kali ini hanya

terfokus pada satu diantara sekian banyak faktor tersebut.

Yang Mulia Duta Besar, Bapak, Ibu, serta Hadirin sekalian, Tabel di bawah menunjukkan partai-partai politik yang berkompetisi

memperebutkan 560 kursi DPR pada Pemilu Legislatif 2009 yang

jumlahnya mencapai angka 38. Jumlah kontestan tersebut memberi

kesan “terlalu banyak” untuk sebuah sistem politik, namun hal itu

bukanlah sebuah keanehan karena sejarah Indonesia mencatat

jumlah kontestan Pemilu yang bahkan jauh lebih besar, seperti

Pemilu 1955 yang mencatat angka 172 dan Pemilu 1999 dengan

skor 48. Selebihnya relatif kecil jika dibanding Pemilu 2009, yaitu

angka 10 pada Pemilu 1971, bilangan 3 untuk Pemilu-Pemilu 1977,

1982, 1987, 1992, dan 1997, dan angka 24 pada Pemilu 2004.

Berapapun besaran bilangan tersebut kiranya tidaklah menjadi soal

karena partisipasi politik di Indonesia berbasis pada sistem multi-

partai di mana kebebasan mendirikan partai politik dan berkompetisi

dalam Pemilu dijamin seluas-luasnya sejauh memenuhi kriteria yang

berlaku. Banyaknya kontestan Pemilu bahkan dianggap

merefleksikan dinamika dan antusiasme publik terhadap proses

demokrasi yang sedang berjalan.

Page 4 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 5: Koalisi DPR Pemilu 2009

PARTICIPANTS OF 2009 ELECTION

Sistem multi-partai memiliki kelebihan sekaligus kekurangan.

Kelebihannya barangkali lebih terkait dengan aspek kualitas, di mana

banyaknya kontestan diharapkan lebih dapat mewakili aspirasi rakyat

yang sangat bervariasi. Namun nilai plus ini ternyata membawa

konsekuensi yang pada gilirannya justru menjadi kelemahan, yaitu

bahwa suara pemilih akan terdistribusi ke banyak partai sehingga

sulit diharapkan tampilnya satu partai yang menguasai mayoritas

tunggal dengan dukungan minimal setengah dari keseluruhan

Selectorate. Partai Demokrat misalnya, partai yang berada di urutan

pertama Pemilu Legislatif 2009, kenyataanya hanya mewakili

seperlima Selectorate dan kira-kira hanya seperempat dari

keseluruhan kursi DPR, begitu pula partai-partai utama seperti Golkar

Page 5 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 6: Koalisi DPR Pemilu 2009

dan PDIP. Padahal munculnya mayoritas tunggal diperlukan guna

melegitimasi sebuah pemerintahan demokratis.

Guna menjembatani kesenjangan ke arah mayoritas tunggal

tersebut, Demokrasi menawarkan bentuk solusi yaitu Koalisi. Ketika

tidak ada satupun partai yang mengklaim mayoritas dukungan, maka

partai-partai didorong untuk melakukan koalisi dengan asumsi bahwa

gabungan partai-partai yang mewakili konstituen, secara prinsip

adalah kolaborasi di antara konstituen itu sendiri, sehingga ketika

koalisi telah mencapai posisi mayoritas, maka secara prinsip mereka

memiliki legitimasi dalam memerintah.

Kelemahan lain sistem multi-partai adalah “Ke-tidak-ter-wakil-an”.

Demokrasi dibangun antara lain dengan tujuan mengakomodir setiap

aspirasi, namun mekanisme Perwakilan yang juga merupakan

elemen Demokrasi tidak memungkinkan tercapainya secara

maksimal tujuan tersebut sehingga muncul istilah Ambang Batas

Parlemen (Electoral treshold) yang pada pemilu 2009 ini ditentukan

2.5% dari keseluruhan Selectorate. Artinya, meskipun kebebasan

mendirikan agregator politik di jamin seluas-luasnya, namun tidak

ada jaminan bahwa representasi semua partai politik akan duduk di

kursi parlemen mewakili konstituennya masing-masing. Hanya partai

yang memperoleh minimal 2.5% dukungan-lah yang boleh

menempatkan wakil-wakilnya di Parlemen. Akibatnya, partai-partai

yang tidak mampu memenuhi syarat minimal dukungan tersebut

terpaksa harus “Gigit jari”, seperti yang terjadi pada Pemilu Legislatif

kali ini di mana sekitar 20% suara terpaksa harus ‘dialihkan’ karena

Page 6 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 7: Koalisi DPR Pemilu 2009

perolehan suara partai politik mereka tidak memenuhi syarat Ambang

Batas Parlemen. Aspirasi konstituen partai-partai ini terpaksa “di-

titipkan” kepada partai-partai yang lolos Electoral Treshold yang

pembagiannya di atur secara lebih teknis oleh sistem proporsional.

THE CHAMPIONS

20.85% 14.45% 14.03%

7.88% 6.01% 5.32%

4.94% 4.46% 3.77%

Itulah sebabnya mengapa terdapat perbedaan antara prosentase

suara yang diperoleh dalam Pemilu dengan prosentase kursi di DPR.

Partai Demokrat misalnya, yang pada saat Pemilu memperoleh

20.85% suara, di DPR mengambil 148 kursi atau 26.43% (ada selisih

sekitar 6%). PDIP yang memperoleh 14.03% suara di DPR

memperoleh 93 kursi atau 16.61% (selisihnya sekitar 2%), sehingga

pada akhirnya DPR tetap mencerminkan 100% suara meskipun tidak

sepenuhnya mewakili aspirasi konstituen.

Page 7 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 8: Koalisi DPR Pemilu 2009

Perolehan suara dan Distribusi Kursi DPR

Party Votes % Seats 1 Demokrat 21,703,13720.85% 150 2 Golkar 15,037,75714.45% 107 3 PDIP 14,600,09114.03% 95 4 PKS 8.206.955 7.88% 57 5 PAN 6,254,580 6.01% 43 6 PPP 5,533,214 5.32% 37 7 PKB 5,146,122 4.94% 27 8 GERINDRA 4,646,406 4.46% 26 9 HANURA 3,922,870 3.77% 18

Yang Mulia Duta Besar, Bapak, Ibu, serta Hadirin sekalian,

Dalam tataran teori, perilaku koalisi sering dikaitkan dengan

pertanyaan « Siapa dapat Apa, Kapan, dan Bagaimana?” dimana

strategi partai politik akan dipengaruhi oleh banyak variabel seperti:

variabel situasional (kekuatan partai, posisi partai, undang-undang

Pemilu, aturan-aturan tak tertulis, opini publik, faktor ancaman dsb) ;

variabel kesesuaian (ideologi, basis sosial, faktor pemimpin, sumber

daya, tradisi partai, faktor sejarah, dsb) ; variabel motivasional (faktor

nilai, jaminan, kendala, survival, identitas, dsb) ; variabel interaksi

(aspirasi, perkiraan, kriteria, pengaruh, propaganda, tawar menawar,

resiko, dsb) dan penjabarannya tentu akan sedikit rumit. Namun

dalam tataran praktis pemahaman atas perilaku koalisi akan lebih

Page 8 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 9: Koalisi DPR Pemilu 2009

sederhana, yaitu terkait dengan dua macam tujuan yang biasa

disebut sebagai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk

kasus Indonesia, tujuan pertama adalah mendudukkan kader-kader

partai pada jabatan-jabatan kunci di Eksekutif dan yang lebih utama

lagi adalah mengusung figur tertentu sebagai calon presiden dan

wakil presiden yang sejak Pemilu 2004 dipilih secara langsung oleh

rakyat. Pada Pemilu 2009 ini, persayaratan bagi partai politik yang

ingin mencalonkan presiden dan wakil presiden ditentukan sebesar

minimal 20% suara atau 25% kursi DPR sehingga hanya Partai

Demokrat yang dapat mengajukan calonnya sebagai kandidat

presiden dan wakil presiden tanpa melakukan koalisi, sementara

partai-partai lainnya harus berkoalisi jika ingin turut mengajukan

calon. PDIP yang sejak awal mencalonkan Megawati Sukarnoputri

sebagai calon Presiden, misalnya, hanya mempunyai dukungan

sebesar sekitar 14% suara sehingga harus berkoalisi dengan

Gerindra agar mencukupi persyaratan minimal 20%, begitu pula

dengan Golkar yang berkoalisi dengan Hanura demi mencalonkan

Yusuf Kalla.

Berbeda dengan tujuan pertama, tujuan kedua lebih bersifat jangka

panjang, yaitu menyusun kekuatan efektif di parlemen guna

mempengaruhi pemerintahan ke depan. Semakin besar kekuatan

partai atau gabungan partai di DPR, maka semakin besar pula

kemampuan mereka dalam mempengaruhi kebijakan publik yang

dijalankan oleh Presiden dan kabinetnya. Di sini terlihat bahwa tujuan

akhirnya cukup sederhana namun formulasi ke arah koalisi biasanya

cukup rumit, di mana perilaku partai akan cenderung dipengaruhi

Page 9 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 10: Koalisi DPR Pemilu 2009

oleh variabel-variabel teoritis sebagaimana disebut di atas.

Pergulatan politik menyangkut « Siapa akan mendapat Apa dan

Bagaimana ? » tercermin dari alotnya komunikasi politik dan tawar

menawar di antara partai politik sembari melibatkan unsur-unsur

ideologi, platform, fakta historis, dan sebagainya, hal mana biasanya

hanya dapat diatasi oleh ‘pragmatisme politik’. Oleh karenanya,

ketika misalnya partai-partai yang berseberangan secara ideologi

atau sebelumnya bermusuhan namun kemudian berkoalisi, maka

sesungguhnya perilaku partai-partai tersebut lebih didasarkan pada

tujuan jangka pendek dan, jikapun memiliki tujuan jangka panjang,

maka tujuan tersebut lebih bersifat « pragmatis » sehingga relatif

kurang langgeng. Polanya-pun selalu berubah dari waktu ke waktu

tergantung kondisi politik yang melatar-belakangi. Pun demikian,

arahnya cukup dapat diprediksi melalui antara lain kecenderungan

perilaku Selectorate serta trend politik yang berkembang. Jika kita

amati perolehan suara ke-sembilan partai pemenang Pemilu 2009,

beberapa indikator kiranya cukup relevan dalam membantu analisis

kita menyangkut pragmatisme koalisi, yaitu: perolehan suara Partai

Demokrat yang melonjak hampir tiga kali lipat dibandingkan Pemilu

sebelumnya, dan; menguatnya konstitusionalisme dalam praktek

politik.

Page 10 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 11: Koalisi DPR Pemilu 2009

Golkar: 21.58 PDIP: 18.53 PPP: 10.57 Demokrat: 8.15 PKB:7.45 PAN: 7.34 PKS: 6.44 Others: 26.38

TThhee WWiinnnniinngg PPaarrttiieess ooff 22000044 EElleeccttiioonn

0

5

10

15

20

25

30

Gol

kar

PDIP

PPP

Dem

okra

PKB

PAN

PKS

Oth

ers

Pada Pemilu 2004 Partai Demokrat hanya memperoleh 8.15% suara

yang membawa partai ini sebagai salah satu partai menengah namun

masih kalah dibandingkan dengan Golkar dan PDIP atau bahkan

PPP. Pada Pemilu 2009, perolehan suara Partai Demokrat melonjak

secara fantastis sebesar hampir 200% yaitu 20.85% dari total suara.

Penjelasan atas fenomena ini biasanya mengarah pada faktor SBY

dan keberhasilan relatif Eksekutif 2004-2009 di bawah kepemimpinan

SBY-Kalla. Artinya, ketika rakyat merasa cukup puas dengan kinerja

Eksekutif periode 2004-2009, Partai Demokrat yang mengusung SBY

dianggap menuai berkahnya. Logika ini bisa saja benar namun ada

aspek yang terlupakan yaitu bahwa keberadaan SBY di Eksekutif

semestinya sepaket dengan Yusuf Kalla yang diusung oleh Golkar.

Kecuali kita ingin mengatakan bahwa perilaku memilih rakyat

Indonesia kurang rasional, semestinya perolehan suara Golkar juga

Page 11 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 12: Koalisi DPR Pemilu 2009

ikut terangkat, atau paling tidak bertahan. Kenyataannya justru suara

Golkar anjlok dari 21.58% menjadi hanya 14.45%.

Hal yang lebih substantif di balik fenomena ini kiranya adalah

indikator semakin memudarnya politik aliran yang dipercaya

mewarnai Pemilu 1955, sempat memudar pada Pemilu 1971 dan

sirna hingga Pemilu 1997, namun menguat kembali sejak Pemilu

1999 dan masih cukup dominan pada Pemilu 2004. Pada Pemilu

1999 PDIP (yang menurut perspektif politik aliran merepresentasikan

Kelompok Nasionalis) memperoleh lebih dari sepertiga suara,

sedangkan sisanya terbagi secara proporsional di antara Golkar

(dilihat sebagai representasi kelompok priyayi dan birokrat) serta

PPP, PKB, PAN, PBB dan PK (kelompok Santri). Dari perspektif ini

Partai Demokrat cukup sulit diklasifikasikan ke dalam salah satu

diantara aliran-aliran tersebut, baik dari sisi warna, platform, maupun

figur-figur utama partai. Demokrat bisa disebut sebagai partai

« Gado-gado » atau istilah ilmiahnya-nya « Pluralis », sehingga

ketika partai ini mendulang suara, sinyal yang disampaikan kepada

partai-partai lain adalah bahwa aspirasi Selectorate pada Pemilu

2009 cenderung tidak berdasar aliran. Konsekuensinya, di dalam

berkoalisi pasca Pemilu Legislatif 2009, partai-partai politik

cenderung tidak menempatkan aspek ideologi sebagai prioritas

utama, termasuk ketika mengajukan calon dalam Pemilu Presiden

dan Wakil Presiden. Jika pada Pemilu 1999 dan 2004 pasangan-

pasangan: Wiranto-Solahudin Wahid (Priyayi-Santri); Megawati

Sukarnoputri-Hasyim Muzadi (Nasionalis-Santri); Abdurrahman

Wahid-Marwah Daud Ibrahim (Santri-Santri/non Jawa); Hamzah Haz-

Page 12 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 13: Koalisi DPR Pemilu 2009

Agum Gumelar (Santri/Non Jawa-Priyayi); Susilo Bambang

Yudhoyono-Yusuf Kalla (Priyayi-Santri/Non Jawa); Amien Rais-

Siswono Yudhohusodo (Santri-Priyayi); masing-masing kurang lebih

merefleksikan kombinasi politik aliran, pasangan-pasangan pada

Pilpres 2009 yaitu: Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono

(Priyayi/Jawa-nonpartai/Jawa); Yusuf Kalla-Wiranto (Santri/Non-

Jawa-Priyayi/Jawa) dan; Megawati-Prabowo (Nasionalis/Jawa-

Priyayi/Jawa) lebih menunjukkan dominasi pragmatisme politik

daripada warna aliran. Fakta-fakta tersebut menegaskan keyakinan

bahwa perilaku Selectorate mempengaruhi strategi partai dalam

berkoalisi.

PDIP: 33.73 Golkar: 22.43 PPP: 12.60 PKB: 10.7 PAN: 7.11 PBB: 1.94 PK: 1.36 Others:10.13

TThhee WWiinnnniinngg PPaarrttiieess ooff 11999999 EElleeccttiioonn

1%2%7%

11%

10%

34%

22%13%

PDIPGolkarPPPPKBPANPBBPKOthers

Faktor kedua yang turut menentukan strategi koalisi partai adalah

trend, yaitu semakin menguatnya konstitusionalisme dalam praktek

politik. Berbeda dengan pola politik aliran yang semakin memudar,

Page 13 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 14: Koalisi DPR Pemilu 2009

pada Pemilu kali ini konstitusionalisme justru menujukkan trend

sebaliknya. Trend ini terutama terlihat sejak Pemilu 2004 yang

ditandai dengan Pemilihan Presiden Langsung menyusul

Amandemen ketiga Konstitusi bulan November 2001. Pemilu 1999

dilihat sebagai Pemilu ‘Demokratis’ kedua dalam sejarah RI setelah

Pemilu 1955 namun trend politiknya belum bisa disebut

konstitusional, di mana kriteria Demokratis terlihat dari perspektif

campur tangan pemerintah yang minimal, peraturan dan

perundangan yang tidak memihak, partai-partai yang politik bebas

berkampanye, pendidikan politik yang meluas, distribusi dan

manajemen logistik yang transparan, yang secara keseluruhan

kurang lebih mirip dengan situasi Pemilu 1955 kecuali komposisi

anggota DPR yang tidak sepenuhnya dipilih. Sebaliknya, Pemilu-

Pemilu 1971 hingga 1997 “rigged” karena campur tangan Eksekutif

dan Militer sangat terasa, sehingga menurut kategori ini tidak

demokratis. Hanya Pemilu 2004 yang mewakili keseluruhan ilustrasi

situasi Pemilu 1955 dan 1999 namun ditambah dengan ketentuan

Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat

sekaligus implementasi Konstitusi sebagai rujukan utama khususnya

dalam mengatasi benturan-benturan menyangkut pelaksanaan

Pemilu.

Salah satu dampak positif konstitusionalisme adalah bahwa

kontestan Pemilu cenderung berorientasi pada stabilitas sistem

daripada vested interest masing-masing partai sehingga berbagai

friksi dan ketidak-puasan yang muncul diantara kontestan, baik

menyangkut aturan main maupun pelaksanaan Pemilu, disalurkan

Page 14 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 15: Koalisi DPR Pemilu 2009

melalui jalur konstitusi, yang pada gilirannya membuat Pemilu 2009

tetap berjalan smooth meski terdapat serangkaian ketidak-puasan

diantara kontestan. Yang menang dan yang kalah menerima hasil

Pemilu, yang tidak puas menyerahkan solusi atas komplain mereka

kepada mekanisme konstitusi, dan yang menang kemudian

berkonsentrasi pada perjuangan berikutnya yakni menyusun

kekuatan melalui koalisi ‘pragmatis’ di Parlemen.

PPEETTAA KKOOAALLIISSII PPAADDAA SSAAAATT IINNII

45%votes 18.22%

314 seats/56.07%

18.49% 121 seats/ 21.6 %

125 seats/ 22.32%

Pada bagan di atas terlihat tiga kelompok warna yang

menggambarkan bagaimana kira-kira koalisi di DPR pasca Pemilu

Legislatif 2009. Kelompok pertama tersusun oleh warna-warna

Hitam-Hijau-Biru muda dan didominasi oleh warna Biru dengan total

Page 15 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 16: Koalisi DPR Pemilu 2009

kekuatan 314 kursi atau 56% dari jumlah 560 kursi DPR. Warna Biru

Muda merujuk pada Demokrat (pluralis), sedang hitam, hijau, dan

biru tua mewakili empat partai beraliran santri. Kelompok kedua

tersusun oleh dua warna yaitu merah (PDIP) dan merah-putih

(Gerindra) didominasi oleh warna merah (PDIP) dengan total

kekuatan di parlemen 21.6%. Kelompok ketiga adalah Koalisi Golkar-

Hanura dengan kekuatan di Parlemen 22.32% menggabungkan

warna Kuning-Putih dan didominasi oleh warna kuning (Golkar).

Artinya, kekuatan Parlemen pasca Pemilu Legislatif 2009 terbagi ke

dalam tiga polar yang masing-masing didominasi oleh tiga besar

pemenang Pemilu 2009 yaitu Demokrat, Golkar, dan PDIP.

Oleh karena Pemilu Eksekutif telah berlalu dan dimenangkan oleh

Koalisi Biru, maka peta koalisi sebagaimana digambarkan di atas

kemungkinan besar juga akan berubah di mana beberapa scenario

bisa pula berlaku. Boleh jadi PDIP akan bergabung dengan Demokrat

sebagai incumbent, atau Golkar yang akan berlaku demikian, atau

salah satu menjadi oposisi, atau bahkan semuanya bisa saja

bergabung dalam satu koalisi di bawah incumbent sehingga “Merah

Kuning Hijau di langit yang Biru” akan melengkapi syair “Pelangi-

Pelangi Alangkah Indahmu”. Namun menurut kalkukasi yang cukup

realistis, barangkali skenario di bawah inilah yang cukup feasible dan

rasional, dimana apabila Koalisi Golkar-Hanura bergabung dengan

Koalisi PDIP-Gerindra, maka komposisi kekuatan di DPR akan

terlihat cukup ideal. Pertama, Koalisi pendukung pemerintah masih

menguasai mayoritas Legislatif sehingga Eksekutif akan relatif kuat

karena kebijakan-kebijakannya akan memperoleh back-up yang

Page 16 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 17: Koalisi DPR Pemilu 2009

cukup dari DPR. Kedua, porsi kekuatan yang relatif setara membuat

oposisi cukup bisa diharapkan sebagai pengimbang yang efektif,

sehingga fungsi Check and Balance kemungkinan akan berjalan

ideal. Tentu akan berbeda situasinya apabila katakanlah koalisi

Demokrat menguasai 75% atau lebih kekuatan DPR. Jika demikian,

dapat dibayangkan oposisi akan cenderung lemah dan Eksekutif

cenderung mendikte kebijakan dan arah pemerintahan sehingga

beresiko mengembalikan citra negatif “Tukang Stempel” yang pernah

disandang Legislatif pada masa Orde Baru.

SCENARIO

56.07%

Incumbent Opposition

43.93%

246 seats

314 seats

Page 17 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 18: Koalisi DPR Pemilu 2009

Yang Mulia Duta Besar, Bapak, Ibu, serta Hadirin sekalian,

Sekarang kita akan menjawab pertanyaan utama diskusi kita, yaitu

apakah pola koalisi pasca Pemilu 2009 cenderung membawa

pemerintahan yang stabil dan efektif selama periode 2009-2014

ataukah justru sebaliknya?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu kita lihat

kembali sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Pertama-

tama perlu diingat bahwa kekuasaan pemerintahan negara diatur

menurut teori “Separation of Power” atau “Pemisahan Kekuasaan”.

Secara “pure”, doktrin ini kurang lebih berbunyi bahwa “guna

menjamin terciptanya dan terpeliharanya kebebasan politik,

kekuasaan pemerintahan perlu dibagi kedalam tiga cabang

kekuasaan, yaitu: Pemerintah (Eksekutif), Parlemen (Legislatif) dan

kekuasaan yudisial (Judikatif), di mana masing-masing menjalankan

fungsinya secara terpisah tanpa campur tangan satu sama lain.

Presiden (dan pembantu-pembantunya di Kabinet), Anggota

Parlemen serta Mahkamah Agung tidak boleh merangkap atau

menduduki lebih dari satu cabang kekuasaan dengan tujuan agar

masing-masing lembaga dapat saling mengontrol, dan agar

kekuasaan pemerintahan tidak terpusat pada satu tangan”, dan oleh

karena doktrin tersebut diterapkan secara bervariasi sementara kita

ingin melihat sejauh mana aplikasinya di Indonesia, kita sebut saja

versi asli Teori Pemisahan Kekuasaan ini sebagai “Bench-mark” atau

“Ideal type”.

Page 18 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 19: Koalisi DPR Pemilu 2009

Versi asli doktrin ini sesungguhnya telah ditolak semenjak lebih dari

tiga abad silam ketika aplikasinya pada sistem pemerintahan Inggris

abad 17 bermuara pada persaingan sengit antara Monarkhi (King of

England) dan dan the House of Lords (Parlemen). Hasil dari

persaingan inilah yang kemudian diadopsi oleh mayoritas negara

demokrasi saat ini dengan beragam modifikasi. Pertama, bahwa

Presiden, meskipun masih memiliki kekuasaan prerogratif yang

signifikan, harus menghormati supremasi hukum (limited

government), dan pada gilirannya harus mengakui supremasi

parlemen yang membuatnya; Kedua, meskipun benchmark

pemisahan kekuasaan ditolak, namun semangat dan prinsipnya tetap

tidak dilupakan sehingga formulasi asas pemisahan kekuasaan yang

baru sesungguhnya merupakan amalgam yang menggabungkan

prinsip “Mixed government”, “Supremasi Legislatif” dan “Pemisahan

Kekuasaan” yang kemudian dimanifestasikan ke dalam teori

“Balanced Constitution” yang menuai sukses di Inggris pada sistem

pemerintahan Inggris abad 18.

Adopsi atas prinsip-prinsip amalgam tersebut oleh sistem politik

Indonesia tercermin dari struktur kenegaraan yang menempatkan

Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dalam posisi setara, sementara

Konstitusi ditempatkan di posisi tertinggi yang mengatasi semua

lembaga negara yang ada. Artinya, ketiga lembaga negara tersebut

harus tunduk pada, dan tidak dibolehkan bertentangan dengan UUD

1945, namun ketiganya dapat pula mempengaruhi Konstitusi

sehingga muncul istilah “Negara Konstitusional”. Tujuannya

Page 19 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 20: Koalisi DPR Pemilu 2009

barangkali adalah agar semua lembaga negara menghargai

supremasi UUD 45 tanpa mendudukkan lembaga yang berwenang

membuat atau mengamandemen konstitusi (Parlemen) lebih superior

terhadap lembaga lainnya, dan untuk memastikan aturan main ini,

amandemen konstitusi hanya berlaku di bawah persyaratan yang

sangat ketat. Pengaruh Eksekutif terhadap konstitusi juga

dimungkinkan, bukan melalui hak veto melainkan secara tak

langsung melalui koalisi pemerintah di DPR. Atas pertimbangan inilah

barangkali: 1) bahwa asas pemisahan kekuasaan di Indonesia tidak

didisain untuk memisahkan sama sekali lembaga Eksekutif dari

Legislatif; 2) bahwa Eksekutif memiliki prerogratif yang besar namun

tetap memerlukan dukungan signifikan di Parlemen; 3) bahwa kader-

kader partai perlu dilibatkan dalam Kabinet, dan; 4) bahwa Presiden

semestinya memiliki basis dukungan partai di DPR/bukan calon

independen. Singkatnya, asas pemisahan kekuasaan diaplikasikan

bukan melalui pembagian kekuasaan secara linear melainkan melalui

penguatan masing-masing lembaga negara di bawah kerangka

konstitusi. Manisfestasinya: Eksekutif dan DPR yang sama-sama

kuat, di mana masing-masing diharapkan mampu mengontrol satu

sama lain, punya keterkaitan satu sama lain, namun tetap memiliki

independensi yang tinggi. Dengan demikian, melihat efektif tidak-nya

pemerintahan dari perspektif koalisi di DPR adalah cukup relevan

menurut argumen ini sehingga mari kita lihat kembali berbagai

skenario di awal tadi.

Page 20 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 21: Koalisi DPR Pemilu 2009

The Incumbent

56.07%

52.2%

47.8%

Jika kita jabarkan satu-persatu skenario koalisi di DPR pasca Pemilu

2009, koalisi pemerintah kurang lebih seperti terlihat ada gambar di

atas. Di situ terlihat bahwa hampir setengah kekuatan Koalisi

Pemerintah di DPR dikuasai oleh Partai Demokrat yang notabene

adalah partai politik “Milik” Presiden SBY (Kepala Eksekutif). Artinya,

Eksekutif cenderung memiliki back-up yang cukup dari koalisi

pemerintah sehingga fenomena “Matahari Kembar” yang

diasosiasikan dengan peta kekuatan Golkar-Demokrat pada koalisi

pemerintah di parlemen periode 2004-2009 kemungkinan tidak perlu

lagi terjadi karena kali ini Presiden didukung oleh partai dominan.

Komposisi tersebut cukup ideal namun terdapat beberapa potensi

persoalan, yaitu: Pertama, struktur hubungan empat partai mitra

koalisi Demokrat yang relatif rapuh. Meskipun sama-sama dari

Page 21 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 22: Koalisi DPR Pemilu 2009

golongan Santri, partai-partai PPP, PKB, PAN dan PKS selama ini

dikenal lebih tidak sejalan daripada sebaliknya. Akibatnya, potensi

ketidak-sepahaman antara partai-partai mitra pemerintah cukup

besar sehingga akan merongrong koalisi pemerintah di DPR dan

bahkan dapat merembet hingga ke Kabinet apabila ternyata menteri-

menteri yang berasal dari partai politik lebih bersaing daripada saling

mendukung. Eksekutif memang mengklaim jumlah yang cukup di

koalisi pemerintah, namun vis-à-vis oposisi, sustainability-nya relatif

tergantung pada dukungan partai-partai santri secara keseluruhan

karena jika satu partai saja abstain atau keluar dari koalisi, maka

posisi mayoritas koalisi pemerintah di Parlemen akan terancam;

Kedua, kompleksitas menyangkut formasi Kabinet. Oleh karena

koalisi pemerintah dibangun oleh banyak partai, maka penyusunan

kabinet harus mempertimbangkan kohesivitas koalisi (biasa disebut

dengan power sharing) dan terutama biaya politiknya (public goods

versus private goods).

Sekilas, solusi persoalan koalisi pemerintah di DPR terkesan berkutat

di sekitar “Bagi-bagi kue kekuasaan” sehingga asumsi yang

berkembang adalah jika sebagian pos menteri dan sejumlah materi

dialokasikan kepada partai mitra koalisi maka persoalan akan

selesai, padahal pada tataran praktek tidaklah sesederhana itu.

Pertama, oleh karena tidak terdapat ukuran pasti menyangkut

seberapa banyak private goods (materi atau jabatan) yang harus

dialokasikan kepada partai politik, maka Presiden perlu melakukan

kalkulasi secara hati-hati sembari mempertimbangkan keseimbangan

antara kebutuhan rakyat (public goods) dengan alokasi minimal yang

Page 22 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 23: Koalisi DPR Pemilu 2009

diperlukan guna mempertahankan kekuasaan atau sekedar untuk

membuat program pemerintah berjalan efektif. Oleh karena

mekanisme impeachment tidak dikenal dalam praktek dan sistem

politik di Indonesia (dengan pengecualian kasus Abdurrahman

Wahid) dan bahwa Presiden hanya boleh menjabat maksimal selama

dua periode pemerintahan, maka besaran alokasi private goods bagi

partai anggota koalisi pemerintah 2009-2014 cukup difokuskan pada

persoalan balancing kekuasaan agar program-program Eksekutif

berjalan efektif melalui manajemen resistensi di DPR.

Kedua, oleh karena Eksekutif memiliki keterkaitan dengan Parlemen

dan partai politik, maka tarik-menarik antara kebutuhan akan Menteri

yang cakap dengan dukungan politik di Parlemen menjadi tak-

terhindarkan. Idealnya, seorang menteri harus memiliki kecakapan

profesional namun argumen bahwa Presiden adalah “User” sekaligus

pemilik hak konstitusional menyangkut penunjukan anggota kabinet

ternyata tidaklah cukup. Dalam sistem politik yang berlaku di

Indonesia saat ini, Kabinet bukan sekedar institusi yang berisi

pembantu-pembantu presiden melainkan juga sebagai wahana

perekat koalisi pemerintah di Parlemen, sehingga ketika Presiden

menunjuk seseorang menjadi menteri, ia harus mempertimbangkan

bukan hanya kecakapan, integritas, dan kesesuaian yang

bersangkutan dengan pos yang akan diduduki, namun juga harus

melihat pengaruhnya terhadap dukungan partai-partai anggota koalisi

pemerintah. Tak jarang seorang menteri ditunjuk lebih karena alasan

politis dan mengesampingkan pertimbangan profesionalisme. Hal

inilah yang perlu dikhawatirkan karena akan membahayakan kinerja

Page 23 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 24: Koalisi DPR Pemilu 2009

Kabinet dan mempengaruhi efektifitas pemerintahan secara

keseluruhan.

Persoalan-persoalan inilah yang seringkali menjadi dilemma bagi

Eksekutif. Persoalan power-sharing lebih bersifat politis dan biasanya

teratasi dengan mengalokasikan pos menteri atau posisi kunci

tertentu di jajaran eksekutif kepada kader partai mitra koalisi.

Sebaliknya, pengaturan menyangkut biaya politik jauh lebih rumit

karena disamping nominalnya tidak pasti, alokasinya juga berpotensi

membawa masalah terhadap nasib rakyat banyak. Secara teori,

“Private goods” dan “Public goods” adalah konsep materiil yang

berkharakter “Zero-Sum”. Artinya, ketika Eksekutif memberi porsi

lebih banyak guna mempertahankan The Winning Coalition-nya

(private goods), maka porsi untuk pembangunan jalan-jalan, fasilitas

kesehatan, pendidikan dan sebagainya (public goods) secara

otomatis akan berkurang. Padahal, semakin besar ukuran koalisi

pemerintah, semakin besar pula biaya politik yan diperlukan, dan

tentunya masih akan semakin besar lagi apabila koalisi pemerintah di

DPR tidak cukup solid.

Page 24 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 25: Koalisi DPR Pemilu 2009

DISAGREEING PATTERN OF RELATIONS AMONG SANTRIS

Rentannya koalisi pemerintah sejauh ini dibuktikan oleh paling tidak

dua contoh, yaitu ketika Golkar menjalin komunikasi politik dengan

Demokrat dan ketika Boediono dipilih sebagai calon Wakil Presiden,

di mana kedua stimulus tersebut ditanggapi secara reaktif oleh partai-

partai mitra koalisi pemerintah. Fakta-fakta tersebut ditambah dengan

pengalaman koalisi 2004-2009 menunjukkan bahwa: ketika

perbedaan-perbedaan internal tidak ter-manage dengan baik; ketika

isu-isu yang berkembang di DPR cukup sensitif dan menyangkut

popularitas partai, dan; ketika komitment partai terhadap koalisi

cukup rendah, maka: 1) koalisi pemerintah akan pecah di tengah

jalan; 2) dinamika dan tensi politik di DPR akan selalu tinggi; 3)

program-program Eksekutif cenderung tidak berjalan; sehingga

pemerintahan secara keseluruhan cenderung kurang efektif.

Page 25 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 26: Koalisi DPR Pemilu 2009

Jika pesimisme mewarnai koalisi pemerintah di DPR, prospek

sebaliknya justru tampak pada pihak oposisi. Masih dengan catatan

bahwa skenario di atas yang kita pakai, disamping indikator

pragmatisme politik partai-partai pasca Pemilu 2009 sebagaimana

diuraikan di atas, terdapat paling tidak dua argumen lain yang

mendasari keyakinan bahwa oposisi 2009-2014 akan cukup solid,

yaitu: 1) Teori musuh bersama yang biasanya cukup efektif dalam

mengatasi perbedaan-perbedaan internal. PDIP dan Golkar, dua

partai utama penopang oposisi, memang memiliki sejarah friksi di

masa lalu, terlebih jika dikaitkan dengan tokoh-tokoh sentral seperti

Sukarno dan Suharto. Namun oleh karena secara natural oposisi

akan cenderung kritis terhadap pemerintah, maka persoalan-

persoalan ideologi, historis serta kendala-kendala yang bersifat

sektarian lainnya cenderung akan dikesampingkan demi menjadi

penyeimbang yang efektif, dan; 2) Pola hubungan antara partai-partai

pendukung koalisi oposisi yang cenderung kohesif. Jauh-jauh hari

bahkan sebelum Pemilu Legislatif, Golkar dan PDIP telah

menunjukkan hubungan yang cukup mesra. Digandengnya Prabowo

(Gerindra) sebagai pendamping Megawati (PDIP) dalam Pilpres,

serta Paket Wiranto (Hanura)-Jusuf Kalla (Golkar) adalah jalinan kisi-

kisi yang juga berperan membentuk mata rantai yang memperkuat

koalisi oposisi di DPR sehingga tidak terlalu banyak hal yang perlu

kita bahas mengenai hal ini.

Page 26 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 27: Koalisi DPR Pemilu 2009

OPOSISI

43.93% 346 seats

31.2%

26.87%

8.67%

4.33%

Yang Mulia Duta Besar, Bapak, Ibu, serta Hadirin sekalian,

Sebagai penutup, mari kita rangkum apa yang baru saja kita

diskusikan bersama, dan dengan dasar itu kita akan sedikit

memberikan alternatif langkah yang kira-kira dapat diantisipasi agar

formasi koalisi pasca Pemilu Legislatif 2009 dapat membawa

pemerintahan 2009-2014 menjadi efektif.

Pertama, formasi koalisi politik di DPR pada Pemilu Legislatif 2009

cukup menjanjikan prospek positif bagi terciptanya pemerintahan dan

proses politik yang sehat, dimana koalisi pemerintah masih mayoritas

namun bukan mayoritas mutlak. Jika skenario di atas benar-benar

terjadi, koalisi oposisi juga cukup dapat diharapkan menjadi kontrol

yang efektif atas kebijakan publik.

Page 27 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 28: Koalisi DPR Pemilu 2009

Kedua, potensi konflik cenderung berada pada pihak koalisi

pemerintah di mana faktor pemicu utamanya lebih terkait dengan

variabel warna dan ideologi partai-partai mitra koalisi.

Solusi dan antisipasi:

1. Apabila tidak mungkin dihindari, Eksekutif harus ekstra hati-hati

ketika memainkan isu-isu sensitif bernuansa religious misalnya

masalah Palestina, isu Ahmadiyah, masalah Fundamentalisme

agama, dan lain-lain. Pun isu-isu semacam ini tetap memecah

koalisi pemerintah di DPR, friksi dapat dialihkan melalui

pemberdayaan mekanisme extra-parlementer yang

beranggotakan elemen-elemen partai anggota koalisi

pemerintah. Institusi semacam ini kurang lebih sama fungsinya

dengan mekanisme pengalihan air ke kanal-kanal ketika debit

air pada bendungan cukup tinggi.

2. Menyusun Kabinet yang lebih sensitif terhadap situasi politik

dan opini publik sembari melibatkan peran aktif DPR tanpa

mengurangi makna sistem presidensial. Di negara-negara yang

menganut sistem Parlementer, anggota parlemen berinteraksi

rutin dengan Menteri dan biasanya disiarkan secara lengkap

sehingga publik bisa menilai langsung kinerja maupun

kapasitas menteri yang bersangkutan. Jika mekanisme ini bisa

diadopsi, dan tentunya dengan penyesuaian ke dalam sistem

presidensial, kabinet dan menteri akan dapat dipastikan

kualitasnya secara terbuka sehingga partai-partai anggota

Page 28 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 29: Koalisi DPR Pemilu 2009

koalisi pemerintah tentunya juga tidak berkeberatan jika

menterinya diganti karena alasan tidak memenuhi kriteria yang

diharapkan. Mekanisme ini misalnya dapat diterapkan melalui

Raker DPR-Menteri yang disiarkan melalui siaran televisi. Efek

sampingnya, reshuffle Kabinet akan sering terjadi dan salah-

salah justru dapat menghambat kinerja kabinet.

3. Komitmen terhadap koalisi harus terus-menerus ditekankan di

antara partai mitra pemerintah di DPR, meski sepahit apapun

pil yang harus ditelan. Isu-isu tidak populer seperti kebijakan

menaikkan harga BBM dan impor beras biasanya menjadi dis-

insentif bagi partai mitra koalisi pemerintah sehingga mereka

cenderung mengambil peran yang seharusnya dimainkan oleh

oposisi, atau paling tidak abstain. Dalam situasi tertentu, sikap

semacam ini bukan hanya berpotensi merongrong koalisi

pemerintah di DPR namun juga mengambil kesempatan oposisi

untuk menunjukkan kepiawaian politiknya kepada publik, plus

mengganggu keseimbangan proses politik di DPR. Hal ini

penting dan harus digaris-bawahi karena sesungguhnya

proporsionalitas peran partai dan tarik-menarik antara koalisi

pemerintah dan oposisi di DPR akan menjadi vitamin yang

menyehatkan bagi praktek politik demokratis di tanah air.

4. Solusi instant atas persoalan di atas dapat dilakukan dengan

cara mengalihkan Hak Budget kepada Eksekutif melalui

amandemen konstitusi. Pilihan ini sudah pasti kontroversial

karena tidak hanya akan mencabut Hak Budget yang selama

ini dimiliki oleh Legislatif, melainkan juga akan mempengaruhi

sistem politik secara keseluruhan sehingga perlu dikaji secara

Page 29 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 30: Koalisi DPR Pemilu 2009

hati-hati. Argumen sementara atas solusi ini adalah: 1) bahwa

untuk dapat dikatakan efektif, Eksekutif minimal harus mampu

menjalankan dan menjamin berjalannya tiga macam fungsi,

yaitu ‘National Security’, ‘Internal Order’, dan ‘Public

Administration’ yang kesemuanya memerlukan ‘Biaya’ tanpa

tedheng aling-aling. Artinya, fungsi minimal tersebut harus terus

berjalan terlepas dari bentuk krisis politik apapun yang terjadi di

Parlemen. Di sisi lain, DPR juga harus memiliki peran kontrol

yang se-luas-luasnya terhadap kebijakan publik, namun kontrol

tersebut dibatasi pada bidang-bidang sosial, ekonomi serta

bidang-bidang non-budget lainnya, sehingga DPR akan kuat,

Lembaga Eksekutif juga tetap bisa menjalankan fungsi

minimalnya. Jika hal tersebut dapat berjalan baik, Eksekutif dan

Legislatif masing-masing tetap terkait satu sama lain namun ke-

saling-tergantung-an dapat diminimalisir, dan; 2) bahwa sistem

Presidensial yang benar-benar kuat secara natural sulit

dibangun dalam demokrasi multi-partai, terlebih di masyarakat

Indonesia yang berkultur Paternalistik. Katakanlah seorang

Menteri kader partai kemudian melepaskan posisi formilnya di

dalam Partai Politik dan committed memperkuat Kabinet

sebagai bagian dari “The Single Executive”, pada prakteknya

tidak ada aturan yang cukup efektif dan mampu membatasi

komitmen antara menteri yang bersangkutan dengan partai

politik darimana ia berasal, apalagi jika komitmen tersebut

dilakukan secara informal. Singkatnya, “Natural setting” sosial-

politik Indonesia tidak menyediakan media yang kondusif bagi

berlakunya teori Balanced Constitution secara apa adanya.

Page 30 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 31: Koalisi DPR Pemilu 2009

Apabila pilihan ini diambil, serangkaian dampak negatif

memang cukup dapat dibayangkan semenjak sekarang, namun

hal itu kiranya tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena

sesungguhnya sistem Demokrasi juga telah menyediakan

‘Tools’ sekaligus ‘Ultimate Control’, yaitu Pemilu yang akan

menyeleksi individu-individu yang layak dan cakap dalam

memimpin negeri.

TERIMA KASIH

Page 31 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 32: Koalisi DPR Pemilu 2009

Untuk referensi akademis lebih jauh, direkomendasikan untuk melihat: ANANTA, A., ARIFIN, E.N., & SURYADINATA, L (2004), Indonesian Election

Behaviour: A Statistical Perspective, Indonesian Population Series No.2, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies

ANTLOV, H., & CEDEROTH, S. (Ed.) (2004), Elections in Indonesia: The New Order and Beyond, London, RoudledgeCurzon

DE MESQUITA, B.B., SMITH, A., SIVERSON, R.M., & MORROW, J.D., (2003), The Logic of Political Survival, Cambridge, The MIT Press

DUVERGER, M. (1959), Political Parties, London, Methuen EMMERSON, D.K. (1976), Indonesia’a Elite: Political Culture and Cultural

Politics, Ithaca, Cornell University Press FEITH, H. (1957), The Indonesian Election of 1955, Interim Report Series,

Ithaca, Cornell Modern Indonesia Project GAFFAR, A. (1992), Javanese Voters: A Case Study of Election under A

Hegemonic Party System, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press GROENNINGS, E.W., KELLEY, E.W.& LEISERSON, M. (1970), The Study of

Coalition Behavior: Teoretical Perspective and Cases from four Continents, New York, Holt, Rinehart and Winston Inc.

HARIS, S.(Ed.) (1997), Pemilihan Umum di Indonesia: Telaah atas Struktur, Proses, dan Fungsi, Jakarta, PPW-LIPI

HARIS, S. & RATNAWATI, T. (2008), Political Parties in Indonesia from the 1950s to 2004, Crise Working Paper No.61, Oxford, Centre for Research on Inequality, Human Security, and Ethnicity

KING, D.Y. (1994), White Book on the 1992 GeneralElection in Indonesia, Translated from Badan Perlindungan Hak-Hak Politik Rakyat dalam Menghadapi Pemilihan Umum 1992, Ithaca, Cornell Modern Indonesia Project

KARTOMI, M. & DREYFUS, K., The year of voting frequently: Politics and Artists in Indonesian’s 2004 Elections, Clayton, Monash Asia Institute

LIDDLE, W. (Ed.)(1973), Political Participation in Modern Indonesia, Monograph Series No.19, New Haven, Yale University Southeast Asia Studies

LIDDLE, W. (1992), Pemilu-Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta, LP3ES

MITCHELS, R. (1915), Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy

SACHSENRODER, W. & FRINGS, U.E. (Ed.), (1998), Political Party Systems and Democratic Development in East and Southeast Asia, Vol. 1 Southeast Asia, Brookfield, Ashgate

SURYADINATA, L. (2002), Elections and Politics in Indonesia, Singapore, Institute od Southeast Asian Studies

SURYADINATA, L. (1982), Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies

Page 32 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]

Page 33: Koalisi DPR Pemilu 2009

TOMSA, D. (2008), Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era, Roudledge Contemporary Southeast Asia Series, London, Roudledge

UHLIN, A. (1997), Indonesia and the "Third Wave of Democratization": The Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World, New York, St Martin’s Press

WAGNER, S., (1999), Survey of The Indonesian Electorate Following the June 1999 Elections, Washington, International Foundation for Election System

Page 33 Agustus 2009 Rowo Thole (Dodik Ariyanto) [email protected]