perdarahan uterus disfungsional

21
perdarahan uterus disfungsional PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL I. PENDAHULUAN Perdarahan uterus diklasifikasikan berdasarkan dua etiologi utama, yaitu (1) Anatomik dan (2) Fungsional. Perdarahan akibat kelainan anatomi dikenal sebagai perdarahan uterus abnormal yang merupakan perdarahan akibat adanya kelainan organik berupa lesi pada genitalia interna, antara lain tumor dan infeksi. Perdarahan uterus yang disebabkan oleh adanya gangguan fungsional alat reproduksi disebut sebagai perdarahan uterus disfungsional(dysfunctional uterine bleeding/DUB). 1,2 Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) merupakan perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik, kelainan sistemik (seperti kelainan faktor pembekuan darah) maupun kehamilan. PUD adalah perdarahan pada endometrium dari rahim yang tidak didalam siklus haid dan semata akibat dari gangguan fungsi endokrin pada salah satu bagian dari sumbu hipotalamus – hipofisis – ovarium. 1,3 Perdarahan uterus disfungsional (dysfunctional uterine bleeding/DUB) merupakan diagnosis yang dibuat setelah diagnosis lainnya disingkirkan (diagnosis eksklusi). Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi atau setidaknya biopsi endometrium sangat penting untuk menyingkirkan penyakit organik pada uterus. Perdarahan uterus disfungsional paling sering terjadi pada awal dan akhir masa menstruasi, tetapi dapat terjadi pada usia manapun. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan akut dan banyak, perdarahan ireguler, menoragia dan perdarahan akibat penggunaan kontrasepsi. 4,5,6,7 Berdasarkan gejala klinis perdarahan uterus disfungsional dibedakan dalam bentuk akut dan kronis. Sedangkan secara kausal perdarahan uterus disfungsional mempunyai dasar ovulatorik (10%) dan anovulatorik (70%). 8 Perdarahan uterus disfungsional akut umumnya dihubungkan dengan keadaan anovulatorik, tetapi perdarahan uterus disfungsional kronis dapat terjadi pula pada siklus anovulatorik. Walaupun ada ovulasi tetapi pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik ditemukan umur korpus luteum yang memendek, memanjang atau insufisiensi. Pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik, akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif

Upload: endah-risky-gustiyanti

Post on 10-Nov-2015

230 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

obgyn

TRANSCRIPT

perdarahan uterus disfungsional

PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL

I.PENDAHULUANPerdarahan uterus diklasifikasikan berdasarkan dua etiologi utama, yaitu (1) Anatomik dan (2) Fungsional. Perdarahan akibat kelainan anatomi dikenal sebagai perdarahan uterus abnormal yang merupakan perdarahan akibat adanya kelainan organik berupa lesi pada genitalia interna, antara lain tumor dan infeksi. Perdarahan uterus yang disebabkan oleh adanya gangguan fungsional alat reproduksi disebut sebagai perdarahan uterus disfungsional(dysfunctional uterine bleeding/DUB).1,2Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) merupakan perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik, kelainan sistemik (seperti kelainan faktor pembekuan darah) maupun kehamilan. PUD adalah perdarahan pada endometrium dari rahim yang tidak didalam siklus haid dan semata akibat dari gangguan fungsi endokrin pada salah satu bagian dari sumbu hipotalamus hipofisis ovarium.1,3Perdarahan uterus disfungsional (dysfunctional uterine bleeding/DUB) merupakan diagnosis yang dibuat setelah diagnosis lainnya disingkirkan (diagnosis eksklusi). Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi atau setidaknya biopsi endometrium sangat penting untuk menyingkirkan penyakit organik pada uterus. Perdarahan uterus disfungsional paling sering terjadi pada awal dan akhir masa menstruasi, tetapi dapat terjadi pada usia manapun. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan akut dan banyak, perdarahan ireguler, menoragia dan perdarahan akibat penggunaan kontrasepsi.4,5,6,7Berdasarkan gejala klinis perdarahan uterus disfungsional dibedakan dalam bentuk akut dan kronis. Sedangkan secara kausal perdarahan uterus disfungsional mempunyai dasar ovulatorik (10%) dan anovulatorik (70%).8Perdarahan uterus disfungsional akut umumnya dihubungkan dengan keadaan anovulatorik, tetapi perdarahan uterus disfungsional kronis dapat terjadi pula pada siklus anovulatorik. Walaupun ada ovulasi tetapi pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik ditemukan umur korpus luteum yang memendek, memanjang atau insufisiensi. Pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik, akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif maka kadar progesteronnya rendah dan ini menjadi dasar bagi terjadinya perdarahan.8Penderita perdarahan uterus disfungsional akut biasanya datang dengan perdarahan banyak, sehingga cepat ditangani karena merupakan keadaan gawat darurat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis dengan perdarahan sedikit-sedikit dan berlangsung lama bukan merupakan keadaan gawat darurat. Meskipun tidak darurat tetapi perdarahan uterus disfungsional kronis justru memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh sehubungan dengan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya seperti anemia sekunder, yang dapat menganggu fungsi reproduksi.8Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan perdarahan akut, episode perdarahan dimasa datang, dan mencegah dampak anovulasi yang serius pada jangka panjang yaitu kanker endometrium. Pengobatan utama adalah terapi medis meskipun intervensi bedah dibutuhkan pada sebagian kasus.Jika perdarahan berat, dan/atau berulang, atau pengobatan medis gagal, maka diperlukan evaluasi ulang.5,8

II.INSIDENPerdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Keadaan ini terjadi pada 5 10 % pada wanita dengan usia reproduksi wanita yaitu pada menarche dan menopause karena pada usia ini sering terjadi gangguan fungsi ovarium. Dilaporkan lebih dari 50% terjadi pada masa premenopause (usia 40 50 tahun), sekitar 20 % terjadi pada masa remaja (masa pubertas) yang pada umumnya dapat sembuh sendiri, 30 % terjadi pada pada usia reproduktif serta cenderung terjadi pada wanita dengan gangguan instabilitas emosional.3,6III.ETIOLOGIPerdarahan uterus disfungsional biasanya disebabkan oleh gangguan fungsi ovarium primer atau sekunder yang disebabkan adanya kelainan pada salah satu tempat pada sistem sumbu hipotalamus hipofisis ovarium dan jarang akibat dari gangguan fungsi korteks ginjal dan kelenjar tiroid. Perdarahan uterus disfungsional umumnya merupakan keadaan anovulator tetapi dapat juga terjadi pada keadaan ovulatoir bila ada defek pada fase folikular atau fase luteal.7,9,10Pada remaja keadaan ini disebabkan fungsi hipotalamus hipofisis ovarium belum matang, serta pada keadaan yang menyertai obesitas atau pada akhir dekade ke 4 dari seorang wanita. Kadang setelah 3 tahun pubertas sering terjadi gangguan menstruasi karena gangguan respon ovarium terhadap FSH yang akan mengakibatkan produksi estrogen berkurang sehingga endometrium tidak cukup menerima rangsangan dan menimbulkan perdarahan. Pada masa klimakterium terjadi penurunan kepekaan ovarium dari rangsangan gonadtropin dan terjadi peristiwa anovulasi.1,2Faktor resiko dari perdarahan uterus disfungsional meliputi umur 35 tahun atau lebih ,obesitas, sindrom polikistik ovarium, endometriosis, penggunaan estrogen dan progesterone jangka panjang dan hipertensi. Stres, diet, tidur yang tidak teratur, bekerja berlebihan, latihan yang bertenaga, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hormon dan akan menyebabkan perdarahan uterus disfungsional.3,6IV.FISIOLOGI HAIDHaid (menstruasi) ialah perdarahan secara perodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium sebagai tanda bahwa alat kandungan menunaikan faalnya. Panjang siklus haid ialah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid yang baru. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus haid yang normal atau siklus dianggap sebagai siklus yang klasik ialah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas, bukan saja antara beberapa wanita tetapi juga pada wanita yang sama. Juga pada kakak beradik bahkan saudara kembar, siklusnya selalu tidak sama. Lebih dari 90% wanita mempunyai siklus menstruasi antara 24 sampai 35 hari.2,8Lama haid biasanya antara 3-5 hari, ada yang 1-2 hari diikuti darah sedikit-sedikit kemuadian, dan ada yang sampai 7-8 hari. Pada setiap wanita biasanya lama haid itu tetap.dalam proses ovulasi harus ada kerjasama antara korteks serebri, hipotalamus, hipofisis, ovarium, glandula tiroidea, glandula suprarenalis dan kelenjar-kelenjar endokrin lainnya. Yang memegang peranan prnting dalam proses tersebut adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarian axis). Hipotalamus menghasilkan faktor yang disebutGonadotropin Releasing Hormone(GnRH) karena dapat merangsang pelepasanLuteinizing Hormone(LH) danFollicle Stimulating Hormone(FSH) dari hipofisis.11

Gambar 1. Siklus Haid

Perubahan pada Ovarium dalam Siklus HaidSiklus haid normal sehubungan dengan perubahan pada ovarium dibagi atas 2 fase dan 1 saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikuler dini, beberapa folikel dalam korteks ovarium berkembang diakibatkan pengaruh FSH yang meningkat. Akan tetapi hanya satu yang tumbuh terus sampai menjadi matang menjadi folikel de Graaf. Pada folikel yang matang ini, mula-mula sel-sel disekeliling ovum berlipat ganda dan kemudian di antara sel-sel itu timbul suatu rongga yang berisi cairan yang disebut likuor folikuli yang mengandung estrogen, dan siap untuk berovulasi. Produksi estrogen meningkat selama berkembangnya folikel. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH menyebabkan penurunan produksi FSH, sedangkan terhadap LH estrogen yang dengan cepat mencapai puncaknya menyebabkan umpan balik positif. Pada pertengahan siklus terjadi lonjakan LH (LH-surge)menyebabkan terjadinya ovulasi. Empat belas hari setelah terjadi ovulasi, terjadi haid.11,12Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel dari membran granulosa dan teka interna yang tinggal pada ovarium membentuk korpus rubrum yang berwarna merah oleh karena perdarahan pada waktu ovulasi, dan yang kemudian membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein) yang dikenal sebagai korpus luteum.Luteinized granulose cellsdalam korpus luteum membuat progesteron banyak, danluteinized theca cellsmembuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat pada fase luteal. Mulai 10-12 hari setelah ovulasi korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapilar-kapilar dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Korpus luteum mulai berdegenerasi dan setelah 14 hari mengalami atrofi menjadi korpus albikans (jaringan parut). Jika terjadi konsepsi, korpus lueum akan dipelihara oleh hormonchorionic gonadotropin(hCG) yang dihasilkan oleh sinsisiotrofoblas dari korion. Ini dinamakan korpus luteum graviditatis dan berlangsung 9-10 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta.11,13

Gambar 2. Ovarium dalam Siklus Haid

Perubahan pada Endometrium dalam Siklus HaidPada tiap siklus haid dikenal 3 fase utama yang terjadi pada endometrium, yaitu :a.Fase menstruasi atau deskuamasi selama 2 sampai 8 hari.11,13Pada fase ini endometrium dilepaskan dari dinding uterus disertai perdarahan. Hanya statum basal yang tinggal utuh. Darah haid mengandung darah vena dan arteri dengan sel-sel darah merah dalam hemolisis atau aglutinasi. Pengeluaran hormon-hormon ovarium pada fase ini paling rendah.b.Fase proliferasi sampai hari ke-14 siklus haid.11,13Pada waktu itu endometrium tumbuh kembali setebal3,5 mm, disebut juga endometrium mengadakan proliferasi. Fase proliferasi dibagi atas 3 subfase:1.Fase Proliferasi dini (early proliferation phase)2.Fase Proliferasi madya (mid proliferation phase)3.Fase Proliferasi akhir (late proliferation phase)c.Fase sekresi. Fase ini mulai sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke-14 sampai ke-28.11,13Pada ketika itu korpus rubrum menjadi korpus luteum yang menghasilkan progesteron. Dibawah pengaruh progesteron ini, kelenjar endometrium yang tumbuh berkeluk-keluk mulai bersekresi dan mengeluarkan getah yang mengandung glikogen dan lemak. Pada akhir masa ini stroma endometrium berubah kearah sel-sel desidua, terutama yang berada diseputar pembuluh-pembuluh arterial. Perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium menerima telur yang dibuahi. Fase sekresi dibagi atas: 1) fase sekresi dini; dan 2) fase sekresi lanjut.11,13

Gambar 3. Endometrium dalam Siklus HaidV.PATOGENESISPada siklus haid (ovulatoir) terdapat perubahan yang dialami kelenjar-kelenjar, pembuluh darah, serta epitel dari endometrium yang dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron yang secara bergiliran dihasilkan oleh folikel dan korpus luteum atas pengaruh dari gonadtropin (FSH dan LH) yang dihasilkan oleh hipofisis setelah mengalami rangsangan dari hipotalamus11Perubahan anatomi dan fungsional dari endometrium ini berulang kembali setiap 28 hari dan terdiri dari 3 fase :111.Fase menstruasi2.Fase Proliferasi3.Fase sekresiPada perdarahan uterus disfungsional tidak ditemukan ketiga fase ini pada pemeriksaan patologi anatomi berdasarkan kerokan pada endometrium. Sedangkan pada fase anovulasi tidak terdapat fase sekresi dan fase persiapan untuk implantasi, karena endometrium dipengaruhi oleh estrogen sehingga masih terjadi fase proliferatif dan terjadi hyperplasia endometrium (endometrium menebal) dan bahkan jika tidak ada pengaruh progesteron sedikitpun akan menyebabkan miometrium ikut membesar dan uterus ikut mengalami pembesaran.8Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-kelainan ovulasi, suklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya. Berdasarkan kelainan tersebut maka perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi seperti tabel 1.8

Tabel 1. Latar belakang kelainan perdarahan uterus disfungsional (PUD) dan bentuk kelainannya8Dasar KelainanBentuk Klinis

Ovulasi

Siklus

Jumlah perdarahan

AnemiaPUD ovulatorikPUD anovulatorikMetroragiaPolimenoreaOligomenoreaAmenoreaMenoragiaPerdarahan bercak prahaidPerdarahan bercak paskahaidPUD ringanPUD sedangPUD berat

Perdarahan uterus disfungsional biasanya berhubungan dengan satu dari tiga keadaan ketidakseimbangan hormonal, berupa:estrogen breakthrough bleeding, estrogen withdrawal bleeding dan progesterone breakthrough bleeding.8,12Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat umur korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau persistensi korpus luteum. Perdarahan uterus disfungsional pada wanita dengan siklus anovulatorik muncul sebagai perdarahan reguler dan siklik. Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah defisiensi progesteron dan kelebihan progesteron akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif, karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan demikian khasiat estrogen terhadap endometrium tak berlawan. Hampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun pertama menars dan akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah menars.14Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah perdarahan pada satu saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis jika perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak tidak hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan uterus disfungsional akut.8VI.GAMBARAN KLINIK5.1AnamnesisPada pasien yang mengalami perdarahan uterus disfungsional, anamnesis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.

Tabel 2. Keluhan dan gejala4Keluhan dan gejalaMasalah

Nyeri pelvikMual, peningkatan frekuensi berkemihPeningkatan berat badan, fatique, gangguan toleransi terhadap dinginPenurunan berat badan, banyak keringat, palpitasiRiwayat konsumsi obat antikoagulanGangguan pembekuan darahHirsutisme, akne, akantosis nigricans, obesitasPerdarahan pasca koitus

Galaktore, sakit kepala, gangguan lapangan pandangAbortus,kehamilan ektopikHamilHipotiroid

Hipertiroid

Koagulopati

Sindrom ovarium polikistik

Displasia serviks, polipendoservikTumor hipofisis

Perdarahan rahim abnormal yang terjadi bermacam-macam, seperti yang disebutkan di atas, sebaiknya seorang wanita menyebutkan karakteristik dari perdarahan yang terjadi. Dimulai dari waktu terjadinya, untuk menentukan apakah ini perdarahan menstruasi atau di luar siklus mentruasi; jumlahnya, yang dapat digambarkan dari bekuan darah yang terjadi (menandakan jumlah perdarahan yang banyak), frekuensi penggunaan pembalut dalam sehari, bercak pada pakaian dalam, dan tanda-tanda anemia.3,15Adapun beberapa tipe perdarahan uterus disfungsional adalah.4,9,15:a.Polimenorea yaitu frekuensi haid yang abnormal yang berlangsung setiap < 24 hari.b.Menoragia yaitu haid yang berlebihan dan berkepanjangan ( > 80 ml dan > 7 hari) namun dengan siklus yang normal.c.Metroragia yaitu episode haid yang tidak beraturan.d.Menometroragia yaitu perdarahan uterus yang tidak teratur dan jumlahnya berlebihan.

5.2Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik, selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk :3,4,15a.Menilai :1.Indeks masa tubuh, untuk menentukan obesitas2.Tanda-tanda hiperandrogen3.Pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipo/hipertiroid4.Galaktorea (kelainan hiperprolaktinemia)5.Gannguan lapang pandang (karena adenoma hipofisis)6.Faktor resiko keganasan endometrium (obesitas, nulligravida, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat keluarga)b.Menyingkirkan :1.Kehamilan, kehamilan ektopik, abortus, penyakit trofoblas2.Servisitis, endometritis3.Polip dan mioma uteri4.Keganasan servik dan uterus5.Gangguan pembekuan darahPemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan Pap smear dan dengan pemeriksaan palpasi abdomen dapat disingkirkan adanya mioma uteri dan keganasan.3,4,15VII.PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap serta pemeriksaan kehamilan diperlukan pada kasus ini. Pemeriksaan lain tergantung dari usia, status ovulasi, risiko PMS (Penyakit Menular Seksual), dan risiko penyakit lain misalnya pap smear. Pemeriksaan ultrasonografi transvaginal adalah pemeriksaan non-invasif dan membantu dalam mendeteksi kelainan pada rahim, seperti polip, atau mengukur ketebalan endometrium. Pemeriksaan ini dapat dilanjutkan denganhisteroskopi (memasukkan teropong dalam rahim) atau biopsi endometrium (mengambil sedikit jaringan endometrium) bila diperlukan.3,4,15,16Biopsi endometrium merupakan tes diagnostik yang paling sering digunakan. Ini membutuhkan sampel yang adekuat untuk mendiagnosis masalah endometrium pada 90-100% kasus, tapi dapat gagal untuk mendeteksi polyp dan leiomyoma. Biopsi endometrium diindikasikan untuk semua wanita dengan perdarahan uterus disfungsional diatas 35, yaitu ketika resiko untuk berkembang kearah keganasan lebih tinggi. Semua wanita dengan amenorea untuk satu tahun atau lebih yang menderita perdarahan uterus sebaiknya dilakukan biopsi endometrium.10VIII.TERAPITujuan terapi adalah mengontrol perdarahan, mencegah perdarahan berulang, mencegah komplikasi, mengembalikan kekurangan zat besi dalam tubuh, dan menjaga kesuburan. Tatalaksana awal dari perdarahan akut adalah pemulihan kondisi hemodinamik dari ibu. Pemberian estrogen dosis tinggi adalah tatalaksana yang sering dilakukan. Regimen estrogen tersebut efektif di dalam menghentikan episode perdarahan. Bagaimanapun juga penyebab perdarahan harus dicari dan dihentikan. Apabila pasien memiliki kontraindikasi untuk terapi estrogen, maka penggunaan progesteron dianjurkan.15Untuk perdarahan disfungsional yang berlangsung dalam jangka waktu lama, terapi yang diberikan tergantung dari status ovulasi pasien, usia, risiko kesehatan, dan pilihan kontrasepsi. Kontrasepsi oral kombinasi dapat digunakan untuk terapinya. Pasien yang menerima terapi hormonal sebaiknya dievaluasi 3 bulan setelah terapi diberikan, dan kemudian 6 bulan untuk reevaluasi efek yang terjadi. Terapi operasi dapat disarankan untuk kasus yang resisten terhadap terapi obat-obatan.Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:8,15,16,17,18,191.Perbaikan keadaan umumPada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk. Pada perdarahan uterus disfungsional akut, anemia yang terjadi harus segera diatasi dengan transfusi darah. Pada perdarahan uterus disfungsional kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah.

2.Penghentian perdarahanPemakaian hormon steroid seksa.EstrogenDipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan karena memiliki berbagai khasiat yaitu healing effect, pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah, vasokonstriksi (karena merangsang prostaglandin), meningkatkan pembentukan thrombin dan fibrin. Dosis pemberian estrogen pada perdarahan uterus disfungsional adalah 25 mg IV setiap 4-6 jam untuk 24 jam diikuti dengan oral terapi yaitu 1 tablet perhari selama 5-7 hari (untuk semua produk estrogen dengan kandungan 35 mg ethynil estradiol).b.ProgestinBerbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan perdarahan. Beberapa sedian tersebut antara lain noretisteron, MPA, megestrol asetat, dihidrogesteron dan linestrenol. Noretisteron dapat menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam dengan dosis 20-30 mg/hari, medroksiprogesteron asetat dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, megestrol asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari.c. Androgen Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak cocok dengan estrogen dan progesteron. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol) dan metil testosteron (danazol merupakan suatu turunan 17--etinil-testosteron). Dosis yang diberikan adalah 200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka panjang sediaan androgen akan berakibat maskulinisasi.Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin.Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya pada vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE2dan PgF2meningkat secara bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan perdarahan uterus disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Untuk itu asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama 3-5 hari atau ethamsylate 500 mg 4 kali sehari terbukti mampu mengurangi perdarahan.8,16

Pemakaian antifibrinolitikSistem pembekuan darah juga ikut berperan secara lokal pada perdarahan uterus disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi penumpukan fibrin. Unsur utama pada system fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila diaktifkan akan mengeluarkan protease plasmin. Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi plasmin, sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari).8Pengobatan operatifJenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan histerektomi. Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada perdarahan uterus disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama pada umur diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan karena menghilangkan daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata dengan cara tersebut perdarahan akut berhasil dihentikan pada 40-60% kasus. Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus disfungsional masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya cukup tinggi (30-40%) sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan.8,10,16Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium diablasikan dengan cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan hilang permanen, sehingga penderita akan mengalami henti haid yang permanen pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang punya kontraindikasi pembedahan dan tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi.8,10,16Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini merupakan pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause, histerektomi harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang. Selain itu histerektomi juga dilakukan untuk perdarahan uterus disfungsional dengan gambaran histologis endometrium hiperplasia atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase. Histerektomi mempunyai tingkat mortalitas 6/ 10.000 operasi. Satu penelitian menemukan bahwa histerektomi berhubungan dengan tingkat morbiditas dan membutuhkan waktu penyembuhan yang lebih lama dibanding ablasi endometrium. Beberapa studi sebelumnya menemukan bahwa fungsi seksual meningkat setelah histerektomi dimana terdapat peningkatan aktifitas seksual. Histerektomi merupakan metode popular untuk mengatasi perdarahan uterus disfungsional, terutama di negara-negara industri.8,10,16

3.Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksiUsaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.

Siklus ovulatorikPerdarahan uterus disfungsional ovulatorik secara klinis tampil sebagai polimenorea, oligomenorea, menoragia dan perdarahan pertengahan siklus, perdarahan bercak prahaid atau pasca haid. Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25 mg/hari atau etinilestradiol 50 mikrogram/ hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan bercak prahaid diobati dengan progesteron (medroksi progestron asetat atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17 hingga hari ke 26. Beberapa penulis menggunakan progesteron dan estrogen pada polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan kontrasepsi oral, mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid.8Siklus anovulatorikPerdarahan uterus disfungsional anovulatorik mempunyai dasar kelainan kekurangan progesteron. Oleh karena itu pengobatan untuk mengembalikan fungsi hormon reproduksi dilakukan dengan pemberian progesteron, seperti medroksi progesterone asetat dengan dosis 10-20 mg/hari mulai hari ke 16-25 siklus haid. Dapat pula digunakan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari dari hari 16-25 siklus haid, linestrenol dengan dosis 5-15 mg/hari selama 10 hari mulai hari hari ke 16-25 siklus haid. Pengobatan hormonal ini diberikan untuk 3 siklus haid. Jika gagal setelah pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tak terjadi, dilakukan pemicuan ovulasi. Pada penderita yang tidak menginginkan anak keadaan ini diatur dengan penambahan estrogen dosis 0,625-1,25 mg/hari atau kontrasepsi oral selama 10 hari, dari hari ke 5 sampai hari ke 25.84.Penanganan terapi berdasarkan usiaPUD banyak dijumpai pada usia perimenars, usia reproduksi, dan usia perimenopause. Pilihan terapi dapat berbeda tergantung pada usia dimana terjadi gangguan perdarahan uterus disfungsional.

PUD pada Usia PerimenarsUsia perimenars adalah usia sejak terjadinya menars (rata-rata 11 tahun) hingga memasuki usia reproduksi, yang biasanya berlangsung sampai 3-5 tahun setelah menars dan ditandai dengan siklus yang tidak teratur baik lama maupun jumlah darahnya. PUD pada usia ini pada umumnya terjadi pada siklus anovulatorik, yaitu sebanyak 95-98%. Diagnosis anovulasi dan analisa hormonal tidak perlu dilakukan, kecuali bila PUD terjadi pada siklus haid 21-35 hari.Perlu diketahui bahwa pada usia perimenars jarang terjadi ovulasi. Siklus haidnya anovulatorik. Tanpa pengobatan ovulasi akan terjadi spontan. Selama perdarahan yang terjadi tidak berbahaya, atau tidak menggangu keadaan pasien, maka tidak perlu dilakukan tindakan apapun. Pengobatan baru diberikan bila gangguan yang terjadi sudah 6 bulan atau 2 tahun setelah menars belum juga dijumpai siklus haid yang berovulasi. Pengobatan harus diberikan bila perdarahan yang terjadi sampai membuat keadaan umum pasien menjadi buruk, atas permintaan pasien, atau bila sampai menimbulkan gangguan psikis.Pada keadaan yang tidak akut dapat diberikan antiprostaglandin, antiinflamasi nonsteroid, atau asam traneksamat. Pemberian tablet estrogen-progesteron kombinasi, atau tablet progesteron saja maupun analog GnRH (agonis atau antagonis) hanya bila dengan obat-obat tersebut diatas tidak memperlihatkan perbaikan.Pada keadaan akut, dimana Hb < 8 gr%, maka pasien harus dirawat dan diberikan transfusi darah. Untuk mengurangi perdarahan diberikan sediaan estrogen-progesteron kombinasi, misalnya 17 estradiol 2x2 mg, atau estrogen equin konjugasi 2x1,25 mg, atau estropipete 1x1,25 mg dikombinasikan dengan noretisteron asetat 2x5 mg, didrogesteron 2x10 mg atau medroksiprogesteron asetat (MPA) 2x10 mg atau juga dapat diberikan normegestrol asetat 2x5 mg dan cukup diberikan selama 3 hari. Yang paling mudah adalah pemberian pil kontrasepsi kombinasi selama 3 hari.Pengobatan dikatakan berhasil bila perdarahan yang terjadi berhenti atau berkurang, dan 3-4 hari setelah pengobatan dihentikan akan terjadi perdarahan lucut. Pada wanita yang dijumpai gangguan psikis, pengobatan serupa dapat diteruskan selama 18 hari. Setelah perdarahan akut dapat diatasi maka tindakan selanjutnya adalah pengaturan siklus misalnya pemberian tablet progesteron dari hari ke 16-25 selama 3 bulan. MPA atau didrogesteron dosisnya cukup 10 mg/hari, sedangkan noretisteron asetat cukup 5 mg/hari.Jika perdarahan tetap saja tidak teratasi, atau bila setelah dilakukan pengaturan siklus terjadi lagi perdarahan akut, maka perlu dipikirkan adanya kelainan organik. Selama siklus haid belum berovulasi, perdarahan akut berulang tetap ada. Pemberian obat-obat pemicu ovulasi kurang bermanfaat, bahkan banyak ahli tidak menganjurkan pemberian obat pemicu ovulasi.

PUD pada Usia ReproduksiPUD pada usia ini dapat terjadi pada siklus yang berovulasi (65%) dan pada siklus yang tidak berovulasi. Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Analisa hormonal hampir selalu normal. diduga terjadinya gangguan sentral (disregulasi) akibat adanya gangguan psikis. Untuk mengetahui ada tidaknya ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan suhu basal badan (SBB), sitologi vagina atau analisa hormonal (FSH, LH, Estradiol, Prolaktin, dan Progesteron). Pada wanita > 35 tahun harus dilakukan tindakan D&K untuk menyingkirkan keganasan.Pada keadaan akut, penanganannya seperti penaganan PUD pada usia perimenars. Setelah perdarahan akut dapat diatasi, tindakan selanjutnya adalah pengaturan siklus, dan caranya sama seperti pada usia perimenars. Namun setelah pengaturan siklus 3 bulan pada PUD usia reproduksi, maka perlu dicari penyebab anovulatorik. Harus diusahakan siklus haid yang berovulasi, karena selama siklus haid belum berovulasi, PUD akan berulang kembali. Obat-obat pemicu ovulasi yang dapat diberikan berupa klomifen sitrat, epimestrol, atau hormon gonadotropin.PUD pada siklus yang berovulasi umumnya lebih ringan dan jarang sampai akut. PUD yang terjadi paling sering berupa perdarahan bercak (spotting) pada pertengahan siklus. Pengobatannya dapat diberikan 17 estradiol 1x2 mg, atau estrogen equin konjugasi 1x1,25 mg, atau estropipete 1x1,25 mg, dari hari ke 10-15 siklus haid. Pada perdarahan bercak prahaid dapat diberikan MPA 1x10 mg, didrogesteron 1x10 mg atau noretisteron asetat 1x5 mg, atau juga normegestrol asetat 1x5 mg, yang diberikan mulai hari ke 16-25 siklus, sedangkan perdarahan bercak pasca haid dapat diberikan 17 estradiol 1x2 mg, atau estrogen equin konjugasi 1x1,25 mg, atau estropipete 1x1,25 mg. Jika sulit mendapatkan tablet estrogen maupun progrsteron, dapat diberikan pil kontrasepsi kombinasi, namun pemberiannya diberikan sepanjang siklus haid.

PUD pada Usia PerimenopausePerimenopause adalah usia antara masa pramenopause dan pascamenopause, yaitu sekitar menopause (usia 40-50 tahun). PUD pada usia ini hampir 95% terjadi pada siklus yang tidak berovulasi (folikel persisten). Perlu dilakukan analisa hormonal. Kadar FSH > 35 mIU/ml menunjukkan pasien telah memasuki usia perimenopause, sedangkan pada kadar estradiol yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penebalan endometrium. Kadar prolaktin yang tinggi perlu dicurigai adanya prolaktinoma. Kadar normal 17- estradiol pada fase folikuler adalah 39-189 pg/ml, pada saat puncak ovulasi 94-508 pg/ml, pada fase luteal 48-309 pg/ml, sedangkan pada pascamenopause adalah kurang dari 20-41 pg/ml. perlu diketahui bahwa analisa hormonal dapat menunjukkan hasil yang normal.Setiap perdarahan atau gangguan haid yang terjadi pada usia perimenopause harus dipikirkan adanya keganasan pada endometrium. Pada keadaan tidak akut, pasien dipersiapkan untuk dilakukan tindakan D&K. perubahan pada endometrium juga dapat dilihat pada USG. Bla ditemukan ketebalan endometrium lebih dari 5 mm berarti telah terjadi hiperplasia endometrium. Namun untuk mengetahui ada tidaknya keganasan pada endometrium tindakan D&K tetap yang terbaik.Jika hasil pemeriksaan patologi anatomi menggambarkan suatu hiperplasia kistik, atau hiperplasia adenomatosa, maka pertama kali dapat dicoba pemberian progesteron seperti MPA dengan dosis 3x10 mg/hari selama 6 bulan, atau dapat juga diberikan depo medroksiprogesteron asetat (DMPA).Dewasa ini banyak pemberian analog GnRH selama 6 bulan yang dapat diberikan intramuskuler ataupun subkutan, untuk pengobatan hiperplasia endometrium dan hasilnya jauh lebih baik dibandingkan pemberian progesteron. Setelah pengobatan dengan progesteron maupun dengan analog GnRH selesai, harus dilakukan D&K ulang untuk melihat hasil pengobatan. D&K ulang dilakukan setelah pasien mendapat haid normal kembali, atau bila setelah pengobatan terjadi lagi perdarahan yang abnormal. Bila tidak ditemukan lagi hiperplasia, maka pasien yang mendapat pengobatan dengan progesteron tablet, dilanjutkan dengan tablet MPA 3x10 mg, 2 kali per minggu selama 6 bulan, sedangkan pasien yang mendapatkan DMPA atau analog GnRH tidak mendapatkan pengobatan lanjutan. Tindakan selanjutnya setelah selesai pengobatan adalah mengatur kembali siklus haid seperti pengaturan siklus haid pada usia reproduksi.Bila hasil D&K ulang tidak menunjukkan adanya perubahan terhadap pengobatan dengan progesteron maupun analog GnRH, pasien dianjurkan untuk histerektomi. Pada hiperplasia atipik juga sebaiknya dilakukan histerektomi, dan pada wanita yang menolak histerektomi dapat diberikan progesteron maupun analog GnRH, namun perlu pengawasan ketat dan jangan sampai tidak melakukan D&K ulangPUD akut pada usia perimenopause penanganannya sama dengan PUD akut yang terjadi pada usia reproduksi. Namun setelah keadaan akut teratasi, maka tetap harus dilakukan D&K. penanganan selanjutnya sangat bergantung dari hasil patologi anatomi yang diperolehIX.DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis banding dari perdarahan uterus disfungsional adalah :4,14a.AbortusAbortus merupakan pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu. Pasien datang dengan keluhan perdarahan pervaginam setelah mengalami haid terlambat. Dan sering terdapat rasa mules. Riwayat hasil Plano tes (+) ada. Pada perdarahan uterus disfungsional tidak ditemukan adanya gejala-gejala tersebut.b.Mioma uteriMioma uteri merupakan tumor jinak pada uterus yang berasal dari otot polos dan jaringan ikat. Pada mioma uteri pasien datang dengan keluhan adanya benjolan pada perut bagian bawah dan disertai adanya gangguan siklus haid.c.Hipotiroid/hipertiroidPada hipotiroid pasien mengeluh adanya peningkatan berat badan, fatique dan gangguan toleransi terhadap dingin. Lain halnya dengan hipertiroid, pasien datang dengan keluhan penurunan berat badan, banyak keringat dan palpitasi Semua gejala-gejala tersebut tidak ditemukan pada perdarahan uterus disfungsional.

X.KOMPLIKASIPerdarahan uterus disfungsional yang lama dan berat dapat menyebabkan anemia defisiensi besi pada 30% individu. Ketidakseimbangan hormonal yang berkelanjutan yang mungkin menghambat ovulasi dapat menyebabkan infertilitas. Pada 1-2% individu dengan ketidakseimbangan estrogen dan progesteron yang kronik, akan meningkatkan resiko terjadinya kanker endometrium.3,21XI.PROGNOSISPada dasarnya keseimbangan hormonal akan dicapai dengan pengobatan yang tepat. Meskipun terapi medikal digunakan pertama kali, lebih dari setengah wanita dengan menoragia akan melakukan histerektomi dalam waktu 5 tahun di ginekologist. Beberapa pasien yang menggunakan kontrasepsi transvaginal sebagai manajemen perdarahan uterus disfungsional dapat mengalami 89-95% perbaikan.Jika kehamilan diinginkan, infertilitas dapat diatasi dengan obat fertilitas. Sebaliknya, bila kehamilan tidak diinginkan dan penatalaksanaan konserfatif tidak efektif, ablasi endometrial dapat mengurangi perdarahan uterus yang berlebihan sampai 88%. Ablasi endometrial efektif untuk jangka pendek, dan 48 bulan setelah ablasi ,29% individu memerlukan prosedur lain.3,21