perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang maluku yang … · 2016. 11. 3. · daerah maluku...

28

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    ABSTRAK

    Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan sikap terhadap adat pela antara

    orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar

    Maluku (kota Salatiga). Sampel dalam penelitian ini adalah 100 orang Maluku yang

    terdiri dari 50 orang mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota

    Ambon) dan 50 orang mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku

    (Kota Salatiga). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala

    yaitu skala sikap terhadap adat pela. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik uji-

    t. Dari hasil uji beda diperoleh nilai t sebesar 1,107 dengan signifikansi = 0,271

    (p>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku

    yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (kota

    Salatiga).

    Kata Kunci : Sikap terhadap Adat Pela, Orang Maluku, Tempat Tinggal

  • ii

    ABSTRACT

    This study was conducted to determine different attitudes toward “pela” tradition

    between Moluccan who lives and resides in Moluccas and the ones who don’t (a

    Mollucan who resides in Salatiga). The sample in this study was 100 Moluccan consist

    of 50 participants who reside in the Moluccas (Ambon) and the rest 50 participants was

    Moluccan students who resides in Salatiga. Data collection in this research is a scale

    method using scale attitudes towards indigenous “pela”. To analyze the data, the

    researcher used t-test techniques. Based on the test, there were 1.107 with a

    significance = 0.271 (p> 0.05), which means there is no different attitudes toward

    “pela” between the subjects of the study.

    Keywords: Attitudes toward Indigenous “Pela”, Moluccan, Resides

  • 1

    PENDAHULUAN

    Daerah Maluku merupakan daerah yang adat istiadatnya masih dipegang teguh dan

    dipercayai oleh sebagian besar masyarakatnya. Adat yang sangat terkenal di Maluku

    adalah adat Pela, dimana adat ini memiliki aturan-aturan beserta sanksi bagi mereka

    yang melanggar adat tersebut. Adat Pela telah ada sejak dulu yang diturunkan dari para

    leluhur dan harus terus dijaga kelestariannya. Adapun bukti-bukti hukuman yang

    dipercaya oleh beberapa orang yang pernah melanggar aturan-aturan yang ada pada

    Pela yakni hancurnya keluarga, anak-anak akan mengalami cacat fisik maupun psikis,

    atau bahkan kematian dari anggota keluarga (Bartels, 2000).

    Dalam Lasamahu (2009), kata Pela berasal dari kata Pila yang berarti buatlah

    sesuatu untuk kita bersama, dan kadang-kadang kata pila diberi akhiran „tu‟ sehingga

    menjadi „pilatu‟ yang memiliki arti menguatkan, menanamkan atau mengusahakan

    sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kini kata ‟pila‟ telah berubah menjadi

    „Pela‟. Tanamal (1985) mengungkapkan istilah Pela dalam kenyataannya menunjuk

    pada ikatan kesatuan dan persaudaraan antara dua atau lebih negeri (desa) baik itu antar

    negeri-negeri (desa-desa) Kristen atau negeri-negeri (desa-desa) Islam maupun antar

    negeri-negeri (desa-desa) Islam dan Kristen.

    Bartels (2000) mengungkapkan bahwa terdapat tiga jenis Pela yaitu, Pela karas

    (keras), Pela gandong (kandung) atau bongso (bungsu) dan Pela tampa siri (tempat

    sirih). Pela keras bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan

    dengan perang, seperti pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau

    bantuan luar yang biasa diberikan oleh satu desa kepada desa yang lain. Jenis Pela

    kedua didasarkan pada ikatan keturunan keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga

    di desa-desa yang berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Jenis Pela yang

  • 2

    ketiga dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian setelah

    ada pertikaian kecil atau setelah satu desa memberi bantuan kepada desa lain. Pela ini

    juga dibuat untuk mendukung hubungan perdagangan.

    Pada umumnya Pela di Maluku mempunyai aturan-aturan yang tidak boleh

    dilanggar oleh kedua negeri atau desa. Dalam Bartels (2000), pela didasari atas empat

    ketentuan yakni; (a) Negeri-negeri (desa-desa) yang ber-pela itu diwajibkan untuk

    saling membantu pada masa genting (bencana alam, peperangan dan lain-lain); (b) Jika

    diminta, maka negeri (desa) yang satu wajib memberi bantuan kepada negeri (desa)

    yang lain yang hendak melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan

    umum, seperti: pembangunan rumah-rumah ibadah atau bangunan-bangunan umum; (c)

    Ketika seseorang mengunjungi negeri (desa) yang memiliki hubungan Pela dengan

    negeri-nya (desanya), maka orang-orang negeri (desa) itu wajib untuk memberi

    makanan kepadanya; tamu yang se-pela itu tidak perlu meminta izin untuk membawa

    pulang apa-apa dari hasil tanah atau buah-buahan menurut kesukaannya; (d) Semua

    penduduk negeri-negeri (desa-desa) yang berhubungan Pela itu dianggap sedarah;

    sebab itu dua orang yang se-pela itu tidak boleh kawin karena dipandang sumbang. Tiap

    pelanggaran terhadap aturan itu akan dihukum keras oleh nenek moyang yang

    mengikrarkan Pela itu. Contoh-contoh penghukuman yaitu sakit, mati dan kesusahan-

    kesusahan lainnya. Penghukuman ini akan dialami baik oleh orang yang melanggar

    sendiri atau pada anak-anaknya. Biasanya mereka yang melanggar pantangan kawin itu

    akan ditangkap kemudian mereka disuruh berjalan mengelilingi negeri-negeri-nya

    (desa-desanya), dengan hanya berpakaian daun-daunan kelapa sedangkan penghuni

    negeri (desa) mencaci makinya.

  • 3

    Untuk menjaga agar Pela tetap hidup, dan untuk membuat kaum muda peduli

    tentang tanggungjawab mereka, dilakukan pembaharuan secara berkala melalui upacara

    panas Pela. Pada saat itu, semua penduduk desa anggota Pela berkumpul menjadi satu

    selama satu minggu untuk merayakan kesatuan mereka dan memperbaharui aturan

    sumpah mereka, yang disertai dengan pesta makan, bernyanyi, dan menari (Bartels,

    2000). Panas Pela juga merupakan suatu kegiatan ritual masyarakat dan pada saat

    tertentu hal ini selalu dilaksanakan. Melalui panas Pela, masyarakat dari kedua desa

    atau negeri (desa) menemukan jati dirinya untuk selalu memelihara dan menjaga

    ketertiban dan keamanan dalam masyarakat (Makaruku, 2012). Pela memiliki

    karakteristik alami, menjadi alat komunikasi budaya sekaligus sebagai alat mediasi

    membentuk pengetahuan bersama atau pemikiran kolektif (collegtive mine). Pela

    merupakan budaya perekat hidup antarumat beragama yang rukun (Thomas, 2010).

    Kenyataannya, banyak orang Maluku yang telah keluar dari Maluku. Mereka

    tersebar di berbagai pulau di Indonesia, salah satunya adalah di Jawa tengah. Terdapat

    4.000 warga Maluku yang merantau disana, baik itu untuk belajar maupun bekerja

    (Prihadi, 2012). Kota Salatiga merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang

    didatangi oleh banyak orang Maluku. Mereka datang dengan berbagai alasan, salah satu

    alasannya karena tuntutan pendidikan. Hal yang cukup menarik di Salatiga adalah

    banyak ditemukan orang Maluku, yang bukan hanya dilahirkan dan dibesarkan di

    Maluku namun juga mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di berbagai daerah di luar

    Maluku. Berdasarkan hasil wawancara penulis yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juli

    2013, bertempat di SC (Student Centre) di Universitas Satya Wacana Salatiga pukul

    15:00-19:00, dengan 4 narasumber yang merupakan mahasiswa Maluku yang dilahirkan

    dan dibesarkan di luar Maluku, mengenai adat Pela, ditemukan berbagai macam

  • 4

    jawaban. Ada satu narasumber yang sama sekali tidak tahu mengenai adat Pela. Orang

    tuanya tidak pernah menjelaskan mengenai adat tersebut kepada dirinya. Lingkungan

    tempat tinggal dan budaya yang berbeda dari daerah asalnya Maluku, juga ikut

    mempengaruhi perilaku sehari-harinya. Hal yang berbeda ditemukan pada dua

    narasumber lainnya. Pengetahuan tentang Pela dan segala larangannya telah

    diketahuinya dari orang tuanya. Namun karena ia dibesarkan dilingkungan yang

    berbeda serta tidak adanya bukti-bukti yang kuat mengenai kutukan yang akan mereka

    terima ketika melanggar adat Pela itu, membuat dirinya berani melanggar aturan Pela.

    Pada narasumber berikutnya, ditemukan bahwa ia tidak mengetahui tentang Pela karena

    tidak dijelaskan oleh orang tuanya. Ketika ia telah melanggar salah satu aturan, orang

    tuanya pun menjelaskan kepada dirinya tentang larangan Pela dan menyuruhnya untuk

    tidak melanggar aturan tersebut. Sehingga dari hasil wawancara tersebut dapat

    disimpulkan bahwa kurangnya informasi serta lingkungan tempat tinggal yang memiliki

    budaya yang berbeda dari daerah asalnya cukup mempengaruhi sikap mereka terhadap

    Pela, dimana sikap yang dimunculkan adalah sikap negatif terhadap pela. Pela tidak

    lagi dianggap sebagai suatu tradisi atau adat yang perlu dijalankan dan dilestarikan.

    Melihat pada fenomena yang terjadi di atas dan berdasarkan kesimpulan yang

    diambil bahwa lingkungan tempat tinggal yang memiliki budaya yang berbeda dari

    daerah asal sesorang dapat mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap budaya aslinya

    maka hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh (Mesoudi, 2009) yang

    mengatakan bahwa budaya di mana kita hidup mempengaruhi pikiran, perasaan, dan

    perilaku melalui pengajaran, imitasi, dan bentuk lain dari transmisi sosial. Fiske,

    Kitayama, Markus, & Nisbett (1998) & Matsumoto (2001) juga mengungkapkan bahwa

    suatu budaya mewakili sekelompok orang, biasanya hidup dalam suatu wilayah

  • 5

    geografis tertentu, yang berbagi seperangkat norma-norma sosial, termasuk nilai-nilai

    agama dan nilai-nilai keluarga serta keyakinan moral. Dalam Ember & Ember (2011)

    disebutkan pula bahwa sesuatu dapat dikatakan budaya jika itu adalah perilaku yang

    dipelajari atau ide (kepercayaan, sikap, nilai, ideal) yang dibagikan oleh anggota

    masyarakat atau kelompok sosial lainnya.

    Sebuah kelompok sosial tidak dapat dipisahkan dari adanya pengaruh sosial dari

    sesama anggota kelompok. Konformitas adalah salah satu jenis pengaruh sosial dimana

    individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma kelompok atau

    sosial yang ada (Baron & Byrne, 2005). Setiap kelompok mengaplikasikan berbagai

    macam sanksi kepada anggota yang tidak menerima norma kelompok (Shiraev & Levy,

    2012). Lebih lanjut Baron & Byrne (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor

    yang memainkan peran penting dalam konformitas, yaitu kohesivitas (derajat

    ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok), ukuran kelompok

    (semakin besar kelompok, semakin besar pula kecenderungan untuk mengikuti

    kelompok), jenis norma sosial (norma himbauan dan norma perintah). Individu

    cenderung untuk bertingkah laku secara konsisten dengan norma kelompok ketika

    norma-norma tersebut relevan dengan dirinya pada saat individu dapat memilih antara

    mengikuti atau mengabaikannya.

    Dalam Baron & Byrne (2005) dijelaskan bahwa terdapat dua motif yang mendasari

    kecenderungan seseorang untuk melakukan konformitas, yaitu keinginan untuk disukai

    orang lain dan keinginan untuk merasa benar atau tepat. Meskipun banyak individu

    yang melakukan konformitas namun tak jarang juga ditemukan sebagian masyarakat

    yang tetap pada pendapat mereka dan tidak melakukan konformitas. Ada 2 motif yang

    mendasari seseorang tidak melakukan konformitas, yakni keinginan untuk

  • 6

    mempertahankan individualitas diri dan keinginan untuk memiliki kontrol atas

    kehidupan diri sendiri.

    Selain itu, pengaruh sosial dapat juga terjadi diantara kelompok mayoritas dan

    kelompok minoritas, dimana kedua kelompok tersebut saling mempengaruhi sehingga

    dapat menimbulkan perubahan dari salah satu kelompok. Hal ini dapat dilihat pada

    penelitian yang dilakukan oleh Riecanska (1998) yang menyatakan bahwa adanya

    tekanan dan diskriminasi pada generasi pertama membuat generasi kedua Etnis Slovakia

    yang berimigrasi ke Amerika (Pennsylvania Barat) melakukan pengadaptasian dan

    penyesuaian penuh terhadap nilai-nilai sosial budaya yang dimiliki Amerika yang

    merupakan kelompok mayoritas, yang kemudian mengakibatkan melemahnya norma-

    norma sosial terkait dengan etnisitas dan tradisi etnis mereka. Dalam penelitian ini

    dijelaskan pula bahwa telah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi yang begitu cepat

    pada imigran Etnis Slovakia generasi kedua. Kemudian disebutkan bahwa keluarga dan

    kerabat seorang individu memainkan peran penting dalam pemeliharaan kontinuitas

    tradisi budaya suatu etnis yang kemudian dapat menciptakan pondasi emosional yang

    positif individu terhadap etnisnya.

    Seperti yang dikemukakan oleh Yusuf (1991), bahwa Indonesia yang memiliki

    keragaman suku bangsa dengan dukungan sistem budayanya memungkinkan terjadinya

    kontak antarbudaya, terutama bagi yang berada di Pulau Jawa yang merupakan pusat

    pertemuan suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam kontak tersebut terjadi ketegangan-

    ketegangan atau proses asimilasi, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat

    kelompok. Menurut Dayakisni dan Yuniardi (2008), pada tingkat individual, kehilangan

    identitas budaya bisa terjadi karena adanya kontak antar budaya. Seseorang boleh jadi

    menolak tradisinya sendiri dan menelan mentah-mentah tradisi dari kebudayaan lain.

  • 7

    Hal ini mengindikasikan bahwa seseorang dapat meninggalkan dan tidak menjalankan

    tradisi pada kebudayaannya ketika ia berada pada lingkungan tempat tinggal yang di

    dalamnya terdapat berbagai macam budaya lain.

    Hal diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyarto (2007)

    mengenai dinamika interaksi dalam kehidupan masyarakat keturunan Madura yang

    tinggal di Dusun Pijetan, Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Tahun

    1950-2012. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa adanya interaksi antara

    masyarakat Madura dengan masyarakat Jawa melalui sarana-sarana pembauran berupa

    lahan pertanian sebagai tempat bekerja dan tempat memperoleh pendidikan yang

    mayoritas teman sekolah dan guru adalah Suku Jawa mengakibatkan semakin capatnya

    pembauran budaya dan mempengaruhi pemudaran identitas etnik Madura. Pemudaran

    juga disebabkan oleh melemahnya interaksi antara Suku Madura dengan masyarakat

    keturunan Madura. Pengaruh pemudaran identitas etnik ini dapat dilihat dari pergeseran

    bahasa dan masuknya aliran agama Islam yang berbeda dengan yang telah umum dianut

    masyarakat Madura.

    Terdapat juga penelittian yang dilakukan oleh Yudha (2014) mengenai perubahan

    identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang menyatakan bahwa, perubahan

    identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan terlihat pada perubahan identitas

    agama dan kepercayaan (terjadi secara bertahap), perubahan identitas bahasa (terjadi

    lintas generasi) dan juga perubahan nama. Terdapat juga beberapa faktor yang

    menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Faktor

    tersebut adalah adanya kesamaan pandangan antara etnis Bali dan etnis Tionghoa,

    adanya faktor sosial ekonomi, dan adanya perubahan politik pemerintah.

  • 8

    Mulyana (2001) mengemukakan bahwa terdapat model-model perubahan identitas

    etnis, yakni model akulturasi, model asimilasi dan model pluralisme. Model akulturasi

    adalah fenomena yang timbul ketika kelompok-kelompok individu yang berbeda

    budaya berhubungan langsung dan bersinambungan, dan perubahan terjadi pada budaya

    asli salah satu atau dua kelompok. Model asimilasi merujuk kepada sejauh mana suatu

    kelompok yang semula khas telah kehilangan identitas subjektifnya dan telah terserap

    ke dalam struktur social suatu kelompok lain. Sedangkan model pluralisme merujuk

    kepada pemeliharaan lembaga-lembaga budaya secara terpisah oleh kelompok-

    kelompok budaya yang berlainan dalam suatu entitas politik.

    Sebagai salah satu bentuk kearifan budaya lokal masyarakat Maluku yang hingga

    kini masih terpelihara, pela menjadi entitas anak negeri (desa) yang harus

    diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat Maluku yang bermartabat (“Persatuan

    Pemuda Pela Gandong Gelar Deklarasi Damai”, 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa

    pela masih dijalankan dan dilestarikan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di

    Maluku. Berbeda dengan masyarakat yang bertempat tinggal di luar Maluku yang telah

    mengalami percampuran budaya yang dapat menyebabkan mereka memiliki sikap yang

    tidak sepositif sebelumnya terhadap adat pela sehingga adat pela tidak lagi dijalankan

    seperti yang dijalankan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di Maluku.

    Sebenarnya peneliti belum menemukan adanya penelitian mengenai sikap orang

    Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang tinggal di luar Maluku terhadap

    adat pela. Namun peneliti menemukan adanya penelitian-penelitian lain mengenai sikap

    orang Tana Toraja yang tinggal di Tana Toraja dan yang tinggal di luar Tana Toraja

    terhadap adat mereka yakni, Upacara Rambu Solo’. Seperti penelitian yang dilakukan

    oleh Baan (2007) mengenai Upacara adat Rambu Solo‟, yang menyatakan bahwa ada

  • 9

    beberapa aspek yang ada dalam kepercayaan upacara Rambu Solo’ sudah tidak

    dipercayai oleh mahasiswa Tana Toraja berada di luar Kabupaten Tana Toraja. Aspek-

    aspek tersebut adalah aspek pembersihan, penyucian, penyesalan, pembangunan

    kembali, aspek kesejahteraan dan aspek nilai jasa. Hal ini mengindikasikan bahwa

    individu-individu yang pergi merantau dan meninggalkan kota asalanya secara

    perlahan-lahan tidak menjalankan bahkan melupakan adat istiadat yang terdapat pada

    kota asalnya.

    Terdapat juga juga penelitian yang dilakukan oleh Ribeca dkk (dalam Kombong,

    2010) mengenai Upacara adat Rambu Solo‟ pada orang Tana Toraja yang bertempat

    tinggal di luar Kabupaten Tana Toraja (Salatiga). Hasil dari penelitian ini diperoleh

    bahwa persepsi responden terhahap upacara Rambu Solo’ antara lain, upacara tersebut

    identik dengan kemeriahan dan berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat

    Tana Toraja karena pemborosan secara financial. Diketahui juga bahwa 6 dari 8

    responden yang hadir tidak menyetujui pelaksanaan Rambu Solo’ yang identik dengan

    kemeriahan tersebut. Artinya bahwa sebagian dari individu-individu yang berasal dari

    suatu daerah yang telah bertempat tinggal di daerah lain akan memiliki sikap yang

    berbeda dalam hal ini sikap negatif tentang adat yang dimiliki oleh daerah asalnya.

    Namun hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh

    Kombong (2010) mengenai perbedan sikap antara orang Tana Tora yang tinggal di

    Toraja dan yang tinggal di Salatiga terhadap Upacara Rambu Solo’, ditemukan bahwa

    tidak adanya perbedaan sikap terhadap Upacara Rambu Solo’ antara orang Tana Toraja

    yang bertempat tinggal Salatiga dan yang bertempat tinggal di Tana Toraja.

    Dalam Dayakisni dan Yuniardi (2008), dikatakan pula bahwa terdapat perbedaan

    kecenderungan dalam hal mempertahankan tradisi atau adat pada generasi tua dan

  • 10

    generasi muda. Generasi yang lebih tua akan cenderung mempertahankan tradisi dan

    nilai-nilai masa lampau dalam kaitan dengan kecenderuangan untuk tinggal atau hidup

    dekat dengan orang-orang yang memiliki kesamaan bahasa, tradisi dan kebiasaan atau

    adat istiadat. Melalui pendidikan yang diterima di sekolah dan adanya kecenderungan

    (atau suatu kebutuhan) untuk mengadopsi nilai-nilai modern, generasi muda memiliki

    kencederungan untuk menerima nilai-nilai yang berbeda dari yang lebih tua. Jadi dapat

    disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh generasi muda di bangku sekolah

    dapat mempengaruhi pola pikir mereka menjadi lebih rasional dari pada generasi tua

    yang masih berpikir sesuai dengan tradisi pada masa lampau yang dipercayai dan

    diyakini.

    Berdasarkan uraian dan penelitian-penliitian yang telah dipaparkan di atas, maka

    peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perbedaan Sikap Terhadap Adat

    Pela antara Orang Maluku yang Bertempat Tinggal di Maluku dan yang Bertempat

    Tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

    adalah adanya perbedaan sikap yang signifikan terhadap Pela antara Orang Maluku

    yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Salatiga).

    Sikap orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku lebih positif terhadap Pela,

    daripada sikap orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga).

    METODE PENELITIAN

    Desain Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Variabel

    dependen pada penelitian ini adalah Sikap terhadap adat pela, sedangkan variabel

  • 11

    independen pada penelitian ini adalah tempat tinggal, yaitu Maluku dan daerah di luar

    Maluku (Kota Salatiga).

    Partisipan

    Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa asal Maluku yang bertempat

    tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di

    luar Maluku (Kota Salatiga). Sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang mahasiswa

    asal Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan 50 orang mahasiswa

    asal Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga). Karakteristik

    pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (a) Subjek adalah

    mahasiswa yang termasuk dalam kategori dewasa awal yang berusia 18 tahun - 27

    tahun; (b) Mahasiswa asal Maluku yang tinggal di Maluku; (c) Mahasiswa asal Maluku

    yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga).

    Prosedur Sampling

    Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental

    sampling.

    Instrumen Alat Ukur

    Penelitian ini menggunakan satu skala, yaitu skala sikap terhadap adat Pela yang

    disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan pada aspek Pela menurut aturan Pela yang

    dikemukakan oleh Bartels (2000). Skala sikap terhadap adat pela terdiri atas 4 aspek,

    yakni: 1) sesama pela wajib untuk saling membantu pada masa genting, “Saya merasa

    dirugikan dengan adanya aturan pela untuk selalu membantu sesama pela yang

    mengalami bencana alam”; 2) sesama pela wajib memberi bantuan jika diminta untuk

    melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan umum, “Saya pikir, saya

  • 12

    akan mengalami kesusahan bila saya tidak bersedia membantu merenovasi rumah adat

    di desa yang se-pela dengan desa saya”; 3) orang yang memiliki hubungan pela wajib

    berbagi makanan saat mendapat kunjungan dari sesama pela-nya, “Saya percaya bahwa

    saya tidak akan mendapatkan rezeki ketika saya tidak membagikan makanan kepada

    sesama pela”; 4) sesama pela tidak diizinkan menikah dan jika dilanggar maka akan

    mendapat sanksi, “Menurut saya, jika sesama Pela menikah maka akan mendapat

    hukuman dari ilah berupa cacat fisik pada keturunannya”.

    Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item, skala sikap terhadap pela yang

    terdiri dari 35 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 7 item dengan koefisien

    korelasi item totalnya bergerak antara 0,303-0,691, sehingga tersisa 28 item. Penentuan-

    penentuan uji lolos diskriminasi item menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang

    menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan lolos apabila nilai item

    total korelasi ≥0,30.

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai. Try out terpakai yaitu

    subjek yang digunakan untuk try out sekaligus digunakan untuk penelitian. Subjek

    dalam penelitian ini adalah orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan orang

    Maluku yang bertempat tinggal di luar luar Maluku (Kota Salatiga).

    Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan

    teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada skala sikap

    terhadap adat pela sebesar 0,888. Hal ini berarti skala sikap terhadap adat pela reliable.

    Prosedur Pengambilan Data

    Pengambilan data dilaksanakan setelah penulis mendapatkan surat ijin penelitian

    dari fakultas pada tanggal 14 November 2014. Penelitian ini di lakukan didua tempat

    yakni di luar Maluku (Kota Salatiga) yang berlangsung dari tanggal 15 November s/d 21

  • 13

    November dan di luar Maluku (Kota Ambon) yang dimulai pada tanggal 24 November

    s/d 29 November 2014. Pembagian skala psikologis di luar Maluku di lakukan di

    lingkungan sekitar kampus UKSW, Salatiga dan di Maluku pembagiannya dilakukan di

    beberapa kampus yang ada di Kota Ambon. Penulis membagikan 100 skala psikologis

    (50 di Maluku dan 50 di luar Maluku), yang mana skala yang dikembalikan pun

    berjumlah sama dengan yang dibagikan.

    HASIL PENELITIAN

    Uji Asumsi

    Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji

    normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

    Tabel 2: Uji Normalitas

    One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

    Ambon Salatiga

    N 50 50

    Normal Parametersa 85.08 82.60

    11.389 11.014

    Most Extreme Differences .108 .055

    .108 .036

    -.102 -.055

    Kolmogorov-Smirnov Z .385 .761

    Asymp. Sig. (2-tailed) .998 .609

    Pada Skala sikap terhadap adat pela pada orang Maluku yang tinggal di Maluku

    diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,385 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar

    0,998 (p>0,05). Sedangkan pada skor sikap terhadap adat pela pada orang Maluku yang

    tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,761 dengan

    probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,609. Dengan demikian kedua jenis sampel

    berdistribusi normal.

  • 14

    Sementara dari hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel berikut:

    Tabel 3: Uji Homogenitas

    Test of Homogeneity of Variances

    Sikap terhadap adat pela

    Levene Statistic df1 df2 Sig.

    .039 1 98 .844

    Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi dari uji homogenitas dari sampel

    orang Maluku yang tinggal di Maluku dan orang Maluku yang tinggal di luar Maluku

    (Kota Salatiga) sebesar 0.844. Karena signifikansi 0,844 > 0,05, maka dapat dikatakan

    bahwa sampel penelitian ini bersifat homogen atau memiliki varians yang sama.

    Hasil Analisis Deskriptif

    Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar

    deviasi sebagai hasil pengukuran skala sikap terhadap adat pela antara orang Maluku

    yang bertempat tinggal di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar

    Maluku, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

    Tabel 1: statistik deskriptif hasil pengukuran sikap terhadap pela

    Jenis Interval Kategori f % Mean SD Max Min

    Orang

    yang

    tinggal

    di

    Maluku

    91 ≤ x ≤ 112 Sangat Positif 10 20%

    11,014

    107

    56

    70 ≤ x < 91 Positif 33 66% 82,60

    49 ≤ x < 70 Negatif 7 14%

    28 ≤ x < 49 Sangat Negatif 0 0%

    Jumlah 50 100

    Orang

    yang

    tinggal

    di luar

    Maluku

    91 ≤ x ≤ 112 Sangat Positif 14 28%

    11,389

    108

    46

    70 ≤ x < 91 Positif 31 62% 85,08

    49 ≤ x < 70 Negatif 4 8%

    28 ≤ x < 49 Sangat Negatif 1 2%

    Jumlah 50 100

    Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar orang Maluku yang tinggal di

    Maluku memiliki sikap yang positif terhadap adat pela yaitu 33 orang atau sebesar 66%,

  • 15

    yang dimana skor paling rendah adalah 56 dan skor paling tinggi adalah 107, rata-

    ratanya sebesar 82,60 dengan standar deviasi 11,014. Begitu juga dengan orang Maluku

    yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) yang memiliki sikap yang positif terhadap

    adat pela yaitu 31 orang atau sebesar 62%, yang dimana skor paling rendah adalah 46

    dan skor paling tinggi adalah 108, rata-ratanya sebesar 85,08 dengan standar deviasi

    11,389.

    Uji-t

    Dari perhitungan uji-t, dapat dilihat pada tabel berikut:

    Tabel 4: Hasil Uji-t orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan

    orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga)

    Independent Samples Test

    Levene's

    Test for

    Equality of

    Variances t-test for Equality of Means

    F Sig. t Df

    Sig. (2-

    tailed)

    Mean

    Difference

    Std. Error

    Difference

    95% Confidence

    Interval of the

    Difference

    Lower Upper

    Sikap

    terhadap

    adat pela

    Equal variances

    assumed .039 .844 1.107 98 .271 2.480 2.241 -1.966 6.926

    Equal variances

    not assumed

    1.107

    97.89

    0 .271 2.480 2.241 -1.966 6.926

    Hasil perhitungan uji beda (uji-t) di atas, menunjukkan bahwa nilai signifikansi

    untuk perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal

    di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku memiliki nilai t-

    hitung sebesar 1,107 dengan signifikansi = 0,271 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa

    tidak ada perbedaan antara sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang

    bertempat tinggal di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku.

  • 16

    PEMBAHASAN

    Berdasarkan hasil analisa data penelitian tentang perbedaan sikap terhadap adat

    pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal

    di luar Maluku (Kota Salatiga) dengan menggunakan program Statistical Product and

    Service Solution (SPPS) versi 17.0, diperoleh nilai t-hitung adalah sebesar 1,107 dengan

    signifikansi 0,271 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini

    ditolak yang berarti tidak ada perbedaan sikap terhadap adat pela, antara orang Maluku

    yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Salatiga).

    Penulis mencoba menjelaskan penyebab terjadinya hipotesis penelitian yang

    ditolak. Salah satu alasan yang mendasar adalah digunakanya aturan-aturan pela oleh

    penulis sebagai aspek dalam pembuatan alat ukur, yang mana sebagian besar dari

    aturan-aturan pela tersebut lebih bersifat umum atau tergolong dalam perilaku sosial

    sehingga tanpa adanya ikatan pela pun seseorang dapat melakukannya. Salah satu

    contoh pernyataan dalam skala psikologi pada penelitian ini yang tergolong dalam

    perilaku sosial ialah “Saya bersedia memberikan bantuan dalam bentuk apa pun kepada

    para korban peperanagn di desa yang se-pela dengan desa saya”

    Jika dilihat dari penggolongan kategori sikap terhadap adat pela antara mahasiswa

    Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan mahasiswa Maluku yang

    bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga), keduanya sama-sama berada pada

    kategori sikap yang positif, walaupun memiliki mean yang berbeda-beda. Orang

    Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) memiliki mean sebesar 82,60,

    sedangkan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga)

    memiliki mean sebesar 85,08.

  • 17

    Hal di atas menunjukkan bahwa orang Maluku yang tinggal di Maluku maupun

    yang tinggal di luar Maluku memiliki sikap yang positif terhadap adat pela. Banyak

    faktor yang dapat mempengaruhi hingga terbentuknya sikap positif tersebut. Salah

    satunya yaitu adanya upacara panas pela yang sering dilakukan di Maluku. Pada saat

    upacara panas pela ini, banyak orang Maluku yang telah merantau ke luar Maluku

    kembali ke kampung halaman mereka. Upacara panas pela atau biking panas pela

    bertujuan untuk menjaga hubungan persaudaraan sebagai nilai dasar pela,

    memperkokoh solidaritas kehidupan kolektif dan mempertahankan keharmonisan

    sebagai suatu totalitas adat dengan leluhur serta mengingatkan dan menyadarkan

    masyarakat akan hubungan persaudaraan (Ralahallo, 2009).

    Faktor keluarga juga memiliki peran penting dalam pembentukan sikap yang positif

    terhadap adat pela. Menurut Azwar (2012), salah satu faktor yang mempengaruhi

    pembentukan sikap adalah adanya pengaruh orang lain yang dianggap penting, yang

    dalam hal ini adalah keluarga. Hal senada juga diungkapkan oleh Riecenska (1998)

    yang menjelaskan bahwa keluarga dan kerabat seorang individu memainkan peran

    penting dalam pemeliharaan kontinuitas tradisi budaya suatu etnis yang kemudian dapat

    menciptakan pondasi emosional yang positif individu terhadap etnisnya.

    Selain itu, dari pantauan penulis, orang Maluku yang telah lama merantau

    membentuk kelompok-kelompok sosial di tempat rantauan mereka, seperti yang ada di

    Riau (Ikatan Keluarga Besar Maluku Riau), di Jawa Tengah (Ikatan Keluarga Maluku)

    dan diberbagai daerah lainnya. Di Salatiga juga terdapat IKM (Kerukunan Keluarga

    Maluku) bahkan dikalangan Mahasiswa Maluku pun terdapat HIPMMA (Himpunan

    Pelajar Mahasiswa Maluku). Dalam kelompok-kelompok tersebut sering diadakannya

    kegiatan-kegiatan yang mensosialisasikan akan pentingnya menjaga nilai-nilat adat

  • 18

    Maluku. Dengan adanya kegiatan-kegiatan itulah maka dapat dibuktikan bahwa masih

    terdapat ikatan yang kuat antara orang Maluku yang telah merantau dengan daerah asal

    mereka, sehingga nilai-nilai adat mereka masih tetap terjaga meskipun mereka berada

    jauh dari Maluku. Hal ini jugalah yang dapat menjadi salah satu faktor terbentuknya

    sikap yang positif terhadap adat pela oleh orang Maluku yang bertempat tinggal diluar

    Maluku.

    PENUTUP

    Kesimpulan

    Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan sikap terhadap adat pela antara

    orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar

    Maluku (Kota Salatiga), diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

    1. Tidak ada perbedaan perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang

    bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota

    Salatiga).

    2. Sebagian besar orang Maluku yang tinggal di Maluku memiliki sikap yang positif

    terhadap adat pela yaitu 33 orang atau sebesar 66%. Begitu juga dengan orang

    Maluku yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) memiliki sikap yang positif

    terhadap adat pela yaitu 31 orang atau sebesar 62%.

  • 19

    Saran

    Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan

    hal-hal sebagai berikut:

    1. Bagi orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku

    Diharapkan untuk tetap mempertahankan sikap yang positif terhadap adat pela.

    Serta dapat menjaga dan melestarikan budaya adat pela sebagai identitas etnis

    Maluku yang telah ada dari dulu.

    2. Bagi orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku.

    Diharapkan juga untuk tetap mempertahankan sikap yang positif terhadap adat pela

    dan lebih waspada terhadap pengaruh yang berasal dari lingkungan tempat tinggal

    yang berbeda dari daereh Maluku yang sewaktu-waktu dapat mengubah sikap

    terhadap adat pela.

    3. Bagi orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan di luar Maluku

    Lebih meningkatkan kesadaran terkhususnya generasi muda bahwa dalam

    menjalankan adat pela sebaiknya lebih dipenuhi dengan rasa sukacita dan sukarela

    untuk melakukan kewajiban-kewajiban yang terdapat pada aturan-aturan pela baik

    secara umum maupun pada masing-masing desa yang ber-pela sehingga pada

    pelaksanaannya pun tidak ditemukan pelanggaran dan rasa takut yang timbul

    terhadap sanksi yang berlaku ketika melanggar aturan pela tersebut.

    4. Bagi pemerintah daerah.

    Lebih meningkatkan kesadaran warga Maluku terkhusunya terhadap pentingnya

    menjaga dan melestarikan budaya adat pela dengan mengadakan kegiatan-kegiatan

    daerah yang berhubungan dengan adat pela tersebut sehingga orang Maluku baik

  • 20

    yang bertempat tinggal di Maluku maupun di luar Maluku dapat terus memiliki

    sikap yang positif terhadap adat pela.

    5. Bagi peneliti selanjutnya

    Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut

    dari penelitian ini, sebaiknya lebih membahas mengenai mengapa orang Maluku

    yang telah beertempat tinggal di luar Maluku masih memiliki sikap yang positif

    terhadap adat pela dengan menggunakan pendekatan kualitatif pada penelitiannya.

  • 21

    DAFTAR PUSTAKA

    Azwar, S. (2011). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Edisi kedua. Cetakan XVI.

    Yogyakarta: Pustaka pelajar

    _______. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka pelajar

    Baan, E. (2007). Perbedaan kepercayaan terhadap upacara rambu solo‟ antara

    mahasiswa toraja yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan di luar Kabupaten

    Tana Toraja. Skripsi (Tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas

    Kristen Satya Wacana

    Baron, R.A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh (Jilid 1). Ciracas,

    Jakarta: Erlangga

    _____________________. (2005). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh (Jilid 2). Ciracas,

    Jakarta: Erlangga

    Bartels, D. (2000). Tuhanmu bukan lagi Tuhanku: perang saudara muslim-kristen di

    Maluku Tengah (Indonesia) setelah hidup berdampingan dengan toleransi dan

    kesatuan etnis yang berlangsung selama setengah millennium. Arizona: Yavapai

    College. Diunduh pada tanggal, 12 Juli 2013, dari

    http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/07/27/0012.html

    Dayakisni, T., & Yuniardi, S. (2008). Psikologi lintas budaya. Edisi revisi. Malang:

    UMM Press

    Ember, C.R., & Ember, M. (2011). Cultural anthropology. Thirteenth edition. Pearson

    Higher Education. Retrieved from

    http://www.pearsonhighered.com/bookseller/product/Cultural-

    Anthropology/9780205711208.page

    Fiske, A., Kitayama, S., Markus, H., & Nisbett, R. (1998). The cultural matrix of social

    psychology. In D. Gilbert, S. Fiske, & G. Lindzey (Eds.), The handbook of social

    psychology (4th ed., pp. 915–981). New York, NY: McGraw-Hill; Matsumoto, D.

    (Ed.). (2001). The handbook of culture and psychology. New York, NY: Oxford

    University Press.

    Kombong, E. (2010). Perbedaan sikap terhadap rambu solo‟ antara orang Tana Toraja

    yang bertempat tinggal di Salatiga dan yang bertempat tinggal di Tana Toraja.

    Skripsi (Tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya

    Wacana.

    Lasamahu, P. (2009). Gereja dan pela (suatu kajian sosio-teologis mengenai sikap

    jemaat GPM Amahai-Soahuku terhadap larangan pernikahan adat sebelum dan

    sesudah konflik Maluku. Skripsi (Tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Teologi,

    Universitas Kristen Satya Wacana.

    http://www.pearsonhighered.com/bookseller/product/Cultural-Anthropology/9780205711208.pagehttp://www.pearsonhighered.com/bookseller/product/Cultural-Anthropology/9780205711208.page

  • 22

    Makaruku, S. (2012). Pela sebagai sarana penyelesaian konflik antara suku alone dan

    wemale di kabupaten seram bagian barat propinsi Maluku (suatu kajian hukum

    adat). Jurnal Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Undayana

    Denpasar. Diunduh pada tanggal, 18 Februari 2013, dari

    http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/download/4442/3362

    Mercer, J., & Clayton, D. (2012). Psikologi sosial. Ciracas, Jakarta: Erlangga

    Mesoudi, A. (2009) How cultural evolutionary theory can inform social psychology,

    and vice versa. Psychological Review, 116, 929–952. Diunduh pada tanggal, 29

    Agustus 2014, dari

    http://www.saylor.org/site/textbooks/Principles%20of%20Social%20Psychology.

    pdf

    Mulyana, D. (2001). Komunikasi antarbudaya. Bandung: Rosdakarya

    Myers, D.G. (2012). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh (buku 1). Jakarta: Salemba

    Humanika

    Persatuan Pemuda Pela Gandong Gelar Deklarasi Damai. (2011, 29 November).

    Siwalima. Diunduh pada tanggal 2 November 2013, dari

    http://www.siwalimanews.com/post/persatuan_pemuda_pela_gandong_gelar_dekl

    arasi_damai

    Prihadi, H. (2012, 16 November). Malam budaya untuk spirit Maluku. Situs Resmi

    Pemerintah Kota Semarang. Diunduh pada tanggal 25 April 2014, dari

    http://semarangkota.go.id/portal/index.php/article/details/malam-budaya-untuk-

    spirit-maluku

    Ralahallo, R.N. (2009). Kultur damai berbasis tradisi pela dalam perspektif psikologi

    sosial. Jurnal psikologi, Vol. 36 No. 2, desember 2009: 177-188. Diunduh pada

    tanggal 13 Juni 2013, dari

    http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/50

    Riecanska, E. (1998). Contemporary Ethnicity, Maintenance Of Ethnic Culture And

    Ethnic Change: The Case Of The Slovak Americans In Western Pennsylvania.

    Human affairs, 8, 1998, 1, 68-84. Retrieved August 4, 2014, from

    https://www.sav.sk/journals/hum/full/hum198f.pdf

    Shiraev, E.B., & Levy, D.A. (2005). Psikologi lintas kultural. Edisi Keempat. Jakarta:

    Kencana

    Tanamal, P. (1985). Pengabdian dan perjuangan. Ambon: Yayasan Kapatta

    Thomas, F. (2010). Wacana Tradisi Pela dalam Masyarakat Ambon. Bahasa dan Seni

    FKIP Universitas Pattimura Ambon, 2, 166-180. Diunduh pada tanggal, 14 Juni

    2013, dari http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/4-Frans-Thomas.pdf

    http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/download/4442/3362http://www.saylor.org/site/textbooks/Principles%20of%20Social%20Psychology.pdfhttp://www.saylor.org/site/textbooks/Principles%20of%20Social%20Psychology.pdfhttp://www.siwalimanews.com/post/persatuan_pemuda_pela_gandong_gelar_deklarasi_damaihttp://www.siwalimanews.com/post/persatuan_pemuda_pela_gandong_gelar_deklarasi_damaihttp://semarangkota.go.id/portal/index.php/article/details/malam-budaya-untuk-spirit-malukuhttp://semarangkota.go.id/portal/index.php/article/details/malam-budaya-untuk-spirit-malukuhttps://www.sav.sk/journals/hum/full/hum198f.pdfhttp://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/4-Frans-Thomas.pdf

  • 23

    Widyarto, Q. (2007). Dinamika Interaksi dalam Kehidupan Masyarakat Keturunan

    Madura yang Tinggal di Dusun Pijetan, Desa Blayu, Kecamatan Wajak,

    Kabupaten Malang Tahun 1950-2012. Jurnal Ilmu Sosial Universitas Negeri

    Malang. Diunduh pada tanggal, 13 Agustus 2014, dari

    https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0

    CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-

    online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C0

    7C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobR

    Zw8twQtSW-

    oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=

    rja

    Yudha, I.P.P.K. (2014). Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan

    Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. (Tesis). Denpasar: Program Studi

    Kajian Budaya Universitas Udayana. Diunduh pada tanggal, 13 Agustus 2014,

    dari http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-940-1709744861-thesis.pdf

    Yusuf, Y. (1991). Psikologi antarbudaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

    http://fis.um.ac.id/http://fis.um.ac.id/http://fis.um.ac.id/https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttps://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal-online.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C07C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobRZw8twQtSW-oYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad=rjahttp://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-940-1709744861-thesis.pdf