bagian 1. metode pembelajaran - seminar...
TRANSCRIPT
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
P a g e [ 1 ]
BAGIAN 1. METODE PEMBELAJARAN
PENGEMBANGAN PEMIKIRAN KRITIS DAN KREATIF
DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI DENGAN MODEL PEMBELAJARAN
CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
Anindita Trinura NovitasariUniversitas Negeri Surabaya (UNESA)
AbstrakUpaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan denganpeningkatan mutu pendidikan. Perubahan paradigma pendidikan yang dahuluberpusat pada guru perlu dilakukan reformasi menjadi berpusat pada siswa.Proses pembelajaran ekspositori yang banyak menekankan pada aspekpengetahuan dan pemahaman kini menuju metode pembelajaran yang inovatif,aktif, dan kreatif. Salah satu model pembelajaran yang mengaktifkan siswaadalah kontekstual teaching and learning (CTL). CTL sebagai modelpembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme. CTL adalahstrategi pembelajaran yang menghubungkan pengetahuan pelajar dengan situasikehidupan nyata. CTL menerapkan 7 komponen pembelajaran efektif, yaitu:Konstruktivistik, Inquiry, question, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi,penilaian nyata. Melalui model pembelajaran CTL siswa diarahkan untukberpikir kritis dan kreatif. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendirimateri yang dipelajari dan dihubungkan dengan kehidupan nyata, sehinggamendorong siswa untuk menerapkannya dan terbentuk pengetahuan baru.
Kata Kunci: Konstruktivistik, pemikiran kritis dan kreatif, CTL
PENDAHULUAN
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif merupakan kemampuan yang sangat
esensial dalam kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek
kehidupan lainnya. Berpikir kritis merupakan berpikir secara beralasan, reflektif, dengan
menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai dan dilakukan.
Sedangkan berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus-menerus
menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan.
Kiasan yang digunakan Thomas A. Edison dalam Sudarma (2013) hidup ini ibarat
menabuh gendang. Banyak orang yang bisa menabuh gendang, tetapi tidak semua orang
mampu memainkannya dengan irama yang merdu. Banyak orang yang menggunakan
akal pikirannya, tetapi hanya sedikit orang yang mampu memainkan secara sehat dan
kreatif. Maksud dari pernyataan ini bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki nilai
kreatif. Namun tidak semua orang dapat mengembangkan kreativitasnya. Semua
bergantung pada kemauan manusianya. Ada yang berusaha mengembangkan ada pula
yang kurang peduli dengan kreativitasnya sehingga menjadi pribadi yang kurang
berkualitas.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 2 ] P a g e
Kondisi siswa yang ada saat ini bisa dikategorikan sebagai kondisi yang tidak
secara maksimal menampakkan adanya tingkat kritis dan kreatif siswa dalam
pembelajaran. Jika itu pun ada masih dalam ukuran minoritas (lebih sedikit). Kondisi
yang cenderung ada adalah siswa pasif dalam proses pembelajaran di kelas. Mereka
cenderung untuk takut dalam menyampaikan pendapat atau pertanyaan kepada guru
yang mengajar. Ada anggapan dalam intrinsik mereka bahwa pertanyaan ataupun
pendapat mereka bukan seberapa, atau dikhawatirkan mereka salah dan lain sebagainya.
Hal ini yang menjadi salah satu penghambat siswa berpikir kreatif.
Kondisi siswa yang pasif dalam pembelajaran saat ini menjadi hasil penelitian
yang disampaikan oleh Astika, et.al (2013) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya,
proses pembelajaran yang ada selama ini belum optimal karena siswa masih belum aktif
dalam mengikuti pelajaran siswa hanya duduk diam dan mendengarkan materi dari guru.
Pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru adalah pembelajaran ekspositori
(expository learning) yang berpusat pada guru. Guru menjadi sumber dan pemberi
informasi utama sehingga guru sangat aktif dalam proses pembelajaran tetapi siswa
sangat pasif, menerima dan mengikuti penjelasan guru. Pembelajaran yang seperti ini
menyebabkan siswa tidak dapat berpikir ilmiah dan ketrampilan berpikir kritis siswa
kurang optimal.
Berikut ini ada beberapa alasan yang disampaikan oleh Filsaime (2008:27)
penulis ini menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang tidak
mampu berpikir kritis dan kreatif yaitu: (1). Tidak dapat menghilangkan ketakutan akan
salah; (2). Prediksi akan kegagalan; (3). Kurangnya kepercayaan diri; (4). Kesulitan
berpikir; (5). Kurangnya motivasi intrinsik dan terlalu banyaknya motivasi ekstrinsik;
(6). Toleransi yang rendah pada ambiguitas.
Pembelajaran yang mengaktifkan siswa dalam interaksi sosial melalui penerapan
pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan nyata juga dibenarkan dalam tulisan Costa,
et.al (2013) menyatakan bahwa prinsip pengalaman belajar siswa sangat penting untuk
memperkenalkan tahap kegiatan yang mendekati realita kehidupan sosial yang dimulai
dari sesuatu yang telah mereka ketahui yaitu pemahaman awal, pengetahuan awal yang
mereka miliki. Metodologi yang mengembangkan dasar psikologi pendidikan akan
meningkatkan interaksi sosial siswa selama proses belajar dan tentunya dengan
bimbingan guru.
Dengan pembelajaran kontekstual ini, siswa akan memiliki pengetahuan yang
dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Akan
ada hubungan antara ide dengan aplikasi dalam konteks dunia nyata melalui
menemukan, memperkuat, dan menghubungkan antara pemahaman dengan pengalaman
sampai munculnya makna yang baru.
Melalui penjabaran dari latar belakang penulisan makalah ini di atas, maka
dirumuskan permasalahan apakah model pembelajaran Contextual Teaching And
Learning (CTL) dapat mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif siswa dalam
pembelajaran ekonomi?
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
P a g e [ 3 ]
PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
Nurhadi (2002) dalam Rusman (2014: 190) menyampaikan suatu konsep bahwa
Contextual Teaching And Learning (CTL) dapat menjadi konsep belajar yang membantu
guru dalam mengaitkan apa yang disampaikan dengan situasi dunia nyata siswa yang
mendorong siswa untuk berpikir dengan mengaitkan menemukan dan menghubungkan
pengetahuan yang dimilikinya dengan kenyataan di sekitarnya. Siswa diberi kesempatan
untuk melakukan, mencoba dan mengalami sendiri (learning to do) untuk memperkuat
pemilikan pengalaman belajar yang aplikatif.
Mengenai pembelajaran yang dituntut untuk mengaktifkan siswa disampaikan
oleh Sudarma (2013:198) disampaikan bahwa model pembelajaran yang monoton atau
doktriner, bukanlah pendekatan yang dapat menyadarkan siswa bahwa memiliki
kemampuan dalam dirinya. Pendekatan pembelajaran yang monoton justru akan
membunuh potensi siswa.
Untuk memperkuat pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa diperlukan
pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melakukan, mencoba dan mengalami sendiri. Melalui pembelajaran kontekstual
mengajar bukan transformasi pengetahuan dari guru terhadap siswa tapi lebih
ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari materi kemudian
menghubungkannya dengan kehidupan nyata dan menerapkannya dalam keseharian
siswa.
Interaksi langsung siswa dalam pembelajaran juga dibenarkan dalam penelitian
Albers, C (2008) yang menyatakan bahwa ketika siswa memiliki kesempatan untuk
berinteraksi dengan orang lain, mereka berhasil menginterpretasikan solusi dalam
pengajaran. Pengalaman dalam berkomunikasi mampu memberikan sumber potensi
pengetahuan tentang pengajaran. Interaksi yang terjadi secara konstruktif yang
mencakup pengetahuan tentang tujuan dan panduan implementasi dapat membangun
peningkatan pemikiran seseorang (memunculkan pengetahuan baru).
Belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2014:260) adalah (1). Belajar bukan
menghafal, tetapi upaya mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang
mereka peroleh. (2). Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta tetapi berdasar
pengetahuan mengikuti pengalaman yang dimiliki. Semakin luas pengetahuan seseorang
semakin efektif dalam berpikir. (3). Belajar adalah proses pemecahan masalah. Ini akan
menjadikan anak berkembang secara utuh bukan hanya intelektual, mental juga emosi.
(4). Proses pengalaman sendiri yang akan berkembang bertahap dari yang sederhana
menuju kompleks. Karena itu perkembangan setiap anak berbeda mengikuti irama
kemampuan masing-masing. (5). Belajar pada hakikatnya menangkap pengetahuan dari
kenyataan.
Untuk membangun aspek dari sikap ilmiah siswa, Astika (2013) menyatakan
paradigma dalam proses pembelajaran diharapkan mengalami perubahan proses
pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru (Teacher Centered) berubah menjadi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 4 ] P a g e
berpusat pada siswa (Student Centered). Untuk perubahan ini paradigma pembelajaran
tersebut diharapkan dapat mendorong siswa agar terlibat aktif dalam membangun
pengetahuan, sikap, serta perilaku.
Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, Marhaeni (2007) menyatakan
pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif dalam proses
inkuiri, yaitu proses pemecahan masalah yang dihadapinya sendiri (Student Centered). Di
bawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education yang
meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar. Peran guru adalah sebagai
fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah peserta didik
Dalam pembelajaran kontekstual dibutuhkan peran guru yang profesional. Guru
diharapkan untuk dapat mendesain lingkungan belajar yang betul-betul dapat
berhubungan dengan kehidupan nyata. Maksudnya guru dituntut untuk dapat mengatur
strategi pembelajaran agar makna dapat diperoleh siswa bukan sekedar memberi
informasi. Guru diharapkan dapat mengelola kelas sebagai fasilitator yang bekerjasama
dengan siswa dalam menemukan hal yang baru.
Profesionalisme guru dan metode penyampaian materi ajar kepada siswa di kelas,
sangat berpengaruh terhadap pemahaman siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Dameus,
et al (2004) menyatakan bahwa para pengajar tertarik untuk membuat para siswa bisa
memahami dan belajar lebih baik. Pengajar akan mengajar lebih baik terkait
penyampaian materi. Konsekuensi dari pengajaran yang tidak efektif sangat krusial jika
siswa tidak paham yang mereka pelajari. Mereka akan kesulitan saat lulus dan
mengaplikasikan ilmu mereka.
Berkaitan dengan kinerja guru, Sukidjo, et.al. (2013) menyatakan dalam
penelitiannya bahwa salah satu indikator pembelajaran dianggap berhasil apabila
mahasiswa merasa puas terhadap pelaksanaan pembelajaran. Partner (2009) dalam
Sukidjo (2013) menyampaikan bahwa keberhasilan proses pembelajaran sangat terkait
dengan minat, perhatian, dan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Kepuasan
siswa dalam proses pembelajaran dikaji dalam berbagai aspek yaitu materi, sarana,
metode pembelajaran, dan penyampaian materi serta media pembelajaran.
Menurut Brown & Saks (1987) dalam Maas & Meijen (1999) menyatakan bahwa
guru akan mencoba untuk memberikan siswanya kesempatan untuk mencapai hasil
pembelajaran menurut kemampuan mereka, bagaimanapun, tidak semua siswa memiliki
kemampuan yang sama dan guru mengatur perannya bagaimana memahami atas siswa-
siswanya. Pemahaman dan perhatian kepada siswa bagaimanapun, merupakan hal yang
butuh kesabaran dan merupakan hal yang tidak mudah bagi guru dalam menghadapi
karakter siswa yang beragam. Karenanya prestasi dari siswa-siswanya dapat dijadikan
tolak ukur bagi guru dalam memperlakukan siswa dan memahami kemampuannya.
Pentingnya metode pengajaran juga disampaikan dalam penelitian Link and
Rutledge (1975) dalam Dameus, et al (2004) yang menyatakan bahwa, ketika siswa
memiliki pemahaman lebih terhadap materi pelajaran, maka keuntungan akumulatif di
masa depan pada pihak individu maupun sosial akan lebih tinggi. Ini adalah tanggung
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
P a g e [ 5 ]
jawab lembaga pendidikan serta pendidik untuk mencari metode pengajaran yang lebih
efektif untuk memenuhi ekspektasi individu dan masyarakat terhadap pendidikan.
Meningkatkan metode pengajaran bisa membantu sebuah lembaga pendidikan mencapai
target meraih hasil pembelajaran yang lebih baik.
Berdasarkan kajian teori di atas, dapat kita pahami bahwa di dalam CTL tidak
hanya siswa yang dituntut memahami materi, tapi guru juga dituntut memiliki
kemampuan melaksanakan proses pembelajaran CTL yang baik. Melalui pemahaman
konsep yang benar dan mendalam terhadap CTL itu sendiri, kemampuan guru akan
terbekali karena memang sudah dibekali konsep materi pembelajaran yang sudah sangat
kuat.
BERPIKIR KRITIS
Definisi berpikir kritis dikonsepkan oleh Ernis (1986) dalam Filsaime (2008:58)
berpikir kritis sebagai hasil interaksi serangkaian dugaan terhadap berpikir kritis,
dengan serangkaian kecakapan untuk berpikir kritis. Dugaan-dugaan berpikir kritis yang
disampaikan Erni meliputi: (1). mencari pernyataan yang jelas atas pertanyaan. (2).
mencari alasan. (3). Mencoba untuk berpengetahuan luas; (4). Berusaha untuk tetap
relevan pada point utama.
Menurut Dewey dalam Fisher (2009) ia menamakan berpikir kritis sebagai
berpikir reflektif dan mendefinisikannya sebagai pertimbangan yang aktif, persistent
(terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang
diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya.
Berdasarkan definisi Dewey ini, ia menyatakan bahwa berpikir kritis sebagai
sebuah proses aktif. Bagi Dewey jika informasi atau gagasan diterima begitu saja maka
terjadi proses berpikir yang pasif. Bagi Dewey memaknai proses berpikir kritis secara
esensial adalah sebuah proses aktif di mana kita mengajukan pertanyaan untuk diri kita
sendiri, menemukan informasi yang relevan untuk diri kita juga, akan lebih baik dari
pada menerima informasi mentah dari orang lain sehingga kita akan dikatakan pasif.
Kecakapan dalam berpikir kritis juga menjadi dasar dalam konsep berpikir kritis
yang disampaikan oleh Molan (2012: 12) yang menyatakan bahwa walaupun penting
dalan kehidupan sehari-hari, berpikir kritis menjadi sesuatu yang sangat penting bagi
dunia ilmu pengetahuan dan akademik. Karena ilmu pengetahuan selalu berkutat dengan
kebenaran-kebenaran ilmiah berupa tesis dan hipotesis yang akan dijadikan dasar
pengendalian. Kebenaran ini hanya bisa diuji melalui olah pikir yang kritis. Untuk bisa
melakukan pengujian dengan baik, dan akhirnya sampai pada kebenaran sejati, kegiatan
berpikir kritis harus berjalan melalui argumen, penalaran, dan penyimpulan.
Kecakapan siswa dalam berpikir kritis masih rendah, disampaikan oleh Astika
(2013) dalam hasil penelitiannya bahwa rendahnya berpikir kritis ini tampak dari
perilaku siswa yaitu rasa ingin tahu dalam mencari informasi masih rendah. Hal ini
terbukti dari siswa yang hanya menerima informasi dari guru. Sehingga pemahaman
siswa terhadap informasi tersebut masih lemah. Siswa yang cenderung pasif dan guru
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 6 ] P a g e
yang hanya memberikan informasi serta model pembelajaran yang masih kurang tepat
dalam proses pembelajaran akan mempunyai dampak. Dampak tersebut yaitu siswa
tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya terutama kemampuan berpikir
kritis. Hal ini akan mengakibatkan ketika siswa dihadapkan pada suatu masalah akan
susah untuk menyelesaikannya. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa kemampuan
siswa untuk mencari tahu dan mengembangkan informasi masih rendah sehingga dapat
dinyatakan kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah.
Ada beberapa penghalang untuk berpikir kritis menurut Browne dan Stuart
(1990) dalam Filsaime (2008:94) penghalang tersebut seperti: (1). Tidak mampu
menjaga sikap berpikir kritis, sikap berpikir kritis identik dengan mental yang kuat.
Seorang pemikir kritis tidak akan meninggalkan sikap: mencari sebab dan jawaban setiap
kesempatan (kecerdasan), mencari dan menghargai pandangan perspektif alternatif
(bersifat terbuka), aktif dalam bertanya dalam isu apapun (nalar kritis); (2). Pengalaman
pribadi yang kuat, semakin seseorang memiliki pengalaman akan terjadi banyak
persinggungan dengan fenomena, akan semakin kuat keinginannya untuk bertanya; (3).
Terlalu menyederhanakan, kebanyakan orang tidak mau berpikir kompleks lebih
memilih berpikir simpel. Hal ini mematikan berpikir kritis ketika terlalu
menyederhanakan dengan gagal mempertimbangkan bahwa ada perspektif-perspektif
lain, yang cukup potensial. Di sini berpikir kreatif orang tersebut akan mati; (4).
Kebutuhan psikologis yang kuat, ditandai dengan karakter seseorang yang tidak terbuka
dengan alternatif pendapat orang lain, selalu merasa kesimpulan sendiri yang paling
benar padahal sebaliknya, karakter orang yang seperti ini yang juga mematikan
ketrampilan berpikir kritis.
Penelitian yang dilakukan oleh Nixon-Ponder (1995) dalam Dameus, et al (2004)
menyatakan bahwa masalah yang ada merupakan alat untuk membangun dan
memperkuat skill berpikir kritis. Menurutnya, pertanyaan jenis induktif mendorong
terciptanya dialog dalam ruang kelas. Proses ini mencakup lima langkah termasuk
mendeskripsikan konten, mendefinisikan problem, mengenalinya, mendiskusikan dan
mencari alternatif pemecahannya.
Berpikir kritis dengan jelas menuntut interpretasi dan evaluasi terhadap
observasi, komunikasi, dan sumber-sumber informasi lainnya. Ia juga menuntut
keterampilan dalam memikirkan asumsi-asumsi dalam mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang relevan, dalam menarik implikasi-implikasi. Lebih lanjut, bahwa
berpikir kritis menggunakan jenis berpikir kritis dan reflektif.
BERPIKIR KREATIF
Torrance (1964) dalam Filsaime (2008: 3) menyatakan berpikir kreatif sebagai
salah satu perkembangan puncak dalam tahap pertumbuhan seseorang. Meskipun
pertumbuhan budaya mempengaruhi pertumbuhan puncak, namun anak-anak biasanya
mengalami pertumbuhan puncak di usia 4,5 tahun.
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
P a g e [ 7 ]
Sudarma (2013) mengklasifikasi definisi kreativitas menjadi empat aspek yaitu:
(1). Kreativitas diartikan sebagai sebuah kekuatan atau energi yang ada dalam diri
individu. Energi ini menjadi dorongan bagi seseorang untuk melakukan yang terbaik. (2).
Kreativitas dimaknai sebagai sebuah proses dalam mengelola informasi, membuat
sesuatu, atau melakukan sesuatu. (3). Kreativitas adalah sebuah produk. Penilaian orang
lain terhadap kreativitas seseorang dikaitkan dengan kualitas produknya; (4). Kreativitas
dimaknai sebagai person, kreativitas dalam hal ini dimaknai pada individunya.
Ada 3 dorongan untuk menjadikan orang kreatif menurut Robert Franken (dalam
Sudarma (2013) yaitu: (1). Kebutuhan untuk memiliki sesuatu yang baru, bervariasi dan
lebih baik; (2). Dorongan untuk mengomunikasi nilai dan ide; (3). Keinginan untuk
memecahkan masalah. Dorongan inilah yang membuat seseorang ingin berkreasi.
Untuk dapat berpikir kreatif, kita harus menghilangkan penghalang-penghalang berpikir
kreatif. Menurut Crutchfield (1973) dalam Filsaime (2008:27) menemukan faktor
penghalang berpikir kreatif, yaitu: (1) Takut kegagalan, ketidaksesuaian atau aib,
ketakutan untuk merealisasikan pemikiran, ide, gagasan karena khawatir dikritik di
depan umum telah tumbuh dalam diri dan ini menghambat kreativitas; (2). Kurang
percaya diri : pengaruh negatif dari dalam diri dan dari luar diri; (3). Kesulitan berpikir;
(4). Kurangnya motivasi intrinsik (dari dalam diri : motivasi) dan terlalu banyaknya
motivasi ekstrinsik (dari luar diri : reinforcement); (5). Toleransi yang rendah pada
ambiguitas (terbuka terhadap banyak kemungkinan).
PEMBAHASAN
Pembelajaran pada umumnya dilaksanakan oleh guru banyak menekankan pada
aspek pengetahuan dan pemahaman. Untuk itu diperlukan metode pembelajaran yang
inovatif, aktif, dan kreatif salah satunya adalah pendekatan Contextual Teaching And
Learning (CTL). Pembelajaran ini dapat membantu siswa dalam menguasai materi
pembelajaran melalui pemikiran kritis dan kreatif dalam mengonstruksi pengetahuan
mereka melalui pengalaman.
Pembelajaran contextual teaching and learning – CTL yang merupakan salah satu
pendekatan pembelajaran, mempelajari pelajaran sesuai topik yang dipelajarinya dengan
aktif. Siswa dilibatkan langsung dalam pengalaman dan bukan hanya dalam proses
mencatat saja. Aplikasi diperkaya dengan pondasi teori yang dimiliki siswa. Diharapkan
siswa dapat berkembang secara utuh bukan aspek kognitif saja tetapi juga aspek afektif
dan psikomotor.
Konsep dan asas dari model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL),
ada tujuan ke arah menciptakan siswa yang kritis dan kreatif. Dalam CTL siswa diberi
kesempatan untuk mencari dan menemukan sendiri materi berdasarkan topik yang
sudah ditentukan. Kemudian siswa diharapkan mampu menghubungkan dari
pemahaman yang pernah diperoleh di sekolah dengan kejadian di sekitarnya.
Pengalaman yang diperoleh siswa sendiri ini akan menjadikan pemahaman siswa
terhadap materi yang diperoleh di sekolah dapat melekat kuat di ingatannya
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 8 ] P a g e
(memorinya). Terakhir siswa diharapkan dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari karena materi yang diperoleh di sekolah bukan hanya untuk dihafal tetapi
untuk diaplikasikan.
Melalui pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL), siswa dapat
menggunakan pengetahuan awal yang sudah pernah dimiliki melalui proses
konstruktivistik dapat membangun pengetahuan baru yang memiliki makna. Kemudian
siswa mengkonstruksi hingga mereka dapat membangun pengetahuan baru bukan
sekedar menerima pengetahuan. Dalam proses inquiry, siswa melakukan perpindahan
dari pengamatan kondisi nyata disesuaikan dengan pemahaman terhadap suatu konsep
hingga muncul pemahaman baru. Di sini proses berpikir kritis siswa mulai bekerja di
mana mereka dengan berpikir kritis dapat menemukan solusi pemecahan masalah. Pada
komponen questioning menjadi kegiatan guru untuk membimbing, mendorong, dan
menilai kemampuan berpikir siswa, sehingga tercapai yang diharapkan siswa dapat
berpartisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dalam CTL juga terdapat komponen
Learning Community, memiliki makna bahwa dalam CTL terdapat sekelompok orang
yang terikat dalam kegiatan belajar, bertukar pengalaman, berbagi ide, dan bekerjasama
dengan orang lain dalam proses pembelajaran. Kemudian ada komponen modelling,
merupakan pemberian contoh langsung dalam proses pembelajaran. Pada komponen
Reflection, guru mengajak siswa untuk berpikir kembali tentang apa yang telah kita
pelajari, mencatat apa yang telah kita pelajari, dan membahas apa yang telah kita lakukan
untuk membangun suatu perbaikan. Terakhir komponen penilaian Authentic Assessment
memiliki makna pengetahuan dan kemampuan siswa menjadi tolak ukur bagi penilaian
guru melalui penilaian produk atau kinerja secara komprehensif.
Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses belajar yang bertujuan
membantu peserta didik untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajari
dengan mengaitkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun karakteristik pembelajaran
berbasis CTL ini adalah kerjasama, saling menunjang, menyenangkan, tidak
membosankan, belajar lebih bergairah, terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, dan
membudayakan siswa aktif.
Sesuai dari konsep model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL),
bahwa pengetahuan terhadap suatu objek diperoleh siswa melalui mengkonstruksi
sendiri pengalamannya secara aktif dan bertahap sampai muncul pemahaman baru, maka
di sini butuh peran guru yang profesional. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek
dalam pendidikan dengan segala keunikannya. Siswa adalah manusia yang aktif dalam
menggali potensinya sendiri. Kalaupun guru menyampaikan informasi kepada siswa,
guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi tersebut untuk lebih
bermakna dalam kehidupan mereka.
Melalui konsep dan asas pembelajaran TCL ini, dapat kita temui di beberapa
bagian pelaksanaannya (implementasinya) adalah mengembangkan ketrampilan berpikir
kritis dan kreatif pada siswa. Asumsi atau latar belakang yang mendasari dari konteks
CTL adalah: (1). Belajar bukan proses menghafal tapi mengkonstruksi pengetahuan
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
P a g e [ 9 ]
berdasarkan pengalaman; (2) belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta, tapi ada
keterkaitan antar runtutannya jika siswa dapat menggunakan pola pikir; (3). Belajar
adalah proses pemecahan masalah; (4). Belajar adalah proses pengalaman sendiri dari
yang sederhana menjadi kompleks; (5). Belajar adalah menangkap pengetahuan dari
kenyataan.
Peningkatan berpikir kritis akan diikuti kecakapan berpikir kritis, satuan
pendidikan dapat mulai merumuskan pembelajaran yang tepat untuk
mengimplikasikannya. Seperti pendapat Olsen, 1990 (dalam Filsaime, 2008:78)
disampaikan dalam tulisannya bahwa dalam tahun-tahun terakhir, telah ada anjuran
untuk para pendidik agar memberi perhatian yang lebih pada perkembangan dan
evaluasi kecakapan-kecakapan berpikir kritis. Berpikir kritis juga dianggap sebagai
tujuan pendidikan atau tujuan utama dari semua usaha pendidikan.
Korelasi dari CTL dalam mengembangkan ketrampilan berpikir kreatif siswa,
dapat diserap melalui pemahaman empat aspek dalam kreativitas yaitu: (1). Kreativitas
dimaknai sebagai kekuatan atau energi; (2). Kreativitas dimaknai sebagai proses; (3).
Kreativitas dikenal sebagai sebuah produk; (4). Kreativitas dikenal sebagai person.
Berdasarkan informasi ini disimpulkan bahwa kreativitas adalah kecerdasan yang
berkembang dalam diri individu, dalam bentuk sikap, kebiasaan, dan tindakan dalam
melahirkan sesuatu yang baru dan orisinil untuk memecahkan masalah.
Asas konstruktivisme, inkuiri, dan refleksi sepertinya mencakup dalam kreativitas,
bahkan asas-asas yang lainnya. Seperti yang kita tau bahwa kreativitas adalah kecerdasan
dalam diri seseorang yang berkaitan dengan sikap, kebiasaan, dan tindakan dalam
melahirkan sesuatu yang orisinil. Dapat kita temukan juga hal ini dalam konstruktivisme
di mana siswa dijadikan aktif dalam mengonstruksi pengetahuannya berdasarkan
pengalaman. Dalam proses konstruktivisme ini terdapat ketrampilan kreatif. Siswa
dibentuk untuk menjadi pribadi yang memiliki sikap, kebiasaan, dan tindakan melalui
proses asimilasi dan akomodasi akomodasi hingga terbentuk pengetahuan atau
pemahaman yang baru.
Hasil penelitian yang mengajak siswa untuk mulai belajar bertanya dan berpikir
kritis di kelas seperti penelitian yang dilakukan oleh Sadia (2008: 4) yang menyatakan
Berdasarkan strategi-strategi pengembangan keterampilan berpikir kritis dan lima kunci
dalam menciptakan atau mengkreasi suasana belajar yang interaktif (mulai pembelajaran
dengan masalah kontroversi, gunakan keheningan untuk membangkitkan refleksi, atur
ruang kelas untuk membangun interaksi, perpanjang waktu pembelajaran, ciptakan
lingkungan belajar yang nyaman), maka model pembelajaran yang sesuai dalam upaya
mempromosikan keterampilan berpikir kritis siswa yaitu pembelajaran berbasis
masalah, pembelajaran kontekstual, siklus belajar, dan model pembelajaran sains-
teknologi-masyarakat.
Dalam siswa membangun pemikiran kritis dan kreatif mereka melalui
mengkonstruksi pemahamannya siswa dapat selalu meminta bimbingan dari guru
sebagai fasilitator. Hasil penelitian Qisthy, F, et al (2012) menyatakan bahwa pada proses
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 10 ] P a g e
perkembangannya, berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan salah satunya
ditentukan oleh kompetensi guru. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator yang
bertugas untuk mengoptimalkan keaktifan dan kreativitas siswa.
Guru tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan teori saja tetapi
kemampuan untuk menyampaikan materi pelajaran agar pembelajaran menjadi hal yang
menyenangkan bagi siswa sehingga siswa dapat dengan mudah memahami materi yang
disampaikan oleh guru. Selain itu guru juga mengondisikan siswa dalam kelas untuk
berada dalam gaya belajar yang aktif. Sebagai tindakan menciptakan daya berpikir
kreatif, siswa dipancing untuk bertanya dengan memberi pertanyaan yang bersifat
rangsangan dan dapat berupa reinforcement ketika siswa menyampaikan pendapat atau
tanggapan.
CTL sebagai model pembelajaran yang dapat membantu guru mempermudah
pemahaman siswa dengan mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapan dalam kehidupan mereka dengan menerapkan tujuh komponen utama
pembelajaran yang efektif (konstruktivistik, inquiry, question, masyarakat belajar,
pemodelan, reflection, penilaian yang sebenarnya.
Berdasarkan uraian paragraf di atas, bisa kita pahami bahwa pada intinya
pengembangan siswa melalui model pembelajaran CTL di situ siswa benar-benar
dikembangkan kecerdasan pola pikir untuk menjadi individu yang kritis dan kreatif.
Melalui tindakan aktif dalam mengonstruksi pengetahuan yang dimiliki berdasarkan
pengalaman untuk melahirkan pengetahuan dan pemahaman baru melalui bimbingan
dan arahan guru sebagai fasilitator. Proses mengonstruksi sebagai wadah untuk berpikir
kritis, sedangkan menghasilkan pengetahuan dan pengalaman baru sebagai wujud
ketrampilan berpikir kritis dan kreatif siswa.
SIMPULAN
Berdasarkan penulisan di atas, maka perumusan masalah dalam makalah ini dapat
disimpulkan bahwa:
1. Melalui pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL), dapat melatih siswa
untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya secara optimal
melalui arahan dan bimbingan guru sebagai fasilitator bagi siswa dalam proses
mencari dan menemukan materi, kemudian menghubungkannya, dan
menerapkannya dalam keseharian mereka.
2. Dalam pembelajaran ekonomi yang cenderung didominasi oleh konsep teoretis dan
pemahaman tentang kurva, dibutuhkan pembelajaran yang efektif untuk
meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi. CTL sebagai salah satu
pembelajaran efektif yang dapat diterapkan untuk siswa secara aktif berdiskusi dan
mengaitkan dengan kehidupan nyata sehingga dapat memperdalam pemahaman
siswa.
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
P a g e [ 11 ]
3. Guru sebagai fasilitator dalam penerapan model pembelajaran CTL, diharapkan
menguasai materi tentang CTL selain materi pembelajaran yang sudah pasti
dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Albers, C. (Januari 2008). Improving Pedagogy Through Action Learning and ScholarshipOf Teaching and Learning. Journal of International Teaching Sociology, Page 79-86.
Astika, U. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap SikapIlmiah dan Keterampilan Berpikir Kritis. e-Jurnal Program Pasca SarjanaUniversitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA, Vol. 3.
Costa, R, et al. (September 2014). Effective Teaching Methods In The Master's Degree:Learning Strategies, Teaching-Learning Processess, Teacher Training. EuropeanScientific Journal, Edition Vol. 1.
Dameus, A. (September 2004; 48,3). Effectiveness of Inductive and Deductive TeachingMethods in Learning Agricultural Economics: A Case Study. ProQuest AgricultureJournals, Pg 7.
Filsaime, D. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: PreatasiPustaka.
Fisher, A. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Marhaeni. (2007). Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik Dalam RangkaMenciptakan Pembelajaran Yang Efektif dan Produktif. Makalah LokakaryaPenyusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Fakultas Teknologi PertanianUniversitas Udayana 8-9 Desember 2007, Denpasar.
Maas, C. and Maijen, G. (1999). Problem Student: A Contextual Phenomenon. SocialBehaviour and Personality; 1999; 27;4; ProQuest Sociology, Pg 387.
Molan, B. (2012). Logika (Ilmu dan seni berpikir kritis). Jakarta: P.T Indeks.
Rusman. (2014). Model-model pembelajaran (mengembangkan profesionalisme guru).Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sadia, I. (2008, April). Model Pembelajaran Yang Efektif Untuk MeningkatkanKeterampilan Berpikir Kritis (Suatu Persepsi Guru). Jurnal Pendidikan danPengajaran UNDIKSHA, No.2 Tahun XXXXI.
Sanjaya, W. (2014). Strategi Pembelajaran (berorientasi standart proses pendidikan).Jakarta: Kencana.
Sudarma, M. (2013). Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta:PT. RAJA GRAFINDO PERSADA.
Sukidjo, et al. (2013). Pengembangan Character Building dengan Contextual Teaching andLearning dalam Pembelajaran Perpajakan di Jurusan Pendidikan EkonomiFakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Pendidikan, Vol 22,Nomor 1, Maret 2013.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 12 ] P a g e
Qisty, F, et al. (2012). Efektivitas Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)Pokok Bahasan Permintaan, Penawaran, dan Terbentuknya harga Pasar TerhadapPeningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII SMP Negeri 5 Cilacap Tahun Pelajaran2011 / 2012. Economic Education Analysis Journal I (2) (2012).
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
P a g e [ 13 ]
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
(CTL) PADA MATERI PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI DAN
BISNIS DI SMK
Winaika IrawatiUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakPembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankanpada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan pesertadidik secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan danmenerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melaluiproses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akanmerasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalamterhadap apa yang dipelajarinya. Dengan diterapkannya model pembelajaranCTL siswa menjadi lebih kreatif dan kritis dengan kondisi perilaku konsumen.Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu gurumengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswadan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinyadengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkantujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme(constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar(learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authenticassessment). Penggunaan model pembelajaran CTL perlu diberikan oleh pendidikdalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik. Belajardengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan kemampuanpeserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambilkeputusan secara objektif dan rasional.
Kata Kunci: Pendekatan kontekstual, perilaku konsumen
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan
dirinya dan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, sehingga manusia
mampu untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi, menuju arah yang lebih baik.
Pembelajaran adalah membelajarkan peserta didik menggunakan asas pendidikan
maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran
merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai
pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Syaiful Sagala,
2006: 61).
Proses belajar-mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Dalam proses ini
siswa membangun makna dan pemahaman dengan bimbingan guru. Kegiatan belajar-
mengajar hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan hal-hal
secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru harus melibatkan
siswa secara aktif. Di sekolah, terutama guru diberikan kebebasan untuk mengelola kelas
yang meliputi strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang efektif,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 14 ] P a g e
disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, guru, dan sumber
daya yang tersedia di sekolah.
Proses pembelajaran membutuhkan metode yang tepat. Kesalahan menggunakan
metode, dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan. Dampak
yang lain adalah rendahnya kemampuan bernalar peserta didik dalam pembelajaran. Hal
ini disebabkan karena dalam proses peserta didik kurang dilibatkan dalam situasi
optimal untuk belajar, pembelajaran cenderung berpusat pada pendidik, dan klasikal.
Selain itu peserta didik kurang dilatih untuk menganalisis permasalahan, jarang sekali
peserta didik menyampaikan ide untuk menjawab pertanyaan bagaimana proses
penyelesaian soal yang dilontarkan guru.
Metode mengajar merupakan suatu komponen di dalam kurikulum pemasaran.
Agar suatu kurikulum pemasaran dapat tersusun menjadi suatu satuan yang utuh, maka
diperlukan cara bagaimana seorang pendidik menyampaikan struktur-struktur dan
konsep-konsep pemasaran kepada peserta didik sedemikian rupa sehingga mereka ikut
aktif berpartisipasi di dalam proses belajarnya yang diperoleh baik pengalaman praktis
maupun pengetahuan teori.
Materi perilaku konsumen dalam sekolah menengah kejuruan merupakan materi
yang mampu menjadikan dasar pengetahuan siswa dalam memahami pengertian dari
perilaku konsumen, pola konsumsi, watak konsumen serta perilaku konsumen dalam
pembelian. Namun untuk membuat pemahaman siswa terhadap materi prinsip-prinsip
bisnis ke dalam kehidupan sehari-hari perlu adanya pemahaman yang mendalam melalui
sebuah model pembelajaran.
Dari beberapa model pembelajaran, ada model pembelajaran yang menarik dan
dapat memicu peningkatan penalaran peserta didik yaitu model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL). Pada dasarnya, pembelajaran CTL adalah suatu sistem
pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan
muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari peserta didik. Dalam
pembelajaran ini peserta didik harus dapat mengembangkan ketrampilan dan
pemahaman konsep pemasaran untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian penggunaan model pembelajaran CTL perlu diberikan oleh pendidik
dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik. Belajar dengan
model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan kemampuan peserta didik
dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil keputusan secara objektif dan
rasional. Di samping itu juga akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis,
logis, dan analitis. Karena itu peserta didik harus benar-benar dilatih dan dibiasakan
berpikir secara kritis dan mandiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan perbaikan proses belajar
dengan Penerapan Metode Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)Pada
Materi Perilaku Konsumen Untuk Meningkatkan Profesionalisme Pendidik Dalam
Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia2015.
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
P a g e [ 15 ]
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
Untuk mendeskripsikan penerapan model pembelajaran Contextual Teaching And
Learning (CTL) pada Materi Perilaku Konsumen dalam pembelajaran ekonomi dan bisnis
di SMK. Kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan wacana dalam mempelajari
ilmu kependidikan khususnya dalam bidang ekonomi dan juga sebagai bahan referensi
dalam menyusun tulisan serupa.
Pengertian dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning
(CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata
pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara
pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga,
warga Negara dan tenaga kerja.
Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme
(constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment).
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen yaitu konstruktivisme, inkuiri,
bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. Sebuah
kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh prinsip tersebut
dalam pembelajarannya. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi
apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya (Depdiknas, 2002, dikutip dari buku
Trianto).
Dalam penerapan model pembelajaran CTL, terdapat tujuh komponen pendekatan
CTL yaitu:
a) Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam
struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme,
pengalaman itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari
dalam diri seseorang. Oleh sebab itu, pengalaman terbentuk oleh dua faktor penting
yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk
menginterpretasikan objek tersebut.
b) Inkuiri
Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan
melalui proses berpikir secara sistematis. Proses inkuiri dilakukan dalam beberapa
langkah: Merumuskan masalah, Mengajukan hipotesis, Mengumpulkan data, Menguji
hipotesis berdasarkan data yang ditemukan dan Membuat kesimpulan.
c) Tanya Jawab
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 16 ] P a g e
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat
dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab
pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Pertanyaan
pendidik digunakan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir peserta didik, sedangkan
pertanyaan peserta didik merupakan wujud keingintahuan. Dalam suatu
pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: Menggali
informasi dan kemampuan peserta didik dalam penguasaan materi pelajaran,
Membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar, Merangsang keingintahuan
peserta didik terhadap sesuatu, Memfokuskan peserta didik pada suatu yang
diinginkan dan Membimbing peserta didik untuk menemukan atau menyimpulkan
sesuatu.
d) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep Masyarakat Belajar (Learning Community) dalam CTL menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Dalam kelas CTL, asas
ini dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar.
e) Pemodelan (Modeling)
Yang dimaksud dengan asas pemodelan, adalah proses pembelajaran dengan
memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta didik.
Misalnya pendidik memberikan contoh bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat
asing dan lain sebagainya.
f) Refleksi (Reflection)
Yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang
bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum
diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan.
g) Penilaian Nyata (Authentic Assessment)
Prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan
sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada pembelajaran
seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada
diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil
tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh siswa.
Perilaku Konsumen
Menurut Philip Kotler dan Keller (2009:166) perilaku konsumen didefinisikan
sebagai: Studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli,
menggunakan dan bagaimana barang dan jasa, ide atau pengalaman untuk memuaskan
kebutuhan keinginan mereka.
Menurut Zaltman dan Melanie Wallendorf (dalam A.A. Anwar Prabu
Mangkunegara, 2002:4) Perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan, proses dan
hubungan sosial yang dilakukan individu, kelompok dan organisasi dalam mendapatkan,
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
P a g e [ 17 ]
menggunakan suatu produk atau lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya
dengan produk, pelayanan, dan sumber-sumber lainnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang
berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, menggunakan
barang-barang atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi lingkungan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menurut Kotler dan
Amstrong dalam Hurriyati (2009:166) terdiri atas:
1. Faktor kebudayaan
Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh yang paling luas dan paling dalam terhadap
perilaku konsumen. Pemasar harus memahami peran yang dimainkan oleh budaya,
subbudaya, dan kelas sosial pembeli.
a) Budaya
Budaya merupakan kumpulan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan tingkah
laku yang dipelajari oleh anggota masyarakat dari keluarga dan lembaga penting
lainnya.
b) Sub budaya
Sub budaya termasuk nasionalitas, agama, kelompok ras, dan wilayah geografi.
c) Kelas sosial
Kelas sosial adalah divisi masyarakat yang relatif permanen dan teratur dengan
para anggotanya menganut nilai-nilai dan tingkah laku yang serupa.
2. Faktor sosial
Faktor sosial yang mempengaruhi perilaku konsumen seperti kelompok kecil,
keluarga serta status sosial dari konsumen.
a) Kelompok
Kelompok meliputi dua faktor yaitu kelompok keanggotaan dan kelompok acuan.
Kelompok yang mempunyai pengaruh langsung dan seseorang yang menjadi
anggotanya adalah kelompok keanggotaan. Kelompok acuan berfungsi sebagai
titik perbandingan atau acuan langsung (tatap muka) dan tidak langsung dalam
membentuk sikap atau tingkah laku seseorang.
b) Keluarga
Anggota keluarga sangat mempengaruhi tingkah laku pembeli. Keluarga adalah
organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan telah
diteliti secara mendalam.
c) Peran dan status sosial
Peran terdiri dari kegiatan yang diharapkan dapat dilakukan seseorang. Orang
memilih produk yang mencerminkan dan mengkomunikasikan peran mereka
serta status aktual atau status yang diinginkan dalam masyarakat.
d) Faktor pribadi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 18 ] P a g e
Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti usia dan
tahap siklus hidup pembeli, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, kepribadian
dan konsep diri.
e) Usia dan tahap siklus hidup
Membeli juga dibentuk oleh tahap siklus hidup keluarga, tahap-tahap yang
mungkin dilalui oleh keluarga sesuai dengan kedewasaannya. Pemasar seringkali
menentukan produk yang sesuai serta rencana pemasaran untuk setiap tahap.
f) Pekerjaan
Pekerjaan juga mempengaruhi pola konsumsi. Pemasar berusaha mengenali
kelompok pekerjaan yang mempunyai minat di atas rata-rata akan produk dan
jasa mereka.
g) Situasi ekonomi
Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi. Pemasar yang peka
terhadap pendapatan akan mengamati kecenderungan dalam pendapatan pribadi,
tabungan dan tingkat minat.
h) Gaya hidup
Gaya hidup adalah pola kehidupan seseorang yang diwujudkan dalam
psikografiknya. Gaya hidup mencakup sesuatu yang lebih dari sekedar kelas sosial
atau kepribadian seseorang, gaya hidup menampilkan pola bereaksi dan
berinteraksi seseorang secara keseluruhan.
i) Kepribadian dan konsep diri
Kepribadian mengacu pada karakteristik psikologi unik yang menyebabkan
respons yang relative konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungan dirinya
sendiri. Dasar pemikiran konsep diri adalah bahwa apa yang dimiliki seseorang
memberi kontribusi dan mencerminkan identitas mereka.
Profesionalisme
Guru sebagai pendidik merupakan tenaga professional. Mengacu pada Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 42 ayat (1) bahwa “pendidik harus memiliki
kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat
jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional”. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi.
Guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia diwajibkan memenuhi tiga
persyaratan seperti dijelaskan oleh Muchlas Samani (2006), yaitu kualifikasi pendidikan
minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidik. Menurut Rice dan Bishoprik dalam Imam
Wahyudi (2012) guru professional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri
dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. profesionalisme yang dimaksud oleh
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
P a g e [ 19 ]
mereka adalah satu proses yang bergerak dari ketidaktahuan menjadi tahu, dan
ketidakmatangan jadi matang.
Kinerja Guru
Kinerja guru adalah prestasi yang diperlihatkan dalam bentuk perilaku. Menurut
Sudarmayanti dalam Imam Wahyudi (2012) kinerja erat hubungannya dengan masalah
produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana untuk
menentukan produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Kinerja guru merupakan
prestasi kerja guru sebagai hasil dorongan atau motivasi yang diperlihatkan dalam
bentuk perilaku. Kinerja guru adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang dibebankan kepadanya yang meliputi menyusun program pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan evaluasi dan analisis evaluasi.
PEMBAHASAN
Penerapan Model Pembelajaran CTL Pada Materi Perilaku Konsumen
Berdasarkan silabus Kurikulum 2013 mata pelajaran ekonomi dan bisnis untuk
kelas X semester satu (ganjil) pada kompetensi dasar 3.5 siswa diajak untuk memahami
perilaku konsumen dan produsen serta peranannya dalam kegiatan ekonomi. Dalam
pembahasan mengenai perilaku konsumen terdapat beberapa materi yang harus
disampaikan oleh pendidik kepada peserta didik yaitu: 1) pengertian perilaku konsumen,
pola konsumsi, watak konsumen serta perilaku konsumen dalam pembelian.
Pembelajaran materi perilaku konsumen dengan menggunakan model pembelajaran CTL
memiliki 3 kegiatan yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
Untuk mencapai tujuan kompetensi, pendidik menerapkan strategi pembelajaran
sebagai berikut:
1. Pendidik menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses
pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari
2. Pendidik menjelaskan prosedur pembelajaran CTL.
3. Peserta didik dibagi ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan jumlah peserta
didik (tiap kelompok diberikan tugas yang sama).
4. Peserta didik berdiskusi dengan kelompok masing-masing.
5. Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi.
6. Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain.
7. Dengan bantuan pendidik, peserta didik menyimpulkan hasil diskusi sesuai dengan
indikator hasil belajar yang harus dicapai.
8. Penilaian.
Penerapan model pembelajaran CTL dalam kelas yaitu pada kegiatan
pendahuluan, guru membimbing peserta didik untuk berdo’a sesuai dengan agama dan
keyakinan masing-masing sebelum pelajaran dimulai, selanjutnya guru
menginformasikan garis besar tujuan pembelajaran materi perilaku konsumen yaitu: (1)
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 20 ] P a g e
Guru membuka pelajaran dengan salam. (2) Guru memeriksa kehadiran siswa secara
komunikatif, disiplin, dan tanggung jawab. (3) Pendidik menginformasikan tujuan
pembelajaran perilaku konsumen yang akan dicapai oleh setiap peserta didik.
(4)Pendidik menginformasikan pembelajaran CTL. (5) Pendidik mengelompokkan
peserta didik secara heterogen.
Pada kegiatan inti pembelajaran materi perilaku konsumen, guru mengajak siswa
melaksanakan proses pertama dalam penerapan pembelajaran CTL dengan langkah-
langkah dalam kelas sebagai berikut: (1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan
mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya tentang perilaku
konsumen. Misalnya dengan cara membaca buku teks tentang pengertian perilaku
konsumen, selain itu guru juga dapat meminta siswa untuk mengamati sebuah fenomena
tentang kondisi perilaku konsumen (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri
dalam pembelajaran perilaku konsumen (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan
bertanya, dalam hal ini guru mencoba memancing siswa agar aktif bertanya (4) Setelah
itu ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok) untuk
mendiskusikan tentang materi perilaku konsumen.(5) Hadirkan model sebagai contoh
pembelajaran misalnya dengan model diskusi, guru membagi siswa ke dalam kelompok
dan diberi tugas untuk mengidentifikasi pengertian perilaku konsumen, pola konsumsi,
watak konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen. Pendidik
memberikan informasi materi pembelajaran dengan langkah-langkah penemuan
terbimbing melalui lembar kerja peserta didik yang telah disiapkan untuk didiskusikan
secara berkelompok. Peserta didik berdiskusi dalam kelompok kemudian melakukan
presentasi hasil diskusi dengan menunjuk salah satu anggota kelompok untuk mewakili
kelompoknya. Pendidik memberikan kesimpulan, rangkuman dari hasil presentasi
kelompok. Pendidik mengecek pemahaman peserta didik dengan tanya jawab. Pendidik
memberikan kuis atau tes kepada peserta didik secara individual. Pendidik memberikan
penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar
individual maupun kelompok. (6) Lakukan penilaian yang sebenarnya pada saat proses
belajar maupun pada hasil belajar.
Di akhir pelajaran maka guru akan melaksanakan kegiatan penutupan. (7) Dalam
kegiatan penutupan ini guru dan siswa bersama-sama melakukan refleksi, (8) kemudian
guru melakukan penilaian yang dapat berupa tes lisan dengan beberapa pertanyaan,
siswa bersama guru memberikan kesimpulan materi pelajaran hari ini sehingga
diperoleh kesimpulan akhir. Siswa menyimak informasi mengenai rencana tindak lanjut
pembelajaran.
Penilaian dalam Model Pembelajaran CTL Pada Materi Perilaku Konsumen
Penilaian yang dipakai dalam model pembelajaran CTL adalah Penilaian Nyata
(Authentic Assessment) yaitu prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan
(pengetahuan, ketrampilan dan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
P a g e [ 21 ]
adalah pada pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari
sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai
tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan
dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
Dalam pembelajaran berbasis CTL gambaran perkembangan belajar siswa perlu
diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar.
Focus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta
penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil. Karakteristik authentic assessment
menurut Depdiknas (2003) di antaranya dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar
berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang diukur keterampilan
dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan
dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang
dilaporkan seperti PR, kuis, karya siswa, presentasi atau penampilan siswa, laporan,
jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis.
SIMPULAN
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan
pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik
secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan
kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan
kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya
belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipejarinya.
Dengan diterapkannya model pembelajaran CTL siswa menjadi lebih kreatif dan kritis
dengan kondisi perilaku konsumen. Berpikir kritis dan kreatif merupakan salah satu
faktor yang penting yang harus dimiliki siswa untuk menghadapi MEA 2015.
Proses pembelajaran materi model pembelajaran CTL menyentuh tiga ranah, yaitu
sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan
keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik dan manusia yang
memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak dari peserta didik yang
meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) dalam pembelajaran, siswa diharapkan mampu mengaitkan antara materi
pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, agar peserta didik
mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan
sehari-hari. Guru sebagai fasilitator diharapkan mampu melaksanakan model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan maksimal agar hasil
pembelajaran meningkat secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Bandono. 2008. Menyusun Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).http://www. Menyusun Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 22 ] P a g e
(CTL) — Drs. Bandono, MM.htm diakses tanggal 07 april 2015.Trianto, 2009,Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif, Jakarta: Kencana PredanaMedia Group.
Davi, Iwa Umra. 2012. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan MotivasiBelajar Pada Materi Aljabar Bagi Siswa Kelas VIII-B Smp Negeri 10 Malang. Malang:Universitas Negeri Malang.
Hartini, Nanik. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning(Ctl) Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar IPA Siswa Kelas II SDN O2Gambirmanis Pracimantoro Wonogiri. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Kotler, Philip dan Kelvin Lane Keller (diterjemahkan oleh bob sabrana). 2009. ManajemenPemasaran. Edisi 13.Jilid 1. Jakarta:Erlangga
Permatasari, Indhah. 2013. Penerapan Media Mind Mapping Program pada ModelPembelajaran Contextual Teaching And Learning (Ctl) Untuk MeningkatkanMotivasi Dan Hasil Belajar Fisika Pada Siswa Kelas Xi.A2 Sma Negeri 4 Surakarta.Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Rostiawati, Tita. 2008. Penerapan Model Pembelajaran Ctl Pada Bahan AjarGeometri DanPengukuran Di Sekolah Dasar. Sumedang: UPI kampus Sumedang.
Rusmiati. 2012. Penerapan Model Contextual Teaching And Learning Untuk MeningkatkanAktivitas Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Kelas III Sdn 07 Sungai SogaBengkayang. Pontianak: Universitas Tanjungpura.
Sheva, Abraham. 2011. Makalah Pendekatan Kontekstual Learning (CTL).http://www.Abraham Sheva MAKALAH PENDEKATAN KONTEKSTUALLEARNING (CTL).htm diakses tanggal 08 april 2015.
Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta:Prestasi Pustaka.
Trianto, 2009, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif, Jakarta: KencanaPredana Media Group.
Wahyudi, Imam. 2012, Mengejar Profesionalisme Guru, Jakarta: Prestasi Pustaka Raya.
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
P a g e [ 23 ]
PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA MELALUI CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING PADA PEMBELAJARAN AKUNTANSI DI SMK
(SUATU KAJIAN TEORI)
Yulia AgustinaProgram Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya
AbstrakTujuan nasional pendidikan yaitu untuk meningkatkan kualitas sumber dayamanusia yang terwujud dalam pengembangan kemampuan, watak sertaperadaban bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pendekatanpembelajaran yang mampu memberikan makna dan membangun kebiasaan baikpada siswa. Contextual teaching and learning (CTL) ditawarkan sebagai sebuahpendekatan holistic terhadap pendidikan yang dapat digunakan oleh semuasiswa baik yang berbakat maupun siswa yang mengalami kesulitan belajar. CTLditawarkan sebagai satu strategi yang sangat menarik karena siswa dapatmengaitkan isi dari mata pelajaran dengan pengalaman sendiri sehingga merekaakan menemukan makna pembelajaran. Selain itu melalui CTL akan membentuksebuah karakter siswa di antaranya tanggung jawab, kedisiplinan, kemandirian,kejujuran, dermawan, suka menolong, gotong-royong/kerjasama, percaya diri,kreatif, pekerja keras, rela berkorban, toleransi, penegak hukum dan persatuan.Pelaksanaan pendidikan karakter yang diintegrasikan pada pembelajaran perlumenggunakan pendekatan CTL, karena proses pendidikan karakter menjadilebih konkret dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan masing-masing.
Kata Kunci: pendidikan karakter, Contextual Teaching and Learning, akuntansi
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kehidupan pada abad ke 21 ini
begitu cepat dan menimbulkan perubahan pada berbagai bidang kehidupan. Begitu pula
di Negara Indonesia, perkembangan IPTEK telah merubah berbagai aspek kehidupan
bangsa Indonesia. Menyikapi hal tersebut maka perlu dipersiapkan kualitas sumber daya
manusia yang baik pula. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak tertinggal, mampu
bersaing di era global dan mampu mengikuti pesatnya perkembangan zaman.
Pada era globalisasi ini persaingan pada dunia kerja juga menjadi semakin ketat.
Ditambah lagi masuknya era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang mana akan
membuka batas-batas perdagangan di Negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dengan
adanya MEA ini tidak saja perdagangan barang dan jasa yang semakin bebas, melainkan
juga pasar tenaga kerja antarnegara di kawasan Asia Tenggara. Pada era MEA ini Negara-
negara di kawasan Asia Tenggara bebas bersaing untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja
di seluruh kawasan Asia Tenggara. Sehingga nantinya akan banyak warga negara asing
yang akan masuk di perusahaan-perusahaan Indonesia dan juga sebaliknya masyarakat
Indonesia akan dikirim untuk bekerja di perusahaan luar negeri.
Oleh karena untuk menjaga eksistensinya dan mampu bersaing di kancah MEA,
masyarakat Indonesia harus memiliki kemampuan, kompetensi (hard skill) dan juga
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 24 ] P a g e
karakter (soft skill) yang tangguh sehingga mampu bersaing di era global ini. Segala
upaya pembangunan sumber daya manusia sangatlah diperlukan untuk mencetak
sumber daya manusia Indonesia yang berdaya saing tinggi.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan dan berperan
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sebagaimana yang tercantum dalam
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang menjelaskan
bahwa pendidikan dilakukan agar mendapatkan tujuan yang diharapkan bersama.
Tujuan pendidikan nasional itu sendiri adalah untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, diperlukan suatu
usaha dan kerja keras sedini mungkin, sehingga timbul gagasan untuk memperbaiki dan
melakukan pembaharuan dari berbagai pihak terutama dari pihak-pihak yang menggeluti
dunia pendidikan.
Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dengan
adanya peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, profesionalisme tenaga pendidik,
maupun peningkatan mutu anak didik. Sedangkan untuk mencetak peserta didik yang
mempunyai mutu tinggi maka diperlukan adanya sarana yang berupa lembaga yang
melaksanakan pendidikan formal atau yang lebih dikenal dengan pendidikan sekolah.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengembangkan potensi
yang dimiliki manusia karena melalui pendidikan manusia dapat teraktualisasi dengan
baik. Dalam wacana pendidikan terdapat dua hal yang sering dipertentangkan yaitu teori
dan praktik, akan tetapi teori pada akhirnya akan menjadi sesuatu yang paling praktis.
Untuk memahami hubungan teori dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari
diperlukan strategi pembelajaran yang seyogyanya difasilitasi oleh staf pengajar
(guru/dosen).
Strategi pembelajaran yang bertujuan membantu siswa dalam menghubungkan
teori dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang perlu
dikembangkan di dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Faktanya siswa-siswa
sekarang tiba di sekolah tanpa persiapan melakukan pembelajaran. Biasanya, mereka
dibatasi oleh pemahaman materi yang akan disampaikan sehingga mereka tidak mampu
memahami materi yang lebih rumit maupun menemukan hal-hal yang tersembunyi.
Mereka seringkali tidak mempunyai kerangka berpikir dalam memahami logika
dari suatu pendapat tertulis. Hal ini merupakan akibat dari keterbatasan pendidikan
tradisional yaitu biasanya siswa hanya menghabiskan waktu untuk mendengarkan
pengajaran dan menyelesaikan latihan-latihan yang membosankan dan akhirnya mereka
mengikuti ujian yang hanya bisa mengungkapkan pemahaman siswa dan mengukur
kemampuan siswa menghafalkan fakta tanpa mereka tahu bahwa sebenarnya bertanya,
diskusi, mencari tahu, berpikir kritis atau terlibat dalam proyek kerja nyata dan
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
P a g e [ 25 ]
pemecahan masalah adalah hal yang penting dari suatu proses pembelajaran (Johnson,
2006).
Begitu pula pada pembelajaran akuntansi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
akan lebih bermakna apabila peserta didik (siswa) itu mengalami apa yang dipelajarinya
bukan sekedar mengetahuinya. Pembelajaran akuntansi yang hanya berorientasi pada
target pencapaian materi (materi oriented) di mana proses kegiatannya dianggap selesai
apabila target bahasan materi dalam kurikulum itu sudah tuntas disajikan kepada
peserta didik diakui berhasil untuk kompetensi jangka pendek dan terbukti gagal untuk
memecahkan persoalan riil dalam kehidupan jangka panjang.
Karakteristik pelajaran akuntansi yang prosedural yaitu satu tahap berhubungan
dan menjadi syarat mengerjakan tahap berikutnya. Sebagai contoh materi persamaan
dasar akuntansi itu berhubungan dan merupakan syarat dalam mengerjakan materi
jurnal umum atau materi laporan keuangan. Oleh karena itu peserta didik dituntut untuk
menguasai setiap tahapan dalam materi akuntansi agar bisa mempelajari semua materi
pelajaran akuntansi dengan tuntas. Hal ini diperlukan untuk memberi keterampilan atau
pengetahuan kepada peserta didik secara komprehensif dan berkesinambungan. Hal ini
mengakibatkan peserta didik mengalami kebosanan atas pelajaran akuntansi. Akibatnya
prestasi belajar mereka juga mengalami penurunan dan kurang bersaing untuk
diterapkan di dunia usaha dan dunia industri.
Agar peserta didik dapat belajar akuntansi dengan berhasil dan menyenangkan,
maka guru diupayakan harus kreatif dan inovatif untuk memilih metode pembelajaran
dalam proses belajar mengajar akuntansi. Salah satu metode pembelajaran yang bisa
digunakan oleh guru akuntansi dalam proses belajar mengajar adalah metode contextual
teaching and learning.
Contextual teaching & learning merupakan suatu strategi pembelajaran yang dapat
membantu siswa dalam memaknai materi pelajaran dengan menghubungkannya pada
kehidupan kesehariannya dan guru sebagai fasilitatornya. Sehingga melalui contextual
teaching & learning guru akuntansi akan mengaitkan antara materi akuntansi yang
diajarkan dengan situasi dunia kerja yaitu dunia usaha dan dunia industri. Serta bisa
mendorong peserta didik untuk membuat hubungan antara pembelajaran akuntansi di
sekolah dengan penerapannya di dunia usaha dan dunia industri. Proses pembelajaran
contextual teaching & learning ini berlangsung secara alamiah antara guru kepada
peserta didik, bukan hanya transfer pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Dalam
konteks ini, peserta didik perlu memahami apa sesungguhnya makna belajar akuntansi
bagi dirinya serta bagaimana mencapainya.
SMK merupakan lembaga vokasional yang memiliki visi dan misi pendidikan
untuk menyiapkan tenaga ahli dan terampil serta siap kerja, lembaga pendidikan ini
mengusung suatu program Praktik Kerja Industri (Prakerin) bagi siswanya yang
ditempatkan di berbagai industri, perusahaan, instansi pemerintah dan badan usaha.
Untuk itu pembelajaran dengan pendekatan contextual teaching & learning dirasa akan
cocok dan mendukung visi-misi Sekolah Menengah Kejuruan ini.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 26 ] P a g e
Dilihat dari sisi lain, dampak globalisasi pada kehidupan masyarakat mengakibatkan
terjadinya perubahan perilaku dengan cara meniru perilaku dan budaya barat. Dewasa ini
banyak terjadi peristiwa yang menyedihkan antara lain perilaku anarkisme, individualisme,
korupsi dan lunturnya nilai moral. Sehingga mengacu pada UU No 20 tahun 2003 tentang
pendidikan nasional bahwa pendidikan tidak hanya membangun kemampuan melainkan juga
membentuk watak dan peradaban bangsa.
Selanjutnya menurut William Burton dalam Hamalik (2008) bahwa belajar merupakan
suatu proses usaha seseorang untuk memperoleh perubahan suatu tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Selain itu Gulo (2002) juga menyebutkan bahwa belajar merupakan proses berlangsung dalam
diri seseorang yang mengubah tingkah laku, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap dan
berbuat.
Berdasarkan dua teori diatas jelas bahwa tujuan sebuah pendidikan tidak hanya
bertambahnya ilmu pengetahuan melainkan juga perubahan tingkah laku dari karakter yang
kurang baik menjadi karakter yang baik yang akan tercermin dalam watak dan peradaban.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai upaya pengembangan karakter bangsa
melalui pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) sehingga
pada akhirnya akan mencetak lulusan yang mempunyai karakter dan berdaya saing tinggi
sehingga mampu mengikuti era Masyarakat Ekonomi Asia.
PEMBAHASAN
Peningkatan di bidang pendidikan dirasa perlu dilakukan. Untuk itu diperlukan
sebuah pendekatan pembelajaran yang dapat memberdayakan siswa. SMK sebagai
lembaga vokasional yang tujuannya mempersiapkan tenaga terampil pada bidangnya
dirasa sangat membutuhkan suatu strategi pembelajaran yang dekat dengan dunia nyata
yaitu dunia usaha dan dunia industri.
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran
tentang belajar secara mandiri. Maksudnya adalah pada pembelajaran kontekstual ini
anak mengalami sendiri, mengkonstruk pengetahuan, kemudian memberi makna pada
pengetahuan itu. Anak harus mengetahui makna belajar dan menggunakan pengetahuan
dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Siswa sebagai pembelajar, artinya tugas guru mengatur strategi belajar, membantu
menghubungkan pengetahuan lama dan baru, dan memfasilitasi belajar. Lingkungan
belajar memegang peranan penting, artinya siswa aktif bekerja dan belajar di panggung,
sedangkan guru mengarahkan dari dekat.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau disingkat CTL
menurut Johnson (2006) adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong
para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian
mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, social, dan budaya mereka. Untuk
mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: membuat
keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
P a g e [ 27 ]
pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif,
membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan
menggunakan penilaian autentik.
Dari kutipan di atas menegaskan hakikat CTL yang dapat diringkas dalam tiga hal,
yaitu makna, bermakna, dan dibermaknakan. Setiap manusia, tidak terkecuali siswa
ataupun mahasiswa memiliki response potentiality yang bersifat kodrati. Keinginan untuk
menemukan makna adalah sangat mendasar bagi manusia. Tugas utama pendidik
(fasilitator) adalah memberdayakan potensi kodrati ini sehingga siswa/ mahasiswa
terlatih menangkap makna dari materi yang diberikan.
CTL disebut pendekatan kontekstual karena konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Dalam kelas kontekstual proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam
bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke
siswa, sebagaimana model pembelajaran konvensional. Tugas guru adalah membantu
siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai tim yang bekerja bersama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru dating
dapat menemukan sendiri, bukan dari ungkapan guru. Begitulah peran guru di kelas yang
dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Dengan demikian secara garis besar CTL merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
siswa sekaligus mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh
komponen pembelajaran yang efektif yaitu : konstruktivisme (constructivism), bertanya
(questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community),
permodelan (modeling), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini dinilai mampu meningkatkan
pemahaman siswa tentang sebuah materi. Peningkatan pemahaman ini diukur melalui
peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siga pada tahun
2013. Menurut Siga (2013) dalam penelitiannya tentang penerapan pembelajaran
kontekstual yang menyebutkan bahwa pendekatan kontekstual dan metode problem
posing layak digunakan dalam meningkatkan hasil belajar penyusunan kertas kerja.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat peningkatan dari siklus ke siklus. Keunggulannya
dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan metode problem posing ini
adalah dapat meningkatkan aktivitas guru, aktivitas siswa dan dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Penelitian lain yang mendukung dilakukan oleh Deen dan Smith (2006)
yang menyatakan bahwa guru-guru memiliki level pengetahuan yang tinggi mengenai
pembelajaran kontekstual dan pembelajaran kontekstual merupakan hal yang serius di
Amerika Serikat, karena dianggap dapat meningkatkan kemampuan siswa.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 28 ] P a g e
Sedangkan Leksono (2010) menyebutkan bahwa penerapan CTL pada
pembelajaran Sosiologi kelas X di SMA Negeri Tanjung Kabupaten Brebes mendapat
respon positif dan respon negative dari siswa kelas X. Respon positifnya yaitu bahwa
model pembelajaran kontekstual yang diterapkan dalam pembelajaran Sosiologi
memberikan kemudahan siswa dalam memahami kajian sosiologi. Sedangkan respon
negatifnya yaitu banyaknya materi dan kurangnya alat peraga menjadi hambatan dalam
pelaksanaan pembelajaran kontekstual ini.
Sesuai dengan hasil penelitian Karniati dkk pembelajaran dengan pendekatan CTL
ini juga dapat melatih siswa untuk berpikir kritis. Penelitian ini mengkaji tentang
pengaruh penerapan pembelajaran CTL pada kemampuan berpikir kritis matematis
(MCTA) pada mahasiswa PGSD. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa peningkatan
MCTA mahasiswa yang memperoleh CTL lebih baik daripada mahasiswa yang
memperoleh TTL. Jadi pelaksanaan CTL yang dilakukan dengan tujuh komponen yaitu
konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry),
masyarakat belajar (learning community), permodelan (modeling), dan penilaian yang
sebenarnya (authentic assessment) ini akan membantu siswa untuk dapat berpikir kritis,
mengeksplor dan mengaktualisasikan ide-ide kreatif mereka. Selain itu juga akan melatih
siswa untuk mandiri dan menumbuhkan sikap social baik antar siswa dengan siswa
maupun siswa dengan guru.
Pada sisi lain, selain kita harus memperhatikan peningkatan kemampuan
akademik siswa, kita sebagai pendidik juga harus memperhatikan kemampuan non
akademik siswa seperti kematangan emosi, perilaku dan juga keterampilan komunikasi
siswa. Namun beberapa orang terkadang masih percaya bahwa keberhasilan pendidikan
bagi anak ditentukan oleh kemampuannya membaca dan berhitung atau dalam sisi
akademik. Hal tersebut tentu tidak 100% benar. Menurut Ratna Megawangi (2010)
bahwa justru kematangan emosi yang terbentuk yang akan menentukan kesuksesan
anak. Banyak contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa orang yang memiliki
kecerdasan otak saja, memiliki gelar tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia kerja
dan sukses di masyarakat. Sedyaningrum (2006) menggambarkan bahwa prestasi hidup
tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual, namun ia membutuhkan pula
kecerdasan pendorongnya (kecerdasan emosional). Jika kecerdasan intelektual tidak
disertai dengan daya dorong prestasi yang baik, maka kecerdasannya tidak berkembang
karena dibalut oleh lemahnya emosi seperti rasa takut berlebihan, minder, kurang tekun,
kurang ulet, atau karena kelemahan lainnya.
Keberhasilan seorang anak, siswa, mahasiswa, seseorang di sekolah, di tempat
kerja dan di masyarakat tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak saja. Bahkan Daniel
Goleman dalam Richard A. Bowell (2004) menyatakan bahwa ”IQ paling-paling
menyumbang 20% pada faktor-faktor yang menentukan sukses dan 80% ditentukan oleh
kecerdasan emosi”.
Menurut Robert K. Cooper dan Ayman dalam Ari Ginanjar (2005) dinyatakan
bahwa ”kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
P a g e [ 29 ]
efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energy, informasi,
koneksi dan pengaruh yang manusiawi”. Oleh karena itu kecerdasan emosi sangat
berkaitan erat dengan suara hati meliputi kejujuran, percaya diri, amanah, inisiatif,
empati, motivasi, optimis, ketangguhan, dan kemampuan beradaptasi di mana
komponen-komponen tersebut dapat dikategorikan sebagai karakter.
Selanjutnya Tim Peneliti dan Pengembangan Kemendiknas mengungkapkan
dalam buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011) bahwa pendidikan
karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation)
sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah
menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus
melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good
(moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan
kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.
Pendidikan karakter sebagai usaha untuk menanamkan kebiasaan baik
(habituation) kepada siswa dengan melibatkan pengetahuan yang dimiliki (moral
knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik
(moral action) sehingga membentuk sebuah kecerdasan emosional sebagai wujud
kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik menjadi perhatian khusus bagi bangsa
Indonesia dalam rangka membentuk sumber daya manusia yang berkarakter dan
berdaya saing ini. Sumber daya manusia yang cerdas namun tidak diikuti dengan
karakter yang baik maka sudah pasti tidak akan mampu bersaing apalagi di kancah
regional kawasan Asia tenggara.
Pada tahap ini sekolah khususnya guru mempunyai peran yang sangat penting
untuk membentuk karakter peserta didik. Karena guru menjadi sosok yang bisa ditiru,
diteladani dan menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inspirasi dan
motivasi peserta didiknya. Sikap dan perilaku seorang guru akan sangat membekas
dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa.
Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar untuk menghasilkan generasi
yang berkarakter. Selain dari segi guru, kerjasama antara guru, orang tua dan masyarakat
juga mempunyai peran dalam pembentukan karakter siswa. Guru hendaknya melakukan
kerja sama dengan masyarakat dan orang tua dengan cara menempatkan orang tua dan
masyarakat sebagai fasilitator dan nara sumber dalam kegiatan pengembangan karakter
siswa.
Selain itu penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif juga akan menunjang
tumbuh dan berkembangnya karakter siswa. Lingkungan terbukti sangat berperan
penting dalam pembentukan pribadi manusia (siswa), baik lingkungan fisik maupun
lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah dan guru perlu untuk menyiapkan fasilitas-
fasilitas dan melaksanakan berbagai jenis kegiatan yang mendukung kegiatan
pengembangan karakter siswa. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat saja terintegrasi dalam
pembelajaran maupun dalam bentuk kegiatan pengembangan karakter tersendiri.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 30 ] P a g e
Namun pembelajaran yang berlangsung selama ini seringkali lebih berfokus untuk
mengajarkan sesuatu yang bersifat olah pikir atau kognitif saja yang berarti baru
mengolah keterampilan otak kiri saja. Sementara itu yang berkaitan dengan masalah hati
dan otak kanan belum banyak disentuh. Dalam pembelajaran yang bermuatan dengan
pembangunan karakter (character building) diterapkan secara bersamaan dengan
pembangunan atau pembenahan karakter yang dimiliki oleh pendidik selama ini. Artinya
guru/dosen mulai membenahi, menata dan mengelola dirinya dengan baik sekaligus
berusaha membelajarkan cara membenahi, menata dan mengelola diri kepada
siswa/mahasiswa.
Menurut Foster dalam Doni Kusuma (2010) menyebutkan ada empat ciri dasar
dalam pendidikan karakter yaitu: Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan
diukur berdasar hirarki nilai artinya nilai menjadi pedoman. Kedua, Koherensi yang
memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-
ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar membangun rasa
percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-
nilai bagi pribadinya. Hal ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa
terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan
merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan
merupakan dasar bagi penghormatan atau komitmen yang dipilih.
Selanjutnya Ratna Megawangi (2010) menyakatan tentang penerapan konsep
pendidikan holistik berbasis karakter yang mencakup sembilan pilar karakter yaitu (1)
Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya (2) Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian,
(3) kejujuran/amanah dan arif, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong
dan gotong-royong/kerjasama, (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras, (7)
kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian dan
kesatuan.
Dalam pelaksanaannya pendidikan karakter ini dapat diintegrasikan dengan mata
pelajaran di sekolah. Di sini guru/pendidik dituntut untuk peduli, mau dan mampu
mengaitkan konsep-konsep pendidikan karakter dalam mata pelajaran yang diampunya.
Menurut Sukidjo dkk (2013) pelaksanaan pengembangan karakter yang diintegrasikan
dengan pembelajaran perpajakan mendapatkan respon yang memuaskan dan mampu
mengeksplorasi nilai-nilai karakter seperti rela berkorban, disiplin, penegakan
aturan/hokum, kesadaran pentingnya pajak, ketertiban, dan berbuat jujur atau tidak
berbuat curang dengan menggelapkan pajak. Jadi pendidikan karakter di sini tidak harus
dilaksanakan dengan kegiatan tertentu, mata pelajaran tersendiri atau dengan
guru/dosen pendidikan agama atau pendidikan moral saja, melainkan dapat dilakukan
oleh semua pihak yaitu dengan cara diintegrasikan pada proses pembelajaran.
Menurut Dwi (2007) guru berperan dalam membantu membentuk karakter siswa,
dengan mengajak siswa di kelas untuk peduli dengan lingkungan atau orang lain. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara mengajak para siswa untuk melakukan penyuluhan
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
P a g e [ 31 ]
pembukuan yang baik bagi koperasi-koperasi kecil dan usaha kecil menengah, maka para
siswa menjadi lebih memahami makna materi yang diperolehnya dan ungkapan terima
kasih dari peserta penyuluhan dapat menumbuhkan rasa bangga bagi para siswa yang
mana perasaan tersebut akan memotivasi para siswa untuk lebih giat lagi dalam belajar.
Strategi pembelajaran dan pengembangan karakter yang diperkenalkan pada para siswa
ini dapat membuat aktivitas belajar mengajar di kelas menjadi mengasyikkan dan
bermakna.
Pembelajaran seperti yang disebutkan di atas merupakan pembelajaran dengan
pendekatan CTL. Sehingga pembelajaran dengan pendekatan CTL ini perlu
dikembangkan dalam rangka meningkatkan partisipasi dan prestasi siswa. Hal serupa
diungkapkan oleh Sukidjo dkk. Menurut Sukidjo dkk (2013) pembelajaran perpajakan
dengan pendekatan CTL dapat meningkatkan aktivitas, partisipasi karakter siswa dalam
proses pembelajaran. Pelaksanaan pendidikan karakter yang diintegrasikan pada mata
pelajaran juga perlu menggunakan pendekatan CTL sehingga proses pendidikan karakter
menjadi lebih konkret dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebudayaan
masing-masing.
SIMPULAN
Contextual Teaching and Learning sangat bermanfaat sebagai masukan bagi
pengajar pada materi Akuntansi agar dapat memacu motivasi siswa dengan memaknai
setiap materi yang disampaikan oleh pengajar. Siswa dapat memahami pengembangan
pengetahuan akademik akuntansi pada dunia kerja dan usaha, karena pengajar telah
memberikan pemahaman pengkaitan teori-teori yang ada pada akuntansi dengan kondisi
konteks dunia nyata yang mereka alami sendiri.
CTL ini ditawarkan sebagai sebuah pendekatan holistic terhadap pendidikan yang
dapat digunakan oleh semua siswa baik yang berbakat maupun siswa yang mengalami
kesulitan belajar. CTL ditawarkan sebagai satu strategi yang sangat menarik di antara
metode pengajaran lainnya. Ketika siswa dapat mengkaitkan isi dari mata pelajaran
akademik misalnya akuntansi dengan pengalaman sendiri, maka mereka akan
menemukan makna dan makna memberikan alasan mereka untuk belajar.
Dalam merancang pembelajaran kita juga harus memperhatikan karakter yang
akan dibentuk setelah pembelajaran. Melalui CTL dalam pembelajaran mata pelajaran
akuntansi ini dipercaya akan membentuk sebuah karakter siswa di antaranya : tanggung
jawab, kedisiplinan, kemandirian, kejujuran/amanah, arif, hormat dan santun,
dermawan, suka menolong, gotong-royong/kerjasama, percaya diri, kreatif, pekerja
keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, rela berkorban, toleransi,
penegak hokum serta kedamaian dan kesatuan. Pelaksanaan pendidikan karakter yang
diintegrasikan pada pembelajaran perlu menggunakan pendekatan CTL, karena proses
pendidikan karakter menjadi lebih konkret dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan masing-
masing.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 32 ] P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Ari Ginanjar, Agustin. (2005). ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Jakarta: Arga.
Deen, Ifraj Shamsid, Betty P. Smith. (2006). Contextual Teaching and Learning Practicesin the Family Consumer Sciences Curriculum. Journal of Family and ConsumerSciences Educatioan Vol 24 No 1, Spring / Summer, 14-27.
Dwi K.S, Crhistine dan Lidya Agustina. (2007). Contextual Teaching and Learning: Inovasidalam Strategi Pembelajaran di Bidang Pendidikan Akuntansi. Jurnal IlmiahAkuntansi, Vol 6 No. 1, 82-90.
Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosional (Terjemahan Hermaya, T.). Jakarta: Gramedia.
Gulo, W. (2002). Startegi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo.
Leksono, A. B. (2010). Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalamProses Belajar Mengajar Mata Pelajaran Sosiologi Kelas X Pada Pokok BahasanNilai dan Norma Sosial di SMA Negeri 1 Tanjung Kabupaten Brebes TahunAjaran2010/2011. Semarang.
Sedyaningrum, S. (2006). Tiga Potensi Besar Manusia. Surabaya: CV. Cerdas Inti Media.
Siga, R. R. (2013). Peningkatan Hasil Belajar Kertas Kerja Melalui Pendekatan Kontekstualdan Metode Problem Posing di SMA Negeri 3 Tarakan. Surabaya: Program PascaSarjana UNESA.
Sukidjo, Ali Muhson, Mustofa dan Maimun Sholeh. (2013). Pengembangan CharacterBuilding dengan Contextual Teaching and Learning dalam PembelajaranPerpajakan di Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas NegeriYogyakarta. Jurnal Pendidikan Volume 22 Nomor 1 , 1-13.
Penerapan Model Pembelajaran… (Ellyza Sri Widyastuti)
P a g e [ 33 ]
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING
PADA MATERI KONSEP ILMU EKONOMI
Ellyza Sri WidyastutiUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakDalam menerapkan kurikulum 2013, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RIsangat menyarankan model Discovery Learning untuk mengembangkan sikap,pengetahuan dan keterampilan siswa. Hal tersebut ditandaskan lagi dalampenguatan proses pembelajaran, siswa diarahkan untuk mencari tahu (discovery)bukan diberi tahu, Guru mata pelajaran ekonomi banyak yang belum memilikigambaran yang jelas tentang penerapan discovery learning dalam pembelajaran.Padahal ilmu ekonomi adalah studi tentang manusia dalam kehidupannyasehari-hari, yang mempelajari tindakan individu atau kelompok yang berkaitanerat dengan pencapaian atau pemenuhan alat kebutuhan materi bagikesejahteraan hidup. Dengan menggunakan model pembelajaran discoverylearning, diharapkan bahwa model pembelajaran ini dapat menjadi alternatifuntuk meningkatkan hasil belajar dan kemampuan siswa dalam memahamikonsep ilmu ekonomi serta meminimalisir tingkat kesulitan belajar ekonomi.
Kata Kunci: discovery learning, kesulitan belajar
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan kebutuhan bagi setiap manusia, sebab tanpa pendidikan
manusia akan sulit berkembang dan bahkan terbelakang. Dalam pendidikan,
perkembangan kurikulum menuntut siswa untuk selalu aktif, kreatif, dan inovatif dalam
menanggapi setiap mata pelajaran yang diajarkan. Sikap aktif, kreatif, dan inovatif dapat
terwujud dengan menempatkan siswa sebagai objek pendidikan. Peran guru adalah
sebagai fasilitator dan bukan sumber belajar yang paling benar. Seorang guru yang
profesional dituntut untuk dapat menampilkan keahlian di depan kelas. Salah satu
komponen keahlian itu adalah kemampuan untuk menyampaikan pelajaran kepada
siswa. Untuk dapat menyampaikan pelajaran dengan efektif dan efisien, guru perlu
mengenal berbagai jenis model pembelajaran sehingga dapat memilih model
pembelajaran manakah yang paling tepat untuk suatu bidang pengajaran.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 103
tahun 2014 tentang Pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah disebutkan
bahwa pada implementasi Kurikulum 2013 sangat disarankan menggunakan pendekatan
saintifik dengan model-model pembelajaran inquiry based learning, discovery learning,
project based learning dan problem based learning. (2014 : 638).
Selanjutnya pada proses pembelajaran karakteristik penguatannya mencakup:
a) menggunakan pendekatan scientific melalui mengamati, menanya, mencoba, menalar,
dan mengkomunikasikan dengan tetap memperhatikan karakteristik siswa, b)
menggunakan ilmu pengetahuan sebagai penggerak pembelajaran untuk semua mata
pelajaran, c) menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberitahu (discovery learning),
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 34 ] P a g e
dan d) menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembawa
pengetahuan dan berpikir logis, sistematis, dan kreatif. (Depdikbud, 2014:13). Bertolak
dari latar belakang tersebut, jelaslah bahwa dalam proses pembelajaran siswa dituntut
untuk mencari tahu, bukan diberitahu. Sehingga model yang relevan adalah Discovery
Learning
Pada praktiknya sangat sedikit guru yang menerapkan model tersebut di dalam
pembelajaran. Begitu juga dalam pembelajaran Ekonomi. Menurut mereka, dalam
pembelajaran Ekonomi, model ini masih terasa asing dan jarang sekali digunakan
sebelumnya, sehingga sulit mendapatkan konsep yang tepat dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran dengan discovery learning tersebut. Di dalam makalah ini
penulis membatasi pembahasan model pembelajaran discovery learning pada materi
konsep ilmu ekonomi.
PEMBAHASAN
Model Pembelajaran
Dalam makalah ini, Discovery Learning dipandang sebagai suatu model
pembelajaran. Hal ini berangkat dari pernyataan yang ada pada lampiran IV Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 103 tahun 2014 BAB IV
tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah disebutkan bahwa pada
implementasi Kurikulum 2013 sangat disarankan menggunakan based learning dan
problem based learning. Pada setiap model tersebut dapat dikembangkan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. (2014: 554).
Selanjutnya pengertian model pembelajaran didapat juga dari Models of
Teachinghttp://thesecondprinciple.com/teaching-essentials/ models-teaching oleh Wilson
yang menyebutkan bahwa: models of teaching deal with the ways in which learning
environments and instructional experiences can be constructed, sequenced, or
delivered. They may provide theoretical or instructional frameworks, patterns, or examples
for any number of educational components—curricula, teaching techniques, instructional
groupings, classroom management plans, content development, sequencing, delivery, the
development of support materials, presentation methods, etc. Teaching models may even be
discipline or student-population specific.
Discovery Learning
Discovery Learning merupakan pembelajaran berdasarkan penemuan (inquiry-
based), konstruktivis dan teori bagaimana belajar. Model pembelajaran yang diberikan
kepada siswa memiliki skenario pembelajaran untuk memecahkan masalah yang nyata
dan mendorong mereka untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Dalam
memecahkan masalah mereka; karena ini bersifat konstruktivis, para siswa
menggunakan pengalaman mereka terdahulu dalam memecahkan masalah. Kegiatan
mereka lakukan dengan berinteraksi untuk menggali, mempertanyakan selama
bereksperimen dengan teknik trial and error. (Bruner http://www.lifecircles- inc.com)
Penerapan Model Pembelajaran… (Ellyza Sri Widyastuti)
P a g e [ 35 ]
Children love being in charge of their own learning it gives them the sense of self
worth. It makes the learning more desirable and attainable. Teachers give a problem to
their students and set their students free to solve it on their own, discovering as they go.
Often these classroom can look unorganized or chaotic but, a discovery learning classroom
in fact is organized. It is set up in away for learning to happen with projects, real-life
problems and the learner figuring out.
Pernyataan yang terdapat dalam kutipan di atas menyebutkan bahwa para siswa
memiliki gairah dalam belajar. Guru memberikan masalah kepada para siswa dan
memfasilitasi siswa untuk memecahkannya sendiri. Memang bisa terjadi suasana kelas
agak gaduh karena seperti tidak terkendali, namun sebenarnya mereka dalam kegiatan
yang terorganisasi. Pembelajaran diarahkan sedemikian rupa supaya siswa
menyelesaikan suatu proyek tentang masalah nyata untuk dipecahkan oleh para siswa
sendiri.
Model pembelajaran discovery learning menurut Alma dkk (2010:59) yang juga
disebut sebagai pendekatan inkuiri bertitik tolak pada suatu keyakinan dalam rangka
perkembangan murid secara independen. Model ini membutuhkan partisipasi aktif dalam
penyelidikan secara ilmiah. Hal ini sejalan juga dengan pendapat yang menyatakan
bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas seperti yang terdapat pada
kutipan berikut. “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when
the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to
organize it himself” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103 dalam Depdikbud 2014).
Menurut Borthick dan Jones (2000) menyatakan bahwa dalam pembelajaran
discovery, peserta belajar untuk mengenali masalah, solusi, mencari informasi yang
relevan, mengembangkan strategi solusi, dan melaksanakan strategi yang dipilih. Dalam
kolaborasi pembelajaran penemuan, peserta tenggelam dalam komunitas praktek,
memecahkan masalah bersama-sama.
Hoffman (2000) Belajar discovery adalah ajaran instruktur strategi yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan keterlibatan dan relevansi siswa. Ada lima belajar
penemuan yang terdiri dari: pembelajaran berbasis kasus; belajar insidental; belajar
dengan menjelajahi; belajar dengan refleksi; dan pembelajaran simulasi berbasis sendiri,
atau dalam kombinasi, yang dapat diterapkan untuk kegiatan dan pengajaran
keterampilan.
Selanjutnya Depdikbud (2014: 14) juga menyebutkan bahwa Discovery Learning
mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry). Tidak ada perbedaan yang
prinsipil pada kedua istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada
ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui.
Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan
kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri
masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran
dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui
proses penelitian.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 36 ] P a g e
Menurut Alma, dkk (2010:61) Model Discovery Learning ini memiliki pola strategi
dasar yang dapat diklasifikasikan ke dalam empat strategi belajar, yaitu penentuan
problem, perumusan hipotesis, pengumpulan dan pengolahan data, dan merumuskan
kesimpulan.
Sedangkan Dedikbud (2014:45) tahapan dalam pembelajaran yang menerapkan
Discovery Learning ada 6, yakni:
a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
b) Pertama-tama peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan
kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar
timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai
kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan
aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang
dapat mengembangkan dan membantu peserta didik dalam mengeksplorasi bahan.
c) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
d) Pada tahap ini, guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk
hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
e) Data collection (Pengumpulan Data)
f) Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para peserta
didik untuk mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini
berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian peserta didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection)
berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara
dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya.
g) Data Processing (Pengolahan Data)
h) Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah
diperoleh para peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu
ditafsirkan (Syah, 2004:244). Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi,
dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila
perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan
tertentu.
i) Verification (Pembuktian)
j) Pada tahap ini peserta didik melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244).
k) Verifikasi menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan
Penerapan Model Pembelajaran… (Ellyza Sri Widyastuti)
P a g e [ 37 ]
suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai
dalam kehidupannya.
l) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
m) Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan
yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah
yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan
hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi.
Penerapan Discovery Learning pada materi Konsep Ilmu Ekonomi
Kompetensi Dasar:
1. Mensyukuri sumberdaya sebagai karunia Tuhan YME dalam rangka pemenuhan
kebutuhan
2. Bersikap jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli,kreatif, mandiri, kritis dan analitis
dalam mengatasi permasalahan ekonomi
3. Mendeskripsikan konsep ilmu ekonomi
4. Menyajikan konsep ilmu ekonomi
Materi Pokok: Konsep Ilmu Ekonomi
Tujuan Pembelajaran: Setelah pelaksanaan pembelajaran ini, siswa dapat:
1. Menjelaskan pengertian ilmu ekonomi melalui mengkaji refernsi
2. Menyebutkan pembagian ilmu ekonomi melalui diskusi dan mengkaji referensi
3. Menjelaskan pengertian ilmu ekonomi deskriptif dan pengertian ilmu ekonomi
terapan melalui diskusi dan mengkaji referensi
4. Membedakan teori ekonomi mikro dan ekonomi makro melalui diskusi dan mengkaji
referensi
5. Menyusun laporan analisis mengenai konsep ilmu ekonomi secara tertulis melalui
diskusi dan kerja kelompok
6. Menyajikan hasil pengamatan konsep ilmu ekonomi secara lisan melalui diskusi dan
kerja kelompok
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit (2 jp )
Langkah-langkah Pembelajaran
Pada awalnya Guru menyampaikan garis besar materi dan penjelasan tentang
konsep ilmu ekonomi yang mencakup tentang pengertian ilmu ekonomi adalah suatu
ilmu yang mempelajari perilaku setiap individu atau segolongan masyarakat di dalam
memenuhi kebutuhannya dan pembagian ilmu ekonomi yang terdiri dari ekonomi
deskriptif, teori ekonomi mikro/makro, dan ekonomi terapan.
Sesudah itu Guru meminta siswa untuk belajar dari pengalaman individu perihal
jual beli barang melalui tanya jawab dan mengarahkan alur berpikir siswa bahwasannya
dalam ilmu ekonomi harus ada yang diprioritaskan dan dikorbankan.
Untuk lebih jelasnya Guru mengajak siswa untuk mengamati video upin ipin
episode beli, pakai, suka yang berdurasi 5 menit. Dalam video itu digambarkan
bagaimana perilaku konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Di mana keputusan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 38 ] P a g e
konsumen untuk membeli barang dapat disebabkan karena kebutuhan atau dapat juga
karena keinginan yang timbul dari ketertarikan. Barang yang dibeli biasanya disesuaikan
dengan daya beli tetapi tetap dengan mempertimbangkan kualitas barang tersebut.
Selanjutnya Guru membimbing siswa untuk:
Mengamati:
Mengamati video Upin Ipin “Edisi Beli, Pakai, Suka”
Menanya :
Mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pengertian ilmu ekonomi
Mengeksplorasi:
Mengumpulkan data/informasi tentang pengertian ilmu ekonomi dari berbagai sumber
yang relevan
Mengasosiasi :
Mengamati video dan mengaitkan dengan informasi/data yang diperoleh dari berbagai
sumber
Mengomunikasikan:
Menyimpulkan tentang pengertian ilmu ekonomi dan memberikan contoh
Dengan demikian siswa dapat melakukan berbagai kegiatan dalam proses discovery
learning yaitu: menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis,
mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan tentang konsep
ilmu ekonomi dengan mengacu pada tujuan pembelajaran di atas.
Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
StimulasiGuru memberi stimulasi untuk belajar daripengalaman individu siswa perihal jual belibarang melalui tanya jawab dan mengarahkanalur berpikir siswa, bahwasannya dalam ilmuekonomi harus ada yang diprioritaskan ataudikorbankan. Setelah itu mengajukanpertanyaan: Bagaimana perilaku setiapindividu dalam mencukupi kebutuhannya?
Problem statement(pernyataan/identifikasi masalah)Guru mengajak siswa membuat problemstatement tentang hal-hal yang harusdiperhatikan dalam pengaturan rumah tangga.
Data collection (Pengumpulan Data)Guru meminta siswa membuat kelompokterdiri atas 4 orang. Tugasnya adalahmengumpulkan data/informasi tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalampengaturan rumah tangga dari berbagai
Siswa mendengarkan dan menjawabpertanyaan
Siswa bersama dengan gurumerumuskan problem statementtentang hal-hal yang berkaitandengan pengaturan rumah tangga
Siswa secara berkelompokmengumpulkan data/informasitentang hal-hal yang harusdiperhatikan dalam pengaturanrumah tangga dari berbagai sumber.
Penerapan Model Pembelajaran… (Ellyza Sri Widyastuti)
P a g e [ 39 ]
Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
sumber yang relevan.
Data Processing(Pengolahan Data)Guru menyuruh siswa dalam kelompokmengolah data dan informasi yang telahdiperoleh para siswa dengan caramengklasifikasikan sesuai bidangnya.
Verification (Pembuktian)Guru menyuruh siswa melakukanpemeriksaan secara cermat untukmembuktikan benar atau tidaknya hipotesisyang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif,dihubungkan dengan hasil data processingdengan cara melakukan verifikasi kekelompok lain.
Generalization (menarikkesimpulan/generalisasi)Guru meminta siswa membuat kesimpulanberdasarkan hasil verifikasi, danmerumuskannya untuk menjawab problemstatement tentang hal-hal yang harusdiperhatikan dalam pengaturan rumahtangga.
Dalam kelompok, siswamengklasifikasikan hasil data yangdiperoleh berdasarkan bidangnya.
Dalam kelompoknya, siswamemverifikasi data yang telahdikelompokkan sesuai bidangnyadengan cara melakukan verifikasi kekelompok lain.
Siswa menggeneralisasi hasilverifikasi dan merumuskannya untukmenjawab problem statementtentang hal-hal yang harusdiperhatikan dalam pengaturanrumah tangga.
KESIMPULAN
Discovery Learning diterapkan dengan 6 langkah:
1) Stimulasi, guru bisa mengajak siswa untuk mengingat pengalaman pribadi yang
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan berdasarkan skala prioritas dengan
mempertimbangkan antara pengorbanan dan kepuasan.
2) Merumuskan masalah (hipotesis), guru memaparkan hipotesis tentang hal-hal yang
harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga.
3) Collecting information, siswa mengamati video upin dan ipin beli, pakai, suka dan
mengaitkannya dengan data/informasi dari berbagai sumber tentang hal-hal yang
harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga.
4) Data processing. Setelah mengumpulkan informasi, siswa memprosesnya dengan
teman sekelompok.
5) Data verification. Setelah memproses data, para siswa melakukan verifikasi ke
kelompok lain apakah sesuai dengan pemikiran mereka tentang hal-hal yang harus
diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga
6) Generalization. Siswa menggeneralisasi/membuat kesimpulan dan hasilnya
dipaparkan di depan kelas.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 40 ] P a g e
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan Discovery Learning, Guru harus
selalu memantau dengan cara :
a) Batasi waktu dalam melakukan kegiatan. Supaya siswa benar-benar efektif
menggunakan waktu yang ada dan tidak melebar ke mana-mana.
b) Catatlah dan beri bimbingan kepada siswa yang pasif dan cenderung tidak mau
melakukan apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari, dkk. 2010. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar.Bandung: Penerbit Alfabeta.
Borthick, F. dan Jones, Donald R. (2000) Motivation for Collaborative Online LearningInvention and Its Application in Information Systems Security Course. Issues inAccounting Education, Vol. 15, No. 2, pp. 181-210.
Tracy Bicknell-, Paul Seth Hoffman, (2000) "elicit, engage, experience, explore: discoverylearning in library instruction", Reference Services Review, Vol. 28 Iss: 4, pp.313 –322
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia nomor 103 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
Peningkatan Kemampuan Analisis… (Nanik Sri Setyani)
P a g e [ 41 ]
PENINGKATAN KEMAMPUAN ANALISIS KONSEP EKONOMI KREATIF MELALUI
METODE PEMBELAJARAN RESITASI
Nanik Sri SetyaniSTKIP PGRI JOMBANG
AbstrakTujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan analisis konsepekonomi kreatif melalui metode pembelajaran resitasi. Penelitian ini termasukpenelitian tindakan kelas. Subjek penelitian adalah peserta matakuliahPengantar Ilmu Ekonomi angkatan 2014 B, semester Gasal 2014/2015. Pada saatpra-siklus peneliti menggunakan metode diskusi kelompok, ternyata hasilnyarendah, tidak mencakup kemampuan merinci suatu informasi ke dalam elemen-elemen yang lebih kecil dengan maksud untuk memperjelas maknanya. Untukmeningkatkan bobot komentar yang bertanggung jawab, peneliti menerapkansiklus pertama dengan metode pembelajaran resitasi. Hasil penelitianmenunjukkan ada 80% mahasiswa sudah menganalisis dengan baik. Saran yangdiberikan peneliti adalah sebaiknya pengajar menunjukkan sumber dasar datayang dipilih, agar kualitas jawaban mereka tidak meluas dan dapatdipertanggungjawabkan.
Kata Kunci: analisis, ekonomi kreatif, resitasi
PENDAHULUAN
Matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi (PIE) adalah matakuliah yang ditempuh
mahasiswa pada semester pertama (transisi masa SMA dan PT). Latar belakang
pendidikan mereka beraneka ragam (SMA, SMK, MA, D3), sehingga peneliti sebagai
pengajar harus mengkondisikan mereka menjadi memiliki dasar pemahaman ekonomi
relatif sama. Diawali dengan pemahaman Ekonomi Mikro di kegiatan sebelum dan
Ekonomi Makro setelah Ujian Tengah Semester (UTS). Untuk materi makro peneliti
mencoba mengkombinasikan pembahasan materi Ekonomi Kreatif melalui analisis
sederhana (kombinasi kurikulum dengan materi yang sedang ‘up to date’, agar
mahasiswa baru (semester I) sudah mencoba berlatih/peka pada permasalahan ekonomi
di masyarakat.
Mahasiswa sering kali berpendapat negatif (negative thinking) pada saat
mengkritisi kebijakan pemerintah, khususnya di bidang Ekonomi. Hal ini terjadi karena
mereka masih menggunakan emosi tanpa menyiapkan sumber data sebagai dasar
berpendapat. Berdasarkan masalah tersebut peneliti sebagai dosen matakuliah
Pengantar Ilmu Ekonomi memiliki pengalaman pada saat membahas masalah ekonomi
melalui media masa/internet. Mahasiswa disuruh berdiskusi kelompok untuk memberi
komentar sekaligus alasannya tentang masalah ekonomi kreatif..
Pada saat ditanyakan secara lisan mereka condong berpikir negatif yaitu
pemerintah belum melakukan langkah-langkah yang jelas untuk menghadapi masalah
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 42 ] P a g e
ekonomi. Jika mereka ditanyakan alasannya tidak bisa menjawab/bertanggung jawab
atas pernyataannya, hanya sekedar menjawab tidak setuju. Kondisi inilah yang sering
terjadi, dalam diri/konsep pengetahuan mereka masih minim. Untuk itu perlu
pengembangan diri sendiri terlebih dahulu misalnya dengan metode pembelajaran
resitasi, sebelum mereka bertemu secara kelompok untuk menyatukan pendapat .
Dengan latar belakang tersebut peneliti berusaha meningkatkan kemampuan
menganalisis tentang konsep ekonomi kreatif melalui metode pembelajaran resitasi.
Menurut Koesoema (2007:224) Sekolah merupakan tempat istimewa bagi
penanaman nilai-nilai dan laboratorium bagi latihan pelaksanaan nilai yang membantu
mengembangkan individu menjadi pribadi yang semakin utuh, menghayati kebebasan
dan tanggung jawabnya sebagai individu dan makhluk sosial. Tujuan pendidikan adalah
untuk memajukan budi pekerti sehingga seorang individu menjadi manusia yang berbudi
pekerti luhur dan mampu mencapai kesempurnaan hidup sehingga mampu hidup selaras
dengan alam dan masyarakatnya. Menurut Sutoyo (2007:14) sikap mental positif pada
intinya mengajarkan kepada kita untuk berpikir sebelum bertindak.
Kemampuan mahasiswa dalam proses menganalisis tentunya harus dilakukan
berpikir sebelum bertindak. Adapun yang dimaksud kemampuan analisis dalam
penelitian adalah berdasarkan revisi taksonomi Bloom oleh Anderson and Krathwohl,
2001, pp. 67–68.
Tabel 1. The Cognitive Processes
lower order thinking skills higher order thinking skills
remember Understand apply Analyze evaluate create
recognizing• identifying
recalling• retrieving
interpreting• clarifying• paraphrasing• representing• translating
exemplifying• illustrating• instantiating
classifying• categorizing• subsuming
summarizing• abstracting• generalizing
inferring• concluding• extrapolating• interpolating• predicting
comparing• contrasting• mapping• matching
explaining• constructingmodels
executing• carrying out
implementing• using
differentiating• discriminating• distinguishing• focusing• selecting
organizing• finding coherence• integrating• outlining• parsing• structuring
attributing• deconstructing
checking• coordinating• detecting• monitoring• testing
critiquing• judging
generating• hypothesizing
planning• designing
producing• constructing
(Tabel 2: adapted from Anderson and Krathwohl, 2001, pp. 67–68.)
Peningkatan Kemampuan Analisis… (Nanik Sri Setyani)
P a g e [ 43 ]
Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa kemampuan analisis terdiri dari
tiga: (1) differentiating : discriminating, distinguishing, focusing, selecting; (2)
organizing: finding coherence, integrating, outlining, parsing, structuring, (3)
attributing: deconstructing. Ketiga kategori tersebut oleh Kawuryan didefinisikan sebagai
berikut: (1) membedakan (differentiating), dalam hal ini membedakan antarbagian
terutama dalam hal relevansi dan nilai masing-masing. Bentuk penilaiannya, misalnya
dengan meminta mahasiswa mengidentifikasi sesuatu yang lebih penting atau relevan
dari situasi yang diberikan. (2) mengorganisir (organizing), meliputi proses
mengidentifikasi bagian-bagian dari situasi atau komunikasi, dan bagaimana semuanya
masuk dalam satu kesatuan struktur. Ketika melakukan kegiatan ini, mahasiswa
membangun hubungan yang sistematis dan utuh antara bagian-bagian informasi yang
ada. (3) attributing, disebut juga proses dekonstruksi. Proses ini terjadi ketika
mahasiswa dapat mengetahui dengan pasti sudut pandang, penyimpangan-
penyimpangan, dan tujuan pokok
Pada matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi sub pokok bahasan Pendapatan
Nasional dan Daerah, perlu diselipkan pembahasan tentang Ekonomi Kreatif. Hal ini
dianggap penting karena keberadaan ekonomi kreatif sebagaimana terlihat pada
Gambar 1 memerlukan para aktor dan berbagai faktor yang akan mengarahkannya
pada titik yang diharapkan oleh semua pihak. Ada tiga aktor utama dalam
pengembangan ekonomi kreatif, yaitu: pemerintah, bisnis dan cendekiawan.
Gambar 1. Tiga hal penting dalam Ekonomi Kreatif
Sumber: Departemen Perdagangan RI (2008)
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 44 ] P a g e
Mahasiswa sebagai sasaran cendekiawan tentunya harus diajak berpikir tentang
ekonomi kreatif sejak dini. Minimal mengetahui dasar teori ekonomi kreatif yang ada
dalam Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025 yang
dirumuskan oleh Departemen Perdagangan RI yaitu penjelasan adanya evaluasi ekonomi
kreatif.
Menurut Teguh (2014:1) berdasarkan dokumen rencana ini dapat diketahui
bahwa adanya pergeseran dari era pertanian ke era industrialisasi lalu ke era
informasi yang disertai dengan banyaknya penemuan di bidang teknologi informasi
dan komunikasi serta globalisasi ekonomi. Perkembangan industrialisasi menciptakan
pola kerja, pola produksi dan pola distribusi yang lebih murah dan efisien. Agar
mahasiswa dapat segera beradaptasi menjadi seorang cendikiawan, maka sejak semester
satu mereka harus diajak berpikir, meskipun masih dalam tataran teoretis untuk
memahami konsep ekonomi kreatif.
Matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi adalah matakuliah dasar yang harus dikuasai
mahasiswa dengan baik. Peneliti harus mampu mengkondisikan konsep dasar ekonomi
di masing-masing individu dalam bentuk tugas yang tepat yaitu tugas mandiri bukan
kelompok. Dalam kegiatan pembelajaran ada istilah metode tugas mandiri atau dapat
disamakan dengan metode resitasi untuk menguatkan kemampuan mahasiswa dalam
menganalisis masalah.
Dalam penelitian ini dipilih metode pembelajaran resitasi/tugas mandiri karena
model diskusi kelompok tidak akan berhasil dengan baik jika semua anggota kelompok
belum memiliki konsep. Seringkali akan terjadi debat ‘kusir’ yang berkepanjangan
dengan hasil diskusi yang tidak maksimal. Menurut Djamarah (2002) metode ini memiliki
kelebihan: (1) Pengetahuan yang diperoleh peserta didik dari hasil belajar sendiri akan
dapat diingat lebih lama; (2) Peserta didik memiliki peluang untuk meningkatkan
keberanian, inisiatif, bertanggung jawab dan mandiri. Sedangkan kelemahannya: (1)
Kadang peserta didik melakukan penipuan, yaitu peserta didik hanya sekedar meniru
hasil pekerjaan temannya, tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri; (2) Kadang
tugas dikerjakan orang lain tanpa pengawasan; (3) Sukar memberikan tugas yang dapat
membedakan hasil secara individual.
Berdasarkan kelebihan dan kelemahan tersebut dalam memberikan resitasi/tugas
mandiri pada mahasiswa dapat dikontrol ujian lisan untuk mempertanggungjawabkan.
Berdasarkan data/kondisi tersebut peneliti melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas
dengan judul Peningkatan Kemampuan Menganalisis Konsep Ekonomi Kreatif melalui
Metode Pembelajaran Resitasi.
METODE
Penelitian ini termasuk Penelitian Tindakan Kelas/PTK individual, yakni guru
sebagai peneliti. PTK menurut Arikunto (2011: 3) merupakan suatu pencermatan
terhadap kegiatan belajar berupa sebuah kelas secara bersama. PTK pada hakikatnya
Peningkatan Kemampuan Analisis… (Nanik Sri Setyani)
P a g e [ 45 ]
merupakan rangkaian yang dilakukan secara siklus dalam rangka memecahkan masalah,
sampai masalah itu terpecahkan.
Masalah kemampuan analisis yang masih rendah dengan metode diskusi
kelompok dipecahkan pada Siklus Pertama dengan tahapan sebagai berikut:
1. Tahap Perencanaan
a. Menyusun Rencana Pelaksanaan Perkuliahan untuk pertemuan 1 dan 2 pada
siklus I yang di sesuaikan dengan materi yang dikembangkan yaitu masalah dasar
ekonomi makro, sub bahasan peningkatan pendapatan nasional/daerah melalui
konsep ekonomi kreatif dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
atau ASEAN Economic Community (AEC)
b. Membuat tugas mandiri berupa tugas mengkritisi kesiapan Indonesia menghadapi
MEA melalui ekonomi kreatif.
2. Tahap pelaksanaan tindakan:
a. Pertemuan pertama: melakukan pembelajaran sesuai Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang telah dibuat yaitu menjelaskan Pendapatan Nasional
dan Pendapatan Daerah.
b. Pertemuan kedua: melanjutkan pembahasan Pendapatan Nasional/Daerah
melalui Ekonomi Kreatif
c. Melaksanakan Evaluasi hasil belajar: berupa tugas mandiri dan ujian lisan (secara
paralel).
3. Tahap Pengamatan:
Tahap pengamatan dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan ketika pelaksanaan
pembelajaran berlangsung di dalam kelas.
Subjek penelitian adalah mahasiswa angkatan 2014 B (berjumlah 54 mahasiswa),
peserta matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi semester Gasal 2014/2015. Teknik
pengumpulan data menggunakan tes (berupa tugas) dan wawancara kepada
mahasiswa/pada saat ujian lisan.
Data yang diperoleh dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dianalisis dengan
analisis deskriptif. Analisa deskriptif kualitatif akan dijadikan metode dalam menganalisa
data yang sudah terkumpul. Analisis pada siklus pertama hasilnya akan dipakai untuk
kegiatan pada siklus selanjutnya. Jenis data yang diperoleh dan dianalisis ialah data
kualitatif yang berupa informasi berbentuk kalimat yang terdiri atas hasil observasi,
wawancara, dan catatan-catatan di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada saat pra-siklus peneliti memberi materi, dengan menggunakan metode
diskusi kelompok, tentang kebijakan pemerintah dalam menghadapi MEA. Ternyata
hasilnya mahasiswa belum mampu menganalisis dengan baik. Belum mampu
membedakan, mengorganisasi dan attributing.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 46 ] P a g e
Peneliti melaksanakan siklus pertama untuk menjawab/menyelesaikan masalah
tersebut, perlakuan yang diberikan adalah memberikan permasalahan ekonomi yang
diberikan sebagai resitasi/tugas mandiri secara tertulis. Permasalahannya adalah
bagaimana komentar/pendapat mahasiswa tentang kegiatan pemerintah dalam
menghadapi MEA 2015 ini, jika dikaitkan dengan konsep ekonomi kreatif yang sudah
dikembangkan? Mahasiswa sudah dijelaskan melalui perkuliahan dan diberi softcopy
atau sumber resmi dari departemen perdagangan yang dapat diunduh (‘buku Menuju
AEC tahun 2015’ dan buku ‘Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025’).
Kedua buku tersebut dapat disinergikan, karena dengan program ekonomi kreatif
yang berhasil Negara kita tidak akan merasa ‘was was’ dengan datangnya pasar global.
ASEAN Economic Community 2015. Melalui pemahaman kedua buku tersebut
diharapkan mahasiswa bisa berpendapat positif dan akan perilaku mendukung program
ekonomi kreatif.
Metode pembelajaran Retasi/Tugas mandiri diberikan bertujuan untuk memupuk
‘positif thinking” mahasiswa dalam menghadapi/mensikapi permasalahan ekonomi yang
ada di masyarakat. Mahasiswa diwajibkan untuk mencari menyelesaikan tugas tersebut
minimal dua data/sumber wajib yang sudah diberikan. Seperti dijelaskan sebelumnya
mahasiswa diajak untuk berpikir positif, berpikir sebelum bertindak. Dengan fasilitas
internet tugas ini tidaklah sulit. Mahasiswa diuji kemampuannya untuk menulis
komentar dengan kemampuan komunikasi tulis mereka.
Metode Pembelajaran Resitasi/Tugas mandiri tersebut didiskusikan untuk
disimpulkan. Kegiatan ini merupakan proses penanaman karakter karena mahasiswa
menerima/mencari data persiapan pemerintah baru mengamati proses aktivitas yang
terjadi, ada data pendukung komentar mereka, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 80 % (43 mahasiswa) mampu
menganalisis secara baik (mampu membedakan, mengoranisir dan attributing (proses
dekonstruksi). Sedangkan 20 % mahasiswa (11 mahasiswa) masih berkomentar/
berpendapat sangat sederhana terutama proses attributing (proses dekonstruksi).
Mahasiswa dilatih melakukan proses analisis masalah ekonomi yang terjadi di
masyarakat, mereka diwajibkan dengan proses berpikir positif yaitu proses berpikir
sebelum bertindak. Sering orang sukar untuk berpikir sebelum bertindak. Mereka sering
menggunakan otot daripada otak. Kecenderungan ini muncul karena mereka dihadapkan
pada masalah yang mendadak harus dijawab lisan (di sisi lain ilmu pengetahuan tentang
masalah tersebut terbatas).
Mahasiswa sebelum diproses komunikasi lisan hendaknya diproses komunikasi
tulisnya. Mengapa demikian? Berdasarkan data dan pengalaman untuk komunikasi lisan
tidak ada waktu berpikir untuk mendapatkan data pendukung untuk komentarnya.
Mereka masih tergolong memiliki pengetahuan yang terbatas terutama untuk
menganalisis masalah ekonomi yang terjadi masyarakat. Pada saat proses komunikasi
tertulis kesempatan untuk mendapatkan data relatif lebih lama/cukup untuk berusaha
Peningkatan Kemampuan Analisis… (Nanik Sri Setyani)
P a g e [ 47 ]
mencari sumber data yang relevan. Pembiasaan berkomunikasi tertulis berdasarkan data
adalah proses berpikir untuk bertindak yang bertanggung jawab.
Jika mahasiswa sudah sering dilatih untuk berpikir baru bertindak (bertanggung
jawab) melalui tugas mandiri maka kecenderungan muncul selalu/terbiasa berpikir
positif. Pikiran positif terhadap pemerintah adalah penting. Berawal dari berpikir positif
terhadap pemerintah akan membawa tindakan mereka berupa tindakan/karakter cinta
tanah air. Pemerintah secara keilmuan/logika tentunya telah merancang kebijakan
mereka melalui proses berpikir sebelum bertindak, sehingga hasil kebijakan pemerintah
selalu/condong bertanggung jawab terutama untuk masyarakat.
Proses berpikir positif ini akan menghasilkan mahasiswa yang bertanggung jawab
dalam bertindak, arogansi, anarkhis tidak akan terjadi. Sebelum menuntut mahasiswa
menjadi mahasiswa yang jujur berkualitas, guru harus memilikinya. Bangsa kita akan
menjadi besar jika memiliki penerus bangsa yang jujur dan berkualitas, penyakit korupsi
yang masih gencar di telinga kita akan hilang dengan masyarakat yang berpikir sebelum
bertindak. Semua tindakan mereka dapat dipertanggungjawabkan. Mahasiswa lebih
dewasa bersikap/ berkomentar sehubungan dengan kejadian di masyarakat. Pihak
perguruan tinggi akan lebih mudah mengendalikan emosi mahasiswa dengan cara positif.
Kesiapan mahasiswa (apalagi mahasiswa ekonomi) lebih terbentuk khususnya dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun ini.
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 80 % (43 mahasiswa) mampu
menganalisis secara baik. Sedangkan 20 % mahasiswa (11 mahasiswa) masih
berkomentar/berpendapat sangat sederhana. Implikasi hasil penelitian ini adalah
mahasiswa lebih dewasa bersikap/ berkomentar sehubungan dengan kejadian di
masyarakat, terutama masalah kebijakan Ekonomi. Pihak Perguruan Tinggi akan lebih
mudah mengendalikan emosi mahasiswa dengan cara positif. Kesiapan mahasiswa
(apalagi mahasiswa Ekonomi) lebih terbentuk khususnya dalam menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) tahun ini.
Penelitian ini masih bersifat kajian teori (kebijakan pemerintah), belum mengarah
ke peran mahasiswa secara praktek dalam menghadapi MEA. Saran yang diberikan
peneliti adalah sebaiknya pengajar menunjukkan sumber dasar data yang dipilih, agar
kualitas jawaban mereka tidak meluas dan dapat dipertanggungjawabkan. Ada sumber
data wajib dan tambahan adalah penting, agar kualitas jawaban mereka lebih dalam dan
tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, 2001, A Model of Learning Objectives based on A Taxonomy for Learning,Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of EducationalObjectives, 2001, diakses dari: http://www.celt.iastate.edu/pdfs-docs/teaching/Revised BloomsHandout.pdf. Tanggal : 12 Oktober 2014
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 48 ] P a g e
Arikunto, Suharsimi, dkk. 2011, Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: PT. Bumi Aksara
Departemen Perdagangan RI, 2008, Pengembangan Industri Kreatif Menuju EkonomiKreatif 2025, Rencana Pengembangan14 subsektor industry kreatif 2009 ‐2015. Diakses dari:http://www.karokab.go.id/koperindag/images/stories/BluePrintEkonomiKreatifIndonesiaBuku2.pdf, tanggal 20 September 2014
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain, 2002, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: RinekaCipta.
Kawuryan, Sekar Purbarini , Peningkatan Kemampuan Analisis Terhadap KebijakanPublik Melalui Model Pembelajaran Portofolio Pada Mata Kuliah Konsep DasarPKNDaiksesdari:http://eprints.uny.ac.id/4500/1/peningkatan_kemampuan_analisis_terhadap_kebijakan_publik.pdf. tanggal : 12 Oktober 2014
Koesoema, Doni, 2007, Pendidikan Karakter (Strategi mendidik anak di zaman global), PTGrasindo, Jakarta
Menuju ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC), tahun 2015’ . diakses pada :http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNITY%202015.pdf. tanggal 25September 2014
Sutoyo, Agus, 2000, Kiat Sukse Prof.Hembing, Prestasi Insan Indonesia, Jakarta
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
P a g e [ 49 ]
PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INQUIRY
PADA MATA PELAJARAN EKONOMI POKOK BAHASAN PASAR
Dewi FauziyahUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan model pembelajaraninkuiri dengan guru mata pelajaran sebagai pengamat yang menilaipelaksanaan proses pembelajaran. Berdasarkan data hasil penelitian makadapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri efektif untukmeningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran ekonomi pokokbahasan pasar di kelas X SMA Negeri 1 Kebomas Gresik. Selain itu,berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa telah terjadipeningkatan kemampuan afektif dan psikomotorik siswa dalam melaksanakanmetode pembelajaran inkuiri berdasarkan perbandingan kemampuan afektifdan psikomotorik siswa. Diharapkan metode inkuiri dapat diterapkansebagai salah satu metode pembelajaran alternatif yang digunakan untukmeningkatkan prestasi belajar siswa. Agar pelaksanaan pembelajaran denganmetode inkuiri dapat dilaksanakan dengan baik, diharapkan guru melakukanpembimbingan dalam observasi lapangan yang dilaksanakan oleh siswa secaraberkelompok.
Kata kunci: Model Pembelajaran inkuiri, Pokok Bahasan Pasar
PENDAHULUAN
Globalisasi telah mempengaruhi setiap sendi kehidupan umat manusia. Dampak
globalisasi dalam bidang pendidikan adalah dijadikannya pendidikan sebagai komoditas
yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik sosial, ekonomi, bahkan
politik. Menurut Wahono, (dalam Chotim, 2002:312) pendidikan merupakan wahana
untuk mengalami pergeseran orientasi, visi maupun ideologi. Persoalan besar dunia
pendidikan di Indonesia adalah: pertama, kesalahan paradigma dan pendekatan, dan
yang kedua beratnya tanggungan dan seriusnya ketimpangan sosial ekonomi bangsa.
Selain sebagai wahana pergeseran orientasi, visi dan ideologi Wahono juga mengatakan
bahwa Pendidikan merupakan wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat
membentuk watak, alat keterampilan, alat menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran
agama, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat menguasai teknologi, dan lain
sebagainya.
Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual-
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kepribadian
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (Munib, 2004:33). Oleh karena
itu, agar tujuan pendidikan tersebut dapat dicapai diperlukan sebuah sistem pendidikan
yang baik. Salah satu faktor yang sangat penting dan menentukan adalah metode
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 50 ] P a g e
pembelajaran yang diterapkan dalam proses pendidikan. Dengan metode yang tepat
diharapkan akan dicapai hasil pembelajaran yang optimal.
Proses kegiatan belajar mengajar di SMA seharusnya berlangsung menarik,
aktivitas siswa sebagai pembelajar selalu antusias dalam mengikuti pelajaran. Kegiatan
pembelajaran yang seharusnya menarik, penuh aktivitas dan ide-ide cemerlang itu tidak
ada, kelas yang ada hanyalah pasif di mana hanya terjadi pemberian informasi dari guru
ke siswa. Siswa hanya mendengarkan dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
Sutrisno (2008) mengungkapkan bahwa pembelajaran inkuiri berupaya
menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses
pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam
memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar.
Peranan guru dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah sebagai
pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan
kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan
dipecahkan dipilih oleh siswa. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber
belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru
masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah
harus dikurangi.
Dari berbagai metode pembelajaran yang ditawarkan akan diterapkan salah satu
komponen pendekatan kontekstual atau sering disebut CTL (Contextual Teaching and
Learning). Pendekatan CTL mempunyai tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme
(Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar
(Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang
sebenarnya (Authentic Assessment). Dengan ketujuh komponen CTL, salah satu
komponen yang akan diujicobakan adalah metode inkuiri. Secara keseluruhan metode
inkuiri menekankan pada keterampilan untuk meninjau lingkungannya secara lebih kritis
dan melatih siswa untuk dapat mengambil keputusan secara bertanggung jawab.
Secara garis besar metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang
mengkaitkan materi belajar dengan pengalaman siswa. Pengalaman dari masing-masing
siswa nantinya akan dirumuskan dan disimpulkan bersama-sama. Dengan metode
seperti ini diharapkan siswa akan menemukan materi secara mandiri sesuai dengan
pengalamannya serta siswa mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses
pembelajaran yang dilakukan.
Pokok bahasan pasar dalam mata pelajaran Ekonomi sangat erat kaitannya
dengan pengalaman sehari-hari siswa. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran pada
pokok bahasan pasar sangat tepat diterapkan dengan metode inkuiri. Dalam pokok
bahasan pasar terdapat beberapa sub pokok bahasan yaitu jenis-jenis pasar, transaksi,
dan penentuan harga.
Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di SMA, masih banyak guru yang
menggunakan metode konvensional sebagai satu-satunya metode yang diterapkan dalam
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
P a g e [ 51 ]
berbagai mata pelajaran, terutama mata pelajaran ekonomi, sehingga banyak siswa yang
mengalami kejenuhan. Guru masih kesulitan dalam menemukan metode yang tepat,
dengan waktu dan sarana yang terbatas, serta pemahaman siswa terhadap materi masih
kurang, ini menyebabkan banyak siswa yang mendapatkan hasil belajar di bawah standar
dan belum mencapai ketuntasan belajar. Untuk mengatasi hal itu, peran guru sangat
penting, ini tergantung pada metode pembelajaran apa yang digunakan oleh guru
sehingga dapat menarik dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Dari latar belakang yang dipaparkan diatas maka rumusan masalah adalah
bagaimana penerapan strategi pembelajaran inkuiri pada mata pelajaran ekonomi pokok
bahasan pasar di kelas X SMA N 1 Kebomas Gresik? Adapun tujuan dari penulisan ini
adalah: 1) mengubah peranan yang dominan dalam pembelajaran, menjadi pembelajaran
yang berpusat pada siswa peran dosen sebagai pembimbing, motivator, fasilitator. 2)
Meningkatkan partisipasi siswa dalam membantu mengembangkan potensi intrinsik
dalam pembelajaran, 3) Mengetahui bagaimana penerapan strategi pembelajaran inkuiri
pada mata pelajaran ekonomi pokok bahasan pasar, dan 4) Mengetahui penerapan
strategi pembelajaran inkuiri agar dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran
ekonomi.
MODEL PEMBELAJARAN
Cara guru mengajar menjadi salah satu penentu keberhasilan proses belajar-
mengajar. Salah satu caranya adalah dengan penerapan model pembelajaran. Model
pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang
disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan
bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, model
pembelajaran yang diutamakan dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah model
pembelajaran Inkuiri (Inquiry Based Learning), model pembelajaran Discovery (Discovery
Learning), model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning), dan model
pembelajaran berbasis permasalahan (Problem Based Learning).
Untuk menentukan model pembelajaran yang akan dilaksanakan dapat
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kesesuaian model pembelajaran dengan kompetensi sikap pada KI-1 dan KI-2 serta
kompetensi pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan KD-3 dan/atau KD-4.
2. Kesesuaian model pembelajaran dengan karakteristik KD-1 (jika ada) dan KD-2 yang
dapat mengembangkan kompetensi sikap, dan kesesuaian materi pembelajaran
dengan tuntutan KD-3 dan KD-4 untuk mengembangkan kompetensi pengetahuan
dan keterampilan.
Penggunaan pendekatan saintifik yang mengembangkan pengalaman belajar
peserta didik melalui kegiatan mengamati (observing), menanya (questioning),
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 52 ] P a g e
mencoba/mengumpulkan informasi (experimenting/collecting information),
mengasosiasi/menalar (associating), dan mengomunikasikan (communicating).
Inquiry Learning
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara
maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda,
manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Pembelajaran inkuiri menekankan kepada proses mencari dan menemukan.
Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung. Peran siswa dalam pembelajaran ini
adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran, sedangkan guru berperan
sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Pembelajaran inkuiri merupakan
rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan
analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara
guru dan siswa. Pembelajaran ini sering juga dinamakan pembelajaran heuristic, yang
berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti “saya menemukan”.Wina
sanjaya,(2008:194)
Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat
bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas dan
suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus
pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi
dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta,
sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.
Adapun beberapa pengertian mengenai Metode Pembelajaran Inkuiri menurut paha
ahli sebagai berikut:
1. Phillips (dalam Arnyana, 2007:39) mengemukakan “inkuiri merupakan pendekatan
pembelajaran yang dapat diterapkan pada semua jenjang pendidikan. Pembelajaran
dengan pendekatan ini sangat terintegrasi meliputi penerapan proses sains yang
menerapkan proses berpikir logis dan berpikir kritis”.
2. Wina Sanjaya (2008:196) berpendapat bahwa “strategi pembelajaran inkuiri adalah
rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara
kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu
masalah yang dipertanyakan”.
3. Syaiful Sagala (2011:196), Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang
berupaya menanam kan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa yang berperan
sebagai subjek belajar, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak
belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah.
4. Aziz (Ahmad, 2011), Metode inkuiri adalah metode yang menempatkan dan
menuntut guru untuk membantu siswa menemukan sendiri data, fakta dan informasi
tersebut dari berbagai sumber agar dengan kegiatan itu dapat memberikan
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
P a g e [ 53 ]
pengalaman kepada siswa. Pengalaman ini akan berguna dalam menghadapi dan
memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya.
Strategi pembelajaran Inkuiri atau strategi pembelajaran inkuiri (SPI) merupakan
salah satu dari strategi pembelajaran yang dapat diterapkan di dalam proses
pembelajaran di dalam kelas. Strategi pembelajaran ini menekankan pada proses
mencari dan menemukan (Wina Sanjaya, 2012:201). Di dalam proses pembelajaran,
materi pembelajaran tidak diberikan secara langsung oleh guru kepada siswa, akan tetapi
guru membimbing siswa dan menjadi fasilitator untuk membantu siswa dalam mencari dan
menemukan materi pembelajaran, dan peserta didik mencari dan menemukan sendiri jawaban
dari suatu masalah yang dipertanyakan secara kritis dan analitis.
Strategi pembelajaran inkuiri banyak dipengaruhi oleh aliran belajar kognitif. Menurut
aliran ini, belajar adalah proses mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan segala
potensi mental yang dimiliki setiap individu secara optimal. Belajar bukan hanya persoalan
menghafal materi yang diberikan oleh guru, akan tetapi belajar merupakan proses di mana
setiap individu memperoleh pengetahuan tersebut melalui ketrampilan berpikir individu,
dengan kata lain bahwa pengetahuan yang diperoleh tidak langsung dari guru, melainkan
peserta didik sendiri yang mencari dan menemukannya.
Strategi Pembelajaran Inkuiri adalah teori belajar konstruktivistik, di mana peserta
didik secara pribadi menyusun dan membangun pemahamannya dan pengetahuannya sendiri,
sehingga peserta didik sungguh dituntut untuk aktif dalam mencari dan menemukan
pengetahuan. Dalam proses seperti ini guru, berperan sebagai fasilitator yang membantu
jalannya proses pembelajaran.
Keunggulan dan Kelemahan Metode Pembelajaran Inkuiri
Di dalam pembelajaran inkuiri ini, terdapat beberapa keunggulan dan juga
kelemahan dalam penerapannya. Adapun keunggulan dan kelemahan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Keunggulan
Keunggulan metode pembelajaran inkuiri yang diungkap Wina Sanjaya (2012:
208) ialah strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi pembelajaran yang banyak
dianjurkan, oleh karena strategi ini memiliki beberapa keunggulan, di antaranya:
a. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi pembelajaran yang menekankan
pada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang,
sehingga pembelajaran melalui strategi ini dianggap lebih bermakna.
b. Strategi pembelajaran inkuiri dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar
sesuai dengan gaya belajar mereka.
c. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan
perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses
perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 54 ] P a g e
d. Keuntungan lain adalah strategi pembelajaran ini dapat melayani kebutuhan siswa
yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki
kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.
2. Kelemahan
Kelemahan metode pembelajaran inkuiri yang diungkap Wina Sanjaya, (2012:
208) menyatakan bahwa di samping memiliki keunggulan, strategi pembelajaran inkuiri
mempunyai kelemahan, di antaranya:
a. Jika SPI digunakan sebagai strategi pembelajaran, maka akan sulit mengontrol
kegiatan dan keberhasilan siswa.
b. Strategi ini sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan
kebiasaan siswa dalam belajar.
c. Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang
sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan.
d. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai
materi pelajaran, maka strategi pembelajaran inkuiri akan sulit diimplementasikan
oleh setiap guru.
Secara umum Wina Sanjaya (2012: 201) mengemukakan bahwa proses
pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dapat mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:
2.MERUMUSKAN
MASALAH
3.MERUMUSKAN
HIPOTESIS
4.MENGUMPULKA
N DATA
5.MENGUJI
HIPOTESIS
6.MERUMUSKAN
KESIMPULAN
1.ORIENTASI
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
P a g e [ 55 ]
Secara umum, langkah-langkah model pembelajaran inkuiri sebagai berikut:
1. Orientasi
Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran
yang responsif. Pada langkah ini guru mengkondisikan agar siswa siap melaksanakan
proses pembelajaran. Guru merangsang dan mengajak siswa untuk berpikir
memecahkan masalah. Langkah orientasi merupakan langkah yang sangat penting.
Keberhasilan strategi ini sangat tergantung pada kemauan siswa untuk beraktivitas
menggunakan kemampuannya dalam memecahkan masalah, tanpa kemauan dan
kemampuan maka proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan lancar.
2. Merumuskan masalah
Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu persoalan
yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang
menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki itu. Dikatakan teka-teki
dalam rumusan masalah yang ingin dikaji disebabkan masalah itu tentu
ada jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Proses
mencari jawaban itulah yang sangat penting dalam strategi inkuiri, oleh sebab itu
melalui proses tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga
sebagai upaya mengembangkan mental melalui proses berpikir.
3. Merumuskan hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang dikaji.
Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya. Perkiraan sebagai
hipotesis bukan sembarang perkiraan, tetapi harus memiliki landasan berpikir yang
kokoh, sehingga hipotesis yang dimunculkan itu bersifat rasional dan logis.
Kemampuan berpikir logis itu sendiri akan sangat dipengaruhi oleh kedalaman
wawasan yang dimiliki serta keluasan pengalaman. Dengan demikian, setiap individu
yang kurang mempunyai wawasan akan sulit mengembangkan hipotesis yang
rasional dan logis.
4. Mengumpulkan data
Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk
menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data
merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual.
Proses pengumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam
belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan
potensi berpikirnya
5. Menguji hipotesis
Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan
data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Menguji hipotesis
juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran
jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus
didukung oleh data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 56 ] P a g e
6. Merumuskan kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh
berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai kesimpulan yang akurat
sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang relevan.
PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INQUIRI PADA MATA PELAJARAN
EKONOMI POKOK BAHASAN PASAR
Contoh Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Inquiry Learning)
Pada penerapan model pembelajaran penemuan atau inquiry terdapat prosedur
yang harus dilakukan yang meliputi tahap 1. Orientasi , 2. merumuskan masalah
(identifikasi masalah) , 3. merumuskan hipotesis, 4. mengumpulkan data (Data collection
), 5. menguji hipotesis (pengolahan data), 6. (menarik kesimpulan/generalisasi).
Contoh penerapan model pembelajaran inkuiri pada materi Ekonomi tentang
pasar.
Kompetensi
Dasar
: 3.4 Mendeskripsikan konsep pasar dan terbentuknya
harga pasar dalam perekonomian
4.4 Melakukan penelitian tentang pasar dan terbentuknya
harga pasar dalam perekonomian
Topik : pasar
Sub Topik : Penelitian tentang pasar dan terbentuknya harga pasar dalam
perekonomian.
Tujuan : 1) Melalui pengamatan siswa dapat mengidentifikasi jenis
pasar.
2) Melalui kegiatan tanya jawab, siswa dapat mengetahui
permintaan barang dan jasa dengan tepat.
3) Melalui percobaan, siswa dapat mengetahui harga
keseimbangan dengan benar.
4) Melalui kegiatan presentasi, siswa dapat mengetahui
penawaran barang dan jasa dengan benar.
Alokasi Waktu : 1x pertemuan (3 JP)
SINTAK
PEMBELAJARANKEGIATAN PEMBELAJARAN
1. Orientasi (Pemberian
rangsangan)
1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran kemudian
dapat memberikan konsep dasar, petunjuk atau
referensi yang diperlukan dalam pembelajaran.
2) Melakukan brainstorming dimana peserta didik
dihadapkan pada masalah hasil pengamatan tentang
terbentuknya harga pasar dalam perekonomian.
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
P a g e [ 57 ]
3) Mencatat data hasil pengamatan tentang pasar .
- Berdasarkan data pengamatan di lapangan peserta
didik akan mengumpulkan informasi tentang konsep
pasar dan terbentuknya harga pasar dalam
perekonomian
2. Merumuskan masalah
(pertanyaan/identifi
kasi masalah)
Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin konsep pasar yang
berkaitan dengan terbentuknya harga pasar dalam
perekonomian di lingkungan setempat sampai siswa
menentukan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
melalui kegiatan belajar, contohnya
- Contoh apa saja di lingkungannya yang menjelaskan
tentang jenis-jenis pasar?
- Contoh apa saja di lingkungannya yang menjelaskan
permintaan barang dan jasa dengan tepat ?
- Contoh percobaan apa saja di lingkungannya yang
dapat mengetahui harga keseimbangan dengan benar?
- Bagaimana cara mengetahui kegiatan penawaran
barang dan jasa dengan benar ?
3. Data collection
(pengumpulan data)
Pada tahap ini peserta didik mengumpulkan informasi
yang relevan untuk menjawab pertanyaan yang telah
diidentifikasi melalui:
- Melakukan pengumpulan data tentang jenis-jenis
pasar.
- Melakukan pengumpulan data tentang permintaan
barang dan jasa yang belum diketahui dengan tepat.
- Melakukan pengumpulan data tentang permintaan
barang dan jasa yang belum diketahui dengan tepat.
4. Data processing
(pengolahan Data)
Pada tahap ini peserta didik dalam kelompoknya
berdiskusi untuk mengolah data hasil pengamatan dengan
cara:
- Mengolah data pengamatan dengan bantuan
pertanyaan-pertanyaan pada lembar kerja, misalnya
mengolah data tentang untuk membantu mencipta
hasil karya sesuai materi tentang pasar.
5. Verification
(pembuktian)
Menguji hipotesis
Pada tahap verifikasi peserta didik mendiskusikan hasil
pengolahan data dan memverifikasi hasil pengolahan
dengan teori pada buku sumber. Misalnya dengan cara:
- Mengkonfirmasikan data dengan teori yang
berhubungan dengan pasar di lingkungan setempat.
- Memverifikasi jawaban kelompok tentang hasil analisis
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 58 ] P a g e
data masing-masing individu yang ada dalam
kelompok.
- Berdiskusi menentukan solusi atau penyelesaian dari
konsep pasar dan terbentuknya harga pasar tersebut di
atas..
6. Generalization
(menarik
kesimpulan)
Pada tahap ini peserta didik menyimpulkan hasil observasi
dan diskusi misalnya menyimpulkan :
- Penelitian tentang pasar dan terbentuknya harga pasar
dalam perekonomian.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang disajikan dalam pembahasan dapat ditarik
kesimpulan bahwa Strategi pembelajaran inkuiri dapat digunakan untuk meningkatkan
proses pembelajaran siswa, dan dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh
pembelajaran pada berbagai mata pelajaran, khususnya ekonomi, yaitu meliputi aspek:
kemampuan mengemukakan pendapat, kemampuan menganalisa masalah, kemampuan
menuliskan pendapatnya setelah melakukan pengamatan, dan kemampuan
menyimpulkan.
Pembelajaran inkuiri melibatkan seluruh siswa secara aktif dalam pembelajaran
ekonomi dalam kelas sangat penting, karena melibatkan para siswa dalam berbagai
kegiatan belajar, dengan demikian siswa memperoleh hasil belajar yang lebih baik dan
peningkatan prestasi belajar ekonomi dalam tugas dan ujian.
Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti dapat memberikan saran-saran
sebagai berikut:
1. Guru
Guru hendaknya memberikan pengarahan kepada siswa mengenai sikap belajar
yang positif dengan latihan dan pengalaman dari keadaan yang tidak tahu menjadi
tahu yang diukur melalui toleransi, kebersamaan, gotong-royong, rasa setia kawan
dan kejujuran untuk menciptakan suatu pembelajaran yang efektif.
Guru memberikan motivasi, pembelajaran yang bervariasi agar siswa tidak bosan
dan merasa senang, tertarik dengan mata pelajaran, sehingga tumbuh minat
dalam belajar.
Guru lebih mempersiapkan secara matang cara membawa diri untuk menciptakan
suatu suasana kelas yang menyenangkan sehingga akan terwujud suatu proses
pembelajaran di dalam kelas yang baik sehingga dapat mempengaruhi prestasi
belajar siswa.
2. Siswa
Siswa hendaknya memperbaiki sikap belajarnya baik di dalam sekolah maupun di
luar sekolah yang akan membuat siswa mudah dalam menerima pelajaran dan
dapat meningkatkan prestasi.
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
P a g e [ 59 ]
Siswa hendaknya memiliki semangat belajar dengan cara berlatih terus menerus
dan berupaya untuk memahami ilmu yang disampaikan.
Siswa hendaknya lebih banyak mencari pengetahuan dari pengalaman yang
berhubungan dengan matematika agar lebih benar-benar memahami materi dan
bisa teringat lama dalam pikiran.
DAFTAR PUSTAKA
Chotim, Wahono.(2002). lembaran Ilmu Kependidikan. Semarang : UPT UNNES Press
Depdiknas. 2003. Undang-undang Sikdiknas ( UU Ri No 20 tahun 2003). Jakarta.Depdiknas
Munib, 2004. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK UNNES
Sutrisno, 2008.. Pembelajaran Inkuiri. www.Google.com
Sanjaya Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.jakarta: Kencana Perdana Media Group.
Gulo, Joyce. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : grasindo
Philips, Arnyana, 2007: methode Pebelajaran inkuiri . Tesis Pascasarjana TeknplogiPendidikan
Sagala, syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: alfabeta
Ahmad, Aziz. 2011. Hakikat Metode Inkuiri. Universitasas Negeri Makasar. Diakses darihttp://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/.../HAKIKAT METODE INKUIRI rtf. diaksespada tanggal 25 November 2012
Sanjaya Wina. 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Rawamangun-jakarta: Kencana Perdana Media Group
Kemendikbud, 2014. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan DANKebudayaan dan penjamin mutu pendidikan . Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 60 ] P a g e
PROFESIONALISME GURU DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR
SISWA MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI PADA MATA PELAJARAN EKONOMI
Ratna Fitri AstutiUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakDalam menghadapi MEA 2015 dunia dituntut untuk memiliki Sumber DayaManusia yang mampu bersaing. Hal ini harus didukung dari sektor pendidikandengan pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang berkualitas. Kualitasdari KBM ini tidak hanya dari lembaga sekolah tetapi diperlukan guru yangprofesional dan berkualitas, sehingga mampu memotivasi siswa untuk belajarmelalui penerapan model pembelajaran inkuiri. Penerapan model pembelajaranpada penulisan ini difokuskan pada mata pelajaran ekonomi, yang bertujuanuntuk mengetahui bagaimana penerapan model pembelajaran inkuiri mampumeningkatkan motivasi belajar siswa. Dalam kegiatan belajar mengajar guruharus selalu berinovasi dalam model pembelajaran yang digunakan, hal inibertujuan agar siswa selalu termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Modelpembelajaran inkuiri dapat dijadikan alternatif dari inovasi yang dilakukan guru,di mana inkuiri merupakan salah satu model yang dapat digunakan untukmengembangkan kemampuan belajar siswa. Dengan model pembelajaran inkuiriyang menuntut siswa untuk menemukan sendiri permasalahan pada sebuahmateri, maka siswa akan termotivasi untuk mempersiapkan diri sebelum KBM.
Kata kunci: Profesionalisme guru, motivasi belajar, model pembelajaran
PENDAHULUAN
Dunia saat ini sedang dihadapkan pada era globalisasi, di mana batasan suatu
Negara semakin tak kentara dengan tingkat dinamika dan mobilitas yang semakin tinggi
dari masyarakatnya. Demikian pula globalisasi yang dalam perjalanannya menawarkan
sebuah fenomena baru di dalam sejarah perkembangan masyarakat. Saat ini, bukan saja
isu perekonomian dan perdagangan dunia yang kian menyatu, namun juga berbagai isu
lain seperti pada dunia pendidikan. Perkembangan global menunjukkan semakin
dibutuhkannya SDM berkualitas, di mana diharapkan tersedianya tenaga kerja yang
kompeten di bidangnya dan memiliki ketangguhan daya saing.
Pembentukan SDM yang berkualitas dari dunia pendidikan dapat dilakukan
dengan adanya kegiatan belajar mengajar (KBM) yang berkualitas pula, bukan hanya dari
segi siswanya tetapi kualitas guru yang profesional juga sangat diperlukan. Ace Suryadi
(1999:298) mengemukakan bahwa untuk mencapai taraf kompetensi, seorang guru
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Status kompetensi yang
professional tidak diberikan oleh siapapun tetapi harus dicapai oleh masing-masing
individu. Semua mata pelajaran yang ada di sekolah harus di proses dengan baik agar
siswa dapat memperoleh ilmu secara maksimal, tidak terkecuali untuk mata pelajaran
ekonomi.
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
P a g e [ 61 ]
Pada mata pelajaran ekonomi terdapat berbagai materi, mulai dari materi mikro
yang cukup mudah karena bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa, hingga
materi makro yang akan sangat sulit untuk dipahami oleh siswa. Sehingga guru sebagai
pemberi informasi di dalam kelas harus mampu memotivasi dan merangsang siswa
untuk mampu menerima informasi dalam bentuk materi pelajaran dengan baik. Aqib
(2002) menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang
yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi
berfungsi sebagai pendorong, pengarah dan penggerak tingkah laku. Dengan adanya
motivasi siswa dapat memiliki dorongan dari dalam diri untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Usaha yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan motivasi belajar
siswa adalah dengan memilih model pembelajaran yang tepat, namun tidak sedikit guru
yang masih mengabaikan pentingnya penerapan model pembelajaran.
Sering kita temui dalam realita kegiatan belajar mengajar sehari-hari,
pembelajaran masih bersifat konvensional, guru hanya memberikan penjelasan dan
siswa yang mendengarkan, ketika guru mencoba memberikan satu pertanyaan tidak
banyak siswa yang mau mengangkat tangan untuk menjawab. Dalam kegiatan
pembelajaran siswa memang dibiasakan dalam diskusi kelompok, namun kecenderungan
nilai yang diberikan hanya penilaian kelompok tanpa memberikan kesempatan pada
masing-masing siswa untuk mengasah kemampuannya, akibatnya pola belajar siswa
kurang efektif.
Pada pembelajaran ekonomi akan lebih baik apabila guru tidak hanya mengajar
dengan satu arah, tidak juga hanya dengan penerapan satu model, tetapi harusnya
bervariasi dalam model, metode maupun media pembelajaran. Dengan adanya variasi
model maupun metode, maka guru dapat melaksanakan perannya untuk menciptakan
suasana pembelajaran yang dapat memotivasi siswa agar senantiasa belajar dengan baik.
Salah satu model yang dapat digunakan dalam variasi pembelajaran ekonomi adalah
model pembelajaran inquiry. Gulo (2002) menyatakan strategi inkuiri berarti suatu
rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa
untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka
dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Pembelajaran
inkuiri dirancang untuk mengajak dan memberikan kesempatan pada siswa masuk ke
dalam proses berpikir ilmiah.
Dalam model pembelajaran ini pusat pembelajaran berada pada siswa dan guru
berkedudukan sebagai motivator, fasilitator, penanya, administrator, pengarah, manajer,
dan rewarder. Siswa harus berperan aktif untuk mencari informasi berupa fakta-fakta
yang kemudian dikaitkan dengan materi yang ada. Siswa harus memiliki kepercayaan diri
yang penuh untuk menyimpulkan hasil temuannya. Berdasarkan uraian di atas maka
dapat ditarik sebuah rumusan masalah, yaitu bagaimana pembelajaran dengan model
inkuiri dapat meningkatkan motivasi belajar siswa?
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 62 ] P a g e
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profesionalisme Guru
Definisi yang kita kenal sehari-hari adalah bahwa guru merupakan orang yang
harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki wibawa hingga perlu untuk
ditiru atau diteladani. Hamzah B. Uno (2008:15) menjelaskan bahwa guru adalah orang
dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan
membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki
kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola
kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat
kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan
keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar
bidang pendidikan. Pidarta (2007) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari profesionalisasi pendidik karena yang menjadi
penyelenggara pendidikan adalah para pendidik juga. Jadi, penyelenggara pendidikan
dan pendidik sama-sama punya hak untuk memilih konsep, menentukan kebijakan, dan
cara-cara melaksanakan pendidikan. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang
telah sedemikian pesat, profesionalisme seorang guru dituntut untuk lebih baik. Seorang
guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh pesrta
didiknya. Untuk itu, apabila seseorang ingin menjadi guru yang profesional maka sudah
seharusnya ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis
melalui jalur pendidikan berjenjang maupun pelatihan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru harus memiliki kompetensi
professional, yaitu seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar
ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Adapun kompetensi yang
harus dimiliki oleh seorang guru adalah: 1) kompetensi pribadi, 2) kompetensi sosial, 3)
kompetensi professional mengajar. Selain kompetensi profesional, sebagai pendukung
seorang guru juga harus kreatif dalam menyelenggarakan pendidikan, Latuconsina
(2014) menjelaskan bahwa guru yang kreatif adalah guru yang mampu menjadi orang
kreatif dalam hidupnya (creative teacher) dan guru yang mampu memberikan layanan
pembelajaran secara kreatif (creative teaching). Dengan profesionalisme yang dimiliki
seorang guru dan didukung kreativitas yang cukup maka output yang dihasilkan pun
akan optimal.
Terkait dengan pentingnya profesionalisme seorang guru, maka seorang guru
memiliki fungsi dan peranan tersendiri. Menurut Damsar (2012:156) fungsi dari guru
memiliki dua dimensi, yaitu laten dan manifest. Fungsi laten merupakan berbagai
konsekuensi dari praktik kultural yang tidak disengaja atau tidak disadari, membantu
penyesuaian atau adaptasi system. Fugsi laten dari guru trhadap masyarakat pada suatu
ruang terdiri dari: 1) Guru sebagai pelabel Secara tidak kita sadari, guru memiliki fungsi
sebagai pelabel bagi masa depan anak-anak. Fungsi guru tersebut akan sangat
berpengaruhpada pola perilaku peserta didik, label seperti apa yang diberikan oleh
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
P a g e [ 63 ]
seorang guru, maka konsekuensinya akan berdampak pada masa depan seorang peserta
didik. 2) Guru sebagai “Penyambung Lidah Kelas Menengah Atas” Guru mensosialisasikan
nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat, apa yang dianggap baik dan
buruk, apa yang dipandang benar dan salah, dan apa yang dilihat tinggi atau rendah
merupakan konstruksi sosial tentang nilai dan norma di masyarakat. Guru dalam fungsi
ini telah menyebabkan para murid memiliki pandangan yang relative sama satu sama
lain, yaitu pandangan dari perspektif kelas menengah ke atas. Pandangan yang sama ini
di satu sisi memungkinkan peserta didik bisa bekerja sama satu dan yang lain, namun di
sisi lain, pandangan tentang nilai dan norma dipandang sebagai sesuatu yang tidak cocok
bagi kehidupan orang yang berpendidikan.
Fungsi lain yang dimiliki oleh seorang guru adalah fungsi manifest, yaitu berbagai
konskuensi dari praktik kultural yang disengaja atau disadarai, membantu penyesuaian
atau adaptasi system. Fungsi guru yang diharapkan, disengaja, dan disadari guru oleh
masyarakat pada suatu ruang terdiri dari: 1) Guru sebagai pengajar Pada masyarakat
manapun menyadari dan mengharapkan agar guru menjadi pengajar terhadap anak-anak
mereka. Masyarakat mengharapkan guru dapat memberikan pengetahuan dan
ketrampilan dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik. 2) Guru sebagai pendidik Dalam
masyarakat, guru tidak hanya diharapkan untuk sekedar mengajarkan pengetahuan dan
ketrampilan, tetapi lebih dari itu dengan mndidik segala sesuatu yang diperlukan murid
sehingga dalam beradaptasi dengan berbagai persoalan yang ada di tngah masyarakat.
Perbedaan mengajar dan mendidik dalam hal ini terletak pada kedalaman dan kualitas
dari aktivitas yang dilakukan. Meskipun sebagian guru di Indonesia sudah mengalami
sertifikasi, namun masih ada guru yang belum menjadi seorang pendidik dan hanya
sebagai pengajar. 3) Guru sebagai teladan Bagi peserta didik guru adalah seorang yang
mulia, oleh sebab itu apa saja yang dikatakan, dilakukan dan diperbuat oleh guru
dipandang sebagai suatu kebenaran. Jika guru tidak mampu memainkan peran dan
memenuhi fungsi seperti yang diharapkan masyarakat, maka akan sangat berdampak
pula bagi peserta didik. 4) Guru sebagai motivator Guru diharapkan mampu memberikan
dorongan, kekuatan, motivasi, dan energy yang besar kepada semua peserta didiknya
agar mereka mampu meraih cita-cita yang digantung setinggi langit.
Model Pembelajaran Inkuiri (Inquiry)
Model pembelajaran inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang
diterapkan dalam kurikulum 2013, model pembelajaran sendiri dapat didefinisikan
secara sempit dan secara luas atau umum. Dalam definisi secara sempit, model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan guru
dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Syaiful Sagala, 2005
dalam Indrawati dan Wawan Setiawan 2009: 27). Sedangkan secara luas, Joyce dan Weil
(2000: 13) dalam Indrawati dan Wawan Setiawan (2009: 27) mengemukakan bahwa
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 64 ] P a g e
model pembelajaran merupakan deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan
perencanaan kurikulum, kursus-kursus, rancangan unit pembelajaran, perlengkapan
belajar, buku-buku pelajaran, program multimedia, dan bantuan belajar melalui program
komputer.
Indrawati (1999: 9) dalam Trianto (2007: 134) menyatakan, bahwa suatu
pembelajaran pada umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-
model pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan
model-model pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berpikir
dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi. Menurut Downey
(1967) dalam Joyce (1992: 107) dalam Trianto (2007: 134) menyatakan: The core of good
thinking is the ability to solve problems. The essence of problem solving is the ability to
learn in puzzling situations. Thus, in the school of these particular dreams, learning how to
learn pervades what is the taught, how it is taught, and the kind of place in which it is
taught.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa inti dari berpikir yang baik adalah
kemampuan untuk memecahkan masalah. Dasar dari pemecahan masalah adalah
kemampuan untuk belajar dalam situasi proses berpikir. Dengan demikian, hal ini dapat
diimplementasikan bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar yang
meliputi apa yang diajarkan, bagaimana hal itu diajarkan, jenis kondisi belajar, dan
memperoleh pandangan baru. Salah satu yang termasuk dalam model pemrosesan
informasi adalah model inkuiri.
Sund, seperti yang dikutip oleh Suryosubroto (1993: 193) dalam Trianto (2007:
135), menyatakan bahwa discovery merupakan bagian dari inquiry, atau inquiry
merupakan perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Inkuiri yang
dalam bahasa Inggris inquiry, berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan.
Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau
memahami informasi.
Model pembelajaran inkuiri memiliki ciri-ciri yang lebih terpusat pada siswa,
Hosnan (2014:341) menjelaskan ciri-ciri pembelajaran inkuiri adalah: 1) Pembelajaran
inkuiri menekankan pada aktivitas peserta didik secara maksimal untuk mencari dan
menemukan, 2) Seluruh aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik diarahkan untuk
mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga
diharapkan dapat menimbulkan sikap percaya diri, 3) Tujuan dari penggunaan
pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis,
logis, dan kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses
mental.
Gulo (2002) dalam Trianto (2007: 135) menyatakan strategi inkuiri berarti suatu
rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa
untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka
dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama
kegiatan pembelajaran inkuiri adalah (1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
P a g e [ 65 ]
proses kegiatan belajar; (2) keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan
pembelajaran; dan (3) mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang
ditemukan dalam proses inkuiri. Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya
kegiatan inkuiri bagi siswa adalah: 1) Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang
mengundang siswa berdiskusi; 2) Inkuiri berfokus pada hipotesis; dan 3) Penggunaan
fakta sebagai evidensi (informasi, fakta).
Trianto (2007:136) menjelaskan bahwa untuk menciptakan kondisi yang
mendukung kegiatan inkuiri, peran guru sangatlah penting. Peran guru yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan
bergairah berpikir, 2) Fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami
kesulitan, 3) Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat, 4)
Administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas, 5) Pengarah,
memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan, 6) Manajer,
mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas, 7) Rewarder, memberi
penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa. Seorang guru yang kreatif akan mampu
melaksanakan model pembelajaran dan melakukan perannya secara maksimal.
Pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam
proses ilmiah ke dalam waktu yang relatif singkat. Setelah kondisi di dalam kelas sudah
tercipta dengan baik, maka proses pembelajaran inkuiri sudah dapat diterapkan. Gulo
(2002) dalam Trianto (2007: 137) menyatakan, bahwa inkuiri tidak hanya
mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk
pengembangan emosional dan keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang
bermula dari perumusan masalah, merumuskan hipotesis, pengumpulan data,
menganalisis data, dan membuat kesimpulan.
Gulo (2002) dalam Trianto (2007: 137) menyatakan, bahwa kemampuan yang
diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut: 1)
Mengajukan Pertanyaan atau Permasalahan Kegiatan inkuiri dimulai ketika pertanyaan
atau permasalahan diajukan. Untuk meyakinkan bahwa pertanyaan sudah jelas,
pertanyaan tersebut dituliskan di papan tulis, kemudian siswa diminta untuk
merumuskan hipotesis. 2) Merumuskan Hipotesis. Hipotesis adalah jawaban sementara
atas pertanyaan atau solusi permasalahan yang dapat diuji dengan data. Untuk
memudahkan proses ini, guru menanyakan kepada siswa gagasan mengenai hipotesis
yang mungkin. Dari semua gagasan yang ada, dipilih salah satu hipotesis yang relevan
dengan permasalahan yang diberikan. 3) Mengumpulkan Data Hipotesis digunakan untuk
menuntun proses pengumpulan data. Data yang dihasilkan dapat berupa table, matrik,
atau grafik. 4) Analisis Data Siswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah
dirumuskan dengan menganalisis data yang diperoleh. Faktor penting dalam menguji
hipotesis adalah pemikiran „benar‟ atau „salah‟. Setelah memperoleh kesimpulan, dari
data percobaan, siswa dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Bila ternyata
hipotesis itu salah atau ditolak, siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 66 ] P a g e
yang telah dilakukannya. 5) Membuat Kesimpulan Langkah penutup dari pembelajaran
inkuiri adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa.
Berdasarkan tahapan-tahapan pembahasan dan menurut para ahli di atas mengenai
model pembelajaran inkuiri maka dapat disimpulkan bahwa, model pembelajaran inkuiri
berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan seluruh kemampuan siswa
untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka
dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Motivasi Belajar
Motivasi belajar sangat diperlukan oleh setiap siswa agar tujuan dari kegiatan
belajar mengajar dapat tercapai. Aqib (2002) menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu
perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan
reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah dan
penggerak tingkah laku. Dengan adanya motivasi siswa dapat memiliki dorongan dari
dalam diri untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki.
Prinsip-prinsip untuk mendorong motivasi belajar dapat dilakukan dalam bentuk
pemberian pujian, penguatan, penalaran, yang dilakukan kepada siswa dengan
menyesuaikan kondisi dalam pembelajaran. Dengan prinsip tersebut maka kebutuhan
psikologis siswa dapat terpenuhi dan siswa akan memiliki kesiapan dalam melakukan
kegiatan belajar mengajar.
Upaya untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dapat dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain: 1) Penggerakan dengan prinsip kebebasan, di mana guru
memberikan suasana belajar yang berpusat pada siswa dan pengajaran yang terprogram,
2) Pemberian harapan dengan merumuskan tujuan yang langsung dan tingkat aspirasi
dalam jangka panjang, 3) Pemberian insentif, dengan cara umpan balik pemberian hadiah
pada hasil tes, pemberian komentar dan adanya kerja sama, 4) Pengaturan tingkah laku
siswa dengan cara restitusi dan ripple effect. Pemberian motivasi secara umum dapat
dilakukan secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik motivasi dapat tumbuh dari
individu masing-masing siswa, individu harus mampu mengelola kreativitas dan
kemampuan yang dimiliki untuk memotivasi dirinya belajar. Sedangkan secara ekstrinsik
motivasi belajar dapat dilakukan oleh orang lain, dan salah satunya adalah guru yang
sangat berperan dalam pemberian motivasi ini. Namun secara umum, pemberian
motivasi secara intrinsik dirasa akan lebih baik karena berkaitan secara langsung dengan
tujuan pembelajaran itu sendiri.
Profesionalisme Guru Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Melalui Model
Pembelajaran Inkuiri Pada Mata Pelajaran Ekonomi
Seorang guru tidak hanya berperan sebagai pemberi informasi yang berupa
materi pada suatu mata pelajaran, dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas guru
juga bertanggung jawab untuk membimbing siswa. Hamzah B. Uno (2008:15)
menjelaskan bahwa guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
P a g e [ 67 ]
dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Seorang guru harus memiliki
kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola
kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat
kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.
Mata pelajaran ekonomi memiliki beberapa materi yang cukup sulit untuk
dipahami oleh siswa, misalkan saja materi pembangunan ekonomi. Hanya dengan
melihat namanya materi ini dianggap sulit bagi siswa, karena siswa belum pernah
menjumpainya di lingkungan sekitar. Namun ada pula materi ekonomi yang cukup
mudah untuk dimengerti siswa karena mereka sudah sering menjumpai atau bahkan
melakukannya sendiri, misalkan saja materi kebutuhan. Dengan sedikit penjelasan dari
guru siswa sudah mampu memahami materi tersebut, karena siswa merasa sudah sering
menjumpai contoh nyata dari materi kebutuhan. Terkait banyaknya perbedaan pada tiap
materi, dalam setiap pembelajaran guru harus mampu untuk terlebih dulu menarik siswa
untuk mau belajar.
Guru harus selalu berinovasi dalam model pembelajaran yang diterapkan pada
masing-masing materi, hal ini bertujuan agar siswa selalu termotivasi untuk mengikuti
pembelajaran. Menurut Damsar (2012:156) fungsi dari guru memiliki dua dimensi, yaitu
laten dan manifest. Salah satu fungsi manifest seorang guru adalah sebagai motivator,
guru diharapkan mampu memberikan dorongan, kekuatan, motivasi, dan energy yang
besar kepada semua peserta didiknya agar mereka mampu meraih cita-cita yang
digantung setinggi langit. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh
guru untuk meningkatkan motivasi siswa adalah model pembelajaran inkuiri, merupakan
salah satu model yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan belajar
siswa. Memang kebanyakan guru menganggap model pembelajaran inkuiri sebagai model
yang sulit untuk diterapkan karena tidak sesuai dengan budaya pengajaran yang
dilakukan di sekolah. Untuk mengubah suatu kebiasaan memang tidak mudah, namun
perubahan tersebut perlu dilakukan demi tercapainya tujuan dari penyelenggaraan suatu
pendidikan. Perubahan model ini merupakan sebuah inovasi yang dapat dilakukan guru.
Model pembelajaran Inkuiri dapat dijadikan alternatif inovasi model
pembelajaran, karena inkuiri adalah suatu model yang mengajak siswa untuk
menemukan. Menurut Trianto (2007), Inquiry adalah sebagai suatu proses umum yang
dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Ketika siswa melakukan
pembelajaran melalui proses menemukan, daya ingat siswa akan lebih melekat jika
dibandingkan dengan belajar yang hanya sekedar mendengarkan informasi dari orang
lain yang lebih tau atau hanya sekedar menghafal dari buku saja. Dalam pembelajaran
inkuiri siswa bertindak kreatif untuk melakukan pengamatan berbagai fakta atau
fenomena, mengajukan pertanyaan tentang fenomena, mengajukan dugaan,
mengumpulkan data dan siswa harus mampu menyimpulkan apa yang diperoleh
berdasarkan dari data yang telah dianalisis. Dari serangkaian proses pembelajaran
inkuiri yang dilakukan di dalam kelas, akhirnya siswa dapat mempresentasikan atau
menyajikan hasil temuannya.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 68 ] P a g e
Gulo (2002) dalam Trianto (2007: 137) menyatakan, bahwa inkuiri tidak hanya
mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk
pengembangan emosional dan keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang
bermula dari perumusan masalah, merumuskan hipotesis, pengumpulan data,
menganalisis data, dan membuat kesimpulan. Dengan model pembelajaran inkuiri
banyak kemampuan siswa yang dapat dikembangakan secara bersamaan, baik
kemampuan secara akademik maupun kemampuan pribadi. Dengan model pembelajaran
ini siswa akan merasa memiliki tantangan untuk melakukan pemahaman pada sebuah
materi, dan adanya tantangan tersebut dapat merangsang minat siswa untuk ikut
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Penerapan model pembelajaran inkuiri secara tidak langsung akan memacu siswa
untuk siap belajar, setiap pertemuan siswa akan selalu mempersiapkan diri untuk materi
yang akan dibahas pada hari itu. Pembelajaran tidak hanya berpusat pada teori atau
penjelasan dari guru saja, melainkan siswa diminta untuk mempelajari berbagai
fenomena dalam kehidupan di sekitarnya. Hosnan (2014) menjelaskan bahwa salah satu
ciri-ciri pembelajaran inkuiri adalah seluruh aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik
diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang
dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menimbulkan sikap percaya diri. Dalam hal
ini siswa akan selalu bertanya dalam diri, fenomena apa saja yang dapat mereka
kumpulkan, dan siswa akan memiliki rasa ingin tahu dan berusaha untuk menemukan
jawaban atas pertanyaan yang mereka miliki. Dengan kegiatan belajar mengajar yang
seperti itu dan dilakukan secara terus menerus, maka motivasi belajar siswa akan
semakin meningkat.
Aqib (2002) menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam
diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai
tujuan. Motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah dan penggerak tingkah laku.
Dengan adanya motivasi siswa dapat memiliki dorongan dari dalam diri untuk terus
belajar dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Dengan motivasi atas dasar ingin
menemukan jawaban atas pertanyaan yang mereka miliki, maka belajar akan menjadi
sebuah kegiatan yang secara rutin dijalani oleh siswa.
Model pembelajaran inkuiri sangat cocok diterapkan pada mata pelajaran
ekonomi, dengan materi ekonomi yang sebenarnya ada di sekitar siswa maka siswa akan
termotivasi untuk mengumpulkan informasi-informasi tersebut. Bahkan contoh nyata
dari materi ekonomi bisa siswa temui baik melalui TV, radio, ataupun di sekitar rumah
mereka. Meskipun tidak semua materi ekonomi cocok dengan menggunakan model
pembelajaran inkuiri, tapi model ini memiliki tahapan yang bagus dan sangat tepat untuk
diterapkan.
Keberhasilan dari penerapan model pembelajaran inkuiri selain dari peran aktif
siswa, tentunya juga harus diimbangi dengan peran guru dalam pembelajaran, di mana
dalam model pembelajaran inkuiri guru berfungsi sebagai motivator, fasilitator, penanya,
administrator, pengarah, pengelola kelas dan rewarder. Afrischa dkk (2013) dalam
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
P a g e [ 69 ]
penelitiannya menyimpulkan hasil belajar siswa yang menggunakan pendekatan inkuiri
sebesar 89,8 lebih tinggi dari pada hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran
konvensional sebesar 80, 82. Dari hasil ini dapat kita lihat bahwa dengan penerapan
model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa, di mana hasil ini
juga sangat ditentukan oleh adanya motivasi belajar yang dimiliki siswa.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Haryati & Ahmad (2008) juga memiliki
kesimpulan yang sama, bahwa peningkatan prestasi belajar siswa ini dapat dilihat
perbandingan rata-rata prestasi belajar siswa sebelum dilaksanakannya metode
pembelajaran inkuiri dengan peningkatan rata-rata prestasi belajar siswa setelah
dilaksanakannya metode pembelajaran inkuiri. Dengan adanya beberapa penelitian yang
menunjukkan hasil positif terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri, hal ini dapat
menjadi dorongan bagi para guru agar tidak terlalu takut untuk melakukan perubahan
dalam model pembelajaran.
SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dipaparkan dapat diambil kesimpulan bahwa,
seorang guru tidak hanya berperan untuk memberikan informasi berupa materi
pelajaran saja, tetapi juga berperan untuk membimbing siswa untuk senantiasa belajar.
Dalam kegiatan belajar mengajar khususnya pada mata pelajaran ekonomi, guru harus
selalu berinovasi dalam model pembelajaran yang digunakan, hal ini bertujuan agar
siswa selalu termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran inkuiri
dapat dijadikan alternatif dari inovasi yang dilakukan guru, di mana inkuiri merupakan
salah satu model yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan belajar
siswa. Dengan penerapan model pembelajaran inkuiri siswa akan terpacu untuk belajar
sendiri, setiap pertemuan siswa akan selalu mempersiapkan diri untuk materi yang akan
dibahas pada hari itu. Dalam penerapan model inkuiri, pembelajaran tidak hanya
berpusat pada teori atau penjelasan dari guru saja, melainkan siswa diminta untuk
mempelajari berbagai fenomena dalam kehidupan di sekitarnya. Keberhasilan dari
penerapan model pembelajaran inkuiri selain dari peran aktif siswa, tentunya juga harus
diimbangi dengan peran guru dalam pembelajaran, di mana dalam model pembelajaran
inkuiri guru berfungsi sebagai motivator, fasilitator, penanya, administrator, pengarah,
pengelola kelas dan rewarder.
DAFTAR PUSTAKA
Afrischa, Wan Lady dkk. (2013). Perbedaan Hasil Belajar Siswa MenggunakanPendekatan Inkuiri Dengan Pembelajaran Konvensional Pada Mata PelajaranEkonomi Kelas Xi Ips Sma N 14 Padang. Jurnal Mahasiswa Pendidikan EkonomiVol 2, No 2 (2013). (http://ejournal-s1.stkip-pgri-sumbar.ac.id/index.php/Ekonomi/issue/view/18, diakses tanggal 8 April 2015).
Aqib, Zaenal. (2002). Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Surabaya: InsanCendekia.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 70 ] P a g e
B. Uno, Hamzah. (2008). Profesi Kependidikan problema, solusi, dan reformasi di Indonesia.Jakarta: Bumi Aksara.
Damsar. (2012). Pengantar sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Gulo, W. (2002). Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: Grasindo.
Hamdani. (2011). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka Setia
Haryati, Titik dan Ahmad, Fandi K. (2008). Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Pada MataPelajaran Ekonomi Pokok Bahasan Pasar Dengan Menerapkan MetodePembelajaran Inkuiri. (Online). Jurnal Pendidikan Ekonomi Vol 3 No.2 Juli, Tahun2008. (http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/DP/article/view/390, diaksespada tanggal 8 April 2015).
Latuconsina, Hudaya. 2014. Pendidikan Kreatif Menuju Generasi Kreatif dan KemajuanEkonomi Kreatif di Indonesia. Jakarta: PT Gramdia Pustaka Utama.
M. Hosnan. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21.Bogor: Ghalia Indonesia.
Pidarta, Made. (2007). Landasan Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Suryadi, Ace. (1999). Pendidikan Investasi SDM dan Pembangunan isu Teori dan AplikasiJakarta: Balai Pustaka.
Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher.
Keefektifan Model Pembelajaran… (Sri Panca Setyawati)
P a g e [ 71 ]
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY BASED LEARNING UNTUK
MENINGKATKAN SELF DIRECTED LEARNING MAHASISWA
Sri Panca SetyawatiUniversitas Nusantara PGRI Kediri
AbstrakMandiri merupakan salah satu tujuan pendidikan di Indonesia, oleh karena itukemandirian harus terus dikembangkan, khususnya dalam lembaga pendidikanformal tidak terkecuali di perguruan tinggi. Para pendidik belum dapatmelaksanakan tugas pembelajarannya secara optimal dan profesional untukmemandirikan mahasiswa. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan masihdigunakannya metode pembelajaran yang dicirikan dengan konsep one wayinformation, sehingga mengakibatkan mahasiswa hanya pasif. Oleh karena ituperlu adanya pembelajaran yang bisa memandirikan mahasiswa, terutama dalambelajar, salah satunya adalah dengan menerapkan model Inquiry Based Learning(IBL). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan modelpembelajaran IBL untuk meningkatkan Self Directed Learning (SDL) mahasiswa.Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan desainpretest-posttest. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran IBLefektif untuk meningkatkan SDL mahasiswa.
Kata kunci: Model pembelajaran Inquiry Based Learning, Self-Directed Learning
PENDAHULUAN
Untuk mewujudkan potensi maksimal peserta didik, penting bagi peserta didik
untuk memiliki self directed learning skills yang baik (Williamson, 2007) sebagaimana
dikemukakan oleh Galinsky (2010) bahwa salah satu keterampilan dasar yang harus
dimiliki oleh individu adalah keterampilan self directed learning, sehingga kata kunci
dalam pendidikan adalah kemandirian. Meningkatnya tantangan kehidupan di era
globalisasi (termasuk MEA) mengakibatkan pendidikan harus dapat memberi bekal hard
skill dan soft skill yang memadai kepada peserta didik agar dapat mengaktualisasi diri
secara positif di masyarakat, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Salah satu soft skill yang penting dilatihkan adalah self directed learning. Individu
yang memiliki self directed learning yang tinggi, akan membuat mereka dapat secara
mandiri menambah pengetahuan dan wawasannya, melengkapi pengetahuannya,
memperbarui pengetahuannya, dan mengadaptasi pengetahuannya sesuai dengan
tuntutan kehidupan. Dengan dimilikinya wawasan dan pengetahuan yang tinggi, individu
akan memiliki kualitas yang lebih baik sehingga mampu bersaing dan bersanding sejajar
dengan bangsa lain.
Mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika sebuah perguruan tinggi yang
sudah dikategorikan dewasa, idealnya sudah menjadi individu yang memiliki
kemandirian dalam belajar. Namun faktanya mahasiswa yang memiliki kemandirian
belajar masih rendah, bahkan dikatakan oleh Wey (dalam Dettori & Persico, 2011) bahwa
kebanyakan mahasiswa Asian masih dipersepsikan sebagai mahasiswa pasif dan terbiasa
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 72 ] P a g e
dengan lingkungan teacher-centered learning, sehingga mengakibatkan rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia.
Hampir semua komponen masukan dan komponen proses dalam
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia kurang mendukung terciptanya pendidikan
yang berkualitas, dan hal ini terjadi di sebagian besar sekolah di Indonesia (Astuti, 2007),
termasuk di perguruan tinggi. Sekolah adalah lingkungan yang penting untuk mendidik
individu menjadi pribadi yang berkarakter. Sekolah seharusnya menanamkan nilai-nilai
karakter kepada warga sekolahnya, mengembangkan soft skill atau komponen non
akademik/nonkognitif, karena pada kenyataannya sekolah masih memusatkan perhatian
pada aspek kognitif dan akademik, baik secara nasional maupun secara lokal.
Para pendidik (dosen) belum dapat melaksanakan tugasnya secara optimal dan
profesional. Dalam pembelajaran, mereka masih menggunakan metode pembelajaran
yang bercirikan konsep one way information yang menjadikan dosen sebagai sumber
utama pengetahuan (teacher centered learning). Pembelajaran yang dilakukan dosen
hanya instruksi, bukan konstruksi atau rekonstruksi pengetahuan, bahkan tidak memberi
kesempatan pada mahasiswa untuk menentukan arah mana mahasiswa ingin
bereksplorasi dalam menemukan pengetahuan yang bermakna bagi dirinya (Purwanto,
2011).
Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kemandirian belajar pada mahasiswa
sebagaimana dikemukakan oleh Alsa (2005) bahwa kemandirian belajar pelajar
Indonesia rendah, dan rendahnya ini disebabkan oleh lingkungan dan setting belajar
yang tidak banyak memberikan tantangan kepada pelajar seperti: standar kelulusan yang
ditetapkan oleh pemerintah sangat rendah, tidak menuntut pelajar untuk bekerja keras,
pelajar yang tidak belajar dengan baik, asal memenuhi syarat partisipasi dan kehadiran di
kelas, maka ia dapat naik kelas atau lulus ujian, tidak adanya tekanan agar pelajar belajar
dengan tekun dan giat, karena sekolah lebih berorientasi pada kuantitas lulusan.
Kemandirian belajar yang rendah juga tampak pada mahasiswa Universitas
Nusantara PGRI Kediri yang ditunjukkan dengan gejala berikut: malas mengerjakan
tugas, seringnya menunda-nunda dalam menyelesaikan tugas, kurangnya inisiatif dan
tanggung jawab untuk belajar, kurangnya rasa keingintahuan mahasiswa terhadap
materi ajar, rendahnya inisiatif mahasiswa untuk mempelajari materi perkuliahan
terlebih dahulu sebelum dikaji di kelas, minat baca yang rendah, sangat tergantung pada
dosen dalam pembelajaran, tidak memahami kebutuhan dan strategi belajarnya, dan
jarang mengevaluasi hasil belajarnya sendiri. Dalam proses perkuliahan, jarang
mahasiswa yang berinisiatif untuk bertanya atau pun memberikan tanggapan.
Self directed learning merupakan faktor penting dalam pembelajaran (Reio, 2004)
yang dapat dikembangkan melalui intervensi pendidikan yang terencana (Candy, dalam
Williamson, 2007). Hubungan antara fasilitator dan peserta didik, pengaturan di mana
pembelajaran terjadi, dan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan dipandang sebagai
hal utama dalam proses belajar mandiri bagi peserta didik (Richard, 2007).
Keefektifan Model Pembelajaran… (Sri Panca Setyawati)
P a g e [ 73 ]
Pendidik mempunyai peran yang sangat penting dalam memfasilitasi
berkembangnya self directed learning peserta didik. Dalam paradigma pembelajaran yang
mendidik, pendidik sebagai fasilitator dan sumber belajar tidak hanya mentransfer
pengetahuan, keterampilan, dan sikap, tetapi juga harus berusaha meningkatkan self
directed learning peserta didik. Self directed learning akan membuat peserta didik
bertanggung jawab untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
pembelajaran mereka sendiri dan diharapkan untuk bekerja secara mandiri atau dengan
orang lain dalam rangka untuk mencapai tujuan pembelajaran (Hiemstra & Brookfield,
dalam Williamson, 2007).
Upaya meningkatkan Self directed learning tersebut dapat dilakukan melalui
penciptaan kondisi pembelajaran yang menyenangkan, yang memberi kebebasan pada
peserta didik untuk bertanya, berpikir, dan berpendapat. Salah satu upaya menciptakan
kondisi pembelajaran yang mendukung terwujudnya self directed learning adalah dengan
menerapkan model Inquiry Based learning (IBL).
Penerapan Inquiry Based Learning dalam pembelajaran diharapkan akan mampu
meningkatkan self directed learning mahasiswa karena dampak pengiring dari
pelaksanaan pembelajaran Inquiry Based Learning adalah terwujudnya kemandirian
belajar peserta didik (Joyce & Weil, 1996). Model pembelajaran ini menawarkan
pembelajaran yang aktif dan otonom, terutama pada saat peserta didik merumuskan
pertanyaan-pertanyaan dan menguji gagasan yang dihasilkan. Model ini juga bisa
meningkatkan keberanian peserta didik untuk mengajukan pertanyaan. Peserta didik
akan menjadi lebih terampil dalam ekspresi verbal seperti mendengarkan pendapat
orang lain dan mengingat apa yang telah diungkapkan (Joyce & Weil, 1996).
Berdasarkan pada latar belakang yang menggambarkan kondisi self directed
learning mahasiswa yang rendah, sementara di sisi lain digambarkan tentang pentingnya
self directed learning tersebut dikembangkan, maka diperlukan adanya upaya untuk
meningkatkannya. Upaya yang dilakukan adalah dengan menerapkan model Inquiry
Based learning dalam pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui keefektifan model Inquiry Based Learning untuk meningkatkan
Self Directed Learning mahasiswa.
Self Directed Learning adalah sebuah proses mental yang ditujukan secara pribadi
disertai dan didukung oleh kegiatan perilaku yang terlibat dalam mengidentifikasi dan
mencari informasi (Long, dalam Hoban & Hoban, 2004). Peserta didik memutuskan
bagaimana, di mana, dan kapan harus mempelajari konten yang mereka identifikasi
penting (Hammonds & Collin, dalam Kennedy, dkk., 2000). Knowles (dalam Hoban &
Hoban, 2004) mendefinisikan bahwa self directed learning adalah sebuah proses individu
mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain dalam mendiagnosis
kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber daya manusia
dan material untuk belajar, memilih dan menerapkan strategi belajar yang tepat, dan
mengevaluasi hasil belajar. Oleh karena itu peserta didik bertanggung jawab untuk
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi belajar mereka sendiri dan diharapkan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 74 ] P a g e
untuk bekerja secara mandiri atau dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan
belajar (Hiemstra & Brookfield, dalam Williamson, 2007). Kunci dari belajar mandiri
adalah inisiatif atau proaktif seseorang untuk mengelola belajarnya (Hiemstra, 1988;
Knowles, 1975).
Jadi self directed learning adalah kemampuan mahasiswa mengambil inisiatif
untuk bertanggung jawab terhadap pelajarannya dengan atau tanpa orang lain yang
meliputi aspek: kesadaran, strategi belajar, kegiatan belajar, evaluasi, dan keterampilan
interpersonal.
Inquiry Based Learning adalah pembelajaran yang mendorong peserta didik
belajar melalui investigasi dan dipandu pertanyaan berpusat pada peserta didik (Lee,
dkk., dalam Justice, dkk., 2007). Inquiry adalah suatu strategi untuk membuat peserta
didik mengeksplorasi pengetahuan. Sebuah model untuk menemukan informasi yang
berhubungan dengan suatu topik, lebih khusus inquiry digunakan untuk pengembangan
pengetahuan bagi peserta didik (Joseph Schwab, dalam Johnson, 2005). Sebuah metode
pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk mengenal dan menyatakan
permasalahan, untuk mengajukan pertanyaan tentang masalah tersebut dengan cara
memberikan mereka kesempatan menjawab dan memberi penghargaan bahwa jawaban
tersebut adalah hasil akhir dan awal untuk studi selanjutnya (Herron, dalam Johnson,
2005).
Ash & Klein (dalam Johnson, 2005) menggambarkan inquiry learning sebagai
proses mempelajari ilmu pengetahuan yang sangat mirip dengan metode dan prosedur
pengetahuan yang benar. Metode ini akan membuat peserta didik secara aktif
mempelajari materi dan isi pelajaran, melaksanakan gagasan dan meminta pertanyaan
lebih lanjut ke dalam area pelajaran. Pendidik menjadi fasilitator, bukan expert (ahli) dari
semua materi, sehingga harus aktif dalam proses belajar yang melibatkan peserta didik
dalam merencanakan, mengorganisasikan materi, dan menanyakan berbagai pertanyaan
untuk mengarahkan. Peran pendidik adalah menyediakan keterbukaan dialog dalam
kelas antar peserta didik dan peserta didik diberi kesempatan untuk meneliti
pertanyaannya.
Richard Suchman (dalam Joyce & Weil, 1996) menjelaskan bahwa model
pembelajaran inquiry sangat penting untuk mengembangkan nilai, sikap, dan cara
berpikir ilmiah, seperti: (1) keterampilan melakukan pengamatan, pengumpulan dan
pengorganisasian data, termasuk merumuskan dan menguji hipotesis serta menjelaskan
fenomena, (2) kemandirian belajar, (3) keterampilan mengekspresikan secara verbal, (4)
kemampuan berpikir logis, dan (5) kesadaran bahwa ilmu bersifat dinamis dan tentatif.
Penerapan model Inquiry based Learning mempunyai dampak instruksional
(instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect). Dampak instruksional yang
dihasilkan adalah diperolehnya proses-proses ilmiah dan strategi penyelidikan kreatif,
dan dampak pengiringnya adalah: semangat kreativitas, kemandirian dan otonomi dalam
pembelajaran, toleran terhadap ambiguitas, dan sifat pengetahuan yang tentatif. Lim
(2004) menegaskan bahwa proses penyelidikan adalah faktor yang paling penting yang
Keefektifan Model Pembelajaran… (Sri Panca Setyawati)
P a g e [ 75 ]
mencirikan inquiry based learning dan telah dianggap bermanfaat dalam menambah
pembelajaran bermakna. Dalam pembelajaran inquiry peserta didik lebih banyak terlibat
dan mendapat kesempatan untuk berpikir, tidak hanya mendengarkan ceramah dari
pendidik. Peserta didik dapat merumuskan jawaban dari masalah yang disajikan dalam
diskusi.
Self Directed Learning dapat terbentuk melalui empat tahap (Gibbons, 2002).
Pertama, siswa berpikir secara mandiri, artinya siswa tidak menggantungkan
pemikirannya pada guru, tetapi pada pemikirannya sendiri. Kedua, siswa belajar
memanaj diri sendiri. Ketiga, siswa belajar perencanaan diri, bagaimana siswa akan
belajar mencapai program dan tujuan belajar yang sudah ditetapkan. Keempat,
terbentuknya self directed learning siswa memutuskan sendiri apa yang akan dipelajari
dan bagaimana akan mempelajari.
METODE
Untuk melihat pengaruh treatment (independent variable) atau perlakuan
terhadap perubahan variable lain (dependent variable), metode penelitian yang
digunakan adalah quasi eksperimen dengan rancangan pretest-posttest. Perlakuan yang
diterapkan adalah model pembelajaran inquiry based learning dan yang akan
terpengaruh adalah self directed learning.
Subjek penelitiannya adalah mahasiswa prodi Bimbingan dan Konseling
Universitas Nusantara PGRI Kediri yang sedang menempuh mata kuliah Pengantar
Konseling. Subjek dipilih secara purposif yakni mahasiswa yang memiliki skor rendah
pada skala Self Directed Learning.
Instrumen pengumpul data yang digunakan adaptasi dari SRSSDL (Self Rating
Scale of Self Directed Learning) yang memiliki komponen awareness (kesadaran), learning
strategies (strategi belajar), learning activities (aktivitas belajar), evaluation (evaluasi),
dan Interpersonal skill (keterampilan interpersonal). SRSSDL ini dikembangkan oleh
Williamson (2007). Sebelum digunakan, alat ukur ini diujicobakan terlebih dahulu untuk
mengetahui tingkat validitas dan reliabilitasnya. Untuk menentukan tingkat self directed
learning, dilihat dari jumlah skor yang diperoleh subjek. Semakin rendah skor yang
diperoleh, semakin rendah tingkat self directed learning yang dimiliki. Kategori skor
skalanya dibagi atas tiga tingkatan: rendah (60-140), sedang (141-220), dan tinggi (221-
300).
Perlakuan dengan menerapkan model Inquiry Based Learning dilaksanakan
selama satu semester. Proses pemberian perlakuan sebagai berikut: (1) mahasiswa diberi
topik perkuliahan yang perlu dikaji, (2) mahasiswa mengembangkan topik tersebut
dalam bentuk makalah, (3) mahasiswa menyajikan topik tersebut di kelas, (4) mahasiswa
diberi kesempatan untuk bertanya, berdialog, berbagi pengetahuan terkait topik yang
sedang dikaji, (5) mahasiswa menyimpulkan hasil diskusinya sehingga terdapat
persamaan persepsi tentang topik yang dikaji. Dalam proses pembelajaran ini, dosen
berperan sebagai fasilitator.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 76 ] P a g e
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik
nonparametrik. Untuk mengukur perbedaan antara pretest dan posttest dengan teknik
analisis Wilcoxon dengan menggunakan bantuan program computer SPSS versi 17.0.
Hasil analisis selanjutnya dikonsultasikan dengan indeks table Wilcoxon. Jika statistic
hitung (angka z output) > statistic table (table z) atau nilai Sig. < α (0.05), maka H0
ditolak, berarti Inquiry Based Learning dianggap efektif untuk meningkatkan self directed
learning mahasiswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasar hasil pengumpulan data pretest tentang self directed learning
menunjukkan bahwa skor yang diperoleh mahasiswa termasuk kategori sedang dengan
skor terendah 167 dan skor tertinggi 208. Setelah diberi perlakuan dengan inquiry based
learning, perolehan skor self directed learning menunjukkan peningkatan. Skor yang
dihasilkan tiap mahasiswa bervariasi dalam kisaran skor terendah 232 dan skor tertinggi
267. Semua mahasiswa yang semula memiliki self directed learning sedang, berubah
memiliki self directed learning pada kategori tinggi.
Untuk mengetahui keefektifan inquiry based learning dalam meningkatkan self
directed learning, dilakukan analisis terhadap data yang sudah terkumpul dengan
menggunakan uji Wilcoxon. Uji ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
tingkat self directed learning mahasiswa sebelum dan sesudah diberi pembelajaran
dengan model inquiry based learning.
Tabel 1
Uji Wilcoxon terhadap tingkat Self Directed Learning Mahasiswa
N Mean Rank Sum of Ranks
Posttest-Pretest NegativeRanks
Positive Ranks
Ties
Total
0a
20b
0c
20
.00
6.50
.00
87.00
a. Posttest < Pretest
b. Posttest > Pretest
c. Posttest = Pretest
Test Statisticsb
Postest-Pretest
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
-3.064a
.002
a. Based on negative ranks
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Keefektifan Model Pembelajaran… (Sri Panca Setyawati)
P a g e [ 77 ]
Berdasar Tabel 1, dapat dilihat output untuk membandingkan dengan nilai tabel.
Dalam analisis ini, statistic hitung (angka z output) > statistic table (table z), maka H0
ditolak. Nilai Z table adalah ±1.96 dengan α = 0.05 (2 sisi), jadi 0.05/2. Karena nilai Z
hitung bernilai negative maka sebagai pembanding digunakan nilai Z table yang bernilai
negative, yaitu –Z hitung < -Z table = -3.064 < -1.96, maka H0 ditolak. Cara lain adalah
dengan melihat pada kolom asymp. Sig. (2-tailed)/asymptotic significance atau p-value
atau nilai peluang adalah 0.002. Jika nilai Sig. < α, nilai Sig. adalah 0.002 < α 0.05, maka H0
ditolak, artinya Inquiry Based Learning efektif untuk meningkatkan Self Directed Learning
mahasiswa.
Hasil penelitian ini bersesuaian dengan konsep yang dikemukakan oleh Joyce &
Weil (1996) bahwa penerapan model Inquiry Based Learning dalam pembelajaran
mempunyai dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant
effect). Dampak instruksional yang dihasilkan adalah diperolehnya proses-proses ilmiah
dan strategi penyelidikan kreatif, dan dampak pengiringnya adalah: semangat kreativitas,
kemandirian dan otonomi dalam pembelajaran, toleran terhadap ambiguitas, dan sifat
pengetahuan yang tentatif. Hasil penelitian ini juga bersesuaian dengan penelitian Kim
(2006) yang menyimpulkan bahwa mengajar berbasis inquiry meningkatkan prestasi
matematika dan berpengaruh pada sikap siswa terhadap matematika.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pembelajaran dengan model
inquiry based learning dapat meningkatkan self directed learning mahasiswa. Hal ini
dapat dilihat dari hasil uji statistik Wilcoxon yang menunjukkan adanya perbedaan self
directed learning sebelum dan sesudah dilakukan pembelajaran dengan model inquiry
based learning. Uji hipotesis juga menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model
inquiry based learning memberikan efek dalam meningkatkan self directed learning
mahasiswa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inquiry
based learning efektif untuk meningkatkan self directed learning mahasiswa.
Mengingat pentingnya peran soft skill dalam menghadapi tantangan kehidupan
termasuk dalam menghadapi MEA, maka sudah saatnya lembaga pendidikan formal,
khususnya perguruan tinggi lebih meningkatkan pengembangan soft skill tersebut
melalui tindak pembelajaran. Salah satu yang harus dikembangkan adalah self directed
learning. Berdasar pada hasil penelitian ini, direkomendasikan agar (1) para dosen
menggunakan pembelajaran inquiry based learning untuk meningkat self directed
learning mahasiswa, (2) para dosen perlu mencoba menerapkan berbagai alternatif
model pembelajaran yang memungkinkan berkembangnya self regulated learning
mahasiswa, (3) para peneliti untuk mengembangkan penelitian sejenis lebih lanjut.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 78 ] P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Alsa, A. (2005). Program Belajar, Jenis Kelamin, Belajar Regulasi Diri, dan Prestasi BelajarPada Pelajar SMA Negeri di Yogyakarta. Disertasi. Psikologi UGM.
Dettori, G., & Persico, D., (201). Fostering Self Regulated Learning through ICT, USA, IGIGlobal
Galinsky, Ellen. (2010). Mind in the Making: The Seven Essential Life Skills Every ChildNeeds, USA., Harper Collins Publisher
Hiemstra, R., (2004). Is the Internet Changing Self Directed Learning Lexicon,International Journal Self Directed Learning, 1 (2), Fall, 1-16.
Hoban, J., dkk. (2004).The Self Directed Learning Readiness Scale: A Factor AnalysisStudy. Blackwell Publishing Ltd Medical Education, 39, 370-379.
Johnson, Duanne. (2005). Teaching and Learning Research Exchange: Challenges toImplementing Inquiry: In The Senior Science Classroom, Stirlling Mcdowell.
Joyce, Bruce & Weil, Marsha. (1996). Model of Teaching, Boston: Allyn and Bacon.Williamson, S.N. (2007). Development of A Self-Rating Scale of Self DirectedLearning. Nurse Researcher, 14 (2), 66-83
Justice, C.dkk., (2007). Inquiry in Higher Education: Reflections and Direction on CourseDesign an Teaching Methods. Journal Innov High Educ: , 31, 201-21.
Kennedy, Gregor, dkk., (2000). The Personal Learning Planner: A Software Support Tool forSelf Directed Learning, Australia: The University of Melbourne.
Kim, Taik Hee. (2006). Impact of Inquiry Based Teaching on Student MathematicAchievement and Attitude. Disertasi. The University of Cincinnati.
Knowles, M.S. (1975). Self Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers,Engleewood Cliffs: Prentice Hall Regents.
Lim, Byung-RO. (2004). Challenges and Issue in Designing Inquiry on The Web, BritishJournal of Educational Technology, 35 (5), 627-643.
Reio, Thomas G., Jr. (2004). Prior Knowledge, Self Directed Learning Readiness, andCuriosity: Antecedent to Classroom Learning Performance, International Journal ofSelf Directed Learning, 1 (1), Spring, 18-25.
Richard, Virginia, B. (2007). Self Directed Learning Revisited: A Process Perspective,International Journal of Self Directed Learning, 4 (1), Spring, 40-49.
Pendekatan Quantum Learning… (Dian Anugrah Sanusi)
P a g e [ 79 ]
PENDEKATAN QUANTUM LEARNING PADA MATA PELAJARAN
KEWIRAUSAHAAN SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN JIWA ENTREPRENEUR
Dian Anugrah SanusiUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakPerkembangan kurikulum ini difokuskan pada pembentukan kompetensi dankarakter peserta didik, berupa panduan pengetahuan, keterampilan, dan sikapyang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadapkonsep yang dipelajari secara kontekstual di mana proses pembelajarannyamenggunakan Pendekatan Quantum Learning. Tugas seorang pendidik dalampendekatan Quantum Learning adalah menciptakan proses pembelajaran yangnyaman dan mengarahkan. Sehingga dapat mendorong siswa lebih kreatif,inovatif dan menumbuhkan jiwa entrepreneur guna menghadapi masyarakatekonomi Asia 2015.
Kata Kunci: Pendekatan Quantum Learning, entrepreneur.
PENDAHULUAN
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk membantu
mengarahkan yang dicapainya sesuai dengan tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Interaksi dalam proses pembelajaran dalam diperoleh dari dalam maupun luar individu.
Kenyataan yang sering kita hadapi ada sejumlah siswa yang memperoleh hasil belajar di
bawah rata-rata, atau dibandingkan dengan nilai rata-rata antara siswa yang satu dengan
yang lain di dalam kelas itu secara potensial diharapkan memperoleh hasil yang baik
akan tetapi memiliki prestasi dalam diri itu kurang. Sehingga salah satu pendekatan
pembelajaran yang digunakan yaitu Quantum Learning, di mana Quantum learning ini
merupakan metode yang mengedepankan unsur-unsur kebebasan, santai menyenangkan
dan menggairahkan, sedangkan peranan guru adalah bertindak sebagai fasilitator dan
moderator yang mengarahkan apa yang menjadi keinginan siswa dalam proses
pembelajaran. Selain itu dalam pembelajaran quantum bisa menggunakan media yang
lembut supaya mengurangi sedikit beban yang akan siswa hadapi saat belajar.
Bobby De Porter dan Mike Hernacki (1999: 16) menjelaskan bahwa: Quantum
learning merupakan gabungan dari sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP
(Neurolinguistik merupakan suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur
informasi) yang disesuaikan dengan teori, keyakinan dan metode tersendiri yang telah
disesuaikan. Berdasarkan pendapat tersebut, metode pembelajaran Quantum Learning
merupakan metode pembelajaran yang mencakup aspek global atau menyeluruh. Dalam
hal ini disebut juga sebagai global learning. Sehingga dalam kurikulum 2013 pendekatan
tersebut dapat membantu peserta didik bisa lebih memiliki inisiatif dalam proses
pembelajaran yang berlangsung dan mendorong peserta didik untuk lebih kreatif dan
memiliki jiwa entrepreneur.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 80 ] P a g e
Wirausaha merupakan potensi pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam
mutu wirausaha itu sendiri. Sekarang kita menghadapi kenyataan bahwa jumlah
wirausahawan Indonesia masih sedikit dan mutunya belum bisa dikatakan hebat,
sehingga persoalan pembangunan wirausaha Indonesia merupakan persoalan mendesak
bagi suksesnya pembangunan. Wirausaha adalah seseorang pembuat keputusan yang
membantu terbentuknya system ekonomi perusahaan yang bebas. Karir kewirausahaan
dapat mendukung kesejahteraan masyarakat, menghasilkan imbalan financial yang nyata.
Wirausaha di berbagai industry membantu perekonomian dengan menyediakan
pekerjaan dan memproduksi barang dan jasa bagi konsumen dalam negeri maupun di
luar negeri. Meskipun perusahaan raksasa menarik perhatian banyak publik akan tetapi
bisnis kecil dan kegiatan kewirauasahaannya setidaknya memberikan andil nyata bagi
kehidupan sosial dan perekonomian dunia, sehingga untuk membangun suasana
intrapreneurship, maka sebuah organisasi harus menerapkan procedure yang menunjang.
Kadangkala perlu minta bantuan konsultasi untuk menciptakan suasana tersebut. Namun
yang penting adalah komitmen dari seluruh jajaran manajemen, dari top, upper dan
middle management.
Penerapan Quantum learning dalam pembelajaran kewirausahaan itu memiliki
hubungan yang saling terkait karena penerapan Quantum learning membantu siswa
untuk bisa lebih memiliki motivasi dan minat dalam berwirausaha. Sehingga penulis
tertarik untuk mengkaji tentang “Pendekatan Pembelajaran Quantum Learning Pada
Mata Pelajaran Kewirausahaan Sebagai Upaya Menumbuhkan Jiwa Entrepreneur”.
Dengan tujuan menumbuhkan jiwa entrepreneur siswa dan menciptakan proses
pembelajaran yang menyenangkan.
Quantum learning ini berakar dari upaya Georgi Lozanov (2014; 32), pendidik
berkebangsaan Bulgaria, di mana Quantum Learning adalah kiat, petunjuk, strategi, dan
seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta
membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Quantum
Learning juga suatu hal tentang bagaimana otak mengatur informasi.
PENERAPAN QUANTUM LEARNING DALAM PEMBELAJARAN
Langkah-langkah yang dapat diterapkan dalam pembelajaran melalui konsep
Quantum Learning dengan cara:
a) Kekuatan Ambak.
b) Ambak adalah motivasi yang didapat dari pemilihan secara mental antara manfaat
dan akibat-akibat suatu keputusan. Motivasi sangat diperlukan dalam belajar karena
dengan adanya motivasi maka keinginan untuk belajar akan selalu ada. Pada langkah
ini siswa akan diberi motivasi oleh guru agar siswa dapat mengidentifikasi dan
mengetahui manfaat atau makna dari setiap pengalaman atau peristiwa yang
dilaluinya dalam hal ini adalah proses belajar.
c) Penataan lingkungan belajar.
Pendekatan Quantum Learning… (Dian Anugrah Sanusi)
P a g e [ 81 ]
d) Dalam proses belajar dan mengajar diperlukan penataan lingkungan yang dapat
membuat siswa merasa aman dan nyaman, dengan perasaan aman dan nyaman ini
akan menumbuhkan konsentrasi belajar siswa yang baik. Dengan penataan
lingkungan belajar yang tepat juga dapat mencegah kebosanan dalam diri siswa.
e) Memupuk sikap juara.
f) Memupuk sikap juara perlu dilakukan untuk lebih memacu dalam belajar siswa,
seorang guru hendaknya jangan segan-segan untuk memberikan pujian atau hadiah
pada siswa yang telah berhasil dalam belajarnya, tetapi jangan pula mencemoh siswa
yang belum mampu menguasai materi. Dengan memupuk sikap juara ini siswa akan
merasa lebih dihargai.
g) Bebaskan gaya belajarnya.
h) Ada berbagai macam gaya belajar yang dipunyai oleh siswa, gaya belajar tersebut
yaitu: visual, auditorial dan kinestetik. Dalam quantum learning guru hendaknya
memberikan kebebasan dalam belajar pada siswanya dan janganlah terpaku pada
satu gaya belajar saja.
i) Membiasakan mencatat.
j) Belajar akan benar-benar dipahami sebagai aktivitas kreasi ketika siswa tidak hanya
bisa menerima, melainkan bisa mengungkapkan kembali apa yang didapatkan
menggunakan bahasa hidup dengan cara dan ungkapan sesuai gaya belajar siswa itu
sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan simbol-simbol atau
gambar yang mudah dimengerti oleh siswa itu sendiri, simbol-simbol tersebut dapat
berupa tulisan.
k) Membiasakan membaca.
l) Salah satu aktivitas yang cukup penting adalah membaca. Karena dengan membaca
akan menambah perbendaharaan kata, pemahaman, menambah wawasan dan daya
ingat akan bertambah. Seorang guru hendaknya membiasakan siswa untuk
membaca, baik buku pelajaran maupun buku-buku yang lain.
m) Jadikan anak lebih kreatif.
n) Siswa yang kreatif adalah siswa yang ingin tahu, suka mencoba dan senang bermain.
Dengan adanya sikap kreatif yang baik siswa akan mampu menghasilkan ide-ide yang
segar dalam belajarnya.
o) Melatih kekuatan memori.
p) Kekuatan memori sangat diperlukan dalam belajar anak, sehingga siswa perlu dilatih
untuk mendapatkan kekuatan memori yang baik.
Konsep Dasar Kewirausahaan
Kewirausahaan adalah nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan
sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil (Ahmad Sanusi,
1994).
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 82 ] P a g e
Motivasi Berwirausaha
Salah satu kunci sukses untuk berhasil menjadi wirausahawan adalah motivasi
yang kuat untuk berwirausaha. Motivasi untuk menjadi seseorang yang berguna bagi diri
sendiri, keluarga, dan masyarakatnya melalui pencapaian prestasi kerja sebagai seorang
wirausahawan. Apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa bisnis yang (akan)
digelutinya itu sangat bermakna bagi hidupnya, ia akan berjuang lebih keras untuk
sukses.
Berkaitan dengan motivasi untuk berwirausaha, setidaknya terdapat enam
“tingkat” motivasi berwirausaha yang masing-masing memiliki indikator kesuksesan
yang berbeda-beda, yaitu:
a) Motivasi material, mencari nafkah untuk memperoleh pendapatan atau kekayaan.
b) Motivasi rasional-intelektual, mengenali peluang dan potensialitas pasar,
menggagas produk atau jasa untuk meresponnya.
c) Motivasi emosional-ekosistemis, menciptakan nilai tambah serta kelestarian
sumber daya lingkungan.
d) Motivasi emosional-sosial, menjalin hubungan dengan atau melayani kebutuhan
sesama manusia.
e) Motivasi emosional-intrapersonal (psiko-personal), aktualisasi jati diri dan/atau
potensi-potensi diri dalam wujud suatu produk atau jasa yang layak pasar.
f) Motivasi spiritual, mewujudkan dan menyebarkan nilai-nilai transcendental,
memaknainya sebagai modus beribadah kepada tuhan.
Membangun Jiwa Kewirausahaan
Menurut Hisrich dan Peters (1992) adalah berbicara mengenai perilaku, yang
mencakup pengambilan inisiatif, mengorganisasi dan mereorganisasi mekanisme social
dan ekonomi terhadap sumber dan situasi ke dalam praktek, dan penerimaan risiko atau
kegagalan. Para ahli ekonomi mengemukakan bahwa wirausaha adalah orang yang dapat
meningkatkan nilai tambah terhadap sumber, tenaga kerja, alat, bahan dan asset lain,
serta orng yang memperkenalkan perubahan, inovasi dan cara-cara baru.
Membangun jiwa kewirausahaan berarti memadukan kepribadian, peluang,
keuangan, dan sumber daya yang ada di lingkungan sekolah guna mengambil
keuntungan. Kepribadian ini mencakup pengetahuan, keterampilan sikap, dan perilaku.
Dari Steinhoff (1993) dapat diidentifikasi karakteristik kepribadian wirausaha sebagai
berikut:
a) Memiliki kepercayaan diri (self confidence) yang tinggi, terhadap kerja keras, mandiri,
dan memahami bahwa risiko yang diambil adalah bagian dari keberhasilan. Dengan
modal tersebut mereka bekerja dengan tenang, optimis, dan tidak dihantui oleh rasa
takut gagal.
b) Memiliki kreativitas diri (self creativity) yang tinggi dan kemampuan mencari jalan
untuk merealisasikan berbagai kegiatan melalui kewirausahaan.
Pendekatan Quantum Learning… (Dian Anugrah Sanusi)
P a g e [ 83 ]
c) Memiliki pikiran positif (positif thinking), dalam menghadapi suatu masalah atau
kejadian, dan melihat aspek positifnya. Dengan demikian, mereka selalu melihat
peluang dan memanfaatkannya untuk mendukung kegiatan yang dilakukan.
d) Memiliki orientasi pada hasil (output oriented), sehingga hambatan tidak membuat
mereka menyerah, tetapi justru tertantang untuk mengatasi, sehingga mencapai hasil
yang diharapkan.
e) Memiliki keberanian untuk mengambil risiko, baik risiko terhadap kecelakaan,
kegagalan, maupun kerugian. Dalam melaksanakan tugas, pribadi wirausaha tidak
takut gagal atau rugi, sehingga tidak takut melakukan pekerjaan meskipun dalam hal
baru.
f) Memiliki jiwa pemimpin, yang selalu ingin mendayagunakan orang dan
membimbingnya, serta selalu terampil ke depan untuk mencari pemecahan atas
berbagai persoalan, dan tidak membebankan atau menyalahkan orang lain.
g) Memiliki jiwa orisinil, yang selalu punya gagasan baru, baik untuk mendapatkan
peluang maupun mengatasi masalah secara kreatif dan inovatif.
h) Memiliki orientasi ke depan, dengan tetap menggunakan pengalaman masa lalu
sebagai referensi, untuk mencari peluang dalam memajukan pekerjaannya.
i) Suka pada tantangan dan menemukan diri dengan merealisasikan ide-idenya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa pembelajaran merupakan proses
belajar mengajar berlangsung antara peserta didik dan pendidik. Sehingga setelah
berlangsungnya proses belajar mengajar ini diharapkan tujuan dapat dicapai sesuai
dengan harapan yang telah ditentukan, akan tetapi tujuan tersebut dapat dicapai dengan
baik jika telah dilaksanakan dengan baik pula.
Dalam proses belajar mengajar bukan hanya sekedar pemberian materi untuk
peserta didik akan tetapi juga memberikan sesuatu yang lebih meluas baik secara
pembentukan karakter maupun hal-hal lain yang dapat mendidik, selain itu juga seorang
pendidik harus memiliki strategi dan metode-metode yang pantas digunakan di dalam
kelas agar proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efisien.
Metode pembelajaran yang dibahas dalam makalah tersebut yaitu metode
pendekatan pembelajaran Quantum Learning. Metode pembelajaran tersebut memiliki
tujuan yang sama dengan metode yang lain yaitu pencapaian tujuan belajar yang ingin
dicapai. Akan tetapi, sebelum menggunakan metode yang ingin digunakan terlebih dulu
seorang peserta didik harus memahami dan mengerti metode tersebut baik secara
strategi, prinsip dan juga pelaksanaanya.
Dalam suatu pendidikan tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat masalah-masalah
yang dihadapi baik pada peserta didik, pendidik, system maupun lembaga pendidikan itu
sendiri. Satu masalah yang terjadi pada pendidikan memberikan pengaruh besar
terhadap pendidikan yang ada di Indonesia. Sehingga dalam memecahkan suatu masalah
tersebut harus memiliki suatu pengambilan keputusan dalam menanggulangi masalah ini
agar tidak dapat terulang lagi.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 84 ] P a g e
Sebagai seorang pendidik tidak hanya bertugas atau bertanggung jawab atas
pemberian materi di dalam kelas akan tetapi juga bertanggung Jawa atas memberikan
contoh karakter yang baik, memiliki moral dan akhlak yang baik. Akan tetapi terkadang
seorang pendidik lupa akan tanggung jawab itu karena sifat yang egois dan
mementingkan diri sendiri (hal pribadinya).
Pendidik adalah salah satu fasilitator untuk membantu peserta didik mencapai
apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Lanjut bahwa seorang pendidik itu dituntut
untuk bisa lebih berkembang dalam proses pembelajaran. Namun masih banyak
masalah-masalah yang belum teratasi, di mana metode-metode pembelajaran pada
pendidik sekarang ini belum berkembang masih menggunakan metode-metode yang
lama atau masih jalan di tempat sehingga peserta didik tidak terbiasa untuk bisa lebih
creative dalam mengambil sebuah keputusan atau pemikiran yang kritis. Jadi, seorang
pendidik harus bisa lebih berkembang agar memiliki strategi yang baik dalam
pembelajaran dan dapat membuat peserta didik terlatih untuk bisa creative dan inovatif.
Tindakan-tindakan di atas merupakan sesuatu yang mengabaikan tanggung jawabnya
sebagai pendidik yang tidak sesuai fungsinya yaitu mendidik, memimpin, membaur, dan
juga mengawasi. Hal-hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor-faktor yang
membuat seorang mendidik kaku dalam melangkah, bertindak dan menggunakan ide-ide
yang lebih menunjang dalam mencapai tujuan pembelajaran. Faktor-faktor tersebut
karena tuntutan yang siswa harus mencapai nilai standar yang telah ditentukan oleh
pemerintah, seseorang pemimpin atau kepala sekolah yang kurang bijak dalam
pengolahan lembaga pendidikan itu sendiri dan banyak faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi hal itu terjadi.
Semua hal-hal di atas dapat menyebabkan rendahnya kinerja seorang pendidik
dan juga dapat memperburuk citra seorang pendidik. Sehingga mempengaruhi kualitas
pendidikan yang ada di suatu Negara, semakin tinggi keberhasilan pendidikan semakin
tinggi pula tingkat kesejahteraan suatu Negara.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terdapat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi proses pembelajaran tidak efektif dan efesien. Dapat dilihat dari
beberapa segi salah satunya yaitu pada sifat moral seorang pendidik, di mana dapat
memperburuk citra pendidikan walaupun masih ada pendidik yang menjalankan
tanggung jawabnya akan tetapi terkadang orang-orang yang menjadi seorang pendidik
hanya memiliki tujuan financial padahal seorang pendidik merupakan profesi yang
sangat special dipandangan masyarakat. Mengapa hal tersebut dikatakan special? karena
seorang pendidikan merupakan pekerjaan yang sangat mulia, di mana seorang pendidik
merupakan orang tua kedua yang dapat membimbing peserta didik untuk lebih baik
dalam segi moral maupun akademik nantinya bekal untuk peserta didik ketika menginjak
dewasa.
Sebagai seorang pendidik tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan untuk memiliki
jiwa yang kreatif dan inovatif itu diharuskan, hal ini disebabkan karena zaman semakin
berkembang sehingga khususnya pendidikan dituntut untuk bisa lebih maju dan
Pendekatan Quantum Learning… (Dian Anugrah Sanusi)
P a g e [ 85 ]
berkembang. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Seperti yang kita ketahui
bersama sekarang bahwa pembelajaran di SD itu pelajaran bahasa Inggris dihapuskan
padalah semestinya bahasa Inggris itu dipelajari sejak dini karena memiliki banyak
teknik seperti pronunciation jadi pembentukan dan perkenalan pelajaran itu harus
dimulai sejak dini bukan pada saat menginjak remaja agar dari menginjak anak-anak
sudah memiliki dasar dalam berbahasa Inggris, seperti halnya dengan mata pelajaran
kewirausahaan. Mata pelajaran kewirausahaan harus dibentuk sejak dini kenapa
demikian agar peserta didik bisa memiliki dasar jiwa entrepreneur. Nah, di sinilah letak
dan fungsi seorang pendidik untuk bisa lebih kreatif dan inovatif dalam proses
pembelajaran khususnya kewirausahaan, di mana agar peserta didik sekarang ini
memiliki peluang, semangat, minat, motivasi untuk dapat lebih bisa dan tahu strategi
dalam kewirausahaan upaya untuk menumbuhkan jiwa entrepreneur mereka. Sehingga
penulis tertarik menggunakan metode pembelajaran Quantum Learning pada mata
pelajaran kewirausahaan upaya menumbuhkan jiwa entrepreneur pada peserta didik
sekarang ini.
SIMPULAN
Quantum Learning merupakan metode pembelajaran yang berbeda pada
umumnya, di mana pada metode pembelajaran berfokus pada proses belajar mengajar
menyenangkan dan berhasil. Quantum Learning juga memiliki karakter, prinsip-prinsip,
konsep, dan pandangan-pandangan yang jauh lebih menyegarkan dibandingkan dengan
metodologi pembelajaran yang sudah ada.
Pembelajaran manajemen pada mata pelajaran kewirausahaan pada pendekatan
Quantum Learning membangkitkan semangat, motivasi, minat, kreativitas dan inovasi
terhadap peserta didik. Lanjut bahwa peserta didik lebih nyaman dan menyenangkan
dalam proses pembelajaran. Di zaman sekarang semakin meningkat dan berkembang
sehingga sebagai seorang pendidik harus bisa lebih creative agar menghasilkan siswa
yang creative dan kritis untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asia.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchary. (2011). Kewirausahaan untuk mahasiswa dan umum. Penerbit CVAlfabeta, Bandung.
DePorter, B. dan Mike Hernachi. 2009. Quantum Learning: membiasakan belajar nyamandan menyenangkan. (Terjemahan Alwiyah Abdurrahman). Bandung: Kaifa.
DePorter, B.. Reardon, Mark dan Sarah. 2014. Quantum teaching. Bandung: Kaifa.
Munir, MIT dan Drs,Enjang Ali Nurdin. Penerapan Model Pembelajaran Quantum LearningUntuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Teknologi InformasiDan Komunikasi (TIK) Dikdik. Jurnal Nasional (Study Quasi Experimental terhadapsiswa kelas VII SMP Negeri 4 Cimahi tahun ajaran 2010/2011). Jurnal Nasional.2014.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 86 ] P a g e
Hisrich, Robert D & Petter, Michael P, (1992), Enterpreneurship, Starting, Developing andManaging A New Entreprise. New York. Richcard D. Irwin, Inc.
Muhclisin, Fuat. 2014. Pengaruh metode pembelajaran quantum learning denganmendekatan peta pikiran (mind mapping) terhadap prestasi siswa pada matapelajaran teknologi motor diesel di SMK Muhammadiyah 3 Jogya. Jurnal Nasional
Mulyasa. 2014. Pengembangan dan implementasi kurikulum 2013. Bandung: PT RemajaRosdakarya Offset.
Rusdiana. (2014). Kewirausahaan teori dan praktik.Penerbit CV pustaka setia. Bandung.
Steinhoff, Dan & John F. Burgess. 1993. Small business management fundamentals. NewYork : Mcgraw-Hill
Susanto, Agung. 2011. Penggunaan metode Quantum Learning untuk meningkatkanpemahaman materi perjuangan kemerdekaan Indonesia pada mata pelajaran IPSsiswa kelas V SDN Ngoresan Surakarta tahun 2010/2011. Skripsi: UniversitasSebelah Maret Surakarta.
Uman, Cholil. Dan Afkar, Taulikhul. 2011. Modul kewirausahaan. Terbitan perpustakaannasional.
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
P a g e [ 87 ]
PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING DALAM PERKULIAHAN
KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI UNTUK MENGHADAPI
ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (SUATU KAJIAN TEORETIS)
DumiyatiFKIP Unirow Tuban
AbstrakDalam upaya memasuki pasar global ASEAN 2015, kebutuhan akan kemampuanSDM yang kompetitif dan daya saing produk (barang dan jasa) tak bisa ditundalagi. Peran lembaga pendidikan tinggi menjadi sangat penting dalam mencetakSDM yang memiliki kemampuan adaptif, kreatif, inovatif, kritis dan memilikikemampuan memecahkan masalah melalui Pendidikan kewirausahaan. Kritikanyang sering muncul bahwa kuliah kewirausahaan di Perguruan tinggi cenderungteoretis, belum kontekstual dan kurang memberikan pengalaman nyataberwirausaha. Untuk itu perlu menerapkan pola pembelajaran kewirausahaanyang konkret berdasarkan masukan empiris dan pengalaman langsung(experiential learning) untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan yangbermakna.
Kata kunci: experiential learning, pendidikan kewirausahaan, perguruan tinggi
PENDAHULUAN
ASEAN Economic Community (AEC) adalah upaya bersama untuk mencipta integrasi
ekonomi regional pada tahun 2015, dengan tujuan mewujudkan kawasan ekonomi
ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi
yang merata yang ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial
ekonomi. Kesepakatan pelaksanaan AEC diikuti oleh 10 negara anggota ASEAN yang
memiliki total penduduk 600 juta jiwa. Sekitar 43% jumlah penduduk itu berada di
Indonesia. Artinya, pelaksanaan AEC ini sebenarnya akan menempatkan Indonesia
sebagai pasar utama baik untuk arus barang maupun arus investasi.
Tak ada satu pun negara yang bisa menghindar diri dari globalisasi.
Konsekuensinya, mau tidak mau setiap negara akan masuk dalam pusaran dinamika
dunia, baik dinamika budaya, politik, keamanan, termasuk dalam pusaran ekonomi
global. Kondisi ini tentunya akan menjadi suatu keharusan bagi Indonesia untuk terus
bekerja keras dan bersaing dengan negara lain seperti Thailand, Vietnam, Filiphina,
Brunei darussalam, dan Malaysia jika ingin bertahan. Upaya memasuki pasar global ini,
sebagai faktor utama adalah kemampuan SDM yang berdaya saing dan daya saing produk
(barang dan jasa) Indonesia dalam berkompetisi perlu diperkuat. Dalam hal ini peran
lembaga pendidikan tinggi menjadi sangat penting.
Ketika pendidikan tinggi terlibat menyambut datangnya pasar tunggal ASEAN 2015,
sejatinya adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil, peka dan kritis.
Terampil bekerja, peka permasalahan dan kritis dalam berperan. Ketiga kecakapan ini
mutlak hadir dalam pasar tunggal ASEAN. Dalam menghadapi tantangan tersebut
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 88 ] P a g e
pendidikan wirausaha secara formal maupun non formal memiliki peranan yang
signifikan. Pendidikan wirausaha mempersiapkan sumberdaya manusia untuk mandiri,
melatih keberanian bersaing, dan mempersiapkan keunggulan-keunggulan diri dan
produk.
Pentingnya peran perguruan tinggi dalam mencetak SDM yang memiliki
kemampuan bersaing dan memiliki jiwa wirausaha dikemukakan oleh Zimmerer (2009:
12), menyatakan bahwa faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan di suatu
negara terletak pada peranan universitas melalui penyelenggaraan pendidikan
kewirausahaan. Pihak universitas bertanggung jawab dalam mendidik dan memberikan
kemampuan wirausaha kepada para lulusannya dan memberikan motivasi untuk
berani memilih berwirausaha sebagai karir mereka.
Pihak perguruan tinggi perlu menerapkan pola pembelajaran kewirausahaan yang
konkret berdasarkan masukan empiris untuk membekali mahasiswa dengan
pengetahuan yang bermakna agar dapat mendorong semangat mahasiswa untuk
berwirausaha (Yohnson 2003, Wu & Wu, 2008). Persoalannya pendekatan
pembelajaran konkret yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan kompetensi
lulusan, mampu meningkatkan kesejahteraan hidup dan pengakuan eksistensi diri,
menjadi manusia yang berpartisipasi aktif dan siap menghadapi realitas secara kritis.
Kecakapan dan kompetensi yang dimiliki akan menjadi pisau analisis sekaligus jalan
keluar terhadap problematika yang dihadapi.
Pendidikan tinggi memiliki peran penting, dan tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana menyiapkan manusia Indonesia yang qualified dan marketable, sehingga tidak
terpinggirkan dalam arus pasar tunggal. Pengembangan kurikulum pendidikan
kewirausahaan yang diterapkan pada perguruan tinggi, merupakan salah satu alternatif
untuk menghasilkan sarjana yang berjiwa wirausaha. Pentingnya implementasi
pendidikan kewirausahaan dan pengalaman kewirausahaan dikemukakan oleh Vesper
dkk (Vesper & McMullan, 1988; Kourilsky & Carlson, 1997; Gorman et al., 1997; Rasheed,
2000). Secara teori diyakini bahwa pembekalan pendidikan dan pengalaman
kewirausahaan pada seseorang dapat meningkatkan potensi seseorang untuk menjadi
wirausahawan. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang mendukung pernyataan
tersebut (Kourilsky & Walstad, 1998; Gerry et al., 2008). Sejumlah aktivitas belajar telah
dilakukan pada mata kuliah ini yaitu tentang teori-teori kewirausahaan, praktek
lapangan kewirausahaan. Dengan melakukan aktivitas itu semua, diharapkan dapat
membuat para mahasiswa mendorong untuk menjadi wirausaha yang sesungguhnya
setelah mereka lulus.
Pada kenyataannya masih banyak kritik yang diberikan pada perkuliahan
kewirausahaan di perguruan tinggi, antara lain: penyajian materi yang cenderung
teoretis dan menekankan pada aspek kognitif, belum kontekstual, kurangnya kegiatan
praktek wirausaha, kurangnya sarana dan prasarana untuk melatih keterampilan
wirausaha seperti inkubator bisnis. Hal ini diperkuat oleh penelitian Koesworo dan
Triwijayanti (2006), bahwa pelaksanaan kuliah belum efektif. Karena perkuliahan belum
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
P a g e [ 89 ]
melibatkan pengalaman pelaku usaha, baik melalui kunjungan lapangan atau kuliah tamu
untuk mendekatkan mahasiswa dengan lingkungan riil dunia wirausaha. Meskipun hal
tersebut telah diminimalkan dengan penugasan wawancara, secara berkelompok, dengan
para pelaku usaha (wirausahawan)
Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan model pembelajaran bersifat student
centered, proses pembelajaran yang lebih menekankan pada kemampuan penalaran,
memberikan pengalaman langsung pada mahasiswa yaitu experiential learning.
Experiential Learning adalah suatu model pembelajaran yang mengaktifkan mahasiswa
dalam proses belajar mengajar untuk membangun pengetahuan dan ketrampilan melalui
pengalamannya secara langsung. Dalam model ini menggunakan pengalaman katalisator
untuk menolong mahasiswa mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam
proses pembelajaran.
Makalah ini akan membahas: konsep model Experiential Learning, dasar pemikiran
penggunaan experiential learning, mengapa experiential learning sesuai untuk pendidikan
kewirausahaan, prosedur dan tahapan penerapannya, faktor apa saja yang menjadi
pendukung dan penghambat penerapan Experiential Learning pada perkuliahan
kewirausahaan, serta solusi untuk mengantisipasi hambatannya.
PEMBAHASAN
Konsep Model Experiential Learning
Experiential learning theory (ELT), yang kemudian menjadi dasar model
pembelajaran experiential learning, dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1980-an.
Model ini menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses
belajar. Dalam experiential learning, pengalaman mempunyai peran sentral dalam proses
belajar. Penekanan inilah yang membedakan ELT dari teori-teori belajar lainnya. Istilah
“experiential” di sini untuk membedakan antara teori belajar kognitif yang cenderung
menekankan kognisi lebih daripada afektif. Dan teori belajar behavior yang
menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar (Kolb, 1999).
Experiential learning dapat didefinisikan sebagai tindakan untuk mencapai
sesuatu berdasarkan pengalaman yang secara terus menerus mengalami perubahan guna
meningkatkan keefektifan dari hasil belajar itu sendiri. Tujuan dari model ini adalah
untuk mempengaruhi mahasiswa dengan tiga cara, yaitu; 1) mengubah struktur kognitif
mahasiswa, 2) mengubah sikap, dan 3) memperluas keterampilan-keterampilan yang
telah ada. Ketiga elemen tersebut saling berhubungan dan memengaruhi secara
keseluruhan, tidak terpisah-pisah, karena apabila salah satu elemen tidak ada, maka
kedua elemen lainnya tidak akan efektif.
Experiential learning menekankan pada keinginan kuat dari dalam diri mahasiswa
untuk berhasil dalam belajarnya. Motivasi ini didasarkan pula pada tujuan yang ingin
dicapai dan model belajar yang dipilih. Keinginan untuk berhasil tersebut dapat
meningkatkan tanggung jawab mahasiswa terhadap perilaku belajarnya dan mereka
akan merasa dapat mengontrol perilaku tersebut.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 90 ] P a g e
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, menunjukkan adanya orientasi belajar
aktif bagi mahasiswa/student centered. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan
cara konvensional dalam perkuliahan yang lebih berorientasi pada teacher centered.
Berikut ini disajikan perbedaan antara experiential learning dan content based learning.
Tabel 1. Perbedaan mendasar antara experiential learning dengan cara tradisional
Experiential Learning Tradisional Content-based Learning.Aktif PasifBersandar pada penemuan individu Bersandar pada keahlian mengajarPartisipatif, berbagai arah Otokratis, satu arahDinamis dan belajar dengan melakukan Terstruktur dan belajar dengan mendengarBersifat terbuka Cakupan terbatas dengan sesuatu yang
bakuMendorong untuk menemukan sesuatu Terfokus pada tujuan belajar yang khusus
Sumber: Daryanto (2013:45).
Tabel di atas menunjukkan bahwa metode experiential learning tidak hanya
memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja. Namun, juga memberikan
pengalaman yang nyata (belajar dengan melakukan) yang akan membangun
keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata. Selanjutnya, metode ini akan
mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil
penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan.
Dasar Pemikiran Penggunaan Experiential Learning
Pendekatan Experiential Learning didasarkan pada beberapa pendapat sebagai
berikut:
1. pembelajar dalam belajar akan lebih baik ketika mereka terlibat secara langsung
dalam pengalaman belajar,
2. adanya perbedaan-perbedaan secara individu dalam hal gaya yang disukai,
3. ide-ide dan prinsip-prinsip yang dialami dan ditemukan pembelajar lebih efektif
dalam pemerolehan bahan ajar,
4. komitmen peserta dalam belajar akan lebih baik ketika mereka mengambil tanggung
jawab dalam proses belajar mereka sendiri, dan
5. belajar pada hakikatnya melalui suatu proses.
Experiential learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan
mahasiswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup: keterlibatan mahasiswa
secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh mahasiswa sendiri dan adanya efek yang
membekas pada mahasiswa.
Mengapa Experiential Learning sesuai untuk Pendidikan Kewirausahaan?
Ciputra (2009), berpendapat bahwa wirausaha dapat terbentuk karena 3 hal,
yaitu: terlahir dalam lingkungan wirausaha; hidup dalam lingkungan wirausaha; dan
dididik menjadi wirausaha. Lupiyoadi (2007) mempercayai bahwa sikap kewirausahaan
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
P a g e [ 91 ]
pada realitasnya dapat dibentuk melalui proses pembelajaran. Belajar dari pengalaman
negara maju dan proyek pembelajaran yang dilakukannya, Cieslik (2004), mengambil
kesimpulan bahwa: kewirausahaan tidak saja dapat diajarkan pada jenjang pendidikan
sarjana, tetapi juga dapat diajarkan pada jenjang master, dan bahkan pada jenjang doktor
dari semua jurusan. Secara khusus dia menyatakan bahwa: …Entrepreneurship not only
for business, but is also for non-business students (i.e., engineering, hard sciences, medical,
and arts).
Dalam hal ini Akbar (2007) juga berpendapat bahwa sifat-sifat kewirausahaan
dapat dimiliki oleh siapa saja dan apapun profesinya. Suyono (2009) setuju bahwa
wirausaha dapat dibentuk melalui proses pendidikan, namun demikian juga diakui
bahwa untuk membentuk budaya wirausaha memang merupakan hal yang tidak mudah.
Masalah cukup serius yang dihadapi dalam membentuk budaya wirausaha, atau
melahirkan wirausaha baru dari kalangan perguruan tinggi menurut Motik (2007) dalam
Siswoyo (2009) adalah: pertama mindset lulusan perguruan tinggi yang masih sebagai
pencari kerja bukan pencipta lapangan pekerjaan; kedua lemahnya kurikulum
kewirausahaan, dan; ketiga masih minimnya daya dukung pemerintah terhadap
kesempatan berwirausaha.
Sejalan dengan yang disampaikan oleh Motik, dalam Siswoyo (2009) mengambil
tiga kesimpulan penting terhadap kondisi pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi,
yaitu: sebagaian besar lulusan perguruan tinggi lebih siap sebagai pencari kerja daripada
pencipta lapangan pekerjaan; kurikulum kewirausahaan yang diberikan kurang sesuai
dengan bidang keilmuan, dan; perlu dukungan lembaga penyelenggara secara memadai.
Aspek kewirausahaan yang menekankan pada Knowledge (pengetahuan), Skills
(ketrampilan), dan Attitude (sikap), atau sering disingkat KSA, menurut Albornoz (2008)
dapat diajarkan melalui proses pendidikan, namun demikian tidak semua aspek
kewirausahaan dapat diajarkan dengan perspektif pembelajaran yang sama. Alasan
inilah yang memperkuat pentingnya model experiential learning (pengalaman langsung)
dalam perkuliahan kewirausahaan.
Hasil penelitian Riyanti (2007) menunjukkan bahwa pemberian praktek langsung
yang disesuaikan dengan bidang keahlian mahasiswa memudahkan mahasiswa
melakukan transfer of knowledge, oleh karenanya praktek langsung perlu diberikan porsi
yang lebih banyak dalam proses pendidikan kewirausahaan. Transfer of knowledge,
menurut Kellet (2006) adalah pengembangan latihan-latihan intuitif yang dapat
berlangsung dalam situasi yang ditetapkan, yang dapat memberikan ketrampilan-
ketrampilan dan dapat digunakan berkreasi dalam usahanya sendiri.
Terkait dengan perlunya praktek langsung, Kellet (2006: 10) berpendapat bahwa:
People develop skills, expertise and social contacts from their work, often as Employees
gaining experience, understanding and know-how of how an industry works. This learning
is social and relational, gained from interpersonal participation through discovery and
experience. It is often functional, technical and problem solving in nature, finding out how
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 92 ] P a g e
things are done through the failures and experiences and mentoring of the more
experienced.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, menunjukkan bahwa penekanan-
penekanan pada pentingnya fasilitasi dalam proses pendidikan kewirausahaan yang
melibatkan kegiatan praktek langsung yang realistis, direkomendasikan oleh beberapa
peneliti.
Langkah-Langkah Penerapan Pendekatan Experiential Learning dalam Perkuliahan
Prosedur pembelajaran dalam experiential learning terdiri dari 4 tahapan, yaitu;
1) tahapan pengalaman nyata, 2) tahap observasi refleksi, 3) tahap konseptualisasi, dan
4) tahap implementasi. Tahapan ini sering disebut Model Kolb bahwa experiential
learning “consists of four elements namely, concrete experience, observation and reflection,
the formation of abstract concepts and testing in new situations” (Bhat, 2001), dapat
dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Siklus Experiential LearningSumber: Kolb, A.D. & Boyatzis, R.E. (1999:39)
Dalam tahapan di atas, proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang
dialami seseorang. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Dalam
proses refleksi seseorang akan berusaha memahami apa yang terjadi atau apa yang
dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar konseptualisasi atau proses pemahaman prinsip-
prinsip yang mendasari pengalaman yang dialami serta prakiraan kemungkinan
aplikasinya dalam situasi atau konteks yang lain (baru). Proses implementasi merupakan
situasi atau konteks yang memungkinkan penerapan konsep yang sudah dikuasai.
Kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata kemudian
direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang telah dilakukannya tersebut. Pengalaman
yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian-
pengertian baru atau konsep-konsep abstrak yang akan menjadi petunjuk bagi
terciptanya pengalaman atau perilaku-perilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi
dikategorikan sebagai proses penemuan (finding out), sedangkan proses konseptualisasi
dan implementasi dikategorikan dalam proses penerapan (taking action).
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
P a g e [ 93 ]
Menurut experiential learning theory, agar proses belajar mengajar efektif,
seorang mahasiswa harus memiliki 4 kemampuan (Nasution dalam Baharudin dan Esa,
2010:167).
Tabel 2. Kemampuan Mahasiswa Dalam Proses Belajar Experiential Learning
Kemampuan Uraian Pengutamaan
ConcreteExperience(CE)
Mahasiswa melibatkan dirisepenuhnya dalam pengalaman baru
Feeling (perasaan)
ReflectionObservation(RO)
Mahasiswa mengobservasi danmerefleksikan atau memikirkanpengalaman dari berbagai segi
Watcing(mengamati)
AbstractConceptualization(AC)
Mahasiswa menciptakan konsep-konsep yang mengintegrasikanobservasinya menjadi teori yang sehat
Thinking (berpikir)
ActiveExperimentation(AE)
Mahasiswa menggunakan teori untukmemecahkan masalah-masalah danmengambil keputusan
Doing (berbuat)
Sumber: (Baharudin dan Esa, 2010:167)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa model pembelajaran experiential
learning merupakan model pembelajaran yang memperhatikan atau menitikberatkan
pada pengalaman yang akan dialami mahasiswa. Mahasiswa terlibat langsung dalam
proses belajar dan mahasiswa mengkonstruksi sendiri pengalaman-pengalaman yang
didapat sehingga menjadi suatu pengetahuan.
Model pembelajaran semacam ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa
untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif. Lebih lanjut, Hamalik
menyatakan bahwa pembelajaran berdasarkan pengalaman memberi seperangkat atau
serangkaian situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang
dirancang oleh dosen (Hamalik,2001). Cara ini mengarahkan para mahasiswa untuk
mendapatkan pengalaman lebih banyak melalui keterlibatan secara aktif dan personal,
dibandingkan bila mereka hanya membaca suatu materi atau konsep. Dengan demikian,
belajar berdasarkan pengalaman lebih terpusat pada pengalaman belajar mahasiswa
yang bersifat terbuka dan mahasiswa mampu membimbing dirinya sendiri.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa penerapan model
experiential learning dapat membantu mahasiswa dalam membangun pengetahuannya
sendiri (Depdiknas, 2002). Seperti halnya model pembelajaran lainnya, dalam
menerapkan model experiential learning, dosen harus memperbaiki prosedur agar
pembelajarannya berjalan dengan baik. Hamalik (2001), mengungkapkan beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiential learning adalah sebagai
berikut:
1. Dosen merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat
terbuka (open minded) yang memiliki hasil-hasil tertentu.
2. Dosen harus bisa memberikan rangsangan dan motivasi.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 94 ] P a g e
3. Mahasiswa dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil/keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman.
4. Para mahasiswa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya mahasiswa
mampu memecahkan masalah dan bukan dalam situsi pengganti. Contohnya, di dalam
kelompok kecil, mahasiswa mengungkap teknik dan kendala-kendala pemasaran
berdasarkan hasil praktek pemasaran, bukan menceritakan konsep hasil kajian
teoretis saja.
5. Mahasiswa aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membuat
keputusan sendiri, menerima konsekuensi berdasarkan keputusan tersebut.
6. Keseluruhan kelas menceritakan kembali tentang apa yang ada di lingkungan
sehubungan dengan mata kuliah tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan
pemahaman mahasiswa dalam melaksanakan pertemuan yang nantinya akan
membahas bermacam-macam pengalaman tersebut.
Selain beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran
experiential learning, dosen juga harus memperhatikan metode belajar melalui
pengalaman, yaitu meliputi tiga hal di bawah ini.
1. Strategi belajar melalui pengalaman berpusat pada mahasiswa dan berorientasi pada
aktivitas.
2. Penekanan dalam strategi belajar melalui pengalaman adalah proses belajar, dan
bukan hasil belajar.
3. Dosen dapat menggunakan strategi ini dengan baik di dalam kelas maupun di luar
kelas.
Faktor-Faktor Pendukung Model Experiential Learning
Faktor pendukung merupakan faktor-faktor yang turut mengoptimalkan
penerapan model experiential learning antara lain: (a) penyajian masalah yang lebih jelas
dan rinci oleh dosen sesuai dengan tujuan perkuliahan, (b) partisipasi mahasiswa yang
lebih aktif dalam pembelajaran, dan (c) suasana pembelajaran yang menyenangkan,
santai, dan bertanggung jawab dalam bentuk diskusi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Raharjo, bahwa metode-metode yang sesuai dengan model experiential learning adalah
1). Demonstrasi, 2). Tanya jawab, 3). Diskusi, 4). Kerja kelompok, 5). Curah pendapat
(brain storming), 6). Micro teaching
Faktor-Faktor Penghambat Model Experiential Learning
Sedangkan faktor penghambat pelaksanaan pembelajaran Experiential Learning
adalah (a) waktu yang kurang efektif dan efisien, (b) kesulitan mahasiswa dalam
melakukan adaptasi terhadap metode Experiential Learning, (c) Kurangnya kemampuan
mahasiswa dalam memahami tugas yang harus dilakukan, dan (d) kurangnya rasa
percaya diri mahasiswa dalam melaksanakan aktivitas Feeling (perasaan), Wathcing
(mengamati), Thinking (berpikir), Doing (berbuat) untuk memperoleh kemampuan
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
P a g e [ 95 ]
Concrete Experience (CE), Reflection Observation (RO), Abstract Conceptualization (AC),
Active Experimentation (AE).
Untuk mengantisipasi kelemahan tersebut maka: (1) Dosen: Hendaknya
menerapkan metode Experiential Learning agar menciptakan suasana belajar yang
nyaman, dan disesuaikan dengan perencanaan yang telah disusun dan waktu yang telah
disediakan, (2) Bagi Kaprodi hendaknya memotivasi dosen-dosen untuk dapat
menggunakan metode-metode pembelajaran yang efektif bagi mahasiswa, merintis suatu
wadah inkubator bisnis (3) Mahasiswa hendaknya lebih berani dalam mengemukakan
pendapat maupun argumen ketika metode pembelajaran berlangsung, dan meningkatkan
kemampuan inkuiri dan bereksplorasi untuk memperoleh pengalaman langsung.
SIMPULAN
Pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam menyiapkan manusia Indonesia
yang berkualitas dan marketable, kreatif, inovatif dan memiliki kemampuan probem
solver, sehingga dapat bersaing dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. Upaya yang
dilakukan perguruan tinggi dengan mengembangkan kurikulum pendidikan
kewirausahaan.
Namun demikian juga diakui bahwa untuk membentuk budaya wirausaha
memang merupakan hal yang tidak mudah. Oleh karenanya penyelenggaraan kurikulum
perlu didukung dengan pendekatan experiential learning meliputi tahapan-tahapan
Concrete Experience (CE), Reflection Observation (RO), Abstract Conceptualization (AC),
Active Experimentation (AE). Tahapan pembelajaran dengan pemberian praktek langsung
yang disesuaikan dengan bidang keahlian mahasiswa memudahkan mahasiswa
melakukan transfer of knowledge, mengaplikasikan teori wirausaha yang telah dikuasai,
memperkuat sikap dan keterampilan wirausaha. Oleh karenanya praktek langsung perlu
diberikan porsi yang lebih banyak dalam proses pendidikan kewirausahaan dan
pelatihan mahasiswa melalui inkubator bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S. (2007). Pembelajaran Nilai Kewirausahaan dalam Perspektif Pendidikan Umum(Prinsip-prinsip dan Vektor-vektor Percepatan Proses Internalisasi NilaiKewirausahaan). Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Albornoz, C. A. (2008). Toward A Set of Trainable Content on EntrepreneurshipEducation: A Review of Entrepreneurship Research From EducationalPrespective. J. Technol. Manag. Innov. 2008. Volume 3, Special Issue 1: 86-98.(online)(www.jotmi.org/index.php/GT/article/viewFile/rev5/131-),diaksestanggal 6 April 2014.
Baharuddin dan Esa, N W. (20100. Teori Belajar & Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-RuzzMedia.
Cieslik, J. (2004). University Conferences -Level Entrepreneurship Education In Poland.(online) (www.upm.ro/proiecte/EEE/ /papers/S604.pdf), diakses tanggal 20Maret 2014.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 96 ] P a g e
Ciputra. (2009). Ciputra Quantum Leap. Entrepreneurship mengubah Masa Depan Bangsadan Masa Depan Anda. Cetakan ke 4. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Daryanto.(2013). Inovasi Pembelajaran Efektif. Bandung : Yrama Widya
Gerry. C.; Susana. C. & Nogueira. F.(2008). Tracking Student Entrepreneurial Potential:Personal Attributesand the Propensity for Business Start-Ups after Graduationina Portuguese University. International Research Journal Problems andPerspectivesin Management, 6(4): 45-53.
Gorman, G., Hanlon, D. & King, W. (1997). Some Research Perspectives onEntrepreneurship Education, Enterprise Education and Education for SmallBusiness Management: A Ten-Year Literature Review. International SmallBusiness Journal, 15(3): 56-77.
Kellet, S. (2006). A Picture of Creative Entrepreneurship: Visual Narrativein CreativeEntreprise Education. (online) (http://www.ncge.com/files/biblio 1002.pdf),diakses tanggal 4 April 2013.
Koesworo, Y., dan Triwijayanti, A. (2006). Penerapan Metode Problem based, Experiencedan Experiential Learning untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata KuliahKewirausahaan. Jurnal Ekuitas Vol.10 No.2 Juni 2006: 246 – 262, ISSN 1411-0393
Kolb, A.D. & Boyatzis, R.E. (1999). Experiential Learning Theory, Previous Research andNew Direction. CaseWestern Reserve University. online pada:[http://www.d.umn.edu/~kgilbert/educ5165-731/Readings/experiential-learning-theory.pdf]
Kourilsky, M.L. & Walstad, W.B. (1998). Entrepreneurship and Female Youth: Knowledge,Attitudes, Gender Differences and Educational Practices. Journal of BusinessVenturing, 13(1): 77-88.
Kourilsky, M.L. &Carlson, S.R. (1997). Entrepreneurship Education for Youth: A CurricularPerspective, in Sexton, D.L. & Sanlow, R.W. (Eds.), Entrepreneurship 2000 (page193-213). Chicago: Upstart Publishing.
Lupiyoadi, R. (2007). Entrepreneurship – from mind set to strategy. Edisi 3. Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Rasheed, H.S. (2000). Developing Entrepreneurial Potential in Youth: The Effects ofEntrepreneurial Education and Venture Creation,(http://USASEB2001proceedings063, diakses 3 April 2014).
Riyanti, BPD. (2007).Metode Experiential Learning Berbasis Pada Peningkatan Rasa DiriMampu, Kreatif & Berani Beresiko dalam pembelajaran Kewirausahaan untukSMK (Online) (www.unesco.or.id/images/pub/89_listofunescointhenewsoneducation.doc), diakses 16 maret 2012.
Siswoyo, B B. (2009). Pengembangan Jiwa Kewirausahaan di Kalangan Dosen danMahasiswa. Jurnal ekonomi bisnis | tahun 14 | nomor 2 | juli 2009. Hal. 114-123.(online) (fe.um.ac.id/wp- content/uploads/.../bambang_banu4.pdf), diaksestanggal. 20 Mei 2011.
Suyono, H. (2009). Membangun Budaya Kewirausahaan Entrepreneurship. Makalahdisampaikan pada Penandatanganan kerjasama antara Yayasan Damandiridengan Universitas Ciputra Jakarta – 7 Februari 2011
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
P a g e [ 97 ]
Vesper, K.H. & McMullan, W.E. (1988). Entrepreneurship: Today Courses, Tomorrowdegrees?. Entrepreneurship Theory and Practice, 13(1): 7-13.
Wu, S. & Wu, L. (2008). The Impact of Higher Education on Entrepreneurial Intentions ofUniversity Students in China. Journal of Small Business and EnterpriseDevelopment, 15(4): 752–774.
Yohnson. (2003). Peranan Universitas dalam Memotivasi Sarjana Menjadi YoungEntrepreneurs. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 5(2): 97-111.
Zimmerer, T.W., & Scarborough, N.M., (2008). Essential of Entrepreneurship and SmallBusiness Management, Edition 5. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 98 ] P a g e
PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN MENGGUNAKAN
MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI PADA MATA PELAJARAN EKONOMI
DedenUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakMenghadapi tantangan ekonomi global pada tahun 2015 Indonesia sudahberbenah diri melakukan berbagai perbaikan infrastruktur sarana dan prasaranatermasuk dalam pendidikan. Pergantian kurikulum dengan penyempurnaanyang lebih baik lagi diharapkan mampu mencetak peserta didik yang kreatif,mandiri dan cerdas. Salah satu faktor yang sangat mendukung yaitu denganpenggunaan pendekatan saintifik. Dalam mata pelajaran ekonomi yang memilikikarakteristik materi cukup sulit, model pembelajaran inkuiri dapat dijadikansalah satu alternatif. Artikel berupa hasil pemikiran ini bertujuan untukmengetahui bagaimana konsep penerapan pendekatan saintifik. Hasilpembahasan menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan saintifik melaluipembelajaran inkuiri akan sangat tepat, di mana tahapan-tahapan padapendekatan ini akan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa.Dengan pendekatan saintifik yang didukung dengan pembelajaran inkuiri siswaakan lebih tertarik untuk belajar, dengan konsep menemukan sendiri makasiswa juga dapat lebih mengingat materi yang dibahas dalam proses kegiatanbelajar mengajar.
Kata kunci: pendekatan saintifik, model pembelajaran inkuiri
PENDAHULUAN
Saat ini Indonesia dihadapkan pada era perdagangan bebas untuk wilayah ASEAN
atau dikenal dengan nama (MEA) Masyarakat Ekonomi Asea, di mana rakyat Indonesia
harus siap untuk menghadapi tantangan ekonomi global. Dampak dari ekonomi global
terjadi pada beberapa sektor, selain berdampak pada sektor perdagangan ekonomi global
juga berdampak pada sektor pendidikan. Sektor pendidikan dituntut untuk mampu
menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang brkualitas, bukan hanya dari segi
siswanya tetapi juga dibutuhkan tenaga pendidik yang ahli dan profesional.
Pendidik atau guru sangat berperan dalam mencetak anak didik yang kreatif,
mandiri dan mempunyai jiwa entrepreneur. Hal ini diperlukan agar setelah menmpuh
pendidikan siswa dapat menjadi masyarakat berdaya saing tinggi dan mampu
menghadapi era perdagangan bebas. Guru di tuntut memberikan materi pelajaran yang
mudah dimengerti dan menarik minat siswa untuk senantiasa belajar. Di mana belajar
merupakan suatu proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami oleh manusia
sejak dari dalam kandungan hingga masuk ke liang lahat sesuai dengan prinsip
pembelajaran sepanjang hayat.
Kualitas hasil belajar siswa akan sangat ditentukan oleh profesionalisme guru
yang dimiliki sekolah. Bagaimana cara mengajar seorang guru akan berdampak pada
penyerapan materi pelajaran yang disampaikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
P a g e [ 99 ]
nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia-manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta tanggung jawab.(UU RI
No. 20 Tahun 2003)
Untuk meningkatkan profsionalisme, seorang guru diharapkan mampu
menciptakan dan menrapkan suatu model pembelajaran yang inovatif, sehingga dalam
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) akan terjadi pembelajaran dua arah atau adanya
interaksi antara guru, siswa dan lingkungan sekitar. Dalam rangka peningkatan kualitas
belajar tersebut, pemerintah selalu melakukan perbaikan pada setiap kurikulum yang
diterapkan, dan untuk saat ini kurikulum 2013 menjadi pertimbangan bagi pemerintah,
di mana kurikulum 2013 merupakan pembaharuan dari kurikulum sebelumnya. Menurut
Hosnan (2013) menjelaskan bahwa kegiatan pembelajaran dalam kurikulum 2013
diarahkan untuk memberdayakan semua potensi yang dimiliki peserta didik agar mereka
dapat memiliki kompetensi yang diharapkan melalui upaya menumbuhkan serta
mengembangkan sikap/attitude, pengetahuan/knowledge, dan keterampilan/skill.
Dalam kurikulum 2013 pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan saintifik
(saintifik approach) atau pendekatan berbasis keilmuan, di mana dalam kegiatan inti
pembelajaran dngan menggunakan pendekatan ini peserta didik diharapkan mampu
melaksanakan 5 tahapan kegiatan. Lima kegiatan inti dalam pembelajaran dengan
pendekatan saintifik adalah kegiatan mengamati, menanya, megumpulkan informasi,
menalar dan mengkomunikasikan. Pendekatan saintifik dilaksanakan dengan modus
pembelajaran langsung dan tidak langsung. Dalam kurikulum 2013 sebagai penerapan
dari pendekatan saitifik, maka dibentuklah model pembelajaran yang dapat dipilih oleh
guru yang nantinya akan dissuaikan dengan materi pelajaran. Model pembelajaran dalam
kurikulum ini merupakan kerangka konseptual dan operasional pembelajaran yang
memiliki nama, ciri, urutan, logis, pengaturan dan budaya. Model pembelajaran dalam
kurikulum 2013 antara lain discovery learning, project-based learning, problem-based
learning dan inquiry learning (permendikbud tahun 2014 no. 103)
Masing-masing model pmbelajaran memiliki tahap penerapan yang berbeda pada
masing-masing mata pelajaran. Guru harus mampu menyesuaikan model mana yang akan
cocok untuk diterapkan pada setiap mata pelajaran. Mata pelajaran ekonomi merupakan
pelajaran yang memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi, dimana siswa dituntut untuk
mampu menalar masalah-masalah ekonomi bahkan yang ada di sekitar siswa. Sehingga
dibutuhkan model pembelajaran yang menarik, sehingga siswa tidak menganggap
Ekonomi sebagai pelajaran yang sulit. Dalam hal ini salah satu model pembelajaran yang
dapat dijadikan alternatif oleh guru adalah model pembelajaran inkuiri, dimana inkuiri
merupakan model pembelajaran yang berdasar dari fakta-fakta kemudian dirangkai
menjadi teori. Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran inkuiri, di mana
pada saat kita menemukan sesuatu akan lebih diingat dibandingkan bila ditemukan oleh
orang lain dan proses penemuan inilah yang menjadi penting dalam pembelajaran
inkuiri. Materi ekonomi mencakup sangat luas yaitu berkenaan dengan ekonomi mikro
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 100 ] P a g e
dan makro. Bila penyampaian materi pembelajaran digunakan dengan metode inkuiri
diharapkan para siswa akan lebih tertarik dan memahami makna yang ada dari setiap
kegiatan pembelajaran.
Saat ini metode yang digunakan oleh para guru dalam pembelajaran khususnya
pembelajaran ekonomi sudah beragam dan menggunakan berbagai metode yang ada di
pembelajaran kurikulum 2013. Tetapi penerapannya belum maksimal sehingga para
siswa masih ada yang tidak aktif di kelas, jadi hanya beberapa anak saja yang terlihat
lebih menonjol. Oleh karena itu dalam pembelajaran dengan menggunakan metode
inkuiri dan dibarengi dengan menggunakan pendekatan saintifik diharapkan hasil yang
dicapai dapat maksimal. Berdasarkan uraian singkat di atas dapat ditarik sebuah
perumusan masalah yaitu, Bagaimana Konsep Penerapan Metode Pembelajaran Inkuiri
Melalui Pendekatan Saintifik Pada Mata Pelajaran Ekonomi?
KONSEP PEMBELAJARAN MELALUI PENDEKATAN SAINTIFIK
Konsep pendekatan saintifik diatur dalam kurikulum 2013 dan Implementasi
kurikulum 2013 dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses
pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif
mengkonstruki konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati bentuk,
mengidentifikasi atau menemukan masalah, merumuskan masalah, mengajukan atau
merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data,
menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang
ditemukan.(Hosnan:2014:34). Pendekatan mengandung pengertian menurut KBBI atau
kamus besar bahasa Indonesia adalah (1) proses, perbuatan, cara mendekati; (2) usaha
dalam rangka aktivitas pengamatan untuk mengadakan hubungan dengan orang yang
diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah pengamatan.
Adapun pengertian pendekatan pembelajaran adalah sebagai berikut : (1) perspektif
(sudut pandang, pandangan) teori yang dapat digunakan sebagai landasan dalam
memilih model, metode dan teknik pembelajaran; (2) suatu proses atau perbuatan yang
digunakan guru untuk menyajikan bahan pelajaran; (3) sebagai titik tolak atau sudut
pandang terhadap proses pembelajaran.
Pembelajaran pada kurikulum 2013 ini menggunakan pendekatan saintifik atau
pendekatan berbasis proses keilmuan dan dapat menggunakan beberapa strategi seperti
pembelajaran kontekstual. Salah satunya adalah dengan menggunakan modus
pembelajaran langsung (direct instructional) dan tidak langsung (indirect instructional).
Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengembangkan pengetahuan
berpikir dan keterampilan menggunakan pengetahuan peserta didik melalui interaksi
langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP. Dalam
pembelajaran langsung peserta didik melakukan kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, dan mengkomunikasikan.
Pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung, yang
disebut dengan pembelajaran (instructional effect) hal ini seperti yang dikutip dalam
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
P a g e [ 101 ]
permendikbud no. 103 tahun 2014 lampiran pembelajaran pada pendidikan dasar dan
pendidikan menengah.
Adapun konsep rincian dalam proses pendekatan saintifik dan deskripsi langkah
pembelajaran meliputi lima pengalaman belajar yang tertuang dalam table sebagai
berikut:
Tabel 1. Deskripsi Langkah Pembelajaran
LangkahPembelajaran
Deskripsi Kegiatan Bentuk Hasil Belajar
Mengamati(observing)
Mengamati dengan indra(membaca, mendengar,menyimak, melihat,menonton dansebagainya) dengan atautanpa alat
Perhatian pada waktu mengamati suatuobjek/membaca suatu tulisan/mendengar suatu penjelasan, catatanyang dibuat tentang yang diamati,kesabaran, waktu (on task) yangdigunakan untuk mengamati
Menanya(questioning)
Membuat danmengajukan pertanyaan,Tanya jawab, berdiskusitentang informasi yangbelum dipahami,informasi tambahan yangingin diketahui, atausebagai klarifikasi
Jenis, kualitas, dan jumlah pertanyaanyang diajukan peserta didik(pertanyaan factual, konseptual,procedural dan hipotetik)
Mengumpulkaninformasi/mencoba(experimenting)
Mengeksplorasi mencobaberdiskusimendemonstrasikan,meniru bentuk/gerakmelakukan eksperimenmembaca sumber lainsebagai buku teks,mengumpulkan data darinara sumber melaluiangket, wawancara danmemodifikasi/menambahi/mengembangkan
Jumlah dan kualitas sumber yangdikaji/digunakan, kelengkapaninformasi, validitas informasi yangdikumpulkan, dan instrument/ alat yangdigunakan untuk mengumpulkan data
Menalar /mengasosiasi(associating)
Mengelola informasiyang sudah dikumpulkan,menganalisis data dalambentuk membuatkategori, mengasosiasiatau menghubungkanfenomena/informasiyang terkait dalamrangka menemukansuatu pola danmenyimpulkan
Mengembangkan interpretasi,argumentasi dan kesimpulan mengenaiketerkaitan informasi dari duafakta/konsep, interpretasiArgumentasi dan kesimpulan mengenaiketerkaitan lebih dari duafakta/konsep/teori, menyintesis danargumentasi serta kesimpulanketerkaitan antar berbagai jenisfakta/konsep/teori/pendapat;mengembangkan interpretasi, strukturbaru, argumentasi, dan kesimpulan yangmenunjukan hubunganfakta/konsep/teori dari dua sumber
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 102 ] P a g e
atau lebih yang tidak bertentangan ;mengembangkan interpretasi, strukturbaru, argumentasi dan kesimpulan darikonsep/teori/pendapat yang berbedadari berbagai jenis sumber.
Mengkomunikasikan(communicating)
Menyajikan laporandalam bentuk bagan,diagram, atau grafik.Menyusun laporantertulis dan menyajikanlaporan melalui proses,hasil, dan kesimpulansecara lisan
Menyajikan kajian (dari mengamatisampai menalar) dalam bentuk tulisan,grafis, media elektronik, multi mediadan lain-lain
Tabel di atas menjelaskan tentang deskripsi langkah pembelajaran melalui
pendekatan saintifik, penerapannya terhadap deskripsi kegiatan dalam pembelajaran
dan bentuk hasil yang dicapai dalam proses pembelajaran. Deskripsi langkah
pembelajaran saintifik ini ditambahkan oleh Hosnan (2014) bahwa langkah-langkah
pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam proses pembelajaran pada kurikulum
2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah
(saintifik), meliputi : menggali informasi observing/ pengamatan, questioning/bertanya,
experimenting/percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data
atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, associating/menalar, kemudian
menyimpulkan dan mencipta serta membentuk jaringan.
Dari pembahasan di atas mengenai pendekatan saintifik dapat dilihat bahwa
pembelajaran pendekatan saintifik memiliki karateristik sebagai berikut : (1) berpusat
pada siswa; (2) melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep,
hukum atau prinsip; (3) melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam
merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berfikir tingkat tinggi
siswa; (4) dapat mengembangkan karakter siswa.(Hosnan:2014:37)
KONSEP MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI
Model pembelajaran inkuiri merupakan model pembelajaran yang diterapkan
dalam kurikulum 2013 di mana pembelajaran tersebut menitikberatkan pada penemuan
yang dilakukan oleh peserta didik dalam pembelajaran yang selanjutnya dapat dibentuk
sebuah teori. Model pembelajaran sendiri dapat diartikan sebagai acuan pembelajaran
yang dilaksanakan berdasarkan pola-pola pembelajaran tertentu secara sistematis.
Menurut La Iru dan Arihi (2012) dalam Prastowo menyatakan bahwa model
pembelajaran tersusun atas beberapa komponen yaitu: fokus, sintak, sistem sosial dan
sistem pendukung. Model pembelajaran umumnya memiliki cirri-ciri yaitu : (1) memiliki
prosedur yang sistematis, (2) hasil belajar diterapkan secara khusus, (3) penetapan
lingkungan secara khusus, (4) memiliki ukuran keberhasilan tertentu, (5) model belajar
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
P a g e [ 103 ]
mengajar menetapkan cara yang memungkinkan siswa melakukan interaksi dan bereaksi
dengan lingkungan.
Indrawati (1999:9) dalam Trianto menyatakan bahwa suatu pembelajaran pada
umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-model pembelajaran
yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model
pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berpikir dan bagaimana
dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi. Salah satu yang termasuk dalam
model pemrosesan informasi adalah model pembelajaran inkuiri. Trianto (1997)
menyatakan bahwa discovery merupakan bagian dari inquiry, atau inquiry merupakan
perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Inkuiri yang dalam bahasa
inggris inquiry berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Inkuiri sebagai suatu
proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi.
Gulo (2002) dalam Trianto menyatakan strategi inkuiri berarti suatu rangkaian
kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk
mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama kegiatan
pembelajaran inkuiri adalah (1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses
kegiatan belajar, (2) keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan
pembelajaran, (3) mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang
ditemukan dalam proses inkuiri.
Dalam menciptakan model pembelajaran inkuiri menurut Trianto (2007:135)
harus dibentuk kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi
siswa. Kondisi umum tersebut antara lain: (1) aspek social dan suasana kelas terbuka
yang mengundang siswa berdiskusi, (2) inkuiri berfokus pada hipotesis, (3) penggunaan
fakta sebagai evidensi (informasi fakta). Kondisi umum di atas dapat diciptakan melalui
adanya peran guru. Peran guru di sini adalah sebagai berikut: (1) sebagai motivator yaitu
memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah dalam berpikir, (2) sebagai
fasilitator, yaitu menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan, (3) sebagai
penanya, yaitu menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat, (4) sebagai
administrator, yaitu bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas, (5) sebagai
pengarah, yaitu memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan, (6)
sebagai manajer, yaitu mengelola sumber belajar, waktu dan organisasi kelas, (7) sebagai
rewander, yaitu member penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa.
Ciri-ciri pembelajaran inkuiri menurut Hosnan (2014:341) adalah : (1)
menekankan pada aktivitas peserta didik secara maksimal untuk mencari dan
menemukan, (2) aktivitas yang dilakukan peserta didik diarahkan untuk mencari dan
menemukan sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan sehingga diharapkan dapat
menimbulkan sikap percaya diri, (3) tujuan dari penggunaan pembelajaran inkuiri
adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis, atau
mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Setelah
melihat ciri-ciri dalam pembelajaran inkuiri di atas maka kita harus mengetahui langkah-
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 104 ] P a g e
langkah dalam pembelajaran inkuiri di antaranya dengan melakukan orientasi,
merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis
dan merumuskan kesimpulan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam konsep pembelajaran ekonomi adalah
sebagai berikut: (1) Orientasi, membina suasana atau iklim pembelajaran yang
responsive, (2) merumuskan masalah, merupakan langkah membawa peserta didik pada
suatu persoalan yang mengandung teka-teki di mana persoalan yang disajikan
menantang peserta didik untuk memecahkan teka-teki tersebut, (3) merumuskan
hipotesis, yaitu jawaban sementara dari suatu persoalan yang sedang dikaji, di sini
peserta didik diajak untuk berpikir logis dan rasional dalam mengembangkan hipotesis
yang ada, (4) mengumpulkan data merupakan aktivitas menjaring informasi yang
dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan, (5) menguji hipotesis, yaitu proses
menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data dan informasi yang
diperoleh berdasarkan pengumpulan data, (6) merumuskan kesimpulan, yaitu proses
mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis.
Dari penjelasan konsep model pembelajaran inkuiri dari beberapa ahli di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran inkuiri dilakukan dengan
menekankan pada proses mencari dan menemukan serta menyelidiki yang dilakukan
secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga dapat merumuskan sendiri temuannya
dengan rasa percaya diri. Dan dari hasil penelitian seperti yang dikutip oleh Trianto
(1997) menunjukkan bahwa latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman sains,
produktif dalam berpikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan
menganalisis informasi.
KONSEP PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN MENGGUNAKAN MODEL
PEMBELAJARAN INKUIRI PADA MATA PELAJARAN EKONOMI
Penerapan kurikulum 2013 merupakan salah satu pertimbangan yang dilakukan
oleh pemerintah dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Penerapan
kurikulum 2013 ini tidak dapat langsung kita lihat hasilnya dalam jangka pendek, sering
kita temui masih banyak guru yang bingung untuk menerapkan kurikulum baru tersebut.
Namun guru yang profesional adalah guru yang mau menerima perubahan dan mau
melakukan perubahan tersebut. Dalam penerapannya tentu banyak tahapan dan faktor
yang mendukung, dan salah satunya adalah pendekatan saintik beserta model
pembelajarannya.
Pendekatan saintifik merupakan pendekatan yang dirancang untuk siswa agar
mampu belajar scara aktif dalam menyusun konsep teori melalui 5 tahapan yaitu
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar dan mengkomunikasikan.
Dalam penerapannya pendekatan ini diatur dalam permendikbud No 103 tahun 2014
tentang tahapan pendekatan saintifik. Hosnan (2014) menjelaskan bahwa penerapan
pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses, seperti
mengamati mengklasifikasikan, mengukur, meramalkan, menjelaskan dan
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
P a g e [ 105 ]
menyimpulkan. Dalam pelaksanaan proses tersebut bantuan guru juga diperlukan,
namun bantuan tersebut harus berkurang dalam setiap pertemuannya. Tahapan atau
proses-proses tersebut bertujuan untuk membantu guru dalam memberikan materi
pelajaran yang akan diberikan, dalam hal ini adalah pada mata pelajaran ekonomi.
Pembelajaran ekonomi melalui pendekatan saintifik dengan melalui tahapan-
tahapan yaitu: 1) tahap mengamati, kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam tahap ini
adalah dengan membaca sumber-sumber tertulis, mendengar informasi lisan, melihat
gambar, menonton tayangan dan menyaksikan fenomena alam, social, budaya. Pada
tahap ini siswa akan terlatih dalam mencari informasi, menemukan fakta atau suatu
persoalan. Dalam tahap mengamati guru juga dapat memberikan model pembelajaran
inkuiri di mana para siswa telah menemukan persoalan, fakta dan informasi yang ada. 2)
Tahap menanya, pada pendekatan saintifik ini siswa dapat mengajukan pertanyaan
tentang hal-hal yang tidak dipahami dari sesuatu yang diamati dari pertanyaan ini
terlihat bahwa tahapan ini dapat mengembangkan rasa ingin tahu dan sikap kritis. 3)
Tahap menalar, di mana kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan sejumlah
informasi yang ada dan informasi-informasi yang menjawab dari permasalahan yang
telah diajukan oleh siswa, cara yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara,
melakukan pengamatan lapangan. Hasil yang didapat pada tahap ini adalah siswa dapat
mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan
berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi dengan berbagai
cara. 4) Tahap mengasosiasi, tahap ini menerapkan pemahaman atas suatu persoalan lain
yang sejenis, di tahap ini siswa dapat mengembangkan kemampuan bernalar secara
sistematis dan logis. 5) Tahap terakhir dalam pendekatan saintifik adalah dengan
mengkomunikasikan kegiatan yang dilakukan kepada orang lain secara jelas dan
komunikatif, baik lisan ataupun tulisan. Tahapan ini dapat mengembangkan sikap jujur,
percaya diri, bertanggung jawab, dan toleran dalam menyampaikan pendapat kepada
orang lain dengan memperhatikan kejelasan, kelogisan dan kruntutan sistematikanya. Ke
lima tahapan tersebut di atas diterapkan dengan melihat beberapa ranah hasil
pembelajaran yang tertuang pada kegiatan pembelajaran di mana proses pembelajaran
dalam pendekatan saintifik ini menyentuh kepada tiga ranah yaitu sikap, pengetahuan
dan keterampilan.
Ke tiga ranah dalam pembelajaran tersebut juga dibentuk dari model
pembelajaran inkuiri di mana model pembelajaran ini di dasarkan pada penemuan atau
pengamatan dari peserta didik. Pada model pembelajaran ini para siswa akan terbiasa
menjadi seorang saintifis atau ilmuan. Menurut kosasih (2014) bahwa model
pembelajaran inkuiri ini merupakan bagian dari kerangka pendekatan saintifik. Siswa
tidak hanya disodorkan oleh sejumlah teori (pendekatan deduktif) tetapi mereka pun
berhadapan dengan sejumlah fakta (pendekatan induktif) dari teori dan fakta itulah,
mereka diharapkan dapat merumuskan tujuan. Model pembelajaran inkuiri menekankan
pada kegiatan yang dilakukan oleh siswa dengan menciptakan situasi, pembahasan tugas
dan identifikasi masalah, melakukan observasi, pengumpulan data, pengolahan data dan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 106 ] P a g e
analisis, memverifikasi hasil temuannya dan terakhir mengeneralisasi. Pada model
pemelajaran inkuiri peran guru sebagai motivator, fasilitator, penanya, administrator,
pengarah, manajer, rewarder (Trianto:2007) sehingga pembelajaran inkuiri disini
dilakukan mengajak siswa untuk terlibat langsung di dalam proses ilmiah dalam waktu
relatif singkat.
Penerapan pendekatan saintifik melalui model pembelajaran inkuri pada mata
pelajaran ekonomi akan sangat tepat, dengan mempertimbangkan keragaman materi
yang ada. Materi ekonomi akan menarik untuk dipahami oleh siswa dengan cara
menemukan sendiri dari permasalahan atau pembahasan materi tersebut, yang
sebenarnya sudah ada dan terjadi di sekitar siswa. Dengan proses pendekatan saintifik
siswa dapat termotivasi untuk belajar agar tidak merasa tertinggal dari teman-temannya.
Dari hasil penelitian terdahulu mengenai penerapan pembelajaran inquiri dalam
meningkatkan prestasi belajar siswa yang telah di teliti oleh Seran menyatakan bahwa
rata-rata siswa yang telah menggunakan metode pembelajaran inkuiri telah berhasil
dengan baik ini dilihat dari ketuntasan individu rat-rata mencapai 20,50 dengan
ketuntasan klasikal mencapai 95,65% hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan ketika
menggunakan model pembelajaran konvensional yaitu yaitu ketuntasan individu sebesar
14 dan ketuntasan klasikal hanya 65,21%.
KESIMPULAN
Dari pemaparan mengenai pendekatan saintifik dan model pembelajaran inkuiri
dapat disimpulkan bahwa pendekatan saintifik merupakan pendekatan berbasis ilmiah,
di mana dalam pendekatan yang dilakuakan meliputi kegiatan 5 M yaitu mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menalar dan
mengkomunikasikan. Dengan pendekatan saintifik siswa dilatih untuk membahas sebuah
teori melalui proses menemukan dan menyusun sendiri informasi-informasi yang terkait
dengan materi. Dalam kegiatan belajar mengajar khususnya pada mata pelajaran
ekonomi, penerapan model saintifik akan efektif jika diimbangi dengan penggunaan
model pembelajaran. Model pembelajaran inkuiri diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam melihat atau mengamati suatu informasi sehingga peserta didik
dapat berpikir logis, kritis, analitis sehingga terbentuk suatu kepercayaan diri.
Diharapkan pembelajaran pada mata pelajaran ekonomi menjadi lebih menyenangkan
sehingga timbul ketertarikan dari peserta didik untuk lebih menyukai mata pelajaran
ekonomi yang dikemas melalui pendekatan saintifik dan model pembelajaran inkuiri.
DAFTAR PUSTAKA
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21kunci sukses implementasi kurikulum 2013. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kosasih. (2014). Strategi Belajar dan Pembelajaran Implementasi Kurikulum 2013.Bandung: Yrama Widya.
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
P a g e [ 107 ]
Permendikbud No. 103 tahun 2014 tentang lampiran pembelajaran pada pendidikandasar dan pendidikan menengah
Permendikbud tahun 2014 no. 59 lampiran 1 c mengenai kompetensi dasar pendidikanekonomi SMA.
Prastowo, Andi. (2014). Pembelajaran Konstruktivis-Scientific Untuk Pendidikan AgamaDisekolah/Madrasah. Jakarta: Rajawali Grapindo Persada.
Setyaningrum, yanur dan Husamah. (2013). Desain pembelajaran berbasis pencapaiankompetensi. Panduan merancang pembelajaran untuk mendukung implementasikurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Suparno, Paul. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisus.
Suyono dan Hariyanto. (2011). Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar.Bandung: Remaja rosdakarya.
Seran, Ireine (2014). Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri dalam Meningkatkan HasilBelajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 2 Lamongan. JurnalPendidikan Ekonomi Universitas Negeri Manado. Volume 2 Nomor 8 tahun 2014diakses dari http://ejournal.unima.ac.id/index.php/jpe/article/view/4337 pada30 April 2015
Trianto. (2011). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:Prestasi Pustaka.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 108 ] P a g e
METODE PEMBELAJARAN MIND MAPPING SEBAGAI UPAYA
MENGEMBANGKAN KREATIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI
Nuris SyahidahUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakPerkembangan zaman yang semakin modern terutama era Masyarakat EkonomiASEAN (MEA) 2015 saat ini mengharuskan dunia pendidikan dapat menciptakansumber daya manusia yang berkualitas tinggi sehingga mampu berdaya saing.Salah satu syarat agar sumber daya manusia bisa berdaya saing maka hal pokokyang dibutuhkan adalah kreativitas. Guru sebagai salah satu komponen pentingyang menentukan keberhasilan proses belajar siswa harus mampu menciptakansituasi dan kondisi belajar yang menarik yaitu menggunakan metodepembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif. Metode yangdapat digunakan yaitu mind mapping. Teknik mind mapping yangmenggabungkan gambar, warna, dan simbol dapat mengajak siswa untukmenggali potensi dirinya untuk lebih kreatif. Tujuan artikel kajian ini adalahuntuk mendeskripsikan penggunaan metode pembelajaran mind mapping yangdapat mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran ekonomi.Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa penggunaanmetode mind mapping dapat menggabungkan kemampuan kedua belah otaksehingga dapat mengembangkan kreativitas siswa. Penggunaan mind mappingjuga mendorong siswa berpikir sinergis, mempertajam ingatan dan melakukanimajinasi melalui asosiasi.
Kata kunci: mind mapping, kreativitas
PENDAHULUAN
Perkembangan zaman yang semakin modern terutama era Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015 seperti sekarang ini memberikan tantangan dan peluang yang
berlaku di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Untuk menyikapi MEA 2015,
maka dunia pendidikan harus mampu menciptakan sumber daya manusia yang
berkualitas tinggi. Education systems should contribute towards the development of
creativity and creative problem solving Osborn, 1992; Craft, 2003 (dalam Zampetakis dan
Tsironis 2007). Oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia dalam hal
peningkatan kreativitas, inovasi dan mampu berdaya saing menjadi sangat penting untuk
dilakukan.
Kreativitas sangat penting bagi perkembangan siswa, karena berpengaruh besar
terhadap totalitas kepribadian seseorang dan kesuksesan dalam pembelajarannya.
Menurut Andang Ismail (2003: 133) menjelaskan bahwa kreativitas dapat menjadi
kekuatan (power) yang menggerakkan manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, tidak
bisa menjadi bisa, bodoh menjadi cerdas, pasif menjadi aktif dan sebagainya.
Pentingnya masalah tentang kreativitas tersebut maka guru sebagai salah satu
komponen penting yang menentukan keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar
mengajar, harus mempunyai kemampuan mengajar secara profesional dan terampil
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
P a g e [ 109 ]
dalam menggunakan model, metode dan media pembelajaran yang tepat dalam proses
belajar mengajar tersebut. Guru selaku pengajar juga harus menguasai materi yang akan
disampaikan, pandai menciptakan situasi dan kondisi mengajar yang menarik, serta
kreatif dalam menyampaikan materi pembelajaran yaitu salah satunya dengan
menggunakan metode pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif.
Salah satu metode pembelajaran yang dapat merangsang siswa lebih tertarik pada
materi pelajaran yang disampaikan guru dan melatih siswa lebih kreatif yaitu mind
mapping. Menurut Tony Buzan (2012:4) Mind map adalah cara mencatat yang kreatif,
efektif, dan secara harfiah akan memetakan pikiran kita. Mind Mapping merupakan suatu
teknik mencatat yang menggunakan kata-kata, warna, garis, simbol serta gambar dengan
memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak yang memudahkan seseorang
untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi. Selain itu cara ini juga
menenangkan, menyenangkan dan kreatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Zampetakis
dan Tsironis (2007) yang mengatakan bahwa mind mapping adalah alat yang bahkan
dapat membuat tugas yang membosankan menjadi yang paling menyenangkan dan
menarik, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan daya ingat. Dengan
menggunakan mind mapping maka kemampuan untuk mengingat dan kreativitas akan
meningkat.
Dalam pembelajaran ekonomi dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh
(holistik) bagi siswa untuk dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga siswa diharapkan dapat memahami keseluruhan konsep dalam satu materi,
bukan hanya bagian-bagian kecil dari materi tersebut. Teknik mind mapping ini dapat
mengajak siswa untuk menggali potensi diri. Keseluruhan konsep dalam materi tersebut
dapat dirangkum menjadi sebuah bentuk peta pikiran yang membantu siswa mengingat
dan memahami keseluruhan materi pembelajaran ekonomi. Pembelajaran dengan
penggunaan mind mapping sangat menekankan kebermutuan proses pembelajaran.
Dengan pembelajaran seperti ini maka siswa dapat mengasah kemampuan kognitifnya
juga dapat mendapatkan pengalaman langsung, sehingga pembelajaran lebih bermakna
bagi siswa.
Berdasarkan penjabaran di atas maka penulis ingin mengetahui bagaimana
metode pembelajaran mind mapping dapat mengembangkan kreativitas siswa dalam
pembelajaran ekonomi?
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mind Mapping
Menurut Jensen dan Makowitz (2002) mind mapping merupakan teknik visualisasi
verbal ke dalam gambar yang dapat membantu merekam, memperkuat, dan mengingat
kembali informasi yang telah dipelajari. Sedangkan, menurut Andri Saleh (2009:100),
mind mapping adalah diagram yang digunakan untuk menggambarkan sebuah tema, ide,
atau gagasan utama dalam materi pelajaran. Dari kedua definisi di atas maka dapat
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 110 ] P a g e
disimpulkan bahwa mind mapping adalah sebuah cara efektif untuk menyimpulkan suatu
materi pembelajaran dengan mengubah teknik verbal menjadi teknik visualisasi gambar.
Mind map adalah sebuah metode penyimpanan, pengaturan informasi berbentuk
jaringan yang menggunakan kata kunci dan gambar, dan akan menyimpan ingatan secara
spesifik serta mendorong pemikiran dan ide baru. Setiap kata kunci dalam sebuah mind
map merupakan fakta, ide dan informasi yang juga dapat membuka dan melepaskan
potensi yang sebenarnya dari pikiran seseorang. Mind mapping juga merupakan cara
mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan memetakan pikiran-pikiran
individu (Buzan, 2007).
Mind mapping dapat dibuat dengan menggunakan tulisan tangan dengan
mengkombinasikan warna, gambar juga cabang-cabang melengkung sesuai yang
diinginkan, sehingga mind mapping menjadi tidak bosan untuk dilihat secara visual. Mind
mapping merekam seluruh informasi melalui simbol, gambar, garis, kata, dan warna.
Catatan yang dihasilkan menggambarkan pola gagasan yang saling berkaitan dengan
topik utama di tengah dan subtopik dengan rinciannya diletakkan pada cabang-
cabangnya. Oleh karena itu, catatan dalam bentuk mind mapping memungkinkan otak
dapat lebih mudah memahami ulang gagasan dalam wacana secara utuh dan menyeluruh.
Buzan (2007:5) menyatakan bahwa mind mapping dapat membantu individu dalam
banyak hal yaitu, mind mapping dapat memberikan pandangan menyeluruh terhadap
suatu pokok permasalahan, mendorong seseorang untuk memecahkan masalah dengan
menemukan penyelesaian yang kreatif, dan mind mapping dapat menjelaskan semua
informasi yang sudah dipeta-petakan.
Sedangkan manfaat mind mapping yang diambil dari (http://ikhs.wordpress.com )
yaitu:
1. Mempercepat pembelajaran karena mampu memahami konsep yang sama dengan
kerja otak ketika menerima pelajaran
2. Melihat koneksi antar topik yang satu dengan yang lain yang memiliki keterkaitan
3. Membantu brainstorming, mengasah kemampuan otak bekerja
4. Membantu ide serta gagasan yang mengalir karena tidak selalu ide serta gagasan
dapat mudah direkam
5. Melihat gambaran suatu gagasan secara luas dan besar, sehingga membantu otak
bekerja secara maksimal dan berpikir besar terhadap suatu gagasan
6. Menyederhanakan struktur ide dan gagasan
7. Memudahkan untuk mengingat ide dan gagasan
8. Meningkatkan daya kreativitas dan inovatif
Kreativitas
Munandar (2004), kreativitas adalah sebuah proses atau kemampuan yang
mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir,
serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci),
suatu gagasan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kreativitas memainkan
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
P a g e [ 111 ]
peranan penting dan sangat diperlukan dalam pembelajaran, karena kreativitas dapat
mengembangkan potensi anak. Kreativitas dapat dipandang sebagai bentuk intelejensi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Gardner (dalam Beetlestone 2012:28) yang memandang
kreativitas sebagai salah satu dari multiple intelejensi yang meliputi berbagai fungsi otak.
Setiap anak yang dilahirkan pasti memiliki potensi kreatif. Ketika seorang anak
berusaha mengeksplorasi apapun yang ada di sekitarnya maka kita bisa melihat potensi
kreatif anak tersebut. Sehingga tidak ada anak yang sama sekali tidak mempunyai
kreativitas, tapi yang menjadi masalah adalah bagaimana potensi kreatif pada anak
tersebut dapat dikembangkan dengan baik. Untuk mengembangkan kreativitas, setiap
anak perlu diberi kesempatan bersibuk diri secara kreatif. Anak dalam hal ini siswa harus
terlibat terlebih dahulu dalam proses pembelajaran, dengan kata lain siswa harus
mempunyai motivasi yang cukup untuk memulai kemudian melakukan tugas dengan
tekun. Oleh karena itu pendidik hendaknya dapat merangsang siswa untuk melibatkan
dirinya dalam kegiatan kreatif, dengan membantu mengusahakan sarana dan prasarana
yang diperlukan. Dalam hal ini yang penting ialah memberi kebebasan kepada anak
untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif, tanpa merugikan orang lain atau
lingkungan (Munandar, 2004: 46).
Untuk menjadikan siswa menjadi kreatif tentunya tidak bisa dilakukan secara
instan, tapi membutuhkan sutu proses untuk mengasah potensi kreatif yang dimiliki oleh
setiap siswa tersebut. Menurut Lowenfeld dan Brittain (dalam Beetlestone 2012:100) ada
empat tahap perkembangan kreativitas yaitu:
1. Scribbling stage (tahap corat coret)
2. Pada tahap ini anak sibuk mengeksplorasi lingkungan melalui semua inderanya dan
mengekspresikannya melalui pola-pola yang acak. Eksplorasi warna, ruang dan
materi-materi tiga dimensi.
3. Pre-schematic (pra-skematik)
4. Pada tahap ini anak mengekspresikan pengalaman-pengalaman nyata ataupun
imajinasi dengan usaha pertamanya untuk mempresentasikan
5. Schematic (skematik)
6. Pada tahap ini anak menginvestigasi cara-cara dan metode baru, berusaha mencari
sebuah pola untuk menciptakan hubungan antara dirinya dan lingkungan. Di sini
simbol-simbol digunakan untuk pertama kalinya
7. Visual realism (realisme visual)
8. Pada tahap ini anak menyadari peran kelompok atau lingkungan sosial.
Metode pembelajaran mind mapping sebagai upaya mengembangkan kreativitas
siswa dalam pembelajaran ekonomi
Mind mapping merupakan cara belajar yang efektif karena dapat mengubah teknik
verbal ke dalam visualisasi gambar. Gambar dapat membantu menyampaikan pesan
secara konkret sehingga memudahkan siswa untuk memperkuat pemahaman terhadap
konsep materi pembelajaran. Menurut Sadiman, dkk (2011:29) gambar lebih realistis
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 112 ] P a g e
menunjukkan pokok masalah dibandingkan dengan media verbal semata. Mind mapping
juga dapat dibuat dengan menggunakan warna. Warna merupakan media yang sangat
kuat tapi seringkali dipandang remeh. Hasil penelitian Robert Gerard (dalam Jensen
2008) mengemukakan bahwa setiap jenis warna memiliki panjang gelombang, setiap
panjang gelombang mulai dari ultraviolet ke inframerah dapat mempengaruhi otak dan
tubuh seseorang secara berbeda tergantung pada kepribadian dan kondisi pikiran
seseorang. Oleh karena itu penggunaan warna akan membuat mind mapping lebih hidup,
lebih merangsang secara visual, dan menambah energi kepada pemikiran kreatif
daripada metode pencatatan tradisional yang cenderung linier dan satu warna.
Penggunaan mind mapping oleh guru dalam pembelajaran dapat menjadikan
pembelajaran menjadi lebih efektif, semua konsep materi dapat disampaikan secara rinci
karena satu gambar mind mapping dapat menjelaskan keseluruhan materi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ariana (2012) yang mengatakan bahwa ketika siswa menggunakan
mind mapping siswa tidak hanya aktif dalam pembelajaran tapi mereka juga dapat
melihat hasil dari usaha mereka sehingga belajar menjadi menyenangkan, penuh arti dan
bermakna.
Mind mapping juga dapat digunakan sebagai metode untuk pra-pemaparan siswa
terhadap suatu topik. Penggunaan warna, gambar, informasi, dan kaitan antar informasi
dapat digambarkan dalam peta pikiran siswa. Penelitian yang dilakukan oleh M.O Weil
dan J. Murphy (dalam Jensen 2008) menunjukkan bahwa penggunaan pra-pemaparan
sangat bermanfaat karena siswa akan mempelajari konsep-konsep atau prinsip-prinsip
kunci dari subjek dan fakta-fakta terperinci serta potongan informasi yang ada pada
konsep ini. Hasil tinjauan 135 studi dari J. Luiten (dalam Jensen 2008) dapat diambil
sebuah kesimpulan bahwa dengan menggunakan mind mapping untuk pra-pemaparan
menunjukkan pengaruh positif secara konsisten pada kemajuan siswa. Memetakan ide
menjadi sebuah cara bagi siswa untuk mengonseptualisasikan ide, membentuk pikiran
mereka, dan menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang mereka ketahui.
Oleh karena itu penggunaan mind mapping oleh siswa juga dapat mengasah siswa untuk
menghasilkan ide-ide baru. Siswa akan berusaha menggali lebih dalam kemampuannya
untuk menghasilkan gambar mind mapping yang lebih bagus lagi dari yang sebelumnya.
Mind mapping merupakan sebuah tindakan lanjutan ketika ide dihasilkan dan kemudian
disusun untuk dapat digunakan dengan baik. Dalam menghasilkan ide ini dibutuhkan
imajinasi siswa untuk menentukan gambar mind mapping yang akan dibuat. Imajinasi ini
merupakan suatu hal yang efektif untuk mengembangkan kemampuan intelektual, sosial,
dan yang paling penting yaitu membangun kreativitas siswa. Dengan menggunakan
imajinasi maka siswa dapat mengembangkan daya pikir dan daya nalarnya tanpa dibatasi
oleh kenyataan sehari-hari. Imajinasi juga merupakan kekuatan atau proses
menghasilkan ide. Darwis (dalam Liu, et al, 2014) percaya bahwa tidak ada batasan pada
ide dan tidak ada aturan atau struktur ide. Dengan mengasah kemampuan pikiran kita
untuk bebas berimajinasi, kita dapat mengeksplorasi kemampuan otak untuk
menghasilkan ide dan gagasan cemerlang atau hal-hal kreatif.
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
P a g e [ 113 ]
Mengasah imajinasi ternyata dapat membangun kreativitas, tetapi hal ini dapat
menjadi tidak produktif apabila tidak disalurkan ke arah yang positif. Kenapa imajinasi
ini dapat membangun kreativitas siswa? Jawabannya adalah karena imajinasi itu
membuat siswa berpikir secara bebas tanpa adanya suatu batasan dalam berpikir.
Dengan demikian siswa akan memiliki daya asosiasi yang tinggi dengan kehidupan
sekelilingnya, hal inilah yang membuat anak-anak menjadi kreatif. Penggunaan mind
mapping dapat digunakan untuk melatih siswa agar siswa menjadi lebih kreatif, siswa
akan berusaha membuat gambar mind mapping sesuai dengan imajinasi mereka yang
dihubungkan dengan kehidupannya. Mind mapping merupakan proses alami yang
menghubungkan rangkaian koneksi antara gambar dan pengalaman, juga
menghubungkan antara ide, logika alami dan alasan yang digunakan oleh otak untuk
menafsirkan pengetahuan (Ariana, 2012). Di samping itu penggunaan mind mapping juga
memungkinkan siswa mengidentifikasi dengan jelas apa yang telah siswa pelajari atau
apa yang tengah siswa rencanakan.
Kreativitas tidak bisa muncul secara instan, tapi dibutuhkan proses untuk
membangunnya. Begitu juga dengan pembuatan mind mapping yang membutuhkan
proses. Ketika siswa membuat mind mapping hal awal yang dilakukan yaitu siswa akan
berusaha menggunakan inderanya untuk mengingat sesuatu yang pernah ditemuinya
bisa berupa gambar, warna, pola dan lain sebagainya. Melibatkan indera ini akan
membantu siswa menciptakan ingatan tiga dimensi dari dalam ingatnnya. Tahap ini
sesuai dengan perkembangan kreativitas yaitu scribbling stage. Tahap kedua yaitu pre-
schematic, setelah anak menggunakan inderanya untuk mengingat sesuatu yang
berhubungan dengan lingkungan, maka siswa akan menggunakan imajinasinya untuk
menghasilkan ide apa yang akan dibuatmya. Setelah ide sudah didapatkan maka siswa
akan membuat mind mapping dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol ini
dapat berupa gambar, warna, pola, cabang, lengkungan dan lain sebagainya. Penggunaan
gambar dalam mind mapping akan mendorong otak siswa membuat asosiasi dan
mendorong pemikiran sinergis, yaitu setiap cabang mengaitkan satu pikiran dengan
pikiran lainnya, tahap ini disebut dengan tahap schematic. Tahap yang terakhir yaitu
visual realism, pada tahap ini dibutuhkan peran kelompok dan lingkungan sosial. Siswa
dapat menggunakan mind mapping sebagai alat komunikasi kreatif misalnya digunakan
untuk presentasi, berbicara atau berpidato. Dengan menggunakan mind mapping maka
siswa dapat menyusun pikiran dengan cepat, sesuai dengan urutan yang benar, dan
memasukkan semua ide atau gambaran kunci yang dapat menyalakan imajinasi siswa
ketika siswa presentasi. Sehingga presentasi menjadi lebih menyenangkan. Dari
penjelasan di atas maka tahapan dalam membuat mind mapping dapat membangun
proses pembentukan kreativitas siswa.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zampetakis, et.al., (2007) menunjukkan
bahwa teknik mind mapping memberikan kontribusi yang signifikan untuk belajar siswa,
terutama dalam bidang pendidikan karena peta pikiran dapat mengajarkan teknik dan
menghubungkan peta pikiran dengan pelajaran mereka. Tentunya penggunaan metode
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 114 ] P a g e
mind mapping ini akan lebih efektif jika dibandingkan dengan metode mencatat biasanya.
Dengan menggunakan mind mapping maka keseluruhan konsep materi pelajaran akan
terangkum menjadi sebuah bagan yang membantu menunjukkan hubungan antara
bagian-bagian informasi yang saling terpisah, memberi gambaran yang jelas pada
keseluruhan dan perincian, memungkinkan kita mengelompokkan konsep, membantu
kita membandingkannya, dan mensyaratkan kita untuk memusatkan perhatian pada
pokok bahasan atau materi yang membantu mengalihkan informasi tentang hal yang ada
dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang.
Hasil penelitian Saleh (2013) menunjukkan bahwa teknik mind mapping
memberikan sumbangan terhadap peningkatan kreativitas yang diukur dari empat faktor
yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), dan elaborasi
(elaboration). Peningkatan kreativitas tersebut dapat dilihat dari peningkatan skor dari
pre-tes ke skor post-tes di mana peningkatan kreativitas siswa pada kelas eksperimen
lebih tinggi dibandingkan siswa pada kelas kontrol. Penelitian Priantini, dkk (2013)
menghasilkan bahwa dengan menggunakan metode mind mapping keterampilan berpikir
siswa pada rata-rata 66,94 dan prestasi belajar pada rata-rata 82,06, hal ini lebih baik
daripada keterampilan berpikir kreatif dengan pembelajaran konvensional yang rata-
ratanya hanya 59,12 dan prestasi belajar IPS siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional sebesar 78,68. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir
kreatif siswa yang mengikuti metode pembelajaran mind mapping hasilnya lebih baik
daripada keterampilan berpikir kreatif siswa yang mengikuti model pembelajaran
konvensional. Dan hasil penelitian Silaban menunjukkan bahwa 95% metode mind
mapping dalam advance organizer berpengaruh secara signifikan terhadap kreativitas
siswa. Darusman (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hasil analisis data awal
(pretest) perbandingan kemampuan awal siswa pada kemampuan berpikir kreatif pada
kelas eksperimen yaitu 6.15 dengan standar deviasi 1.83 sedangkan pada kelas kontrol
yaitu 6.42 dengan standar deviasi 1.71. hal ini menunjukkan bahwa kemampuan awal
siswa antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol tidak terdapat perbedaan yang
signifikan, sedangkan pada data akhir (posttest) perbandingan kemampuan akhir siswa
pada kemampuan berpikir kreatif pada kelas eksperimen yaitu 10.9 dengan standar
deviasi 2.49 dan pada kelas kontrol yaitu 9.74 dengan standar deviasi 2.06. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan akhir siswa pada kemampuan berpikir kreatif pada
kelas eksperimen lebih baik pada kelas kontrol. Berdasarkan penjabaran tentang hasil
penelitian di atas, penggunaan mind mapping ternyata dapat membangun kreativitas
siswa.
Ketika seseorang (siswa) belajar pada umumnya menggunakan otak kiri, hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan dalam menggunakan otak sehingga hasil belajar
menjadi tidak efektif. Penggunaan mind mapping akan melibatkan kedua sisi otak karena
mind mapping menggunakan gambar, warna dan imajinasi (otak kanan) dengan kata,
angka dan logika (otak kiri). Dengan menggunakan mind mapping maka akan terjadi
keseimbangan kerja dua belahan otak. Dengan cara ini belajar menjadi tidak cepat bosan,
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
P a g e [ 115 ]
materi belajar akan lebih mudah diingat, ide-ide akan muncul dan hasil belajar akan bisa
memuaskan. Mind mapping juga dapat digunakan untuk mengkonstruksikan
pengetahuan baru hasil pemikiran siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Menggunakan mind mapping dalam pembelajaran memiliki banyak manfaat. Ketika guru
memberikan tugas kepada siswa membuat mind mapping atau siswa berusaha sendiri
untuk membuat mind mapping, maka membuat mind mapping ini akan mendorong siswa
untuk berpikir sinergis. Setiap cabang-cabang yang dibuat akan mendorong siswa untuk
menciptakan lebih banyak ide dari setiap pikiran yang ditambahkan dalam mind
mapping. Mind mapping juga membantu otak melakukan imajinasi melalui asosiasi antar
gagasan, karena informasi yang didapatkan akan dikaitkan secara logis dan teratur.
Dengan melalui asosiasi dan pengembangan imajinasi, mind mapping dapat membantu
siswa untuk memfokuskan perhatian pada apa yang menjadi inti persoalan. Selain itu
penggunaan mind mapping akan membantu siswa untuk lebih mempertajam ingatan
siswa. Menurut Buzan (2007) manfaat mind mapping yaitu untuk meningkatkan
kecepatan berpikir, memberi kelenturan yang tak terbatas, dan membawa pikiran
menjelajah jauh untuk menemukan ide-ide orisinil.
Mind Map membuat sistem berpikir yang bekerja sesuai dengan cara kerja alami
otak manusia dan mampu membuka dan memanfaatkan seluruh potensi dan
kapasitasnya. Sistem ini mampu memberdayakan seluruh potensi, kapasitas, dan
kemampuan otak manusia sehingga menjamin tingkat kreativitas dan kemampuan
berpikir yang lebih tinggi bagi penggunanya. Oleh karena itu mind map merupakan alat
berpikir istimewa yang melibatkan seluruh bagian otak sehingga dapat membangun
kreativitas anak dan menjadikan pembelajaran menjadi optimal.
SIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat diambil simpulan bahwa guru memiliki
peran penting dalam menunjang keberhasilan proses belajar siswa. Dalam pembelajaran
ekonomi dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh (holistik) bagi siswa untuk dapat
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat memecahkan
permasalahan dibutuhkan adanya kreativitas, sehingga guru harus selalu melakukan
inovasi dalam pembelajaran agar dapat membangun kreativitas siswa. Metode mind
mapping merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk membangun
kreativitas siswa. Dengan penggunaan metode mind mapping maka siswa akan terus
terpacu mengembangkan imajinasinya untuk dapat menghasilkan ide. Dengan
menggunakan imajinasi maka siswa dapat mengembangkan daya pikir dan daya nalarnya
tanpa adanya batasan tertentu. Dengan demikian siswa akan memiliki daya asosiasi yang
tinggi dengan kehidupan sekelilingnya, hal inilah yang membuat anak-anak menjadi
kreatif. Penggunaan metode mind mapping yang menggabungkan kemampuan kedua
belah otak yaitu otak kiri yang menggunakan kata, angka, dan logika dan otak kanan
yang menggunakan warna, gambar, dan imajinasi juga dapat membangun kreativitas
siswa karena metode ini menggunakan seluruh kemampuan otak.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 116 ] P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Ariana, Monica. (2012). Mind Mapping And Brainstorming As Methods Of TeachingBusiness Concepts In English As A Foreign Language. Academica Science JournalPsychologica Series. No. 1. 2012
Azman, dkk. (2014). “Buzan Mind Mapping: An Efficient Technique for Note-Taking”.International Journal of Social, Education, Economics and Management Engineering.Vol.8 No.1, pp. 28-31.
Beetlestone, Florence. (2012). Creative learning: strategi pembelajaran untuk melesatkankreativitas siswa. Bandung: Nus Media
Buzan, Tony. (2012). Buku Pintar Mind Map. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Darusman, Rijal. (2014). Penerapan Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) UntukMeningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa SMP. Jurnal IlmiahProgram Studi Matematika Stikp Siliwangi Bandung. Vol.3 No.2
Ismail, Andang. (2009). Education Games. Yogyakarta: Pro U Media
Jensen, Eric & Karen, Makowitz. (2002). Otak Sejuta Gygabite: Buku Pintar MembangunIngatan Super. Kaifa: Bandung.
Jensen, Eric. (2008). Brain-Based Learning. Yogyakarta: pustaka belajar
Liu, Ying.,et.al. (2014). The Effect of Mind Mapping on Teaching and Learning:A Meta-Analysis. Journal of Education and Essai. Vol.2 No.1, pp.017-031.
Munandar S.C. Utami. (2002). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah.Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Munandar, Utami. (2004). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT RinekaCipta.
Priantini, dkk. (2013). Pengaruh Metode Mind Mapping Terhadap Keterampilan BerpikirKreatif Dan Prestasi Belajar IPS. Jurnal pendidikan dasar. Vol. 3. Tahun 2013
Ramlan, dkk. Pengaruh media mind mapping terhadap kreativitas dan hasil belajar kimiasiswa SMA pada pembelajaran menggunakan advance organizer.
Ratumanan, Tanwey Gerson. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Unesa university press
Sadiman, dkk. (2011). Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan danPemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo
Saleh, Andi. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif STAND dengan TeknikMind Mapping terhadap Kreativitas Siswa Kelas XII IPA SMA Se-Kabupaten WajoSulawesi Selatan. Disajikan pada seminar nasional biologi, Surabaya, tanggal 19januari 2013
Saleh, Andri. (2009). Kreatif Mengajar dengan Mind Map. Bandung: Tinta Emas Publishing
Sanjaya. (2012). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana
Silaban, Ramlan & Napitupulu, Masita Anggraini. (2011). Pengaruh Media Mind MappingTerhadap Kreativitas Dan Hasil Belajar Siswa SMA Pada PembelajaranMenggunakan Advance Organizer. Universitas Negeri Medan.
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
P a g e [ 117 ]
Sudjana, Nana dan Rivai, Ahmad. (2010). Media Pengajaran. Bandung: Sinar barualgensindo
Zampetakis, Leonidas A and Tsironis, Loukas. (2007). “Creativity development inengineering education: the case of mind mapping”. Journal of ManagementDevelopment. Vol. 26 No. 4, pp. 370-380.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 118 ] P a g e
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PBL UNTUK
MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR
MAHASISWA PENDIDIKAN TATANIAGA
Finisica Dwijayati PatrikhaUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakPendidikan Pendidikan tinggi merupakan pembelajaran untuk manusia dewasa(andragogy) yang lebih menekankan pada keaktifan mahasiswa. Oleh karena itudiperlukan suatu kegiatan yang mampu merangsang mahasiswa untuk dapataktif dan analitis dalam proses perkuliahan. Salah satu cara yang dapat dilakukanuntuk menumbuhkan rangsangan tersebut adalah dengan menerapkan modelProblem Based Learning (PBL). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikanpenerapan model pembelajaran PBL dalam meningkatkan aktivitas dan hasilbelajar mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Negeri Surabaya, JurusanPendidikan Ekonomi, program studi Pendidikan Tata Niaga Angkatan 2013 yangmengikuti perkuliahan Manajemen Pemasaran. Hasil penelitian menunjukkanbahwa rerata skor aktivitas mahasiswa pada siklus I adalah 64,2 persen danmengalami peningkatan rerata pada siklus II menjadi 69,6 persen, sedangkanuntuk hasil belajar mahasiswa pada siklus I memiliki rerata sebesar 78,6 danmengalami peningkatan pada siklus II menjadi 87,9.
Kata kunci: PBL, hasil belajar, aktivitas belajar
PENDAHULUAN
Model pembelajaran merupakan salah satu metodologi yang diciptakan dunia
pendidikan dalam rangka menuju ke tercapainya suatu perubahan. Pelaksanaan model
pembelajaran tentunya melibatkan pembelajar dan peserta didik, artinya seorang dosen
itu harus berinovasi dan selalu menciptakan perubahan dalam kegiatan pembelajaran.
Pendidikan tinggi seharusnya sudah menerapkan model pembelajaran yang
diperuntukkan untuk manusia dewasa (andragogy) yang lebih menekankan pada
keaktifan mahasiswa, dan menumbuhkan kesempatan bagi mahasiswa untuk bertumbuh
dalam proses belajarnya. Itu sebabnya suatu program pembelajaran diperlukan, sebuah
program yang tidak hanya meningkatkan keaktifan mahasiswa dalam kegiatan
pembelajaran tetapi juga melatih kemampuan mahasiswa untuk bernalar dengan
logikanya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Tujuan Program studi Tata Niaga secara umum mengacu pada isi Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) Pasal 3 mengenai Tujuan
Pendidikan Nasional dan penjelasan Pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan
kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama
untuk bekerja dalam bidang tertentu. Dalam penjelasan Pasal 15 UU No. 20 Tahun 2003
menyebutkan Program Keahlian Tata Niaga adalah membekali peserta didik dengan
keterampilan, pengetahuan dan sikap agar kompeten untuk melakukan pemasaran
barang dan jasa, Mampu memilih karier, mampu berkompetisi dan mampu
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
P a g e [ 119 ]
mengembangkan diri dalam lingkup keahlian Bisnis dan Manajemen, khususnya
Penjualan.
Materi tentang segmenting, targeting, dan positioning atau lebih dikenal dengan
STP dalam matakuliah Manajemen Pemasaran. Secara khusus pembelajaran materi STP
berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 bertujuan membekali mahasiswa program studi
Pendidikan Tata Niaga dengan kemampuan yang salah satunya adalah melakukan
pemasaran barang dan jasa. Pembelajaran STP sendiri membutuhkan analisis dari
mahasiswa untuk dapat menemukan strategi yang sesuai dengan permasalahan
pemasaran dari target pasar yang dipilih untuk dihadapinya. Selain itu pembelajaran
materi STP menuntut mahasiswa untuk aktif dan berpikiran logis serta analitis dalam
menelaah materi serta permasalahan yang dihadapi. Untuk itu diperlukan suatu kegiatan
yang menstimulus mahasiswa untuk dapat aktif dan analitis, yaitu melalui kegiatan
belajar menggunakan metode problem based learning.
Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah
penerapan metode Problem Based Learning pada matakuliah Manajemen Pemasaran
dengan materi STP?; (2) Bagaimanakah aktivitas belajar mahasiswa Pendidikan Ekonomi
Tata Niaga dalam mengikuti matakuliah Manajemen Pemasaran dengan materi STP
menggunakan metode Problem Based Learning?; (3) Bagaimanakah hasil belajar
mahasiswa Pendidikan Ekonomi Tata Niaga dalam mengikuti matakuliah Manajemen
Pemasaran dengan materi STP menggunakan metode Problem Based Learning?
Pembelajaran yang dikatakan aktif yaitu dengan menciptakan suatu kondisi di
mana mahasiswa dapat berperan aktif, sedangkan dosen bertindak sebagai fasilitator.
Dalam hal ini pembelajaran dengan Problem Based Learning sebagai salah satu bagian
dari pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan suatu model
pembelajaran yang dipilih untuk mengatasi masalah dihadapi peneliti untuk
meningkatkan aktivitas mahasiswa.
Menurut Tan dalam Rusman (2010: 229), Model Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning) merupakan inovasi dalam pembelajaran karena pada model ini
kemampuan berpikir siswa (peserta didik) betul-betul dioptimalisasikan melalui proses
kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan,
mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara
berkesinambungan, yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar.
Alipandie (1984: 18-19) mengemukakan pendapatnya bahwa ada dua aktivitas
yang dinilai dalam pembelajaran yaitu aktivitas fisik (jasmaniah) dan aktivitas mental
(rohaniah). Aktivitas fisik merupakan berbagai kegiatan yang dilakukan mahasiswa
seperti kesibukan melakukan penelitian, percobaan, membuat konstruksi model dan
sebagainya, sedangkan aktivitas mental adalah berbagai kegiatan yang meliputi unsur-
unsur kejiwaan mahasiswa dalam pengajaran yang tampak jelas pada ketekunan
mengikuti pelajaran, mengamati secara cermat, mengingat, berpikir untuk memecahkan
persoalan dan mengambil kesimpulan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 120 ] P a g e
Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berdasarkan masalah tidak
dirancang untuk membantu dosen memberikan informasi yang sebanyak-banyaknya
kepada peserta didik, akan tetapi pembelajaran PBL dikembangkan untuk membantu
peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan
keterampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka
dalam pengalaman nyata dan menjadi pembelajaran yang mandiri.
Menurut Wijaya (1988: 189) menyebutkan bahwa “hakikat aktivitas belajar
adalah keterlibatan intelektual emosional (keterlibatan mental) siswa dalam kegiatan
belajar dan bukannya kegiatan fisik saja”. Aktivitas yang timbul dari mahasiswa akan
mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah
pada peningkatan prestasi dan proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar serta
tujuan pembelajaran tercapai. Karena aktivitas mahasiswa dalam proses pembelajaran
akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara dosen dengan siswa ataupun dengan
siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif,
di mana masing-masing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin.
Paul B. Diedrich dalam Sardiman (2000: 100) menyatakan bahwa macam-macam
aktivitas adalah sebagai berikut:
1. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya, membaca, melihat gambar-
gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain
bekerja atau bermain;
2. Oral activities, seperti mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan
suatu kejadian, menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan
pendapat, mengadakan wawancara, diskusi dan interupsi;
3. Listening activities, seperti mendengarkan uraian, percakapan, diskusi,
mendengarkan suatu permainan, mendengarkan musik dan mendengarkan pidato;
4. Writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin,
membuat rangkuman, dan mengerjakan tes;
5. Drawing activities, seperti menggambar, membuat grafik, peta diagram dan pola;
6. Motor activities, seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi model,
mereparasi, bermain, berkebun dan beternak;
7. Mental activities, seperti merenungkan, menanggapi, mengingat, memecahkan soal,
menganalisis, melihat hubungan dan mengambil keputusan;
8. Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat,
bergairah, berani, tenang, gugup.
Dengan demikian, aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran memiliki bentuk yang
beraneka ragam, dari kegiatan fisik yang mudah diamati sampai kegiatan psikis yang sulit
diamati. Kegiatan fisik yang dapat diamati di antaranya adalah kegiatan dalam bentuk
membaca, mendengarkan, menulis, memperagakan, dan mengukur yang telah disebutkan
di atas.
Benjamin S. Bloom dalam Dimyati (2006: 26-27) menyebutkan enam jenis
perilaku ranah kognitif, sebagai berikut: (1) Pengetahuan, (2) Pemahaman, (3)
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
P a g e [ 121 ]
Penerapan, (4) Analisis, (5) Sintesis, dan (6) Evaluasi. Kemampuan-kemampuan tersebut
mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat melalui
kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan
menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil
belajar yang diteliti dalam penelitian ini adalah hasil belajar dan instrumen yang
digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa pada aspek kognitif adalah tes.
Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Sudjana (2009:
3) mendefinisikan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku
sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Dimyati dan Mudjiono (2006: 3-4) juga menyebutkan hasil belajar
merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru,
tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil
belajar merupakan berakhirnya pengajaran dari puncak proses belajar.
Gambar 1. Siklus Penelitian(Skema PTK menurut Arikunto dkk, 2009:16)
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan
Kelas (PTK). Arikunto menegaskan PTK merupakan suatu pencermatan terhadap
kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam
sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh dosen atau dengan
arahan dari dosen yang dilakukan oleh mahasiswa. (Arikunto, dkk, 2009:3).
Dalam penelitian tindakan kelas ini peneliti menggunakan strategi dengan model
siklus. Setiap siklus memiliki empat tahap, yaitu perencanaan (planning), tindakan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 122 ] P a g e
(acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Tahap-tahap tersebut dapat
dilanjutkan ke siklus berikutnya secara berulang sampai permasalahan yang dihadapi
dapat teratasi/terpecahkan. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi peneliti
menentukan 2 (dua) siklus untuk mengatasinya. Jika digambarkan ke dalam sebuah
grafik maka rancangan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas ekonomi
Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Pendidikan Ekonomi, program studi Pendidikan
Tata Niaga Angkatan 2013 A. Kelas tersebut berjumlah 40 orang mahasiswa, yang
beranggotakan 16 orang laki-laki dan 24 orang perempuan, di mana mahasiswa tersebut
mengikuti perkuliahan Manajemen Pemasaran.
Dalam menerapkan Model Pembelajaran PBL, peneliti menggunakan tahapan
penerapan berdasarkan sintaks model pembelajaran PBL dari Rusman (2010) dan
mengembangkan tingkah laku Dosen untuk disesuaikan dengan keadaan kelas. Sintaks
model pembelajaran PBL dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Sintaks Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Tahapan Tingkah Laku Dosen
Tahap 1:Orientasi mahasiswakepada masalah
- Dosen menjelaskan tentang tujuanpembelajaran
- Memberikan pertanyaan apersepsitentang STP
- Memberikan penjelasan tentang STP
Tahap 2:Mengorganisasimahasiswa untukbelajar
- Membagi kelas kedalam kelompok yangberanggotakan 4-5 mahasiswa
- Memberikan suatu kasus untukdianalisis dalam kelompok
Tahap 3:Membimbingpenyelidikanindividual dankelompok
- Mendorong mahasiswa untukmengumpulkan informasi yang sesuaidengan kasus yang dihadapi
- Membantu mahasiswa menyelesaikankasus (masalah) yang dihadapi sesuaidengan analisis menggunakan materiSTP
Tahap 4:Mengembangkandan menyajikanhasil karya
- Membantu mahasiswa untukmerencanakan atau menyajikan hasildiskusi kelompoknya
Tahap 5:Menganalisis danmengevaluasi prosespemecahan masalah
- Membantu mahasiswa melakukanrefleksi atau evaluasi terhadappenyelidikan mereka dan proses-prosesyang mereka gunakan melaluirangkuman hasil diskusi
(Diolah Peneliti, 2014)
Data penelitian yang dikumpulkan berupa informasi tentang aktivitas dan hasil
belajar mahasiswa pada pembelajaran khususnya matakuliah manajemen pemasaran
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
P a g e [ 123 ]
pada materi Segmenting, Targeting, dan Positioning (STP). Data diperoleh dari (1) Hasil
observasi keaktifan mahasiswa selama proses perkuliahan; (2) Hasil evaluasi pre test
pada awal siklus I dan post test di akhir siklus; (3) Dokumentasi penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam kegiatan pra tindakan mahasiswa diminta untuk mengerjakan soal pre-test
yang berjumlah 15 (lima belas) butir soal, yang terdiri dari 5 soal tentang Segmenting, 5
soal tentang Targeting dan 5 soal tentang Positioning. Kriteria keberhasilan yang
digunakan adalah penilaian acuan patokan yaitu jika 80 persen mahasiswa memperoleh
nilai lebih besar dari 75, maka dikatakan bahwa mahasiswa tersebut berhasil atau tuntas
dalam belajar.
Berdasarkan hasil penilaian pre-test dapat diketahui bahwa rerata skor
mahasiswa adalah 53,7 yang masih berada di bawah skor ketentuan tuntas belajar.
Diketahui juga bahwa sebanyak 37 mahasiswa atau 93 persen dari total mahasiswa tidak
dapat dinyatakan tuntas belajar, dikarenakan mereka belum mempelajari secara mandiri
materi yang diberikan oleh Dosen dalam kelas. Hal ini membuktikan bahwa mahasiswa
masih bergantung pada Dosen tentang materi yang akan dipelajari, data tersebut di atas
juga menunjukkan bahwa mahasiswa kurang aktif untuk belajar secara mandiri di luar
kelas. Hasil yang diperoleh dari kegiatan pre-test ini digunakan sebagai dasar
melaksanakan tindakan penerapan model pembelajaran PBL.
Siklus I
Tahap perencanaan tindakan, peneliti menyiapkan skenario pembelajaran,
instrumen penelitian berupa rubrik penilaian aktivitas belajar mahasiswa, dan
menyediakan topik untuk diskusi, dalam hal ini adalah contoh kasus yang hendak diamati
dan dianalisis oleh kelompok. Pelaksanaan tindakan dilaksanakan kedalam 5 (lima)
tahapan sesuai dengan sintaks model pembelajaran PBL menurut Rusman (2010).
Dosen membantu mahasiswa untuk menyajikan hasil diskusinya dengan teman
satu kelompoknya di depan kelas, dengan memberikan susunan atau tata cara presentasi
di depan kelas. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk membuat suatu
rangkuman mengenai hasil dari diskusi yang dilakukan bersama, dan membahasnya
untuk membantu mahasiswa merefleksikan atau mengevaluasi hasil analisis kasus yang
telah mereka lakukan. Dosen perlu mengarahkan pembahasan agar diskusi yang
dilakukan tidak terlalu melebar melainkan terfokus pada materi yang diberikan yaitu
STP. Jika dirasa pembahasan tentang kasus 1 dianggap telah cukup maka diskusi
dianggap telah selesai.
Setelah kegiatan pada siklus I dianggap telah selesai maka mahasiswa diberikan
soal post-test yang telah dipersiapkan dosen di akhir siklus I ini. Soal berjumlah 15 butir
dan dikerjakan selama 15 menit. Berdasarkan hasil post-test diketahui bahwa sebanyak
13 atau 67 persen orang mahasiswa dikatakan tuntas belajar namun belum mencukupi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 124 ] P a g e
target keberhasilan yang diberikan oleh peneliti yaitu 80 persen. Oleh sebab itu siklus
kedua perlu dilakukan.
Siklus II
Dalam siklus ini dosen mengambil hasil tindakan pada siklus I sebagai dasar
perbaikan pada pelaksanaan siklus II. Berdasarkan hasil observasi pada siklus I diketahui
bahwa penilaian aktivitas mahasiswa akan menjadi lebih mudah jika dilakukan dengan
memberikan nomor kepada mahasiswa yang hendak bertanya sesuai dengan nomor
absennya, untuk itu pada siklus II pemberian nomor absen kepada mahasiswa dilakukan
untuk mempermudah observer dan peneliti menilai aktivitas mahasiswa.
Dosen perlu mengarahkan pembahasan agar diskusi yang dilakukan tidak terlalu
melebar melainkan terfokus pada materi yang diberikan yaitu STP. Memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk membuat suatu rangkuman mengenai hasil dari
diskusi yang dilakukan bersama, dan membahasnya untuk membantu mahasiswa
merefleksikan atau mengevaluasi hasil analisis kasus yang telah mereka lakukan. Jika
dirasa pembahasan tentang kasus 2 dianggap telah cukup maka diskusi dianggap telah
selesai.
Setelah kegiatan pada siklus II dianggap telah selesai maka mahasiswa diberikan
soal post-test 2 yang telah dipersiapkan dosen di akhir siklus II ini. Soal berjumlah 15
butir dan dikerjakan selama 15 menit. Berdasarkan hasil post-test diketahui bahwa
sebanyak 38 atau 95 persen orang mahasiswa dikatakan tuntas belajar, hasil belajar
mahasiswa pada siklus II ini telah mencukupi tingkat ketuntasan 80 persen yang telah
ditentukan sebelumnya.
Tabel 2. Aktivitas Belajar Mahasiswa dengan Model PBL Pada Siklus I dan II
No Aspek yang DiamatiSkor (%)
Siklus I Siklus II
1 Visual activities 69,6 74,2
2 Oral activities 58,8 67,1
3 Listening activities 70,8 72,9
4 Writing activities 50,0 65,0
5 Drawing activities 65,8 67,1
6 Motor activities 65,8 69,2
7 Mental activities 66,7 75,0
8 Emotional activities 65,8 66,3
Rerata 64,2 69,6
Aktivitas Belajar Mahasiswa dengan Model PBL
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan, aktivitas belajar Mahasiswa
mengalami peningkatan dari siklus I dan II dengan kriteria “baik” dengan skor 3, “cukup”
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
P a g e [ 125 ]
dengan skor 2, dan “kurang” dengan skor 1. Skor aktivitas pada siklus I dan II dalam
disajikan seperti dalam Tabel 2.
Berdasarkan hasil penilaian yang digunakan untuk menilai aktivitas mahasiswa,
maka dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan aktivitas belajar mahasiswa. Meskipun
peningkatan yang terjadi tidak dapat dikatakan besar, namun dapat diketahui bahwa
peningkatan paling tinggi pada siklus II berada pada aspek writing activities yaitu
meningkat sebanyak 15,0 persen dari Siklus I. Dengan demikian penerapan pembelajaran
model PBL dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa terutama writing activities.
Tujuan penelitian tindakan penerapan pembelajaran model PBL untuk meningkatkan
aktivitas belajar mahasiswa dapat dikatakan terpenuhi.
Hasil Belajar Mahasiswa dengan Model PBL
Hasil belajar mahasiswa dalam pembahasan materi STP dengan penerapan model
pembelajaran PBL mengalami peningkatan. Rerata kelas pada siklus I yaitu 78,6
meningkat menjadi 87,9 pada siklus II. Meskipun pada siklus I rerata nilai kelas yang
diperoleh telah melampaui ketentuan tuntas belajar yaitu 75, namun peneliti merasa
perlu untuk melakukan siklus ke II dikarenakan mahasiswa yang dapat dinyatakan tuntas
belajar belum mencapai 80 persen, sesuai dengan kriteria keberhasilan tindakan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Tabel 3. Hasil Belajar Mahasiswa Model PBL Pada Siklus I dan IINo Kegiatan Rerata
1 Siklus I 78,6
2 Siklus II 87,9
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui pula bahwa pada siklus I mahasiswa
yang dapat dikatakan tuntas belajar adalah 27 orang mahasiswa sedangkan 13 orang
lainnya dianggap masih belum tuntas belajar. Pada siklus II jumlah mahasiswa yang
dapat dikatakan tuntas belajar mengalami peningkatan menjadi 38 orang mahasiswa,
atau 95 persen dari kelas telah tuntas belajar. Data ketuntasan belajar mahasiswa dalam
penerapan model PBL dapat disajikan dalam Tabel 4..
Tabel 4. Ketuntasan Belajar Mahasiswa Model PBL Pada Siklus I dan II
No KriteriaSiklus I Siklus II
Jumlah % Jumlah %
1 Tuntas 27 67,5 38 95
2 Tidak Tuntas 13 32,5 2 5
Jumlah mahasiswa yang dapat dianggap tuntas belajar pada siklus II yaitu 38
orang atau 95 persen, jumlah ini telah melampaui kriteria keberhasilan penelitian
tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu 80 persen. Untuk itu penelitian
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 126 ] P a g e
tindakan ini dirasa cukup pada siklus II dan tidak diperlukan siklus berikutnya.
Perbandingan hasil belajar mahasiswa dengan model pembelajaran PBL pada siklus I dan
II dapat disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2 Grafik hasil belajar mahasiswa
Berdasarkan gambar grafik tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan
penerapan model pembelajaran problem based learning (PBL) dapat meningkatkan hasil
belajar mahasiswa dalam matakuliah manajemen pemasaran terutama materi
Segmenting, targeting dan positioning (STP) dan memahami materi STP dalam
menganalisis kasus yang diberikan oleh Dosen sesuai dengan materi.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada saat proses pembelajaran
berlangsung serta membandingkannya pada setiap siklus dapat disimpulkan bahwa
penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam matakuliah Manajemen
Pemasaran materi Segmenting, Targeting, dan Positioning dapat meningkatkan aktivitas
belajar mahasiswa terutama writing activities.
Berdasarkan hasil pre-test, post-tes I dan post-test II yang dilakukan serta
membandingkannya pada setiap siklus dapat disimpulkan bahwa penerapan model
pembelajaran Problem Based Learning dalam matakuliah Manajemen Pemasaran materi
Segmenting, Targeting, dan Positioning dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor aktivitas mahasiswa pada siklus I
adalah 64,2 persen dan mengalami peningkatan rerata pada siklus II menjadi 69,6
persen, sedangkan untuk hasil belajar mahasiswa pada siklus I memiliki rerata sebesar
78,6 dan mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 87,9. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut disarankan untuk menerapkan model problem based learning (PBL)
sebagai alternatif pembelajaran untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar
mahasiswa.
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
P a g e [ 127 ]
DAFTAR PUSTAKA
Alipandie, I. 1984. Buku Pegangan Guru Didaktik Metodik: Pendidikan Umum. Surabaya:Usaha Nasional
Arikunto, S., Suhardjono., Supardi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara
Dimyati, Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Dosen.Jakarta: Rajawali Pers.
Sardiman, A.M. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada
Sudjana, N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003)www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf (diakses 6 November 2014)
Wijaya, C., Djaja, D., Tabarani, R. 1988. Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan danPengajaran. Bandung: Remadja Karya
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 128 ] P a g e
PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MAHASISWA
PADA MATERI SIFAT-SIFAT WIRAUSAHAWAN MELALUI
MODEL PROBLEM BASED LEARNING
Jaka Nugraha & Choirul NikmahFakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aktivitas belajar dan hasilbelajar mahasiswa kelas B program studi Pendidikan Administrasi Perkantoran(PAP) angkatan 2013 Universitas Negeri Surabaya pada mata kuliahkewirausahaan materi pokok sifat-sifat wirausahawan. Penelitian inimenggunakan penerapan model Problem Based Learning (PBL) dalampembelajaran kewirausahaan dengan menggunakan desain penelitian tindakankelas (PTK). Hasil penelitian menunjukkan penerapan model PBL dapatmeningkatkan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran kewirausahaan materisifat-sifat wirausaha di kelas B PAP angkatan 2013 UNESA. Penerapan modelPBL dengan metode diskusi dapat menjadikan mahasiswa aktif berpartisipasidalam diskusi dan berpikir kritis. Oleh karena itu pembelajaran kewirausahaanmateri sifat-sifat wirausaha di kelas B PAP angkatan 2013 UNESA dapatmeningkatkan hasil belajar mahasiswa.
Kata kunci: Kewirausahaan, Problem Based Learning, Penelitian Tindakan Kelas
PENDAHULUAN
Sistem pendidikan di Indonesia ternyata telah mengalami banyak perubahan.
Perubahan-perubahan itu terjadi karena telah dilakukan berbagai usaha pembaharuan
dalam pendidikan. Akibat pengaruh itu pendidikan semakin mengalami kemajuan.
Sejalan dengan kemajuan tersebut, maka dewasa ini pendidikan di universitas-
universitas telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu
terjadi karena terdorong adanya pembaharuan tersebut, sehingga di dalam pengajaran
pun dosen selalu ingin menemukan metode dan peralatan baru yang dapat memberikan
semangat belajar bagi semua mahasiswa. Bahkan secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa pembaharuan dalam sistem pendidikan yang mencakup seluruh komponen yang
ada. Pembangunan di bidang pendidikan barulah ada artinya apabila dalam pendidikan
dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia yang
sedang membangun.
Hakikatnya kegiatan belajar mengajar adalah suatu proses interaksi atau
hubungan timbal balik antara dosen dan mahasiswa dalam satuan pembelajaran. Dosen
sebagai salah satu komponen dalam proses belajar mengajar merupakan pemegang
peran yang sangat penting. Dosen bukan hanya sekedar penyampai materi saja, tetapi
lebih dari itu dosen dapat dikatakan sebagai sentral pembelajaran. Sebagai pengatur
sekaligus pelaku dalam proses belajar mengajar, dosenlah yang mengarahkan bagaimana
proses belajar mengajar itu dilaksanakan. Oleh karena itu dosen harus dapat membuat
suatu pengajaran menjadi lebih efektif juga menarik sehingga bahan ajar yang
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
P a g e [ 129 ]
disampaikan akan membuat mahasiswa merasa senang dan merasa perlu untuk
mempelajari bahan ajar tersebut. Menurut definisi dari Depdikbud (1990), seorang guru
atau dosen mengemban tugas yang berat untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional
yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, manusia seutuhnya yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas
dan terampil serta sehat jasmani dan rohani, juga harus mampu menumbuhkan dan
memperdalam rasa cinta terhadap tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan
rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu pendidikan nasional akan mampu
mewujudkan manusia-manusia pembangunan dan membangun dirinya sendiri serta
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Berhasilnya tujuan pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor di antaranya
adalah faktor dosen dalam melaksanakan proses belajar mengajar, karena dosen secara
langsung dapat mempengaruhi, membina dan meningkatkan kecerdasan, sikap serta
keterampilan mahasiswa. Untuk mengatasi permasalahan di atas dan guna mencapai
tujuan pendidikan secara maksimal, peran dosen sangat penting dan diharapkan dosen
memiliki cara atau model mengajar yang baik dan mampu memilih model pembelajaran
yang tepat dan sesuai dengan konsep-konsep mata kuliah yang akan disampaikan. Oleh
karena itu diperlukan suatu upaya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan
pengajaran, di mana salah satunya adalah dengan memilih strategi atau cara dalam
menyampaikan materi mata kuliah agar diperoleh peningkatan prestasi belajar
mahasiswa khususnya mata kuliah kewirausahaan. Misalnya dengan membimbing
mahasiswa untuk bersama-sama terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan mampu
membantu mahasiswa berkembang sesuai dengan taraf intelektualnya akan lebih
menguatkan pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep yang diajarkan.
Berdasarkan pengalaman peneliti di lapangan, kegagalan dalam belajar rata-rata
dihadapi oleh sejumlah mahasiswa yang tidak memiliki dorongan belajar dan pasif dalam
kegiatan belajar mengajar.
Hal ini disebabkan karena dosen dalam proses belajar mengajar hanya
menggunakan metode ceramah, tanpa menggunakan studi kasus yang komperehensif,
dan materi perkuliahan tidak disampaikan secara kronologis. Seorang dosen di samping
menguasai materi, juga diharapkan dapat menetapkan dan melaksanakan penyajian
materi yang sesuai kemampuan dan kesiapan mahasiswa, sehingga menghasilkan
penguasaan materi yang optimal bagi peserta didik. Berdasarkan uraian tersebut di atas
peneliti mencoba menerapkan salah satu metode pembelajaran, yaitu Problem Based
Learning (PBL) untuk mengungkapkan apakah dengan PBL dapat meningkatkan aktivitas
dan hasil belajar mahasiswa. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dalam
menyelesaikan permasalahan di atas adalah model pembelajaran Problem Based Learning
(PBL). PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berfokus pada mahasiswa
dengan menggunakan masalah dalam dunia nyata yang bertujuan untuk menyusun
pengetahuan mahasiswa, melatih kemandirian dan rasa percaya diri, dan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 130 ] P a g e
mengembangkan keterampilan berpikir mahasiswa dalam pemecahan masalah (Arends
dalam Trianto, 2007). Metode diskusi adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran di
mana dosen memberikan kesempatan pada mahasiswa di dalam kelompok (3-7 orang)
untuk mengadakan perbincangan secara ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat
kesimpulan atau mencari berbagai alternatif pemecahan terhadap suatu masalah. Hasil
belajar yang dicapai dengan orientasi pada masalah lebih tinggi nilai kemanfaatannya
dibandingkan dengan belajar melalui pembelajaran konvensional (Sumiati dan Asra,
2007). Tujuan peneliti memilih metode pembelajaran ini adalah supaya mahasiswa
terbiasa menemukan, mencari, mendiskusikan sesuatu yang berkaitan dengan
pengajaran. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini mengenai penerapan
model pembelajaran Problem Based Learning dengan metode diskusi dapat
meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar mahasiswa pada materi sifat-sifat
wirausahawan di kelas B program studi pendidikan administrasi perkantoran angkatan
2013 Universitas Negeri Surabaya. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
aktivitas belajar dan hasil belajar mahasiswa kelas B program studi pendidikan
administrasi perkantoran angkatan 2013 Universitas Negeri Surabaya pada mata kuliah
kewirausahaan materi pokok sifat-sifat wirausahawan.
METODE
Penelitian tentang penerapan model Problem Based Learning dalam pembelajaran
kewirausahaan ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas (PTK). Menurut
Arikunto, Suhardjono dan Supardi (2012), “PTK merupakan suatu pencermatan terhadap
kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam
sebuah kelas secara bersama”. PTK dilaksanakan dalam bentuk siklus berulang yang di
dalamnya terdapat empat tahapan, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan
refleksi.
Keempat tahap penelitian tindakan tersebut adalah unsur untuk membentuk
sebuah siklus, yaitu satu putaran kegiatan beruntun, yang kembali ke langkah
sebelumnya (Arikunto, Suhardjono dan Supardi, 2012). Jangka waktu untuk satu siklus
tergantung dari materi yang dilaksanakan dengan cara tertentu. Apabila sudah diketahui
letak keberhasilan dan hambatan dari tindakan yang telah dilaksanakan dalam satu
siklus, maka dosen pelaksana dapat menentukan rancangan untuk siklus kedua. Jika
sudah selesai dengan siklus kedua dan dosen belum merasa puas, dapat melanjutkan ke
siklus tiga, yang cara dan tahapannya sama dengan siklus sebelumnya. Sumber data
diperoleh melalui hasil pengisian angket terhadap minat belajar mahasiswa, pengamatan
terhadap aktivitas belajar mahasiswa, Lembar Kerja Mahasiswa, hasil pre test, hasil
evaluasi akhir pembelajaran dan hasil tes formatif. Selain itu dilakukan pula pengamatan
terhadap perencanaan dan pelaksanaan dalam pembelajaran. Jenis data yang digunakan
dalam PTK berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menjelaskan data
berupa angka-angka, sedangkan data kualitatif menjelaskan data berupa informasi
tentang subjek yang diteliti atau dalam hal ini ialah aktivitas dan hasil belajar mahasiswa.
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
P a g e [ 131 ]
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan teknik tes
dan observasi. Alat pengumpul data yang digunakan peneliti ada dua, yaitu soal tes dan
lembar pengamatan.
Analisis data dilakukan dengan memperhatikan jenis data yang akan dianalisis.
Dalam penelitian ini, jenis data mencakup data kuantitatif dan data kualitatif. Berikut ini
merupakan rumus-rumus yang digunakan dalam menganalisis data yang telah diperoleh
untuk menilai data kuantitatif dan data kualitatif. Teknik kuantitatif ialah teknik untuk
menganalisis data kuantitatif atau data yang berupa angka-angka. Data kuantitatif pada
penelitian ini diperoleh dari hasil tes formatif. Data tersebut dianalisis dengan
menggunakan rumus-rumus matematis (Sudjana, 2010).
1. Menghitung nilai akhir hasil belajar yang diperoleh oleh masing-masing mahasiswa.
2. Menghitung rata-rata kelas.
3. Menghitung tuntas belajar klasikal
Data kualitatif pada penelitian ini ialah aktivitas dan hasil belajar mahasiswa.
Berikut ini akan dipaparkan rumus yang digunakan untuk menganalisis aktivitas dan
hasil belajar mahasiswa. Teknik analisis untuk menilai aktivitas belajar mahasiswa
Untuk mengetahui apakah penelitian dengan menerapkan model pembelajaran
Problem Based Learning dengan metode diskusi ini dapat dikatakan berhasil atau tidak,
maka diperlukan indikator keberhasilan. Peneliti menetapkan indikator keberhasilan
aktivitas belajar mahasiswa, jika rata-rata persentase hasil analisis data aktivitas belajar
mahasiswa lebih dari atau sama dengan 61%-80% (kriteria aktif). Hasil belajar
mahasiswa dikatakan memenuhi indikator keberhasilan jika:
1. Nilai rata-rata kelas lebih dari atau sama dengan 60 (tuntas KKM).
2. Persentase tuntas belajar klasikal sekurang-kurangnya 85% (minimal 85%
mahasiswa yang memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 60).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi data Pra Tindakan
Hasil penelitian yang diperoleh berupa hasil tes dan non tes. Hasil tes diperoleh
melalui pre test dan tes formatif pada akhir siklus I dan siklus II. Hasil non tes diperoleh
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 132 ] P a g e
melalui pengamatan aktivitas dosen dan lembar pengamatan aktivitas belajar mahasiswa.
Hasil penelitian tindakan kelas akan diuraikan secara rinci berikut ini.
Hasil Pre-Test
Peneliti melaksanakan kegiatan pre test untuk mengetahui kemampuan yang
dimiliki mahasiswa sebelum pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menerapkan
model Problem Based Learning dengan metode diskusi. Materi yang diujikan yaitu materi
sifat-sifat wirausaha dengan kompetensi dasar berani mendemonstrasikan sikap mental
wirausaha dan mampu menilai tingkat mental sikap wirausaha. Bentuk soal berupa 15
soal pilihan ganda. Hasil rangkuman pre test dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1 Rangkuman Hasil Pre-Test
No KategoriRentang
NilaiFrekuensi
SiswaJumlah
NilaiPersentase
1 Tuntas 60 - 100 10 640 26,322 Tidak Tuntas 0 - 53,3 28 1.413,3 73,68
Jumlah 38 2.053,3 100,00Rata-rata 52,6
Pada Tabel 1, hasil pre test menunjukkan bahwa, dari 38 mahasiswa terdapat 10
atau 26,32% mahasiswa mencapai tuntas belajar, sedangkan 28 mahasiswa atau 73,68%
lainnya memperoleh nilai di bawah KKM (60) yang ditentukan. Suatu pembelajaran
dikatakan berhasil apabila minimal 80% mahasiswa sudah tuntas belajar secara individu.
Berdasarkan hasil pre test di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar
mahasiswa pada materi sifat-sifat wirausaha di kelas B PAP 2013 UNESA tidak tuntas.
Sebelum pelaksanaan tindakan belum mencapai tuntas belajar klasikal. Nilai rata-rata
kelas dan ketuntasan belajar pada hasil pre test yang belum memuaskan dapat
ditingkatkan melalui pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menerapkan model
Problem Based Learning dengan metode diskusi pada materi sifat-sifat wirausaha.
Deskripsi Data Pelaksanaan Tindakan Siklus I
Tindakan pembelajaran pada siklus I dilaksanakan melalui satu pertemuan, yakni
pada tanggal 24 Oktober 2014. Data hasil pelaksanaan tindakan pada siklus I diperoleh
melalui evaluasi akhir pembelajaran dan tes formatif I dan observasi selama proses
pembelajaran. Evaluasi akhir pembelajaran dan tes formatif I dilaksanakan untuk
mengetahui hasil belajar mahasiswa, sedangkan observasi dilakukan untuk mengetahui
aktivitas belajar mahasiswa.
1. Hasil Observasi Aktivitas Mahasiswa
Observasi aktivitas belajar mahasiswa meliputi tiga belas aspek yang diamati,
yaitu: (1) Pembukaan salam, (2) Apersepsi, (3) Pengantar materi, (4) Motivasi awal, (5)
Mengorganisasikan mahasiswa kepada masalah, (6) Mengorganisasikan mahasiswa
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
P a g e [ 133 ]
untuk belajar, (7) Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok, (8) Mengembangkan
dan mempresentasikan hasil karya serta pameran, (9) Menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah, (10) Simpulan, (11) Motivasi akhir, (12) Salam penutup, (13)
Penilaian (postest). Persentase perolehan skor pada lembar observasi diakumulasi untuk
menentukan seberapa tinggi aktivitas mahasiswa dalam mengikuti proses pembelajaran
untuk siklus I. Hasil observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa pada siklus I dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2 Hasil Observasi Aktivitas Belajar Mahasiswa pada Siklus I
No. Aspek yang dinilai
Skor1
(tidakaktif)
2(kurang
aktif)
3(cukupaktif)
4(aktif)
5(sangataktif)
1 Pembukaan, salam 32 Apersepsi 33 Pengantar materi 34 Motivasi awal 35 Mengorganisasikan siswa
kepada masalah3
6 Mengorganisasikan siswauntuk belajar
2
7 Membantu penyelidikanmandiri dan kelompok
3
8 Mengembangkan danmempresentasikan hasilkarya serta pameran
3
9 Menganalisis danmengevaluasi prosespemecahan masalah
3
10 Simpulan 211 Motivasi akhir 212 Salam penutup 313 Penilaian (posttest) 3
SKOR TOTAL 36,00NILAI (%) 55,38KRITERIA Cukup aktif
Tabel 2 menunjukkan bahwa, hasil observasi aktivitas belajar siswa pada siklus I
menunjukkan kriteria cukup aktif pada aktivitas belajar siswa yaitu sebesar 55,38%
dalam pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning.
2. Hasil Belajar Mahasiswa
Hasil belajar mahasiswa dari pelaksanaan tindakan siklus I diperoleh melalui tes
formatif I. Tes formatif I dilaksanakan pada akhir siklus I, yakni pada tanggal 24 Oktober
2014. Berikut ini merupakan tabel nilai hasil evaluasi akhir pembelajaran pada siklus I.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 134 ] P a g e
Tabel 3 Rangkuman Hasil Tes Formatif
No KategoriRentang
Nilai
Frekuensi
Siswa
Jumlah
NilaiPersentase
1 Tuntas 60 - 100 32 2.106,7 84,21
2 Tidak Tuntas 0 - 53,3 6 273,3 15,79
Jumlah 38 2.380 100,00
Rata-rata 61
Rangkuman hasil tes formatif pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata
kelas telah mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, yaitu sebesar 84,21%.
Dengan jumlah mahasiswa yang mencapai nilai lebih dari 60 sebanyak 32 mahasiswa,
maka persentase tuntas belajar klasikal sudah mencapai indikator keberhasilan, yaitu
sebesar 84,21%.
3. Refleksi
Penerapan model Problem Based Learning dengan metode diskusi pada mata
kuliah kewirausahaan sudah menunjukkan keberhasilan. Akan tetapi, keberhasilan yang
dicapai pada penelitian siklus I belum memuaskan. Hasil penelitian pada siklus I yang
aktivitas belajar mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa masih dapat ditingkatkan lagi
dengan melakukan perbaikan-perbaikan pada beberapa kegiatan. Peneliti belum
membiasakan mahasiswa membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas
tertentu. Namun, terdapat beberapa mahasiswa yang menulis hal-hal yang dianggapnya
penting atas dasar inisiatif dari mahasiswa itu sendiri. Selain itu, peneliti dalam
menyampaikan materi terkesan terburu-buru. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya
kedisiplinan waktu, baik oleh peneliti maupun oleh mahasiswa. Dalam proses
pembelajaran, aktivitas belajar mahasiswa sangat berpengaruh terhadap hasil belajar
mahasiswa. Berdasarkan hasil tes formatif I, hasil belajar mahasiswa telah mencapai
indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Pada hasil tes formatif I, nilai rata-rata
kelas yang diperoleh mahasiswa yaitu 61 dan persentase tuntas belajar klasikal mencapai
84,21%. Namun demikian, hasil belajar mahasiswa belum memuaskan, karena terdapat
beberapa mahasiswa yang belum mencapai KKM. Berdasarkan hasil tes formatif I,
terdapat 6 mahasiswa yang memperoleh nilai kurang dari 60. Sebagian besar mahasiswa
belum dapat membedakan sifat-sifat yang harus dimiliki wirausaha secara menyeluruh
Paparan mengenai refleksi aktivitas belajar mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa,
menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan pada beberapa kegiatan selama
pelaksanaan siklus I. Hasil refleksi pada siklus I ini akan menjadi landasan untuk
melanjutkan penelitian siklus II dengan perbaikan-perbaikan pada perencanaan,
pelaksanaan, maupun pengamatan, agar siklus II dapat berjalan lebih baik dari pada
siklus I.
Beberapa perbaikan yang dilakukan terhadap aktivitas belajar mahasiswa meliputi:
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
P a g e [ 135 ]
1. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan untuk dapat meningkatkan aktivitas belajar
mahasiswa yaitu:
2. Peneliti harus dapat mengaitkan permasalahan dengan pengalaman belajar
mahasiswa.
3. Peneliti perlu membimbing mahasiswa untuk mengikuti kegiatan peragaan dan
mencatat hal-hal yang penting.
Adapun perbaikan-perbaikan yang dilakukan untuk dapat meningkatkan hasil
belajar mahasiswa yaitu:
1. Peneliti harus senantiasa mengingatkan mahasiswa agar memperhatikan dosen dan
mencatat hal-hal yang penting.
2. Peneliti perlu melakukan pendekatan terhadap mahasiswa yang memiliki
kemampuan berpikir rendah.
Deskripsi Data Pelaksanaan Tindakan Siklus II
Hasil penelitian siklus I secara keseluruhan sudah mencapai indikator
keberhasilan, namun masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian siklus II. Kegiatan yang dilakukan pada
siklus II hampir sama dengan siklus I.
1. Hasil Observasi Aktivitas Mahasiswa
Observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa dilakukan pada tiap pertemuan
seperti yang dilakukan pada siklus I. Observasi ini dilakukan oleh dosen mitra Prodi PAP
UNESA. Hasil observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa pada siklus II dapat dilihat
pada tabel 4 berikut ini.
Tabel 4 Hasil Observasi Aktivitas Belajar Mahasiswa pada Siklus II
No. Aspek yang dinilai
Skor1
(tidakaktif)
2(kurang
aktif)
3(cukupaktif)
4(aktif)
5(sangat
aktif)1 Pembukaan, salam 32 Apersepsi 43 Pengantar materi 44 Motivasi awal 35 Mengorganisasikan siswa
kepada masalah4
6 Mengorganisasikan siswauntuk belajar
4
7 Membantu penyelidikanmandiri dan kelompok
3
8 Mengembangkan danmempresentasikan hasil karyaserta pameran
3
9 Menganalisis danmengevaluasi prosespemecahan masalah
4
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 136 ] P a g e
No. Aspek yang dinilai
Skor1
(tidakaktif)
2(kurang
aktif)
3(cukupaktif)
4(aktif)
5(sangat
aktif)10 Simpulan 311 Motivasi akhir 312 Salam penutup 313 Penilaian (posttest) 4SKOR TOTAL 45,00NILAI (%) 69,23KRITERIA Aktif
Tabel 4 menunjukkan bahwa, hasil observasi aktivitas belajar siswa pada siklus II
menunjukkan kriteria aktif pada aktivitas belajar siswa yaitu sebesar 69.23% dalam
pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning.
2. Hasil Belajar Mahasiswa
Seperti halnya pada siklus I, hasil belajar mahasiswa dari pelaksanaan tindakan
siklus II juga diperoleh melalui tes formatif II yang dilaksanakan pada akhir siklus, yakni
pada tanggal 31 Oktober 2014. Berikut ini merupakan tabel nilai hasil evaluasi akhir
pembelajaran pada siklus II.
Tabel 5 Rangkuman Hasil Tes Formatif II
No KategoriRentang
Nilai
Frekuensi
Siswa
Jumlah
NilaiPersentase
1 Tuntas 60 - 100 34 2.433,3 89,47
2 Tidak Tuntas 0 - 53,3 4 173,3 10,53
Jumlah 38 2.606,6 100,00
Rata-rata 65,5
Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil tes formatif II telah mencapai seluruh indikator
keberhasilan yang telah ditetapkan. Nilai rata-rata kelas yang diperoleh mencapai 65,5,
sedangkan dalam indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu minimal 60. Persentase
tuntas belajar klasikal selama siklus II juga telah melebihi indikator keberhasilan, yaitu
89,47%. Artinya, 34 mahasiswa telah dinyatakan tuntas atau mendapatkan nilai lebih
dari atau sama dengan 60.
3. Refleksi
Berdasarkan deskripsi hasil penelitian pada siklus II, maka dapat dikatakan bahwa
pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha dengan menerapkan model
Problem Based Learning dengan metode diskusi dapat meningkatkan aktivitas dan hasil
belajar mahasiswa. Tabel berikut merupakan perbandingan hasil pembelajaran siklus I
dan siklus II. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II dinyatakan berhasil, karena baik
dosen maupun mahasiswa telah terbiasa dalam menerapkan model Problem Based
Learning dengan metode diskusi, meskipun hasil yang diperoleh tidak 100%
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
P a g e [ 137 ]
4. Revisi
Berdasarkan hasil analisis data pelaksanaan tindakan siklus II, dapat diketahui
bahwa pembelajaran yang dilaksanakan dengan menerapkan model Problem Based
Learning dengan metode diskusi dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar
mahasiswa. Hambatan-hambatan yang ada dapat dikurangi, sehingga pelaksanaan
penelitian tindakan kelas (PTK) di kelas B PAP UNESA tidak perlu dilanjutkan ke siklus
berikutnya.
Dari penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil penelitian
berupa hasil aktivitas belajar mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa. Pada siklus I,
kedua hasil penelitian tersebut belum mencapai hasil yang memuaskan. Setelah
melakukan refleksi pada siklus I, peneliti melanjutkan penelitian pada siklus II. Hasil yang
dicapai pada siklus II secara keseluruhan telah mencapai indikator keberhasilan yang
ditetapkan. Ketercapaian indikator keberhasilan pada kedua hasil penelitian tersebut
membuktikan bahwa, penelitian tindakan kelas dengan menerapkan model Problem
Based Learning dalam pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha di kelas
B PAP UNESA. telah mencapai keberhasilan. Selanjutnya, pembahasan mengenai hasil
penelitian dilakukan dengan memaparkan pemaknaan temuan penelitian dan implikasi
hasil penelitian sebagai berikut.
Pembahasan dan Implikasi
Juliantara (2010) berpendapat bahwa, aktivitas belajar mahasiswa adalah seluruh
aktivitas mahasiswa dalam proses belajar, mulai dari kegiatan fisik sampai kegiatan
psikis. Persentase aspek-aspek tersebut mengalami peningkatan dari siklus I dengan
55,38% menjadi 69,23% pada siklus II.
Hasil belajar mahasiswa pada penelitian tindakan kelas ini diperoleh melalui pre
test, evaluasi akhir pembelajaran dan tes formatif. Nilai rata-rata kelas mengalami
peningkatan dari pre test sampai ke siklus II. Peningkatan hasil belajar tersebut dapat
dilihat melalui Gambar 1.
Perolehan hasil belajar pada pelaksanaan pembelajaran kewirausahaan dengan
materi sifat-sifat wirausaha melalui penerapan model Problem Based Learning dengan
metode diskusi dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Sesuai dengan pendapat
Gagne (1984) dalam Dahar (2006), bahwa belajar adalah proses di mana mahasiswa
berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Pada pelaksanaan penelitian
tindakan kelas ini, mahasiswa yang sebelumnya kurang memahami sifat-sifat wirausaha
menjadi lebih paham dan mampu memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-
hari setelah model Problem Based Learning dengan metode diskusi diterapkan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 138 ] P a g e
Gambar 1 Persentase Hasil Belajar Mahasiswa
Implikasi pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menerapkan model
Problem Based Learning dengan metode diskusi pada materi sifat-sifat wirausaha di kelas
B PAP UNESA adalah meningkatnya aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Secara garis
besar, implikasi hasil penelitian dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
Pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based
Learning memberikan pengalaman belajar yang baru bagi mahasiswa kelas B PAP
UNESA. Mahasiswa memiliki kesempatan yang luas untuk memecahkan masalah dalam
dunia nyata melalui pengetahuan awal mahasiswa. Karakteristik mahasiswa yang aktif,
kritis dan senang berpendapat, dapat berkembang dengan optimal melalui kegiatan
diskusi kelompok dengan menyajikan suatu permasalahan. Kegiatan pembelajaran yang
menyenangkan dan menantang bagi mahasiswa tentu berimbas pada peningkatan hasil
belajar mahasiswa. Kegiatan pembelajaran berbasis masalah juga dapat mendorong
mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa dalam menyelesaikan
masalah yang sering ia dapati dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penerapan model
Problem Based Learning dengan metode diskusi, diperlukan kesiapan mahasiswa yang
meliputi kemandirian, rasa tanggung jawab, kerja sama dan sikap kritis saat melakukan
pemecahan masalah agar dapat melaksanakan pembelajaran sesuai dengan petunjuk
kegiatan.
Penerapan model Problem Based Learning dengan metode diskusi dalam kegiatan
pembelajaran dapat menambah khasanah pengetahuan bagi dosen mengenai inovasi
model pembelajaran. Dosen dapat terus mengembangkan kreativitas dan potensinya
dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi mahasiswa. Dalam
penerapan model Problem Based Learning dengan metode diskusi, dosen perlu
memahami langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran, yang meliputi: (1)
mengorganisasikan mahasiswa kepada masalah; (2) mengorganisasikan mahasiswa
untuk belajar; (3) membantu penyelidikan mandiri dan kelompok; (4) mengembangkan
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
P a g e [ 139 ]
dan mempresentasikan hasil diskusi kelompok; dan (5) menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah. Dengan memahami langkah-langkah tersebut, maka dosen
dapat mengkondisikan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran dengan menerapkan
model Problem Based Learning secara baik.
Universitas perlu bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi dalam
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Aktivitas belajar mahasiswa dan hasil
belajar mahasiswa juga menjadi tolok ukur kualitas suatu universitas. Untuk dapat
menciptakan universitas yang berkualitas, pihak universitas perlu memberikan
kesempatan dan dukungan bagi dosen untuk melaksanakan pembelajaran yang inovatif.
Sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan
model Problem Based Learning dengan metode diskusi juga dapat dipenuhi pihak
universitas sebagai wujud dukungan terhadap pelaksanaan pembelajaran tersebut.
SIMPULAN
Melalui model Problem Based Learning dengan metode diskusi, dosen lebih aktif
dalam memfasilitasi proses pembelajaran, menuntut mahasiswa dalam mendapatkan
strategi pemecahan masalah, dan memediasi proses mendapatkan informasi. Dengan
demikian, penerapan model Problem Based Learning dapat meningkatkan aktivitas
mahasiswa dalam pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha di kelas B
PAP angkatan 2013 UNESA. Penerapan model Problem Based Learning dengan metode
diskusi dapat menjadikan mahasiswa aktif berpartisipasi dalam diskusi dan berpikir
kritis. Oleh karena itu pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha di kelas
B PAP angkatan 2013 UNESA dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Saran pada
penelitian ini merupakan saran dari peneliti berkaitan dengan penerapan model Problem
Based Learning dalam pembelajaran. Saran yang dapat peneliti berikan yaitu sebagai
berikut:
1. Model Problem Based Learning dengan metode diskusi perlu disosialisasikan agar
lebih sering diterapkan dalam pembelajaran di universitas untuk meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar mahasiswa.
2. Media pembelajaran yang digunakan sebaiknya lebih bervariasi, sehingga mahasiswa
lebih memahami materi yang disampaikan dosen.
3. Pengelolaan kelas sebaiknya disesuaikan dengan alokasi waktu, serta sarana dan
prasarana yang tersedia, agar seluruh rangkaian proses pembelajaran dapat berjalan
dengan tertib dan lancar.
4. Praktisi pendidikan atau peneliti lain dapat menggunakan penelitian ini sebagai
bahan rujukan untuk melakukan penelitian lain dengan model pembelajaran yang
berbeda, sehingga diperoleh berbagai alternatif inovasi model pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suhardjono dan Supardi. (2012). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT BumiAksara.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 140 ] P a g e
Dahar, Ratna Wilis. (2006). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Erlangga.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka Dimyati dan Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran.Jakarta: Rineka Cipta.
Juliantara, Ketut. (2010). Aktivitas Belajar. http://edukasi.kompasiana.com/2010/04/11/aktivitas-belajar/. (diakses 06/08/2014).
Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sumiati dan Asra. (2007). Metode Pembelajaran. Bandung : Wacana Prima.
Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis. Jakarta:Prestasi Pustaka.
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
P a g e [ 141 ]
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KREATIVITAS BERPIKIR DENGAN
MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING
PADA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN
SusantoUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran dalammeningkatkan kreativitas pada pelajaran kewirausahaan dan meningkatkankemampuan kreativitas dengan penerapan model pembelajaran problem basedlearning pada pelajaran kewirausahaan. Untuk meningkatkan kemampuanberpikir kreatif pada peserta didik salah satunya adalah dengan modelpembelajaran Problem Based Learning. Aspek dalam meningkatkan kreativitaspada model pembelajaran Problem Based Learning adalah adanya upayamengidentifikasi masalah nyata yang terkait dengan kewirausahaan dan upayapemecahannya. Pada aspek identifikasi meliputi kegiatan mencermati,mengumpulkan data, mengorganisasikan dan menyusun fakta, sedangkan aspekpemecahan masalah terdapat kegiatan menganalisis dan menyusun argumentasi.
Kata kunci: Kewirausahaan, kreativitas, Problem Based Learning
PENDAHULUAN
Salah satu visi dan misi penting dalam lembaga pendidikan adalah menciptakan
lulusan yang dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah
didapat selama studi sebagai salah satu pilihan untuk berprofesi. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka lembaga pendidikan sudah semestinya mulai berbenah diri sejak dini guna
mengantisipasi perubahan-perubahan dan perkembangan zaman yang terjadi. Salah satu
perkembangan zaman yang dirasakan saat ini adalah dengan adanya pelaksanaan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di Tahun 2015. MEA dimaksud merupakan peluang
sekaligus tantangan bagi masyarakat Indonesia sehingga lembaga pendidikan harus
mampu membentuk masyarakat dalam hal ini generasi muda sebagai manusia yang
berkualitas dan mampu memanfaatkan konsep dan pelaksanaan MEA. Pada titik ini
sekolah-sekolah di hadapkan dengan upaya membentuk karakter siswa selaku peserta
didiknya secara maksimal. Peserta didik sebagai agent of change bukan hanya
memanfaatkan intelektual tetapi juga harus mampu merubah watak dan kepribadian
yang akan terlihat dari tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat.
Di era globalisasi secara umum dan MEA pada khususnya, persaingan mencari
kerja semakin kompetitif sementara lapangan pekerjaan yang ditawarkan juga terbatas,
menuntut peserta didik dan para pendidik yaitu harus lebih berpikir kreatif dan inovatif.
Semangat entrepreneurship ini sudah menjadi tuntutan zaman. Menurut Indarti dan
Roatiani (2008) secara realitas ada tiga pilihan yang kemungkinan akan dialami lulusan
Perguruan Tinggi setelah menyelesaikan studinya, antara lain: Menjadi karyawan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 142 ] P a g e
perusahaan swasta , Menjadi pengangguran intelektual karena sulit atau persaingan yang
ketat atau semakin berkurangnya lapangan kerja yang sesuai dengan latar belakang
pendidikan., Membuka usaha sendiri (berwirausaha) di bidang usaha yang sesuai dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang didapat selama studi di lembaga yang telah dijalani.
Berdasarkan alternatif pilihan di atas, alternatif ketiga merupakan pilihan yang
memungkinkan dan terbuka bagi peserta didik dan masih ada kemungkinan melakukan
jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Artinya setelah peserta didik lulus akan
mempunyai dua kesempatan yaitu berwirausaha dan melanjutkan studi yang dilakukan
bersamaan. Pilihan menjadi wirausaha adalah yang paling tepat. Hal ini disebabkan
menjadi pegawai di perusahaan swasta semakin sulit dan kecil peluangnya karena
lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Menjadi pengangguran
intelektual pasti tidak akan menjadi pilihan para lulusan lembaga pendidikan, sebab
risiko psikologis pribadi yang harus ditanggung oleh yang bersangkutan sangat besar.
Oleh karena itu, pilihan untuk berwirausaha merupakan pilihan yang tepat dan logis.
Pilihan berwirausaha sesuai dengan program pemerintah dalam percepatan
penciptaan pengusaha kecil dan menengah yang kuat dan bertumpu pada ilmu
pengetahuan dan teknologi sedang digalakkan (Indarti dan Rostiani, 2008). Penggalakan
seperti itu dilakukan oleh pemerintah karena dalam perkembangan dunia global akan
selalu muncul gejala-gejala baru dalam persaingan. Apalagi pada tahun 2015 ini akan
dimulainya pasar bebas dan itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah umumnya.
Dalam hal itu tidak hanya pemerintah saja yang mempunyai beban tetapi beban itu juga
akan dirasakan pada dunia pendidikan. Karena dunia pendidikan adalah kunci utama
dalam pelaksanaan pendidikan untuk membentuk lulusan yang mampu bersaing di era
global.
Pada kenyataannya belum banyak pula semua lulusan yang memiliki minat yang
tinggi untuk menjadi menjadi wirausaha. Hal ini diperkuat oleh pendapat Kasali (2010),
bahwa orientasi masyarakat Indonesia masih pada pencari kerja terutama menjadi
pegawai Negeri Sipil (PNS), dari lulusan SLTP, SLTA. Meskipun usaha untuk menjadi PNS
juga dilakukan dengan pengabdian kepada lembaga-lembaga pendidikan yang nantinya
menyimpan harapan suatu saat nanti akan mendapat tempat sebagai Pegawai Negeri
Sipil. Dengan usaha seperti itu kalau kita lakukan pengkajian ulang banyak sekali hal-hal
yang terbuang begitu saja, katakanlah dari segi waktu dan tenaga yang dikeluarkan.
Tetapi hasil yang didapatkan sementara itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Padahal wirausaha (entrepreneur) memiliki peran penting dalam peningkatan
perekonomian suatu bangsa yang sedang berkembang. Menurut Rochbini (2002)
kemajuan atau kemunduran suatu negara sangat ditentukan oleh keberadaan peran dari
kelompok wirausahawan. Pentingnya peran wirausaha dalam peningkatan
perekonomian negara diperkuat oleh pendapat Drucker (1993) menyatakan bahwa
seluruh proses perubahan ekonomi pada akhirnya tergantung dari orang yang
menyebabkan timbulnya perubahan tersebut yakni sang entrepreneur.
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
P a g e [ 143 ]
Dalam hubungannya dengan alasan dan pertimbangan di atas, peserta didik
sebagai salah satu golongan elit masyarakat yang diharapkan menjadi pemimpin–
pemimpin bangsa masa depan, sudah sepantasnya menjadi pelopor dalam
mengembangkan semangat kewirausahaan. Dengan bekal pendidikan tinggi yang
diperoleh di bangku pembelajaran dan idealisme yang terbentuk, lulusan diharapkan
mampu mengembangkan diri menjadi seorang wirausaha tangguh dan bukan sebaliknya
lulusan lembaga pendidikan hanya bisa menunggu lowongan kerja bahkan menjadi
pengangguran yang pada hakikatnya merupakan beban pembangunan (Indarti dan
Rostiani, 2008). Setelah peserta didik itu sadar akan pentingnya berwirausaha maka dari
situ akan muncul sesuatu yang diperlukan yaitu kreativitas dalam berwirausaha.
Dengan melihat kondisi tersebut pemerintah mencanangkan bahwa ekonomi
kreatif adalah solusi utama dalam menghadapi MEA. Yang menjadi inti pokok dalam
berwirausaha adalah lembaga pendidikan mampu memunculkan kreativitas berpikir
para peserta didik. Dengan kemampuan berpikir kreatif ada kemungkinan besar peserta
didik kita bisa menghadapi persaingan yang semakin pesat tersebut. Dalam hal ini yang
menjadi permasalahan banyak peserta didik yang memiliki sifat malas, kemudian hanya
mengandalkan kemampuan yang bersifat sementara. Artinya kemampuan itu hanya
muncul ketika peserta didik mendapatkan sesuatu dari guru atau orang yang dianggap
mampu, kemudian tanpa diproses sedemikian rupa. Peserta didik hanya menuangkan
hasil karyanya dari apa yang didapat tanpa mau memberikan sedikit inovasi atau
memberikan sedikit sentuhan kreativitas. Jika melihat dari segi keuntungan jika peserta
didik mampu menciptakan kreativitas maka akan memiliki kebanggaan tersendiri. Hasil-
hasil kreativitas itu yang nantinya dapat memberikan nilai plus pada usaha yang akan
dijalankan.
Melihat dari fenomena tersebut tidak bisa juga yang menjadi objek kekurangan
dalam kreativitas itu hanya dari sisi peserta didik. Kemungkinan besar itu terjadi karena
adanya penerapan system pembelajaran di lembaga pendidikan yang kurang bervariatif.
Sehingga peserta didik juga mendapatkan apa yang disampaikan oleh pendidik. Mengapa
harus bervariatif, Mungkin itu yang menjadi pertanyaan dibenak para pendidik. Melihat
dari kenyataan yang ada sekarang adalah apa yang dilakukan peserta didik akan sesuai
dengan apa yang diperintahkan oleh pendidik. Hal semacam itu yang nantinya membuat
peserta didik tidak berkembang. Semua gerak yang dilakukan peserta didik seakan-akan
terbatasi. Sehingga memacu tingkat kreativitas peserta didik juga terbatas. Artinya hasil
yang didapatkan peserta didik juga tidak bervariatif.Salah satu yang menjadi kendala
adalah penerapan model pembelajaran yang diterapkan tidak sesuai. Karena banyak
sekali model pembelajaran yang diterapkan hanya berorientasi penyampaian materi saja.
Dan masih bersifat stagnan, jadi pendidik lebih aktif daripada peserta didik. Dengan
demikian peserta didik tidak akan pernah mendapatkan pemikiran yang bersifat kreatif.
Melihat fakta-fakta seperti itu maka sejak saat ini lembaga pendidikan harus
berbenah diri untuk memajukan pendidikan. Salah satunya dengan menerapkan model
pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Karena melihat dari
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 144 ] P a g e
kurikulum yang diterapkan pemerintah yaitu Kurikulum 2013 maka model Pembelajaran
Berbasis Masalah (Problem Based Learning)sangat sesuai untuk diterapkan. Gunanya
adalah untuk membuka pola berpikir peserta didik. Yang awalnya peserta didik hanya
sebagai pendengar dan nantinya akan menjadi peserta didik yang penuh dengan inisiatif
atau lebih biasa dikatakan muncul sifat berpikir kreatif. Dari latar belakang yang sudah
dipaparkan dari awal memunculkan ide saya untuk melakukan penelitian yaitu
“Meningkatkan Kemampuan Kreativitas dengan Penerapan Model Pembelajaran Problem
Based Learning pada Pelajaran Kewirausahaan”
PEMBAHASAN
Kewirausahaan
Dalam tulisan Hidayat (2009) Wirausaha adalah kepribadian unggul yang
mencerminkan budi yang luhur dan suatu sifat yang patut diteladani, karena atas dasar
kemampuannya sendiri dapat melahirkan suatu karya untuk kemajuan kemanusiaan
yang berlandaskan kebenaran dan kebaikan.
Wirausaha menurut Heijrachman Ranupandoyo (1982) adalah seorang innovator
atau individu yang mempunyai kemampuan naluriah untuk melihat benda materi
sedemikian rupa yang kemudian terbukti benar. Mempunyai semangat dan kemampuan
serta pikiran untuk menaklukkan cara berpikir yang tidak berubah dan mempunyai
kemampuan untuk bertahan terhadap posisi sosial.
Secara sederhana arti wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang berjiwa
berani mengambil risiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa
berani mengambil risiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa
diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti (Kasmir, 2007: 18).
Menurut Drucker (1996) kewirausahaan merupakan kemampuan dalam
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa
seorang wirausaha adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu
yang baru, berbeda dari yang lain. Atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda
dengan yang sudah ada sebelumnya.
Wirausaha mempunyai peranan untuk mencari kombinasi–kombinasi baru
yang merupakan gabungan dari proses inovasi (menemukan pasar baru, pengenalan
barang baru, metode produksi baru, sumber penyediaan bahan mentah baru dan
organisasi industri baru).
Wirausaha menurut Ibnu Soedjono (1993) adalah seorang entrepreneurial
action yaitu seseorang yang inisiator, innovator, creator dan organisator yang penting
dalam suatu kegiatan usaha, yang dicirikan: (a) selalu mengamankan investasi terhadap
risiko, (b) mandiri, (c) berkreasi menciptakan nilai tambah, (d) selalu mencari
peluang,(e) berorientasi ke masa depan.
Seorang yang memiliki jiwa kewirausahaan ditandai oleh pola tingkah laku
sebagai berikut: Keinovasian (menciptakan, menemukan dan menerima ide baru),
Keberanian menghadapi risiko dalam menghadapi ketidakpastian dan pengambilan
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
P a g e [ 145 ]
keputusan, Kemampuan manajerial (perencanaan, pengkoordiniran, pengawasan dan
pengevaluasian usaha), Kepemimpinan (memotivasi, melaksanakan dan mengarahkan
terhadap tujuan usaha).
Menghadapi pasar global, era industrialisasi di masa yang akan datang, peranan
kewirausahaan dan wirausaha sangat menentukan. Maka semangat, sikap, perilaku dan
kemampuan di bidang kewirausahaan dan wirausaha ini perlu ditumbuhkembangkan
pada seluruh lapisan masyarakat, organisasi, termasuk pada organisasi mahasiswa di
kampus-kampus. Operasionalisasi pelaksanaannya bukan semata-mata dimaksudkan
untuk memperoleh laba sebesar-besarnya akan tetapi untuk memberikan pengalaman
dan pelayanan kepada mahasiswa agar semakin baik dan mapan (Sarbiran, 1997).
Kreatifitas Berpikir
Secara alamiah perkembangan anak berbeda-beda, baik dalam bakat, minat,
jasmani, kematangan emosi, kepribadian, keadaan jasmani, dan sosialnya. Selain itu,
setiap anak memiliki kemampuan tak terbatas dalam belajar, untuk dapat berpikir kreatif
dan produktif.(Ahmad Susanto,2011:111) Kreativitas menurut kamus besar Bahasa
Indonesia berasal dari kata dasar kreatif, yaitu memiliki kemampuan untuk menciptakan
sesuatu. (Trisno Yuwono, 2003: 330) Menurut Munandar,(1999) yang dikutip oleh
Syafaruddin, kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru
berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada. Kreativitas juga diartikan
dengan kemampuan yang berdasarkan data atau informasi yang menemukan banyak
kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di mana pendekatannya adalah pada
kuantitas dan keragaman jawaban.
Secara operasional, kreativitas dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang
mencerminkan kelancaran keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir,
serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci)
suatu gagasan. (Syafaruddin dan Herdianto, 2011: 87) Salah satu konsep yang amat
penting dalam bidang kreativitas adalah hubungan antara kreativitas dan aktualisasi diri.
Menurut psikolog humanistik, Abraham Maslow dan Carl Rogers(2004) dikutip oleh
Utami Munandar,(1999) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mengaktualisasikan
dirinya apabila seseorang menggunakan semua bakat dan talentanya untuk menjadi apa
yang ia mampu menjadi, mengaktualisasikan, atau mewujudkan potensinya. Menurut
Maslow aktualisasi diri merupakan karakteristik yang fundamental, suatu potensialitas
yang ada pada semua manusia saat dilahirkan, akan tetapi sering hilang, terhambat atau
terpendam dalam proses pembudayaan. Jadi sumber dari kreativitas adalah
kecenderungan untuk mengaktualisasi diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk
berkembang dan menjadi matang (Utami Munandar, 1999: 19).
Hamdani (2002) mengemukakan bahwa kreativitas dapat ditinjau dari (3) hal,
yaitu: Kreativitas adalah suatu kemampuan, yaitu kemampuan untuk membayangkan
atau menciptakan sesuatu yang baru, kemampuan untuk membangun ide-ide baru
dengan mengombinasikan, mengubah, menerapkan ulang ide-ide yang sudah ada.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 146 ] P a g e
Kreativitas adalah suatu sikap, yaitu kemauan untuk menerima perubahan dan
pembaharuan, bermain dengan ide dan memiliki fleksibilitas dalam pandangan.
Kreativitas adalah suatu proses, yaitu proses bekerja keras dan terus menerus sedikit
demi sedikit untuk membuat perubahan dan perbaikan terhadap pekerjaan yang
dilakukan (Hamdani, 2002: 2)
Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berpikir
tentang sesuatu dengan suatu cara yang baru dan tidak biasa serta menghasilkan
penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan (Semiawan, 1999: 89). Dari
beberapa definisi oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah suatu
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari sebelumnya, baik
berupa gagasan atau karya nyata dengan menggabung-gabungkan unsur-unsur yang
sudah ada sebelumnya. Hal baru di sini adalah sesuatu yang belum diketahui olehnya,
meskipun hal itu merupakan hal yang tidak asing lagi bagi orang lain, dan bukan hanya
dari yang tidak menjadi ada, tetapi juga kombinasi baru dari sesuatu yang sudah ada.
Pada umumnya kreativitas dirumuskan dalam beberapa istilah, yaitu Pribadi
(person), yaitu kreativitas mengacu kepada kemampuan yang merupakan
cirri/karakteristik dari orang-orang kreatif. Kreativitas merupakan ungkapan unik dari
seluruh pribadi sebagai hasil interaksi individu, perasaan, sikap, dan perilakunya. Proses
(process), yaitu kreativitas merupakan proses yang mencerminkan kelancaran dalam
berpikir. Pendorong (press), yaitu inisiatif seseorang yang tercermin melalui
kemampuannya untuk melepaskan diri dari urutan pikiran yang biasa. Produk, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru.
Problem Based Learning
Metode ini erat kaitannya dengan metode pembelajaran kontekstual. Banyak ahli
yang menyebutnya metode pembelajaran tetapi ada pula sementara ahli yang
menyebutnya sebagai model pembelajaran. Konsep model pembelajaran sendiri berasal
dari konsep Joyce dan Weil,(2000) namun justru banyak berkembang karena didukung
dari Charles I. Arends (1997). Perbedaan pokok antara metode pembelajaran dengan
model pembelajaran adalah pada model pembelajaran sintaksnya relatif sudah tertentu
langkah-langkahnya, sesuai dengan yang ditetapkan oleh ahli yang mengungkapkannya.
Dalam pengertian metode pembelajaran, guru masih diberi keleluasaan dalam bervariasi.
Perlu penekanan pada kata relatif tersebut karena ternyata suatu model pembelajaran
tertentu akan berbeda sintaksnya jika ahli yang menyampaikanya juga berbeda. Jadi
sintaksnya bergantung pada sumber yang dipergunakan.
Berdasarkan pendapat Arends (1997) pada esensinya pembelajaran berbasis
masalah adalah model pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme dan
mengakomodasikan keterlibatan siswa dalam belajar serta terlibat dalam pemecahan
masalah yang kontekstual. Untuk memperoleh informasi dan mengembangkan konsep-
konsep sains, siswa belajar tentang bagaimana membangun kerangka masalah
,mencermati, mengumpulkan data dan mengorganisasikan masalah, menyusun fakta,
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
P a g e [ 147 ]
menganalisis data, dan menyusun argumentasi terkait pemecahan masalah kemudian
memecahkan masalah baik secara individual ataupun kelompok.
Dalam hal ini Arends (1997) menyimpulkan ada lima gambaran yang umum
menjadi identifikasi pembelajaran berbasis masalah, yaitu: Dikembangkan dari
pertanyaan atau masalah. Daripada mengorganisasikan pelajaran di seputar prinsip-
prinsip atau kecakapan akademik tertentu, PBL mengorganisasikan pengajaran pada
sejumlah pertanyaan atau masalah yang penting, baik secara social atau personal
bermakna bagi siswa. Pendekatan ini mengaitkan pembelajaran dengan situasi
kehidupan nyata. Fokusnya antar disiplin, walau PBL dapat diterapkan memusat untuk
membahas subjek tertentu (sains, matematika, sejarah atau yang lainnya), tetapi lebih
dipilih pembahasan masalah actual yang dapat diinvestigasi dari berbagai sudut disiplin
ilmu. Contohnya masalah pencemaran lingkungan yang timbul di laut timur akibat
pencemaran oleh perusahaan pengeboran minyak milik Australia dapat diinvestigasi dan
dijelaskan dari aspek ekonomi, biologi, sosiologi, kimia, hubungan antar Negara, dan
sebagainya. Penyelidikan otentik. Istilah otentik selalu dikaitkan dengan masalah yang
timbul di kehidupan nyata, yang langsung dapat diamati. Oleh karena itu, masalah yang
timbul juga harus di carikan penyelesaian secara nyata. Para siswa harus menganalisis
dan mendefinisikan masalahnya, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi,
mengumpulkan dan menganalisis informasi, bila perlu melaksanakan eksperimen,
membuat inferensi, dan menarik simpulan. Metode investigasinya tentu saja bergantung
pada sifat masalah yang dikaji. Menghasilkan artefak, baik berupa laporan, makalah,
model fisik sebuah video , suatu program computer, naskah drama dan lain-lain. Ada
kolaborasi. Implementasi PBL ditandai oleh adanya kerja sama antar siswa satu sama
lain, biasanya dalam pasangan siswa atau kelompok kecil siswa. Bekerja sama akan
memberikan motivasi untuk terlibat secara berkelanjutan dalam tugas yang kompleks,
meningkatkan kesempatan untuk bertukar pikiran dan mengembangkan inkuiri, serta
melakukan dialog untuk mengembangkan kecakapan sosial.
Problem Based Learning baru dapat dikembangkan jika terbangun suatu situasi
kelas yang efektif. Combs (1976) seperti yang diungkap oleh North Central Regional
Library (2006) menyatakan bahwa minimal ada 3 karakteristik yang harus dipenuhi agar
terbangun situasi kelas yang efektif dalam PBL, yaitu sebagai berikut. Atmosfer kelas
harus dapat memfasilitasi suatu eksplorasi makna. Para pebelajar harus merasa aman
dan merasa diterima. Mereka memerlukan pemahaman baik tentang risiko maupun
penghargaan yang akan diperolehnya dari pencarian dan pemahaman. Situasi kelas harus
mampu menyediakan kesempatan bagi mereka untuk terlibat, saling berinteraksi dan
sosialisasi. Pebelajar harus sering diberi kesempatan untuk mengkonfrontasikan
informasi baru dengan pengalamannya selama proses pencarian makna. Namun
kesempatan semacam itu janganlah timbul dari dominasi guru selama pembelajaran,
tetapi harus timbul dari banyaknya kesempatan siswa untuk menghadapi tantangan
tantangan baru berdasarkan pengalaman masa lalunya. Makna baru tersebut harus
diperoleh melalui proses penemuan secara personal.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 148 ] P a g e
Berkaitan dengan filosofi seperti di atas berkembangnya apa yang disebut
problem-based learning. Problem-based learning (pembelajaran berbasis masalah)
merupakan suatu tipe pengelolaan kelas yang diperlukan untuk mendukung pendekatan
konstruktivisme dalam pengajaran dan belajar
Dalam sumber yang sama, Savoie dan Hughes (1994) mengungkap perlunya suatu
proses yang dapat digunakan untuk mendesain pengalaman pembelajaran berbasis
masalah bagi siswa. Kegiatan tersebut di bawah ini diperlukan untuk menunjang proses
tersebut, yaitu sebagai berikut identifikasikan suatu masalah yang cocok bagi para siswa,
kaitkan masalah tersebut dengan konteks dunia siswa sehingga mereka dapat
menghadirkan suatu kesempatan otentik, organisasikan pokok bahasan di sekitar
masalah, jangan berlandaskan bidang studi, berilah para siswa tanggung jawab untuk
dapat mendefinisikan sendiri pengalaman belajar mereka serta membuat perencanaan
dalam menyelesaikan masalah, dorong timbulnya kolaborasi dengan membentuk
kelompok pembelajaran, berikan dukungan kepada semua siswa untuk
mendemonstrasikan hasil pembelajaran mereka misalnya dalam bentuk suatu karya atau
kinerja tertentu.
Sumber lain mengungkapkan bahwa kewajiban guru dalam penerapan PBL antara
lain Mendefinisikan, merancang dan mempresentasikan masalah di hadapan seluruh
siswa, Membantu siswa memahami masalah serta menentukan bersama siswa
bagaimana seharusnya masalah semacam itu diamati dan dicermati, membantu siswa
memaknai masalah, cara-cara mereka dalam memecahkan dan membantu menentukan
argumen apa yang melandasi pemecahan masalah tersebut, bersama para siswa
menyepakati bentuk perorganisasian laporan, mengakomodasikan kegiatan presentasi
oleh siswa, melakukan penilaian proses(penilaian otentik) maupun penilaian terhadap
produk laporan. Biasanya sintaks dalam PBL meliputi orientasi siswa pada masalah,
mendefinisikan masalah dan mengorganisasikan siswa untuk belajar, memadu
investigasi mandiri maupun investigasi kelompok. Mengembangkan dan
mempresentasikan karya, refleksi dan penilaian.
Kekuatan dari penerapan metode BPL ini antara lain. Siswa akan terbiasa
menghadapi masalah (Problem posing) dan merasa tertantang untuk menyelesaikan
masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran dalam kelas, tetapi juga menghadapi
masalah yang ada di dalam kehidupan sehari hari (real world). Memupuk solidaritas
sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan enam teman sekelompok kemudian berdiskusi
dengan teman sekelasnya. Makin mengakrabkan guru dengan siswa, karena ada
kemungkinan ada suatu masalah harus diselesaikan siswa melalui eksperimen hal ini
juga akan membiasakan siswa dalam menerapkan metode eksperimen. Sementara itu
kelemahan dari penerapan model ini antara lain: Tidak banyak guru yang mampu
mengantarkan siswa kepada pemecahan masalah Seringkali memerlukan biaya mahal
dan waktu yang panjang. Aktivitas siswa yang dilaksanakan di luar sekolah sulit dipantau
guru.
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
P a g e [ 149 ]
Meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dengan model PBL pada pelajaran
kewirausahaan
Penerapan pembelajaran PBL pada pelajaran Kewirausahaan. Dalam kaitannya
meningkatkan kreativitas berpikir dengan menggunakan model pembelajaran PBL pada
Pelajaran Kewirausahaan, maka untuk meningkatkan kreativitas berpikir perlu adanya
kebiasaan dari peserta didik untuk memecahkan masalah-masalah yang ada yaitu dengan
mengidentifikasi masalah kemudian memecahkan masalah dengan menggunakan
beberapa unsur yaitu: unsur mencermati masalah yang ada dalam kewirausahaan
kemudian dengan demikian peserta didik akan mampu menciptakan kreativitas dalam
berpikir. Yang kedua yaitu mengumpulkan data, mengumpulkan data berguna untuk
mengetahui masalah apa yang dihadapi kemudian dengan mengumpulkan data akan
dapat dengan mudah mencari suatu solusi atau kreativitas berpikir yang kritis. Yang
ketiga adalah mengorganisasikan masalah, yaitu dengan cara memilah suatu masalah
kemudian mengelompokkan masalah dengan rinci dan menggabungkan masalah yang
satu dengan yang lainnya sehingga peserta didik mampu berpikir untuk memecahkan
masalah secara terorganisir dan diikuti dengan penyusunan fakta. Selanjutnya peserta
didik akan menganalisis dari masalah yang ada dan fakta yang ada sehingga akan
menemukan titik temu dalam menyusun argumentasi. Dan hal-hal tersebut adalah suatu
proses dalam peningkatan kemampuan kreativitas berpikir sesuai dengan model
pembelajaran Problem Based Learning.
SIMPULAN
Lembaga pendidikan merupakan unsur penting dalam memajukan kualitas
pendidikan di Indonesia. Tidak lepas dari semua itu lembaga pendidikan juga mempunyai
arti dalam pengembangan peserta didik. Di samping itu lembaga pendidikan mempunyai
kreativitas yang tinggi agar dapat menciptakan lulusan-lulusan yang berkompeten. Satu
unsur yang penting dalam memajukan peserta didik yaitu dengan cara penerapan
pembelajaran yang berorientasi pada kewirausahaan. Karena itu sesuai dengan tujuan
pendidikan yang mempunyai visi dan misi untuk menciptakan lulusan yang mampu
bersaing di masa yang akan datang. Wirausaha saja mungkin tidak akan bisa berjalan
dengan baik apabila tidak diikuti dengan kreativitas yang tinggi dari tangan-tangan para
wirausaha
Kreativitas mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pembelajaran
kewirausahaan. Apalagi pada tahun 2015 sudah dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). Tujuan yang jelas dari kreativitas adalah meningkatkan hasil karya dan
kemampuan menciptakan hal baru dalam berwirausaha. Namun untuk menciptakan hal
tersebut perlu adanya dukungan dari beberapa pihak yaitu lembaga pendidikan, peserta
didik dan guru. Ketiga pihak itu harus saling berkaitan agar nantinya bisa mewujudkan
kreativitas dari peserta didik. Salah satunya adalah dengan penerapan model
pembelajaran Problem Basic Learning. Dari model itu akan memulai dengan mencari
pokok masalah dari kewirausahaan kemudian peserta didik akan mengidentifikasi dan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 150 ] P a g e
melakukan pemecahan masalah. Identifikasi dapat dilakukan dengan cara mencermati,
mengumpulkan data, mengorganisasikan dan menyusun fakta. Sedangkan dalam proses
pemecahan masalah dapat dilakukan dengan cara menganalisis masalah dan menyusun
argumentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Arens, R. I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: McGraw-HillCompanies,inc.
Drucker. (1996). Konsep Kewirausahaan Era Globalisasi, Erlangga, Jakarta, Terjemahan
Hamdani, Asep Saepul. (2002). Pengembangan Kreativitas, Jakarta: Pustaka As-Syifa.
Isdianto, B., Willy, D. & Mashudi, M.R. (2005). Orientasi Sistem Pendidikan Desain Interiorterhadap Motivasi Kewirausahaan Mahasiswa (Mencari Hambatan dan Stimulus).Laporan Penelitian. Bandung: Institut Teknologi Bandung
Joyce Bruce, Marsha Weil and Emily Calhoun. (2000). Model Of Thaching. Boston: Alilynand Bacon.
Munandar, Utami (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah , Jakarta:Gramedia Pustaka.
Munandar, Utami (2004). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta: AsdiMahasatya.
Propensity for Business Start-Ups after Graduation in a Portuguese University.International Research Journal Problems and Perspectives in Management, 6(4):45-53.
Semiawan, Conny R, (1999). Perkembangan dan Belajar Peserta Didik, Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Susanto, Ahmad. (2011). Perkembangan Anak Usia Dini, Jakarta: Kencana.
Syafaruddin & Herdianto, (2011). Pendidikan Pra Skolah, Medan: Perdana Publishing.
Yuwono, Trisno, (2003). Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Arkola.
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
P a g e [ 151 ]
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING
PADA SUB MATERI INTI MASALAH EKONOMI/KELANGKAAN
Bintana AfiatiUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakBanyak model pembelajaran diterapkan di sekolah-sekolah untuk mengatasikejenuhan dan meningkatkan kualitas diri siswa. Model pembelajaran Kurikulum2013 yang memiliki nama, ciri, sintak, pengaturan, dan budaya adalah discoverylearning, project-based learning, problem-based learning, dan inquiry learning.Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan model problembased learning pada sub materi inti masalah ekonomi/kelangkaan. Problem basedlearning (PBL) memiliki ciri-ciri seperti pembelajaran dimulai dengan pemberianmasalah, masalah memiliki konteks dengan dunia nyata, siswa secaraberkelompok aktif merumuskan masalah dan mengidentifikasi kesenjanganpengetahuan mereka, mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkaitdengan masalah dan melaporkan solusi dari masalah, sementara pendidik lebihbanyak memfasilitasi. PBL terdiri atas lima fase, yaitu mengorientasikan pesertadidik pada masalah, mengorganisasikan peserta didik untuk belajar, membantupenyelidikan mandiri dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan artifak(hasil karya) dan memamerkannya, dan analisis dan evaluasi proses pemecahanmasalah.
Kata kunci: Problem based learning, kelangkaan, fase
PENDAHULUAN
Pada saat ini banyak kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar. Hal ini
disebabkan karena proses belajar di dalam kelas yang begitu-begitu saja, sehingga siswa
merasa jenuh untuk belajar. Oleh karena itu sekarang banyak digunakan model dalam
pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah-sekolah. Hal ini dilakukan mengatasi
kejenuhan dalam proses belajar-mengajar dan meningkatkan kualitas diri siswa. Terkait
dengan model pembelajaran, menurut Amri (2013:5) guru diharapkan mampu memilih
model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan.
Pada pembelajaran kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik atau
pendekatan berbasis proses keilmuan yang dapat menggunakan beberapa strategi yang
digunakan seperti pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran yang memiliki nama,
ciri, sintak, pengaturan, dan budaya misalnya discovery learning, project-based learning,
problem-based learning, inquiry learning (Permendikbud tahun 2014 no 103 lampiran).
Kemudian Fachrurazi (2011:78) menyatakan salah satu model pembelajaran yang dapat
digunakan untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil belajar adalah model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning). Pembelajaran Berbasis
masalah memiliki ciri-ciri seperti pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah,
masalah memiliki konteks dengan dunia nyata, siswa secara berkelompok aktif
merumuskan masalah dan mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan mereka,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 152 ] P a g e
mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkait dengan masalah dan melaporkan
solusi dari masalah. Sementara pendidik lebih banyak memfasilitasi.
Kemudian Sari dan Nasikh (2009:68) dari penelitiannya yang berjudul “Efektivitas
Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Teknik Peta Konsep Dalam Meningkatkan
Proses Belajar Ekonomi Siswa Kelas X6 SMA Negeri 2 Malang Semester Genap Tahun
Ajaran 2006-2007” menyatakan bahwa Problem Based Learning dirancang untuk
membantu guru memberikan informasi secara mendetail kepada siswa, tetapi dirancang
untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir, ketrampilan
menemukan dan memecahkan masalah, dan ketrampilan intelektual, sehingga siswa
tidak bergantung pada satu sumber (guru) melainkan menjadi siswa dengan belajar yang
mandiri dan aktif untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Dengan demikian
dalam Problem Based Learning guru tidak menyajikan konsep ekonomi dalam bentuk
yang sudah jadi, namun melalui kegiatan pemecahan masalah siswa digiring ke arah
menemukan konsep sendiri (reinvention).
Paparan di atas tentang pembelajaran berbasis masalah Menurut Fachrurazi
(2011:79) menunjukkan bahwa pembelajaran tersebut berpotensi mengembangkan
kemampuan berpikir kritis pada siswa. Hal ini senada dinyatakan oleh Sadia dan Subagia
dalam Astika, Suma dan Suasrta (2013:4) bahwa model pembelajaran berbasis masalah
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, khususnya untuk meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa.
Pada kenyataannya tidak jarang guru menggunakan model pembelajaran ini,
karena dianggap membantu dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran problem
based learning membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya serta
dapat memecahkan masalah dengan guru mengarahkan siswa untuk dapat menemukan
konsep dari materi tersebut dengan sendirinya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat diambil
yaitu bagaimana Penerapan Model Problem Based Learning Pada Sub Materi Inti Masalah
Ekonomi/Kelangkaan? Di dalam makalah ini penulis membatasi pembahasan pada sub
materi inti masalah ekonomi/kelangkaan. Berdasarkan rumusan masalah di atas maka
tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana Penerapan Model
Problem Based Learning Pada Sub Materi Inti Masalah Ekonomi/Kelangkaan.
PEMBAHASAN
Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah)
Problem Based Learning menurut Maufur (2003:121) adalah model pembelajaran
dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau
perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-
sama. Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada muaranya
adalah pemecahan masalah. Kemudian menurut Tan dalam Rusman (2012:232) Problem
Based Learning (pembelajaran berbasis masalah) adalah penggunaan berbagai macam
kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
P a g e [ 153 ]
nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang
ada. Sedangkan menurut Nurhadi dalam Sari dan Nasikh (2009:54) bahwa problem-based
learning (pembelajaran berbasis masalah) adalah suatu pendekatan pengajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar
tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Dari definisi
yang dikemukakan para ahli tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian
dari Problem Based Learning adalah model pembelajaran dengan memberikan suatu
permasalahan dalam dunia nyata untuk diselesaikan secara individu maupun kelompok.
Menurut Hamiyah dan Muhammad (2014:134) problem based learning (PBL)
terdiri dari lima fase yang dimulai dari guru menghadirkan suatu masalah nyata dan
diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Berikut fase-fase problem based
learning (PBL):
Fase 1: Mengorientasikan peserta didik pada masalah. Pembelajaran dimulai
dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan.
Dalam penggunaan (PBL), tahapan ini sangat penting di mana guru harus menjelaskan
secara rinci tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik dan juga oleh guru. Apa
yang perlu dijelaskan adalah bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran.
Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar peserta didik dapat memahami
pembelajaran yang akan dilakukan. Ada empat hal yang perlu dilakukan dalam proses ini,
yaitu:
1. Tujuan utama pengajaran tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru
tetapi lebih mempelajari tentang bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting
dari bagaimana menjadi peserta didik yang mandiri.
2. Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak
“benar”. Sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian
dan sering kali bertentangan.
3. Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), peserta didik didorong untuk
mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai
pembimbing yang siap membantu, namun peserta didik harus berusaha untuk
bekerja mandiri atau dengan temannya.
4. Selama tahap analisis dan penjelasan, peserta didik akan didorong untuk menyatakan
ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Tidak ada ide yang akan
ditertawakan oleh guru atau teman sekelas. Semua peserta didik diberi peluang untuk
melakukan penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.
Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar. Di samping
mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga
mendorong peserta didik untuk belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat
membutuhkan kerja sama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai
kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok peserta didik di mana
masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 154 ] P a g e
Prinsip-prinsip pengelompokan peserta didik dalam pembelajaran kooperatif yang dapat
digunakan dalam konteks ini, yakni kelompok heterogen, pentingnya interaksi antar
anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru sangat
penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga
kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah peserta didik diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk
kelompok belajar, selanjutnya guru dan peserta didik menetapkan subtopik-subtopik
yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada
tahap ini adalah mengupayakan agar semua peserta didik aktif untuk terlibat dalam
sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan
penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok. Penyelidikan adalah inti
dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang
berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni
pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan
pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat
penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong peserta didik untuk mengumpulkan data
dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul
memahami dimensi situasi permasalahannya. Tujuannya adalah agar peserta didik dapat
mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri.
Guru membantu peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari
berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan kepada pserta didik untuk
berpikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada
pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah peserta didik mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan
tentang fenomena yang mereka selidiki, mereka selanjutnya mulai menawarkan
penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada
fase ini, guru mendorong peserta didik untuk menyampaikan semua ide-idenya dan
menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang
membuat peserta didik berpikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat
serta kualitas informasi yang dikumpulkan.
Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan
memamerkannya. Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya)
dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu video tape
(menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan
secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian
multimedia. Tentunya, kecanggihan “artifak” sangat dipengaruhi oleh tingkat berpikir
peserta didik. Langkah selanjutnya adalah memamerkan hasil karyanya dan guru
berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini
melibatkan beberapa peserta didik lainnya, guru-guru, orang tua, dan siapa pun yang
dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan-balik.
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
P a g e [ 155 ]
Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah. Fase ini merupakan
tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu peserta didik dalam
menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan
dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini, guru meminta peserta didik untuk
merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan
belajarnya.
Selain itu terdapat pula keunggulan problem based learning menurut A’la
(2012:94) yaitu:
1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan
2. Berpikir dan bertindak kreatif
3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan
5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan
6. Merangsang bagi perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang dihadapi secara realistis
7. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan
8. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan
9. Merangsang bagi perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang dihadapi dengan tepat
10. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya
dunia kerja
Kemudian terdapat juga kelemahan problem based learning menurut A’la
(2012:95) yakni:
1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misalnya,
terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati
serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut
2. Membutuhkan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode
pembelajaran yang lain.
Hasil Penelitian Terdahulu pada Penerapan Problem Based Learning
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fachrurazi (2011:85) hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah efektif untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Ketika
pemecahan masalah digunakan sebagai konteks dalam matematika, fokus kegiatan
belajar sepenuhnya berada pada siswa yaitu berpikir menemukan solusi dari suatu
masalah matematika termasuk proses untuk memahami suatu konsep dan prosedur
matematika yang terkandung dalam masalah tersebut.
Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Nasikh (2009:71) peneliti
menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dan teknik peta konsep memang
sesuai dengan tuntutan kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi), karena
pembelajaran ini berasosiasi pada pembelajaran kontekstual berupa penyajian masalah
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 156 ] P a g e
berdasarkan kehidupan nyata, sehingga siswa belajar menjadi lebih bermakna karena
siswa dituntut untuk aktif, kreatif dan mampu bekerjasama dengan anggota
kelompoknya dalam menyelesaikan tugas. Hal ini juga berlaku untuk kurikulum 2013
yang mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai
pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta
mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan
peradaban dunia (Permendikbud, no 59 tahun 2014a)
Penerapan Problem Based Learning
Kompetensi Dasar
3.1 Menganalisis masalah ekonomi dan cara mengatasinya
4.2 Melaporkan hasil analisis masalah ekonomi dan cara mengatasinya Menganalisis
masalah Ekonomi dan cara mengatasinya
Materi :
Masalah ekonomi dan cara mengatasinya
Tujuan :
1. Mendiskripsiskan inti masalah ekonomi/kelangkaan melalui kajian referensi dan
contoh
2. Menganalisis penyebab dan cara mengatasi inti masalah ekonomi/kelangkaan
melalui diskusi dan kerja kelompok
3. Melaporkan secara tertulis hasil analisis penyebab dan cara mengatasi inti masalah
ekonomi/kelangkaan melalui diskusi dan kerja kelompok
4. Melaporkan secara lisan hasil analisis penyebab dan cara mengatasi inti masalah
ekonomi/kelangkaan melalui diskusi dan kerja kelompok
Tabel 1. Penerapan Fase Model Problem Based Learning
FASE-FASE KEGIATAN PEMBELAJARANFase 1Orientasi pesertadidik kepadamasalah
1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran kemudiandapat memberikan konsep dasar sub materi intimasalah ekonomi/kelangkaan, serta petunjuk ataureferensi yang diperlukan dalam pembelajaran.
2) Guru memotivasi siswa supaya terlibat aktif danberpikir kritis alam aktivitas pemecahan masalah yangnantinya dikerjakan.
3) Mencatat data hasil pengamatan tentang inti masalahekonomi/kelangkaan
Peserta didik akan mengumpulkan informasi tentang Intimasalah ekonomi/kelangkaan dari artikel yang diberikanoleh guru.
Fase 2Mengorganisasikanpeserta didik
Pada tahap ini guru membantu peserta didikmendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yangberhubungan dengan masalah tersebut. Peserta didikdikelompokkan secara heterogen dan dibagi menjadi 4
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
P a g e [ 157 ]
FASE-FASE KEGIATAN PEMBELAJARANkelompok , yakni kelompok A, B, C, D. Guru menyediakan 2buah artikel dari media online mengenai permasalahanyang harus diselesaikan oleh masing kelompok denganrincian sebagai berikut :1) Kelompok A dan Kelompok C membahas artikel “Di
daerah ini, harga elpiji 3 Kg tembus Rp 40.000/tabung”serta mencari penyebab dan cara mengatasi intimasalah kelangkaan barang tersebut.
2) Kelompok B dan D membahas artikel “Stok LPG 3kgLangka di Bangkalan” serta mencari penyebab dan caramengatasi inti masalah kelangkaan barang tersebut.
Peserta didik mendiskusikan hal-hal yang harusdikerjakan dan konsep-konsep yang harus didiskusikandan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab untukmemecahkan masalah.
Fase 3Membimbingpenyelidikanindividu dankelompok
Peserta didik mengumpulkan informasi untukmenciptakan dan membangun ide mereka sendiri dalammemecahkan masalah. Pada kegiatan ini peserta didikmendiskusikan materi tentang inti masalahekonomi/kelangkaan. Guru membimbing siswa dalammemecahkan masalah tersebut.
Fase 4Mengembangkandan menyajikanhasil karya
Pada tahap ini peserta didik merencanakan danmenyiapkan hasil diskusi dan kerja kelompok dengancara berbagi tugas dengan teman
Pembuatan laporan hasil diskusi melalui kegiatan:- Diskusi masing-masing kelompok untuk
mengembangakan konsep inti masalahekonomi/kelangkaan berdasarkan data hasil diskusi dankerja kelompok yang dikonfirmasikan dengan bukusiswa secara teori.
- Membuat laporan secara sistematis dan benar hasildiskusi kelompok tentang inti masalahekonomi/kelangkaan.
Fase 5Menganalisa danmengevaluasiproses pemecahanmasalah
Pada tahap ini peserta didik mengevaluasi hasil belajartentang materi yang telah dipelajari melalui diskusi kelasuntuk menganalisis hasil pemecahan masalah tentangpermasalahan inti masalah ekonomi/kelangkaan.
Peserta diharapkan menggunakan buku sumber untukbantuan mengevaluasi hasil diskusi. Selanjutnyapresentasi hasil diskusi dan penyamaan persepsi.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 158 ] P a g e
Artikel yang digunakan siswa untuk diskusi pada model pembelajaran problem
based learning
Di daerah ini, harga elpiji 3 Kg tembus Rp 40.000/tabungSenin, 2 Maret 2015 14:28
Merdeka.com - Kelangkaan elpiji ukuran 3 kilogram masih melanda sejumlah daerah diIndonesia, salah satunya di kawasan Tanjung Selor, Kalimantan Utara. Akibat langka, masyarakat dikawasan ini harus merasakan mahalnya elpiji 3 kilogram yang mencapai Rp 40.000 per tabung.Salahsatu warga Tanjung Palas, Datuk Taqdir melepaskan kekecewaan di salah satu toko sembako dikecamatan tersebut."Tadi pagi beli elpiji 3 kilogram, dapat harga Rp 40.000, tapi ini ada penurunan dibanding minggukemarin mencapai 45 ribu rupiah per tabung," ucap Taqdir seperti dilansir Antara, Jakarta, Senin (2/3).
Kondisi tersebut terpaksa diterima oleh Datuk Taqdir dengan pasrah mengingat kebutuhan gaselpiji tersebut penting untuk keperluan dapur rumah tangganya. Harga ini jauh dari harga rata rata yangdijual pemerintah sekitar Rp 18.000 per tabung. "Mau bagaimana lagi kalau tidak dibeli otomatis dapurtidak berasap," lanjutnya.
Datuk Taqdir menduga kenaikan harga terjadi akibat pasokan yang terbatas dibanding dengantingkat kebutuhan dari masyarakat. "Elpiji 3 kilogram saat ini di harga Rp 40.0000, stoknya jugaterbatas," jelasnya.
Di lain kesempatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said engganberkomentar panjang mengenai hal ini. Dia hanya menyebut Pertamina sebagai regulator akan segeradapat mengatasi kelangkaan gas elpiji 3 kilogram di beberapa daerah.
"Pertamina pasti sedang berusaha keras untuk mengatasi terus," kata Sudirman di IstanaKepresidenan, Jakarta, Senin (2/3).
Stok LPG 3kg Langka di BangkalanSelasa, 3 Maret 2015
KBRN, Bangkalan: Sejak hari Jum'at lalu keberadaan gas LPG 3 Kilogram di sejumlah agen danpengecer di wilayah Kabupaten Bangkalan kehabisan stok.
Salah seorang pengecer, Imron, menuturkan, kosongnya stok LPG 3 Kilogram tersebut bukankarena keterlambatan pengiriman, melainkan dirinya menduga meningkatnya konsumsi masyarakat.
"Seperti banyaknya hajatan pernikahan, yang biasanya masyarakat menggunakan 2 tabungmenjadi 4 tabung, sementara pasokan dari agen tidak ada penambahan," ungkapnya. Selasa (3/3/2015).
Ditambahkan Imron, untuk harga tidak ada kenaikan dirinya berharap stok pengiriman untuk bisaditambah dari sebelumnya agar stok LPG 3 kilo tidak terjadi kelangkaan dipasaran.
"Sementara untuk stok LPG 12 Kilogram normal dan ada kenaikan harga dari 140.000 rupiahmenjadi 145.000 rupiah, sehingga masyarakat banyak beralih ke LPG 3 Kilogram," tukasnya. (MU/DS)
Kesimpulan
1. Problem Based Learning adalah model pembelajaran dengan memberikan suatu
permasalahan dalam dunia nyata untuk diselesaikan secara individu maupun
kelompok.
2. Problem based learning (PBL) terdiri dari lima fase yang dimulai dari guru
menghadirkan suatu masalah nyata dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil
kerja siswa. Berikut fase-fase problem based learning (PBL):
a. Fase 1: Mengorientasikan peserta didik pada masalah
b. Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar
c. Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
P a g e [ 159 ]
d. Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan
memamerkannya
e. Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
3. Dalam problem based learning, guru sebaiknya dapat mengatur waktu secara efektif
agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Oleh karena itu guru diharapkan
mampu melakukan persiapan dengan sebaik-baiknya sebelum melaksanakan
pembelajaran.
4. Diharapkan bagi guru yang ingin menggunakan problem based learning supaya dapat
merancang masalah yang sesuai dengan kemampuan awal siswa dan masalah yang
diisajikan tidak sulit, sehingga akan mencapai hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Miftahul. 2012. Quantum Teaching. Jogjakarta: Diva press
Amri, Sofan. 2013. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013.Jakarta: PT Prestasi Pustakarya
Astika, I. Kd. Urip, I. K. Suma dan I. W. Suastra. 2013. Pengaruh Model PembelajaranBerbasis Masalah Terhadap Sikap Ilmiah Dan Keterampilan Berpikir Kritis. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA(Volume 3 Tahun 2013). http://pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/jurnal_ipa/article/view/851/606 . diakses pada 6 April 2015
Fachrurazi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk MeningkatkanKemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. ISSN1412-565X Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011. http://jurnal.upi.edu/file/8-Fachrurazi.pdf diakses pada 4 April 2015
Hamiyah, Nur dan Muhamad Jauhar. 2014. Strategi Belajar Mengajar Di Kelas. Jakarta:Prestasi Pustaka Jakarta
Maufur, Hasan Fauzi. 2009. Sejuta Jurus Mengajar Mengasyikkan. Semarang: PT SindurPress
Merdeka, (2015) Di daerah ini, harga elpiji 3 Kg tembus Rp 40.000/tabung. Diakses darihttp://www.merdeka.com/uang/di-daerah-ini-harga-elpiji-3-kg-tembus-rp-40000tabung.html pada tanggal 19April 2015
Peraturan Pemerintah No 59 Tahun 2014
RRI, (2015) Stok LPG 3kg Langka di Bangkalan. Diakses darihttp://www.rri.co.id/post/berita/144573/ekonomi/stok_lpg_3_kg_langka_di_bangkalan.html pada tanggal 19April 2015
Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru EdisiKedua. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Sari, Nur Fatimah dan Nasikh. 2009. Efektivitas Penerapan Pembelajaran BerbasisMasalah dan Teknik Peta Konsep dalam Meningkatkan Proses dan Hasil BelajarMata Pelajaran Ekonomi Siswa Kelas X6 MAN 2 Malang Semester Genap TahunAjaran 2006-2007. JPE-Volume 2, Nomor 1, 2009. http://fe.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/03/Nur-Fatimah-Edit.pdf . diakses pada 4 April 2015
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 160 ] P a g e
PENERAPAN PROBLEM BASED LEARNING
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN
KETERAMPILAN MEMECAHKAN MASALAH
Brillian Rosy & Triesninda PahleviUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakPembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkattinggi dalam situasi yang berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajarbagaimana belajar. Melalui penerapan pembelajaran berbasis masalah, siswadiharapkan dapat menggali dan menemukan sendiri dari pemecahan masalahyang diberikan dosen sehingga dapat memancing proses belajar mereka. Tujuanpenelitian ini ialah untuk mendeskripsikan pembelajaran berbasis masalahdalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkanmasalah pada mata kuliah Perilaku Organisasi serta untuk mengetahui responsiswa terhadap proses pembelajaran berbasis masalah. Metode yang digunakanadalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwaketerampilan berpikir kritis pada siklus I sebesar 79.42% dan siklus II sebesar82.29% maka peningkatan sebesar 2,87%. Sedangkan pada keterampilanmemecahkan masalah pada siklus 1 sebesar 84.99 % dan siklus 2 sebesar86.86% maka peningkatan sebesar 3,87%. Dengan demikian, dapat disimpulkanbahwa model pembelajaran berbasis masalah mampu meningkatkankemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah pada matakuliah perilaku organisasi.
Kata Kunci: PBL, Berpikir Kritis, Memecahkan Masalah
PENDAHULUAN
Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran mata kuliah Perilaku Organisasi
adalah kurangnya daya pemahaman mahasiswa. Sebagian mahasiswa kesulitan
mengaplikasikan teori untuk memecahkan masalah-masalah perilaku organisasi. Hal ini
disebabkan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dosen sebatas teoritis. Sedangkan
tujuan pembelajaran perilaku organisasi adalah melatih mahasiswa untuk berpikir logis
mengkaji tentang bagaimana mengelola manusia dengan segala karakter dan
permasalahan-permasalahan yang ada dalam sebuah organisasi sehingga dapat
berkembang dan berhasil di masa depan. Perilaku organisasi yaitu suatu bidang studi
yang mempelajari tentang pengaruh dari perseorangan, kelompok dan struktur pada
perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan yang dimiliki untuk
memperbaiki keefektifan organisasi.
Berdasarkan pengamatan di dalam kelas, diperoleh fakta bahwa dosen masih
jarang menggunakan pembelajaran kooperatif. Meskipun telah menerapkan diskusi
kelas, proses diskusi tersebut masih bersifat konvensional dan biasanya bahan yang
digunakan untuk diskusi adalah materi perkuliahan yang bersifat teoritik tanpa disertai
contoh penerapan dalam kehidupan nyata sehingga hal tersebut kurang mampu
mendorong mahasiswa untuk berpikir secara kritis dalam memecahkan masalah.
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
P a g e [ 161 ]
Pentingnya mengajarkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis harus
dipandang sebagai sesuatu yang urgen dan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Penguasaan kemampuan berpikir kritis tidak cukup dijadikan sebagai tujuan
pendidikan semata, tetapi juga sebagai proses fundamental yang memungkinkan
mahasiswa untuk mengatasi ketidaktentuan di masa mendatang (Cabrera, 1992).
Menurut Elaine (2007:187), Berpikir kritis adalah berpikir untuk menyelidiki secara
sistematis proses berpikir itu sendiri, maksudnya tidak hanya memikirkan dengan
sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang lain menggunakan bukti, asumsi
dan logika. Bepikir kritis memungkinkan mahasiswa untuk menemukan kebenaran dari
suatu informasi. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang
mendalam. Pemahaman membuat mahasiswa mengerti maksud di balik ide sehingga
mengungkapkan makna di balik suatu kejadian.
Perlunya upaya untuk memfasilitasi agar kemampuan berpikir kritis mahasiswa
lebih berkembang menjadi sangat penting, mengingat beberapa hasil penelitian masih
mengindikasikan rendahnya kemampuan berpikir kritis mahasiswa di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian Suryanto dan Somerset (dalam Fachrurazi, 2011) terhadap
16 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan
hasil tes mata pelajaran matematika sangat rendah, utamanya pada soal cerita. Dalam
kasus di atas menjelaskan bahwa kemampuan aplikasi merupakan bagian dari domain
kognitif yang lebih rendah daripada kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi. Ketiga
kemampuan tersebut digolongkan oleh Bloom (Duron, dkk., 2006) dalam kemampuan
berpikir kritis.
Berpikir kritis dalam penelitian ini adalah proses terorganisasi yang melibatkan
aktivitas mental yang mencakup kemampuan merumuskan masalah, memberikan
argumen, menyusun laporan, melakukan deduksi, induksi, evaluasi, memutuskan
kemudian melaksanakan, dan berinteraksi dengan yang lain untuk memecahkan suatu
masalah. Indikator kemampuan berpikir kritis dapat dijabarkan pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
NoAspek Kemampuan
dalam Berpikir Kritis(Indikator)
Deskripsi Pencapaian
1 Merumuskan masalah
(memformulasikandalam bentuk pertanyaanyang memberi arahuntuk memperolehjawabannya)
1. Mahasiswa tidak merumuskan masalah
2. Mahasiswa merumuskan masalah tetapi tidak tepat
3. Mahasiswa merumuskan masalah tetapi kurangtepat
4. Mahasiswa melakukan rumusan masalah dengantepat
2 Memberikan argumen
(Argumen dengan alasanyang sesuai,menunjukkan perbedaan
1. Mahasiswa tidak memberikan argumen
2. Mahasiswa memberikan argumen dengan alasanyang tidak sesuai
3. Mahasiswa memberikan argumen dengan alasan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 162 ] P a g e
NoAspek Kemampuan
dalam Berpikir Kritis(Indikator)
Deskripsi Pencapaian
dan persamaan, sertaargumennya utuh)
yang sesuai, tetapi argumennya tidak utuh
4. Mahasiswa memberikan argumen dengan alasanyang sesuai dan argumen yang utuh
3 Melakukan deduksi
(Mendeduksi secaralogis, kondisi logis, sertamelakukan intrepetasiterhadap pernyataan)
1. Mahasiswa tidak melakukan deduksi
2. Mahasiswa melakukan deduksi tetapi tidak logis
3. Mahasiswa melakukan deduksi secara logis, tetapikurang tepat
4. Mahasiswa melakukan deduksi secara logis dantepat
4 Melakukan induksi
(Melakukanpengumpulan data,membuat generalisasidari data,membuat tabel,dan grafik, membuatkesimpulan terkaithipotesis sertamemberikan asumsi yanglogis)
1. Mahasiswa tidak melakukan pengumpulan data,membuat generalisasi dari data, membuat tabel,dan grafik
2. Mahasiswa melakukan pengumpulan data,membuat generalisasi dari data, tetapi tidakmembuat tabel, dan grafik
3. Mahasiswa melakukan pengumpulan data,membuat generalisasi dari data, membuat tabel,dan grafik, tetapi kurang tepat
4. Mahasiswa melakukan pengumpulan data,membuat generalisasi dari data, membuat tabel,dan grafik, dengan tepat
5 Melakukan evaluasi
(Evaluasi berdasarkanfakta, berdasarkanprinsip atau pedoman,serta memberikanalternatif)
1. Mahasiswa tidak melakukan evaluasi
2. Mahasiswa memberikan evaluasi berdasarkanfakta, berdasarkan prinsip atau pedoman, tetapitidak memberikan alternatif
3. Mahasiswa memberikan evaluasi berdasarkanfakta, berdasarkan prinsip atau pedoman, sertamemberikan alternatif, tetapi kurang tepat
4. Mahasiswa memberikan evaluasi berdasarkanfakta, berdasarkan prinsip atau pedoman, sertamemberikan alternatif dengan tepat
6 Memutuskan danmelaksanakan
(Memilih kemungkinansolusi,dan menentukankemungkinan-kemungkinan yang akandilaksanakan)
1. Mahasiswa tidak memberikan solusi
2. Mahasiswa memberikan solusi, tetapi tidak tepat
3. Mahasiswa memberikan kemungkinan solusi, tetapikurang tepat
4. Mahasiswa memberikan kemungkinan solusidengan tepat
Sumber: Etnis dan Marzano (dalam Marpaung, 2005).
Selain mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mengembangkan ketrampilan
memecahkan masalah bagian yang tidak dapat terpisahkan. Menurut Sutarmo (2012: 94)
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
P a g e [ 163 ]
“Kemampuan berpikir kritis, otak dipaksa berpikir serius untuk memecahkan masalah
yang dihadapi individu yang berpikir atau memikirkan tindakan yang akan dilakukan
nanti”. Setiap orang memiliki masalah yang bukan untuk dihindari melainkan untuk
dipecahkan, maka seharusnya mereka juga memiliki kemampuan berpikir kritis dan
keterampilan memecahkan sehingga dapat memikirkan langkah apa yang harus
ditempuh untuk memecahkan masalah serius yang mereka hadapi. Hal ini mempunyai
implikasi dalam pembelajaran Perilaku Organisasi dimana memberikan pemahaman
pada mahasiswa bahwa dalam kehidupan berorganisasi manusia tidak akan terlepas dari
permasalahan-permasalahan yang ada. Mahasiswa yang terbiasa dihadapkan pada
masalah dan berusaha memecahkannya akan cepat tanggap dan kreatif apalagi bila
masalah yang diciptakan itu bersentuhan dengan kehidupannya maka mereka akan
bersemangat untuk memecahkannya dalam waktu singkat. Jadi keterampilan
memecahkan masalah sangat penting artinya bagi anak didik dan masa depannya.
Berdasarkan hasil penelitian Ni Wyn (2014), menunjukkan bahwa rata-rata hasil
belajar matematika mahasiswa yang diberikan pembelajaran dengan menggunakan
metode keterampilan pemecahan masalah lebih baik daripada mahasiswa yang diberikan
pembelajaran dengan menggunakan metode konvensional. Hal ini tentunya signifikan
pada usaha meningkatkan keterampilan memecahkan masalah dengan tujuan
pembelajaran Perilaku Organisasi yaitu selain melatih mahasiswa untuk berpikir logis
mengkaji tentang bagaimana mengelola manusia dengan segala karakter dan
permasalahan-permasalahan yang ada. Selain itu juga keterampilan memecahkan
masalah diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar mata kuliah Perilaku Organisasi.
Branca (Krulik dan Reys, 1980) mengemukakan bahwa pemecahan masalah memiliki tiga
interpretasi yaitu: pemecahan masalah (1) sebagai suatu tujuan utama; (2) sebagai
sebuah proses, dan (3) sebagai keterampilan dasar. Ketiga hal itu mempunyai implikasi
dalam pembelajaran Perilaku Organisasi. Pertama, jika pemecahan masalah merupakan
suatu tujuan maka ia terlepas dari masalah atau prosedur yang spesifik, yang terpenting
adalah bagaimana cara memecahkan masalah sampai berhasil. Dalam hal ini pemecahan
masalah sebagai alasan utama untuk belajar perilaku dalam lingkungan organisasi.
Kedua, jika pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses maka penekanannya
bukan semata-mata pada hasil, melainkan bagaimana metode, prosedur, strategi dan
langkah-langkah tersebut dikembangkan melalui penalaran dan komunikasi untuk
memecahkan masalah. Ketiga, pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar atau
kecakapan hidup (life skill), karena setiap manusia harus mampu memecahkan
masalahnya sendiri. Jadi pemecahan masalah merupakan keterampilan dasar yang harus
dimiliki setiap mahasiswa.
Tabel 2. Indikator Memecahkan Masalah
No.Aspek yang dinilai dalam
keterampilanmemecahkan masalah
Skor Deskripsi Pencapaian
1. Identifikasi masalah(menunjukkan fenomena
1 Mahasiswa tidak dapat mengidentifikasimasalah yang diberikan dosen
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 164 ] P a g e
No.Aspek yang dinilai dalam
keterampilanmemecahkan masalah
Skor Deskripsi Pencapaian
yang ada dalampermasalahan danmerangkumnya dalamrumusan masalah)
2
3
4
Mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah,tetapi tidak tepatMahasiswa dapat mengidentifikasi masalah,tetapi kurang tepatMahasiswa dapat mengidentifikasi masalahdengan tepat
2. Merumuskan masalah(memformulasikan dalambentuk pertanyaan yangmemberi arah untukmemperoleh jawabannya)
12
3
4
Mahasiswa tidak merumuskan masalahMahasiswa merumuskan masalah tetapitidak tepatMahasiswa merumuskan masalah tetapikurang tepatMahasiswa merumusan masalah dengantepat
3. Menganalisis masalah(Menganalisis setiap datayang didapatkan dankesesuaiannya denganmasalah yang dikaji)
1
2
3
4
Mahasiswa tidak dapat memahami danmenganalisis masalahMahasiswa dapat memahami danmenganalisis masalah, tetapi tidak logisMahasiswa dapat memahami danmenganalisis masalah, tetapi kurang logisMahasiswa dapat memahami danmenganalisis masalah dengan logis
4 Menarik kesimpulan(menyimpulkan berdasarkanpembahasan yang telahdibuat)
1
2
3
4
Mahasiswa tidak dapat menarik kesimpulandari masalah yang telah dianalisisMahasiswa dapat menarik kesimpulan darimasalah yang telah dianalisis tetapi tidaktepatMahasiswa dapat menarik kesimpulan darimasalah yang telah dianalisis tetapi kurangtepatMahasiswa dapat menarik kesimpulan darimasalah yang telah dianalisis dengan tepat
5 Mencari solusi(mengajukan pemecahanmasalah dan merencanakanpenyelesaian masalah)
1
2
3
4
Mahasiswa tidak dapat memberikanalternatif solusi yang mudah dilaksanakandan tidak dilandasi dengan teori yang sesuaiMahasiswa kurang dapat memberikanalternatif solusi yang mudah dilaksanakandan tidak dilandasi dengan teori yang sesuaiMahasiswa dapat memberikan alternatifsolusi yang mudah dilaksanakan tetapi tidakdilandasi dengan teori yang sesuaiMahasiswa dapat memberikan alternatifsolusi yang mudah dilaksanakan dandilandasi dengan teori yang sesuai
6 Melakukan evaluasi(evaluasi berdasarkan fakta,berdasarkan prinsip atau
12
Mahasiswa tidak melakukan evaluasiMahasiswa memberikan evaluasiberdasarkan fakta, berdasarkan prinsip atau
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
P a g e [ 165 ]
No.Aspek yang dinilai dalam
keterampilanmemecahkan masalah
Skor Deskripsi Pencapaian
pedoman, serta memilihalternative solusi ataupemecahan masalah yangpaling tepat)
3
4
pedoman, tetapi tidak memberikanalternativeMahasiswa memberikan evaluasiberdasarkan fakta, berdasarkan prinsip ataupedoman, serta memberikan alternative,tetapi kurang tepatMahasiswa memberikan evaluasiberdasarkan fakta, berdasarkan prinsip ataupedoman, serta memberikan alternativedengan tepat
7 Memecahkan danmenyelesaikan masalah(memilih kemungkinansolusi, dan menentukankemungkinan solusi, sertamenyelesaikan masalahsesuai dengan rencana)
1
2
3
4
Mahasiswa tidak dapat menyelesaikanmasalah dengan tepat dan tidak sesuaidengan rencanaMahasiswa dapat menyelesaikan masalah,tetapi tidak tepat dan tidak sesuai denganrencanaMahasiswa dapat menyelesaikan masalah,tetapi kurang tepat dan kurang sesuai denganrencanaMahasiswa dapat menyelesaikan masalahdengan tepat dan sesuai dengan rencana
Sumber: diolah dari Nurhadi dkk (2004)
Melihat permasalahan yang ada dan agar orang-orang terdidik kelak mempunyai
kemampuan dan keterampilan seperti yang dikemukakan, diperlukan sistem pendidikan
yang berorientasi pada pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, kreatif,
sistematis dan logis (Depdiknas, 2003). Oleh sebab itu perlu diterapkan model Problem
Based Learning guna untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang
berorientasi masalah. Sesuai dengan tujuan Problem Based Learning yaitu membantu
mahasiswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan
keterampilan intelektual, maka mahasiswa diharapkan dapat menggali dan menemukan
sendiri dari pemecahan masalah yang diberikan dosen sehingga dapat memancing proses
belajar mereka. Dalam konsepnya mahasiswa bukan lagi obyek namun sebagai subyek
belajar.
Menurut Punaji Setyosari (2006: 1) menyatakan bahwa Problem Based Learning
adalah suatu metode atau cara pembelajaran yang ditandai oleh adanya masalah nyata, a
real-world problems sebagai konteks bagi mahasiswa untuk belajar kritis dan
keterampilan memecahkan masalah dan memperoleh pengetahuan. Menurut Ward
(dalam I Wayan Dasna dan Sutrisno: 2007) menyatakan bahwa Problem Based Learning
adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan mahasiswa untuk memecahkan suatu
masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga mahasiswa dapat mempelajari
pengetahuan berdasarkan masalah dan memiliki keterampilan untuk memecahkan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 166 ] P a g e
masalah. Dengan Problem Based Learning mahasiswa mampu berfikir kritis dan
mengembangkan inisiatif. Dosen mempunyai peran untuk memberikan inspirasi agar
potensi dan kemampuan mahasiswa dimaksimalkan. Melalui pengembangan kemampuan
tersebut diharapkan mahasiswa akan dapat menyelesaikan permasalahan yang muncul
di lingkungannya dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian Fachrurazi (2011), Terdapat perbedaan peningkatan
berpikir kritis antara mahasiswa yang belajar matematika menggunakan model Problem
Based Learning dengan mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Mahasiswa pada kelas Problem Based Learning mengalami peningkatan kemampuan
berpikir kritis yang lebih tinggi daripada mahasiswa pada kelas konvensional. Senada
dengan penelitian Herman (2007), menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBM)
terbuka dan PBM terstruktur secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan
kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi mahasiswa dibanding pembelajaran
konvensional (biasa). Hal ini juga menguatkan pentingnya penerapan Problem Based
Learning guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan
masalah pada pembelajaran Perilaku Organisasi. Dimana diharapkan mahasiswa dapat
meningkatkan pemahaman kehidupan berorganisasi dengan cara menggali dan
menemukan sendiri dari pemecahan masalah yang diberikan dosen sehingga dapat
memancing proses belajar yang aktif dan kreatif.
Tabel 3. Tahapan-Tahapan PBL
Tahap Tingkah laku dosen
Tahap-1Orientasi mahasiswa padamasalah
Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistikyang dibutuhkan, memotivasi mahasiswa untuk terlibatpada aktifitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap-2Mengorganisasi mahasiswauntuk belajar
Membantu mahasiswa mendefinisikan danmengorganisasikan tugas belajar yang berhubungandengan masalah tersebut
Tahap-3Membimbing penyelidikanindividual dan kelompok
Mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan informasidan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan danpemecahan masalah
Tahap-4Mengembangkan danmenyajikan data
Membantu mahasiswa dalam merencanakan danmenyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video, danmodel dan membantu mereka untuk berbagai tugasdengan temannya
Tahap-5Menganalisis danmengevaluasi prosespemecahan masalah
Membantu mahasiswa untuk melakukan refleksi atauevaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Sumber: Nurhadi, dkk (2004:60)
Kegiatan belajar mengajar dikatakan telah terlaksana dengan baik apabila dosen
dalam proses belajar mengajar bukan hanya memberi pengetahuan saja melainkan juga
menyiapkan situasi yang menggiring mahasiswa untuk berpikir kritis, mampu
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
P a g e [ 167 ]
bekerjasama dalam sebuah kelompok dan mempunyai ketrampilan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan berkelompok atau
berorganisasi. Berdasarkan uraian latar belakang dan kajian pustaka di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1). Bagaimana penerapan
model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah perilaku organisasi. 2).
Bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa setelah penerapan model
pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah perilaku organisasi. 3).
Bagaimana peningkatan keterampilan memecahkan masalah mahasiswa setelah
penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah perilaku
organisasi. 4). Bagaimana respon mahasiswa setelah penerapan model pembelajaran
Problem Based Learning dalam mata kuliah perilaku organisasi. Dan penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan Problem Based Learning dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan ketrampilan memecahkan masalah pada mata kuliah
perilaku organisasi serta untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap proses Problem
Based Learning.
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (Classroom Action
Research). Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan
Administrasi Perkantoran Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi UNESA
angkatan 2012 kelas A yang berjumlah 32 mahasiswa. Lokasi dalam penelitian ini adalah
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya jalan Kampus Ketintang Surabaya. Teknik
pengumpulan data menggunakan observasi dan angket. Penelitian ini akan dilakukan
dalam dua tahap yaitu pendahuluan dan penelitian tindakan. Pendahuluan meliputi
observasi awal pada subjek penelitian. Pada tahap penelitian tindakan terdiri dari
beberapa siklus, mengacu pada Arikunto (2002), tiap siklus melalui 4 tahap yaitu
perencanaan (Planning), tindakan (Action), pengamatan (Observation), dan refleksi
(Reflective).
Penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan ini dinyatakan berhasil apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut: 1). Data ketercapaian tindakan dosen dalam
menerapkan langkah- langkah model Problem Based Learning (problem based learning)
mencapai persentase ≥ 75%”. 2). Data ketercapaian mahasiswa dalam keterampilan
memecahkan masalah mencapai persentase antara 75% - 91% dengan klasifikasi atau
kategori ‘baik’. 3). Data ketercapaian mahasiswa dalam keterampilan berpikir kritis
mencapai persentase antara 75% - 91% dengan klasifikasi atau kategori ‘baik’ (Mulyasa,
2003).
Indikator untuk penerapan langkah-langkah model Pembelajaran Problem Based
Learning dapat dilihat pada Tabel 4.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 168 ] P a g e
Tabel 4. Lembar Observasi Kegiatan Dosen
No. Deskriptor Ya Tidak
1 Dosen menjelaskan Problem Based Learning terdiri atas standarkompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi,dan tujuan pembelajaran pada mata kuliah Perilaku Organisasi.
2 Dosen menginformasikan perlengkapan penting yang diperlukandalam proses pembelajaran dan memotivasi dan mengarahkanmahasiswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah
3 Dosen mengorganisasikan bahasa yang bersifat umum menjadisub-sub pokok bahasan yang lebih sempit dan membantumahasiswa dalam pembentukan kelompok
4 Dosen mengajukan masalah yang bersifat umum, kurangterstruktur, dan aktual
5 Dosen membimbing mahasiswa mendefinisikan danmengorganisasikan tugas-tugas belajar yang berhubungan denganmasalah yang diberikan
6 Dosen memberikan pertanyaan yang provokatif untukmeningkatkan kemampuan tingkat tinggi
7 Dosen memberi kesempatan pada mahasiswa untuk bekerjasamadalam kelompok
8 Dosen memastikan mahasiswa mandiri dalam mencarisumber/informasi untuk memecahkan masalah meskipun bekerjasecara berkelompok
9 Dosen membimbing mahasiswa dalam menganalisis informasisesuai dengan masalah yang dipecahkan.
10 Dosen membimbing mahasiswa dalam merencanakan danmenyiapkan laporan hasil pemecahan masalah.
11 Dosen menugaskan setiap kelompok menyajikan laporan hasilpemecahan masalahnya dalam diksusi kelas
12 Dosen mengelaborasi pengetahuan mahasiswa denganmengajukan pertanyaan Socratik (yaitu pertanyaan yang memintaklarifikasi, menyelidiki asumsi, yang menyelidiki alasan dan bukti,tentang pendapat atau persfektif, menyelidiki implikasi atauakibat) bertujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikirkritis mahasiswa.
13 Dosen melakukan evaluasi dan refleksi terhadap prosespembelajaran yang telah dilakukan
Data penerapan langkah-langkah model pembelajaran Problem Based Learning
dianalisis secara deskriptif berdasarkan ketercapaian tindakan yang dilakukan oleh
dosen. Hal ini akan ditunjukkan dengan banyaknya tanda cek (√) pada kolom “ya” di
lembar observasi presentasi ketercapaian tindakan dosen dengan rumus:
Persentase ketercapaian tindakan dosen = Jumlah tanda (√) pada kolom “ya” x 100
Jumlah total tanda (√)
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
P a g e [ 169 ]
Ketercapaian tindakan dosen pada siklus I diukur dari persentase yang dicapai
dosen pada siklus I. “Tindakan dikatakan tercapai jika persentase telah mencapai ≥ 75%”
(Mulyasa, 2003). Sedangkan ketercapaian tindakan dosen pada siklus II ditentukan
berdasarkan refleksi siklus I. Dari sini dapat terlihat apakah terjadi peningkatan antara
siklus I dan siklus II.
Indikator kemampuan berpikir kritis (lihat tabel 1.1) dianalisis secara deskriptif
berdasarkan persentase ketercapaian kemampuan berpikir kritis sesuai dengan
pedoman penilaian dengan rumus:
Persentase skor tiap mahasiswa = Jumlah skor tiap mahasiswa x 100 %
Jumlah skor ideal
Persentase skor rata-rata mahasiswa =Jumlah persentase skor seluruh mahasiswa
Jumlah mahasiswa
Indikator keterampilan memecahkan masalah (lihat tabel 1.2) dianalisis secara
deskriptif berdasarkan persentase ketercapaian keterampilan memecahkan masalah
dengan pedoman penilaian dengan rumus:
Persentase skor tiap mahasiswa = Jumlah skor tiap mahasiswa x 100 %
Jumlah skor ideal
Persentase skor rata-rata mahasiswa = Jumlah persentase skor seluruh mahasiswa
Jumlah mahasiswa
Sebagai pedoman dalam mengambil keputusan/kesimpulan dari hasil analisis data
dengan menggunakan persentase (%) ditetapkan klasifikasi yang juga mengacu pada pendapat
Arikunto (2002) sebagai berikut.
Tabel 5. Kriteria Persentase Keterampilan Memecahkan Masalah dan KemampuanBerpikir Kritis
No. Persentase Klasifikasi
1. 92% - 100% Baik sekali2. 75% - 91% Baik3. 50% - 74% Cukup baik4. 25% - 49% Kurang baik5. 0% - 24% Tidak baik
Sumber: Arikunto (2002)
Data respon dianalisis secara deskriptif berdasarkan hasil angket yang telah dijawab dan
dikumpulkan oleh mahasiswa, serta didukung juga dari hasil wawancara dengan
beberapa mahasiswa setelah tindakan selesai. Angket yang sudah terisi kemudian diolah
untuk mengambil keputusan rumusnya adalah sebagai berikut.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 170 ] P a g e
P = F x 100%
N
Keterangan:
P = Persentase yang menjawab option
F = Banyaknya responden yang menjawab option
N = Jumlah responden
Tabel 5. Kriteria Angket Respon Mahasiswa Terhadap Problem Based Learning
Kriteria Persentase Kategori67 % - 100 % Setuju / Positif34 % - 66 % Netral / Ragu-ragu0 % - 33 % Tidak setuju / Negatif
Sumber: (adaptasi dari Azwar dalam Anwar, 2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data hasil kemampuan berpikir kritis pada siklus I mahasiswa
memiliki skor terendah 54.16% dan skor tertinggi 87.5% sehingga diperoleh rerata skor
kelas 79.42%. Secara garis besar data kemampuan berpikir kritis siklus I dapat disajikan
dalam tabel berikut:
Tabel 7. Klasifikasi Kemampuan Berpikir Kritis Siklus I
Skor KlasifikasiJumlah
mahasiswaPersentase
92%-100%75% - 91%50% - 74%25% - 49%0% - 24%
Baik sekaliBaik
Cukup baikKurang baikTidak baik
0 mahasiswa25 mahasiswa7 mahasiswa0 mahasiswa0 mahasiswa
0 %78,12 %21,88%
0 %0 %
Berdasarkan data hasil keterampilan memecahkan masalah pada siklus I dapat
diketahui bahwa mahasiswa memiliki skor terendah 57,1% dan skor tertinggi 96,4%
sehingga diperoleh rerata skor kelas 84.99% secara garis besar data keterampilan
memecahkan masalah siklus I dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 8. Klasifikasi Keterampilan Memecahkan Masalah Siklus I
Skor Klasifikasi Jumlahmahasiswa
Prosentase
92% - 100%75% - 91%50% - 74%25% - 49%0% - 24%
Baik sekaliBaik
Cukup baikKurang baikTidak baik
13 mahasiswa13 mahasiswa6 mahasiswa0 mahasiswa0 mahasiswa
40,6 %40,6 %18,8 %
0 %0 %
Berdasarkan data hasil kemampuan berpikir kritis siklus II dapat diketahui bahwa
mahasiswa memiliki skor terendah 62.5% dan skor tertinggi 95.83% sehingga diperoleh
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
P a g e [ 171 ]
rerata skor kelas. 82.29%. Secara garis besar data kemampuan berpikir kritis siklus II
dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 9. Klasifikasi Kemampuan Berpikir Kritis Siklus II
Skor KlasifikasiJumlah
mahasiswaPersentase
92%-100%75% - 91%50% - 74%25% - 49%0% - 24%
Baik sekaliBaik
Cukup baikKurang baikTidak baik
2 mahasiswa25 mahasiswa5 mahasiswa0 mahasiswa0 mahasiswa
6,25 %78,12%15,63 %
0 %0 %
Berdasarkan data hasil keterampilan memecahkan masalah mahasiswa pada
siklus II dapat diketahui mahasiswa memperoleh skor terendah 64,2% dan skor tertinggi
96,4 % sehingga diperoleh rerata skor 86.86% Hasil data membuktikan bahwa
keterampilan memecahkan masalah mahasiswa mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat
dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 10. Klasifikasi Keterampilan Memecahkan Masalah Siklus II
Skor KlasifikasiJumlah
mahasiswaPersentase
92%-100%75% - 91%50% - 74%25% - 49%0% - 24%
Baik sekaliBaik
Cukup baikKurang baikTidak baik
13 mahasiswa16 mahasiswa3 mahasiswa0 mahasiswa0 mahasiswa
40.62 %50 %
9,38 %0 %0 %
Kegiatan Problem Based Learning telah berhasil dilaksanakan pada mahasiswa
Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran angkatan 2012 kelas A sejumlah 32
mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari angket respon mahasiswa yang sebagian besar
pernyataannya menyukai atau mendukung diterapkannya model Problem Based
Learning.
Tabel 12. Persentase Skor Angket Respon Mahasiswa Terhadap Model Problem BasedLearning
No Pernyataan
Jumlah mahasiswayang menjawab
optionSS S TS STS
1 Model Problem Based Learning (MPBM) pada mata kuliahPerilaku Organisasi dapat mencapai tujuan pembelajarandengan baik
0 93,8 6.2 0
2 MPBM sangat tepat untuk memecahkan masalah-masalahpada mata kuliah Perilaku Organisasi
9,7 90.3 0 0
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 172 ] P a g e
No Pernyataan
Jumlah mahasiswayang menjawab
optionSS S TS STS
3 MPBM memotivasi saya untuk belajar secara aktif dankreatif
3,1 96,9
0 0
4 MPBM mendorong saya secara aktif mencari sumber-sumber informasi dari berbagai sumber
6.2 75 18,8 0
5 MPBM sangat membantu saya bekerja sama denganmahasiswa lain dalam memecahkan masalah
6,2 87,6 6,2 0
6 MPBM dapat meningkatkan tanggung jawab saya belajardalam kelompok
6,2 84.5 9,3 0
7 MPBM mendorong setiap anggota kelompok salingmemberi masukan dalam memecahkan masalah
12,5 87,5 0 0
8 MPBM mendorong saya bertanya dalam kelas 6,2 90,7 3,1 09 PBM membantu saya menyampaikan pendapat dalam
kelas0 87,5 12,5 0
10 MPBM mendorong saya berinteraksi dengan anggotakelompok lainnya
0 90,7 9,3 0
11 MPBM dapat meningkatkan partisipasi saya dalamkegiatan belajar mengajar
3,1 84,4 12,5 0
12 MPBM dapat meningkatkan pemahaman saya terhadapmateri pada mata kuliah Perilaku Organisasi
0 100 0 0
13 MPBM dapat membimbing saya belajar secara terstrukturdan bertahap
18,7 78,2 3,1 0
14 MPBM dapat memotivasi saya belajar mandiri di rumah 6,2 78,2 15,6 015 MPBM mendorong saya menyenangi mata kuliah Perilaku
Organisasi0 96.9 3,1 0
16 MPBM merupakan pembelajaran yang sangat tepatditerapkan untuk mengajarkan mata kuliah PerilakuOrganisasi
9,3 84,4 6,2 0
17 MPBM agar terus diterapkan dalam mata kuliah PerilakuOrganisasi
9,3 84,4 6,2 0
18 MPBM agar diterapkan dalam mata kuliah lainnya 0 100 0 019 Saya mengikuti perkuliahan Perilaku Organisasi dengan
perasaan senang12.5 78,2 9,3 0
20 Suasana kelas menyenangkan dan kondusif 15,6 78,2 6,2 0
Berdasarkan hasil observasi Problem Based Learning pada siklus I, diperoleh
persentase keberhasilan pembelajaran sebesar 7,7 %. Pada pembelajaran tersebut dosen
belum memberdayakan pertanyaan provokatif untuk memancing kemampuan berpikir
tingkat tinggi mahasiswa selain itu dosen masih sering membantu mahasiswa dalam
pengerjaan tugas sehingga membuat mahasiswa tidak mandiri. Berdasarkan refleksi
tindakan pembelajaran bersama dosen dan 2 orang observer, dosen dapat meningkatkan
persentase pencapaian pembelajaran siklus berikutnya, Dosen sudah melakukan semua
indikator Problem Based Learning sehingga persentase pencapaian hasil sebesar 9,2 %.
Dari hasil tersebut diketahui adanya peningkatan sebesar 1,5 %. Hal ini sesuai dengan
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
P a g e [ 173 ]
tujuan Problem Based Learning adalah membantu mengembangkan keterampilan
memecahkan masalah dan kemampuan berpikir kritis, keterampilan intelektual, belajar
tentang berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata
atau simulasi dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Nurhadi dkk, 2004:58)
Berdasarkan data hasil tes keterampilan memecahkan masalah pada siklus I dan
siklus II diketahui bahwa rerata skor kelas pada siklus I sebesar 84.99 % dan siklus II
sebesar 86.86% sehingga ada peningkatan sebesar 3,87%. Hal ini dipengaruhi oleh
kreativitas mahasiswa itu sendiri dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang
dihadapinya. Hal ini berarti mahasiswa sudah sesuai dengan langkah-langkah dalam
memecahkan masalah menurut Winkel (1984:93). Langkah-langkah dalam memecahkan
masalah yang dihadapi mahasiswa menurut Winkel adalah ketika mahasiswa dihadapkan
pada satu masalah, mahasiswa harus merumuskan masalah tersebut, lalu mahasiswa
merumuskan hipotesis dari permasalahan tersebut, kemudian mahasiswa mencoba
menguji hipotesis tersebut dengan memikirkan berbagai alternative pemecahan masalah
yang disajikan, langkah terakhir mahasiswa memilih kemungkinan solusi atau
pemecahan masalah yang dipandang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Berdasarkan data hasil kemampuan berpikir kritis pada siklus I dan siklus II
diketahui bahwa rerata skor kelas pada siklus I sebesar 79.42% dan siklus II sebesar
82.29% sehingga ada peningkatan sebesar 2,87%. Peningkatan ini disebabkan karena
sebelum memasuki siklus II mahasiswa sudah memiliki pengalaman dan kemampuan
awal yang diperoleh pada siklus I, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
mahasiswa. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Kronberg dan Griffin (dalam
Marpaung, 2005) yang menyatakan bahwa Problem Based Learning diterapkan untuk
melatih kemampuan berpikir kritis antara lain analisis masalah atau pemecahan masalah.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tindakan pada proses belajar mengajar mata kuliah
Perilaku Organisasi, mahasiswa Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran
angkatan 2012 kelas A maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Penerapan model Problem Based Learning diawali dengan siklus 1 yaitu tahap
perencanaan tindakan, tahap tindakan, tahap pengamatan, dan tahap refleksi,
kemudian hasil refleksi siklus 1 ditindaklanjuti dengan siklus 2 yang tahapannya
sama dengan siklus 1.
2. Berdasarkan tahap pengamatan pada keberhasilan pembelajaran pada siklus 1
sebesar 7,7% dan pada siklus 2 sebesar 9,2% maka peningkatan sebesar 1,5%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning mampu
meningkatkan keberhasilan pembelajaran pada mata kuliah perilaku organisasi
3. Berdasarkan tahap pengamatan pada keterampilan memecahkan masalah pada
siklus 1 sebesar 84.99 % dan siklus 2 sebesar 86.86% maka peningkatan sebesar
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 174 ] P a g e
3,87%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning mampu
meningkatkan keterampilan memecahkan masalah pada mata kuliah perilaku
organisasi
4. Berdasarkan tahap pengamatan pada ketrampilan berpikir kritis pada siklus I
sebesar 79.42% dan siklus II sebesar 82.29% maka peningkatan sebesar 2,87%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning mampu
meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada mata kuliah perilaku organisasi
5. Respon mahasiswa terhadap penerapan Problem Based Learning pada mata kuliah
Perilaku Organisasi rata-rata sangat baik.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan saran bahwa perlu kiranya
mencoba menggunakan model pembelajaran lainnya seperti Student Team Learning
(STL), TGT (Teams Games Tournament), Problem Posing, Problem Solving dan dalam
pelaksanaan model Problem Based Learning guna meningkatkan keterampilan
memecahkan masalah dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa hendaknya
mempertimbangkan kesesuaian materi, karena dibutuhkan waktu yang relative panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar. (2006). Penggunaan Pete Konsep Melalui Model Pembelajaran Kooperatif TipeSTAD Untuk Meningkatkan Proses, Hasil belajar dan Respon pada KonsepEkosistem Mahasiswa Kelas X SMAN 8 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang:Universitas Negeri Malang. PPS Biologi.
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PTRineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi, (2007). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Cabrera, G.A. (1992). A Framework for Evaluating the Teaching of Critical Thinking. DalamR.N Cassel (ed). Education. 113 (1). 59-63.
Depdiknas. (2003). Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SD dan MI. Jakarta:Depdiknas.
Duron, R., dkk. (2006). Critical Thinking Framework for Any Discipline. InternationalJournal of Teaching and Learning in Higher Education Vol. 17: 160-166
Elaine, Johnson. (2007). Contextual Teaching & Learning, Bandung: MLC
Fachrurazi, (2011). Penerapan Problem Based Learning untuk Kemampuan Berpikir Kritis,dan Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Sekolah Dasar. Edisi KhususNo. 1. ISSN 1412-565X.
Gunawan, Adi W. 2003. Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk MenerapkanAccelarated Learning. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Herman, Tatang. (2007). Problem Based Learning untuk Meningkatkan KemampuanBerpikir Matematis Tingkat Tinggi Mahasiswa Sekolah Menengah Pertama.EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari. ISSN: 1907 – 8838
I Wayan Dasna & Sutrisno. (2007). Problem Based Learning. Diambil tanggal 24 April2015, dari http://lubisgrafura.wordpress.com
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
P a g e [ 175 ]
Krulik, S. dan Reys, R.E. (1980). Problem Solving in School Mathematics. Reston, Virginia:NCTM
Marpaung, Rini Rita T. (2005). Penggunaan Lembar kegiatan Berbasis Masalah (LKBM)Sebagai Assesmen Alternatif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis DanHasil Belajar Biologi Mahasiswa Kelas VII SMP Laboratorium Universitas NegeriMalang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas NegeriMalang.
Mulyasa, E. (2009). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bandung: RemajaRosdakarya
Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ni Wyn. Sriasih, dkk. (2014). Pengaruh Ketrampilan Pemecahan Masalah Terhadap HasilBelajar Matematika Mahasiswa Kelas III SD Negeri Banyuning. e-Journal MimbarPGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1)
Nurhadi, dkk. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KurikulumBerbasis Kompetensi. Malang: UM Press.
Punaji Setyosari (2006). Belajar berbasis masalah (Problem based learning). Makalahdisampaikan dalam pelatihan dosen-dosen PGSD FIP UNY di Malang.
Ruseffendi, E.T., (1991), Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini, Tarsito, Bandung
Setiadji, V. Sutarmo. (2012). Otak dan Beberapa Fungsinya. Fakultas Kedokteran UI:Jakarta.
.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 176 ] P a g e
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROJECT BASED LEARNING (PjBL)
UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA PADA
MATERI KONSEP MASALAH EKONOMI
Maria Anita TituUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakModel pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilanpembelajaran. Project based learning (PjBL) merupakan salah satu modelpembelajaran yang mencoba mengaitkan antara teknologi dengan masalahkehidupan sehari-hari yang akrab dengan siswa atau dengan proyek sekolah.Dalam PjBL, peserta didik terdorong lebih aktif dalam belajar. Guru hanyasebagai fasilitator dan evaluator produk hasil kerja peserta didik yangditampilkan dalam hasil proyek. Adanya produk nyata tersebut dapatmendorong kreativitas siswa. Makalah ini bertujuan untuk mengetahuipenerapan model pembelajaran PjBL untuk meningkatkan kreativitas siswa padamateri konsep masalah ekonomi. Dengan penerapan model PjBL dapatmeningkatkan kreativitas siswa pada pembelajaran materi konsep masalahekonomi
Kata kunci: pembelajaran project based learning, kreativitas siswa.
PENDAHULUAN
Pembangunan nasional di Indonesia Dalam Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
bertujuan untuk meningkatkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Berkembangnya dengan sumber daya yang ada melalui pilihan-pilihan kegiatan
produksi, konsumsi, dan distribusi Masalah ekonomi merupakan ilmu tentang perilaku
dan tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bervariasi. Luasnya
ilmu ekonomi dan terbatasnya waktu yang tersedia membuat standar kompetensi dan
kompetensi dasar ini dibatasi dan difokuskan kepada fenomena empirik yang ada dis
ekitar peserta didik, sehingga peserta didik dapat merekam peristiwa ekonomi, masalah
ekonomi yang terjadi di sekitar lingkungannya dan mengambil manfaat untuk kehidupan
yang lebih baik. Permasalahan yang timbul adalah siswa tidak mampu menghubungkan
apa yang mereka pelajari dan bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan.
Karena itu perlu adanya suatu formulasi yang membawa siswa pada tingkat kreativitas
yang lebih, dengan waktu yang cukup, sesuai dengan waktu yang digunakan untuk satu
konsep bahasan, demi tercapainya kurikulum yang sudah ditetapkan di sekolah juga
penggunaan media dan model yang tidak terlalu sulit dapat mempermudah siswa dan
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
P a g e [ 177 ]
guru dalam melaksanakan pembelajaran. Model pembelajaran yang dimaksud adalah
model project based learning. Dalam pokok materi pembahasan masalah ekonomi, harus
betul-betul dipahami oleh siswa, tidak hanya tercapainya kurikulum tetapi bagaimana
siswa dengan kreativitasnya dapat memahami masalah ekonomi di lingkungan
sekitarnya.
Pembelajaran berbasis proyek ini lebih memusatkan pada masalah kehidupan
yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan
memfasilitasi siswa dalam merancang sebuah proyek yang mereka lakukan. Dan ini akan
menambah kreativitas siswa dalam merancangkan sebuah proyek yang kemudian akan
mereka kerjakan dalam waktu yang sudah guru sediakan sesuai dengan konsep yang
diajarkan. Pada akhirnya siswa akan memahami konsep tersebut (baca: konsep masalah
ekonomi) dengan proyek-proyek yang mereka lakukan dan ini akan menambah
kreativitas siswa. Bertitik tolak dari uraian di atas dalam upaya peningkatan kreativitas
siswa dan kualitas pembelajaran Ekonomi perlu mengubah paradigma lama bahwa guru
adalah pengelola. Kegiatan mengajar menggunakan hal yang tidak berorientasi pada
“bagaimana saya belajar (Teacher centered)” tetapi lebih kepada “bagaimana saya
membelajarkan siswa “. Model project based learning sangat penting untuk
meningkatkan kreativitas siswa pada konsep masalah ekonomi. Sehingga penulis
menspesifikasikan pada penerapan model pembelajaran project based learning (Pjbl)
untuk meningkatkan kreativitas siswa pada materi konsep masalah ekonomi. Dalam
meningkatkan kreativitas siswa maka perlu dilihat beberapa hal menyangkut tentang
bagaimana penerapan model pembelajaran project based learning (Pjbl) untuk
meningkatkan kreativitas siswa pada materi konsep Masalah Ekonomi, sehingga kita
dapat mengetahui tujuan dari penerapan model pembelajaran project based learning
untuk meningkatkan kreativitas siswa pada konsep masalah ekonomi.
PEMBAHASAN
Model Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa,
sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20 “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Sudjana (2004:28)
“Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk
menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara
peserta didik(warga belajar) dan pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan
membelajarkan”. Trianto (2010:17)“Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia
yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan”. Pembelajaran secara simple
dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan
pengalaman hidup. Pembelajaran dalam makna kompleks adalah usaha sadar dari
seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan
sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 178 ] P a g e
Pembelajaran bertujuan membantu siswa agar memperoleh berbagai pengalaman
dan dengan pengalaman itu tingkah laku siswa yang meliputi pengetahuan, keterampilan,
dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku siswa menjadi
bertambah, baik kuantitas maupun kualitasnya. Dalam keseluruhan proses pendidikan di
sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa
keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses
pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Pemahaman seseorang guru terhadap
pengertian pembelajaran akan sangat mempengaruhi cara guru itu mengajar.
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola atau suatu desain
yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang
memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada
diri siswa dalam proses digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran
di kelas atau pembelajaran dalam tutorial (Trianto, 2011: 51). Model pembelajaran
adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Adapun
Soekamto, dkk (dalam Nurulwati, 2000: 10) mengemukakan maksud dari model
pembelajaran adalah “kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,
dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar
dalam merencanakan aktivitas belajar.” Menurut Khabibah (dalam Trianto, 2006: 27),
bahwa untuk melihat tingkat kelayakan suatu model pembelajaran untuk aspek validitas
dibutuhkan ahi dan praktisi untuk memvalidasi model pembelajaran yang
dikembangkan. Sedangkan untuk aspek kepraktisan dan efektivitas diperlukan suatu
perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Sehingga untuk melihat kedua aspek ini
perlu dikembangkan suatu perangkat pembelajaran untuk suatu topik tertentu yang
sesuai dengan mode pembelajaran yang dikembangkan. Arends (2001: 24),
menyelesaikan enam model pengajaran yang sering dan praktis digunakan guru dalam
mengajar yaitu presentasi, pengajaran langsung, pengajaran konsep, pembelajaran
kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah, dan diskusi kelas. Dengan menguasai
beberapa model pembelajaran, maka seorang guru dan dosen akan merasakan adanya
kemudahan di dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, sehingga tujuan pembelajaran
yang hendak kita capai dalam proses pembelajaran dapat tercapai dan tuntas sesuai yang
diharapkan.
Model Pembelajaran Project Based Learning (PjBL)
Pembelajaran berbasis proyek (PjBL ) merupakan penerapan dari pembelajaran
aktif. Secara sederhana pembelajaran berbasis proyek didefinisikan sebagai suatu
pengajaran yang mencoba mengaitkan antara teknologi dengan masalah kehidupan
sehari-hari yang akrab dengan siswa, atau dengan proyek sekolah. Menurut (Trianto,
2011: 51) model pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang amat besar untuk
membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermanfaat bagi peserta didik
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
P a g e [ 179 ]
(Santyasa, 2006: 12 ).Dalam pembelajaran berbasis proyek, peserta didik terdorong lebih
aktif dalam belajar. Guru hanya sebagai fasilitator, mengevaluasi produk hasil kerja
peserta didik yang ditampikan dalam hasil proyek yang dikerjakan, sehingga
menghasilkan produk nyata yang dapat mendorong kreativitas siswa agar mampu
berpikir kritis dalam menganalisa faktor dalam konsep masalah ekonomi.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia “Proyek adalah rencana pekerjaan
dengan sasaran khusus dan dengan saat penyelesaian yang tegas”. Joel L Klein et. Al
dalam Widyantini (2014) menjelaskan bahwa “Pembelajaran berbasis proyek adalah
strategi pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk memperoleh pengetahuan dan
pemahaman baru berdasar pengalamannya melalui berbagai presentasi”. Menurut
Thomas, dkk (1999) dalam Wena (2010) disebutkan bahwa Pembelajaran berbasis
proyek merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru
untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek.
Keuntungan Model Pembelajaran Project Based Learning adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan motivasi belajar siswa. Laporan-laporan tertulis tentang proyek itu
banyak yang mengatakan bahwa siswa suka tekun sampai kelewat batas waktu,
berusaha keras dalam mencapai proyek. Guru juga melaporkan pengembangan dalam
kehadiran dan berkurangnya keterlambatan. Siswa melaporkan bahwa belajar dalam
proyek lebih fun daripada komponen kurikulum yang lain.
2. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan
keterampilan kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk
terlibat di dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran
khusus pada bagaimana menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang
mendiskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih
aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
3. Meningkatkan kolaborasi. Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan
siswa mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi. Kelompok
kerja kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi online adalah aspek-aspek
kolaboratif dari sebuah proyek. Teori-teori kognitif yang baru dan konstruktivistik
menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial, dan bahwa siswa akan belajar
lebih di dalam lingkungan kolaboratif.
4. Meningkatkan keterampilan mengelola sumber. Bagian dari menjadi siswa yang
independen adalah bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks.
Pembelajaran Berbasis Proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan
kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat
alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan
tugas.
Kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek ini antara lain:
1. Kebanyakan permasalahan “dunia nyata” yang tidak terpisahkan dengan masalah
kedisiplinan, untuk itu disarankan mengajarkan dengan cara melatih dan
memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 180 ] P a g e
2. Memerlukan banyak waktu yang harus diselesaikan untuk menyelesaikan masalah.
3. Membutuhkan biaya yang cukup banyak
4. Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur
memegang peran utama di kelas.
5. Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
Langkah-Langkah Pembelajaran Based learning (Pjbl)
Pembelajaran PjBL secara umum memiliki pedoman langkah: planning
(perencanaan), creating (mencipta atau implementasi), dan processing (pengolahan),
(Munandar, 2009).adalah sebagai berikut: Pertama, Planning, Pada tahapan ini kegiatan
yang dilakukan adalah a) merancang seluruh proyek, kegiatan dalam langkah ini adalah:
mempersiapkan proyek, secara lebih rinci mencakup: pemberian informasi tujuan
pembelajaran, guru menyampaikan fenomena nyata sebagai sumber masalah,
pemotivasian dalam memunculkan masalah dan pembuatan proposal, b) mengorganisir
pekerjaan, kegiatan dalam langkah ini adalah: merencanakan proyek, secara lebih rinci
mencakup: mengorganisir kerjasama, memilih topik, memilih informasi terkait proyek,
membuat prediksi, dan membuat desain investigasi. Kedua Creating, Dalam tahapan ini
siswa mengembangkan gagasan-gagasan proyek, mengkombinasikan ide yang muncul
dalam kelompok, dan membangun proyek. Tahapan kedua ini termasuk aktivitas
pengembangan dan dokumentasi. Pada tahapan ini pula siswa menghasilkan suatu
produk (artefak) yang nantinya akan dipresentasikan dalam kelas. Ketiga, Processing,
Tahapan ini meliputi presentasi proyek dan evaluasi. Pada presentasi proyek akan terjadi
komunikasi secara aktual kreasi ataupun temuan dari investigasi kelompok, sedangkan
pada tahapan evaluasi akan dilakukan refleksi terhadap hasil proyek, analisis dan
evaluasi dari proses-proses belajar.
Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning
Tantangan masa depan yang selalu berubah sekaligus persaingan yang semakin
ketat memerlukan keluaran pendidikan yang tidak hanya terampil dalam suatu bidang
tetapi juga kreatif dalam mengembangkan bidang yang ditekuni. Hal tersebut perlu
dimanifestasikan dalam setiap mata pelajaran di sekolah, termasuk mata pelajaran
ekonomi. Kreatif sangat penting untuk ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran
kepada peserta didik, khususnya dalam pembelajaran ekonomi. Dengan suatu model
pembelajaran yang tepat kreativitas siswa dapat ditingkatkan.
Kegiatan pembelajaran ekonomi, guru kebanyakan menggunakan metode
ceramah dan memberi catatan dalam menyampaikan materi pelajaran. Hal ini
menyebabkan siswa menjadi cepat jenuh dan kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Jika tidak dilakukan perubahan dalam proses pembelajaran, maka sikap siswa tetap pasif,
level berpikirnya pun hanya pada tahap mengingat, hafalan dan jika diberi soal berpikir
dan konseptual mereka tidak mampu menyelesaikannya. Akhirnya nilai yang dicapai
rendah. Oleh sebab itu, untuk menciptakan proses pembelajaran yang lebih efektif,
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
P a g e [ 181 ]
meningkatkan interaksi yang terjadi pada siswa, meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif dan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, maka perlu ada model
pembelajaran yang tepat di dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran memegang
peranan sangat penting dalam rangkaian sistem pembelajaran. Maka dari itu diperlukan
kecerdasan dan kemahiran guru dalam memilih metode pembelajaran. Pemilihan model
yang kurang tepat menjadikan pembelajaran tidak efektif. Kurangnya kecerdasan guru
dalam memilih model yang tepat dapat berdampak pada ketidaktercapainnya tujuan
pembelajaran baik secara khusus per bidang studi maupun tujuan pendidikan nasional.
Upaya yang akan ditempuh untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif
siswa dalam mata pelajaran ekonomi terutama pada materi tentang masalah ekonomi
yaitu dengan menerapkan metode pembelajaran berbasis proyek (Project Based
Learning). Dalam pembelajaran dengan metode ini siswa akan berkolaborasi dengan
guru bidang studi, belajar dalam tim kolaboratif. Ketika siswa belajar dalam tim, siswa
akan menemukan keterampilan merencanakan, berorganisasi, negosiasi, dan membuat
konsensus tentang hal-hal yang akan dikerjakan. Model pembelajaran proyek (project
based learning)dapat menjadi sebuah model alternatif dalam semua mata pelajaran dan
memberikan nuansa baru dalam pembelajaran yang cenderung konvensional.
Pembelajaran berbasis proyek memfokuskan pada pertanyaan atau masalah yang
mendorong menjalani konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Pembelajaran berbasis proyek
juga melibatkan siswa dalam investigasi konstruktif. Investigasi ini dapat berupa desain,
pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, penemuan atau proses
pembangunan model. Dalam Pembelajaran berbasis proyek, aktivitas tersebut harus
meliputi transformasi dan konstruksi pengetahuan pada pihak siswa. Pembelajaran ini
mendorong siswa mendapatkan pengalaman belajar sampai pada tingkat yang signifikan.
Pembelajaran berbasis pada proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu kerja
yang tidak bersifat rumit, dan tanggung jawab siswa. Sasaran bagi pembelajaran berbasis
proyek adalah produk yang dihasilkan.
Wati, Linda (2013) dalam penelitian tentang Penerapan Model Pembelajaran
Project Based Learning Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa MAN I Kebumen bahwa
hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran
fisika melalui pembelajaran project based learning dapat meningkatkan kreativitas siswa
kelas X.6 MAN I Kebumen mengungkapkan tentang meningkatnya rerata presentasi hasil
observasi angket test essay, dan hasil belajar siswa. Sebelum penggunaan model project
based learning observasi kreativitas aspek psikomotorik siswa diperoleh 56,31%, pada
siklus I terdapat peningkatan menjadi 63, 40% dan siklus II mengalami peningkatan lagi
didapatkan 78,63%. Presentasi angket sikap kreativitas siswa meningkat menjadi
60.78% dan meningkat lagi pada siklus II menjadi 78, 94%. Test kreativitas berpikir
siswa sebelum dikenai PTK diperoleh 59,53%, pada siklus I meningkat menjadi 67,78%
dan pada siklus II meningkat lagi 80,92 %. Hasil belajar sebelum diterapkan project
based learning dengan presentasi rerata ketuntasan 47,36%, pada siklus I mengalami
kenaikan 52,63% jumlah siswa yang tuntas adalah 20 siswa, dan pada siklus II meningkat
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 182 ] P a g e
menjadi 78,94% dengan jumlah siswa yang tuntas adalah 30 siswa. Sehingga
pembelajaran berbasis proyek (project based learning) memiliki potensi yang amat besar
untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna untuk siswa. Di
dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa menjadi terdorong lebih aktif di dalam
belajar mereka, instruktur berposisi di belakang dan siswa berinisiatif, instruktur
memberi kemudahan dan mengevaluasi proyek baik kebermaknanya maupun
penerapannya untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat siswa selama
proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau instruktur di
dalam pembelajaran. Oleh karena itu, di dalam pembelajaran berbasis proyek, guru atau
instruktur tidak lebih aktif dan melatih secara langsung, akan tetapi instruktur menjadi
pendamping, fasilitator, dan memahami pikiran siswa.
Kreatifitas
Kreativitas merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, yaitu kebutuhan
akan perwujudan diri (aktualisasi diri) dan merupakan kebutuhan paling tinggi bagi
manusia (Maslow, dalam Munandar, 2009). Pada dasarnya, setiap orang dilahirkan di
dunia dengan memiliki potensi kreatif. Kreativitas dapat diidentifikasi dan dipupuk
melalui pendidikan yang tepat (Munandar, 2009). Kreativitas meliputi baik ciri-ciri
aptitude seperti kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan keaslian (originality)
dalam pemikiran, maupun ciri-ciri non aptitude, seperti rasa ingin tahu, senang
mengajukan pertanyaan dan selalu ingin mencari pengalaman-pengalaman baru, serta
kreativitas adalah kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab
masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif (Hurlock, 2004).
Jadi kreativitas belajar dapat diartikan sebagai kemampuan siswa menciptakan
hal-hal baru dalam belajarnya baik berupa kemampuan mengembangkan kemampuan
formasi yang diperoleh dari guru dalam proses belajar mengajar pengetahuan sehingga
dapat membuat kombinasi yang baru dalam belajarnya. Adapun ciri-ciri dari kreativitas:
(1) Kelancaran berpikir (fluency of thinkin), yaitu kemampuan untuk menghasilkan
banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran
berpikir, yang ditekankan adalah kuantitas, dan bukan kualitas; (2) Keluwesan berpikir
(flexibility), yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau
pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang
yang berbeda-beda, mencari alternatif atau arah yang berbeda-beda, serta mampu
menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang yang kreatif
adalah orang yang luwes dalam berpikir. Mereka dengan mudah dapat meninggalkan
cara berpikir lama dan menggantikannya dengan cara berpikir yang baru. (3) Elaborasi
(elaboration), yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan
atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi
lebih menarik; (3) Originalitas (originality), yaitu kemampuan untuk mencetuskan
gagasan unik atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli.
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
P a g e [ 183 ]
Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas belajar siswa (Munandar, 2004:
113-114), yaitu: (1) Kebebasan, di mana orang tua yang percaya untuk memberikan
kebebasan kepada anak cenderung mempunyai anak kreatif. Mereka tidak otoriter, tidak
selalu mau mengawasi dan mereka tidak terlalu membatasi kegiatan anak; (2) Aspek,
anak yang kreatif biasanya mempunyai orang tua yang menghormati mereka sebagai
individu, percaya akan kemampuan mereka dan menghargai keunikan anak
(3) Kedekatan emosional yang sedang, kreativitas anak dapat dihambat dengan suasana
emosional yang mencerminkan rasa permusuhan, penolakan dan terpisah; (4) Prestasi
bukan angka, orang tua anak kreatif menghargai prestasi anak, mereka mendorong anak
untuk berusaha sebaik-baiknya dan menghasilkan karya-karya yang baik.; (5)
Menghargai kreativitas, anak yang kreatif memperoleh dorongan dari orang tua untuk
melakukan hal-hal yang kreatif. Salah satu faktor yang mempengaruhi kreativitas anak,
yaitu sikap dari orang tua. Di mana sudah lebih dari tiga puluh tahun pakar psikologis
mengemukakan bahwa sikap dan nilai orang tua berkaitan erat dengan kreativitas anak
jika kita menggabungkan hasil penelitian di lapangan dengan teori-teori penelitian
laboratorium mengenai kreativitas dengan tes psikologis kita memperoleh petunjuk
bagaimana sikap orang tua secara langsung mempengaruhi kreativitas anak mereka.
Kegiatan mengajar sehari-hari dapat digunakan sejumlah strategi khusus yang
dapat meningkatkan kreativitas. Di mana penilaian guru terhadap pekerjaan siswa dapat
dilakukan dengan cara memberikan umpan balik berarti daripada evaluasi yang abstrak
dan tidak jelas, melibatkan siswa dalam menilai pekerjaan mereka sendiri dan belajar
dari kesalahan mereka dan penekanan terhadap “apa yang telah kamu pelajari” dan
bukan pada “bagaimana melakukannya”. Namun ada terkadang anak senang menerima
hadiah dan kadang-kadang melakukan segala sesuatu untuk memperolehnya. Hadiah
yang terbaik untuk pekerjaan yang baik adalah kesempatan menampilkan dan
mempresentasikan pekerjaan sendiri dan pekerjaan tambahan. Sehingga sedapat
mungkin berilah kesempatan kepada anak memilih apa yang nyaman bagi dia selama hal
itu sesuai dengan ketentuan yang ada.
Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning Pada Konsep Masalah
Ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Planning, dalam pelaksanaannya meliputi persiapan proyek dan perencanaan proyek.
Pada tahap ini menghadapkan siswa pada masalah rill di lapangan, dan mendorong
mereka untuk mengidentifikasi masalah tersebut yang selanjutnya siswa diminta
menemukan alternatif pemecahan masalah yang siswa temukan di lapangan serta
mendesain model pemecahan masalah. Contoh dari masalah ekonomi adalah
pengangguran. Pengertian pengangguran, penyebab pengangguran, dampak dari
pengangguran.
2. Creating, yaitu pelaksanaan proyek yang memberikan kesempatan seluas-luasnya
pada siswa untuk merancang dan melakukan laporan investigasi serta
mempresentasikan laporan (produk) baik secara lisan maupun tulisan dimana dalam
hal ini penerapan project based learning pada konsep materi masalah ekonomi yaitu
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 184 ] P a g e
(1) Pengertian pengangguran adalah Pengangguran adalah penduduk yang tidak
bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan atau mempersiapkan suatu usaha baru atau
penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima
bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja; (2) Penyebab
pengangguran adalah Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan
kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya.
Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan
adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang
sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial
lainnya; (3) Dampak pengangguran adalah Timbulnya masalah kemiskinan,
meningkatnya tindakan kriminal, dapat memacu dan meningkatnya jumlah anak
jalanan, masyarakat tidak mampu mengoptimalkan kesejahteraan hidupnya,
meningkatnya jumlah anak putus sekolah.
3. Processing, aktivitas pada tahap ini meliputi presentasi proyek dan evaluasi proyek.
Kelompok yaitu mengkomunikasikan secara aktual kreasi atau temuan dari
investigasi kelompok termasuk refleksi dan tindak lanjut proyek-proyek: evaluasi,
dilakukan pada tahap ini meliputi evaluasi teman sebaya, evaluasi diri dan portofolio
mengacu pada sintaks PjBL tersebut, secara umum dapat disampaikan dalam
pembelajaran berbasis proyek siswa dapat belajr secara aktif untuk merumuskan
masalah, melakukan penyelidikan, menganalisis dan menginterpretasikan data, serta
mengambil keputusan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dampaknya
pengangguran pada konsep materi masalah ekonomi pada pengangguran, di mana
meningkatnya jumlah pengangguran, perlu diupayakan solusi yang dapat, sekurang-
kurangnya, menurunkan angka pengangguran dalam suatu negara dan memperbaiki
perekonomian negara tersebut. Sehingga untuk mengatasi masalah tersebut maka
pemerintah mengadakan atau menyediakan lapangan kerja yang tidak terlalu
menuntut tingkat pendidikan khusus, melainkan keterampilan. Dalam hal ini,
pemerintah dapat menjalin kerjasama dengan pihak-pihak swasta dan dengan
investor asing. Pemerintah mengubah sistem pendidikan Indonesia dan kurikulum
pendidikan, yaitu menerapkan pendidikan berbasiskan entrepreneurship dan bisnis
sejak pendidikan tingkat dasar dan pendidikan menengah. Apalagi di era modern ini
dan diterapkannya pasar bebas di beberapa kawasan) serta pemerintah
menyediakan lembaga-lembaga pembinaan dan pelatihan khusus dan gratis. Ini
diperlukan terkhusus untuk mereka yang tidak sempat atau tidak mampu menimba
ilmu di sekolah-sekolah formal, sehingga mereka pun dapat memiliki keterampilan
khusus yang diperlukan. Dengan demikian, mereka memiliki modal (Human Capital)
untuk bekerja.
Pemahaman materi pengangguran dengan menggunakan model pembelajaran
project based learning menghasilkan pencapaian ketuntasan belajar yang maksimal,
karena siswa langsung berhadapan dengan realita permasalahan pengangguran di
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
P a g e [ 185 ]
lapangan sehingga siswa mampu memahami masalah ekonomi khususnya permasalahan
pengangguran. Oleh sebab itu dengan penerapan model pembelajaran project based
learning siswa dapat berpikir kreatif dengan tujuan agar setelah lulus siswa tidak
menjadi pengangguran. Dengan penerapan model pembelajaran project based learning
siswa mampu mencari dan dapat menemukan langsung tentang masalah ekonomi
khususnya pengangguran dan dapat mengerti dan memahami konsep pokok dari
masalah ekonomi yaitu pengangguran.
SIMPULAN
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran
project based learning (PjBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang mampu
mendukung pelaksanaan pendidikan pada konsep masalah ekonomi karena PjBL
mendukung penerapan pembelajaran kehidupan nyata dan pengalaman (real life and
experiential learning) sehingga pendidikan masalah ekonomi bisa berjalan dengan efektif.
Model Pembelajaran Project Based Learning merupakan suatu model
pembelajaran yang menyangkut pemusatan pertanyaan dan masalah yang bermakna,
pemecahan masalah, pengambilan keputusan, proses pencarian berbagai sumber,
pemberian kesempatan kepada anggota untuk bekerja secara kolaborasi, dan menutup
dengan presentasi produk nyata”.
Penerapan pembelajaran project based learning sangat mendukung kreativitas
siswa di mana Kreativitas adalah kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru
dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Kreativitas meliputi baik ciri-ciri
aptitude seperti kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan keaslian (originality)
dalam pemikiran, maupun ciri-ciri non aptitude, seperti rasa ingin tahu, senang
mengajukan pertanyaan dan selalu ingin mencari pengalaman-pengalaman baru.
Sehingga penerapan model pembelajaran project based learning dapat dijadikan
alternatif dalam meningkatkan kreativitas siswa pada materi konsep masalah ekonomi.
Bagi guru selanjutnya dengan menggunakan model pembelajaran project based learning
diperlukan kemampuan dalam mengkoordinir kelas dan waktu sehingga pembelajaran
dapat berjalan dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard. (2001). Classroom Instructional Management. New York: The Mc Graw-Hill Company.
Hurlock, Elizabeth B. (2004). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Munandar . (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka CIpta.
Munandar. (2004). Faktor yang Mempengaruhi Kreativitas Belajar Siswa. Jakarta: RinekaCipta.
Nurulwati. (2000). Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, dan ModelPembelajaran. Dipetik April 18, 2015, dari http://tricepti 4042.blogspot.com
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 186 ] P a g e
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003.Jakarta: Sekretariat Negara.
Santyasa. (2006, April 27). Pembelajaran Inovatif: Model Kolaboratif, Basis, dan OrientasiNOS. Seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, hal. 12.
Santyasa. (2006, Februari 23). Pembelajaran Inovatif: Model Pembelajaran BerbasisProyek dan Orientasi NOS. Seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP NEGERISingaraja, hal. 12.
Sudjana, Nana. (2004). Dasar- Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar BaruAlgensindo.
Thomas, J.W. (1999). Project Based Learning: A Handbook of Middle and high SchoolTeacher. New York: The Buck Institute for Education.
Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.
Trianto. (2011). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.
Wati, Linda. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning UntukMeningkatkan Kreativitas Siswa MAN I Kebumen. Jurnal Pendidikan Vol 3 No1, 43.
Widyantini. (2014). Laporan Penelitian Pengembangan Model Pembelajaran Project BasedLearning dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: PPPTK.
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
P a g e [ 187 ]
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING
DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA
Siti Sri WulandariUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakPenelitian ini mendeskripsikan penerapan pembelajaran dengan pendekatanProblem Based Learning yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritismahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran. Jenis penelitian yangdigunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Analisis yang digunakan dalampenelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Hasilnya menunjukkan bahwarata-rata nilai keberhasilan dari data aktivitas dosen dalam setiap siklusnyamengalami kenaikan yaitu pada siklus I sebesar 5.11 dan siklus II sebesar 5.88.Untuk rata-rata nilai keberhasilan dari kemampuan berpikir kritis mahasiswadalam setiap siklusnya juga mengalami kenaikan yaitu pada siklus I sebesar 58,4meningkat 21,4 pada siklus II menjadi 80 dari kategori cukup kritis meningkatmenjadi kategori kritis.
Kata kunci: Pembelajaran, Problem Based Learning, Berpikir kritis.
PENDAHULUAN
Setiap manusia memiliki keinginan berhasil di dalam hidupnya, salah satu
keberhasilan itu dapat berupa bidang pendidikan. Pendidikan merupakan sarana
terpenting untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan negara. Hal ini karena pendidikan
merupakan proses budaya yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Pendidikan itu sendiri berlaku seumur hidup dan dilakukan dalam lingkungan,
keluarga, pendidikan formal (sekolah) dan masyarakat. Untuk itu, pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Negara. Menurut Undang-
undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
pasal 1 menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Proses pendidikan yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar yang
kondusif dan menyenangkan. Pendidikan juga harus berorientasi pada peserta didik dan
peserta didik harus dipandang sebagai seorang yang sedang berkembang dan memiliki
potensi. Tugas pendidik adalah mengembangkan potensi yang dimiliki mahasiswa.
Berdasarkan pengamatan, diperoleh fakta bahwa dosen dalam mengembangkan
kompetensi mahasiswa masih menggunakan metode ceramah, cara mengajar yang
digunakan dalam menyampaikan informasi tentang suatu pokok permasalahan secara
lisan. Meskipun telah menerapkan diskusi kelas yang bersifat tradisional tanpa disertai
contoh penerapan dalam kehidupan nyata sehingga mahasiswa di kelas menjadi pasif,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 188 ] P a g e
bahkan ada mahasiswa yang bosan dikarenakan hanya mendengarkan dan terpaku pada
apa yang dikatakan oleh dosen dan sesekali mencatat, sehingga pembelajaran menjadi
kurang bermakna. Kegiatan pembelajaran yang dimaksud adalah proses belajar mengajar
pada mata kuliah ilmu komunikasi.
Oleh karena itu, karakteristik pembelajaran standar kompetensi memahami dan
mengimplementasikan ilmu komunikasi dalam proses pendidikan dan pembelajaran
mulai dari tahap dasar sampai dengan evaluasi menghendaki pemahaman tidak hanya
pada persoalan-persoalan substansi atau muatan akademik semata, akan tetapi juga
menuntut adanya kemampuan interaksi sosial dari mahasiswa. Kompetensi dasar
memahami faktor-faktor komunikasi dalam pendidikan cukup erat dengan realitas
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Kemampuan berpikir kritis diperlukan
dalam pembelajaran pada mata kuliah Ilmu Komunikasi, terutama dalam Kompetensi
Dasar memahami faktor-faktor komunikasi dalam pendidikan. Sesuai dengan tujuan
pembelajaran Berbasis Masalah yaitu membantu siswa mengembangkan kemampuan
berpikir, memecahkan masalah, dan ketrampilan intelektual, maka siswa dituntut
memiliki kemampuan berpikir kritis. Melalui pembelajaran Ilmu Komunikasi diharapkan
mahasiswa mampu menganalisis dan melahirkan alternatif pemecahan masalah.
Menurut La Costa dalam Sanjaya (2006:105) mengklasifikasikan berpikir menjadi
tiga yaitu teaching of thinking, teaching for thinking, and teaching about thinking.
Kemampuan berpikir kritis dapat meningkatkan partisipasi dengan peserta didik dalam
membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, berpikir kritis, dan
mengadakan justifikasi. Oleh karena itu, adanya keterampilan berpikir kritis diharapkan
mahasiswa tak hanya memahami fakta sebatas hafalan tetapi juga dapat merasa bahwa
fakta-fakta atau masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat yang disampaikan oleh
dosen berada di sekitar kehidupan sehari-hari mereka. Berdasarkan uraian latar
belakang di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) Penerapan
model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah Ilmu Komunikasi (2)
Pembelajaran Berbasis Masalah mampu membantu mahasiswa dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kritis memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam
masyarakat.
METODE
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Subjek
penelitian ini adalah mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran angkatan 2012
berjumlah 32. Lokasi dalam penelitian ini di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Surabaya. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan instrument non tes.
Analisis data menggunakan deskriptif, tabel, persentase. Untuk menganalisis hasil
penilaian yang diberikan oleh pengamat terhadap kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran dengan cara menghitung rata-rata skor penilaian oleh dua orang pengamat
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
P a g e [ 189 ]
menggunakan interval skor 1 sampai dengan 4, dengan ketentuan kriteria sebagai
berikut:
1 = tidak baik 3 = baik
2 = kurang baik 4 = sangat baik
Selanjutnya rata-rata di atas akan dikonversi menggunakan ketentuan sebagai berikut:
1.00 − 1.50 = Tidak baik/ tidak terlaksana
1.50 − 2.49 = kurang baik/ terlaksana dengan kurang baik
2.50 – 3.49 = cukup baik/ terlaksana dengan cukup baik
3.50 – 4.49 = baik/ terlaksana dengan baik
4.50 – 5.50 = baik sekali/ terlaksana dengan sangat baik (Kunandar, 2008:235).
Untuk menganalisis hasil tes kemampuan berpikir kritis diperiksa dan diberi skor.
Pemberian skor disesuaikan dengan skor maksimal per butir soal. Mengubah skor
kualitatif menjadi skor kuantitatif, yakni mengubah opsi yang diperoleh dari lembar
observasi dalam bentuk angka atau nilai. Penilaian ini menggunakan skala likert yakni
dengan menggunakan 4 opsi yaitu: (1) Sangat Kritis: skor 4. (2) Kritis: skor 3 (3) Cukup
Kritis: skor 2 (1) Kurang Kritis: skor 1 (Arikunto, 2010:146). Selanjutnya dihitung
persentase penguasaan tes kemampuan berpikir kritis dengan rumus:
P = n x 100 %N
Keterangan:
P = persentase kemampuan berpikir kritis
n = jumlah skor yang diperoleh
N = jumlah skor maksimal yang diharapkan
Tabel 1. Kriteria Berpikir Kritis Mahasiswa
No Rentang Skor Kriteria1 81-100% Sangat Kritis2 63-80% Kritis3 43-62% Cukup Kritis4 25-42% Kurang Kritis
Pada tahap penelitian tindakan terdiri dari beberapa siklus, tiap siklus melalui 4
tahap yaitu perencanaan (planning), tindakan (Action), pengamatan (Observation), dan
refleksi (Reflective). Pelaksanaan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam
dua kali putaran dan tiap putaran pada penelitian ini mengikuti alur rancangan penelitian
tindakan. Garis besar penelitian disusun sesuai rancangan penelitian tindakan kelas
(PTK) dalam bentuk bagan seperti yang digambarkan sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 190 ] P a g e
Gambar 1. Alur Penelitian Tindakan Kelas (Sumber: Suharsimi Arikunto, 2010)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada
siklus I.
Tabel 1. Aktivitas Dosen Pada Siklus I
No Aspek yang diamatiPengamat Total
KategoriP1 P2 Skor
I PENGAMATAN KBMA. PENDAHULUAN1. Membimbing berdo’a sesuai dengan agama dan
keyakinan masing-masing.4 4 4 Baik
2. Memberikan kesempatan kepada mahasiswauntuk menggali informasi.
4 4 4 Baik
3. Mengorientasikan masalah yang akan dicaripemecahannya secara berkelompok.
3 3 3 Cukup Baik
4. Mengkomunikasikan tujuan pembelajaranproduk, proses, psikomotor, perilaku berkarakterdan keteramplan social.
3 3 3 Cukup Baik
B. KEGIATAN INTI5.Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar dengan
cara memberikan LKM.4 4 4 Baik
6.Mengungkapkan hal-hal yang tidak dimengertidalam LKM serta membantu temannya yangkesulitan
4 4 4 Baik
7.Memecahkan masalah yang telah dipilih 3 3 3 Cukup Baik
Perencanaan
SIKLUS I
Refleksi
Perencanaan
SIKLUS I I
Refleksi
Tindakan dan
Pengamatan
Tindakan dan
Pengamatan
Revisi
Revisi
?
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
P a g e [ 191 ]
No Aspek yang diamatiPengamat Total
KategoriP1 P2 Skor
8.Melakukan penyelidikan setahap demi setahapdiawali dari perumusan masalah.
4 4 4 Baik
9. Merumuskan hipotesis atas rumusan masalahyang telah dibuat
4 4 4 Baik
10.Menguji hipotesis yang sudah dirumuskan 4 4 4 Baik11.Mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi
yang telah dibuat.3 3 3 Cukup Baik
12.Menyajikan hasil diskusi dengan penuhtanggung jawab
4 4 4 Baik
C. KEGIATAN PENUTUP13. Bersama-sama menganalisis dan evaluasi
pemecahan masalah4 4 4 Baik
II SUASANA KELAS14. Siswa Antusias 4 4 4 Baik15. Guru Antusias 4 4 4 Baik16. Waktu sesuai dengan alokasi 3 3 3 Cukup Baik17. KBM sesuai dengan RPS 3 4 3.5 Baik
Jumlah skor yang didapat 3.68 BaikNilai 5.11 Baik Sekali
Berdasarkan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa aktivitas dosen berdasarkan
pengamatan menunjukkan jumlah skor yang didapat 3.68. Jumlah skor tersebut
diperoleh dari penilaian terhadap 17 komponen pelaksanaan kegiatan pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Keberhasilan pelaksanaan
model pembelajaran dapat dihitung dengan rumus:
Nilai = Skor yang didapat X 100
Skor Maksimum
Nilai = 3.68 X 100
68
= 5.11
Berdasarkan criteria keberhasilan maka nilai 5.11 pada aktivitas dosen pada
siklus I dapat dikategorikan baik. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada siklus I ada 5
indikator yang harus diperbaiki dalam aktivitas dosen yang memiliki nilai cukup baik.
Pada kegiatan pendahuluan terdapat 2 indicator yaitu mengorientasikan masalah yang
akan dicari pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan
pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keterampilan sosial.
Selanjutnya pada kegiatan inti ada 2 indikator yaitu memecahkan masalah yang telah
dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Kelemahan
terakhir terdapat pada suasana kelas ada 1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi.
Kekurangan-kekurangan dalam aktivitas guru pada siklus ke I diharapkan dapat
diperbaiki pada kegiatan siklus ke II.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 192 ] P a g e
Aktivitas Dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada
siklus II.
Tabel 2. Aktivitas Dosen Pada Siklus II
No Aspek yang diamati Pengamat TotalKategori
I PENGAMATAN KBM P1 P2 SkorA. PENDAHULUAN1. Membimbing berdo’a sesuai dengan agama dan
keyakinan masing-masing.4 4 4 Baik
2. Memberikan kesempatan kepada mahasiswauntuk menggali informasi.
4 4 4 Baik
3. Mengorientasikan masalah yang akan dicaripemecahannya secara berkelompok.
4 4 4 Baik
4. Mengkomunikasikan tujuan pembelajaranproduk, proses, psikomotor, perilaku berkarakterdan keteramplan social.
4 4 4 Baik
B. KEGIATAN INTI5. Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar
dengan cara memberikan LKM.4 4 4 Baik
6. Mengungkapkan hal-hal yang tidak dimengertidalam LKM serta membantu temannya yangkesulitan
4 4 4 Baik
7. Memecahkan masalah yang telah dipilih 4 4 4 Baik8. Melakukan penyelidikan setahap demi setahap
diawali dari perumusan masalah.4 4 4 Baik
9. Merumuskan hipotesis atas rumusan masalahyang telah dibuat
4 4 4 Baik
10. Menguji hipotesis yang sudah dirumuskan 4 4 4 Baik11. Mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi
yang telah dibuat.4 4 4 Baik
12. Menyajikan hasil diskusi dengan penuhtanggung jawab
4 4 4 Baik
C. KEGIATAN PENUTUP13. Bersama-sama menganalisis dan evaluasi
pemecahan masalah4 4 4 Baik
II SUASANA KELAS14. Siswa Antusias 4 4 4 Baik15. Guru Antusias 4 4 4 Baik16. Waktu sesuai dengan alokasi 4 4 4 Baik17. KBM sesuai dengan RPS 4 4 4 Baik
Jumlah skor yang didapat 4.00 BaikPersentase 5.88 Baik Sekali
Pada siklus II pada tabel 2 dapat disimpulkan bahwa aktivitas dosen berdasarkan
pengamatan dari 2 orang pengamat menunjukkan jumlah skor yang didapat 4.00. Jumlah
skor tersebut diperoleh dari penilaian terhadap 17 Komponen pelaksanaan kegiatan
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
P a g e [ 193 ]
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Keberhasilan
pelaksanaan model pembelajaran dapat dihitung melalui rumus:
Nilai = Skor yang didapat X 100Skor Maksimum
Nilai = 4.00 X 10068
= 5.88
Pada siklus II aktivitas dosen sudah diperbaiki melalui refleksi dari siklus II yaitu
pada kegiatan pendahuluan terdapat yaitu mengorientasikan masalah yang akan dicari
pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran
produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keterampilan sosial . Pada kegiatan
inti indicator memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan
menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Sedangkan pada suasana kelas indicator
waktu sesuai dengan alokasi. Pada pelaksanaan pembelajaran siklus II ini mengalami
peningkatan dibandingkan siklus I yang memiliki 5 indikator berkategori cukup baik.
Dengan demikian aktivitas dosen pada siklus II ini dapat dikategorikan baik sekali pada
17 komponen dengan nilai keberhasilan sangat baik atau pembelajaran terlaksana
dengan sangat baik.
Rata-rata aktivitas dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis
masalah pada siklus II disajikan dalam tabel 3.3 di bawah ini.
Tabel 3. Rata-rata Aktivitas Dosen
KBM Siklus 1 Siklus 2 Rata-rata KategoriSkor yang didapat 3.68 4 3.84 BaikNilai Aktivitas Dosen 5.11 5.88 5.5 Baik Sekali
Pada tabel 3.3 dapat disimpulkan bahwa rata-rata nilai keberhasilan dari data
aktivitas dosen adalah dalam setiap siklusnya mengalami kenaikan yaitu pada siklus I
sebesar 5.11 dan siklus II sebesar 5.88. Karena data aktivitas dosen telah mengalami
kenaikan sampai kategori sangat baik maka RPS yang dibuat pada penelitian ini, sudah
terlaksana dengan sangat baik pada siklus ke II.
Hasil Ketrampilan Berpikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model
pembelajaran berbasis masalah siklus I.
Berdasarkan data lembar observasi pada tabel 4 dapat diketahui bahwa:
1. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghubungkan masalah khusus yang menjadi
subjek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum memperoleh skor sebesar 63%
masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengidentifikasi
permasalahan dengan lengkap dan tepat namun kurang bisa mengembangkannya
sesuai materi dalam Ilmu Komunikasi.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 194 ] P a g e
2. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan pertanyaan yang relevan
memperoleh skor sebesar 57% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya
mahasiswa mengajukan pertanyaan dan sedikit menyimpang dari topik.
Tabel 4. Hasil Observasi Berpikir Kritis Mahasiswa Per Indikator dan Per Aspek
Indikator/Aspek yang diamatiJumlah
Skor KriteriaA KETRAMPILAN MENGANALISIS
Menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjek diskusidengan prinsip yang bersifat umum
63% Kritis
Menanyakan pertanyaan yang relevan 57% Cukup KritisMeminta elaborasi 55% Cukup KritisRata-rata A 58% Cukup Kritis
B KETERAMPILAN MENSINTESISMenerima pandangan dan saran dari orang lain untukmengembangkan ide-ide baru.
56% Cukup Kritis
Mencari dan menghubungkan antara masalah yangdidiskusikan dengan masalah lain yang relevan
58% Cukup Kritis
Mendengarkan dengan hati-hati 57% Cukup KritisBerfikiran terbuka 55% Cukup KritisBerbicara dengan bebas 65% Cukup KritisBersikap sopan 64% Cukup KritisRata-rata B 59% Cukup Kritis
C KETERAMPILAN MENGENAL DAN MEMECAHKANMASALAHMemberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yangsudah ada.
56% Cukup Kritis
Menghadapi tantangan dengan alasan dan contoh 55% Cukup KritisMeminta klarifikasi 56% Cukup KritisMenanyakan sumber informasi5 57% Cukup KritisRata-rata C 56% Cukup Kritis
D KETERAMPILAN MENYIMPULKANBerusaha untuk memahami 56% Cukup KritisMemberikan ide dan pilihan yang bervariasi 55% Cukup KritisRata-rata D 56% Cukup Kritis
E KETERAMPILAN MENGEVALUASIMampu mengerjakan soal evaluasi 65% KritisMampu menganalisis soal evaluasi 60% Cukup KritisRata-rata E 63% Kritis
Rata-rata berfikir kritis 58,4%
3. Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta elaborasi memperoleh skor sebesar
55% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya Jika di dalam kelompok yang
telah ditunjuk untuk membacakan hasil diskusi, mahasiswa saling melemparkan
tanggung jawab untuk maju di depan kelas.
4. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menerima pandangan dan saran dari orang lain
untuk mengembangkan ide – ide baru memperoleh skor sebesar 56% masuk dalam
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
P a g e [ 195 ]
cukup kritis, yang artinya mahasiswa hanya menerima pandangan dari orang lain
tanpa berusaha untuk mengembangkannya karena hanya terpaku pada ide yang ada
di dalam kasus.
5. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mencari dan menghubungkan antara masalah
yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan memperoleh skor sebesar 58%
masuk dalam cukup kritis, yang artinya mahasiswa hanya menghubungkan antar
konsep tanpa menjelaskannya.
6. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mendengarkan dengan hati –hati memperoleh
skor sebesar 57% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa
kurang memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dosen dengan sesekali
berbicara dengan teman.
7. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berpikiran terbuka memperoleh skor sebesar
55% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa berdebat dengan
teman lain karena mempertahankan pendapatnya.
8. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berbicara dengan bebas memperoleh skor
sebesar 65% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa mau
mengungkapkan pendapatnya karena terpaksa ditunjuk oleh dosen.
9. Aspek kemampuan mahasiswa dalam bersikap sopan memperoleh skor sebesar 64%
masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa menghormati dan berkata
sopan baik pada dosen maupun siswa lain.
10. Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberi contoh atau argumentasi yang
berbeda dari yang sudah ada memperoleh skor sebesar 56% masuk dalam kategori
cukup kritis, yang artinya mahasiswa memberikan solusi pemecahan masalah
mengikuti argumentasi yang ada di dalam kasus.
11. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghadapi tantangan dengan alasan dan
contoh memperoleh skor sebesar 55% masuk kategori cukup kritis, yang artinya
mahasiswa salah dalam memberikan alasan dan contoh karena hanya pemikiran
mereka sendiri tanpa dikaitkan dengan teori yang ada.
12. Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta klarifikasi memperoleh skor sebesar
56% masuk kategori cukup kritis, yang artinya saat diskusi, mahasiswa meminta
jawaban kepada dosen tentang solusi pemecahan masalah.
13. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan sumber informasi memperoleh
skor sebesar 57% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa hanya
sekedar bertanya namun tidak menindaklanjuti apa yang disarankan dosen.
14. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berusaha untuk memahami memperoleh skor
sebesar 56% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa bersama
kelompok tidak berusaha untuk mengerjakan namun hanya menunggu jawaban dari
kelompok lain.
15. Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberikan ide dan pilihan yang bervariasi
memperoleh skor sebesar 55% masuk kategori cukup kritis, yang artinya hanya
memberikan kesimpulan dari apa yang ada di dalam kasus.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 196 ] P a g e
16. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan soal evaluasi memperoleh skor
sebesar 65% masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu menilai
keputusan yang telah diambil sesuai dengan petunjuk pengerjaan dengan tepat.
17. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menganalisis soal evaluasi memperoleh skor
sebesar 60% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa salah dalam
memberikan penjelasan atas penilaian yang diberikan.
Berdasarkan skor rata-rata pada siklus I ini, penelitian ini masih memerlukan
tindakan yang lebih baik lagi karena skor kemampuan berpikir kritis mahasiswa masih
jauh dari indicator yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 75% sehingga
perlu diadakan penelitian siklus II untuk memperbaiki tingkat berpikir kritis dan
mencapai indicator keberhasilan. Rata-rata kriteria berpikir kritis mahasiswa dapat
dibuktikan pada table berikut:
Tabel 5. Rata-rata Tingkat Berpikir Kritis Mahasiswa Siklus I
IndikatorSkor rata-rata
(%)Rata-rata
A KetrampilanMenganalisis
58
58,4%(Kategori Cukup
Kritis)
B Ketrampilan Mensintesis 59C Ketrampilan Mengenali
dan MemecahkanMasalah
56
D KetrampilanMenyimpulkan
56
E KetrampilanMengevaluasi
63
Data tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan berpikir kritis mahasiswa
PAP 2012 pada siklus I tergolong dalam kategori cukup kritis pada pembelajaran Ilmu
Komunikasi dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Hal tersebut
terbukti pada skor yang dicapai sebesar 58,4 % atau dalam rentang skor 43%-62%.
Hasil Ketrampilan Berpikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model
pembelajaran berbasis masalah siklus II.
Berdasarkan data lembar observasi pada tabel 6 rata-rata kriteria berpikir kritis
mahasiswa per indikator mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus II. Hal
tersebut terbukti dari:
1. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghubungkan masalah khusus yang menjadi
subjek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum memperoleh skor sebesar 63%
meningkat 12% menjadi 75% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa
mampu mengidentifikasi permasalahan dengan lengkap dan tepat namun kurang
bisa mengembangkannya sesuai materi dalam Ilmu Komunikasi.
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
P a g e [ 197 ]
Tabel 6. Hasil Observasi Berpikir Kritis Mahasiswa Siklus 2
Indikator/Aspek yang diamatiJumlah
Skor KriteriaA KETRAMPILAN MENGANALISIS
Menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjekdiskusi dengan prinsip yang bersifat umum
75% Kritis
Menanyakan pertanyaan yang relevan 83% Sangat KritisMeminta elaborasi 84% Sangat KritisRata-rata A 80% Kritis
B KETERAMPILAN MENSINTESISMenerima pandangan dan saran dari orang lain untukmengembangkan ide-ide baru.
73% Kritis
Mencari dan menghubungkan antara masalah yangdidiskusikan dengan masalah lain yang relevan
75% Kritis
Mendengarkan dengan hati-hati 78% KritisBerfikiran terbuka 80% KritisBerbicara dengan bebas 84% Sangat KritisBersikap sopan 88% Sangat KritisRata-rata B 80% Kritis
C KETERAMPILAN MENGENAL DAN MEMECAHKAN MASALAHMemberi contoh atau argumentasi yang berbeda dariyang sudah ada.
80% Sangat Kritis
Menghadapi tantangan dengan alas an dan contoh 89% Sangat KritisMeminta klarifikasi 86% Sangat KritisMenanyakan sumber informasi 77% KritisRata-rata C 85% Sangat Kritis
D KETERAMPILAN MENYIMPULKANBerusaha untuk memahami 73% KritisMemberikan ide dan pilihan yang bervariasi 68% KritisRata-rata D 71% Kritis
E KETERAMPILAN MENGEVALUASI ATAU MENILAIMampu mengerjakan soal evaluasi 85% Sangat KritisMampu menganalisis soal evaluasi 81% KritisRata-rata E 83% Kritis
Rata-rata berpikir kritis 80% Kritis
2. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan pertanyaan yang relevan pada
siklus I memperoleh skor sebesar 5% meningkat 26% pada siklus II menjadi 83%
masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengajukan
pertanyaan sesuai topik yang jawabannya merupakan pengembangan dari apa yang
ada di kasus.
3. Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta elaborasi pada siklus I memperoleh
skor sebesar 55% meningkat 29% pada siklus II menjadi 84% masuk dalam kategori
sangat kritis, yang artinya mahasiswa mampu secara sukarela mengajukan diri untuk
membacakan hasil diskusi di depan kelas.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 198 ] P a g e
4. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menerima pandangan dan saran dari orang lain
untuk mengembangkan ide –ide baru pada siklus I memperoleh skor sebesar 56%
meningkat 17% pada siklus II menjadi 73% masuk dalam kritis, yang artinya
mahasiswa mau menerima pandangan dari orang lain serta mengembangkannya
dengan konsep yang diperoleh dengan tepat.
5. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mencari dan menghubungkan antara masalah
yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan pada siklus I memperoleh skor
sebesar 58% meningkat 17% pada siklus II menjadi 75% masuk dalam kritis, yang
artinya mahasiswa kurang tepat dalam menjelaskan hubungan antar konsep karena
tidak mengetahui konsepnya.
6. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mendengarkan dengan hati –hati pada siklus I
memperoleh skor sebesar 57% meningkat 21% menjadi 78% pada siklus II masuk
dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa memperhatikan dan mendengarkan
penjelasan dosen tanpa menulis apapun.
7. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berpikiran terbuka pada siklus I memperoleh
skor sebesar 55% meningkat 25% menjadi 80% pada siklus II masuk dalam kategori
kritis, yang artinya mahasiswa hanya menghormati pendapat teman lain yang sama
dengan jawabannya.
8. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berbicara dengan bebas pada siklus I
memperoleh skor sebesar 65% meningkat 19% menjadi 84% pada siklus II masuk
dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa dengan berani mau
menyampaikan pendapatnya dan menjawab pertanyaan yang diberikan dosen.
9. Aspek kemampuan mahasiswa dalam bersikap sopan pada siklus I memperoleh skor
sebesar 64% meningkat 24% menjadi 88% pada siklus II masuk dalam kategori
sangat kritis, yang artinya mahasiswa menghormati dan berkata sopan baik pada
dosen maupun mahasiswa lain.
10. Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberi contoh atau argumentasi yang
berbeda dari yang sudah ada pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat
24% menjadi 80% pada siklus II masuk dalam kategori kritis, yang artinya
mahasiswa kurang tepat dalam memberikan solusi pemecahan masalah namun
pendapatnya berbeda dari apa yang ada di kasus.
11. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghadapi tantangan dengan alasan dan
contoh pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 34% menjadi 89%
pada siklus II masuk kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa hanya
memberikan alasan namun tidak memberikan contoh untuk menguatkan alasan.
12. Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta klarifikasi pada siklus I memperoleh
skor sebesar 56% meningkat 30% menjadi 86% pada siklus II masuk kategori sangat
kritis, yang artinya mahasiswa meminta penjelasan kepada mahasiswa lain.
13. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan sumber informasi pada siklus I
memperoleh skor sebesar 57% meningkat 20% menjadi 77% pada siklus II masuk
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
P a g e [ 199 ]
kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang lengkap dalam menanyakan sumber
informasi sehingga terkadang menemui kendala dalam pengerjaan.
14. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berusaha untuk memahami pada siklus I
memperoleh skor sebesar 56% meningkat 17% menjadi 73% pada siklus II masuk
kategori kritis, yang artinya mahasiswa bersama kelompok hanya mencermati kasus
yang tersedia dan menanyakan kepada dosen jika menemui kesulitan.
15. Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberikan ide dan pilihan yang bervariasi
pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 13% menjadi 68% pada
siklus II masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam
memberikan kesimpulan karena penjelasannya tidak sesuai dengan teori yang ada.
16. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan soal evaluasi pada siklus I
memperoleh skor sebesar 65% meningkat 20% menjadi 85% masuk kategori sangat
kritis, yang artinya siswa mampu menilai keputusan yang telah diambil sesuai
dengan petunjuk pengerjaan dengan tepat.
17. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menganalisis soal evaluasi pada siklus I
memperoleh skor sebesar 60% meningkat 21% menjadi 81% pada siklus II masuk
kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam memberikan penjelasan
atas penilaian yang telah diberikan. Rata–rata kriteria kemampuan berpikir kritis
mahasiswa pada siklus II meningkat 21,4% menjadi 79,8% yang mengidentifikasikan
bahwa rata–rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa mata kuliah Ilmu
Komunikasi pada kompetensi dasar factor-faktor komunikasi dalam pendidikan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah termasuk dalam kategori kritis
dan sudah memenuhi indicator keberhasilan 75%. Hal tersebut dapat dilihat pada
tabel 7.
Tabel 7. Kategori Tingkat Berpikir Kritis Mahasiswa Siklus II
IndikatorSkor rata-rata
(%)Rata-rata
A Ketrampilan Menganalisis 80
80%(KategoriKritis)
B Ketrampilan Mensintesis 80C Ketrampilan Mengenali dan
Memecahkan Masalah85
D Ketrampilan Menyimpulkan 71E Ketrampilan Mengevaluasi 83
Data tabel 7 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan berfikir kritis mahasiswa
PAP 2012 pada siklus II tergolong dalam kategori kritis pada pembelajaran Ilmu
Komunikasi dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Hal tersebut
terbukti pada skor yang dicapai sebesar 80 % atau dalam rentang skor 63%-80%.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 200 ] P a g e
PEMBAHASAN
Aktivitas dosen melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah.
Penerapan model pembelajaran berbasis masalah tidak terlepas dari RPS meliputi
dua komponen yaitu Pengelolaan KBM yang terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan
inti, dan kegiatan penutup dan suasana kelas yang meliputi antusiasme mahasiswa, dan
antusiasme dosen, pengelolaan waktu, dan kesesuaian KBM yang telah dirancang. Pada
Siklus I pengelolaan dosen dalam menerapkan metode pembelajaran berbasis masalah
masih tergolong baik. Namun ada 5 indikator yang harus diperbaiki dalam aktivitas
dosen yang memiliki nilai cukup baik. Pada kegiatan pendahuluan terdapat 2 indicator
yaitu mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok
dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku
berkarakter dan keterampilan sosial. Selanjutnya pada kegiatan inti ada 2 indikator yaitu
memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil
diskusi yang telah dibuat. Kelemahan terakhir terdapat pada suasana kelas ada 1
indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi.
Pada kegiatan pendahuluan indicator mengorientasikan masalah yang akan dicari
pemecahannya secara berkelompok memiliki nilai yang cukup baik dikarenakan suasana
di dalam kelas menjadi cukup aktif ketika dosen meminta mahasiswa untuk mencari
pemecahan kasus yang telah disampaikan. Pada kegiatan pendahuluan, indikator yang
memiliki nilai cukup baik berikutnya mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk,
proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keterampilan social kepada mahasiswa.
Mahasiswa kurang memahami apa yang sudah dijelaskan dosen tentang tujuan
pembelajaran memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan karena
dosen kurang memanfaatkan sumber belajar yang terkait dengan materi proses dan
factor-faktor komunikasi pendidikan dan hanya berceramah sehingga mahasiswa sedikit
sekali mendapatkan pengetahuan seputar masalah konkret komunikasi dalam
pendidikan, sehingga mahasiswa kurang berinteraksi dalam pembelajaran.
Pada kegiatan inti, indicator memecahkan masalah yang telah dipilih dan
mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat juga memiliki nilai
cukup baik dikarenakan dosen masih membimbing mahasiswa dalam memecahkan
masalah sekaligus mengembangkan media pembelajaran yang berbeda dengan kelompok
lain ketika akan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, dan belum semuanya bisa
menyajikan hasil diskusi dengan media inovatif pembelajaran. Kelemahan terakhir
terdapat pada suasana kelas ada 1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi. Dosen
kurang memanfaatkan waktu dengan baik dikarenakan pada saat berdiskusi dosen sering
membantu mahasiswa saat asyik berdiskusi dengan kelompoknya sehingga dosen dalam
menjelaskan materi terkesan terlalu cepat. Dari kelima kekurangan tersebut maka dosen
melakukan refleksi pada siklus II. Di sisi lain, tahap aktivitas dosen yang paling dominan
dalam penelitian ini adalah tahap penilaian posttest. Pada tahap ini pengamat
memberikan nilai tinggi karena peneliti begitu disiplin dalam mengawasi penilaian
posttest. Selain itu dalam mengawasi mahasiswa, peneliti juga dibantu oleh pengamat
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
P a g e [ 201 ]
yang juga berada di dalam kelas. Jadi mahasiswa menjadi tertib dan mengerjakan soal
sendiri ketika menjalani penilaian postest.
Pengelolaan dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah ini
pada siklus II dapat dikategorikan baik. Karena pada tahap pendahuluan sudah dapat
ditangani dengan baik oleh dosen dengan menggunakan sumber belajar berupa video
tentang komunikasi dalam pendidikan. Tujuannya untuk menggali wawasan mahasiswa
dan pengalaman mereka ketika proses belajar mengajar di kelas. Dan terbukti mahasiswa
termotivasi belajar dan terampil dalam mengenal dan memecahkan masalah bahkan bisa
menyimpulkan dan mengevaluasi soal kasus yang diberikan oleh dosen dan jika ada
materi yang kurang dipahami oleh mahasiswa, mereka berani bertanya jika ada hal-hal
yang kurang dimengerti dalam pertanyaan latihan kasus. Hal ini merupakan pertanda
bahwa terdapat peningkatan dari siklus I ke siklus II. Refleksi yang dilakukan pada siklus
I yaitu dosen harus mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara
berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor,
perilaku berkarakter dan keterampilan sosial, memecahkan masalah yang telah dipilih
dan mengembangkan, menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Kelemahan terakhir
adalah waktu sesuai dengan alokasi.
Hal ini membuktikan bahwa hasil penelitian ini mendukung teori dari (M. Taufiq
Amir, 2010:21) bahwa PBL mempersiapkan peserta didik untuk berpikir kritis dan
analistis dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai.
Selanjutnya hasil penelitian ini didukung oleh Norris dan Ennis dalam Bahriah (2011)
menyatakan berpikir kritis sebagai berpikir masuk akal dan reflektif yang difokuskan
pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini. Hal ini sesuai
dengan pendapatnya Nur (1998) yang menyatakan bahwa salah satu factor yang
mempengaruhi kualitas pembelajaran adalah tersedianya perangkat pembelajaran yang
disertai dengan komitmen yang tinggi untuk menggunakannya dalam setiap
pembelajaran. Terlaksananya kegiatan belajar mengajar dengan baik karena dosen dalam
proses pembelajaran memiliki komitmen yang tinggi untuk menggunakan perangkat
pembelajaran. Suatu program pembelajaran akan dapat mencapai hasil seperti yang
diharapkan apabila direncanakan dengan baik, semua komponen pengajaran harus
diperankan secara optimal.
Hal ini sesuai dengan pendapatnya Sagala (2003) yang mengatakan bahwa semua
komponen pengajaran harus diperankan secara optimal guna mencapai tujuan
pengajaran yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilaksanakan. Agar proses
pembelajaran dapat terlaksana dengan baik maka, dosen harus merancang pembelajaran
yang akan dilaksanakan terutama untuk menentukan pendekatan pembelajaran yang
sesuai dengan karakteristik materi yang akan diajarkan dan membuat indicator untuk
mengetahui apakah pembelajaran yang telah dirancang dapat berjalan dengan efektif
atau tidak.
Pembelajaran yang dirancang oleh dosen hendaknya melibatkan mahasiswa
secara penuh agar mahasiswa dapat mengembangkan potensinya dengan maksimal.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 202 ] P a g e
Dosen dituntut memiliki kemampuan untuk melibatkan peserta didik secara aktif selama
pembelajaran dan menciptakan suasana yang menunjang agar tercapai tujuan
pembelajaran, yang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (Ratumanan, 2004). Hal
senada diungkapkan pula oleh Karlimah. (2010) dalam penelitiannya tentang hasil
penelitian disarankan supaya guru dalam pembelajaran IPA menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL) sebagai salah satu solusi
untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Pembelajaran menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL) perlu dikembangkan oleh
dosen agar mahasiswa dapat belajar secara kontekstual ke taraf berpikir tingkat tinggi
sehingga hasil belajar yang diperoleh meningkat.
Hasil Ketrampilan Berpikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model
pembelajaran berbasis masalah
Pembahasan dalam penelitian tindakan kelas ini didasarkan atas hasil
pengamatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang dilanjutkan dengan kegiatan
refleksi atau kegiatan untuk mengemukakan kembali kegiatan pembelajaran yang telah
dilaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I dan siklus II menunjukkan
bahwa pembelajaran Ilmu Komunikasi pada kompetensi dasar memahami proses dan
factor-faktor komunikasi pendidikan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis
masalah mengalami peningkatan dari segi ketrampilan berpikir kritis.
Hasil penelitian dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah
mempunyai pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Hal ini
terbukti bahwa rata-rat berpikir kritis mahasiswa pada siklus I sebesar 58,4% termasuk
dalam kategori cukup kritis. Pada siklus II rata-rata berpikir kritis mahasiswa mengalami
peningkatan 79,8% termasuk kategori kritis.
PBL mempersiapkan peserta didik untuk berpikir kritis dan analitis dan untuk
mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Permasalahan yang
diajukan membutuhkan kemampuan siswa untuk mengeksplorasi berbagai sumber
belajar untuk mengumpulkan bukti, fakta, dan data yang berhubungan dengan hipotesis
yang diajukan. Pada hakikatnya program pembelajaran bertujuan tidak hanya memahami
dan menguasai apa dan bagaimana suatu terjadi tetapi juga memberi pemahaman dan
penguasaan tentang mengapa hal itu terjadi. Berpijak pada permasalahan tersebut, maka
pembelajaran pemecahan masalah menjadi sangat penting untuk diajarkan (Made Wena,
2009:52).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah disajikan dalam Bab
IV, maka dapat ditarik simpulan bahwa penerapan pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis (1) Aktivitas dosen melalui
penerapan model pembelajaran berbasis masalah kompetensi dasar memahami proses
dan factor-faktor komunikasi dalam pendidikan mengalami peningkatan dari siklus 1
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
P a g e [ 203 ]
terdapat 5 indikator yang harus diperbaiki yaitu mengorientasi masalah yang akan di
cari pemecahannya secara berkelompok, mengkomunikasikan tujuan pembelajaran
produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan ketrampilan social, memecahkan
masalah yang telah dipilih, mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah
dibuat, waktu sesuai dengan alokasi. Dan meningkat pada siklus 2 dengan kategori semua
indicator keberhasilan pelaksanaan aktivitas dosen nilainya baik dengan kategori sangat
baik dan pelaksanaannya sesuai dengan rencana pelaksanaan semester. (2) Penerapan
model pembelajaran berbasis masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis
pada mata kuliah Ilmu Komunikasi bagi mahasiswa PAP 2012 Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Surabaya. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata berpikir kritis mahasiswa
pada pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada siklus
I sebesar 58,4% Mengalami peningkatan sampai dengan siklus II sebesar 80% sudah
mencapai indikator keberhasilan.
Beberapa saran sebagai salah satu solusi alternatif yang ditemui dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut (1) Penerapan model pembelajaran berbasis masalah adalah
masalah apersepsi yang kurang sehingga diperlukan kontrol dan persiapan RPS dan LKM
yang lebih baik dari dosen, dengan cara mencari dan menggunakan sumber belajar yang
sesuai dengan materi yang akan diajarkan.(2) Pembelajaran Ilmu Komunikasi khususnya
pada Kompetensi Dasar memahami proses dan factor-faktor komunikasi pendidikan
sebaiknya dosen membuat contoh kasus yang fenomenal terjadi di masyarakat contoh
gambar / video proses komunikasi pendidikan yang lebih konkret dengan menggunakan
Model Pembelajaran Berbasis Masalah sehingga dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis mahasiswa.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Susanti, S.Ak,
M.Pd dan Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd atas arahan dan bimbingannya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M.Taufik.(2009). Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta:Kencana.
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta:Rineka Cipta
Bahriah E.P. (2011). Indikator Berpikir Kritis dan Kreatif. On line athttp://www.berpikir kritis/internet kritis/indikator berpikir kritis dan
kreatif evisapinatulbahriah.htm.10 November 2014.(15:23)
Fisher, Alec. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga
Karlimah. (2010). Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah MatematisMahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Melalui Pembelajaran Berbasis
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 204 ] P a g e
Masalah. Jurnal Pendidikan PGSD FIP Universitas Pendidikan Indonesia. 11(2): 51-60
Kunandar. (2008). Langkah Mudah penelitian Tindakan Kelas sebagai PengembanganProfesi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nur,Mohamad.(1998).Teori-teori Perkembangan Kognitif. Surabaya: UNESA-PSMS
Ratumanan, G.T. dan Lauren, S. (2004). Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Unesa UniversityPress
Sagala, Syaiful. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta: Kencana Prenada Media
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional.
Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
P a g e [ 205 ]
PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKUNTANSI KELAS X
SMK DR. SOETOMO SURABAYA BERDASARKAN KURIKULUM 2013
Bagus PermadiProgram Pascasarjana, [email protected]
AbstrakKeinginan negara agar mempunyai level pendidikan yang sama di tengah erapasar bebas MEA adalah tugas masyarakat bersama. Artikel hasil kajian literaturini bertujuan untuk memahami salah satu strategi pembelajaran pada Kurikulum2013, yakni problem based learning, yang dapat meningkatkan prestasi belajar.Sumber kajian literatur menggunakan buku, artikel jurnal ilmiah, maupunlaporan hasil penelitian terdahulu. Hasil pembahasan menunjukkan bahwadiperlukan sebuah strategi pembelajaran, yang harus sesuai dengan Kurikulum2013, sehingga dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampumenghadapi tantangan-tantangan di masa depan melalui pengetahuan,keterampilan, sikap dan keahlian untuk beradaptasi serta bisa bertahan hidupdalam lingkungan yang senantiasa berubah.
Kata Kunci: Strategi Pembelajaran, Kurikulum 2013
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi hanya bangsa-bangsa yang berkualitas tinggi yang mampu
bersaing atau atau berkompetisi pada pasar bebas. Oleh karena itu, peningkatan kualitas
sumber daya manusia sudah merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia. Bidang
pendidikan memegang peranan yang sangat strategis karena merupakan salah satu
wahana untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia, oleh karena sudah
semestinya kalau pembangunan sektor pendidikan menjadi prioritas utama yang harus
dilakukan oleh pemerintah.
Salah satu indikator pendidikan berkualitas adalah perolehan nilai prestasi belajar
siswa. Nilai prestasi belajar siswa dapat lebih ditingkatkan, apabila pembelajaran
berlangsung secara efektif dan etisien dengan ditunjang oleh tersedianya sarana dan
prasarana pendukung, serta kecakapan guru dalam pengelolaan kelas dan penguasaan
materi yang cukup memadai.
Hal lainnya terdapat banyak keluhan dari para guru bahwa beban kurikulum KTSP
2006,bagi siswa terlalu berat dibandingkan dengan waktu yang ada, sehingga kualitas
hasil belajar tidak memadai. Oleh sebab itu, penerapan Kurikulum 2013 diharapkan
mampu mengatasi keterbatasan waktu tersebut. Guru tidak lagi harus secara maraton
menjelaskan materi pelajaran kepada siswa, namun siswa akan belajar aktif dan mandiri
sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki dengan arahan dan bimbingan guru.
Pemberlakuan kurikulum 2013 sempat menuai pro dan kontra. Namun di Kota
Surabaya sejumlah sekolah sudah mengadopsinya. Perkembangan terbaru atas
penerapan Kurikulum 2013 mulai dievaluasi. Pada tahun pelajaran 2014-2015, adalah
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 206 ] P a g e
masa yang luar biasa, apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Oleh
karena, pada tahun pelajaran saat ini, terjadi perubahan kurikulum berkali-kali, yakni:
sejak awal tahun pelajaran 2013-2014, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 160 Tahun 2014 Tentang Pemberlakuan
Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013, bahwasanya pada seluruh Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) dan 5 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Swasta
sasaran, yang semula kegiatan belajar mengajarnya menggunakan Kurikulum KTSP 2006
diganti dengan Kurikulum 2013, sedangkan selain dari 5 Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Swasta sasaran tersebut di atas, masih harus menerapkan Kurikulum KTSP 2006.
Pada saat sampai pertengahan tahun pelajaran 2014-2015 (Semester Genap) pada
tanggal 6 Januari 2015, Dinas Pendidikan Kota Surabaya menyepakati bahwasanya bagi
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Swasta diberikan kebebasan memilih antara
menggunakan KTSP 2006 atau Kurikulum 2013. Bagi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Swasta yang sudah menerapkan Kurikulum 2013 pada tahun sebelumnya, diperbolehkan
melanjutkan (Harian Jawa Pos, 2015:25). Hal lain terjadi ketika pergantian Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dari Bapak Moh. Nuh Dea beralih ke Bapak Anis Baswedan,
pada tanggal 27 Februari 2015, melalui Kasi Kurikulum Dinas Pendidikan Kota Surabaya
menyatakan bahwa ada 13 SMK yang terdiri dari 8 SMK Negeri dan 5 SMK Swasta, yang
diizinkan melanjutkan Kurikulum 2013, sedangkan selain 13 SMK tersebut tidak
mendapat izin untuk melanjutkan Kurikulum 2013 (Harian Jawa Pos, 2015 : 29).
Terdapat keputusan baru, yakni: Surat Keputusan Badan Penelitian dan pengembangan
(Balitbang) pada Tanggal 6 April 2015, bahwasanya Pemerintah pusat memperbolehkan
menerapkan Kurikulum 2013 lagi, bagi sekolah yang sebelumnya sudah melaksanakan
Kurikulum 2013 minimal selama 3 semester.
Penerapan Kurikulum 2013 menekankan pada upaya guru dalam memberikan
motivasi dan peningkatan keterampilan di mana dikemukakan juga pada Permendiknas
Nomor 71 Tahun 2013 mengenai Struktur Kurikulum, dijelaskan bahwasanya Kurikulum
2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan
hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia.
Tantangan terhadap peningkatan mutu, relevansi, dan efektivitas pendidikan
sebagai tuntutan nasional sejalan dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat,
berimplikasi secara nyata dalam program pendidikan dan kurikulum sekolah. Tujuan
dari program kurikulum dapat tercapai dengan baik, jika programnya didesain secara
jelas dan aplikatif. Dalam hubungan inilah para guru dituntut untuk memiliki
kemampuan mendesain programnya dan sekaligus menentukan strategi instruksional
yang harus ditempuh. Para guru harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan
metode mengajar untuk diterapkan dalam sistem pembelajaran yang efektif (Hamalik,
2001).
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
P a g e [ 207 ]
Dari beberapa latar belakang di atas penulis merumuskan masalah yang dapat
dikaji yakni bagaimana Strategi Pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013, dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa di SMK DR. SOETOMO SURABAYA pada mata
pelajaran Akuntansi kelas X?.
FUNGSI PENDIDIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu
bangsa, yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun, dalam kehidupan sebuah
bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan
tugasnya, semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang.
Dengan kata lain, potret manusia yang dapat tercermin dari potret guru di masa
sekarang, dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari "citra" guru di
tengah-tengah masyarakat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun
2003 Bab I Pasal 1 ayat 5 bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Sedangkan menurut ayat 6 Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi
sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator,
dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan. Dalam hal ini pengaruh dari peran seorang pendidik
sangat besar sekali. Keyakinan seorang pendidik atau pengajar agar dapat mengolah
potensi manusia dan kemampuan semua peserta didik untuk belajar dan berprestasi,
merupakan suatu hal yang penting diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental pendidik
atau pengajar berdampak besar terhadap iklim belajar, dan pemikiran peserta didik yang
diciptakan pengajar.
Kegiatan belajar mengajar melibatkan fase transformasi pengetahuan dari yang
mengajarkan kepada yang diajarkan. Transformasi dalam proses belajar mengajar
tersebut tidak terlepas dari peran seorang guru. Menurut Burner (Nasution, 1987), dalam
proses belajar pada fase transformasi, informasi harus dianalisis, diubah atau
ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih konseptual agar dapat digunakan untuk hal-
hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan. Menurut Arikunto
(1988) guru adalah orang yang paling penting statusnya di dalam kegiatan belajar-
mengajar karena guru memegang tugas yang amat penting, yaitu mengatur dan
mengemudikan bahtera kehidupan kelas. Dalam proses belajar mengajar (PBM), posisi
guru sangat penting dan strategis, meskipun gaya, dan penampilan mereka bermacam-
macam.
KURIKULUM 2013
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas
dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan
karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 208 ] P a g e
Pendidikan (KTSP) 2006. Rumusannya berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda
dengan kurikulum berbasis materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan
persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini
menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum
berbasis materi. Untuk itu ada baiknya memahami lebih dahulu terhadap konstruksi
kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas.
Kurikulum mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan-tantangan di
masa depan melalui pengetahuan, keterampilan, sikap dan keahlian untuk beradaptasi
serta bisa bertahan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh dalam berbagai kesempatan
menegaskan, perubahan dan pengembangan kurikulum 2013 merupakan persoalan yang
penting dan genting. Alasan perubahan kurikulum, bahwasanya kurikulum pendidikan
harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Oleh karena zaman berubah, maka kurikulum
harus lebih berbasis pada penguatan penalaran, bukan lagi hafalan semata. Perubahan
ini diputuskan dengan merujuk hasil survei internasional tentang kemampuan siswa
Indonesia. Salah satunya adalah survei "Trends in International Math and Science" oleh
Global Institute pada tahun 2007. Menurut survei ini, hanya 5 persen siswa Indonesia
yang mampu mengerjakan soal berkategori tinggi yang memerlukan penalaran. Sebagai
perbandingan, siswa Korea yang sanggup mengerjakannya mencapai 71
persen. Sebaliknya, 78 persen siswa Indonesia dapat mengerjakan soal berkategori
rendah yang hanya memerlukan hafalan. Sementara itu, siswa Korea yang bisa
mengerjakan soal semacam itu hanya 10 persen. Indikator lain datang dari Programme
for International Student Assessment (PISA) yang di tahun 2009 menempatkan Indonesia
di peringkat 10 besar paling buncit dari 65 negara peserta PISA. Kriteria penilaian
mencakup kemampuan kognitif dan keahlian siswa membaca, matematika, dan sains.
Dan hampir semua siswa Indonesia ternyata cuma menguasai pelajaran sampai level 3
saja. Sementara banyak siswa negara maju maupun berkembang lainnya, menguasai
pelajaran sampai level 4, 5, bahkan 6. Kesimpulan dari dua survei itu adalah: prestasi
siswa Indonesia terbelakang.
Pengembangan kurikulum 2013 menitikberatkan pada penyederhanaan,
pendekatan tematik-integratif dilatarbelakangi oleh masih terdapat beberapa
permasalahan pada Kurikulum 2006 (KTSP), yakni: (1) konten kurikulum yang masih
terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi
yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak;
(2) belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional; (3) kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain
sikap, keterampilan, dan pengetahuan; beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai
dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi
pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum
terakomodasi di dalam kurikulum; (4) belum peka dan tanggap terhadap perubahan
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
P a g e [ 209 ]
sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (5) standar proses
pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga
membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran
yang berpusat pada guru; (6) standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian
berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya
remediasi secara berkala; dan (7) dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang
lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir (Draft Kurikulum 2013).
Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud segera mengimplementasikan Kurikulum
2013 secara bertahap, mulai tahun pembelajaran baru bulan Juli 2013. Kurikulum 2013
merupakan kelanjutan dan pengembangan, dari Kurikulum Berbasis Kompetensi yang
telah dirintis pada tahun 2004, dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan secara terpadu. Pengembangan pada Kurikulum 2013 dilakukan seiring
dengan tuntutan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, dan melaksanakan
amanah Undang-undang Nomor: 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
STRATEGI PEMBELAJARAN
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal
1 angka 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor: 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah,
menyatakan bahwa Standar Proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran
pada satuan pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Proses
dikembangkan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang telah
ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan, Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor: 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk
itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 210 ] P a g e
Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup
pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk
setiap satuan pendidikan.
Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis)
yang berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai,
menghayati, dan mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas “mengingat,
memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, mencipta. Keterampilan diperoleh
melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”.
Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta
mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk memperkuat pendekatan ilmiah
(scientific), tematik terpadu (tematik antarmata pelajaran), dan tematik (dalam suatu
mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian
(discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk
menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok, maka sangat
disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis
pemecahan masalah (problem based learning), (project based learning).
Berdasarkan pada konteks penelitian ini strategi pembelajaran diarahkan pada
strategi yang berasosiasi dengan pembelajaran kontekstual. Di antaranya: (1)
pengajaran berbasis masalah, (2) pengajaran berbasis inquiry, (3) pengajaran
berbasis tugas/proyek (Nurhadi & Senduk, 2003).
Pengajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning)
Pengajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pengajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar
tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pembelajaran (Nurhadi & Senduk,
2003).
Pengajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi
dalam situasi berorientasi masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar.
Menurut Ibrahim dan Nur (2001) mengatakan bahwa pengajaran berbasis masalah
dikenal dengan istilah lain: pembelajaran proyek, pembelajaran berdasarkan
pengalaman, pembelajaran autentik, dan pembelajaran berakar pada kehidupan nyata.
Peran guru dalam pengajaran berbasis masalah ini adalah menyajikan masalah,
mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Pengajaran Berbasis Penemuan (Discovery/Inquiry-Based Learning)
Dalam pembelajaran dengan penemuan (inquiry), siswa didorong untuk belajar
sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip sendiri (Nurhadi & Senduk, 2003).
Oleh karena Sains merupakan cara berpikir dan bekerja yang setara dengan
kumpulan pengetahuan, maka dalam pembelajaran Sains perlu menekankan pada cara
berpikir dan aktivitas saintis melalui metode inkuiri. Wayne Welch, telah memberikan
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
P a g e [ 211 ]
argumentasi, bahwa teknik-teknik yang diperlukan untuk pembelajaran Sains sama
dengan teknik-teknik yang digunakan untuk penyelidikan ilmiah. Metode-metode yang
digunakan oleh para saintis harus menjadi bagian integral dari metode pembelajaran
Sains. Metode ilmiah dapat dianggap sebagai proses inkuiri. Dengan demikian inkuiri
seharusnya menjadi “roh” pembelajaran Sains.
J. Bruner telah mengembangkan belajar penemuan (discovery learning) yang
berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip
konstruktivis. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pengajaran berbasis inquiry adalah salah satu komponen dari penerapan
pendekatan CTL (Contextual Teaching And Learning), di mana proses “penemuan”
merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL.
Pengajaran Berbasis Tugas/Proyek (Project-Based Learning)
Thomas (1998) menetapkan lima kriteria Pembelajaran Berbasis Proyek, yaitu:
(1) keterpusatan (centrality), (2) berfokus pada pertanyaan atau masalah, (3) investigasi
konstruktif atau desain, (4) otonomi pebelajar, dan (5) Realistis.
PENILAIAN
Menurut Hamalik (2001) belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan
bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari
pada hal itu, yaitu mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan,
melainkan pengubahan kelakuan. Selanjutnya Hamalik (2002) mengatakan bahwa
belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif mantap berkat latihan dan
pengalaman.
Masalah pokok yang dihadapi dalam belajar adalah bahwa proses belajar tidak
dapat diamati secara langsung dan kesulitan untuk menentukan bagaimana terjadinya
perubahan tingkah laku belajarnya, untuk dapat mengamati terjadinya perubahan
tingkah laku tersebut hanya dapat diketahui bila telah mengadakan Penilaian.
Pendapat lain disampaikan oleh Woodworth (1951) mengatakan bahwa prestasi
(achievement) adalah actual ability and can be measured directly by use of test.
Artinya prestasi menunjukkan suatu kemampuan aktual yang dapat diukur secara
langsung dengan menggunakan tes.
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan
menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam
pengambilan keputusan.
Penilaian Autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif
untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output)
pembelajaran.(Permendikbud No 66/2013).
Penilaian Autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam
pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Oleh karena menurut Ormiston,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 212 ] P a g e
belajar autentik mencerminkan tugas dan pemecahan masalah yang diperlukan dalam
kenyataannya di luar sekolah.
Dasar hukum penilaian berdasarkan Kurikulum 2013, sebagai berikut:
1. PP No 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan
2. Permendikbud No 60Tahun 2014 tentang Kurikulum SMK
3. Permendikbud No 103 Tahun 2014 tentang Standar Proses
4. Permendikbud No 104 Tahun 2014 tentang Standar Penilaian
Pada Pemendikbud Nomor 104 Tahun 2014 Bab II, Bagian E poin e nomor 1) dan
2) Menyatakan bahwa laporan hasil penilaian oleh pendidik berbentuk:
1. Nilai dan/atau deskripsi pencapaian kompetensi, untuk hasil penilaian kompetensi
pengetahuan, keterampilan termasuk penilaian hasil pembelajaran tematik-terpadu.
2. Deskripsi sikap, untuk hasil penilaian kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial
Permendikbud No 81A Tahun 2013 Lampiran IV tentang Implementasi Kurikulum
bahwa dalam pembelajaran langsung tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan
mengkomunikasikan apa yang sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis.
Tabel 1. Nilai Ketuntasan Kompetensi Minimal (KKM)
SIKAP PENGETAHUAN KETERAMPILAN
Modus Predikat Skor Rerata Predikat Capaian Optimum Predikat
4,00SB 3.85 – 4.00 A 3.85 – 4.00 A
(Sangat Baik) 3.51 – 3.84 A- 3.51 – 3.84 A-
3,00
B 3.18 – 3.50 B+ 3.18 – 3.50 B+
(Baik)2.85 – 3.17 B 2.85 – 3.17 B
2.51 – 2.84 B- 2.51 – 2.84 B-
Batas Nilai Ketuntasan Kompetensi Minimal (KKM)
2,00
C 2.18 – 2.50 C+ 2.18 – 2.50 C+
(Cukup)1.85 – 2.17 C 1.85 – 2.17 C
1.51 – 1.84 C- 1.51 – 1.84 C-
1,00K 1.18 – 1.50 D+ 1.18 – 1.50 D+
(Kurang) 1.00 – 1.17 D 1.00 – 1.17 D
Sumber: (Dispendik Kota Surabaya, 2015)
PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN BERDASARKAN KURIKULUM 2013
TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA
Bahwasanya Strategi Pembelajaran sangat dibutuhkan baik oleh pendidik maupun
siswa dalam proses pembelajaran, karena dengan menggunakan strategi pembelajaran
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
P a g e [ 213 ]
yang tepat, dapat tercipta keefektifan, dan keefesienan dalam belajar, sehingga dapat
meningkatkan Prestasi Belajar. Pada mata pelajaran Akuntansi, Strategi Pembelajaran
yang paling tepat digunakan adalah Problem Based Learning. Oleh karena strategi
pembelajaran ini, mempunyai beberapa kriteria penilaian, yang sesuai dengan
Kompetensi Dasar, yang ada pada mata pelajaran Akuntansi. Hasil pelaksanaan Strategi
Pembelajarannya sebagai berikut:
Tabel1. Rekapitulasi Penilaian Kriteria pada Problem Based Learning(Semester Gasal 2014-2015)
Kompetensi Dasar Materi Pokok Nilai Predikat Kriteria
3.1. Menjelaskan pengertian,tujuan dan peran akuntansi
Hakekat Akuntansi
Pengertian akuntansi Tujuan akuntansi Peran akuntansi
2,51 –2,84 B - Ada 2 aspeksesuai dengankriteria, 1 aspekkurang sesuai
4.1 Mengevaluasi peranakuntansi di berbagai usaha
3.2. Menjelaskan pihak-pihakyang membutuhkaninformasi akuntansi
Pihak-pihak yang
membutuhkan informasi
akuntansi
2,51 –2,84 B - Ada 2 aspek
sesuai dengan
kriteria, 1 aspek
kurang sesuai4.2 Mengklasifikasi berbagai
pihak yang membutuhkaninformasi berdasarkan jenisinformasinya
3.3. Menjelaskan profesi danjabatan dalam akuntansi
Profesi akuntansi
Profesi Jabatan
2,85 –3,17 B Ada 2 aspek
sesuai dengan
kriteria, 1 aspek
kurang sesuai
4.3 Mengklasifikasi berbagaiprofesi berbagai profesibidang akuntansiberdasarkan jabatannya
3.4. Menjelaskan bidang-bidangspesialisasi akuntansi
Bidang Spesialisasi
akuntansi
2,51 –2,84 B - Ada 2 aspek
sesuai dengan
kriteria, 1 aspek
kurang sesuai
4.4 Menggolongkan berbagaibidang spesialisasiakuntansi
3.5. Menjelaskan jenis dan bentukbadan usaha
Jenis dan bentuk badan
usaha
2,85 –3,17 B Ada 2 aspek
sesuai dengan
kriteria, 1 aspek
kurang sesuai
4.5 Mengklasifikasi jenis badanusaha berdasarkan bentukbadan usaha
3.6. Menjelaskan prinsip-prinsipdan konsep dasar akuntansi
Prinsip-prinsip dan
konsep dasar akuntansi
3,18 –3,50 B + Ada 2 aspek
sesuai dengan
kriteria, 1 aspek
kurang sesuai
4.6 Menggunakan prinsip-prinsip dan konsep dasarakuntansi dalam kasus-kasus keuangan
3.7. Menjelaskan tahapan prosespencatatan transaksi
Tahap-tahap proses
pencatatan transaksi
Pencatatan transaksidalam dokumen
Dokumen transaksidicatat dalam jurnal
Posting dari jurnal kebuku besar
Menyusun neraca saldo
2,85 –3,17 B Ada 2 aspek
sesuai dengan
kriteria, 1 aspek
kurang sesuai
4.7 Melakukan langkah-langkahpencatatan transaksi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 214 ] P a g e
Kompetensi Dasar Materi Pokok Nilai Predikat Kriteria
Menyusun laporankeuangan
3.8. Menjelaskan transaksi bisnisperusahaan
Transaksi bisnis
perusahaan
Pengertian transaksibisnis
Kelompok transaksibisnis
Jenis transaksi bisnis Pengaruh transaksi
bisnis pada prosespencatatan
2,51 –2,84 B - Ada 2 aspek
sesuai dengan
kriteria, 1 aspek
kurang sesuai
4.8 Mengklasifikasi berbagaitransaksi bisnis
3.9. Menjelaskan persamaandasar akuntansi
Persamaan dasar
akuntansi
Pengertian persamaandasar akuntansi
Unsur-unsurpersamaan dasarakuntansi
Bentuk persamaandasar akuntansi
Fungsi persamaandasar akuntansi
Analisis pengaruhtransaksi ke persamaandasar akuntansi
Teknik mencatattransaksi ke dalampersamaan dasarakuntansi
Menyusun persamaandasar akuntansi
2,51 –2,84 B - Ada 2 aspek
sesuai dengan
kriteria, 1 aspek
kurang sesuai
4.9. Menyusun PersamaanDasar Akuntansi
Persamaan Dasar
Akuntansi
Pengertian persamaandasar akuntansi
Unsur-unsurpersamaan dasarakuntansi
Bentuk persamaandasar Akuntan
Fungsi persamaandasar akuntansi
Analisis pengaruhtransaksi ke persamaandasar akuntansi
Teknik mencatattransaksi ke dalampersamaan dasarakuntansi
Menyusun persamaandasar akuntansi
3,18 –3,50 B +
Ada 2 aspek
sesuai dengan
kriteria, 1 aspek
kurang sesuai
Sumber: (Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013, Pasal 77F ayat (4))
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
P a g e [ 215 ]
Berdasarkan hasil Strategi Pembelajaran (Problem Based Learning) di atas, dapat
dilihat bahwa terdapat satu aspek yang belum memenuhi kriteria, sehingga aspek
tersebut dapat mempengaruhi Prestasi Belajar siswa, yang diukur melalui Hasil Belajar.
Kekurangsesuaian aspek, dapat disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah hasil
penilaian atas kriteria yang dilaksanakan siswa, belum mencapai standar penilaian pada
rancangan strategi pembelajaran, berdasarkan pendekatan Scientific. Oleh karena pada
penerapan Kurikulum 2013, sistem penilaian hasil belajar siswa berdasarkan Penilaian
Autentik, yang “hasil output”-nya dalam bentuk Raport Online, maka kekurangsesuaian
aspek di atas berpengaruh pada hasil belajar sebagai berikut :
Tabel 2. Raport Online SMK Semester Gasal 2014-2015
No SISWAPENGETAHUAN KETRAMPILAN
SIKAP SPIRITUAL DANSOSIAL
NILAI CATATAN NILAI CATATAN NILAI CATATAN
1 Abdul AjisB-
(2,70)
Memahami dan menguasaiseluruh kompetensi padatingkat kriteria minimum yangdipersyaratkan dengan Baik,kecuali kompetensi menjelaskanjenis dan bentuk badan usahadan menjelaskan pihak yangmembutuhkan informasiakuntansi perlu dikuasai.
A-(3,70)
Terampil dalamseluruhkompetensidengan sangatBaik terutamamengklasifikasiberbagai pihakyangmembutuhkaninformasiberdasarkan jenisinformasinya
SB
Peserta didiksudah konsistendalam sikapspiritual dansosial. SangatBaik dalam sikapsosial syukur,disiplin,sopansantun
2AdheNourmaYahya
B-(2,68)
Memahami dan menguasaiseluruh kompetensi padatingkat kriteria minimum yangdipersyaratkan dengan Baik,kecuali kompetensi menjelaskanprinsip-prinsip dan konsepdasar akutansi. dan menjelaskanprofesi dan jabatan dalamakuntansi perlu dikuasai.
A-(3,70)
Terampil dalamseluruhkompetensidengan sangatBaik terutamamengklasifikasijenis badan usahaberdasarkanbentuk badanusaha
SB
Peserta didiksudah konsistendalam sikapspiritual dansosial. SangatBaik dalam sikapsosial syukur,disiplin,sopansantun
3 AgustinB-
(2,69)
Memahami dan menguasaiseluruh kompetensi padatingkat kriteria minimum yangdipersyaratkan dengan Baik,kecuali kompetensi menjelaskanprofesi dan jabatan dalamakuntansi dan menjelaskanpihak yang membutuhkaninformasi akuntansi perludikuasai.
A-(3,70)
Terampil dalamseluruhkompetensidengan sangatBaik terutamamengklasifikasijenis badan usahaberdasarkanbentuk badanusaha
SB
Peserta didiksudah konsistendalam sikapspiritual dansosial. SangatBaik dalam sikapsosial syukur,disiplin,sopansantun
4AminatusSofia
B-(2,71)
Memahami dan menguasaiseluruh kompetensi padatingkat kriteria minimum yangdipersyaratkan dengan Baik,kecuali kompetensi menjelaskan
A-(3,70)
Terampil dalamseluruhkompetensidengan sangatBaik terutama
SB
Peserta didiksudah konsistendalam sikapspiritual dansosial. Sangat
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 216 ] P a g e
No SISWAPENGETAHUAN KETRAMPILAN
SIKAP SPIRITUAL DANSOSIAL
NILAI CATATAN NILAI CATATAN NILAI CATATAN
pihak yang membutuhkaninformasi akuntansi danmenjelaskan pengertian, tujuandan peran akuntansi perludikuasai.
mengklasifikasijenis badan usahaberdasarkanbentuk badanusaha
Baik dalam sikapsosial syukur,disiplin, sopansantun
5AnandaSalsabilaSalwa
B-(2,73)
Memahami dan menguasaiseluruh kompetensi padatingkat kriteria minimum yangdipersyaratkan dengan Baik,kecuali kompetensi menjelaskanjenis dan bentuk badan usahadan menjelaskan profesi danjabatan dalam akuntansi perludikuasai.
A-(3,70)
Terampil dalamseluruhkompetensidengan sangatBaik terutamamengklasifikasiberbagai pihakyangmembutuhkaninformasiberdasarkan jenisinformasinya
SB
Peserta didiksudah konsistendalam sikapspiritual dansosial. SangatBaik dalam sikapsosial syukur,disiplin, sopansantun
6AstrilitaAgustinAnggriany
B-(2,68)
Memahami seluruh kompetensipada tingkat kriteria minimumyang dipersyaratkan denganBaik, kecuali kompetensimenjelaskan profesi, jabatanakuntansi, menjelaskan pihakyang membutuhkan informasiakuntansi perlu dikuasai.
A-(3,60)
Terampil dalamseluruhkompetensidengan sangatBaik terutamamengklasifikasijenis badan usahaberdasarkanbentuk badanusaha
SB
Peserta didiksudah konsistendalam sikapspiritual dansosial. SangatBaik dalam sikapsosial syukur,disiplin, sopansantun
Sumber: (Dispendik Kota Surabaya, 2015)
Berdasarkan hasil belajar siswa di atas, menunjukkan bahwa Penerapan
Kurikulum dapat meningkatkan Prestasi Belajar. Hal itu disebabkan bahwa, dalam
Penilaian Autentik, berdasarkan pada beberapa kriteria, sehingga guru dapat menilai
siswa melalui banyak Kriteria Penilaian tersebut, meliputi: Kriteria Spiritual, Sosial,
Pengetahuan, serta Keterampilan. Oleh karena, banyaknya kriteria penilaian, dapat
meningkatkan Prestasi Belajar, yang tercermin pada hasil belajar siswa.
SIMPULAN
Proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan
dengan Pendidik (Guru) sebagai pemegang peranan utama. Oleh karena Proses
pembelajaran mengandung serangkaian perbuatan pendidik/guru dan siswa atas dasar
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan
tertentu.
Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan Strategi
Pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Peran
guru dalam proses belajar-mengajar, bahwasanya guru tidak hanya tampil lagi sebagai
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
P a g e [ 217 ]
pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih
sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manager belajar (learning
manager). Hal ini sudah sesuai dengan fungsi dari peran guru masa depan, sebagai
pelatih. Seorang guru dapat berperan mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar,
memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai Prestasi Belajar setinggi-tingginya.
Prestasi belajar siswa dapat dijadikan komponen evaluasi, yang bertujuan untuk
menilai pencapaian tujuan Penerapan Kurikulum 2013, dan menilai proses implementasi
Kurikulum 2103 secara keseluruhan. Hasil evaluasi Kurikulum 2013, dapat dijadikan
umpan balik untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan Kurikulum 2013. Selain
itu, hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai masukan dalam penentuan kebijakan-
kebijakan pengambilan keputusan tentang Kurikulum 2013.
DAFTAR PUSTAKA
AI-Girl, Tan (2007) Creativity: A Handbook for Teacher. New Jersey: World Scientific.
Arikunto, Suharsini. 1988. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bina Aksara.
Baker, Ronald J. (2008). Mind Over Matter: Why Intellectual Capital is The Chief Source ofWealth. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Bruner., J., S. 1966. Toward a Theory of Instruction. Cambridge: Havard University.
Cohen, Robin; Kennedy, Paul (2000). Global Sociology. New York: Global Sociology.
Carnoy, Martin (1999), Globalization and Education Reform: What Planners Need to Know.Paris: UNESCO.
Craft, Anna (2005) Creativity in Schools Tensions and Dilemmas. USA, Canada: Routhledge.
Cropley, Arthur J. (1997) More Ways Than One: Fostering Creativity. Norwood, NewJersey: ABLEX PUBLISHING CORPORATION.
Dunn, Dana S; Halonen, Jane S. & Smith, Randolph A (2008). Teaching Critical Thinking inPsychology: A Handbook of Best Practices. Oxford: Willey-Blackwell.
Fisher, Robert (2004) “What is creativity?” in Robert Fisher & Mary William (eds.)Unlocking Creativity: Teaching Across the Curriculum. London: David FultonPublisher.
Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta:PT Bumi Aksara.
Hamalik, O. 2002. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:PT Bumi Aksara
Meredith, Geofrey, G. et.all. 2002. The Practice of Entrepreneurship. International LabourOrganization, Geneva.
Nurhadi, 2002. Pendekatam Kontekstual. Jakarta: Direktorat Pendidikan LanjutanPertama, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen PendidikanNasional.
Nurhadi, & Senduk, G., A., 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalamKBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 218 ] P a g e
Nur, Muhammad, 2001. Pengajaran dan pernbelajaran Kontekstual. Makalah padaPelatihan TOT Guru Mata Pelajaran SMA/SMK/MAN Enam Propinsi. Di Surabayatanggal 20 Juni s/d 6 Juli 2001.
Nasution, S. 1987. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bina Aksara
Singgih Trihastuti & Yoko Rimy. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah IstimewaYogyakarta 2000.
Zimerer, Thomas W dan Scarborough, Norman, M, 1998. Essentials Entrepreneurship andSmall Business Management, 2nd Edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey.
Meningkatkan Kemampuan Berpikir… (Raya Sulistyowati)
P a g e [ 219 ]
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA
PADA MATA KULIAH SALESMANSHIP MELALUI METODE PEMBERIAN TUGAS
Raya SulistyowatiUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakTujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritismahasiswa melalui metode pemberian tugas. Penelitian ini didasari dari outputhasil belajar mahasiswa pada mata kuliah salesmanship yang kurang optimalPenelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian ini adalahmahasiswa Pendidikan Tata Niaga 2012 kelas A yang berjumlah 40 mahasiswa.Teknik pengumpulan data dilakukan dalam bentuk lembar observasi dandokumentasi. Analisis data dilakukan dalam bentuk deskriptif kuantitatif. Hasilpenelitian menyimpulkan pada siklus I peningkatan aktivitas dosen sebesar 83persen, peningkatan penilaian mahasiswa 83 persen dan kemampuan berpikirkritis mahasiswa 75 persen. Pada siklus II terdapat peningkatan aktivitas dosenmencapai 92 persen, aktivitas mahasiswa 92 persen dan kemampuan berpikirmahasiswa 92 persen. Berdasarkan analisis data siklus maka penelitian tindakanini berhasil, melalui metode pemberian tugas dapat meningkatkan kemampuanberpikir kritis mahasiswa.
Kata kunci: Kemampuan berpikir kritis, metode pemberian tugas
PENDAHULUAN
Setiap seorang pendidik khususnya dosen di sebuah perguruan tinggi pasti
mengharapkan para peserta didiknya yaitu mahasiswa mahasiswinya sukses. Arti kata
sukses ini merujuk pada para mahasiswa mendapatkan pengetahuan, mampu
memahami, menganalisis, mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari serta dapat
menciptakan sesuatu dari pengetahuan yang diperolehnya. Sebagai seorang dosen
peneliti menyadari bahwa kemampuan mahasiswa dalam menganalisis ataupun dalam
menciptakan sesuatu masih kurang peneliti tingkatkan. Sejauh ini peneliti masih lebih
terfokus pada mahasiswa mampu memahami materi yang diberikan. Kemampuan
mahasiswa memahami materi dilakukan melalui peneliti menjelaskan melalui power
point. Mahasiswa membahas/ mendiskusikan mengenai suatu materi tertentu dengan
cara mahasiswa membuat makalah dan mempresentasikan power point yang dibuatnya
di depan kelas.
Kemajuan teknologi membawa dampak bagi dunia pendidikan. Kemajuan
teknologi ini khususnya teknologi komputer dan internet dapat berdampak positif atau
negatif bagi dunia pendidikan. Dampak positif bagi dosen ataupun mahasiswa
pengetahuan yang lebih luas ataupun spesifik akan lebih cepat untuk diperoleh atau
didapat. Namun negatifnya adalah banyak individu yang hilang rasa kepercayaan dirinya
dan menjadi individu pemalas. Banyak dosen ataupun mahasiswa yang mengcopy-paste
hasil karya orang lain tanpa adanya pengembangan/modifikasi lebih lanjut.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 220 ] P a g e
Penelitian ini juga didasari dari hasil output hasil belajar mahasiswa setahun
sebelumnya pada mata kuliah salesmanship yang kurang optimal. Rata-rata nilai ujian
tengah dan ujian akhir semester yang rata-rata masih ≥80. Selain itu kemampuan
mahasiswa menjawab soal ujian tengah semester dan akhir semester pada umumnya
(75%) masih banyak yang kurang tepat. Banyak pula ditemukan jawaban mahasiswa
yang mirip satu dengan yang lainnya ataupun yang persis sama dengan isi buku.
Berpikir Kritis
Salah satu tujuan dari proses mengajar yang tertinggi adalah agar para anak didik
dapat berpikir kritis. Pada prakteknya penerapan proses belajar mengajar kurang
mendorong pada pencapaian kemampuan berpikir kritis pada anak didik. Dua faktor
penyebab berpikir kritis tidak berkembang selama pendidikan adalah kurikulum yang
umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga staf pengajar lebih terfokus
pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman staf pengajar tentang metode
pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Anderson et al., 1997;
Bloomer, 1998; Kember, 1997 Cit in Pithers RT, Soden R., 2000).
Berkaitan dengan hal di atas, pengertian dari berpikir kritis adalah penentuan
secara hati-hati dan sengaja apakah menerima, menolak atau menunda keputusan
tentang suatu klaim/pernyataan (Moore dan Parker, 1988:4). Sementara itu, Ennis
(1996: xvii) mengungkapkan berpikir kritis adalah suatu proses yang bertujuan untuk
membuat keputusan-keputusan yang masuk akal tentang apa yang dipercayai atau apa
yang dilakukan. Berpikir kritis membutuhkan banyak keterampilan, termasuk
keterampilan mendengar dan membaca dengan hati-hati, mencari dan mendapatkan
asumsi-asumsi yang tersembunyi, dan menjajaki konsekuensi dari suatu pernyataan
(Moore dan Parker. 1986: 5).
Metode Pemberian Tugas
Seorang pendidik yang baik haruslah memahami metode pengajaran yang
dilakukannya. Oleh karena dalam interaksi belajar mengajar, metode memegang peranan
yang sangat penting. Metode dalam kegiatan pengajaran sangat bervariasi, pemilihannya
disesuaikan tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Seorang guru tidak akan dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik bila tidak dapat menguasai satu atau beberapa
metode mengajar. Olehnya itu guna pencapaian tujuan pengajaran, maka pemilihan
metode dalam mengajar harus tepat. Dengan demikian diharapkan kegiatan pengajaran
dan berlangsung secara berdaya guna dan bernilai guna.
Salah satu dari sekian banyak metode pembelajaran adalah metode pemberian
tugas. Metode pemberian tugas adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana guru
memberikan tugas tertentu agar murid melakukan kegiatan belajar, kemudian
dipertanggungjawabkannya (Djamarah, 2002: 96). Menurut Roestiyah teknik pemberian
tugas memiliki tujuan agar siswa menghasilkan hasil belajar yang lebih mantap, karena
Meningkatkan Kemampuan Berpikir… (Raya Sulistyowati)
P a g e [ 221 ]
siswa melaksanakan latihan-latihan selama melakukan tugas, sehingga pengalaman siswa
dalam mempelajari sesuatu menjadi lebih terintegrasi (2012: 132).
Sementara itu Sudjana (2010: 81) mengungkapkan bahwa metode tugas belajar
dan resitasi merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individual maupun secara
kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diungkapkan bahwa metode
pemberian tugas merupakan salah satu metode dengan bertujuan agar anak didik dapat
belajar dari tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Pada penelitian ini tugas-tugas yang
diberikan bertujuan untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis
mahasiswa dan hasil akhirnya juga dapat mengembangkan kemampuan mencipta suatu
hal.
Berdasarkan permasalahan di atas maka pada mata kuliah salesmanship yang saat
ini peneliti ampu, peneliti menginginkan agar para mahasiswa lebih meningkat
kemampuannya dalam menganalisis atau lebih tepatnya meningkatkan kemampuan
berpikir kritis (critical thinking) serta pada akhirnya para mahasiswa mampu
menciptakan suatu ide menjual (media pembelajaran) dan produk untuk dipasarkan.
Untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menciptakan sesuatu
peneliti harus merancang strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran ini meliputi
penggunaan metode pembelajaran, media pembelajaran yang digunakan, dan cara
pemberian tugas.
Peneliti mengharapkan selain mahasiswa meningkat kemampuan nya dalam berpikir
kritis dan menciptakan sesuatu, mahasiswa dapat meningkat kepercayaan diri dan
kreativitasnya. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti memberi judul penelitian
tindakan kelas ini “meningkatkan berpikir kritis mahasiswa Prodi Pendidikan Tata Niaga
pada mata kuliah salesmanship melalui metode pemberian tugas.
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian tindakan dengan
model dari Kemmis dan Mc Taggart. Rancangan dalam penelitian tindakan menurut
Kemmis dan Taggart dalam Arikunto (2006: 106) mencakup tahap-tahap sebagai berikut:
(a) Perencanaan (planning), (b) tindakan (acting), (c) observasi (observing), (d) refleksi
(reflecting), kemudian berlanjut dengan perencanaan ulang (replanning), tindakan,
observasi, dan refleksi untuk siklus berikutnya, begitu seterusnya sehingga membentuk
suatu spiral, seperti gambar 1.
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Pendidikan Tata Niaga UNESA angkatan
2012 kelas A yang berjumlah 40 mahasiswa yang mengikuti mata kuliah salesmanship.
Dosen sejawat berperan sebagai kolaborator dan peneliti sebagai perancang tindakan
dan pelaksana tindakan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa kelas 2012 A sebanyak 40 mahasiswa dan teman sejawat (dosen), hasil tugas,
lembar observasi, foto, dan video. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
semua data yang dapat menggambarkan tingkat keberhasilan dan ketidakberhasilan
penelitian.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 222 ] P a g e
Gambar 1. Penelitian tindakan menurut Kemmis dan Taggart
Analisis data pada penelitian ini adalah data kuantitatif yang dideskripsikan
melalui statistik deskriptif yang disajikan dalam bentuk grafik. Kriteria keberhasilan
tindakan pada siklus I adalah jika nilai rata-rata pada umumnya siswa telah mencapai
skor ≥ 85 dengan jumlah mahasiswa mencapai 34 orang (85%) dari total 40 orang. Jika
pada siklus II belum tercapai kriteria keberhasilan tindakan yang diinginkan maka
penelitian ini akan ditindaklanjuti pada semester selanjutnya dengan subjek peneliti
berbeda. Siklus tidak berlanjut pada siklus III oleh karena keterbatasan waktu mata
kuliah. Alasan peneliti memilih kriteria keberhasilan tindakan sebesar ≥ 85 oleh karena
disesuaikan oleh pendapat Mills (2003:101) yang menyatakan bahwa “the end-of survey
revealed that 71% of students agreed.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil refleksi diri peneliti pada proses kegiatan belajar mengajar
mata kuliah salesmanship setahun yang lalu (2012), di temukan hasil ujian tengah
semester dan ujian akhir semester masih kurang memuaskan. Sejumlah 60 % (24 orang)
mahasiswa hasilnya hanya mencapai nilai 75. Pada ujian tengah semester peneliti
memberikan soal dalam bentuk setiap mahasiswa membuat rancangan suatu bentuk
kegiatan penjualan dan soal pada akhir semester setiap mahasiswa di minta untuk
membuat suatu rancangan kegiatan pemasaran produk.
Nilai yang diharapkan oleh peneliti pada setiap mahasiswa adalah 81-90. Alasan
peneliti memilih mata kuliah ini oleh karena mata kuliah ini merupakan salah satu mata
kuliah yang penting dan harus dikuasai oleh mahasiswa Pendidikan Tata Niaga Unesa.
Anak belajar melalui kegiatan menjual, hendaknya calon pendidik dapat merancang suatu
kegiatan menjual produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Hasil refleksi mata kuliah
salesmanship, 24 mahasiswa masih kurang kemampuannya dalam merancang kegiatan
pemasaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasar.
Meningkatkan Kemampuan Berpikir… (Raya Sulistyowati)
P a g e [ 223 ]
Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti melakukan
pembahasan dengan cara mendeskripsikan data per siklus.
Aktivitas dosen
Berdasarkan data yang diperoleh pada siklus I dan siklus II dapat tergambarkan
seperti gambar grafik di bawah ini:
Gambar 2. Peningkatan Aktivitas Dosen
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ada peningkatan sebesar 8% aktivitas
dosen, dari data awal siklus I sebesar 83% dan siklus II sebesar 91%. Target kriteria
keberhasilan dari aktivitas dosen sebesar 85%, kriteria baru tercapai melebihi target
yang diharapkan pada siklus II.
Aktivitas mahasiswa
Berdasarkan data yang diperoleh pada siklus I dan siklus II dapat tergambarkan
seperti gambar grafik di bawah ini:
Gambar 3. Peningkatan Aktivitas Mahasiswa
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ada peningkatan sebesar 8% aktivitas
dosen, dari data awal siklus I sebesar 83% dan siklus II sebesar 91%. Target kriteria
keberhasilan dari aktivitas dosen sebesar 85%, kriteria baru tercapai melebihi target
yang diharapkan pada siklus II.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 224 ] P a g e
Kemampuan berpikir kritis mahasiswa
Berdasarkan data yang diperoleh pada siklus I dan siklus II dapat tergambarkan
seperti gambar grafik di bawah ini:
Gambar 4. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ada peningkatan sebesar 16%
kemampuan berpikir kritis mahasiswa, dari data awal siklus I sebesar 75% dan siklus II
sebesar 91%. Target kriteria keberhasilan dari kemampuan berpikir kritis mahasiswa
yang diharapkan adalah 85%, kriteria ini baru tercapai pada siklus II.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat untuk menjawab hipotesis
tindakan sebagai berikut dengan metode pemberian tugas dapat menumbuhkan berpikir
kritis mahasiswa pada mata kuliah salesmanship terbukti kebenarannya. Metode
pemberian tugas merangsang mahasiswa untuk aktif belajar baik secara individual
maupun secara berkelompok. Oleh sebab itu dengan metode pemberian tugas
diharapkan dapat meningkatkan aktivitas, minat serta motivasi mahasiswa untuk belajar
dan berpikir aktif dan kritis sehingga tercapainya hasil belajar yang diharapkan.
Teknik pemberian tugas atau resitasi digunakan dengan tujuan agar mahasiswa
memiliki hasil belajar yang lebih mantap, karena mahasiswa melaksanakan latihan-
latihan selama melaksanakan tugas. Sehingga pengalaman mahasiswa dalam
mempelajari sesuatu dapat terintegrasi. Hal itu terjadi disebabkan mahasiswa mendalami
situasi atau pengalaman yang berbeda dalam menghadapi masalah-masalah baru. Di
samping itu untuk memperoleh pengetahuan melaksanakan tugas akan memperluas dan
memperkaya pengetahuan serta keterampilan mahasiswa di kampus. Dengan kegiatan
melaksanakan tugas mahasiswa aktif belajar dan merasa terangsang untuk meningkatkan
belajar yang lebih baik, memupuk inisiatif dan berani bertanggung jawab sendiri. Banyak
tugas yang harus dikerjakan mahasiswa, hal itu diharapkan mampu menyadarkan
mahasiswa untuk memanfaatkan waktu senggangnya untuk hal-hal yang menunjang
belajarnya dengan mengisi kegiatan-kegiatan yang berguna dan konstruktif.
Meningkatkan Kemampuan Berpikir… (Raya Sulistyowati)
P a g e [ 225 ]
SIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan (1) Adanya peningkatan aktivitas dosen pada siklus
II. Peningkatan ini dapat dilihat dari perbandingan data antara siklus I dan II. (2)
Terjadinya peningkatan hasil belajar mahasiswa. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh
dari siklus I dan siklus II. Penerapan metode pemberian tugas pada mata kuliah
salesmanship dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dan dua faktor
pendukung hingga terjadinya peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa adalah
aktivitas dosen dan aktivitas mahasiswa. Aktivitas dosen mempengaruhi kemampuan
berpikir mahasiswa. Penerapan metode pemberian tugas dapat meningkatkan berpikir
kritis siswa khususnya pada mata kuliah salesmanship. Oleh karena itu penulis
menyarankan: (1) Kepada para dosen agar mengembangkan strategi metode pemberian
tugas dengan memperhatikan aktivitas dosen dan aktivitas mahasiswa sehingga hasil
KBM yang diharapkan dapat berhasil secara optimal. (2) Metode pemberian tugas harus
bervariasi dan dipastikan memunculkan ide mahasiswa sehingga dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammmad.2008. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar BaruAlgensindo.
E. Mills, Geoffrey. 2003. Action Research: A guide For Teacher Research. New Jersey:Pearson Education.
Ennis, R.H. 1996. Critical Thinking. University of Illinois.
Hamalik, Oemar.2009. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta; Bumi Aksara
Moleong, Lexi J. 2004. Metodologi penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: RemajaRosdakarya..
Moore, B. N., & Parker, R. (1986). Critical thinking. Los Angeles, CA: Mayfield.
Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT Lukis Pelangi AksaraYogyakarta.
Robert J, Gregory. 2000. Psychological Testing History, Principles, and Aplications. Boston:Allyn and Bacon.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT RinekaCipta.
Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Proses Mengajar. Bandung; Rosdakarya.
Suharsimi Arikunto, dkk,2006. Penelitian Tindakan Kelas .Jakarta: Bumi Aksara.
UU RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:CV MedyaJakarta.
Wilson, Organ T. (1965). The Art of Critical Thinking. Boston: Houghton Mifflin CompanySyaiful Bahri Djamarah 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rinneka Cipta
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 226 ] P a g e
STRATEGI PEMBELAJARAN TORSEBA KUIS FAMILI 30-2 UNTUK
MENINGKATKAN STANDAR KOMPETENSI INFLASI SISWA
SubarkahUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakMemasuki Era AFTA 2015, dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yangmemiliki moral kepribadian simpatik. Dalam dunia pendidikan, guru jugadituntut mampu memiliki empat kompetensi. Indikator keberhasilan pembaruankurikulum ditunjukkan dengan adanya perubahan pada pola kegiatan belajar-mengajar, memilih media pendidikan, dan menentukan strategi belajar yangmerujuk pada hasil evaluasi untuk meningkatkan prestasi. Artikel hasilpemikiran ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi pembelajaran TorsebaKuis Famili 30-2 untuk meningkatkan hasil evaluasi belajar. Hasil pembahasanmenunjukkan bahwa guru perlu menerapkan strategi yang mampumeningkatkan prestasi belajar siswa salah satunya melalui implementasi sebuahstrategi pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 untuk meningkatkan hasilevaluasi belajar standar kompetensi inflasi. Model evaluasi pembelajaran iniadalah sebuah model yang menekankan pada proses keterlibatan siswa aktifpada pencapaian hasil evaluasi yang menekankan pada komponen kognitif,psikomotorik dan afektif dengan berbagai ragam evaluasi yaitu tes tertulis,performance test, hasil karya, produk dan portofolio.
Kata Kunci: Strategi Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2
PENDAHULUAN
Memasuki Era AFTA 2015, dibutuhkan Kualitas Sumber Daya Manusia yang
Memiliki Moral Kepribadian yang simpatik agar selalu mampu bertahan dalam
goncangan sekeras apapun utamanya bidang ekonomi ketika berinteraksi dengan
masyarakat. Dalam Dunia Pendidikan, Guru juga dituntut mampu memiliki empat
kompetensi kepribadian sehingga lahir generasi muda penerus tongkat estafet
perjalanan Bangsa ini menjadi bangsa yang Berkarakter
Indikator keberhasilan pembaruan kurikulum ditunjukkan dengan adanya
perubahan pada pola kegiatan belajar-mengajar, memilih media pendidikan, dan
menentukan strategi belajar yang merujuk pada hasil evaluasi untuk meningkatkan
prestasi. Selama ini Guru dalam memberikan evaluasi atau umpan balik selalu
memberikan bobot soal yang sama pada siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda.
Tentu hal ini tidak adil karena karakteristik, kemampuan dan intelegensi mereka
sangatlah beragam.
Oleh karena itu, penulis merasa bahwa permasalahan atau fenomena tersebut
perlu diatasi dengan tindakan yang mengandung upaya guru untuk meningkatkan
prestasi belajar siswa dengan kemampuan yang berbeda. Upaya ini melalui implementasi
sebuah strategi model pembelajaran torseba kuis famili 30-2 untuk meningkatkan hasil
evaluasi belajar standar kompetensi inflasi di kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban.
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
P a g e [ 227 ]
Kuis Famili 30-2 terinspirasi dari Acara Televisi fenomenal yang awalnya
dibawakan presenter kondang Sony Tulung dan kini dibawakan oleh Artis serba bisa
Tukul Arwana. Model evaluasi pembelajaran ini adalah sebuah model yang menekankan
pada proses keterlibatan siswa aktif pada pencapaian hasil evaluasi yang menekankan
pada komponen kognitif, psikomotorik dan afektif dengan berbagai ragam evaluasi yaitu
test tertulis, test performance, hasil karya, produk dan portofolio. Atas dasar pemikiran
tersebut, di Indonesia mulai tahun 2004 secara serentak telah diimplementasikan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KTSP). Implementasi KTSP yang merupakan wujud
perubahan kurikulum sebelumnya sepatutnya disertai perubahan cara berpikir.
Costa menyatakan changing curriculum means changing your mind (1999:26).
Perubahan pola berpikir yang dimaksud tidak hanya dilakukan oleh guru di sekolah,
tetapi juga oleh semua unsur praktisi dan teoretisi pendidikan. Perubahan pola pikir
tersebut diperlukan agar para Guru dapat secara optimal memfasilitasi siswanya belajar
dengan KTSP. Guru diharapkan senantiasa berkolaborasi dan bersinergi memikirkan
esensi KTSP agar implementasinya dapat berdampak positif bagi siswa di sekolah.
Beberapa penekanan perubahan pikiran yang diperlukan adalah: (1) dari peran
guru sebagai transmiter ke fasilitator, pembimbing dan konsultan, (2) dari peran guru
sebagai sumber pengetahuan menjadi kawan belajar, (3) dari belajar diarahkan oleh
kurikulum menjadi diarahkan oleh siswa sendiri, (4) dari belajar di jadwal secara ketat
menjadi terbuka, fleksibel sesuai keperluan, (5) dari belajar berdasarkan fakta menuju
berbasis masalah dan proyek, (6) dari belajar berbasis teori menuju dunia dan tindakan
nyata serta refleksi, (7) dari kebiasaan pengulangan dan latihan menuju perancangan dan
penyelidikan, (8) dari taat aturan dan prosedur menjadi penemuan dan penciptaan, (9)
dari kompetitif menuju kolaboratif, (10) dari fokus kelas menuju fokus masyarakat, (11)
dari hasil yang ditentukan sebelumnya menuju hasil yang terbuka, (12) dari belajar
mengikuti norma menjadi keanekaragaman yang kreatif (13) dari penggunaan komputer
sebagai objek belajar menuju penggunaan komputer sebagai alat belajar, (14) dari
presentasi media statis menuju interaksi multimedia yang dinamis, (15) dari komunikasi
sebatas ruang kelas menuju komunikasi yang tidak terbatas, (16) dari penilaian hasil
belajar secara normatif menuju pengukuran unjuk kerja yang komprehensif.
Pergeseran pola berpikir tersebut berimplikasi pada penetapan tatanan tertentu
dalam pembelajaran. Tatanan tertentu yang menjadi fokus pembelajaran mendasarkan
diri pada hakikat tuntutan perkembangan iptek. Beberapa kecenderungan tersebut,
antara lain: (1) penempatan empat pilar pendidikan UNESCO: learning to know, learning
to do, learning to be, dan learning to life together sebagai paradigma pembelajaran, (2)
kecenderungan bergesernya orientasi pembelajaran dari teacher centered menuju
student centered, (3) kecenderungan pergeseran dari content-based curriculum menuju
competency-based curriculum, (4) perubahan teori pembelajaran dan asesmen dari model
behavioristik menuju model konstruktivistik, dan (5) perubahan pendekatan teoretis
menuju kontekstual, (6) perubahan paradigma pembelajaran dari standardization
menjadi customization, (7) dari evaluasi dengan paper and pencil test yang hanya
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 228 ] P a g e
mengukur convergent thinking menuju open ended question, performance assessment, dan
portfolio assessment, yang dapat mengukur divergent thinking.
Kuis Famili 30-2 adalah bentuk sistem evaluasi yang dilakukan guru untuk
memberikan rasa gembira kepada siswa sehingga mencapai hasil evaluasi pembelajaran
yang menjadi tujuan guru dari beberapa aspek atau komponen penilaian. Langkah awal
dalam melaksanakan Kuis Famili 30-2 ini adalah membuat profil prestasi siswa
kemudian menggolongkannya menjadi beberapa kategori. Penggolongan ini tidak
dimaksudkan sebagai diskriminasi siswa tetapi lebih difokuskan pada rangsangan untuk
mencapai level lebih tinggi atau paling tinggi pada standar kompetensi yang diharapkan
meningkat dengan proses hasil yang berkesinambungan.
Proses analisis data sebagai hasil penelitian meliputi peningkatan aktivitas siswa
dan kemunculan sikap kooperatif siswa dari berbagai komponen pembelajaran dan
peningkatan life skill. Dengan demikian ada ketercapaian hasil prestasi belajar yang bisa
dilanjutkan dengan pesta rujak sebagai manivestasi buah nyata di papan flanel dengan
berbagai tujuan dan manfaat. Maka dari itu, berdasarkan pemaparan tersebut, Rumusan
masalah yang dikaji dalam artikel ini adalah; (1) Apakah Strategi Model Pembelajaran
Torseba Kuis Famili 30-2 dapat Meningkatkan Hasil Evaluasi Belajar Standar Kompetensi
Inflasi Di Kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban?; (2) Apakah Strategi Model
Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 dapat Meningkatkan Life Skill Standart
Kompetensi Inflasi Di Kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban? (3) Sarana dan
Prasarana apa yang dibutuhkan dalam Pencapaian Strategi Model Pembelajaran Torseba
Kuis Famili 30-2 Standart Kompetensi Inflasi Di Kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan
Tuban?
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian yang terbatas pada ruang lingkup sebagai
berikut; (1) Penelitian dilaksanakan pada kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban
semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015; (2) Pembelajaran berfokus pada Standar
Kompetensi Inflasi Mata Pelajaran Ekonomi kelasX-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban
semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Metode Observasi, wawancara, test dan analisa data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengertian strategi ada beberapa macam sebagaimana dikemukakan oleh para
ahli dalam buku karya mereka masing-masing. Kata strategi berasal dari kata Strategos
dalam bahasa Yunani merupakan gabungan dari Stratos atau tentara dan ego atau
pemimpin. Suatu strategi mempunyai dasar atau skema untuk mencapai sasaran yang
dituju. Jadi pada dasarnya strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Menurut Marrus (2002:31) strategi didefinisikan sebagai suatu proses penentuan
rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi,
disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai.
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
P a g e [ 229 ]
Selanjutnya Quinn (1999:10) mengartikan strategi adalah suatu bentuk atau rencana
yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan dan rangkaian
tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh. Strategi
diformulasikan dengan baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumber
daya yang dimiliki perusahaan menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan.
Strategi yang baik disusun berdasarkan kemampuan internal dan kelemahan perusahaan,
antisipasi perubahan dalam lingkungan, serta kesatuan pergerakan yang dilakukan oleh
mata-mata musuh.
Dari kedua pendapat di atas, maka strategi dapat diartikan sebagai suatu rencana
yang disusun oleh manajemen puncak untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Rencana
ini meliputi: tujuan, kebijakan, dan tindakan yang harus dilakukan oleh suatu organisasi
dalam mempertahankan eksistensi dan menenangkan persaingan, terutama perusahaan
atau organisasi harus memiliki keunggulan kompetitif.
Hal ini seperti yang diungkapkan Ohmae (1999:10) bahwa strategi bisnis, dalam
suatu kata, adalah mengenai keunggulan kompetitif. Satu-satunya tujuan dari
perencanaan strategis adalah memungkinkan perusahaan memperoleh, seefisien
mungkin, keunggulan yang dapat mempertahankan atas saingan mereka. Strategi
koorporasi dengan demikian mencerminkan usaha untuk mengubah kekuatan
perusahaan relatif terhadap saingan dengan seefisien mungkin. Setiap perusahaan atau
organisasi, khususnya jasa, bertujuan untuk memberikan pelayanan yang baik bagi
pelanggannya.
Oleh karena itu, setiap strategi perusahaan atau organisasi harus diarahkan bagi
para pelanggan. Hal ini seperti yang dijelaskan Hamel dan Prahalad (1995:31) “bahwa
strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan
terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan
oleh para pelanggan di masa depan”. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai
dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Misalnya strategi itu
mungkin mengarahkan organisasi itu ke arah pengurangan biaya, perbaikan kualitas, dan
memperluas pasar.
Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen
memerlukan kompetensi inti (core competencies).Perusahaan perlu mencari kompetensi
inti di dalam bisnis yang dilakukan. Goldworthy dan Ashley (1996:98) mengusulkan
tujuh aturan dasar dalam merumuskan suatu strategi sebagai berikut : (a) Ia harus
menjelaskan dan menginterpretasikan masa depan, tidak hanya masa sekarang;(b)
Arahan strategi harus bisa menentukan rencana dan bukan sebaliknya;(c) Strategi harus
berfokus pada keunggulan kompetitif, tidak semata-mata pada pertimbangan keuangan;
(d) Ia harus diaplikasikan dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas;(e) Strategi harus
mempunyai orientasi eksternal;(f) Fleksibilitas adalah sangat esensial;(g) Strategi harus
berpusat pada hasil jangka panjang.
Suatu strategi hendaknya mampu memberi informasi kepada pembacanya yang
sekaligus berarti mudah diperbaharui oleh setiap anggota manajemen puncak dan setiap
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 230 ] P a g e
karyawan organisasi. Maka oleh Donelly (1996:109) dikemukakan enam informasi yang
tidak boleh dilupakan dalam suatu strategi, yaitu a) Apa, apa yang akan dilaksanakan; (b)
Mengapa demikian, suatu uraian tentang alasan yang akan dipakai dalam menentukan
apa di atas; (c) Siapa yang akan bertanggung jawab untuk atau mengoperasionalkan
strategi) Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mensukseskan strategi)
Berapa lama waktu yang diperlukan untuk operasional strategi tersebut; f) Hasil apa
yang akan diperoleh dari strategi tersebut untuk menjamin agar supaya strategi dapat
berhasil baik dengan meyakinkan bukan saja dipercaya oleh orang lain, tetapi memang
dapat dilaksanakan.
Landasan Teori tentang Keberhasilan Proses Pembelajaran
Sejak tahun 1980 hingga tahun 2000, Indonesia setidaknya tiga kali telah
mengalami perubahan kurikulum. Namun, patut diakui bahwa hasil-hasil pendidikan di
Indonesia masih jauh dari harapan. Lulusan sekolah di Indonesia masih sangat rendah
tingkat kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001).
Rendahnya tingkat kompetisi dan relevansi lulusan tersebut dapat digunakan alternative
refleksi bahwa tingkat kompetisi dan relevansi pembelajaran juga patut dipikirkan.
Kompetensi peserta didik sebagai produk pembelajaran sangat menentukan
tingkat kehidupannya kelak setelah mereka menjalani hidup di dunia nyata. Artinya,
kompetensi itu sangat penting bagi setiap orang dalam menghadapi perkembangan
teknologi yang begitu pesat. Lebih-lebih dalam menghadapi era informasi, AFTA, dan
perdagangan bebas di abad pengetahuan yang banyak ditandai oleh pergeseran peran
manufaktur ke sektor jasa berbasis pengetahuan, kompetensi itu merupakan salah satu
faktor yang sangat menentukan kehidupan manusia. Artinya, ketika kehidupan telah
berubah menjadi semakin maju dan kompleks, masalah kehidupan yang banyak diwarnai
oleh fenomena dunia nyata diupayakan dapat dijelaskan secara keilmuan.
Berdasarkan pemilikan kompetensi keilmuan tersebut, maka peserta didik
diharapkan mampu memecahkan dan mengatasi permasalahan kehidupan yang dihadapi
dengan cara lebih baik, lebih cepat, adaptif, lentur, dan versatile. Atas dasar pemikiran
tersebut, di Indonesia mulai tahun 2004 secara serentak telah diimplementasikan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Implementasi KBK yang merupakan wujud
perubahan kurikulum sebelumnya sepatutnya disertai perubahan cara berpikir.
Costa menyatakan changing curriculum means changing your mind (1999:26).
Perubahan pola berpikir yang dimaksud tidak hanya dilakukan oleh guru di sekolah,
tetapi juga oleh semua unsur praktisi dan teoretisi pendidikan. Perubahan pola pikir
tersebut diperlukan agar para Guru dapat secara optimal memfasilitasi siswanya belajar
dengan KBK. Guru diharapkan senantiasa berkolaborasi dan bersinergi memikirkan
esensi KBK agar implementasinya dapat berdampak positif bagi siswa di sekolah. Hal
inilah yang memunculkan adanya Formula Baru dalam Penerapan Kurikulum yaitu
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai 2006 dan Penerapan Kurikulum
2013 di beberapa sekolah model atau percontohan.
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
P a g e [ 231 ]
Landasan Teori tentang Model Pembelajaran
Beberapa pendekatan pembelajaran sering berfokus pada kemampuan
metakognitif para siswa. Para siswa diberikan kebebasan dalam mengembangkan
keterampilan berpikir. Pembelajaran mencoba memandu para siswa menuju pandangan
konstruktivistik mengenai belajar, bahwa siswa sendiri secara aktif mengkonstruksi
pengetahuan mereka.
Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa pembelajaran inovatif dapat
meningkatkan proses dan hasil belajar siswa (Ardhana et al., 2003; Sadia et al., 2004;
Santyasa et al., 2003). Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma pembelajaran,
tidak terlepas pula dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang
diharapkan. Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada
tiga focus belajar, yaitu: (1) proses, (2) transfer belajar, dan (3) bagaimana belajar. Fokus
yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk mempersepsi
apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar.
Nilai tersebut didasari oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa
berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya
mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap
mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut
melahirkan komitmen untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum
menuju pendidikan berpusat pada siswa.
Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya
bagaimana membantu para siswa melakukan revolusi kognitif. Model pembelajaran
perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan
pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu
nilai utama pendekatan konstruktivistik. Fokus yang kedua—transfer belajar,
mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya dapat
mengingat apa yang dipelajari”.
Satu nilai yang dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa belajar bermakna harus
diyakini memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan belajar menghafal, dan
pemahaman lebih baik dibandingkan hafalan. Sebagai bukti pemahaman mendalam
adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru. Fokus yang
ketiga—bagaimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan
dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how to learn,
adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini, diperlukan
fasilitas belajar untuk keterampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir
merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa, 2003).
Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar yang disasar tersebut
tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan.
Paradigma tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut
hendaknya bergeser dari belajar hafalan menuju belajar mengkonstruksi pengetahuan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 232 ] P a g e
Belajar hafalan, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil belajar. siswa tidak
menyediakan perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Belajar hafalan,
hanya mampu mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa
menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan
masalah-masalah baru.
Siswa hanya mampu menambah informasi dalam memori. Belajar mengkonstruksi
pengetahuan dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Siswa mencoba
membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model
mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses
kognitif dalam belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian
terhadap informasi-informasi yang relevan dengan seleksi, mengorganisasi infromasi-
informasi tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses pengorganisasian,
dan menggabungkan representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah
ada di benaknya melalui proses integrasi. Hasil-hasil belajar tersebut secara teoretik
menjamin siswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan secara
bermakna. Dalam hal ini, peranan guru sangat strategis untuk membantu siswa
mengkonstruksi tujuan belajar. Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan
ekonomi (Arend et al., 2001), di abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang
harus dimiliki oleh Guru dalam pembelajaran.
Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang baik
tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan
dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa, memiliki
kemampuan mempercepat kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama
dengan orang lain. Para Guru diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan
pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi
tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Guru tidak diharuskan memiliki semua
pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang
mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru
diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan
kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis.
Para guru diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan
pemahaman yang mendalam.
Di samping penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki keragaman model
atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam. Secara lebih
spesifik, peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai
manager, dan sebagai mediator. Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki
pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup
untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan
pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai
tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa.
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
P a g e [ 233 ]
Gambar 1. Alur Model Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2
Landasan Teori tentang TORSEBA Model Kuis Famili 30-2
Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah
pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu: (1) membaca dan berpikir
(mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan setting
pemecahan, (2) mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi,
melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar), (3) menyeleksi
PEMBELAJARANBELUM TERASA
FUN DANMENYENANGKAN
TEMUAN AWAL : SKM
STANDART KOMPETENSI
INFLASI RENDAH; INDIKASI
STRATEGI PEMBELAJARAN
BELUM TEPAT
WAWANCARA
DENGAN GURU
EKONOMI
MERENCANAKAN
STRATEGI PEMBELAJARAN
YANG MAMPU MENARIK
MINAT SISWA
MEMBUAT PETA
KONSEP
TENTANG
MATERI INFLASI
DI PAPAN TULIS
MENUGASKAN
KEPADA SISWA
UNTUK MEMBUAT
PETA KONSEP
MATERI INFLASI DI
KOMPUTER
PROGRAM POWER
POINT
MENJELASKAN KONSEP
MATERI INFLASI DENGAN
MENGUBAH PERAN
SISWA MENJADI PERAN
GURU / TORSEBA
(TUTOR SEBAYA )
GURU
MERENCANAKAN
MODEL
PEMBELAJARAN
MODEL KUIS FAMILI
30-2 DENGAN
MERANCANG SOAL
DAN JAWABAN
ACTION
MODEL KUIS
FAMILI 30-2
DENGAN 6
KELOMPOK
MELAKUKAN
EVALUASI HASIL
BELAJAR,
MENGANALISA DATA
DAN MELAKUKAN
REFLEKSI
PENELITIAN
BERHASIL
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 234 ] P a g e
strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau
ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan), (4) menemukan jawaban (mengestimasi,
menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri), (5) refleksi dan perluasan
(mengoreksi jawaban, menemukan alternative pemecahan lain, memperluas konsep dan
generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif
yang orisinil).
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmitter
pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi
masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah
guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif,
fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses
siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah. Sarana pembelajaran yang diperlukan
adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses berpikir dasar,
kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah non rutin, dan
masalah-masalah non rutin yang menantang siswa untuk melakukan upaya reasoning
dan problem solving.
SIMPULAN
Dari apa yang penulis kemukakan dalam paparan di atas, Strategi Model
Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 dapat digunakan untuk meningkatkan hasil
evaluasi belajar standar kompetensi inflasi di kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, W., Kaluge, L., & Purwanto.(2004). Pembelajaran inovatif untuk pemahamandalam belajar matematika dan sains di SD, SLTP, dan di SMU. Laporan penelitian.
Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. (2001). Exploring Teaching: AnIntroduction to Education. New York: McGraw-Hill Companies.
Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. (1993). In Search of Understanding: The Case forConstructivist Classrooms. Virginia: Association for Supervision and CurriculumDevelopment.
Burden, P. R., & Byrd, D. M. (1996).Method for Effective Teaching, second edition. Boston:Allyn and Bacon. Costa, A. L.1991.The School As a Home for The Mind. Palatine,Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc.
Dochy, F. J. R. C. (1996). Prior Knowledge and Learning. Dalam Corte, E. D., & Weinert, F.(eds.): International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology.New York: Pergamon
Duit, R. (1996). Preconception and Misconception. Dalam Corte, E. D., & Weinert, F. (eds.):International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology. NewYork: Pergamon
Fogarty, R. (1997). Problem-Based Learning and Other Curriculum Models for The MultipleIntelligences Classroom. Arlington Heights, Illinois: Skylight Training and Publishing,Inc.
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
P a g e [ 235 ]
Gardner, H. (1991). The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools ShouldTeach. New York: Basic Books.
Gardner, H. (1999). Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for The 21th century. NewYork: Basic Books.
Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. (1990). Instruction: A Models Approach. Boston:Allyn and Bacon.
Hynd, C.R., Whorter, J.Y.V., Phares, V.L., & Suttles, C.W. (1994). The Rule of InstructionalVariables in Conceptual Change in High School Physics Topics. Journal of Research InScience Teaching. 31(9), 933-946.
Joyce, B., & Weil, M. (1980). Model of Teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Krulik, S., & Rudnick, J. A. (1996).The New Sourcebook for Teaching Reasoning andProblem Solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon.
Parawansa, P. (2001). Reorientasi Terhadap Strategi Pendidikan Nasional. Makalah.Disajikan dalam Simposium Pendidikan Nasional dan Munas I Alumni PPS UM. diMalang, 13 Oktober 2001.
Perkins, D. N., & Unger, C. (1999). Teaching and Learning for Understanding. DalamReigeluth,C. M. (Ed.): Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm ofInstruction theory, Volume II. New Jersey: Lawrence Erlboum Associates, Publisher.
Puskur. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Hasil Belajar Mata PelajaranMatematika. Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas.
Reigeluth, C. M. (1999). What is Instructional-Design Theory and How Is It Changing?Dalam: Reigeluth, C. M. (Ed.). Instructional-Design Theories and Models: A NewParadigm of Instructional Theory, 2. 5-29. New Jersey: Lawrence ErlbaumAssociates, Publisher.
Rivard, L. P. (1994). A Review of Writing to Learn in Science Implications for Practice andResearch. Journal of Research in Science Teaching,.31(9), 969-983.
Santyasa, I W. (2003). (a).Pendidikan, Pembelajaran, dan Penilaian Berbasis Kompetensi.Makalah. Disajikan dalam Seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja,27 Februari 2003, di Singaraja.
Santyasa, I W. (2003). (b).Asesmen dan Kriteria Penilaian Hasil Belajar Fisika BerbasisKompetensi Makalah. Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Bidang PeningkatanRelevansi Program DUE-LIKE Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja,Tanggal 15-16 Agustus 2003, di Singaraja
Santyasa, I W.(2003).(c).Pembelajaran Fisika Berbasis Keterampilan Berpikir SebagaiAlternatif Implementasi KBK. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional TeknologiPembelajaran, 22-23 Agustus 2003, Di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 236 ] P a g e
PENINGKATAN HASIL BELAJAR MAHASISWA MELALUI
DIRECT INSTRUCTIONAL PADA MATAKULIAH PENGANTAR AKUNTANSI
Suci Rohayati & Dhiah FitrayatiUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakMelalui kegiatan lesson study pada pembelajaran pengantar akuntansi diperolehinformasi bahwa tidak semua mahasiswa mencoba untuk mengerjakan latihansoal yang diberikan oleh dosen terlebih ketika telah terdapat mahasiswa yangbersedia untuk mengerjakan ke depan. Oleh karenanya diperlukan adanyapenerapan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi seluruh mahasiswauntuk berlatih yang disertai dengan pembimbingan yaitu model pembelajaranlangsung. Penelitian dilakukan dengan mengikuti prosedur penelitian tindakankelas yang bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan dosen dan mahasiswadalam pembelajaran, pencapaian hasil belajar mahasiswa dan respon mahasiswaterhadap penerapan model pembelajaran langsung. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa penerapan pembelajaran langsung secara umum dapatberjalan sesuai dengan yang direncanakan. Beberapa kendala yang ada dapatdiperbaiki pada putaran berikutnya. Pendekatan ini mampu meningkatkanaktivitas mahasiswa. Hasil belajar pada materi ayat Jurnal Penyesuaian danNeraca Lajur mengalami peningkatan ketuntasan belajar klasikal dari 24,59persen pada menjadi 86,89 persen. Respon mahasiswa terhadap pembelajarantergolong positif.
Kata kunci: direct instructional, hasil belajar
PENDAHULUAN
Matakuliah Pengantar Akuntansi merupakan matakuliah dasar yang membahas
tentang konsep dasar teori akuntansi. Dalam struktur kurikulum Program Studi S1
Pendidikan Akuntansi Universitas Negeri Surabaya, matakuliah Pengantar Akuntansi
diselenggarakan di semester satu dan merupakan matakuliah prasyarat untuk beberapa
matakuliah lain. Berdasarkan analisis ketuntasan indikator selama dua tahun terakhir,
indikator merumuskan ayat jurnal penyesuaian dan menyusun neraca lajur merupakan
indikator dengan tingkat ketuntasan yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan
tingkat ketuntasan indikator yang lain pada pokok bahasan yang sama.
Indikator merumuskan ayat jurnal penyesuaian dan menyusun neraca lajur
merupakan bagian dari pokok bahasan siklus akuntansi perusahaan dagang. Secara
substansi, pokok bahasan siklus akuntansi perusahaan dagang merupakan pokok
bahasan yang membutuhkan banyak latihan. Oleh karenanya dalam kegiatan perkuliahan
mahasiswa dibekali dengan tugas yang dikerjakan secara mandiri di rumah. Pekerjaan
rumah tersebut dikerjakan oleh mahasiswa dengan benar dan dikumpulkan tepat waktu.
Kendatipun demikian tingkat ketuntasan kedua indikator tersebut masih rendah.
Hasil observasi selama perkuliahan menunjukkan bahwa minat mahasiswa
mengikuti perkuliahan cukup tinggi jika dilihat dari presensi kehadiran. Akan tetapi jika
dilihat dari aktivitas selama kegiatan pembelajaran di kelas hanya terdapat beberapa
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
P a g e [ 237 ]
mahasiswa saja yang aktif. Bahkan ketika diminta untuk mengerjakan contoh soal di
papan tulis hanya mahasiswa tertentu yang bersedia mengerjakan. Adapun mahasiswa
yang bersedia untuk mengerjakan soal di papan tulis merupakan mahasiswa yang sama
di setiap pertemuan.
Melalui kegiatan lesson study diperoleh informasi bahwa tidak semua mahasiswa
mencoba untuk mengerjakan latihan soal yang diberikan oleh dosen terlebih ketika telah
terdapat mahasiswa yang bersedia untuk mengerjakan ke depan. Oleh karenanya
diperlukan adanya penerapan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi seluruh
mahasiswa untuk berlatih yang disertai dengan pembimbingan. Adapun model
pembelajaran yang dirasa sesuai adalah model pembelajaran langsung atau direct
instructional. Hal ini dikarenakan model pembelajaran langsung merupakan model
pembelajaran yang memiliki karakteristik pembimbingan dan latihan mandiri.
Penggunaan model pengajaran langsung dilandasi dari beberapa teori yang
mendukung seperti teori belajar perilaku dan teori pembelajaran sosial (Nur, 2005).
Teori belajar perilaku menurut Skinner (dalam Nur, 2005), menyatakan bahwa manusia
belajar dan bertindak dengan cara spesifik sebagai sebuah hasil dari bagaimana perilaku
tertentu itu disemangati melalui penguatan. Sementara teori perilaku sosial menurut
Bandura (dalam Nur, 2005) menyatakan bahwa banyak hal yang dipelajari manusia
berasal dari pengamatannya terhadap orang lain.
Lebih lanjut Bandura (dalam Nur, 2005) menjelaskan bahwa pembelajaran
melalui pengamatan atau observational learning merupakan sebuah proses tiga langkah:
(a) pebelajar harus menaruh perhatian pada aspek-aspek penting dari apa yang akan
dipelajari (atensi); (b) pebelajar harus menyerap atau mengingat perilaku yang
dipelajarinya itu (retensi); (c) pebelajar harus dapat mengulang kembali atau
melaksanakan perilaku tersebut (produksi). Latihan dan pengulangan mental yang
digunakan dalam model pembelajaran langsung merupakan proses yang membantu
pebelajar menyerap dan menghasilkan perilaku teramati. Dari pendapat di atas peneliti
memberikan definisi bahwa sebagai seorang pengajar kita harus dapat menggunakan
strategi agar bisa membangkitkan perhatian mahasiswa, kemudian kita mengkaitkan
keterampilan baru dengan pengetahuan mahasiswa sebelumnya (awal) serta kita
menggunakan sebuah latihan agar kita bisa memastikan munculnya sebuah sikap positif
terhadap keterampilan yang baru sehingga mahasiswa dapat termotivasi untuk
mengulang kembali dengan menggunakan perilaku yang baru tersebut.
Model pengajaran langsung memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Adanya tujuan
pembelajaran dan pengaruh model pada mahasiswa termasuk prosedur penilaian hasil
belajar; (2) Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran; dan (3)
Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan belajar
tertentu dapat berlangsung dengan berhasil (Nur, 2005).
Model pembelajaran langsung dirancang secara khusus untuk membelajarkan
pengetahuan prosedural yang dibutuhkan untuk melaksanakan keterampilan kompleks
dan sederhana serta pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 238 ] P a g e
diajarkan dengan cara langkah demi langkah. Model ini paling sesuai untuk pokok
bahasan yang berorientasi pada kinerja maupun berkomponen keterampilan daripada
pokok bahasan yang berorientasi pada informasi.
Adapun sintaks pada model pembelajaran langsung memiliki lima fase
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1. Fase pertama, yaitu menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa. Pada fase ini kegiatan pembelajaran diawali dengan penyampaian
tujuan pembelajaran. Hal ini bertujuan agar siswa mengerti manfaat yang mereka
peroleh setelah menempuh kegiatan pembelajaran. Fase kedua adalah
mempresentasikan pengetahuan dan/atau mendemonstrasikan keterampilan. Pada fase
ini guru mendemonstrasikan secara efektif sebuah konsep atau keterampilan tertentu.
Tabel 1. Sintaks Model Pembelajaran Langsung
No. Fase Peran Guru
1. Menyampaikan tujuandan memotivasi siswa
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,memberikan informasi pentingnya pelajaran danmempersiapkan siswa untuk belajar
2. Mempresentasikanpengetahuan dan/ataumendemonstrasikanketerampilan
Guru mempresentasikan pengetahuan ataumendemonstrasikan keterampilan langkah demilangkah
3. Memberikan latihanterbimbing
Guru merencanakan dan memberikan bimbinganpelatihan awal
4. Mengecek pemahamandan memberikan umpanbalik
Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukantugas dengan baik, memberikan umpan balik
5. Memberikan latihanlanjutan dan transfer
Guru mempersiapkan kondisi untuk latihan lanjutanmemusatkan perhatian pada transfer keterampilantersebut ke situasi-situasi lebih kompleks
Sumber: Nur (2005)
Fase ketiga adalah fase memberi latihan terbimbing. Adapun prinsip-prinsip
dalam memberikan latihan terbimbing kepada siswa adalah sebagai berikut:
1. Memberi tugas latihan pendek dan bermakna
2. Memberi latihan untuk meningkatkan pembelajaran lebih
3. Menyadari keuntungan dan kerugian latihan berkelanjutan dan terdistribusi
4. Perhatian terhadap tahap awal latihan
Fase keempat adalah mengecek pemahaman dan memberi umpan balik. Fase ini
sering ditandai dengan adanya pertanyaan kepada siswa dan siswa diharapkan
memberikan jawaban yang mereka yakini benar. Ini merupakan sebuah aspek yang
sangat penting dari sebuah pelajaran model pengajaran langsung, karena tanpa
mengetahui hasil latihan hanya akan bermanfaat kecil bagi siswa. Untuk memberi umpan
balik yang efektif pada kelas besar dapat mengikuti panduan sebagai berikut:
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
P a g e [ 239 ]
1. Memberi umpan balik segera dan secepat mungkin
2. Mengupayakan agar umpan balik jelas dan spesifik
3. Konsentrasi pada perilaku dan bukan pada keinginan guru yang harus
diinterpretasikan siswa
4. Menjaga umpan balik yang cocok dengan tingkat perkembangan siswa
5. Memberikan penghargaan dan umpan balik pada kinerja yang benar
6. Apabila memberi umpan balik negatif, maka harus ditunjukan bagaimana cara
melaksanakan yang benar
7. Membantu siswa untuk memfokuskan perhatian pada proses bukan pada hasil
8. Mengajari siswa bagaimana memberikan umpan balik pada diri sendiri dan
bagaimana menilai kinerja diri sendiri
Fase kelima adalah memberikan latihan lanjutan. Pemberian latihan lanjutan
dipusatkan pada transfer keterampilan tersebut ke situasi yang lebih kompleks. Hal ini
dapat dilakukan dengan memberikan tugas lanjutan atau penyelesaian kasus-kasus
dengan permasalahan yang lebih kompleks.
Dengan berakhirnya suatu kegiatan pembelajaran diharapkan siswa dapat
memperoleh hasil belajar. Penilaian dalam hasil belajar merupakan sebuah proses
pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan
pendidikan sudah tercapai (Ralph Tyler dalam Arikunto, 2003). Hasil belajar merupakan
suatu puncak proses belajar. Horward Kingsley dalam Sudjana (2008) membagi tiga
macam hasil belajar, yakni (1) keterampilan dan kebiasaaan, (2) pengetahuan dan
pengertian, (3) sikap dan cita-cita. Menurut Slameto (2003) hasil belajar dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang diklasifikasikan dalam faktor intern dan ekstern. Faktor intern
yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Faktor intern dibagi
menjadi 2 bagian yaitu:
1. Faktor Fisiologis (jasmaniah) yang meliputi kondisi fisik secara keseluruhan,
misalnya kesehatan dan cacat tubuh.
2. Faktor Psikologis yaitu meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif,
kematangan dan kesiapan.
Sementara faktor ekstern merupakan faktor yang berasal dari luar individu.
Faktor ekstern dibedakan menjadi 3 bagian yaitu:
1. Faktor keluarga yaitu meliputi cara orang tua mendidik, relasi antara anggota
keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga.
2. Faktor sekolah yaitu meliputi metode mengajar, kurikulum, dosen dengan mahasiswa,
mahasiswa dengan mahasiswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar
pelajaran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah.
3. Faktor Masyarakat yaitu meliputi kegiatan mahasiswa dalam masyarakat, mass
media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 240 ] P a g e
METODE
Penelitian dilakukan dengan mengikuti prosedur penelitian tindakan kelas yang
bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran,
pencapaian hasil belajar mahasiswa dan respon mahasiswa terhadap penerapan model
pembelajaran langsung. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengikuti alur
penelitian sebagaimana terlihat pada gambar 1.
A.
B.
Gambar 1. Rancangan Penelitian
Penelitian tindakan kelas dilakukan di Jurusan Pendidikan Ekonomi, Fakultas
Ekonomi yang berkedudukan di Kampus UNESA Ketintang Surabaya. Penelitian tindakan
kelas ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011. Subjek dalam
penelitian ini adalah mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
Angkatan 2010. Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi angkatan 2010 terbagi dalam 4 kelas.
Kelas yang menjadi subjek penelitian adalah Kelas B Reguler dengan jumlah mahasiswa
sebanyak 61 orang.
Secara umum, penelitian ini menggunakan langkah-langkah model PTK oleh
Kemmis dan McTaggart (1998) yang terdiri dari empat tahap, yaitu: perencanaan,
tindakan, observasi, dan refleksi yang bersifat siklis. Keempat tahap tersebut dilakukan
dalam dua kali putaran
1. Tahap Perencanaan Tindakan
Tahap ini pada dasarnya adalah membuat rencana tindakan, yaitu membuat rencana
(persiapan-persiapan) dalam penerapan direct instructional untuk meningkatkan
hasil belajar mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi. Adapun jenis kegiatan yang
Program
Pembelajaran
Rencana Penelitian
(Siklus 1)
Kegiatan dan
Pengamatan
Evaluasi dan Refleksi
Revisi
Rencana Penelitian
(Siklus 2)
SIKLUS 1
SIKLUS 2
Kegiatan dan
Pengamatan
Evaluasi dan Refleksi
Revisi
Program
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
P a g e [ 241 ]
dilakukan oleh peneliti pada tahap ini antara lain membuat kesepakatan dengan
dosen senior dan menyiapkan perangkat pembelajaran, seperti membuat skenario
atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), membuat lembar kerja mahasiswa
dengan pendekatan direct instructional, membuat media pembelajaran materi ayat
jurnal penyesuaian dan neraca lajur, dan membuat tes hasil belajar (THB).
Hal lain yang dilakukan pada tahap persiapan adalah menyiapkan dan
mengembangkan instrumen penelitian, yang terdiri dari membuat lembar
pengamatan aktivitas mahasiswa selama KBM, membuat angket respon mahasiswa
terhadap KBM ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur, mengembangkan tes hasil
belajar. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh peneliti sebanyak
dua RPP, yaitu untuk dua kali pertemuan efektif. Pengembangan RPP sebanyak dua
buah ini didasarkan atas alokasi waktu yang terdapat dalam silabus mata kuliah
Pengantar Akuntansi. Dan biasanya untuk menyelesaikan materi ayat jurnal
penyesuaian dan neraca lajur (6 sks, satu pertemuan 3 sks )
2. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap pelaksanaan tindakan (action) ini peneliti akan melaksanakan kegiatan
belajar mengajar dengan model pembelajaran langsung pada materi ayat jurnal
penyesuaian dan neraca lajur
3. Tahap Observasi
Objek yang diamati selama observasi meliputi: mahasiswa dan kelas. Pengamatan
terhadap mahasiswa terutama untuk mengetahui perkembangan aktivitas mahasiswa
dalam pembelajaran Pengantar Akuntansi. Pengamatan terhadap kelas berkaitan
dengan iklim kelas dan proses belajar mengajar. Pengamatan terhadap mahasiswa
dilakukan dengan menggunakan instrumen lembar pengamatan aktivitas mahasiswa.
4. Tahap Evaluasi – Refleksi
Refleksi merupakan ulasan dari hasil kegiatan dan pengamatan. Refleksi dilakukan
untuk mengevaluasi proses belajar mengajar yang sudah dilaksanakan. Melalui
refleksi ini dapat diungkapkan kelebihan, kekurangan, dan masalah-masalah yang
terjadi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Selain menggunakan hasil
pengamatan, juga akan digunakan angket ”respon mahasiswa” dan tes hasil belajar
materi ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur.
Pengukuran keberhasilan tindakan menggunakan rambu-rambu analisis sebagai
pedoman untuk menganalisis proses dan hasil pembelajaran. Tindakan dikatakan
berhasil apabila mencapai persentase minimal 70% atau pada kualifikasi baik (B) dari
sejumlah indikator yang telah dirumuskan dalam lembar observasi. Hasil
pembelajaran dilihat dari hasil tes pada setiap siklus pembelajaran Pengantar
Akuntansi. Dalam hal ini, hasil belajar mahasiswa dikatakan tuntas atau tidak jika
seorang mahasiswa mencapai ketuntasan belajar dengan nilai > 66 atau B. Suatu kelas
dikatakan tuntas bila dalam kelas telah mencapai > 70 % mahasiswa yang telah
dikatakan tuntas belajar.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 242 ] P a g e
Refleksi dimaksudkan untuk memperbaiki skenario pembelajaran dan cara bertindak
yang dilakukan oleh dosen. Hasil dari evaluasi-refleksi digunakan untuk memperbaiki
tindakan yang akan diterapkan pada putaran atau pertemuan berikutnya. Penelitian
dilakukan dengan mengikuti prosedur penelitian tindakan kelas.
Instrumen penelitian yang digunakan mencakup lembar pengamatan, tes dan
angket respon mahasiswa. Lembar pengamatan merupakan lembar pengamatan yang
harus diisi oleh pengamat dengan beberapa poin pengamatan yang telah disusun
sebelumnya berupa lembar pengamatan aktivitas Mahasiswa (Penilaian Kinerja). Lembar
pengamatan yang digunakan untuk mengamati aktivitas mahasiswa dalam siklus
pertama dan kedua menggunakan lembar pengamatan mahasiswa yang dilengkapi
dengan indikator kinerja.
Instrumen tes didasarkan pada kisi-kisi soal yang telah disusun terlebih dahulu.
Tes digunakan untuk mengetahui perkembangan pengetahuan mahasiswa yang diamati.
Jenis tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretes dan post test.
Angket berisi sejumlah pertanyaan tertulis yang mengungkapkan sikap dan
pendapat mahasiswa tentang penerapan model direct Instructional yang berlangsung.
Penyebaran angket dilaksanakan pada siklus terakhir. Dalam mengisi angket, mahasiswa
hanya diminta untuk memilih salah satu jawaban yang telah disediakan.
Analisis data mencakup aktivitas mahasiswa dan dosen, respon mahasiswa dan
hasil belajar. Data pengamatan aktivitas mahasiswa dianalisis dengan mendeskripsikan
aktivitas mahasiswa dalam proses pembelajaran. Pengamatan aktivitas yang dilakukan
melalui penilaian kinerja. Kriteria penilaian kinerja yang dimaksud adalah keterampilan
mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan sesuai dengan langkah kerja
yang telah diajarkan sebelumnya. Data hasil respon mahasiswa terhadap proses
pembelajaran dianalisis dengan menggunakan persentase.
Data hasil tes belajar mahasiswa dianalisis dengan menggunakan kriteria, hasil
belajar mahasiswa ditentukan tuntas atau tidak jika seorang mahasiswa mencapai
ketuntasan hasil belajar > 70 %. Dan suatu kelas dikatakan tuntas jika di dalam kelas
telah mencapai > 70 % mahasiswa yang telah dikatakan tuntas belajar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dalam siklus pertama, yang dijadikan acuan umum adalah rencana pelaksanaan
pembelajaran yang ditunjang oleh instrumen pengamatan dan instrumen pembelajaran.
Tahap kegiatan awal dilaksanakan selama 25 menit pertama. Kegiatan pembelajaran
diawali melakukan pretes (15 menit). Mengulas kembali pengetahuan siswa tentang
materi yang lalu. Pemotivasian mahasiswa dengan memperlihatkan dokumen transaksi
perusahaan dan selanjutnya memberikan pertanyaan kepada mahasiswa tentang jurnal
yang ada dalam perusahaan dagang.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah menjelaskan tentang Ayat Jurnal
Penyesuaian yang terdiri dari konsep jurnal khusus perusahaan dagang dan bentuknya
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
P a g e [ 243 ]
(15 menit). Dalam penjelasan digunakan contoh- contoh kasus yang ada di perusahaan
untuk mempermudah pemahaman mahasiswa. Selanjutnya, didemonstrasikan langkah-
langkah kepada mahasiswa bagaimana cara menyusun kolom Jurnal Penyesuaian dan
memasukkan akun yang sesuai berdasarkan transaksi yang terjadi (30 menit). Langkah
selanjutnya adalah latihan terbimbing bagi mahasiswa untuk menyusun kolom jurnal
penyesuaian dan memasukkan transaksi ke dalam jurnal penyesuaian (45 menit). Setelah
selesai mengerjakan dosen menunjuk mahasiswa untuk mengerjakan di papan tulis dan
memberikan umpan balik dengan tanya jawab (15 menit).
Setelah selesai mengerjakan latihan terbimbing dan umpan balik, langkah
selanjutnya adalah dosen bersama mahasiswa menyimpulkan materi yang telah
dipelajari dan pemberian post test yang berkaitan dengan materi ayat jurnal
penyesuaian..
Pada siklus kedua ini, pembelajaran diramu sedikit berbeda daripada siklus
pertama. Pada siklus pertama mahasiswa cenderung kurang mandiri dalam latihan
terbimbing karena ketiadaan LKM. Oleh karenanya pada siklus kedua menggunakan LKM
yang dilaksanakan dalam dua tatap muka.
Pertemuan pertama pada siklus kedua
Hal pertama yang dilakukan adalah mengadakan pretes (15 menit). Kemudian
membuka apersepsi mahasiswa tentang materi ayat jurnal penyesuaian berdasarkan
dokumen transaksi perusahaan. Memotivasi mahasiswa dengan mengajukan beberapa
pertanyaan. Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah menjelaskan tentang pengertian
neraca lajur dan tujuan pembuatan neraca lajur. Dalam penjelasan neraca lajur diberikan
pemahaman tentang bentuk - bentuk neraca lajur yang sering digunakan perusahaan
dagang (15 menit). Selanjutnya, didemonstrasikan kepada mahasiswa bagaimana cara
membuat neraca lajur 10 kolom dan memasukkan transaksi dari ayat jurnal penyesuaian
(20 menit). Langkah selanjutnya adalah latihan terbimbing bagi mahasiswa dengan
membuat neraca lajur 10 kolom dan memasukkan transaksi dari data yang ada (50
menit). Selanjutnya dosen menunjuk mahasiswa secara acak untuk mengerjakan di
papan tulis dan memberikan umpan balik dengan tanya jawab (20 menit). Setelah selesai
mengerjakan latihan terbimbing dan umpan balik, langkah selanjutnya adalah dosen
bersama mahasiswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari dan pemberian post test
yang berkaitan dengan materi neraca lajur perusahaan dagang.
Pertemuan kedua pada siklus kedua
Kegiatan pembelajaran diawali dengan memberikan apersepsi tentang ayat jurnal
penyesuaian dan neraca lajur. Kemudian memotivasi mahasiswa dengan memberikan
beberapa pertanyaan (20 menit). Tahapan selanjutnya, mahasiswa mengerjakan lembar
kerja mahasiswa (LKM). LKM yang digunakan adalah LKM berisi neraca saldo dan
penyesuaian yang ada di dalamnya berdasarkan data yang ada (80 menit). Setelah selesai
mengerjakan neraca lajur mahasiswa membuat laporan keuangan dengan melihat kolom
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 244 ] P a g e
neraca lajur (30 menit). Setelah selesai mengerjakan, dosen memberikan kesempatan
kepada mahasiswa untuk bertanya tentang beberapa hal yang menjadi masalah mereka
dalam mengerjakan LKM (15 menit). Selanjutnya LKM dikumpulkan (5 menit).
Aktivitas Mahasiswa
Selama proses pembelajaran penerapan model pembelajaran direct Instructional
diamati dengan menggunakan instrumen pengamatan keterampilan kinerja dan
keterampilan aktivitas mahasiswa.
Tabel 2. Persentase Rata-Rata Aktivitas Mahasiswa Dalam Penerapan Pembelajaran
Direct Instructional
No Aktivitas Mahasiswa yang diamatiKomponen Rata-
rataSiklus 1 Siklus 2
1 Mendengarkan/memperhatikan penjelasan dosen 77,04 81,96 79,5
2 Memberikan umpan balik saat proses belajar
mengajar.
32,78 29,50 31,14
3 Mengajukan tanya jawab. 18,03 21,31 19,67
4 Mengerjakan latihan soal yang diberikan. 88,52 91,80 90,16
5 Mencatat dan merangkum materi 73,77 78,68 76,22
Respon Mahasiswa terhadap Proses Pembelajaran
Berdasarkan angket yang disebarkan kepada mahasiswa pada akhir siklus dapat
diperoleh beberapa data tentang respon mahasiswa. Selain penyebaran angket, peneliti
juga mewawancarai beberapa mahasiswa untuk mendengar pendapat mereka secara
bebas. Data hasil respon pada mahasiswa dapat dilihat dalam tabel 3.
Tabel 3. Persentase Respon Mahasiswa Terhadap Pembelajaran Direct Instructional
No. Kategori ResponPemilih Persentase (%)
Y T Y T
1. Apakah dosen mempersiapkan mahasiswa sebelum
kuliah dimulai?
33 28 54,10 45,90
2. Apakah dosen memberikan motivasi sebelum kuliah
dimulai?
48 13 78,69 21,31
3. Apakah ada pengaitan materi kuliah dengan materi
kuliah terdahulu?
60 1 98,36 1,64
4. Apakah penyampaian materi kuliah dosen mudah
dipahami?
58 3 95,08 4,92
5. Apakah anda senang dengan model pembelajaran
ini?
60 1 98,36 1,64
6. Apakah anda tertarik dengan bimbingan dosen
terhadap model pembelajaran ini?
56 5 91,80 8,20
7. Apakah materi dengan model pembelajaran ini 58 3 95,08 4,92
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
P a g e [ 245 ]
No. Kategori ResponPemilih Persentase (%)
Y T Y T
mudah dipahami?
8. Apakah aktivitas belajar dengan model ini sangat
menarik?
55 6 90,16 9,84
9 Apakah pola evaluasi yang dilakukan dosen mudah
dilaksanakan?
53 8 86,88 13,12
10 Apakah dalam pembelajaran ini ada pengakuan/
penghargaan dari dosen?
56 5 91,80 8,20
11 Apakah ada kemungkinan pengembangan model
pembelajaran ini pada mata kuliah lain?
51 10 83,60 16,40
Hasil Belajar Mahasiswa
Dalam penelitian ini ada dua jenis penilaian yang dilakukan yakni pretest dan
postest. Tabel 4 menyajikan data tentang persentase jumlah mahasiswa yang tuntas
berdasarkan hasil belajar mahasiswa pada pretest dan post test.
Tabel 4. Persentase Ketuntasan Belajar Mahasiswa
No KeteranganJumlah Mahasiswa Persentase (%)
Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tidak Tuntas1 Pretes 15 46 24,59% 75,41%2 Post test 53 8 86,89% 13,11%
Pembahasan
Pelaksanaan Pembelajaran Siklus 1
Kendala utama yang dihadapi adalah kesulitan pengamatan kegiatan kinerja
mahasiswa. Hal ini disebabkan jumlah mahasiswa yang terlalu banyak. Oleh karena itu,
pengamatan hanya ditujukan untuk dua puluh mahasiswa yang dipilih secara acak. Selain
itu permasalahan atau kendala lain yang muncul pada siklus I dapat diidentifikasikan
sebagai berikut:
1. Suara peneliti kurang keras
2. Mahasiswa kurang berlatih dengan soal yang berhubungan dengan transaksi dalam
perusahaan dagang sehingga masih banyak melihat teman sebangku
3. Saat ditunjuk maju ke depan banyak yang masih gugup
4. Banyak yang masih malu untuk bertanya
5. Mahasiswa kurang mandiri dalam mengerjakan soal
Guna mengatasi kendala-kendala tersebut, upaya yang dilakukan antara lain:
1. Memberikan penguatan positif kepada mahasiswa. Diharapkan dengan penguatan
positif tersebut mampu meningkatkan percaya diri mahasiswa
2. Dalam siklus selanjutnya, dosen berinisiatif untuk menggunakan wireless agar suara
dosen dapat menjangkau ke seluruh kelas dan LKM untuk meningkatkan kemandirian
siswa.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 246 ] P a g e
Pelaksanaan Pembelajaran Siklus 1
Dalam pelaksanaan siklus II, relatif tidak muncul kendala-kendala yang cukup
berarti. Sehingga proses belajar mengajar berjalan lebih efektif dan efisien. Kondisi ini
lebih disebabkan karena mahasiswa lebih siap dan terkondisikan untuk menerima
materi. Selain itu, mahasiswa juga tidak lagi canggung atau lebih berani menunjukkan
keberanian mereka untuk maju ke depan.
Pengamatan kegiatan kinerja mahasiswa juga dipilih dua puluh mahasiswa secara
acak. Kemajuan yang telah dicapai pada pertemuan pertama adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa mampu mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh dosen dengan
percaya diri sendiri.
2. Mahasiswa berani untuk mengungkapkan ide dan menyatakan pendapatnya secara
individu dan tidak didominasi oleh mahasiswa tertentu.
Mahasiswa mengerjakan LKM. Beberapa kemajuan yang dicapai dalam pertemuan
kedua ini antara lain:
1. Partisipasi mahasiswa dalam proses pembelajaran semakin tinggi.
2. Mahasiswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan dosen dengan rasa percaya diri
3. Mahasiswa mampu mengerjakan materi selanjutnya
Aktivitas Mahasiswa
Pengamatan terhadap aktivitas mahasiswa dilakukan dalam setiap pelaksanaan
siklus. Aktivitas mahasiswa yang diamati meliputi aktivitas kinerja dan kegiatan dalam
pembelajaran. Berdasarkan pada tabel 2, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi
peningkatan aktivitas mahasiswa secara signifikan. Gambar 2 menunjukkan rata-rata
penilaian kinerja mahasiswa untuk Latihan Soal 1 dan 2 terutama pada bagian
merumuskan Ayat Jurnal Penyesuaian dan Neraca Lajur. Melalui gambar tersebut dapat
diketahui bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan nilai kinerja mahasiswa
Gambar 2. Rata-Rata Penilaian Keterampilan Kinerja Merumuskan Ayat JurnalPenyesuaian dan Neraca Lajur
Keterangan:1 = menganalisis jenis transaksi2 = menjurnal sesuai dengan transaksi3 = Penghitungan sisi debet dan kredit
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
P a g e [ 247 ]
Keterampilan Mahasiswa
Pengamatan aktivitas mahasiswa di setiap siklusnya dilakukan pada mahasiswa
yang berbeda-beda. Pada siklus 1 dan 2 pengamatan keterampilan Aktivitas mahasiswa
ditentukan secara acak. Berdasarkan data pada tabel 3, hasil pengamatan tersebut dapat
dilihat pada gambar 3. Berdasarkan gambar 3 tersebut, secara keseluruhan keterampilan
aktivitas mahasiswa terendah dan cenderung menurun di setiap siklusnya adalah
keterampilan tanya jawab. Rendahnya persentase tersebut menunjukkan tingginya
aktivitas mahasiswa, sehingga pembelajaran tampak lebih hidup dan aktif.
Gambar 3. Perkembangan Rata-Rata Keterampilan Aktivitas Mahasiswa
Keterangan:1 = Mendengarkan/memperhatikan penjelasan dosen2 = Memberikan umpan balik saat proses belajar mengajar3 = Mengajukan tanya jawab4 = Mengerjakan latihan soal yang diberikan.5 = Mencatat dan merangkum materi
Senada dengan rendahnya keterampilan tanya jawab, keterampilan mengerjakan
latihan soal merupakan keterampilan dengan rata-rata tertinggi di setiap siklusnya.
Sehingga proses tersebut untuk mengukur tingkat pemahaman mahasiswa akan materi
yang disampaikan.
Respon Mahasiswa Terhadap Pembelajaran
Berdasarkan data pada tabel 3 di atas maka rata-rata respon mahasiswa terhadap
proses pembelajaran dengan menggunakan Direct Instructional dapat digambarkan pada
gambar 4.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 248 ] P a g e
Gambar 4. Rata-Rata Respon Mahasiswa Terhadap Proses Pembelajaran
Keterangan:1. Apakah dosen mempersiapkan mahasiswa sebelum kuliah dimulai?2. Apakah dosen memberikan motivasi sebelum kuliah dimulai?3. Apakah ada pengaitan materi kuliah dengan materi kuliah terdahulu?4. Apakah penyampaian materi kuliah dosen mudah dipahami?5. Apakah anda senang dengan model pembelajaran ini?6. Apakah anda tertarik dengan bimbingan dosen terhadap model pembelajaran ini?7. Apakah materi dengan model pembelajaran ini mudah dipahami?8. Apakah aktivitas belajar dengan model ini sangat menarik?9. Apakah pola evaluasi yang dilakukan dosen mudah dilaksanakan?10. Apakah dalam pembelajaran ini ada pengakuan/ penghargaan dari dosen?11. Apakah ada kemungkinan pengembangan model pembelajaran ini pada mata kuliah
lain?
Gambar 4 menunjukkan bahwa mahasiswa menganggap proses belajar mengajar
pada materi ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur dengan menggunakan model
pembelajaran Direct Instructional merupakan hal yang baru. Hal ini terbukti dengan
sekitar 90,16 % mengatakan ya, sedangkan sisanya 9,84 % menjawab tidak. Hal ini
dikarenakan model pembelajaran Direct Instructional dalam mata kuliah Pengantar
Akuntansi belum mereka dapatkan.
Kendatipun demikian sekitar 98,36 % mahasiswa menyatakan bahwa cara
mengajar dosen tergolong baru. Sisanya sebesar 1,64 % mengatakan tidak. Merujuk pada
hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa diperoleh data, bahwa proses belajar
mengajar dan cara dosen mengajar cenderung baru karena sejauh ini mereka
mempelajari mata kuliah Pengantar Akuntansi secara diskusi dan pemberian tugas tanpa
dibahas kesalahan mana dalam mengerjakan sehingga banyak yang kurang paham.
Perasaan mahasiswa selama mengikuti perkuliahan dan suasana kelas pun
menjadi menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran Direct
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
P a g e [ 249 ]
Instructional mampu menciptakan iklim yang kondusif untuk pembelajaran, khususnya
pada mata kuliah pengantar akuntansi..
Hasil Belajar Mahasiswa
Berdasarkan data pada tabel 4, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan
tingkat ketuntasan belajar mahasiswa dari siklus pertama hingga siklus kedua. Di bawah
ini disajikan diagram batang hasil belajar mahasiswa:
Gambar 5. Persentase Ketuntasan Belajar Mahasiswa
Berdasarkan Gambar 5. tersebut di atas dapat diketahui bahwa terjadi
peningkatan tingkat ketuntasan belajar klasikal dari 24,59 % pada menjadi 86,89 %.
Peningkatan ini terjadi karena adanya rasa percaya diri di dalam diri mereka untuk
bertanggung jawab atas hasil yang mereka kerjakan.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis data yang berasal dari pengamatan pengelolaan
pembelajaran, aktivitas mahasiswa, respon mahasiswa, dan hasil belajar mahasiswa,
maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Penerapan Pembelajaran Direct Instructional dalam mata kuliah pengantar akuntansi,
khususnya pada materi ayat Jurnal Penyesuaian dan Neraca Lajur secara umum dapat
berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Beberapa kendala yang ada dapat
diperbaiki pada putaran berikutnya. Di samping itu pendekatan ini mampu
meningkatkan aktivitas mahasiswa.
2. Hasil belajar pada materi ayat Jurnal Penyesuaian dan Neraca Lajur mengalami
peningkatan ketuntasan belajar klasikal dari 24,59 % pada menjadi 86,89 %
3. Respon mahasiswa terhadap penerapan Pembelajaran Direct Instructional dalam
mata kuliah pengantar akuntansi tergolong positif.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 250 ] P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta: BumiAksara
Arikunto, Suharsimi. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PTRineka Cipta.
Kemmis, S. dan Mc. Taggart, R. 1988. The Action Research Planner. 3rd ed. Victoria: DeakinUniversity.
Nur, Mohamad dan Kardi, Suparman. 2005. Pengajaran Langsung. Surabaya: UniversityPress.
Nur, Mohamad. 2005. Guru yang Berhasil dan Pengajaran Langsung. Surabaya:Departemen Pendidikan Nasional.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, Nana. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: RemajaRosdakarya.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Meningkatkan Keterampilan Siswa… (Ike Apriliani)
P a g e [ 251 ]
MENINGKATKAN KETERAMPILAN SISWA PADA MATA DIKLAT
MELAKSANAKAN PELAYANAN PRIMA MELALUI PENERAPAN
MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING
Ike AprilianiPascasarjana Universitas Negeri Surabaya
AbstrakTujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui bagaimana upayameningkatkan keterampilan siswa pada mata diklat Melaksanakan PelayananPrima melalui penerapan model pembelajaran role playing. Penggunaan modelpembelajaran ini dapat meningkatkan keterampilan siswa. Pada penerapanmodel pembelajaran role playing, siswa diajak untuk mempraktekkan langsungbagaimana cara memberikan pelayanan prima kepada pelanggan. Dengan carabermain peran seperti ini, siswa tidak hanya memahami materi tetapi jugamampu mempraktekkan bagaimana menerapkan pelayanan prima kepadapelanggan.
Kata kunci: model pembelajaran, role playing, keterampilan siswa, pelayananprima
PENDAHULUAN
Proses pembelajaran saat ini dirancang agar dapat menitikberatkan pada peserta
didik. Peserta didik yang menjalani proses pembelajaran diharapkan akan mengalami
perubahan perilaku dan dapat memahami pelajaran yang diberikan oleh guru. Perubahan
perilaku tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk keterampilan maupun pengalaman
peserta didik. Pengertian pembelajaran menurut UU RI No. 20 tahun 2003 bab 1 pasal 1
ayat 20 tentang sistem pendidikan nasional, menjelaskan bahwa pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.
Di dalam struktur kurikulum SMK Pemasaran, terdapat mata pelajaran produktif
yang salah satunya berisi mata diklat Melakukan Pelayanan Prima. Mata diklat
Melakukan Pelayanan Prima merupakan mata diklat yang membekali siswa bagaimana
cara-cara yang harus dilakukan agar pelanggan merasa puas dengan pelayanan yang
diberikan (Utami, 2014). Mata diklat ini sangat penting dan dibutuhkan ketika peserta
didik menjalani magang atau OJT (On the Job Training). Tidak hanya itu, pada era MEA di
mana tingkat persaingan akan semakin ketat, perusahaan diharuskan untuk memiliki
karyawan-karyawan yang memiliki kemampuan melayani pelanggan dengan baik. Untuk
itulah, siswa dituntut untuk mampu memberikan layanan prima di mana pun dan kapan
pun. Hal ini dikarenakan persaingan yang harus dihadapi siswa ketika di dunia kerja
menjadi sangat tinggi sebab akan banyak tenaga kerja dari luar negeri yang akan masuk
ke Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 252 ] P a g e
Di dalam mata diklat Melakukan Pelayanan Prima terdapat beberapa materi, di
antaranya: 1) Standar Penampilan Pribadi, 2) Prinsip-Prinsip Pelayanan Prima, 3)
Memberikan Bantuan Kepada Pelanggan, 4) Melakukan Komunikasi dengan Pelanggan.
Terdapat beberapa materi dalam Pelayanan Prima yang sulit dipahami oleh peserta didik
ketika guru menerangkan dengan metode ceramah biasa. Hal ini dikarenakan materi-
materi tersebut memerlukan contoh praktek nyata seperti bagaimana cara menerapkan
konsep-konsep pelayanan prima atau saat memahami bagaimana memberikan bantuan
kepada pelanggan. Ketika materi ini hanya diterangkan melalui metode ceramah, hal ini
dapat menghambat daya kreativitas dan keterampilan peserta didik karena
pembelajarannya hanya berlangsung satu arah, sedangkan materi yang disampaikan
adalah materi yang bersifat praktik dan menuntut adanya keterampilan dari siswa.
Praktek langsung atau peragaan menjadi hal yang penting dalam mata diklat ini
agar dapat memacu daya kreativitas dan imajinatif peserta didik. Peragaan dimaksudkan
agar peserta didik dapat berimajinasi dan merasa seolah-olah mereka berada dalam
situasi nyata ketika pelayanan prima tersebut dilakukan. Setelah siswa dapat
membayangkan, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan guru adalah menuntun
peserta didik agar tidak hanya sekedar membayangkan, tetapi dapat melakukan
pelayanan prima sesuai dengan situasi yang terdapat di lapangan. Untuk dapat
menjalankan proses pembelajaran seperti ini, maka diperlukan sebuah model
pembelajaran yang dapat mendukung tujuan pembelajaran tersebut. Model pembelajaran
adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas (Utami, 2014). Untuk dapat mencapai tujuan
pembelajaran tersebut, maka metode pembelajaran yang cocok adalah model Role
Playing.
Menurut Komalasari (2001) model pembelajaran Role Playing merupakan suatu
tipe model pembelajaran pelayanan (service learning). Melalui model pembelajaran role
playing ini peran guru akan menjadi fasilitator dan sumber kegiatan belajar mengajar
dalam kelas (Utami, 2014). Model pembelajaran ini adalah suatu model penguasaan
bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan murid.
Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan murid dengan memerankan
permainan sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya
dilakukan lebih dari satu orang, hal ini bergantung kepada apa yang diperankan. Metode
role playing ini merupakan sebagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasikan
peristiwa - peristiwa aktual atau kejadian - kejadian yang mungkin muncul pada masa
mendatang (Sanjaya, 2006).
Tujuan dari metode pembelajaran bermain peran ini menurut Oemar Hamalik
(2001) disesuaikan dengan jenis belajar, di antaranya: 1) Belajar dengan berbuat. Para
siswa melakukan peranan tertentu sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif atau
keterampilan-keterampilan reaktif. 2) Belajar melalui peniruan (imitasi). Para siswa
pengamat drama menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan tingkah laku mereka. 3)
Meningkatkan Keterampilan Siswa… (Ike Apriliani)
P a g e [ 253 ]
Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi) perilaku para
pemain atau pemegang peran yang telah ditampilkan. Tujuannya adalah untuk
mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari
perilaku keterampilan yang telah didramatisasikan. 4) Belajar melalui pengkajian,
penilaian dan pengulangan. Para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan
mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya.
Model pembelajaran ini memiliki beberapa tahapan. Tahapan pembelajaran Role
Playing atau bermain peran meliputi (Mulyasa, 2003) menghangatkan suasana dan
memotivasi peserta didik; memilih peran; menyusun tahap-tahap peran; menyiapkan
pengamat; tahap pemeranan; diskusi dan evaluasi tahap I pemeranan ulang; dan diskusi
dan evaluasi tahap II membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.
Pola dalam pembelajaran role playing ini disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang
menuntut bentuk partisipasi tertentu, yaitu pemain, pengamat dan pengkaji. Tiga pola
organisasi yaitu sebagai berikut (Umaroh, 2012) :
1. Bermain peran tunggal (single role-play) mayoritas siswa bertindak sebagai pengamat
terhadap permainan yang sedang dipertunjukkan (sosiodrama). Tujuannya adalah
untuk membentuk sikap dan nilai.
2. Bermain peran jamak (multiple role-play) para siswa di bagi-bagi menjadi beberapa
kelompok dengan banyak anggota yang sama dan penentunya disesuaikan dengan
banyaknya peran yang dibutuhkan. Tiap peserta memegang dan memainkan peran
tertentu dalam kelompoknya masing-masing. Tujuannya juga untuk mengembangkan
sikap.
3. Peran ulangan (role repetition) peran utama suatu drama atau simulasi dapat
dilakukan oleh setiap siswa secara bergiliran. Dalam situasi seperti itu setiap siswa
belajar melakukan, mengamati dan membandingkan, perilaku yang ditampilkan oleh
pemeran sebelumnya. Pendekatan itu banyak dilaksanakan dalam rangka
mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif.
Dengan menggunakan model pembelajaran tersebut, diharapkan peserta didik
dapat ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran serta dapat menguasai materi
secara optimal. Berdasarkan uraian di atas, tujuan pembahasan ini adalah untuk
mengetahui upaya meningkatkan keterampilan siswa pada mata diklat Melaksanakan
Pelayanan Prima melalui penerapan model pembelajaran role playing.
PEMBAHASAN
Mata diklat Melakukan Pelayanan Prima adalah salah satu mata pelajaran
produktif SMK Pemasaran yang membutuhkan pendalaman materi berupa praktek-
praktek langsung untuk lebih memacu daya kreativitas dan imajinasi siswa. Guru tidak
bisa hanya menyampaikan materi dengan cara ceramah biasa karena beberapa materi
membutuhkan pemahaman mendalam dan daya imajinasi siswa untuk dapat
membayangkan keadaan sesungguhnya di lapangan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 254 ] P a g e
Pembelajaran materi Memberikan Bantuan kepada Pelanggan dengan
menggunakan teknik pembelajaran Role Playing
Tahap-tahap pembelajaran Role Playing pada makalah ini merupakan modifikasi
dari tahapan-tahapan yang disampaikan oleh Mulyasa (2003), yaitu tahapan pemeranan
dilakukan oleh sekelompok pemeran untuk satu sub materi, dan sub materi lainnya
diperankan oleh kelompok lain yang telah disusun oleh siswa sendiri.
Langkah- langkah Role Playing dalam pembelajaran Memberikan Bantuan kepada
Pelanggan:
1. Persiapan
a. Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai dalam
pembelajaran, yaitu topik “cara mengatasi keluhan pelanggan”. Tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai adalah siswa dapat memahami dan
mempraktekkan cara menghadapi keluhan pelanggan.
b. Memotivasi peserta didik dan memberikan gambaran masalah dalam situasi yang
akan diperankan, misalnya seorang pelanggan datang ke toko untuk
menyampaikan keluhan, maka siswa diberikan gambaran apa yang dilakukan oleh
pelayan dan pelanggan dalam situasi tersebut.
c. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan
d. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari atau beberapa
hari sebelum KBM (kegiatan belajar mengajar) guna mempersiapkan peran yang
terdapat dalam skenario tersebut.
e. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang atau sesuai dengan
kebutuhan.
2. Pelaksanaan
a. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang
sudah dipersiapkan sebelumnya.
b. Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil
memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan.
c. Role Playing mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.
d. Siswa lainnya sebagai pengamat mengikuti dengan penuh perhatian.
e. Guru memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan.
3. Penutup.
a. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar
kerja untuk membahas skenario tersebut. Misalnya menilai peran yang
dilakonkan, mencari kelemahan dan kelebihan dari peran tersebut atau pun alur/
jalan ceritanya.
b. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil dan kesimpulannya.
c. Guru memberikan kesimpulan secara umum atau mengevalusi seluruh kegiatan.
d. Evaluasi/ refleksi.
Meningkatkan Keterampilan Siswa… (Ike Apriliani)
P a g e [ 255 ]
Materi Memberikan Bantuan Kepada Pelanggan Sub Bab Cara Mengatasi Keluhan
Pelanggan
Beberapa cara yang perlu diperhatikan saat mengatasi keluhan pelanggan
(Umaroh, 2012):
1. Petugas pelayanan jangan membuat janji-janji hanya demi menyenangkan pelanggan
karena berakibat fatal di kemudian hari.
2. Pelanggan adakalanya marah pada saat menyampaikan keluhan. Petugas harus
menahan diri jangan sampai terpancing ikut marah.
3. Apabila ada pelanggan yang selalu mengeluh, petugas harus sabar dan melakukan
pendekatan secara khusus
4. Dengan membuka dialog secara baik-baik, tidak ada masalah yang tidak dapat
diselesaikan
5. Hadapilah keluhan pelanggan dengan bijaksana, jangan terbawa emosi.
6. Dengarkan dengan penuh perhatian semua keluhan pelanggan, sedapat mungkin
hidupkan suasana penuh keakraban.
7. Bertindak secara tenang, hindari amarah dan menyalahkan pelanggan, jangan
berdebad dengan pelanggan.
8. Sebisa mungkin bawalah pelanggan yang sedang marah ke suatu tempat agar
pelanggan lain tidak mendengar atau mengetahuinya.
9. Jangan menyinggung harga diri pelanggan.
10. Buatlah catatan, tulislah setiap keluhan pelanggan secara rinci.
11. Katakan kepada pelanggan apa yang sedang kita lakukan terhadap mereka, tawaran
beberapa pilihan, jangan memuat janji hanya untuk menyenangkan pelanggan
padahal janji tersebut di luar kewenangannya.
12. Untuk mengatasi masalah keluhan, tentukan waktunya, usahakan secepatnya dan
tepat waktu jangan sampai ingkar waktu.
13. Berikan rasa simpatik dan ikut merasakan kesulitan yang menimpa pelanggan.
14. Tanggapi keluhan pelanggan dengan baik, sertakan ucapan maaf secara tulus dan
berjanji akan memperbaiki kekurangan atas pelayanan yang diberikan.
15. Hubungi pelanggan dan tanyakan apakah keluhan sudah ditangani cukup memuaskan
belum, kemudian sampaikan ucapan terima kasih.
Hasil Penerapan Model Pembelajaran Role Playing dalam Meningkatkan
keterampilan Siswa pada Mata Diklat Melakukan Pelayanan Prima.
Dengan menerapkan model pembelajaran role playing ini, guru diharapkan dapat
meningkatkan keterampilan siswa pada Mata Diklat Melakukan Pelayanan Prima. Dari
ketiga langkah-langkah role playing yaitu, persiapan, pelaksanaan dan penutup, tahapan
yang paling berperan dalam meningkatkan keterampilan siswa terhadap materi
“memberikan bantuan kepada pelanggan” adalah pada tahap pelaksanaan. Dalam tahap
pelaksanaan ini, siswa dituntut untuk memainkan peran tentang menangani keluhan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 256 ] P a g e
pelanggan dengan baik. Sedangkan siswa yang lain yang tidak terlibat dalam peran
menjadi pengamat dan mampu memperhatikan apa yang dilihat dalam role playing.
Setelah menerapkan model pembelajaran role playing pada materi “memberikan
bantuan kepada pelanggan”, diharapkan siswa mampu :
1. Memahami dengan baik bagaimana cara mengatasi keluhan pelanggan.
2. Mampu membayangkan bagaimana situasi mengatasi keluhan pelanggan di lapangan .
3. Memperagakan bagaimana melakukan pelayanan prima ketika mengatasi keluhan
pelanggan
Ketika siswa mampu untuk melakukan hal-hal di atas, maka diharapkan tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
Utami (2014) dalam penelitiannya menerapkan model role playing pada mata
diklat Melakukan Pelayanan Prima terhadap siswa kelas XI Pemasaran 3 SMK Negeri
Semarang dan menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode
pembelajaran role playing dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam memberikan
bantuan kepada pelanggan. Dengan persentase keterampilan siswa pada pembelajaran
siklus I yaitu sebesar 70 % dengan kategori baik dan pada siklus II meningkat menjadi
92,5 % dengan kategori amat baik. Penelitian tersebut sejalan dengan pembahasan ini
bahwa model pembelajaran role playing dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam
melakukan pelayanan prima.
Siska (2011) dalam penelitiannya menerapkan model pembelajaran role playing
kepada siswa sehingga diperoleh kesimpulan bahwa penerapan metode bermain peran
cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak metode ini belum pernah mereka
gunakan dan sangat menarik, sehingga anak dapat terlibat aktif untuk mengembangkan
keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak melalui tokoh yang ia pilih untuk
diperankan. Penelitian ini juga sejalan dengan pembahasan ini bahwa model
pembelajaran role playing dapat meningkatkan keterampilan siswa.
Andriani (2013) menyimpulkan bahwa: Pertama, langkah-langkah model
pembelajaran bermain peran (role playing) dalam meningkatkan keterampilan siswa
memerankan tokoh sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam
memerankan tokoh pada pementasan drama. Kedua, peningkatan hasil belajar siswa
hingga tercapainya tingkat ketuntasan hasil belajar siswa pada kegiatan memerankan
tokoh drama siswa kelas XI IPB SMA Saraswati Singaraja dengan menerapkan model
pembelajaran bermain peran, terlihat pada perolehan skor tes memerankan tokoh pada
pementasan drama siswa pada siklus 1 dan 2 yang mengalami peningkatan. Penelitian
tersebut juga sejalan dengan pembahasan ini bahwa pembelajaran role playing dapat
meningkatkan keterampilan siswa.
Purwanto (2014) menyimpulkan bahwa Penerapan Metode Role Playing dapat
meningkatkan kemampuan berbicara pada materi aspek kebahasaan berbicara siswa
kelas VIII A SMP Negeri 3 Paron tahun 2013/2014. Penelitian ini sesuai dengan
pembahasan ini bahwa keterampilan siswa dapat ditingkatkan melalui penerapan model
pembelajaran role playing.
Meningkatkan Keterampilan Siswa… (Ike Apriliani)
P a g e [ 257 ]
Kerr (2003) menyimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran role playing
dapat membantu siswa untuk memahami penggunaan sistem informasi di dalam bisnis
serta merangsang mereka untuk terjun langsung dalam pengintegrasian bisnis. Penelitian
ini mendukung pembahasan ini bahwa model role playing dapat membuat siswa untuk
memahami materi serta menerapkan materi ke dalam praktek langsung sehingga
keterampilan siswa dapat meningkat.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat dilihat bahwa model pembelajaran role
playing dapat diterapkan dalam mata diklat Melakukan Pelayanan Prima karena model
tersebut menunjang materi yang terdapat di dalamnya. Menurut beberapa penelitian,
sebenarnya tidak hanya pada mata diklat Melakukan Pelayanan Prima saja model
pembelajaran ini dapat diterapkan, tetapi bisa pada mata pelajaran lain yang materinya
relevan dengan model pembelajaran tersebut. Hanya saja guru harus lebih kreatif untuk
memodifikasi dan mengkombinasikan model pembelajaran untuk menyampaikan materi
yang lain. Hal ini bertujuan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, lancar,
menyenangkan, dan yang terpenting yaitu tujuan dari pembelajaran dapat tercapai.
SIMPULAN
Model pembelajaran role playing ini dapat meningkatkan keterampilan siswa pada
mata diklat Melakukan Pelayanan Prima karena model belajar ini mengajak siswa untuk
mempraktikkan secara langsung bagaimana cara memberikan pelayanan prima kepada
pelanggan. Model pembelajaran role playing merupakan model pembelajaran yang
menuntut siswa untuk senantiasa aktif dan ikut berperan penting dalam proses
pembelajaran. Penggunaan model belajar ini bertujuan untuk membuat proses belajar
menjadi lebih menyenangkan dan aktif sehingga siswa dapat lebih termotivasi dalam
mempelajari materi yang diberikan oleh guru.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, N. P. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)untuk Meningkatkan Keterampilan Siswa Memerankan Tokoh dalamPementasan Drama. Diakses dari http://ejourmal.undhiksha.ac.id/index.php/JJPB/artcle/view/1155 pada tanggal 20 April 2015.
Hamalik, O. (2001). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem .Bandung:Bumi Aksara.
Kerr, D. d. (2003). The Use of Role-Playing To Help Students Understand InformationSystems Case Studies. Journal of Information, Vol (14) 2. Diakses darihttp://jise.org/Volume14/14-2/pdf/14(2)-167-pdf pada tanggal 5 April 2015.
Komalasari, K. (2001). Pembelajaran Kontekstual. Bandung: PT. Refika Aditama.
Mulyasa. (2003). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya
Purwanto. (2014). Penggunaan Metode Role Playing untuk Meningkatkan KemampuanBerbicara. Diakses dari http://jurnal-induksi.com/edisi-1/penggunaan-metode-
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 258 ] P a g e
role-playing-untuk-meningkatkan-kemampuan-berbicara-siswa-kelas-viii-a-smp-negeri-3-paron/ pada tanggal 21 April 2015.
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Media Grup.
Siska, Y. (2011). Penerapan Metode Bermain Peran (Role Playing) dalam MeningkatkanKemampuan Berbicara dan Keterampilan Sosial Anak Usia Dini. Edisi Khusus No.2. Diakses dari http://jurnal.upi.edu/file/4-Yulia_Siska-edit.pdf pada tanggal 20April 2015.
Umaroh, Y. S. (2012). "Penerapan Metode Pembelajaran Demonstrasi Dan CooperativeLearning Tipe Zig Shaw Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Pada MateriTransformasi Pokok Bahasan Pencerminan”. Diakses darihttp://yayuhandayasari92.blogspot.com/2013/05/makalah.role.playing.htmlpada tanggal 2 April 2015.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:Depsiknas.
Utami, Esti Setyo & Kusumantoro (2014). Peningkatan Keterampilan Siswa MemberikanBantuan Kepada Pelanggan dengan Metode Role Playing Kelas XI Pemasaran.Economic Education Analysis Journal, EAJ 3(1) (2014). Diakses darihttp://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/DP/article/download/352/334 Padatanggal 4 April 2015.
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
P a g e [ 259 ]
PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI
SMA KELAS XI MATERI KETENAGAKERJAAN
Jenitta Vaulina Puspita SariUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakPemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan untukmempersiapkan sumber daya manusia Indonesia menghadapi MEA melaluipelaksanaan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 dibangun berdasarkan budayadan karakter bangsa Indonesia yang proses pembelajarannya menggunakanpendekatan saintifik. Tugas guru dalam pendekatan saintifik adalahmengarahkan proses belajar yang dilakukan siswa dan memberikan koreksiterhadap konsep dan prinsip yang didapatkan siswa. Pembelajaran ekonomisebagai bagian dari Kurikulum 2013 dalam penulisan ini difokuskan pada materiketenagakerjaan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan penerapanpendekatan saintifik dalam pembelajaran ekonomi SMA Kelas XI materiketenagakerjaan. Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkanbahwa pembelajaran ekonomi pada materi ketenagakerjaan denganmenggunakan pendekatan saintifik membuat peserta didik berpikir dan berbuatdiawali dengan mengamati, menanya, menalar, mencoba danmengkomunikasikan temuannya. Dengan diterapkannya pendekatan saintifiksiswa menjadi lebih kreatif dan kritis dengan kondisi ketenagakerjaan dilingkungan sekitarnya. Berpikir kritis dan kreatif merupakan salah satu faktoryang penting yang harus dimiliki siswa untuk menghadapi MEA 2013. Prosespembelajaran materi ketenagakerjaan menyentuh tiga ranah, yaitu sikap,pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhirnya adalah peningkatan dankeseimbangan antara kemampuan soft skills dan hard skills dari peserta didikyang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Kata Kunci: Pendekatan Saintifik, Kurikulum 2013, Ketenagakerjaan
PENDAHULUAN
Pemerintah telah mengeluarkan sebuah kebijakan baru dalam dunia pendidikan
sebagai salah satu bentuk upayanya dalam mempersiapkan sumber daya manusia
Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) melalui pelaksanaan
Kurikulum 2013. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
Bab I Pasal I Ayat 1 dijelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga dengan adanya
pelaksanaan Kurikulum 2013 ini diharapkan tujuan pendidikan yang sangat mulia
tersebut dapat tercapai dan dapat menjadi semangat serta optimisme baru pendidikan
yang lebih baik.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 260 ] P a g e
Kurikulum 2013 dibangun berdasarkan budaya dan karakter bangsa Indonesia di
mana proses pembelajaran untuk semua jenjang mulai dari tingkat Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, hingga tingkat Sekolah Menengah Atas menggunakan
Pendekatan Saintifik. Istilah Pendekatan Saintifik dalam pelaksanaan Kurikulum 2013
menjadi pembahasan yang menarik khususnya di kalangan para pendidik, sebab dalam
proses pembelajarannya tidak hanya menekankan pada pembentukan kompetensi siswa,
namun juga menekankan pada pembentukan karakter para peserta didik yang nantinya
menjadi suatu perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat
didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahamannya terhadap konsep yang
dipelajarinya secara kontekstual (Mulyasa, 2013).
Pendekatan Saintifik memiliki langkah-langkah pembelajaran yang meliputi
tindakan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan
mengkomunikasikan (5M). Dalam melaksanakan proses-proses tersebut bantuan guru
sangat diperlukan, karena pembelajarannya menggunakan pendekatan ilmiah dan inkuiri
siswa berperan secara langsung baik secara individu maupun kelompok untuk menggali
konsep dan prinsip. Selama kegiatan pembelajaran, langkah-langkah Pendekatan Saintifik
ini tidak selalu bisa diaplikasikan secara prosedural sehingga dalam hal ini guru dituntut
memiliki profesionalisme pendidik sehingga harus bisa mengkondisikan proses
pembelajaran tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-
nilai atau sifat-sifat yang nonilmiah. Tugas guru dalam Pendekatan Saintifik yaitu
mengarahkan proses belajar yang dilakukan siswa dan memberikan koreksi terhadap
konsep dan prinsip yang didapatkan siswa (Nurul, 2013).
Berdasarkan penjelasan mengenai Pendekatan Saintifik pada Kurikulum 2013,
maka proses pembelajaran ekonomi yang merupakan bagian dari Kurikulum 2013 di
tingkat Sekolah Menengah Atas wajib diajarkan dengan menggunakan Pendekatan
Saintifik. Pembelajaran ekonomi dalam penulisan ini akan dikhususkan pada materi
Ketenagakerjaan mengingat diselenggarakannya MEA sangat berkaitan erat dengan
masalah Ketenagakerjaan dibandingkan materi-materi lain yang diajarkan di kelas XI,
materi Ketenagakerjaan yang diajarkan dengan menggunakan Pendekatan Saintifik
menekankan pada pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar serta pemberian kesempatan
kepada peserta didik untuk membangun konsep dalam pengetahuannya mengenai
Ketenagakerjaan secara mandiri akan membiasakan siswa dalam merumuskan,
menghadapi, dan menyelesaikan masalah-masalah yang mereka temukan. Keterlibatan
peserta didik secara langsung dalam menggali dan menemukan konsep berdasarkan
fakta mengenai kondisi Ketenagakerjaan yang mereka temukan akan mengakibatkan
mereka terbiasa berpikir kritis terhadap lingkungannya. Berpikir kritis merupakan salah
satu kunci keberhasilan Sumber Daya Manusia Indonesia menjawab tantangan dan
hambatan dalam menghadapi MEA.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut maka permasalahan
yang akan dikaji pada makalah ini adalah mengenai bagaimana penerapan Pendekatan
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
P a g e [ 261 ]
Saintifik dalam Pembelajaran Ekonomi SMA Kelas XI materi Ketenagakerjaan, sehingga
dalam pembahasan tersebut dapat tercapai tujuan penulisan dalam makalah ini sesuai
dengan latar belakang dan permasalahan yaitu untuk mendeskripsikan penerapan
Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Ekonomi SMA Kelas XI materi Ketenagakerjaan
sehingga dapat meningkatkan motivasi guru dalam menerapkan proses-proses
pembelajaran dengan pendekatan saintifik, meningkatkan kualitas pembelajaran pada
materi ketenagakerjaan, selain itu peserta didik dapat mengetahui variasi pembelajaran
yang menarik sehingga secara pedagogis makalah ini dapat memberikan nilai-nilai
pendidikan seperti berperilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, responsif
dan proaktif, dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial.
PEMBAHASAN
Konsep Pendekatan Saintifik
Metode Saintifik pertama kali diperkenalkan ke ilmu pendidikan Amerika pada
akhir abad ke-19, sebagai penekanan pada metode laboratorium formalistik yang
mengarah pada fakta-fakta ilmiah (Rudolph, 2005). Metode ini memudahkan guru atau
pengembang kurikulum untuk memperbaiki proses pembelajaran, yaitu dengan
memecah proses ke dalam langkah-langkah atau tahapan-tahapan secara terperinci yang
memuat instruksi untuk siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran (Varelas, 2009). Hal
inilah yang menjadi dasar dari pengembangan kurikulum 2013 di Indonesia.
Pendekatan saintifik dalam pembelajaran meliputi mengamati, menanya, menalar,
mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran dan untuk memperkuat
pendekatan saintifik diperlukan adanya penalaran dan sikap kritis siswa dalam rangka
pencarian. Agar dapat disebut ilmiah maka metode pencarian harus berbasis pada bukti-
bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip
penalaran yang spesifik. Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah atau saintifik dapat
membuat proses pembelajaran menjadi lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan
pembelajaran tradisional. Oleh karena itu kondisi pembelajaran diharapkan dapat
mengarahkan dan mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber
melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu.
Tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik didasarkan pada keunggulan
pendekatan tersebut. Beberapa tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah:
1) untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat
tinggi siswa; 2) untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu
masalah secara sistematis; 3) terciptanya kondisi pembelajaran di mana siswa merasa
bahwa belajar itu merupakan suatu kebutuhan; 4) diperolehnya hasil belajar yang tinggi;
5) untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis
artikel ilmiah; dan 6) untuk mengembangkan karakter siswa.
Beberapa prinsip pendekatan saintifik dalam kegiatan pembelajaran adalah
sebagai berikut: 1) pembelajaran berpusat pada siswa; 2) pembelajaran membentuk
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 262 ] P a g e
students’ self concept; 3) pembelajaran terhindar dari verbalisme; 4) pembelajaran
memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep,
hukum, dan prinsip; 5) pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan
berpikir siswa; 6) pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi
mengajar guru; 7) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan
dalam komunikasi; dan 8) adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip
yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.
Kegiatan pembelajaran meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan pendahuluan,
kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Kegiatan pendahuluan bertujuan untuk menciptakan
suasana awal pembelajaran yang efektif yang memungkinkan siswa dapat mengikuti
proses pembelajaran dengan baik. Dalam metode saintifik tujuan utama kegiatan
pendahuluan adalah memantapkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang
telah dikuasai yang berkaitan dengan materi pelajaran baru yang akan dipelajari oleh
siswa. Dalam kegiatan ini guru harus mengupayakan agar siswa yang belum paham suatu
konsep dapat memahami konsep tersebut, sedangkan siswa yang mengalami kesalahan
konsep, kesalahan tersebut dapat dihilangkan. Pada kegiatan pendahuluan, disarankan
guru menunjukkan fenomena atau kejadian “aneh” atau “ganjil” (discrepant event) yang
dapat menggugah timbulnya pertanyaan pada diri siswa. Kegiatan inti merupakan
kegiatan utama dalam proses pembelajaran atau dalam proses penguasaan pengalaman
belajar (learning experience) siswa. Kegiatan inti dalam pembelajaran adalah suatu
proses pembentukan pengalaman dan kemampuan siswa secara terprogram yang
dilaksanakan dalam durasi waktu tertentu. Kegiatan inti dalam metode saintifik
ditujukan untuk terkonstruksinya konsep, hukum atau prinsip oleh siswa dengan
bantuan dari guru melalui langkah-langkah kegiatan yang diberikan di muka. Kegiatan
penutup sebagai kegiatan terakhir ditujukan untuk dua hal pokok, pertama yaitu validasi
terhadap konsep, hukum atau prinsip yang telah dikonstruk oleh siswa dan yang kedua
yaitu pengayaan materi pelajaran yang dikuasai siswa.
Dengan metode ilmiah seperti ini diharapkan peserta didik akan mempunyai sifat
kecintaan pada kebenaran yang objektif, tidak gampang percaya pada hal-hal yang tidak
rasional, ingin tahu, tidak mudah membuat prasangka, selalu optimis (Kemendikbud,
2013). Pendekatan saintifik menyebabkan adanya perubahan proses pembelajaran dari
siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu dan proses penilaian dari berbasis output
menjadi berbasis proses dan output. Penilaian proses pembelajaran menggunakan
pendekatan penilaian otentik yang menilai kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar
secara utuh (Permen No.65 Tahun 2013).
Konsep Materi Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan memiliki pengertian yang luas, bukan hanya membicarakan
tentang tenaga kerja saja, namun juga sistem, persoalan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Masa kerja merupakan kesempatan kerja, perencanaan tenaga kerja, dan penempatan
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
P a g e [ 263 ]
tenaga kerja. Selama masa kerja merupakan selama hubungan kerja antara tenaga kerja
dan perusahaan berlangsung, sedangkan setelah masa kerja adalah masa pensiun (Rusli,
2011).
Berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja.
Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Tenaga
kerja dibagi atas kelompok angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja
adalah kelompok penduduk dalam usia kerja yang bekerja atau sedang mencari
pekerjaan (Kuncoro, 2013). Sedangkan kesempatan kerja dapat diartikan sebagai jumlah
penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan; semakin banyak
orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja.
Ketenagakerjaan bukan hanya berkaitan dengan orang-orang yang bekerja saja,
melainkan ketenagakerjaan juga memiliki permasalahan pelik dan sulit dihilangkan,
bahkan di negara maju sekalipun. Permasalahan rumit dalam ketenagakerjaan tersebut
adalah pengangguran. Pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang
tergolong dalam angkatan kerja yang ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat
memperolehnya. Secara umum, pengangguran adalah orang yang tidak mempunyai
pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan (Soekirno, 2004).
Pengangguran dapat dikelompokkan menurut penyebab terjadinya dan sifatnya.
Berdasarkan penyebabnya, pengangguran dikelompokkan menjadi 6, yaitu: 1)
pengangguran struktural yang terjadi karena perubahan struktur perekonomian; 2)
pengangguran konjungtur yang diakibatkan oleh naik turunnya kegiatan perekonomian;
3) pengangguran friksional yang terjadi karena adanya kesulitan dalam mempertemukan
pencari kerja dengan lowongan pekerjaan; 4) pengangguran musiman yang terjadi
karena adanya perubahan musim; 5) pengangguran teknologi yang terjadi karena adanya
perubahan tenaga manusia menjadi tenaga mesin; dan 6) pengangguran voluntary yang
terjadi karena adanya orang yang sebenarnya masih dapat bekerja, namun orang
tersebut dengan sukarela untuk tidak bekerja.
Jenis pengangguran berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu: 1)
pengangguran terbuka yang terjadi karena kurangnya kesempatan kerja yang ada, tidak
mau bekerja atau adanya ketidakcocokan antara lowongan kerja yang ada dengan latar
belakang pendidikan; 2) setengah menganggur yaitu orang yang bekerjanya kurang dari
14 jam per minggu; dan 3) pengangguran terselubung terjadi karena adanya tenaga kerja
yang bekerja tidak optimum sehingga terdapat kelebihan tenaga kerja.
Kualitas tenaga kerja merupakan faktor utama penentu produktivitas dan
peningkatan hasil produksi. UU No. 13 tahun 2003 pun menyebutkan bahwa sesuai
dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan
untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta
peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 264 ] P a g e
martabat kemanusiaan. Semakin tinggi kualitas tenaga kerja maka semakin besar pula
permintaan akan tenaga kerja tersebut dan secara otomatis akan meningkatkan
pendapatan riilnya. Oleh sebab itu, diperlukan upaya nyata untuk meningkatkan kualitas
tenaga kerja baik dari segi pendidikan maupun keahlian dan keterampilannya
(Geminastiti, 2014).
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 menyatakan bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Di dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa
pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk: 1) memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; 2) mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; 3) memberikan perlindungan kepada
tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan 4) meningkatkan kesejahteraan dan
keluarganya.
Pertambahan penduduk meningkatkan pertambahan tenaga kerja. Tenaga kerja
merupakan komponen penting dalam pembangunan nasional. Pasalnya, tenaga kerja
merupakan bagian dari kegiatan ekonomi khususnya dalam proses produksi.
Produktivitas diperlukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang akan
meningkatkan pendapatan nasional. Pendapatan nasional merupakan indikator dalam
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional.
Pendekatan Saintifik Pada Materi Ketenagakerjaan
Berdasarkan silabus Kurikulum 2013 mata pelajaran ekonomi (peminatan) untuk
kelas XI semester satu (ganjil) pada kompetensi dasar 3.2 siswa diajak untuk
menganalisis permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam pembahasan mengenai
ketenagakerjaan terdapat beberapa materi yang harus disampaikan oleh pendidik
kepada peserta didik yaitu: 1) pengertian ketenagakerjaan, kesempatan kerja, tenaga
kerja dan angkatan kerja; 2) upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja; 3) sistem upah;
dan 4) pengangguran. Pembelajaran materi ketenagakerjaan dengan menggunakan
pendekatan saintifik memiliki 3 kegiatan yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan
kegiatan penutup yang di dalamnya terdapat proses mengamati, menanya,
mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan.
Pada kegiatan pendahuluan, guru membimbing peserta didik untuk berdo’a sesuai
dengan agama dan keyakinan masing-masing sebelum pelajaran dimulai, selanjutnya
guru menginformasikan garis besar tujuan pembelajaran materi ketenagakerjaan yaitu:
1) siswa dapat menunjukkan rasa syukur, jujur, tanggung jawab dan disiplin; 2) siswa
dapat menunjukkan perilaku kerjasama dan komunikasi lisan; 3) siswa dapat
mengidentifikasi pengertian dan perbedaan angkatan kerja, tenaga kerja, kesempatan
kerja; 4) siswa dapat mengidentifikasi upaya peningkatan kualitas kerja dan macam-
macam upah; 5) siswa dapat menyebutkan sistem upah menurut UU No. 13/2003; 6)
siswa dapat mendeskripsikan UMR; 7) siswa dapat mengidentifikasi jenis-jenis
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
P a g e [ 265 ]
pengangguran dan sebab-sebabnya; dan 8) siswa dapat mendeskripsikan cara-cara
mengatasi masalah pengangguran. Terakhir dalam kegiatan pendahuluan guru
memotivasi siswa untuk selalu berusaha dengan bekerja di berbagai bidang dengan
kemampuan masing-masing, baik secara formal maupun non formal untuk memenuhi
kebutuhannya.
Selanjutnya pada kegiatan inti pembelajaran materi ketenagakerjaan, guru
mengajak siswa melaksanakan proses pertama dalam pendekatan saintifik yaitu
mengamati. Guru meminta siswa untuk mengamati sebuah fenomena tentang kondisi
ketenagakerjaan di Indonesia dalam pemutaran video yang telah disiapkan oleh guru
sebelumnya. Mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta
didik, sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Sebagaimana
disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a, hendaklah guru membuka secara luas
dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan
melihat, menyimak, mendengar, dan membaca. Guru memfasilitasi peserta didik untuk
melakukan pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan (melihat, membaca,
mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek. Adapun kompetensi yang
diharapkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan mencari informasi. Ketika
melakukan proses mengamati guru dan siswa harus cermat, objektif, dan jujur serta
terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran. Sebelum
observasi dilaksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan menyepakati
cara dan prosedur pengamatan, memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan
sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas perolehan observasi.
Setelah proses mengamati selesai maka selanjutnya guru membagi siswa ke dalam
kelompok dan diberi tugas untuk mengidentifikasi pengertian dan perbedaan antara
angkatan kerja, tenaga kerja, kesempatan kerja. Peserta didik selanjutnya diarahkan
untuk melakukan proses kedua dalam pendekatan yaitu menanya, dalam hal ini siswa di
dalam masing-masing kelompoknya akan mengajukan pertanyaan dan saling berdiskusi
untuk mendapatkan klarifikasi tentang pengertian dan perbedaan ketenagakerjaan,
kesempatan kerja, tenaga kerja dan angkatan kerja. Kompetensi yang dikembangkan
adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan
pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar
sepanjang hayat. Pada kegiatan pembelajaran ini siswa melakukan pembelajaran
bertanya. Siswa yang pandai dan cerdas akan bertanya atau menjawab pertanyaan baik
dari guru maupun dari teman.
Proses yang ketiga dalam pendekatan saintifik adalah mengeksplorasi, di mana
setelah siswa memahami tentang pengertian dan perbedaan tenaga kerja, angkatan kerja,
dan kesempatan kerja maka selanjutnya guru mengarahkan siswa untuk mengumpulkan
data dan informasi tentang upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja, sistem upah, dan
pengangguran melalui buku, makalah, artikel, jurnal penelitian, dan lain sebagainya.
Kegiatan belajarnya adalah 1) mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik
terbatas dari hasil kegiatan eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 266 ] P a g e
kegiatan mengumpulkan informasi; 2) pengolahan informasi yang dikumpulkan dari
yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi
yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda
sampai kepada yang bertentangan. Kompetensi yang dikembangkan adalah
mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan
menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam
menyimpulkan.
Proses yang keempat adalah mengasosiasi, dalam hal ini peserta didik diharapkan
mampu memberikan analisisnya terhadap informasi dan data-data yang diperoleh dari
bacaan maupun dari sumber-sumber terkait serta membuat hubungan antar sub
pembahasan dalam materi ketenagakerjaan untuk mendapatkan simpulan dan
menemukan cara mengatasi permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia dan di daerah
sekitar tempat tinggal peserta didik. Kegiatan pembelajarannya selain membaca sumber
lain selain buku teks juga bisa dengan mengamati objek/ kejadian/ aktivitas, wawancara
dengan narasumber. Kompetensi yang dikembangkan dalam hal ini yaitu
mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan
berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai
cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.
Proses yang terakhir dalam pendekatan saintifik adalah mengkomunikasikan,
masing-masing kelompok akan menyampaikan hasil analisis atau hasil observasinya
kepada teman-teman tentang cara mengatasi permasalahan ketenagakerjaan di
Indonesia di depan kelas dengan menggunakan media power point. Kegiatan
pembelajaran pada proses mengkomunikasikan ini adalah menyampaikan hasil
pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media
lainnya. Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti,
toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan
jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.
Di akhir pelajaran maka guru akan melaksanakan kegiatan penutupan. Dalam
kegiatan penutupan ini guru dan siswa bersama-sama melakukan refleksi, kemudian
guru melakukan penilaian yang dapat berupa tes lisan dengan beberapa pertanyaan
(kognitif), lembar pengamatan (afektif), dan lembar pengamatan (psikomotorik), terakhir
siswa mengerjakan soal-soal evaluasi yang diberikan oleh Guru.
Penilaian dalam Pendekatan Saintifik pada Materi Ketenagakerjaan
Penilaian yang dipakai dalam Kurikulum 2013 dengan diterapkannya Pendekatan
Saintifik adalah Penilaian Otentik. Penilaian otentik memiliki ciri khas sebagai berikut: 1)
merupakan penilaian berbasis portofolio; 2) pertanyaan yang diberikan tidak memiliki
jawaban tunggal; 3) memberi nilai bagi jawaban nyeleneh; 4) menilai proses
pengerjaannya bukan hanya hasilnya; 5) penilaian spontanitas/ekspresif, dan lain
sebagainya. Penilaian di dapat dari semua aspek, dan pengambilan nilai siswa bukan
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
P a g e [ 267 ]
hanya didapat dari nilai ujianya saja tetapi juga didapat dari nilai kesopanan, religi,
praktek, sikap dan lain-lain.
Penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik
(authentic assessment) atau penilaian menggunakan portofolio yang menilai kesiapan
peserta didik, proses, dan hasil belajar secara utuh yang memiliki skala penilaian 1
sampai 4. Keterpaduan penilaian ketiga komponen tersebut akan menggambarkan
kapasitas, gaya, dan perolehan belajar peserta didik atau bahkan mampu menghasilkan
dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari
pembelajaran. Hasil penilaian otentik dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan
program perbaikan (remedial), pengayaan (enrichment), atau pelayanan konseling. Selain
itu, hasil penilaian otentik dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki proses
pembelajaran sesuai dengan Standar Penilaian Pendidikan. Evaluasi proses pembelajaran
dilakukan saat proses pembelajaran dengan menggunakan alat: tes, angket, observasi,
catatan, dan refleksi.
Penilaian pada pembelajaran dengan pendekatan saintifik meliputi penilaian
proses, penilaian produk, dan penilaian sikap. Penilaian pada 3 aspek tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut: 1) penilaian proses atau keterampilan dilakukan melalui
observasi saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu, berdiskusi, maupun saat
presentasi dengan menggunakan lembar observasi kinerja, penilaian proses di dalam
pembelajaran dibagi menjadi 3 macam yaitu nilai praktik, nilai proyek, dan nilai
portofolio; 2) penilaian produk berupa pemahaman konsep, prinsip, dan hukum
dilakukan dengan tes tertulis, dalam pelaksanaannya penilaian produk tidak hanya
dilakukan saat tes tertulis saja, namun bisa juga melalui tes lisan, dan penugasan; dan 3)
penilaian sikap, melalui observasi saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu,
berdiskusi, maupun saat presentasi dengan menggunakan lembar pengamatan sikap.
Penilaian sikap dalam pembelajaran dibagi menjadi 3 yaitu melalui penilaian proses,
penilaian antar teman, dan penilaian berdasarkan jurnal guru.
Hal yang penting dalam penilaian adalah guru harus memiliki profesionalisme
pendidik, guru yang profesional akan dapat mengumpulkan informasi penilaian yang
valid dan reliable, mengingat tujuan pembelajaran bukan untuk pemerolehan sejumlah
besar pengetahuan deklaratif, sehingga penilaian tidak cukup hanya melalui tes tertulis,
secara spesifik penilaian dalam pembelajaran dapat ditujukan untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah atau kemampuan berpikir kritis. Penilaian otentik
memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan bila
dihadapkan pada situasi-situasi masalah nyata, sehingga dapat digunakan untuk
mengukur potensi pemecahan masalah peserta didik di samping kemampuan kerja
kelompok.
SIMPULAN
Pembelajaran ekonomi pada materi ketenagakerjaan dengan menggunakan
pendekatan saintifik membuat peserta didik berpikir dan berbuat yang diawali dengan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 268 ] P a g e
mengamati dan menanya sampai kemudian mereka berupaya untuk menalar, mencoba
dan mengkomunikasikan temuannya. Dengan diterapkannya pendekatan saintifik siswa
menjadi lebih kreatif dan kritis dengan kondisi ketenagakerjaan di lingkungan sekitarnya.
Berpikir kritis dan kreatif merupakan salah satu faktor yang penting yang harus dimiliki
siswa untuk menghadapi MEA 2013.
Proses pembelajaran materi ketenagakerjaan menyentuh tiga ranah, yaitu sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan
antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang
memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta
didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Dengan
dilaksanakannya Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan saintifik dalam
pembelajaran, guru diharapkan mampu melaksanakan pendekatan saintifik dengan
maksimal agar hasil pembelajaran meningkat secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Geminastiti, Kinanti. 2014. Ekonomi untuk SMA/MA Kelas XI Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Bandung: Yrama Widya
Kemdikbud. 2013. Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam Pembelajaran. Jakarta:Pusbangprodik
Kemdikbud. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013. Paparan Mendikbud dalam SosialisasiKurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud
Kuncoro, Mudrajad. 2013. Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi.Yogyakarta: STIM YPKN
Mulyasa. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: PT.RemajaRosdakarya
Nurul, H. 2013. Pengertian dan Langkah-Langkah Saintifik. (Online).(http://www.nurulhidayah.net/879-pengertian-dan-langkah-pembelajaran-saintifik.html, diakses tanggal 26 Maret 2015)
Permendikbud. 2013. Jurnal Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses PendidikanDasar dan Menengah. Jakarta
Rudolph, J.L. 2005. Epistemology for the masses: The origins of the scientific method inAmerican schools. History of Education Quarterly, 45, 341-376
Rusli, Hardijan. 2011. Hukum Ketenagakerjaan. Bogor: Ghalia Indonesia
Sisdiknas No 20 Tahun 2013. Sistem Dan Visi Misi Pendidikan Nasional. Jakarta:Departemen Pendidikan
Soekirno, Sadono. 2004. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Varelas, M and Ford M. 2009. The scientific method and scientific inquiry: Tensions inteaching and learning. USA: Wiley InterScience.
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
P a g e [ 269 ]
PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC
UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA
PADA MATA PELAJARAN EKONOMI POKOK BAHASAN PASAR
Maria Emanuela IneUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakPenulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pendekatanscientific untuk meningkatkan prestasi belajar siswa pada Mata PelajaranEkonomi pokok bahasan Pasar. Pendekatan scientific merupakan pendekatandalam proses pembelajaran yang mengintegrasikan keterampilan sains yaitumencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang dikaitkan dengan materipembelajaran. Pendekatan scientific lebih menekankan kepada peserta didiksebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara aktif. Kualitas pendidikanyang ada di NTT khususnya di Kabupaten Ngada, boleh dikatakan belum terlalubaik. Hal ini dapat diukur dari sarana prasarana yang masih kurang, mutu guruyang belum memadai, dan prestasi belajar siswa yang masih sangat rendah.Mutu guru erat kaitannya dengan kemampuan guru dalam memilih pendekatanpembelajaran yang sesuai dengan topik yang sedang dipelajari. Kemahiran danprofesionalitas seorang guru dalam memilih dan merancang pendekatanpembelajaran diharapkan akan menghasilkan sebuah pembelajaran yang efektifdan efisien. Pendekatan scientific dinilai sangat cocok untuk diterapkan sebagaipengganti pendekatan tradisional utamanya pada pokok bahasan Pasar.Alasannya karena dalam pendekatan scientific lebih menekankan kepada pesertadidik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara aktif sepanjangkegiatan pembelajaran. Siswa diarahkan agar dapat mencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang terkait dengan materi pelajaran. Dengan carademikian maka diharapkan prestasi belajar siswa akan dapat ditingkatkan padaakhirnya.
Kata kunci: Pendekatan Scientific, Prestasi Belajar, Pasar, Pendidikan Ekonomi
PENDAHULUAN
Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi misi
dan strategi pembangunan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan
semua warga Negara Indonesia untuk menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana dan proses belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 270 ] P a g e
Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran yang mampu
mengembangkan kreativitas siswa. Mulyoto (2013: 103) menyatakan bahwa “selama ini
unsur kreativitas memang sering disebut-sebut pakar pendidikan, tapi pembelajaran
yang memberi ruang kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas belum mendapat
tempat”. Di samping itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
menegaskan bahwa kurikulum 2013 juga mengamanatkan untuk mendorong peserta
didik agar mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, menalar, dan
mengkomunikasikan terhadap apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah
menerima materi pembelajaran (Kemendikbud, 2013:3-4). Intinya, yang menjadi ciri
khas pembelajaran dalam Kurikulum 2013 adalah pembelajaran berbasis pendekatan
scientific yang saat ini tentunya menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih lanjut oleh
para pendidik maupun pemerhati pendidikan.
Pendekatan scientific menjadikan pembelajaran lebih aktif dan tidak
membosankan, siswa dapat mengonstruksi pengetahuan dan keterampilannya melalui
fakta-fakta yang ditemukan dalam penyelidikan di lapangan guna pembelajaran. Selain
itu, dengan pembelajaran berbasis pendekatan scientific ini, siswa didorong lebih mampu
dalam mengobservasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan atau
mempresentasikan hal-hal yang dipelajari dari fenomena alam ataupun pengalaman
langsung (Kemendikbud, 2013: 203,212). Pada pembelajaran ekonomi misalnya, siswa
dapat diajak melihat langsung peristiwa, mengamati kejadian, fenomena, konteks atau
situasi yang berkaitan dengan pasar, seperti kegiatan penawaran dan permintaan yang
dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan demikian, siswa selalu mengingatnya dan
proses pembelajaran terasa lebih berkesan.
Kondisi pendidikan yang ada di NTT khususnya di Kabupaten Ngada, boleh
dikatakan belum memiliki kualitas yang begitu baik. Hal ini dapat diukur dari hasil
prestasi belajar siswa yang sangat rendah. Alasan lainnya adalah karena sarana
prasarana yang belum memadai, mutu guru, dan kondisi ekonomi siswa. Berbicara
mengenai pemilihan dan pendekatan pembelajaran yang sesuai erat kaitannya dengan
mutu seorang guru. Mutu seorang guru dapat diukur melalui kemahiran dan
profesionalitas seorang guru dalam merancang sebuah pembelajaran yang efektif dan
efisien.
Keefektifan dan keefisienan sebuah pembelajaran diukur dari tingkat pemahaman
materi oleh siswa yang berujung pada peningkatan prestasi belajar siswa. Untuk itu
peran guru adalah memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai, yang mampu
membawa siswa kepada pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya. Kenyataan di
Kabupaten Ngada, guru masih menggunakan model pembelajaran tradisional. Hal ini
berdampak kepada pencapaian prestasi siswa yang kurang maksimal.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran ekonomi secara efektif guru dianjurkan
untuk beralih dari pendekatan tradisional dan menerapkan metode pembelajaran yang
inovatif. Pembelajaran inovatif berarti bahwa pembelajaran dikemas oleh guru atau
instruktur lainnya yang merupakan wujud gagasan atau teknik yang dipandang baru agar
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
P a g e [ 271 ]
memfasilitaskan siswa untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang dianjurkan yakni, pendekatan scientific.
Dalam pendekatan scientific menjadikan siswa yang diberi tahu menjadi siswa yang
mencari tahu, dari guru yang merupakan sumber belajar menjadi belajar dari beraneka
macam sumber, dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan
pendekatan ilmiah, dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju
pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi, pembelajaran yang
mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pebelajar
sepanjang hayat. Makalah ini berupaya untuk melihat penerapan pendekatan
pembelajaran scientific terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi. Masalah
dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah penerapan pendekatan
scientific terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi pokok bahasan
pasar? (2) Bagaimanakah penilaian scientific dalam pembelajaran ekonomi?
Dengan demikian, tujuan dari penulisan makalah ini di antaranya: (1) Untuk
mengetahui sejauh mana penerapan pembelajaran pendekatan scientific terhadap
prestasi belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi pokok bahasan pasar; (2) Untuk
mengetahui penilaian scientific dalam pembelajaran ekonomi.
PEMBAHASAN
Pendekatan Scientific
Metode scientific pertama kali diperkenalkan melalui ilmu pendidikan Amerika
pada akhir abad ke-19, sebagai penekanan pada metode laboratorium formalistik yang
mengarah pada fakta-fakta ilmiah (Rohandi, 2005:25). Menurut Fauziah (2013)
pendekatan saintifik mengajak siswa langsung dalam menginferensi masalah yang ada
dalam bentuk rumusan masalah dan hipotesis, rasa peduli terhadap lingkungan, rasa
ingin tahu dan gemar membaca. Dalam pelaksanaanya, siswa akan memperoleh
kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri serta mengembangkan dan
menyajikan hasil karya. Menurut Nur (dalam putra, 2013:12) Pendekatan scientific
merupakan pendekatan pembelajaran di mana peserta didik diajak untuk melakukan
proses pencarian pengetahuan berkenaan dengan materi pelajaran melalui berbagai
aktivitas proses sains sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan (scientist) dalam
melakukan penyelidikan ilmiah yang artinya peserta didik diarahkan untuk menemukan
sendiri berbagai fakta, membangun konsep, dan nilai-nilai baru yang diperlukan untuk
kehidupannya. Menurut Irwandi (2012) pendekatan saintifik merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta tetapi merupakan
hasil menemukan sendiri.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan scientific
merupakan pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengintegrasikan
keterampilan sains yaitu mencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang
dikaitkan dengan materi pembelajaran. Pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 272 ] P a g e
yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui
metode ilmiah. Model pembelajaran yang diperlukan adalah yang memungkinkan
terbudayakannya kecakapan berpikir sains, terkembangkannya “sense of inquiry” dan
kemampuan berpikir kreatif siswa. Pendekatan scientific lebih menekankan kepada
peserta didik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara aktif.
Metode scientific sangat relevan dengan tiga teori belajar yaitu teori Bruner, teori
Piaget, dan teori Vygotsky. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan. Ada
empat hal pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner (dalam Carin & Sund, 1975).
Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan pikirannya apabila ia
menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif dalam proses
penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang merupakan
suatu penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar seseorang dapat mempelajari
teknik-teknik dalam melakukan penemuan adalah ia memiliki kesempatan untuk
melakukan penemuan. Keempat, dengan melakukan penemuan maka akan memperkuat
retensi ingatan. Empat hal di atas adalah bersesuaian dengan proses kognitif yang
diperlukan dalam pembelajaran menggunakan metode scientific.
Teori Piaget, menyatakan bahwa belajar berkaitan dengan pembentukan dan
perkembangan skema (jamak skemata). Skema adalah suatu struktur mental atau
struktur kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan
mengkoordinasi lingkungan sekitarnya (Baldwin, 1967). Skema tidak pernah berhenti
berubah, skemata seorang anak akan berkembang menjadi skemata orang dewasa.
Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan skemata disebut dengan adaptasi.
Proses terbentuknya adaptasi ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu asimilasi dan
akomodasi. Vygotsky, dalam teorinya menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila
peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun
tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada dalam
zone of proximal development daerah terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. (Nur dan Wikandari, 2000:4).
Tujuan pembelajaran dengan pendekatan scientific didasarkan pada keunggulan
pendekatan tersebut. Beberapa tujuan Pembelajaran dengan pendekatan scientific
adalah:
1. Untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat
tinggi siswa.
2. Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara
sistematik.
3. Terciptanya kondisi pembelajaran di mana siswa merasa bahwa belajar itu
merupakan suatu kebutuhan.
4. Diperolehnya hasil belajar yang tinggi.
5. Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis
artikel ilmiah.
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
P a g e [ 273 ]
6. Untuk mengembangkan karakter siswa.
Suatu pengetahuan ilmiah hanya dapat diperoleh dari metode ilmiah. Metode
ilmiah pada dasarnya memandang fenomena khusus (unik) dengan kajian spesifik dan
detail untuk kemudian merumuskan pada simpulan. Demikian diperlukan adanya
penalaran dalam rangka pencarian (penemuan). Untuk dapat disebut ilmiah, metode
pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat
diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik.
Oleh karena itu, penerapan pendekatan ilmiah memiliki beberapa kriteria yang
harus dipenuhi di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan
dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda,
atau dongeng semata.
2. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari
prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang
dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi
pembelajaran.
4. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat
perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
5. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi
pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem
penyajiannya. (Kemdikbud, 2013: 2-3)
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific). Langkah-langkah dalam
pendekatan scientific dikatakan sebagai pembelajaran terhadap pengetahuan ilmiah yang
diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis dalam ilmu-ilmu social termasuk juga ilmu
ekonomi. Dalam pembelajaran ekonomi yang dikehendaki adalah jawaban mengenai
fakta-fakta dalam ekonomi. Menurut Bloom dan Krathwohl dan Bloom dan Maria (dalam
Rusman, 2009:24-25) dalam proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah
sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu
mengapa.” Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar
peserta didik “tahu bagaimana”. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi
atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa”. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan
keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan
manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 274 ] P a g e
skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan.
Proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan scientific terdiri atas
enam pengalaman belajar pokok, yang terdiri dari:
1. Mengamati: membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat) untuk
mengidentifikasi masalah yang ingin diketahui.
2. Menanya mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang
diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang
diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik)
3. Mencoba/mengumpulkan data (informasi): melakukan eksperimen, membaca
sumber lain dan buku teks, mengamati objek/kejadian/aktivitas, wawancara dengan
narasumber.
4. Mengasosiasikan/mengolah informasi: mengolah informasi yang sudah dikumpulkan
baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari
kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi.
5. Mengkomunikasikan: Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil
analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya
6. (Dapat dilanjutkan dengan) Mencipta: menginovasi, mencipta, mendisain model,
rancangan, produk (karya) berdasarkan pengetahuan yang dipelajari.
Kegiatan pembelajaran meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan pendahuluan,
kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Kegiatan pendahuluan bertujuan untuk menciptakan
suasana awal pembelajaran yang efektif yang memungkinkan siswa dapat mengikuti
proses pembelajaran dengan baik. Kegiatan inti merupakan kegiatan utama dalam proses
pembelajaran atau dalam proses penguasaan pengalaman belajar (learning experience)
siswa. Kegiatan penutup ditujukan untuk dua hal pokok. Pertama, validasi terhadap
konsep, hukum atau prinsip yang telah dikonstruk oleh siswa. Kedua, pengayaan materi
pelajaran yang dikuasai siswa.
Prestasi Belajar
Setiap kegiatan yang dilakukan siswa akan menghasilkan suatu perubahan pada
dirinya. Perubahan tersebut meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Hasil
belajar yang diperoleh siswa diukur berdasarkan perbedaan tingkah laku sebelum dan
sesudah belajar dilakukan. Salah satu indicator terjadinya perubahan hasil belajar di
sekolah adalah proses belajar yang dapat dilihat melalui angka-angka di dalam rapor atau
daftar nilai yang diperoleh siswa pada akhir semester.
Winkel (2004:16) mengatakan “prestasi adalah bukti keberhasilan yang telah
dicapai”. Sedangkan belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku yang
merupakan hasil dari pengalaman. Dengan demikian prestasi belajar adalah bukti
keberhasilan yang telah dicapai yang merupakan hasil dari pengalaman.
Menurut Tu’u (2004:75) menyatakan prestasi belajar merupakan penguasaan
pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran yang lazimnya
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
P a g e [ 275 ]
ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Sedangkan menurut
Azwar (2010:87), prestasi belajar merujuk pada apa yang mampu dilakukan oleh
seseorang dan seberapa baik ia melakukannya dalam menguasai bahan-bahan dan materi
ajar yang telah diajarkan.
Sementara Purwanto (2007) mengemukakan pengertian prestasi belajar yaitu
“hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan
dalam rapor”. Sedangkan Gintings (2010: 87) mengemukakan “prestasi belajar siswa
adalah hasil berbagai upaya dan daya yang tercermin dari partisipasi belajar yang
dilakukan siswa dalam mempelajari materi pelajaran yang diajarkan oleh guru”.
Dalam hubungan dengan pelajaran di sekolah, prestasi belajar yang diperoleh
meliputi semua mata pelajaran, misalnya prestasi siswa pada mata pelajaran ekonomi.
Prestasi belajar ekonomi adalah hasil yang telah dicapai setelah menguasai pengetahuan
atau keterampilan dalam pelajaran ekonomi pokok bahasan pasar yang ditunjukkan
dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan
maka semakin baik pula prestasi belajar yang didapatkan. Prestasi belajar tersebut dapat
diamati dari ketercapaian hasil belajar siswa yang ditentukan oleh kriteria ketuntasan
minimum (KKM). Melalui KKM tersebut dapat diketahui tinggi rendahnya nilai siswa
yang diperoleh dan menunjukkan tingkat prestasi belajar siswa.
Menurut Muhibbin Syah (2005:132), faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, antara lain sebagai berikut:
1. Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani
siswa, antara lain tingkat kecerdasan/intelegensi siswa, sikap siswa, bakat siswa,
minat siswa, dan motivasi siswa.
2. Faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa), yaitu kondisi lingkungan di sekitar
siswa, yang terdiri dari lingkungan sosial dan lingkungan nonsosial.
3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa
yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan
pembelajaran materi-materi pelajaran.
Jadi, keberhasilan siswa selain dipengaruhi oleh beberapa faktor di atas namun
sangat dipengaruhi juga oleh intelegensi, hal ini dikarenakan intelegensi merupakan
salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar.
Intelegensi merupakan dasar potensial bagi pencapaian hasil belajar, di mana hasil
belajar yang akan dicapai tergantung pada tingkat intelegensi. Jika intelegensi tinggi,
maka kemungkinan prestasi belajar siswa yang diraih juga tinggi, dan semakin tinggi
motivasi yang dimiliki siswa maka prestasi belajar yang akan diraih tinggi.
Materi Pelajaran Pokok Bahasan Pasar
Pasar adalah tempat pertemuan antara penjual dan pembeli dalam melakukan
transaksi jual beli akan barang dan jasa. Pengertian pasar dapat diperluas lagi, yaitu
terjadinya hubungan antara penjual dan pembeli, baik secara langsung tatap muka)
maupun tidak langsung (melalui media pesawat telepon, faximile, dan internet) dalam
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 276 ] P a g e
melakukan transaksi (jual beli) barang dan jasa. Suatu tempat dapat kita katakan sebagai
pasar jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Ada calon penjual dan pembeli;
2. Ada barang/jasa yang hendak diperjualbelikan; dan
3. Terjadinya proses tawar menawar.
Fungsi pasar
1. Fungsi pembentukan harga
Jika kamu amati, di pasar biasanya terjadi proses tawar menawar harga. Penjual
menawarkan barang dengan harga tertentu. Di sisi lain, pembeli menginginkan barang
dengan harga tertentu pula. Jika terjadi kesepakatan, terbentuklah harga pasar atau
harga keseimbangan.
2. Fungsi promosi
Bagi produsen yang memproduksi barang-barang baru dapat memperkenalkan
barang-barang tersebut di pasar. Kita sering melihat barang dengan kemasan baru dan
warna baru. Jadilah, pasar sebagai tempat untuk mempromosikan barang-barang baru.
3. Fungsi penyerapan tenaga kerja
Selain pedagang dan pembeli, di pasar juga terdapat banyak orang yang terlibat
dalam kegiatan jual beli, seperti: kuli angkut, pelayan toko, tukang sapu, dan tukang
parkir. Dengan demikian, jadilah pasar sebagai tempat untuk penyerapan tenaga kerja.
Jenis-jenis pasar
Berdasarkan Barang yang Diperjualbelikan
Berdasarkan barang yang diperjualbelikan, pasar dapat dikelompokkan menjadi:
1. Pasar Barang Konsumsi: Pasar barang konsumsi, yaitu jenis pasar yang menjual atau
menyediakan berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Misalnya, makanan, minuman,
dan pakaian. Yang termasuk pasar konsumsi adalah pasar hewan, pasar bunga, pasar
sembako, dan pasar hewan.
2. Pasar Barang Produksi: Pasar barang produksi, yaitu jenis pasar yang
memperjualbelikan barang faktor-faktor produksi, seperti: bahan baku industri,
tenaga kerja, mesin, dan peralatan lain yang semuanya merupakan sumber daya
produksi yang digunakan untuk memproduksi barang lain.
Berdasarkan luasnya kegiatan atau distribusi
Berdasarkan luasnya kegiatan, pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pasar Lokal (Setempat): Pasar lokal, yaitu pasar yang memperjualbelikan barang
kebutuhan konsumen yang bertempat tinggal di sekitar pasar, dan barang yang
diperjualbelikannya biasanya hasil budidaya masyarakat sekitar.
2. Pasar Daerah: Untuk daerah yang cakupannya lebih luas, selain pasar lokal ada juga
pasar daerah, yaitu pasar wilayah. Letaknya biasanya di ibukota, kabupaten, pusat
kota, atau ibukota provinsi. Pasar ini lebih besar dari pasar lokal karena merupakan
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
P a g e [ 277 ]
tempat jual beli konsumen satu daerah atau satu wilayah (kota, kabupaten, atau
provinsi). Contohnya: pasar kabupaten, pasar kota, dan pasar provinsi.
3. Pasar Nasional: Di wilayah yang lebih luas, seperti negara, terdapat juga jenis pasar
yang lain, yaitu pasar nasional. Pasar ini memperjualbelikan barang kebutuhan
konsumen untuk satu negara (tingkat nasional). Contoh pasar nasional, yaitu bursa
efek yang memperjualbelikan saham konsumen dalam negeri.
4. Pasar Internasional: Suatu negara tidak terlepas dari perdagangan internasional.
Perdagangan tersebut menuntut adanya tempat khusus yang mempertemukan para
penjual dan pembeli dari berbagai negara. Tempat khusus tersebut disebut pasar
internasional. Contoh pasar internasional, yaitu pasar tembakau di Bremen, Jerman
dan pasar karet di New York, Amerika Serikat.
Berdasarkan Ketersediaan Barang yang Diperjualbelikan
Berdasarkan ketersediaan barang yang diperjualbelikan, pasar dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pasar Konkret: Pasar konkret adalah pasar yang memperjualbelikan barang, dan
barangnya ada di pasar tersebut. Setelah dibayar, barang bisa langsung dibawa (cash
and carry). Contoh pasar konkret, yaitu pasar sehari-hari, pasar burung, pasar
hewan, pasar sayur, pasar pakaian jadi, pasar kain, toserba, supermarket, swalayan,
dan minimarket.
2. Pasar Abstrak (Pasar Tidak Nyata): Selain pasar konkret, ada jenis pasar lain, yaitu
pasar abstrak. Pasar abstrak adalah pasar yang memperjualbelikan barang, tetapi
barangnya tidak ada di pasar tersebut. Contoh pasar abstrak adalah pasar tenaga
kerja, pasar obat-obatan, pasar tembakau Bremen di Jerman, Bursa Efek Jakarta, dan
Bursa Valuta Asing.
Berdasarkan Waktu
Berdasarkan waktu, pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pasar Harian: Pasar yang diadakan sehari-hari disebut pasar harian. Pasar ini buka
setiap hari dan menyediakan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Contoh pasar
harian, yaitu pasar tradisional dan swalayan.
2. Pasar Mingguan: Selain pasar harian, ada juga pasar mingguan. Pasar ini dapat
ditemukan aktivitasnya setiap minggu. Contoh pasar mingguan, yaitu Pasar Senin,
Pasar Rebo, dan Pasar Minggu.
3. Pasar Bulanan: Setiap pasar bulanan mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu beroperasi
sebulan sekali. Pasar ini disebut pasar bulanan. Biasanya, para pedagang menjual
barang-barang tertentu, seperti hewan, kerajinan, dan perlengkapan produksi.
4. Pasar Tahunan: Pasar yang melakukan aktivitasnya setahun sekali disebut pasar
tahunan. Pasar ini biasanya diadakan karena ada peristiwa-peristiwa tertentu yang
diperingati setiap tahun. Contoh pasar tahunan, yaitu Pekan Raya Jakarta, Pasar
Agustusan, dan Vancouver Fair di Kanada.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 278 ] P a g e
Berdasarkan Bentuk atau Struktur Pasar
Berdasarkan bentuk atau struktur pasar, pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pasar Sempurna: Di pasar biasanya para penjual dan pembeli mengetahui dengan
baik harga barang, jenis barang, dan kualitas barang yang diperjualbelikan. Hal ini
merupakan salah satu ciri pasar sempurna. Ciri lain dari pasar sempurna adalah: a)
Pembeli dan penjual bebas berinteraksi untuk membeli atau menjual barang kepada
siapapun. b) Barang yang diperjualbelikan bersifat homogen (sejenis) yang berarti
barang-barang tersebut dapat saling mengganti satu dengan yang lain (terdapat
banyak barang subsitusi).
2. Pasar Tidak Sempurna: Selain pasar sempurna, ada juga pasar yang tidak sempurna.
Pasar tidak sempurna adalah pasar yang tidak terorganisir secara sempurna. Ciri-
cirinya adalah: a) Pembeli dan penjual tidak mengetahui keadaan pasar dengan baik.
b) Pembeli dan penjual tidak bebas berinteraksi. c) Barang yang diperjualbelikan
bersifat heterogen (beraneka ragam). Apabila suatu pasar memiliki paling sedikit satu
ciri tersebut, pasar tersebut tergolong pasar tidak sempurna.
Berdasarkan Sifat Pembentukan Harga
Berdasarkan sifat pembentukan harga, pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pasar Persaingan: Pasar yang pembentukan harganya dilakukan oleh persaingan
antara permintaan dan penawaran disebut pasar persaingan. Contohnya, jika
permintaan naik, sedangkan penawaran tetap, maka harga akan naik. Sebaliknya, jika
permintaan turun, sedangkan penawaran naik, maka harga akan turun.
2. Pasar Monopoli: Pasar yang pembentukan harganya dilakukan oleh satu kelompok
disebut pasar monopoli. Satu orang atau satu kelompok tersebut menguasai
penawaran atau penjualan sehingga mereka bebas menentukan barang dan harga
yang dijualnya. Contohnya pembentukan tarif listrik oleh PLN, pembentukan tarif
telepon kabel oleh Telkom, dan pembentukan tarif air oleh PDAM.
3. Pasar Duopoli: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh beberapa orang
atau beberapa kelompok yang menguasai penawaran atau penjualan disebut pasar
duopoli.
4. Pasar Oligopoli: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh beberapa orang
atau beberapa kelompok yang menguasai penawaran atau penjualan disebut pasar
oligopoli. Contohnya pada pasar lemari es, ada beberapa penjual dengan beberapa
merk yang terlibat dalam penentuan harga di pasar. Contoh pasar oligopoli yang lain,
yaitu pasar sepeda motor, pasar televisi, dan pasar semen.
5. Pasar Monopsoni: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh satu orang
atau sekelompok pembeli disebut pasar monopsoni. Misalnya, di suatu wilayah
terdapat perkebunan tembakau yang luas, ternyata ada satu perusahaan yang
bersedia membeli tembakau tersebut. Akibatnya, perusahaan tersebut dapat
menekan harga tembakau serendah-rendahnya.
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
P a g e [ 279 ]
6. Pasar Duopsoni: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh dua orang atau
dua kelompok pembeli yang menguasai pembelian disebut pasar duopsoni.
7. Pasar Oligopsoni: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh beberapa
orang atau beberapa kelompok yang menguasai permintaan atau pembelian disebut
pasar oligopsoni
Penerapan Pendekatan Pembelajaran Scientific Untuk Meningkatkan Prestasi
Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi
Karakteristik pembelajaran terkait erat dengan Standar Kompetensi Lulusan dan
Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang
sasaran pembelajaran yang harus dicapai, dan Standar Isi memberikan kerangka
konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang dikembangkan dari tingkat
kompetensi dan ruang lingkup materi. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan,
sasaran pembelajaran mencakup pengembangan domain sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang memiliki karakteristik berbeda untuk masing-masing mata pelajaran.
Sikap diperoleh melalui aktivitas menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan
mengamalkan. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Keterampilan diperoleh melalui
aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta.
Pencapaian kompetensi tersebut berkaitan erat dengan proses pembelajaran yang
dilaksanakan. Oleh sebab itu, guru harus merencanakan pembelajaran sesuai tuntutan
kurikulum dengan menggunakan pendekatan scientific dan model pembelajaran yang
mendorong kemampuan peserta didik untuk melakukan penyingkapan/penelitian, serta
dapat menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok. Prinsip
pembelajaran pada kurikulum 2013 menekankan perubahan paradigma: (1) Peserta
didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu; (2) Guru sebagai satu-satunya
sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar; (3) Pendekatan tekstual
menjadi pendekatan proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah; (4)
Pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis kompetensi; (5)
Pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu; (6) Pembelajaran yang
menekankan jawaban tunggal menjadi pembelajaran dengan jawaban yang
kebenarannya multi dimensi; (7) Pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan
aplikatif; (8) Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hard skill) dan
keterampilan mental (soft skills); (9) Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat; (10) Pembelajaran
yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung tulodo),
membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani); (11) Pembelajaran yang
berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat; (12) Pembelajaran yang
menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah peserta didik, dan di
mana saja adalah kelas; (13) Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 280 ] P a g e
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan (14) Pengakuan atas
perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik.
Pembelajaran scientific merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-
langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah. Pembelajaran
tersebut tidak hanya memandang hasil belajar sebagai muara akhir, tetapi proses
pembelajaran dipandang sangat penting. Pendekatan ini menekankan pada proses
pencarian pengetahuan, berkenaan dengan materi pembelajaran melalui berbagai
kegiatan, yaitu mengamati, menanya, mengeksplor/mengumpulkan informasi/mencoba,
mengasosiasi, dan mengomunikasikan.
1. Mengamati: Kegiatan mengamati bertujuan agar pembelajaran berkaitan erat dengan
konteks situasi nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Yang diamati
adalah materi yang berbentuk fakta, yaitu fenomena atau peristiwa dalam bentuk
gambar, video, rekaman suara atau fakta langsung yang bisa dilihat dan disentuh.
Proses mengamati fakta atau fenomena mencakup mencari informasi, melihat,
mendengar, membaca, dan atau menyimak. Dalam pembelajaran Ekonomi, kegiatan
mengamati dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, siswa diterjunkan langsung
untuk mengamati keadaan di pasar, ketika melakukan pengamatan siswa dapat
mengumpulkan informasi. Melalui pengamatan dan data yang dikumpulkan maka
siswa dapat menjelaskan pengertian, fungsi dari pasar itu sendiri dan jenis-jenis
pasar.
2. Menanya: Kegiatan menanya dilakukan sebagai salah satu proses membangun
pengetahuan peserta didik dalam bentuk konsep, prinsip, prosedur, hukum dan teori,
hingga berpikir metakognitif. Tujuannya agar peserta didik memiliki kemampuan
berpikir tingkat tinggi (critical thinking skill ) secara kritis, logis, dan sistematis.
Proses menanya dapat dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan diskusi
kelas. Praktik diskusi kelompok memberi ruang kebebasan mengemukakan
ide/gagasan dengan bahasa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran ekonomi pokok
bahasan pasar siswa dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
dalam kegiatan diskusi, misalnya: menjelaskan contoh apa saja yang dapat
menjelaskan tentang jenis-jenis pasar dan bagaimana cara mengetahui kegiatan
penawaran barang dan jasa dengan benar.
3. Mengeksplor/mengumpulkan: Kegiatan mengeksplor/mengumpulkan informasi, atau
mencoba bermanfaat untuk meningkatkan keingintahuan peserta didik dalam
mengembangkan kreativitas, dan keterampilan berkomunikasi. Kegiatan ini
mencakup merencanakan, merancang, dan melaksanakan eksperimen, menyajikan
data, mengolah data, dan menyusun kesimpulan. Pemanfaatan sumber belajar
termasuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sangat disarankan.
Kegiatan mengumpulkan informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain
buku dan internet. Dalam pembelajaran Ekonomi, kegiatan mengumpulkan
informasi/mencoba dapat dilakukan sebagai berikut, mewawancarai pembeli atau
penjual tentang bagaimana cara untuk melakukan kegiatan permintaan dan
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
P a g e [ 281 ]
penawaran yang baik, mencari berbagai sumber baik dari buku pelajaran maupun
dari internet yang berhubungan dengan pasar.
4. Mengasosiasi/menalar: Kegiatan mengasosiasi bertujuan untuk membangun
kemampuan berpikir dan bersikap ilmiah. Kegiatan ini di dalamnya termasuk
memproses informasi untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan
informasi lainnya, menemukan pola dari keterkaitan informasi dan bahkan
mengambil berbagai kesimpulan dari pola yang ditemukan. Data yang diperoleh
diklasifikasi, diolah, dan ditemukan hubungan-hubungan yang spesifik. Dalam hal ini
siswa diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya tentang
informasi yang mereka peroleh masing-masing untuk menemukan kesamaan
pengertian dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran
Ekonomi, kegiatan mengasosiasi dapat dilakukan sebagai berikut, contoh:
menerapkan konsep pasar dalam kegiatan simulasi di kelas.
5. Mengkomunikasikan: Kegiatan mengomunikasikan adalah sarana untuk
menyampaikan hasil konseptualisasi dalam bentuk lisan, tulisan, gambar/sketsa,
diagram, grafik, atau perilaku. Kegiatan ini dilakukan agar peserta didik mampu
mengomunikasikan pengetahuan, keterampilan, dan penerapannya, serta kreasi
peserta didik melalui presentasi, membuat laporan, dan/atau unjuk kerja. Dalam
pembelajaran Ekonomi, kegiatan mengomunikasikan dapat dilakukan sebagai
berikut, contoh: mempresentasikan hasil pengamatan berupa data-data yang
diperoleh siswa di lapangan khususnya mengenai pasar dan selain itu siswa dapat
memaparkan data-data yang didapatkan dari berbagai sumber mengenai
pengertian pasar, fungsi pasar dan jenis-jenis pasar.
Dari uraian yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan
scientific memiliki kekhasan sendiri karena dapat meningkatkan prestasi belajar siswa,
dengan langkah-langkah yang memacu siswa untuk lebih aktif dalam mengikuti
pelajaran, yang mana pelajaran tidak berpusat pada guru tetapi lebih memacu sisswa
untuk lebih aktif, inovatif dan kreatif.
Penilaian Pendekatan Scientific dalam Mata Pelajaran Ekonomi
Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif
untuk menilai mulai dari masukan (input) , proses , dan keluaran (output) pembelajaran,
yang meliputi ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian autentik menilai
kesiapan peserta didik, serta proses dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian
ketiga komponen (input – proses – output) tersebut akan menggambarkan kapasitas,
gaya, dan hasil belajar peserta didik, bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional
(instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran.
Mata Pelajaran Ekonomi merupakan salah satu mata pelajaran yang ada pada
struktur Kurikulum 2013, oleh sebab itu penilaian hasil belajar Ekonomi harus
dikembangkan sesuai dengan konsep penilaian Kurikulum 2013, yaitu penilaian autentik
yang mencakup domain sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dicapai
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 282 ] P a g e
peserta didik secara terpadu. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap
pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan
Kurikulum 2013. Penilaian autentik mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar
peserta didik, baik dalam rangka mengamati/mengobservasi, menanya, mencoba,
menalar, membangun jejaring atau mengomunikasikan. Penilaian autentik cenderung
fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk
menunjukkan kompetensi mereka yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Penilaian autentik disebut juga penilaian responsif, suatu metode untuk menilai
proses dan hasil belajar peserta didik yang memiliki ciri-ciri khusus, mulai dari mereka
yang mengalami kelainan tertentu, memiliki bakat dan minat khusus, hingga yang jenius.
Penilaian autentik dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu seperti seni atau ilmu
pengetahuan pada umumnya, dengan orientasi utamanya pada proses dan hasil
pembelajaran. Implementasi penilaian autentik didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai
berikut; 1. Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran, 2. Penilaian harus
mencerminkan masalah dunia nyata, bukan masalah dunia sekolah, 3.Penilaian harus
menggunakan berbagai ukuran, metode dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik
dan esensi pengalaman belajar, 4. Penilaian harus bersifat holistic yang mencakup semua
aspek dari tujuan pembelajaran (sikap, keterampilan, dan pengetahuan). Hasil penilaian
autentik dapat digunakan oleh pendidik untuk merencanakan program perbaikan,
pengayaan, atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian autentik dapat digunakan
sebagai bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran yang memenuhi Standar
Penilaian Pendidikan.
Penilaian autentik dalam pembelajaran Ekonomi sebagai berikut; Penilaian
Kompetensi Sikap Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi,
penilaian diri (self assessment), penilaian teman sejawat/antarpeserta didik (peer
assessment), dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan
penilaian antarpeserta didik adalah lembar pengamatan berupa daftar cek (checklist) atau skala
penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan
pendidik. Rubrik adalah daftar kriteria yang menunjukkan kinerja, aspek- aspek atau
konsep-konsep yang akan dinilai, dan gradasi mutu, mulai dari tingkat yang paling
sempurna sampai yang paling rendah dengan kriteria sebagai berikut:
Sederhana/mencakup aspek paling esensial untuk dinilai, Praktis/ mudah digunakan,
Tidak membebani guru, Menilai dengan efektif aspek yang akan diukur, Dapat digunakan
untuk penilaian proses dan tugas sehari-hari .
Peserta didik dapat mempelajari rubrik & mengecek hasil penilaiannya Rubrik
kunci adalah rubrik sederhana berisi seperangkat kriteria yang menunjukkan indikator
esensial paling penting yang dapat menggambarkan capaian kompetensi peserta didik. a)
Observasi (pengamatan) merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara
berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
P a g e [ 283 ]
perilaku yang diamati. Kriteria instrumen observasi: Mengukur aspek sikap yang dituntut
pada Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar sesuai dengan kompetensi yang akan
diukur, memuat indikator sikap yang dapat diobservasi, mudah atau feasible untuk
digunakan dapat merekam sikap peserta didik
Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik
untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian
kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri. Penggunaan teknik
ini dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang.
Keuntungan penggunaan teknik penilaian diri dalam penilaian di kelas sebagai berikut:
dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi kepercayaan
untuk menilai dirinya sendiri; peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya,
karena ketika mereka melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap
kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya; dapat mendorong, membiasakan, dan melatih
peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam
melakukan penilaian. Kriteria instrumen penilaian diri: dirumuskan secara sederhana,
namun jelas dan tidak bermakna ganda, bahasa lugas dan dapat dipahami peserta didik,
menggunakan format sederhana yang mudah dipahami peserta didik, menunjukkan
kemampuan peserta didik dalam situasi yang nyata / sebenarnya, mengungkap kekuatan
dan kelemahan capaian kompetensi peserta didik bermakna, mengarahkan peserta didik
untuk memahami kemampuannya, mengukur target kemampuan yang akan diukur
(valid) memuat indikator kunci/indikator esensial yang menunjukkan kemampuan yang
akan diukur, memetakan kemampuan peserta didik dari terendah sampai tertinggi.
SIMPULAN
Kenyataan yang terjadi di Kabupaten Ngada sebelum menggunakan pendekatan
scientific yakni, para guru selalu menggunakan pendekatan pembelajaran tradisional, di
mana guru merupakan sumber informasi sedangkan siswa harus mengingat apa yang
dikatakan oleh guru. Pendekatan tradisional ini tidak memberikan motivasi keterampilan
siswa untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak, menemukan prinsip-prinsip
belajar yang baru, dan membangun pengetahuan siswa dan mempraktikkan apa yang
telah didapatkan oleh siswa itu sendiri. Dalam proses pembelajaran, siswa kurang
didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam
kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi yang mana otak
anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk
memahami informasi yang diingatnya itu, untuk dihubungkan dengan kehidupan sehari-
hari. Akibatnya ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka hanya pintar secara teoretis,
tetapi mereka miskin aplikasi.
Dengan adanya pendekatan scientific ini dinilai sangat cocok untuk diterapkan
sebagai pengganti dari pendekatan tradisional, karena pendekatan scientific ini lebih
menekankan kepada peserta didik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara
aktif, yakni siswa dapat mencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang dikaitkan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 284 ] P a g e
dengan materi pembelajaran. Berbagai kelebihan-kelebihan dari pendekatan scientific ini
adalah menjadikan siswa yang diberi tahu menjadi siswa yang mencari tahu, dari guru
yang merupakan sumber belajar menjadi belajar dari beraneka macam sumber, dari
pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah, ,
dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan
jawaban yang kebenarannya multi dimensi, pembelajaran yang mengutamakan
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pebelajar sepanjang hayat.
DAFTAR PUSTAKA
Baldwin, A.L. 1967. Theories of Child Development. New York: John Wiley & Sons.
Bloom, Benjamin S. 1956. Taxonomy of educational objectives: The Classification OfEducational Goals. London: David McKay Company, Inc.
Bloom, Benjamin S. Krathwohl, DR, Maria BB. 1964. Taxonomy of educational objectives:The Classification Of Educational Goals. Handbook II. Affective Domain. New YorkDavid McKay Company, Inc.
Carin, A.A. & Sund, R.B. 1975. Teaching Science trough Discovery, 3rd Ed. Columbus:Charles E. Merrill Publishing Company.
Depdiknas 2011. Undang-Undang Sisdiknas (UU RI Tahun 2003). Jakarta: Sinar Grafika
Fauziah, R. et al. 2013. Pembelajaran Saintifik Elektronika Dasar BerorientasiPembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Invotec, 9(2): 165-178.
Gintings, Abdorakhman. 2010. Esensi Praktis Belajar Dan Pembelajaran. Bandung:Humaniora.
Huda, Mithaful.2013. Model-Model Pengajaran Dan Pembelajaran. Yogyakarta: PustakaPelajar.
Irwandi. 2012. Pengaruh Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Biologi melaluiStrategi Inkuiri dan Masyarakat Belajar pada Siswa dengan Kemampuan AwalBerbeda terhadap Hasil Belajar kognitif di SMA Negeri Kota Bengkulu. JurnalKependidikan Triadik, 12(1): 33-41.
Kemendikbud, 2013. Pendekatan scientific (ilmiah) dalam pembelajaran. Jakarta:pusbangprodik.
Kemendikbud, 2013. Pengembangan kurikulum 2013. Paparan mendikbud dalamsosialisasi kurikulum. Jakarta: kemendikbud.
Komara, Endang. (2013). Pendekatan Scientific dalam Kurikulum 2013 (online).(http://endang komaras blog.blogspot.com/2013/10/pendekatan scientific-dalam kurikulum.html diakses pada tanggal 5 Maret 2013)
Mulyoto. 2013. Strategi Pembelajaran di era kurikulum 2013. Jakarta: PrestasiPutrakaraya.
Nur, M. & Wikandari, P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan PendekatanKonstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: Universitas Negeri SurabayaUniversity Press.
Nur, M. 2011. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: PSMS Unesa.
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
P a g e [ 285 ]
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang StandarProses
Permendikbud nomor 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum
Rohandi, R. 2005. Pendidikan Sains Yang Humanistik: Memperdayakan Anak MelaluiPendidikan Sains. Yogyakarta: Kanisius.
Rusman. 2009. Manajemen Kurikulum: Seri Manajemen Sekolah Bermutu. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Suhendi, Hendi. 2012. Pendekatan Pembelajaran Scientific di Kurikulum 2013 (online). (Wordpress. Com/2013 107 /18 / Pendekatan-Pembelajaran-Scientific diKurikulum-20131 diakses pada tanggal 5 Maret 2A14)
Syah, Muhibbin. 2007. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Syodih, Nana. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara.
Trianto. 2010. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:Bumi Aksara
Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin Pad Perilaku Dan Prestasi Siswa. Jakarta: PT. BumiAksara.
Umi Fadhilah Ismawati & Sri Mulyaningsih. (2014). Pengaruh Penerapan PembelajaranDengan Pendekatan Scientific Pada Materi Elastisitas Terhadap Hasil Belajar SiswaKelas X. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika (JIPF). 3(3), 32-35.
W.S. Winkel, 1996. Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, cet.,5
Warsono & Hariyanto. 2013. Pembelajaran Aktif Teori dan Assessment. Bandung: PTRemaja Rosdakarya.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 286 ] P a g e
UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERFIKIR KRITIS MELALUI
PENDEKATAN SAVI (SOMATIS, AUDITORI, VISUAL, INTELEKTUAL)
Wahyu Aris Setyawan & Yoyok SusatyoPascasarjana Universitas Negeri Surabaya
AbstrakPembelajaran ekonomi di sekolah menengah dianjurkan untuk menggunakanpendekatan SAVI. Pendekatan Somatis, Auditori, Visual dan Intelektual (SAVI)diimplementasikan dengan harapan dapat memfasilitasi siswa untukmemperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar mereka. Pendekatan SAVImerupakan pendekatan yang mengintegrasikan keempat unsur sehingga pesertadidik dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dan tidak mengabaikan cara dangaya belajar peserta didik. Pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan SAVIadalah kooperatif. Karena dalam model ini menekankan adanya kerjasama dalamproses belajar yang juga merupakan salah satu prinsip dasar belajar yangdikemukakan oleh Meier.
Kata kunci: Pendekatan SAVI, kerjasama, aktif
PENDAHULUAN
Semakin pesatnya teknologi dan ilmu pengetahuan, memberikan dampak
tersendiri terhadap berbagai bidang kehidupan salah satu di antaranya adalah bidang
pendidikan. Dalam menghadapi pesatnya teknologi dan ilmu pengetahuan, sudah
seharusnya disertai dengan meningkatnya sumber daya manusia. Untuk meningkatkan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas diperlukan peningkatan mutu pendidikan.
Keberhasilan pendidikan sangat tergantung dari kemampuan guru dalam menyediakan
fasilitas yang akan menunjang peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar.
Ada sebagian peserta didik yang membutuhkan penggambaran visual dan fisik
dari konsep-konsep yang diajarkan dan ada juga sebagian peserta didik menyukai
jawaban secara langsung (Meir, 2002:83-84). Salah satu cara efektif guru adalah dapat
memilih suatu pendekatan yang membuat peserta didik terlibat secara aktif sepenuhnya
dalam pembelajaran, karena pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh
orang berdiri dan bergerak ke sana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik
dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indera dapat berpengaruh besar
pada pembelajaran. Pendekatan yang dapat menggabungkan gerakan fisik, aktivitas
intelektual dan penggunaan semua indera adalah pendekatan SAVI (Somatis, Auditori,
Visual, Intelektual).
Meier (2002:100) menjelaskan bahwa Belajar bisa optimal jika keempat unsur
SAVI ada dalam satu peristiwa pembelajaran. Misalnya, seorang peserta didik dapat
belajar sedikit dengan menyaksikan presentasi (V), tetapi ia dapat belajar jauh lebih
banyak jika dapat melakukan sesuatu ketika presentasi sedang berlangsung (S),
membicarakan apa yang mereka pelajari (A), dan memikirkan cara menerapkan
informasi dalam presentasi tersebut untuk menyelesaikan masalah- masalah yang ada (I).
Upaya Meningkatkan Keterampilan… (Wahyu Aris Setyawan & Yoyok Susatyo)
P a g e [ 287 ]
Pendekatan SAVI merupakan pendekatan yang mengintegrasikan keempat unsur
sehingga peserta didik dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dan tidak mengabaikan
cara dan gaya belajar peserta didik. Pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan SAVI
adalah kooperatif. Karena dalam model ini menekankan adanya kerjasama dalam proses
belajar yang juga merupakan salah satu prinsip dasar belajar yang dikemukakan oleh
Meier.
Sebelumnya telah ada peneliti yang meneliti mengenai pendekatan SAVI.
Penelitian oleh Sutrisni (2011:40) tentang penerapan pendekatan SAVI yang menyatakan
respon peserta didik ketika mengikuti pelajaran matematika adalah positif. Berdasarkan
hal tersebut, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pendekatan SAVI dalam
meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa.
PEMBAHASAN
Suharsono. 2011. Upaya Meningkatkan Belajar Hasil Matematika Siswa melalui
Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Drilling (PTK Pembelajaran
Matematika Kelas VII SMP Negeri 1 Trowulan Mojokerto). Berdasarkan penelitiannya
diperoleh informasi bahwa ada peningkatan terhadap Hasil Belajar siswa jika
menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe SNOWBALL DRILING.
Rosa, Rina, Dkk. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Probing
Promting Untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis dan Hasil Belajar Biologi
(PTK Pembelajaran Biologi Kelas VIIISMP Negeri Bangkinang Barat). Berdasarkan
penelitihannya, diperoleh informasi bahwa ada peningkatan terhadap Keterampilan
Berfikir Kritis dan Hasil Belajar siswa jika menggunakan metode pembelajaran kooperatif
tipe PROBING PROMTING.
Setu Budiarjo (2010) Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe JIGSAW
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Teknik (PTK Pembelajaran Teknik Kendaraan Kelas
XIISMK Negeri 5 Semarang). Berdasarkan penelitiannya, diperoleh informasi bahwa ada
peningkatan terhadap hasil Belajar siswa jika menggunakan metode pembelajaran
kooperatif tipe JIGSAW.
Pengertian berpikir kritis
Menurut Elaine B. Johnson (2011:183), berpikir kritis adalah sebuah proses yang
terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,
mengambil keputusan, dan menganalisis asumsi serta melakukan penelitian ilmiah. Dia
juga menyatakan berpikir kritis adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan
pemahaman baru. Tujuan berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang
mendalam, pemahaman membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan
hidup kita setiap hari, pemahaman mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian.
Menurut Elaine B. Johnson ada delapan langkah untuk menjadi pemikir kritis
adalah sebagai berikut:
1. menggambarkan isu, masalah yang telah diteliti
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 288 ] P a g e
2. Memikirkan sudut pandang (pencarian makna)
3. Menentukan alas an yang masuk akal
4. Membuat ide-ide atau asumsi
5. Menggunakan bahasa yang jelas
6. Menentukan alas an berdasarkan bukti akurat
7. Memberikan kesimpulan sementara yang tepat
8. Melihat efek samping dari kesimpulan sementara
Pembelajaran Kooperatif
Proses belajar memegang peranan penting dalam proses pembelajaran, karena
dalam proses belajar inilah dapat diketahui berhasil tidaknya seorang peserta didik
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Ada beberapa pengertian tentang belajar yang
dikemukakan oleh para ahli:
Menurut Hintzman (dalam Syah, 2011:65) dalam bukunya The Psychology of
Learning and Memory berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi
dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat
mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Menurut Witting (dalam Syah, 2011:65)
dalam bukunya Psychology Of Learning belajar adalah perubahan yang relatif menetap
yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai
hasil pengalaman.
Berdasarkan kedua definisi belajar di atas dapat disimpulkan bahwa segala
sesuatu perubahan yang relatif yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan
tingkah laku suatu individu sebagai hasil pengalaman yang ada di sekitarnya. Seseorang
dapat dikatakan belajar bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses
kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu
memang tidak dapat diamati dan berlaku dalam waktu relatif lama. Kegiatan dan usaha
untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar, sedang tingkah laku
sendiri merupakan hasil belajar.
Proses belajar mengajar akan berhasil baik, apabila didukung oleh faktor–faktor
psikologis dari peserta didik. Faktor–faktor psikologis dalam belajar akan memberikan
peranan yang cukup penting yang akan memberikan landasan kemudahan dalam upaya
mencapai tujuan belajar secara optimal. Sebaliknya, tanpa adanya faktor–faktor
psikologis dapat memperlambat proses belajar, bahkan dapat menambah kesulitan
dalam mengajar. Thomas F. Staton (Sardiman, 2009:41-45) menguraikan enam macam
faktor psikologis, antara lain:
1. Motivasi
2. Konsentrasi
3. Reaksi
4. Organisasi
5. Pemahaman
6. Ulangan
Upaya Meningkatkan Keterampilan… (Wahyu Aris Setyawan & Yoyok Susatyo)
P a g e [ 289 ]
Pembelajaran kooperatif merupakan konsep yang lebih luas meliputi semua jenis
kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin dan diarahkan oleh
pendidik. Pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan
permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa peserta didik akan lebih
mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi
dengan temannya. Peserta didik secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling
membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Tujuan dibentuknya
kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar (Lindayani dan
Murtadlo, 2011:89).
Pendekatan SAVI
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang
kita terhadap proses pembelajaran yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum di dalamnya mewadahi, menginspirasi,
menguatkan dan melatari pendekatan pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
pendekatan pembelajaran merupakan prosedur, urutan, langkah-langkah dan cara yang
digunakan pendidik untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam
bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Jadi dapat
dikatakan bahwa pendekatan pembelajaran merupakan jabaran dari metode.
Menurut Meier (2002:91-92) Pendekatan SAVI adalah pendekatan pembelajaran
yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indera yang dimiliki
peserta didik. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari somatis, auditori, visual dan
intelektual. Pembelajaran akan berlangsung optimal jika keempat unsur SAVI terpadu
dalam pembelajaran secara simultan. Penjelasan keempat unsur tersebut sebagai
berikut:
1. Somatis (s)
Somatis berasal dari bahasa Yunani yaitu “soma” yang berarti tubuh. Jadi, belajar
somatis berarti belajar dengan indera peraba. Kinestesis, praktis melibatkan fisik dan
menggunakan serta menggerakan tubuh sewaktu belajar,dari penjelasan di atas indikator
yang sesuai dalam lembar observasi aktivitas berpikir kritis siswa yaitu mengajukan
pertanyaan . Jadi, inti dari belajar somatis adalah belajar yang membuat peserta didik
melakukan aktivitas fisik dalam pembelajaran.
2. Auditori (a)
Auditori berarti belajar dengan indra pendengaran. Auditori merupakan
pemanfaatan media suara (audio) dan mengakses segala jenis bunyi,seperti musik, nada,
irama, rima, dialog internal dan suara. Menurut Deporter (2002:85) “pelajar auditorial
yaitu palajar yang cara belajarnya dengan cara mendengarkan dan menggerakkan
bibir/bersuara saat membaca. Auditorial mengakses segala bunyi dan kata, dari apa yang
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 290 ] P a g e
mereka dengar maupun yang diingat”. Dari penjelasan tersebut indikator yang sesuai
dalam lembar observasi aktivitas berpikir kritis yaitu aktif dalam diskusi.
Berdasarkan uraian di atas, penggunaan sarana auditori dalam belajar di kelas
dapat dilakukan dengan cara meminta peserta didik mendengarkan hal- hal yang terkait
dengan materi pelajaran, mendiskusikan topik yang sedang dipelajari secara
berkelompok, mempresentasikan hasilnya di depan kelas dan menyimak presentasi.
3. Visual (v)
Visual berarti belajar dengan menggunakan indera penglihatan. Meier (2002:97-
99) mengemukakan bahwa belajar visual berarti belajar dengan mengamati dan
menggambarkan. Menurut Deporter (2002:168) “pelajar visual belajar melalui apa yang
mereka buat dengan banyak simbol dan gambar dalam catatan mereka”. Belajar visual
terbaik saat mereka mulai dengan “gambaran keseluruhan”. Dari penjelasan tersebut
indikator yang sesuai dalam lembar observasi aktivitas berpikir kritis yaitu
memperhatikan penjelasan guru.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran visual dapat dilakukan dengan
cara menampilkan benda- benda tiga dimensi, media atau dekorasi berwarna- warni dan
meminta peserta didik untuk melakukan pengamatan lapangan terkait dengan materi
yang sedang dipelajari.
4. Intelektual (i)
“Intelektual adalah bagian dari merenung, mencipta, memecahkan masalah dan
membangun makna” (Meier, 2002:99). Intelektual ini berhubungan erat dengan
memecahkan masalah dan merenung. Dari penjelasan tersebut indikator yang sesuai
dalam lembar observasi aktivitas berpikir kritis yaitu membuat kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas, guru dapat mengoptimalkan kemampuan intelektual
peserta didik dengan berbagai cara di antaranya memberi kesempatan peserta didik
untuk bertanya, berpendapat atau komentar, meminta peserta didik untuk saling
bertukar ide, pengalaman, pengetahuan, menyelesaikan suatu permasalahan dan
memberikan tugas. Selain itu, guru juga perlu memberikan waktu pada peserta didik
untuk merenung atau memikirkan pemecahan masalah yang terkait dengan materi yang
sedang dipelajari.
Beberapa kelebihan dari pendekatan SAVI antara lain:
1. Membangkitkan kecerdasan terpadu peserta didik secara penuh melalui
penggabungan gerak fisik dengan aktivitas intelektual. Di mana peserta didik
dituntut untuk berperan aktif, semua indera harus ikut membantu dalam proses
belajar agar kemampuan berpikir peserta didik lebih baik.
2. Memunculkan suasana belajar yang lebih baik, menarik dan efektif. Peserta didik
lebih senang karena mereka belajar lebih bebas tetapi tetap ada pengarahan dari
guru
3. Mampu membangkitkan kreativitas dan meningkatkan kemampuan psikomotor
peserta didik. Peserta didik akan sangat kreatif dalam berpendapat karena mereka
Upaya Meningkatkan Keterampilan… (Wahyu Aris Setyawan & Yoyok Susatyo)
P a g e [ 291 ]
diberi kelonggaran untuk mengembangkan pemikirannya dan tentunya guru juga
memberi penguatan dari jawaban peserta didiknya.
4. Memaksimalkan ketajaman konsentrasi peserta didik melalui pembelajaran secara
visual, auditori dan intelektual. Ketajaman secara visual peserta didik lebih fokus
dalam melihat gambaran yang diberikan guru, dan apa yang dilakukan guru,
ketajaman auditori peserta didik lebih peka saat mendengarkan penjelasan dari guru,
ketajaman intelektual di mana peserta didik dapat menyimpulkan apa yang telah
dijelaskan oleh guru.
Walaupun pendekatan SAVI memiliki beberapa kelebihan, namun ada juga
kelemahannya, di antaranya:
1. Pendekatan SAVI sangat menuntut adanya guru yang sempurna sehingga dapat
memadukan keempat komponen dalam SAVI secara utuh.
2. Pendekatan SAVI membutuhkan kelengkapan sarana dan prasarana pembelajaran
yang menyeluruh dan disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga memerlukan biaya
pendidikan yang sangat besar. Terutama untuk pengadaan media pembelajaran yang
canggih dan menarik.
SIMPULAN
Pembelajaran ekonomi di sekolah menengah dianjurkan untuk menggunakan
pendekatan SAVI. Pendekatan SAVI diimplementasikan dengan harapan dapat
memfasiliasi siswa untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar mereka.
Pendekatan SAVI merupakan pendekatan yang mengintegrasikan keempat unsur
sehingga peserta didik dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dan tidak mengabaikan
cara dan gaya belajar peserta didik. Pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan SAVI
adalah kooperatif. Karena dalam model ini menekankan adanya kerjasama dalam proses
belajar yang juga merupakan salah satu prinsip dasar belajar yang dikemukakan oleh
Meier.
DAFTAR PUSTAKA
B. Johnson, Elaine. 2011. Contextual Teaching dan Learning. Bandung: Kaifa
Lindayani dan Murtadlo, A. 2011. Manajemen Pembelajaran Inovatif. Surabaya: IrantiMitra Utama
Meir, D. 2002. The Accelerated Learning Handbook. Terjemahan oleh Rahmani Astuti.2002. Bandung: Kaifa
Rosa,Rina,Dkk. 2011.Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Probing Promtinguntuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa dan Hasil Belajar BiologiSiswa Kelas VIIc SMPN 1 Bangkinang Barat Tahun Ajaran 2011/2012. Jurnal PTK.Riau: Universitas Riau.
Sardiman, A. M. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT GrafindoPersada
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 292 ] P a g e
Setu, Budiarjo. 2010. Penerapan Metode Belajar Kooperatif Tipe Jigsaw untukMeningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas XII Teknik Kendaraan Ringan SMKN 5Semarang Tahun pelajaran 2010/ 2011. Jurnal PTK. Semarang: SMKN 5Semarang.
Suharsono. 2011. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika melalui PenerapanPembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Drilling dikelas VII SMPN 1 TrowulanMojokerto Tahun pelajaran 2011/ 2012. Skripsi yang Tidak Dipublikasikan.Jombang: STKIP PGRI Jombang.
Sutrisni. 2011. Implementasi Pendekatan SAVI pada Materi pokok Sifat- sifat BangunSegitiga di SDN Pamotan 1 Lamongan Tahun pelajaran 2010/ 2011. Skripsi yangTidak Dipublikasikan. Jombang: STKIP PGRI Jombang.
Syah, M. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
P a g e [ 293 ]
UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA PADA KOMPETENSI DASAR
MENANGANI SURAT MASUK DAN SURAT KELUAR
DENGAN MENERAPKAN METODE SIMULASI
Dodot ArdutaUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakTujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana upayameningkatkan keaktifan siswa pada kompetensi dasar menangani surat masukdan surat keluar dengan menerapkan metode simulasi. Kompetensi dasarmenangani surat masuk dan surat keluar merupakan kompetensi dasar yangmenuntut guru melakukan banyak latihan dan praktik kepada siswa agar tingkatpemahaman dan penguasaan materi lebih mendalam dibandingkan hanya secarateoritis. Oleh karena itu perlu dirancang pola pembelajaran yangmenitikberatkan pada keaktifan siswa, yaitu dengan menerapkan metodesimulasi. Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwapembelajaran pada kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluardengan menerapkan metode simulasi membuat siswa lebih aktif danbertanggung jawab terhadap tugasnya. Dengan diterapkannya metode simulasi,siswa lebih memahami alur atau prosedur dari surat masuk dan surat keluar. Halini karena peserta didik tidak diajarkan hanya teori saja namun diikuti denganpraktik langsung dalam menangani surat masuk dan surat keluar sehinggaberdampak pada meningkatnya keaktifan siswa.
Kata kunci: keaktifan siswa, metode simulasi.
PENDAHULUAN
Kegiatan pembelajaran di sekolah merupakan kegiatan utama dalam proses
pendidikan. Pada umumnya kegiatan pembelajaran ini bertujuan membawa anak didik
atau siswa menuju pada keadaan yang lebih baik. Salah satu masalah pokok dalam
pembelajaran di sekolah saat ini yaitu rendahnya daya serap siswa yang dibuktikan
dengan rerata hasil belajar siswa yang senantiasa masih sangat memprihatinkan
(Suharyanto 2009). Penyebabnya yaitu kondisi pembelajaran yang masih konvensional
dan masih bersifat teacher centric sehingga tidak menyentuh dimensi ranah siswa itu
sendiri. Metode pembelajaran yang ditampilkan oleh guru lebih banyak didominasi guru,
sehingga siswa cenderung pasif dan tidak diberi akses untuk berkembang secara mandiri.
Hal tersebut menggambarkan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung belum
optimal atau berhasil. Keberhasilan suatu proses pembelajaran dilihat dari ketercapaian
siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Keberhasilan yang dimaksud dapat
diamati dari dua sisi yaitu dari tingkat pemahaman dan penguasaan materi yang
diberikan oleh guru (Sudjana, 2001).
Salah satu upaya untuk meningkatkan keberhasilan belajar siswa, yaitu dengan
menggunakan pembelajaran aktif di mana siswa melakukan sebagian besar pekerjaan
yang harus dilakukan. Siswa menggunakan otak untuk melakukan pekerjaannya,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 294 ] P a g e
mengeluarkan gagasan, memecahkan masalah dan dapat menerapkan apa yang mereka
pelajari. Menurut Ahmadi & Supriyono (2004) siswa aktif adalah “siswa yang terlibat
secara intelektual dan emosional dalam kegiatan belajar”. Keaktifan siswa pada dasarnya
merupakan keterlibatan siswa secara langsung baik fisik, mental-emosional dan
intelektual dalam kegiatan pembelajaran. Keaktifan belajar siswa dapat kita lihat dari
keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar yang beraneka ragam seperti pada saat
siswa mendengarkan ceramah, mendiskusikan, membuat suatu alat, membuat laporan
pelaksanaan tugas dan sebagainya.
Kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar adalah salah satu
materi mata diklat menangani surat atau dokumen kantor yang diprogramkan untuk
siswa jurusan administrasi perkantoran. Kompetensi dasar ini sangat perlu diajarkan
kepada siswa karena mempelajari prosedur penanganan surat baik surat masuk maupun
surat keluar dengan sistem tertentu yang digunakan dalam sebuah organisasi.
Penanganan surat masuk dan surat keluar dapat ditangani dengan beberapa cara yaitu
sistem buku agenda, kartu kendali, perpaduan sistem buku agenda dan kartu kendali.
Kompetensi dasar menangani surat masuk dan keluar merupakan kompetensi
dasar yang menuntut guru banyak melakukan latihan dan praktek kepada siswa agar
tingkat pemahaman lebih dibandingkan dilakukan secara teoretis. Menangani surat
masuk dan surat keluar bukan saja sekedar pengetahuan yang dipahami secara teoretis,
akan tetapi lebih ditekankan pada kegiatan pengelolaannya. Kompetensi dasar ini akan
lebih banyak praktek daripada teori. Menangani surat masuk dan keluar merupakan
pengaplikasian dari kegiatan di kantor atau unit kerja. Kegiatan menerima, menyortir,
mencatat dan masih banyak kegiatan lainnya. Kegiatan semacam itu tidak hanya bisa
disampaikan dengan model ceramah atau mencatat di buku.Siswa butuh latihan praktek
langsung bukan hanya sekedar teori sehingga peserta didik dituntut untuk lebih aktif.
Maka dari itu perlu dirancang pola pembelajaran yang menitikberatkan pada
keaktifan siswa. Salah satu metode pembelajaran yang menitikberatkan pada keaktifan
siswa adalah metode simulasi. Menurut Hasibuan dan Moedjiono (2010) “simulasi
berasal dari kata simulate yang artinya pura-pura atau berbuat seolah-olah; dan
simulation yang artinya tiruan atau perbuatan yang pura-pura saja”. Menurut Roestiyah
(2008) “simulasi adalah tingkah laku seseorang untuk berlaku seperti orang yang
dimaksudkan, dengan tujuan agar orang itu dapat mempelajari lebih mendalam tentang
bagaimana orang itu merasa dan berbuat sesuatu”. Sebagai metode mengajar metode
simulasi diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi
tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau ketrampilan tertentu. Pada
penerapan metode simulasi, guru berperan sebagai pengarah dan pemberi kemudahan
untuk terjadinya proses belajar siswa, bukan sebagai penyaji materi pembelajaran.
Metode ini menyenangkan dan menuntut keaktifan siswa sehingga dapat mengurangi
bahkan menghilangkan kejenuhan siswa dalam pembelajaran, karena siswa terlibat
langsung di dalamnya.
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
P a g e [ 295 ]
Menurut Hyman dalam bukunya Ways of Teaching, simulasi terdiri dari beberapa
macam, yaitu adalah sosiodrama, role playing, dan psikodrama. Role Playing; atau
bermain peran bertujuan menggambarkan suatu peristiwa masa lampau dan dapat pula
cerita yang kemungkinan terjadi baik kini maupun mendatang. Pemeran melakukan
perannya sesuai dengan daya khayal tentang pokok yang diperankannya. Sosiodrama;
semacam drama social, berguna untuk menanamkan kemampuan menganalisis situasi
social tertentu. Cerita yang diangkat dari kehidupan social, misalnya: kenakalan remaja,
pengaruh pergaulan bebas, dan sebagainya. Psikodrama; hampir mirip dengan
sosiodrama, tapi psikodrama lebih menekankan pada pengaruh psikologinya (Hasibuan
& Moedjiono, 2010).
Menurut Sanjaya (2011) “proses pembelajaran dengan metode simulasi
mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: 1) Persiapan simulasi, yaitu guru
menetapkan topik atau masalah simulasi serta tujuan yang hendak dicapai oleh simulasi,
guru memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan disimulasikan, guru
menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi, peran yang harus dimainkan oleh
para pemeran, serta waktu yang tersedia,guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeran simulasi. 2)
Pelaksanaan simulasi, yaitu simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran, para
siswa lainya mengikuti dengan penuh perhatian, guru hendaknya memberi bantuan
kepada pemeran yang mendapat kesulitan, simulasi hendaknya dihentikan pada saat
puncakuntuk mendorong siswa berpikir dalam menyelesaikan masalah yang sedang
disimulasikan. 3) Penutup, yaitu melakukan diskusi baik tentang jalanya simulasi
maupun materi cerita yang disimulasikan dan merumuskan kesimpulan”. Berdasarkan
paparan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa secara garis besar langkah-langkah
pembelajaran dengan metode simulasi dari tiga kegiatan utama yaitu persiapan,
pelaksanaan dan penutup.
Metode simulasi dipilih karena metode ini lebih menekankan pada keaktifan dan
keahlian siswa, sehingga selain aktivitas siswa meningkat, juga dapat meningkatkan
ketrampilan siswa. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan permasalahan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya meningkatkan keaktifan siswa pada
kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar dengan menerapkan metode
simulasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan silabus kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar
siswa diajak untuk memahami pengertian penanganan surat masuk dan surat keluar,
mengetahui dan memahami prosedur atau alur penanganan surat masuk dan surat
keluar dengan menggunakan buku agenda, serta mengetahui dan memahami prosedur
atau alur penanganan surat masuk dan surat keluar dengan menggunakan sistem kartu
kendali. Dalam pembahasan mengenai penanganan surat masuk dan surat keluar
terdapat beberapa materi yang harus disampaikan oleh guru kepada siswa yaitu:
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 296 ] P a g e
pengertian surat masuk dan surat keluar, alur atau prosedur menangani surat masuk dan
surat keluar menggunakan sistem buku agenda, dan alur atau prosedur menangani surat
masuk dan surat keluar menggunakan sistem kartu kendali.
Pemberian materi menangani surat masuk dan surat keluar dengan menggunakan
metode simulasi memiliki 3 (tiga) bagian yaitu persiapan simulasi, pelaksanaan simulasi,
dan penutup. Pada pertemuan pertama,bagian persiapan simulasi, guru membuka
pelajaran dengan memberikan salam kepada siswa, dan membimbing peserta didik untuk
berdo’a sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing sebelum pelajaran dimulai.
Guru memeriksa kehadiran siswa, dan memberikan motivasi dengan menginformasikan
tujuan pembelajaran menangani surat masuk dan surat keluar, yaitu siswa dapat
mengidentifikasikan pengertian surat masuk dan surat keluar, siswa dapat
mendeskripsikan alur penanganan surat masuk dan surat keluar dengan sistem buku
agenda dan sistem kartu kendali, dan siswa dapat melakukan prosedur penanganan surat
masuk dan surat keluar dengan sistem buku agenda dan sistem kartu kendali. Kemudian
guru menyampaikan apersepsi berupa gambaran umum materi yang akan disimulasikan
yaitu menangani surat masuk dan surat keluar dengan menggunakan buku agenda dan
sistem kartu kendali serta menyampaikan metode pembelajaran. Setelah itu, guru
membagi siswa dalam kelompok-kelompok pemain simulasi yang akan memainkan. Guru
mengarahkan agar siswa membuat 4-6 kelompok sesuai jumlah siswa di kelas. Guru
menyampaikan batasan waktu dalam memainkan simulasi kepada setiap kelompok bisa
antara 15-20 menit, dan guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya tentang materi
dan simulasi.
Selanjutnya pelaksanaan simulasi pada alur atau prosedur menangani surat
masuk dan surat keluar, guru mendisribusikan alat dan bahan simulasi yang dibutuhkan
kelompok. Alat dan bahan simulasi yang digunakan bisa berupa buku agenda, paper clip,
stempel, lembar disposisi, amplop, contoh-contoh surat, kartu kendali, lembar pengantar
surat biasa dan rahasia sesuai dengan materi simulasi. Setelah alat dan bahan simulasi
dibagikan guru mempersilahkan siswa melakukan simulasi secara bergantian untuk
memainkan simulasi dengan alokasi waktu yang sudah ditentukan sebelumnya. Guru
mempersilakan kelompok pemain simulasi untuk melakukan simulasi, sedangkan
kelompok siswa yang lain memperhatikan proses simulasi. Guru membimbing dan
mengawasi jalannya proses simulasi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok. Jika
dilihat siswa mengalami kesulitan dalam melakukan simulasi maka guru membantu
siswa yang kesulitan dalam memainkan simulasi dan selalu mengingatkan kepada siswa
lainnya untuk memperhatikan proses simulasi. Guru menghentikan simulasi pada saat
puncak untuk mendorong siswa menyelesaikan masalah yang disimulasikan. Setelah
pelaksanaan simulasi dianggap berjalan lancar, di mana mayoritas siswa paham dan bisa
melaksanakan tugasnya masing-masing, guru mengevaluasi keterampilan mereka dalam
bagian penutup.
Setelah semua kelompok sudah melakukan simulasi alur atau prosedur
menanganisurat masuk dan surat keluar, guru mengajak siswa untuk berdiskusi bersama
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
P a g e [ 297 ]
tentang proses simulasi dan materi yang sudah disimulasikan. Guru memberi
kesempatan pada siswa untuk menyampaikan kritik dan tanggapan baik pertanyaan,
maupun saran tentang jalannya simulasi yang sudah dilakukan. Selanjutnya guru
merumuskan kesimpulan tentang materi pembelajaran yang sudah disimulasikan oleh
siswa. Tujuan guru merumuskan kesimpulan untuk memberikan satu pemahaman
kepada siswa. Setelah guru memberikan rumusan kesimpulan materi, siswa diberi soal
evaluasi atau post test. Soal evaluasi ini berisi materi yang sudah dipelajari pada
pembelajaran menangani surat masuk dan keluar dengan metode simulasi. Guru
mengawasi siswa yang sedang mengerjakan soal evaluasi, agar siswa dapat mengerjakan
soal sendiri dan suasana kelas dapat kondusif.
Wahyuni & Baroroh (2012) dalam penelitiannya melakukan tiga siklus untuk
mengetahui tingkat keaktifan siswanya melalui metode simulasi. Tingkat aktivitas
mahasiswa pada siklus I terlihat sebagian mahasiswa masih merasa canggung untuk aktif
dalam simulasi. Pada siklus I ini berdasarkan aspek atau indikator yang diamati, terlihat
bahwa tingkat aktivitas mahasiswa sebagian besar masih pada kategori sedang yaitu
sebanyak 32 mahasiswa (64%), 8 mahasiswa (16%) dalam kategori rendah, 9
mahasiswa(18%) berada dalam kategori tinggi, dan hanya 1 (2%) mahasiswa dalam
kategori sangat tinggi. Pada siklus II ini terlihat sebagian mahasiswa sudah kelihatan aktif
dalam simulasi. Dengan permainan yang mengaktifkan seluruh mahasiswa, mereka lebih
terlihat serius dalam mengerjakan simulasi. Pada siklus II ini berdasarkan aspek atau
indikator yang diamati, terlihat bahwa tingkat aktivitas mahasiswa sebagian besar masih
pada kategori tinggi yaitu sebanyak 30 siswa (60%). Namun secara keseluruhan masih
78% siswa yang aktif, sehingga belum memenuhi indikator yang diharapkan, yakni 80%.
Pada siklus III ini terlihat sebagian mahasiswa sudah aktif dalam simulasi. Dengan
permainan yang mengaktifkan seluruh mahasiswa, mereka lebih terlihat serius simulasi.
Pada siklus III ini berdasarkan aspek atau indikator yang diamati, terlihat bahwa tingkat
aktivitas mahasiswa sebagian besar berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 33 siswa
(66%). Sementara itu, 14 (26%) mahasiswa berada kategori sangat tinggi. Sehingga 92%
mahasiswa berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi. Dari siklus ke siklus diketahui
terjadi peningkatan aktivitas dan prestasi belajar mahasiswa. Pada siklus III diperoleh
data bahwa mahasiswa antusias dalam pembelajaran tersebut, sehingga hasil penelitian
ini sudah dianggap cukup karena telah memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu adanya
respon yang baik dari mahasiswa, yang ditandai meningkatnya aktivitas mahasiswa
minimal 80% mahasiswa aktif dalam proses pembelajaran, dan prestasi belajar
mahasiswa pada mata kuliah Ekonomika Mikro minimal 75% mahasiswa dapat
menguasai 70% materi yang ditandai dengan nilai di atas 70.
Putra (2013) dalam penelitiannya menggunakan metode simulasi pada kelas
eksperimen dengan merancang keadaan yang seolah-olah sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya dengan alat simulasi yang dirancang sedemikian rupa. Putra beranggapan
apabila siswa telah dapat mensimulasikan surat keluar dengan benar, maka secara
otomatis siswa telah dapat membangun sendiri pemahaman tentang materi pelajaran
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 298 ] P a g e
dan terbentuklah keterampilan siswa tentang bagaimana memproses surat keluar
dengan benar. Untuk mengetahui keberhasilan siswa dalam mengikuti proses belajar
(hasil belajar), Putra melakukan suatu pengujian yang lazim disebut test (posttest). Test
(post test) dilakukan pada akhir penelitian dengan menggunakan soal objektif sebanyak
25 butir soal. Hasil belajar yang didapat siswa memuaskan, dengan nilai rata-rata kelas
86.31.Kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 80. Jadi
disimpulkan bahwa metode simulasi merupakan metode yang efektif digunakan pada
materi memproses surat atau dokumen kantor dengan indikator memproses surat keluar
penting, rahasia, dan biasa. Menurut Putra kelebihan penggunaan metode simulasi pada
pelajaran memproses surat atau dokumen adalah:
1. Metode simulasi cocok digunakan pada pelajaran memproses surat atau dokumen,
karena simulasi dapat membentuk keterampilan siswa dalam memproses surat
keluar penting, biasa, dan rahasia sehingga dengan sendirinya siswa dapat
membangun pemahamannya.
2. Simulasi dapat meningkatkan keaktifan siswa, karena siswa ikut serta dalam mencari
pemahamnnya dengan cara melakukan simulasi.
3. Metode simulasi dapat membentuk keterampilan siswa dalam memproses surat
keluar penting, biasa, dan rahasia.
4. Metode simulasi dapat menciptakan kekeluargaan kelas yang harmonis.
Anam (2013) berdasarkan hasil pre test yang dilakukan sebelum pelaksanaan
siklus, bahwa penguasaan siswa terhadap materi menangani surat masuk dan surat
keluar masih rendah, hal ini dibuktikan dari pre test nilai rata-rata hasil belajar siswa
sebesar 65,3 dengan persentase ketuntasan klasikal hasil belajar siswa sebesar 46%.
Hasil tersebut belum mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu 75%.
Berdasarkan hasil pengamatan dan tes evaluasi siklus I diketahui bahwa aktivitas belajar
siswa dalam pembelajaran metode simulasi sudah cukup tinggi dengan memperoleh skor
persentase sebesar 63,2% dengan kinerja guru sudah cukup baik dengan persentase 60%
dan hasil tes evaluasi diperoleh nilai rata-rata siswa mencapai 72,8. Terdapat 19 siswa
atau 73% sudah mampu mencapai nilai ketuntasan belajarnya dan sisanya 27% atau 7
siswa masih belum mencapai ketuntasan belajar dengan memperoleh nilai di bawah
ketuntasan belajar yang ditentukan yaitu 73. Hasil tersebut dapat dikatakan bahwa
aktivitas belajar siswa dan hasil belajar belum mencapai indikator keberhasilan dalam
penelitian ini yaitu 75%, Oleh karena itu, untuk bisa memenuhi indikator keberhasilan
dalam penelitian ini perlu perbaikan-perbaikan pada siklus II.
Pada siklus II hasil pengamatan dan tes evaluasi siswa mengalami peningkatan.
Aktivitas belajar siswa pada siklus II termasuk dalam kategori tinggi dengan persentase
sebesar 78,3% yang berarti mengalami peningkatan sebesar 15.1% dan kinerja guru
sudah baik dengan persentase 76%. Hasil tes evaluasi yang dilakukan pada siklus II
diperoleh nilai rata-rata sebesar 79,2 yang berarti mengalami peningkatan sebesar 6.4
dari siklus I. Banyaknya siswa yang tuntas pada siklus II adalah 23 siswa sedangkan yang
belum tuntas 3 siswa. Persentase ketuntasan belajar secara klasikal siswa pada siklus II
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
P a g e [ 299 ]
sebesar 88%. Hasil pengamatan aktivitas siswa dan hasil belajar tersebut sudah
mencapai indikator keberhasilan ketuntasan belajar yaitu 75% sehingga penelitian
dihentikan pada siklus II.
Coffman (2006) menyimpulkan bahwa dengan menggunakan simulasi untuk
melengkapi dan meningkatkan pembelajaran, siswa diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembelajaran aktif. Mereka dipanggil untuk membuat keputusan
dan melalui latihan berbasis tim ini mereka mendapatkan pemahaman yang lebih baik
tentang dinamika dan proses kelompok. Pada akhirnya, simulasi memungkinkan untuk
eksplorasi lebih dalam pada masalah yang kompleks atau konsep dengan keterlibatan
siswa yang lebih besar dan kenikmatan dalam pengalaman belajar. Berdasarkan
pengalaman Coffman dengan murid-muridnya, Coffman sangat mendorong para guru
untuk bereksperimen dengan simulasi di ruang kelas mereka. Sebagai pengalaman
mahasiswa Coffman menunjukkan bahwa mengembangkan simulasi dapat menjadi
proses yang menantang, tetapi di kelas guru dapat menggunakan kreativitas dan inovasi
mereka untuk merencanakan kegiatan simulasi yang menarik dan menyenangkan bagi
siswa mereka.
Silvia (2010) dalam beranggapan bahwa simulasi ini memungkinkan siswa untuk
menerapkan konsep yang telah dipelajari sepanjang semester dengan cara yang
tradisional seperti ceramah kuliah, ujian, atau tugas yang tidak bisa dicapai. Mahasiswa
berkomentar bahwa simulasi adalah "sangat efektif. Saya belajar banyak lagi di sini
daripada di setiap tes "(Student 101); "Membantu untuk menyelesaikan pemahaman
konsep dengan memiliki kesempatan mensimulasikan apa yang sebenarnya terjadi dalam
pertemuan dewan. “Kamu ditantang untuk berpikir kreatif dan kritis "(Student 413); dan
"Saya belajar lebih dari simulasi ini daripada saya menonton sebuah pertemuan dewan
kota dan menulis makalah tentang itu "(Student 244). Selanjutnya, simulasi membantu
mengilhami beberapa orang untuk memperoleh penghargaan dari perspektif orang lain
sementara juga belajar lebih banyak tentang diri sendiri. Untuk tujuan ini, Student 103
berkomentar bahwa "ada banyak poin dari orang lain yang membantu memperluas
pikiran saya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa simulasi yang efektif memberikan
siswa kesempatan untuk terlibat leih aktif dalam pembelajaran tingkat lebih tinggi. Lebih
lanjut lagi Silvia menyimpulkan bahwa simulasi dapat memberikan siswa lingkungan
yang realistis di mana mengalami pembelajaran tingkat lebih tinggi.
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas penulis menyimpulkan bahwa metode
simulasi sangat efektif dalam meningkatkan keaktifan siswa, khususnya pada kompetensi
dasar menangani surat masuk dan surat keluar. Pada kompetensi dasar menangani surat
masuk dan surat keluar siswa dibina kemampuannya berkaitan dengan keterampilan
mengelolah surat masuk dan surat keluar, berinteraksi dan berkomunikasi dalam
kelompok dengan bermain peran. Mengkondisikan siswa melakukan penanganan surat
masuk dan surat keluar mendekati kondisi yang sebenarnya dapat membantu siswa
dalam menghadapi situasi yang sebenarnya kelak; baik dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja. Di samping meningkatkan keaktifan siswa,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 300 ] P a g e
metode simulasi juga meningkatkan pemahaman siswa dalam materi kompetensi
menangani surat masuk dan surat keluar. Metode simulasi mampu meningkatkan
pemahaman siswa terhadap apa yang dipelajarinya karena siswa dapat mempelajari
materi dengan melakukan simulasi sehingga siswa lebih mudah mengingat dan
mendapatkan pengalaman baru dalam mempelajari materi menangani surat masuk dan
surat keluar.
SIMPULAN
Penggunaan metode simulasi pada kompetensi dasar menangani surat masuk dan
surat keluar membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan bertanggung jawab terhadap
tugasnya. Pada pelaksanaan simulasi aktivitas siswa cukup tinggi dalam pembelajaran
sehingga terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan diterapkannya
metode simulasi, peserta didik lebih memahami alur atau prosedur dari surat masuk dan
surat keluar. Ini karena peserta didik tidak diajarkan pada teori saja namun diikuti
dengan praktek langsung dalam menangani surat masuk dan surat keluar sehingga
berdampak pada meningkatnya keaktifan siswa. Keaktifan siswa tampak pada
keterlibatan siswa dalam unjuk kerja pada simulasi, aktif dalam bertanya, aktif dalam
menjawab, dan aktif dalam diskusi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu & Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Anam, Muhimul. 2013. Peningkatan Hasil Belajar Kompetensi Dasar Menangani SuratMasuk Dan Surat Keluar Dengan Menerapkan Metode Simulasi Pada Siswa Kelas XiJurusan Administrasi Perkantoran Di Smk Masehi Psak Ambarawa. Jurnal AnalisisPendidikan Ekonomi, 2(2), 88-89.
Coffman, Teressa. 2006. Using Simulations to Enhance Teaching and Learning:Encouraging the Creative Process. Journal of Virginia Society For Technology InEducation, 21(2), 5.
Hasibuan dan Muedjiono. 2009. Proses belajar mengajar. Bandung : PT RemajaRosdakarya.
Putra, Asbeni. 2013. Perbedaan Hasil Belajar Siswa Melalui Penggunaan Metode Simulasidengan Metode Ceramah pada Mata Pelajaran Menangani Surat/ Dokumen KantorKelas XI AP SMK N 2 Padang. Jurnal Pendidikan Ekonomi, 2(3), 6-7.
Roestiyah, N.K. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka cipta.
Sanjaya. 2011. Metode-metode Proses Pembelajaran Modern. Bandung: PT. RemajaRosdakarya
Silvia, Chris. 2012. The Impact of Simulations on Higher-Level Learning. Journal of PublicAffairs Education, 18(2), 416-419.
Sudjana, Nana. 2001. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. RemajaRosdakarya.
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
P a g e [ 301 ]
Suharyanto A. 2009. Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Model PembelajaranKooperatif Berbasis Konstruktivistik. Jurnal Lembaran Ilmu Kependidikan 38(1):68-77.
Wahyuni Daru & Kiromim Baroroh. 2012. Penerapan Metode Pembelajaran SimulasiUntuk Meningkatkan Aktivitas Dan Prestasi Belajar Ekonomika Mikro. JurnalEkonomi & Pendidikan, 9(1), 120-121.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 302 ] P a g e
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TEAM GAMES TOURNAMENT UNTUK MENINGKATKAN TINGKAT
PEMAHAMAN SISWA DALAM PELAJARAN EKONOMI SMA PADA ERA MEA
Widyo PramonoUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakDi era Masyarakat Ekonomi ASEAN, guru harus dapat menciptakan pembelajaraninovatif dengan menerapkan berbagai model pembelajaran. Hal ini ditujukanagar output dari pendidikan dapat memenuhi standar kompetensi yangdibutuhkan dalam MEA tersebut. Salah satu model pembelajaran yang dapatditerapkan untuk meningkatkan tingkat pemahaman siswa dalam pelajaranekonomi adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif TeamGames Tournament (TGT). Adapun tujuan pembahasan ini yaitu mengetahuibagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif TGT untuk meningkatkantingkat pemahaman siswa dalam pelajaran ekonomi SMA. Dari hasil pembahasandapat diketahui bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif TGT dapatmeningkatkan tingkat pemahaman belajar siswa dan memberikan kesempatankepada siswa untuk turut serta secara aktif dalam semua proses pembelajaran.Selain itu permainan akademik dalam TGT dengan suasana kompetitif yangpositif dapat membuat siswa merasakan suasana yang lebih menyenangkan,materi yang disajikan akan lebih mudah dipahami sehingga pemahaman siswaterhadap materi ajar dapat dimaksimalkan.
Kata kunci: team games tournament, tingkat pemahaman siswa, MEA.
PENDAHULUAN
Guru memiliki peran vital dalam proses pembelajaran di kelas. Tugas dan
tanggung jawab guru yaitu di antaranya menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan
kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak
lanjut hasil pembelajaran. Guru akan menjadi salah satu penentu keberhasilan siswa
dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan. Tuntutan dalam
dunia pendidikan sudah banyak berubah, utamanya pada era Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) ini. Dalam menyongsong MEA untuk meningkatkan pemahaman terhadap
mata pelajaran Ekonomi guru perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar
mengajar yang dapat menumbuhkan kemandirian, bekerja sama dan kompetitif yang
positif pada diri siswa.
Syah (2008: 39) menjelaskan bahwa belajar adalah tahapan perubahan seluruh
tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi
dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Gage dan Berliner (Dimyati dan
Mudjiono, 2002: 116) belajar adalah suatu proses yang membuat seseorang mengalami
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman yang diperolehnya. Oleh karena
itu, pemilihan strategi, pendekatan, metode, teknik dan model pembelajaran yang
Penerapan Model Pembelajaran… (Widyo Pramono)
P a g e [ 303 ]
menarik dan tepat dapat membantu guru dan peserta didik mencapai tujuan
pembelajaran.
Pelajaran ekonomi merupakan mata pelajaran yang membutuhkan analisis dan
pemahaman kritis, sehingga adanya kesempatan antar siswa dapat aktif dan berdiskusi
dapat mendorong siswa lebih mudah untuk memahami materi. Untuk itu, metode
pembelajaran yang digunakan pun haruslah metode pembelajaran yang memungkinkan
siswanya untuk dapat berperan aktif di kelas, salah satunya adalah metode pembelajaran
kooperatif. Dalam proses pembelajaran kooperatif, para siswa akan dikumpulkan dalam
satu kelompok untuk dapat menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Model dalam
pembelajaran ini pun beragam. Namun pada intinya, semua model menitikberatkan pada
kerja sama dan tanggung jawab siswa dalam belajar terhadap teman satu timnya yang
nantinya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya.
Terdapat bermacam-macam model pembelajaran yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran, salah satunya adalah cooperatif learning. Menurut Slavin (dalam
Isjoni, 2011) cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model
pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen.
Menurut Vries dalam Syarifah (2009:40) dalam pembelajaran kooperatif, ada
empat prinsip dasar yang harus diperhatikan, antara lain :
1. Interaktif yang simultan. Yang dimaksud dengan interaktif simultan di sini adalah
guru dan siswa yang berinteraksi secara terus menerus di mana guru selalu
mendorong aktivitas siswanya dengan berbagai cara agar siswa memiliki kemampuan
dalam kompetensi yang diajarkan.
2. Interaksi ketergantungan. Dalam interaksi ini, guru dan siswa saling melengkapi,
saling memiliki, dan saling mengasihi.
3. Interaksi pertanggungjawaban individual
Salah satu tipe model pembelajaran cooperatif learning adalah model
pembelajaran Teams Games Tournament (TGT). Model pembelajaran Teams Games
Tournament (TGT) adalah model pembelajaran yang melibatkan aktivitas seluruh siswa
tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan
mengandung unsur permainan. Pencapaian kompetensi yang dapat dicapai adalah
pengetahuan, pengertian, dan keterampilan yang dikuasai sebagai hasil pengalaman
pendidikan khusus. Pengetahuan sebagai bagian tertentu dari suatu informasi, sedangkan
kemampuan adalah mengeksplorasi pengetahuan ke berbagai cara, melihat hubungan
dengan pengetahuan lain dan dapat mengaplikasikannya ke situasi baru, contoh dan
masalah.
Team Games Tournament (TGT) dikembangkan pertama kali oleh David de Vries
dan Keath pada tahun 1995 (Syarifah, 2009:43). Model pembelajaran kooperatif yang
satu ini memiliki tujuan untuk melatih siswa agar dapat bekerja sama sekaligus memiliki
rasa kompetitif yang positif. Kerja sama di sini akan tampak dalam kelompok kecil
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 304 ] P a g e
mereka, sedangkan kompetisinya akan terlihat dalam kelompok besar yaitu ketika
mereka berkompetisi dengan kelompok lain.
Dalam TGT menempatkan siswa dalam kelompok belajar yang beranggotakan 4
sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras
yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat
memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa yang berkemampuan lebih dengan
siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. Guru menyajikan
materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka. Sehingga, dapat meningkatkan
pemahaman siswa dalam menguasai materi pelajaran.
TGT menjadi salah satu solusi dalam bidang pembelajaran pada era MEA, karena
TGT memiliki keunggulan yaitu dapat menumbuhkan kemandirian, bekerja sama, rasa
saling menghargai dalam kelompok yang heterogen dan persaingan yang positif dalam
proses pemahaman materi pelajaran. Hal tersebut sesuai dengan karakter SDM yang
dibutuhkan dalam era MEA, di mana dalam era ini di antaranya dibutuhkan SDM yang
memiliki daya saing yang positif. Dengan penumbuhan jiwa kompetitif yang positif sejak
dini pada diri siswa salah satunya lewat pembelajaran dengan model TGT, diharapkan
dapat menjadi dasar sikap yang lebih luas ketika siswa sudah dewasa dan menghadapi
dunia kerja. Oleh karena itu, tujuan pembahasan ini yaitu mengetahui bagaimana
penerapan model pembelajaran kooperatif team games tournament untuk meningkatkan
tingkat pemahaman siswa dalam pelajaran ekonomi SMA di era MEA.
PEMBAHASAN
Pada pembelajaran TGT terdapat adanya heterogenitas anggota kelompok, dengan
harapan dapat memotivasi siswa untuk saling bekerja sama dan membantu antar siswa
berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai
materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa
bahwa belajar secara kooperatif itu menyenangkan. Selanjutnya untuk memastikan
bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai seluruh pelajaran, maka seluruh siswa
akan diberi permainan akademik.
Hal ini menjadikan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan
tingkat pemahaman belajar siswa dengan cara menyenangkan dan dapat menumbuhkan
jiwa kompetitif yang positif. Selain itu, agar peningkatan tingkat pemahaman belajar lebih
baik juga dapat didukung dengan adanya fasilitas, kreativitas, alat dan biaya yang cukup
memadai. Peranan guru dalam proses belajar mengajar dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT sangat penting agar kegiatan pembelajaran tetap terkontrol dan
berjalan dengan kondusif. Selain itu, guru harus lebih mempersiapkan diri dalam
memberikan pengajaran agar siswa dapat lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar,
sehingga seluruh potensi siswa dapat teroptimalkan.
Dalam kegiatan pembelajaran dengan model ini nampak kegiatan pembelajaran
yang menempatkan siswa sebagai pusat kegiatan belajar mengajar (student centered).
Sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan pendorong siswa belajar lebih
Penerapan Model Pembelajaran… (Widyo Pramono)
P a g e [ 305 ]
giat, sesuai dengan indikator aktivitas siswa. Mayoritas siswa dapat beraktivitas dalam
pembelajaran, sehingga aktivitas pembelajaran dapat didominasi oleh siswa. Oleh karena
itu, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru melalui
pembelajaran kooperatif.
Dengan menerapkan model TGT kondisi kelas menjadi lebih aktif. Siswa menjadi
berani tampil dalam mengungkapkan pendapatnya, kegiatan belajar jadi lebih
menyenangkan dan dapat terlatih memecahkan contoh permasalahan. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Nurvitasari (2012) yang menerangkan bahwa dengan model TGT
rata-rata indikator partisipasi aktif siswa telah mengalami peningkatan dan berhasil
mencapai kriteria yang ditentukan, Adapun indikator tersebut antara lain siswa terlibat
dalam pemecahan masalah saat diskusi, bertanya kepada siswa lain atau guru mengenai
hal yang tidak dimengerti, siswa aktif menjawab pertanyaan dari guru, mengerjakan
tugas dengan benar, dan datang tepat waktu.
Peningkatan kemampuan akedemik yang dimiliki oleh peserta didik dalam
pembelajaran kooperatif tipe TGT, tentu tidak terlepas dari keterlibatan peserta didik
yang lain dalam kelompok dimana mereka berkumpul. Oleh karena itu, berdasarkan
pengertian tentang pembelajaran kooperatif. Para peserta didik berkumpul dalam sebuah
kelompok dengan jumlah anggota antara 4-6 orang dengan karakteristik (tingkat
kemampuan, jenis kelamin, suku, ras, dan lain-lain) yang heterogen. Hal ini yang perlu
dipahami bahwa dalam pembelajaran kooperatif TGT, terdapat hal-hal positif seperti
hubungan saling menguntungkan, semangat kerja kelompok, semangat kompetisi dan
komunikasi yang efektif antara anggota kelompok. Dengan hal-hal tersebut, sudah barang
tentu para peserta didik akan belajar dengan senang, karena tidak dilakukan di bawah
tekanan. Hal ini sesuai dengan beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif, yaitu: (a)
setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara peserta
didik, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman
sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan interpersonal
kelompok, (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Selain itu,
dalam pembelajaran koopertaif, terdapat tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik
pembelajaran kooperatif yaitu penghargaan kelompok, pertanggung jawaban individu,
dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan
pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran yang diikutinya. Tingkat
pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran dapat tercermin juga dari hasil
belajar siswa. Sehingga, pembelajaran dengan menggunakan TGT dapat meningkatkan
hasil belajar siswa. Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Pawestri (2009) yang
menerangkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams
Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil belajar ekonomi siswa, hasil belajar
siswa pada siklus I dan II mengalami peningkatan dengan ketuntasan siswa 100%.
Selain itu, hasil penelitian Aminah (2010) menerangkan bahwa penerapan Teams
Game Tournament (TGT) dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mendiskripsikan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 306 ] P a g e
materi pelajaran IPS. Hal ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran
kooperatif, khususnya dimilikinya kemampuan akademik oleh peserta didik dan sejalan
dengan tujuan pembelajaran kooperatif, yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan
baik dalam aspek akademik, pengakuan terhadap perbedaan individu, dan keterampilan
sosial. Nugroho (2012) juga menerangkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa kelas
eksperimen lebih tinggi dari pada siswa kelas kontrol. Respon sebagian besar siswa
terhadap model pembelajaran Kooperatif Tipe TGT menunjukkan kategori setuju.
Kerja kelompok guru memberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada setiap
kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama-sama dengan anggota
kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang
diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertanggungjawab untuk memberikan
jawaban atau menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru.
Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar
secara kooperatif itu menyenangkan. Untuk memastikan bahwa seluruh anggota
kelompok telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan permainan
akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam meja turnamen, di mana
setiap meja turnamen terdiri dari 4 sampai 6 orang yang merupakan wakil dari
kelompoknya masing-masing. Dalam setiap meja permainan diusahakan agar tidak ada
peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Siswa dikelompokkan dalam satu meja
turnamen secara homogen dari segi kemampuan akademik, artinya dalam satu meja
turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar setara. Permainan ini diawali
dengan memberitahukan aturan permainan. Setelah itu, permainan dimulai dengan
membagikan kartu soal untuk bermain (kartu soal dan kunci ditaruh terbalik di atas meja
sehingga soal dan kunci tidak terbaca). Permainan pada tiap meja turnamen dilakukan
dengan aturan sebagai berikut.
Pertama, setiap pemain dalam tiap meja menentukan dulu pembaca soal dan
pemain yang pertama dengan cara undian. Kemudian pemain yang menang undian
mengambil kartu undian yang berisi nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal.
Pembaca soal akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil oleh
pemain. Selanjutnya soal dikerjakan secara mandiri oleh pemain dan penantang sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu untuk mengerjakan soal
selesai, maka pemain akan membacakan hasil pekerjaannya yang akan ditanggapi oleh
penantang searah jarum jam.
Skor yang diperoleh setiap peserta dalam permainan akademik dicatat pada
lembar pencatat skor. Skor kelompok diperoleh dengan menjumlahkan skor-skor yang
diperoleh anggota suatu kelompok. Kemudian dibagi banyaknya anggota kelompok
tersebut. Skor kelompok ini digunakan untuk memberikan penghargaan tim berupa
sertifikat dengan mencantumkan predikat tertentu ataupun penghargaan yang diberikan
bisa dalam bentuk yang lain. Dengan cara tersebut diyakini bahwa model TGT mampu
meningkatkan tingkat pemahaman siswa dengan cara yang menyenangkan.
Penerapan Model Pembelajaran… (Widyo Pramono)
P a g e [ 307 ]
Menurut pandangan kontruktivisme, otak siswa pada dasarnya tidak seperti gelas kosong
yang siap diisi dengan air, atau siap diisi dengan semua informasi yang berasal dari
pikiran guru, melainkan otak siswa tidak kosong tetapi telah berisi pengetahuan yang
dikonstruksi siswa sendiri sewaktu anak berinteraksi dengan lingkungan. Implikasi dari
pandangan ini adalah bahwa pengetahuan tidak dapat utuh ditransfer dari pikiran guru
ke pikiran siswa, tetapi siswalah yang harus aktif secara mental membangun
pengetahuan dan pemahaman dalam proses pembelajaran.
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang guru berperan sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Namun, guru
sesuai dengan perannya dalam menerapkan model TGT pada kegiatan pembelajaran
ekonomi tidak memungkinkan adanya kendala yang dihadapi, di antaranya yaitu pada
saat pembelajaran melalui tahapan TGT ada kemungkinan guru dapat merasa kesulitan
dalam mengorganisasikan waktu, dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak ada mutu strategi
mengajar satu-satunya dapat digunakan di mana pun dan dalam situasi apapun. Sehingga,
harus ada pengembangan strategi pengajaran secara berkelanjutan yang dilakukan oleh
guru.
SIMPULAN
Penerapan model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT) dapat
meningkatkan tingkat pemahaman belajar siswa. Pada penerapan model pembelajaran
kooperatif TGT, siswa diajak untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran, tidak
hanya mental tetapi juga melibatkan fisik. Dengan cara permainan akademik, siswa
merasakan suasana yang lebih menyenangkan, materi yang disajikan pun menjadi lebih
mudah dipahami sehingga pemahaman siswa terhadap materi ajar dapat dimaksimalkan.
Sehingga, TGT menjadi salah satu solusi dalam bidang pembelajaran utamanya pada era
MEA, karena TGT memiliki keunggulan yaitu dapat menumbuhkan kemandirian, bekerja
sama, rasa saling menghargai dalam kelompok yang heterogen dan persaingan yang
positif dalam proses pemahaman materi pelajaran. Hal tersebut sesuai dengan karakter
SDM yang dibutuhkan dalam era MEA, di mana dalam era ini di antaranya dibutuhkan
SDM yang memiliki daya saing yang positif. Dengan penumbuhan jiwa kompetitif yang
positif sejak dini pada diri siswa salah satunya lewat pembelajaran dengan model TGT,
diharapkan dapat menjadi dasar sikap yang lebih luas ketika siswa sudah dewasa dan
menghadapi dunia kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, Siti. 2010. Penerapan Metode Pembelajaran Cooperative Learning Tipe TGT(Teams Game Tournament) Untuk Meningkatkan Kemampuan SiswaMendiskripsikan Materi Pelajaran IPS. Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIPVeteran Semarang.
Dimyati & Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Isjoni. 2011. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 308 ] P a g e
Nugroho, Dian Riski. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe (Teams GameTournament) terhadap Motivasi Siswa Mengikuti Pembelajaran di Kelas X SMA NPanggul 1 Kabupaten Trenggalek. Jurnal Penerapan Model Pembelajaran: UniversitasNegeri Surabaya.
Nurvitasari, Sapti. 2012. Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams GameTournament (TGT) untuk Meningkatkan Pastisipasi Aktif Siswa Kelas VII A SMP N 3Pakem dalam Mata Pelajaran IPS. Universitas Negeri Yogyakarta.
Pawestri, Devi Catur. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams GameTournament (TGT) pada Mata Pelajaran Ekonomi Sebagai Upaya Meningkatkan HasilBelajar Siswa Kelas X SMA Muhammaddiyah 3 Surakarta. Universitas NegeriSurakarta.
Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. RemajaRosdakarya.
Syarifah, Ety. 2009. Pembelajaran Inovatif Bahasa Indonesia. Semarang: Bandungan Institut.
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
P a g e [ 309 ]
PENERAPAN PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN RESPON MAHASISWA PADA
MATERI KONSEP DIRI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika DewiUniversitas Negeri Surabaya
Abstrak
Saat Aktivitas pembelajaran di perguruan tinggi yang didominasi oleh dosenmerupakan pembelajaran yang bersifat teacher oriented. Mayoritas mahasiswacenderung pasif dan hanya mahasiswa tertentu saja yang merespon pertanyaandosen. Hal ini merupakan indikasi bahwa mahasiswa malas untuk berpikirsebagai wujud dari tidak terbiasanya aktif dalam proses belajar mengajar dankebiasaan selalu bergantung pada setiap materi yang disampaikan oleh dosen.Dari fenomena tersebut bisa diatasi melalui pembelajaran kooperatif yaitudengan model pembelajaran Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran TPSadalah model pembelajaran di mana mahasiswa dituntut lebih aktif yaituberpikir mandiri (think), kemudian berpasangan atau berdiskusi dengan satukelompok (pair) dan berbagi dengan semua kelompok di kelas (share). Penelitianini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran TPS, hasil belajarmahasiswa, dan respon mahasiswa terhadap penerapan pembelajaran TPS padamateri Konsep Diri mata kuliah Pengembangan Kepribadian. Penelitian inimerupakan penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian ini adalah mahasiswaKelas B Pendidikan Tata Niaga Angkatan 2013 Universitas Negeri Surabaya yangberjumlah 34 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah penerapanpembelajaran TPS diperoleh hasil belajar mahasiswa meningkat dengan rata-rata nilai yang diperoleh pada pre-test 59,41 pada post-test siklus I diperolehrata-rata 70,88 (belum tuntas) dan pada post-test siklus II meningkat menjadi78,53 (tuntas). Hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan aktivitasdosen, aktivitas mahasiswa, serta hasil belajar mahasiswa.
Kata kunci: Think Pair Share (TPS), Hasil Belajar, Respon Mahasiswa
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu kehidupan bangsa. Salah satu
kegiatan pendidikan adalah menyelenggarakan proses belajar mengajar. Dalam proses
pembelajaran perlu adanya suasana yang terbuka, akrab dan saling menghargai.
Sebaliknya perlu menghindari suasana belajar yang kaku, penuh ketegangan dan sarat
dengan instruksi dan perintah yang membuat peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah
dan mengalami kebosanan (Dasim Budiamansyah, 2002). Akan tetapi kenyataan yang
sering terjadi di dunia pendidikan Indonesia masih saja berkembang hingga saat ini
adalah teacher oriented. Sebagian besar aktivitas pembelajaran masih didominasi oleh
pendidik yaitu dosen, sehingga mahasiswa merasa nyaman dengan apa yang telah
disampaikan oleh dosen. Mereka tidak akan pernah mau berusaha untuk mengeksplor
kemampuannya secara optimal, sehingga akan berakibat persepsi, minat, dan sikap
mahasiswa terhadap mata kuliah tidak akan pernah optimal. Hal ini bisa terjadi bukan
sepenuhnya kesalahan mahasiswa, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana seorang
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 310 ] P a g e
dosen mengelola proses belajar mengajar menjadi sebuah pengalaman yang
menyenangkan. Sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung adanya feedback
dari mahasiswa terhadap proses belajar mengajar yang dilakukan dapat dirasakan
perbedaannya.
Pengembangan kepribadian adalah mata kuliah yang termasuk dalam program
adaptif yang mana berlaku bagi semua program keahlian. Dalam mata kuliah
pengembangan kepribadian, mahasiswa tidak hanya diharapkan untuk menguasai
konsep tentang kepribadian saja tetapi mereka juga harus memiliki kemampuan untuk
mengenal diri mereka sehingga mereka memiliki jiwa, sikap, perilaku, karakter,
intelegensi yang nantinya berguna untuk bisa menjadi guru yang profesional. Hal
tersebut bisa terwujud jika mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengenal dan
mengelola dirinya sendiri, kepribadiannya, serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi,
dan sikap saling menghargai dan menghormati. Pembelajaran mata kuliah
Pengembangan Kepribadian ini bisa dikembangkan melalui pembelajaran kontekstual
dengan metode kooperatif.
Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan Think Pair Share (TPS) merupakan
suatu cara dosen untuk memotivasi mahasiswa agar lebih aktif berpikir mandiri (think),
kemudian berpasangan atau berdiskusi dengan satu kelompok yang telah ditentukan
(pair) dan berbagi dengan semua kelompok di kelas (share). Dengan penerapan
pembelajaran tersebut di dalam kelas akan tercipta suasana kooperatif dimana
mahasiswa akan saling berkomunikasi, saling mendengarkan, saling berbagi, saling
memberi dan menerima, yang mana keadaan tersebut akan memupuk jiwa, sikap, dan
perilaku yang memungkinkan adanya ketergantungan yang positif (interdependensi
positif).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) penerapan pembelajaran Think
Pair Share (TPS), 2) hasil belajar mahasiswa setelah penerapan pembelajaran Think Pair
Share (TPS), 3) respon mahasiswa terhadap penerapan pembelajaran Think Pair Share
(TPS) pada materi Konsep Diri mata kuliah Pengembangan Kepribadian
Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin (dalam Risnawati, 2005:18) pembelajaran kooperatif mengandung
pengertian siswa belajar bersama, saling menyumbangkan pikiran dan
bertanggungjawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok.
Terdapat beberapa variasi dari model pembelajaran kooperatif yang merupakan bagian
dari pendekatan dari kumpulan strategi mengajar bagi pendidik. Pendekatan itu ada
empat yaitu (1) Student Teams Achievement Division (STAD), tim-tim heterogen saling
membantu satu sama lain, belajar dengan mengunakan berbagai metode pembelajaran
kooperatif dan prosedur kuis; (2) Jigsaw, setiap anggota tim bertanggung jawab untuk
menentukan materi pembelajaran yang ditugaskan kepadanya, kemudian mengajarkan
materi tersebut kepada teman sekelompok lain, kemudian mengajarkan materi tersebut
kepada teman sekelompok lain; (3) Investigasi kelompok (IK), mahasiswa tidak hanya
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
P a g e [ 311 ]
bekerjasama namun terlibat merencanakan topik untuk dipelajari dan prosedur
penyelidikan yang digunakan; (4) Pendekatan struktural, anggota tim bervariasi dari 2-6
dan struktur tugas mungkin ditekankan pada tujuan-tujuan sosial atau akademik. Dua
struktur yang terkenal adalah Think Pair Share (TPS) dan Numbered Head Together
(NHT), pendekatan struktur tersebut digunakan oleh pendidik (dosen) untuk
mengajarkan isi akademik atau mengecek pemahaman mahasiswa terhadap materi
tertentu, sedangkan active listening dan time token merupakan contoh struktur yang
dikembangkan untuk mengajarkan ketrampilan sosial (Ibrahim, 2005).
Think Pair Share (TPS)
Menurut Ibrahim, dkk (2005,) langkah-langkah Think Pair Share (TPS) seperti
berikut ini:
1. Tahap 1: Berfikir (Thinking)
Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran,
kemudian siswa diminta memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri
untuk beberapa saat.
2. Tahap 2: Berpasangan (Pairing)
Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa
yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini dapat berbagi
jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagi ide jika suatu persoalan
khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk
berpasangan.
3. Tahap 3: Berbagi (Sharing)
Pada tahap akhir guru meminta pada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas
tentang apa yang telah mereka bicarakan. Ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran
pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan telah
mendapat kesempatan untuk melaporkan.
Gambar 1. Sintaks Think-Pair-Share
Berfikir(Think) Berpasangan( Pair)
Berbagi ( share)
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 312 ] P a g e
Hasil Belajar
Hasil belajar siswa adalah nilai yang diperoleh siswa selama kegiatan belajar
mengajar. Hasil belajar mahasiswa diartikan sebagai penguasaan (daya serap)
mahasiswa setelah penerapan pembelajaran kooperatif dengan model Think Pair Share
(TPS) pada mata kuliah Pengembangan Kepribadian kompetensi memahami dan
memiliki kemampuan mengenal diri materi konsep diri yang ditunjukkan dengan nilai
atau angka dari tes yang diberikan oleh dosen. Test tersebut adalah pre test, diskusi
kelompok melalui mini case dan post test.
Kerangka Berfikir
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (Classroom Action
Research). Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Pendidikan Tata Niaga kelas B
angkatan 2013 yang berjumlah 34 mahasiswa. Teknik pengumpulan data menggunakan
observasi, wawancara, tes, angket, dan catatan lapangan. Indikator keberhasilan
pembelajaran Think Pair Share (TPS) ini dinilai dari 1) kesesuaian proses pembelajaran
dengan langkah-langkah model pembelajaran Think Pair Share (TPS), 2) mahasiswa
dikatakan tuntas belajar jika mendapatkan skor minimal ≥ 75 dan skor tertinggi 100 atau
memperoleh ketercapaian pembelajaran minimal 75% pada penilaian hasil rata-rata
jawaban pertanyaan pada post test selama dua siklus dan terdapat peningkatan nilai rata-
rata antara pre test dan post test. Sedangkan keberhasilan kelas dinilai dari minimal 85%
mahasiswa di kelas tersebut tuntas belajar 4) kegiatan aktivitas dosen dan mahasiswa
dikatakan berhasil bila mencapai keberhasilan 80%, 5) peneliti dapat mengidentifikasi
Latar belakang: Metode ceramah yang
membosankan (teachercenter)
Dominasi dosen tinggidalam pengajaran
Mahasiswa cenderungpasif dalam pengajaran
Tidak banyak mahasiswayang bertanya apalagimenyampaikanpendapatnya secaraspontan
Mahasiswa mempunyaikebiasaan untuk selalubergantung pada setiapmateri yang disampaikanoleh dosen
Ceramah dosen
Pre test
Berfikir individu (Think)
Berpasangan (Pair)
Berbagi (share)
Post test
Hasil belajar meningkat
Gambar 2. Kerangka Berfikir Think-Pair-Share (TPS)
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
P a g e [ 313 ]
kendala selama pembelajaran dan menemukan solusi pemecahannya. Penelitian ini
dilakukan dalam dua siklus. Tiap siklus terdiri dari empat tahap penelitian, yaitu 1)
rencana tindakan (planning), 2) pelaksanaan tindakan (action), 3) pengamatan
(observation), dan 4) refleksi (reflecting). Persiapan tindakan dan pelaksanaan tindakan
selama pembelajaran sebagai berikut:
Gambar 3. Desain PTK Kemmis & Mc. Taggart (1990) yang dikutip oleh Susilo (2009:13)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus I, meliputi beberapa tahapan, yaitu:
1. Tahap Perencanaan Tindakan
Tahap ini meliputi menyiapkan skenario pembelajaran berupa Satuan Acara
Perkuliahan (SAP), menyiapkan bahan ajar berupa modul materi Konsep Diri,
menyiapkan instrumen penelitian berupa lembar observasi, format wawancara dan
catatan lapangan, menyiapkan soal pre test dan post test I, menyiapkan topik diskusi
untuk siklus I berupa mini case yang digunakan dalam fase think, menyiapkan lembar
jawaban yang digunakan dalam fase pair, menyiapkan kamera
2. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan dalam pembelajaran ini terbagi dalam tiga kegiatan yaitu tahap awal,
tahap inti, dan tahap akhir. Pada tahap awal pelaksanaan kegiatan yang dilakukan
peneliti yaitu kegiatan rutin di awal tatap muka (memberi salam dan dilanjutkan
mempresensi mahasiswa), kemudian menyampaikan inti materi dan kompetensi
yang ingin dicapai, selanjutnya menyiapkan kelas untuk memulai pemberian materi
konsep diri dengan setting awal model klasikal yang dilanjutkan dengan penjelasan
aturan main model pembelajaran Think Pair Share (TPS). Pada tahap inti sebelum
pelaksanaan pembelajaran Think Pair Share (TPS), mahasiswa di minta untuk
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 314 ] P a g e
mengerjakan soal pre test yang terdiri dari 20 soal pilihan. Selanjutnya mahasiswa
secara individu diminta untuk berpikir tentang mini case yang sudah diberikan (fase
think), kemudian mereka mulai berdiskusi dengan teman sebelahnya (tiap kelompok
terdiri dari 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing (fase pair).
Setelah waktu untuk berdiskusi secara berkelompok di rasa cukup selanjutnya
peneliti memimpin diskusi pleno kecil, di mana setiap kelompok akan mengutarakan
atau mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas (fase share), sementara
mahasiswa yang lain menyimak dan mengemukakan pendapat, memberikan solusi,
atau bahkan menyanggah mengenai pendapat baik yang disampaikan penyaji
maupun kelompok lain. Di dalam fase share ini peneliti selalu mengarahkan
pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum
diungkapkan para mahasiswa. Evaluasi hasil belajar pada siklus I ini di evaluasi
melalui post test I. Post test I ini berlangsung selama 20 menit, dengan jumlah soal
terdiri dari 20 soal pilihan ganda. Tahap akhir pelaksanaan kegiatan, peneliti
bersama-sama dengan mahasiswa membuat kesimpulan dan penguatan dari materi
Konsep Diri. Selain itu peneliti juga memberikan penghargaan pada pasangan
kelompok yang sudah mengemukakan hasil diskusinya.
3. Tahap Observasi Tindakan
Hasil observasi kedua dosen pengamat (observer) meliputi aktivitas peneliti sebagai
dosen dan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran. Hasil observasi terhadap
kegiatan peneliti (dosen) pada siklus I diperoleh persentase nilai rata-rata 75%, yang
dapat diartikan bahwa taraf keberhasilan kegiatan peneliti termasuk dalam kategori
B. Hal ini akan dijadikan catatan peneliti untuk memperbaiki proses pembelajaran
pada siklus berikutnya yaitu siklus II materi Konsep Diri. Sedangkan hasil observasi
terhadap kegiatan mahasiswa pada Siklus I diperoleh persentase nilai rata-rata
78,13%, yang dapat diartikan bahwa taraf keberhasilan kegiatan mahasiswa
termasuk dalam kategori B+. Hal ini akan dijadikan catatan peneliti untuk
memperbaiki proses pembelajaran pada siklus berikutnya yaitu siklus II materi
Konsep Diri.
Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti juga mengambil data melalui 1)
wawancara yaitu untuk mengetahui respon dan pemahaman mahasiswa terhadap
materi Konsep diri. Berdasarkan respon, hasil wawancara menunjukkan mahasiswa
merasa senang belajar secara kelompok daripada belajar secara individu, mereka
tidak bosan dan menikmati pelajaran yang diajarkan, mereka juga bisa bertukar
pendapat dengan temannya tanpa takut ditegur oleh dosen karena membuat suasana
kelas sedikit gaduh. 2) Hasil Catatan Lapangan, diperoleh suasana kelas agak gaduh
ketika peneliti menjelaskan aturan main metode pembelajaran Think Pair Share
(TPS) dan ketika berdiskusi dengan kelompoknya (fase pair) ataupun ketika
kelompok mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas (fase share), selain itu
didapatkan catatan bahwa kepercayaan diri mahasiswa yang masih sangat rendah
ketika mengungapkan ide-idenya.
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
P a g e [ 315 ]
4. Tahap Analisis dan Refleksi Tindakan
Berdasarkan analisis data pengamatan yang dilakukan oleh dua orang pengamat
terhadap aktivitas peneliti dan mahasiswa menunjukkan taraf keberhasilan dalam
kategori B dan B+. Hasil tes akhir (post test I) tindakan pembelajaran materi Konsep
Diri pada siklus I didapat rata-rata skor kelas adalah 70,88 hal ini meningkat jika
dibandingkan dengan pre test didapat rata-rata skor kelas adalah 59,41.
Siklus II, meliputi beberapa tahapan, yaitu:
1. Tahap Perencanaan Tindakan
Tahap ini meliputi menyiapkan skenario pembelajaran berupa Satuan Acara
Perkuliahan (SAP), menyiapkan bahan ajar berupa modul materi Konsep Diri,
menyiapkan instrumen penelitian berupa lembar observasi, format wawancara dan
catatan lapangan, menyiapkan soal post test II, menyiapkan topik diskusi untuk siklus
II berupa mini case yang digunakan dalam fase think, menyiapkan lembar jawaban
yang digunakan dalam fase pair, menyiapkan kamera
2. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan dalam pembelajaran ini terbagi dalam tiga kegiatan yaitu tahap awal,
tahap inti, dan tahap akhir. Pada tahap awal pelaksanaan kegiatan yang dilakukan
peneliti yaitu kegiatan rutin di awal tatap muka (memberi salam dan dilanjutkan
mempresensi mahasiswa), kemudian menyampaikan inti materi dan kompetensi
yang ingin dicapai, rutin di awal tatap muka (memberi salam dan mempresensi
mahasiswa), kemudian peneliti menjelaskan kompetensi dan indikator pencapaian
hasil belajar, menjelaskan secara umum topik materi yang akan di diskusikan, dan
dilanjutkan dengan mengingatkan kembali aturan main pembelajaran Think Pair
Share (TPS). Peneliti juga memberikan motivasi dan reinforcement kepada
mahasiswa. Setelah itu, tahap inti pelaksanaan kegiatan seperti pada siklus I untuk
siklus II ini mahasiswa secara individu diminta untuk berpikir tentang mini case yang
sudah diberikan (fase think), kemudian mereka mulai berdiskusi dengan teman
sebelahnya dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing (fase pair).
Selanjutnya peneliti memimpin diskusi pleno kecil, di mana setiap kelompok akan
mengutarakan atau mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas (fase share).
Di dalam fase share ini peneliti selalu mengarahkan pembicaraan pada pokok
permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para mahasiswa.
Tahap akhir pelaksanaan kegiatan, peneliti bersama-sama dengan mahasiswa
membuat kesimpulan dan penguatan dari materi Konsep Diri. Selain itu peneliti juga
memberikan penghargaan pada pasangan kelompok yang sudah mengemukakan
hasil diskusinya. Evaluasi hasil belajar pada siklus II ini di evaluasi melalui post test
II. Post test II ini berlangsung selama 20 menit, dengan jumlah soal terdiri dari 20
soal pilihan ganda
3. Tahap Observasi Tindakan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 316 ] P a g e
Hasil observasi kedua dosen pengamat (observer) meliputi aktivitas peneliti sebagai
dosen dan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran. Hasil observasi terhadap
kegiatan peneliti (dosen) pada siklus II diperoleh persentase nilai rata-rata 92,86%,
yang dapat diartikan bahwa taraf keberhasilan kegiatan peneliti termasuk dalam
ketegori A. Sedangkan hasil observasi terhadap kegiatan mahasiswa pada Siklus II
diperoleh persentase nilai rata-rata 90,63%, yang dapat diartikan bahwa taraf
keberhasilan kegiatan mahasiswa termasuk dalam kategori A-.
Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti juga mengambil data melalui wawancara
dan catatan lapangan. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa
mahasiswa sudah mulai beradaptasi dengan pembelajaran kooperatif Think Pair
Share (TPS), mereka lebih memahami materi yang dibahas karena mendapat
informasi dari dosen, mereka juga saling memberi dan menerima informasi dengan
teman yang lain, saling belajar dengan santai, menikmati pelajaran dan juga tidak
mengantuk. Sedangkan dari hasil catatan lapangan, didapatkan bahwa mahasiswa
sudah mampu mengatur diri untuk duduk sesuai dengan kelompok seperti pada
siklus I, mahasiswa juga sudah memiliki keberanian atau kepercayaan diri untuk
mengungkapkan pendapatnya secara lisan serta ketika diskusi berlangsung tidak
ditemukan mahasiswa yang mendominasi kelompoknya
4. Tahap Analisis dan Refleksi Tindakan
Berdasarkan analisis data pengamatan yang dilakukan oleh dua orang pengamat
terhadap aktivitas peneliti dan mahasiswa menunjukkan taraf keberhasilan dalam
kategori A dan A-. Hasil tes akhir (post test II) siklus II didapatkan nilai rata-rata
kelas adalah 78,53
Respon Mahasiswa terhadap penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS), di
dapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Analisis Angket Respon Mahasiswa
No. PenilaianSkorrata-rata
Kriteriarespon
Intepretasi
134
l(0)2(0)3(19)4(15) 3,44 sangatpositif
Mahasiswa senang denganpembelajaran ini, karena harusaktif sehingga tidak terjadikebosanan.
234
l(0)2(3)3(20)4(11) 3,23 sangatpositif
Mahasiswa senang apabila dosensebelum memulai pembelajaranterlebih dahulu menyampaikantujuan dan manfaat mempelajarimateri tersebut.
334
l(0)2(1)3(23)4(10) 3,32 sangatpositif
Mahasiswa senang denganpembelajaran ini, karena membuatmahasiswa saling menghargai danberinteraksi satu dengan yang
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
P a g e [ 317 ]
No. PenilaianSkorrata-rata
Kriteriarespon
Intepretasi
lain.4
34
l(0)2(0)3(21)4(13) 3,25 sangatpositif
Mahasiswa senang denganpembelajaran ini, karena dapatmeningkatkan rasa saling percayaantar mahasiswa
534
l(0)2(2)3(24)4(8) 3,38 siswapositif
Mahasiswa dapat mengemukakanpendapat dengan baik setelahmahasiswa belajar denganmenggunakan metode Think PairShare (TPS)
634
l(4)2(12)3(12)4(6) 2,58 positif Pembelajaran ini dapatmenghilangkan sifat egois,mendominasi kelompok, dan inginmenang sendiri
734
l(0)2(4)3(18)4(12) 3,23 sangatpositif
Mahasiswa mau menerima ideatau pendapat orang lain.
834
l(0)2(7)3(20)4(7) 3,00 positif Penghargaan yang diberikankepada kelompok yangberprestasi semakin memacusemangat mahasiswa untukbelajar
934
l(0)2(3)3(21)4(10) 3,20 sangatpositif
Dengan metode belajar seperti inimahasiswa dapat mengaplikasikanilmu yang telah dipelajarinyadalam kehidupan sehari-hari.
1034
l(0)2(0)3(16)4(18) 3,53 sangatpositif
Mahasiswa merasa senang bekerjadalam kelompok, karena merasabagian dari kelompok yangmempunyai andil dalam suksestidaknya kelompok.
1134
l(2)2(14)3(10)4(8) 2,70 positif Mahasiswa suka bekerja samadengan kelompok karenamemupuk rasa salingmembutuhkan.
1234
l(0)2(8)3(19)4(7) 2,96 positif Mahasiswa menyukaipembelajaran ini karenamahasiswa merasa mempunyaikeahlian dan tidak kalah denganteman-teman yang lain.
1334
l(0)2(7)3(19)4(8) 3,02 sangatpositif
Mahasiswa senang denganpembelajaran ini, akan melatihmahasiswa untuk berbagipengetahuan dengan teman-temannya.
1434
l(5)2(15)3(14)4(0) 2,26 positif Mahasiswa senang denganpembelajaran ini, karena akan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 318 ] P a g e
No. PenilaianSkorrata-rata
Kriteriarespon
Intepretasi
bertanggung jawab terhadapmateri yang dikuasainya untukdiajarkan kepada teman-temannya.
1534
l(0)2(3)3(17)4(14) 3,32 sangatpositif
Mahasiswa senang denganpembelajaran ini, karena tidakmerasa kesulitan dalammenyampaikan materi yang telahdikuasainya.
PEMBAHASAN
Penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS)
Dalam proses pembelajaran model Think Pair Share (TPS), di awal pembelajaran
mahasiswa sudah di setting untuk aktif menggali informasi sebanyak-banyaknya atas
informasi yang akan dipelajari di kelas. Dosen (peneliti) memberi pengantar materi
secara sekilas sehingga mahasiswa pun harus sudah mulai mencari pemecahan sendiri
jika ingin mengetahui materi secara lebih komprehensif. Pada saat pelaksanaan
pembelajaran mahasiswa akan distimulus untuk semakin lebih aktif lagi dalam proses
pembelajaran di mana mahasiswa berdiskusi dengan kelompoknya (pairing) ketika
sebuah persoalan (mini case) diberikan, mahasiswa harus saling membantu dan
berkomunikasi dengan kelompoknya. Selanjutnya di akhir pelaksanaan pembelajaran
mahasiswa juga masih tetap harus aktif yaitu dengan cara sharing atau melaporkan hasil
diskusi kepada seluruh kelas. Pada tahap ini mahasiswa memberi masukan terhadap
proses refleksi maupun proses pembuatan kesimpulan akhir atas materi yang telah
dipelajari
Secara garis besar aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran model TPS adalah
memberikan tanggapan atas persoalan yang diajukan dosen. Dilanjutkan dengan proses
berpikir secara individu (thinking), kemudian dari proses berpikir secara individu
tersebut ditindaklanjuti dengan melakukan proses diskusi dengan rekan atau
pasangannya (pairing), dan diakhiri dengan tahap (sharing) atau melaporkan hasil
diskusi kepada seluruh kelas.
Sedangkan mengkaji peran dosen dalam pembelajaran Think Pair Share (TPS)
dibedakan menjadi 1) peran dosen pada tahap awal pembelajaran meliputi
mempersiapkan rencana pembelajaran yang meliputi skenario pembelajaran,
menyiapkan bahan ajar yang akan disampaikan serta topik diskusi yang juga harus
dipersiapkan, 2) Peran dosen pada saat tahap pembelajaran meliputi melakukan review
atas materi yang akan diajarkan, menjelaskan pencapaian hasil belajar yang harus
dimiliki mahasiswa, menyampaikan aturan main model pembelajaran Think Pair Share
(TPS), menggali pengetahuan awal mahasiswa, pada saat proses diskusi dosen adalah
membimbing proses pemecahan masalah dengan memberi kesempatan kepada
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
P a g e [ 319 ]
mahasiswa untuk berpikir secara individu (thinking), kemudian dilanjutkan dengan
proses pairing dan sharing. Pada saat proses diskusi berlangsung dosen memberi
pengarahan jika mahasiswa mengalami kesulitan. 3) Pada akhir proses pembelajaran
dosen memberikan tes (post test) untuk mengetahui tingkat pemahaman mahasiswa atas
materi yang telah dipelajari, dan melakukan refleksi bersama-sama dengan mahasiswa
terkait dengan hal-hal yang masih memerlukan tindakan perbaikan atau tidak.
Dalam proses pembelajaran Think Pair Share (TPS) ini meliputi beberapa aktivitas
yaitu 1) pembentukan kelompok, di mana peneliti membagi kelas menjadi 17 kelompok
di mana masing-masing kelompok terdiri dari dua orang, 2) pembagian topik diskusi, 3)
diskusi kelompok, 4) pembahasan hasil diskusi kelompok, dan 5) Tes untuk melihat
sampai sejauh mana tingkat pemahaman yang diperoleh mahasiswa dan untuk melihat
sampai sejauh mana tingkat efektivitas penggunaan model pembelajaran Think Pair
Share (TPS) untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Pada siklus I taraf
keberhasilan mahasiswa termasuk dalam kategori B+, sedangkan taraf keberhasilan pada
siklus II telah mengalami peningkatan kategori menjadi A.
Hasil Belajar setelah penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS)
Pada pre test hasil belajar mahasiswa diperoleh rata-rata 59,41 sedangkan pada
post test siklus I diperoleh rata-rata 70,88. Selanjutnya untuk siklus II, peneliti meminta
mahasiswa untuk terlebih dahulu membaca dan mencoba mengerjakan tes yang kisi-
kisinya telah diberikan maka diperoleh peningkatan skor rata-rata kelas yang cukup
tinggi pada post test siklus II yaitu 78,53. Hasil post test siklus II tersebut menyatakan
bahwa terdapat 29 orang mahasiswa telah mencapai nilai di atas 75 (tuntas) dan 5 orang
mahasiswa masih mendapatkan nilai di bawah 75 (belum tuntas). Dapat dilihat dalam
grafik peningkatan hasil belajar yang diperoleh berikut ini:
Gambar 3 Grafik Peningkatan Hasil Belajar
Respon Mahasiswa Terhadap Penerapan Pembelajaran Think Pair Share (TPS)
Respon yang diberikan mahasiswa terhadap pembelajaran Think Pair Share (TPS)
sangat positif, karena mahasiswa dituntut aktif sehingga tidak jenuh dalam proses belajar
mengajar. Mahasiswa lebih senang apabila sebelum memulai pembelajaran, dosen
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 320 ] P a g e
menyampaikan tujuan dan manfaat mempelajari materi yang akan dibahas. Mahasiswa
senang dengan pembelajaran Think Pair Share (TPS) karena dapat membuat mahasiswa
berinteraksi dan bisa lebih menghargai pendapat orang lain, meningkatkan rasa saling
percaya sesama mahasiswa, melatih untuk dapat mengemukakan ide dengan lebih baik,
dapat menghilangkan sifat egois, mendominasi kelompok, dan menang sendiri serta mau
menerima ide atau pendapat orang lain.
Selain itu dengan pembelajaran Think Pair Share (TPS) terdapatmya adanya
ketergantungan positif antara lain penghargaan yang diberikan kelompok yang
berprestasi semakin memacu semangat mahasiswa yang lain untuk belajar, melatih
ketrampilan social, mahasiswa merasa menjadi bagian dari berhasil tidaknya kelompok,
memupuk rasa saling membutuhkan, dan dapat melatih mahasiswa untuk berbagi
pengetahuan, serta bertanggung jawab terhadap materi yang dikuasainya dan mampu
menyampaikannya kepada rekan yang lain.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan yaitu (1) penerapan
pembelajaran Think Pair Share (TPS) meliputi beberapa aktivitas yaitu mahasiswa secara
individu diminta untuk berpikir tentang mini case (fase think), mahasiswa berpasangan
(fase pair) dengan teman sebelahnya dan mengutarakan hasil pemikirannya, dosen
memimpin diskusi pleno kecil di mana setiap kelompok mempresentasikan hasil
diskusinya di depan kelas (fase share). (2) hasil belajar mahasiswa meningkat dengan
rata-rata nilai yang diperoleh pada pre test 59,41 pada post test siklus I diperoleh rata-
rata 70,88 (belum tuntas) dan pada post test siklus II meningkat menjadi 78,53 (tuntas).
(3) Respon yang diberikan mahasiswa terhadap pembelajaran Think Pair Share (TPS)
sangat positif.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk penerapan pembelajaran Think
Pair Share (TPS) perlu adanya 1) persiapan yang baik meliputi kesiapan mahasiswa dan
sarana prasarana yang mendukung kegiatan pembelajaran, 2) Dosen harus selalu
memberi arahan dan motivasi kepada seluruh mahasiswa, terutama mahasiswa yang
memiliki kemampuan lebih rendah, 3) membutuhkan media pembelajaran yang
bervariasi, 4) untuk mengembangkan penerapan pembelajaran model Think Pair Share
(TPS) diperlukan penelitian lebih lanjut pada pengajaran mata kuliah yang sama atau
mata kuliah yang lain di tempat yang berbeda
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Budiningsih, C, A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Dimyati dan Mudjiono.1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta
Hamalik, Oemar. 2004. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
P a g e [ 321 ]
Heri Purwanto. 2007. Implementasi Pembelajaran Kooperatif Dengan Model PembelajaranThink Pair Share (TPS) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata DiklatKewirausahaan (Studi Pada Siswa Kelas 1 Penjualan Smk Ardjuna I Malang)
Ibrahim, Muslimin, dkk. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.UNESA
Laura, C. 2001. Strategis For Reading To Learn. (Online), (http://olc.spsd.sk. Ca/DE/PD/instr/Strats/Think.html
Lie, A. 2005. Cooperatif Learning. Jakarta: PT Gramedia
Lince, Ranak. 2001. Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Dengan PendekatanStruktural Pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus Di Kelas II SLTP
Listiawati, Indah. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-SharePada Mata Pelajaran Ekonomi Siswa Kelas X-C MAN I Gresik
Masidjo, I. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah. Jakarta: Kanisius
Nurhadi dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL)dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang
Oemar, H. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Pujianto, Sentot. 2003. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-ShareDalam Upaya Peningkatan Hasil Belajar Dan Ketrampilan Siswa Pada PokokBahasan Alkana, Alkena, Alkuna Di Kelas 1 SMU Negeri Kedungpring
Risnawati. 2005. Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah Melalui Metode BelajarKooperatif Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar BiologiSiswa Kelas 1 SMA Negeri 9 Malang
Sudjana, Nana. 2005. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta
Susilo. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Wiriatmadja, Rochiati. 2006. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: RemajaRosdakarya
Witjaksono,Mit. 1985. Konsep-Strategi-Pendekatan Pengelolaan Kelas. Malang: IKIPMalang