perancangan model pengukuran kinerja komprehensif pada … · pada sub sektor perikanan dan hasil...
TRANSCRIPT
KAJIAN PUSTAKA
Peningkatan kinerja klaster agroindustri hasil laut akan lebih efektif dan efisien
jika telah tersedia sebuah sistem pengukuran kinerja komprehensif yang dapat
diterapkan untuk sebuah klaster agroindustri hasil laut. Pemahaman beberapa aspek
substansial diperlukan dalam rangka merancang sebuah sistem pengukuran kinerja
yang komprehensif pada model klaster agroindustri hasil laut di Indonesia yang akan
diuraikan lebih detail pada bagian ini.
Agroindustri
Beberapa pakar mendefinisikan agroindustri dari beberapa sudut pandang.
Austin (1981) mengatakan bahwa agroindustri adalah sebuah usaha yang mengolah
bahan baku hasil pertanian, termasuk di dalamnya tanaman dan peternakan.
Berdasarkan proses transformasi yang terjadi, agroindustri dikategorikan dalam 4
tingkatan yaitu (1) agroindustri level I dengan aktivitas proses secara minimal
misalnya pembersihan, pengelompokan dan penyimpanan, (2) agroindustri level II
ditandai dengan adanya aktivitas proses peningkatan nilai tambah lagi yaitu
pemisahan, penggilingan, pemotongan dan pencampuran, (3) agroindustri level III
meliputi pemasakan/perebusan, pasteurisasi, pengalengan, dehidrasi, pembekuan
dan ekstraksi serta (4) agroindustri level IV yang dicirikan dengan adanya proses
perubahan kimia dan perubahan tekstur (teksturisasi). Sementara itu pada
Simposium Pengembangan Agroindustri (1983) di Bogor menyepakati bahwa
agroindustri adalah kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai
bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan
tersebut. Selanjutnya Simposium Nasional Agroindustri II (1987) mendefinisikan lebih
jelas bahwa agroindustri adalah suatu kegiatan lintas disiplin yang memanfaatkan
sumber daya alam (pertanian) untuk industri. Lebih lanjut lagi penelitian difokuskan
pada sub sektor perikanan dan hasil laut, khususnya agroindustri hasil laut.
Potensi Agroindustri Hasil Laut
Kelautan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki potensi
untuk dikembangkan sehingga dapat berkontribusi lebih baik kepada negara di
dalam meningkatkan devisa. Karena sub sektor ini juga melibatkan banyak nelayan
di sektor hulu, maka peningkatan kinerja sub sektor kelautan diharapkan juga akan
mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Agroindustri hasil laut merupakan
industri hilir yang perlu dioptimalkan sistem pengelolaannya sehingga secara integral
7
mampu meningkatkan kinerja keseluruhan dari sub sektor kelautan khususnya dan
sektor pertanian pada umumnya.
Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai atau
mengukur kinerja sebuah sektor secara kuantitatif di antaranya adalah indeks
Indikator Spesialisasi Perdagangan (ISP), Pangsa Pasar dan indeks Revealed
Comparative Advantage (RCA) untuk melihat pangsa relatif ekspor sebuah produk
atau komoditas. Ketiga alat ukur tersebut dikenal dengan alat ukur spesialisasi. ISP
merupakan alat ukur yang penting bagi perkembangan ekonomi suatu negara.
Perekonomian suatu negara dapat mengalami penurunan, jika spesialisasi
industrinya mengarah pada tujuan yang salah (Brasili, Epifani & Helg, 1999).
Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk melihat apakah
Indonesia sebagai pengimpor atau pengekspor komoditas tertentu. Rumusan ISP
adalah sebagai berikut:
ISP = (Xi-Mi)/(Xi + Mi) ……..(1)
keterangan :
X = nilai ekspor
M = nilai impor
i = komoditas sesuai SITC
Terdapat 3 (tiga) kondisi yang dapat dicirikan dalam perhitungan ISP, yaitu:
Jika nilai ISP = -1, artinya negara tersebut hanya pengimpor komoditas tertentu
Jika nilai ISP = 0, artinya negara tersebut memiliki jumlah ekspor dan impor
SITC yang seimbang
Jika nilai ISP = +1, artinya negara tersebut hanya mengekspor komoditas
tertentu
Dari nilai ISP dapat pula diketahui tahapan pertumbuhan perdagangan suatu
komoditas, di mana :
Jika -1<ISP<-0,5 : komoditas dalam taraf pengenalan
Jika -0,5 <ISP<0 : komoditas merupakan substitusi impor
Jika 0 < ISP < 0,5: komoditas dalam tahap pertumbuhan
Jika 0,5< ISP <1 : komoditas dalam tahap pertumbuhan menuju kematangan.
8
Komoditas yang memiliki nilai di bawah 0.5 potensial untuk dikembangkan,
sedangkan yang memiliki nilai di atas 0.5 merupakan komoditas yang perlu dijaga
daya saingnya.
Komoditas hasil laut merupakan komoditas unggulan yang potensial untuk
terus dijaga dan ditingkatkan kinerjanya. Berdasarkan hasil pengolahan data yang
diperoleh dari www.deprin.co.id Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) komoditas
hasil laut di Indonesia memiliki nilai yang sangat baik yaitu dengan nilai rata-rata ISP
sebesar 0.95. dengan distribusi nilai ISP komoditas hasil laut pada periode 1996–
1997 sebagai berikut :
0.96 0.96
0.98
0.96
0.91
0.94 0.94
0.86
0.88
0.9
0.92
0.94
0.96
0.98
Nila
i ISP
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Tahun
Gambar 1 Indeks spesialisasi perdagangan (ISP) ikan segar, dingin atau beku ISTC 034 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Berdasarkan distribusi nilai ISP komoditas hasil laut seperti grafik di atas dapat
dilihat meskipun sempat terjadi penurunan pada tahun 2000, namun secara
keseluruhan kinerja perdagangan komoditas hasil laut berada pada tahap menuju
kematangan karena setiap tahun dalam periode di atas mempunyai nilai 0.5≤ISP≤ 1.
Nilai indikator kinerja ISP menunjukkan bahwa komoditas hasil di Indonesia
merupakan komoditas yang pantas diunggulkan dan perlu dijaga bahkan
ditingkatkan kinerjanya melalui sebuah pengelolaan komprehensif yang lebih baik.
Agroindustri hasil laut merupakan satu upaya peningkatan nilai tambah pada
sub sektor kelautan dengan mengolah komoditas hasil laut menjadi produk olahan.
Peningkatan nilai tambah bisa senantiasa dilakukan dengan perbaikan sistem dan
manajemen secara berkelanjutan. Kondisi perkembangan ekspor impor untuk produk
olahan hasil laut sangat baik, hal ini ditunjukkan dengan gambaran kecenderungan
9
nilai ekspor yang relatif stabil dan meningkat dari tahun ke tahun pada periode 1996-
2003 meskipun kenaikannya tidak signifikan seperti dapat ditampilkan pada Gambar
2 berikut :
Gambar 2 Perkembangan nilai ekspor impor olahan hasil laut Indonesia (www.deprin.co.id)
Sementara itu, nilai indeks spesialisasi perdagangan untuk beberapa komoditas hasil
laut lainnya dapat dilihat pada Gambar 3 sampai dengan Gambar 9 yang akan
ditampilkan secara berurutan di bawah ini :
Gambar 3 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) ikan kering, digarami atau diasapi SITC 035 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
10
Gambar 4 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) udang, kerang dan sejenisnya, segar/dingin SITC 036 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Gambar 5 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) olahan ikan, udang dan kerang SITC 037 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Indikator kinerja perdagangan lain yang juga sering digunakan untuk mengevaluasi
kinerja perdagangan komoditas bahan baku maupun olahan adalah indeks Revealed
Comparative Advantage (RCA) Indonesia di pasar dunia pada tahun 1996-2002
seperti ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 9 berikut ini :
11
Gambar 6 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 034 (ikan segar, dingin atau beku) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Gambar 7 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 035 (ikan segar,
dingin atau beku) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Gambar 8 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 036 (udang, kerang dan sejenisnya, segar/dingin) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
12
Gambar 9 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 037 (olahan ikan, udang dan kerang) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Jika dikaitkan dengan nilai ISP komoditas hasil laut, maka hal ini sangat positif
karena tingginya nilai RCA pada komoditas hasil laut juga dibarengi dengan
meningkatnya nilai ekspor produk olahan hasil laut (agroindustri hasil laut). Hal ini
menunjukkan bahwa keberlanjutan bahan baku cukup bisa diandalkan sehingga
peningkatan nilai tambah hasil laut melalui sistem produksi yang efisien dan upaya
peningkatan kapasitas produksi diharapkan di masa depan akan lebih bisa
meningkatkan kinerja sektor pertanian sub sektor kelautan khususnya agroindustri
hasil laut di Jawa Timur maupun di Indonesia.
Pangsa Pasar
Dari sisi negara pengekspor, kontribusi ekonomi suatu komoditas juga bisa
dilihat dari pangsanya, yang dapat diukur dengan rumusan sebagai berikut:
P = Xi /∑ X ………(2) keterangan :
P = pangsa (share)
X = nilai ekspor
i = komoditas berdasarkan SITC
Semakin besar nilai pangsa pasar suatu komoditas, semakin penting peranan
komoditas tersebut di negara pengekspor. Idealnya, komoditas yang berkontribusi
besar merupakan komoditas yang berkembang. Jika ISP menunjukkan nilai negatif,
artinya Indonesia merupakan pengimpor komoditas tertentu, perlu dilihat apakah nilai
13
pangsa eskpor komoditas ini juga signifikan. Pembandingan ini dilakukan untuk
mengevaluasi tingkat pemasukan / devisa negara.
Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA)
Dilihat dari sisi pasar dunia, produk unggulan dapat dilihat jika produk tersebut
memiliki daya saing global, yang direpresentasikan dengan Revealed Comparative
Advantage (RCA). RCA dapat dihitung dengan rumus:
RCA ij =( Xij/ ∑ Xij) / ∑ Xij/∑∑Xij ………..(3)
keterangan :
X = Nilai ekspor
i = SITC tertentu
j = wilayah/negara tertentu
Rasio nilai pembilang menggambarkan pangsa sektor i di suatu negara terhadap
total ekspornya sedangkan rasio penyebut menggambarkan pangsa pasar yang
sama terhadap ekonomi dunia (Brasili, Epifani & Helg, 1999).
Indeks ini memiliki nilai antara 0 dan + ∞. Nilai RCA < 1 menunjukkan bahwa
suatu sektor di suatu negara relatif mengalami penurunan spesialisasi terhadap
perekonomian dunia. Nilai RCA ≥1 menunjukkan suatu sektor di suatu negara relatif
terspesialisasi. Index ini banyak digunakan karena memungkinkan untuk
membandingkan struktur ekspor suatu negara dengan ekonomi dunia maupun
kelompok negara tertentu. Idealnya, suatu negara memiliki nilai RCA positif.
Dinamika pola perdagangan dapat dilihat dari hasil perhitungan RCA
melibatkan data historis. Penentuan jangka waktu analisis dilakukan dengan
mempertimbangkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang lalu dan yang masih
berlaku. Sementara itu untuk mengidentifikasi keunggulan propinsi/wilayah
penelitian, maka dilakukan analisis korelasi yang membandingkan ekonomi daerah
terhadap ekonomi Indonesia. RCA propinsi/wilayah Indonesia dan RCA
propinsi/wilayah dunia. Arah yang diharapkan adalah terdapat hubungan korelasi
positif antara keunggulan domestik (RCA prop/wil-Indonesia) dan keunggulan di
pasar dunia (RCA prop/wilayah–dunia). Nilai skala korelasi adalah -1 hingga +1, nilai
korelasi negatif berarti kondisi saat ini, produk unggulan SITC tidak sejalan dengan
perkembangan pasar dunia. Sedangkan nilai korelasi 0 berarti tidak ada hubungan
antara keunggulan kompetisi domestik dan global.
14
Salah satu pendekatan pembangunan struktur industri yang diyakini mampu
memperkuat struktur agroindustri hasil laut di Indonesia adalah pendekatan klaster.
Pendekatan ini berupaya untuk melihat sistem industri hasil laut sebagai sebuah
sistem yang bersifat holistik sehingga perlu kajian dengan sebuah pendekatan
sistem. Selanjutnya akan diuraikan konsep klaster industri dan beberapa aspek yang
relevan.
Konsep Klaster Industri
Klaster Industri yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah sebuah
kelompok yang terdiri dari beberapa industri terkait, institusi pendukung yang saling
berinteraksi secara horisontal dan vertikal untuk menciptakan suatu nilai tambah baik
untuk individu anggota kelompok maupun untuk bersama-sama. Konsep klaster
banyak diperkenalkan oleh Porter (1998) yang melihat klaster industri sebagai
sekumpulan perusahaan dan institusi yang terkait pada bidang tertentu yang secara
geografis berdekatan, bekerjasama karena kesamaan dan saling memerlukan.
Konsep tersebut didukung oleh beberapa pernyataan dari peneliti terdahulu di
antaranya Roelandt dan den Hertog (1999) menekankan klaster industri pada
jaringan produsen yang terdiri dari perusahaan-perusahaan yang independen dan
kokoh bebas (termasuk pemasok khusus) yang terhubung satu sama lain dalam
rantai nilai tambah produksi. OECD (2000) mendefinisikan klaster industri sebagai
kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai produk
umum, ketergantungan atas ketrampilan tenaga kerja yang serupa atau penggunaan
teknologi yang serupa atau saling komplementer.
Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan oleh konsorsium Trends Business
Research dari Inggris (United Kingdom) terhadap klaster industri bisnis di Inggris
diungkapkan adanya 6 (enam) jenis tipologi dari klaster industri yaitu: (1) Rantai
produksi vertikal, yaitu suatu suatu rantai produksi vertikal dimana tahap-tahapan
yang beriringan dalam rantai produksi membentuk inti klaster industri, (2) Agregasi
sektor-sektor yang berhubungan yakni suatu agregasi dari sektor-sektor yang
berhubungan, (3) Klaster industri regional, yaitu klaster mengacu pada suatu
agregasi dari sektor-sektor yang berhubungan yang berpusat dalam daerah tertentu
dan kompetitif dalam pasar dunia, (4) Daerah (distrik) industri, sebagai
pengkonsentrasian lokal dari industri kecil dan menengah yang ahli dalam tahap
proses produksi, (5) Jaringan, didefinisikan sebagai bentuk spesifik dari hubungan
antara para pelaku ekonomi baik pasar maupun hirarki akan tetapi berbasis
pada ketergantungan yang timbal balik, kepercayaan, dan kooperatif. Klaster
15
industri ini tidak harus terpusat secara geografis, akan tetapi akan lebih baik jika
terlokalisasi dan (6) Lingkungan yang inovatif (the innovative milieu), yaitu klaster
yang mengacu pada pengkonsentrasian lokal dari industri berteknologi tinggi.
Konsep klaster industri dari Michael E. Porter didasari dari hasil penelitiannya di
dalam membandingkan daya saing internasional di beberapa negara. Negara yang
memiliki daerah dengan kandungan mineral yang melimpah, tanah yang subur,
tenaga kerja yang murah dan iklim yang baik sebenarnya memiliki keunggulan
bersaing dibanding negara dengan daerah yang “berat”. Akan tetapi ditemui bahwa
keunggulan karena keadaan daerah tidak mampu bertahan lama. Keunggulan daya
saing suatu negara/daerah dapat bertahan lama di dalam ekonomi yang semakin
mengglobal bukanlah karena kandungan mineral dan tanahnya tetapi karena negara
tersebut mengkonsentrasikan dirinya terhadap peningkatan keahlian dan keilmuan,
pembentukan institusi, menjalin kerja sama, melakukan relasi bisnis dan memenuhi
keinginan konsumen yang semakin banyak dan sulit untuk dipenuhi (Porter, 1998).
Porter (1998) berargumentasi bahwa industri di suatu daerah/negara unggul
bukanlah dari kesuksesan sendiri tetapi merupakan kesuksesan kelompok dengan
adanya keterkaitan antar perusahaan dan institusi yang mendukung. Sekelompok
perusahaan dan institusi pada suatu industri di suatu daerah tersebutlah yang
disebut dengan istilah klaster industri. Pada klaster industri, perusahaan-perusahaan
yang terlibat tidak hanya perusahaan besar dan menengah, tetapi juga perusahaan
kecil. Adanya klaster industri akan menstimulasi terjadinya bisnis baru, lapangan
kerja baru, para pengusaha baru yang mampu memutar pinjaman baru. Porter
(1990) memperkenalkan teori kemampuan kompetisi suatu negara yang
digambarkan dalam model berlian seperti dapat dilihat pada Gambar 10.
Strategi Perusahaan, struktur dan persaingan Perubah-
an
Kondisi Faktor
Kondisi Permintaan
Industri Terkait dan Pendukung
Pemerintah
Gambar 10 Model berlian Porter (Porter,1990)
16
Terdapat 4 (empat) faktor kunci yang menentukan daya saing suatu negara
yaitu : kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi perusahaan, struktur dan
persaingan serta keterkaitan dan industri pendukung. Konsep ini dikenal dengan
model Diamond Porter (Berlian Porter) seperti terlihat pada Gambar 10. Negara
tertentu memiliki bentuk berlian (keterkaitan antar empat faktor) berbeda dengan
negara lain, yang membuat suatu negara mampu mengungguli negara lainnya. Yang
dimaksud dengan kondisi faktor meliputi lima kategori kunci, yaitu: ketersediaan dan
kemampuan sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya pengetahuan,
sumber daya modal dan infrastruktur. Kondisi permintaan meliputi permintaan
domestik dan internasional. Model ini menggabungkan analisis di tingkat industri
maupun tingkat perusahaan. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan mengaju
pada kondisi tingkat perusahaan. Sedang keterkaitan dan industri pendukung
menunjukkan bagaimana suatu industri saling bergantung dan mengisi industri
lainnya. Dengan melihat keempat faktor ini, model berlian menunjukkan mengapa
suatu industri bisa saja daya saingnya tidak dapat bertahan lama (Porter, 1990).
Pada awalnya konsep ini mengedepankan kedekatan geografis (Porter, 1990).
Dengan adanya kedekatan geografis, suatu industri dapat melakukan pemesanan
produk secara bersamaan, pengembangan produk bersamaan dan terjadi alih
pengetahuan yang dapat membuat industri sebagai suatu sistem mampu
meningkatkan produktivitasnya. Pendekatan klaster mengetengahkan pentingnya
produktivitas dalam suatu sistem sebagai kunci kemampuan kompetisi suatu negara
(Porter, 1990). Produktivitas yang terbangun dengan adanya kedekatan geografis,
menunjukkan bagaimana sumber daya manusia dan modal suatu negara digunakan.
Produktivitas tergantung pada kemampuan secara efisien suatu produk dihasilkan.
Lebih jauh lagi, produktivitas seringkali terkonsetrasi di segmen industri tertentu.
Artinya, suatu industri mampu menghasilkan luaran lebih baik daripada industri
lainnya. Adanya keterhubungan yang teratur antara keempat faktor tersebut akan
menimbulkan terbentuknya klaster industri tanpa rekayasa. Kedekatan lokasi secara
geografis menjadi daya tarik dan semakin iteratif terjadinya interaksi antara keempat
faktor tersebut.
Terdapat tiga cara meningkatkan pertumbuhan produktivitas, pertama,
peningkatan produktivitas pada klaster industri disebabkan karena adanya spesialiasi
bahan baku dan tenaga kerja, adanya peningkatan akses informasi dari institusi dan
lembaga/asosiasi publik dengan menggunakan fasilitas dan program bersama.
Kedua, peningkatan kemampuan perusahaan untuk melakukan inovasi dengan
mendifusikan kemampuan ilmu teknologi sehingga inovasi akan terjadi lebih cepat.
Ketiga, tekanan persaingan pada klaster industri perlu dibarengi dengan kebijakan
17
memberikan insentif kepada karyawan yang melakukan inovasi. Kondisi ini
memperlihatkan terjadinya pembelajaran di daerah klaster industri, adanya
peningkatan terapan teknologi dan kemampuan melakukan inovasi. Kondisi di atas
akan menyebabkan klaster industri mampu beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan bisnis.
Tujuan dan Manfaat Klaster Industri
Pengembangan klaster industri yang mulai marak diperbincangkan saat ini
pada dasarnya muncul bukan karena alasan kecenderungan atau sedang populer
tetapi sudah mengarah pada kebutuhan akan adanya pengembangan klaster industri
di tanah air. Secara umum sudah diyakini bahwa pendekatan klaster industri sangat
bermanfaat bagi pembangunan ekonomi, khususnya bagi peningkatan daya saing
industri yang berkelanjutan. Bappenas (2003) menyatakan bahwa peningkatan daya
saing ini dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam
tiga cara berikut :
1) Meningkatkan produktivitas perusahaan
2) Mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai
fondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan
3) Menstimulasikan tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat
memperkuat dan memperluas klaster
Beberapa manfaat dari adanya pengembangan klaster industri pada suatu
daerah antara lain (1) memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi, (2) membantu
pengembangan agenda bersama, (3) memperoleh manfaat skala ekonomi, (4)
memfasilitasi pengembangan tingkat kompetensi yang lebih tinggi, (5) kerjasama
bisnis untuk memperkuat industrinya, (6) membantu mengurangi kekhawatiran
persaingan antar-industri dengan membangun rasa saling percaya dan kerjasama
antar pelaku bisnis dalam klaster industri, (7) meningkatkan produktivitas, (8)
meningkatkan pertambahan nilai, (9) menghimpun sumber daya kolektif, (10)
pemasaran bersama, (11) mempengaruhi hubungan pemasok dan pembeli, (12)
berbagi informasi, (13) analisis strategis nasional maupun internasional, (14)
memperbaiki infrastruktur keras dan lunak daerah, dan (15) rekognisi/pengakuan
nasional dan internasional.
Klaster industri merupakan mekanisme yang ampuh untuk mengatasi
keterbatasan Industri Kecil dan Menengah (IKM) utamanya dalam hal ukuran usaha
dan untuk mencapai sukses dalam lingkungan pasar dengan persaingan yang
senantiasa meningkat. Langkah kolaboratif yang melibatkan IKM dan perusahaan
18
besar, lembaga pendukung publik dan swasta serta pemerintah lokal dan regional,
semuanya akan memberikan peluang untuk mengembangkan keunggulan lokal yang
spesifik dan daya saing perusahaan yang tergabung dalam klaster industri.
Banyak negara mengimplementasikan klaster industri untuk mengembangkan
ekonomi dan meningkatkan daya saing daerah/negaranya, seperti negara Amerika
(Arizona, Texas, dan lain-lain), Brazil, Italia, Australia, Spanyol, dan lain-lain. Negara
tersebut meyakini adanya keuntungan di dalam mengimplementasikan klaster
industri. Berikut ini keuntungan dari klaster industri yaitu (1) mereduksi biaya
transaksi, (2) memudahkan terjadinya spesialisasi pemasok, jasa dan sumber tenaga
kerja, (3) meningkatkan rata-rata inovasi, (4) menyelesaikan masalah bersama
dengan bekerjasama menghasilkan solusi, (5) membuat lembaga pelatihan,
teknologi dan infrastuktur bersama, dan (6) melakukan pembelajaran bersama untuk
merumuskan strategi peningkatan daya saing.
Faktor-Faktor Keberhasilan dan Kegagalan Klaster Industri
Beberapa faktor dapat diidentifikasikan sebagai kunci keberhasilan suatu
pengembangan klaster industri. Eurada (2003) mendefinisikan beberapa faktor kunci
keberhasilan dalam pengembangan klaster industri adalah (1) jumlah pelaku bisnis
(perusahaan) yang mencapai critical mass dalam suatu lokasi geografis, (2) bidang
aktivitas bisnis terdefinisikan dengan baik, (3) hubungan kemitraan yang kuat antar
stakeholder industri, (4) ketersediaan sistem pendukung bagi perusahaan, dan (5)
budaya kewirausahaan.
Dalam banyak hal, pengembangan klaster industri terkadang tidak berhasil
dengan baik. Pada dasarnya, kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh tidak
adanya faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan klaster industri
atau tidak ditangani sebagaimana mestinya. Terdapat beberapa hal yang disarankan
untuk dihindari di mana faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan
pengembangan klaster industri dapat diidentifikasi yaitu (1) Pengembangan klaster
industri sebaiknya bukan semata karena “keinginan pemerintah” melainkan karena
kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku bisnis yang bersangkutan, (2) kebijakan
pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung terhadap industri dan
perusahaan atau pembatasan persaingan dalam pasar, (3) kebijakan pemerintah
sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk tak langsung, (4) pemerintah
sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster industri melainkan
berperan sebagai katalis dan pihak yang membawa bersama seluruh para pelaku
dalam klaster industri (termasuk pemasok) serta insentif untuk memfasilitasi proses
19
inovasi dan klasterisasi, (5) kebijakan klaster industri sebaiknya tidak mengabaikan
klaster industri kecil dan yang sedang muncul ataupun memfokuskan hanya pada
klaster industri yang sudah ada dan “klasik”, (6) kebijakan klaster industri tak hanya
cukup dengan analisis atau studi, tetapi juga tindakan nyata. Kebijakan klaster
industri yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti, para pimpinan dunia usaha,
pembuat kebijakan dan pakar, serta meciptakan suatu forum untuk dialog yang
konstruktif, dan (7) klaster industri sebaiknya tidak dimulai dari “nol” ataupun pasar
dan industri yang menurun (Hertog, 1998).
Asian Development Bank (ADB) dalam penelitiannya mengenai
pengembangan klaster industri industri di Indonesia juga telah berhasil
mengidentifikasikan beberapa hal yang menghambat kesuksesan sebuah klaster
industri adalah
1) Mengabaikan hubungan klaster industri ke pasar
Pra-syarat pengembangan klaster industri yang baik adalah potensi klaster
industri untuk akses ke pasar yang berkembang. Apabila hal ini tidak terlaksana,
setiap aktivitas peningkatan teknologi tidak akan berhasil karena para anggota
klaster industri tidak memperoleh hasil finansial atas investasinya.
2) Mengabaikan atau bahkan memperlemah potensi UKM untuk berorganisasi
sendiri
3) Ketidakmandirian organisasi klaster yang terbentuk, karena organisasi mandiri
dari para anggota klaster industri yang kuat dan aktif akan mempermudah proses
belajar secara kolektif dan berpikir secara aktif mengenai masa depan.
Organisasi mandiri, penting juga untuk mengembangkan pasar dan jaringan
distribusi baru. Organisasi mandiri juga penting jika klaster industri ingin
meningkatkan keseragaman produk, standarisasi dan mempermudah distribusi.
Organisasi mandiri juga penting apabila para produsen ingin menghadapi
seorang pembeli yang kuat bersama-sama.
4) Keterbatasan kemungkinan Pemerintah Daerah untuk mendorong
perkembangan klaster industri
Kebanyakan pemerintah daerah sadar akan masalah yang dihadapi oleh
klaster-klasternya. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa staf pemerintah
daerah mampu dan bersedia menyediakan bantuan, jika diberi kesempatan dan
fleksibilitas. Akan tetapi, peranan pemerintah daerah terbatas karena memiliki
otonomi anggaran terbatas.
Proses berkembangnya sebuah klaster mulai pembentukan hingga
pengelolaannya menuju sebuah klaster ideal akan bervariasi menurut model
20
pengembangan yang digunakan. Hansen (2003) mengemukakan bahwa ada tiga
tipe atau model pengembangan klaster yaitu :
(1) Spontaneous Clusters, merupakan model pengembangan klaster di mana
pelaku usaha mengetahui persis akan kebutuhan dan bagaimana
membangun klaster. Pada model ini bisa dikatakan klaster berdiri tanpa
dukungan yang signifikan dari pemerintah.
(2) Private Sector Driven, pada penerapan model ini pelaku usaha menyadari
kebutuhannya akan perlunya klaster, namun mereka tidak atau belum tahu
bagaimana melakukannya, sehingga di sini pelaku usaha bertindak sebagai
inisiator yang dalam proses pengembangannya didukung oleh pemerintah.
(3) Donor or Government-Driven, merupakan sebuah model pengembangan
klaster di mana pelaku usaha tidak mengetahui apa itu klaster dan
bagaimana cara mengembangkannya. Di sini pemerintah merupakan tokoh
kunci berkembangnya sebuah klaster, baik pada pemilihan basis industri
yang akan dikembangkan menjadi sebuah klaster maupun dalam
menentukan strategi pengembangannya.
Berdasarkan karakteristik sistem pemerintahan di Indonesia dan perilaku
industri yang ada, maka masih diperlukan inisiator yang kuat untuk terbentuknya
sebuah klaster industri baik itu dari industri besar maupun dari pemerintah. Kemauan
yang kuat dari beberapa industri mapan menjadi inisiator belum cukup jika tidak
dilengkapi dengan pemahaman konsep klaster yang baik. Pemahaman konsep
sudah dimiliki oleh beberapa industri, namun masih belum semuanya memahami
dengan baik. Model yang direkomendasikan untuk diimplementasikan adalah
Spontaneous Clusters dan Private Donor Driven, hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian pendahuluan yang telah dilakukan (Partiwi dan Marimin, 2005).
Peranan Pemerintah pada Klaster Industri
Kebijakan pemerintah adalah kebijakan intervensi yang dapat mempengaruhi
kondisi ekonomi suatu daerah seperti pemberian subsidi, peraturan (regulasi atau
deregulasi), pembangunan infrastuktur, dan kebijakan bea impor dan ekspor.
Keberhasilan suatu klaster industri pada suatu daerah, sangat didukung oleh
kebijakan dari pemerintah yang efektif terhadap pengembangan klaster industri di
daerahnya. Pengembangan klaster industri yang ada perlu didasari oleh strategi
pengembangan ekonomi dari pemerintah. Adanya peranan pemerintah
menyebabkan klaster industri yang ada mampu lebih efisien, mengefektifkan aliran
informasi, terpenuhinya skala ekonomi dan terjadinya inovasi yang kontinyu.
21
Kebijakan yang tidak berarti memanjakan klaster industri yang ada. Tidak
semua keinginan klaster industri dipenuhi langsung dan dilakukan secara serentak.
Pemerintah akan membatasi intervensinya hanya pada bidang kebijakan moneter,
subsidi dan pemberian keringan bea masuk dan pajak. Klaster industri yang didorong
agar lebih proaktif sedangkan pemerintah akan menjadi mediatornya. Adanya
stimulus kebijakan diharapkan akan mendorong terjadi penguatan jaringan antar
perusahaan dan institusi yang terlibat. Adanya penguatan jaringan dari klaster
industri mampu mengefisienkan produksi sehingga meningkatnya kemampuan
bersaing dan terbentuknya peningkatan pasar yang signifikan.
Berikut ini, beberapa hal yang kebijakan pemerintah di dalam mendukung
pembentukan dan pengembangan klaster industri yaitu: (1) mengidentifikasi dari
klaster industri yang ada atau berpotensi pada suatu daerah, (2) menyediakan
informasi yang dibutuhkan klaster industri dengan strategi informasi, (3) melakukan
investasi teknologi dan kemampuan yang bermanfaat bagi klaster industri, (4)
menghubungkan klaster industri dengan universitas setempat atau lembaga
pelatihan, (5) membantu pengembangan jaringan, (6) memfungsikan diri sebagai
pusat layanan, (7) membentuk dan memediasi adanya asosiasi, (8) melakukan
kebijakan subsidi, dan (9) membuat peraturan perundang-undangan, serta (10)
membangun infrastruktur.
Adanya klaster industri tidak hanya menguntungkan perusahaan dan institusi
yang terlibat di suatu klaster industri, akan tetapi juga menguntungkan pemerintah
untuk lebih memahami ekonomi daerahnya dengan baik. Berikut ini keuntungan yang
diperoleh pemerintah yaitu (1) lebih mengerti kebutuhan dari industri dan secara
langsung mendialogkan dengan perusahaan dan institusi yang terlibat di suatu
klaster industri, (2) dapat memberikan penghargaan dari program penunjang yang
ada kepada perusahaan, institusi dan asosiasi, dan (3) dapat mendesain produk
pendukung buatan sendiri untuk industri, membantu sektor swasta dalam hal
finansial dan manajemennya.
Contoh Sukses Klaster Agroindustri Anggur Di Australia
Industri anggur Australia mengalami suatu kebangkitan dalam kurun waktu
duapuluh tahun terakhir, para petani anggur dan industri anggur di Australia dapat
dijadikan sebagai salah satu contoh sukses dalam agroindustri. Banyak petani
anggur di negara lain yang telah mengadopsi teknologi penanaman dan pengolahan
anggur di Australia seperti sistem irigasi tetes dan yang otomatisasi proses
22
memanen anggur sehingga banyak pesaing Internasional yang mampu menyaingi
kualitas anggur Australia.
Kesuksesan pertumbuhan industri anggur di Australia salah satunya adalah
keberhasilan petani dalam menerapkan prinsip nilai tambah pada proses dan produk
yang dihasilkan. Pada tahun 1985 petani Australia melakukan ekspor anggur masih
dalam bentuk anggur curah dan sekarang anggur Australia di ekspor sudah dalam
bentuk botol-botol anggur yang siap di konsumsi. Nilai tambah yang didapat dari
peningkatan nilai produk ini mampu memberikan penambahan keuntungan penjualan
lebih dari 90 % dari kondisi sebelumnya. Dengan menerapkan peningkatan nilai
tambah dan peningkatan keterampilan kerja dari tiap industri anggur menghasilkan
perubahan yang sangat berarti bagi industri ini. Industri anggur Australia mampu
menciptakan anggur dengan mutu produk dengan kualitas ekspor yang setara
dengan kemampuan untuk meningkatkan 5 kali harga buah anggur menjadi anggur
ekspor.
Klaster industri Anggur Victoria dalam lima tahun terakhir ini mampu
menyumbangkan kontribusi besar pada perekonomian nasional yaitu sebesar 1,6
milliar dollar Australia di akhir bulan Juni 2000. Pertumbuhan kilang pengolah anggur
di Australia juga bertambah sangat pesat.
Pada tahun 1995, pemerintah Australia melakukan suatu analisis menyeluruh
terhadap industri anggur yang dilakukan oleh the Australian Wine Foundation (suatu
yayasan perkumpulan petani anggur), dalam usaha agar mendorong arah
pengembangan yang lebih maju untuk 30 tahun kedepan dalam bentuk rencana
strategi industri anggur sampai tahun 2025. Strategi industri tersebut disajikan dalam
suatu rencana nasional dengan target penjualan tahunan $ 4.5 milyar Australia
sampai tahun 2025. Dan rencana tersebut dicapai dengan misi untuk menjadi
penyalur anggur terbaik di dunia dan menciptakan anggur dengan merk pilihan
utama penggemar anggur dunia. Selain itu keunggulan utama yang dimiliki klaster
industri anggur Victoria adalah adanya dukungan pemerintah dalam merumuskan
perencanaan strategis industri anggur, adanya peraturan pemerintah yang sangat
menyokong pertumbuhan industri anggur, adanya pemakaian bersama suatu
teknologi antar industri serta dukungan pemerintah dari segi promosi internasional
secara bersama-sama.
Sejak tahun 1998, produksi anggur curah meningkat sekitar 12 kali lipat dan
pada periode yang sama telah tumbuh lebih dari 350 industri pengolahan anggur
(kebanyakan tumbuh sebagai industri kecil menengah). Terdapat 5 industri besar
pengolah pengolah anggur yaitu Southcorp Wines, BRL Hardy, Orlando Wyndham
dan Beringer Blass, yang menguasai hampir 70% dari total produksi anggur. Dan
23
kelima industri besar ini mampu menghasilkan anggur yang termasuk dalam 20 merk
anggur terbaik.
Klaster industri anggur Australia mampu menghasilkan kurang lebih 1000 ton
anggur curah per tahun. Dibandingkan terhadap beberapa negara bagian penghasil
anggur di Australia, klaster industri Victoria merupakan kumpulan industri anggur
terbesar di Australia dengan jumlah industri 336 buah, yang kebanyakan
diklasifikasikan sebagai Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan jumlah pemasok
mencapai 708 buah, organisasi anggur sebanyak 167 organisasi dan distributor yang
terlibat dalam klaster industri sebanyak 154 buah.
Studi Sistem
Perkembangan yang terjadi di dunia nyata memberikan konsekuensi logis
terhadap peningkatan kompleksitas persoalan. Semakin kompleks sebuah persoalan
di dunia nyata maka semakin dituntut suatu pola pikir yang integratif dalam
penyelesaiannya sehingga diperoleh suatu solusi yang optimal. Persoalan dunia
nyata dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang di dalamnya bisa terdiri dari
beberapa sub sistem, sehingga persoalan dapat diselesaikan secara bertahap
dengan sebuah metodologi yang sistematis yang dikenal dengan metodologi sistem.
Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metodologi sistem mempunyai tujuan untuk
mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhan-
kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Analisis dengan metodologi ini
akan menghasilkan satu set alternatif dari kebutuhan yang telah diidentifikasi.
Selanjutnya dikatakan bahwa metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap
analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yang meliputi ; (1) analisis kebutuhan, (2)
identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5)
determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi
dan finansial. Langkah ke-1 sampai ke-6 tersebut selanjutnya disebut dengan
Analisis Sistem.
Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan obyek yang berkaitan di antara satu
obyek dengan obyek yang lainnya dan antar atribut-atributnya serta keterkaitannya
dengan lingkungan dengan membentuk suatu sinergi (Schoderbek,1985). Manetch
and Park (1985) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling
berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari
tujuan-tujuan. Perbedaan definisi di atas terletak pada pernyataan bahwa di dalam
sistem yang berinteraksi tidak murni obyeknya melainkan ada komponen intrinsik
yang berinteraksi yaitu atribut yang relevan yang terdapat pada obyek tersebut.
24
Pada sebuah organisasi dapat digambarkan kerangka sistem yang sekaligus
menunjukkan posisi sistem yang terdiri dari komponen-komponen dengan
lingkungannya yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 11. Penggambaran
skema tersebut dapat mempermudah dalam menentukan batasan sistem, identifikasi
komponen dan analisisnya. Lingkungan merupakan elemen di luar sistem yang
seringkali tidak dapat dikendalikan. Suatu obyek mungkin termasuk dalam sistem
dan lingkungan. Eriyatno (2003) membagi komponen input menjadi input endogen
(input yang terkendali) dan input eksogen (input yang tidak terkendali) serta
mengklasifikasikan output kedalam output yang dikehendaki dan output yang tidak
dikehendaki. Identifikasi dan pendefinisian yang benar akan seluruh bagian dari
sistem di dalam sebuah persoalan sistem akan sangat menentukan validasi dari hasil
sebuah studi sistem. Parameter sistem harus ditentukan terlebih dahulu untuk dapat
mengelola sistem tersebut sehingga mampu mencapai tujuan yang diinginkan,
manajemen/pengelolaan sistem tersebut dalam kerangka sistem akan menentukan
kinerja umpan balik.
Simatupang (1995) mengatakan bahwa sistem sebagai teori pertamakali
dikembangkan oleh Ludwig Von Bertalanffy pada tahun 1940-an dan memberi nama
General System Theory (GST). Selanjutnya mulai bermunculan ide dan metodologi
sistem antara lain Norbert Wiener dengan metode Cybernetics (1948), Jay W.
Forrester dengan metode Systems Dynamics (1961), Russel L. Ackoff dengan
metode System Approach in Operation Research (1978), Peter Checkland & Jim
Scholes dengan Soft System Methodology (1990) serta Michael C. Jackson & Robert
L. Flood dengan metode Total Systems Intervention (1991). Evolusi ilmu sistem oleh
Blanchard dan Fabricky (1998) digambarkan melalui perkembangan dari cybernetics,
general system theory dan systemology.
25
Lingkungan
Gambar 11. Organisasi, sumberdaya dan lingkungannya (Schoderbek, 1985)
Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem merupakan pendekatan terpadu yang memandang suatu
persoalan dengan memperhatikan interaksi antara obyek-obyek yang
menggabungkan obyek-obyek tersebut sehingga membentuk keseluruhan
(Schoderbek, 1985). Prinsip dasar dari pendekatan sistem adalah (1) Suatu sistem
lebih besar daripada jumlah komponen sistem tersebut, (2) Bagian dari sistem yang
dipelajari harus dapat diduga, (3) Meskipun tiap sub sistem berdiri sendiri, sub sistem
ini merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, (4) Adanya pengorbanan suatu
tujuan jika ingin meningkatkan tujuan lain, (5) Sistem yang kompleks harus dipecah
ke dalam sub-sistem yang lebih kecil sehingga dapat dianalisis dan dimengerti
sebelaum digabungkan kembali, (6) Komponen sistem saling berinteraksi,
perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi seluruh komponen dan (7)
Semua sistem cenderung mencapai keseimbangan yang merupakan keseimbangan
dari berbagai kekuatan dari luar sistem.
Schoderbeck (1985) megatakan bahwa terdapat tiga fase utama dalam
melakukan studi sistem yang menggunakan pendekatan sistem yaitu fase
konseptualisasi, fase kuantifikasi dan fase komputerisasi. Pendekatan sistem
merupakan multidisiplin ilmu, beberapa kompetensi yang diperlukan di antaranya
Konsumen
Karyawan
Bahan dan Peralatan
Kapital
Tanah
Input Proses Output
Teknologi
Pesaing
Masyarakat Umum
Pemerintah
Ekologi
Pengendalian umpan balik
Organisasi
26
adalah tersedianya (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) Kerja tim
(multidisiplin), (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non – kuantitatif,
(5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan aplikasi
komputer (Eriyatno, 2000).
Model Sistem Pengukuran Kinerja
Peppard dan Rowland (1995) mengatakan bahwa pengukuran kinerja sebuah
perusahaan atau organisasi merupakan kunci untuk menjadi efektif dan efisien. Jika
tidak ada pengukuran berarti tidak bisa dikelola. Persoalan yang sering dihadapi
berkaitan dengan implementasi sebuah sistem pengukuran kinerja adalah adanya
kesalahpahaman perancang maupun praktisi dalam menerjemahkan beberapa
komponen dasar yang meliputi ukuran kinerja (performance measure), pengukuran
kinerja (performance masurement) dan sistem pengukuran kinerja (performance
measurement system). Ketidaktepatan ini dapat menimbulkan ketidak optimalan
bahkan kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Suwignjo (1999) mengemukakan bahwa terdapat beberapa definisi ukuran
kinerja yang dapat dijadikan referensi penelitian yaitu ; (1) Karakteristik output yang
diidentifikasi untuk tujuan evaluasi, (2) Indikator-indikator numerik atau kuantitatif
yang menunjukkan seberapa jauh masing-masing sasaran dapat dicapai (3) Tanda-
tanda vital dari sebuah organisasi yang mengukur secara kuantitatif bagaimana
sebuah aktifitas baik berdasarkan proses maupun output dapat mencapai suatu
tujuan tertentu dan (4) Deskripsi kuantitatif yang menyatakan kualitas produk
maupun layanan dari sebuah proses atau sistem.
Pada penelitian ini ukuran kinerja yang dielaborasi akan mencakup dua aspek
baik tangible maupun intangible. Indikator yang berkaitan dengan aspek lingkungan
dan sosial juga merupakan komponen yang perlu digali karena memberikan
pengaruh terhadap kinerja klaster secara agregat sistem. Sebagai konsekuensinya
maka akan dimungkinkan munculnya indikator-indikator kualitatif yang selanjutnya
dapat diolah dengan metode tertentu untuk menghasilkan indikator kuantitatif.
Menurut Armstrong dan Baron (1998), Pengukuran Kinerja adalah suatu
strategi dan pendekatan terpadu untuk menghasilkan keberhasilan yang
berkelanjutan pada suatu organisasi dengan peningkatan kinerja dari orang-orang
yang bekerja di dalamnya dan dengan mengembangkan kapabilitas kontribusi baik
secara tim maupun individu. Sementara itu Fletcher dalam Armstrong (1998)
memberikan alternatif lain tentang definisi pengukuran kinerja yaitu suatu
pendekatan untuk menghasilkan sebuah visi dari suatu maksud dan tujuan dari
organisasi, membantu setiap karyawan untuk mengerti dan menyadari kontribusi
27
mereka dalam organisasi dan juga mengelola dan meningkatkan kinerja baik individu
maupun organisasi.
Sistem Pengukuran Kinerja merupakan suatu cara sistematis untuk
mengevaluasi input, output, transformasi dan produktivitas dalam suatu operasi
manufaktur maupun non manufaktur (Suwignjo, 1985). Selanjutnya dikemukakan
bahwa sistem pengukuran kinerja adalah sebuah alat untuk menyeimbangkan
ukuran-ukuran ganda (biaya, kualitas dan waktu) melalui beberapa level (organisasi,
prosess dan orang).
Menurut Neely, et al. (1990) terdapat beberapa definisi berkaitan dengan ketiga
terminologi di atas yang dipandang lebih sistematis yang diberikan oleh Cambridge
Research Group (kelompok yang berfokus pada sistem pengukuran kinerja) yaitu :
1. Suatu ukuran kinerja adalah sebuah matriks yang digunakan untuk
mengkuantitatifkan efisiensi dan efektifitas dari sebuah tindakan.
2. Pengukuran kinerja adalah proses kuantifikasi efisiensi dan efektifitas sebuah
tindakan.
3. Sistem Pengukuran Kinerja adalah kumpulan matriks yang digunakan untuk
mengukur baik efisiensi maupun efekktifitas dari tindakan-tindakan.
Definisi ini yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan yang mendasari
penelitian mengenai perancangan sistem pengukuran kinerja secara komprehensif
pada sebuah klaster agroindustri ini.
Perkembangan Model Sistem Pengukuran Kinerja
Perancangan sistem pengukuran kinerja sudah pernah dilakukan oleh
beberapa peneliti sebelumnya dalam beberapa kasus yang berbeda. Banyak peneliti
telah melakukan perancangan sistem pengukuran kinerja yang didasarkan pada
kondisi keuangan secara tradisional telah gagal untuk diterapkan pada sebuah
lingkungan bisnis yang dinamis (Kaplan, 1983; Kaplan, 1984 ; Suwignjo 1999).
Beberapa model lain dikembangkan untuk situasi yang lain di antaranya Activity
Based Costing System (Cooper, 1992), Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton,
1996), SMART System (Cross and Lynch, 1989) dan beberapa penelitian lain yang
secara umum memiliki kerangka pemikiran perancangan sebuah sistem pengukuran
kinerja. Pada tahun 1999 sebuah penelitian dikembangkan oleh Suwignjo (1999),
penelitian ini lebih berfokus pada penggunaan metode kuantitatif untuk sebuah
sistem pengukuran kinerja yang lebih dikenal dengan model Quantitative Method for
Integrated Performance Measurement Systems (QM-IPMS). Sampai dengan saat ini
masih banyak penelitian sistem pengukuran kinerja yang telah dan sedang
28
dikembangkan, namun belum terdapat suatu penelitian sistem pengukuran kinerja
yang berfokus pada klaster agroindustri hasil laut, oleh karena itu untuk melengkapi
peta penelitian tentang sistem pengukuran kinerja maka pada penelitian ini akan
dikembangkan sebuah model pengukuran kinerja komprehensif pada sistem klaster
agroindustri hasil laut khususnya di Indonesia.
Strategic Measurement Analysis and Reporting Technique (SMART) System
Salah satu Model sistem pengukuran kinerja yang akan menjadi referensi
dalam perancangan model sistem pengukuran kinerja komprehensif untuk Klaster
Agroindustri adalah SMART System. Model ini dikembangkan pertama kali di Wang
Laboratory, Inc., Lowell, Massachusetts (Cross and Lynch, 1989). Keberhasilan
model ini diterapkan dengan menggunakan pendekatan Just In Time sebagai upaya
untuk mendefinisikan beberapa kerangka kerja berikut :
Pengukuran departemen-departemen dan fungsi-fungsi untuk memastikan
bahwa mereka memberikan kontribusi secara terpisah atau bersama-sama
dalam menentukan misi strategi manufaktur.
Keterkaitan operasi dengan tujuan strategis
Integrasi informasi finansial dan non-finansial dalam suatu cara yang dapat
digunakan oleh para manajer operasi.
Fokus pada seluruh aktifitas bisnis pada pemenuhan kebutuhan bisnis yang akan
datang seperti yang diinginkan oleh konsumen.
Perubahan kinerja, insentif dan sistem reward seperti yang diinginkan.
Kerangka kerja SMART System secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar
12. Di mana pada level paling puncak, maka visi bisnis akan membentuk dasar dari
strategi korporasi. Manajemen kemudian dapat membuat aturan portfolio untuk
masing-masing unit bisnis misalnya aliran kas, pertumbuhan dan inovasi. Sumber
daya yang ada dialokasikan untuk memenuhi aturan portofolio tersebut. Namun
demikian tidak tampak jelas bagaimana sumberdaya tersebut dialokasikan.
Pada level kedua kerangka kerja sistem SMART, tujuan dari masing-masing
unit bisnis didefinisikan karakteristik pasar dan finansialnya. Strategi untuk mencapai
tujuan ini selanjutnya dirumuskan. Sebagian unit usaha mendefinisikan ukuran
sukses dari :
(1) Pencapaian tujuan jangka pendek pada tingkat tertentu berupa aliran kas yang
positif dan profitabilitas.
(2) Pencapaian tujuan jangka panjang dari pertumbuhan dan penetrasi pasar.
29
Level ketiga menghasilkan sistem operasi untuk masing-masing unit bisnis,
lebih banyak merupakan tujuan operasi yang bersifat tangible dan prioritas dapat
didefinisikan dalam bentuk kepuasan pelanggan, fleksibilitas dan produktivitas.
Kemudian pada level keempat atau yang paling bawah dari hirarki sistem SMART,
menyatakan tujuan dari setiap fungsi ataupun departemen dari masing-masing unit
bisnis untuk meningkatkan kualitas, waktu pengiriman dan menurunkan waktu
proses dan biaya.
Visi Korporasi
Ukuran finansial
Ukuran pasar
Gambar 12. Kerangka kerja dari Sistem SMART (Dixon, et al,1993)
Berdasarkan karakteristik agroindustri hasil laut, maka beberapa aspek perlu
untuk dipertimbangkan dalam pengembangan model pengukuran kinerja untuk
klaster agroindustri hasil laut kedepan. Aspek tersebut di antaranya adalah ukuran-
ukuran intangible seperti aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatan yang dalam
sebuah klaster agroindustri merupakan aspek yang sangat menentukan kinerja
sebuah klaster secara komprehensif.
Kepuasan konsumen
Fleksibili-tas
Produkti-vitas
Kualitas Pengiriman Waktu Proses
Biaya
Unit-unit bisnis
Sistem Operasi Unit
Departemen dan Stasiun Kerja
Operasi-operasi
Fokus Eksternal
Fokus Internal
30
Balanced Scorecard
Kaplan dan Norton (1996) mengembangkan Balanced Scorecard sebagai satu
model sistem pengukuran kinerja yang memperhatikan baik aspek finansial maupun
non finansial. Aspek non finansial digunakan untuk mengevaluasi peningkatan
kinerja lokal untuk bagian penerimaan dan pelayanan konsumen, sementara itu
aspek finansial secara agregat lebih diutamakan untuk melihat kinerja dari para
senior manajer yang juga dapat dilihat berdasarkan kinerja dari level-level di
bawahnya. Selanjutnya kerangka kerja dari Model Balanced Scorecard dapat dilihat
pada Gambar 13.
Lebih lanjut Kaplan dan Norton (1996) mengatakan bahwa Balanced Scorecard
menegaskan bahwa ukuran finansial dan non finansial harus merupakan bagian dari
sistem informasi untuk karyawan pada semua level dari sebuah organisasi.
Karyawan lini depan harus mengerti konsekuensi finansial dari setiap aktivitas dan
keputusan yang dilakukan, eksekutif senior harus paham terhadap komponen-
komponen driver yang menentukan keberhasilan finansial jangka panjang.
Balanced Scorecard lebih bertujuan pada bagaimana kumpulan ukuran kinerja
baik financial dan non financial dilakukan. Ukuran-ukuran kinerja tersebut dilakukan
dengan proses top down melalui misi dan strategi dari unit bisnis. Balanced
scorecard harus menterjemahkan misi dan strategi unit bisnis ke dalam ukuran dan
tujuan yang tangible. Ukuran-ukuran tersebut menunjukkan keseimbangan antara
ukuran-ukuran eksternal dari pemegang saham dan konsumen dan ukuran internal
yang diwakili oleh proses unit bisnis, inovasi dan pertumbuhan. Ukuran-ukuran yang
diseimbangkan antara ukuran-ukuran hasil yang merupakan akibat dari sebuah
usaha masa lalu dan akan menentukan kinerja yang akan datang.
Balanced Scorecard lebih dari sebuah sistem pengukuran kinerja taktis
ataupun operasional. Perusahaan yang inovatif menggunakan scorecard sebagai
satu sistem manajemen strategi untuk mengelola strategi melalui suatu langkah
panjang. Perusahaan tersebut menggunakan fokus pengukuran pada scorecard
untuk menyelesaikan proses manajemen yang kritis antara lain :
(1) Klarifikasi dan menterjemahkan visi dan strategi
(2) Mengkomunikasikan dan mengkaitkan tujuan dan ukuran strategis
(3) Merencanakan, menentukan target-target dan meluruskan inisiatif strategis
(4) Meningkatkan strategi umpan balik dan pembelajaran.
(Kaplan dan Norton, 1996).
31
Finansial Untuk ber-hasil secara financial, bagaimana cara menun-jukkan pada para share holder
1 2 3 Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Gambar 13. Kerangka kerja Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996)
Model Integrated Performance Measurement System (IPMS)
Model IPMS membagi level bisnis menjadi empat tingkatan yaitu (1) (Bisnis
Induk), (2) Unit Bisnis, (3) Proses Bisnis dan (4) Aktivitas. Tingkatan tersebut dapat
berupa fisik dan logis yaitu satu kondisi di mana tingkatan tidak bisa dilihat secara
fisik dalam organisasi.
Level bisnis induk menunjukkan bisnis secara keseluruhan yang bisa terdiri
atas beberapa unit bisnis, dalam hal ini setiap unit bisnis diartikan sebagai satu unit
yang merupakan bagian dari organisasi yang melayani sebagian segmen pasar
dengan tuntutan pasar yang bersaing. Perbedaan kebutuhan pasar memisahkan
satu unit bisnis dengan yang lain.
Setiap unit bisnis selanjutnya dapat terdiri dari beberapa proses bisnis yang
secara garis besar dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu :
Visi dan Strategi
Untuk memuaskan shareholder dan konsumen, proses usaha apa yg harusnya diunggulkan?
Proses Bisnis Internal
1 2 3 Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Untuk mencapai visi, apa yg seharusnya dtunjukkan pada konsumen?
Konsumen 1 2 3 Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Pembelajaran dan Pertumbuhan
1 2 3 Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Untuk mencapai visi, bagaimana seharusnya kita menjaga keberlanjutan untuk berubah & meningkat?
32
(1) Proses Inti, yaitu proses yang menunjukkan alasan dasar bagi keberadaan
organisasi.
(2) Proses pendukung, yaitu proses-proses lain yang ditambahkan dalam proses
inti untuk mendukung proses inti, sehingga dalam hal ini proses bisnis inti
merupakan pemangku kepentingan (stakeholder, stakeholder) dari proses
pendukung.
Secara skematis pembagian level pada pendekatan IPMS dapat dilihat pada Gambar
14 berikut ini :
Bisnis Induk
Unit Bisnis
Gambar 14. Pembagian Level Bisnis berdasarkan Pendekatan IPMS (Bittici, 1996)
Pada keempat level tersebut di atas selanjutnya diidentifikasi Indikator Kinerja
Kunci (IKK) atau Key Performance Indicator (KPI) berdasarkan kebutuhan pemangku
kepentingan, external monitor dan tujuan. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam
pada bangunan model IPMS adalah sebagai berikut :
(1) Identifikasi kebutuhan dari masing-masing stakeholder.
(2) Membandingkan kemampuan bisnis dalam memenuhi kebutuhan stakeholder
dengan bisnis lain yang sejenis (monitor eksternal)
(3) Menetapkan tujuan-tujuan bisnis.
(4) Menentukan Indikator Kinerja Kunci (IKK)
(5) Melakukan validasi IKK.
(6) Melakukan spesifikasi IKK.
(Bittici dalam Suwignjo, 1999).
Proses Bisnis
Aktivitas
33
Penelitian yang dilakukan merujuk pada metode IPMS kususnya dalam hal
identifikasi stakeholder dan penentuan Indikator Kinerja Kunci (IKK) yang dijadikan
ukuran keberhasilan sebuah klaster agroindustri hasil laut. Pada metode IPMS
indikator yang dielaborasi adalah indikator-indikator kuantitatif dan tangible,
sementara itu pada penelitian yang dilakukan akan dikembangkan menjadi indikator
tangible dan intangible.
Metode-metode dalam Penilaian Kriteria
Perancangan Model Sistem Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Klaster
Agroindustri dengan mengembangkan beberapa model memerlukan beberapa
penilaian terhadap kriteria-kriteria untuk menentukan indikator kinerja kunci (IKK).
Terdapat beberapa karakteristik penilaian yang akan dilakukan baik dari sisi penilai
maupun komponen yang dinilai. Karakteristik ini akan menentukan metode yang
digunakan dalam mengolah data hasil penilaian tersebut. Beberapa metode akan
diuraikan dalam bagian ini secara lebih rinci.
Metode fuzzy
Dalam memberikan penilaian terhadap sebuah fenomena seringkali digunakan
variabel linguistik yang sifat kebenarannya masih samar, kebenaran yang demikian
disebut dengan kebenaran fuzzy. Namun demikian ketidakpastian (vagueness) yang
menjadi karakteristik dari bahasa natural tidak selalu mengimplikasikan hilangnya
ketelitian dan keberartian.
Pencetus gagasan logika fuzzy adalah Prof. L. A. Zadeh dari California
University di Berkeley. Teori gugus fuzzy pertamakali hanya dipandang sebagai
teknik yang secara matematis mengekspresikan ambiguitas dalam bahasa. Namun
saat ini, teori gugus fuzzy dikembangkan sebagai pengukuran beragam fenomena
ambiguitas secara matematis yang mencakup konsep peluang.
Banyak bentuk fungsi keanggotaan standard yang dimunculkan dalam literatur
ilmiah, di antaranya adalah tipe Z, tipe lamda, tipe π, tipe U atau TFN dan tipe S.
Fungsi keanggotaan standard memiliki nilai ternormalisasi dengan maksimum µ = 1
dan minimum µ = 0. Menurut Harwina (2002) di antara fungsi keanggotaan tersebut
yang relatif sering digunakan dalam implementasi adalah Triangular Fuzzy Number
(TFN).
Dalam TFN, setiap nilai tunggal (crisp) memiliki fungsi keanggotaan yang terdiri
dari tiga nilai yang masing-masing merepresentasikan nilai bawah, nilai tengah dan
34
nilai atas. Secara grafis fungsi keanggotaan dengan TFN dapat digambarkan seperti
pada Gambar 15 berikut :
µA(x)
1
a1 a2 a3 x
Gambar 15 Triangular Fuzzy Number (TFN) A = (a1, a2, a3) (Bojadziev, 1997)
Fungsi keanggotaan untuk TFN pada gambar 3 adalah sebagai berikut :
µA(x) = 0 untuk x< a1 …………………………….(4)
= untuk a1 < x < a2 …………………………….(5)
= untuk a2 < x < a3 …………………………….(6) a3 - x a3 – a2
x – a1 a2 – a1
Fuzzifikasi dan Defuzzifikasi Nilai
Fuzzifikasi merupakan pemrosesan suatu bilangan secara matematik fuzzy
berdasarkan metode representasi yang digunakan. Metode representasi yang bisa
digunakan di antaranya adalah model TFN, model pi, model Z dan model trapezioda.
Masing-masing model tersebut mempunyai formulasi matematis untuk
mendefinisikan nilai fuzzy dari bilangan yang diolah.
Defuzzifikasi merupakan proses pengubahan output fuzzy ke output yang
bernilai tunggal. Terdapat banyak metode defuzzifikasi, namun yang biasa
digunakan adalah metode centroid dan maksimum. Di dalam metode centroid, nilai
tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari center of
gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy. Sedangkan di dalam metode
makimum, satu dari nilai-nilai variabel yang merupakan nilai kepercayaan maksimum
gugus fuzzy dipilih sebagai nilai tunggal untuk variabel output.
35
Proses Hirarki Analitik (PHA)
Menurut Saaty (1990), metode PHA merupakan suatu alat untuk menentukan
tingkat pengaruh suatu elemen terhadap suatu permasalahan melalui skala
perbandingan fundamental atas kemampuan individu dalam membuat suatu
perbandingan secara berpasangan terhadap beberapa elemen yang dibandingkan.
Lebih lanjut Saaty mengatakan bahwa dalam memecahkan persoalan dengan
analisis logis eksplisit, terdapat tiga prinsip yaitu menyusun hirarki, prinsip
menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi logis.
Proses PHA adalah suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan
bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan
mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan
memperoleh pemecahan yang diinginkan. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam
perhitungan menggunakan metode PHA adalah sebagai berikut :
(1) Perbandingan berpasangan
Masing-masing elemen di setiap level hirarki diperbandingkan dan dilakukan
penilaian gabungan dengan menggunakan rata-rata geometri. Kemudian
dilakukan perhitungan sintesis dengan melakukan pembobotan dan
penjumlahan untuk menghasilkan bilangan tungal yang menunjukkan prioritas
tiap elemen. Hasil sintesa ini menentukan prosentase prioritas relatif
menyeluruh masing-masing elemen.
(2) Perhitungan rasio konsistensi
Dalam perbandingan berpasangan dapat terjadi bahwa pertimbangan yang
diberikan tidak konsisten yang menyebabkan matriks menjadi tidak konsisten
sehingga dilakukan uji konsistensi dengan langkah-langkah berikut :
Menghitung nilai λmaks dengan cara :
- mengalikan nilai kolom ke-n dengan bobot barisan ke-n
- menjumlahkan hasilnya perbaris
- membagi jumlah baris tersebut dengan bobot masing-masing baris
- menghitung rata-rata dari jumlah tersebut.
Menghitung indeks konsistensi (CI) dengan menggunakan rumus :
CI = ..............................(7)
λmaks – n n - 1
36
keterangan :
λmaks = nilai eigen maksimum
n = ukuran matriks
CI = indeks konsistensi
Menghitung rasio konsistensi dengan rumus :
CR = ..............................(8)
CI RI
Harga CR menurut Saaty (1990) tergantung dari matriks yang dibentuk, nilai Cr
adalah 0,05 untuk matriks 3 x 3, 0,08 untuk 4 x 4 serta 0,1 untuk yang
berukuran di atas 4 x 4. Dari perhitungan ini apabila didapatkan nilai ≤ 10 %,
maka penilaian dianggap tidak konsisten
(3) Perhitungan uji konsistensi hirarki
Pengujian konsistensi hirarki, dilakukan dengan menggunakan hasil indeks
konsistensi dan prioritas relatif tiap matriks perbandingan berpasangan pada
tingkat hirarki tertentu dengan menggunakan formula sebagai berikut :
CRH = . .............................(9) 1,11
+==
∑∑ ji
n
jij
h
i
UWij
keterangan:
j = tingkat hirarki (1,2,....h) nij = jumlah elemen pada tingkatan hirarki ke j Wij = prioritas relatif dari elemen ke i tingkatan hirarki ke-j Uj+1 = indeks konsistensi semua elemen pada tingkatan hirarki ke j+1 yang dibandingkan dengan elemen tingkatan hirarki ke-j
Dalam penggunaannya rumus di atas dapat disederhanakan menjadi :
CCI = CI1 + (EV1) x (EV2) ............................(10)
CRI = RI1 + (EV1) x (EV2) ............................(11)
CRH = ............................(12)
keterangan :
CRH = Rasio konsistensi hirarki CCI = Indeks konsistensi hirarki
CCI CRI
37
CRI = Indeks konsistensi acak hirarki CI1 = Indeks konsistensi matriks perbandingan berpasangan pada hirarki tingkat pertama CI2 = Indeks konsistensi matriks perbandingan berpasangan pada hirarki kedua (dalam bentuk vektor kolom) EV1 = Nilai prioritas dari matriks perbandingan berpasangan pada hirarki tingkatan pertama (dalam bentuk vektor baris) RI1 = Indeks konsistensi acak dari matriks perbandingan berpasangan pada hirarki tingkatan pertama (j) RI2 = Indeks konsistensi acak dari matriks perbandingan berpasangan Hasil penilaian hirarki secara keseluruhan dapat diterima jika mempunyai rasio
konsistensi (CRH) lebih kecil atau sama dengan 10%.
Metode Simple Multi Attribute Rating Technique (SMART)
Menurut Goodwin (2000) metode Simple Multi-Attribute Rating Technique
(SMART) direkomendasikan karena kesederhanaan dari respon yang diperlukan
maupun cara untuk menganalisis respon tersebut. Metode ini merupakan satu
metode yang bersifat transparan sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan
pemahaman masalah dan dapat diterima oleh pengambil keputusan yang biasanya
tidak sepenuhnya percaya pada pendekatan matematik ‘black box’ sepenuhnya.
SMART dapat merupakan suatu alat yang berguna dalam konferensi keputusan, di
mana sejumlah pengambil keputusan bertemu untuk mempertimbangkan sebuah
pengambilan keputusan. Beberapa tahapan utama dalam analisis dengan metode
SMART ini adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi pengambil keputusan
2. Identifikasi alternatif tindakan
3. Identifikasi atribut yang relevan dengan persoalan keputusan
4. Untuk masing-masing atribut, tentukan nilai-nilai untuk mengukur kinerja dari
alternatif-alternatif pada atribut tersebut
5. Tentukan bobot pada masing-masing atribut tersebut
6. Untuk masing-masing alternatif, ambil bobot rata-rata dari nilai-nilai yang
diberikan untuk alternatif tersebut.
7. Buatlah sebuah keputusan
8. Lakukan analisis sensitivitas
Identifikasi atribut dilakukan dengan membangun pohon nilai keputusan yang
berisi atribut-atribut yang diawali dengan atribut utama dan dilanjutkan dengan
pencabangan yang merupakan atribut-atribut turunan dari atribut utama. Proses
diferensiasi atribut dilakukan terus hingga diperoleh atribut-atribut yang spesifik di
38
mana pengambil keputusan mampu membandingkan dengan baik antara satu atribut
dengan atribut yang lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
membangun sebuah pohon nilai adalah (1) kelengkapan yaitu semua atribut yang
diperlukan sudah teridentifikasi, (2) operasionalitas, yaitu harus dipastikan bahwa
atribut pada level terendah merupakan atribut yang mudah dibandingkan oleh
pengambil keputusan, (3) bisa didekomposisi, artinya masing-masing atribut harus
dipastikan independen satu sama lain, (4) tidak berlebihan atau duplikasi, di mana
setiap atribut harus bersifat unik tidak dapat saling menggantikan dan (5) minimasi
ukuran, artinya pohon nilai yang terbangun diupayakan seringkas mungkin namun
tetap memenuhi kaidah-kaidah pada nomor-nomor sebelumnya (Goodwin & Wright,
2000).
Metode Electre II
Tabucanon (1988) merumuskan metode Electre II yang merupakan suatu
algoritma yang disusun untuk melengkapi teknik Electre I dengan memberikan
tambahan konsep keterkaitan antara ranking kuat dan rangking lemah, penjelasan
tentang concordance tinggi, rata-rata dan rendah serta discordance tinggi dan rata-
rata. Kondisi concordance untuk pasangan alternatif (k, ℓ) didefinisikan oleh :
pkWkWkW
kWkWkC ≥++
+= ∞+
∞+
),(),(),(),(),(),( * lll
lll .........................(13)
dan
..........................(14) ),(),( * ll kWkW ≥+
keterangan :
),( lkW + = jumlah bobot di mana alternatif k dinyatakan lebih baik dari alternatif ℓ ),( lkW ∞ = jumlah bobot di mana alternatif k dinyatakan tidak berbeda dengan ℓ ),(* lkW = jumlah bobot di mana alternatif k dinyatakan lebih jelek dari alternatif ℓ
Dengan mendefinisikan tiga level pengurangan dari nilai batas dari concordance
(keharmonisan) yaitu p*, po dan p* (1 ≥ p* ≥ po ≥ p*) di mana berturut-turut dapat
disebut tinggi, rata-rata dan rendah, maka tiga tipe concordance dapat didefinisikan
seperti berikut ini :
39
1. Concordance tinggi yang didefinisikan oleh pertidaksamaan
C(k, ℓ) ≥ p* ..........................(15)
2. Concordance rata-rata yang didefinisikan oleh pertidaksamaan
C(k, ℓ) ≥ po ….......................(16)
3. Concordance rendah yang didefinisikan oleh pertidaksamaan
C(k, ℓ) ≥ p* ..........................(17)
Untuk setiap pasangan alternatif (k, ℓ) nilai indeks discordance dihitung
menggunakan persamaan berikut :
*
))(),((),(
111
maxp
xfxfkD
kl
l = …........................(18)
Dengan mendefinisikan dua nilai batas dari discordance yaitu q* dan qo di mana
berturut-turut dapat disebut tinggi dan rata-rata, maka beberapa tipe discordance
dapat didefinisikan seperti berikut ini :
1. Discordance rendah yang didefinisikan oleh pertidaksamaan
D(k, ℓ) ≥ q* ..........................(19)
2. Discordance rata-rata yang didefinisikan oleh pertidaksamaan
qo ≤ D(k, ℓ) ≥ q* ..........................(20)
3. Discordance tinggi yang didefinisikan oleh pertidaksamaan
q* ≤ D(k, ℓ) ..........................(21)
Pada prosedur perankingan, dua tipe dari konsep keterkaitan ranking diperkenalkan
dan terdapat hubungan kuat SF dan hubungan lemah Sf. Akibat dari hubungan ini
adalah muncul dua preferensi yaitu preferensi kuat dan preferensi lemah.
Alternatif Metode Prediksi Kinerja
Nilai kinerja sebuah organisasi dalam hal ini klaster agroindustri ditentukan oleh
nilai kinerja pada tiga kondisi yaitu kinerja masa lalu, kinerja sekarang dan kinerja
yang akan datang. Kinerja yang akan datang perlu diproyeksikan untuk mengetahui
seberapa jauh capaian kinerja yang mungkin diperoleh oleh sebuah organisasi
ataupun klaster agroindustri. Beberapa pendekatan dapat digunakan di antaranya
adalah pendekatan numerik dan pendekatan simulasi.
40
Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Network)
Jaringan saraf tiruan (JST) merupakan salah satu metode yang berbasis
pendekatan simulasi dengan metode numerik di dalamnya dan memungkinkan untuk
digunakan dalam memproyeksikan kinerja yang akan datang. JST merupakan
teknologi yang berakar dari multidisiplin. JST ini memiliki beberapa atribut atau
karakteristik yang unik di antaranya pendekatan universal (pemetaan input-output),
kemampuan belajar dari lingkungan dan beradaptasi dengan lingkungan tersebut
serta mampu membantu asumsi-asumsi lemah tentang fenomena fisik untuk
pembangkitan data input (Haykin, 1994).
Sebuah jaringan saraf merupakan suatu prosesor yang terdistribusi parallel
dan tidak beraturan yang memiliki karakteristik alami dapat menyimpan pengetahuan
hasil pelatihan dan menghasilkan sesuatu yang dapat diimplementasikan. Jaringan
saraf ini merakit kembali otak dalam dua perhatian utama yaitu :
1. Akuisisi pengetahuan dengan jaringan melalui sebuah proses pembelajaran.
2. Kekuatan jaringan antar neuron dikenal sebagai bobot sinaptik yang
digunakan untuk menyimpan pengetahuan.
Prosedur yang digunakan untuk membentuk proses pembelajaran disebut
dengan algoritma pembelajaran, yaitu terdiri dari fungsi yang memodifikasi bobot-
bobot sinaptik di dalam jaringan sehingga menghasilkan rancangan tujuan yang
diinginkan. Modifikasi bobot-bobot merupakan metode tradisional untuk mendesain
jaringan saraf. Misalnya sebuah pendekatan yang paling bagus untuk teori linier
adaptive filter yang telah sukses diterapkan pada bidang-bidang telekomunikasi,
pengendalian, radar, sonar, seismologi dan teknik kesehatan (Haykin,1994). Namun
demikian, adalah hal yang juga memungkinkan untuk sebuah jaringan saraf
memodifikasi tipologinya, yang mana dimotivasi oleh kenyataan bahwa saraf-saraf
otak manusia bisa mati dan bahwa koneksi sinaptik yang baru dapat tumbuh
kembali.
Sebuah saraf merupakan suatu unit pemrosesan informasi yang menjadi
dasar dari operasi-operasi pada neural network. Terdapat tiga elemen basis dari
model saraf yaitu :
1. Sekumpulan sinaptis atau ikatan penghubung, masing-masing dicirikan oleh satu
bobot atau kekuatan. Secara spesifik, satu signal xj pada sinapsis input j
dikoneksikan ke saraf k dikalikan dengan bobot sinaptik wkj.
2. Suatu penambah untuk penjumlah signal-signal input.
3. Suatu fungsi aktivasi untuk pembatasan amplitudo output dari sebuah saraf.
Hasil normalisasi amplitude berkisar pada nilai interval [0,1] atau [1,1].
41
Model saraf (neuron) dapat dilihat pada Gambar 21 termasuk nilai batas eksternal
yang mempunyai pengaruh pada pelemahan input dan fungsi aktivasi. Sebaliknya,
net input dari fungsi aktivasi dapat ditingkatkan dengan mengikutsertakan bias, bias
adalah nilai negatif dari batas tersebut.
Dalam bentuk matematis, dapat menjelaskan sebuah saraf k dengan bentuk
persamaan sebagai berikut :
∑=
=p
jjkjk xwu
1 ............................(22)
dan
)( kkk uy θϕ −= .........................(23)
keterangan :
x1, x2,...,xp adalah signal-signal input
wk1, wk2,..., wkp adalah bobot sinaptik dari saraf k
µk adalah combiner linier output
θk merupakan batas
φ(“) merupakan fungsi aktivasi
yk merupakan signal output dari saraf
Beberapa fungsi aktivasi adalah fungsi batas, fungsi piecewise-linear dan fungsi
sigmoid. Secara jelas struktur sebuah model dari saraf dapat dilihat pada Gambar 16
sampai Gambar 20.
w k1X1
Gambar 16 Model saraf (neuron)
q
w k1
q
w k1
q
.
.
.
.
.
.
X2
Xp
? Φ(“) Output
fungsi
y k
Signal Input
uk
Summing
aktivasi
junction Θk bobot
Bobot sinaptis
42
Gambar 17 Model non linier dari sebuah saraf dengan parameter batas
Gambar 18 Model non linier dari sebuah saraf dengan parameter bias
wk1
q
wk1
q
wk1
q
.
.
.
.
.
.
X 1
X 2
X p
? Φ(“) Output
y k Input
uk
Summing junction
Bobot sinaptik (termasuk bias)
fungsi aktivasi
Θk Nilai batas
wk0
q
X0=+1 Wk0 = bk (bias)
Input tetap
wk1
q
wk1
q
wk1
q
.
.
.
.
.
.
X 1
X 2
X p
? Φ(“) Output
y k Input
uk
Summing junction
Bobot sinaptik (termasuk batas )
fungsi aktivasi
= θ (batasW
Θk batas
wk0
q
X0= - 1 k0 k )
Input tetap
43
Arsitektur Jaringan
Terdapat empat jenis bangunan jaringan yang dapat dijadikan refernsi pada
kajian JST, yaitu :
1. Single-layer Feedforward networks
2. Multilayer Feedforward Networks
3. Recurrent Networks
4. Lattice Structures
Dari keempat jenis bangunan jaringan tersebut multilayer feedforward networks akan
dijadikan basis pada implementasi JST dengan metode back propagation. Beberapa
struktur jaringan yang terbentuk dapat dilihat pada gambar berikut :
In p u t la ye r o f so u rce n od e s
O u tp u t la ye r o f N e u ru on
Gambar 19 Jaringan feedforward dengan saraf layer tunggal
Input layer of source nodes
layer of hidden neuruon
layer of output neurons
Gambar 20 Jaringan Feedforward yang terhubung penuh dengan satu hidden layer dan output layer
44
Bentuk lain adalah jaringan feedforward yang mana tidak semua sumber input
melalui setiap hidden neuron, tergantung pada karakteristik dari signal input yang
terjadi.
Metode peramalan kuantitatif
Menurut Bowermen (2005), teknik peramalan kuantitatif meliputi analisis
regresi, regresi deret waktu, metode dekomposisi, pemulusan eksponensial dan Box-
Jenkins. Analisis regresi merupakan suatu metodologi statistik yang digunakan untuk
menghubungkan beberapa variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam variabel
bebas dan variabel tidak bebas. Variabel tidak bebas dinotasikan dengan y dan
variabel bebas dengan notasi x. Bangunan model regresi adalah sebuah persamaan
yang menghubungkan y dengan x1, x2, …, xn. Model ini biasanya digunakan untuk (1)
menjelaskan sebuah kondisi, (2) memprediksi nilai akan datang dan (3)
mengendalikan nilai melalui variabel-variabelnya.
Metode dekomposisi digunakan jika diduga dalam deret waktu terdapat
komponen kecenderungan, musiman, siklik dan tidak teratur (error). Bentuk umum
dari model dekomposisi adalah sebagai berikut :
ttttt xIRxCLxSNTRy = .....................(24)
keterangan :
yt = nilai yang diamati berdasarkan deret waktu pada periode ke-t
TRt = komponen atau faktor kecenderungan pada periode ke-t
SNt = komponen atau faktor musiman pada periode ke-t
CLt = komponen atau faktor siklik pada periode ke-t
IRt = komponen atau faktor ketidak teraturan pada periode ke-t
Metode pemulusan eksponensial akan efektif digunakan jika komponen-
komponen dari deret waktu dapat berubah sepanjang waktu. Karakteristik model
ditentukan oleh bobot unik yang dinyatakan sebagai konstanta pemulusan. Salah
satu model dari metode pemulusan eksponensial yang sering digunakan adalah
pemulusan eksponensial sederhana yang direpresentasikan dengan formula sebagai
berikut :
tty εβ += 0 ......................(25)
45
keterangan :
ß0 = konstanta pemulusan
εt = nilai ketidakteraturan (error) pada periode ke-t
Keakuratan dari ketiga alternatif metode peramalan kuantitatif yang telah
disinggung di atas ditentukan oleh beberapa capaian parameter di antaranya adalah
Mean Absolute Deviation (MAD), Mean Square Error (MSE) dan Mean Absolute
Percentage Error (MAPE). Metode terbaik yang memberikan keakuratan hasil
tertinggi adalah metode yang memiliki nilai terkecil dari ketiga parameter tersebut.
Dan jika terjadi konflik hasil, maka perlu dilakukan pengambilan keputusan melalui
beberapa pertimbangan luntuk memilih metode terbaik yang akan digunakan dalam
peramalan.