peranan angiotensin

35
PERANAN ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME (ACE) INHIBITOR DALAM PENGOBATAN GAGAL JANTUNG BAB I PENDAHULUAN Sindrom klinis gagal jantung mengakibatkan penurunan kualitas hidup, intoleransi terhadap aktivitas, seringnya keluar masuk rumah sakit, dan peningkatan angka mortalitas. Semua itu adalah persoalan yang penting bagi pasien gagal jantung. Pengobatan yang ideal untuk gagal jantung harus dapat memberikan solusi untuk persoalan tersebut. Saat ini muncul disosiasi antara efek farmakologis jangka pendek dan jangka panjang. Misalnya, baik enoximone dan milrinone dapat memperbaiki gejala jangka pendek, namun mengakibatkan peningkatan angka mortalitas karena kemungkinan terjadinya aritmia. Akibat disosiasi ini dan dominasi pengobatan terkait angka survival, studi efek obat terhadap penurunan gejala, kualitas hidup, dan aktivitas sangat sedikit. Namun, perbaikan gejala, peningkatan kualitas hidup, dan kemampuan untuk beraktivitas menjadi prioritas yang lebih utama dibandingkan survival pada pasien gagal jantung terutama usia lanjut. ACE inhibitor merupakan contoh obat yang baik dalam mengkontribusi perbedaan tersebut. ACE inhibitor terbukti meningkatkan angka survival dan juga meningkatkan kemampuan beraktivitas 1 . BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gagal jantung 1. Definisi Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung merupakan suatu sindrom dimana disfungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup 2 . 2. Etiologi

Upload: trisnososilo

Post on 27-Dec-2015

60 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

sdda

TRANSCRIPT

Page 1: PERANAN ANGIOTENSIN

PERANAN ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME (ACE) INHIBITOR DALAM PENGOBATAN GAGAL JANTUNG

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom klinis gagal jantung mengakibatkan penurunan kualitas hidup, intoleransi terhadap aktivitas, seringnya keluar masuk rumah sakit, dan peningkatan angka mortalitas. Semua itu adalah persoalan yang penting bagi pasien gagal jantung. Pengobatan yang ideal untuk gagal jantung harus dapat memberikan solusi untuk persoalan tersebut. Saat ini muncul disosiasi antara efek farmakologis jangka pendek dan jangka panjang. Misalnya, baik enoximone dan milrinone dapat memperbaiki gejala jangka pendek, namun mengakibatkan peningkatan angka mortalitas karena kemungkinan terjadinya aritmia. Akibat disosiasi ini dan dominasi pengobatan terkait angka survival, studi efek obat terhadap penurunan gejala, kualitas hidup, dan aktivitas sangat sedikit. Namun, perbaikan gejala, peningkatan kualitas hidup, dan kemampuan untuk beraktivitas menjadi prioritas yang lebih utama dibandingkan survival pada pasien gagal jantung terutama usia lanjut. ACE inhibitor merupakan contoh obat yang baik dalam mengkontribusi perbedaan tersebut. ACE inhibitor terbukti meningkatkan angka survival dan juga meningkatkan kemampuan beraktivitas1.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal jantung

1. Definisi

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung merupakan suatu sindrom dimana disfungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup2.

2. Etiologi

Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti yang terjadi pada infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Namun, pada kondisi tertentu, bahkan miokard dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini disebabkan misalnya masalah mekanik seperti regurgitasi katub berat, dan lebih jarang, fistula arteriovena, defisiensi tiamin (beri-beri), dan anemia berat. Keadaan curah jantung yang tinggi ini sendiri dapat menyebabkan gagal jantung, tetapi bila tidak terlalu berat dapat mempresipitasi gagal jantung pada orang-orang dengan penyakit jantung dasar2.

3. Patofisiologi

Page 2: PERANAN ANGIOTENSIN

Bila terjadi gangguan kontraktilitas miokard primer atau beban hemodinamik berlebih diberikan kepada ventrikel normal, jantung akan mengadakan sejumlah mekanisme adaptasi untuk mempertahankan curah jantung dan tekanan darah2.

a. Mekanisme Adaptif

Mekanisme adaptif meliputi hipertrofi miokard, neurohormonal, aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron, aktivasi sitem saraf simpatik, peptida natriuretik, anti diuretik hormon dan endotelin, dan mekanisme Frank-Starling2.

Hipertrofi miokard meningkatkan massa elemen kontraktil dan memperbaiki kontraksi sistolik, namun juga meningkatkan kekakuan dinding ventrikel, menurunkan pengisian ventrikel dan fungsi diastolik2.

Penurunan perfusi ginjal menyebabkan stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin, angiotensin II plasma, dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat pada arteriol eferen (dan sistemik) ginjal, yang menstimulasi pelepasan norepinefrin (noradrenalin) dari ujung saraf simpatik, menghambat tonus vagal, dan membantu pelepasan aldosteron dari adrenal, menyebabkan retensi natrium dan air serta ekskresi kalium di ginjal. Gangguan fungsi hati pada gagal jantung dapat menurunkan metabolisme aldosteron, sehingga meningkatkan kadar aldosteron lebih lanjut2.

Aktivasi sistem saraf simpatik pada gagal jantung kronis melalui baroreseptor, menghasilkan peningkatan kontraktilitas miokard pada awalnya, namun kemudian pada aktivasi sistem RAA dan neurohormonal berikutnya menyebabkan peningkatan tonus vena (preload jantung) dan arteri (afterload jantung), meningkatkan norepinefrin plasma, retensi progresif garam dan air, dan edema. Stimulasi simpatik kronis menghasilkan regulasi-turun reseptor-ß jantung, menurunkan respons jantung terhadap stimulasi. Kejadian ini bersama dengan gangguan baroreseptor, kemudian akan menyebabkan peningkatan stimulasi simpatik lebih lanjut2.

Peptida natriuretik memiliki berbagai efek pada jantung, ginjal, dan system saraf pusat. Peptida natriuretik atrial (atrial natriuretic peptide/ANP) dilepaskan dari atrium jantung sebagai respons terhadap peregangan, menyebabkan natriuresis dan dilatasi. Pada manusia, peptide natriuretik otak (brain natriuretic peptide/BNP) juga dilepaskan dari jantung, terutama dari ventrikel dan dengan kerja yang serupa dengan ANP. Peptida natriuretik bekerja sebagai antagonis fisiologis terhadap efek angiotensin II pada tonus vaskular, sekresi aldosteron, dan reabsorbsi natrium ginjal2.

Kadar hormon antidiuretik (vasopresin) juga meningkat, yang menyebabkan vasokonstriksi dan berperan dalam retensi air dan hiponatremia2.

Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor poten yang disekresikan oleh sel endothelial vaskular yang membantu retensi natrium di ginjal2.

Page 3: PERANAN ANGIOTENSIN

Konstriksi vena sistemik dan retensi natrium serta air meningkatkan tekanan atrium dan tekanan serta volume akhir diastolik ventrikel, pemanjangan sarkomer, dan kontraksi myofibril diperkuat (mekanisme Frank-Starling) 2.

Dengan interaksi kompleks dari faktor-faktor yang saling mempengaruhi ini, curah jantung pada keadaan istirahat merupakan indeks fungsi jantung yang relative tidak sensitif, karena mekanisme kompensasi ini bekerja untuk mempertahankan curah jantung ketika miokard gagal, namun tipa mekanisme kompensasi ini memiliki konsekuensinya. Misalnya, konstriksi yang diinduksi katekolamin dan angiotensin akan meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan cenderung mempertahankan tekanan darah namun meningkatkan kerja jantung dan konsumsi oksigen miokard2.

b. Kelainan Non Jantung

Endotelium vaskular berperan penting dalam regulasi tonus vaskular, secara lokal melepaskan faktor konstriksi dan relaksasi. Peningkatan tonus vaskular perifer pada pasien dengan gagal jantung kronis disebabkan peningkatan aktivitas simpatik, aktivasi sitem RAA, dan gangguan pelepasan faktor relaksasi dari endothelium (endothelium derived relaxing factor/EDRF atau nitrat oksida). Beberapa efek tambahan dari latihan dan terapi obat tertentu (ACE inhibitor) mungkin disebabkan karena perbaikan fungsi endothelial2.

c. Disfungsi Miokard Diastolik

Gangguan relaksasi miokard, karena peningkatan kekakuan dinding ventrikel dan penurunan komplians, menghasilkan gangguan pengisian diastolik ventrikel. Fibrosis iskemik miokard (penyakit jantung koroner) dan left ventrikel hypertrophy/LVH (hipertensi, kardiomiopati hipertrofik) merupakan penyebab tersering, tetapi dapat juga disebabkan oleh infiltrasi miokard, misalnya amiloid. Disfungsi diastolik sering timbul bersama gagal sistolik namun juga bisa berdiri sendiri pada 20%-40% pasien gagal jantung2.

d. Remodeling miokard, hibernasi, dan stunning

Setelah infark miokard luas, proses remodeling terjadi dengan hipertrofi regional dari segmen non infark serta penipisan dan dilatasi daerah yang infark. Akibat dari proses remodeling terjadi perubahan bentuk dan ukuran ventrikel kiri. Hal ini paling terlihat ketika arteri koroner yang terkait infark tetap teroklusi dan tidak mengalami rekanalisasi. Bahkan setelah reperfusi yang berhasil, pemulihan miokard dapat tertunda (stunning miokard). Hal ini berlawanan dengan hibernasi miokard, yang mendiskripsikan disfungsi miokard lebih persisten saat istirahat, sekunder karena penurunan perfusi miokard, bahkan bila miosit jantung tetap viabel dan kontraktilitas membaik dengan revaskularisasi. Miokard yang mengalami stunning atau hibernasi tetap responsif terhadap stimulasi inotropik2.

4. Diagnosis Gagal Jantung

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham.

Tabel 1. Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantug kongestif

Page 4: PERANAN ANGIOTENSIN

Kriteria Mayor Kriteria Minor

- Paroksismal nocturnal dispnea

- Distensi vena jugularis

- Ronkhi

- Kardiomegali

- Edem pulmo akut

- Gallop S3

- Tekanan vena sentral > 16 cm H2O

- Waktu sirkulasi ≥ 25 detik

- Refluks hepatojugular

- Edem pulmo, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi

- Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari setelah mendapat pengobatan untuk gagal jantung kongestif

- Edema kaki bilateral

- Batuk malam hati

- Dyspnea on ordinary exertion

- Hepatomegali

- Efusi pleura

- Penurunan kapasitas vital sepertiga dari nilai normal

- Takikardi ( ≥ 120 kali/menit)

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. Kriteria minor diterima jika tanda tersebut tidak terkait dengan kondisi medis lain3.

Gagal jantung dapat mempengaruhi jantung kiri, jantung kanan, atau keduanya (biventrikel), namun dalam praktek jantung kiri sering terkena. Gagal jantung kanan terisolasi dapat terjadi karena embolisme paru mayor, hipertensi paru, atau stenosis pulmonal. Dengan adanya septum interventrikel, disfungsi salah satu ventrikel potensial dapat mempengaruhi fungsi yang lain. Pasien sering datang dengan campuran gejala dan tanda yang berkaitan dengan kedua ventrikel2.

Tabel 2. Gambaran klinis gagal jantung kiri

Gejala Tanda

- Penurunan kapasitas aktivitas

- Dispnea (mengi, orthopnea, PND)

- Batuk (hemoptisis)

- Letargi dan kelelahan

- Kulit lembab

- Tekanan darah (tinggi, rendah atau normal)

- Denyut nadi (volume normal atau rendah) (alternans/takikardia/aritmia)

Page 5: PERANAN ANGIOTENSIN

- Penurunan nafsu makan dan berat badan - Pergeseran apeks

- Regurgitasi mitral fungsional

- Krepitasi paru

- (± efusi pleura)

Tabel 3. Gambaran klinis gagal jantung kanan

Gejala Tanda

- Pembengkakan pergelangan kaki

- Dispnea (namun bukan orthopnea atau PND)

- Penurunan kapasitas aktivitas

- Nyeri dada

- Denyut nadi (aritmia takikardia)

- Peningkatan JVP

- Edema

- Hepatomegali dan ascites

- Gerakan bergelombang parasternal

- S3 atau S4 RV

- Efusi pleura

Penurunan curah jantung dan penurunan perfusi organ seperti otak, ginjal, dan otot skelet, baik disebabkan oleh gagal jantung kiri atau gagal jantung kanan berat, menyebabkan gejala umum seperti kebingungan mental, rasa lelah dan cepat capek, serta penurunan toleransi aktivitas. The New York Heart Association (NYHA) telah mengklasifikasikan batasan fungsional2.

Tabel 4. Klasifikasi fungsional gagal jantung (NYHA)

Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung (NYHA)

Kelas I

Kelas II

Kelas III

Kelas IV

Tidak ada batasan aktivitas fisik

Sedikit batasan pada aktivitas (rasa lelah, dispnea)

Batasan aktivitas bermakna (nyaman saat istirahat namun sedikit aktivitas menyebabkan gejala)

Gejala saat istirahat

Gambar 1. Algoritma diagnosis untuk pasien dengan kecurigaan congestive heart failure (CHF) 4

B. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors

Page 6: PERANAN ANGIOTENSIN

Pada tahun 1956 Skeggs menemukan suatu enzim yang dapat mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang dikenal dengan narna angiotensin-coverting enzyme (ACE). Selanjutnya oleh Cushman dan Ondetti ditemukan obat yang dapat menghambat aktifitas ACE yaitu angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I) yang pada awalnya digunakan untuk pengobatan hipertensi. Selain digunakan untuk pengobatan hipertensi, ACE-I juga berperan dalam pengobatan gagal jantung, dan mempunyai efek lain yang penting yaitu dapat mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Pemaharnan mengenai manfaat ACE-I untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung dan proteksi terhadap terjadinya disfungsi endotel didasarkan pada pengetahuan tentang sistem renin-angiotensin aldosteron (RAA). Renin dihasilkan oleh ginjal sebagai respon terhadap adanya katekolamin, penurunan kadar natrium plasma, dan penurunan aliran darah ginjal. Renin selanjutnya mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang merupakan dekapeptida yang tidak aktif. Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh ACE. Angiotensin mempunyai banyak efek yang berperan terhadap terjadinya hipertensi, gagal jantung dan proses aterosklerosis. Angiotensin II berefek vasokonstruktor kuat, meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatis, merangsang produksi aldosteron, sebagai faktor pertumbuhan (growth factor), meningkatkan agregasi trombosit dan adhesi monosit, merangsang terbentuknya plasminogen activator inhibitor (PAI), memacu terbentuknya endotelin dan meningkatkan produksi radikal bebas. Di samping berperan pada sistem RAA, ACE-I juga berpengaruh pada sistem kinin-kalikkrein. Angiotensin converting enzyme yang identik dengan kininase II menyebabkan penginaktifan bradikinin, sehingga pernberian ACE-I dengan sendirinya akan menyebabkan peningkatan kadar bradikinin. Selain berefek vasodilator langsung, bradikinin juga menyebabkan rangsangan produksi dan pelepasan nitric oxide (NO/endothelium-derived relaxing factor (EDRF), prostasiklin, dan endothelium-derived hyperpolarizing factor (EDHF) dari endotelium vaskular5.

ACE inhibitor dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan struktur molekul-nya, yaitu golongan sulfhydryl-containing agent, dicarboxylate-containing agent, dan phosphonate containing agent3.

Tabel 5. Obat-obatan Golongan ACE Inhibitor

sulfhydryl-containing agent

dicarboxylate-containing agent Phosphonate-containing agent

Captopril (Capoten)

Zofenopril

Enalapril (Vasotec/Renitec)

Ramipril (Altace/Tritace/Ramace/Ramiwi)

Quinapril (Accupril)

o Perindopril (Coversyl/Aceon)

o Lisinopril (Lisodur/Lopril/Novatec/Prinivil/Zestril)

Page 7: PERANAN ANGIOTENSIN

Benazepril (Lotensin)

Fosinopril (Monopril)

BAB III

PEMBAHASAN

A. Cardiac Remodeling

Remodeling ventrikel kiri merujuk kepada perubahan massa, ukuran ruangan, dan geometris yang diakibatkan oleh, injury miokard, overload tekanan atau volume. Perubahan ultrastruktural pada ventrikel yang mengalami remodeling merupakan akibat langsung dari hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast, dan penumpukan abnormal dari matriks ekstraseluler. Beberapa data klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa renin-angiotensin system (RAS) berperan dalam proses seluler ini6.

RAS terdiri dari kompartemen jaringan lokal dan yang bersirkulasi, aktivasinya menyebabkan pembentukan angiotensin II, mediator hormonal primer dari RAS. Pada RAS yang bersirkulasi, penurunan perfusi ginjal menyebabkan pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerular. Angiotensinogen yang dilepaskan oleh hati dipecah oleh renin menjadi dekapeptida-nya, angiotensin I. Angiotensin I kemudian dipecah menjadi oktapeptida-nya, angiotensin II, oleh angiotensin converting enzyme (ACE) yang terdapat pada anyaman endothelial. Angiotensin II kemudian mengaktivasi reseptornya sehingga terjadi vasokonstriksi, retensi cairan, dan aktivasi simpatik. Efek kardiovaskuler dari angiotensin II dimediasi oleh reseptor angiotensin II tipe I (AT 1). Aktivasi reseptor AT 1 juga berpengaruh pada cell growth promoting effect dari angiotensin II. Reseptor angiotensin II lainnya yang diketahui adalah reseptor AT 2 dan AT 4. AT 4 ditemukan dalam sel endothelial dan mungkin memicu pelepasan substansi prokoagulan seperti plasminogen activator inhibitor-I6.

B. Mekanisme Aksi ACE Inhibitor

Beberapa bukti menunjukkan bahwa ACE jaringan berkontribusi signifikan pada respon seluler remodeling ventrikel, dan inhibisi pada ACE jaringan penting kaitannya dengan efek anti remodeling ACE inhibitor. Pada tikus, aktivitas ACE jaringan miokard dan level ACE mRNA post miokard infark meningkat dua kali lipat. Karena ACE inhibitor memiliki kemampuan yang beragam dalam menghambat ACE lokal dan jaringan, beberapa agen mungkin tidak secara adekuat menekan peningkatan lokal dari angiotensin II, sehingga mengurangi kemampuannya sebagai anti remodeling. Salah satu studi melaporkan bahwa prevensi dari hipertrofi ventrikel kiri pada tikus dengan volume overload tergantung dari inhibisi ACE lokal (miokard). Pada tikus dengan miokard infark, ditemukan bahwa inhibisi poten dari aktivitas ACE jaringan terkait peningkatan survival dan reduksi massa ventrikel kiri dan ekspresi gen ANP ventrikel yang lebih besar. Studi ini menunjukkan bahwa derajat dari inhibisi ACE jaringan penting untuk prevensi remodeling pada beberapa hewan percobaan6.

Page 8: PERANAN ANGIOTENSIN

ACE inhibitor merupakan obat pertama yang secara konsisten dan substansial sukses berperan dalam terapi gagal jantung kronik. ACE inhibitor berperan dalam pengobatan gagal jantung melalui mekanisme pencegahan remodeling yang dimediasi oleh angiotensin II3.

ACE: cardiac myocytes, fibroblasts, sel otot polos vaskular, jaringan endothelial

Chymase: sel mast, sel interstitial lainnya

Gambar 2. Jalur pembentukan angiotensin II. ACE = angiotensin-converting enzyme; Ang-1 = angiotensin I; AT 1 R = angiotensin II type receptor; NE = norepinephrine3.

Gambar 2 menunjukkan jalur pembentukan angiotensin II, yang terjadi secara sistemik maupun lokal pada jaringan vaskular dan jantung. Pembentukan angiotensin II terjadi melalui dua jalur yaitu dengan converting enzyme yang banyak terdapat pada endotel dan dengan protease chymase yang banyak terdapat di sel interstitial3.

Menurut studi dari ELITE – II (Evaluation of Losartan in the Eldery Study II) jalur ACE merupakan jalur yang lebih dominan dalam pembentukan angiotensin II pada jantung manusia. Pada penggunaan ACE inhibitor, peningkatan level bradikinin perlu diperhatikan. Studi pada gagal jantung menunjukkan bahwa gen ACE, ekspresi protein ACE, dan aktivitas enzim ACE meningkat, namun ekspresi gen chymase tidak meningkat. Ventrikel pada jantung yang gagal akan mengambil renin sistemik yang meningkat dalam jumlah yang lebih banyak daripada ventrikel yang sehat. Jantung yang gagal juga menunjukkan level protein angiotensinogen yang lebih rendah, sesuai dengan penurunan substrat. Akhirnya, pada gagal jantung, reseptor angiotensin II tipe 1 (AT 1) secara selektif mengalami downregulation pada level protein dan mRNA, mungkin karena paparan terhadap peningkatan angiotensin II. Hal ini mengindikasikan bahwa local myocardial renin-angiotensin system (RAS) pada gagal jantung terinduksi, sehingga terjadi aktivasi sistemik. Induksi ini tidak terjadi pada sistem chymase. Peningkatan level angiotensin II memiliki beberapa efek pada system kardiovaskular, meliputi hipertrofi cardiac myocyte, apoptosis myocyte, fasilitasi pelepasan norepinefrin presinaps, dan efek mitogenik pada fibroblast. Kebanyakan dari efek biologis angiotensin II ini berkontribusi pada terjadinya hipertrofi dan remodeling3.

ACE inhibitor dipertimbangkan sebagai terapi mandatory pada gagal jantung dan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik. Menurut studi trial pada gagal jantung dan post mikard infark, dosis yang dipakai harus dosis rata-rata untuk menurunkan angka kematian. Satu-satunya efek samping yang menetap pada penggunaan ACE inhibitor adalah sedikit peningkatan terjadinya batuk ( 5% lebih tinggi daripada plasebo), pada pasien semacam ini dapat diganti dengan angiotensin II AT 1 receptor blocker3.

Tabel 6. Target dosis ACE inhibitor

Drug Starting Dose Target Maintenance Dose

Benazapril 2.5mg daily 20mg daily

Captopril 6.25mg twice daily 50mg three times daily

Page 9: PERANAN ANGIOTENSIN

Cilazapril 0.5mg daily 1-2.5mg daily

Enalapril 2.5mg daily 10-20mg twice daily

Lisinopril 2.5mg daily 20-40mg daily

Perindopril 2mg daily 4mg daily

Quinapril 2.5mg daily 20-40mg daily

Ramipril 1.25mg daily 5-10mg daily

Trandolapril 0.4mg daily 4mg daily

B. Kontribusi Bradikinin Terhadap Efek Anti Growth ACE Inhibitor

ACE juga berperan sebagai suatu kininase dan berkontribusi secara signifikan terhadap degradasi bradikinin pada level jaringan ataupun lokal. Sehingga, inhibisi ACE meningkatkan level bradikinin endogen lokal. Beberapa studi menunjukkan bahwa bradikinin berkontribusi pada efek anti remodeling ACE inhibitor. Pada tikus dengan tekanan overload yang diberi antagonis reseptor bradikinin tipe 2 (B2 kinin), HOE140, menunjukkan hilangnya efek ACE inhibitor dalam mengurangi hipertrofi miokard. Pada tikus dengan miokard infark yang diberi ACE inhibitor dan antagonis B2 kinin terjadi penghentian penurunan fibrosis interstitial dibandingkan tikus yang diberi ACE inhibitor saja. Studi percobaan ini menunjukkan bahwa penurunan bradikinin lokal memediasi efek anti growth ACE inhibitor pada level miosit dan fibroblast pada ventrikel yang mengalami remodeling6.

Obat ACE Inhibitors

(Angiotensin Converting

(Enzyme Inhibitors)

Definisi ACE Inhibitors, Dan Cara Kerja Mereka

Angiotensin II adalah kimia yang sangat kuat yang menyebabkan otot2 yang mengelilingi pembuluh2 darah untuk berkontraksi, dengan demikian menyempitkan pembuluh2. Penyempitan pembuluh2 meningkatkan tekanan dalam pembuluh2 yang menyebabkan tekanan darah tinggi (hipertensi). Angiotensin II dibentuk dari angiotensin I dalam darah oleh enzim angiotensin converting enzyme (ACE). ACE inhibitors adalah obat2 yang memperlambat (menghalangi) aktivitas dari enzim ACE, yang mengurangi produksi dari angiotensin II. Sebagai hasilnya,

Page 10: PERANAN ANGIOTENSIN

pembuluh2 darah melebar atau membesar, dan tekanan darah berkurang. Tekanan darah yang lebih rendah ini membuat jantung lebih mudah untuk memompa darah dan dapat memperbaiki fungsi dari jantung yang gagal. Sebagai tambahan, kemajuan dari penyakit ginjal yang disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi atau diabetes diperlambat.

Untuk Kondisi2 Apa ACE Inhibitors Digunakan ?

ACE inhibitors are used for controlling blood pressure, treating heart failure, preventing strokes, and preventing kidney damage in people with hypertension or diabetes. They also improve survival after heart attacks. In studies, individuals with hypertension, heart failure, or prior heart attacks who were treated with an ACE inhibitor lived longer than patients who did not take an ACE inhibitor. Because they prevent early death resulting from hypertension, heart failure or heart attacks, ACE inhibitors are one of the most important group of drugs. Some individuals with hypertension do not respond sufficiently to ACE inhibitors alone. In these cases, other drugs are used in combination with ACE inhibitors.

Adakah Perbedaan2 Diantara Tipe2 Yang Berbeda Dari ACE Inhibitors ?

ACE inhibitors are very similar. However, they differ in how they are eliminated from the body and their doses. Some ACE inhibitors need to be converted into an active form in the body before they work. In addition, some ACE inhibitors may work more on ACE that is found in tissues than on ACE that is present in the blood. The importance of this difference or whether one ACE inhibitor is better than another has not been determined.

Efek2 Sampingan Dari ACE Inhibitors

ACE inhibitors are well-tolerated by most individuals. Nevertheless, they are not free of side effects, and some patients should not use ACE inhibitors.

ACE inhibitors usually are not prescribed for pregnant patients because they may cause birth defects.

Individuals with bilateral renal artery stenosis (narrowing) may experience worsening of kidney function, and people who have had a severe reaction to ACE inhibitors probably should avoid them.

The most common side effects are:

cough,

elevated blood potassium levels,

low blood pressure, dizziness,

headache,

drowsiness,

Page 11: PERANAN ANGIOTENSIN

weakness,

abnormal taste (metallic or salty taste), and

rash.

It may take up to a month for coughing to subside, and if one ACE inhibitor causes cough it is likely that the others will too. The most serious, but rare, side effects of ACE inhibitors are kidney failure, allergic reactions, a decrease in white blood cells, and swelling of tissues (angioedema).

Dengan Obat2 Apa ACE Inhibitors Berinteraksi ?

ACE inhibitors have few interactions with other drugs. Since ACE inhibitors may increase blood levels of potassium, the use of potassium supplements, salt substitutes (which often contain potassium), or other drugs that increase the body's potassium may result in excessive blood potassium levels. ACE inhibitors also may increase the blood concentration of lithium (Eskalith) and lead to an increase in side effects from lithium. There have been reports that aspirin and other non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDS) such as ibuprofen (Advil, Children's Advil/Motrin, Medipren, Motrin, Nuprin, PediaCare Fever etc.), indomethacin (Indocin, Indocin-SR), and naproxen (Anaprox, Naprelan, Naprosyn, Aleve) may reduce the effects of ACE inhibitors.

Contoh2 Dari ACE Inhibitors

Berikut adalah daftar dari ACE inhibitors yang tersedia di Amerika :

benazepril (Lotensin),

captopril (Capoten),

enalapril (Vasotec),

fosinopril (Monopril),

lisinopril (Prinivil, Zestril)

moexipril (Univasc), and

perindopril (Aceon),

quinapril (Accupril),

ramipril (Altace),

trandolapril (Mavik).

The system can be activated when there is a loss of blood volume or a drop in blood pressure (such as in hemorrhage or dehydration). This loss of pressure is interpreted by baroreceptors in the carotid sinus. In alternative fashion, a decrease in the filtrate NaCl

Page 12: PERANAN ANGIOTENSIN

concentration and/or decreased filtrate flow rate will stimulate the macula densa to signal the juxtaglomerular cells to release renin.

1. If the perfusion of the juxtaglomerular apparatus in the kidney's macula densa decreases, then the juxtaglomerular cells (granular cells, modified pericytes in the glomerular capillary) release the enzyme renin.

2. Renin cleaves a zymogen, an inactive peptide, called angiotensinogen, converting it into angiotensin I.

3. Angiotensin I is then converted to angiotensin II by angiotensin-converting enzyme (ACE),[5] which is thought to be found mainly in lung capillaries. One study in 1992 found ACE in all blood vessel endothelial cells.[6]

4. Angiotensin II is the major bioactive product of the renin-angiotensin system, binding to receptors on intraglomerular mesangial cells, causing these cells to contract along with the blood vessels surrounding them and causing the release of aldosterone from the zona glomerulosa in the adrenal cortex. Angiotensin II acts as an endocrine, autocrine/paracrine, and intracrine hormone.

Peranan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Pada Hipertensi

1. Pendahuluan

Hipertensi adalah suatu kondisi medis yang ditandai peningkatan tekanan darah secara kronis. Hipertensi merupakan salah satu penyebab kematian paling sering di dunia. Hampir satu miliar orang di dunia berisiko terkena kegagalan jantung, serangan jantung, stroke, gagal ginjal dan kebutaan akibat hipertensi. Hipertensi terjadi ketika volume darah meningkat dan/atau saluran darah menyempit, sehingga membuat jantung memompa lebih keras untuk menyuplai oksigen dan nutrisi kepada setiap sel di dalam tubuh. Tekanan darah diukur berdasarkan tekanannya terhadap dinding pembuluh darah (yang besarannya dinyatakan dalam mmHg). Jika tekanan darah melebihi tingkat yang normal, maka resiko kerusakan bisa terjadi pada organ organ vital di dalam tubuh seperti jantung, ginjal, otak, dan mata. Hal ini meningkatkan resiko kejadian yang bisa berakibat fatal seperti serangan jantung dan stroke.1

Hipertensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan sering kali berbeda-beda pada tiap individu. Penanganan hipertensi sendiri lebih ditujukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Dengan pengobatan atau pengontrolan tekanan darah, maka berbagai komplikasi yang dapat dipicu oleh hipertensi dapat dicegah. Salah satu macam obat yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan hipertensi adalah angiotensin receptro blocker (ARB).2

Angiotensin receptor blocker (ARB) merupakan salah satu obat antihipertensi yang bekerja dengan cara menurunkan tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. ARB mampu menghambat angiotensin II berikatan dengan reseptornya, sehingga secara langsung akan menyebabkan vasodilatasi, penurunan produksi vasopresin, dan mengurangi sekresi aldosteron. Ketiga efek ini secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan tekanan darah.3-6

Page 13: PERANAN ANGIOTENSIN

Mengingat pentingnya manfaat ARB terhadap hipertensi, maka pada makalah ini akan dipaparkan semua hal yang berkenaan dengan hipertensi dan ARB sebagai salah satu obat untuk menanggulanginya.

2.1 Hipertensi

2.1.1 Pengertian dan Klasifikasi

Definisi tekanan darah yang abnormal sebenarnya sulit, karena hubungan antara tekanan arteri sistemik dan derajat morbiditas lebih bersifat kualitatif dibanding kuantitatif. Level tekanan darah haruslah disetujui untuk evaluasi dan terapi pasien dengan hipertensi. Mengingat risiko berbagai penyakit dapat meningkat akibat hipertensi yang berlangsung terus-menerus, maka perlu adanya sistem klasifikasi yang esensial untuk dijadikan dasar diagnosis dan terapi hipertensi.7

Berdasarkan rekomendasi Seventh Report of the Joint National Commitee of Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII). Klasifikasi tekanan darah pada tabel dimaksudkan setiap tekanan yang terukur (tekanan rata-rata) pada dua kali atau lebih pengukuran, dalam posisi duduk.

Keadaan prehipertensi tidak dimasukkan ke dalam kategori penyakit, namun perlu diingat bahwa keadaan tersebut berisiko tinggi untuk berkembang ke tahap hipertensi. Dengan demikian, bila ditemukan pasien dengan prehipertensi, maka perlu segera dicari faktor risikonya dan sedapat-dapatnya faktor risiko tersebut dimodifikasi. Klasifikasi menurut JNC VII tidak menggolongkan deajat hipertensi berdasarkan faktor risiko atau kerusakan organ target, namun JNC VII lebih menekankan bahwa setiap pasien dengan hipertensi (baik derajat 1 maupun 2) perlu diterapi, disamping modifikasi gaya hidup.1

Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. Pada pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit ginjal, penelitian telah menunjukkan bahwa tekanan darah di atas 130/80 mmHg harus dianggap sebagai faktor resiko dan sebaiknya diberikan perawatan.8-10

2.1.2 Etiopatogenesis, Faktor Risiko, dan Gejala klinis

Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah

Tekanan darah arteri merupakan hasil dari cardiac output dan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara, antara lain:11-13

Page 14: PERANAN ANGIOTENSIN

* Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya* b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi "vasokonstriksi", yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.* Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.

Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, atau banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.11

Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut diperankan oleh perubahan fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara, antara lain jika tekanan darah meningkat, maka ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal. Ginjal juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) dapat menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.12,13

Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom, yang untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah selama respon fight-or-flight (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar). Sistem ini juga meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung, mempersempit sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu (misalnya otot rangka, yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak), serta mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal, sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh. Sistem saraf simpatis juga memicu pelepasan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah, dan selanjutnya akan mencetuskan peningkatan tekanan darah.13,14

Etiologi Hipertensi

Page 15: PERANAN ANGIOTENSIN

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis :1,11a. Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak / belum diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh hipertensi).b. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit lain.

Hipertensi primer kemungkinan memiliki banyak penyebab. Beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah.

Jika penyebab hipertensi diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Penyebab hipertensi lainnya yang jarang adalah feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin). Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga), stres, alkohol atau garam dalam makanan; bisa memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang memiliki kepekaan yang diturunkan. Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal.15,16

Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder:15,16Penyakit Ginjal1. Stenosis arteri renalis2. Pielonefritis3. Glomerulonefritis4. Tumor-tumor ginjal5. Penyakit ginjal polikista (biasanya diturunkan)6. Trauma pada ginjal (luka yang mengenai ginjal)7. Terapi penyinaran yang mengenai ginjal

Kelainan Hormonal1. Hiperaldosteronisme2. Sindroma Cushing3. Feokromositoma4. Hiperplasia adrenal kongenital5. Hipertiroid6. Hiperparatiroid7. Kontrasepsi

Obat-obatan1. Kortikosteroid2. Obat-obat adrenergik3. Siklosporin4. Eritropoietin

Page 16: PERANAN ANGIOTENSIN

5. Kokain6. Penyalahgunaan alkohol7. Kayu manis (dalam jumlah sangat besar)

Penyebab Lainnya1. Tumor otak2. Koartasio aorta3. Vaskulitis4. Penyakit kolagen5. Preeklamsi pada kehamilan6. Porfiria intermiten akut7. Keracunan timbal akut.

Faktor risiko dan Patogenesis Terjadinya Hipertensi

Patogenesis terjadinya hipertensi esensial (primer) meliputi banyak faktor yang beragam. Faktor-faktor tersebut antara lain, perfusi jaringan yang adekuat, mediator humoral, vaskular, volume darah sirkulasi, viskositas, cardiac output, elastisitas pembuluh, dan stimulasi saraf. Selain itu, juga terdapat faktor lain, seperti genetik (ras), diet, dan usia.17

Hipertensi dapat berkembang dengan disertai berbagai kerusakan organ target, misalnya aorta dan arteri, jantung, ginjal, retina, dan susunan saraf pusat. Progresivitas peningkatan tekanan darah dapat berlangsung hingga puluhan tahun. Hipertensi stadium awal dapat merupakan bentuk awal hipertensi, yang dihasilkan oleh penurunan resistensi perifer dan peningkatan stimulasi kardiak oleh hiperaktivitas adrenergik dan homeostasis kalsium. Bila hipertensi berlangsung kronis, maka resistensi vaskular akan meningkat. Reaktivitas vaskular merupakan faktor penting yang menentukan perubahan derajat hipertensi. Reaktivitas vaskular secara langsung dipengaruhi senyawa vasoaktif, reaktivitas otot polos, dan perubahan struktur dinding pembuluh darah.17

Hipertensi memiliki keterkaitan dengan faktor genetik yang beragam. Meskipun seseorang memiliki gen yang memberikan kecenderungan hipertensi, keterlibatan faktor lingkungan sangat besar. Sedikit sekali studi yang mengatakan bahwa hipertensi pada seseorang dapat muncul hanya dengan satu gen saja tanpa adanya intervensi faktor lingkungan. Beberapa kelainan genetik yang dapat menyebabkan hipertensi antara lain, aldosteronisme, defisiensi 17-α- dan 11β-hidroksilase, sindroma Liddle, serta kelainan gen yang berkenaan dengan sintesis angiotensinogen.17

Sistem renin-angiotensin-aldosteron berperan pada timbulnya hipertensi. Produksi renin dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain stimulasi saraf simpatis. Renin berperan pada proses konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang memiliki efek vasokonstriksi. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang selanjutnya akan meningkatkan retensi natrium dan air. Sistem ini juga meningkatkan vasopresin yang bersifat sebagai antidiuretik.16,17

Page 17: PERANAN ANGIOTENSIN

Gejala Klinis

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.1

Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:1,21. sakit kepala2. kelelahan3. mual4. muntah5. sesak nafas6. gelisah7. pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal.

Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.

2.1.3 Diagnosis

Evaluasi penderita, hipertensi mencakup tiga komponen utama, yaitu mengidentifikasi penyebab, menilai ada tidaknya kerusakan organ target, dan mengidentifikasi adanya faktor risiko yang turut menentukan prognosis dan keberhasilan pengobatan. Data yang diperlukan untuk mengevaluasi pasien hipertensi dapat diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.18

Dari anamnesis dapat diperoleh informasi mengenai faktor risiko terjadinya hipertensi, riwayat hipertensi dalam keluarga, serta berbagai gejala yang sering menyertai pasien dengan hipertensi. Dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan yang paling menentukan untuk menegakkan diagnosis adalah pengukuran tekanan darah. Pengukuran dilakukan dengan 3 kali pembacaan selang 2 menit menggunakan manometer raksa. Tekanan darah dapat dilakukan pada posisi berdiri atau duduk, menggunakan stetoskop Bell, dan pasien harus dalam keadaan rileks setidaknya 5 menit sebelum diperiksa. Pemeriksaan fisik lainnya disesuaikan dengan ada tidaknya kelainan penyerta, misalnya pada organ target.17,19

Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan imaging masih kontroversial, melihat adanya fakta bahwa 90% kasus hipertensi merupakan hipertensi primer. Sehingga tidak disarankan melakukan semua pemeriksaan penujang, kecuali tedapat tanda yang mengarah kepada etiologi

Page 18: PERANAN ANGIOTENSIN

tertentu. Pemeriksaan laboratorium pada hipertensi (terutama hipertensi sekunder) misalnya hitung sel darah, serum elektrolit, serum kreatinin, glukosa darah, asam urat, dan urinalisis. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui profil lipid, seperti LDL-C, HDL-C, Trigliserida. Teknik imaging yang dapat dilakukan, misalnya ekokardiografi untuk mengetahui ada tidaknya kelainan jantung dan pembuluh darah besar, arteriografi dan pielografi untuk mengetahui hipertensi renal.17,19

2.1.4 Penatalaksanaan

Pengelolaan pasien dengan hipertensi bertujuan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun etiologi hipertensi belum dapat dibuktikan, pengobatan hipertensi pada seorang penderita sudah dapat dimulai. JNC VII merekomendasikan tata laksana hipertensi berdasarkan deajat hipertensi, adanya kerusakan organ target, dan faktor risiko kardiovaskular lainnya (tabel 2 dan 3).18

Modifikasi gaya hidup bagi penderita hipertensi penting untuk dilakukan. Penurunan berat badan sekurang-kurangnya 4,5 kg, akan membantu menurunkan atau mencegah hipertensi pada orang-orang yang overweight, meskipun disarankan agar berat badannya dikembalikan ke berat badan ideal. Tekanan darah juga sangat dipengaruhi pola makan, misalnya dengan metode DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) yang mengatur perencanaan makanan. Metode DASH menganjurkan untuk mengonsumsi lebih banyak buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan rendah lemak. Diet tinggi garam (natrium) harus diturunkan tidak lebih dari 100 mmol (2,4 gram) per hari. Setiap orang juga perlu melakukan aktivitas fisik aerobik, seperti jalan kaki, sekurang-kurangnya 30 menit per hari. Asupan alkohol harus dibatasi setidaknya 30 mL etanol atau setara dengan 2 kali minum tiap harinya. Modifikasi gaya hidup menurunkan tekanan darah, mencegah atau menghambat kejadian hipertensi, dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.1

Selain cara pengobatan nonfarmakologis, penatalaksanaan utama lain adalah dengan menggunakan obat antihipertensi. Keputusan menggunakan terapi farmakologi seperti tertera pada tabel 3. Prinsip pengobatan hipertensi antara lain:11. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal2. Pengobatan hipertensi primer ditujukan menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang usia dan mengurangi komplikasi3. Pengobatan hipertensi primer adalah pengobatan jangka panjang dan kemungkinan besar seumur hidup4. Upaya menurunkan tekanan darah digunakan obat antihipertensi dan modifikasi gaya hidup5. Pengobatan menggunakan algoritma sesuai JNC VII (2003) Apabila tekanan darah telah turun dan dosis antihipertensi stabil dalam 6 hingga 12 bulan, dosis obat dapat di coba diturunkan dengan pengawasan ketat, tetapi tidak langsung dihentikan. Oleh karena faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi sangat banyak, obat antihipertensi yang digunakan juga sangat bervariasi dalam hal titik tangkap kerjanya.1

2.2 Angiotensin-Receptor Blocker pada Hipertensi

Page 19: PERANAN ANGIOTENSIN

2.2.1 Angiotensin-Receptor Blocker dan sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron

Sejak lebih kurang 100 tahun yang lalu, dengan ditemukannya renin, Tigerstedt dan Bergman mulai membahas hubungan hipertensi dengan ginjal. Percobaan Goldblatt (1934) menunjukkan bahwa hipertensi dapat diinduksi dengan melakukan unilateral clamp arteri renalis. Tahun 1940 ditemukan pressor agent yang sebenarnya berperan dalam rangkaian renin, yang kemudian diberi nama Angiotensin. Kemudian berhasil diidentifikasi dua bentuk angiotensin yang dikenal, yaitu Angiotensin I dan Angiotensin II.20

Enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II disebut dengan Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Rangkaian dari seluruh sistem renin sampai dengan angiotensin II inilah yang dikenal dengan Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAS). Para ahli mengatakan bahwa RAS berperan penting dalam patogenesis hipertensi baik sebagai salah satu penyebab timbulnya hipertensi maupun dalam perjalanan penyakitnya. Sejak tahun 1980 hingga 1990 penelitian tentang RAS berkembang sangat pesat, terutama setelah ditemukan sistim RAS general (Circulating RAS) dan sistim RAS lokal (Tissue RAS), adanya berbagai tipe Reseptor Angiotensin II di jaringan beserta segala efeknya, obat-obat penghambat ACE yang dikenal dengan ACE Inhibitor dan obat-obat yang memblokir efek Angiotensin II pada reseptor Angiotensin II yang disebut Angiotensin Receptor Blocker.20

Timbulnya iskemia general atau lokal akan mengaktivasi kedua sistem RAS, baik lokal maupun sistemik. RAS general akan berperan dalam regulasi sistem kardiovaskuler/hemodinamik dalam jangka waktu singkat dan cepat. Aktivasi RAS sistemik ini akan menyebabkan pemulihan tekanan darah dan homeostasis kardiovaskuler. Sedangkan aktivasi RAS lokal akan meregulasi dalam jangka waktu yang lebih panjang dan homeostasis kardiovaskuler lewat aktivasi angiotensin jaringan dan degradasi bradikinin.20,21

Hipertensi esensial merupakan penyakit multifaktor. Secara prinsip terjadi akibat peningkatan cardiac output/curah jantung atau akibat peningkatan resistensi vaskuler karena efek vasokonstriksi yang melebihi efek vasodilatasi. Peningkatan vasokonstriksi dapat disebabkan karena efek alpha adrenergik, aktivasi berlebihan dari sistim RAS atau karena peningkatan sensitivitas arteriole perifer terhadap mekanisme vasokonstriksi normal.20

Pengaturan tonus pembuluh darah (relaksasi & konstriksi) dilakukan melalui keseimbangan dua kelompok vasoaktif, yaitu vasoconstriction agent dan vasodilatation agent. Sistem RAS mempunyai hubungan yang erat dengan patogenesis timbulnya dan perjalanan hipertensi. Angiotensin II yang merupakan mediator utama dari RAS berikatan dengan resep-tornya di jaringan reseptor ini dikenal dengan reseptor AT. Ada beberapa tipe reseptor, tetapi yang terpenting adalah reseptor AT1 dan AT2 .20,21

Angiotensin Receptor Blocker (ARB) merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS

Page 20: PERANAN ANGIOTENSIN

dengan cara menginhibisi ikatan angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada reseptor AT1 secara spesifik. Semua kelompok ARB memiliki afinitas yang kuat ribuan bahkan puluhan ribu kali lebih kuat dibanding angiotensin II dalam berikatan dengan reseptor AT1. Akibat penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat bekerja pada reseptor AT1, yang secara langsung memberikan efek vasodilatasi, penurunan vasopressin, dan penurunan aldosteron, selain itu, penghambatan tersebut juga berefek pada penurunan retensi air dan Na dan penurunan aktivitas seluler yang merugikan (misalnya hipertrofi). Sedangkan Angiotensin II yang terakumulasi akan bekerja di reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi, antiproliferasi. Sehingga pada akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergistik dengan efek hambatan pada reseptor AT1.20

2.2.2 Macam-macam Angiotensin-Receptor Blocker

Berbagai obat yang termasuk ke dalam golongan ARB telah banyak dipublikasikan dan dipasarkan. Beberapa obat ARB yang ada, antara lain:

ValsartanValsartan merupakan prototipe ARB dan keberadaannya cukup mewakili seluruh ARB. Valsartan bekerja pada reseptor AT1 secara selektif, sehingga diindikasikan untuk mengatasi hipertensi. Valsartan memiliki rumus kimia C24H29N5O3 dengan berat molekul 435,519 g/mol. Bioavailabilitas valsartan adalah sebesar 25% dengan 95% terikat protein. Waktu paruh valsartan adalah 6 jam, dan kemudian diekskresikan 30% melalui ginjal dan 70% melalui bilier.22,23

Valsartan terdapat dalam kemasan tablet 40 mg, 80 mg, 160 mg, dan 320 mg, menyesuaikan rentang dosis harian yang direkomendasikan, yaitu 40 – 320 mg per hari. Nama dagang valsartan, antara lain diovan dan valtan. Pada tahun 2005, diovan telah digunakan lebih dari 12 juta orang di Amerika Serikat saja. Studi yang dipublikasikan oleh Journal of Clinical Investigation menunjukkan adanya efek pencegahan dan pengobatan terhadap alzheimer, meskipun hal itu masih sebatas penelitian. Obat ini dapat menurun efektivitasnya hingga 40% bila diberikan bersama makanan.22-24

TelmisartanTelmisartan merupakan salah satu ARB yang digunakan sebagai antihipertensi. Telmisartan dipasarkan dengan nama dagang Micardis (Boehringer Ingelheim), Pritor or Kinzal (Bayer Schering Pharma), Telma (Glenmark Pharma) dan Teleact D by (Ranbaxy). Telmisartan memiliki rumus kimia C33H30N4O2 dengan berat molekul 514,617 g/mol. Bioavailabilitas telmisartan adalah sebesar 42% hingga 100% dengan lebih dari 99,5% berikatan dengan protein. Waktu paruh telmisartan adalah 24 jam, dan kemudian diekskresikan hampir seluruhnya melalui feses.22,23

Secara farmakologis, kinerja telmisartan tidak jauh berbeda dengan kelompok ARB lainnya, yaitu dengan mengikat reseptor AT1. Afinitas telmisartan terhadap reseptor AT1 cukup tinggi dan merupakan yang tertinggi di kelompoknya. Reduksi tekanan darah terjadi akibat relaksasi otot polos pembuluh darah, sehingga terjadi vasodilatasi.22,23

Page 21: PERANAN ANGIOTENSIN

LosartanLosartan merupakan salah satu ARB yang diindikasikan untuk hipertensi. Selain itu, losartan juga dapat memperlambat progresivitas nefropati diabetik dan kelainan ginjal lain pada pasien diabetes melitus tipe II, hipertensi, dan mikroalbuminuria (>30 mg/hari) atau proteinuria (> 900 mg.hari). Losartan merupakan ARB pertama yang dipasarkan secara luas dengan nama dagang Cozaar (Merc & Co). Losartan memiliki rumus kimia C22H23ClN6O dengan berat molekul 422,91 g/mol. Bioavailabilitas losartan adalah sebesar 25% hingga 35%. Metabolisme losartan terjadi di hepar dengan bantuan enzim sitokrom p450 CYP2C9 dan CYP3A4. Waktu paruh telmisartan adalah 1,5 hingga 2 jam, tetapi memiliki metabolit aktif asam 5-karboksilat yang dapat bekerja dalam 6 hingga 8 jam. Metabolit aktif ini juga memiliki efektivitas blocking reseptor AT1 10 hingga 40 kali lebih kuat dibanding bahan induknya, losartan. Losartan kemudian diekskresikan 13% - 25% melalui ginjal dan 50% - 60% melalui bilier.1,25-27

Meskipun losartan jarang digunakan sebagai terapi first-line untuk hipertensi akibat harganya yang relatif lebih mahal dibanding diuretik atau beta bloker, losartan ternyata dapat dijadikan sebagai terapi first-line untuk hipertensi dengan risiko kardiovaskular event. Wiki osa2 Losartan juga terdapat dalam kombinasi dengan diuretik tiazid dosis rendah dan dipasarkan dengan nama dagang Hyzaar (Merck). Losartan akhir-akhir ini diteliti mengenai efektivitasnya dalam menekan reseptor TGF-β tipe I dan II pada ginjal diabetik, yang diasumsikan bertanggung jawab dalam efek proteksi ginjal pada pasien diabetes.27

IrbesartanIrbesartan digunakan terutama untuk menangani hipertensi. Irbesarta dikembangkan pertama kali melalui riset Sanofi, dan kemudian dipasarkan oleh sanovi-aventis dan Bristol-Myers Squibb dengan nama dagang Aprovel, Karvea, dan Avapro. Irbesartan memiliki rumus kimia C25H28N6O dengan berat molekul 428,53 g/mol. Bioavailabilitas irbesartan adalah sebesar 60% hingga 80%. Waktu paruh irbesartan adalah 11-15 jam, dan kemudian diekskresikan 20% melalui ginjal dan sisanya melalui feses.28

Selain sebagai antihipertensi, irbesartan juga mampu menghambat progresivitas nefropati diabetik, mikroalbuminuria, atau proteinuria pada penderita diabetes melitus. Irbesartan juga terdapat dalam formula kombinasi dengan diuretik tiazid dosis rendah, yang ditujukan untuk meningkatkan efek antihipertensinya. Kombinasi ini tersedia dalam berbagai nama dagang, seperti CoAprovel, Karvezide, Avalide, dan Avapro HCT. 29

OlmesartanOlmesartan (Benicar, Olmetec) merupakan salah satu ARB untuk hipertensi. Olmesartan bekerja dengan memblokade ikatan angiotensin II dengan reseptor AT1 sehingga akan merelaksasi otot polos vaskular. Dengan blokade tersebut, olmesartan akan menghambat feedback negatif terhadap sekresi renin. Olmisartan memiliki rumus kimia C29H30N6O6 dengan berat molekul 558,585 g/mol. Bioavailabilitas Olmisartan adalah sebesar 26% dengan metabolisme terjadi di hepar dan tidak hilang dengan hemodialisis. Waktu paruh Olmisartan adalah 13 jam, dan

Page 22: PERANAN ANGIOTENSIN

kemudian diekskresikan 40% melalui ginjal dan 60% melalui bilier.30

Olmesartan tersedia dalam bentuk tablet 5 mg, 20 mg, dan 40 mg. Dosis normal yang dianjurkan untuk dewasa (termasuk lanjut usia dan kerusakan hepar dan ginjal ringan) adalah 20 mg/hari dosis tunggal. Selanjutnya dosis dapat ditingkatkan menjadi 40 mg per hari setelah 2 minggu, bila tekanan darah tetap tidak mencapai target.30

CandesartanCandesartan merupakan salah satu ARB yang digunakan sebagai antihipertensi. Prodrug candesartan dipasarkan dalam bentuk candesartan cileksil, dengan nama Blopress, Atacand, Amias, dan Ratacand. Candesartan memiliki rumus kimia C243H20N6O3 dengan berat molekul 440,45 g/mol. Bioavailabilitas candesartan adalah sebesar 15% hingga 40% dengan metabolisme terjadi di dinding intestinal untuk candesartan sileksil, dan dihepar untuk candesartan yang dikatalisasi enzim sitokrom p450 CYP2C9. Waktu paruh candesartan adalah 5,1 sampai 10,5 jam, dan kemudian diekskresikan 33% melalui renal dan 67% melalui feses.31

Selain sebagai obat antihipertensi, candesartan juga diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung kongestif. Indikasi ini merupakan hasil studi CHARM pada awal tahun 2000. Disamping itu, candesartan dapat dikombinasikan dengan ACE inhibitor untuk memperbaiki morbiditas dan mortalitas penderita gagal jantung. Kombinasi dengan diuretik tiazid dapat menambah efek antihipertensi.31

EprosartanEprosartan merupakan salah satu ARB yang digunakan sebagai antihipertensi. Eprosartan dipasarkan dengan nama Teveten HCT dan Teveten plus. Kerja obat ini pada sistem RAS akan menurunkan resistensi perifer. Obat ini juga menghambat produksi norepinefrin simpatetik sehingga juga menurunkan tekanan darah. Eprosartan memiliki rumus kimia C23H24N2O4S dengan berat molekul 520,625 g/mol. Bioavailabilitas eprosartan adalah sebesar 15% tanpa dimetabolisme. Waktu paruh eprosartan adalah 5 hingga 9 jam, dan kemudian diekskresikan 10% melalui ginjal dan 90% melalui bilier.32,33

2.2.3 Penggunaan Angiotensin-Receptor Blocker

Golongan sartan atau ARB digunakan untuk menangani pasien dengan hipertensi, terutama terhadap pasien yang intoleransi dengan terapi ACE inhibitor. Keunggulan ARB dibanding ACE inhibitor adalah ARB tidak menghambat penguraian bradikinin dan kinin lain, sehingga tidak menimbulkan batuk atau angioedem yang dipicu bradikinin. Akhir-akhir ini, mulai dikembangkan penggunaan ARB pada gagal jantung bila terapi menggunakan ACE inhibitor menemui kegagalan, terutama dengan Candesartan. Irbesartan dan losartan juga menunjukkan keuntungan pada pasien hipertensi dengan diabetes tipe II, dan terbukti menghambat secara bermakna progresivitas nefropati diabetik. Candesartan juga telah diuji coba secara klinis dalam mencegah dan mengatasi migrain.1

Page 23: PERANAN ANGIOTENSIN

Spesifikasi penggunaan ARB berdasarkan efektivitasnya dalam menghambat ikatan angiotensin II dan reseptornya dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mempertimbangkan golongan mana yang dapat dipilih. Terdapat 3 parameter penggunaan ARB, yaitu menurut efek inhibisi dalam 24 jam, tingkat afinitasnya terhadap reseptor AT1 dibanding AT2, dan waktu paruh obat.1

a. Efek inhibisi selama 24 jam merupakan ukuran penting terkait dengan jumlah atau besar angiotensin II yang dihambat selama 24 jam. Berdasarkan FDA USA, beberapa ARB dan efek penghambatan terhadap angiotensin, yaitu:• Valsartan 80 mg 30%• Telmisartan 80 mg 40%• Losartan 100 mg 25-40%• Irbesartan 150 mg 40%• Irbesartan 300 mg 60%• Olmesartan 20 mg 61 %• Olmesartan 40 mg 74%

b. Afinitas ARB terhadap reseptor AT1 dibanding AT2 merupakan pertimbangan penting, karena kedua reseptor ini memiliki kerja yang saling berlawanan. Semakin kuat afinitas ARB terhadap AT1 dibanding AT2, maka efek antihipertensi juga akan semakin meningkat. Berdasarkan FDA US, beberapa ARB dan afinitasnya terhadap reseptor AT1 dibanding AT2, yaitu:• Losartan 1000 kali• Telmisartan 3000 kali• Irbesartan 8500 kali• Olmesartan 12500 kali• Valsartan 20000 kali

c. Waktu paruh ARB juga penting dipertimbangkan sebagai dasar terapi. Waktu paruh merupakan indikator seberapa lama obat memiliki efek yang signifikan di dalam tubuh. Beberapa ARB dan waktu paruhnya, yaitu:• Valsartan 6 jam• Losartan 6-9 jam• Irbesartan 11-15 jam• Olmesartan 13 jam• Telmisartan 24 jam

Sebagai obat antihipertensi terbaru, Angiotensin receptor blocker (ARB) atau penyekat reseptor angiotensin perlu dianalisis. ARB merupakan antihipertensi yang banyak digunakan di Asia, terutama Jepang. Losartan Intervention For Endpoint reduction in hypertension (LIFE) membuktikan bahwa ARB terbukti lebih superior dibandingkan atenolol dalam mengurangi morbiditas kardiovaskular atau stroke (tetapi tidak untuk infark miokard). Manfaat ini didapat di luar efek penurunan tekanan darah. Hasil studi LIFE menujukkan bahwa ARB menjadi pilihan lebih baik dibandingkan beta bloker bagi pasien hipertensi sitolik yang terisolasi berusia > 70 tahun.25-27

Page 24: PERANAN ANGIOTENSIN

Studi lain, yakni VALUE, membuktikan tidak ada perbedaan signifikan pada morbiditas dan mortalitas kardiovakular pada pasien risiko tinggi, baik pada penerima valsartan maupun amlodipine, meskipun ada perbedaan penurunan tekanan darah. Amlodipine lebih besar menurunkan tekanan darah dengan perbedaan 3,2/1,6 mmHg. Hanya penurunan fatal dan non-fatal infark miokard yang berkaitan langsung dengan penurunan tekanan darah. Studi SCOPE, yakni studi pada pasien hipertensi usia lanjut (> 70 tahun), menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah lebih baik dengan pemberian ARB candesartan dibandingkan plasebo (perbedaan 3,2/1,6 mmHg). Namun perbedaan ini secara statistik dianggap tidak bermakna. Demikian pula dalam hal kematian kardiovaskular dan MI non-fatal.31

Hasil-hasil studi ELITE II (losartan vs captopril), OPTIMAAL (losartan vs captopril), VALIANT (valsartan vs captopril), dan VaL-HeFT (valsartan vs ACE-inhibitor atau placebo) menunjukkan bahwa ARB sama efektif dengan ACE-inhibitor. Namun kombinasi keduanya lebih superior dibandingkan ACE-inhibitor saja dalam memperbaiki hasil akhir kejadian kardiovaskular. Meski dalam penurunan mortalitas dan kejadian kardiovaskular ARB setara dengan ACE-inhibitor, namun ada kecenderungan ARB lebih superior untuk gagal jantung dan proteksi terhadap ginjal. Efek ARB dalam proteksi ginjal sudah banyak diketahui terutama pada pasien diabetes. Dalam hal mencegah progresivitas mikroalbuminuria dan meningkatkan hasil akhir terhadap ginjal, beberapa studi komparatif menunjukkan, ARB superior dibandingkan plasebo atau CCB, dan juga ACE-inhibitor. Efek ini bersifat independen dari efek penurunan tekanan darah.34

Untuk kasus gagal jantung, ARB adalah antihipertensi terbaru yang paling efektif. Hal ini dibuktikan oleh candesartan dan valsartan melalui dua studi besar, yakni ValHeFT dan CHARM. Hasil kedua studi mennjukkan, angka perawatan rumah sakit akibat gagal jantung berkurang, adanya kenaikan kriteria NYHA dan perbaikan kualitas hidup. Studi lanjutan CHARM, yakni CHARM Alternative dan CHARM-Added menunjukkan candesartan mampu mengurangi kematian karena berbagai sebab. Untuk pasien yang intoleran dengan ACE-inhibitor, candesartan bisa menurunkan risiko kematian akibat kardiovakular atau perawatan rumah sakit akibat gagal jantung, menurunkan risiko gagal jantung yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kenaikan kelas NYHA. Penemuan berkaitan dengan gagal jantung ini memperkuat studi lain, yakni VALIANT, di mana valasartan sama efektif dengan ACE-inhibitor (captopril) dalam mengurangi kematian dan morbiditas kardiovakular.31,34,35

Panduan dari American College of Cardiolody dan American Heart Association (ACC/AHA) tentang diagnosis dan manajemen gagal jantung kronis pasien dewasa merekomendasikan ARB sebagai alternatif ACE-inhibitor. Dalam guideline dinyatakan, ARB reasonable untuk digunakan sebagai alternatif ACE-inhibitor sebagai terapi lini pertama pasien dengan gagal jantung ringan sedang dan mengurangi LVEF, khususnya pada pasien yang sudah menggunakan ARB untuk indikasi. Terapi kombinasi valsartan dengan hidroklorotiazid (HCT) menunjukkan penurunan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik lebih baik dengan kombinasi valsartan + HCT daripada valsartan saja. Studi Mailion menunjukkan, kombinasi valsartan 160 mg + HCT 25 mg mampu menurunkan rata-rata tekanan sistolik sebanyak 21,7 mmHg dan diastolik 14,2 mmHg dibandingkan dengan

Page 25: PERANAN ANGIOTENSIN

valsartan 160 mg saja.1,34,36,37

Kombinasi lain adalah ARB + CCB. Dasar pemikiran kombinasi CCB + ARB adalah untuk mendapatkan efek sinergis dari mekanisme kerja yang berlawanan. Kekurangan CCB seperti merangsang SRAA dan tidak bermanfaat pada kasus gagal jantung dapat ditutupi dengan kelebihan ARB, yaitu menghambat SRAA dan bermanfaat pada gagal jantung. ARB kurang bermanfaat pada penderita iskemia jantung, sebaliknya CCB justru mengurangi risiko iskemia jantung. CCB menyebabkan arteriodilatasi tanpa disertai venodilatasi sehingga memicu kebocoran plasma lalu edema perifer. Dengan adanya ARB yang menyebabkan venodilatasi maka tekanan vena dan arteri akan sama sehingga edema perifer tidak terjadi.36

Pada penderita hipertensi ringan-sedang yang ditandai dengan tekanan diastolik 95-110 mmHg, kombinasi valsartan 160 mg + amlodipine 10 mg menurunkan tekanan darah sistolik lebih besar daripada amlodipine 10 mg saja (p<0,001) dan valsartan 160 mg saja (p<0,001). Kombinasi tersebut juga menunjukkan superioritas terhadap lisinopril 10-20 mg + HCT 12,5 mg. Penderita hipertensi stage 2 dengan rata-rata tekanan darah sebelum intervensi 171/113 mmHg mengalami penurunan menjadi 135/83,6 mmHg pada kelompok valsartan 160 mg + amlodipine 5-10 mg dibandingkan 138,7/85,2 mmHg pada kelompok lisinopril 10-20 mg + HCT 12,5 mg. Hasil serupa juga ditemukan pada penderita hipertensi stage 2 dengan rata-rata tekanan darah 188/113 mmHg dimana rata-rata tekanan darah pada akhir penelitian sebesar 145,4/86,4 mmHg pada valsartan + amlodipine daripada 157,4/92,5 mmHg pada lisinopril + HCT.36 Selain menurunkan tekanan darah, kombinasi ARB dan CCB juga berhasil mengurangi efek samping. Edema perifer pada pemberian valsartan + amlodipine lebih rendah 38% daripada amlodipine saja. Selain itu, angka insiden rekurensi atrial fibrilasi selama observasi 1 tahun hanya ditemukan 13% pada pasien yang mengkonsumsi valsartan 160 mg + amlodipine 10 mg dibandingkan 33% pada pasien dengan atenolol 100 mg + amlodipine 10 mg (p<0,01).36

2.2.4 Efek Samping

Secara umum dan melalui berbagai penelitian, ARB relatif aman dan jarang sekali menimbulkan komplikasi fatal. Beberapa keluhan yang pernah dilaporkan, antara lain pusing, sakit kepala, dan hiperkalemia. ARB juga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik, rash, diare, dispepsia, abnormalitas fungsi liver, kram otot, mialgia, nyeri punggung, insomnia, penurunan level hemoglobin, dan kongesti nasal.38,39

Meskipun salah satu alasan penggunaan ARB adalah untuk menghindari efek batuk atau angioedem yang sering terjadi pada penggunaan ACEI, namun efek ini juga dapat muncul pada ARB, meskipun sangat jarang. Selain itu, terdapat risko kecil terjadinya reaksi silang pada pasien yang memiliki riwayat angioedem dengan penggunaan ACEI, namun mekanisme reaksi ini masih belum jelas. 38,39