peran pidana kisas dalam upaya pencegahan...
TRANSCRIPT
PERAN PIDANA KISAS
DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN
Oleh:
RIZQI FARAHYONA
102045125140
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PERAN PIDANA KISAS
DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Rizqi Farahyona
102045125140
Di Bawah Bimbingan:
Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN
KEJAHATAN” setelah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah.
Jakarta, 10 Juni 2006
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M.,
NIP: 150 210 422
PANITIA SIDANG MUNAQOSAH
Ketua : Asmawi, M.Ag (………………...…)
NIP: 150 282 394
Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………………...…)
NIP: 150 282 403
Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M.,
(………………...…)
NIP: 150 210 422
Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA
(………………...…)
NIP: 150 169 102
Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag
(………………...…)
NIP: 150 282 403
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN
KEJAHATAN” setelah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10
Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah.
Jakarta, 10 Juni 2006
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M.,
NIP: 150 210 422
PANITIA SIDANG MUNAQOSAH
Ketua : Asmawi, M.Ag
(………………...…)
NIP: 150 282 394
Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag
(………………...…)
NIP: 150 282 403
Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M.,
(………………...…)
NIP: 150 210 422
Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (………………...…)
NIP: 150 169 102
Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag
(………………...…) NIP: 150 282 403
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Salah satu keindahan di dunia ini yang akan selalu dikenang adalah ketika kita
bisa melihat atau merasakan sebuah impian menjadi kenyataan, bagi penulis skripsi ini
adalah salah satu keindahan itu.
Terima kasih dan rasa syukur yang tak terhingga terucapkan kepada Allah SWT
sang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, yang telah memberikan cinta yang tak
terhingga, nikmat yang tak berujung. Shalawat serta salam penulis persembahkan
kepada baginda Nabi Muhammad Saw. atas segala perjuangan dan amanah yang tak
pernah padam sampai akhir zaman.
Terima kasih kepada yang tercinta kedua orang tua Ayahanda Drs. H.
Teungku Anwar Abbas, Ibunda Dra. Cut Rahmani dan Adinda Putri Lubna Tari, S.S,
Nenek tercinta Cut Cahya Khairani dan Ce’ Nurjannah Abbas, S.Pd. dan semua
Cece’ juga seluruh keluarga besar di Aceh dengan rasa kasih sayang dari semuanya
yang terus mendo’akan, menasehati, membimbing dan memberikan dukungan moral,
dan materil. Tanpa mereka penulis tidak dapat merampungkan skripsi ini. Semoga
Allah mengampuni dan membukakan pintu rahmat dan kelak menjadikan mereka
penghuni surga firdaus-Nya… Amin yaa rabbal ‘alamin…
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., M.M., selaku Pembimbing
Penulis dalam penyusunan skripsi ini sekaligus Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri Hidayati,
M.Ag, selaku sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.
3. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis selama mengikuti
perkuliahan.
4. Seluruh Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan
Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Semua teman-teman Pidana Islam ’02 Eva, Sari, Dian, Irma, Opah, Ulva,
Wava, Sensen, Ari, Edi, Mamak, Cecep, Ewok, Ableh, Oman, Hafidz, dan
lainnya yang tak bisa disebut satu persatu..(jangan marah ya…)
6. Sahabat-sahabat sejati dimanapun berada, Ana, Tante, Nora, Yayan, kostan RR
thank you, para Balance cheer (jangan gossip mulu tar masuk neraka…), buat
PSM slendro, rampak, reff, ce jazz, ka’ toleng, kromong, sarba juga deh,
Sanggar TARI imapa Acut, Nada, D’nong, Inong, Linda, Ka’ Dina, Pooja, Rina
(tetep kompak ya..), dan semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu.
7. Especially to my one and only brother in the world Mr. Abdel Salam every
where you are, thank you for the support, thank you to take me to the place I’ve
never been before, the exhibition is great and that’s amazing and unforgettable!
Thank you for your kindness and your attention…
Akhirnya penulis berharap skripsi ini menjadi salah satu pengabdian penulis
kepada Allah SWT, kontribusi penulis terhadap bangsa Indonesia dan pelayanan penulis
kepada sesama manusia.
Jakarta, 30 Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah.................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................ 7
D. Tinjauan Pustaka................................................................. 8
E. Metode Penelitian ............................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ......................................................... 11
BAB II DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN HAL-HAL YANG
BERKAITAN
A. Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas ........................ 13
B. Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas ............................... 27
C. Tindak Pidana Yang Dapat Dikenakan Pidana Kisas ........... 35
D. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Kisas................................. 42
BAB III PERIHAL PENCEGAHAN KEJAHATAN DAN
PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Pencegahan Kejahatan ....................................... 50
B. Permasahalan Sekitar Pencegahan Kejahatan ...................... 53
C. Kaitan Penegakkan Hukum Dengan Pencegahan Kejahatan 59
BAB IV TINJAUAN PERAN PIDANA KISAS DALAM HAL UPAYA
MENCEGAH KEJAHATAN
A. Penerapan Kisas Sebagai Hukuman Dalam Hukum Islam ... 64
B. Peran Pidana Kisas Sebagai Pencegah Kejahatan ................ 72
C. Upaya Hukum Islam Mencegah Kejahatan.......................... 77
BAB V PENUTUP
A. .......................................................................................Kesimpula
n ........................................................................................... 84
B. .......................................................................................Saran-
saran ..................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang diturunkan dengan tujuan menciptakan rahmatan lil
‘alamin yang fungsinya sebagai agama adalah sebuah pedoman dalam menjalankan
roda kehidupan. Islam mengatur sisi kehidupan bahkan lebih sempurna dari sistem yang
telah ada bukan hanya perkara muamalah dan ibadah dan tetapi juga mengatur masalah
kehidupan pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya, ataupun tentang pertahanan dan
keamanan tetapi juga masalah hukum terutama pidana, dikatakan lebih sempurna di sini
adalah karena bersumber dari sang pencipta Allah SWT.
Hukum yang berlaku haruslah selaras dengan kondisi sosial masyarakat
melalui beberapa pertimbangan, artinya hukum tidak boleh bersifat kaku meskipun dari
satu sisi harus tegas. Kebutuhan manusia terhadap suatu peraturan atau hukum itu
adalah bagaimana seorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan
mana pula yang harus dihindari. Allah SWT dalam mensyariatkan agama Islam sebagai
rahmat bagi alam semesta ini dengan kemaslahatan umum.
Melalui ketentuan yang dikaruniai yang berarti ketentuan hukum yang dapat
memelihara kemaslahatan umum. Ketentuan dharuriyat ini secara umum bermuara pada
upaya memelihara lima pokok kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia, lima pokok kebutuhan tersebut adalah memelihara agama( ا���� ��), kedua
memelihara akal ( ا����), ketiga, memelihara jiwa (ا���� �), keempat, memelihara
keturunan (ا���� �), dan kelima, memelihara harta benda ( 1.(ا���ل �
1 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 126.
Memelihara jiwa mendapat kedudukan kedua dalam peringkat yang wajib
dipelihara, hal-hal tersebut adalah gambaran utuh tentang teori Maqashid al-Syari’ah2
atau tujuan dari syariah agama yang artinya juga menjaga jiwa dan segala macam yang
berhubungan dengan kehidupan manusia, di sini jelas terbaca bahwa agama Islam
adalah agama yang benar-benar menjaga jiwa dan juga kehidupan manusianya secara
menyeluruh yang tergambarkan jelas di atas.
Guna terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang utuh tentram serta
nyaman dan jauh dari ketidakteraturnya kehidupan maka diciptakanlah peraturan yang
mana isinya adalah mengatur tata cara berkehidupan yang baik agar cita-cita untuk
mewujudkan tatanan hidup masyarakat tentram dan damai akan terealisasi,
permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat beraneka ragam baik yang
menyangkut masalah sosial, pendidikan, kultur, ekonomi, kriminal juga merupakan
salah satu problem yang harus diperhatikan karena akhir-akhir ini kriminalitas
meningkat terutama di Indonesia, maka dari itu peraturan memiliki peran penting
terutama dalam berbagai masalah apalagi untuk masalah kriminal.
Peraturan dibuat untuk dipatuhi dan jika ada peraturan pastilah ada sanksi,
sanksi adalah kata lain dari hukuman, jika seorang melanggar sebuah peraturan maka
wajib baginya untuk dikenakan sanksi atau hukuman, yang mana hukuman atau sanksi
tersebut adalah bertujuan untuk membuat jera dan agar pelaku tidak mengulangi lagi
perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa secara tidak langsung hukuman juga dibutuhkan untuk menjaga stabilitas
keamanan bagi kehidupan, dan secara tidak langsung juga merupakan cara efektif untuk
mencegah kejahatan.
2 Ibid.,
Setiap negara atau daerah tentu memiliki sistem hukum yang berbeda-beda,
salah satu bidang hukum itu adalah hukum pidana. Salah satu contoh di Indonesia
sendiri terlihat adanya beberapa perbedaan sistem hukum. Misalnya di Indonesia saat ini
ada hukum yang berlaku secara formal serta ada hukum adat dan hukum Islam.
Mayoritas agama penduduk Indonesia sendiri adalah Islam. Islam bukan saja
merupakan agama resmi bahkan hukum yang berlaku di daerah tersebut adalah hukum
Islam sehingga dari sini dapat dilihat bahwa ada keinginan dari kalangan umat Islam
yang secara riil mayoritas untuk dapat hidup sesuai dengan agamanya dan salah satu
dari ketentuan hukum Islam adalah hukum pidana Islam yang sayangnya selama ini
banyak kalangan yang menganggap bahwa Hukum Pidana Islam adalah hukum yang
kejam, tidak manusiawi dan tidak menghormati hak-hak asasi manusia, mungkin hal ini
terjadi karena mereka hanya mempelajari Hukum Pidana Islam secara parsial belum
menyeluruh. Sikap pembelajaran yang demikian sudah saatnya ditinjau kembali dengan
menempatkan semua sistem hukum yang ada sebagai sistem hukum yang sejajar dan
sebanding untuk kemudian dipelajari dan ditelaah sepenuhnya sampai diperoleh norma
hukum yang sejalan dengan nilai kebenaran dan keadilan yang akan dapat memberikan
sumbangan positif bagi pembinaan hukum pidana nasional yang akan datang.
Dalam hukum positif di negara kita ini peraturan bermacam-macam mulai dari
UUD 1945, KUHP, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Daerah, Qanun di Nanggore
Aceh Darussalam, Peraturan Lalu Lintas, serta peraturan-peraturan yang lainnya, maka
sanksi bagi pelanggaran peraturan-peraturan tersebut juga bermacam-macam di
antaranya sanksi denda, penjara, pengasingan bahkan mati dan hukuman-hukuman yang
lainnya.
Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam (Jina’ al-Islam) peraturan-
peraturannya bersumber langsung dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’, Qiyas, dan beberapa
ijtihad ulama lainnya, dalam Islam pelanggaran hukuman dikelompokkan pada dua
istilah yaitu jinayah dan hudud. Jinayah yaitu pelanggaran yang dilakukan mengancam
jiwa keselamatan jiwa manusia, seperti pemukulan, pembunuhan, perampokkan, dan
sejenisnya, H.M Arsjad Thalib Lubis memasukan juga di dalamnya mengenai yang
berkaitan dengan kenegaraan, misalnya hukum pengangkatan kepala negara, hukum
kehakiman, hukum perang dan sejenisnya.3 Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang
dapat diberikan hukuman had (dera atau cambuk), ta’zir (penjara), atau hukuman kisas
(balas). Hukuman itu tergantung tingkat pelanggaran yang dilakukan, sedangkan hudud
adalah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang dilarang oleh syara’ seperti zina,
qadzaf (menuduh orang berzina tanpa empat orang saksi), judi, minuman keras,
menyamun, murtad, dan sejenisnya. Dalam hal ini kisas merupakan salah satu dari
sekian sanksi (uqubah) yang dijatuhkan kepada pelanggaran peraturan kriminalitas
(jarimah) dari tindak pidana atau jarimah yang dilakukan seseorang. Jarimah atau juga
jinayat diidentifikasikan sebagai balasan berbentuk ancaman yang jenisnya ditetapkan
oleh syara’ untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan-peraturan demi
terwujudnya kemaslahatan,4 macam-macam hukuman jarimah kisas serta uqubah-
uqubah kisas sebagian besar telah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan Hadits.
Berlakunya hukuman adalah untuk membenahi kehidupan agar manusia lebih
teratur, kemaslahatan terjaga, hidup lebih terjamin, dan stabilitas umat manusia dapat
terwujud dengan baik. Kisas merupakan salah satu bentuk hukuman yang membuktikan
bahwa agama Islam dengan syariatnya menjaga hak-hak manusia.
3 http//www.artikelparamadina.ac.id
4 Ibid.,
Dapat diyakini bahwa semakin tinggi peradaban umat manusia, setan semakin
memainkan perannya, orang menjadi aniaya (zhalim) dan bodoh (jahl), 5 bukannya
mengikuti petunjuk yang dianugerahi Allah sang pencipta melalui Rasul dan Nabi-Nya
sepanjang masa, tidak ada masalah betapapun murni dan barunya suatu masyarakat,
tindak pidana tetap dilakukan karena itu pemutusan hukuman-hukuman yang sesuai
perlu dilakukan guna mencegah meningkatnya rata-rata jarimah atau kriminalitas di
masa yang akan datang. Di manapun masyarakat perlu disahkan juga struktur lembaga
kemasyarakatan, pemimpin serta anggota masyarakat yang membantu dan merangsang
timbulnya tindak pidana tertentu. Ibnu Hasan ketika membahas tentang seorang laki-
laki tak berdaya karena lapar lalu makan bangkai atau daging babi yang diharamkan
dalam Islam, beliau berkata:
“Haram hukumnya bagi seorang muslim makan makanan yang diharamkan
sekalipun dalam keadaan tak berdaya, tetangganya yang muslim atau dzalimi
atau anggota masyarakat yang memiliki lebih makanan dan minuman
diwajibkan memberi makan orang yang lapar tadi. Dalam keadaan demikian
dia mempunyai hak untuk memperoleh makanan dari tetangga-tetangganya
yang kaya. Bila dia harus berjuang untuk memperoleh makan kemudian
terbunuh, pembunuhnya akan mendapatkan kisas”.6
Maka dari itu hukuman kisas secara tidak langsung juga memegang peranan
penting dalam upaya menekan jumlah kriminal, karena kriminal tidak akan mungkin
lenyap dari muka bumi dan hukuman kisas mungkin akan dianggap efektif dan benar-
benar urgen, contohnya saja masyarakat yang bersalah dihukum secara tidak langsung
masyarakat akan takut untuk melakukan kesalahan.
Dalam hukum pidana Islam sanksi kisas dan kaitannya dengan upaya
pencegahan kejahatan perlu dibahas guna mendapat kejelasan lagi. Maka dari itu
5 A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2002, h. 285. 6 Ibid.,
penulis merasa perlu untuk mengangkat masalah upaya pencegahan kejahatan dengan
kisas sebagai salah satu hukuman yang mungkin bermanfaat dan seberapa penting dan
urgen perannya dalam hal pencegahan kejahatan. Melihat permasalahan di atas penulis
memberi judul skripsi ini: “PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA
PENCEGAHAN KEJAHATAN”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Kisas merupakan permasalahan yang cukup luas dan kompleks yang hingga saat
ini juga masih diperbincangkan apakah hukuman kisas ini layak dipakai sebagai
hukuman atau tidak dan sejauh mana hukuman ini berperan sebagai sebuah bentuk
usaha pencegahan kejahatan. Agar pembahasan masalah dalam skripsi ini tidak melebar
dan meluas maka pembahasan dalam skripsi ini dibatasi kepada pengertian pidana kisas
dan hukuman-hukumannya serta apa perannya dalam upaya pencegahan kejahatan.
Dari pembahasan masalah tersebut dapat dirumuskan pokok-pokok bahasan
skripsi ini sebagai masalah kisas yang seharusnya berlaku di negara Islam tetapi kisas
ini tidak semua negara Islam menerapkan hukuman kisas.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian tentang kisas lebih luas lagi dan dapat memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang apa itu kisas dan apa peranannya dalam mencegah perbuatan kejahatan, faktor apa yang
membuat seseorang dijatuhi hukuman kisas, apakah kisas adalah hukuman yang setimpal dalam permasalahan ini. Penulis juga ingin
menjabarkan bagaimana pendapat hukum pidana Islam dan sejauh mana peran pidana kisas dalam upayanya mencegah terjadinya
kejahatan.
Kisas bukanlah merupakan permasalahan yang mudah dan ringan dalam kehidupan, tetapi merupakan masalah yang pelik yang penuh dengan problematikanya, kajian tentang kisas ini telah ada sejak zaman dahulu begitu saja dengan penerapannya. Maka
penulis ingin menggali lagi lebih jauh bagaimana pidana kisas saat ini dan sejauh mana dampaknya, apakah orang bisa jera
melakukan tindakan tindakan kejahatan setelah adanya hukuman kisas itu.
Selain itu tujuan primer pembuatan skripsi ini adalah syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam pada tingkat Strata 1
(S1) Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
D. Tinjauan Pustaka
Sumber-sumber yang akan diambil tentunya yang berhubungan dengan permasalahan yang penulis bahas, diantaranya buku-buku
yang didalamnya mencakup bahasan-bahasan tentang perbuatan jarimah yang dikenakan hukuman pidana kisas dan sepenting apakah peran pidana kisas dalam upaya mencegah terjadinya kejahatan.
Banyak sekali kajian, penelitian, seminar-seminar, juga buku-buku yang mengupas masalah kisas dan filsafat hukum Islam. Buku
karangan Drs. Ahmad Wardi Muslih yang berjudul Hukum Pidana Islam berisi tentang penjelasan hukum-hukum pidana Islam
seperti tindak pidana apa saja yang dikenakan hukuman-hukuman seperti diyat, kisas, tetapi dalam penelitian yang dilakukan,
peneliti akan lebih mengupas tentang hukuman-hukuman kisas dan tidak semua hukuman yang ada dalam pidana Islam dibahas
dalam penelitian ini tetapi hanya kisas.
Dalam buku karangan A. Rahman I, Doi yang berjudul Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, juga salah satu buku yang menjelaskan hukuman pidana (al-‘Uqubat) dan hukuman (al-Hudud) dan juga referensi tentang tindak pidana lainnya, tetapi pada
penelitian ini hanya dibatasi sebatas tindak pidana kisas begitu juga hukuman-hukumannya, hanya tentang pidana kisas tidak
mencakup pidana-pidananya lainnya.
Sedangkan materi-materi yang berhubungan dengan pendapat ulama peneliti memilih buku Ringkasan Kitab al-Umm karangan
Imam Syafi’i Abu Abdillah Muhammad bin Idris, yang mana di dalam buku ini berisi pendapat Imam Syafi’i tentang kisas dan
masalah-masalah lainnya yang masih berhubungan dengan kisas.
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional yang peneliti rasa juga
perlu untuk dijadikan referensi dalam hal mencari makna dan pengertian tentang istilah-istilah yang ada dalam skripsi in.
E. Metode Penelitian
Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang ilmiah sebaiknya dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung tentunya penulis atau peneliti harus
mengumpulkan data-data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang
akan dibahas.
Penelitian ini bercorak studi kepustakaan (library research) yaitu memperoleh
dan mengumpulkan data-data dan untuk mendapatkan data yang valid dan representatif
sekitar permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan dalam skiripsi ini jenis datanya
adalah data kualitatif, yaitu data yang dikumpulkan adalah deskripsi berupa ungkapan
dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya mengupas dan
mencermati sesuatu secara alamiyah dan kualitatif mengenai peran hukuman kisas
dalam mencegah kejahatan.
Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang
bersifat deskriptif analisis, yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi
yang diperoleh dari penelitian kepustakaan secara mendalam. Dengan kata lain,
penelitian ini untuk menggambarakan secara komprehensif konsep hukuman kisas baik
dalam literatur hukum positif ataupun dalam literatur hukum Islam berdasarkan yang
didapat dari penelusuran perpustakaan, dari data-data yang telah dikumpulkan dalam
penelitian, kemudian penulis akan menganalisis agar dapat memberikan pemahaman
yang optimal. Analisis ini digunakan untuk mengetahui secara kualitatif tentang
hukuman kisas dalam upaya mencegah tindak kejahatan, sehingga dapat membantu
memecahkan dan menemukan solusi terhadap persoalan yang diteliti skripsi ini.
Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan, penulis menggunakan
beberapa metode, yaitu:
Pertama, deskrptif. Pada umumnya metode ini digunakan dalam mengurai
sejarah, pengertian, mengutip, atau menjelaskan bunyi peraturan perundang-undangan
dari dalam setiap uraian umum.
Kedua, analisis. Metode ini digunakan untuk mencari, menganalisa lalu
mengumpulkan bahan-bahan hukum Islam. Dalam hal ini berbagai kitab-kitab fiqih
jinayah, dan buku-buku yang berhubungan dengan pidana kisas dan jinayah sebagai
bahan penjelasan hukum Islam
Ketiga, problem solving atau pemecahan masalah. Dari permasalahan yang ada
penulis mengidentifikasi, menganalisis, kemudian memberikan alternatif pemecahannya
melalui kritik dan saran.
Kitab atau buku yang menjadi rujukan penulis dalam penelitian adalah kitab atau
buku yang secara langsung mengungkap tentang pembahasan tentang hukuman kisas
ini, bahan data yang bersifat primer adalah kitab-kitab atau buku-buku Fiqih Jinayah,
tentang hukuman kisas dalam hukum Islam dan hukum positif, atau data-data yang
berkaitan dengan apa yang peneliti teliti dan didukung dengan sumber yang bersifat
sekunder seperti tabloid, media cetak lainnya dan media elektronik.
Sedangkan tekhnik penulisan, penulis berpedoman pada kaidah-kaidah penulisan
skripsi, tesis, dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penguraian dalam skripsi ini penulis membaginya ke
dalam lima bab yang masing-masing bab dipecah ke dalam sub-sub yang gunanya untuk
merinci keterangan bab yang umum sifatnya dan satu sama lainnya ada saling
keterkaitan antara bab sebelumnya dengan bab berikutnya. Agar lebih jelas
perinciannya adalah sebagai berikut:
Bab I : PENDAHULUAN, merupakan garis besar masalah yang akan dibahas dalam
skripsi yang mana bab ini terbagi lagi atas lima sub bagian, yaitu: Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II : DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN. Bab
ini berisi Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas, Bentuk-bentuk
Hukuman Pidana Kisas, Tindak Pidana yang Dapat Dikenakan Pidana Kisas,
dan Pendapat Ulama Syafi’i Tentang Kisas.
BAB III : PERIHAL PENCEGAHAN KEJAHATAN DAN PERMASALAHANNYA.
Bab ini berisi Pengertian Pencegahan Kejahatan, Permasalahan Sekitar
Pencegahan Kejahatan, Kaitan Penegakan Hukum Dengan Pencegahan
Kejahatan
BAB IV : TINJAUAN PERAN PIDANA KISAS DALAM HAL UPAYA
MENCEGAH KEJAHATAN. Bab ini berisi Penerapan Kisas Sebagai
Hukuman dalam Hukum Islam, Peran Pidana Kisas Sebagai Pencegah
Kejahatan dan Upaya Hukum Islam Mencegah Kejahatan.
BAB V : PENUTUP, sebagian penutup skripsi ini berisi rangkuman pembahasan-
pembahasan yang dibahas dan juga saran-saran penulis terhadap pembahasan
dalam skripsi ini.
BAB II
DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN
HAL-HAL YANG BERKAITAN
A. Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas
Sebelum membahas kisas lebih jauh ada baiknya mengacu terlebih dahulu
kepada pengertian tindak pidana (jinayah). Dalam hukum pidana positif dilihat dari
garis-garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atas
sumber pokok hukum pidana, maka hukum pidana itu adalah bagian hukum publik yang
memuat berbagai ketentuan-ketentuan tentang:
1. Aturan umum hukum pidana yang dikaitkan dan berhubungan dengan larangan
melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi
berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.
2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi si pelanggar untuk dapat
dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya.
3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-
alat perlengkapannya, misalnya polisi, jaksa, hakim terhadap yang disangka dan
didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara
menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya,
serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka
atau terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan
mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan
hukum pidana tersebut.
Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut dengan istilah
hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum
merupakan sudah lazim terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai
suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan, diberikan oleh negara pada seorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah
melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini
disebut tindak pidana (stafbaar feit).7
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda
dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi
tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum
ada keseragaman pendapat.
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada
maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit
adalah Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan
pidana kita. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum. Delik, yang
sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum”juga digunakan untuk menggambarkan
tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Pelanggaran Pidana. Perbuatan yang
boleh dihukum. Perbuatan yang dapat dihukum Perbuatan Pidana.8
Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit9. Dari 7 istilah yang
digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan
dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.
7 Chairur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, h. 17. 8 Ibid., h.18 9 Ibid., h.15
Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan
perbuatan.
Secara literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan
feit adalah perbuatan10. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh,
ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, pada hal sudah lazim hukum itu
adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang
sebenarnya tidak demikian halnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tindak berarti langkah atau perbuatan,
pidana adalah hukuman kejahatan terhadap pembunuhan, perampokan, korupsi,
kriminal. Dan sebagainya. Sedangkan tindak pidana adalah perbuatan pidana atau
perbuatan kejahatan.11
Fiqih Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan
masalah perbuatan yang dilarang (jarimah), dan hukumannya (‘uqubah) diambil dari
dalil-dalil yang terperinci12. Definisi tersebut merupakan gabungan antara pengertian
fiqih dan jinayah. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa objek pembahasan
fiqih jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tindak pidana dan
‘uqubah atau hukumannya13
. Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam
al-Mawadi sebagai berikut:
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang
diancam oleh Allah dengan had atau ta’zir”14
.
10 Ibid., 11 Departemen Pendidikan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 2005, h.871. 12 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta, Grafindo Persada, 2000, h. 1. 13 Ibid., h.1 14 Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halaby,
1975, h. 29.
Dalam istilah lain Jarimah disebut juga dengan jinayah, menurut Abdul Qadir
Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut:
“Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’,
baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”.15
Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan
seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di
kalangan fuqaha perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut
syara'. Meskipun demikian, pada umumnya fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya
untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah
jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan kisas,
tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta'zir. Istilah lain
yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara'
yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir16.
Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah di atas, maka pengertian jinayah
dapat dibagi ke dalam dua jenis pengertian, yaitu: pengertian luas dan pengertian
sempit.
Klasifikasi pengertian ini dilihat dari sanksi yang dapat dikenakan terhadap
jinayah.
1. Dalam pengertian luas, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh syara' dan dapat mengakibatkan hukuman had atau ta'zir.
2. Dalam pengertian sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh syara' dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta'zir.
15 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, Juz I Beirut, Daarul Kitab al-Araby, h. 67. 16 Djazuli, Fiqih Jinayah, h. 1
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengertian jinayah mengacu kepada
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' dan diancam dengan hukuman had atau
ta'zir. Dalam kaitan ini, larangan tersebut dapat berupa larangan untuk tidak melakukan
sesuatu atau larangan untuk melakukan sesuatu.
Pengertian di atas mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan-
perbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash)
syara'. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika
perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman.
Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara', maka larangan-larangan
tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal
sehat saja yang dapat menerima panggilan (khithab) dan, dari sebab itu, mampu
memahami pembebanan (taklif) dari syara'. Perbuatan-perbuatan merugikan yang
dilakukan oleh orang gila atau anak kecil tidak dapat dikategorikan sebagai jinayah,
karena mereka tidak dapat menerima khithab atau memahami taklif17.
Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah.
Unsur atau rukun jinayah tersebut adalah :
a. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai
ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan
istilah "unsur formal" (al-Rukn al-Syar'i).
b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur
ini dikenal dengan istilah "unsur material" (al-Rukn al-Madi).
17 Ibid., h. 2
c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat
memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga
mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal
dengan istilah "unsur moral" (al-Rukn al-Adabi)18.
Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut
mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun tadi. Tanpa ketiga kategori tersebut, suatu
perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.
Disamping unsur umum ini, ada unsur khusus yang hanya berlaku di dalam satu
jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah lain, misalnya mengambil harta
orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi adalah unsur khusus untuk pencurian. Hal
ini berbeda dengan unsur khusus di dalam perampokan yaitu mengambil harta orang
lain dengan terang-terangan.
Dari berbagai pengertian di atas, konsep jinayah berkaitan erat dengan masalah
"larangan" karena setiap perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah merupakan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara'. Larangan ini timbul karena perbuatan-
perbuatan itu mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan
adanya larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat
dipertahankan dan dipelihara.
Sesuai dengan ketentuan fiqh, larangan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu tidak hanya cukup dengan niat baik, tetapi harus disertai dengan sanksi
(hukuman). Hukuman tersebut diancam kepada seorang pelaku kejahatan, dan pada
gilirannya pelaksanaan hukuman dapat dijadikan contoh oleh masyarakat untuk tidak
melakukan kejahatan.
18 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993, h.33.
Hukuman merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa secara intrinsik hukuman itu sendiri tidak merupakan suatu
kebaikan; sekurang-kurangnya bagi pelaku kejahatan itu sendiri.
Dalam pada itu, dari sisi lain, perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
jinayah pun menguntungkan. Paling tidak, jinayah dapat menguntungkan pelaku
kejahatan. Akan tetapi, keuntungan seperti itu tidak menjadi pertimbangan syara'.
Alasannya, perbuatan yang tidak termasuk jinayah hanya memberi keuntungan bagi
kepentingan-kepentingan yang bersifat individual, tetapi menimbulkan kerugian-
kerugian bagi kepentingan sosial.
Sebagaimana peristiwa sosial lainnya, jinayah mempunyai dua sisi
menguntungkan dan merugikan. Tidak ada perbuatan yang hanya menguntungkan atau
merugikan semata. Setiap perbuatan memiliki keuntungan dan kerugian tertentu.
Oleh karena itu, dasar larangan dari perbuatan-perbuatan yang dikategorikan
sebagai jinayah adalah karena perbuatan-perbuatan itu merugikan masyarakat. Dengan
kata lain, penetapan perbuatan-perbuatan jinayah dan sanksi-sanksinya dimaksudkan
untuk mempertahankan dan memelihara keberadaan serta kelangsungan hidup
bermasyarakat.
Memang ada manusia yang tidak mau melakukan larangan dan tidak mau
meninggalkan kewajiban bukan karena adanya sanksi, tetapi semata-mata karena
ketinggian moralnya, mereka orang-orang yang akhlaknya mulia. Akan tetapi,
kenyataan empirik menunjukkan di mana pun di dunia ini selalu ada orang-orang yang
hanya taat karena adanya sanksi, oleh karena itu jinayah tanpa sanksi tidaklah realistik.
Setelah memahami apa itu jinayah, pembahasan berikutnya adalah tentang
pengertian kisas. Perkataan kisas berasal dari kata ( ا����� ), yang artinya mengikuti jejak
:Dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan .(ن��� ا���)
��� )64:ا�345 ( �ل ذ0� م�آ�)� ن�, +�رت�)ا '&% ءا��ره��
“Musa berkata: Itulah tempat yang kita cari lalu keduanya kembali mengikuti
jejak mereka semula” (al-Kahfi: 64).
Jadi kisas itu berarti memberlakukan seseorang sebagaimana orang itu
memperlakukan orang lain. Atau dengan perkataan lain, mengikuti jejak si fulan apabila
si fulan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang lain. Oleh karena itu, maka
kisas adalah mengikuti darah yang tertumpah dengan pembalasan penumpahan darah
:Allah menyatakannya dalam surat al-Qashash ayat 11 .(ن��� ا��م ب���;د)
��ت بD �' E�� وهA B�@��ون�+ EGH� E�I� J�� و )K� )11: ا��
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara perempuan Musa: Ikutilah dia, maka
kelihatanlah olehnya Musa dari jauh sedang mereka tidak mengetahuinya”. (al-
Qashash : 11)
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kisas berarti pembalasan dalam hukum
Islam seperti hukuman bagi orang yang membunuh dibalas dengan membunuh lagi lalu
mengkisas artinya adalah menjalankan kisas atau menuntut balas19.
Dalam kamus istilah fiqih, kisas adalah hukuman yang dijatuhkan sebagai
pembalasan serupa dengan perbuatan atau pembunuhan atau melukai atau merusak
anggota badan dan menghilangkan manfaatnya, berdasarkan ketentuan yang diatur
syara’20
.
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa kisas ada dua macam:
a) Kisas jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
19 Anton M Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, h.42. 20 M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’iah AM, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1994, h. 287.
b) Kisas anggota badan, yaitu hukum kisas atau tindak pidana melukai, merusak
anggota badan dan menghilangkan manfaatnya.
Baik bagi jenis kisas jiwa maupun kisas anggota badan harus memenuhi
beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf)
b. Pembunuh bukan ayah dari yang terbunuh
c. Yang terbunuh sama derajatnya dari pembunuh, seperti muslim sesama muslim,
merdeka sesama merdeka.
d. Kisas itu dilakukan dalam hal yang sama, seperti jiwa dengan jiwa, mata dengan
mata, telinga dengan telinga, dan lain-lain.
e. Kisas dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan oleh pembunuh atau
yang melukai.
f. Orang yang terbunuh berhak dilindungi jiwanya baik dari orang Islam maupun
orang kafir.
Sedangkan dalam ensiklopedi Islam kisas diartikan sebuah prinsip yang
diberlakukan oleh al-Qur’an untuk menghukum pelaku tindak kejahatan penganiayaan
ketika terjadi tindak pembunuhan dimana pihak korban dan pihak pelaku dalam status
yang sama, maka pembunuhan terhadap pelaku merupakan hukuman akibat tindak
pembunuhan yang dilakukan terhadap pihak korban, demikian juga dengan pelukaan-
pelukaan ringan pada korban berakibat hukuman perlakuan yang setimpal atas
pelakunya.21
Bersamaan dengan pemberlakuan prinsip hukuman ini secara bijaksana
Islam juga mengesahkan penggantian hukuman, berdasarkan adanya pemaafan dari
21 Ensiklopedi Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999, h. 328.
pihak korban dengan sejumlah ganti kerugian yang bersifat material untuk tindak
kejahatan penganiayaan.
Dalam prakteknya, Nabi Muhammad cenderung kepada penerapan hukuman
yang lebih ringan atau kepada batas hukuman yang telah ditetapkan dalam
menyelesaikan tindak kejahatan yang dilakukan kepada Nabi, sekalipun demikian Nabi
memutuskan dengan mempertimbangkan sifat intrinsik yang terdapat pada kasus
tertentu, namun pada suatu kasus Nabi memerintahkan eksekusi seorang laki-laki yang
terbukti membunuh seorang wanita22
. Dalam kasus tersebut nabi meneliti sifat kejahatan
pembunuhan tersebut sebelum nabi mempermasalahkan status kekeluargaan antara
kedua belah pihak. Prinsip kisas sesungguhnya merupakan bentuk modifikasi dari rasa
keadilan bangsa Arab, hukum yang bercorak kesukuan di kalangan bangsa Arab telah
mengenal prinsip hukuman pembalasan atas sebuah tindak penganiayaan dalam kasus
pelukaan seseorang berlaku hukuman sa’r atau pembalasan darah,23 dan pembalasan ini
bisa saja berlaku pada setiap anggota klan pelaku penganiayaan tersebut, sedang kisas
menjadikan pelaku tindak kejahatan sebagai pribadi yang mempertanggung-jawabkan
suatu tindak kejahatan dan ia sendiri yang layak dikenai suatu hukuman dan bahkan
dalam kisas hukuman harusnya setimpal dengan kejahatan. Jadi, kisas merupakan
esensi sebuah prinsip keadilan menegaskan adanya konsekuensi dalam sebuah tindak
kejahatan atau adanya efek tertentu yang turut melatarbelakangi suatu tindakan dalam
Islam sebagaimana dalam judaisme24
objektifitas kisas dijadikan sebagai prinsip
hukum, prinsip ini menggantikan prinsip hukuman pembalasan kesukuan yang
bersyarat subjektif yang telah ada sebelumnya.
22 Ibid., 23 Ibid., h.329 24 Ibid.,
Turunnya ayat-ayat tentang kisas dilatarbelakangi oleh perintah Allah untuk
menghormati nyawa manusia. Atau larangan Allah untuk sikap atau tindakan tidak
menghormati nyawa manusia. Karena memelihara nyawa manusia merupakan salah satu
tujuan utama dari lima tujuan syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Bahkan
memelihara nyawa manusia menempati tempat kedua dari kelima hal itu, yakni:
memelihara agama, memelihara nyawa, memelihara akal, memelihara keturunan dan
kehormatan, dan memelihara harta benda.25
Allah menyatakan di dalam al-Qur’an:
� ��&�D ��+ م�;&Mم ;EHG� وAت��&;ا ا��)�� ا�)R� �)م اQ إA) ب�HNO� وم� � )33: اWس�اء(س&�Uن� +T���ف +R ا��� إن)E آ�ن م��;را
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh
secara dzalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli
warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh,
sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (al-Isra:33).
��4Z ا�)\�� ءام�;ا آ�� '&B5G ا����ص +R ا���&% اZ��O� ب��H�O� وا����� ب������ ��أ E��G�����ع ب�������وف وأداء إHء +�تRش�� E��GIم��� أ E��� R���' ����+ %وا�ن��% ب����ن
H3 مG�a��ن ذ0� تbب BG��اب أ\�' E�&+ 0��ا'���ى ب��� ذ ��+ e�ور B5Hر)ب �
)178:ا����ة(
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah yang dimaafkan mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada
yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula), yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan
dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa”.(al-Baqarah : 178)
25 Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001, h. 91.
Sebab turunnya ayat ini menurut suatu riwayat dari Qatadah bahwa orang-orang
jahiliyah sudah dijangkiti penyakit suka melakukan kejahatan dan kedzaliman (jinayah)
dan sudah tergoda setan. Perbuatan ini biasanya dilakukan apabila mereka merasa kuat,
apabila budak mereka membunuh budak lain. Mereka lalu mengatakan bahwa kami
tidak akan membunuh kecuali orang-orang merdeka, yang merupakan kesombongan
mereka terhadap orang lain. Dan apabila wanita mereka membunuh wanita lain, mereka
menyatakan kami tidak akan membunuh kecuali orang laki-laki, maka turunlah ayat:
)178:���ةا�(اZ�O� ب�H�O� وا���� ب����� وا�ن% ب��ن%
“…orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita...“ (al-Baqarah : 178) Dalam suatu riwayat dari Said bin Juber diberikan bahwa orang-orang Arab
pada masa sebelum datangnya Islam suka berperang karena persoalan kecil, maka
terjadilah pembunuhan dan persoalan melukai itu adalah persoalan biasa bagi
mereka, bahkan sampai mereka membunuh budak dan wanita. Keadaan itu
berlangsung terus sampai masuk Islam. Maka merupakan kejadian biasa bila ada
yang menyombongkan kekuatannya pada pihak lain. Misalnya, apabila di pihaknya
ada budak atau wanita dibunuh oleh pihak yang menjadi korban tidak akan rela
kalau tidak membunuh orang merdeka atau laki-laki dari pihak lawannya.
Dalam al-Qur’an, dalil-dalil tentang kisas tertera pada QS 2: 179, 194 dan QS
5:45, QS 25:68.
)179:ا����ة (وR+ B5� ا����ص �Gة ��أوR� ا����ب ��&)B5 ت�)�;ن “Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-
orang yang berakal supaya kamu bertaqwa” (al-Baqarah: 179)
ا�@)4� اO��ام ب��@)4� اO��ام واO��م�ت ��ص +�� ا'��ى '&B5G +�'��وا EG&'
)194: ا����ة (
“Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut diihormati
berlaku hukum kisas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu maka
seranglah ia” (al-Baqarah: 194)
وآ���� '&j4G+ B4Gأن) ا��)�� ب���)�� وا��G� ب���G� وا�ن3 ب��ن3 وا�ذن (��ق بE +4; آ�)�رة �)E وم� �)B ب��ذن وا���H) ب���H�H واl��وح ��ص +�� ت
) 45: ا����nة ( B5O� بj�أنpل اo+ Qو0nA هB ا�M)���;ن“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalam Taurat bahwasanya jiwa
dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada kisasnya. Barang siapa yang
melepaskan hak kisashnya maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa
baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim” (al-Maidah : 45)
HNO�ب�� (Aإ Qم ا(�� R��(ن ا���)�� ا�;�&���Aو ��Iإ�4� ءا Qن م� ا;'��A ��\(وا� )68: ا��� �ن (وp�Aن;ن وم� �)�� ذN&� 0� أ��م�
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan
tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang
benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya
dia mendapat pembalasan dosanya” (al-Furqan : 68)
Artinya pembalasan yang dimaksud ialah pembalasan yang dikenakan kepada
orang yang melakukan pembunuhan dengan secara dibunuh juga, hukuman tersebut
dijatuhkan oleh hakim melalui proses pengadilan. Namun apabila keluarga yang
terbunuh itu memaafkan si pelaku pembunuhan maka hukum kisas tidak dikenakan
pada pembunuh sebagai gantinya si pembunuh harus membayar diat.
B. Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas
Dalam kamus besar bahasa Indonesia hukuman berarti siksa yang dikenakan
kepada orang yang melanggar Undang-Undang dan sebagainya, keputusan yang
dijatuhkan oleh hakim, hasil atau akibat menghitung.26
26 Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.317
Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan.27
Pembunuhan dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1. Pembunuhan sengaja, yaitu suatu pembunuhan dimana pelaku perbuatan tersebut
sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki akibat dari perbuatannya,
yaitu matinya orang yang menjadi korban. Sebagai indikator dari kesengajaan untuk
membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakannya. Dalam hal ini alat
yang digunakan untuk membunuh korban adalah alat yang lumrahnya dapat
mematikan korban, seperti senjata api, senjata tajam, dan lain sebagainya.
Unsur-unsur pembunuhan sengaja adalah korban harus berupa manusia yang
hidup, apabila korban bukan manusia hidup tetapi ia sudah meninggal terlebih
dahulu maka ia bukanlah korban pembunuhan sengaja. Kematian adalah merupakan
akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan. Pembunuhan
dianggap sebagai pembunuhan sengaja apabila dalam diri pelaku terdapat niat untuk
membunuh korban bukan hanya kesengajaan dalam perbuatannya saja tetapi niat
untuk membunuh.
2. Pembunuhan menyerupai sengaja. Menurut Hanafiyah,28
pembunuhan menyerupai
sengaja ada suatu pembunuhan dimana pelaku sengaja memukul korban dengan
tongkat, cambuk, batu, tangan, benda lain yang mengakibatkan kematian. Menurut
definisi ini pembunuhan menyerupai sengaja memiliki dua unsur yaitu, unsur
kesengajaan. Terlihat dalam kesengajaan berbuat berupa pemukulan, unsur
kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat membunuh. Dengan demikian pembunuhan
tersebut menyerupai sengaja karena adanya kesengajaan dalam berbuat.
27 Ahmad Wadi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, h. 36. 28 Ibid.,
Unsur-unsur lainnya yaitu perbuatan tersebut mengakibatkan kematian,
adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan tetapi kematian yang terjadi
merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
3. Pembunuhan karena kesalahan, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq:
“Pembunuhan karena kesalahan adalah apabila seorang mukallaf melakukan
perbuatan yang dibolehkan untuk dikerjakan, seperti menembak binatang buruan
atau membidik suatu sasaran, tetapi kemudian mengenai orang yang dijamin
keselamatannya dan membunuhnya.29
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat
diambil intisari bahwa dalam pembunuhan karena kesalahan, sama sekali tidak ada
unsur kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak pidana
pembunuhan terjadi karena kurang hati-hati atau karena kelalaian dari pelaku.
Unsur-unsurnya perbuatan yang mengakibatkan kematian korban dan perbuatan
tersebut terjadi karena kekeliruan. Adanya hubungan sebab akibat antara kekeliruan
dan kematian, hukuman sebab akibat dianggap ada karena pelaku yang menjadi
penyebab dari perbuatan yang mengakibatkan kematian tersebut.
Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan dalam syari’at Islam adalah kisas.
Kisas juga merupakan hukuman pokok untuk pembunuhan yang disengaja selain
kifarat. Sedangkan penggantinya adalah diat dan ta’zir30
.
Seseorang yang akan menjalani hukuman kisas haruslah seorang mukallaf yaitu
baligh dan berakal karena kisas tidak bisa dilaksanakan untuk anak kecil dan orang gila,
pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja yaitu menghilangkan nyawa. Pelaku
29 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, Beirut, Dar al-Fikri, 1980, h. 438. 30 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.32
pembunuhan merupakan orang yang bebas (merdeka) dan tidak dipaksa melakukan
pembunuhan31.
Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan sengaja adalah kisas32, sedangkan
hukuman pembunuhan menyerupai sengaja diancam dengan beberapa hukuman, yaitu
diat dan kifarat tidak dengan kisas. Untuk pembunuhan karena kesalahan hukumannya
adalah diat dan kifarat juga tidak dengan kisas.
Hukuman untuk tindak pidana selain jiwa seperti bagian athraf33
dikenakan
hukuman pokok yaitu kisas jika dilakukan dengan sengaja dengan hukuman
penggantinya diat dan ta’zir34
, adapun hukuman pokok untuk perusakan athraf yang
menyerupai sengaja dan kekeliruan adalah diat sedangakan hukuman penggantinya
adalah ta’zir. Jadi kisas khusus untuk perusakan athraf atau sengaja.
Hukuman lain untuk pidana selain jiwa yaitu hukuman atas menghilangkan
manfaat anggota badan adalah kisas. Meskipun faktor kesulitan untuk melaksanakan
hukuman kisas dalam tindak pidana menghilangkan manfaat ini sangat besar, namun
menurut Jumhur Fuqaha selama hal itu memungkinkan, tetap diupayakan untuk
melaksanakannya35
. Apabila kisas betul-betul tidak memungkinkan untuk
melaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diat.
Hukuman untuk syajjaj36
yang merupakan bagian dari tindak pidana atas selain
jiwa. Dari sebelas jenis yang dikemukakan oleh Abu Hanifah37
, hanya satu jenis yang
31 Ibid., 32 Ibid., h.38 33 Tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan
anggota badan 34 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.38 35 Ibid., h.39 36 Pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala 37 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40
disepakati oleh para fuqaha untuk dikenakan kisas yaitu Mudhihah38
sebagaimana telah
dikemukakan mudhihah adalah pelukaaan yang agak dalam sehingga memotong dan
merobek selaput antara daging dan tulang sehingga tulang tersebut kelihatan.
Sedangkan jenis-jenis syajjaj di atas mudhihah, yaitu hasyimah39
, munqilah40
, al-
ammah41, dan ad-damighah
42. Para fuqaha telah sepakat tidak berlaku hukuman kisas,
karena sangat sulit untuk dilaksanakan secara tepat tanpa ada kelebihan43
. Adapun jenis-
jenis syajjaj di bawah mudhihah, para fuqaha berbeda pendapat tentang diterapkannya
hukuman kisas atas jenis-jenis syajjaj tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa dalam
semua jenis syajjaj sebelum mudhihah berlaku hukuman kisas, karena hal itu masih
mungkin untuk dilaksanakan. Menurut Imam Abu Hanifah, mengacu kepada riwayat al-
Hasan tidak ada kisas kecuali pada mudhihah dan simhaq44
, itupun kalau
memungkinkan. Sementara menurut Imam Muhammad, kisas bisa diterapkan pada
mudhihah, simhaq, badi’ah, dan damiyah, karena kesepadanan masih mungkin
dilaksanakan dengan mengukur lukanya, baik lebar maupun dalamnya. Menurut
mazhab Syafi’i dan Hanbali, tidak ada hukuman kisas pada syajjaj sebelum mudhihah,
karena luka-luka tersebut tidak sampai pada tulang sehingga tidak ada batas pasti yang
aman dari kelebihan45
.
Sedangkan hukuman kisas untuk jirah46
ini diperselisihkan oleh para fuqaha.
Imam Malik berpendapat bahwa kisas berlaku pada semua jirah, baik lukanya munqilah
38 Pelukaan yang lebih dalam sehingga memotong atau merobek selaput tersebut sehingga
tulangnya kelihatan. 39 Pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga memotong atau memecahkan tulang. 40 Pelukaan yang sampai memindahkan posisi tulang dari tempat asalnya. 41 Pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai kepada selaput tulang dan otak. 42 Pelukaan yang merobek selaput antara tulang dan otak sehingga otaknya kelihatan. 43 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40 44 Pelukaan memotong daging sehingga selaput antar daging dan tulang kelihatan. 45 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40 46 Pelukaan anggota badan meliputi leher sampai batas pinggul.
maupun hasyimah47
. Alasannya adalah kisas dengan keseimbangan masih
memungkinkan, kecuali kalau menimbulkan kekhawatiran. Sedangkan untuk jaifah
tidak berlaku hukuman kisas.
Abu Hanifah berpendapat bahwa di dalam jirah tidak berlaku hukuman kisas
sama sekali, baik jaifah48 maupun ghairu jaifah
49. Alasannya adalah karena sulit untuk
menerapkan kesepadanan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, apabila jirah tersebut
mengakibatkan kematian, pelaku wajib di kisas jika ia sengaja melakukan
pembunuhan50
.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam jirah berlaku
hukuman kisas apalagi pelukaannya sampai mudhihah, yaitu pelukaan yang sampai
kepada tulangnya51
. Alasannya karena dalam hal ini kesepadanan mungkin diterapkan
karena ada batas, yaitu tulang. Akan tetapi, sebagian dari pengikut imam Syafi’i
berpendapat bahwa dalam jirah sama sekali tidak berlaku hukuman kisas alasan mereka
adalah karena dalam mudhihah kepala dan wajah ada ganti rugi yang tertentu,
sedangkan pada jirah tidak ada. Oleh karena itu, keduanya tidak boleh disamakan. Akan
tetapi pendapat tersebut ditolak, karena dasar kisas bukan ganti rugi, melainkan firman
Allah dalam surah al-Maidah ayat 45:
)45: ا����nة (واl��وح ��ص “Dan setiap luka ada qishasnya” (al-Maidah : 45)
Hukuman untuk tindakan selain yang telah disebutkan di atas. Apabila tindak
pidana atas selain jiwa tidak menimbulkan luka pada athraf, tidak pula menghilangkan
manfaatnya, juga tidak menimbulkan syajjaj, dan tidak pula jirah, menurut kebanyakan
47 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40 48 Pelukaan sampai ke bagian dalam dari dada. 49 Pelukaan tidak sampai ke bagian dalam dada. 50 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.41 51 Ibid.,
pendapat fuqaha dalam kasus ini tidak berlaku hukuman kisas. Tindakan
penempelengan, pemukulan, dengan cambuk dan tongkat semuanya itu tidak dikenakan
hukuman kisas apabila tidak meninggalkan bekas52.
Imam Malik, berpendapat bahwa dalam pemukulan dengan cambuk berlaku
hukuman kisas, walaupun tidak menimbulkan jirah atau syajjaj53. Akan tetapi, dalam
penempelengan dan pemukulan dengan tongkat dan penempelengan tidak berlaku
hukuman kisas, kecuali apabila menimbulkan luka jirah atau syajjaj. Menurut Syamsu
Ad-Din Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, di dalam penempelengan dan pemukulan juga
berlaku hukuman kisas, berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 126:
�)�ب��� &� �GI ;4� Bص��ت �s�و Eب B�� ;'م� (وإن '� B�� +�� �;ا ب�Oا�� :126(
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu
bersabar, sesungguhnya itulah lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (an-
Nahl: 126)
Ayat di atas menjelaskan tentang kesepadanan dalam hukuman dan perbuatan
dalam kasus ini penempelengan dibalas dengan penempelengan dan pemukulan dibalas
dengan pemukulan adalah suatu tindakan yang lebih dekat kepada kesepadanan dan
keseimbangan disbanding dengan ta’zir yang berlainan jenis dengan perbuatan yang
dilakukan oleh terhukum. Pendapat Ibnu Al-Qayyim ini diperkuat dengan merujuk
kepada pendapat Imam Ahmad Ibnu Hambal yang mengatakan bahwa untuk
penempelengan dan pemukulan berlaku hukuman kisas. Demikian pula para sahabat
seperti Abu Bakar, Utsman, Ali, dan Khalid bin Walid pernah meng-kisas pelaku
penempelengan54
.
52 Ibid., 53 Ibid,. 54 Ibid., h.42
Sebagian fuqaha dari kalangan Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa untuk
penempelengan berlaku hukuman khusus jika tindakan tersebut menghilangkan daya
penglihatan55. Akan tetapi untuk penempelengannya sendiri, mereka tidak
memberlakukan hukuman kisas. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa menurut pendapat
jumhur fuqaha, untuk tindak atas selain jiwa yang tidak mengakibatkan luka pada
athraf, syajjaj, atau jirah, hukumannya adalah ganti rugi yang tidak tertentu atau
hukumah, yaitu ganti rugi yang ketentuannya diserahkan kepada kebijaksanaan dan
ijtihad hakim, dan ini hampir mirip dengan ta’zir.
Menurut R. Soesilo, hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang
dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar undang-undang
hukum Pidana.56
Sedangkan, menurut Wiryono Prodjodikoro hukuman adalah hal-hal
yang dipidanakan oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum
sebagai hal yang tidak enak dirasakannya, dan juga hal yang tidak sehari-hari
dilimpahkan.
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa hukuman adalah suatu penyiksaan
atau penderitaan yang khusus dijatuhkan kepada orang yang melanggar norma-norma
atau kaidah-kaidah hukum pidana melalui vonis hakim.
Dalam istilah hukum pidana Islam, pemidanaan ataupun hukuman disebut
dengan istilah ‘uqubah.57
Dalam al-Quran tidak dijumpai kata ini, yang ada hanyalah
kata ‘iqab yang disebut sebanyak 20 kali dalam 11 surat dan 20 ayat, yang berarti siksa
55 Ibid., 56
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea,
1965, h. 26. 13
Kata ‘uqubah berasal dari akar kata ‘aqaba-ya’qibu/ya’qubu-‘aqban-‘uquban. Namun
demikian, kata ‘uqubah identik dengan kata al-‘iqab dan al-qishash yang secara harfiah berarti hukuman.
Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progressif, Edisi II, h. 1022.
atau siksaan. Kata lain yang menyerupai kata ‘iqab adalah kata ‘adzab yang juga berarti
siksa, di samping berarti sakit dan pedih (al-alam).58
Sedangkan secara terminologi, ‘uqubah adalah sebutan bagi sesuatu yang
menyakitkan atau tidak menyenangkan yang dikenakan atau ditimpakan kepada pelaku
tindak kejahatan dalam rangka mencegah (menghalangi) pelaku, atau suatu yang tidak
menyenangkan atau menyakitkan yang disyariatkan (oleh Allah) untuk mencegah
timbulnya berbagai kerusakan atau mafasid.59
C. Tindak Pidana Yang Dapat Dikenakan Pidana Kisas
Tindak pidana yang dapat dikenakan hukuman kisas antara lain: Pembunuhan.
Pembunuhan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan proses, perbuatan, atau cara
membunuh.60 Sedangkan pengertian membunuh adalah mematikan, menghilangkan
(menghabisi, mencabut nyawa).61 Dalam bahasa Arab pembunuhan disebut (al-qatlu)
berasal dari kata qatala yang sinonimnya amaaata62 yang artinya mematikan. Dalam
istilah pembunuhan didefinisikan oleh Wahbah al-Zuhaili yang mengutip pendapat
Syarbini Khatib sebagai berikut:
“Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa
seseorang”.63
Abdul Qadir Audah memberikan definisi pembunuhan sebagai berikut:
14Muhammad Amin Suma, “Hukum Pidana Islam: Visi, Misi dan Filosofinya dalam Perspektif
Qur’an dan Sunnah”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Pidana Islam: Deskripsi,
Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23-24
Juni 1999, h. 12. 15Ibid., 60 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, h. 138. 61 Ibid., 62 Ibrahim Unais, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz II, Daar Ihya’ At-turats al-‘Arabi T.Th, h. 715. 63 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Damaskus, Dar Al-Fikr, 1989,
h.217.
“Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan yakni
pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan sebab
perbuatan manusia yang lain”.64
Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pembunuhan adalah
perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan nyawa, baik perbuatan
tersebut dilakukan sengaja ataupun tidak disengaja. Pembunuhan merupakan perbuatan
yang dilarang oleh syara’. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam al-Qur’an.
1. Surat al-Isra ayat 31:
وAت��&;ا أوAدآeG@I B إمTق ن)O� ن�ز B4 وإ�)�آB إن) �&B4 آ�ن �sUI آG��ا
)31: اWس�اء(“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (al-Israa: 31)
2. Surat al-Isra ayat 33:
HNO�ب� (Aإ Qم ا(� R�(ا� ��(�&;ا ا���تAو)س�اءW33: ا ( “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan, melainkan dengan
suatu alasan yang benar” (al-Israa: 33)
3. Surat al-Furqan ayat 68:
HNO�ب� (Aإ Qم ا(� R�(ن ا��)�� ا�;&���Aو �Iإ�4� ءا Qن م� ا;'��A ��\(وا� )68: ا��� �ن (N أ��م� وp�Aن;ن وم� �)�� ذ0� �&
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan
tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang
benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya
dia mendapat pembalasan dosanya” (al-Furqan: 68)
Larangan perbuatan juga terdapat pada beberapa hadits nabi, antara lain hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
BA&)س وEG& '% اQ&) ص اQل;س ر�ل : �ل E� ' اvRQ رد;�� م�� اب'�OZ: ثT �ي�b بA) إ اQل;سR رنHأ و اAQ) إ�E إ Aن أB� @4�&� مئ� امم د
) م��EG&' N (l�'�e& �ق�ر��� اE��� �ك�رت و�����) ب��ا��)R وان ا�HG�(pا�)
64 Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, h. 6
“Dari Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah saw.telah bersabda: “Tidak halal
darah seorang muslim yang telah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Allah dan bahwa aku utusan-Nya, kecuali dengan salah satu dari
tiga perkara: (1) Pezina Muhsan, (2) Membunuh, dan (3) Orang yang
meniggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah.” (Muttafaqun
alaihi)65
Dari beberapa ayat al-Qur’an dan al-Hadits tersebut, jelaslah bahwa
pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’, kecuali ada alasan yang
dibenarkan oleh hukum syara’.
Selain pembunuhan tindak pidana yang dapat dikenakan kisas adalah tindak
pidana atas selain jiwa. Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa, seperti
yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah:
“Setiap Perbuatan yang menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetap
tidak sampai menghilangkan nyawanya”.66
Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili,
bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan
manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan,
sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu.67
Istilah tindak pidana atau selain jiwa (م� دون ا���� %&' e���D) digunakan secara jelas
oleh Hanafiah68
. Istilah ini lebih luas daripada apa yang dikemukakan oleh Undang-
Undang hukum pidana Mesir, yang menyebutnya dengan istilah pelukaan (al-jarhu) dan
pemukulan (al-dharbu).
Inti dari unsur tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dikemukakan dalam
definisi di atas adalah perbuatan yang menyakiti. Dengan demikian yang termasuk
65 Muhammad Ibn Isma’il Al-Kahlani, Subulus Salam Juz. III, Mesir, Mustafa al-Baaby Al-
Halabiy, 1960, h. 260. 66 Ibid., 67 Ibid., 68 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.45
dalam perbuatan menyakiti, setiap jenis pelanggaran yang bersifat menyakiti, atau
merusak anggota badan manusia, seperti pelukaan, pemukulan, pencekikan,
pemotongan, dan penempelengan. Oleh karena sasaran tindak pidana ini adalah badan
atau jasmani manusia maka perbuatan yang menyakiti perasaan orang tidak termasuk
dalam definisi di atas, karena perasaaan bukan jasmani dan sifatnya abstrak, tidak
konkrit. Perbuatan yang menyakiti perasaan dapat dimasukkan dalam tindak pidana
penghinaan atau tindak pidana lain yang tergolong jarimah ta’zir.
Ditinjau dari sasarannya tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi kepada lima
bagian69
, yaitu:
1. Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya. Adapun yang dimaksud
dengan jenis yang pertama ini adalah tindakan perusakan terhadap anggota
badan dan anggota lain yang disetarakan dengan anggota badan (athraf) baik
berupa pemotongan atau pelukaan. Dalam kelompok ini termasuk pemotongan
tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar, biji pelir, telinga, bibir, pencongkelan
mata, merontokkan gigi, pemotongan rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis,
bibir kemaluan perempuan, dan lidah.
2. Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih tetap utuh.
Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang merusak manfaat dari
anggota badan, sedangkan jenis anggota badannya masih utuh. Dengan
demikian, apabila anggota badannya hilang atau rusak, sehingga manfaatnya
juga ikut hilang maka perbuatannya termasuk kelompok pertama, yaitu
perusakan anggota badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah
menghilangkan daya pendengaran penglihatan, penciuman, pembicaraan, suara,
69 Ibid., h.47
rasa (dzauq), penguyahan (madhghun), pengeluaran mani (imna’), penghamilan
(ihbal), persetubuhan (ijma’), pengeluaran air seni (ifdha’), daya gerak
(bathsyu’), dan berjalan.
3. Hukuman Syajjaj. Yang dimaksud dengan asy-syajjaj adalah pelukaan khusus
pada bagian muka dan kepala. Sedangkan pelukaan atas badan selain muka
kepala termasuk kelompok keempat, yaitu jirrah.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada
bagian muka dan kepala, tetapi khusus di bagian-bagian tulang saja, seperti dahi.
Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk syajjaj, tetapi ulama
yang lan berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada bagian muka dan
kepala secara mutlak.70
Adapun organ-organ tubuh yang termasuk kelompok
anggota badan, meskipun ada pada bagian muka, seperti mata, telinga, dan lain-
lain tidak termasuk syajjaj.
Menurut Imam Abu Hanifah71, syajjaj itu ada sebelas macam:
a) Al-Kharishah, yaitu pelukaan atas kulit, tetapi tidak sampai mengeluarkan
darah.
b) Ad-Dami’ah, yaitu pelukaan yang mengakibatkan pendarahan, tetapi
darahnya tidak sampai mengalir, melainkan seperti air mata.
c) Ad-Damiyah, yaitu pelukaan yang berakibat mengalirkan darah.
d) Al-Badhi’ah, yaitu pelukaan yang sampai memotong daging.
e) Al-Mutalahimah, yaitu pelukaan yang memotong daging lebih dalam
daripada al-Badhi’ah.
70 Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, h.206 71 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.48.
f) As-Simhaq, yaitu pelukaan yang memotong daging lebih dalam lagi,
sehingga kulit halus (selaput antar daging dan tulang kelihatan. Selaputnya
itu sendiri disebit simhaq.
g) Al-Mudhihah, yaitu pelukaan yang lebih dalam, sehingga memotong atau
merobek selaput tersebut sehingga tulangnya kelihatan.
h) Al-Hasyimah, yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi, sehingga memotong
atau memecahkan tulang.
i) Al-Munqilah, yaitu pelukaan yang bukan hanya sekedar memotong tulang,
tetapi sampai memindahkan posisi tulang dari tempat asalnya.
j) Al-Ammah, yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai kepada
ummud dimagh ( ام ا��م�غ), yaitu selaput antara tulang dan otak.
k) Ad-Damighah, yaitu pelukaan yang merobek selaput antara tulang dan otak
sehingga otangknya kelihatan.
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, sebenarnya jenis syajjaj yang
disepakati oleh para fuqaha adah sepuluh macam72, yaitu tanpa memasukkan
jenis yang kesebelas yaitu ad-Damighah. Hal ini karena ad-Damighah itu
pelukaan yang merobek selaput otak, sehingga karenanya otak tersebut akan
berhamburan, dan kemungkinan mengakibatkan kematian. Itulah sebabnya ad-
Damighah tidak dimasukkan ke dalam kelompok syajjaj.
4. Al-Jirah, adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, kepala, dan atraf73
.
Anggota badan yang pelukaannya termasuk jirah ini meliputi leher, dada, perut,
sampai batas pinggul. Al-Jirah ini ada dua macam, yaitu:
72 Ibid., h. 49 73 Ibid.,
a. Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam dari dada dan perut,
baik pelukaan dari depan, belakang maupun dari samping.
b. Ghair Jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari dada
atau perut, melainkan hanya pada bagian luarnya saja.
5. Tindakan selain yang telah disebutkan di atas
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah setiap tindakan
pelanggaran, atau menyakiti yang tidak sampai merusak athraf atau
menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan luka atau syajjaj atau
jirah74
. Sebagai contoh dapat dikemukakan, seperti pemukulan pada bagian
muka, tangan, kaki atau badan, tetapi tidak sampai menimbulkan atau
mengakibatkan luka, melainkan hanya memar, muka merah atau terasa sakit.
Hanafiyah sebenarnya hanya membagi tindak pidana atas selain jiwa ini
kepada empat bagian, tanpa memasukkan bagian yang kelima karena bagian yang
kelima ini adalah suatu tindakan yang tidak mengakibatkan luka pada athraf
(anggota badan), tidak menghilangkan manfaatnya, juga tidak menimbulkan luka
syajjaj,dan tidak pula luka pada jirah75
.
D. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Kisas
Siapa yang dijatuhi hukuman kisas dalam masalah pembunuhan maupun dalam
masalah penganiayaan dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada kisas
atas orang yang tidak wajib atasnya hudud (hukuman-hukuman yang telah ditetapkan
kadarnya). Orang yang memiliki kriteria seperti ini dari kaum laki-laki adalah yang
belum pernah mimpi bersenggama, sedangkan dari kaum wanita adalah yang belum
74 Ibid., h.50 75 Ibid.,
mengalami haid atau yang usianya belum cukup 15 tahun dari keduanya, serta orang
yang akalnya tidak sehat dengan sebab apapun kecuali karena mabuk.76 Apabila seorang
laki-laki baligh yang tidak dilarang membelanjakan hartanya yang diterima
pengakuannya mengaku telah melakukan tindak kriminal secara sengaja dan ia
memerinci tindak kriminal tersebut, lalu ia gila atau mengalami gangguan otak, maka
kisas-kisas dilaksanakan atasnya. Adapun bila ia mengaku melakukan hal itu tanpa
sengaja, maka ia harus mengganti kerugian yang ditimbulkan dengan hartanya. Akalnya
yang terganggu tidak menghalangi untuk diambil hak orang lain darinya. Imam Syafi’i
juga berpendapat apabila seseorang yang telah baligh mengaku telah melakukan tindak
kriminal terhadap orang secara sengaja dan ia mengaku bahwa saat terjadinya tindak
pidana itu ia masih di bawah umur, maka perkataannya dapat diterima di mana ia tidak
dijatuhi hukuman kisas, namun ia tetap membayar kerugian yang ditimbulkan oleh
perbuatannya.
Menurut Imam Syafi’i tindak pidana secara sengaja yang berlaku padanya kisas
adalah pembunuhan yang dapat ditinjau dari tiga segi77 Pertama, pembunuhan yang
disengaja dan berlaku padanya hukum kisas, dalam hal ini ahli waris orang yang
terbunuh dapat menuntut pelaku agar dihukum bunuh. Kedua, pembunuhan serupa
sengaja namun tidak berlaku padanya hukum kisas. Ketiga, pembunuhan tanpa sengaja
tidak berlaku padanya hukum kisas.
Batasan tindak pidana yang berlaku padanya hukum kisas adalah seseorang
yang dengan sengaja mendatangi orang lain lalu menghujamkan senjata yang biasa
digunakan untuk menumpahkan darah dan dapat melukai daging seperti pedang atau
76 Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab al-Umm II, Jakarta, Pustaka Azzam, 2004, h. 570. 77 Ibid.,
pisau karena senjata tersebut adalah senjata diperintahkan Allah untuk dibawa saat
shalat khauf.78
Imam Syafi’i juga berpendapat apabila seorang memukul orang lain dengan
menggunakan bagian lain sisi yang tidak tajam dari pedang atau pisau dan tidak
melukainya namun korban meninggal dunia maka dalam kasus ini pelaku tidak
dijatuhkan hukuman mati79
. Seseorang dapat dijatuhi hukuman mati karena membunuh
dan apabila besi yang ia gunakan dapat melukai atau mengoyakkan badan seperti batu
yang besar. Apabila seseorang memukul orang lain dengan menggunakan sisi tajam
pedang atau pisau dan korban tidak terluka namun ia meninggal dunia maka dalam
kasus ini pelaku diharuskan membayar denda dan tidak dijatuhi hukuman mati. Jika
seseorang memukul orang lain dengan menggunakan batu yang tidak bersisi tajam dan
ukurannya relatif ringan, lalu batu itu dipukulkan ke kepala korban dan korban
meninggal dunia maka dalam kasus ini pelaku tidak dijatuhi hukuman mati jika pelaku
memukuli korban dengan batu itu dan menimbulkan luka di kepala yang umumnya
dapat membawa kepada kematian maka pelaku dijatuhi hukuman mati sebab batu dapat
melukai dengan sebab ukurannya yang berat sekiranya batu itu memiliki sisi tajam lalu
melukai korban sehingga meninggal dunia, maka pelaku dijatuhi hukuman mati80
.
Adapun sesuatu yang lebih berat dari ini maka bila dipukulkan, ditindihkan atau
dijatuhkan kepada seseorang, maka orang itu tidak akan bertahan hidup. Apabila
seseorang menggunakan benda seperti ini untuk memukul atau melempar orang lain dan
korban tidak mampu keluar darinya atau benda itu ditimpakan kepadanya lalu korban
meninggal dunia maka dalam kasus ini berlaku hukum kisas. Sebagai contoh seseorang
yang memukul orang lain dengan menggunakan kayu yang besar dan dapat melukai
78 Ibid., h. 571 79 Ibid., 80 Ibid.,
kepala, dada maupun pinggang korban hingga membunuhnya, atau pelaku
menggunakan benda lain yang mirip dengan ini dimana umumnya orang yang dipukul
dengan benda itu tidak akan bertahan hidup maka dalam kasus ini pelaku dijatuhi
hukuman mati dan dieksekusi sebagaimana cara ia membunuh korban. Begitu pula
apabila seseorang menyalakan api lalu melempar orang lain ke dalam api itu dalam
keadaan terikat atau ia mengikat orang lain dan melemparkan ke air dan korban
meninggal dunia saat itu juga atau meninggal beberapa waktu kemudian akibat sakit
yang ia derita karena penganiayaan itu maka dalam kasus ini pelaku dihukum mati.
Imam syafi’i berpendapat barang siapa mengalami penganiayaan dari seseorang, maka
hendaknya diperhatikan waktu terjadinya peristiwa itu. Apaila umumnya apa yang
menimpanya dapat membunuh seseorang, maka pelaku dijatuhi hukuman mati. Dan
apabila seseorang menempatkan orang lain dalam suatu ruangan tanpa menyisakan
lubang yang dapat digunakan untuk mengirim makanan dan minuman kepada orang itu
hingga berhari-hari lalu korban meninggal dunia atau ia memenjarakan orang itu di
suatu tempat meski bukan dalam tembok tertutup lalu ia melarang untuk diberikan
kepada korban makanan dan minuman selama waktu yang umumnya orang akan
meninggal dunia dalam masa tersebut tanpa makan dan minum hingga akhirnya korban
meninggal dunia maka pelaku dijatuhi hukuman mati.81
Adapun bila korban meninggal
pada masa yang umumnya seseorang tetap hidup tanpa makan dan minum, maka pelaku
tidak dijatuhi hukuman mati, tapi harus membayar denda.
Dalam hal penganiayaan fisik secara sengaja yang tidak mencapai tingkat
pembunuhan Imam Syafi’i berpendapat bahwa penganiayaan fisik yang tidak mencapai
tingkat pembunuhan berbeda dengan hukuman pembunuhan itu sendiri dalam sebagian
81 Ibid., h. 572
perkara yang dilakukan secara sengaja82
. Apabila seseorang dengan sengaja menusuk
mata orang lain dengan jari tangannya hingga mencungkilnya maka pelaku dijatuhi
hukuman yang serupa dengan perbuatannya atau kisas. Demikian pula apabila
seseorang memasukkan jari tangannya di mata orang lain hingga mata orang itu
mengalami cedera sampai akhirnya ia buta maka pelaku dijatuhi hukuman yang sama
dengan perbuatannya83
.
Allah telah menetapkan hukum yang adil juga telah menyamakan diantara
hamba-hambaNya baik yang berstatus sosial tinggi maupun yang berstatus sosial rendah
di hadapan hukum Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 50 :
: ا����nة (أ+B5O ا�l�ه&G)e ��|;ن وم� أ�� م� ا QH� ��5�;م �; �;ن50(
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (al-Maidah :
50)
Sesungguhnya Islam diturunkan pada saat sebagian bangsa Arab saling
membalas karena pembunuhan atau penganiayaan maka diturunkan pada mereka
firman-Nya:
��أ��4Z ا�)\�� ءام�;ا آ�� '&B5G ا����ص +R ا���&% اZ�O� ب�H�O� وا���� ب����� �وف وأداء إEG� وا�ن% ب��ن% +�� 'E� R� م� أEGI شRء +�تH��ع ب����
BG�اب أ\' E&+ 0�ا'��ى ب�� ذ ��+ e�ور B5Hر)ب �H3 مG�a��ن ذ0� تbب )178:ا����ة (
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa
82 Ibid., 83 Ibid.,
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (al-
Baqarah:178)
Imam Syafi’i berkata siapa saja yang membunuh seseorang maka ahli waris
korban berhak memilih antara membunuh pelaku pembunuhan atau mengambil diyat
atau memberi maaf tanpa mengambil diyat84
. Allah SWT telah mengirimkan
firmanNya:
�� ا�)R� �)م اQ إA) ب�HNO� وم� � مM&;م� +�� EHG�;� ��&�D وAت��&;ا ا��) )33:اWس�اء( س&�Uن� +T���ف +R ا��� إن)E آ�ن م��;را
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar, dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (al-Israa: 33)
Apabila ahli waris orang yang dibunuh memilih mengambil diyat dan tidak
melakukan kisas maka pembunuh harus menerima keputusan ini baik ia tidak
menyukainya karena sesungguhnya Allah SWT hanya memberi kekuasaan kepada ahli
waris. Adapun yang memegang kekuasaan ini adalah seluruh ahli waris yang terdiri dari
isteri dan selainnya. Tidak boleh bagi wali memutuskan untuk menuntut bunuh atas
pelaku pembunuhan hingga berkumpul seluruh ahli waris. Ahli waris yang tidak berada
di tempat ditunggu hingga hadir atau menunjuk wakil dan ahli waris yang masih kecil
ditunggu hingga baligh adapun pembunuh tetap ditahan hingga ahli waris yang tidak
berada di tempat hadir dan yang masih kecil menjadi baligh. Apabila ahli waris yang
tidak hadir atau masih kecil maupun yang telah baligh meninggal dunia sebelum mereka
berkumpul untuk menentukan hukuman atas pelaku pembunuhan anggota keluarga
84 Ibid., h. 575
mereka maka ahli waris yang tersisa tetap berhak memilih antara menuntut hukuman
bunuh atau denda atau memberi maaf tanpa diyat85.
Apabila satu kelompok yang terdiri beberapa orang memukuli satu orang secara
bersama-sama hingga meninggal dunia namun satu orang diantara mereka
menggunakan besi satu orang menggunakan tongkat yang ringan satu orang
menggunakan batu atau cambuk lalu orang yang dipukuli meninggal dunia akibat
perbuatan mereka maka mereka semua dianggap telah memukul secara sengaja namun
tidak ada kisas atas mereka karena kita tidak tahu pasti pukulan mana yang
mengakibatkan kematian86
.
Imam Syafi’i berpendapat apabila masing-masing keluarga korban yang dibunuh
mengajukan bukti bahwa anggota keluarganya dibunuh terlebih dahulu maka yang
dijadikan pegangan adalah perkataan si pelaku pembunuhan87. Apabila pelaku tidak
membuat pengakuan tentang siapa yang lebih dahulu yang dibunuh maka saya
menyukai bila Imam mengundi diantara keluarga para korban itu siapa saja yang
menang undian maka anggota keluarganyalah yang dinyatakan lebih dahulu dibunuh
sementara keluarga korban yang lain berhak mendapatkan diyat dari harta pelaku
pembunuhan itu. Demikian pula apabila si pelaku membunuh para korban itu secara
bersamaan saya menyukai bila imam mengundi untuk menentukan siapa yang
mendapatkan bayaran diyat dan dibalas dengan kisas.88
Apabila seseorang memotong
satu tangan korban dan memotong kaki korban yang lain serta membunuh korban ketiga
kemudian para wali korban itu menuntut dilaksanakan kisas maka terlebih dahulu
dipotong tangan dan kakinya setelah itu dibunuh.
85 Ibid., 86 Ibid., h. 576 87 Ibid., h. 588 88 Ibid., h. 588.
Batasan kisas untuk kejahatan yang tidak mencapai tingkat pembunuhan dalam
hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa kisas pada kejahatan yang tidak mencapai
tingkat pembunuhan ada dua hal, yaitu luka dibalas dengan luka dan anggota badan
dibalas dengan anggota badan.89 Apabila seseorang melukai orang lain hingga terlihat
tulang yang terbentang antara dua telinga korban sementara jarak antara dua telinga
korban lebih lebar dari pada jarak antara dua telinga pelaku maka yang diperhatikan
adalah tempat tumbuh rambut hingga kedua telinga sebab kepala adalah salah satu
anggota tubuh yang batasannya tidak lebih dari tempat tumbuh rambut. Oleh karena itu
adalah satu bagian dari anggota tubuh maka kisas tidak dapat dilebihkan darinya ke
anggota tubuh yang lain, demikian pula halnya dengan semua anggota tubuh,
diperhatikan panjang anggota tubuh itu tanpa berlebihan pada anggota tubuh lain.
Apabila korban dilukai dengan bentuk luka bulat maka pelaku dilukai dengan luka yang
sama seperti itu. Demikian pula apabila luka berbentuk memanjang, maka pelaku
dilukai seperti itu. Apabila seseorang menampar mata orang lain hingga penglihatannya
rusak maka pelaku dapat ditampar pula pada matanya bila tamparan ini dapat merusak
penglihatannya maka persoalan telah selesai tapi bila tamparan itu tidak merusak
penglihatannya maka didatangkan para ahli untuk merusak penglihatan si pelaku dengan
cara yang tidak menimbulkan rasa sakit hingga batas maksimal.90
Kisas pada anggota badan didasarkan pada nama91
bukan didasarkan pada
panjang pendeknya anggota badan yang terpotong, tangan dipotong karena memotong
tangan kaki dengan kaki serta telinga dengan telinga. Begitu pula mata dicungkil
dengan sebab mencungkil mata dan gigi dicabut apabila pelaku mencabut gigi korban
sebab baik mata maupun gigi termasuk angota badan.
89 Ibid., h.613 90 Ibid., h.614 91 Ibid., h. 615.
BAB III
PERIHAL PENCEGAHAN KEJAHATAN
DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Pencegahan Kejahatan
Pencegahan berasal dari kata ‘cegah’ yang berarti dicegah dan ditangkal untuk
melakukan sesuatu atau dikenai larangan. Mencegah berarti menahan sesuatu agar tidak
terjadi, tidak menurutkan, merintangi, melarang, mengikhtiarkan supaya jangan
terjadi.92
Pencegahan berarti proses atau cara perbuatan mencegah, penegahan,
penolakan.93
Kejahatan berasal dari kata ‘jahat’ yang berarti sangat jelek, buruk, sangat
tidak baik (kelakuan, tabiat, perbuatan). Kejahatan berarti perbuatan jahat, sifat yang
jahat, dosa, perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah
disahkan untuk melakukan demikian.94
Masyarakat pada umumnya pasti memandang perilaku kejahatan adalah
perbuatan buruk karena manusia berakal sehat pada dasarnya menginginkan kehidupan
dirinya dan keluarga adalah kehidupan yang aman dan nyaman bahkan tidak ada
perilaku yang berkaitan dengan kejahatan sama sekali95
. Masalah kebutuhan hidup
ekonomi saja sudah merupakan persoalan yang besar, rumit, yang membutuhkan
ketekunan, pemusatan perhatian, dan kerja keras. Untuk bisa memusatkan perhatian
pada pekerjaan mencari nafkah secara halal membutuhkan kehidupan keluarga yang
tenang dan nyaman serta berjalan normal tanpa gangguan. Setiap orang dewasa yang
92
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 871 93 Ibid., 94 Ibid., 95 JE Sahetapi dan B.Mardjono Reksodiputro, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial, Bandung,
Alumni, 1990, h. 71.
berakal sehat sudah pasti tidak menginginkan anak-anaknya, sanak saudara, atau orang
tuanya melakukan tindakan kejahatan, misalnya dia bisa membunuh atau menganiaya
orang untuk merampas harta orang lain yang mana dikarenakan kebutuhan ekonomi
yang mendesak. Karena itu, seharusnya diri sendiri tidak melakukan kejahatan bukan
karena ia nantinya akan mendapat hukuman tapi dampak negatifnya sangat besar
terutama keluarga, orang tua, atau saudaranya dan masyarakat yang mana pelaku akan
lebih banyak merasakan nestapa. Setiap orang berakal sehat pasti tidak menginginkan
nestapa terjadi padanya atau keluarganya. Apa yang buruk bagi kita juga buruk bagi
orang lain dan apa yang diinginkan baik untuk kita dan keluarga kita juga diinginkan
baik oleh orang lain dan keluarganya96
.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak boleh berpikir subjektif untuk
kepentiingan dirinya dan keluarganya saja. Tetapi merugikan kepentingan orang lain.
Hal ini sesuai dengan hadits nabi Muhammad SAW yang sangat populer, yaitu:
A� ~أ�م آ�B (�� %O(� �IGEم � �OZ�� ���E) EG&' Nم��(
“Tidak beriman seseorang diantara kamu sehingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai diri sendiri”. (H.R Muttafaq ‘Alaihi)97
Jadi harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial, hanya
yang menjadi masalah adakalanya orang dalam kondisi tertentu yaitu dalam keadaan
nafsu untuk berbuat kejahatan dominan dari akal sehatnya maka pada waktu itu akal
sehatnya tidak berfungsi sehingga ia melakukan kejahatan tersebut.
Dalam situasi dan kondisi nafsu manusia yang memuncak, perbuatan kejahatan
bukan saja akan menutupi akal sehat tapi juga akan menutupi keimanan yang telah
96 Ibid., 97 Muhammad Fuad al-Baqi, al-Lu’lu wa al-Marjan, Jilid I, t.k: daar al-Fikri, tth. 11.
bersemi di dalam hati manusia dan menghilangkan rasa malu dan rasa bersalah untuk
berbuat kejahatan98.
Aturan hukum pidana Islam yang memandang perilaku kejahatan sebagai
perbuatan yang sangat buruk dan keji sifatnya yang diharamkan Allah merupakan
aturan hukum yang sangat sesuai dengan akal sehat serta dapat dipandang adil karena di
dalamnya terdapat keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban manusia sebagai
individu dengan individu yang lain dalam masyarakat dan adanya keseimbangan antara
kejahatan yang dilakukan dengan hukuman terhadap pelakunya99
. Adanya
keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan individu lain dalam
masyarakat merupakan jaminan dapat terciptanya ketertiban, ketentraman dan
kenyamanan hidup dalam masyarakat sehingga terpelihara kehidupan agama, manusia,
akal sehat, serta kehormatan keluarga dan anak keturunan manusia dan harta benda
kekayaan manusia, terhindar dari perbuatan kejahatan berperan bagi terwujudnya
kelima tujuan syariat tersebut karena maraknya perilaku kejahatan berperan bagi
rusaknya kelima tujuan syariat tersebut dalam masyarakat100. Jika masyarakat atau akal
sehat manusia memandang perbuatan kejahatan adalah perbuatan buruk atau sangat
buruk maka sudah barang tentu mestinya masyarakat atau manusia akal sehat
menginginkan perbuatan kriminal tersebut tidak terjadi dalam masyarakat karena
hukuman terhadap perbuatan kejahatan yang dibutuhkan masyarakat secara logika akal
sehat adalah hukuman yang keras yang bernilai daya preventif dan edukatif yang paling
tinggi, sebab apabila hukuman terhadap pelaku kejahatan tersebut tidak keras atau
hanya ringan-ringan saja yang tidak bernilai daya preventif dan edukatif tinggi maka
98 Reksodiputro, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial, h. 72 99 Ibid., h. 211 100 Ibid.,
harapan masyarakat agar perbuatan kejahatan itu tidak ada artinya hukuman tersebut
karena masyarakat yang sekaligus merupakan tujuan syariat itu tidak akan tercapai101.
Dengan perkataan lain hukuman ringan yang diberikan itu sama saja dengan
hukuman main-main karena hukuman ringan tersebut tidak akan mampu mematahkan
nafsu berbuat kejahatan yang mendominasi akal sehatnya. Pelaku perbuatan kejahatan
tidak akan jera mengulang perbuatan kejahatan dan anggota masyarakat lain yang
rendah akhlaknya tidak akan ada rasa takut dan rasa malu sedikitpun untuk berbuat
kejahatan dan agamapun akan dijadikan permainan untuk melakukan kejahatan102
.
B. Permasalahan Sekitar Pencegahan Kejahatan
Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana,
Cuba, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan
(khususnya dalam masalah "urban crime")103, antara lain:
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan atau
kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang
tidak cocok atau serasi.
b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)
karena 81 proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-
ketimpangan sosial.
c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga.
d. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang
beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain.
101 Ibid., h. 212 102 Ibid., 103 Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan “Suatu Pengantar Ringkas”,
Bandung, Armico, 1984, h. 140.
e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya
rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian atau kelemahan dibidang
sosial, kesejahteraan klan lingkungan pekerjaan.
f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong
peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas
lingkungan atau bertetangga.
g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya,
keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya.
h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas.
i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius
dan penadahan barang-barang curian.
j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-
sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-
sikap tidak toleransi.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif
penyebab timbulnya kejahatan jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi
semata-mata dengan "penal'104
. Disinilah keterbatasan jalur penal klan oleh karena ltu
harus ditunjang oleh jalur non-penal. Salah satu jalur non-penal untuk mengatasi
masalah-masalah sosial seperti yang dikemukakan diatas adalah lewat jalur kebijakan
104 Barda Nawawi, Upaya Non Penal dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Semarang,Raja Grafindo Persada, 1971, h. 152.
sosial105
. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau
perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari
pembangunan.
Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting
karena disinyalir dalam berbagai kongres PBB106
, bahwa pembangunan itu sendiri dapat
bersifat kriminogen apabila pembangunan itu :
a. Tidak direncanakan secara rasional, atau direncanakan secara timpang, tidak
memadai atau tidak seimbang.
b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral.
c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh atau
integrasi.
Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah
penggarapan masalah kesehatan jiwa (social hygiene), baik secara individual sebagai
anggota masyarakat maupun kesehatan atau kesejahteraan keluarga (termasuk masalah
kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya107
.
Prof. Soedarto, pernah juga mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna dan
kegiatan Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan
agama merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi
kejahatan108
.
Peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan
adalah sangat penting dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia
105 Ibid., 106 Ibid., 107 J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial,
Bandung, Alumni, 1990, h. 82. 108 Ibid.,
untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan109
. Dengan pendidikan dan penyuluhan
agama yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia yanag sehat
jiwa atau rohaninya tapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan sosial yang
sehat. Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti
semata-mata kesehatan rohani atau mental, tapi juga kesehatan budaya dan nilai-nilai
pandangan hidup kemasyarakatan110
. Ini berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau
lingkungan sosial yang sehat tidak harus berorientasi pada pendekatan religius tapi juga
berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional.
Disamping upaya-upaya non-penal dapat ditempuh dengan menyehatkan
masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada
didalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya non-penal itu digali dari berbagai
sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif111. Sumber lain itu
misalnya media pers atau media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal
dengan istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi efek preventif dari aparat
penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini Prof. Soedarto menyatakan bahwa
kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinyu termasuk upaya non-penal
yang mempunyai pengaruh preventis bagi penjahat (pelanggar hukum)112
.
Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia atau operasi yang dilakukan pihak
kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan
masyarakat atau kegiatan komunikatif-edukatif dengan masyarakat perlu diefektitkan113
.
Kegiatan operasi-operasi untuk pemberantasan kejahatan bukan merupakan hal yang
baru di kepolisian, misalnya operasi atau razia pemilikan senjata api gelap, operasi
109 Ibid., h. 157 110 Ibid., 111 Ibid., h. 159 112 Ibid., h. 160 113 Ibid.,
penembakan pelaku kejahatan (residivis) dan lain-lain114
.Kegiatan ini mempunyai
tujuan ganda yakni pertama sebagai upaya jangka pendek untuk dalam waktu singkat
menekan peningkatan angka kejahatan dan kedua menciptakan pemenuhan kebutuhan
warga masyarakat atas rasa aman.
Kegiatan itu seringkali juga memperlihatkan tanggapan kelembagaan aparat
keamanan atas kecemasan bahkan rasa takut atas kejahatan (fear of crime) yang diyakini
dalam proses pengendalian sosial115
.
Keberhasilan dan efektivitas langkah-langkah operasional polisi jelas hanya
dapat dicapai dengan dukungan kedua aspek lain yaitu lingkungan tempat polisi bekerja
dan faktor intern polisi116
. Dalam hubungan itu, maka hubungan polisi dengan
masyarakat harus senantiasa diperhitungkan kedalam rencana-rencana operasi dan
dikonkritkan dalarm bentuk tim kerja ini memerlukan syarat telah berjalannya
pengembangan gagasan mengenai tanggung jawab bersama atas bekerjanya tata
peradilan pidana dan telah terciptanya pengertian bersama dengan masyarakat.
Faktor intern polisi yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas serta
efektivitasnya117
, yakni perbandingan rasional antara sumber daya yang dicapai.
Persyaratan lainnya terletak pada unsur operasional, seperti stabilitas patroli dalam
wilayah-wilayah geografsis yang rawan serta interaksi maksimal dengan masyarakat
dan unsur-unsur organisasional seperti kesatuan supervisi dan peningkatan
profesionalisme.
Penghukuman yang merupakan pencegahan dari segi represif juga tidak boleh
mengabaikan segi pembinaan dengan dasar pemikiran bahwa prilaku hanya mungkin
114 Soedjono D, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan “Crime
Pervention”, Bandung, Alumni, 1970, h. 119. 115 Ibid., 116 Ibid., 117 Ibid.,
melalui interaksi maksimal dengan kehidupan masyarakat dan pelaksanannya tidak
dapat dipisahkan dari strategi perencanaan sosial yang lebih luas. Perlu juga kiranya
penyuluhan hukum bagi masyarakat yang bertujuan untuk sedikit demi sedikit
mengurangi proses stigmatisasi atau proses pemberian cap terhadap pelanggar hukum
dan bekas narapidana118.
Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu
ada119
. kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang
seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. Segala daya
upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi
meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai
warga masyarakat yang baik.
Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi
kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan
pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia.
Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi
masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan120
. Hal itu menjadi tugas dari
setiap kita, karena kita adalah bagian dari masyarakat.
C. Kaitan Penegakkan Hukum Dengan Pencegahan Kejahatan
“Serahkan apa yang menjadi hak negara kepada Kaisar (pimpinan negara) dan
serahkanlah apa yang menjadi hak agama kepada Tuhan”.121
Begitulah kaum sekularis
berteriak padahal tujuan fundamental kehadiran agama Islam adalah menciptakan
118 Ibid., h.133 119 Ibid., 120 Ibid., 121 Said Agil Husein Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Pena Madani: Jakarta,
2004), h. X
keadilan sosial dengan menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan seperti dalam
firmanNya:
اG�D Q�� وA ت��) ;ا واذآ�وا ن�J� اB5G&' Q إذ آ�B� أ'��ء �Oا ب;��وا'��ر +�o)3 بG� &;بo+ B5صB�O� ب��E�� إI;ان� وآ�B� '&% ش�� ��ة مH� ا��)
)���: '��ان �ل(+oن�\آB م�4�H آ\HG�� 0�� اB5� Q ءا��تE ��&)B5 ت4��ون Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu,
lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan
kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk. (Ali Imran : 103)
: �ل '��ان( وQ م� +R ا��)��وات وم� +R ا�رض وإ�% اQ تD�� ا�م;ر109(
Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah
dikembalikan segala urusan. (Ali Imran : 109)
Bوه G(ء ا�jءان Qن ءا��ت ا;&�� e�nj e(ا5���ب أم G��;ا س;�ء مH� أه l���ون
)113 : ان�ل '��(“Mereka itu tidak sama; di antara ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari,
sedang mereka juga bersujud (sembahyang)”. (Ali Imran : 113)
Karenanya barang siapa menghendaki pencapaian suatu tujuan, hendaklah
bersedia melakukan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut bukankah
mengurusi masalah-masalah manusia merupakan salah satu syariat di antara syarat-
syarat terpenting dari kehadiran sebuah agama bahkan tanpa mengurusi masalah-
masalah manusia agama tidak akan bertahan karena tugas agama adalah memberikan
proteksi moralnya untuk tegaknya sebuah hukum yang adil122.
Doktrin pokok yang dikemukakan al-Qur’an adalah pencapaian hidup manusia
di dunia ini maupun di akhirat kelak, dua kebahagiaan ini hanya mungkin dicapai kalau
manusia mampu memahami kehendak Allah dimanifestasikan dalam bentuk hukum-
hukum yang dibangun manusia sejalan dengan kebutuhan objektifnya123
.
Ikhtiar pembentukan hukum perlu kiranya memperhatikan beberapa landasan
epistimologis yang berintikan antara lain dasar keadilan dan kebenaran, nilai sosial dan
kultural, nilai yuridis dan normatif yang menghidupi masyarakat sejalan dengan
ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di sebuah negara124
. Dalam
konteks pembentukan hukum dalam upaya pencegahan kejahatan dan pembangunan
hukum yang berskala besar sejatinya melibatkan dimensi-dimensi pembangunan hukum
yang saling terkait satu dengan yang lainnya dan saling menopang, yaitu dimensi
“pemeliharaan” yang maksudnya sebagai memelihara yang lama dan yang masih baik.
Yang kedua adalah dimensi “pembaruan” dimaksudkan sebagai mengambil yang baru
yang lebih baik125
. Dan kedua dimensi ini sejalan dengan kaidah ushul.
eM+�O�ا %&' ا�����B (� �&ص�ا l�����ب \I�او ���ا� “Memelihara yang lama yang masih baik seraya mengambil yang baru yang
lebih baik”.
Terakhir dimensi “penyempurnaan” dimaksud sebagai ikhtiar serius untuk
melakukan kritik internal terhadap teks dan hukum agar selalu relevan dengan ruang
dan waktu manusia yang mana gagasan ini sejalan dengan kaidah ushul126 yaitu :
122 Ibid., h. 9 123 Ibid., 124
Ibid., h.11 125 Ibid., 126 Ibid.,
5�eم�او �نمز�ا ZG�|�ب �م5�ا ZG�|ت “Perubahan suatu hukum bergantung pada perubahan waktu dan ruang”
Itu berarti penyempurnaan konsep hukum selalu melibatkan dimensi ruang dan
waktu127
. Paradigma hukum saat ini dalam suatu tatanan sosial merupakan kelanjutan
dari paradigma hukum masa lalu dan paradigma hukum masa depan akan lebih banyak
ditentukan oleh corak dan perspektif hukum yang dibangun pada masa kini, bangunan
hukum masa kini sudah pasti haruslah berpijak pada perubahan sosial dan budaya yang
dirancang secara sistematis dan berlanjut dari waktu ke waktu seiring dengan kebutuhan
pencegahan kejahatan dan terciptanya penegakkan hukum secara keseluruhan.
Sesungguhnya materi hukum meliputi aturan tertulis maupun tidak tertulis aturan ini
berlaku normal dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara serta bersifat mengikat baik bagi semua pihak, materi hukum
tersebut ditujukan untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang penegakkan
hukum akan mencegah kejahatan. Penegakan hukum di negara yang penduduknya
beragama Islam unsur agama menjadi sangat urgen untuk diperhatikan.128 Pencegahan
kejahatan menjadi lebih mendesak untuk penegakan hukum hal itu disebabkan
penegakkan hukum telah mendorong pencegahan kejahatan selalu mengadakan
penataan karena terciptanya suatu suasana yang akan saling mendukung satu sama lain.
Penegakan hukum akan mencegah tindakan kejahatan dan begitu pula sebaliknya bila
tindakan kejahatan berkurang penegakan hukum akan berjalan.
Pada hakikatnya pembangunan dalam bidang hukum sangat berkaitan dengan
pencegahan kejahatan dan juga penegakkan hukum yang mana merupakan ikhtiar
127 Ibid., h.13 128 Ibid., h.15
bersama dalam mengadakan pembangunan di bidang tersebut129
. Al-Qur’an menetapkan
bahwa Allah SWT menghendaki setiap muslim melaksanakan hukum-hukumNya
karena sudah menjadi keyakinan setiap muslim bahwa jika manusia menjalankan
hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah akan berakibat
kesengsaraan hidup di dunia ini maupun di akhirat nanti.130 Sebagai akibat logis dari
sifat keuniversalan hukum Islam adalah ketentuan hukumnya ada yang ditujukkan
khusus untuk orang-orang Islam, adapula yang ditujukkan khusus untuk orang-orang
non Islam, penghapusan ini dimaksudkan agar prinsip-prinsip hukum Islam yang ingin
ditegakkan haruslah senantiasa menghargai dan menghormati elemen hukum yang
ditegakkan oleh agama lain. Prinsip Islam adalah tidak ada paksaan di dalam agama131
.
129 Ibid., 130 Ibid., h. 18 131 Ibid.,
BAB IV
TINJAUAN PERAN PIDANA KISAS
DALAM HAL UPAYA MENCEGAH KEJAHATAN
A. Penerapan Kisas Sebagai Hukuman Dalam Hukum Islam
Dalam memahami arti Islam, kadang-kadang timbul kesalahan. Kesalahpahaman
tersebut muncul baik dari orang-orang non muslim maupun dari kalangan orang Islam
itu sendiri. Penyebab kesalahpahaman tersebut bisa terjadi karena tidak atau kurang
memahami substansi Islam dengan benar dan lengkap atau kesalahan metodologis
dalam memahami Islam tersebut.
Menurut Daud Ali, paling tidak ada tiga hal-hal yang menyebabkan munculnya
kesalahpahaman terhadap Islam dan hukum Islam132, yaitu:
1) Salah memahami ruang lingkup ajaran Islam
2) Salah menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam
3) Salah menggunakan metode mempelajari Islam.
Kesalahan memahami ruang lingkup ajaran Islam itu terjadi, disebabkan karena
orang menganggap bahwa semua agama itu sama, maka ruang lingkup ajarannyapun
sama133
. Umpamanya karena dipengaruhi oleh ajaran Nasrani yang ruang lingkupnya
hanya menganut hubungan manusia dengan Tuhan, maka kemudian orang menganggap
agama Islam pun demikian juga. Padahal kita tahu sebagaimana telah diuraikan di muka
bahwa konsep dien al-Islam yang mencakup pengaturan hubungan manusia dengan
132 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia”, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, h. 57. 133 Ibid., h. 26
Tuhan dan hubungan antar makhluk Tuhan, berbeda dengan konsep religion yang hanya
mengandung norma pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan134.
Kesalahan memahami Islam dan hukum Islam, karena salah menggambarkan
agama Islam, tidak secara menyeluruh sebagai satu kesatuan. Mereka menggambarkan
Islam secara parsial, sepotong-sepotong atau sebagian-sebagian saja, tidak utuh.
Umpanya dengan membuat gambaran yang memberi kesan seolah-olah agama Islam itu
hanyalah berisi akidah, atau hanya berisi ajaran hukum Islam, atau hanya berisi moral
saja.135
Kesalahan memahami Islam dan hukum Islam bisa terjadi karena salah
mempergunakan metode mempelajari Islam. Umpama kesalahan yang dilakukan para
orientalis sebelum perang dunia kedua. Mereka menjadikan bagian-bagian bahkan
seluruh ajaran Islam semata-mata sebagai obyek studi analisa. Dengan mengutip kata-
kata Fazlurrahman, selanjutnya Daud menulis:
“Laksana dokter bedah mayat, para orientalis itu meletakkan Islam di atas meja
operasinya, memotong bagian demi bagian dan menganalisa bagian-bagian itu
dengan mempergunakan norma-norma atau ukuran-ukuran mereka sendiri yang
unislamic. Artinya mereka mempergunakan metode mempelajari dan
menganalisa ajaran Islam dengan metode dan analisa serta ukuran-ukuran
yang tidak Islami, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hasilnya tentu saja tidak
memuaskan dan pasti menimbulkan salah paham terhadap Islam”.136
Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran Islam yang benar, dan tidak
menimbulkan kesalahpahaman terhadap Islam, maka Islam harus dipelajari, harus dikaji
dengan metode yang sesuai dengan ajaran Islam. Untuk mendapatkan gambaran tentang
Islam yang benar, banyak metode yang telah dikemukakan oleh sarjana muslim seperti
Ismail R. Faruqi, M. Najib Alatas, S.Hossein Nasr, Fazlurrahman, Ali Syari’ati, Deliar
134 Ibid., 135 Hukum Islam, Azas-azas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, h. 26. 136 Ali, Hukum Islam “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h. 60
Noer, dan Harun Nasution. Islam bisa dipelajari, dikaji umpanya melalui metode
filosofis, metode sejarah dan sosiologis, dan untuk gejala-gejala alam bisa
menggunakan metodologi ilmu alam, demikian juga bagi kajian hukum Islam, maka
harus dipelajari, melalui metodologi kajian ilmu hukum137.
Apapun metodologi yang digunakan dalam mengkaji Islam, kajian tersebut
harus tetap konsisten bahwa Islam sebagai al-Din, tidak bisa dilepaskan hubungannya
dengan sumber-suber samawi (al-wahyu al-ilahy), yaitu sumber ajaran yang datang dari
Tuhan138
. Islam tidak hanya berisi konsep yang bertujuan menciptakan kebahagiaan
hidup manusia di dunia, namun Islam juga mengandung ajaran tentang kebahagiaan di
akhirat kelak.
Berkenaan dengan kesalahan pemahaman tentang Islam, Harun Nasution antar
lain menulis :
Di kalangan masyarakat Indonesia terdapat kesan bahwa Islam bersifat sempit.
Kesan itu timbul dari salah pengertian tentang hakikat Islam. Kekeliruan paham
ini terdapat bukan hanya di kalangan Islam tetapi juga di kalangan umat Islam
sendiri, bahkan juga di kalangan sebagian agamawan Islam. Kekeliruan paham
ini terjadi karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di
Indonesia ditekankan pada pengajaran ibadat, fiqih, tauhid, hadits, dan bahasa
Arab. Dan itupun ibadat, fiqih, tauhid biasanya diajarkan hanya menurut satu
madzhab dan aliran saja…
Dalam Islam sebenarnya terdapat aspek-aspek selain dari yang tersebut di atas
seperti aspek teologi, aspek ajaran spiritual dan moral, aspek sejarah, aspek
politik dan aspek hukum…139
Kesalahan atau kekeliruan memahami Islam dan hukum Islam, bisa juga muncul
karena memandang dan memahami Islam dari perilaku sebagian orang Islam. Seseorang
yang pemahamannya sempit tentang Islam ia memandang atau mengidentikkan bahwa
ajaran Islam itu adalah sebagaimana dipraktekkan oleh sebagian umat Islam pada masa
137 Ibid., h. 27 138 Ibid., 139 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, 1985, h.6.
atau suatu wilayah tertentu. Tidak jarang ada bangsa Arab adalah identik atau
disamakan dengan ajaran Islam, sehingga oleh karenanya wajib diikuti secara mutlak.
Padahal sebenarnya tidak semua yang dipraktekkan oleh orang (bangsa) Arab secara
mutlak adalah ajaran Islam, sekalipun nabi Muhammad saw, berasalah dari bangsa Arab
dan sumber hukum Islam yang utama berbahasa Arab.140
Kembali kepada pemahaman hukum Islam, untuk mendapatkan gambaran
pemahaman hukum Islam yang benar, menurut Daud Ali141
dalam mengkaji dan
memahami Hukum Islam, maka berarti hukum Islam:
1) Harus dipelajari dalam kerangka dasar ajaran Islam, untuk mendapatkan gambaran
pemahaman hukum Islam sebagai salah satu bagian dari agama Islam.
2) Harus dihubungkan dengan iman (akidah) dan kesusilaan (akhlak, etika, atau
moral), karena dalam hukum Islam, iman, hukum dan kesusilaan itu tidak dapat
dicerai-pisahkan
3) Harus dikaitkan dengan beberapa istilah kunci diantaranya adalah syari’ah dan
fiqih yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dicerai-pisahkan.
4) Mengatur seluruh tata hubungan kehidupan manusia, baik dengan Tuhan, atau
dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain, dan benda alam masyarakat serta
alam sekitarnya.
Salah satu kejahatan tertua di kalangan manusia adalah pembunuhan, yakni
lakon Qabil-Habil142
. Selain menghilangkan jiwa pembunuhan sering didahului dengan
140 Para ulama Ushul Fiqh membahas secara khusus tentang perbuatan yang dilakukan oleh
Muhammad saw, menjadi tiga kategori: (1) Perbuatan yang muncul dari Muhammad saw, sebagai
manusia biasa, seperti makan, minum, duduk, jalan dan berpakaian. Walaupun tentu tidak dilarang akan
mengikuti prilaku tersebut. (2) Perbuatan yang dilakukan oleh Muhammad saw dan alasan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk dirinya, seperti shalat tahajjud tiap malam, puasa wishal,
tidak menerima sedekah dari orang lain. Perbuatan ini khusus untuk dirinya dan tidak wajib diikuti oleh
ummatnya. (3) Perbuatan yang dilakukan oleh Muhammad saw sebagai Rasulullah yang berkaitan dengan
hukum, dan ada alasan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu berlaku juga bagi umatnya. Perbuatn ini
menjadi syari’at bagi umat Islam. Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996, h. 40. 141 Ali, Hukum Islam “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h. 63
kejahatan yang lebih ringan yaitu penganiayaan yang menyebabkan cedera atau cacat
pada anggota tubuh. Untuk menyelesaikan problem ini, Allah SWT telah menetapkan
hukum yang terdiri 3 tingkatan yaitu: kisas (balasan setimpal), diyat (denda damai) atau
permintaan maaf. Meski telah menetapkan kisas sebagai hukuman maksimal atas
kejahatan pembunuhan, Islam tidak memandangnya sebagai hukuman yang wajib-
mutlak harus dilaksanakan. Bagi wali korban atau ahli warisnya, syari’at Islam memberi
pilihan antara menuntut kisas dan memberikan maaf143
.
Kejahatan-kejahatan yang oleh syari’at telah ditetapkan jenis hukumannya,
merupakan pelanggaran terhadap hak Allah SWT144
. Yakni hak-hak yang berkaitan
dengan kehormatan agama, keturunan, dan ketentraman umum. Inilah yang disebut
hududullah (batas-batas hukum Allah)145
. Sedangkan kejahatan yang berkaitan dengan
kehormatan jiwa dan anggota tubuh manusia, merupakan pelanggaran terhadapa hak
hamba. Inilah yang mengandung konsekuensi hukum kisas.
Dalam penerapannya, kedua hukuman tersebut harus dilakukan secara cermat
dan sangat hati-hati, sebagaimana pesan Nabi saw :
“Hindarkanlah hukuman hudud karena keraguan dan cegahlah pembunuhan
(qishas) terhadap sesama muslim sekuat kalian. “Katanya lagi, “Hindarkanlah
hukuman hudud atas seorang muslim sejauh dapat dilakukan”. Jika kalian
melihat jalan kebebasan bagi muslim itu, maka bebaskanlah dia. Sesungguhnya
seorang imam (penguasa) lebih baik keliru memberi maaf (membebaskan)
daripada salah menjatuhkan hukuman”.
Sepintas, hukuman kisas nampak kejam. Memang, ia hukuman yang kejam,
karena pelakunya kejam dan sangat kejam146. Lihatlah karena ambruknya wibawa dan
penegakan hukum, nyawa manusia menjadi sangat murah. Bila kejahatan itu terus
142 Abdurrahman Madjrie dan Fauzan al-Anshari, Qishash Pembalasan Yang Hak, Jakarta,
Khairul Bayan, 2003, h. III. 143
Ibid., 144
Ibid., h.IV 145 Ibid., 146 Ibid.,
dibiarkan, eksistensi kehidupan manusia akan terancam. Karena itu Allah SWT
memeperingatkan kita dalam surat al-Baqarah ayat 179:
) 179: ا����ة(R+ B5 ا����ص �Gة ��أوR� ا����ب ��&)B5 ت�)�;ن و�
“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-
orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”. (al-Baqarah : 179)
Kekejaman memang harus dihentikan dengan hukuman yang setimpal agar bisa
menjerakan (deternsif). Dengan kisas, maka pelaku sebelum berbuat jahat akan pikir-
pikir dulu, karena korban atau ahli warisnya (bila korban meninggal) berhak membalas
dendam dengan perlakuan setimpal147
.
Ada pengalaman menarik yang dialami oleh Abdurrahman Madjrie ketika
menunaikan ibadah haji.148 Kala itu, ia cekcok dengan sopir taksi yang mengangkutnya
lantaran si sopir memungut ongkos melebihi tarif semestinya. Sopir itu menahan
barangnya sampai is mau membayar sesuai keinginannya. Ia menolak, sopir itu makin
marah, matanya melotot dan tangannya bergoyang-goyang. Anehnya, meski berbadan
lebih besar, ia tidak sampai memukul atau melukainya149
.
Datanglah seorang polisi melerai mereka. Akhirnya, ia menegur sopir tadi dan ia
pun dibebaskan150
. Ia sempat bertanya pada polisi bagaimana jika sopir tadi
memukulnya. “Kalau begitu, dia akan dikenai hukuman kisas (balas pukul), didenda,
atau dimaafkan. Hukuman itu bergantung pada pilihan anda atau ahli waris anda.” Tutur
polisi.
147 Ibid., 148 Ibid.,h.v. 149 Ibid., 150 Ibid.,
Mendengar uraian tersebut, ia berkomentar, duhai andaikata kisas diterapkan di
negerinya, niscaya orang-orang akan berpikir tujuh kali sebelum memukul, melukai,
atau membunuh orang lain.
Bagi sebagian orang, jenis hukuman kisas dinilai tidak manusiawi, primitif,
barbar, atau ketinggalan zaman. Karenanya, orang-orang yang telah menjadi korban
penyesatan opini semacam ini, menjadi benci terhadap hukum Islam, lalu memilih
hukum lain (hukum positif)151
. Padahal, penyakit sosial yang bernama pembunuhan
yang hanya dapat dicegah dengan obat yang telah disediakan oleh yang menciptakan
nyawa manusia dengan kisas.
Penjara bukanlah obat mujarab bagi pembunuh152
. Pasalnya, seringkali terjadi
seorang pembunuh “kelas teri” tiba-tiba berubah menjadi pembunuh “kelas kakap”
justru setelah ia keluar dari penjara. Karena, selama di penjara rupanya ia sering
berinteraksi dengan pembunuh lainnya yang lebih profesional. Dan dia pun belajar
kepada seniornya itu.
Di samping itu, biaya yang harus dikeluarkan negara untuk memberi makan
para napi jelas memberatkan kas. Seperti diketahui, biaya makan setiap napi per hari
adalah Rp. 3.500,00. jadi selama di penjara, misalnya 15 tahun seperti yang dijatuhkan
kepada Tommy Soeharto, maka negara harus mengeluarkan dana makan sebesar: 15 x
365 x Rp.3.500,00 = Rp. 19.162.500,00, belum lagi biaya kesehatan, pakaian, dan
sebagainya. Padahal, dia telah terbukti melakukan kejahatan.153
Jadi logiskah orang-
orang yang di luar penjara harus memberi makan orang-orang yang jahat yang dipenjara
yang mungkin akan mengulangi kejahatannya.
151 Ibid., 152 Ibid., 153 Ibid., h. VI
Obat harus diberikan sesuai dengan penyakit yang diderita berdasarkan hasil
diagnosis yang akurat. Karena itu, Allah SWT telah menyediakan obat mujarab untuk
menanggulangi bentuk kejahatan manusia ini. Sebaliknya bila manusia mengambil obat
selainnya, maka penyakit masyarakat tersebut kian parah.
Demi kemaslahatan di dunia dan akhirat, Allah SWT meminta kaum beriman
menjalankan Islam secara kaffah (utuh), sebagai firman-Nya dalam surat al-Baqarah
ayat 208:
Hا�� R+ ا;&I�4 ا�)\�� ءام�;ا ادZ��أ� B5� E(ن إن�UG(@ات ا�;UI ت�)��;ا Aو e(+jآ B& �G�Zة ('�و� م��208: ا��(
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu”. (al-Baqarah : 208)
B. Peran Pidana Kisas Sebagai Pencegahan Kejahatan
Banyak orang beranggapan bahwa hukum kisas ini adalah kejam dan tidak
manusiawi. Memang hukum kisas ini kejam, karena pelaku tindak kejahatan juga kejam
bahkan sering lebih kejam154. Sebelum kisas diberlakukan kebanyakan pelaku kejahatan
menganggap murah harga orang lain. Bahkan di negara-negara Barat nyawa manusia
lebih murah daripada anjing. Pembunuh sering menggunakan senjata canggih yang
mudah didapat di pasar-pasar gelap. Sehingga tindakan kriminalitas lainnya sangat
tinggil. Selain penjahat dengan seenaknya menghilangkan nyawa si korban, juga sering
melukainya. Bahkan dalam banyak peristiwa kejahatan sering dibarengi dengan tindak
kejahatan lainnya, seperti pemerkosaan, perampokan, penyanderaan, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, seharusnya kita bertanya: Mengapa kita merasa kasihan kepada
para pembunuh itu? Mengapa kita tidak menaruh belas kasihan kepada para korban, ahli
154 Ibid., h.92
waris, dan calon mangsanya? Selain dengan ancaman kisas, apa ada cara lain yang lebih
efektif dan efisien melindungi eksistensi dari bahaya pembunuh dan pencederaan?
Dalam kenyataannya, kekejaman hukuman kisas telah menyelamatkan penjahat
dari kisas, sebab sebagaimana juga tindakan itu telah menyelamatkan jiwa orang yang
dijahati dan memlihara ketentraman untuk semua orang yang dijahati dan memlihara
ketentraman untuk semua orang155
. Hukuman kisas itu selalu dilakukan di depan publik
dengan tujuan agar perbuatan membunuh atau melukai itu benar-benar jangan
dikerjakan orang lain.
Dr. Ma’ruf Ad-Dawalibi, delegasi Arab Saudi yang mengikuti seminar ilmiah
tentang “Syari’at Islam dan Hak-hak Asasi Manusia (HAM)” yang diselenggarakan di
Riyadh, 22 Maret 1972, menceritakan kenyataan ketika hukum potong tangan
diberlakukan di Arab Saudi:
“Saya dapat mengumumkan di sini, bahwa saya telah tinggal di negeri ini
selama tujuh tahun. Dalam masa itu, saya belum pernah mendengar atau
menyaksikan potong tangan, karena hal itu sangat jarang terjadi. Demikianlah,
apa yang tinggal dari hukuman ini adalah kekejamannya, suatu hal yang telah
menjadikan manusia semuanya dapat hidup dalam keamanan dan ketentraman.
Bahkan orang yang berniat untuk mencuri menjadi selamat tangannya, karena
adanya hukuman ini. Karena kekejaman hukuman itu sendirilah yang telah
melarangnya melakukan kejahatan”.156
Pada waktu negeri ini berada di bawah sistem hukum pidana Perancis pada
zaman Kerajaan Utsmani, orang-orang haji tidak dapat melakukan perjalanan dengan
perasaan aman dan tenteram terhadap jiwa dan harta mereka, (terutama dalam
perjalanan) antara kedua kota suci Madinah al-Munawwarah dan Mekah al-
Mukarramah, kalau tidak dilindungi oleh penjagaan tentara yang kuat. Tetapi, tatkala
pemerintah di negeri ini berpindah ke tangan negara Saudi Arabia dan dinyatakan
bahwa hukum al-Qur’an (syari’at Islam) berlaku, maka segala tindakan kejahatan itu
155 Ibid., h.93 156Ibid.,
dengan segera berhenti. Orang-orang yang bepergian dari kota Dahran di tepi Teluk
Arab (Persi) sampai ke kota Jeddah di tepi Laut Merah, jangankan perjalanan antara
kedua kota suci itu, mungkin melakukan perjalanan sendirian dengan mobil pribadinya
pasti dijamin keamanannya. Siapapun dapat menempuh padang pasir, menempuh jarak
lebih dari 1500 km tanpa merasa khawatir akan keselamatan jiwa dan hartanya,
sekalipun ia membawa uang jutaan dolar dan sekalipun ia orang asing di negeri ini.
Kemudian delegasi itu melanjutkan kisahnya:
“Demikianlah, harta benda milik negara di sini, dimana dijalankan syari’at
Islam, dibawa dari sati kota ke kota yang lain dengan mobil biasa saja,
demikian pula antara satu bank ke bank lainnya tanpa dijaga dan dikawal
selain dari sopir kendaraan itu saja”.
Cobalah terangkan kepada saya apakah negara-negara Barat mampu
memindahkan sejumlah besar uang dari satu bank ke bank lainnya di salah satu ibu
kotanya tanpa dikawal oleh sejumlah besar kendaraan berlapis baja? Hanya di negeri
tempat hukum syari’at Islam dilaksanakan, kemanan terjamin157
.
Menteri Luar Negeri AS, Mr. Rogers, dalam kunjungannya ke Kerajaan Arab
Saudi pada tahun 1971 bersama rombongannya tidak menggunakan fasilitas anti peluru.
Biasanya fasilitas ini selalu ada mengiringi mereka dalam pesawat-pesawat terbang
khusus dalam setiap kunjungan mereka ke berbagai negara. Hanya di sinilah, Kerajaan
Arab Saudi, kami tidak rela kalau para tamu itu mempergunakan kendaraan anti peluru
mereka. Pada bagian akhir dari kunjungan itu, Mr. Rogers tidak lagi menggunakan
pengawal kehormatan yang disediakan baginya, sebagaimana yang disediakan bagi
tamu-tamu kehormatan yang datang di negara lain. Ia pergi ke pasar sendirian tanpa
157 Ibid., h. 94
penjagaan158
. Ia berkata, bahwa hanya di negara ini sajalah orang merasa aman tenteram
dan tidak perlu ada penjagaan dan pengawalan.
Akhirnya Dr. Dawalabi menyudahi pidatonya:
“Setelah mendengarkan semuanya itu, apakah anda semua tidak merasa bersama
kami. Setelah menyaksikan hasil yang amat hebat itu, yang berupa keamanan,
ketentraman, dan ketenangan hati di negeri ini, baik terhadap jiwa maupun harta.
Adalah menjadi kewajiban bagi kami untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum
agama kami dalam hal memberikan hukuman kepada tindakan-tindakan kriminal
yang hampir (mustahil dihentikan di negara Anda) dan tidak pernah kedengaran
ada di negeri ini.
Sedangkan, konon di kota-kota metropolitan lain yang (konon) keberbudayaan
tinggi itu, dimana yang berlaku adalah Undang-Undang bikinan manusia, (ternyata)
manusia tidak dapat memperoleh perasaan ketentraman seperti (yang diharapkan) itu.
“Saya masih tetap ingat apa yang terjadi pada musim panas beberapa tahun
kemudian yang lalu, sewaktu saya berada di kota Paris, pada waktu terjadi
suatu perampokan bersenjata terhadap sebuah restoran terbesar di kota itu
yang berada di dekat jalan Champ Elysees. Di depan mata ratusan pengunjung
yang ada pada waktu itu, para penjahat telah berhasil menguras kas restoran
itu, sementara para pengunjung (cuma dapat) memperhatikan tanpa dapat
bergerak. Keesokan harinya, berita itu telah disiarkan oleh semua harian di
kota paris”.
Pengalaman menarik Dr. Dawalibi tentunya tidak terlalu mengherankan jika
kita membaca dan memperhatikan dengan seksama tindakan kriminal yang sering
terjadi di kota metropolitan. Jakarta, ibu kota Republik Indonesia, negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam (87,5%), sayangnya mereka tidak menjalankan
syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan, terutama dalam mengatur kehidupan,
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pencurian, perampokan, pemerkosaan, bahkan
pembunuhan hampir pasti menjadi menu berita harian. Seolah-olah hidup ini terasa
belum lengkap jika tidak mendengar peristiwa kriminal di setiap harinya159.
158 Ibid., 159 Ibid., h. 95
Mengapa semua ini terjadi dan seolah tidak mungkin bisa dihentikan oleh
kekuatan apapun? Padahal jumlah polisi Indonesia konon sekitar 500 ribu orang. Tapi
seolah sudah tidak sanggup lagi menjamin keamanan penduduk dari berbagai ancaman
tindak kriminal. Bahkan tak jarang terjadi, justru oknum polisi terlibat aktif dalam
opearai kejahatan yang diciptakannya sendiri160.
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah dengan menerapkan syari’at Islam,
termasuk hukum kisas. Sebagaimana pengalaman yang diutarakan Dr. Dawalibi di
muka, bahwa sebelum hukum positif yang berlaku di Arab Saudi berpindah dari hukum
warisan kolonial Perancis ke hukum syari’at Islam, maka keamanan para tamu Allah
(haji) tidak bisa dijamin. Mereka harus dikawal dengan pasukan dalam jumlah besar.
Dengan sendirinya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi untuk menjaga
para tamu itu pun besar pula161.
Namun, setelah diberlakukan syariat Islam termasuk kisas, maka keamanan dan
ketentraman, baik untuk warga pribumi maupun orang asing di sana terjamin. Bahkan
siapapun dengan leluasa dapat membawa uang banyak di jalan-jalan tanpa rasa takut.
Tidak seperti keadaan kita di Jakarta, bila membawa uang atau mengambil sejumlah
uang yang cukup besar dari suatu bank, selalu diliputi perasaan was-was dibayang-
banyangi oleh ancaman perampokan dan pembunuhan, kendatipun mereka sudah
dikawal oleh polisi162
.
Selain itu, tanpa diberlakukan hukuman yang menjerakan terhadap para pelaku
pembunuhan, maka jiwa manusia tidak akan lagi dihargai. Harga nyawa manusia bisa
merosot sampai tak ada harganya sama sekali, karenanya kita sering menyaksikan
seseorang yang dipukuli massa sampai mati gara-gara diteriaki maling padahal belum
160 Ibid., 161 Ibid., h.96 162 Ibid.,
tentu ia mencuri. Salah satu sebab hal itu terjadi adalah karena pelaku pembunuhan
sering dibebaskan oleh aparat, sehingga menimbulkan kekecewaan di dalam hati
masyarakat163.
C. Upaya Hukum Islam Mencegah Kejahatan
Bila dikatakan secara umum dalam pemikiran Barat agama telah dilepaskan dari
wilayah hukum karena pengaruh rasionalisme dan Aufklarung yang sangat dominan164
.
Tetapi, Friedrich Julius Stahl masih mengakui adanya pengaruh agama terhadap hukum
ia berpendapat bahwa hukum juga memperoleh kekuatan mengikat dari ordonansi
ketuhanan yang menjadi sandaran negara165
. Sekalipun hukum adalah produk manusia,
tetapi hukum digunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia ketuhanan
karena tak ada hukum yang tak membantu tata tertib dunia ketuhanan karena tak ada
hukum yang membantu ke arah itu maka hukum yang terburuk pun masih mempunyai
sanksi ketuhanan secara umum dapat dikatakan bahwa para ahli dalam bidang hukum
Islam telah sependapat bahwa ada kaitan yang sangat erat antara agama dan hukum
dalam Islam hukum adalah satu sektor dari agama Islam166
.
Salah satu argumen yang paling kuat yang mendukung pendapat bahwa dalam
Islam hukum dan agama tidak dapat dipisahkan ialah sumber hukum itu sendiri, dalam
kepustakaan hukum Islam selalu disebutkan bahwa sumber-sumber hukum Islam adalah
al-qur’an yang terutama kemudian sunnah Rasul167
. Agama Islam pun bersumber dari
163 Ibid., 164 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya di lihat
dari segi Hukum Islam, Implementasi pada Periode Negara Madinah, Bogor, Kencana, 2003, h.59. 165 Ibid., h.60 166 Ibid., h.60 167 Ibid.,
al-qur’an dan sunnah dengan demikian baik agama Islam maupun hukum Islam kedua-
duanya bersumber dari al-qur’an dan sunnah.
Seorang ahli hukum adat dan hukum Islam yang semasa hidupnya menjabat
guru besar di universitas Indonesia, Hazairin telah menyanggah pandangan barat yang
memisahkan hukum dari agama dengan argumen sebagai berikut:
“Hukum bukanlah hanya satu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan saja,
yang semata-mata hanya takluk kepada unsur-unsur yang ada dalam pergaulan
manusia dengan manusia saja dalam masyarakat itu. Selain hubungan antara
manusia dengan manusia yang dengan demikian merupakan masyarakat
sesama manusia, setiap manusia yang menjadi anggota masyarakat itu
mempunyai pula mau tak mau perhubungan roh dengan roh akbar, tiap menit
hubungan dengan tuhannya yang Maha Esa kepada siapa tergantung hidup dan
matinya, demikian juga keselamatan hidup kemasyarakatannya. Menurut
paham ini masyarakat manusia itu pula bukan urusan manusia saja, tetapi juga
menjadi urusan sang penjelma manusia itu sendiri, sehingga pergaulan hidup
sesama manusia itu bukanlah perhubungan antara tiga, yaitu antara manusia
dan manusia dan tuhannya bersama itu”.
Sangat berbeda dengan pendekatan Barat yang telah mengasingkan agama dari
wilayah hukum, Hazairin berpendirian bahwa urusan hukum bukan semata-mata urusan
manusia, tetapi juga urusan Allah yang menciptakan manusia itu sendiri, menurut
Hazairin paham inilah yang dianut oleh para nabi dan rasul terakhir oleh Muhammad
dalam al-Qur’an168
. Lebih lanjut Hazairin menegaskan, apabila hukum dilihat dari sudut
keadilan menurut Hazairin sekalipun telah diatur sebaik-baiknya belumlah ia
merupakan suatu paparan keadilan tetapi barulah memberikan pegangan-pegangan
pokok demi mencapai keadilan ini berarti kemampuan manusia sangat terbatas untuk
dapat mengaplikasikan keadilan secara ideal. Hazairin melukiskan bahwa manusia itu
bersifat lemah meskipun ia seorang filosof atau guru besar169.
168 Ibid., h.62 169 Ibid.,
Sesungguhnya hukum Islam memiliki ciri yang khas karena ia tidak pernah
memisahkan hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan hidupnya terutama
dalam Allah tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta170. Namun demikian
sebagaimana diungkapkan oleh Roger Garaudy dalam hukum Islam tidak ada
immobilisme (sifat beku) sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Allah ia
mengandung nilai abadi yang tidak bertentangan dengan validitas yang kreatif dan
permanen bahkan dalam hukum Islam terkandung sifat itu.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia Pemidanaan adalah proses, cara perbuatan
memidana171
. Dalam hukum pidana positif menentukan tujuan pemidanaan menjadi
persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan
ditujukkan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau
merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang
anti sosial, menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil
dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam
hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan dan bisa diklasifikasikan
berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang
berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari
beberapa pandangan.
Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang
masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni
pandangan retributif dan pandangan utilitarian.172
Pandangan retributif mengandaikan
pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan
170 Ibid., h.63 171 Meoliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 311 172 Herbert L Packer, The Limit Of The Criminal Sanction, California, Stanford University Press,
1968, h. 9
oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai
pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggungjawab moralnya
masing-masing. Pandangan ini diaktakan bersifat melihat ke belakang. Pandangan
utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya di mana yang dilihat
adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu, di
satu pihak pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku
terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang
lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan
berorientasi ke depan dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan.173
Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam
perkembangannya, teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena
didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun
1970an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak
berhasil serta inderteminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis
pedoman. Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir model keadilan sebagai
justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Soe Titus Reit.174
Model
keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal
yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan dan
retribusi. Dasar retribusi dalam model ganjaran setimpal menganggap bahwa pelanggar
akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-
kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal
melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang lain melakukan
kejahatan. Dengan skema model ganjaran setimpal ini pelaku dengan kejahatan yang
173 Ibid., h.10 174 Position Paper Advokasi, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP.
Jakarta, eLSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2005, h. 10.
sama akan menerima penghukuman yang sama dan pelaku kejahatan yang lebih serius
akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih
ringan.
Inti dari tujuan pemidanaan adalah sebagai perlindungan masyarakat
sebagaimana disebutkan di atas bahwa tujuan pemidanaan salah satunya adalah
perlindungan masyarakat dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Selain dari perlindungan masyarakat
tujuan pemidanaan juga sebagai pembinaan individu pelaku tindak pidana yang mana
ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan
perubahan atau penyesuaian pidana terhadap pelaku, pelaku dijatuhi pidana atau
tindakan yang berkekuatan hukum dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan
mengingat tujuan pemidanaan175.
Dalam ajaran hukum Islam terdapat beberapa metode untuk mencegah dan
menanggulangi kejahatan176
. Yaitu: Pertama, Metode Preventif. Metode ini dalam
melakukan pencegahan kejahatan yakni dengan usaha pencegahan sebelum melakukan
kejahatan. Pencegahan itu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Di antaranya
menekankan pada segi-segi pembinaan diri yang baik seperti peningkatan keimanan,
ibadah dan akhlak serta kegiatan dan hal-hal yang bersifat positif karena hal tersebut
merupakan benteng yang kokoh untuk tidak melakukan kejahatan.
175 Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogya,
Liberti, 1986, h.23. 176 Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000, h.48.
Pembinanaan segi-segi tersebut merupakan langkah paling awal dalam
pencegahan kejahatan yang dimulai dari pembinaan diri, lingkungan keluarga,
masyarakat dan lingkungan lain. Metode preventif melalui lingkungan keluarga dalam
masyarakat ini merupakan langkah yang sangat efektif. Sutherland mengatakan
sebagaimana telah diungkapkan oleh Soedjono SH, antara lain:
“Dengan melihat fakta-fakta bahwa prevensi lebih efektif bila diserahkan
kepada masyarakat sendiri dengan bimbingan tenaga ahli serta usaha-isaha ke
arah reorganisasi terhadap sosial disorganisasi dan perbaikan kesejahteraan
sosial, rekreasi dan lain-lain akan lebih memberi efek yang besar daripada kita
langsung kepada prevensi kejahatan itu sendiri”.177
Berdasarkan pendapat Sutherland di atas, jelas bahwa selain keluarga
masyarakat pun memegang peranan penting dalam pencegahan kejahatan, maka
pendapat Sutherland tersebut merupakan dukungan yang sangat besar terhadap metode
yang dikemukakan oleh ajaran-ajaran hukum Islam karena tujuan dasar dari semua
ajaran agama Islam memanglah untuk mencegah manusia dari perbuatan buruk atau
jahat dan selanjutnya mendorong manusia kepada perbuatan baik dari manusia yang
baik dan berbudi pekerti luhurlah masyarakat baik dapat diwujudkan178.
Yang kedua, ajaran Islam mengenal metode represif yang bmerupakan tindak
lanjut dari tindakan preventif yaitu jika masih terdapat orang-orang yang melakukan
kejahatan maka hukum Islam memberantasnya dengan cara memberikan hukuman
terhadapa setiap pelaku kejahatan. Hukuman tersebut sebagai konsekuensi atas kelalaian
dan perbuatan melanggar hukum. Hukum tersebut dijatuhkan oleh Hakim sebagai orang
yang berkuasa untuk memberikan hukuman yang sesuai dengan kebenaran yang
diperoleh dalam proses sidang yang berlangsung. Hukuman dalam pidana Islam
dipandang sebagai pembalasan (al-jazaa) jadi kejahatan itu mesti dijatuhi hukuman
177 Soedjono D, Konsepsi Kriminologi Dalam Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Alumni,
1970, h. 156. 178 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta, UI Press : 1974, h.54
karena kejahatan itu merupakan perbuatan yang mengganggu ketentraman masyarakat
oleh karena itu Allah SWT memberikan peraturan-peraturan yang jelas tentang
perbuatan-perbuatan tertentu dengan hukuman yang telah ditentukan pula. Itu semua
diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Yang ketiga, metode edukatif, yaitu setiap sanksi yang dijatuhkan terhadap
pelaku kejahatan adalah supaya pelaku kejahatan tersebut menjadi insaf atau dapat
kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan mendapatkan pelajaran dari apa
yang telah ia perbuat sebelumnya dan mengambil hikmah atas kejadian tersebut.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai macam penjelasan tentang kisas pada bab-bab sebelumnya yang
diangkat dalam skripsi ini, penyusun mengambil beberapa kesimpulan yaitu: kisas
adalah sebuah prinspi hukum yang diberlakukan dalam al-qur’an yaitu sebuah hukuman
yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan. Hukuman tersebut
merupakan pembalasan yang serupa yang dijatuhkan atas tindak pidana pembunuhan
atau menghilangkan jiwa, melukai atau pengrusakan anggota badan dan menghilangkan
manfaatnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum syara’.
Menurut penulis tindak pidana sampai kapanpun tidak mungkin dimusnahkan,
oleh karenanya salah satu cara yang perlu diperhatikan untuk meminimalisir kejahatan
tersebut adalah bagaimana membuat suatu peraturan hukum yang tegas dan bisa
mengingatkan pelaku hukum sehingga hukum tersebut menjadi efektif dan dipatuhi oleh
masyarakat serta para pelaku pembuat hukum, tidak hanya membuat pelaksanaan teori
yang diterapkan pada masyarakat namun mereka harus bisa memberikan contoh yang
teladan terlebih dulu kepada warga masyarakat dari apa-apa yang telah mereka tetapkan.
Sepintas hukuman kisas dalam hukum Islam nampak kejam tetapi hal tersebut
dikarenakan kesalahpahaman orang dalam memahami dan mempelajari hukum Islam.
Dalam kenyataannya kekejaman hukum kisas telah menyelamatkan seseorang yang
akan berbuat kejahatan dari kisas itu sendiri, sebab bagaimanapun juga tindakan itu
telah menyelamatkan jiwa orang yang dijahati dan memelihara ketentraman untuk
semua orang yang mungkin akan dijahati dan memelihara ketentraman untuk semua
orang. Hukum kisas itu selalu dilakukan di depan publik dengan tujuan agar tindak
pidana itu benar-benar tidak dikerjakan oleh orang lain.
B. Saran-Saran
Penulis bersyukur atas selesainya skripsi ini mudah-mudahan tulisan yang
sangat sederhana ini bisa memberikan kontribusi terhadap masyarakat dengan harapan
sedikit lebih menambah pengertian dan ilmu dalam memahami hukum Islam terutama
tentang tindak pidana kisas.
Saran yang dapat penulis berikan tenang kisas ini adalah memasukkan kajian
atau pelajaran tentang kisas dalam kurikulum sekolah agar pengetahuan tentang kisas
sudah didapat sejak dini.
Sosialisasi tentang kisas itu lewat semua media baik media elektronik atau
media massa, kuliah subuh, khutbah Jum'at dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, 1971.
Amir, Abdul Azis, Al-Ta’zir fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah, Kairo, Dar al-Fikr, 1969.
Anderson, J.N.D., Hukum Islam di Dunia Modern (terj.), Surabaya, Amarpress, 1991.
Arrasjid, SH., Chairur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004.
Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasby, Falsafah Hukum Islam, Cet. V, Jakarta, Bulan
Bintang, 1993.
Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamiy, Juz I, Beirut, Daarul Kitab Al-
Araby.
Awwa, Muhammad Salim, “The Basic of Islamic Penal Legislation” dalam M. Cherif
Bassiouni, The Islamic Criminal Justice System, London, New York, Oceana
Publication, 1982.
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya
Dilihat Dari Segi Hukum Islam Dan Implementasinya Pada Periode Negara Madinah, Bogor, Kencana, 2003.
Bawengan, Gerson W., Pengantar Psychologi Kriminil, Pradnya Paramita, Jakarta,
1977.
Bisri, Cik Hasan, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Bandung, Ulul Albab Press, 1997.
Bisri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2004.
Chotib, Ahmad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Fakultas Syari’ah IAIN Jakarta Press,
1989.
D, Soedjono, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan (Crime
Pervention), Bandung, Alumni, 1970.
Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. 5.
Daud, Abu, Sunan Abu Dawud, Beirut, Daar al-Fikr, t.th., Juz III.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, Cet. III.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Cet. I, Jakarta,
Logos Publishing House, 1995.
Djazuli, A., Fiqih Jinayah (Upaya Penanggulangan Kejahatan Dalam Islam), Jakarta, Raja Grafindo, 2000.
Doi., A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2002.
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005.
Dutton, Yasin, Asal Mula Hukum Islam, Al-Qur’an, Muwatta’, dan Praktek Madinah,
Jogjakarta, Islamika, 2003.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 3, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum PIdana Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993, Cet.
Ke-5.
Harun, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996.
Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, Tinta Mas, 1952.
Jurnal Islamic Studies, Karachi, Vol. IV, No.3, September 1965.
Kahlani, Muhammad Ibn Isma’il, Subulus Salam Juz. III Mustafa al-Baaby Al-Halabiy, Mesir, Cet. IV, 1960.
Khallaf, Abdul Wahhab, Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
Kusumah, Mulyana W., Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar
Ringkas), Armico, Bandung, 1984.
M. Noer, Hasan, Kontekstualitas al-Qur’an, Jakarta, Pena Madani, 2000.
Madjrie, Abdurrahman, Fauzan al-Anshari, Qishas Pembalasan Yang Hak, Jakarta,
Khairul Bayan, 2003.
Mawardi, Abu Al-Hasan, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Mesir, Musthafa al-Baby al-
Halaby, 1975.
Moeliono, M. Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
Mujieb, M. Abdul, Mabruri Thalhah, Syafi’iah AM, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta,
Pustaka Firdaus, 1994.
Mulyana W. Kusumah, Kejahatan,Penjahat, dan Reaksi Sosial, Alumni, Bandung,1983.
________,W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar
Ringkas), Armico Bandung, 1984.
Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta, Pena Madani, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progressif.
Nasution, Harun, Gagasan dan Pemikiran, Bandung, Mizan, 1995.
________, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, 1985, Jilid
I dan II.
Nawawi Arief, Barda, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Semarang, 1991.
Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan,
Yogyakarta, Liberty, 1986.
Poerwadarmita, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1983.
Position Paper Advokasi RUU KUHP, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam
Rancangan KUHP, Jakarta, Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat),
2005.
Rasyidi, H.M., Keutamaan Hukum Islam, Cet.II, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim al-Masyhur bi “Tafsir Al-
Manar”, Cet. II, Jilid III, Beirut, Dar el-Ma’arif, t.th.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Juz II, Dar al-Fikri, Beirut, 1980.
Sahetapy, J.E., dan Reksodiputro, B. Mardjono, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi
Sosial, Bandung, Alumni 1990.
________, J.E., dan Reksodiputro, B. Mardjono, Parados Dalam Kriminologi, Rajawali
Press, Jakarta, 1982.
Saifuddin, Endang, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya, Bina Ilmu, 1991.
Sastrawidjaja, Sofjan, Hukum Pidana Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan
Peniadaan Pidana, Bandung, Amrico, 1995.
Soedjono D., Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan
(CrimePervention), Alumni, Bandung, 1970.
Soesilo, R., KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor,
Politea, 1965.
Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Islam (Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003.
Suma, Muhammad., Amin, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus,
2001.
________, Muhammad. Amin, MA, SH, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.
________, Muhammad Amin, “Hukum Pidana Islam: Visi, Misi dan Filosofinya dalam
Perspektif Qur’an dan Sunnah”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
Hukum Pidana Islam: Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif,
Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23-24 Juni 1999.
Sutherland, Edwin H., Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969.
Syafi’i, Imam, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta, Pustaka Azzam, 2004.
Taimiyah, Ibnu, Al-Siyasah al-Syar’iyah fi al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, Beirut, Dar al-Fikr,
T.Th.
Unais, Ibrahm, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz II, Daar Ihya’ At-turats al-‘Arabi, Tt.
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, Cet. Ke-2.
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus,
1989.