peran pbb dalam genosida rwanda 1994

36
BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah Tahun 1994 merupakan sejarah hitam bagi Rwanda. Pembantaian besar-besaran dilakukan oleh suku mayoritas Hutu terhadap suku minoritas Tutsi dan Hutu moderat. Secara umum pembantaian etnis tersebut disebabkan oleh keinginan etnis Hutu radikal untuk menguasai pemerintahan di Rwanda yang sebelum kemerdekaan banyak dikuasai etnis minoritas Tutsi sehingga terjadi ketimpangan sosial pada masa sebelum kemerdekaan. Pada masa penjajahan, Belgia mengklasifikasikan masyarakat Rwanda menjadi tiga etnis ( Etnis Tutsi, etnis Hutu, dan etnis Tya ) dengan cara melakukan observasi fisik dan memberikan kartu identitas etnis dimana etnis Tutsi merupakan etnis yang mendapatkan posisi istimewa dalam aspek vital dibanding etnis lain. Pada tahun 1962 Rwanda mendeklarasikan kemerdekaan. Sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1994, Rwanda diwarnai dengan 1

Upload: bayu-kurniawan

Post on 01-Jan-2016

274 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

BAB I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Masalah

Tahun 1994 merupakan sejarah hitam bagi Rwanda. Pembantaian besar-

besaran dilakukan oleh suku mayoritas Hutu terhadap suku minoritas Tutsi dan Hutu

moderat. Secara umum pembantaian etnis tersebut disebabkan oleh keinginan etnis Hutu

radikal untuk menguasai pemerintahan di Rwanda yang sebelum kemerdekaan banyak

dikuasai etnis minoritas Tutsi sehingga terjadi ketimpangan sosial pada masa sebelum

kemerdekaan. Pada masa penjajahan, Belgia mengklasifikasikan masyarakat Rwanda

menjadi tiga etnis ( Etnis Tutsi, etnis Hutu, dan etnis Tya ) dengan cara melakukan

observasi fisik dan memberikan kartu identitas etnis dimana etnis Tutsi merupakan etnis

yang mendapatkan posisi istimewa dalam aspek vital dibanding etnis lain. Pada tahun

1962 Rwanda mendeklarasikan kemerdekaan. Sejak awal kemerdekaan sampai tahun

1994, Rwanda diwarnai dengan pemberontakan dan perang antar etnis Tutsi dan Hutu

yang saling menginginkan kekuasaan dalam pemerintahan. Pada tahun 1993, Presiden

Habyarimana dari etnis Hutu menyetujui Piagam Arusha yang berisi perjanjian

perdamaian dan pembagian kekuasaan dalam pemerintahan antara etnis Hutu dan Tutsi.

Puncak pembersihan etnis terjadi pada tahun 1994 dalam kurun waktu

seratus hari yang dipicu oleh penembakkan terhadap Presiden Habyarimana. Peristiwa

tersebut memicu etnis Hutu dalam membunuh etnis Tutsi dan pihak manapun yang

mendukung Piagam Arusha.

1

Page 2: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) sebagai organisasi yang memiliki misi

dalam menjaga perdamaian dunia mengirimkan United Nations Assistance Mission for

Rwanda ( UNAMIR ) yang bertugas untuk membantu implementasi perjanjian Piagam

Arusha sebelum genosida terjadi.

I.2 Rumusan masalah

Sebuah penelitian membutuhkan suatu perumusan masalah guna

memfokuskan penelitian yang akan dilakukan dan hal apa saja yang nantinya akan

dijelaskan. Penelitian ini memiliki rumusan masalah “Bagaimana bentuk kebijakan

yang diambil Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush di dalam

menghadapi konflik Korea dimana Amerika Serikat membantu Korea Selatan? Dan

juga Mengapa Amerika Serikat mengambil kebijakan tersebut?”

I.3 Peringkat Analisis

I.3.1 Unit Analisis

Unit analisis di dalam penelitian ini adalah mengenai kebijakan Amerika

Serikat yang mendukung Korea Selatan di dalam adanya konflik di Semenanjung

Korea pada masa pemerintahan George W. Bush (2001 – 2008).

I.3.2 Unit Eksplanasi

Unit eksplanasi dari penelitian ini adalah mengenai penyebab daripada

dikeluarkannya kebijakan Amerika Serikat di dalam mendukung Korea Selatan

terhadap adanya konflik Korea pada masa pemerintahan George W. Bush. Faktor ini

terdiri dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Dari sisi internal, adanya

kepentingan Amerika Serikat untuk tetap melanggengkan hegemoninya, baik di

dalam bidang ekonomi, politik, maupun bidang yang lain. Sementara dari sisi

2

Page 3: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

eksternal, adanya sisi kompleksitas hubungan antar negara yang terjadi di kawasan

Asia Timur membuat kebijakan Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan militer

tanpa adanya tindakan agresif terhadap konflik di Semenanjung Korea yang dipicu

oleh pengembangan nuklir Korea Utara.

I.3.3 Level of Analysis

Level of Analysis digunakan untuk menentukan dimana analisis perlu

dilakukan terhadap suatu penelitian. Dari segi unit ekplanasi, Level of Analysis

yang digunakan adalah pada tingkat negara, yaitu kebijakan yang dikeluarkan

Amerika Serikat merupakan hasil dari perumusan dari sisi domestic negara Amerika

Serikat sendiri.

Sementara dari unit eksplanasi yang kedua, lebih melihat perlunya tingkat

analisis di level sistem regional. Kondisi perpolitikan di Asia Timur yang memiliki

kompleksitas tersendiri layak untuk dianalisis karena sangat berpengaruh terhadap

kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat di dalam adanya konflik di

Semenanjung Korea.

Tingkat analisa di atas sangat sesuai terutama bila merujuk pada objek

penelitian dan juga merujuk kepada tulisan David Singer yang menekankan tingkat

analisa negara dan sistem internasional sebagai yang paling efektif untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena internasional1.

I.4 Hipotesis

Dari penelitian yang akan dilakukan, diawali dari hipotesis bahwa

Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush mengeluarkan kebijakan

1 J. David Singer, “The Level of Analysis Problem in International Relations”, World Politics, Vol. 14, No 1, 1961

3

Page 4: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

mendukung Korea Selatan di dalam adanya konflik di Semenanjung Korea adalah

untuk membendung perluasan ideology komunis maupun sosialisme yang dapat

berakibat pada stabilitas hegemoni Amerika Serikat di sector ekonomi dan politik.

I.5 Teori

I.5.a Teori Stabilitas Hegemoni

Teori stabilitas hegemoni merupakan sebuah teori yang sebenarnya

ditujukan untuk mendeskripsikan politik internasional dan dikaitkan dengan

ekonomi. Keterbukaan dan dan stabilitas perekonomian dunia tergantung dari

adanya suatu kekuatan hegemon (G&I, 111). Dalam hal ini, terdapat dua varian

daripada Teori Stabilitas Hegemoni. Yang pertama adalah keinginan hegemon

dibutuhkan untuk mendukung sistem moneter internasional (Kindleberger, 1973).

Yang kedua merujuk kepada tulisan Krasner (1976) yang menyatakan bahwa

hegemoni akan membawa kepada keterbukaan eknonomi. Kemudian Robert Gilpin

membawa teori stabilitas hegemoni ini ke ranah analisis terhadap perpolitikan

internasional. Inti daripada Teori Stabilitas Hegemoni adalah keinginan suatu

negara untuk menstabilkan hegemoni yang sudah negara tersebut capai.

Mengapa Teori Stabilitas Hegemoni diambil untuk menganalisis

penelitian ini? Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara kekuatan ekonomi

dengan power daripada suatu negara. Di dalam era globalisasi ini, kekuatan

ekonomi menjadi prioritas utama daripada negara – negara di dunia. Besarnya

kekuatan ekonomi akan berimbas secara langsung terhadap power yang dimiliki

dimana power yang dimiliki akan semakin besar pula. Teori Stabilitas Hegemoni ini

juga akan menjelaskan bagaimana suatu negara memperkuat hegemoninya (liberal)

mengingat adanya pandangan dari konsep Balance of Power yang dtakutkan terjadi

4

Page 5: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

apabila pengaruh sosialisme meluas ke negara – negara lain apabila Korea Selatan

ditaklukkan oleh Korea Utara.

Hubungan antara sisi ekonomi dan sisi politik sangatlah erat. Bisa dibilang,

ekonomi merupakan salah satu faktor dari tujuan politik. Kekuatan di sisi ekonomi

juga akan memberikan kekuatan di dalam sektor politik. Hal ini terutama terjadi di

era globalisasi sekarang ini, dimana sektor ekonomi merupakan tujuan utama yang

ingin dicapai setiap negara.

I.6 Konseptualisasi

Amerika Serikat saat ini dipandang sebagai negara hegemon semenjak

awal abad XXI. Hal ini dikarenakan, berakhirnya Perang Dingin telah membuat

persaingan antara negara dengan big power tereduksi dengan hancurnya Uni Sovyet

dengan sosialisme terhadap persaingannya dengan Amerika Serikat dengan sistem

liberalis.

Untuk menjadi sebuah negara yang hegemon, diperlukan setidaknya 3

atribut. Yang pertama adalah kapabilitas untuk menekan adanya peraturan di dalam

sebuah sistem, yang kedua adalah adanya keinginan untuk menjadi hegemon, yang

ketiga adalah adanya komitmen terhadap sebuah sistem yang dilihat dari adanya

hubungan yang saling menguntungkan bagi sebagian besar negara yang ada di

dalam sistem tersebut.

Amerika Serikat telah memenuhi unsur – unsur diatas sehingga layak

untuk disebut sebagai suatu negara yang hegemon. Hegemoni Amerika Serikat

tampak jelas terlihat di dalam perpolitikan dan perekonomian internasional.

Amerika Serikat berkuasa di dalam sistem internasional yang ada dengan paham

liberalis dan kapitalis.

5

Page 6: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

Adanya hegemoni ini semakin tampak ketika terjadi crash yang terjadi

dengan sistem internasional yang telah dibuat oleh negara hegemon, yaitu Amerika

Serikat. Ketika Korea Utara mengembangkan nuklirnya dan telah menyalahi aturan

sistem internasional yang ada, maka Amerika Sereikat sebagai negara hegemon

akan melakukan tindakan untuk menekan Korea Utara. Tindakan inilah yang

menjadi variable di dalam penelitian ini. Tindakan ini adalah berupa kebijakan

militer yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, yaitu dengan melakukan ancaman

psikis dengan merencanakan penyerangan terhadap

Variabel kedua adalah adanya suatu kekuatan untuk menekan Korea

Utara melalui organisasi internasional. Dalam hal ini, penekanan dilakukan oleh

IAEA, yang sejatinya merupakan lembaga pengawasan terhadap pengembangan

nuklir di dunia. PBB juga melakukan penekanan terhadap keberadaan nuklir Korea

Utara. Kedua institusi internasional di atas merupakan institusi yang memang bisa

dibilang sangat dipengaruhi oleh Amerika Serikat sebagai negara hegemon.

6

Page 7: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

BAB II

Pembahasan

II.1 Sejarah Terjadinya Perang Korea (1950 - 1953) dan Konflik Korea

Konflik Korea bermula dari berakhirnya Perang Dunia II. Jepang, yang saat

itu menyerah kepada Sekutu, harus merelakan tanah jajahannya untuk merdeka,

termasuk kekuasaannya di Semenanjung Korea. Amerika Serikat dan Uni Soviet

yang saat itu menjadi kekuatan besar pun bersepakat untuk membagi wilayah Korea

menjadi dua bagian, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan.

Hubungan baik antara Amerika Serikat sendiri dengan Uni Soviet memang

cukup baik pada saat itu. Hal ini dikarenakan pada saat itu, dua negara tersebut

memiliki musuh bersama, yaitu Nazi. Namun, seiring ancaman Nazi yang sudah

tidak ada, hubungan antar kedua negara menjadi panas. Hal ini ditandai dengan

tidak tercapainya komisi bersama antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di dalam

penentuan pemerintahan di Korea pada Maret 19462.

Ketidaksepakatan ini berlanjut hingga tahun 1947. Hingga akhirnya siding

Majelis Umum PBB menghasilkan resolusi bagi keduanya untuk melakukan

pemilihan di bawah pengawasan PBB. Namun, Uni Soviet menolak kekuasaan PBB

masuk ke Korea Utara, hingga akhirnya Korea Selatan melakukannya sendiri. Korea

Selatan pun resmi merdeka dan diproklamasikan pada 15 Agustus 1948 dengan

Presiden Syngman Rhee. Pada bulan berikutnya, giliran Korea Utara yang

memproklamasikan kemerdekaannya di bawah pimpinan Kim Il Sung.

2 Donald M. Goldstein dan Harry J. Maihafer, op.cit

7

Page 8: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

Semenjak merdeka, keduanya saling beradu popularitas dan saling

mencanangkan gerakan unifikasi daripada kedua negara. Hal inilah yang

menjadikan dasar dari konflik di Semenanjung Korea.

Pemicu memanasnya semenanjung Korea adalah ketika Korea Utara

memutuskan untuk membentuk aliansi dengan China dan Uni Soviet. Amerika pun

tidak tinggal diam melihat hal ini. Hingga akhirnya meletuslah perang Korea,

dimana aktor utama dari perang ini adalah Stalin, Mao, dan Truman, sementara

Rhee dan Il Jung hanyalah pemain tambahan.

Perang Korea ini berlangsung selama tiga tahun. Perang ini tidak

menghasilkan apa – apa, tidak ada pemenang maupun pihak yang kalah. Di Amerika

Serikat sendiri, perang Korea sendiri dianggap sebagai Forgotten War (Perang Yang

Terlupakan)3. Perang yang merenggut jutaan jiwa dari berbagai pihak yang ikut

terlibat di dalamnya. Meskipun pada akhirnya perang ini berakhir ketika Korea

Utara dan PBB menyelanggarakan pertemuan guna penandatanganan kesepakatan

gencatan senjata pada 27 Juli 1953. Dalam hal ini, Korea Selatan sebenarnya tetap

tidak ingin kedua negara tepisah dan tetap bersikukuh untuk melakukan reunifikasi.

Hal ini ditunjukkannya di dalam keengganan mereka untuk berunding di dalam

kesepakatan gencatan senjata.

Perang memang telah berakhir, namun dari situlah konflik berkelanjutan

dimulai. Konflik yang terjadi secara pasang surut. Hingga kemudian berlanjut ke

akhir abad XX. Konflik ini pun mengalami transformasi dari masa ke masa, sesuai

dengan perubahan zaman yang terjadi. Kebijakan yang diterapkan Amerika Serikat

pun berbeda – beda sesuai dengan kondisi dari perkembangan konflik di

Semenanjung Korea.

3 Donald M. Goldstein dan Harry J. Maihafer, op.cit

8

Page 9: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

II.2 Hegemoni Amerika Serikat

Hegemon merupakan sebuah kata yang digunakan untuk mengungkapkan

bagaimana sebuah negara memiliki pengaruh yang sangat besar di dalam dunia

inernasional, baik secara hubungan antar negara maupun di dalam institusi

internasional.

Definisi hegemon sendiri di dalam teori stabilitas hegemoni memiliki

beberapa versi yang berbeda. Yang pertama disampaikan oleh John Agnew,

dimana mengemukakan bahwa hegemoni adalah sesuatu yang positif, suatu

pemimpin dari kelompok negara – negara yang mana bekerja sama dan dan

mengorbankan dirinya untuk kepentingan bersama (Agnew 2005: 22). Definisi ini

bisa dibilang merupakan pendekatan librealis.

Definisi yang kedua adalah sebuah hegemoni dianggap sebagai sesuatu

yang negative, sebuah power eklspoitasi penindasan yang mana hanya bekerja

sama dengan yang lain hanya demi keuntungan (Agnew 2005: 22). Hal ini bisa

dipandang sebagai pendekatan neorealist, yang mana menekankan adanya

kerjasama antar negara hanya untuk kepentingannya.

Definisi yang ketiga adalah hegemoni merupakan sebuah penggunaan

power untuk mengajak ataupun memaksa pihak lain untuk melakukan sesuatu

yang diinginkan. Meskipun tidak sepenuhnya komplet, namun itu mengikat

masyarakat, objek, dan institusi dengan adanya norma – norma yang dijalankan

(Agnew 2005: 1-2).

Definisi ketiga merujuk kepada pendapat Robert Keohane yang

menyatakan bahwa Teori Stabilitas Hegemoni haruslah memiliki tiga syarat.

Pertama, adanya struktur hegemoni yang didominasi oleh satu negara, kedua

adalah memiliki rezim internasional yang bisa mengeluarkan berbagai jenis

9

Page 10: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

peraturan yang harus dipatuhi, dan yang ketiga struktur hegemoni yang kuat

biasanya sebanding dengan kuatnya rezim ekonomi internasional (Keohane 1980:

132).

Dalam hal ini, definisi hegemon yang digunakan adalah kombinasi dari

keempatnya, dimana hegemoni merupakan sebuah kekuatan untuk mempengaruhi

pihak lain untuk melakukan yang diinginkan melalui norma – norma yang ada di

institusi internasional dan juga memiliki pengaruh terhadap keberadaan institusi

internasional yang ada.

Ada sedikit perdebatan mengenai bagaimana bentuk dari hegemoni

tersebut. Namun, John Agnew memberikan pendapat bahwa kekuatan hegemon

adalah murni merupakan soft power (Agnew 2005: 22). Sementara Susan Strange

berpendapat lain bahwa hegemon merupakan sebuah structural power yang dapat

didefinisikan dengan “kekuatan untuk memilih dan membentuk struktur politik

ekonomi global dalam kaitannya dengan negara lain, dengan institusi politik

mereka, perusahaan – perusaahan mereka (Strange 1987: 565).

Di dalam adanya hegemoni, suatu negara harus memiliki 3 atribut, yang

pertama adalah kapabilitas untuk menekan peraturan di dalam sebuah sistem,

adanya keinginan untuk menjadi hegemon, dan sebuah komitmen kepada sistem

yang mana harus memberikan keuntungan bagi sebagian besar anggotanya.

Kapabilitas untuk menekan peraturan di dalam sebuah sistem sendiri

memiliki syarat tersendiri, dimana harus memiliki perekonomian yang kuat,

mendominasi sektor teknologi ataupun ekonomi, dan juga power politik yang di-

back up oleh kekuatan militer4.

4 Vincent Ferraro, The Theory of Hegemonic Stability, diakses dari <http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/feros-pg.htm> pada 9 April 201

10

Page 11: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

Bila merujuk kepada syarat – syarat di atas, maka Amerika Serikat sudah

dianggap sebagai sebuah negara yang hegemon. Amerika Serikat memiliki

kapabilitas di dalam segala aspek yang dibutuhkan di dalam terciptanya suatu

hegemoni. Hal ini bisa dilihat dari kekuatan ekonomi dan teknologi, kekuatan

militer yang memadai, serta pengaruhnya di dalam sistem internasional yang ada,

mulai dari PBB hingga institusi Bretton Woods.

Keinginan Amerika Serikat sendiri untuk menjadi hegemon mulai terlihat

pada saat berakhirnya Perang Dunia II, dimana Amerika Serikat bersedia

membantu pemulihan ekonomi negara – negara di Eropa yang hancur akibat

adanya perang dengan adanya Marshall Plan melalui adanya sistem Bretton

Woods. Dari adanya Bretton Woods, Amerika Serikat telah berani menjamin

keberlangsungan dari perekonomian internasional dan juga melalui mata nila tukar

yang didasarkan pada dolar5.

Hegemoni daripada Amerika Serikat sendiri mendapat tentangan dari Uni

Soviet dan hal ini terefleksikan pada terjadinya Perang Dingin. Bisa dibilang, ini

adalah fase daripada tantangan terhadap hegemoni yang dipraktekkan oleh

Amerika Serikat. Fase ini memiliki arti penting karena perkembangan hegemoni

daripada Amerika Serikat yang mandek akibat adanya pengaruh dari komunisme

dan sosialisme yang membendung pengaruh liberalisme dan kapitalisme.

Runtuhnya Uni Soviet telah membawa angin segar bagi Amerika Serikat.

Hancurnya Uni Soviet turut pula menghancurkan ideologi sosialisme dan

komunisme di dunia. Memudarnya pengaruh sosialisme membuat ideologi

liberalisme dan sistem kapitalisme berkembang luas. Amerika Serikat pun semakin

gencar menanamkan pengaruh liberalisme dan kapitalisme melalui organisasi -

5 Paul R. Krugman & Maurice Obstfeld, International Economics : Theory and Policy, New York, Pearson Addison Weasley, 2007

11

Page 12: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

organisasi internasional yang ada. Hal ini cukup terlihat dari gencarnya Amerika

Serikat mengkampanyekan free trade dan demokrasi.

Hegemoni Amerika Serikat ini sendiri didukung oleh adanya Trilateral

Commission yang dicanangkan oleh Amerika Serikat, dimana diharapkan negara

Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat mampu menguasai sistem

internasional6. Namun, dalam perkembangannya, Eropa Barat lebih berfokus

kepada Uni Eropa dan mencoba untuk mencapai tujuannya sendiri, sementara

Jepang, semenjak berakhirnya abad XX, perkembangan ekonominya cenderung

statis dan berkembang secara perlahan. Tak pelak, hal ini membuat Amerika

Serikat berdiri sendiri untuk mempertahankan hegemoninya di dunia internasional.

Hegemoni ini sendiri pada awal abad XXI kembali mendapat tentangan

dari China. China, semenjak akhir abad XX, mengalami pertumbuhan ekonomi

yang cukup pesat. Hal ini membuat Amerika Serikat merasa terancam dengan

perkembangan dari China. Segala upaya dilakukan Amerika Serikat untuk

membendung perkembangan China, salah satunya adalah desakan terhadap China

agar mengimplementasikan penetapan nilai tukar terhadap dolar dengan sistem

floating exchange rate.

Ancaman kedua datang dari adanya perkembangan nuklir di Korea Utara.

Korea Utara terbukti mengembangkan nuklir pada tahun 1994, namun Amerika

Serikat berhasil meradam perkembangan ini dengan melakukan negosiasi terhadap

Korea Utara sehingga perkembangannya tidak dilanjutkan. Namun, pada tahun

2003, IAEA kembali menemukan fakta bahwa Korea Utara mengembangkan

nuklirnya dan lebih maju daripada temuan yang pertama. Hal ini berawal dari

6 Stephen Gill, American Hegemony and The Trilateral Commission, New York, Cambridge University Press, 1991

12

Page 13: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

konfrontasi yang dilakukan Asisten Kelly yang menkonfrontasi pihak Korea Utara

dengan bukti mengenai program uranium mereka pada Oktober 2002.

Korea Utara pun mundur dari kesepakatan NPT (Non Proliferation Treaty),

yaitu perjanjian terhadap aturan pengembangan nuklir. Dengan mundurnya Korea

Utara dari NPT pada tahun 2003, maka Korea Utara bisa dengan leluasa

mengembangkan nuklirnya di segala bidang, termasuk sebagai senjata7. Hal ini

menjadi ancaman serius tatkala Korea Utara telah menguji cobakan rudal

nuklirnya pada tahun 2006.

Perkembangan nuklir Korea Utara sendiri mendapat perhatian serius dari

Amerika Serikat. Adanya perkembangan tersebut dianggap mengancam mengingat

Korea Utara memiliki ideologi sosialisme dan dikhawatirkan dapat mengancam

stabilitas kawasan, terutama di kawasan Asia timur, dimana Amerika Serikat tidak

memiliki basis yang kuat disana. Secara tidak langsung, hal ini ikut mengancam

Korea Selatan yang sejatinya merupakan salah satu aliansi Amerika Serikat dan

juga mengancam Jepang yang merupakan aliansi utama Amerika Serikat di

kawasan Asia.

Hegemoni Amerika Serikat terancam, karena Asia merupakan salah satu

kawasan yang dianggap menjadi bagian penting dalam perkembangan hegemoni

Amerika Serikat nantinya. Adanya perkembangan nuklir Korea Utara, yang

dianggap memiliki hubungan khusus dengan Pakistan8, tentu dapat

membangkitkan semangat anti Amerika. Seperti yang diketahui, negara sosialis

dan anti Amerika Serikat masih banyak bertebaran di Asia, misalnya Vietnam,

7 Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki, Crisis on The Korean Peninsula : How To Deal With A Nuclear North Korea, New York, McGraw Hill, 2003, hal 71 - 73

8 Wm. Robert Johnston, North Korea First Nuclear Test, diakses dari < http://www.johnstonsarchive.net/nuclear/dprk-ntest.html> pada 9 April 2011

13

Page 14: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

Laos, Kamboja, China, Pakistan, dan lain – lain. Posisi Amerika Serikat jelas

terancam jika negara – negara tersebut bergerak lebih berani lagi.

Dari hal di atas, tentunya tidak mengherankan apabila Amerika Serikat

perlu mengambil kebijakan khusus terhadap pengembangan nuklir Korea Utara,

utamanya menyangkut dengan konflik di Semenajung Korea. Apabila kebijakan

yang diterapkan kurang tepat, maka reputasi Amerika Serikat akan kembali

dipertanyakan di dunia internasional.

II.2 Keterlibatan Amerika Serikat di Konflik Korea

Amerika Serikat sendiri telah berkecimpung di kawasan Asia Timur

semenjak pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939. Hal ini mengingat Jepang

merupakan salah satu musuh utama dari Amerika Serikat yang telah mengebom

pangkalan militer Pearl Harbour di Kepulauan Hawaii pada tahun 1941. Bisa

dibilang, semenjak itulah Perang Dunia ini melibatkan dua negara tersebut.

Amerika Serikat pun melakukan pemetaan dan juga penelitian terhadap

Asia Timr, terutama Negara Jepang. Hal ini digunakan untuk membalas serangan

yang dilakukan oleh Jepang tadi. Hingga akhirnya pada bulan Agustus tahun 1945,

Amerika Serikat melancarkan serangan balasan dengan meluncurkan bom atom ke

dua kota di Jepang, yaitu Nagasaki dan Hiroshima. Peristiwa itu pun menjadi

pertanda berakhirnya Perang Dunia II. Peristiwa tersebut juga membuat Amerika

Serikat untuk meneliti kawasan Asia Timur secara lebih lanjut.

Amerika Serikat bisa dianggap sebagai salah satu aktor utama di dalam

dinamika konflik Korea. Dalam hal ini, Amerika Serikat sejak awal mendukung

pembentukan negara Korea Selatan.

Di dalam Perang Korea yang terjadi pada tahun 1950-an, Amerika Serikat

pun sekuat tenaga membantu Korea Selatan di dalam menghadapi Korea Utara. Hal

14

Page 15: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

ini tidak lepas dari keberadaan Korea Selatan yang cukup penting di dalam

menanamkan pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia Timur.

Amerika Serikat memiliki kepentingan yang cukup esensial di koflik

Korea, yaitu untuk membendung meluasnya ideology komunisme yang berkembang

di Korea Utara. Hal ini sesuai dengan kapasitasnya sebagai pejuang demokrasi di

seluruh dunia.

Seperti yang telah diketahui, Amerika Serikat memiliki Jepang yang

menjadi aliansi utama di kawasan Asia setelah berakhirnya Perang Dunia. Bila

Korea Selatan sampai jatuh ke tangan pihak komunis, yaitu Uni Soviet dan China,

maka keberadaan Jepang akan semakin terdesak. Pengaruh Amerika Serikat pun

terancam bila posisi Jepang ikut terancam. Tidak mengherankan jika Amerika

Serikat sangat sensitive terhadap permasalahan di kawasan Asia Timur, utamanya

yang menyangkut Jepang dan konflik Korea.

Amerika Serikat menilai kawasan Asia Timur sebagai kawasan yang cukup

rumit. Hal ini tidak lepas dari tidak adanya sosok leader di kawasan tersebut. Ada

kecenderungan masing – masing negara di kawasan Asia Timur berusaha untuk

menjadi leader dengan cara masing - masing. Tidak ada institusi yang menaungi

kawasan ersebut. Adanya persaingan seperti itulah yang membuat negara – negara

di kawasan Asia Timur mengembangkan pengaruhnya ke Asia Tenggara, yang

sejatinya diisi oleh negara – negara yang belum cukup mapan.

II.3 Kompleksitas Hubungan Antar Negara di Kawasan Asia Timur

Kawasan Asia Timur merupakan salah satu kawasan yang cukup unik. Hal

ini dikarenakan kawasan berisikan negara – negara dengan potensi power yang

cukup besar, namun tidak ada satupun yang dianggap memiliki hegemoni atau

15

Page 16: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

pengaruh yang sangat besar9. Kawasan ini juga dianggap unik karena merupakan

kawasan yang tidak memiliki insitusi di dalam kaitannya dengan kerja sama

regional, seperti yang ada pada kawasan Asia Tenggara ataupun Eropa. Penetrasi

pengaruh daripada masing – masing negara di kawasan Asia Timur pun cenderung

lebih menuju ke Asia Tenggara. Banyak kesepakatan yang menyatakan bahwa

ASEAN bekerja sama dengan 3 negara di kawasan Asia Timur, yaitu China, Jepang,

dan Korea Selatan.

Dengan tidak adanya kekuatan besar yang mendominasi kawasan ini, maka

pertarungan pun terjadi di dalam perebutan pengaruh ke dalamnya, baik dilakukan

oleh negara – negara di dalamnya, ataupun oleh negara lain di luar kawasan

tersebut. Prospek ini juga semakin cerah mengingat penetrasi mereka terhadap

kawasan Asia Timur sangatlah kuat, sehingga apabila mampui menjadi hegemon di

kawasan Asia Timur, maka secara tidak langsung juga akan memiliki pengaruh

yang sangat besar di Asia Tenggara.

Persaingan perebutan pengaruh ini jelas terlihat tatkala dimulainya Perang

Korea pada tahun 1950 dan berakhir pada tahun 1953. Tidak cukup disitu, pada

masa Perang Dingin pun, Amerika Serikat dan Uni Soviet berusaha untuk

menancapkan dominasinya di kawasan Asia Timur dengan menggandeng aliansinya

masing – masing. Uni Soviet dengan China dan Korea Utara, sementara Amerika

Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan. Masing - masing berusaha

mempertahankan aliansinya guna membendung pengaruh dari yang lain.

Berakhirnya Perang Dingin sebenarnya membuat Amerika Serikat berjaya

di kawasan ini. Hal ini mengingat negara pendukung utama dari China dan Korea

Utara telah hilang. Namun, berakhirnya Perang Dingin justru menimbulkan masalah

9 Yeo Lay Hwee, Realism and Reactive Regionalism: Where Is East Asian Regionalism Heading? <http://revistas.ucm.es/cps/16962206/articulos/UNIS05052230008.pdf>, diakses pada 12 Maret 2011

16

Page 17: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

baru. China, yang saat itu perekonomiannya mulai menanjak, menjadi ancama baru

bagi Amerika Serikat.

Keberadaan nuklir daripada Korea Utara menambah kompleksitas

hubungan antar negara di kawasan Asia Timur. Korea Utara, yang secara politik dan

ekonomi didukung oleh China, mulai menebar ancaman, terutama kepada Korea

Selatan, yang sejatinya merupakan musuh lama. Keinginan untuk melakukan

reunifikasi pun kembali didengungkan oleh Korea Utara. Meskipun sebenarnya hal

ini mungkin dianggap sebagai sesuatu ancaman saja.

Kompleksitas hubungan antar negara inilah yang membuat Amerika

Serikat tidak bisa melakukan tindakan represif terhadap pengembangan nuklir

Korea Utara. Seperti yang diketahui, Amerika Serikat melakukan invasi terhadap

Irak dengan dugaan adanya penembangan senjata pemusnah massal. Namun

Amerika Serikat tidak bisa begitu saja melakukan tindakan invasi, karena akibatnya

bisa fatal terhadap keberadaan aliansi Amerika Serikat di Asia Timur.

Jika Amerika Serikat mengumumkan perang terbuka terhadap Korea Utara,

maka bisa dipastikan bahwa posisi Jepang dan Korea Selatan akan menjadi

terancam. Korea Selatan menjadi target pertama dan akan menjadi mudah bagi

Korea Utara untuk menginvasi Korea Selatan mengingat kekuatan militer Korea

Selatan yang tentunya tidak memadai bila dibandingkan dengan kapabilitas militer

Korea Utara.

II.3 Kebijakan Amerika Serikat terhadap Konflik Korea pada Masa Pemerintahan

George W. Bush

Keterlibatan Amerika Serikat di dalam kawasan Asia Timur menjadikan

Amerika Serikat memiliki kebijakan tersendiri yang dirumuskan guna melaksanakan

kepentingan nasionalnya. Tidak mengherankan tiap Presiden Amerika Serikat

17

Page 18: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

menerapkan kebijakan yang berbeda – beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang

dialami.

Pada saat berkecamuk Perang Korea pada tahun 1950, yang menjabat

pucuk kepala pemerintahan Amerika Serikat adalah Presiden Harry S. Truman.

Fokus utama daripada pemerintahan Truman adalah perhatian terhadap Eropa. Hal

ini tidak lepas dari berakhirnya Perang Dunia II yang membuat perekonomian

negara – negara di dunia hancur, terutama Eropa. Bahkan pasukan Amerika Serikat

yang setelah menginspeksi Jepang dipanggil pulang secara bertahap.

Ketika NATO terbentuk pada tahun 1949, perhatian tetap tidak berubah

dari Eropa. Bahkan setelah Uni Soviet melakukan uji coba bom atom pertamanya.

Padahal,kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang sangat rawan dari pengaruh

Uni Soviet karena kedekatan geografisnya. Kawasan ini juga rawan karena belum

ada satupun otoritas ataupun Great Power yang menjadi penyokongnya.

Setelah pembentukan dari negara Korea Utara dan Selatan, perhatian

Amerika Serikat mulai teralihkan ke negara ini. Hal ini terutama dikarenakan Korea

Utara yang mendapat dukungan penuh dari Uni Soviet di dalam pembentukan

negaranya, terutama di dalam persenjataan militer10. Setelah Korea Utara melakukan

tindakan represif di Seoul, Amerika Serikat pun berubah haluan dan berusaha

membantu Korea Selatan yang berarti telah mengobarkan adanya perang. Meskipun

akhirnya perang tidak menghasilkan apa – apa, dan Amerika Serikat pun bersedia

melakukan gencatan senjata. Praktis setelah berakhirnya Perang Korea, Amerika

Serikat tidak memiliki kebijakan khusus terkait dengan Semenanjung Korea.

Situasi di Korea kembali memanas pada tahun 1994, yaitu pada saat

ditemukannya pengembangan reactor nuklir yang dilakukan Korea Utara. Temuan

10 Donald M. Goldstein dan Harry J. Maihafer, op.cit

18

Page 19: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

ini didapat IAEA setelah melakukan inspeksi. Korea Utara pun dianggap tidak

melakukan tindakan yang kooperatif dengan menghalang – halangi inspeksi dari

IAEA11. Amerika Serikat yang saat itu dipimpin oleh Bill Clinton sempat merasa

kecolongan. Hingga akhirnya mengeluarkan kebijakan diplomasi dengan

menawarkan penggantian nuklir dengan energy lainnya. Hal ini memang direspon

baik oleh Korea Utara, namun niat di balik hal tersebut memang masih menjadi

rahasia. Korea Utara pun menandatangani “Agreed Framework” dengan Amerika

Serikat dimana Korea Utara mau menutup segala kegiatan pengayaan uranium, hal

ini membuat Amerika Serikat pun akhirnya melunak terhadap Korea Utara.

Berkaca dari “kesalahan” dan kegagalan kebijakan yang diterapkan

presiden – presiden sebelumnya terhadap konflik Korea, Presiden George W. Bush

cukup berhati – hati di dalam mengambil kebijakan terhadap konflik Korea. Ada

kecenderungan bahwa Amerika Serikat berusaha menekan Korea Utara secara

mental dan fisik, tetapi bukan melalui perang.

Kebijakan yang dilakukan pada Amerika Serikat pada era Presiden George

W. Bush bersifat diplomatis dan cenderung bermain aman. Hal ini terlihat dari

beberapa kebijakannya, diantaranya penambahan jumlah pasukan dan peralatan

militer di kawasan Asia Timur. Semenjak tahun 1990-an, dimana pada saat itu

pertama kalinya Korea Utara ditemukan mengembangkan nuklir, Amerika Serikat

bisa dianggap menaruh hampir setengah dari jumlah pasukannya di kawasan Asia

Timur. Pada awal 2003, Amerika Serikat menambah jumlah pesawat tempurnya,

menambah seribu pasukan di Guam, menambah jumlah camp yang menjadi tempat

berkumpulnya tentara Amerika Serikat12.

11 Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki, op. cit, hal. 7012 Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki, op. cit, hal. 70

19

Page 20: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

Kebijakan yang lain yang digunakan oleh Amerika Serikat adalah menekan

Korea Utara melalui IAEA maupun PBB. Amerika Serikat pun terlihat sangat aktif

di dalam melakukan negosiasi terhadap Korea maupun mendengarkan pertimbangan

– pertimbangan dari pemimpin di Asia Timur.

Kebijakan Amerika Serikat lain yang diterapkan terhadap adanya konflik di

Semenanjung Korea adalah diplomasi. Hal ini dilakukan mengingat upaya

deterrence yang dilakukan oleh Amerika Serikat dirasa tidak berhasil dilakukan di

dalam meredam pengembangan nuklir daripada Korea Utara.

Upaya diplomasi dalam hal ini dimulai dari adanya pembentukan Six Party

Talks. Negara yang ikut di dalam pembicaraan ini antara lain Amerika Serikat,

Korea Utara, Korea Selatan, China, Jepang, dan Rusia. Negara – negara ini

dilibatkan mengingat kepentingan dan letak geografis mereka terhadap pengaruh

dari pengembangan nuklir Korea Utara.

Pembicaraan ini berlangsung selama beberapa kali pertemuan. Pada

putaran pertama dilangsungkan pada Agustus 2003. Putaran kedua sendiri

dilangsungkan pada Juni 2004, dimana dua putaran ini dilakukan di Beijing.

Pada dua putaran pertama, terjadi kesepakatan kecil. Amerika Serikat

dalam hal ini menekankan pada perlunya komitmen Korea Utara untuk

memusnahkan segala hal yang berhubungan pengembangan nuklir. Amerika Serikat

juga menolak ajakan untuk melakukan kerja sama bilateral dengan Korea Utara, hal

yang selama ini sebenarnya sangat diinginkan oleh Korea Utara.

Pada putaran ketiga, Amerika Serikat jauh lebih melunak terhadap Korea

Utara pada Juni 2004. Hal ini didorong oleh desakan dari pihak Korea Selatan dan

Jepang, dimana akhirnya Amerika Serikat memberikan detil daripada proposal

untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara.

20

Page 21: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

Proposal tersebut berisikan perintah deklarasi kepada Korea Utara untuk

menghilangkan segala bentuk kapabilitas pengayaan plutonium dan uranium, baik

materialnya maupun peralatannya dengan jangka waktu 3 bulan. Kesepakatan ini

sendiri nantinya ditukar dengan proposal untuk memberikan bantuan bagi Korea

Utara terutama dengan minyak bahan bakar, dan juga mengupayakan pihak – pihak

lain untuk menjamin keamanan daripada Korea Utara sendiri. Hal ini juga termasuk

diskusi mengenai pencabutan sanksi yang selama ini diberlakukan Amerika Serikat

terhadap Korea Utara.

Korea Utara sendiri secara formal tidak begitu merespon terhadap tawaran

ini. Mungkin Korea Utara syarat yang diajukan kurang menguntungkan bagi negara

tersebut. Sementara Amerika Serikat tetap bersikukuh bahwa hal ini perlu disepakati

sebagai titik awal terhadap negosiasi selanjutnya13.

Ketidaksepakatan ini kemudian berlanjut hingga pertemuan – pertemuan

selanjutnya. Amerika Serikat masih tetap bersikukuh bahwa penyelesaian konflik di

Semenanjung Korea haruslah melibatkan banyak pihak. Sementara Korea Utara

tetap berpegang teguh bahwa mereka hanya butuh berbicara dengan Amerika

Serikat secara face-to-face.

Konflik Korea ini berlanjut tatkala Korea Utara mengujicobakan senjata

nuklirnya pada 9 Oktober 2006. Uji coba ini dilakukan di bawah tanah. China,

sebagai negara terdekat letak geografisnya pun mendapat peringatan dari Korea

Utara bahwa mereka akan melakukan ujicoba nuklir di bawah tanah 5 hari

sebelumnya. Korea Utara pun secara resmi menytakan bahwa mereka telah

melakukan ujicoba nuklirnya.

13 Proliferation Brief, Vol. 8 No. 7, diakses dari < http://www.carnegieendowment.org/publications/?fa=view&id=17250&zoom_highlight=US+Policy+to+North+Korea> diakses pada 9 April 2011

21

Page 22: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

Uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara ini merupakan

yang tes senjata nuklir yang pertama oleh suatu negara semenjak adanya test bawah

tanah lain yang dilakukan oleh India dan Pakistan pada Mei 1998. Test ini

menandakan bahwa Korea Utara tidak sedikitpun mundur dari ancaman Amerika

Serikat.

Keberadaan test nuklir Korea Utara ini semakin membuat Presiden George

W. Bush meradang. Hingga akhirnya pada pidatonya tahun 200814, Bush

mengultimatum kepada Korea Utara untuk segera mengakhiri program nuklirnya.

Bahkan Amerika Serikat siap untuk melakukan perdagangan jika Korea Utara

memang benar – benar berkomitmen untuk melenyapkan program pengayaan

uraniumnya. Namun, Amerika Serikat juga mengancam apabila dalam 45 hari

Korea Utara tak kunjung merespon tawaran ini, maka Korea Utara akan mendapat

sanksi yang lebih berat dari yang pernah mereka terima dari Amerika Serikat sendiri

maupun dari PBB. Bahkan dalam jangka waktu 45 hari tersebut, Amerika Serikat

akan menganggap Korea Utara sebagai salah negara negara pensponsor terror di

dunia.

14 Remarks of U.S. President George W. Bush on North Korea's Nuclear Declaration, 2008, < http://news.bbc.co.uk/2/hi/7475631.stm> diakses pada 9 April 2011

22

Page 23: Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994

Daftar Pustaka

Gill Stephen, American Hegemony and The Trilateral Commission, New York, Cambridge University Press, 1991

Goldstein J. Donald & Maihafer J. Harry, The Korean War : The Story and Photograph, Virginia, Brassey’s, 2000

Mowle S. Thomas & Sacko H. David, The Unipolar World : An Unbalanced Future, New York, Palgrave Macmillan, 2007

O’Hanlon M. & Mochizuki M, Crisis on The Korean Peninsula : How To Deal With A Nuclear North Korea, New York, McGraw Hill, 2003

Singer J. David, “The Level of Analysis Problem in International Relations”, World Politics, Vol. 14, No 1, 1961

Krugman R. Paul & Obstfeld Maurice, International Economics : Theory and Policy, New York, Pearson Addison Weasley, 2007

http://news.bbc.co.uk/2/hi/7475631.stm

http://revistas.ucm.es/cps/16962206/articulos/UNIS05052230008.pdf

http://www.carnegieendowment.org/publications/?fa=view&id=17250&zoom_highlight=US+Policy+to+North+Korea

http://www.johnstonsarchive.net/nuclear/dprk-ntest.html

http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/feros-pg.htm

23