penyakit tropis, infeksi orofasial, dan antibiotika
DESCRIPTION
Penyakit Tropis, Infeksi Orofasial, Dan AntibiotikaTRANSCRIPT
1
BAB II
ISI
2.1 INFEKSI VIRUS
2.1.1 Herpes Primer
Virus primary herpes atau herpetic ginggivostomatitis adalah tipe virus
DNA. Primary herpetic gingivostomatitis memiliki frekuensi infeksi virus terbesar
di mulut dan menjalar dengan mudah melalui saliva. Herpetic ginggivostomatitis
biasanya terjadi pada anak usia dini berumur 6 bulan sampai usia 5 tahun, jarang
terjadi pada usia dibawah 6 bulan. Meskipun jarang tetapi kasus ini telah
dilaporkan dapat terjadi pada orang dewasa.
a. Etiologi
Herpes primer atau herpetic ginggivostomatitis adalah suatu penyakit
sistemik yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Virus herpes simpleks
adalah virus ectodermotrofik yang sama dengan virus penyebab herpes zoster dan
chicken pox.
b. Manifestasi Klinis
Infeksi herpes primer pada sebagian besar anak-anak adalah sub-klinis
(tanpa tanda-tanda atau gejala klinis). Pada kasus tertentu infeksi awal pada anak
ditandai dengan demam, iritabilitas, sakit kepala, nyeri saat menelan dan
lymphadenopathy. Terdapat lesi yang khas yaitu vesikula dengan diameter 2
sampai 4 mm di ginggiva, lidah, bibir dan mukosa bukal. Vesikula berbentuk
bulat,berbatas jelas dan berwarna kekuningan. Dalam waktu beberapa jam akan
2
pecah dan membentuk ulserasi dangkal dan sakit yang tertutup oleh
pseudomembran dengan batas eritem. Ulserasi pada rongga mulut merupakan
manifestasi paling umum dari penyakit ini.
Gambar 2.1 Pasien wanita 12 tahun dengan herpetic ginggivostomatitis primer yang menyebabkan vesikula dan ulserasi yang dikelilingi oleh peradangan
Gambar 2.2 Primary herpetic gingivostomatitis: multiple ulcers pada lidah.
c. Patofisiologi
Penularan virus melalui infeksi droplet dengan periode inkubasi sekitar 1
minggu. Terjadi kenaikan suhu ringan (99⁰-100⁰ F) yang berlangsung 7 - 10 hari.
Dalam 24 sampai 36 jam mulut terasa nyeri, ginggiva membengkak, dan ada
peningkatan saliva. Tidak lama kemudian biasanya dalam waktu 24 jam,
berkembang vesikel di ginggiva, lidah, bibir dan mukosa bukal yang kemudian
3
pecah dan membentuk ulserasi. Bila ulserasi meluas, sering terjadi kesulitan
makan dan pengeluaran saliva berlebih.
Durasi penyakit biasanya 10 - 14 hari, dengan fase akut dan lesi oral
umum dan ketidaknyamanan yang paling akut terjadi dari hari ke-3 sampai 7. Lesi
mulut sembuh secara spontan tanpa pembentukan jaringan parut dalam 14 hari
dan sangat jarang terjadi kekambuhan.
d. Penanganan :
Diagnosis pasti didasarkan pada isolasi virus dengan kultur jaringan sel
atau dengan identifikasi virus herpes simpleks dengan penetralan antibodi di
dalam serum. Tidak ada pengobatan definitif. Langkah-langkah pendukung dapat
diambil untuk meringankan ketidaknyamanan pasien, mengurangi kecemasan
orang tua, dan mencegah dehidrasi. Pengobatan yang digunakan bervariasi sesuai
dengan usia pasien. Pasien usia anak-anak seringkali menolak pemberian sesuatu
secara oral karena adanya rasa sakit pada rongga mulut dan faring, akibatnya
dapat mengalami dehidrasi dan mungkin memerlukan rawat inap serta pemberian
cairan infus.
Bagi anak yang kooperatif dapat digunakan anestetikum topikal pada
mukosa mulut sebelum makan, sehingga dapat intake makanan dan cairan tetap
memadai untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Lidokain dan
diphenhydramine sangat berguna dalam hal ini. Beberapa dokter menggunakan
natrium bikarbonat (⅟₂ sendok teh NaHCO₃ dalam 6 oz air hangat) yang
digunakan sebagai obat kumur sebagai pereda sakit yang efektif, kemudian
anjurkan istirahat dan diet makanan lunak. Hindari makanan dan minuman yang
4
dapat mengiritasi, misalnya jus buah-buahan yang asam, atau soda. Pemberian
milk shake dingin, atau minuman tinggi protein lainnya yang disajikan dengan
suhu dingin (chilled) dapat menyiasati dua hal, yaitu menimbulkan anetesia
topikal serta menjaga hidrasi pasien dengan nutrisi yang adekuat.
Pada kasus yang berat dapat dilakukan pemberian asiklovir 200 mg (5 kali
sehari dalam 5 hari). Pada anak di bawah 2 tahun dosis yang diberikan dibagi dua.
Asiklovir aktif terhadap virus herpes tetapi tidak mampu memberantas
sepenuhnya.
Antiseptik lokal dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder pada
ulser yaitu digunakan chlorhexidine 0,2 % dikumurkan 2- 3 kali sehari. Untuk
pasien dengan usia muda (usia dibawah 6 tahun), chlorhexidine semprot dapat
digunakan (2 kali setiap hari) atau mengaplikasikannya menggunakan kapas.
Analgetik antipiretik seperti paracetamol dapat diberikan untuk meredakan
gejala infeksi. Steroid umumnya harus dihindari, antibiotik juga tidak membantu
pada penanganan kasus ini, kecuali terdapat kasus infeksi bakteri sekunder.
2.1.2 Herpes simpleks sekunder/ Herpes labial rekuren
Infeksi herpes rekuren atau herpes labialis berkembang di sekitar sepertiga
dari pasien yang memiliki infeksi primer. Herpes labialis adalah jenis infeksi yang
paling sering kambuhan. Biasanya ditemukan sebagai sekumpulan vesikel yang
muncul di sekitar bibir setelah penyakit sistemik atau stres. Sinar ultraviolet dan
rangsangan mekanis mungkin juga bisa menyebabkan kekambuhan.
5
a. Etiologi
Penyakit ini merupakan bentuk sekunder atau rekuren dari infeksi herpes
simpleks primer. Pada manusia virus herpes simpleks bersifat laten atau dormant
dan dapat mengalami reaktivasi. Rekurensi akibat reaktivasi virus diinduksi oleh
stres emosi, demam tinggi, paparan sinar ultraviolet, trauma jaringan mukosa
rongga mulut atau jaringan saraf, kondisi imunosupresi, dan gangguan hormon.
b. Manifestasi Klinis
Nampak lesi sekunder yang berbentuk kluster – kluster kecil dari vesikula –
vesikula sekitar batas vermilion bibir dan sering melibatkan kulit yang
berdekatan, terutama antara bibir atas dan hidung.
Gambar 2.3 Herpes labialis rekuren.
c. Patofisiologi
Infeksi ini disertai oleh sindrom prodromal seperti rasa terbakar, gatal atau
tingling sensation pada bibir, lalu berikutnya terjadi pembengkakan dan muncul
lesi vesikuler dengan batas eritema. Vesikular - vesikular kecil membentuk satu
atau dua lesi vesikular besar yang kemudian akan ruptur dan membentuk ulserasi
yang ditutupi oleh lapisan krusta, akan sembuh dalam 7-14 hari tanpa membentuk
jaringan parut. Pada beberapa pasien, lesi terasa sakit sekali dan untuk yang lain
hanya menimbulkan ketidaknyamanan. Lesi herpes sekunder sering muncul
6
bersamaan dengan stres emosional atau fisik, paparan sinar matahari yang sering
atau trauma vokal. Infeksi ini sering muncul kembali di daerah yang sama dan
mungkin berulang.
d. Penanganan
Pengobatan spesifik untuk herpes labial rekuren tidak tersedia. Walaupun
lesi–lesi sembuh secara spontan, krim asiklovir akan membantu jika dioleskan
segera setelah vesikula terbentuk. Penggunaan steroid topikal harus dihindari
karena kemungkinan bahwa steroid akan memfasilitasi penyebaran virus dan
mengingat fakta bahwa agen steroid belum terbukti nyata mengurangi jalannya
infeksi.
2.1.3 Herpes Zoster
Herpes zoster (shingles) merupakan infeksi virus akut biasanya terjadi
pada orang dewasa dengan usia lebih dari 40 tahun tapi kadang-kadang muncul
pada anak-anak dan remaja. Penyakit ini merupakan infeksi yang berulang dari
varicella (chickenpox).
a. Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh virus herpes varicella-zoster (VZV).
Setelah infeksi primer dari varicella (chickenpox) berlangsung, VZV tetap laten di
ganglion dorsal, termasuk ganglion trigeminal pada beberapa pasien. Varicella
zoster merupakan suatu virus rantai ganda DNA anggota famili virus herpes yang
tergolong virus neuropatik atau neurodermatotropik.
7
Reaktivasi virus varicella zoster dipicu oleh berbagai macam rangsangan
seperti pembedahan, penyinaran, penderita lanjut usia, dan keadaan tubuh yang
lemah meliputi malnutrisi, seorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan
jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Apabila terdapat rangsangan
tersebut, virus varicella zoster aktif kembali dan terjadi ganglionitis. Virus
tersebut bergerak melewati saraf sensorik menuju ujung-ujung saraf pada kulit
atau mukosa mulut dan mengadakan replikasi setempat dengan membentuk
sekumpulan vesikel.
b. Manifestasi klinis
Tanda-tanda klinis terdapat gejala prodormal yaitu demam, malaise, nyeri
radikuler dan neuralgia pada saraf yang terkena. Setelah 3 sampai 4 hari, maka
akan muncul lesi vesikuler multipel dengan gambaran khas yaitu lokasinya
unilateral dan jarang melewati garis tengah tubuh. Banyak muncul lesi vesikular
yang terasa nyeri di wajah, kornea, mukosa mulut, lidah, uvula, dan orofaring.
Lesi awalnya berupa makula yang eritem lalu berkembang menjadi vesikula.
Kemudian menjadi pustula yang akhirnya akan pecah menjadi krusta dalam 7
sampai 10 hari. Lesi ini akan pecah dan dapat mengalami penyembuhan tanpa
jaringan parut selama tidak ada proses infeksi sekunder.
8
Gambar 2.4 Herpes zoster pada wajah dan kornea.
Gambar 2.5 Lesi palatal yang unilateral pada herpes zoster.
c. Patofisiologi
Perjalanan penyakit ini berawal dari masa inkubasi hingga antara 4 dan 20
hari. Patogenesisnya belum seluruhnya diketahui. Selama terjadinya varicella,
VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung syaraf
sensoris dan ditransportasikan melalui serabut syaraf sensoris ke ganglion
sensoris. Pada ganglion tersebur terjadi infeksi laten, dimana virus tidak lagi
menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk
berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Pada saat terjadi
reaktivasi, virus akan kembali bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan
9
merusak ganglion sensoris. Peradangan terjadi pada ganglion akar dorsal dari
saraf tepi dan seringnya terjadi pada ganglion saraf kranial. Infeksi herpes zoster
pada struktur kepala dan leher biasanya melibatkan saraf trigeminal dan bergerak
mengikuti saraf itu. Kemudian virus menyebar ke sumsum tulang serta batang
otak dan melalui syaraf sensoris akan sampai ke kulit dan kemudian akan timbul
gejala klinis.
d. Penanganan
Diagnosis dibuat terutama dari temuan klinis. Penanganan terdiri dari
pencegahan infeksi sekunder serta tindakan paliatif hingga penyakit mereda
(dalam 1 atau 2 minggu). Analgetik dapat diberikan untuk meredakan nyeri.
Asiklovir dosis tinggi sangat membantu dalam menyembuhkan lesi dan
mengurangi insiden neuralgia paska-herpes terutama pada pasien
imunocompromise. Terapi simptomatik dapat diberikan untuk penanganan ulser.
Pasien dengan nyeri herpes akut ringan menunjukkan respons yang baik dengan
AINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak) atau analgetik non opioid
(asetaminofen, tramadol, asam mefenamik). Jika terdapat kasus ophthalmic zoster,
pendapat seorang ahli ophtamologi sangat dibutuhkan.
2.1.4 Varicella (chickenpox)
Varisela merupakan salah satu penyakit sangat menular yang dapat
menular dengan sangat cepat. Varisela dapat merupakan penyakit kongenital,
menyerang bayi baru lahir, menyerang anak kurang dari 10 tahun terutama usia 5
sampai 9 tahun, bahkan orang dewasa. Pada anak sehat penyakit ini biasanya
10
bersifat jinak, jarang menimbulkan komplikasi dan hanya sedikit yang menderita
penylit, tetapi pada status immunitas yang menurun, seperti bayi baru lahir,
immunodefisiensi, tumor ganas, dan orang dewasa yang mendapat pengobatan
immunosupresan sering menimbulkan komplikasi bahkan menyebabkan
kematian.
Gambar 2.6 Varicella zoster virus / chickenpox
a. Etiologi
Varicella (chickenpox) disebabkan oleh virus varicella – zoster (VZV).
Setelah infeksi primer dari penyakit ini, VZV tetap laten di badan sel syaraf dan
sering juga di ganglion akar dorsal, termasuk ganglion trigeminal pada beberapa
pasien. Pengaktifan virus ini dapat menimbulkan herpes zoster (shingles).
b. Manifestasi klinis
Varicella pada anak yang lebih besar (pubertas) dan orang dewasa
biasanya didahului dengan gejala prodormal yaitu demam, malaise, nyeri kepala,
mual dan anoreksia. Pada anak kecil usia lebih muda) yang imunokompeten
11
biasanya hanya dijumpai keluhan demam ringan dan malaise ringan. Lesi pada
varicella bersifat progresif. Lesi mempunyai distribusi yang khas, muncul pada
kulit kepala, wajah, meluas ke badan dan ekstrimitas, bahkan di dalam rongga
mulut. Lesi dalam rongga mulut menyerupai ulser dari ginggivostomatitis herpes,
biasanya tanpa rasa sakit umumnya terlihat di palatum, konjungtiva, laring, faring,
dan genital juga mungkin terlibat.
Pada awalnya timbul makula kecil yang eritematosa pada daerah wajah
dan dada, dan kemudian berubah dengan cepat dalam waktu 12 – 14 jam menjadi
papul dan kemudian berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan jernih
dengan dasar eritematosa. Vesikel yang terbentuk dari dasar yang eritem
mempunyai gambaran klasik yaitu letaknya superfisial dan mempunyai dinding
yang tipis sehingga terlihat seperti tetesan air diatas kulit (tear drop) berdiameter 2
– 3 mm,berbentuk elips dengan aksis panjang sejajar dengan lipatan kulit. Cairan
vesikel ini cepat menjadi keruh disebabkan masuknya sel radang sehingga pada
hari ke 2 akan berubah menjadi pustula. Lesi kemudian mengering menjadi krusta
dalam waktu yang bervariasi 2 – 12 hari, kemudian krusta akan lepas pada waktu
1 – 3 minggu. Pada fase penyembuhan varicella jarang terbentuk parut apabila
tidak disertai dengan infeksi sekunder bakteri.
12
Gambar 2.7 Sebuah blister, muncul pada tahap awal varicella zoster. Gambaran khas disebut tear drop.
Gambar 2.8 Lesi yang sudah mulai menjadi krusta.
c. Patofisiologi
Masa inkubasi varicella 10 – 21 hari pada anak imunokompeten dan pada
anak yang imunocompromise biasanya lebih singkat yaitu kurang dari 14 hari.
VZV masuk ke dalam tubuh dengan cara inhalasi dari sekresi pernafasan (droplet
infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit.
Setelah VZV masuk melaui saluran pernapasan atas, atau setelah penderita
berkontak dengan lesi kulit, selama masa inkubasinya terjadi viremia primer.
Infeksi mula-mula terjadi pada selaput lendir saluran pernapasan atas kemudian
13
menyebar dan terjadi viremia primer. Pada Viremia primer ini virus menyebar
melalui peredaran darah dan system limfa ke hepar, dan berkumpul dalam
monosit/makrofag, disana virus bereplikasi, siklus ini terjadi pada hari ke 2 - 4.
Pada kebanyakan kasus virus dapat mengatasi pertahanan non-spesifik sehingga
terjadi viremia sekunder. Pada viremia sekunder virus berkumpul di dalam
Limfosit T, kemudian virus menyebar ke kulit dan mukosa dan bereplikasi di
epidermis memberi gambaran sesuai dengan lesi varisela. Periode ini erjadi pada
hari ke 14-16. Permulaan bentuk lesi mungkin infeksi dari kaliper endotel pada
lapisan papil dermis menyebar ke sel epitel dermis, folikel kulit dan glandula
sebasea, saat ini timbul demam dan malaise. Seorang anak penderita varicella
dapat menularkan kepada yang lain yaitu 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah
timbulnya lesi di kulit.
d. Penanganan
Pada pasien immunocompromised, pengobatan yang diberikan bersifat
simptomatis. Lesi yang masih berbentuk vesikel dapat diberikan bedak agar tidak
mudah pecah. vesikel yang sudah pecah dan terbentuk krusta , dapat diberikan
salep antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan antipiretik dan
analgetik. Kuku jari harus dipotong untuk mencegah terjadi infeksi sekunder
akibat garukan.
Obat antivirus dapat diberikan untuk mengurangi lama sakit dan
keparahan, sehingga waktu penyembuhan lebih singkat. Golongan antivirus yang
dapat diberikan yaitu asiklovir, valasiklovir, dan famasiklovir.
2.1.5 Mumps (parotitis endemik)
14
Mumps adalah penyakit infeksi virus akut. Pada tahun 1934 , Johnson dan
Goodpasture menunjukkan bahwa mumps bisa ditularkan dari pasien yang
terinfeksi ke monyet rhesus dan menunjukkan bahwa mumps disebabkan oleh
mikroorganisme dalam saliva. Mikroorganisme ini kemudian terbukti sebagai
virus.
a. Etiologi
Mumps adalah infeksi virus akut yang disebabkan oleh myxovirus yang
sangat menular dengan predileksi jaringan granular dan syaraf. Virus mumps
diketahui dapat diinaktivasi secara cepat dengan penggunaan formalin, ether,
chloroform, pemanasan, dan sinar ultraviolet.
b. Manifestasi klinis
Masa inkubasi mumps adalah selama 14-18 hari, ada pula yang
menyebutkan rentangan 14-25 hari. Gejala prodromalnya non spesifik,
diantaranya adalah myalgia, anoreksia, malaise, pusing, dan demam ringan.
Parotitis merupakan manifestasi yang paling sering muncul, terjadi pada 30-40%
pasien yang terinfeksi. Parotitis dapat unilateral atau bilateral, dan bisa terdapat
kombinasi keterlibatan satu atau beberapa kelenjar ludah. Parotitis memiliki
kecenderungan untuk muncul pada dua hari pertama dan disadari karena rasa sakit
pada telinga serta bengkak lunak atau palpasi positif pada sudut rahang. Gejala ini
umumnya berkurang setelah satu minggu dan menghilang dalam sepuluh hari.
Sebanyak 20% infeksi mumps asimtomatik, sementara 40-50% hanya
memiliki gejala non spesifik atau gejala gangguan pernafasan. Walaupun penyakit
ini lebih sering terjadi pada anak- anak usia 4 – 6 tahun, tetapi terkadang dapat
15
mengenai orang dewasa. Kejadian komplikasi yang paling sering terjadi
melibatkan testis, ovarium, kelenjar pankreas dan kelenjar mammae dan kadang-
kadang prostat. Parotitis adalah manifestasi paling umum dan terjadi pada 30% -
40% dari orang yang terinfeksi.
Gambar 2.9 Childhood Mumps
c. Patofisiologis
Mumps diperoleh melalui kontak langsung dengan droplet saliva. Periode
inkubasinya 2 sampai 3 minggu. Bereplikasi di nasofaring dan kelenjar getah
bening regional. Setelah 12-25 hari, viremia terjadi dan berlangsung 3 sampai 5
hari. Selama viremia, virus menyebar ke berbagai jaringan, termasuk meninges,
dan kelenjar seperti saliva, pankreas, testis, dan ovarium. Peradangan pada
jaringan yang terinfeksi menyebabkan karakteristik gejala parotitis dan meningitis
aseptik.
d. Penanganan
Mumps adalah self limiting disease. Perjalanan penyakit tidak dapat
dipengaruhi oleh anti mikroba. Penanganan mumps bersifat simptomatik. Tidak
16
ada pengobatan yang dikenal untuk mengobati mumps kecuali dengan vaksinasi,
yang baru-baru ini terbukti berhasil dalam mencegah tahap akut penyakit.. Karena
terdapat gangguan menelan/mengunyah, sebaiknya diberikan makanan lunak dan
hindari minuman asam karena bisa menimbulkan nyeri. Daerah pipi/leher bisa
juga dikompres secara bergantian dengan panas dan dingin. Obat pereda nyeri
(misalnya asetaminofen dan ibuprofen) bisa digunakan untuk mengatasi sakit
kepala dan tidak enak badan. Aspirin tidak boleh diberikan kepada anak-anak
karena memiliki resiko terjadinya sindroma Reye.
2.1.6 Cat – scratch disease
Catscratch disease (CSD), dikenal juga sebagai cat scratch fever atau
limfadenitis regional subakut. Pasien CSD biasanya memiliki sejarah terkena
cakaran atau gigitan kucing.
a. Etiologi
Cat – scratch disease atau lymphoreticulosis jinak, adalah gangguan yang
diyakini berasal dari virus, meskipun agen sebenarnya belum diisolasi, ada
hubungan yang pasti antara immunoserologi dan agen-agen psittacosis.
b. Manifestasi klinis
Penyakit ini biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja, tetapi dapat pula
terjadi pada semua usia. Diperkirakan munculnya setelah terjadi suatu trauma
pada kulit, paling sering setelah mengalami goresan atau gigitan dan yang lebih
jarang, tanpa adanya sejarah kontak dengan kucing. Terjadi pembesaran kelenjar
getah bening, terasa sakit dengan ukuran diameter bervariasi dari beberapa
17
milimeter hingga sentimeter. Jaringan diatas kelenjar bisa meradang disertai pada
tahap awal dengan demam ringan, malaise, menggigil, mual dan sakit perut
sesekali. Gejala dapat bertahan selama beberapa minggu hingga beberapa bulan.
Bila dibiarkan akan terjadi fluktuasi pada kelenjar getah bening yang berakhir
dengan keluarnya pus (nanah) ke permukaan.
Gambar 2.10 Seorang anak usia 2.5 tahun dalam proses penyembuhan dari cat scratch disease sejak 10 bulan lalu, abses di lehernya terjadi
dalam periode 3 minggu pertama.
c. Patofisiologis
Perjalanan alami dari Cat – scratch disease terdiri dari perkembangan lesi
vesikuler atau papula di lokasi trauma beberapa hari setelah luka terjadi. Diikuti 1
sampai 3 minggu kemudian oleh limfadenitis regional tanpa limfangitis. Terjadi
pembesaran kelenjar getah bening yang terlihat jelas, khususnya pada lesi kulit
ringan yang mendahuluinya. Biasanya pasien segera mengunjungi dokter setelah
terjadi limfadenopati. Pembesaran kelenjar ini terasa sakit, kemudian jaringan
diatas kelenjar akan mengalami peradangan. Kelenjar getah bening yang terlibat
secara bertahap menjadi berfluktuasi, nekrotik, dan suppuratif. Hingga suatu saat
akan terjadi perforasi kulit dan mengeluarkan isinya yang berupa pus.
18
d. Penanganan
Diferensial diagnosa sangat penting karena menyerupai infeksi penyakit
granulomatosa yang lebih serius (tuberculosis, infeksi mononukleosis, dan
hodgkin disase atau lympho-sarcoma). diagnosis ditegakkan dengan tes kulit
interdermal positif menggunakan antigen dari pasien dengan terbukti Cat –
scratch disease.
Prognosis baik karena penyakit ini termasuk jenis self-limiting dan
mengalami regresi dalam waktu beberapa minggu atau bulan. Pengobatan dapat
terdiri dari insisi dan drainase kelenjar getah bening yang terlibat dengan peran
antibiotik jika berkembang infeksi sekunder.
2.1.7 Infeksi Coxsackie
Coxsackievirus diklasifikasikan sebagai enterovirus, yang berasal dari
saluran enterik manusia. Coxsackievirus dibagi menjadi 2 tipe yaitu A dan B.
Dalam jumlah tertentu, coxsackievirus telah terbukti berkaitan dengan sejumlah
besar penyakit atau sindrom.1 Herpangina dan hand-foot-and mouth disease
disebabkan oleh virus coxsackie tipe A. Infeksi biasanya terjadi melalui kontak
atau droplet.2 Beberapa dari penyakit tersebut mempunyai manifestasi rongga
mulut yang signifikan.
2.1.7.1 Herpangina
Herpangina merupakan penyakit yang spesifik yang disebabkan oleh virus
coxsackie tipe A1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10 dan A22. Namun, dapat juga terjadi akibat
virus A7, A9, atau A16; virus coxsackie B2 – B6; echovirus 9, 16,17; atau
19
enterovirus 71. Pada umumnya, terjadi pada anak-anak, akan tetapi dapat juga
menyerang dewasa muda dan berbagai usia. Infeksi biasanya terjadi melalui
kontak atau droplet.
a. Manifestasi klinis
Herpangina dimulai dengan demam tinggi, muntah sakit pada
tenggorokan, terkadang diikuti dengan batuk, rhinorrhea, anoreksia, diare,
mialgia, dan sakit kepala. Pada rongga mulut akan muncul 2 sampai 6 lesi
vesikulat pada daerah tonsil. Dimulai dengan macula merah, kemudian vesikel
ruptur segera setelah pembentukannya dan menghasilkan daerah ulserasi meluas
pada anterior dari tenggorokan, yaitu pada tonsil, uvula, faring, tepi dari palatum
lunak. Vesikel berdiameter 1 sampai 2 mm dengan pusat abu-abu atau putih
dikelilingi oleh areola merah. Perjalanan penyakit dimulai dari suhu 102⁰ atau
103⁰ F, dan ulkus akan sembuh dalam 3 sampai 4 hari..
Herpangina sering sulit dibedakan dengan herpetic ginggivostomatitis,
akan tetapi dapat dibedakan melalui lokasi dari lesi vesikulernya. Infeksi herpes
simpleks ditandai dengan keterlibatan ginggiva, mukosa bukal, dan bibir,
sedangkan lesi herpangina terbatas pada tonsil dan daerah faring. Selanjutnya,
tidak seperti lesi herpes simpleks, lesi vesikuler dari herpangina jarang
membentuk daerah ulserasi yang besar.
b. Penanganan
Masih belum dapat ditemukan penanganan yang spesifik bagi herpangina
dan bersifat self-limiting serta belum adanya pengendalian yang terbukti efektif.
Terapi yang diberikan sifatnya lebih suportif berupa istirahat, rehidrasi, antipiretik
20
dan analgesik. Untuk infeksi oral, penggunaan antiseptik misalnya chlorhexidine
gluconate atau obat kumur tetrasiklin dapat menurunkan infeksi sekunder. Obat
kumur analgesik akan mengurangi rasa sakit terutama saat pasien makan.
Mencegah kekambuhan dengan cara menghindari faktor pencetus, mencegah
infeksi melalui penyuluhan.
Gambar 2.11 Herpangina:sejumlah ulser dangkal pada palatum lunak
2.1.7.2 Acute limphonodular pharyngitis (faringitis limfonodular akut)
Beberapa dokter percaya bahwa faringitis lymphonodular disebabkan oleh
coxsackie A10. Sebagian besar terjadi pada anak-anak, yang ditandai dengan
adanya demam, sakit kepala, sakit tenggorokan. Manifestasi oral yang ditemukan
sejumlah 1 sampai 5 lesi nodular kuning atau putih di uvula, palatum lunak, tonsil
bagian anterior, dan dinding faring bagian posterior. Pada nodular
menggambarkan agregat limfoid hiperplasik yang akan pecah dalam 10 hari tanpa
vesikula atau ulserasi.
Biasanya diagnosis dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis yang
terlihat. Perjalanan penyakit adalah 4 sampai 10 hari dengan masa inkubasi sekitar
5 hari. Pengobatan tidak diketahui, hanya diberikan terapi suportif, dan penyakit
ini bersifat self limiting.
21
Gambar 2.12 Manifestasi oral berupa lesi nodular pada uvula dan palatum lunak
2.1.7.3 Hand foot and mouth disease
Hand foot and mouth disease adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh berbagai virus coxsackie, biasanya coxsackie A16 pada sebagian
besar kasus.
a. Manifestasi klinis
Penyakit ini ditandai dengan masa inkubasi 2 sampai 6 hari diikuti oleh
periode demam ringan, malaise, anoreksia, batuk dan sakit tenggorokan. Biasanya
mempengaruhi anak-anak antara usia 1 sampai 10 tahun, sebagian besar kasus
dilaporkan terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun.
Setelah demam mencapai onset, timbul ruam makulopapular dengan
diameter mulai dari 2 hingga 10 mm yang muncul pada telapak tangan dan
telapak kaki serta di permukaan ventral jari tangan dan jari kaki. Kemudian
menjadi lesi vesikuler dalam 1 atau 2 hari dan berlangsung selama 1 sampai 2
minggu.
Manifestasi oral yang terlihat berupa 1 sampai 30 lesi vesikuler berwarna
merah dengan oval dan vesikel abu-abu dikelilingi areola merah pada jaringan
non-keratin seperti mukosa bukal, mukosa labial dan lidah, beberapa pada
22
palatum, gingiva, dan bibir, seperti halnya dengan lesi vesikuler kulit meskipun
lebih sedikit jumlahnya. Pecahnya lesi vesikuler diikuti dengan ulserasi aphtous
yang terasa sakit. Penyembuhan lesi oral terjadi dalam 5 sampai 10 hari, dan lesi
kulit biasanya sembuh dalam 2 minggu.
Diagnosis ditegakkan melalui menifestasi klinis. Diferensial diagnosis
untuk penyakit tangan-kaki-mulut mencakup infeksi oleh virus herpes simpleks
atau varicella-zoster, herpangina, dan stomatitis aphthous. Transmisi virus dapat
terjadi melalui sekresi nasal dan faring.
b. Penanganan
Bersifat self limiting. Tidak diketahui jenis pengobatan yang memberikan
hasil signifikan. Pengobatan simtomatik. Untuk anak-anak istirahat di tempat tidur
selama 3-4 hari. Pasien harus berhati-hati terhadap penggunaan aspirin yang biasa
diberikan 4-6 hari untuk mengelola demam, konsumsi makanan lembut.
Gambar 2.13 Hand-foot-and-mouth disease: ulser dangkal di mukosa bukal
Gambar 2.14 Hand-foot-and-mouth disease: lesi pada kulit jari kaki
23
Gambar 2.15 Hand-foot-and-mouth disease
2.1.8 Infeksi Echovirus
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh spesies enterovirus yang
berkaitan dengan meningitis asepsis. Echovirus (enteric-cytophatic-human-
orphan), terdiri dari beberapa subtipe yang telah terbukti menjadi faktor etiologi
untuk sejumlah penyakit dan sindrom klinis mulai dari meningitis aseptik dan
ensefalitis hingga penyakit pernapasan dan demam ringan. Biasanya kunjungan ke
dokter gigi adalah karena adanya akibat patologis dari infeksi oleh jenis echovirus
9.
a. Manifestasi klinis
Infeksi oleh jenis echovirus 9 ini menghasilkan ruam makulopapular
dengan lesi 1 sampai 3 mm, muncul pertama pada wajah dan leher dan menyebar
dalam 4 sampai 6 jam berikutnya di atas bahu dan badan. Ruam biasanya disertai
dengan demam ringan dan kadang-kadang ruam petechie. Intraoral lesi sering
berkembang pada waktu yang sama dengan exanthemata dan terdiri dari vesikula
kuning atau putih kecil di badan tonsil dan kadang-kadang pada mukosa bukal,
lingual, dan palatal.
24
Diagnosis infeksi echovirus hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan
laboratorium yang terdiri dari studi serologi dan isolasi organisme.
Gambar 2.16 Ruam Exanthemata yang disebabkan oleh Echovirus tipe 9
b. Penanganan
Tidak ada obat spesifik untuk penyakit ini, dan tidak ada agen antimikroba
yang telah ditemukan mampu untuk mempengaruhi perkembangan penyakit atau
mencegahnya. Infeksi echovirus membatasi diri sendiri (self limiting), dan
kebanyakan pasien sembuh sepenuhnya.1
Gambar 2.17 Infeksi Echovirus pada kulit wajah
Gambar 2.18 Ruam makulapapula pada kulit wajah
25
2.1.9 Measles (Rubeola)
Measles adalah infeksi virus akut menular yang menyerang, terutama pada
anak-anak. Penyebaran diduga terjadi melalui kontak langsung dengan orang yang
terkena atau oleh infeksi droplet melalui saluran pernafasan. Virus measles
(campak) disebabkan oleh genus Morbilivirus dan famili Paramyxoviridae, virus
RNA.
a. Manifestasi klinis
Measles (rubeola) memiliki masa inkubasi dari 8 sampai 10 hari dan
ditandai dengan demam, malaise, sakit tenggorokan, konjungtivitis, fotofobia, dan
erupsi lesi kulit dan mukosa oral. Ruam makulopapular menyeluruh yang muncul
dari hari keempat penyakit ini biasanya didahului oleh enanthem spesifik dikenal
sebagai koplik spot pada mukosa bukal.
Ruam makulopapular menyeluruh dan gejala yang menyertainya terjadi
selama 6 sampai 10 hari dan biasanya diikuti dengan pemulihan lengkap.
Ruam awalnya muncul di wajah, disekitar garis batas rambut, dan dekat
telinga dan menyebar cepat ke leher, dada, punggung, dan kaki. Lesi kecil
makulopapular merah membesar dan bergabung membentuk daerah merah besar
yang berubah pucat bila diberi tekanan.
Manifestasi oral biasanya muncul dalam 3 sampai 4 hari, yang terlihat
pada mukosa bukal. berupa koplik spot yang dilaporkan terjadi sebanyak 97% dari
pasien yang mengalami measles, tetapi tanda itu jarang terlihat karena muncul
hanya pada tahap awal penyakit ini. Koplik spot berupa bintik kecil putih
26
kebiruan tidak teratur dikelilingi oleh batas kemerahan. Peradangan menyeluruh,
kongesti, dan bengkak dapat terjadi pada ginggiva, palatum, dan faring.
Gambar 2.19 Measles: gambaran koplik spot pada mukosa bukal dan ruam di seluruh tubuh
b. Patofisiologi
Virus measles menginfeksi pada epitel traktus respiratorius mulai dari
hidung sampai traktus respiratorius bagian bawah. Kemudian mengalami
multiplikasi lokal pada epitel respiratorius dan jaringan limfoid sampai 12 hari,
segera disusul dengan viremia pertama dimana virus menyebar dalam leukosit.
Setelah terjadi nekrosis pada sel retikuloendotelial sejumlah virus terlepas
kembali dan terjadilah viremia kedua. Jaringan yang terinfeksi termasuk timus,
lien, kelenjar limfe, hepar, kulit, konjungtiva dan paru. Setelah terjadi viremia
kedua seluruh mukosa respiratorius terlibat dalam perjalanan penyakit sehingga
menyebabkan timbulnya gejala batuk.
Measles dapat secara langsung menyebabkan croup, bronchiolitis dan
pneumonia, selain itu adanya kerusakan respiratorius seperti edema dan hilangnya
silia menyebabkan timbulnya komplikasi otitis media dan pneumonia. Setelah
beberapa hari sesudah seluruh mukosa respiratorius terlibat, maka
timbulah koplik spot dan kemudian timbul ruam pada kulit.
27
Kedua manifestasi ini pada pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
multinucleated giant cells, edema inter dan intraseluler, parakeratosis dan
dyskeratosis. Timbulnya ruam pada measles bersamaan dengan timbulnya
antibodi serum dan penyakit menjadi tidak infeksius. Oleh sebab itu dikatakan
bahwa timbulnya ruam akibat reaksi hipersensitivitas host pada virus measles.
Hal ini berarti bahwa timbulnya ruam ini lebih ke arah imunitas seluler.
Pernyataaan ini didukung data bahwa pasien dengan defisiensi imunitas seluler
yang terkena campak tidak didapatkan adanya ruam makulopapuler.
Rubella, atau campak jerman, berbeda dengan rubeola. Koplik spot tidak
terjadi pada rubella, dan membran mukosa oral biasanya tidak meradang
meskipun mungkin tonsil membesar dan padat.
Komplikasi yang dapat terjadi berupa bronchopneumonia dengan atau
tanpa infeksi sekunder bakteri serta otitis media, encephalomyelitis dan
gangrenous stomatitis. Diagnosa dapat ditegakkan melalui kultur virus, deteksi
PCR, dengan C’s (cough, coryza conjunctivitis), dan observasi adanya koplik spot.
c. Penanganan
Terapi measles adalah terapi suportif seperti pemberian cairan dan
antipiretik. Antibiotika diberikan apabila didapatkan infeksi sekunder dengan
bakteri. Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah infeksi sekunder tidak
direkomendasikan. Pencegahan dapat diberikan melalui injeksi vaksin MMR pada
anak-anak.
28
2.1.10 Reccurent Apthous Stomatitis
Aphtous stomatitis rekuren adalah penyakit yang ditandai dengan adanya
ulserasi nekrotik rekuren baik tunggal atau multipel yang terasa sakit pada
mukosa oral.
a. Etiologi
Walaupun pendapat tentang keterlibatan bakteri atau virus bentuk-L telah
dibuat, laporan tersebut belum bisa dibuktikan kebenarannya dan etiologi masih
belum diketahui. Konsep yang dipakai saat ini adalah RAS adalah gejala klinis
dengan beberapa kemungkinan faktor penyebab. Faktor utama yang diidentifikasi
yaitu keturunan, defisiensi hematologi, dan kelainan imunologi. Faktor yang
paling sering berperan adalah keturunan. Faktor lain yang dianggap sebagai
predisposisi dalam RAS yaitu stres fisik atau psikologis, trauma oral, demam, dan
alergi makanan.
Penyakit ini kebih sering terjadi pada orang dewasa, akan tetapi dapat juga
muncul pada anak usia 2 tahun. Lebih sering muncul pada wanita dibandingkan
pria (2:1).
b. Manifestasi klinis
Tanda khas saat onset memperlihatkan adanya periode hiperemi lokal dan
parasthesia, atau kadang-kadang sensasi terbakar, yang diikuti dengan munculnya
satu atau lebih papula mukosa dengan dikelilingi oleh margin erythematous,
Kemudian papula mukosa mengalami erosi, yang menciptakan ulkus kecil yang
ditutupi oleh membran abu-abu atau kuning. Lesi terasa paling menyakitkan
setelah terjadi ulserasi.
29
Lesi aphthous dapat terjadi secara tunggal atau multipel dan memiliki
kecenderungan untuk muncul di berbagai tempat , yaitu mukosa bukal dan margin
lateral lidah yang paling sering terkena dan palatum lunak, margin ginggiva, dan
faring juga paling sering terlibat.
c. Jenis
Apthae minor
- Manifestasi Oral
Terjadi pada mukosa begerak yang terletak pada jaringan kelenjar
saliva minor, mukosa bibir dan pipi. Penampakan ulkus ini sebagai ulkus
oval, dangkal, kuning kelabu, dengan diameter 2-5 mm. Rasa terbakar
adalah keluhan awal diikuti dengan rasa sakit yang hebat selama beberapa
hari. Sebagian besar pasien (80%) menderita bentuk minor (MiRAS), yang
ditandai oleh ulser bulat atau oval, dangkal, dengan diameter kurang dari 5
mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematus. Ulserasi MiRAS
cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial,
mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi bias tunggal atau merupakan
kelompok yang terdiri atas empat atau lima dan akan sembuh dalam waktu
10-14 hari tanpa meninggalkan bekas. Manifestasi klinisnya : Mempunyai
kecenderungan terjadi di mukosa bergerak, bibir, dan pipi; bentuk ulkus
oval, dangkal, kuning kelabu, diameter 2-5 mm; tepi eritematous
mencolok, bagian tengahnya berubah pseudomembran fibrinosa.
- Etiologi
30
Belum diketahui secara pasti, kemungkinan adanya faktor
imunologik. Dan pencetusnya berupa atopi, trauma, endokrinopati,
menstruasi, defisiensi nutrisi, stress dan alergi makanan.
- Patogenesis
Lesi terbatas pada mukosa mulut dan dimulai dengan gejala
prodormal rasa terbakar setiap waktu mulai dari 2-48 jam sebelum
munculnya ulser. Terbentuk suatu daerah kemerahan setempat, dalam
beberapa jam akan terbentuk papula putih kecil, mengalami ulserasi dan
membesar dalam 48 -72 jam berikutnya. Lesi dapat sembuh tanpa disertai
jaringan parut dalam waktu 14 hari.
- Pengobatan
Pengobatan yang diberikan hanya bersifat terapi paliatif. Obat-
obatan yang diberikan tergantung pada keparahan penyakit.
Gambar 2.20 Lesi Apthae Minor
Apthae Mayor
Merupakan varian besar dari apthae minor, mengakibatkan ulkus-
ulkus yang lebih besar dan lebih merusak, berlangsung lebih lama dan
kambuh lebih sering. Ulserasi seringkali multiple, mengenai palatum
lunak, mukosa bibir, pipi, lidah dan kadang-kadang meluas ke gusi cekat.
31
Ulkus dapat sembuh dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan,
karena ulkus tersebut mengerosi jaringan ikat, bila sembuh akan
membentuk jaringan parut dan distorsi jaringan. Umumnya terjadi pada
wanita dewasa muda yang mempunyai kepribadian mudah cemas, namun
etiologinya secara pasti belum diketahui.
- Manifestasi oral
Ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm, berlangsung selama 4
minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa
mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin. Tanda adanya ulser seringkali
dapat dilihat pada penderita MaRAS berupa jaringan parut terjadi karena
keseriusan dan lamanya lesi.
- Gejala
Gejala umum dari ulkus aptosa major adalah rasa sakit hebat dan
limfadenopati submandibula. Ulkus seringkali multiple, terjadi pada
palatum lunak, tonsil, mukosa bibir, mukosa pipi, lidah dan meluas ke gusi
cekat. Biasanya ulkus asimetri dan unilateral. Gambaran ulkus yaitu
ukuran besar, bagian tengah nekrotik dan cekung, tepinya merah
meradang. Lesi dengan perlahan akan sembuh dan meninggalkan jaringan
parut yang mungkin dapat mengakibatkan berkurangnya mobilitas dari
uvula dan lidah serta destruksi dari bagian-bagian mukosa mulut.
- Pengobatan
Pengobatan dengan steroid untuk mempercepat penyembuhan dan
mengurangi pembentukan jaringan ikat.
32
Gambar 2.21 Lesi Apthae Mayor
Ulkus Herpetiformis
Merupakan tipe ulserasi kambuhan yang secara klinis mirip ulkus-
ulkus yang dijmpai pada herpes primer.
- Manifestasi Oral
Gambaran mencolok erosi kelabu putih yang jumlahnya banyak,
berukuran kepala jarum yang membesar, bergabung dan menjadi tidak
jelas batasnya. Ukuranya berkisar 1-2 mm sehingga dapat dibedakan dari
apthae sedangkan tidak adanya vesikel dan gingivitis bersama sifat
kambuhan membedakan dari herpes primer dan infeksi virus lainnya.
- Penanganan
Penangan yang benar dari RAS ini meliputi lebih dari sekedar
aplikasi obat-obatan. Pasien mungkin mengeluh adanya rasa sakit yang
hebat, sedangkan klinikus mungkin hanya menjumpai dua atau tiga lesi
yang relatif kecil, yang menyebabkan seringnya dokter gigi membiarkan
pasien pulang dengan cepat dengan pegobatan di rumah. Obat-obatan yang
diberikan bergantung pada tingkat keparahan penyakitnya. Dalam kasus
ringan, dengan dua atau tiga lesi kecil, aplikasi dari obat yang
33
meringankan permukaan yang teriritasi sebagai protektif apikal seperti
misalnya orabase merupakan tindakan yang dibutuhkan. Dalam kasus
yang lebih berat, penggunaan preparat kortikosteroid topikal sangat
membantu mengurangi waktu penyembuhan dari lesinya. Preparat seperti
triancinolone atau fluometholone mungkin dapat diaplikasikan secara
topikal pada lesi tersebut empat kali sehari, setelah makan dan pada waktu
hendak tidur.
Gambar 2.22 RAS herpetiform
d. Penanganan Secara Umum
Pengobatan harus berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit. Dalam
kasus RAS yang berat, terapi dengan tetrasiklin topikal harus dipertimbangkan
akan tetapi manfaat yang potensial harus selalu ditimbang terhadap sekerjanya
membuktikan bahwa obat kumur tetrasiklin dapat mempersingkat waktu
penyembuhan dari lesi RAS sampai 50%, akan tetapi ia juga efek samping yang
ditimbulkan seperti erithema multiforme, penyakit gatal dengan bintik-bintik
merah dan kadidiasis terjadi pada beberapa pasien.
Metode penggunaan tetrasiklin topikal yaitu dengan melarutkan isi dari
satu kapsul (250 mg) dalam 50 ml air dan menggunakan campuran ini sebagai
obat kumur sebanyak empat kali sehari. Meningkatkan kontak obat dengan lesi
34
yang lebih besar bisa dicapai dengan meletakan larutan antibiotik ini pada sebuah
gauze pad dan menggunakannya sebagai kompres secara langsung di atas lesinya.
Pada kasus yang cukup sulit disembuhkan, obat hisap steroid mungkin akan
sangat membantu.
Saat ini perawatan lesi menggunakan laser dapat memberikan efek
berkurangnya rasa sakit segera dan luka akan sembuh dalam 24 sampai 72 jam.
Perawatan ynag diterapkan oleh dokter gigi baru, Debacterol, memberikan efek
pegurangan rasa sakit yang segera dan mempercepat peyembuhan. Debacterol
merupakan suatu agen acidic yang secara kimiawi membakar permukaan luka
tersebut, mensterilkannya dan menutup akhiran syaraf nyeri.
Direkomendasikan suatu diet sehat dengan penambahan suplemen vitamin.
Penggunaan larutan obat kumur chlorhexidine atau listerin) menunjukan
berkurangnya frekwensi dari serangan ulkus. Penting juga diperhatikan untuk
menghindari stress. Perawatan topikal (kenalog, lidex gel, decadron rinse) cukup
berguna untuk mengurangi rasa sakit dan durasi dari lesi.
2.1.11 HIV – AIDS
Selama dua dekade, banyak artikel telah membahas mengenai HIV
(Human Immunodeficiency virus) yang dihubungkan dengan berbagai penyakit
dan proses yang infeksius. Penyakit yang terinfeksi HIV disebut AIDS atau
Acquired Immune Deficiency Syndrome. Kasus pertama dari AIDS dilaporkan
terjadi di Amerika Serikat yang direkam oleh CDC (Centers of Diseases Central
and Prevention) pada tahun 1981. Kemudian meningkat hingga pada tahun 2005,
35
sebanyak 4,1 juta kasus baru yang terinfeksi HIV dengan estimasi sebanyak 2,8
juta jiwa meninggal akibat AIDS. Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan
dari Bali pada bulan April tahun 1987. Sampai akhir Desember 2008, jumlah
kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan
jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang.
a. HIV
Infeksi HIV adalah infeksi dengan human immunodeficiency virus, RNA
retrovirus. HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel -
sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama
limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia
menunjukkan berkurangnya sel - sel darah putih atau limfosit yang seharusnya
berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang
dengan system kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400 - 1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun,
bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol.
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia,
dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup,
yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing - masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe,
36
dan masing - masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi.
Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.
Gambar 2.23 Klasifikasi CDC terhadap infeksi HIV
Virus HIV berdiameter 100nm dengan struktur yang terdiri dari:
1. Virus-specific coat protein yang bertindak sebagai antigen, seperti
glycoprotein gp 41 dan gp 120. Glycoprotein gp120 memiliki konfigurasi
“rugger-ball” yang berperan penting pada fase inisial terjadinya infeksi.
2. Matriks protein, dimana p24 bersifat antigenik
3. Genom RNA yang terdiri dari 2 molekul identikal
Gambar 2.24 Struktur HIV
37
b. AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh
yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain. Seorang pengidap HIV lambat laun
akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan
AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri,
parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik.
Rata-rata perkembangan menjadi AIDS adalah 8 sampai 11 tahun pada
kebanyakan orang dewasa, dan tidak sedikit diikuti dengan factor malnutrisi
infeksi malaria. Sayangnya, kebanyakan 1 tahun dari waktu diagnosis ditentukan
dan 95% meninggal dalam 5 tahun. Waktu rata-rata untuk serokonversi setelah
terpapar HIV adalah 3-4 minggu. Kebanyakan akan memiliki antibodi dalam 6
sampai 12 minggu setelah terinfeksi, dan akan terlihat positif setelah 6 bulan.
Gejala serokonversi meliputi demam, malaise, ruam, ulserasi oral, kadang-kadang
diikuti encephalitis dan meningitis. Pada beberapa kasus, bersifat asimptomatik
dan “diam” untuk beberapa tahun ( 1-15 tahun atau lebih ), yang sampai saat ini
belum ditemukan alasannya. Beberapa kasus terjadi PGL ( Persistant Generalized
Lymphadenopaty) dimana terjadi pembesaran kelenjar limfa yang tidak terasa
38
sakit dan asimetris dan melibatkan submandibular. Dalam hal ini , penderita
termasuk dalam grup A.
Penyakit akan mengalami progress dengan tanda-tanda adanya fatique,
demam, kehilangan berat badan, diare, kandidiasis, hairy leukoplakia, herpes
zoster, dan perianal herpes. Penderita dengan gejala progress seperti ini termasuk
dalam grup B. Sedangkan penderita yang sudah tergantung pada obat-obatan dan
memiliki kofaktor, dengan harapan hidup 18 bulan digolongkan ke dalam grup C.
c. Patofisiologi
Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD)
yang kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD
(transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang
berikatan dengan CD4 dan mempunyai peran yang sangat penting dalam
membantu perlekatan virus dangan sel target. Setelah virus masuk dalam tubuh
maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk
mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan
enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Setelah infeksi
primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan
yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke
seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan
jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan
39
setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat
namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini
bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus
yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam,
dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi memiliki
waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan
reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida
dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian.
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit
klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang
lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut.
HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut
dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi.
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga
beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu.
Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan
menimbulkan penyakit.
d. Transmisi HIV secara umum dan tenaga kesehatan
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI. Sebagai seorang tenaga kesehatan
40
khususnya dokter gigi, sebaiknya menghindari trauma injuri terhadap jarum
suntik, walaupun memiliki resiko rendah infeksi HIV (0,4%). Penelitian
menunjukkan bahwa dokter gigi memiliki resiko terinfeksi HIV dibandingkan
tenaga kesehatan lainnya. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan cara
menggunkan desinfektan, menjaga lingkungan yang higienis terkhusus pada
ruangan bedah, serta penggunaan instrument sekali pakai.
e. Manifestasi Oral
Indikasi awal dari infeksi HIV dapat bermanifestasi di dalam rongga
mulut, diantaranya seperti terlihat pada gambar 20, yaitu infeksi fungal berupa
kandidiasis oral dengan varian yang paling muncul adalah eritematous dan
pseudomembran, linear gingival erythema, angular cheilitis; infeksi virus berupa
hairy leukoplakia, Kaposi sarcoma, infeksi herpes; infeksi bakteri berupa
gingivitis dan periodontitis; dan lymphadenopahty cervical.
Gambar 2.25 Distribusi Manifestasi Oral pada Infeksi HIV
Kandidiasis oral
Kandidiasis oral dengan varian paling banyak muncul adalah
eritematous dan pseudomembran, adalah manifestasi oral yang paling
umum terjadi pada infeksi HIV, khususnya pada fase awal. Hal ini terbukti
41
dan sering dijadikan indicator diagnosis serta prognosis terhadap progress
AIDS. Oesophageal candidiasis sering ditemukan bersamaan dengan
kandidiasis oral dan biasanya diterapi dengan obat-obatan golongan –
azole, seperti fluconazole. Erythema candidiasis mengindikasikan bahwa
jumlah limfosit CD4 menurun dibawah 400 sel/mm3 dan pseudomembran
mengindikasikan jumlah limfosit CD4 menurun hingga dibawah 200
sel/mm3. Adanya temuan kandidiasis pada pasien terinfeksi JIV
menunjukkan prediksi perkembangan menuju AIDS yang tidak terobati
dalam 2 tahun.
Gambar 2.26 Kandidiasis oral pada HIV
Hairy Leukoplakia
Manifestasi muncul berupa asimptomatik, berwarna putih keabuan,
lesi melekat pada lidah, terjadi secara unilateral ataupun bilateral. Agen
etiology adalah virus Epstein-Barr. Penderita yang terinfeksi HIV dengan
adanya hairy leukoplakia menandakan perkembangan AIDS selama 3
tahun, dan mengarah pada prognosis buruk. Infeksi virus lainnya yang
dapat muncul adalah herpetic stomatitis.
42
Gambar 2.27 Hairy Leukoplakia
Kaposi Sarcoma
Disebabkan oleh herpes virus 8, sebagai multifocal sistemik tumor,
mengalami proliferasi microvaskular dan proses fibroblastic. Paling sering
muncul akibat transmisi seksual infeksi HIV.
Necrotizing (Ulcerative) Gingivitis and Periodontitis
Penyakit agresif periodontal telah membuktikan apakah seseorang
mengalami infeksi HIV. Penyakit ini dimulai dengan terbentuknya
gingivitis dalam bentuk gingivitis ulseratif akut, dan lebih sering
melibatkan anterior gingival. Pada beberapa pasien yang terinfeksi HIV,
gingivitis bersifat sangat desktruktif, kemudian terjadi periodontitis denga
kehilangan tulang , bentuk sequestrum atau bahkan exfoliasi gigi.
f. Perawatan
Infeksi HIV dapat berakibat fatal, namun terdapat pedoman HAART, yaitu
terdiri dari 2 nucleoside analoque reverse-transcriptase inhibitor, setidaknya 1
protease inhibitor dan/atau 1 non- nucleoside analoque reverse-transcriptase
inhibitor. Alternative lain berupa 1 nucleoside analoque reverse-transcriptase
inhibitor kombinasikan dengan 1 non- nucleoside analoque reverse-transcriptase
inhibitor dan 1 protease inhibitor.
Terapi ARV yang dapat diberikan:
43
- nucleoside analoque reverse-transcriptase inhibitor : abacavir, didanosine,
tenofovir, stavudine, zidovudine, zalcitabine.
- non nucleoside analoque reverse-transcriptase inhibitor : capravirine,
delavirdine, efavirenz, emivirine, nevirapine.
- Protease inhibitor : amprenavir, darunavir, lopinavir
- Fusion inhibitor : enfuvirtide
- Integrase inhibitor : MK-0518
- CCR5 inhibitor : Maraviroc
2.2 Infeksi Bakteri
2.2.1 Difteri
Difteria adalah sebuah infeksi yang mengancam jiwa disebabkan oleh
Corynebacterium diptheriae. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun
1826. Corynebacterium diptheriae (disebut juga Klebs-Lӧffler bacillus)
ditemukan awalnya oleh Klebs pada tahun 1883 dan diisolasi dalam kultur murni
oleh Lӧffler pada tahun 1884. Manusia adalah reservoir tunggal bakteri ini dan
infeksi didapat melalui kontak dengan orang yang terinfeksi atau pembawanya.
Bakteri ini memproduksi eksotoksin letal yang menyebabkan nekrosis jaringan,
sehingga memberikan nutrisi untuk nekrosis lebih lanjut dan menyebabkan
penyebaran ke perifer. Meskipun begitu, sebuah antitoksin yang efektif telah
tersedia sejak 1913, dan imunisasi telah tersebar di Amerika Utara sejak 1922.
a. Tanda Klinis
44
Tanda dan simptom dari difteri meningkat pada hari ke-1 sampai hari ke-5
setelah terkena paparan organisme. Simptom sistemik awal, termasuk demam
ringan, sakit kepala, malaise, anorexia, sakit tenggorokan, dan muntah, meningkat
secara bertahap dan mungkin juga menjadi ringan. Dapat menimbulkan luka pada
kulit, namun infeksi utamanya mempengaruhi permukaan mukosa dan
memproduksi eksudat pada nasal, tonsilar, pharyngeal, laryngotracheal,
konjunctiva, atau area genital. Keterlibatan rongga hidung sering diikuti oleh
keluarnya lendir dan darah. Eksudat orofaringeal dimulai dengan keadaan dimana
pada salah satu atau kedua tonsil terdapat lapisan tipis yang terdapat bercak dan
berwana putih kekuningan yang menebal dan membentuk lapisan berwarna abu.
Seiring berjalannya waktu, pada membran tersebut dapat berkembang bercak-
bercak nekrosis berwarna hijau atau hitam. Epitel superfisial adalah bagian yang
tidak bisa dilepaskan dari eksudat ini, dan usaha untuk menghilangkannya sulit
dan dapat menyebabkan perdarahan. Lapisan penutup tersebut dapat terus
berkembang sampai meliputi seluruh palatum lunak, uvula, laring, atau trakea,
yang dapat menyebabkan suara serak dan kesulitan bernafas. Jarang ditemukan
laporan terjadinya perforasi palatum.
Selama epidemik Rusia, ditemukan pasien dengan lesi terisolasi pada
rongga mulut. Pada pasien ini terdapat area nekrosis yang tersebar pada mukosa
bukal, bibir atas dan bawah, palatum lunak dan keras, atau lidah. Lesi lokal seperti
ini jarang terjadi dan membuat diagnosis menjadi lebih sulit.
Keparahan dari infeksi ini berhubungan dengan penyebaran membran.
Obstruksi jalan nafas dapat menyebabkan kematian. Keterlibatan dari tonsil dapat
45
dapat menyebabkan limfadenopati servikal yang signifikan, dimana hal ini sering
dihubungkan dengan pembesaran edema leher atau yang dikenal dengan bull
neck. Paralisis karena toksin dapat mengenai otot-otot oculomotor, fasial,
faringeal, diafragma, dan intercostal. Paralisis palatum lunak dapat menyebabkan
nasal regurgitation selama penelanan. Keterlibatan oral atau nasal telah
ditemukan meluas kulit daerah perbatasan wajah dan bibir.
Difteri kutaneous dapat terjadi di daerah manapun pada tubuh dengan
karakteristik ulser kronis yang seringkali dihubungkan dengan infeksi gigitan
serangga dan dapat menjadi tempat bagi patogen lainnya seperti Staphylococcus
aureus atau Streptococcus pyogenes. Lesi kulit ini dapat muncul bahkan pada
pasien yang telah divaksin dan biasanya tidak berhubungan dengan manifestasi
toksis sistemik. Ketika diidap oleh wisatawan dari negara berkembang, diagnosis
biasanya tertunda karena tidak spesifiknya tanda klinis dan tingkat kecurigaan
yang rendah. Lesi kutaneus merupakan reservoir yang penting bagi infeksi dan
dapat menyebabkan difteri yang lebih tipikal dan letal pada pengidap yang tidak
terlindungi.
Mesipun jarang terjadi bakteremia, toksin yang bersirkulasi dapat
menyebabkan komplikasi sistemik. Sering terjadi myocarditis dan kepayahan
neurologis dan biasanya ditemukan pada pasien dengan difteri nasofaringeal yang
parah. Myocarditis dapat ditunjukkan sebagai kelemahan yang progresif dan
dyspnea atau menyebabkan gagal jantung kongestif akut. Neurophaty tidak biasa
terjadi pada pasien dengan difteri parah. Paralisis palatal merupakan manifestasi
46
yang sering terjadi. Dapat terjadi polyneuritis perifer yang menyerupai sindrom
Guillain-Barré.
b. Perawatan
Tindakan perawatan bagi pasien dengan difteri harus dimulai tepat saat
ditetapkannya diagnosis klinis dan tidak boleh ditunda sampai diterimanya hasil
pemeriksaan kultur. Pasien harus diberikan antitoksin yang dikombinasikan
dengan antibiotik untuk mencegah produksi toksin lebih lanjut, untuk
menghentikan infeksi local dan untuk mencegah penularan. Dapat menggunakan
ertiromycin, procaine penicillin, atau intravenous (IV) penicillin. Banyak pasien
tidak lagi infeksius setelah diberikan terapi antibiotik selama 4 hari, namun
beberapa mungkin mempertahankan organisme vital. Pasien tidak dianggap
sembuh sampai didapatkan 3 hasil negatif dari spesimen kultur secara berturut-
turut.
2.2.2 Syphilis (Lues)
Sifilis adalah sebuah infeksi kronis yang tersebar di seluruh dunia yang
disebabkan oleh Tryponema pallidum. Organisme rentan terhadap kekeringan
oleh karena itu, cara penularan utamanya adalah lewat kontak seksual atau kontak
dari ibu pada janin. Infeksi tidak menular dari transfusi darah karena donor telah
melewati pemeriksaan serologis, namun secara teori dapat terjadi penularan lewat
paparan terhadap darah yang terinfeksi karena organisme dapat bertahan hidup
pada darah yang disimpan dalam refrigerator. Manusia merupakan satu-satunya
host alami yang telah terbukti.
47
Pada pasien dengan sifilis, infeksi ini mengalami perubahan karakteristik
yang melewati tiga fase. Pasien sifilis sangat infeksius selama dua fase pertama,
namun wanita hamil juga mungkin dapat menularkan infeksinya pada janin
selama fase laten. Penularan secara meternal selama dua fase pertama dari infeksi
selalu mengakibatkan keguguran, lahir mati, atau bayi lahir dengan kelainan
kongenital. Semakin lama ibu mulai terinfeksi, semakin kecil kemungkinan janin
tertular. Infeksi pada janin dapat terjadi kapanpun selama masa kehamilan, namun
kecacatan tidak dimulai sampai bulan keempat kehamilan. Perubahan klinis
sekunder pada janin terinfeksi disebut juga sifilis kongenital.
a. Tanda Klinis
Gambaran klinis dari sifilis kongenital adalah 4 beberapa tipe klinis yaitu
tahap primer, sekunder dan tersier bentuk kongenital dan bentuk neonatal. Tahap
primer dari bentuk kongenital diawali dengan timbulnya papula dan nodula yang
keras. Ulserasi pada bibir merupakan gambaran klinis yang paling banyak terjadi.
Ulser keras, berindurasi dan tidak terasa sakit. Terdapat gambaran chancre di intra
oral yaitu seperti ulser yang ditutupi dengan selaput pseudomembran.
Sifilis Primer
Sifilis primer memiliki karakteristik yaitu chancre yang berkembang pada
daerah terinfeksi, dan menjadi jelas secara klinis pada 3 sampai 90 hari setelah
paparan pertama. Mayoritas chancre adalah tunggal, meskipun terkadang
dapat juga menjadi lesi multiple. Daerah yang umumnya terinfeksi adalah
genitalia eksterna dan anus, dan area yang terinfeksi mulai tumbuh lesi papul,
yang dapat berkembang menjadi ulser. Kurang dari 2% chancre terjadi di
48
lokasi lain, namun rongga mulut adalah lokasi ekstragenital yang paling
umum. Lesi oral biasanya terlihat pada bibir, selain itu juga dapat terlihat pada
lidah, palatum, gingiva dan tonsil (Gambar 1). Bibir atas lebih banyak
terinfeksi pada pria, sedangkan wanita lebih banyak terinfeksi pada bibir
bawah. Beberapa orang menduga hal ini terjadi sebagai gambaran permukaan
yang secara aktif terlibat selama fellatio (oral sex pada genital pria) dan
cunnilingus (oral sex pada genital wanita). Lesi tampak sebagai lesi ulser
dengan dasar yang bersih dan tidak sakit, terkadang tampak sebagai proliferasi
vaskuler menyerupai granuloma pyogenic. Terlihat limfadenopati regional
pada pada mayoritas pasien yang dapat terjadi secara bilateral. Selama masa
ini, organisme menyebar secara sistemik ke saluran limfa, sehingga
menentukan fase infeksi kedepannya. Apabila tidak diobatu, maka lesi awal
akan sembuh 3 sampai 8 minggu.
Gambar 2.28 Chancre pada sifilis primer. Ulserasi pada permukaan dorsal lidah sebelah kiri.
Sifilis Sekunder
Fase berikutnya dari sifilis dikenal dengan sifilis sekunder dan terlihat
secara klinis pada minggu ke 4 sampai ke 10 setelah infeksi inisial. Lesi sifilis
49
sekunder dapat berkembang sebelum lesi primernya sembuh sepenuhnya.
Selama sifilis sekunder dapat muncul simptom sistemik. Simptom yang paling
umum adalah limfadenopati yang tidak sakit, sakit tenggorokan, malaise, sakit
kepala, kehilangan berat badan, demam, dan sakin mukoskeletal.
Penanda fase ini adalah adanya ruam kutaneus mukopapular difus dan
tidak sakit, yang menyebar dan mengenai telapak tangan dan telapak kaki.
Ruam ini juga dapat mengenai rongga mulut dan tampak sebagai area
mukopapular merah. Ruam ini dapat sembuh tanpa meninggalkan jaringan
parut pada banyak pasien, namun mungkin saja ruam ini dapat mengakibatkan
jaringan parut dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Kurang lebih 30%
pasien memiliki area eksositosis yang jelas dan muksa oral yang spongios
yang dapat berkembang menjadi mukosa berwarna putih dan sensitive yang
disebut mucous patches. Biasanya, beberapa plak yang berdekatan dapat
bersatu dan membentuk pola menyerupai jejak siput yang berkelok-kelok.
Kemudian, dapat terjadi nekrosis epitel superfisial, yang dapat menyebabkan
peluruhan dan paparan terhadap jaringan ikat sehat di bawahnya. Hal ini dapat
terlihat pada permukaan mukosa dimana saja, namun umunya terjadi pada
lidah, bibir, mukosa bukal, dan palatum.
Mucous patches yang meninggi dapat berpusat pada lipatan comissura
yang disebut juga split papules. Lesi papiler yang menyerupai papilloma viral
biasanya muncul selama masa ini dan disebut dengan condyloma lata. Lesi ini
terjadi pada bagian genital atau anal, dapat terjadi juga pada oral. Lesi
multiple adalah lesi yang biasa muncul pada sifilis sekunder. Penyembuhan
50
secara spontan dapat terjadi pada minggu ke 3 sampai minggu ke 12; namun,
dapat kambuh kembali selama setahun kedepan.
Terkadang, sifilis sekunder dapat menunjukkan lesi yang eksplosif dan
menyebar yang disebut dengan lues maligna, terutama pada pada pasien
dengan kelainan sistem imun. Lesi ini memiliki simptom prodromal yaitu
demam, sakit kepala, dan myalgia diikuti oleh pembentukan ulserasi nekrosis,
yang biasanya mengenai kulit kepala dan wajah. Lesi oral tampak pada lebih
dari 30% pasien yang terinfeksi. Terkadang pasien mengalami malaise, sakit,
dan arthtalgia. Beberapa kasus lues maligna dilaporkan terjadi pada pasien
dengan AIDS, dengan begitu kemungkinan seperti harus diingat apabila
pasien yang terinfeksi HIV memiliki ulserasi atipikal dari kulit dan mukosa
oral.
Gambar 2.29 Sifilis sekunder. Ruam eritematous dari sifilis sekunder mengenai telapak tangan.
51
Gambar 2.30 Mucous patch pada sifilis sekunder. Plak putih berbatas tegas pada mukosa labial bawah.
Gambar 2.31 Mucous patch pada sifilis sekunder. Plak putih tebal irregular pada sebelah kiri palatum lunak.
Gambar 2.32 Condyloma lata. Nodul multipel yang keras dan sedikit papiler pada permukaan dorsal lidah.
52
Sifilis Tersier
Setelah tahap kedua, pasien memasuki periode dimana mereka terbebas
dari lesi dan symptom, yang dikenal dengan sifilis laten. Periode laten ini
berlangsung sekitar 1-3 tahun, kemudian (pada sekitar 30% pasien)
berkembang memasuki tahap ketiga, yang dikenal dengan sifilis tersier
termasuk yang paling serius. Dapat mengenai sistem vaskuler secara
signifikan melalui efek dari arteritis sebelumnya. Dapat terjadi aneurysma dari
ascending aorta, hipertofi ventricular kiri, regurgitasi aorta, dan gagal jantung
kongestif. Keterlibatan dari sistem saraf pusat dapat menyebabkan tabes
dorsalis, paralisis general, psikosis, dementia, persis, dan kematian. Dan juga
dapat terjadi lesi pada okular seperti iritis, choroidoretinitism dan Argyll
Robertson pupil (kegagalan bereaksi terhadap cahaya namun merespon
akomodasi).
Terdapat inflamasi granulomatous foci yang tersebar, tidak signifikan
namun lebih berkarakteristik, yang dapat mengenai kulit, mukosa, jaringan
lunak, tulang, dan organ dalam. Daerah aktif dari inlamasi granulomatous ini
dikenal dengan gumma, tampak sebagai lesi nodul keras atau lcer yang dapat
merusak jaringan lebih lanjut.
Lesi intraoral biasanya mengenai bagian palatum atau lidah. Ketika
palatum terinfeksi, biasanya ulser perforasi ke rongga hidung (Gambar 6).
Lidah dapat terinfeksi secara difus oleh gumma dan tampak besar, berlobus,
dan bentuknya tidak beraturan. Pola berlobus ini disebut dengan glossitis
interstitial dan diduga menjadi akibat dari kontraktura (pemendekan dan
53
pengerasan) dari otot lidah setelah penyembuhan gumma. Atrofi difus dan
hilangnya papilla dorsal lidah disebut dengan glositis luetis (Gambar 7).
Dahulu, atrofi seperti ini diduga lesi prekanker, namun banyak artikel terbaru
membantah hal ini.
Gambar 2.33 Sifilis tersier. Perforasi palatum keras. Gambar 7. Glossitis atrofik pada sifilis tersier. Permukaan dorsal dari lidah
Sifilis Kongenital
Pada tahun 1958, Sir Jonathan Hutchinson menggambarkan perubahan
yang ditemukan pada sifilis kongenital dan dijelaskan sebagai 3 tanda
diagnosis pathognomic, yang dikenal dengan Hutchinson’s triad:
1. Hutchinson’s teeth
2. Keratitis interstitial ocular
3. Tuli akibat kelainan saraf kedelapan.
Seperti kebanyakan triad diagnosis, sedikit pasien yang menunjukkan
ketiga tanda ini secara keseluruhan. Bayi yang terinfeksi sifilis dapat
menunjukkan tanda-tandanya di hari ke 2-3 setelah kelahiran. Temuan dini ini
termasuk pula keterlambatan pertumbuhan, demam, jaundice, anemia,
54
hepatosplenomegaly, rhinitis, rhagades (kulit circumoral berfisur), dan
makulopapular deskuamative, ulseratif, atau erupsi kulit vesicolobullous.
Bayi yang dapat bertahan tanpa diberi perawatan infeksi biasanya
berkembang menjadi sifilis tersier dengan kerusakan pada tulang, gigi, mata,
telinga, dan otak. Infeksi ini mengubah bentuk dari gigi anterior (Hutchinson’s
incisors) dan gigi posterior (mulberry molar, Fournier’s molar, Moon’s
molar).
Hutchinsons incisor’s menunjukkan lebar mesiodistal gigi yang paling luas
pada bagian sepertiga tengah dari mahkota. Bagian sepertiga insisalnya
meruncing sehingga gigi tampak seperti obeng sejajar. Pada bagian tepi insisal
sering terdapat lekukan hipoplastik sentral. Pada mulberry molar, bagian
oklusal gigi meruncing dengan konstriksi pada permukaan kunyah. Anatomi
oklusalnya abnormal, dengan beberapa gambaran globuler tidak teratur
sehingga menyerupai mulberry.
Keratitis interstitial dari mata tidak tampak saat lahir namun biasanya
berkembang antara umur 5 dan 25 tahun. Mata yang terinfeksi memiliki
permukan kornea opak yang mengakibatkan kehilangan daya melihat. Sebagai
tambahan dari Hutchinson’s triad, dapat juga terlihat beberapa perubahan
seperti deformitas saddle-nose, palatum yang tinggi, tonjolan pada frontal
(frontal bossing), hidrosefalus, retardasi mental, gumma, dan neurosifilis.
55
Gambar 2.34 Hutchinson’s incisors pada sifilis kongenital. Gigi geligi dengan mahkota yang meruncing ke arah insisal.
Gambar 2.35 Mulberry molar pada sifilis kongenital. Molar rahang atas menunjukkan permukaan oklusal dengan banyak tonjolan globular.
b. Perawatan
Perawatan untuk sifilis mengharuskan evaluasi dan pendekatan terapeutik
yang disesuaikan secara individual. Perawatan pilihan adalah dengan penicillin.
Dosis dan jadwal pemberian sangat tergantung pada tahapan sifilis, keterlibatan
neurologik, dan status imun. Untuk sifilis primer, sekunder dan sifilis laten dini,
diberikan dosis tunggal dari penicillin G benzanthine long-acting parenteral.
Untuk sifilis laten lanjut dan tersier, diberikan injeksi penicillin intramuskuler
setiap minggu selama 3 minggu. Bagi pasien dengan alergi penicillin, doxycycline
merupakan terapi pilihan kedua, meskipun tetrasiklin, eritromycin, dan
ceftriaxone juga memiliki aktivitas antitreponemal.
56
Pada 50% pasien sifilis primer dan 90% pasien sifilis sekunder, terjadi
respon inisial yang dikenal dengan reaksi Jarisch-Herxheimer. Proses ini terjadi
untuk melepaskan endotoksin ketika antibiotik membunuh organisme dalam
jumlah besar. Bukti klinis dari reaksi ini terjadi 8 jam setelah injeksi pertama dari
penicillin, dan biasanya diiringi demam ringan, malaise, sakit kepala, dan
eksaserbasi dari lesi kulit atau mukosa. Tanda-tanda dan symptom ini sangat
sementara dan cepat hilang.
Pasien yang menerima perawatan klinis dan serologis dengan penicillin,
harus ingat bahwa T. Pallidum dapat luput dari efek letal terhadap antibiotik bila
organisme berada pada perbatasan nodus limfatikus atay sistem saraf pusat. Oleh
karena itu, terapi antibiotik tidak selalu memberikan penyembuhan total pada
pasien dengan keterlibatan neurologic namun dapat menahan tanda klinis dari
infeksi. Pasien dengan imunosupresi seperti AIDS, mungkin tidak merespon
secara tepat pada antibiotik standar, dan banyak laporan sifilis pada pasien ini
berkembang menjadi neurosifilis meskipun tampak cukup diberikan terapi dosis
tunggal.
Pada penelitian terbaru melaporkan mengenai meningkatnya sifilis pada
pria yang berhubungan seks dengan pria dan tingginya tingkat koinfeksi dengan
HIV. Meskipun melibatkan banyak faktor, kerusakan mukosal yang disebabkan
oleh spiroseta dapat memberikan akses bagi infeksi HIV. Pasien dengan sifilis,
terutama pria yang berhubungan seks dengan pria, harus menjalankan
pemeriksaan HIV.
57
2.2.3 Gonorrhea
Gonorrhea adalah penyakit menular seksual disebabkan oleh Neisseria
gonorrheae yang dinyatakan sebagai infeksi bakteri yang paling umum dilaporkan
di Amerika Serikat, dengan estimasi jumlah orang terinfeksi adalah sekitar
700.000 sampai 800.000 orang per tahun. Penyakin ini epidemik, terutama di
wilayah perkotaan; di seluruh dunia, jutaan orang terinfeksi setiap tahunnya.
Prevalensi gonorrhea telah berkurang sejak puncaknya di tahun 1975. Tahun
2004, tahun terakhir dengan data komplit dari CDC (Center for Disease
Controls), merupakan tahun dengan tingkat infeksi yang paling rendah yang
pernah dilaporkan. Meskipun begitu, tingkat infeksi di Amerika Serikat masih
tinggi dibandingkan negara industry lainnya, dan kelompok tertentu dari populasi,
seperti mereka dengan keadaan sosioekonomi atau pendidikan yang rendah,
pengguna narkoba injeksi, para tuna susila, pria homo seksual, dan personil
militer merupakan kelompok dengan risiko tinggi. Tidak seperti penyakit menular
seksual lainnya, pada gonorrhea wanita sedikit lebih banyak tertular dibandingkan
dengan pria. Meskipun tingkat infeksi terus menurun di semua ras, ras Afro-
amerika terinfeksi 19 kali lebih sering daripada mereka yang berkulit putih.
a. Tanda Klinis
Infeksi menyebar melalui kontak seksual, dan mayoritas lesi terjadi pada
area genital. Infeksi tidak langsung jarang terjadi karena organismenya sensitive
terhadap kekeringan dan dan tidak dapat berpenetrasi secara utuh ke epitel
skuamosa yang berlapis-lapis. Masa inkubasi biasanya berlangsung 2-5 hari. Area
58
yang terinfeksi sering terlihat mengeluarkan purulen secara signifikan, namun
sekitar 10% pria dan 80% wanita yang mengidap gonorrhea adalah asimptomatik.
Lokasi yang paling sering terinfeksi pada pria adalah uretra, yang
menyebabkan pengeluaran purulent dan diuria. Daerah yang kurang umum
termasuk diantaranya daerah anorectal dan faringeal. Cervix adalah daerah utama
yang terinfeksi pada wanita, dengan keluhan utama adalah meningkatnya cairan
vagina, perdarahan inter-menstruasi, gatal pada genital, dan dysuria. Organisme
mungkin akan berjalan naik ke uterus dan ovarian tubes sehingga dapat
menyebabkan komplikasi gonorrhea yang paling penting bagi wanita yaitu
penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease (PID)). Simptom dari PID
adalah kram dan perdarahan abnormal, baik ringan maupun berat.
Antara 0,5% sampai 3% pasien gonorrhea yang tidak diobati akan
mengidap infeksi gonokokal yang menyebar dari bakteremia sistemik. Tanda yang
paling umum dari penyebaran (diseminasi) adalah myalgia, arthralgia,
polyarthritis, dan dermatitis. Pada 75% pasien dengan penyakit diseminasi
memiliki ruam kulit yang khas. Lesi dermatologis terdiri dari papula dan pustula
yang sering memperlihatkan komponen perdarahan dan terjadi terutama pada
ekstremitas. Perubahan sekunder yang jarang terjadi pada septikemi gonokokal
diantaranya demam, endokarditis, perikarditis, meningitis, dan lesi mukosa oral
pada palatum lunak dan orofaring, yang menyerupai ulser aphtous.
Prevalensi dari oral sex yang meningkat diduga terjadi karena
kesalahpahaman bahawa oral sex adalah praktek seksual dengan risiko yang
rendah dan merupakan alternatif aktivitas seksual tinggi risiko seperti anal
59
maupun vaginal sex. Banyak kasus gonorrhea merupakan akibat dari fellatio (oral
sex pada genital pria), meskipun gonorrhea orofaring mungkin adalah akibat dari
septikemi gonokokal, berciuman, cunnilingus (oral sex pada genital wanita). Oleh
karena itu, manyoritas kasus gonorrhea orofaring dilaporkan pada wanita dan pria
homoseksual. Masalah lainnya adalah gonorrhea faringeal biasanya asimptomatik,
sehingga menunda diagnosis dan terus menyebar. Pada pemeriksaan terbaru
terhadap 200 pria dengan gonorrhoea uretral, lebih dari 50% mengaku
berhubungan seks dengan pria, dan 58% dari kelompok pria yang berhubungan
seks dengan pria teridentifikasi bahwa oral sex sebagai faktor risiko tunggal dari
infeksi mereka.
Daerah orofaring yang paling umum terinfeksi adalah faring termasuk di
dalamnya uvula dan tonsil. Meskipun biasanya gonorrhoea faringeal itu
asimptomatik, namun pasien dapat merasa sakit tenggorokan ringan atau sedang,
yang disertai eritem orofaringeal difus dan nonspesifik. Tonsil yang terinfeksi
biasanya menunjukkan edema dan eritem, seringkali disertai pustula kecil yang
berbintik dan menyebar. Meskipun infeksi faringeal dapat sembuh spontan tanpa
gejala sisa yang merugikan, tindakan perawatan tetap penting untuk mengurangi
potensi penyebaran infeksi.
Lesi pernah dilaporkan terjadi pada bagian anterior dari rongga mulut,
dimana area yang terinfeksi terlihat eritem, berpustula, erosif, dan berulser.
Terkadang, infeksi ini menstimulasi terjadinya necrotizing ulcerative gingivitis
(NUG), namun beberapa dokter melaporkan bahwa tidak ada bau mulut, hal ini
60
menunjukkan tanda penting dari penyebab sebenarnya. Dapat juga muncul
limfadenopati mandibular atau servikal.
Selama kelahiran bayi, dapat terjadi infeksi pada mata bayi dari ibu
terinfeksi yang asimptomatik. Infeksi ini disebut gonococcal ophtalmia
neonatorum dan dapat dengan cepat menyebabkan perforasi pada bola mata dan
kebutaan. Tanda umum dari infeksi ini termasuk diantaranya konjunctivitis dan
keluarnya mucopurulent dari mata.
Gambar 2.36 Gonnorhea. Nekrosis, purulent, dan pendarahan dari gingiva anterior pada mandibula.
b. Perawatan
Perawatan primer untuk gonorrhoea adalah dengan fluoroquinolon seperti
ciprofloxacin, levofloxacin, atau ofloxacin namun, terjadi peningkatan resistensi
pada pria yang berhubungan seks dengan pria, dan pada mereka yang terinfeksi di
Asia, Pulau Pasifik (termasuk Hawaii), dan California. Meskipun ciprofloxacine
oral tetap menjadi langkah awal terapi bagi kebanyakan pasien, mereka yang
memiliki risiko resisten harus menerima injeksi ceftriaxone intramuskular.
Cefixime oral juga efektif namun saat ini tidak tersedia di Amerika Serikat dalam
61
formulasi yang tepat. Pasien dengan gonorrhoea berisiko terkena penyakit
menular seksual lainnya.
Pemeriksaan ulang direkomendasikan 1 sampai 2 bulan setelah terapi. Hal
yang paling sering menjadi penyebab untuk kegagalan terapi adalah terulangnya
paparan terhadap pasangan yang seringkali asipmtomatik. Maka dari itu, pasangan
seksual terakhir juga disarankan untuk melakukan perawatan. Infeksi yang benar-
benar resisten harus dibuat kultur dengan pemeriksaan antimikrobial dan pilihan
dari alternative antibiotik yang tepat. Prophylactic ophthalmic erythromycin,
tertasiklin, atau silver nitrat diaplikasikan pada mata bayi untuk mencegah
terjadinya gonococcal ophtalmia neonatorum.
2.2.4 Tuberculosis
Tuberculosis merupakan suatu penyakit infeksi granulomatous yang
menyerang pada sistem pernafasan. Etiologi dari tuberculosis adalah bakteri
Mycobacterium Tuberculosis. Bentuk lesi intra oral bergantung dari perjalanan
penyakit pada paru-parunya. Insidensi lebih berat pada pasien
immunocompromised.
Gambaran klinis pada penyakit Tuberculosis terdapat lesi ulser kronis
yang tidak sembuh-sembuh disertai indurasi, bagian pinggiran dari ulser terdapat
peninggian, terdapat lesi intrabony yang lisis dan terdapat gambaran radiologi
seperti gambaran osteomyelitis. TB oral primer biasanya melibatkan gingiva,
muccobucco fold, dan area inflamasi yang dekat dengan gigi atau daerah
ekstraksi; lesi oral sekunder biasanya terlihat pada lidah, palatum, dan bibir. Lesi
62
oral primer biasanya dikaitkan dengan pembesaran nodus limfatikus.
Osteomyelitis tuberculosis telah dilaporkan terjadi pada rahang dan pada
gambaran radiografi tampak radiolusen yang tidak jelas.
Gambar 2.37 Tuberculosis. Ulserasi muskoa kronis dari permukaan ventral lidah sebelah kanan
Gambar 2.38 Tuberkulosis. Area bergranula dan ulserasi pada alveolar ridge rahang bawah dan dasar mulut.
Meminum susu yang terkontaminasi dapat menyebabkan infeksi
mycobacterial yang disebut dengan scrofula. Scrofula tampak sebagai pembesaran
jaringan limfoid orofaringeal dan nodus limfatikus servikal. Seringkali nodus
yang terkena berkembang menjadi nekrosis caseous (jaringan membentuk massa
yang kering dan padat seperti keju) dan membetuk saluran sinus melewati kulit di
atasnya. Pada area nodus yang terlibat, secara radiografi tampak sebagai nodus
63
limfatikus yang terkalsifikasi yang menyerupai sialolit. Keterlibatan paru-paru
tidaklah umum pada pasien dengan scrofula.
Gambar 2.39 Tuberculosis. Pembesaran beberapa nodus limfatikus servikal.
Gambar 2.40 Tuberculosis. Fistula submandibular sekunder karena keterlibatan nodus limfatikus servikal dibawahnya.
Pada pemeriksaan mikroskop pada pemeriksaan ziehl-nielsen ditemukan
mikroorganisme penyebab. Diagnosis ditegakkan dengan melihat gambaran klinis
dan lesi yang persistensi, berdasarkan pemeriksaan histopatologis, tes tuberkulin
dan tes mantoux, dan pemeriksaan kultur jaringan. Diagnosis banding squamous
sel carcinoma, sifilis, infeksis mikosis, ulser traumatic dan lyphoma. Perawatan
64
untuk tuberkulosis diberi pengobatan sistemik seperti isoniazid, rifampin, dan
streptomisin.
Gambar 2.41 Gambaran osteomyelitis pada tuberculosis
a. Perawatan
M. tuberculosis dapat bermutasi dan meningkatkan resistensinya terhadap
obat agen-tunggal. Untuk melawan kemampuan ini, maka diberikan terapi pilihan
dengan multi-agen bagi infeksi aktif, dan perawatan biasanya meliputi dua tau
lebih obat aktif yang dikonsumsi untuk beberapa bulan atau tahun ke depan.
Prosedur yang biasanya digunakan terdiri atas dosis 8 minggu dari isoniazid,
rifampin, dan pyrazinamide, diikuti dengan dosis 16 minggu dari isoniazid dan
rifampin. Pengobatan awal lainnya termasuk juga ethambuthol dan streptomycin.
Angka kekambuhan terjadi hampir 1,5%. Dengan perubahan dosis dan jadwal
pemberian, respon terapi pada pasien dengan AIDS berhasil baik, namun
kekambuhan dan perkembangan infeksi juga dapat terjadi.
2.2.5 Noma (Cancrum Oris; Orofacial Gangrene; Gangrenous stomatitis;
Necrotizing Stomatitis)
65
Istilah noma berasal dari bahasa Yunani: nomein, yang artinya melahap.
Noma adalah infeksi rapid progresif, polimikrobial, dan opurtunistik yang
disebabkan oleh komponen flora oral normal yang menjadi pathogen selama masa
imun kompromis. Fusobacterium necrophorum dan Prevotella intermedia diduga
menjadi pemain kunci pada proses dan berinteraksi dengan satu atau lebih
organisme bakteri, dan yang paling umum terlibat adalah Borrelia vincentii,
Porphyromonas gingivalis, Tannerela forsynthesis, Treponema denticola,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus spp. nonhemolitik. Faktor predisposisi
yang dilaporkan adalah:
1. Kemiskinan
2. Malnutrisi dan dehidrasi
3. Oral hygine yang buruk
4. Sanitasi yang buruk
5. Air minum yang tidak aman
6. Hidup dekat dengan hewan ternak yang berantakan (tidak bersih)
7. Penyakit baru-baru ini
8. Keganasan
9. Kelainan imunodefisiensi, termasuk AIDS
Pada banyak kasus penyakit yang melemahkan memberi kesempatan bagi
noma untuk berkembang. Perkembangan noma seringkali diawali oleh campak.
Penyakit predisposisi lainnya yang umum namun jarang terjadi adalah herpes
simplex, gastroenteritis, dan bronchopneumonia, tidak jarang juga kasus yang
66
berkaitan dengan keganasan seperti leukemia. Banyak kejadian infeksi diawalai
sebagai necrotizing ulcerative gingivitis (NUG).
a. Tanda Klinis
Noma biasanya muncul pada anak usia 1-10 tahun, meskipun dapat juga
terjadi pada orang dewasa dengan penyakit yang melemahkan seperti diabetes
mellitus, leukemia, limfoma, dan infeksi HIV. Infeksi biasanya dimulai pada
gingiva sebagai NUG, yang dapat berkembang baik ke fasial atau lingual dan
melibatkan jaringan lunak sekitarnya dan membentuk area yang disebut
necrotizing ulcerative mucositis. Zona nekrosis juga dapat berkembang pada
jaringan lunak yang tidak berhubungan dengan gingiva, terutama pada area
trauma. Nekrosis ini dapat berkembang ke jaringan yang lebih dalam selama
beberapa hari ke depan, dapat berkembang pula zona berwana hitam kebiruan
pada kulit diatasnya.
Gambar 2.42 Necrotizing ulcerative mucositis. A. Nekrosis jaringan lunak yang luas pada palatum lunak sebelah kiri. B. Daerah penyembuhan dari necrotizing
ulcerative mucositis 6 hari setelah terapi tetrasiklin
67
Gambar 2.43 Noma. Nekrosus orofasial kehitaman dan ekstensif pada pipi kanan seorang pasien imunokompromis
Tidak seperti infeksi lainnya, proses infeksi ini tidak mengikuti lapisan
kulit dan cenderung menyebar ke lapisan anatomis seperti otot. Area pewarnaan
ini juga menjadi area nekrosis berwarna kekuningan yang juga sering menyebar
ke tulang terdekat, mungkin dapat terjadi osteomyelitis dengan area yang luas.
Biasa terjadi bau mulut, sakit yang signifikan, demam, malaise, takikardi,
meningkatnya angka pernafasan, anemia, leukositosis, dan limfadenopati regional.
Lesi dapat bertambah pada area yang jauh seperti kulit kepala, leher, telinga,
bahu, dada, perineum, dan vulva.
Mayoritas anak yang terinfeksi mengalami berhentinya pertumbuhan
(pengerdilan). Diduga bahwa keterlambatan pertumbuhan intrauterine atau
kelahiran premature dapat menjadi predisposisi bagi perkembangan noma
kedepannya. Beberapa lainnya menduga bahwa infeksi dengan virus herpes,
seperti sitomegalovirus, dapan menurunkan imun dan meningkatkan
perkembangan noma.
b. Perawatan
68
Selain pemberian antibiotik yang tepat dan perawatan luka, klinisi juga
harus memberi perhatian pada perbaikan nutrisi, hidrasi, dan keseimbangan
elektrolit. Penisilin dan metronidazole adalah terapi antibiotik pertama untuk
necrotizing stomatitis. Terapi untuk noma neonatorum adalah dengan melawan
organisme Peudomonas dan terapinya mengandung piperacillin, gentamicin, atau
clyndamycin. Disarankan melakukan debridemen konservatif dari area nekrosis
yang kotor, namun pembersihan yang agresif merupakan kontraindikasi karena
hal tersebut tidak menghentikan proses dan mempersulit rekonstruksi. Tulang
yang nekrosis dibiarkan untuk menahan bentuk wajah namun tidak dihilangkan.
Rekonstuksi harus ditunda sampai 1 tahun kedepan untuk memastikan
penyembuhan total.
Sebelum dikembangkannya antibiotik, angka kematian dapat mencapai
95% dan tetap tinggi pada beberapa negara di dunia. Penyebab kematian
diantaranya adalah komplikasi infeksius seperti pneumonia, diare, dan septikemi.
Infeksi noma dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan ketika tidak fatal.
Tidak jarang terjadi cacat muka yang dapat mempengaruhi masa depat
pertumbuhan dan perkembangan pasien. Rekonstruksi seringkali sangat
menantang dan harus ditunda sampai sembuh total. Dapat terjadi trismus dari
jaringan parut berkaitan dengan keterlibatan mandibular, namun hal tersebut dapat
dilawan dengan cara postoperatif dini dan fisioterapi jangka panjang. Noma
neonatorum lebig berbahaya karena septikemi yang berkaitan dengan infeksi
Pseudomonas spp. biasanya bersifat fatal.
69
2.2.6 Aktinomikosis
Aktinomikosis adalah infeksi bakteri anaerob gram positif yang bercabang
dan berserat. Aktinomisetes merupakan komponen saprofitik normal dari flora
mulut. Daerah kolonisasi pada pasien sehat diantaranya adalah kriptus tonsilar,
plak dan kalkulus, dentin karies, sulkus gingiva, dan poket periodontal. Koloni
pada kriptus tonsilar dapat membentuk massa keras dan cukup besar sehingga
pasien dapat merasa adanya sumbatan pada kriptus. Aktinomikosis paling banyak
disebabkan oleh Actinomyces israelii, lalu kemudian A. viscosus menempati posisi
kedua. Sedangkan A. naeslundii, A. odontolyticus, A. meyeri, A. pyogenes, dan A.
bovis jauh lebih jarang menginfeksi, begitu juga dengan Arachnia propionica dan
Bifidobacterium dantium. Pada kebanyakan kasus, organisme primer ini
bersinergi dengan streptokokus dan stafilokokus.
a. Tanda Klinis
Aktinomikosis dapat menjadi infeksi cengan progresi cepat dan akut, atau
sebagai lesi yang menyebar perlahan dan kronis, hal ini berkaitan dengan fibrosis.
Reaksi supuratif dari infeksi ini dapat menghasilkan flek kuning besar yang
menggambarkan koloni bakteri yang disebut granul sulfur.
Pada area servikofasial, organisme memasuki jaringan melalui area trauma
utama seperti luka pada jaringan lunak, poket periodontal, gigi nonvital, soket
ekstraksi, atau tonsil yang terinfeksi. Infeksi tidak menyebar pada dataran fasia
dan tidak menngikuti rute limfatik normal dan vaskular. Dapat terlihat perluasan
langsung ke jaringan lunak dan nodus limfatikus terlibat bila hanya mereka berada
pada jalur prosesnya. Area fibrosis yang keras membentuk area abses yang lunak.
70
Infeksi ini dapat meluas ke permukaan dan membentuk saluran sinus. Terasa sakit
yang minimal. Daerah yang umunya terlibat adalah jaringan lunak pada
submandibular, submental, dan pipi, dan daerah pada sudut mandibular adalah
daerah yang paling sering terinfeksi.
Gambar 2.44 Drainase fistula pada area submandibular
Abses lokal tanpa reaksi fibrosis terkait pernah dilaporkan terjadi pada
jaringan lunak dengan trauma minor. Lidah adalah yang paling sering disebutkan,
namun mungkin saja dapat terjadi pada mukosa lainnya. Keterlibatan kriptus
tonsil dapat menghasilkan simptom infeksius. Hiperplasia tonsil diduga menjadi
infestasi sekunder dari aktinomikosis dan tidak merespon antibiotik, hal ini
mungkin terjadi karena lokasi koloni bakteri yang superfisial. Tonsilektomi adalah
perawatan yang paling efektif untuk situasi ini.
Keterlibatan kelenjar saliva tidaklah umum. Kolonisasi intraduktus oleh
organisme dapat menyebabkan infeksi pada kelenjar submandibular dan parotis
sehingga membentuk abses pada rongga submandibular dan masseter. Dapat
terjadi juga infeksi terlokalisir pada duktus kelenjar saliva minor yang dapat
menyebabkan penyumbatan mukus dan sialolit.
71
Telah dilaporkan terjadinya osteomyelitis actinomycotic dari mandibular
dan maksila. Trauma, infeksi periodontal, gigi nonvital, dan daerah ekstraksi
memberikan akses bagi terjadinya infeksi. Pada pemeriksaan radiografi, gambaran
radiolusen yang tidak jelas dan biasanya dikelilingi oleh daerah radioopak, dapat
ditemukan dengan atau tanpa keterlibatan dari jaringan di atasnya.
Koloni infraboni dari kista dentigerus tanpa penyebaran signifikan secara
klinis dan radiografi juga telah dilaporkan. Keterlibatan lesi inflamasi periapikal
oleh bakteri dapat mengakibatkan lesi yang sulit disembuhkan dengan perawatan
endodontik standar, namun lesi seperti ini akan tetap terlokalisir dan tidak
berkembang menjadi aktinomikosis sevikofasial yang invasif.
b. Perawatan
Perawatan pilihan bagi aktinomikosis pada kasus fibrosis kronis adalah
dengan pemberian antibiotik dosis tinggi jangka panjang disertai drainase abses
dan eksisi saluran sinus. Antibiotik dengan konsentrasi tinggi dibutuhkan agar
bisa masuk ke area supuratif dan fibrosis. Meskipun penicillin tetap menjadi
standar pengobatan tanpa pernah dilaporkan terjadinya resistensi secara in vivo,
namun beberapa klinisi percaya bahwa amoxicillin merupakan antibiotik yang
lebih baik. Peneliti lainnya telah menemukan adanya resistensi penicillin secara in
vitro dan merekomendasikan tetrasiklin yang sama efektifnya dengan penicillin
dan merupakan obat pilihan bagi pasien alergi penicillin. Aktinomikosis
servikofasial dini biasanya merespon pada pemberian penicillin 5-6 minggu.
Pasien dengan infeksi yang dalam mungkin membutuhkan 12 bulan.
72
Pada kasus osteomyelitis karena actinomycetes, tidak hanya membutuhkan
terapi antibiotik saja. Debridemen yang adekuat merupakan landasan dari terapi
dan menentukan kesuksesan dari terapi antibiotik berikutnya. Dengan kombinasi
bedah, pasien dapat sembuh dengan pemberian penicillin selama 3 bulan. Pada
kasus resisten, harus dilakukan kembali debridemen dan kultur jaringan untuk
menentukan terapi antibiotik selanjutnya.
Beberpa penulis menyatakan bahawa infeksi aktinomikosis akut lokal
lebih dapat dirawat secara konservatif dibandingkan dengan aktinomikosis kronis
dan dalam. Aktinomikosis lokalisata periapikal dan perikoronal, abses lidah, dan
sialadenitis subakut dengan keterlibatan intraductal merespon baik pada
pembedahan jaringan terinfeksi. Pada kasus seperti ini baiknya diberikan
cadangan antibiotik untuk mereka yang mengalami kegagalan bedah eksisi local.
2.3 Infeksi Jamur dan Protozoa
2.3.1 Moniliasis (Kandidiasis)
Moniliasis (kandidiasis) adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur
candida albicans. Biasanya menimpa bayi dan orang dengan kondisi badan lemah
yang resistensinya berkurang oleh beberapa penyakit kronis. Moniliasis neonatal
terjadi sebagai akibat dari kontak langsung dengan mikroorganisme dalam saluran
vagina selama proses kelahiran. Pada anak yang lebih tua, moniliasis adalah
kondisi patologis lingkungan oral karena efek antibiotik spektrum luas dan juga
terjadi pada anak dengan kondisi immunocompromised seperti HIV dan Diabetes.
73
Infeksi dengan organisme jamur Candida albicans yang seperti ragi
disebut kandidiasis atau orang Inggris menyebutnya, kandidosis. Sebuah nama
yang lebih tua untuk penyakit ini adalah moniliasis; penggunaan istilah ini berasal
dari sebutan kuno Monilia albicans. Anggota lain dari genus Candida, seperti C.
tropicalis, C. hrusei, C. parapsilosis, dan C. guilliermondii, juga dapat ditemukan
secara intraoral, tetapi mereka jarang menyebabkan penyakit. Seperti banyak
jamur patogen lainnya, C. albicans mungkin ada dalam dua bentuk sifat yang
dikenal sebagai dimorfisme. Bentuk ragi dari organisme ini diyakini relatif tidak
berbahaya, tetapi bentuk hifa biasanya dikaitkan dengan invasi jaringan inang.
Kandidiasis biasanya terjadi regional, paling sering di rongga mulut, tetapi
bisa pula sistemik (dan kronis) dengan perluasan ke dalam pharinx dan paru-paru.
Lesi oral ditandai dengan bentuk yang lunak, sedikit lebih tinggi, plak putih, dan
ketika dihapus meninggalkan permukaan mentah dan menyakitkan. Tanda ini
adalah sarana utama klinis untuk bisa membedakan moniliasis dari lesi putih
lainnya yang muncul dalam mulut. Setiap area mukosa oral mungkin akan
terpengaruh, termasuk bibir, yang menjadi terkikis dan retak (terutama pada
komisura labial) menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai perleche.
Diagnosis kandidiasis biasanya dibuat secara klinis, khususnya di masa kanak-
kanak. Diagnosis pasti dapat diperoleh dengan mengoleskan fragmen materi plak
pada slide mikroskopis dan menambahkan materi plak dengan kalium hidroksida
20%. Pengamatan adanya jalinan hifa dan spora mengkonfirmasikan kebenaran
diagnosis.
74
Gambar 2.45 Gamabaran kandidiasis
Kandidiasis mukosa mulut mungkin menunjukkan berbagai pola klinis.
Banyak pasien akan menampilkan pola tunggal, meskipun beberapa orang akan
menunjukkan lebih dari satu bentuk klinis kandidiasis oral.
a. Perawatan
Beberapa obat antifimgal telah dikembangkan untuk menangani
kandidiasis oral, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangan.
Nistatin
Pada 1950-an nistatin antibiotik poliena adalah pengobatan pertama
yang efektif untuk kandidiasis oral. Nistatin diformulasikan untuk penggunaan
oral sebagai suspensi atau pastiles (lozenge/obat berupa tablet). Banyak pasien
melaporkan bahwa nistatin memiliki rasa yang sangat pahit, yang dapat
mengurangi kepatuhan pasien; Oleh karena itu, rasa harus disamarkan dengan
sukrosa dan agen perasa. Jika kandidiasis adalah karena xerostomia, rendemen
dari persiapan nistatin dapat menyebabkan karies- yang berkaitan dengan
xerostomia pada pasien. Saluran pencernaan yang buruk menyerap nistatin
dan antibiotik poliena lainnya, amfoterisin: Oleh karena itu, efektivitas mereka
tergantung pada kontak langsung dengan organisme candida. Hal ini
75
membutuhkan beberapa dosis harian sehingga ragi secara memadai terkena
oleh obat. Nistatin dikombinasikan dengan krim atau salep triamsinolon
acetonide dapat dioleskan dan efektif untuk cheilitis angular yang tidak
memiliki komponen bakteri.
Amphotericin B
Selama bertahun-tahun di Amerika Serikat, penggunaan amfoterisin B
dibatasi terhadap pengobatan intravena (IV) dari infeksi jamur sistemik yang
mengancam jiwa. Obat ini kemudian menjadi tersedia sebagai suspensi oral
untuk penanganan kandidiasis oral. Sayangnya, ketertarikan dalam formulasi
obat ini berkurang, dan tidak lagi dipasarkan di Amerika Serikat.
Agen Imidazole
Para agen antifimgal yang berasal dari imidazol dikembangkan selama
1970-an dan merupakan langkah maju yang besar dalam penanganan
kandidiasis. Kedua obat dari kelompok ini yang paling sering digunakan
adalah clotrimazole dan ketoconazole.
Clotrimazole
Seperti nistatin, clotrimazole tidak diserap dengan baik dan harus
diberikan beberapa kali setiap hari. Hal ini dirumuskan sebagai troche yang
rasanya enak (lozenge) dan menghasilkan beberapa efek samping.
Kemanjuran agen ini dalam mengobati kandidiasis oral dapat dilihat pada
Gambar. 6-12. Krim Klotrimazol juga pengobatan yang efektif untuk cheilitis
angular, karena obat ini memiliki sifat antibakteri dan antijamur.
76
Ketokonazole
Ketokonazol adalah obat antijamur pertama yang bisa diserap di
saluran pencernaan, sehingga memberikan terapi sistemik dengan pemberian
oral. Dosis harian tunggal lebih mudah untuk digunakan bagi pasien; Namun,
beberapa kelemahan telah dicatat. Pasien tidak harus mengambil antasid atau
agen blocking 11.1- karena lingkungan asam diperlukan untuk penyerapan
yang tepat. Jika seorang pasien mengkonsumsi ketokonazol selama lebih dari
2 minggu, maka studi fungsi hati dianjurkan karena sekitar 1 dari 10.000
orang akan mengalami toksisitas hati khusus dari agen. Untuk alasan ini, US
Food and Drug Administration telah menyatakan bahwa ketoconazole tidak
boleh digunakan sebagai terapi awal untuk kandidiasis oral rutin. Selain itu,
ketoconazole telah terlibat dalam interaksi obat dengan antibiotik makrolida
(misalnya. Eritromisin), agen cisapride yang meningkatkan motilitas
pencernaan, dan astemizol antihistamin, yang semuanya dapat berpotensi
mengancam jiwa aritmia jantung.
2.3.1.1 Kandidiasis Pseudomembranosa
Kandidiasis pseudomembranosa adalah infeksi oportunistik yang
disebabkan oleh pertumbuhan jamur permukaan, C. albicans yang berlebihan.
Infeksi ini tampak berupa plak mukosa yang luas, seperti beludru, berwarna putih
dan tidak nyeri sampai plak ini dikerok sehingga meninggalkan permukaan yang
merah, kasar, atau berdarah. Organisme ini memang ada di dalam rongga mulut,
saluran pencernaan, dan vagina. Bayi yang ibunya mengalami infeksi thrush di
77
vaginanya pada saat melahirkan dan orang dewasa yang mengalami perubahan
mikroflora mulut normal karena pemakaian antibiotic, steroid, atau perubahan
sistemik seperti diabetes, imunodefisiensi, atau kemoterapi paling sering terkena
keadaan ini. Kandidiasis pseudo membrane biasanya diemukan pada mukosa
bukal, lidah dan palatum lunak. Pada pasien penderita asma yang memakai inhaler
steroid, polanya tampak berupa bercak bundar, atau oval berwarna putih
kemerahan pada daerah berkontaknya aerosol dengan palatum. Diagnosis ini
ditentukan melalui pemeriksaan klinis, biakan jamur, atau pemeriksaan mikroskop
langsung dari kerokan jaringan.
Gambar 2.46 Pseudomembranous candidiasis
2.3.1.2 Kandidiasis Hiperplastik Kronis
Kandidiasis Hiperplastik Kronis disebabkan oleh organisme Kandida yang
menembus permukaan mukosa dan merangsang respons hiperplastik. Iritasi
kronis, kebersihan mulut yang buruk dan xerostomia adalah factor
predisposisinya. Jadi perokok dan pemakai gigi palsu biasanya terkena. Diabetes
mellitus dan infeksi HIV juga dapat merupakan kontributor. Daerah-daerah yang
paling sering terkena adalah dorsum lidah, palatum, mukosa bukal, dan komisura
78
labial. Lesi mempunyai tepi yang sedikit menonjol, permukaan yang lembek
berwarna putih keabuan dan zona merah yang disebabkan oleh kerusakan mukosa.
Kandidiasis hiperplastik kronis tidak bisa dikerok, maka diagnosis harus
dibuat dengan biopsi. Dengan aplikasi agen antijamur topical yang cukup, kondisi
ini akan menghilang.
2.3.1.3 Kandidiasis Eritematosa
Berbeda dengan bentuk pseudomembran, pasien dengan
kandidiasis eritematosa tidak menunjukkan bintik-bintik putih, atau
komponen putih bukan merupakan fitur yang menonjol. Kandidiasis
eritematosa lebih umum daripada kandidiasis pseudomembran, meskipun
sering diabaikan secara klinis. Beberapa presentasi klinis dapat dilihat.
Kandidiasis atrofi akut atau "luka mulut antibiotik," biasanya mengikuti
rangkaian terapi antibiotik berspektrum luas. Pasien sering mengeluh bahwa
mulut merasa seolah-olah telah tersiram air panas. Sensasi terbakar ini
biasanya disertai dengan kehilangan difus/sebaran papila filiform lidah
dorsal, sehingga memerah, penampilan lidah yang "bald".
Gambar 2.47 Kandidiasis Eritematosa
79
2.3.1.4 Kandidiasis Atropik Akut (Antibiotic Sore Mouth)
Penggunaan antibiotik spectrum luas, terutama tetrasiklin atau steroid
topical dapat menimbulkan kandidiasis atropik akut. Infeksi jamur ini adalah hasil
dari ketidakseimbangan ekosistem mulut anatara Lactobacillus acidophilus dan C.
albicans. Antibiotic yang diminum pasien dapat mengurangi populasi
Lactobacillus dan memungkinkan organisme candida merebak. Infeksi
menimbulkan daerah deskuamasi pada mukosa permukaan yang tampak sebagai
bercak merah atropik dan luas yang menyebabkan rasa terbakar. Lokasi bercak
dapat menunjukkan penyebabnya. Lesi yang ditemukan pada mukosa bukal, bibir
dan orofaring sering menunjukkan adanya penggunaan antibiotik sistemik,
sementara kemerahan dari lidah dan palatum lebih sering terjadi karena
pemakaian tablet isap antibiotik. Jika lidah terkena, hilangnya papilla filiformis
dari permukaan lidah merupakan hal yang biasa ditemukan. Diagnosis dibuktikan
dengan terlihatnya kumpulan organisme atau bentuk hifa pada hapusan sitologis
yang diberi pewarna.
Gambar 2.48 Kandidiasis Atropik Akut
80
2.3.2 Angular Cheilitis
Angular cheilitis adalah salah satu kelainan yang banyak terjadi pada
daerah sudut mulut. Hal ini dapat disebabkan salah satunya oleh infeksi jamur
Candida Albicans. Etiologi lain dari kelainan ini antara lain adalah trauma
mekanis, bakteri staphylococci dan streptococci, dan defisiensi nutrisi. Rasa tidak
nyaman disebabkan oleh gerak membuka mulut menjadi terbatas. Faktor
predisposisinya mencakup nutrisi yang buruk, hilangnya dimensi vertical, dan
asupan sukrosa yang tinggi.
Kondisi ini ditandai dengan eritema, maserasi, erosi, dan krusta pada
daerah komisura. Umumnya, lesi ini tidak melewati batas mukoutaneus. Sensasi
rongga mulut seperti terbakar dan kering dapat terjadi. Remisi dan eksaserbasi
adalah gejala yang umum. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan penemuan
klinis. Perawatannya mencakup agen antijamur, perbaikan faktor predisposisi, dan
menghentikan kebiasaan buruk.
Gambar 2.49 Angular Cheilitis
2.3.3 Histoplasmosis
Histoplasmosis, infeksi jamur sistemik yang paling umum di Amerika
81
Serikat, yang disebabkan oleh organisme Histoplasma capsulatum. Seperti
beberapa jamur patogen lainnya. H. capsulatum bersifat dimorfik, tumbuh sebagai
ragi pada suhu tubuh di inang manusia dan sebagai jamur dalam lingkungan alam.
Daerah lembab dengan tanah diperkaya oleh kotoran burung atau kelelawar sangat
cocok untuk pertumbuhan organisme ini. Ulkus ini pada umumnya berbentuk
nodular dan bulat, serta muncul pada bibir, lidah, palatum, gingival, dan mukosa
bukal.
Kondisi ini biasanya muncul sebagai ulserasi variabel soliter yang
menyakitkan dengan durasi beberapa minggu; Namun, beberapa lesi mungkin
memunculkan eritematosa atau warna putih dengan permukaan yang tidak teratur.
Lesi ulserasi memiliki pinggiran yang jelas dan digulung dan mereka dapat
dibedakan secara klinis dari penyakit yang ganas.
a. Perawatan
Pengobatan pilihan adalah Amfoterisin B. intravena terutama dalam kasus
yang parah. Namun, kerusakan ginjal yang signifikan dapat dihasilkan dari terapi
ini oleh karena itu, itraconazole dapat digunakan pada pasien non imuno supresi
karena dikaitkan dengan efek samping yang lebih sedikit, tetapi obat ini
memerlukan dosis harian untuk setidaknya 3 bulan.
82
DAFTAR PUSTAKA
Dunitz, M. 1999. Hand Book of Oral Disease : Diagnosis and Management.
Thieme New York
Langlais,Robert P. 2013. Atlas Berwarna Lesi Mulut Yang Sering Ditemukan. Ed.
4. Jakarta: EGC
Lawler, W., Ahmed, A., Hume, W.J., 1992. Buku Pintar Patologi Untuk
Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Stewart, Ray E. 1982. Pediatric Dentistry : Scientific foundations and clinical
practice. Mosby Company
1. Stewart, Ray E. 1982. Pediatric Dentistry : Scientific foundations and
clinical practice. Chapter 9:Oral Manifestation of infectious Diseases.
Mosby Company:240-248
2. Raon, Tandon S. Textbook of Pedodontics. Chapter 60:Lesions of Oral
Mucosa in children:788-820
3. Neville Brad, Douglas. 2009. Oral and Maxilofacial Pathology, Third
Edition. Chapter 7:Viral Infections:240-284
4. Samaranayake L. Third ed: Essential Microbiology for Dentistry. Elsevier.
Chapter 30:173-175, 243-250
5. Welburry Richard, Monty. 2005. Third Ed: Paediatric Dentistry. Oxford.
6. Heerden Van. 2006. Oral Manifestation of Viral Infection. 48(8):20-24
83
7. Greenberg,dkk, 1994, Ilmu Penyakit Mulut Diagnosis dan Terapi, edisi 8,
Bina Rupa Aksara, Jakarta.
8. Langlais dan Miller., 2000, Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang
Lazim, Hipocrates, Jakarta.
9. Wiriwan, Elly, 1998, Tinjauan Klinis Penyakit Mulut, Widya Medika,
Jakarta.
Neville, Brad W. et al. Oral and Maxillofacial Pathology. 3rd ed. Saunders
Elseviers. 2009.
Tandon, Shoba. Textbook of Pedodontics. 1st ed. Paras Publishing. 2001
Stewart, Ray. E. Pediatric Dentistry: Scientific Foundations and Clinical Practice.
Mosby, 1982.
http://emedicine.medscape.com/article/214100-overview