penyakit paru obstruktif kronik
DESCRIPTION
ppokTRANSCRIPT
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan penyakit
kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel dan biasanya menimbulkan obstruksi. Gangguan yang bersifat
progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang kronik akibat pajanan
partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala
utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan aktifitas.
PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi yang utama. Ada tiga penyakit yang membentuk satu
kesatuan yang dikenal sebagai PPOM tersebut yaitu brinkhitis kronis, emfisema paru, dan
asma bronkhiale.(American Thoracic Society, 1962)
B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa keperawatan
dalam menganalisa suatu penyakit PPOK(penyakit paru obstruktif kronik) merupakan suatu
komplikasi penyakit seperti asma, emphiema, dan bronkus kronik. Dn nantinya pada saat
terjun di lapangan, parawat tidak ragu untuk melakukan tindakan keperawatan dalam
penyakit ini.
C. Sistematika Penulisan
a) BAB I Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, dan sistematika.
b) BAB II Judul berisi Definisi PPOK, etiologi PPOK, patofifiologi PPOK, manifestasi klinik
PPOK, klasifikasi PPOK, penatalaksanaan medis PPOK, komplikasi PPOK, Asuhan
keperawatan PPOK.
c) BAB III Penutup berisi kesimpulan
BAB II
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan penyakit
kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel dan biasanya menimbulkan obstruksi. Gangguan yang bersifat
progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang kronik akibat pajanan
partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala
utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan aktifitas.
B. Etiologi
1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik,
abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak
merokok. Resiko untuk menderita COPD bergantung pada “dosis merokok”nya, seperti umur
orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang
tersebut merokok.Enviromental tobacco smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat
mengalami gejala-gejala respiratorik dan COPD dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif
tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru “terbakar”.Merokok selama masa
kehamilan juga dapat mewariskan faktor resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan paru-paru dan perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin
juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu bakar
ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk memasak, pemanas dan
untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Sehingga IAP memiliki tanggung jawab besar jika
dibandingkan dengan polusi di luar ruangan seperti gas buang kendaraan bermotor. IAP
diperkirakan membunuh 2 juta wanita dan anak-anak setiap tahunnya.
4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan.
5. Infeksi saluran nafas berulang
6. Jenis kelamin
Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Karena dahulu,
lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki
dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena COPD
dibandingkan perokok pria.
7. Status sosio ekonomi dan status nutrisi
8. Asma
9. Usia
C. Patofisiologi
Faktor resiko utama dari COPD ini adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok ini
merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu,
silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan
sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat.
Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus
yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka
ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps. Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien COPD, yakni :
peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran nafas,
dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim).
Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita asma.
D. Manifestasi Klinik
Gejala-gejala umum PPOK yaitu:
Denyut jantung abnormal
Sesak napas
Henti nafas atau nafas tidak teratur dalam aktivitas sehari-hari.
Kulit, bibir atau kku menjadi biru.
Batuk menahun, atau disebut juga 'batuk perokok' (smoker cough)
Batuk berdahak (batuk produktif)
PPOK ringan seringkali tidak menimbulkan gejala atau keluhan apapun.PPOK
disebabkan oleh 2 jenis penyakit yaitu Bronkitis Kronik dan Emfisema. Kedua penyakit ini
dapat terjadi bersamaan atau hanya salah satu saja. Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi,
mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan
kelainan sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi (ngik-ngik)
Gambar 1. Alveolus sehat
E. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi
atas 4 derajat:
1. Derajat I: COPD ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara ringan
(VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak
menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II: COPD sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 < 80%),
disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai
mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III: COPD berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP1 / KVP
< 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat,
penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas
hidup pasien.
4. Derajat IV: COPD sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30% prediksi)
atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung
kanan.
G. Penatalaksanaan Medis
1. Tata laksana PPOK stabil
a. Terapi farmakologis
1) Bronkodilator
a) Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia / tak terjangkau
b) Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten)
c) golongan :
- Agonis - fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol
- Antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium bromid
- Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi
steroid belum memuaskan
d) Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi
2) Steroid
a) PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid
b) PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi (derajat III dan IV)
c) Eksaserbasi akut
3) Obat-obat tambahan lain
a) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol, karbosistein,
gliserol iodida
- Antioksidan : N-Asetil-sistein
- Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin
- Antitusif : tidak rutin
- Vaksinasi : influenza, pneumokokus
b. Terapi non farmakologis
1) Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial
2) Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari): pada PPOK derajat IV, AGD.
a) PaO2 < 55 mmHg, atau SO2 < 88% dengan atau tanpa hiperkapnia
b) PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 < 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena
gagal jantung, polisitemia.
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus dipantau secara ketat.
Oleh karena, pada pasien PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi
kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan normal berespons terhadap karbon
dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya konsentrasi
oksigen di dalam darah arteri yang terus merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer
yang relatif kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila
PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang.
Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi
terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi koalitas hidup. Ventimask adalah
cara paling efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.
3) Nutrisi
4) Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fungís paru atau gerakan mekanik
paru)
KOMPLIKASI
1. Bronchitis kronik
a. Definisi
- Bronchitis kronik adalah suatu peradangan bronkhiolus, bronkus dan trakea oleh berbagai
sebab. Biasnaya disebabkan oleh virus dan bakteri.(arif muttaqin,2008)
- Bronchitis kronik didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan
dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut.penyebabnya adalah merokok dan pemajan
terhadap polusi. (brunner&suddarth,1997)
b. Etiologi
1) Merokok
2) Polusi udara yang terus menerus
polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis. Zat-zat kimia yang dapat juga
menyebabkan bronkitis adalah O2, N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon
3) Defisiensi-1 antitripsin adalah gangguan resesif yang terjadi pada sekitar 5% pasien
emfisema (dan sekitar 20% dari kolestasis neonatorum) karena protein alfa-1 antitripsin ini
memegang peranan penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil elastase
4) Riwayat infeksi saluran nafas
Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada penderita bronkitis hampir selalu menyebabkan
infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah.
5) Virus, bakteri (Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae) dan organism lain
seperti Mycoplasma pneumoniae
c. Patofisiologi
Pada bronkitis terjadi penyempitan saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, disebabkan karena
perubahan pada saluran pernapasan kecil, yang diameternya kurang dari 2 mm, menjadi lebih
sempit, berkelok-kelok dan kadang-kadang terjadi obliterasi. Penyempitan lumen terjadi juga
oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernapasan besar juga menyempit karena hipertrofi dan
hiperplasia kelenjar mukus. Pada penderita bronkitis saat terjadi ekspirasi maksimal, saluran
pernapasan bagian bawah paru akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Hal ini akan
mengakibatkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang, sehingga penyebaran udara
pernapasan maupun aliran darah ke alveoli tidak merata. Timbul hipoksia dan sesak napas.
Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan
polisitemia. Terjadi hipertensi pulmonal yang dalam jangka lama dapat menimbulkan kor
pulmonal
d. Manifestasi klinik
1) Batuk berdahak.
Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya pasien mengalami
batuk produktif di pagi hari dan tidak berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan
dahak berwarna putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
2) Sesak nafas
Bila timbul infeksi, sesak napas semakin lama semakin hebat. Terutama pada musim dimana
udara dingin dan berkabut.
3) Sering menderita infeksi pernafasan (misalnya flu).
4) Wheezing (mengi). Saluran napas menyempit dan selama bertahun-tahun terjadi sesak
progresif lambat disertai mengi yang semakin hebat pada episode infeksi akut
5) Pembengkakan pergelangan kaki dan tungkai kiri dan kanan.
6) Wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan.
Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu hidung meler, lelah,
menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri tenggorokan. Pada bronkitis
berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi selama 3-
5 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu
e. Diagnosis
1) Anamnesis : riwayat penyakit yang ditandai tiga gejala klinis utama (batuk, sputum, sesak)
dan faktor-faktor penyebabnya.
2) Pemeriksaan fisik.
3) Bila ada keluhan sesak, akan terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi disertai
bising mengi.
4) Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shape chest (diameter anteroposterior dada
meningkat).
5) Iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah.
6) Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak
jantung berkurang.
7) Pada pembesaran jantung kanan, akan terlihat pulsasi di dada kiri bawah di pinggir sternum.
8) Pada kor pulmonal terdapat tanda-tanda payah jantung kanan dengan peninggian tekanan
vena, hepatomegali, refluks hepato jugular dan edema kaki.
f. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan radiologi.
2) Ada hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya tubular shadow berupa bayangan garis-garis
yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
3) Pemeriksaan fungsi paru.
4) Terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Sedang
KRF sedikit naik atau normal. Diagnosis ini dapat ditegakkan dengan spirometri, yang
menunjukkan (VEP) volume ekspirasi paksa dalam 1 detik < 80% dari nilai yang
diperkirakan, dan rasio VEP1 : KVP <70% (Rubenstein, et al., 2007).
5) Pemeriksaan gas darah.
6) Penderita bronkitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan baik sehingga
PaCO2 naik dan PO2 turun, saturasi hemoglobin menurun dan timbul sianosis, terjadi juga
vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoeisis.
7) Pemeriksaan EKG.
8) Pemeriksaan ini mencatat ada tidaknya serta perkembangan kor pulmonal (hipertrofi atrium
dan ventrikel kanan)
9) Pemeriksaan laboratorium
g. Penatalaksanaan medis
Tujuan pengobatan adalah menjaga agar bronkhiolus tetap terbuka dan berfungsi, untuk
memudahkan pembuangan sekresi bronchial dan mencegah infeksi.
1) Pemberian antibiotic berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dan sensitifitas
2) Terapi oksigen
3) Fisisoterapi untuk mengeluarkan sputum
4) Bronkodilator: menghilangkan bronkospasme dan mnegurangi obstruksi jalan nafas
2. Empisema
a. Definisi
- Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi
klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal dan disertai
dengan kerusakan dinding alveoli.( arif muttaqin, 2008)
- Empisema adalah kolapsnya saluran pernapasan halus dan rusaknya dinding alveolus yang
disebabkan oleh asap rokok, udara polusi dan allergen. Ini terjadi penyempitan saluran nafas
akibat edematosik dan peningkatan produksi mucus yang kental
b. Etiologi
1) Merokok
2) Keturunan
3) Infeksi
4) Hipotesis elastase-antielatase
c. Patofisiologi
Pada emfisema, beberapa factor penyebab obstruksi jalan nafas yaitu: inflamasi dan
pembengkakan bronki, produksi lender yang berlebihan, kehilangan recoil elastic jalan napas,
dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara kealveoli yang berfungsi.Karena dinding
alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsungdengan kapiler
paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi ( area paru dimana
tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan megakibatkan kerusakan difusi oksigen.
Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi
karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida
dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jarring-jaring kalpiler pulmonal
berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian , gagal
jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasi emfisema. Sekres
meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitka batuk
yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap
dalam paru-paru yang mengalami emfisema dan memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik (ditandai dengan peningkatan
tahanan jalan napas) kealiran masuk dan aliran keluar dari paru-paru. Paru-paru dalam
keadaan hiperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara keluar dan kedalam paru-paru,
dibutuhkan tekanan negative selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat
harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi.Ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan
upaya otot-otot. Sesak nafas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku dn iga-iga terfiksasi
persendiannya. Dada seperti tong (Barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat
kehilangan elastisitas paru karena kecenderungan yang berkelanjutan dari dinding dada
untuk mengembang.
d. Manifestasi klinik
1) Dispnea adalah gejala utama emfisema. Pada inspeksi pasien terlihat barrel chest akibat udara
terperangkap, penipisan masa otot.
2) Mengi saat ekspirasi
3) Anoreksia, penurunan berat badan dan kelemahan
e. Pemeriksaan dignostik
1) Rontgen dada: hiperinflasi paru, pendataran diafragma
2) Uji fungsi paru: volume residual meningkat
3) AGD: PaO2 menurun, PaCo2 meningkat atau normal, pH normal atau asidosis
4) Kimia darah: pemeriksaan antitripsin-1
3. Asma bronchial
1. Definisi
- Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana
trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu (brunner&suddarth,1997)
- Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan
derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun dengan hasil pengobatan. (arif
muttaqin, 2008)
2. Klasifikasi
Ada tiga tipe asma berdasarkan penyebabnya:
a. Asma intrinsic
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor faktor pencetus yang spesifik,
seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik
b. Asma ekstrinsik
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema.
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan
non-alergik.
3. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-
benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast
yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus
kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi
lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek
gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding
bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme
otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada
selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan
bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan
selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama
selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan
adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma
akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel
chest.
4. Manifestasi klinik
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada
saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga
ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik dari
asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan pada sebagian penderita
ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada
serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent
chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat
dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
5. Pemeriksaan laboratorium
a. AGD
b. Sputum
c. Sel eosinofil
d. Pemeriksaan darah rutin dan kimia
6. Penatalaksaan medis
a. Pengobatan non farmakologi
- Penyuluhan
- Menghindari faktor pencetus
- fisioterapi
b. Pengobatan farmakologi
- Agonis beta
- Metilxantin
- Kortikosteroid
- Kromolin dan atroven
G. Penatalaksanaan Medis
1. Tata laksana PPOK stabil
a. Terapi farmakologis
1) Bronkodilator
a) Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia / tak terjangkau
b) Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten)
c) golongan :
- Agonis - fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol
- Antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium bromid
- Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi
steroid belum memuaskan
d) Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi
2) Steroid
a) PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid
b) PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi (derajat III dan IV)
c) Eksaserbasi akut
3) Obat-obat tambahan lain
a) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol, karbosistein,
gliserol iodida
- Antioksidan : N-Asetil-sistein
- Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin
- Antitusif : tidak rutin
- Vaksinasi : influenza, pneumokokus
b. Terapi non farmakologis
1) Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial
2) Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari): pada PPOK derajat IV, AGD.
a) PaO2 < 55 mmHg, atau SO2 < 88% dengan atau tanpa hiperkapnia
b) PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 < 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena
gagal jantung, polisitemia.
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus dipantau secara ketat.
Oleh karena, pada pasien PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi
kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan normal berespons terhadap karbon
dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya konsentrasi
oksigen di dalam darah arteri yang terus merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer
yang relatif kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila
PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang.
Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi
terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi koalitas hidup. Ventimask adalah
cara paling efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.
3) Nutrisi
4) Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fungís paru atau gerakan mekanik
paru)
2. Tata laksana PPOK berdasarkan derajat
DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN
Semua
derajat
Hindari faktor pencetus
Vaksinasi influenza
Derajat I
(PPOK
Ringan)
VEP1 / KVP < 70 %
VEP1 80% Prediksi
a.Bronkodilator kerja singkat (SABA,
antikolinergik kerja pendek) bila perlu
b.Pemberian antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Derajat II
(PPOK
sedang)
VEP1 / KVP < 70 %
50% VEP1 80% Prediksi
dengan atau tanpa gejala
1. Pengobatan reguler
dengan bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja
lama sebagai terapi
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
Rehabilitasi
Kortikosteroid
inhalasi bila uji
steroid positif
Derajat III
(PPOK
Berat)
VEP1 / KVP < 70%;
30% VEP 1 50% prediksi
Dengan atau tanpa gejala
Pengobatan reguler
dengan 1 atau lebih
bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja
lama sebagai terapi
Kortikosteroid
inhalasi bila uji
steroid positif
atau eksaserbasi
berulang
pemeliharaan
b.LABA
c. Simptomatik
Rehabilitasi
Derajat IV
(PPOK
sangat berat)
VEP1 / KVP < 70%; VEP1 <
30% prediksi atau gagal nafas
atau gagal jantung kanan
1.Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih
bronkodilator:
a.Antikolinergik kerja lama sebagai terapi
pemeliharaan
b.LABA
c. Pengobatan komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
respons klinis atau eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3.Terapi oksigen jangka panjang bila gagal
nafas
pertimbangkan terapi bedah
3. Tata laksana PPOK eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rujmah : bronkodilator seperti pada PPOK
stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 ahri. Bila
infeksi: diberikan antibiotika spektrum luas (termasuk S.pneumonie, H influenzae, M
catarrhalis).
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:
a. Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask
b. Bronkodilator: inhalasi agonis 2 (dosis & frekwensi ditingkatkan) + antikolinergik. Pada
eksaserbasi akut berat: + aminofilin (0,5 mg/kgBB/jam)
c. Steroid: prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari.
Steroid intravena: pada keadaan berat
Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenza, M catarrhalis.
d. Ventilasi mekanik pada: gagal akut atau kronik
Indikasi rawat inap :
a. Eksaserbasi sedang dan berat
b. Terdapat komplikasi
c. Infeksi saluran napas berat
d. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
e. Gagal jantung kanan
Indikasi rawat ICU :
Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat.
a. Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi
b. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 > 50 mmHg
memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)