penumpasan terhadap pemberontakan partai...
TRANSCRIPT
PENUMPASAN TERHADAP PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
MUHAMMAD ARYO PURWANTO
NIM: 1112043200003
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
PENUMPASAN TERIIADAP PEMBERONTAKAI\ PARTAI KOMUNIS
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI
MANUSIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
MUHAMMAT) ARYO PUR.WANTOh[IM: 1112043200003
Di Bawah Bimbingan
f)r. H. Ah AIi Mansur. M.ANIIP. 195 03121985031003 NIP. 1976050620t411 1002
PROGRAM STT]DI PERBAI\DINGAI\ MAZHAB
FAKIJLTAS SYARIOAH I}Ah[ HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HII}AYATULLAH
JAKARTA
1438 r{/2017 M
Pembimbing II
ad Mukri
ST]RAT PENGESAIIAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul "Penumpasan Terhadap Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam l)an Hak Asasi
Manusia'. Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal
7 Juni 2017. Slaipsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) pada Program Studi Perbandingan Maztrab.
Jakarta, 7 Juni }AfiDekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA UJIAN MT]NAQASYAH
Fahpi Muhqmryad,Ahma$i. M.Si (...NIIP. 197 4t21720A3 121002
Hi. Siti Hanna. S. Aq. Lc, M.ANIIP. 197 4021620080 1 20 1 3
Dr. H. Ahmad MukriAiihtIP. 195703 \2t98503 1003
Ali Mansur. M.ANIIP. t97 6A50620141 1 1002
I) rrll-MFhammad Ta.Ffiki. M.A$NIP. 1965 1 1 19199803 1002
Drs, H* Ahpnqd lfarni. Mr4qhtIP. 19640 412199403 1004
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing I
4. Pembimbing II
5. Penguji I
6. Penguji II
udin JI{IP. 1969 1619960
LEIVTBAR PERFIYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Slaipsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam
Negeri (tltl\} Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang bertaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari tertnrkti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri GJf$ Syarif
Hidayatullah Jakafia.
MUHAMMAD ARYO PURWANTO
April ZAIT::^!i;
NIM: 1 1 12043200003
ABSTRAK
Muhammad Aryo Purwanto, NIM: 1112043200003, Penumpasan
Terhadap Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Dalam Perspektif Hukum
Islam dan Hak Asasi Manusia, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1438 H / 2017 M. xi + 70 halaman + 27 lampiran.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan mengenai penumpasan
terhadap pemberontakan Partai Komunis Indonesia dalam perspektif hukum Islam
dan Hak Asasi Manusia. Penumpasan tersebut terjadi pasca gagalnya kudeta yang
dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia terhadap pemerintahan yang sah melalui
peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965 atau yang lebih dikenal dengan
G 30 S/PKI. Dalam penumpasan tersebut, terdapat banyak anggota/simpatisan
Partai Komunis Indonesia yang tidak terlibat langsung dalam pemberontakan ikut
dijatuhi sanksi yang sama dengan mereka yang melakukan pemberontakan. Maka
oleh karena itu sangat penting melihat peristiwa penumpasan tersebut dari
perspektif hukum Islam dan Hak Asasi Manusia dan pendapat para narasumber
yang berkaitan langsung dengan judul penelitian tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman secara
objektif kepada para umat Islam dan praktisi Hak Asasi Manusia terkait
penumpasan terhadap anggota/simpatisan yang tertuduh berafiliasi kepada Partai
Komunis Indonesia yang terjadi dalam rentang waktu tahun 1966-1968.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan menggunakan jenis
penelitian normatif yakni metode analisis yang memaparkan hukum yang telah
tertulis dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, dan peraturan perundang-undangan yang
kemudian diinterpretasikan oleh para narasumber sehingga muncul beberapa
pendapat dengan berbagai kesamaan dan perbedaan, serta penelitian ini
kepustakaan (library research) yaitu dengan mengambil referensi pustaka dan
dokumen yang relevan dengan masalah ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dalam skripsi ini bahwa
penumpasan terhadap pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang terjadi pada
tahun 1966-1968 sesuai menurut hukum Islam dan Hak Asasi Manusia karena
pemberontakan tersebut sudah memenuhi unsur-unsur dalam jarimah al-baghyu
seperti adanya upaya melawan dan membunuh aparat pemerintah, pemberontak
didukung kekuatan bersenjata serta pemberontak menguasai objek vital negara.
Adapun penjatuhan sanksi hukuman mati melalui pengadilan Mahkamah Militer
Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam pemberontakan
sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Hak Asasi Manusia.
Merujuk pada Pasal 4 Ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
Tahun 1966.
Pembimbing : 1. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A
2. Ali Mansur, M.A
Daftar Pustaka : 1972-2016.
vi
KATA PENGANTAR
لهلل ب ب ٱ لهلل س ب
ٱب هلل
ٱ ب س ب
Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa
alam Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, kurnia dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENUMPASAN
TERHADAP PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA”. Shalawat serta
salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan
umatnya dari kegelapan dunia ke zaman pencerahan ilmu pengetahuan seperti saat
sekarang ini.
Selama penulisan skripsi ini penulis menyadari banyak mengalami
kesulitan dan hambatan untuk mendapatkan data dari referensi dan narasumber.
Namun berkat kesungguhan hati dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga
kesulitan itu dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Selaku Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si, Selaku Ketua Program
Studi Perbandingan Mazhab dan Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc., M.A
selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab;
vii
4. Bapak Dr. Fuad Thohari, M.A, Selaku Dosen Penasihat Akademik
Penulis;
5. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A dan Ali Mansur, M.A selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran, dan
ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
6. Khusus kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis cintai dan
sayangi. Ayahanda Bambang Purwanto M.Sc dan ibunda Meike
Meiyanti B.Sc yang mendukung penuh segala upaya dan usaha yang
dilakukan oleh penulis selama menyelesaikan skripsi;
7. Kepada kakak penulis, Muhammad Aldi Purwanto dan Muhammad
Dhano Purwanto, terima kasih telah memberikan semangat dan
motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;
8. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag Ketua Program Studi Hukum
Pidana Islam dan dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah meluangkan waktunya kepada penulis
untuk melakukan wawancara guna menambah data skripsi penulis;
9. Bapak Muhammad Nurkhoiron, S.Sos., M.Si Komisioner Subkomisi
Pendidikan dan Penyuluhan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk melakukan
wawancara guna menambah data skripsi penulis;
10. Bapak Burhanuddin Zainuddin Rusdiman, yang telah meluangkan
waktunya kepada penulis untuk melakukan wawancara guna
menambah data skripsi penulis;
viii
11. Bapak Lukas Tumiso, yang telah meluangkan waktunya kepada
penulis untuk melakukan wawancara guna menambah data skripsi
penulis;
12. Kepada seluruh pengurus Himpunan Mahasiswa Program Studi
Perbandingan Mazhab periode 2015-2016 yang telah mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi;
13. Kepada teman-teman Mei Sei Kai Aikido Indonesia khususnya guru
Aikido saya Ichiro Shishiya, Dedy Tarmizi, Rista Liando Siahaya dan
Appgraid Purwanto serta teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan
namanya satu persatu yang telah memberikan semangat dan motivasi
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi;
14. Serta semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Sebagai akhir kata semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan
yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga apa yang telah kalian berikan menjadi berkah dan amal kebajikan serta
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 21 April 2017
MUHAMMAD ARYO PURWANTO
NIM: 1112043200003
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................... 8
C. Batasan dan Rumusan Masalah .................................... 9
1. Batasan Masalah ...................................................... 9
2. Rumusan Masalah .................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................... 10
1. Tujuan Penelitian ..................................................... 10
2. Manfaat Penelitian ................................................... 11
E. Tinjauan Pustaka .......................................................... 11
F. Metode Penelitian ......................................................... 13
1. Jenis Penelitian ........................................................ 13
2. Sumber Data ............................................................ 14
3. Teknik Pengumpulan Data ...................................... 14
4. Analisis Data ............................................................ 15
5. Teknik Penulisan Skripsi ......................................... 15
G. Sistematika Penulisan ................................................... 15
x
BAB II SEJARAH PERGOLAKAN PARTAI KOMUNIS
INDONESIA DAN KONFIGURASI POLITIK TAHUN 1966
A. Latar Belakang, Aksi, dan Operasi Penumpasan Partai
Komunis Indonesia ....................................................... 17
1. Pemberontakan 1926 ............................................... 19
2. Pemberontakan 1948 ............................................... 19
3. Pemilu 1955 ............................................................. 20
4. Pemberontakan 1965 (G 30 S/PKI) ........................ 22
B. Konfigurasi Politik Pada Saat Munculnya TAP MPRS No.
XXV/MPRS/1966 ........................................................ 27
C. Peran Mahkamah Militer Luar Biasa Dalam Mengadili Tokoh-
Tokoh G 30 S/PKI ........................................................ 31
BAB III HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Hukum Islam dan Prinsip Penegakan Hak Asasi Manusia
...................................................................................... 34
1. Pengertian Hukum Islam dan Fiqh Jinayah ............. 34
2. Asas-Asas Hukum Pidana Islam Sebagai Prinsip Penegakan
HAM ........................................................................ 35
B. Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan Hukum
...................................................................................... 38
1. Penerapan Asas Legalitas ........................................ 39
2. Hak-Hak Dasar Yang Harus Dihormati Dalam Penegakan
Hukum ..................................................................... 40
BAB IV PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI
MANUSIA TERHADAP PENUMPASAN PARTAI KOMUNIS
INDONESIA
A. Perspektif Hukum Islam Terhadap Penumpasan Partai
Komunis Indonesia ....................................................... 42
1. Definisi Jarimah Al-Baghyu .................................... 42
xi
2. Unsur-Unsur Jarimah Al-Baghyu ............................ 44
3. Sanksi Hukum Bagi Jarimah Al-Baghyu ................. 46
B. Perspektif Hak Asasi Manusia Terhadap Penumpasan Partai
Komunis Indonesia ....................................................... 51
1. Peran Komnas HAM Dalam Proses Rekonsiliasi Bangsa
Pasca Peristiwa G 30 S/PKI ..................................... 52
2. Eksistensi Mahkamah Militer Luar Biasa Dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia .................................................. 56
C. Pengakuan Eksekutor Perihal Penumpasannya Terhadap
Anggota/Simpatisan Partai Komunis Indonesia dan Dampak
Bagi Korban Yang Ditumpas ....................................... 58
1. Faktor Penyebab Pelaku Melakukan Penumpasan .. 58
2. Dampak Bagi Korban Penumpasan ......................... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................. 65
B. Saran ............................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penumpasan terhadap Partai Komunis Indonesia tidak terlepas dari
perjalanan sejarah Republik Indonesia. Kata history dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan sejarah,1 secara umum meliputi pengalaman masa lampau untuk
membantu mengetahui apa yang harus dikerjakan sekarang. Sejarah
menggambarkan secara kritis seluruh kebenaran kejadian atau fakta masa lampau.
Penumpasan terjadi dikarenakan dari sekumpulan orang yang tergabung dalam
partai bernama PKI yang menolak demokrasi dalam suatu negara yang
berdasarkan Pancasila. Pancasila terdiri dari dua kata dan berasal dari bahasa
Sanskerta, panca artinya “lima” dan sila artinya “dasar”.2
Secara harfiah, Pancasila memiliki pengertian “dasar yang memiliki lima
unsur.” Banyak ahli menyimpulkan bahwa Pancasila adalah cerminan dari
perjalanan budaya dan karakter bangsa Indonesia yang telah berlangsung selama
berabad-abad lampau. Dapat dibuktikan dengan banyaknya suku, budaya, agama,
dan ras di Indonesia. Proses perjalanan suatu bangsa yang besar pasti pernah
terjadi sebuah peristiwa yang dapat dijadikan pelajaran agar peristiwa tersebut
dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya secara komprehensif dan akademis.3
1John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002), Cet. Ke-26, h. 299.
2A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat (Jakarta:
Penerbit Kencana, 2014), Cet. Ke-11, h. 35.
3A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat h. 36.
2
Dalam sejarah, munculnya Pancasila tidak bisa dilepaskan dari situasi
perjuangan bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan. Adanya keinginan yang
kuat untuk lepas dari belenggu penjajahan asing serta ajaran ideologi blok barat
dan blok timur pada saat itu, yakni ideologi liberalisme dan komunisme. Maka
para pendiri bangsa antara lain Soekarno, Soepomo, dan Muhammad Yamin,
dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai dari negaranya sendiri yang akan
dijadikan panduan dan dasar bagi Indonesia merdeka. Panduan dan dasar negara
Indonesia mestilah bukan meminjam dari unsur-unsur asing yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan jati diri bangsa, tetapi harus digali dari rahim
kebudayaan Indonesia sendiri. Tanpa nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di
tanah kelahirannya, akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita
kemerdekaannya. Suasana kebatinan ingin lepas dari dua kungkungan inilah
Pancasila seyogyanya diposisikan, sehingga keinginan-keinginan sebagian pihak
hendak membawa Indonesia ke arah tatanan demokrasi liberal maupun sosialisme
dapat diingatkan kembali pada konteks sejarah lahirnya Pancasila.4
Pasca kemerdekaan bukan ideologi liberalisme yang dapat mempengaruhi
Indonesia, tetapi ideologi komunis. Terbukti mulai tahun 1960 Tiongkok dan
Indonesia merupakan rekan dekat dalam dunia pasca kolonial. Kedekatan antara
kedua negara itu ditambah oleh sikap PKI yang memilih untuk berpihak ke
Beijing dalam pertentangan Tiongkok-Uni Soviet. Kunjungan tingkat tinggi,
pertukaran budaya, pendidikan, dan kerja sama ekonomi antara kedua negara
mencapai klimaksnya pada tahun 1964-1965. Dalam HUT RI yang terakhir
4A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat h. 37.
3
sebelum G 30 S/PKI terjadi, Presiden Soekarno mendeklarasikan terbentuknya
sebuah poros anti imperialis yaitu poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-
Pyongyang.5
Pada kenyataanya ideologi komunis yang sempat tumbuh di Indonesia
tidak membawa perubahan positif terhadap perkembangan bangsa serta nasional,
hal ini terbukti dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan
oleh masyarakat yang mengaku dirinya menganut paham tersebut. Pemberontakan
Madiun pada tahun 1948 dan Peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 atau
yang lebih dikenal dengan G 30 S/PKI menjadi bukti bahwa ideologi komunis
bertentangan dengan dasar negara yakni Pancasila. Begitu pemberontakan PKI
Madiun tahun 1948 gagal, pengikut PKI langsung mengadakan evaluasi. Mengapa
sampai gagal? Faktor apa saja yang menjadi penyebab utama kegagalan?
Bagaimana cara mengatasinya? Lalu PKI bangkit lagi pada tahun 1965 dengan
menunggu rentan waktu yang cukup lama. Serangkaian peristiwa itulah yang
menyebabkan terjadinya penumpasan terhadap unsur-unsur komunis yang terlibat
pemberontakan.6
Musyawarah alim ulama seluruh Indonesia (8-11 September 1957) di
Palembang menelurkan berberapa rumusan tentang komunisme. Rumusan itu
antara lain memandang komunisme sebagai faham anti Tuhan atau Atheis.
Ditinjau dari sudut tata negara, komunis sejati anti demokrasi karena ingin
5Aiko Kurasawa dan Matsumura Toshio, G 30 S dan Asia (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2016), Cet. Ke-I, h. 8.
6Anton Tabah, Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G 30 S/PKI (Klaten: Penerbit
Sahabat, 2014), Cet. Ke-V, Ed. Revisi, h. 67.
4
membangun pemerintahan diktator yang proletarian. Dari sisi ekonomi, komunis
menolak adanya hak – hak individu yang jelas bertentangan dengan syariat Islam.
Di samping itu, mereka mempertentangkan klas-klas dalam masyarakat. Mereka
juga menghalalkan segala cara dalam menjalankan politiknya. Rumusan penting
lainnya bahwa komunis merupakan ideologi kufur di mana haram bagi umat
beragama menganut faham tersebut. Apabila ada seorang Islam secara sadar
menganut faham itu, maka dia menjadi kafir.7
Namun, walaupun ideologi tersebut dianggap kufur. Beberapa anggota dari
Partai Komunis Indonesia juga muslim. Karena dalam Al-Qur‟an dijelaskan
mengenai definisi kafir itu sendiri seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 29 yang
berbunyi:
ـق وفق ل و للهلنيو ىوارا ٱحل للظ ىوا ل جودحل عحلو إلنا أ رحل ؿق اءو ؾولحليوكحل و شو نلو ونو اءو ؾولحليقؤحل و شو فوهو محل لكق ب نلو ر
اءء و لهو ا ا ااق ؼو ا ق ا جوؼلييق و حل إو ا و اال ق و لمحل ق ل ااو و
وحل ل أ هق
حل لي ل وشحل وو ق ق حل لئحلسو ل ااق و للقا توؿو رحل اءوتحل مق )١٨:٢٩/الكؽ( ٢٩ وسو
Artinya: “Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jikan mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air
seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang palik jelek”.
(QS.18 (Al-Kahfi) : 29)
Pada tahun 1965-1966 politik Indonesia pada masa itu sangat kompleks.
Menjelang tragedi Gerakan 30 September, konflik Partai Komunis Indonesia dan
7Anton Tabah, Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G 30 S/PKI , h. 96.
5
partai politik lain memanas. PKI, yang merasa di atas angin, menekan penduduk
yang tidak sealiran. Ketika keadaan berbalik, luapan pembalasan tak terkendali.
Pembunuhan direstui oleh sesepuh masyarakat dan tokoh agama. Bahkan
masyarakat yang tidak terindikasi memiliki hubungan secara langsung dalam
peristiwa G 30 S/PKI turut menjadi korban dari amukan massa.8
Di sisi lain, banyak tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia yang diadili
melalui sidang Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang sudah ada sejak
tahun 1963 melalui Penpres. No. 16 Tahun 1963. Berdirinya Mahmilub tidak
terlepas dari catatan sejarah Indonesia pada kurun waktu 1950-1965 yang banyak
terjadi pemberontakan pada NKRI seperti, DI/TII, PRRI/PERMESTA, RMS, PKI
dan pemberontakan lainnya. Sehingga kasus pertama yang ditangani lembaga ini
adalah perkara Dr. Soumokil dengan Republik Maluku Selatan-nya beradasarkan
Putusan Mahmilub No.1, 25 April 1964.9 Beberapa nama pimpinan PKI seperti
Syam Kamaruzzaman, Let. Kol. Untung, Njoto, Sudisman, Abdul Latif,
mendapatkan hukuman seumur hidup s/d hukuman mati melalui sidang
Mahmilub.10
Selain sidang Mahmilub, dampak dari peristiwa G 30 S/PKI langsung
menyebar ke seluruh daerah khususnya di Jawa Timur, amukan massa tak
terkendali sehingga pembunuhan massal terjadi. Reaksi anggota Ansor dari
8 Kurniawan et al, Pengakuan Algojo 1965 (Jakarta: PT Temprint, 2014) , Cet. Ke-6, h. 2.
9 Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30S/PKI di
Indonesia (Jakarta: Penerbit Intermasa, 1990) Cet. Ke-2, h.73.
10
Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2014), Cet. Ke-
2, h. 106.
6
Pesantren Lirboyo yang berjumlah 200 orang semuanya memakai pakaian hitam.
Kali ini kelompok tersebut memergoki tukang becak dengan seorang penumpang
wanita yang diketahui anggota PKI. Anggota Ansor mengejar dan menangkapnya.
Situasi dan kondisi tersebut tergambar dalam kalimat sebagai berikut “Kami
tangkap, kami celurit dan kami bunuh”. Mayatnya dibuang ke Sungai Brantas,
penumpang becak itu adalah korban pembantaian Gestapu pertama di kota Kediri.
Lalu disusul oleh aksi-aksi pembunuhan massal yang terjadi setelah peristiwa
itu.11
Oleh karena itu peristiwa politik yang sudah mengarah pada tindakan
barbar dan bahkan pembunuhan massal antara tahun 1965-1966 penting untuk
diungkap. Mengingat lebih baik daripada melupakan. Memang dibutuhkan
kesiapan mental bagi elemen institusi dan masyarakat untuk menyadari kesalahan
dan saling memaafkan. Banyak pihak yang menyerukan bahwa proses rekonsiliasi
harus terus didengungkan baik oleh pemerintah maupun oleh kedua belah pihak,
baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. 12
Peristiwa G 30 S/PKI hingga terjadi penumpasannya tidak terlepas dari
isu-isu tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak-
hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat
hidup.13
Salah satu isu kebebasan dan kemunculan HAM dengan usulan
11
Hermawan Sulistyo, Palu Arit Di Ladang Tebu, “Sejarah Pembantaian Massal
yang terlupakan”, Jombang-Kediri 1965-1965 (Jakarta: Pensil-324, 2011), Cet. Ke-1, h. 184.
12
Kurniawan et al, Pengakuan Algojo 1965, h. 4.
13
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat , h.
148.
7
dihapuskannya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran dan
larangan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme di Indonesia. Orang yang
mengusulkan itu punya alasan karena di Amerika dan Eropa tak ada satu negara
pun yang melarang komunisme, lalu dikaitkan dengan masalah HAM.14
Hal di atas jika di perhatikan lebih dalam melalui pendekatan hak asasi
manusia terdapat unsur lain yakni menyangkut dengan masalah pelanggaran dan
pengadilan HAM. Secara jelas Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM mendefinisikan hal tersebut. Pelanggaran hak asasi manusia
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, mencabut hak asasi manusia seseorang
atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang.15
Secara garis besar, perkembangan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia
setelah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 yang pada pokoknya
generasi pertama ini hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Dampak
Perang Dunia II sangat mewarnai pemikiran generasi ini, di mana totaliterisme
dan munculnya keinginan negara – negara yang baru merdeka untuk menciptakan
tertib hukum yang baru sangat kuat. Seperangkat hukum yang disepakati sangat
sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak menjadi
14
Anton Tabah, Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G 30 S/PKI, h. 29.
15
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani, h. 162.
8
budak, hak untuk tidak disiksa dan ditahan, dan kehidupan budaya juga mewarnai
pemikiran HAM generasi pertama ini.16
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian hukum dengan judul “PENUMPASAN TERHADAP
PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dipetik berberapa
permasalahan yang berhubungan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada
peristiwa – peristiwa penumpasan PKI, yang dalam perkembangannya di dalam
kurun waktu ini dituntut untuk diselesaikan oleh pemerintah dan tokoh-tokoh
agama karena menyangkut tanggung jawab negara secara moral, sosial, dan juga
agama.
Dari berbagai latar belakang berfikir tersebut ternyata terdapat berberapa
masalah yang muncul, yaitu :
1. Terjadinya peristiwa G 30 S/PKI yang menjadi puncak dari aksi-aksi
sepihak yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia terhadap
sekelompok masyarakat yang anti komunis. Sehingga banyak dan
maraknya aksi-aksi pembalasan yang berujung pada penumpasan terhadap
PKI terjadi di daerah dan asas praduga tidak bersalah yang diabaikan oleh
masyarakat diakibatkan situasi yang tidak stabil.
16
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani
, h. 152.
9
2. Melalui sidang Mahkamah Militer Luar Biasa, beberapa tokoh-tokoh
pimpinan PKI dihukum dengan kurun waktu seumur hidup s/d hukuman
mati.
3. Paham komunis dan gerakan makar tidak sesuai dengan ajaran agama
Islam. Dikarenakan paham tersebut tidak megenal adanya tuhan dan
mengabaikan hari akhir dan akan dikenakan sanksi yang tegas terhadap
perbuatan makar melawan pemerintah.
4. Banyak diantara anggota/simpatisan yang tertuduh berafiliasi kepada
Partai Komunis Indonesia yang tidak terlibat langsung dalam upaya-upaya
pemberontakan turut menjadi korban penumpasan.
5. TAP MPRS/XXV/1966 dianggap oleh berberapa pihak merupakan bentuk
dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Maka banyak pihak
yang merasa peraturan tersebut dipertimbangkan kembali dalam
pelaksanaannya.
6. Proses rekonsiliasi belum sepenuhnya dikehendaki oleh kedua belah pihak
hingga sekarang, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi pemahaman
akan peristiwa sejarah masa lalu mengenai siapa yang benar dan siapa
yang bersalah.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang penulis singgung dalam
identifikasi masalah di atas, maka dalam pembatasan masalah ini penulis perlu
membatasi pada pembahasan terkait dengan tahun terjadinya penumpasan, yakni
10
hanya pasca peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 dan acuan deklarasi HAM yang
dipakai dalam penelitian ini hanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948.
2. Rumusan Masalah
Agar penulisan berjalan secara sistematis, maka perlu dibuat perumusan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana perspektif Hukum Islam terhadap penumpasan Partai
Komunis Indonesia?
b. Bagaimana perspektif Hak Asasi Manusia terhadap penumpasan Partai
Komunis Indonesia?
c. Bagaimana pengakuan eksekutor perihal penumpasannya terhadap
anggota/simpatisan Partai Komunis Indonesia dan dampak bagi korban
yang ditumpas?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok penelitian di atas, maka tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bagaimana perspektif Hukum Islam terhadap
penumpasan Partai Komunis Indonesia.
b. Untuk mengetahui bagaimana perspektif Hak Asasi Manusia terhadap
penumpasan Partai Komunis Indonesia.
c. Untuk mengetahui apa faktor penyebab pelaku melakukan penumpasan
terhadap anggota/simpatisan Partai Komunis Indonesia dan dampak apa
yang dialami bagi korban yang ditumpas.
11
2. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan sumbangsih
positif dan manfaat dalam segi akademis dan praktis yaitu :
a. Secara Akademis
Dapat menjadi aspek pendukung dalam pengembangan ilmu yang
berkaitan dengan hukum Islam dan Hak Asasi Manusia. Agar penelitian
ini dapat menjadi bahan pendukung kepada seluruh kalangan akademisi
mahasiswa, dosen, atau bahkan dari kalangan aktivis penggiat HAM
agar dapat melihat dari sudut pandangan yang berbeda terkait dengan
peristiwa sejarah masa lalu.
b. Secara Praktis
Memberikan informasi kepada seluruh stakeholder atau para pemangku
kebijakan sekaligus seluruh akademisi secara luas mengenai
penumpasan terhadap anggota/simpatisan PKI dalam perspektif hukum
Islam dan HAM.
E. Tinjauan Pustaka
Review atau kajian terdahulu ini akan memaparkan berberapa penelitian
yang sudah dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian
lainnya yang pernah membahas atau berkaitan dengan penumpasan Partai
Komunis Indonesia yaitu :
1. Skripsi dengan judul “Genosida Menurut Hukum Islam dan Hukum
Humaniter Internasional” oleh Rokhiyatun, NIM 03360240, Jurusan
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
12
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007. Skripsi ini menjelaskan
bagaimana pandangan Hukum Islam dan HAM terkait dengan Genosida
(pembunuhan massal).
2. Skripsi dengan judul “Peran Soeharto Dalam Peristiwa G 30 S/PKI”
oleh Abdul Ghofur, NIM 103033227773, Jurusan Ilmu Politik, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010. Skripsi ini menjelaskan bagaimana peran
Soeharto dalam peristiwa G 30 S/PKI dalam analisis ilmu politik dan
sosial.
3. Buku dengan judul “Pengakuan Algojo 1965” oleh Tempo Publishing.
Menjelaskan perihal investigasi yang dilakukan oleh para wartawan
Tempo terkait dengan pembantaian yang melibatkan tokoh dan
masyarakat pada tahun 1965 – 1966. Dari hasil investigasi yang didapat
oleh tim laporan khusus 1965 majalah Tempo, edisi 1-7 Oktober 2012
banyak pengakuan dari para eksekutor dalam menjalankan misi
penumpasannya.
4. Buku dengan judul “Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G 30
S/PKI” oleh Anton Tabah. Buku ini menjelaskan bagaimana dampak
yang dirasakan oleh Jend. AH. Nasution selaku target dari pemberontak
yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” dan bagaimana
pandangan masyarakat Indonesia kala itu terhadap kekejaman dan
kebiadaban PKI.
13
5. Buku dengan judul “Palu Arit di Ladang Tebu” oleh Hermawan
Sulistyo. Buku ini menjelaskan bagaimana pandangan penulis tentang
rentetan pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 1965-1966
khususnya yang terjadi di daerah Jombang-Kediri. Dilengkapi dengan
fakta-fakta sejarah yang telah dianalisis secara akademik.
6. Jurnal dengan judul “The PKI and the Attempted Coup”.Journal of
Southeast Asian Studies, Vol 1, No.1, Maret 1970. Oleh Jerome R.
Bass. Jurnal ini menjelaskan tentang kronologis pembunuhan enam
perwira militer yang bernasib sama dengan pimpinan Partai Komunis
Indonesia, lalu tidak lama setelah peristiwa G 30 S/PKI meletus.
Berberapa dari anggota PKI yang masih hidup terbagi menjadi dua
kubu, ada yang pro Peking dan pro Moskow.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian
riset pustaka (library research) pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian
hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas.17
Yang dimaksud dengan hukum yaitu hukum Islam (fiqh) yang
bersumber dari Al-Qur‟an dan Al-Hadits dan hukum yang berkaitan dengan Hak
17
Amiruddin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-1, h. 118.
14
Asasi Manusia yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Al-Hadits serta peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya akan diinterpretasikan oleh para pihak yang
memiliki kompetensi yang sesuai dengan objek penelitian sehingga muncul
beberapa pendapat dengan berbagai persamaan dan perbedaan. Yang menjadi
objek penelitian pustaka ini adalah penumpasan terhadap pemberontakan Partai
Komunis Indonesia dalam perspektif hukum Islam dan Hak Asasi Manusia.
2. Sumber Data
a. Sumber data primer, yaitu sumber yang berhubungan langsung dengan
objek penelitian seperti: Al-Tasyri‟ Al-Jinai Al-Islami karya Abdul Qadir
Audah, Subul Al-Salim karya Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Fiqh
Jinayah karya Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag dan Masyrofah, Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, TAP MPRS No XXV/MPRS/1966
Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan Undang-Undang Nomor
26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber yang dapat menguatkan data-data
primer dalam hal ini: Al- Qur‟an, Al- Hadits, buku, jurnal, ensiklopedia
yang berkaitan dengan objek penelitian dan dapat dipertanggung-
jawabkan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan
dengan data-data kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang
terkait serta memiliki relevansi dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah dokumentasi, yaitu bahan-bahan yang telah tersusun
baik berupa buku maupun jurnal yang memiliki kaitan dengan pembahasan judul.
15
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu menganalisis
data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat, dan konsep para
tokoh dan ulama, serta analisis hukum yang bersifat komperehensif yaitu
menggambarkan tentang penumpasan terhadap pemberontakan PKI dalam
perspektif hukum Islam dan Hak Asasi Manusia.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan
menjadi berberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut :
BAB I Berisi tentang pendahuluan yang menjelaskan tentang Latar
Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Berisi tentang Sejarah Pergolakan Partai Komunis Indonesia dan
Konfigurasi Politik Tahun 1966 yang meliputi Latar Belakang,
Aksi, dan Operasi Penumpasan Partai Komunis Indonesia,
Konfigurasi Politik Pada Saat Munculnya TAP MPRS No.
XXV/1966, dan Peran Mahkamah Militer Luar Biasa Dalam
Mengadili Tokoh-Tokoh G 30 S/PKI.
16
BAB III Berisi tentang Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia yang
meliputi Hukum Islam dan Prinsip Penegakan Hak Asasi
Manusia, dan Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan
Hukum.
BAB IV Berisi tentang Perspektif Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
Terhadap Penumpasan Partai Komunis Indonesia yang meliputi
Perspektif Hukum Islam Terhadap Penumpasan Partai Komunis
Indonesia, Perspektif Hak Asasi Manusia Terhadap Penumpasan
Partai Komunis Indonesia, dan Pengakuan Eksekutor Perihal
Penumpasannya Terhadap Anggota/Simpatisan Partai Komunis
Indonesia dan Dampak Bagi Korban Yang Ditumpas.
BAB V Berisi tentang Penutup yang meliputi Kesimpulan dan Saran.
17
BAB II
SEJARAH PERGOLAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN
KONFIGURASI POLITIK TAHUN 1966
A. Latar Belakang, Aksi, dan Operasi Penumpasan Partai Komunis Indonesia
Pada tahun 1913, menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang
berhaluan Marxis berkebangsaan Belanda bernama Hendricus Josephus
Fransiscus Marie Sneevliet tiba di Hindia Belanda. Sneevliet sebelumnya
memimpin organisasi buruh angkutan dan anggota Sociaal Democratische
Arbeiders Partij (SDAP) di Belanda. Sesampainya di Hindia Belanda, ia bekerja
sebagai staf redaksi warta perdagangan Soerabajasche Handelsblad, kemudian ia
bekerja sebagai sekretaris pada Semrangsche Handels Vereniging. Pada saat itu di
Semarang telah terdapat organisasi buruh kereta api, Vereniging van Spooren
Tramsweg Personeel (VSTP).1
Sneevliet berhasil membawa organisasi VSTP ke arah yang radikal dalam
penyebarluasan ajaran Marxisme. Selanjutnya, pada tahun 1914 bersama J.A
Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi Marxis yang
pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische
Vereniging (ISDV). ISDV juga menerbitkan surat kabar, yakni Soeara Mardika
dan Soeara Rakjat. Sneevliet menyadari adanya hambatan bagi ISDV untuk
menanamkan ajaran Marxisme di Hindia Belanda. Untuk itu Sneevliet
memanfaatkan organisasi Sarekat Islam dengan memasukkan anggota ISDV
1 Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September PKI, Latar Belakang,
Aksi, dan Penumpasannya, (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 1994), Cet. Ke-2, h. 7.
18
menjadi anggota SI, dan sebaliknya anggota anggota SI dibolehkan menjadi
anggota ISDV dengan sistem “keanggotaan rangkap”. Beberapa tokoh muda SI
menjadi anggota ISDV, diantaranya Semaoen yang pada tahun 1917 menjadi
pimpinan SI cabang Semarang dan Darsono seorang wartawan Soeara Rakjat
yang menjadi anggota SI. 2
Desember 1920, Partai Komunis Indonesia menggelar konvensi di markas
Sarekat Islam, di Semarang, Jawa Tengah. Enam bulan sebelumnya, organisasi
sayap kiri itu baru saja berganti nama dari Indische Sociaal Democratische
Vereeniging (ISDV). Dikarenakan banyak dari para pengurusnya yang
berkebangsaan Belanda, para aktivis partai itu memutuskan berganti nama. Para
pengurus yang berkebangsaan Belanda diusir, termasuk pendiri ISDV Hendricus
Josephus Fransiscus Marie Sneevliet. Selain itu, nama „Partai Komunis Indonesia‟
dinilai lebih mencerminkan prinsip perjuangan partai itu. Agenda utama konvensi
Desember 1920 itu adalah memutuskan satu soal penting: bergabung tidaknya
PKI dengan Komunis Internasional (Komintern). Ribuan anggota dan simpatisan
PKI hadir, bahkan salah satu anggota partai telah membuat desain batik palu arit.3
Setelah Sneevliet, Semaoen dan Darsono, dua tokoh pionir pendiri PKI salah satu
partai komunis pertama di Asia.4
Dalam menyebarluaskan ideologi komunis, tidak jarang Partai Komunis
Indonesia berbenturan dengan kelompok masyarakat yang tidak sealiran
2 Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September PKI, Latar Belakang,
Aksi, dan Penumpasannya, h. 8.
3 Wahyu Dhyatmika, Seri Buku Tempo, Musso Si Merah di Simpang Republik, (Jakarta:
PT Gramedia, 2011) Cet. Ke-1. h.14.
4 Wahyu Dhyatmika, Seri Buku Tempo, Musso Si Merah di Simpang Republik , h. 16.
19
dengannya. Hal inilah yang menjadi faktor penyebab terjadinya pemberontakan-
pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dalam konteks
sejarah nasional, berikut sejarah pergolakan Partai Komunis Indonesia dari tahun
1926 sampai dengan tahun 1965:
1. Pemberontakan 1926
Setelah PKI merasa bahwa pengaruhnya dalam tubuh Sarekat Islam cukup
besar, maka PKI mulai memanfaatkan pengaruhnya untuk menggerakkan massa
rakyat, dengan menggunakan bendera SI untuk melakukan pergolakkan fisik
melawan pemerintah Hindia Belanda. Sebab tujuan perjuangan SI adalah
mengusir penjajah Belanda, sedangkan tujuan perjuangan PKI adalah
mewujudkan masyarakat komunis di Indonesia. Upaya PKI tersebut berhasil
mencetuskan pergolakan rakyat di beberapa tempat, yaitu pada tanggal 12-14
November 1926 di Karesidenan Jakarta, tanggal 12 November - 5 Desember 1926
di Banten, tanggal 12-18 November 1926 di Priangan, tanggal 17-23 November
1926 di Surakarta, tanggal 12 November – 15 Desember 1926 di Kediri, dan
tanggal 1 Januari – akhir Februari 1927 di Silungkang, Sumatera Barat.
Pergolakan pun gagal, banyak tokoh komunis dan nasionalis ditangkap dan
dipenjarakan, bahkan ada yang dibuang ke Digul, Tanah Merah, Irian Jaya. Tetapi
tokoh komunis Alimin dan Musso berhasil melarikan diri ke luar negeri.5
2. Pemberontakan 1948
Kota Madiun, Jawa Timur pada 18 September 1948 mencekam hingga
sudut-sudut kota. Pasukan Soemarsono menguasai semua gedung vital dan kantor
5 Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September PKI, Latar Belakang,
Aksi, dan Penumpasannya, h. 14.
20
pemerintahan. Soemarsono mantan Ketua Badan Kongres Pemuda Republik
Indonesia, juga bekas pemimpin Pemuda Sosialis Indonesia menyatakan, gerakan
itu upaya membela diri. Maraknya penculikan terhadap tokoh Partai Komunis
Indonesia di Yogyakarta dan Solo telah menjalar ke Madiun.6
Dua hari sebelum peristiwa itu, Soemarsono bertemu dengan Musso dan
Amir Sjarifoeddin di Kediri untuk melaporkan kondisi Madiun yang semakin
genting. Kemudian selang berberapa hari, Soekarno mengatakan telah terjadi
upaya kudeta oleh PKI di Madiun. Dia memberikan dua pilihan kepada rakyat:
ikut Musso dengan PKI atau ikut Sukarno-Hatta. “Negara kita mau dihancurkan.
Mari basmi bersama pengacau-pengacau itu,” Soekarno berseru. Hanya berselang
tiga jam, melalui Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno.
Musso menyatakan Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis
Amerika. “Oleh Karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan
melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu,” katanya. 7
Upaya pemberontakan mengalami kebuntuan pada akhir Oktober 1948,
cerita Musso pun berakhir. Dia ditembak mati tentara pemburunya di Ponorogo,
Jawa Timur. Setelah gerakan Madiun, ribuan anggota Partai Komunis Indonesia
ditangkap dan dibui serta banyak dari elitenya dieksekusi mati.8
3. Pemilu 1955
Pemilihan Umum tahun 1955, yang merupakan pemilu pertama dalam
sejarah Republik Indonesia. Pemilu 1955 dimaksudkan untuk memilih wakil-
6 Wahyu Dhyatmika, Seri Buku Tempo, Musso Si Merah di Simpang Republik ,h. 94.
7 Wahyu Dhyatmika, Seri Buku Tempo, Musso Si Merah di Simpang Republik ,h. 97.
8 Wahyu Dhyatmika, Seri Buku Tempo, Musso Si Merah di Simpang Republik ,h. 101.
21
wakil rakyat untuk duduk di DPR dan di Konstituante. Menurut Badruzzaman
Busyairi, dasar hukum penyelenggaraan pemilu 1955 adalah UUDS 1950,
khususnya Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 35.9 Pemilu 1955 menghasilkan “empat
besar”, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI.10
Tidak ada kontestan yang mampu
meraih kemenangan dengan mutlak secara mayoritas. Perolehan suara empat
besar dalam pemilu 1955 adalah sebagai berikut:
a) PNI (8.434.653) atau 22,3 %
b) Masyumi (7.903.886) atau 20,9 %
c) NU (6.955.141) atau 18,4 %
d) PKI (6.176.914) atau 16,4 %
e) Lain-lain (8.314.705) atau 22,0 %
Hasil Pemilu 1955 menunjukan bahwa meskipun mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam (88%), tidak semua penduduk menyalurkan aspirasi
politiknya kepada partai atau golongan Islam. Pada pemilu ini, partai dan
kelompok Islam hanya memperoleh 116 kursi (45,2%) dari 257 kursi perlemen
yang diperebutkan. Inilah yang menjadi titik balik kebangkitan Partai Komunis
Indonesia pasca peristiwa pemberontakan Madiun 1948 dalam kancah
perpolitikan di Indonesia.11
9 Badruzzaman Busyairi, Boerhanuddin Harahap: Pilar Demokrasi, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1989), Cet. Ke-1, h. 87.
10
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1992), Cet, Ke-1, h.74.
11
Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia :“Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”, (Jakarta: INIS, 1993), Cet. Ke-1, h. 30.
22
4. Pemberontakan 1965 (G 30 S/PKI)
Pada pukul 07.20 pagi, tanggal 1 Oktober 1965 melalui RRI, Letkol.
Untung mengeluarkan sebuah pengumuman tentang Gerakan 30 September.
Untung menyatakan, bahwa gerakan yang dipimpinnya itu ditujukkan kepada para
jenderal, yang disebut “Dewan Jenderal”, yang bermaksud jahat terhadap
Republik Indonesia dan Presiden Soekarno. Sedangkan, istilah Dewan Jenderal
pertama kali dikemukakan oleh Dipa Nusantara Aidit, yang akhirnya dibantah
oleh Panglima Angkatan Darat Letjen. Ahmad Yani yang menuturkan secara
langsung dihadapan Presiden Soekarno.12
Aksi pertama G 30 S/PKI muncul dalam bentuk penculikan. Sejumlah
jenderal diculik dari kediamannya dan ada pula yang dibunuh langsung di tempat
lalu dibawa ke Desa Lubang Buaya, Kecamatan Pondok Gede, Kabupaten
Bekasi.13
Dalam sejarah diketahui bahwa tujuh perwira Angkatan Darat termasuk
Menteri / Panglima Angkatan Darat dan satu Inspektur Polisi yang turut menjadi
korban penculikan dan pembunuhan yaitu: Jenderal. Ahmad Yani, Letjen. M.T.
Haryono, Letjen. S. Parman, Letjen. R. Soeprapto, Mayjen. Soetojo
Siswomihardjo, Mayjen. D.I. Pandjaitan, Lettu. Pierre Tendean, Ajun Inspektur
Polisi. Karel Sasuit Tubun. Letnan Satu Dul Arief, merupakan salah satu
pemimpin kesatuan tentara yang menculik para jenderal. Nasib para penculik
kurang beruntung, sebab sasaran utama mereka, Jenderal A.H Nasution berhasil
12
G. Dwipayana dan Ramadhan K. H., Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan
Saya, (Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), Cet. Ke-2, h. 117.
13
Sebelum pemekaran Daerah Khusus Ibu Kota, Desa Lubang Buaya, Kecamatan Pondok
Gede masih termasuk di salah satu Kecamatan Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
23
meloloskan diri. Sebaliknya, mereka malah “mengambil” Lettu Pierre Tendean,
ajudan Nasution yang mereka sangka adalah sang Jenderal.14
Dalam buku Dari
Gestapu Ke Reformasi, 2014, Salim Said menulis:
“G 30 S/PKI menyegarkan kita pada tradisi daulat, mendaulat, dan
pendaulatan yang pada zaman Revolusi sering muncul dalam bentuk
penculikan. Yang paling mencolok tentu saja penculikan Sukarno dan
Hatta oleh para pemuda Jakarta menjelang Proklamasi 1945. Kedua,
pemimpin Indonesia itu digiring dengan “setengah dipaksa” oleh para
pemuda ke Rengas Dengklok (Jawa Barat) untuk didaulat mengumumkan
kemerdekaan Indonesia secepat mungkin. Yang ingin saya tekankan
sehubungan dengan cerita culik-menculik tersebut adalah kegiatan culik
sebagai modus penting dalam perubahan elite di sebuah zaman ketika
aturan main yang ada terutama adalah aturan main revolusi”.15
Akibat terjadinya kekosongan pimpinan Angkatan Darat yang menjadi
korban dari G 30 S/PKI, dalam rapat di Markas Kostrad pada tanggal 1 Oktober
disepakati Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto memegang jabatan Pimpinan
Sementara Angkatan Darat. Keputusan rapat tersebut sesuai dengan petunjuk dari
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, yang menyebutkan
apabila Panglima Angkatan Darat berhalangan, perwira tinggi yang mewakilinya
ialah Deputi I/Pangad Mayjen TNI Moersjid atau Panglima Kostrad Mayjen TNI
Soeharto.16
14
Hermawan Sulistyo, Palu Arit Di Ladang Tebu, “Sejarah Pembantaian Massal
yang terlupakan”, Jombang-Kediri 1965-1965, h. 2.
15
Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, h. 77.
16
Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando,
(Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009), Cet. Ke-5. h.109.
24
Selaku Panglima Kostrad, Soeharto dapat menyimpulkan bahwa Letkol.
Untung lah yang ada di balik peristiwa Gerakan 30 September. Karena sewaktu
Soeharto menjadi Komandan Resimen Batalyon 444 Resimen XV Solo, Letkol.
Untung berpangkat komandan kompi. Di situlah Soeharto mulai mengenal
Untung. Menurut Soeharto bahwa di masa revolusi Letkol. Untung adalah seorang
tentara yang dibina dan dididik menjadi kader komunis oleh tokoh PKI yang
bernama Alimin.17
Menurut Letkol. Untung, G 30 S/PKI bermaksud untuk menyelamatkan
Presiden. Lebih jauh Letkol. Untung mengumumkan bahwa sebagai tindak lanjut
dari gerakannya, maka akan dibentuk suatu “Dewan Revolusi Indonesia” dan
disusul oleh “Dewan Revolusi Daerah”. Lalu pada siang hari tanggal 1 Oktober
1965 melalui RRI Letkol. Untung mengumumkan Dekrit No. 1 Gerakan 30
September, yaitu tentang pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Dalam dekrit
tersebut dikatakan bahwa Dewan Revolusi merupakan sumber dari segala
kekuasaan negara. 18
Gerakan 30 September merupakan suatu kudeta oleh PKI yang sudah
direncanakan 5 tahun sebelumnya. Dimulai dari kemenangan terbesar PKI di
parlemen dengan lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria. Dari Undang-Undang tersebut, PKI mencetuskan program land
reform. Wilayah konflik yang sensitif dalam program-program land reform adalah
tanah yang dimiliki oleh kiyai. Banyak kiyai adalah tuan tanah yang kaya, dan
17
G. Dwipayana dan Nazaruddin Sjamsuddin, Jejak Langkah Pak Harto, 1 Oktober
1965-27 Maret 1968, (Jakarta: PT Citra Kharisma Bunda, 2003), Cet. Ke-3, h. 5.
18
G. Dwipayana dan Nazaruddin Sjamsuddin, Jejak Langkah Pak Harto, 1 Oktober
1965-27 Maret 1968, h. 6.
25
tanah merupakan aset pesantren. Anggota PKI yang tergabung dalam BTI
mengincar tanah-tanah milik kiyai, selain tanah negara, untuk dibagikan kepada
orang miskin. Para kiyai, selain sebagai tokoh agama yang disegani, juga tuan
tanah.19
PKI secara terbuka juga mengelompokkan para kiyai dan pemilik tanah
sebagai “Tujuh Setan Desa” yang harus diburu dan dibasmi. Selain mengusung
semboyan “tanah untuk rakyat”, kader-kader PKI pintar menggaet pengikut
dengan menggelar ludruk memakai judul mencolok: “Tuhan Sudah Mati” atau
“Gusti Allah Mantu”.20
Di samping itu, PKI juga melakukan apa yang dikenal sebagai aksi-aksi
sepihak di daerah-daerah. Misalnya penyerangan terhadap umat Islam di Kediri
oleh anggota-anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) dan Pemuda Rakyat, yang
dikenal dengan peristiwa Kanigoro. Contoh lainnya adalah Peristiwa Bandar
Betsy21
di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, yang menewaskan Peltu. Sudjono.22
Setelah tragedi politik 1965, Mayjen TNI Soeharto memerintahkan
Kolonel Sarwo Edhie untuk segera memimpin operasi penumpasan PKI. Selain
itu, Soeharto juga membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
19
Hermawan Sulistyo, Palu Arit Di Ladang Tebu, “Sejarah Pembantaian Massal
yang terlupakan”, Jombang-Kediri 1965-1965, h. 158.
20
Kurniawan et al, Pengakuan Algojo 1965, h. 23.
21
Aksi yang terjadi tepatnya di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, dimana massa
BTI secara liar menyerobot tanah perkebunan milik Perusahaan Perkebunan Negara antara lain
dengan menanam pohon pisang. Untuk membersihkan tanaman tersebut, pihak perkebunan
menggunakan traktor, ketika traktor mogok dan terbenam. Peltu. Soedjono, petugas di PPN yang
berusaha menarik keluar traktor, diserang dan dikeroyok oleh anggota BTI dan Pemuda Rakjat
hingga tewas.
22
G. Dwipayana dan Nazaruddin Sjamsuddin, Jejak Langkah Pak Harto, 1 Oktober
1965-27 Maret 1968, h. 7.
26
Ketertiban yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan stabilitas
keamanan. Dalam aksinya Kopkamtib menggelar Operasi Kalong dan Operasi
Trisula, dimana tentara melakukan penangkapan, penahanan, dan menginterogasi
orang-orang yang terindikasi terlibat dalam kegiatan PKI di berbagai tempat.23
Selanjutnya tanpa proses pengadilan, orang-orang yang terjaring
dimasukkan ke kamp penahanan. Tak hanya di Pulau Buru, mereka menjalani
hidup sebagai tahanan politik di sejumlah penjara, seperti di Gunung Sahari II
(Jakarta), Pelantungan (Jawa Tengah), Jalan Gandhi (Medan), Pulau Kemaro
(Palembang), dan Moncongloe (Sulawesi Selatan). Tempat-tempat tersebut seperti
penjara Guantanamo yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Para tahanan tersebut
mengalami berbagai bentuk penyiksaan, dari yang ringan hingga yang berat.24
Berbagai cara dilakukan petugas Tim Kalong untuk meminta pengakuan
agar bisa dicatat dalam berita acara pemeriksaan, sering kali pemeriksa mengadu
tahanan dengan tahanan lain. Objek interogasi meliputi jaringan dan orang-orang
yang dikenal oleh terperiksa. Tim Operasi Kalong dibentuk oleh Komando Daerah
Militer V / Jaya pada 15 Agustus 1966. Operasi dipimpin duet Mayor Suroso dan
Kapten Rosadi. Penangkapan tersebut tak jarang berujung pada penyiksaan
bahkan kematian orang yang dicurigai terlibat PKI dilakukan secara sistematis,
serempak, dan masif. Pekerjaan itu dilakukan aparat negara, terutama militer, di
semua level, baik pusat maupun daerah.25
Pembersihan gelombang kedua terjadi
pasca 30 September 1965 pada 1968. Kodam VIII / Brawijaya di Jawa Timur,
23
Kurniawan et al, Pengakuan Algojo 1965, h. 90.
24
Kurniawan et al, Pengakuan Algojo 1965, h. 93.
25
Kurniawan et al, Pengakuan Algojo 1965, h. 95.
27
melancarkan Operasi Trisula pada Juli 1968 untuk menyapu Blitar Selatan sebagai
basis PKI. Pada 9 Agustus di tahun yang sama, di Malang, Panglima Kodam
Brawijaya Mayor Jenderal M. Jasin mengumumkan keberhasilan Trisula dalam
menumpas sisa-sisa PKI, yang bertulang punggung pasukan tempur dan
intelijen.26
B. Konfigurasi Politik Pada Saat Munculnya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966
Konfigurasi politik dapat diartikan sebagai susunan atau konstelasi
kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan
secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis27
dan konfigurasi politik
otoriter.28
Pada konfigurasi demokratis, partai politik dan lembaga perwakilan
rakyat aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional. Kehidupan
pers relatif bebas, sedangkan peranan lembaga eksekutif (pemerintah) tidak
dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat yang digambarkan lewat
kehendak lembaga perwakilan rakyat. Sementara pada konfigurasi politik otoriter
yang terjadi adalah sebaliknya. Selain itu terdapat perbedaan dalam karakter
produk hukumnya, yakni produk hukum yang responsif / populistik dan produk
hukum konservatif / ortodoks.29
26
Kurniawan et al, Pengakuan Algojo 1965, h. 96.
27
Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka
kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan
kebijaksanaan umum.
28
Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan
negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan
kebijaksanaan negara.
29
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014)
Cet. Ke-6, h. 30-31.
28
Produk hukum responsif / populistik adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-
kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.
Sedangkan produk hukum konservatif / ortodoks / elitis adalah produk hukum
yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, dan lebih mencerminkan
keinginan pemerintah yang bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat
pelaksana ideologi dan program negara. Hasilnya bersifat konservatif dengan
memberi peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai
interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari
pemerintah dan tidak sekadar masalah teknis. 30
Peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 menjadi titik awal dari keruntuhan rezim
Orde Lama atau pada masanya disebut Demokrasi Terpimpin. Setelah itu luapan
emosi dari masyarakat yang terdiri dari aliansi mahasiswa, ormas-ormas Islam,
serta didukung oleh Angkatan Darat turun ke jalan dan menuntut pembubaran
PKI. Dominasi politik Soekarno – Angkatan Darat – PKI pun pada era Demokrasi
Terpimpin berakhir dengan dimenangkannya Angkatan Darat ke panggung politik
nasional. Ditambah situasi yang tidak stabil akibat dari gagalnya G 30 S/PKI, arus
yang kuat dari masyarakat dan aliansi mahasiswa untuk menumpas
anggota/simpatisan PKI dan menjatuhkan Soekarno tidak dapat dibendung.31
30
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 32.
31
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 144.
29
Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1966, atas desakan 3 perwira tinggi
Angkatan Darat yang mendatanginya di Istana Bogor, Soekarno mengeluarkan
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang
bertujuan untuk:
1. Mengambil segala tindakan yang perlu, untuk terjaminnya keamanan
dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya
revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
Pimpinan / Presiden / Panglima Tertinggi / Pemimpin Besar Revolusi /
Mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik
Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin
Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan panglima-
panglima angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas
dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
Surat perintah tersebut telah menjadi alat legitimasi yang sangat efektif
bagi Angkatan Darat untuk melangkah lebih jauh dalam panggung politik. Dengan
lahirnya Supersemar tersebut, secara praktis Presiden Soekarno telah kehilangan
kekuasaannya, kendati secara resmi masih menjabat Presiden dalam status
“Presiden konstitusional.” Sehari setelah mendapatkan surat perintah tersebut,
melalui Keputusan Presiden No. 1/3/1966 Soeharto membubarkan PKI dengan
Surat Perintah Sebelas Maret sebagai landasan yuridisnya.32
32
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),
Cet.Ke-III, h.140.
30
Kemudian secara khusus dalam Sidang Umum MPRS telah dikeluarkan
pula Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang menguatkan Supersemar sebagai
landasan berpijak bagi beroperasinya pemerintahan Orde Baru. Setelah
dibersihkannya unsur PKI dan pendukung Soekarno, DPR-GR dan MPRS mulai
mengadakan sidang-sidangnya sebagai lembaga negara. Pada bulan Juni 1966
DPR-GR mengeluarkan sebuah memorandum yang memuat usul tentang Sumber
Tertib Hukum, Tata Urutan Perundang-Undangan, dan Skema Susunan
Kekuasaan menurut Undang-Undang Dasar 1945. Memorandum ini, khusus
mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, diterima
dalam sidang umum MPRS IV yang berlangsung bulan Juli 1966 dan dijadikan
Lembaran Otentik Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.33
Tindakan preventif yang penting diambil Orde Baru dalam menyelesaikan
akibat dari G 30 S/PKI adalah mencegah terulangnya ancaman bahaya
Komunisme di Indonesia. Keputusan Presiden No. 1/3/1966 telah ditingkatkan
menjadi Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia dan Menyatakannya Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah itu, pada tahun 1967,
setelah menganggap Soekarno tidak dapat mempertanggungjawabkan “tragedi
nasional” tersebut. MPRS mencabut mandat Soekarno sebagai Presiden.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, yang sekaligus
mendudukan Soeharto sebagai pejabat Presiden. Setahun kemudian melalui TAP
MPRS No. XLIII/MPRS/1968 Soeharto diangkat menjadi Presiden definitif.34
33
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 197.
34
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 198.
31
C. Peran Mahkamah Militer Luar Biasa Dalam Mengadili Tokoh-Tokoh G 30
S/PKI
Mahkamah Militer Luar Biasa merupakan badan peradilan khusus yang
dapat memeriksa dan mengadili dengan cepat perkara-perkara yang merupakan
ancaman besar bagi keamanan bangsa dan negara yaitu perkara yang mengancam
persatuan dan kesatuan wilayah negara. Oleh karena perkara-perkara tersebut
sangat erat hubungannya dengan keamanan ataupun pertahanan, maka badan
peradilan yang dibentuk itu merupakan badan di lingkungan peradilan militer.
Mahmillub adalah pengadilan tingkat akhir, sehingga bersifat definitif, tidak ada
lagi hak terpidana untuk mengajukan pengadilan ke tingkat banding. Dasar
hukumnya ialah Penpres No. 16 Tahun 1963 tentang pembentukan Mahkamah
Militer Luar Biasa (Mahmillub) yang ditetapkan atau diundangkan pada tanggal
24 Desember 1963.35
Melalui Keppres No. 370 tahun 1965, lembaga tersebut diberi mandat
untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat G 30 S/PKI. Tokoh-tokoh PKI yang
diadili antara lain Njono, Let. Kol. Untung, Wirjomartono, Sujono, Peris Pardede,
Sudisman, Heru Atmodjo, Ulung Sitepu, Dr. Soebandrio, Omar Dhani, Soepardjo,
Tamuri Hidayat, Sjam Kamaruzzaman, Muljono bin Ngali, Abdullah Alihami,
Ranu Sunardi, Sukatno, Supono, Suwandi, Ismail Bakri, R. Sugeng Sutarto, dan
Ruslan Widjajasastra.36
35
Aco Manafe, Teperpu,Mengungkap Pengkhianatan PKI Pada Tahun 1965 dan Proses
Hukum Bagi Para Pelakunya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008), Cet. Ke-2, h. 123.
36
Samuel Gultom, Mengadili Korban, Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan
Negara, (Jakarta: Penerbit ELSAM, 2003), Cet. Ke-1, h. 28.
32
Pasca proses penangkapan terhadap anggota/simpatisan PKI, Tim
Pemeriksa Pusat (Teperpu) melakukan interogasi, dan pemeriksaan pro-yustisi.
Dari hasil pemeriksaan, Pangkopkamtib menentukan apakah anggota/simpatisan
PKI tersebut terlibat langsung dalam G 30 S/PKI atau tidak. Selanjutnya
Pangkopkamtib menyerahkan BAP hasil penyidikan itu kepada Tim Oditur dan
Jaksa Pusat (Todsapu) untuk memeriksa dan menyiapkan berkas perkara, sebagai
persiapan penuntutan. Kemudian Pangkopkamtib menyerahkan berkas perkara,
hasil pemeriksaan tim oditur atas tertuduh yang termasuk tokoh kepada
Mahkamah Militer Luar Biasa untuk disidangkan. Berkas Soebandrio dan Omar
Dhani diserahkan langsung ke Mahmillub oleh Pangkopkamtib Jenderal
Soeharto.37
Pasal 3 Ayat (1) Penetapan Presiden Nomor. 16 Tahun 1963 mengatur
tentang susunan persidangan Mahmillub yang meliputi, seorang Hakim Ketua,
dua orang atau lebih Hakim Anggota, seorang Oditur dan seorang Panitera, yang
dijabat oleh perwira-perwira dari salah satu Angkatan atau secara gabungan dari
ketiga Angkatan. Terdakwa dalam persidangan Mahmillub juga wajib didampingi
oleh penasihat hukum seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2). Jika
Terdakwa tidak dapat mengajukan seorang Pembela, maka Hakim Ketua
menunjuk seorang atau lebih Pembela baginya. Selanjutnya, dalam Pasal 5
menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana militer yang berlaku.38
Berikut proses hukum acara dalam persidangan Mahmillub:
37
Aco Manafe, Teperpu,Mengungkap Pengkhianatan PKI Pada Tahun 1965 dan Proses
Hukum Bagi Para Pelakunya, h. 167.
38
Aco Manafe, Teperpu,Mengungkap Pengkhianatan PKI Pada Tahun 1965 dan Proses
Hukum Bagi Para Pelakunya, h. 168.
33
1. Penyerahan perkara dilakukan oleh Menteri/Panglima Angkatan Perang
yang ditunjuk oleh Presiden.
2. Pemeriksaan di dalam sidang dilakukan berdasarkan surat tuduhan yang
dibuat oleh Oditur.
3. Oleh Hakim Ketua diberikan kesempatan secara teratur kepada Oditur
dan Pembela untuk secara langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada terdakwa dan saksi-saksi.
4. Proses pembuktian di dalam sidang Mahmilub, merujuk pada ketentuan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 Tentang Hukum Acara
Pidana Pada Pengadilan Tentara, yang menyatakan bahwa bagi hukum
acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai pedoman
Herziene Inlandsch Reglement dengan perubahan-perubahan seperti
yang dimuat dalam undang-undang ini. 39
5. Keterangan saksi secara tertulis dibuat melalui sumpah dan dibacakan
di dalam sidang Mahkamah yang disamaratakan dengan keterangan-
keterangan lisan yang diberikan dengan sumpah untuk barang-barang
bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat
atas sumpah oleh pejabat bersangkutan yang memuat macam, jumlah,
tempat dan waktu barang tersebut disita.
39
Sebagaimana diketahui dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka Herziene Inlandsch
Reglement dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga atas dasar Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1950 yang menjadi pedoman dalam melakukan penyelidikan terhadap suatu
perkara pidana dalam lingkungan peradilan militer adalah KUHAP.
34
BAB III
HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Hukum Islam dan Prinsip Penegakan Hak Asasi Manusia
1. Pengertian Hukum Islam dan Fiqh Jinayah
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
mengikat untuk semua yang beragama Islam. Dalam Hukum Islam khususnya
yang berkaitan dengan pidana, dapat disebut fiqh jinayah, apabila didefinisikan
meliputi dua kata pokok, yaitu fiqh dan jinayah.1 Secara etimologis, fiqh berasal
dari kata faqiha-yafqahu yang berarti memahami ucapan secara baik. Fiqh
diibaratkan dengan ilmu, semacam ilmu tentang hukum-hukum syariah yang
bersifat amaliah. Sedangkan, jinayah yang juga berasal dari kata, jana-yajni-
janyan-jinayatan yang berarti adznaba (berbuat dosa) atau tanawala (menggapai
atau memetik dan mengumpulkan) seperti dalam kalimat jana al-dzahaba
(seseorang mengumpulkan emas dari penambangan).2
Dalam menerangkan makna kata jinayah, Louis Ma‟luf mengatakan
bahwa kata jana berarti irtakaba dzanban (melakukan dosa). Pelakunya disebut
janin dan bentuk jamaknya adalah janatin.3 Setelah itu, para ahli hukum Islam
membatasi cakupan makna jinayah hanya pada tindakan-tindakan yang
1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2011), Cet. Ke-5,
h. 6.
2 Ibrahim Anis, Abdul Halim Muntashir, dkk, Al-Mu‟jam Al-Wasith, (Mesir: Dar Al-
Ma‟arif, 1972), Cet. Ke-1, h. 141.
3 Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Damaskus: Dar Al-fikr, 1973), Cet. Ke-17, h.
105.
35
mengancam keselamatan jiwa dan fisik manusia, yaitu tindakan pembunuhan,
pelukaan, pemukulan, dan aborsi; walaupun ahli lain berpendapat bahwa jinayah
mencakup semua tindak pidana hudud4 dan qisas.
5 Jadi, dapat disimpulkan bahwa
fiqh jinayah adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang digali dan
disimpulkan dari Al-Qur‟an dan hadis tentang kriminalitas yang berkaitan dengan
kemanan jiwa (nyawa) dan anggota tubuh, baik menyangkut lima aspek (agama,
nyawa, akal kehormatan [nasab], dan harta maupun tidak).
2. Asas - Asas Hukum Pidana Islam Sebagai Prinsip Penegakan HAM
a) Asas Keadilan
Salah satu firman Allah mengenai asas keadilan dalam hukum Islam
adalah
ا و قوأ ل وو يو نلنيو ال ٱ فو
ا ا ىق ا ق ا يق ل ٱحلقل حل ل ءوانوومحل أ كق ىؿق ل
و أ و حل لعو و ل ل و اءو للل دو و و حلول شق ل و
ٱحل و لنيو ب رو
فحلو حل ؾوقل ري و ٱحل
ويلييا أ وحل ػو ق إلإو وكق ا لل ا ؾولو ثوتبلعق ا لهو ل
لو حلوو أ و حل دل ق ل إو توعحل
وا أ إو ا
ق ا ثولحل ؾوإلإو اا ا رلضق حل تقعحل
وو أ بل ري لل لقإوو خو هو ا توعحل لهو إوو )٤:١٣٥ /اٱن اء( ١٣٥ كو
Artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu
sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia
(yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
maka ketahuilah Allah maha teliti terhadap segala apa yang kamu
kerjakan”. (QS.4 (An-Nisa) : 135)
4 Hudud adalah jenis tindak pidana dalam fiqh jinayah yang hukuman dan teknis
pelaksanaannya dijelaskan dalam Al-Qur‟an dan hadis.
5 Qisas adalah jenis sanksi atau hukuman yang dikenakan kepada pelaku sama persis
dengan tindakannya terhadap korban, baik berupa penganiayaan maupun pembunuhan.
36
b) Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan asas yang mengiringi asas keadilan dan asas kepastian
hukum. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum, seyogianya
dipertimbangkan asas kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan maupun
orang lain. Dalam menerapkan hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan
pembunuhan, misalnya, dapat dipertimbangkan penjatuhan hukuman itu bagi diri
terdakwa sendiri dan bagi masyarakat.6 Kalau hukuman mati yang akan
dilanjutkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, hukuman itulah
yang akan dijatuhkan. Kalau tidak menjatuhkan hukuman mati lebih bermanfaat
bagi terdakwa, keluarga, atau saksi korban; ancaman hukuman mati dapat diganti
dengan hukuman denda yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh.7
c) Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelarangan
dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas
legalitas dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya” dan dalam kitab pidana
Belanda nullum delictum nulla poena sine previa lege peonali (tidak ada delik,
tidak ada hukuman yang tidak didahului hukum terlebih dahulu).8 Asas ini sejalan
dengan surah Al-Isra ayat 15 sebagaimana yang telah dikemukakan. Selain itu
Allah berfirman,
6 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Penerbit Amzah, 2016), Cet.Ke-1 h. 15.
7 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafinfo Persada, 2001), Cet. Ke-
16, h. 130.
8 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h. 15.
37
فق ل فق حل ةري دو هو ق شو بو كحلوء أ حل يق شو
و أ ق ا لل ذو هو و إللو حل
قأ و محل بويحليوكق ويحلنل و ليدق رحلءواإوق شو ٱحلقق
ل ل م رو ق ىذلقعو ۦٱل إو نو
ودق إوو أ و محل ٱوتوشحل ليكق ن
و أ و ولوغو ل ونو فق حل لل دق و شحل
و أ فق ل رو خحل
قة أ و ل ءوال
ا وق إوو و إلنهو ل ق لحلق ا ت له د ىنل ورليء م ل وو
)٦:١٩ /اٱىعام( ١٩ إللو
Artinya: ”Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang lebih kuat
kesaksiannya?” Katakanlah, “Allah, Dia menjadi saksi antara dia
dan kamu. Al-Qur‟an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu
aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai
(Al-Qur‟an kepadanya). Dapatkah kamu benar-benar bersaksi
bahwa ada tuhan-tuhan lain bersama Allah?” Katakanlah “Aku
tidak dapat bersaksi.” Katakanlah, “Sesungguhnya hanya Dialah
Tuhan Yang Maha Esa dan aku berlepas diri dari apa yang kamu
persukutukan (dengan Allah).” (QS.6 (Al-An‟am) : 19)
Ayat di atas dan ayat 15 dalam surat Al-Isra dangat relevan dengan asas
legalitas sebab Allah menurunkan Al-Qur‟an kepada Nabi Muhammad untuk
memberikan peringatan berupa aturan-aturan hukum, termasuk dalam bentuk
ancaman hukuman. Oleh sebab itu, sanksi hukum bersifat legal sebab sebelum
dijatuhkan telah ada ayat atau hadis yang mengatur masalah terkait.9
d) Asas Praduga Tidak Bersalah
Dalam hukum pidana Islam, asas praduga tidak bersalah lebih tepatnya
berupa asas yang menyatakan bahwa seseorang harus tetap dianggap tidak
bersalah sebelum diputuskan oleh majelis hakim dalam sidang pengadilan bahwa
yang bersangkutan telah nyata bersalah tanpa ada unsur keraguan. Tampaknya,
asas praduga tidak bersalah dalam Islam dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak
dibenarkan mencari-cari kesalahan pihak lain. Perhatikan firman Allah berikut.
9 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h. 16.
38
ا و قوأ ل وو يو ا ٱ ا يق ا ءوانو ا لبق جون لوو حل يل ري ن ل و و ل إلإو بوعحلضو ٱل و لو ٱل ا و ا و ق إلاحلم و لو تو
و وق جقهق حل رلا ؾوكو يحلجري يل نو خل
وحلمو أ كق و ٱو
حلإو و
ومحل أ كق دق و
ول ق أ ق
و ا م بوعحل كق جو بعحل ق ؼحل ا و ا تقق
و و إلإو لل يم لل اا ر ل ـرات( ١٢ ثو )٤٩:١٢ /اٱقـجقArtinya: ”Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah
ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”.
(QS.49 (Al-Hujarat) : 12)
e) Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Orang Lain
Asas ini berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana. Artinya,
seseorang harus bertanggung jawab atas hal yang telah dilakukan dan tidak ada
konsep pelimpahan kesalahan pada pihak lain. Penjelasan mengenai seseorang
yang berdosa tidak dapat memikul bebas dosa orang lain juga terdapat dalam
Surah Al-An‟am ayat 164, Surah Fathir Ayat 18, Surah Az-Zumar ayat 7, dan
Surah Al-Najm ayat 38. Dalam Islam juga tidak ada dosa turunan, yaitu seorang
anak tidak akan memikul dosa kedua orang tuanya, sekalipun ia berstatus sebagai
anak zina. Hal itu karena setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah dan suci.10
B. Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan Hukum
Hak Asasi Manusia adalah hak mutlak yang harus dimiliki oleh setiap
manusia yang hidup. Diskursus tentang HAM dalam kaitannya dengan sistem
penegakan hukum, khususnya sistem peradilan pidana dan administrasi peradilan
pidana, tidak akan lepas dari pembicaraannya tentang hubungan antara HAM,
10
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h. 19-20.
39
supremasi hukum, dan demokrasi. Karena HAM yang bersifat idividual dan
politik menekankan betapa pentingnya keprihatinan terhadap pelanggaran HAM
individual. Dengan demikian, hak-hak sipil dan politik dapat dinamakan “first
generation of human rights”. Sekalipun substansi HAM bersifat universal
mengingat sifatnya sebagai pemberian Tuhan, hal ini memicu perdebatan sengit
menyangkut dengan apa yang disebut Teori Relativisme Kultural dan Teori
Universalitas. 11
Teori relativisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan
budaya bersifat partikular. Para penganut teori ini berpendapat bahwa tidak ada
hak yang bersifat universal, semua tergantung pada kondisi sosial kemasyarakatan
yang ada. Hak-hak dasar bisa diabaikan atau disesuaikan dengan praktik-praktik
sosial. Sedangkan, kelompok kedua (universalitas HAM) berpendapat bahwa
perbedaan kebudayaan bukan berarti membenarkan perbedaan konsepsi HAM.
Perbedaan pengalaman historis dan sistem nilai tidak meniscayakan HAM
dipahami secara berbeda dan diterapkan secara berbeda pula dari satu kelompok
ke kelompok budaya lain.12
1. Penerapan Asas Legalitas
a) Asas ini diatur dan ditegaskan dalam DUHAM 1948 maupun di dalam
International Convenant on Civil and Political Rights, masing-masing
pada Article 6 dan 16 yang berbunyi: “Everyone has the right to
recognition everywhere as person before the law” berupa larangan
11
Muladi, Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep, & Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat. (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), Cet. Ke-1, h. 100.
12
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat , h.
162.
40
pemberlakuan surut perundang-undangan pidana (nullum crimen sine
legi, nulla poena sine legi); (Article 11 DUHAM 1948 dan Article 15
ICCPR).13
b) Refleksi Asas Legalitas dalam bentuk lain tersurat dan tersirat pada asas
praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan larangan
penderitaan ganda (prohibition of double jeopardy/nebis in idem).14
2. Hak-Hak Dasar Yang Harus Dihormati Dalam Penegakan Hukum15
a) Pencegahan Diskriminasi, equality dan non-diskriminasi perlakuan baik
di dalam maupun dihadapan hukum merupakan hak yang sudah
diperjuangkan ratusan tahun yang lalu. Namun harus disadari bahwa
pembedaan yang dilandasi alasan-alasan dan kriteria objektif tidak
berarti bertentangan dengan standar HAM.
b) Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan atau tindakan atau
pemidanaan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan yang lain.
1) Hak untuk hidup merupakan hak yang paling utama dan hak lain
berada di bawah hak tersebut.
2) Penyiksaan merupakan malapetaka dari kehidupan manusia dan
bertentangan dengan keberadaban manusia. Namun dalam praktek
masih banyak terjadi. Pembunuhan yang sewenang-wenang dan
13
Muladi, Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep, & Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat. h.102.
14
Muladi, Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep, & Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat. h.103.
15
Muladi, Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep, & Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat. h.104.
41
penghilangan paksa merupakan dua hal yang menjadi perhatian
komisi HAM PBB.
c) Hak atas kebebasan dan hak-hak terpidana, penangkapan dan
penahanan dengan cara kekerasan merupakan pelanggaran berat
terhadap kemanusiaan, yang sampai saat ini telah menelan korban
ratusan hingga ribuan manusia di dunia.
d) Hak atas “Fair Trial”, sesuatu yang harus tetap diperhitungkan dalam
kehidupan demokrasi adalah kehakiman yang merdeka. Adanya
jaminan atas terselenggaranya peradilan yang jujur terhadap semua
orang yang dituduh melakukan tindak pidana. Jaminan ini secara
konkrit dilakukan terhadap individu yang dituduh melakukan tindak
pidana, yang mengklaim bahwa haknya atas “fair trial” telah dilanggar.
e) Perlakuan terhadap korban, kritik selalu dilontarkan sehubungan dengan
terlalu banyaknya instrumen HAM yang memfokuskan pada
perlindungan terhadap pelaku tindak pidana, sedangkan perhatian
terhadap korban yang seharusnya dilakukan atas dasar belas kasihan
dan hormat atas martabat korban seolah-olah dilupakan, atau paling
tidak kurang diperhatikan. Khusus tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat, hal
ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002.16
16
Muladi, Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep, & Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat. h.107-108.
42
BAB IV
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP
PENUMPASAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA
A. Perspektif Hukum Islam Terhadap Penumpasan Partai Komunis Indonesia
1. Definisi Jarimah Al-Baghyu
Secara etimologis jarimah pemberontakan (al-baghyu) berarti menuntut
sesuatu. Kata ini juga berarti sombong atau takabur karena pelaku jarimah itu
berlaku takabur dengan melampaui batas dalam menuntut sesuatu yang bukan
haknya. Adapun secara terminologis al-baghyu adalah sikap menolak untuk
tunduk terhadap seorang pemimpin yang tidak dengan kemaksiatan, tetapi dengan
perlawanan, walaupun alasannya kuat. Hal ini disinggung dalam firman Allah
SWT sebagai berikut.1
جواإول نلوو إو لؿو ان نليلنيو طو ؤحل حلهق ا ل ا جوجولق و حل ا لعو هو ق ى دو ؾوإلإو بوؼوتحل إل حل ا هو ق ويحليوا ا للحق صحل
ورو ؾو خحل
ق ٱحلا ا جللق ل ؾوقورل ٱ محل
و أ ءو إللو ثوفل ل توبحلغل و ا ال لل هو ق ويحليو
ا ا للحق صحلو حل ٱحلعودحل ل ؾوإلإو ؾواءوتحل ؾو
وأ ا و ا سل ق
و إلإو ل ق لل قحل ل لنيو ق حلهق ـرات( ٩ ل )٩: ٤٩ /سرة اٱقـجق
Artinya: ”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Akan
tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
kembali pada perintah Allah. Kalau ia telah surut damaikanlah
antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil”. (QS.49 (Al-Hujarat) : 9)
1 Ahmad bin Muhammad bin Ali Al-Maqri Al-Fayumi, Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib
Al-Syarh Al-Kabir li Al-Rafi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1994), h. 57.
43
Adapun secara terminologis al-baghyu dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah dengan mengutip pendapat para ulama mazhab.
a) Menurut ulama kalangan Malikiyah dan Hanafiyah.
Pemberontakan ialah sikap menolak untuk taat terhadap seseorang yang
dianggap sah kepemimpinannya bukan lantaran kemaksiatan dengan cara
melakukan perlawanan, walaupun dengan asrgumentasi kuat (takwil). Ulama
kalangan Malikiyah memberikan definisi al-bughah yang artinya segerombolan
muslimin yang menentang kepala negara atau wakilnya. Sikap menentang ini
dilakukan karena menolak kebenaran yang wajib atas sekelompok orang muslim
atau karena bertujuan untuk mengganti kepemimpinannya.2 Sedangkan menurut
ulama kalangan Hanafiyah pemberontak ialah keluar dari kedudukan terhadap
penguasa yang benar. Sementara itu, pemberontak ialah orang yang keluar dari
ketaatan terhadap penguasa yang sah dengan jalan tidak benar.3
b) Menurut ulama kalangan Syafi‟iyah dan Hanabilah.
Para pemberontak ialah orang-orang Islam yang membangkang terhadap
penguasa dengan cara keluar dan meninggalkan kedudukan atau menolak
kebenaran yang ditunjukkan kepada mereka, dengan syarat adanya kekuatan serta
adanya tokoh yang diikuti di kalangan mereka.4 Sementara itu Imam Al-Nawawi
berpendapat bahwa pemberontak, menurut fuqaha, ialah seseorang yang
2 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jinai Al-Islami, (Beirut: Mu‟assasah Al-Risalah,
1992), Cet. Ke-11, jilid 2, h. 673.
3 Lihat juga Muhammad Amin Ibnu Abidin, Radi Al-Muhtar „Ala Durri Al-Muhtar,
(Mesir: Mushthafa Al-Bab Al- Halabi wa Auladuh, 1386 H), Cet. Ke-2, jilid III, h. 426.
4 Syamsuddin Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin Al-
Manufi Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, (Mesir: Mushthafa Al-Bab Al-Manufi
wa Auladuh, 1938), jilid VII, h. 382-382.
44
menentang penguasa. Orang tersebut keluar dari ketundukan dengan cara menolak
melakukan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan atau dengan cara
lainnya.5 Sedangkan menurut ulama kalangan Hanabilah pemberontak ialah
kelompok orang yang keluar dari ketundukan terhadap penguasa, walaupun
penguasa itu tidak adil dengan adanya alasan yang kuat. Kelompok ini memiliki
kekuatan, walaupun di dalamnya tidak terdapat tokoh yang ditaati.6
2. Unsur- Unsur Jarimah Al-Baghyu
Dalam jarimah pemberontakan terdapat tiga unsur pokok, yaitu 1)
pemberontakan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat, 2) sikap
pemberontak yang demonstratif, dan 3) unsur melawan hukum.7 Maksud dari
rukun pertama adalah upaya untuk memberhentikan pemimpin negara dari
jabatannya. Dalam hal ini para pemberontak enggan mematuhi peraturan dan
undang-undang yang sah serta tidak mau menunaikan kewajiban mereka sebagai
warga negara.8
Namun para ulama fiqh menyatakan bahwa pemberontakan yang muncul
karena pemerintah mengarahkan warganya untuk berbuat maksiat tidak dapat
dinamakan al-baghyu. Alasan utama adalah sabda Rasulullah SAW berikut.
5 Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri Al-Nawawi, Tahdzib Al-Asma wa
Al-Lughat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah), jilid III, h. 31.
6 Syamsuddin Muhammad Ibn Abi Al-Abbas Ahmad Ibn Hamzah Ibn Syihabuddin
Ahmad (selanjutnya disebut Ibnu Al-Hajar Al-Haitami), Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarh Al-Minhaj,
(Dar Al-Sadir), jilid IX, h. 65.
7 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jinai Al-Islami, h. 674.
8 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h. 67.
45
ر رض هللا غنحما غن مع ن اانن ن غن ابن ع كال ااسن هللا ػليو وسلن
ع ول طاػة ذا أمر بمؼصية فل ساػة حق ما ام ؤمر بامؼصية فا رواه )وااطن
(اابخاري9
Artinya: “Dari Ibnu Umar Ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
“Mendengar dan menaati pemimpin hukumnya haq (wajib) selama
tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika diperintah untuk
melakukan kemaksiatan, tidak wajib mendengar dan menaati. (HR.
Al-Bukhari).”
مع نو كال ػ اامرء اامسل ااسن أه ر غن اانن ن ن هللا ػليو وسلن غن ابن ع
ع ول ن أمر بمؼصية فل سلن أن ؤمر بمؼصية فا
اػة فميا أحبن ونره ا وااطن
(رواه مسل)طاػة 10
Artinya: “Dari Ibnu Umar Ra, dari Nabi SAW bahwasannya beliau
bersabda, “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada
pemimpin), baik dalam hal yang disenangi dan dibenci, kecuali
kalau diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan, maka tidak
wajib mendengar dan menaati. (HR. Muslim).”
Mengenai rukun yang kedua, yaitu sikap pemberontakan yang bersifat
demonstratif, maksudnya adalah didukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh sebab
itu, menurut ulama fiqih, sikap sekadar tidak mau mengakui atau menolak
kepemimpinan kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi belum bisa
disebut sebagai pemberontakan. Misalnya, sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak
mau membaiat Abu Bakar serta sikap Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair yang
tidak mengakui keabsahan pemerintahan Yazid bin Mu‟awiyyah. Mereka tidak
9 Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, (Indonesia: Dahlan) jilid IV, jilid III, h.78.
10
Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, (Indonesia: Dahlan) jilid IV, jilid III, h.79.
46
bisa disebut sebagai pemberontak karena mereka tidak menunjukan sikap
demonstratif.11
Mengenai rukun ketiga, yaitu unsur melawan hukum, maksudnya adalah
usaha untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan berdaulat dengan cara
mengacaukan ketertiban umum. Apabila tindakan para pelaku tidak menjurus
pada penggulingan pemerintahan yang sah dan berdaulat serta tidak pula berupa
perbuatan pidana (seperti membunuh, merampas, memperkosa, dan merampok),
ulama fiqh menyatakan bahwa tindakan itu bukan merupakan pemberontakan,
melainkan hanya demonstrasi.12
3. Sanksi Hukum Bagi Jarimah Al-Baghyu
Dalam menentukan sanksi terhadap para pelaku pemberontak, ulama fiqh
membagi jarimah pemberontak itu menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut.13
1. Para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan senjata dan tidak
menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka, pemerintah boleh
memenjarakan mereka sampai mereka bertaubat.
2. Para pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan
senjata, pemerintah harus melakukan tindakan sesuai dengan petunjuk
Surah Al-Hujarat (49) ayat 9. Pemerintah harus mengimbau mereka
untuk mematuhi segala peraturan yang berlaku. Apabila usaha ini
disambut dengan gerakan senjata, pemerintah boleh memerangi mereka.
11
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h. 68.
12 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jinai Al-Islami, jilid 2, h. 697.
13
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2015), Cet.Ke-
3, h. 71.
47
Disamping surah Al-Hujarat (49) ayat 9, langkah tegas pemerintah ini
juga didasarkan atas firman Allah berikut.
ول هوجودو فو محل و عحل لويحلكق ا و جودق ا ا عحل لهليحل ل نو يحلل
لو جودو و عحل محل لويحلكق / سرة ابلقرة) و
٢:١٩٤(
Artinya: “Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu. (QS.2 (Al-Baqarah) :
194)
Tentang sanksi pidana pemberontak, juga disebutkan dalam hadits sebagai
berikut.
لول من أتك وأمرك ؼت رسول هللا ن هللا ػليو وسلن غن غرفجة كال س
اغتك فاكتلوه يع ػ رجل واحد يرد أن فرق ج (رواه مسل)ج14
Artinya: “Dari Furjah bin Suraih Ra ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, „Barangsiapa yang menyerang kalian, padahal kalian dalam sebuah kesepakatan, sedangkan orang tersebut bermaksud mengacaukan persatuan kalian maka bunuhlah ia.” (HR. Muslim)
Sementara itu Al-Syaukani mengutip hadis yang agak tendensius karena
berkaitan dengan Perang Jamal.
ج ارج اؼل وم اجلمل ل لتلنن مدبر ول غن مروان بن احلك كال ص
رواه )ذفف ػ جرح ومن أغلق ببو فيو أ من ومن أالى ااسلح فيو أ من
(سؼيد بن منصور15
Artinya: “Dari Marwan bin Al-Hakam, ia berkata, “Pada waktu terjadi
Perang Jamal, terdengar suatu teriakan pada Ali, „Janganlah
sekali-kali seorang membunuh orang yang sudah mundur dan
14
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul Al-Salim, (Indonesia: Dahlan), Jilid IV, h.
254.
15
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail Al-Autar, Jilid IV, h. 353.
48
jangan bertekad menghabisi nyawa seseorang yang telah terluka.
Barangsiapa yang telah menutup pintunya maka ia aman dan
barangsiapa yang melemparkan pedangnya maka ia aman.” (HR.
Sa‟id bin Mansur)
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk menjatuhkan sanksi bagi
pelaku jarimah al-baghyu ini harus dilakukan secara hati-hati dan tidak boleh
gegabah. Sebab bagaimanapun yang dihadapi oleh pemerintah itu bukan musuh
yang harus dibunuh, melainkan sedang berhadapan dengan pihak yang kecewa
terhadap kebijakan yang selama ini telah dijalankan. Selain itu, sangat mungkin
pemberontak itu juga beragama Islam, sama dengan pemerintah yang mau
menghukumnya. Dalam hal ini penulis juga berkesempatan mewawancarai Dosen
yang juga Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag.
“Kalau sampai penjatuhan pidana dijatuhkan terhadap orang yang tidak
melakukan tindak pidana bugat atau makar tentu itu salah dan keliru apalagi
sampai disiksa, dipukuli, hingga dibunuh. Karena dalam menjatuhkan sanksi
terhadap pelaku pemberontak, harus sempurna dan tidak boleh adanya syubhat
(keragu-raguan) dalam pelaksanaannya. Jadi hukum pidana wajib dibatalkan kalau
adanya syubhat.” Selain itu, bagi keturunan para pelaku pemberontak juga tidak
menanggung dosa atas apa yang dilakukan oleh orang tuanya.16
“Intinya kalau penjatuhan sanksi dilakukan secara membabi-buta terhadap
keturunannya yang tidak bersalah itu tidak dibenarkan. Tentu dalam sisi Hak
Asasi Manusia juga bersalah karena akan merugikan generasi penerus yang sama
sekali tidak terlibat langsung dalam pemberontakan. Jadi bisa di qiyas kan dengan
16
Wawancara Pribadi dengan M. Nurul Irfan, pada Kamis 5-1-2017.
49
lahirnya anak dari hasil zinah. Walaupun orang tuanya berbuat zinah dan
melahirkan anak. Anak tersebut tetap suci dan tidak menanggung dosa kedua
orang tuanya.”17
Selanjutnya, mengenai pertanggungjawaban pemberontak dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu 1) sebelum dan sesudah terjadinya pemberontakan;
dan 2) pada saat terjadinya pemberontakan. Pertanggungjawaban pemberontak
yang bersifat pidana dan perdata yang mereka lakukan sebelum dan sesudah
pemberontakan wajib mereka pertanggungjawabkan. Apabila mereka melakukan
pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan; mereka harus dikenakan sanksi pidana
sesuai dengan jarimah yang mereka lakukan.18
Adapun tindakan yang dilakukan
pada saat terjadinya pemberontakan menurut ulama mazhab Hanafi, Maliki,
Hanbali, dan Syafi‟i bersepakat bahwa para pemberontak yang memiliki
argumentasi kuat, tidak berkewajiban mengganti harta dan jiwa yang terbunuh
ketika terjadi kontak senjata.19
Alasan yang mereka kemukakan berdasarkan hadis
berikut.
اب رسول هللا ن هللا ػليو وسلن ىري كال ىاجت اافتنة وأص غن ااز
لن ما وجد ؼوا أن ل لاد أحد ول ؤخذ مال ػ ثأول االرأ ن ا متوافرون فأج
(رواه امحد بن حنبل) بؼينو 20
17
Wawancara Pribadi dengan M. Nurul Irfan, pada Kamis 5-1-2017.
18
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jinai Al-Islami, jilid 2, h. 697
19
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al Islami wa Adilatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), jilid
VII, h. 5481.
20
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail Al-Autar, jilid IV, h. 353.
50
Artinya: “Dari Al-Zuhri ia berkata, “Akan terjadi sebuah huru-hara
(fitnah), sedangkan jumlah para sahabat Rasulullah sangat
banyak. (Dalam suasana itu) mereka sepakat bahwa tidak akan
dituntut hukuman qishash dan harta benda (yang dirampas) juga
tidak akan dituntut menggantinya, karena dalam rangka
menakwilkan isi Al-Qur‟an, kecuali harta benda yang dapat
dikembalikan langsung di tempat kejadian.” (Hadis ini disebut juga
oleh Ahmad bin Hanbal pada riwayat Al-Asram dan diakui
kehujjahannya).
Hadis di atas oleh Wahbah Al-Zuhaili dipaparkan dengan redaksi yang
agak berbeda.
ؼوا أي وكائؼيم نوكؼة ون فأج م اابدر كهت اافتنة ااؼظمي بي اانناس وفي
تحلن فرجا حراما بتأول االرأ ن ول لام حد ػ رجل اس اجلمل و فني ػ ألن
لتل رجل سفم دما حراما بتأول االرأ ن ول رم مال أثلفو بتأول االرأ ن 21
Artinya: “Terjadi fitnah besar di kalangan manusia, padahal di antara
mereka ada yang terlihat langsung dalam Perang Badar (sangat
mulia) mereka sepakat dalam peperangan yang terjadi di antara
mereka, seperti Perang Jamal dan Perang Shiffin bahwa seseorang
yang menghalalkan kemaluan yang haram (berzina atau
memperkosa) tidak akan dijatuhi hukuman had karena telah
melakukan takwil terhadap Al-Qur‟an, seseorang yang
menumpahkan darah yang diharamkan (membunuh jiwa manusia)
karena telah melakukan takwil terhadap Al-Qur‟an dan seseorang
tidak dituntut mengganti harta yang telah dirampasnya, karena
telah melakukan takwil terhadap Al-Qur‟an.
Setelah meriwayatkan secara makna hadis di atas, Al-Zuhaili
mengemukakan bahwa para pemberontak adalah sekelompok orang yang tidak
boleh langsung diperangi, sebab mereka mempunyai alasan yang kuat. Oleh
karena itu, para pihak yang bertikai tidak boleh diberi beban untuk mengganti
harta yang dirampas seperti yang dilakukan oleh pihak yang tidak sedang
bersengketa. Sebab kalau para pemberontak tetap dituntut untuk
21
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, jilid VII, h. 5481.
51
bertanggungjawab, pasti akan semakin membuat mereka bersikap keras dan tidak
mau tunduk kepada pemerintah. Dengan demikian, berlaku ketentuan seperti
ketika sedang dalam suasana perang.22
Dalam suasana perang tindakan-tindakan seperti membunuh pejabat
negara, merampas kekayaan negara, menguasai instalasi umum (stasiun radio,
stasiun televisi, dan markas senjata), dan merusak fasilitas umum; tidak hanya
dikenakan hukuman pidana biasa, karena perbuatan-perbuatan tersebut biasa
dilakukan di dalam perang. Apabila negara sudah mengalahkan para pemberontak
dan para pemberontak juga sudah meletakkan senjata, darah dan harta benda
mereka jadi terpelihara (maksum). Pemerintah bisa memaafkan mereka dengan
memberikan hukuman takzir.23
Adapun hukuman bagi tindak pidana yang
diperlukan oleh suasana pemberontakan dan peperangan adalah hukuman mati.24
B. Perspektif Hak Asasi Manusia Terhadap Penumpasan Partai Komunis
Indonesia
Terdapat temuan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi akibat
penumpasan yang dilakukan oleh Kopkamtib dengan melakukan penahanan dan
penyiksaan terhadap terduga anggota/simpatisan PKI tanpa melalui proses
pengadilan. Para anggota/simpatisan PKI yang tidak terlibat pemberontakan juga
turut mendapatkan ekses yang sama dengan yang melakukan pemberontakan.
22
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, jilid VII, h. 5481.
23
Takzir adalah hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya) yang wajib di-
laksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik
pelanggaran itu menyangkut hak Allah maupun hak pribadi.
24
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jinai Al-Islami, jilid 2, h. 698.
52
Dibutuhkan proses rekonsiliasi agar para korban yang ketika itu tidak bersalah
tetapi mendapatkan hukuman dapat dipulihkan kembali melalui pemulihan nama
baik, dan status sosialnya. Sudah sejauh mana proses rekonsiliasi dilaksanakan
pasca peristiwa G 30 S/PKI, berikut ulasannya:
1. Peran Komnas HAM Dalam Proses Rekonsiliasi Bangsa Pasca
Peristiwa G 30 S/PKI
Komnas HAM pada awalnya dibentuk lewat Keputusan Presiden Nomor
50 Tahun 1993 dengan tugas antara lain membangun pengembangan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila,
meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya
pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat seluruhnya. Kemudian, Keppres tersebut diintegrasikan ke dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.25
Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM
adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara
lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.26
Dalam hal ini penulis memiliki
kesempatan untuk melakukan wawancara kepada Komisioner Komnas HAM
Muhammad Nurkhoiron, terkait dengan upaya rekonsiliasi dan adanya indikasi
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi pasca peristiwa G 30 S/PKI.
25
A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis,
Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi dalam Masyarakat, h. 310.
26
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
53
“Pandangan Komnas HAM jelas bahwa peristiwa penumpasan PKI pada
tahun 1965 merupakan pelanggaran HAM yang berat, memenuhi syarat-syarat
yang terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berbunyi; Kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Huruf b adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada
penduduk sipil. Sistematis artinya kejahatan itu bukan kejahatan pidana biasa
yang dilakukan individu (orang per orang), tetapi dilakukan atas dasar
kelembagaan yaitu ada institusi negara yang terlibat terjadinya kejahatan itu.
Meluas yaitu kejadiannya hampir terjadi di seluruh daerah. Temuan Komnas
HAM meliputi daerah mulai dari, Sumatera Utara tepatnya di Medan, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, sampai dengan Nusa Tenggara Timur. Selain itu,
berdasarkan hasil temuan Komnas HAM banyak juga masyarakat pada saat itu
yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa G 30 S/PKI ikut ditahan.”27
Mengenai jumlah data korban yang dimiliki oleh komnas HAM ada sekitar
1000 orang yang sudah di BAP. Dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa
lalu, Komnas HAM berupaya sungguh-sungguh dengan mencari penyelasaian
yang berkeadilan. “Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ada dua opsi
penyelesaian, yakni bisa dilakukan melalui jalur pengadilan maupun di luar
pengadilan yang disingkat dengan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).”28
27
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nurkhoiron pada Jum‟at, 25-11-2016.
28
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nurkhoiron pada Jum‟at, 25-11-2016.
54
Proses melalui jalur pengadilan diatur dalam BAB VIII tentang Pengadilan
HAM Ad Hoc. Yang meliputi Pasal 43 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 44.
Selanjutnya di luar pengadilan dengan cara dibentuknya Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi diatur dalam BAB X tentang Ketentuan Penutup. Yang meliputi
Pasal 47 ayat (1), dan (2) di mana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus
terbentuk melalui suatu Undang-Undang.29
“Komnas HAM ikut mendorong
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah diputuskan DPR
tahun 2005, tapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dikarenakan ada salah
satu LSM yang melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstisusi berkaitan
dengan satu pasal dalam Undang-Undang tersebut. Pasal yang hendak dihapus
tersebut justru memperkuat impunitas, artinya memberi kekebalan hukum
terhadap pelaku. Bukannya MK menghapus satu pasal, tetapi justru membatalkan
seluruh Undang-Undang tersebut. Tetapi ada catatan di dalam keputusan MK
selama belum terbentuk Undang-Undang yang baru, jalan penyelesaian dapat
ditempuh melalui keputusan politik dibawah presiden.”30
Dalam proses rekonsiliasi Komnas HAM juga memiliki hambatan, antara
lain banyak pihak yang tidak menginginkan adanya rekonsiliasi dikarenakan isu
rekonsiliasi sangat sensitif yang bermuara kepada kebangkitan komunisme dan
neo komunisme. Selain itu, pihak yang terlibat sebagai pelaku yang merasa
bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu belum mendapat
jawaban yang pasti dan jelas. “Para pelaku masih mendapat satu informasi saja,
29
A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis,
Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi dalam Masyarakat, h. 323.
30
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nurkhoiron pada Jum‟at, 25-11-2016.
55
jika rekonsiliasi terjadi semua beranggapan bahwa para pelaku tersebut langsung
dipenjara, atau ditahan. Kalau seperti itu jelas tidak. Rekonsiliasi bisa dilakukan
dengan berbagai cara yang penting ada penyelesaian.” Penyelesaian tersebut
berupa tanggung jawab moral dan politik yang dilakukan oleh pemerintahan
sekarang untuk menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan oleh pemerintahan
di masa lalu.31
Dilanjutkan, menurut Muhammad Nurkhoiron, Presiden harus turun
langsung dalam memimpin rekonsiliasi. Dikarenakan Presiden merupakan simbol
kepala negara yang harus memberikan janji dan komitmennya bahwa negara ini
mampu dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu.32
Pelanggaran HAM yang ditemukan oleh Komnas HAM tidak hanya
institusi dalam negeri yang terlibat dalam penumpasan PKI pada tahun 1965 tetapi
juga melibatkan Central Intelligence Agency (CIA) yang merupakan badan
intelijen Amerika Serikat. “Saya pernah ke Washington D.C untuk meminta
dokumen-dokumen yang terkait dengan peristiwa tahun 1965. Di Amerika, ada
Undang-Undang tentang keterbukaan informasi yang menyatakan, dokumen yang
sudah berusia diatas 25 tahun bisa diakses oleh publik. Lalu pihak dari
Departemen Luar Negeri disana menyatakan mereka harus meminta izin terlebih
dahulu kepada Presidennya yakni Barack Obama. Dimana Presiden Obama juga
tergantung dari Presiden Joko Widodo.” Hambatan yang diperoleh ialah Komnas
HAM tidak secara resmi mewakili Presiden Indonesia dalam hal ini Presiden Joko
31
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nurkhoiron pada Jum‟at, 25-11-2016.
32
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nurkhoiron pada Jum‟at, 25-11-2016.
56
Widodo. Hal tersebut yang menjadi penyebab dokumen tersebut tidak bisa
diterima secara mudah oleh Komnas HAM dari Presiden Amerika.33
2. Eksistensi Mahkamah Militer Luar Biasa Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia
Dalam persidangan Let. Kol Untung, Mahmillub berlangsung maraton,
setiap hari terus menerus tanpa jeda. Sidang terhadap Let. Kol Untung dimulai
tanggal 16 Februari berakhir awal Maret 1966. Bertindak sebagai Oditur Letnan.
Kolonel. CKH Iskandar, S.H., Ketua Majelis Hakim Letnan. Kolonel. (Udara)
Zaidun Pakti, beserta Hakim Anggota AKB. (POL) Drs. Kemal Mahisa, S.H.,
Mayor. (AL) Hasan Basjari, S.H., dan Mayor. (Tit) Sugondo Kartanegara, S.H.
Panitera dijabat Kapten. CKH Hamzil Rusli Bc.Hk., sementara penasihat hukum
terdakwa yang ditunjuk pemerintah, Gumuljo Wreksoatmodjo, S.H. Saat Majelis
Hakim menjatuhkan vonis, hal yang memberatkannya adalah Let. Kol. Untung
tidak pernah merasa bersalah, dan kejahatannya berlipat ganda. Tindak kejahatan
terhadap keselamatan negara sekaligus kejahatan beraspek politik, dan melanggar
norma militer serta kepribadian TNI. Selain itu, akibat perbuatannya, telah
mengorbankan putra-putra utama negara serta menyebabkan kerugian material di
seluruh Indonesia. Pertengahan bulan Maret 1966, setelah mengikuti proses
persidangan yang maraton. Let. Kol, Untung dinyatakan bersalah, dijatuhi
hukuman mati dan menjalani eksekusi di daerah Cimahi, Jawa Barat. 34
33
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nurkhoiron pada Jum‟at, 25-11-2016.
34
Julius Pour, Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan, Petualang, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2010), Cet. Ke-2, h. 395.
57
Pembatasan hak dasar yang meliputi hak hidup, terdapat dalam pasal 4
ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang berbunyi:
“Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan
keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak
kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi
(derogate) kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh
memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang
langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban
lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung
diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, atau asal-usul sosial.”35
Selain itu, pandangan HAM yang menggambarkan masyarakat Indonesia
pasca peristiwa G 30 S/PKI adalah Pandangan Partikularistis Relatif. Dalam
pandangan ini, HAM dilihat di samping sebagai masalah universal juga
merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakunya ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam instrumen HAM internasional harus diselaraskan,
diserasikan, dan diseimbangkan, serta memperoleh dukungan budaya bangsa
setempat. Pandangan ini tidak hanya menjadikan kekhususan yang ada pada
masing-masing bangsa sebagai sasaran untuk bersikap defensif, tetapi di lain
pihak juga aktif mencari perumusan dan pembenaran terhadap karakteristik HAM
yang dianutnya.36
Adanya penasihat hukum yang ditunjuk oleh majelis hakim dalam
persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa sejalan dengan Pasal 7 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 berbunyi, “Semua orang sama di depan
35
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1966.
36
A. Masyhur Effendi, dan Taufani S. Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis,
Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi dalam Masyarakat, (Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2005), Cet. Ke-1, h. 82.
58
hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi
yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang
mengarah pada diskriminasi semacam ini.” Selanjutnya asas praduga tidak
bersalah tersirat dalam pasal 11 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang yang
dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang
terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk
pembelaannya.”
C. Pengakuan Eksekutor Perihal Penumpasannya Terhadap
Anggota/Simpatisan Partai Komunis Indonesia dan Dampak Bagi Korban
Yang Ditumpas
1. Faktor Penyebab Pelaku Melakukan Penumpasan
Dalam hal ini penulis berkesempatan mewawancarai seorang yang terlibat
langsung dalam menumpas PKI di Yogyakarta. Tinggal di daerah
Brontokusuman, Yogyakarta bernama Burhanuddin Zainuddin Rusdiman atau
yang lebih dikenal dengan panggilan Burhan “Kampak”, karena pada saat
penumpasan terhadap PKI di daerah Yogyakarta beliau menggunakan kampak
sebagai senjata utamanya selain pistol yang diberikan oleh militer. Berikut petikan
wawancaranya.
Suasana politik kota Yogyakarta pada tahun 1960-1965 memanas. Upaya
pemberontakan PKI tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi terjadi juga di
Yogyakarta. Terbukti dengan diculik dan dibunuhnya secara keji Komandan dan
59
Kepala Staf Korem 072/Diponegoro Brigadir Jenderal TNI Katamso
Darmokusumo dan Letnan Kolonel Sugiyono. Keduanya dipukul dengan
memakai batu dan kunci mortar hingga tewas. Pembunuhan tersebut dilakukan
oleh Mayor Mulyono dari Batalyon L yang sudah berhaluan kiri.37
Sewaktu kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Burhan
Kampak aktif di organisasi HMI. Selain aktif dalam mengimbangi kekuatan
politik kiri yang merajalela pada saat itu, Burhan Kampak juga dekat dengan
beberapa pimpinan militer di daerah tempat ia tinggal. “Pada tahun 1966 sebagai
staf satu Laskar Ampera Aris Margono saya mendapatkan license to kill dari
militer artinya saya dapat membunuh orang-orang yang diduga kuat anggota PKI
yang terlibat langsung pemberontakan. Selain saya ada sekitar 10 orang yang
diberi pistol jenis FN dan dilatih oleh militer di Kaliurang. Operasi penumpasan
terhadap PKI dilakukan pada malam hari setelah Isya.”38
Adapun faktor yang menyebabkan dirinya menumpas orang yang diduga
berafiliasi terhadap PKI adalah sebagai berikut.
“Faktor penyebab saya melakukan penumpasan terhadap PKI, karena
keluarga saya selalu diancam oleh mereka. Saya pribadi ketika tahun 1965 sudah
diberi tanda oleh para anggota PKI bahwa saya rencana akan diculik kemudian
dihabisi. Juga ayah saya, kebetulan ayah saya adalah tokoh Masyumi. Beliau
menjabat sebagai ketua Syarikat Buruh Islam Indonesia musuh utama dari SOBSI
(Syarikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang bagian dari underbouw PKI.
37
Wawancara Pribadi dengan Burhanuddin Zainuddin Rusdiman pada Rabu, 8-3-2017.
38
Wawancara Pribadi dengan Burhanuddin Zainuddin Rusdiman pada Rabu, 8-3-2017.
60
Rumah saya di daerah Suronatan ketika itu diserang oleh para buruh yang
tergabung dalam SOBSI. Pemicu dari penyerangan itu sepele, dimana ayah saya
mempunyai besan dari daerah Banjar datang ke Stasiun Tugu Yogya dengan
kereta. Ketika baru sampai ke rumah ayah saya dari Stasiun Tugu, besan ayah
saya itu diperas oleh salah satu tukang becak yang beroperasi disitu. Setelah
diketahui tukang becak tersebut memang anggota PKI. Lantas saya marah dan
menegur tukang becak yang memeras besan ayah saya. Kemudian setelah dari
peristiwa itu para anggota SOBSI menyerbu rumah ayah saya, ayah saya diancam
oleh mereka akan diculik lalu dibunuh.”39
Dalam melakukan operasi penumpasan tidak ada satupun korban yang
tidak bersalah. Semua korban yang ditumpas ketika itu adalah anggota PKI yang
terlibat langsung dalam pemberontakan di Yogyakarta dan melawan ketika sedang
ditangkap untuk diserahkan ke militer. Yaitu anggota PKI yang mendapatkan
klasifikasi golongan A dan B. Berikut penuturannya.
“Yang tidak bersalah ya tidak kita tumpas, karena ketika itu ada
pengklasifikasian terhadap anggota PKI seperti golongan A dan B dimana
terhadap golongan tersebut akan kita tangkap lalu kita serahkan ke militer untuk
ditahan. Tetapi bagi golongan C atau yang hanya ikut-ikut menjadi anggota PKI
dan tidak terlibat langsung dalam pemberontakan saya akan kembalikan mereka
ke masyarakat dan kita bina mereka agar menjadi masyarakat yang Pancasilais
kembali. Yang saya eksekusi ketika itu adalah anggota PKI yang terlibat langsung
dalam pemberontakan dan merupakan upaya untuk membela diri saya karena
39
Wawancara Pribadi dengan Burhanuddin Zainuddin Rusdiman pada Rabu, 8-3-2017.
61
kalau tidak, saya yang akan dieksekusi oleh mereka. Suasana yang terjadi ketika
itu adalah perang sipil. Antara masyarakat yang anti komunis melawan
masyarakat yang pro terhadap komunis. Kalau kita tidak membunuh ya kita akan
dibunuh oleh mereka (anggota / simpatisan PKI).”40
Mengenai rencana rekonsiliasi yang didengungkan oleh pemerintah
menurutnya rekonsiliasi sudah secara alamiah terjadi. “Dengan bukti bahwa kita
menerima dengan senang hati ketika para tahanan politik PKI dibebaskan pada
akhir tahun 1970an. Tetapi dengan syarat mereka bisa kita bina, jadi tidak perlu
keterlibatan negara dalam rekonsiliasi. Karena kami sudah lakukan terlebih
dahulu rekonsiliasi tersebut. Apalagi sampai ada rencana pemerintah hendak
meminta maaf kepada PKI, saya rasa itu langkah yang sangat keliru.”41
2. Dampak Bagi Korban Penumpasan
Tahanan yang diduga anggota/simpatisan PKI pasca G30 S/PKI berjumlah
ratusan ribu orang. Kenyataan itu mencerminkan betapa pesatnya perkembangan
anggota PKI di Indonesia, yang sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada pemilu
tahun 1955, sudah meraih 6 juta suara.42
Penangkapan dan pengejaran tokoh-
tokoh PKI tidak hanya dilakukan oleh aparat-aparat resmi, tapi juga gerakan-
gerakan kontra G 30 S/PKI yang muncul spontan dari kalangan masyarakat
ataupun mahasiswa. Rupanya sulit menghindari timbulnya ekses-ekses atas tokoh-
tokoh yang ditangkap. Dalam operasi militer, ada yang melawan atau melarikan
40
Wawancara Pribadi dengan Burhanuddin Zainuddin Rusdiman pada Rabu, 8-3-2017.
41
Wawancara Pribadi dengan Burhanuddin Zainuddin Rusdiman pada Rabu, 8-3-2017.
42
Aco Manafe, Teperpu,Mengungkap Pengkhianatan PKI Pada Tahun 1965 dan Proses
Hukum Bagi Para Pelakunya, h. 115.
62
diri sehingga tertembak petugas, tanpa melalui proses di pengadilan.43
Menindaklanjuti Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 mengenai
pembubaran PKI dan ormas-ormasnya serta larangan ajaran Komunisme-
Marxisme dan Leninisme, pemerintah menetapkan penggolongan terhadap para
anggota/simpatisan PKI. Ketiga golongan tersebut sebagai berikut:
1. Golongan A, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pemberontakan
G 30 S/PKI, baik di pusat maupun di daerah.
2. Golongan B, yaitu mereka yang telah disumpah atau menurut saksi-
saksi telah menjadi anggota PKI atau pengurus organisasi yang seazas
dengan PKI, atau mereka yang menghambat usaha penumpasan G 30
S/PKI.
3. Golongan C, yaitu mereka yang pernah terlibat dalam pemberontakan
PKI-Madiun, atau para anggota ormas seasas dengan PKI, atau mereka
yang bersimpati atau terpengaruh sehingga menjadi pengikut PKI.
Terhadap Golongan A, pemerintah memproses semuanya melalui
pengadilan dan proses yuridis formal. Golongan B, pemerintah melakukan
pemisahan mereka dari masyarakat umum, dengan cara mengkonsentrasikan
mereka di tempat tertentu. Penempatan Golongan B, seperti di Pulau Buru,
bertujuan menghindarkan mereka dari amuk massa yang kecewa atau dulunya
tertekan oleh berbagai agitasi dan politik kekerasan PKI. Terhadap Golongan C,
pemerintah memberikan bimbingan dan berharap mereka akan kembali menjadi
warga yang baik, hidup dengan asas-asas falsafah Pancasila dan tak akan
terpengaruh lagi dengan ajaran komunis.44
43 Aco Manafe, Teperpu,Mengungkap Pengkhianatan PKI Pada Tahun 1965 dan Proses
Hukum Bagi Para Pelakunya, h. 116.
44
Aco Manafe, Teperpu,Mengungkap Pengkhianatan PKI Pada Tahun 1965 dan Proses
Hukum Bagi Para Pelakunya, h. 170.
63
Dalam kesempatan ini penulis berkesempatan mewawancarai korban yang
mengalami langsung akibat dari penumpasan yang dilakukan oleh aparat dan
masyarakat ketika itu. Bernama Lukas Tumiso, pria kelahiran Samarinda, 7 Maret
1940 yang merupakan mantan Tahanan Politik (Tapol) Pulau Buru. Masih segar
dalam ingatannya dari mulai proses penangkapan sampai akhirnya dirinya
dibebaskan setelah menjalani masa tahanan selama 14 tahun dari mulai tahun
1965 sampai tahun 1979. Menurut pengakuannya kepada penulis, pada tahun
1965 ada kejadian di Jakarta. Sebagai mahasiswa yang tidak pernah berbuat
tindakan apa pun apalagi yang berhubungan langsung dengan G 30 S/PKI, selepas
pulang kuliah tepatnya di Surabaya, Lukas Tumiso ditangkap oleh tentara lalu
dipukuli, dan disiksa pada saat proses interogasi, hingga menjadi tahanan di Pulau
Buru. Sebelum ditahan di Pulau Buru, pada tahun 1965-1969 Lukas Tumiso
sempat ditahan di Rumah Tahanan Militer Koblen, Surabaya setelah itu
dipindahkan ke Pulau Nusakambangan.
Baru pada tahun 1969-1979 dirinya
beserta tahanan lain ditahan di Pulau Buru.45
Sementara itu selama menjadi tahanan di Pulau Buru, Lukas Tumiso
bersama dengan tahanan lainnya dipekerjakan. Seperti membuat sawah dengan
luas 2500 hektare, ladang seluas 3000 hektare, bendungan, jalan yang
menghubungkan antar unit, dan rumah ibadah yang semua itu dikerjakan dengan
tenaga manusia. Agar mereka dapat meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi
warga di sekitar Pulau Buru kelak jika mereka dibebaskan.46
45
Wawancara Pribadi dengan Lukas Tumiso pada Selasa, 3-1-2017.
46
Wawancara Pribadi dengan Lukas Tumiso pada Selasa, 3-1-2017.
64
Dampak yang dialami oleh Lukas Tumiso dan mantan tahanan lainnya
hingga saat ini rata-rata hampir serupa, berikut penuturannya kepada penulis.
“Kalau fisik parah, sampai sekarang derita yang saya dan hampir semua
mantan tahanan alami adalah hernia dikarenakan saya dan teman-teman ketika
menjadi tahanan bekerja melampaui batas kemampuan. Lalu kita para mantan
tahanan belum bisa membebaskan diri dari mimpi. Dimana kita selalu mimpi
bahwa seolah-olah kita masih merasa ditahan. Rata-rata mantan tahanan
mengalami dampak seperti itu, mereka seolah-olah masih dibelenggu rasa
ketakutan, harga diri rendah, dan gampang terkejut.”47
Tuntutan dan harapan Lukas Tumiso kepada pemerintah sekarang adalah
bagaimana pemerintah bisa mengembalikkan haknya beserta mantan tahanan lain
yang ketika itu mendapatkan perlakuan yang sama seperti disiksa dan dipukuli
ketika ditahan.
“Tuntutan dan harapan saya jelas, kembalikan hak kami. Itu merupakan
janji pemerintah sejak awal dari mulai rehabilitasi. Seperti kompensasi dsb, itu
tidak penting, rehabilitasi dulu jalankan.” Penyelesaian dengan cara rekonsiliasi
menurut Lukas Tumiso sudah ia lakukan secara horizontal, yakni antara dirinya
dengan pelaku penumpasan. Tetapi permasalahan secara vertikal belum
terselesaikan hingga saat ini. Secara vertikal dalam hal ini antara lain oleh negara.
Pemerintah belum mendengarkan tuntutan dari sebagian besar yang pernah
menjadi korban dari penumpasan PKI pada tahun 1965. Seperti adanya
rehabilitasi nama baik, status sosial mereka di kalangan masyarakat.48
47
Wawancara Pribadi dengan Lukas Tumiso pada Selasa, 3-1-2017.
48
Wawancara Pribadi dengan Lukas Tumiso pada Selasa, 3-1-2017.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Penumpasan Terhadap
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hak Asasi Manusia, maka dapat disimpulkan.
1. Penumpasan terhadap pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang terjadi
pada tahun 1966-1968 sesuai menurut Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
karena dalam upaya pemberontakannya Partai Komunis Indonesia sudah
memenuhi unsur-unsur dari jarimah al-baghyu, seperti melawan dan
membunuh aparat pemerintah, pemberontak didukung kekuatan bersenjata,
serta menguasai objek vital negara (stasiun radio, stasiun televisi, dan markas
persenjataan). Adapun penjatuhan sanksi hukuman mati melalui pengadilan
Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh yang terlibat langsung
dalam pemberontakan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam
Hak Asasi Manusia. Merujuk pada Pasal 4 Ayat (1) Kovenan Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1966.
B. Saran
1. Kepada para mahasiswa/i khususnya mahasiswa/i UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta agar dengan membaca skripsi ini dapat melihat sejarah masa lalu yang
berkaitan dengan penumpasan Partai Komunis Indonesia secara objektif dan
dapat menjadikan skripsi ini sebagai bahan referensi terkait studi yang
berkaitan dengan perbandingan hukum yakni antara Hukum Islam dan Hak
Asasi Manusia.
66
2. Kepada para ulama dan akademisi agar bersama-sama memperkuat persatuan
nasional dengan memberikan dakwah dan ilmu pengetahuannya yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila, agar masyarakat dapat mengimplementasikan
secara luas nilai-nilai tersebut dalam perbuatannya sehari-hari. Sehingga
peristiwa G 30 S/PKI tidak terulang kembali.
67
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Pustaka
Al-Qur‟an al-Karim.
Al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahannya. Kementerian Agama Republik
Indonesia, 1996.
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafinfo Persada, 2001.
Amiruddin., Asikin Zainal. H. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Anis, Ibrahim., Halim Muntashir, Abdul., dkk. Al-Mu‟jam Al-Wasith. Mesir: Dar Al-
Ma‟arif, 1972.
Audah, Abdul Qadir. Al-Tasyri‟ Al-Jinai Al-Islami. Beirut: Mu‟assasah Al-Risalah, 1992.
________________. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (Al-Tasyri Al-Jinai Al Islami).
Bogor, PT Kharisma Ilmu, 2011.
Bukhari Al-, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih Al-Bukhari. Indonesia: Dahlan,
Jilid IV.
Busyairi, Badruzzaman. Boerhanuddin Harahap: Pilar Demokrasi. Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1989.
Dhyatmika, Wahyu. Seri Buku Tempo, Musso Si Merah di Simpang Republik. Jakarta:
PT Gramedia, 2011.
Dwipayana, G., K. H. Ramadhan. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.
___________., Sjamsuddin, Nazaruddin. Jejak Langkah Pak Harto, 1 Oktober 1965-27
Maret 1968. Jakarta: PT Citra Kharisma Bunda, 2003.
Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2002.
Effendi, A. Masyhur., Evandri, Taufani S. HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis,
Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi dalam Masyarakat. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia, 2005.
Fayumi Al-, Ahmad bin Muhammad bin Ali Al-Maqri. Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib
Al-Syarh Al-Kabir li Al-Rafi. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1994.
68
Gultom, Samuel. Mengadili Korban, Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara.
Jakarta: Penerbit ELSAM, 2003.
Irfan, M. Nurul. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Penerbit Amzah, 2016.
___________., Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Penerbit Amzah, 2015.
Joeniarto. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Kurasawa, Aiko., Toshio, Matsumura. G 30 S dan Asia. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2016.
Kurniawan. Pengakuan Algojo 1965. Jakarta: PT. Temprint, 2014.
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014.
Ma‟luf, Louis. Al-Munjid fi Al-Lughah. Damaskus: Dar Al-fikr, 1973.
Manafe, Aco. Teperpu,Mengungkap Pengkhianatan PKI Pada Tahun 1965 dan Proses
Hukum Bagi Para Pelakunya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008.
Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1992.
Mudzhar, Muhammad Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia :“Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”. Jakarta: INIS,
1993.
Muladi. Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep, & Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat. Bandung: PT Refika Aditama, 2005.
Notosusanto, Nugroho dan Saleh, Ismail. Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30S/PKI di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Intermasa, 1990.
Pour, Julius. Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan, Petualang. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2010.
Said, Salim. Dari Gestapu Ke Reformasi. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2014.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Gerakan 30 September PKI, Latar Belakang,
Aksi, dan Penumpasannya. Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 1994.
Subroto, Hendro. Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009.
Sulistyo, Hermawan. Palu Arit Di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang
terlupakan, Jombang-Kediri 1965-1965. Jakarta: Pensil-324, 2011.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Penerbit Kencana, 2011.
69
Syaukani Al-, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail Al-Autar. Beirut: Dar-Al-Fikr.
Jilid VIII dan IX.
Tabah, Anton. Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G 30 S/PKI. Klaten:
Penerbit Sahabat, 2014.
Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Penerbit Kencana, 2014.
Zuhaili Al-Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar Al-Fikr. Cet. Ke-
4. Jilid VI, 1986.
B. Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Jakarta. 5 Januari 2017.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Nurkhoiron. Jakarta. 25 November 2016.
Wawancara Pribadi dengan Burhanuddin Zainuddin Rusdiman. Yogyakarta. 8
Maret 2017.
Wawancara Pribadi dengan Lukas Tumiso. Jakarta. 3 Januari 2017.
70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
I(EMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Jl. fr. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang SelatanTelp. (021) 74711537
Website: www.uinj kt.ac.id, Email: [email protected]
I II-.TITT !
NomorLampiranPerihal
: Un .O1lF.4/PP.00.9/ 12016 Jakarta 1 1 Agustus 2016 MB Dzulkaidah 1437 H%tio
: Mohon Kesediaan Meniadi Pembimbinq Skripsi
Kepada Yang Terhormat,1. Dr, Ahmad Mukri Adji, MA"2. AliMansur, MA(Dosen Fakultas Syariah dan Huktm UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)D'
JAKARTA
Assalamu'alakum Wr. Wb-
Pimpinan Fakuftas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakartarnengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa;
NamaNIMFakultasPrograrn StudiJudul Skripsi
: Muhammad Aryo Purwanto:1112043200003: Syariah dan Hukum: Perbandingan Mazhab: Penumpasan Terhadap Pemberontakan Partai Komunislndonesia Dalam Perspektif Hukum lslam dan Hak AsasiManusia
Demi penyempurnaan skipsi, pembimbing dibenarkan :
1. Mengembangkan dan rnenyempumakan outline:2. Penulisan agar merujuk kepada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta"
Atas kesediaan Saudara kami ucapkan terima kasih
Wassa lamu'alaiku m W. W.
Tembusn:1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN (Sebagai Laporan)2. Kasubag Akademik &kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum3, Sekretaris Program Studi PMH Fakultas Syariah dan Hukum4. Arsip
.qkultas Syariah dan Hukumram Studi Perbandinqan Mazhab
e
3r2 r ooz
g{ffi, VKH, N W ffi, RIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAI(ARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Jl. Ir. Ftr. Juanda lr[o. 95 Ciputat -l'angerang Selatan
Telp. (021) 74711537We b s nte : ww\v" nu fi mi kt. a c.i d, E m ail : h u m as . fs h (6i,) tl.n n.ikt agJd
Nomor : U N.0 1lF4lKM.01 .03/ 12016
Lampiran : - V&8r
Hal : Permohonan DataMawanca!'a
NamaTempat/TanggalNIMSemesterProgram StudiAIamat
Telp/Hp
adalah benar yangU lN Syarif H id ayatu lla h
Jakarta, 23 Desember 2016
Muhammad Aryo Punruanto
Jakarta I 22 Oktober 19921 1 120432000039
Perbandingan MazhabJl.Kintamani 4 Blok B1 No B, Baliview. Cireundeu
: Q81289782348
bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan HukumJakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:
Kepada
Yth. Dr. M. Nurul lrfan, M.Ag.UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di
Tempat
Assalammu'alaikum, Wr. Wb.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakartamenerangkan bahwa :
Penumpasan Terhadap Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Dalam Perspektif Hukum lslamdan Hak Asasi Manusia
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerimayang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsidimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
Wa ssal ant u' al ai ku m, Wr.Wb.
a.[1. Dgka n
Kepala Bagian Tata Usaha
M.Pd001
Drs. Mocha\Efad Guruh,Prrr tP,19620408 1 98 7 10 1
KEMENTERIANT AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATU LLAH JAKARTA
FAKULT?\S SYARIAH DAN HUKUMJl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan
Telp. (021) 74711537Website: www.uinj kt.ac"icl, Email: humas.l.sh(!uin.ikt.aq.id
I rlnLrr[ r
'f 't i"s'i ''hjrrr*rh .$d'Fffi
"'\''n""
Nomor : U N .0 1 lF 4lKM.01 .0 311STT lZ0 1 o
Lampiran : -
Hal : Perrnohonan Data/Wawancara
NamaTempat/TanggalNIM .
Semester 4
Program StudiAlamat
Telp/Hp
, adalah benar yangUlru Syarif Hid ayatullah
Jakarta, 17 Oktober 2016
Kepada
Yth.Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
di: Tempat
Assalammu'alaikum, Wr. Wb.Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif l-lidayatullah Jakarta
menerangkan bahwa :
Muhammad Aryo PurwantoJakarla I 22 Oktober 19921 1 120432000039
Perbandingan MazhabJl.Kintamani 4 Blok B1 No B, Baliview. Cireundeu
: Q812Bg7B234B
bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan HukumJakarta yang sedang menyusun s[<ripsi dengan judul:
Penumpasan Terhadap Pemberontakan Partai Komunis lndonesia Dalam Perspektif Hukum lslamdan Hak,Asasi Manusia
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerimayang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsidimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, karni ucapkan terima kasih.Wa ssal a m u' al ai ku m, Wr.Wb.
Deka p.,_,.
Kepala eabjan
d Gr,rruh, M.Pd198710 1 001
I(E,ME,h[TE, RIAN AGAMAUNTVE,RSITAS ISLAM NE,GE,RI (UIN)SYARIF I TII)AYATULLAI{ JAKARTA
IhI(ULTAS SYARIAII DAN IIUI(UM
Jl. [r. H. Juancla No. 95 Ciputat Tangerang SelatanTelp. (021) 74711537
Website: www.uinjkt.ac.id, Email: [email protected]
Nomor : UN.01lF4lKM.01 .03/Bgl2A17
Lampiran : -
Hal : Permohonan DataM/awancara
NamaTempat/TanggalNIMSemesterProgram StudiAlamat
Telp/Hp
adalah benar yangU lN Syarif Hid ayatullah
Jakarta, 11 Januari 2017
: ffiuhammad Aryo Purwanto: Jakarta I 22 Oktober 1992: 1112043200003: 10: Perbandingan Mazhab: Jl.Kintamani 4 Blok B1 No B, Baliview. Cireundeu
: Q812897B234B
bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan HukumJakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:
KepadaYth.
Burhanuddin Zainuddin Rusdiman
diTempat
Assalammu'alaikum, Wr. Wb.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakartamenerangkan bahwa :
Penumpasan Terhadap Pemberontakan Partai Komunis lndonesia Dalam Perspektif Hukum lslamdan Hak Asasi Manusia.
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerimayang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsidimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
Wa ssal am u' a I ai ku m, Wr.Wb.
M.Pd001
Tembusan:1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta2. Kaprodi/Sekprodi Perbandingan Mazhab
EIf;l EIEi'{i*]tEI*ffi
i''G u ruh,
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 ciputat Tangerang selatan
KE,MENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGE,RI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN I{T.]KT]MTelp. (021) 74711537
website: www.uinj kt.ac.id, Email: humas.fsh@uinj tt.ac.ia
t llnLill I
Nomor : UN.01lF4lKM.01 .0312492120 16
Lampiran ' -
Hal : Permohonan DataAffawancara
Kepada
Yth. BapakLukas Tumiso
di
Tempat
Jakarta, 30 Desember 2016
Assalammu'alaikum, Wr. Wb.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakartamenerangkan bahwa :
NamaTempat/TanggalNIMSemesterProgram StudiAlamat
Telp/Hp
adalah benar yangUIN Syarif Hid ayatullah
Penumpasan Terhadap Pemberontakan Partai Komunis lndonesia Dalam Perspektif Hukum lslamdan Hak Asasi Manusia.
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerimayang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsidimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaiku m, Wr.Wb.
a.n. Dekan.Kepala Bagian Tata Usaha
Muhammad Aryo PunvantoJakarla I 22 Oktober 19921 1 12043200003IPerbandingan MazhabJl.Kintamani 4 Blok B1 No B, Baliview.
: 081289782348
bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan HukumJakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:
ta
Drs. Mo ad Guruh, M.Pd001NlP 19620408 198710 1
4f
76
Narasumber : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag.
Tempat/Tanggal Lahir : Magelang, 2 Agustus 1973
Jabatan : Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tempat Wawancara : Fakultas Syari’ah dan Hukum lt. 2, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Waktu Wawancara : 5 Januari 2017, 13.35 WIB
1. Apa pandangan bapak terkait peristiwa G 30 S/PKI dalam ruang lingkup
hukum Islam dan hukum positif?
Dalam hukum Islam jelas G 30 S/PKI termasuk bugat atau bahasa lainnya
disebut makar karena terang-terangan mereka yang menamai gerakannya
sebagai G 30 S/PKI melakukan perbuatan yang bermaksud untuk
melengserkan pemerintahan yang resmi dengan membunuh tujuh jenderal dan
satu perwira. Begitu juga dalam hukum pidana positif, jelas tindakannya juga
dapat disebut makar. Karena sudah ada kekuatan, sudah ada kelompok, sudah
ada tindakan konkret bahkan sampai menghabisi beberapa jenderal yang aktif
ketika itu.
2. Tentara dan masyarakat ketika itu melakukan penumpasan secara masif
terhadap anggota/simpatisan yang tertuduh berafiliasi kepada PKI.
Menurut bapak, apakah tindakan yang dilakukan tentara dan
masyarakat di Indonesia ketika itu sudah sesuai dengan sanksi yang
diterapkan bagi Jarimah Pemberontak (Jarimah Bugat)?
Sudah tepat, karena negara harus punya kekuatan, dan harus tegas dalam
menanggapi aksi atau perbuatan seperti makar tersebut. Kalau tidak
77
kewibawaan negara bisa jatuh jika tindakan tersebut dibiarkan dan akan timbul
kekacauan yang terus menerus. Karenanya gerakan yang dimotori oleh
pemerintah dengan cara menumpas mereka itu sudah tepat sesuai dengan
sanksi yang diberikan kepada jarimah bugat (pelaku makar). Dalam Al-Qur’an
disebutkan:
م طائفتان من إون ل م ل ا ٱ تت م و ا ٱل دىهم ا فإن بغتل إحل ا ةيل هم صل حم و فأ
لع لم ا ٱل مل ٱل فقت م و
ء إل أ تف تتلغ ح ل ا ٱل صل حم و
فإن فاءتل فأ
ا ل ٱل دل ةيل هما أ و إنل م ب ٱل يم ل م ل ـ وت( ٩ ٱ / رة وحلمـجم
٩: ٤٩(
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Akan tetapi,
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah
yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai kembali pada
perintah Allah. Kalau ia telah surut damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (QS.49 (Al-Hujarat) :
9)
3. Ketika terjadinya penumpasan banyak ditemukan orang-orang yang
tidak bersalah atau tidak terlibat langsung dalam peristiwa G 30 S/PKI
ditangkap kemudian berujung pada penyiksaan yang tidak manusiawi
oleh tentara. Seperti disetrum, dipukuli, sampai berujung pada kematian.
Bagaimana bapak melihatnya dalam perspektif Hukum Pidana Islam
(Fiqh Jinayah)?
Kalau sampai salah tangkap terhadap orang yang tidak melakukan tindak
pidana bugat atau makar lalu diberikan sanksi yang sama dengan orang yang
78
melakukannya tentu itu salah dan keliru apalagi sampai disiksa, dipukuli,
hingga dibunuh. Karena di dalam menjatuhi sanksi hukuman terhadap pelaku
pemberontak harus sempurna dan tidak boleh ada syubhat. Jadi hukum pidana
dalam hukum Islam sendiri wajib dibatalkan kalau terjadi seperti itu. Dalam
hadits disebutkan tentang syubhat.
ه ق ق ق ه ق ق ب الش ب ه اب
Artinya: “Hudud gugur karena ada syubhat”.
Dalam hal ini maksud dari syubhat itu adalah keragu-raguan dalam
mengidentifikasi para pemberontak. Seperti timbul keraguan bahwa yang
hendak ditumpas tersebut benar-benar pemberontak atau hanya simpatisan
yang ikut-ikut saja yang dimana mereka bukan pelaku pemberontak. Jadi
dalam kondisi seperti itu negara harus hati-hati dalam menindak mereka.
4. Banyak dari keturunan para tokoh-tokoh PKI yang turut menjadi korban
dari kebijakan pemerintahan era Orde Baru. Dimana mereka tidak
mendapatkan hak-hak yang sama seperti warga masyarakat yang lain.
Seperti tidak diperbolehkan masuk ke dalam pemerintahan dsb.
Bagaimana bapak melihat peristiwa tersebut?
Waktu itu disebabkan pemerintah sangat hati-hati terhadap kemungkinan
terjadinya kebangkitan komunis di Indonesia. Akibatnya para keluarga korban
yang tidak ikut bersalah juga mendapat perlakuan diskriminatif. Dalam hukum
Islam sendiri berlaku asas yang melarang memindahkan kesalahan orang lain.
Intinya kalau penjatuhan sanksi dilakukan secara membabi-buta terhadap
79
keturunannya yang tidak bersalah itu tidak dibenarkan. Tentu dalam sisi Hak
Asasi Manusia juga bersalah karena akan meudikan generasi penerus yang
sama sekali tidak terlibat langsung dalam pemberontakan. Jadi bisa di qiyas
kan dengan lahirnya anak dari hasil zinah. Walaupun orang tuanya berbuat
zinah dan melahirkan anak. Anak tersebut tetap suci walaupun dari hasil zinah
dan tidak menanggung dosa kedua orang tuanya.
5. Agar peristiwa kelam tersebut tidak terulang lagi, apa yang harus
dilakukan oleh ulama, tokoh agama, dan pemerintah pada saat ini dalam
menyelesaikan peristiwa G 30 S/PKI ?
Dakwah dengan baik, ulama menyampaikan ilmu agama dengan benar dan
kerjasama dengan umara mengakomodir tentang apa yang disampaikan oleh
ulama. Jadi kalau sampai ada wacana MUI mau dibubarkan itu adalah wacana
yang sangat keliru. Karena umara atas bimbingan ulama dan MUI
merepresentasikan dari berbagai kelompok ulama mengenai pendapatnya,
fatwa yang telah dikeluarkan, dsb.
Jakarta, 5 Januari 2017
Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag.
80
Narasumber : Muhammad Nurkhoiron
Tempat/Tanggal Lahir : Malang, 15 Januari 1974
Jabatan : Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Tempat Wawancara : Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jalan
Latuharhari No. 4B, Kelurahan Menteng, Jakarta
Pusat 10310, Indonesia.
Waktu Wawancara : 25 November 2016, 14.20 WIB
1. Bagaimana pandangan bapak selaku Komisioner Komnas HAM, dalam
melihat peristiwa penumpasan terhadap anggota/simpatisan PKI pada
tahun 1965?
Pandangan Komnas HAM jelas bahwa peristiwa tersebut masuk ke dalam
kategori pelanggaran HAM berat, memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pelanggaran HAM yang berat.
Elemen dari pelanggaran HAM yang berat ada 2, Sistematis dan Meluas.
Sistematis artinya bahwa kejahatan itu bukan kejahatan pidana biasa yang
dilakukan setiap individu, tetapi dilakukan atas dasar kelembagaan yakni ada
institusi yang terlibat terjadinya kejahatan itu. Meluas yaitu kejadiannya
hampir di seluruh daerah ada. Temuan Komnas HAM meliputi daerah mulai
dari, Sumatera Utara tepatnya di Medan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, sampai ke daerah Nusa Tenggara Timur.
2. Menurut data yang komnas HAM miliki, berapa tepatnya jumlah korban
dari penumpasan?
Komnas HAM sampai sejauh ini sudah memeriksa sekitar 1000 orang yang
melapor sebagai korban dari tragedi 1965.
81
3. Apa upaya yang sudah Komnas HAM lakukan dalam menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun 65?
Komnas HAM bersungguh-sungguh menyelesaikan dengan mencari
penyelasaian yang berkeadilan, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ada
dua opsi penyelesaian, yakni bisa dilakukan melalui jalur pengadilan (yudisial)
maupun jalur di luar pengadilan (non yudisial) yang dimana di luar pengadilan
diatur dalam KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di mana Undang-
Undangnya harus dibentuk terlebih dahulu. Dulu Komnas HAM ikut
mendorong Undang-Undang KKR dimana sudah diputuskan di DPR tahun
2005, tapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dikarenakan ada LSM yang
melakukan Judicial Review dimana tujuannya untuk menghapus satu pasal saja
dalam Undang-Undang KKR tersebut. Dimana pasal yang hendak dihapus
tersebut justru memperkuat impunitas, artinya memberi kekebalan hukum
terhadap pelaku. Bukannya MK menghapus satu pasal, tetapi justru
membatalkan seluruh Undang-Undang tersebut. Tetapi ada catatan di dalam
keputusan MK selama belum terbentuk Undang-Undang yang baru, jalan
penyelesaian dapat ditempuh melalui keputusan politik dibawah presiden. Jadi
keputusan MK tersebut bisa dijadikan dasar presiden untuk membentuk KKR
dibawah presiden, yakni melalui Perpres dsb.
4. Sejauh ini, apakah rekonsiliasi dikehendaki oleh kedua belah pihak?
Justru banyak yang tidak menginginkan adanya rekonsiliasi, mengapa? Karena
isu rekonsiliasi itu sangat sensitif untuk diserang dengan mempropagandakan
kebangkitan komunisme, kebangkitan neo-komunisme, dsb. Orang-orang yang
82
masih takut dengan rekonsiliasi masih banyak, mereka sebetulnya belum
mendapat jawaban jika sudah terjadi rekonsiliasi, mereka (pelaku) terancam
atau tidak. Dimana mereka yang disebut pelaku masih mendapat satu informasi
saja, bahwa jika terjadi rekonsiliasi mereka semua langsung diadili, dan
dipenjara semua. Padahal jelas-jelas tidak. Rekonsiliasi bisa dilakukan dengan
banyak cara, yang penting ada penyelesaian. Dimana penyelesaian tersebut
berupa tanggung jawab moral dan politik yang dilakukan oleh rezim
pemerintah sekarang untuk menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan
oleh rezim pemerintah di masa lalu. Karena penyelesaian HAM di masa lalu itu
berlangsung surut, walaupun Undang-Undang tentang pelanggaran HAM berat
baru terbentuk tahun 2000, tetapi pelanggaran HAM yang terjadi sebelum
tahun 2000 bisa diusut. Bersifat berlangsung surut, selagi ada bukti
pelanggaran HAM berat tersebut, Komnas HAM bisa memeriksa dan
melakukan penyelidikan.
5. Menurut bapak, apakah perlu Presiden Republik Indonesia bapak Joko
Widodo, memimpin secara langsung proses rekonsiliasi tersebut?
Jelas, karena presiden merupakan simbol kepala negara. Karena dia simbol
kepala negara, maka dia yang pertama kali memberikan janji dan komitmennya
bahwa negara ini bisa menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Dengan
mengakui adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah di
masa lalu.
6. Beberapa temuan yang saya baca, baik dari buku maupun berita, ada
dokumen yang dimiliki Amerika Serikat tentang keterlibatan CIA (Dinas
83
Intelijen Amerika) dalam kasus penumpasan/pembantaian G 30 S, apakah
Komnas HAM pernah menindaklanjuti temuan yang serupa?
Justru Komnas HAM periode saya pernah ke Amerika tepatnya ke Washington
D.C. lalu bertemu dengan pihak Departemen Luar Negeri di sana. Dimana di
sana ada Undang-Undang tentang keterbukaan informasi yang menyatakan,
dokumen yang sudah berusia diatas 25 tahun bisa diakses oleh publik. Saya
pernah kesana untuk meminta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
peristiwa 1965. Kemudian dari pihak Amerika menyatakan, mereka tergantung
dengan Presiden Barack Obama untuk membuka akses dokumen tersebut.
Kemudian Presiden Barack Obama juga tergantung dengan Presiden Indonesia,
dalam hal ini Presiden Joko Widodo. Tetapi karena kami (Komnas HAM) tidak
mewakili Presiden Joko Widodo, hanya mewakili sebuah lembaga yang
independen, Presiden Obama belum tentu memberi sinyal untuk diberikan.
7. Kalau ternyata terbukti dalam temuan dokumen tersebut bahwa CIA
terlibat dalam kasus pelanggaran ham berat tahun 1965, artinya ada 2
negara yang seharusnya ikut bertanggung jawab dalam proses
rekonsiliasi, apa yang komnas ham lakukan jika hal itu terjadi?
Terus menuntut ke mereka untuk meminta pertanggung jawaban dan ganti rugi.
Sama seperti Belanda dalam peristiwa Rawa Gede pada tahun 1948, ketika
mereka menyisir tentara republik, mereka banyak menghabisi rakyat desa
karena dianggap menyembunyikan tentara republik. Itu mereka mengakui,
bahwa mereka melakukan pembantaian terhadap penduduk sipil dan ada ganti
ruginya. Tetapi harus diperjuangkan dari dalam negeri mereka terlebih dahulu
84
melalui LSM di Belanda, lalu LSM tersebut mengajukan ke parlemen sehingga
parlemen bisa memastikan pemerintah Belanda, bahwa ada sebuah pelanggaran
HAM berat di masa lalu yang harus diselesaikan. Begitu pun suatu saat jika
Amerika terlibat dalam peristiwa 1965, prosesnya sama.
Jakarta, 25 November 2016
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia
Muhammad Nurkhoiron
85
Narasumber : Burhanuddin Zainuddin Rusdiman
Tempat/Tanggal Lahir : Yogyakarta, 25 April 1940
Tempat Wawancara : Kampung Brontokusuman, MG III No. 217, RT 20
RW 06, Kecamatan Mergangsan. D.I Yogyakarta.
Waktu Wawancara : 8 Maret 2017, 10.30 WIB.
1. Bagaimana pandangan Bapak terkait peristiwa G 30 S/PKI?
G 30 S/PKI adalah pemberontakan yang dilakukan PKI di Indonesia yang
kesekian kalinya. Pemberontakan PKI pada tahun 1926, 1948 adalah sebuah
kemenangan yang tertunda. Karena pemberontakan dapat diredam ketika saat
itu, tokoh-tokoh pimpinan mereka kabur keluar negeri. Tahun 1926
pemberontakan ditumpas Musso pergi ke Uni Soviet, tahun 1948 Musso
ditembak hingga tewas lalu Aidit yang melarikan diri ke Tiongkok. Jadi Aidit
sudah terlibat sejak tahun 1948. Tahun 1950 memulai lagi mereka membangun
kekuatan dengan ikut serta dalam pemilu tahun 1955 dan kembali
memberontak lagi tahun 1965.
2. Suasana seperti apa yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 1965?
Ini daerah basis (PKI). Pasca pemilu 1955 di Yogya partai terbesar ada 4 yakni
PNI, Masyumi, NU dan PKI. Jika PNI, Masyumi dan NU digabungkan jadi
satu tidak ada setengahnya dari PKI. Sewaktu kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada saya aktif di HMI. Setelah mendengar dari warta
berita pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965 tentang peristiwa G 30 S/PKI
saya langsung dapat memastikan otak dibalik peristiwa itu adalah PKI. Pada
tahun 1966 sebagai staf satu Laskar Ampera Aris Margono saya mendapatkan
86
license to kill dari militer artinya saya dapat membunuh orang yang diduga
kuat anggota PKI yang terlibat langsung pemberontakan. Ada sekitar 10 orang
yang diberi pistol jenis FN dan dilatih oleh militer di Kaliurang. Operasi
penumpasan terhadap PKI dilakukan pada malam hari setelah Isya. Upaya
pemberontakan PKI di Yogyakarta juga sudah terbukti melalui tindakan tentara
yang sudah berhaluan kiri bernama Mayor Mulyono dari Batalyon L dengan
membunuh Komandan dan Kepala Staf Korem Yogyakarta secara keji yaitu
Brigadir Jenderal Katamso dan Letnan Kolonel Sugiyono. Brigjen Katamso
dan Letnan Kolonel Sugiyono dibunuh dengan kepala mereka dipukul pakai
kunci mortar hingga tewas.
3. Apa faktor yang menyebabkan bapak melakukan eksekusi terhadap
anggota/simpatisan yang tertuduh berafiliasi ke PKI?
Karena keluarga saya selalu diancam oleh PKI. Saya pribadi ketika tahun 1965
sudah diberi tanda oleh pihak PKI bahwa saya rencana akan diculik kemudian
dihabisi. Juga ayah saya, kebetulan ayah saya adalah tokoh Masyumi beliau
menjabat sebagai ketua Syarikat Buruh Islam Indonesia musuh utama dari
SOBSI (Syarikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang bagian dari
underbouw PKI. Rumah saya di daerah Suronatan ketika itu diserang oleh para
buruh yang tergabung dalam SOBSI. Pemicu dari penyerangan itu sepele,
dimana ayah saya mempunyai besan dari daerah Banjar datang ke Stasiun
Tugu Yogya dengan kereta. Ketika baru sampai ke rumah ayah saya dari
Stasiun Tugu, besan ayah saya itu diperas oleh salah satu tukang becak yang
beroperasi disitu. Setelah diketahui tukang becak tersebut memang anggota
87
PKI. Lantas saya marah dan menegur tukang becak yang memeras besan ayah
saya. Kemudian setelah dari peristiwa itu para anggota SOBSI menyerbu
rumah ayah saya, ayah saya diancam akan diculik lalu diancam akan dibunuh
oleh mereka yang tergabung dalam SOBSI.
4. Jadi dalam hal ini bapak menilai bahwa pelaku dari pelanggaran HAM
yang sebenarnya adalah PKI?
Ya itu yang sekarang saya sesalkan, ada semacam kekeliruan dari sebagian
masyarakat yang menganggap bahwa PKI itu korban, itu salah besar menurut
saya. Karena sebelum mereka menjadi korban, mereka adalah pelaku utama
dari pembunuhan orang-orang yang tidak bersalah. Puncak dari kebiadaban
PKI menurut saya adalah peristiwa Madiun tahun 1948, dimana banyak
masyarakat khususnya yang beragama Islam di sana dibunuh dan disiksa secara
keji oleh mereka (PKI). Karena di daerah sekitar Madiun sampai Magetan
banyak berdirinya pesantren-pesantren yang merupakan musuh utama dari
PKI. Bukan hanya Islam tetapi semua agama yang berseberangan dengan
ideologinya akan ikut dibasmi juga karena merupakan musuh bagi mereka.
5. Apakah pernah ada salah satu dari korban yang tidak bersalah yang
bapak eksekusi ketika itu?
Tidak ada, ketika itu ada pengklasifikasian terhadap anggota PKI seperti
golongan A dan B dimana terhadap golongan tersebut akan kita tangkap lalu
kita serahkan ke militer untuk ditahan. Tetapi bagi golongan C atau yang hanya
ikut-ikut menjadi anggota PKI dan tidak terlibat langsung dalam
pemberontakan saya akan kembalikan mereka ke masyarakat dan kita bina
88
mereka agar menjadi masyarakat yang Pancasilais kembali. Yang saya
eksekusi ketika itu adalah anggota PKI yang terlibat langsung dalam
pemberontakan dan merupakan upaya untuk membela diri saya karena kalau
tidak, saya yang akan dieksekusi oleh mereka. Suasana yang terjadi ketika itu
adalah perang sipil. Antara masyarakat yang anti komunis melawan masyarakat
yang pro terhadap komunis. Kalau kita tidak membunuh ya kita akan dibunuh
oleh mereka (anggota / simpatisan PKI).
6. Apakah bapak sudah melakukan rekonsiliasi terhadap korban?
Rekonsiliasi secara alamiah sudah terjadi dengan bukti bahwa kita menerima
dengan senang hati ketika para tahanan politik PKI dibebaskan pada akhir
tahun 1970an. Tetapi dengan syarat mereka bisa kita bina jika mereka tidak
mau ya kita binasakan. Jadi tidak perlu keterlibatan negara dalam rekonsiliasi,
karena kami sudah lakukan terlebih dahulu rekonsiliasi tersebut. Apalagi
sampai ada rencana pemerintah hendak meminta maaf kepada PKI, saya rasa
itu langkah yang sangat keliru.
Yogyakarta, 8 Maret 2017
Burhanuddin Zainuddin Rusdiman
89
Narasumber : Lukas Tumiso
Tempat/Tanggal Lahir : Samarinda, 7 Maret 1940
Tempat Wawancara : Jl. Kramat 5 No. 1C, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat,
DKI Jakarta.
Waktu Wawancara : 3 Januari 2017, 15:30 WIB
1. Apa yang menyebabkan bapak menjadi korban dari peristiwa
penumpasan yang terjadi pada tahun 1965?
Ketika mahasiswa saya masuk organisasi mahasiswa semimiliter bernama
Resimen Mahasurya (Mahasiswa Surabaya) dibawah pimpinan Pemuda Rakjat.
Tujuannya untuk mendukung konsep Trikora yang dicetuskan oleh Presiden
Soekarno dalam rangka merebut kembali Irian Barat ke pangkuan Republik
Indonesia, maka ketika saat itu kami dilatih langsung oleh militer. Dalam
perjalanan waktu, tahun 1965 ada kejadian di Jakarta, saya tidak berbuat apa-
apa. Sebagai mahasiswa pulang kuliah ditangkap lalu dihajar, dipukuli, disiksa,
kemudian di tahan. Pertama-tama tahun 1965-1969 saya ditahan di Rumah
Tahanan Militer Koblen, Surabaya setelah itu dipindahkan ke Pulau
Nusakambangan. Kemudian setelah dari Nusakambangan saya ditahan di Pulau
Buru selama 10 tahun, tepatnya pada bulan Agustus 1969-November 1979.
2. Apa yang bapak lakukan selama menjadi tahanan di Pulau Buru?
Saya dan teman-teman dipekerjakan. Di sana kami menggarap sawah seluas
2500 hektare, ladang seluas 3000 hektare, membuat bendungan, membuat
jaringan jalan yang menghubungkan antar unit, dan membuat rumah ibadah.
Semua itu dilakukan dengan tenaga manusia.
90
3. Apa dampak yang masih bapak dan teman-teman rasakan sampai
sekarang?
Kalau fisik parah, sampai sekarang derita yang saya dan hampir semua mantan
tahanan alami adalah hernia dikarenakan saya dan teman-teman ketika menjadi
tahanan bekerja melampaui batas kemampuan, lalu kita para mantan tahanan
belum bisa membebaskan diri dari mimpi. Dimana kita selalu mimpi bahwa
seolah-olah kita masih merasa ditahan. Rata-rata mantan tahanan mengalami
dampak seperti itu, mereka seolah-olah masih dibelenggu rasa ketakutan, harga
diri rendah, dan gampang terkejut. Kalau saya relatif berkurang, sebab saya
sering berkomunikasi secara sosial dengan masyarakat yang dimana hal
tersebut membuat saya percaya diri, yakin akan hak saya, sebatas itu saja. Jadi
secara keseluruhan tahanan mengalami dampak yang buruk secara fisik, psikis,
dan mental.
4. Apa saja tuntutan dan harapan bapak kepada pemerintah yang sekarang?
Tuntutan dan harapan saya jelas, kembalikan hak kami. Itu merupakan janji
pemerintah sejak awal dari mulai rehabilitasi, sampai dengan hak-hak lain.
Yang lebih penting dari semua ya dimulai dari rehabilitasi dulu. Termasuk
rehabilitasi nama baik, kedudukan, dan status sosial kami. Menurut kami
rehabilitasi itu tidaklah susah karena kami tahu itu hak kami. Hanya Presiden
Jokowi, tidak ada kemampuan untuk melawan orang-orang di sekitar
kekuasaannya, terutama dari pihak Angkatan Darat. Selain itu, harapan kami
hasil simposium yang sudah digelar kemarin itu menjadi sebuah kenyataan.
91
Tidak hanya wacana, tidak hanya janji, tidak hanya ngomong saja yang dimana
hasil simposium tersebut jangan sampai layu sebelum berkembang.
5. Kegiatan apa yang bapak lakukan sekarang dalam membantu
memulihkan hak-hak bapak dan teman-teman sebagai korban dari
peristiwa pelanggaran HAM tahun 1965?
Yang paling dekat saya kerjakan sekarang ini disamping saya mengikuti aksi
kamisan setiap hari kamis, saya juga berusaha memobilisasi dana dari teman-
teman yang peduli untuk memperbaiki makam yang ada di Pulau Buru.
Kondisi makam disana saat ini nyaris menjadi hutan, nyaris terendam air,
kemudian saya dan teman-teman memikirkan untuk membuat sebuah
memorialisasi. Makam-makam tersebut adalah makam teman-teman saya yang
ketika mereka menjadi tahanan ada yang meninggal karena sakit kuning, bunuh
diri, diseruduk sapi, jatuh dari pohon, kerja diluar batas kemanusiaan, disiksa
oleh tentara sampai meninggal karena dibunuh oleh warga. Total makam yang
berada di sana berjumlah 23, satu makam rata-rata berisi sekitar 20 jenazah jadi
secara keseluruhan kurang lebih ada 400 jenazah yang ada di komplek
pemakaman tersebut.
6. Dalam perjalanan sampai saat ini, apakah bapak sudah melakukan
Rekonsiliasi dengan para pelaku eksekutor?
Kalau Rekonsiliasi secara horizontal kita semua sudah melakukan, artinya
secara individu dengan individu kita sudah selesai. Saya bisa menunjukkan
foto saya makan bareng dengan alm Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Saya bisa menunjukkan bagaimana saya akrab sekali dengan beliau. Jadi,
92
secara horizontal antara kami dengan pelaku sudah terjadi Rekonsiliasi. Yang
ada itu ya konflik secara vertikal, antara kami dengan negara. Dimana
pemerintah sekarang harus bertanggung jawab atas perbuatan yang telah
dilakukan pemerintah di masa lalu. Tidak usahlah bicara mengenai
kompensasi, rehabilitasi dulu jalankan baru bicara soal lain-lain.
Jakarta, 3 Januari 2017
Lukas Tumiso
93
Foto-foto saat wawancara dengan para narasumber
Wawancara dengan Dr. H. M. Nurul
Irfan, M.Ag di Gedung Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Lantai 2.
Kamis, 5 Januari 2017, 13:35 WIB.
Foto Oleh: Muhammad Aryo
Purwanto
Wawancara dengan Muhammad
Nurkhoiron di Gedung Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Jakarta
Pusat, Lantai 3. Jum’at, 25
November 2016, 14:20 WIB.
Foto Oleh: Muhammad Aryo
Purwanto
Wawancara dengan Burhanuddin
Zainuddin Rusdiman di
Kediamannya, Rabu, 8 Maret 2017,
10:30 WIB.
Foto Oleh: Muhammad Aryo
Purwanto
Wawancara dengan Lukas Tumiso di
Kediamannya, Selasa, 3 Januari 2017,
15:30 WIB.
Foto Oleh: Muhammad Aryo
Purwanto
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR XXV/MPRS/1966 TAHUN 1966
TENTANG
PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI
ORGANISASI TERLARANG DISELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK
INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP
KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM
ATAU AJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya
bertentangan dengan Pancasila;
b. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut faham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme; khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah
Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha
merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan;
c. Bahwa berhubung dengan perlu mengambil tindakan-tegas terhadap Partai Komunis
Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan faham
atau ajaran komunisme Marxisme-Leninisme;
Mengingat:
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3).
Mendengar:
Permusyawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KETETAPAN TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA,
PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DI SELURUH WILAYAH
NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK
MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN
KOMUNISME/MARXISME-LENINISME.
Pasal 1
Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia,
termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua
organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi
terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis
Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan
meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS.
Pasal 2
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan
penggunaan segala macam aparatur serta Media bagi penyebaran atau pengembangan faham
atau ajaran tersebut, dilarang.
Pasal 3
Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-
universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila,
dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR,
diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.
Pasal 4
Ketentuan-ketentuan diatas, tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik
luar negeri Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 5 Juli 1966
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA,
KETUA,
Ttd.
DR. A.H. NASUTION
JENDERAL TNI.
WAKIL KETUA, WAKIL KETUA,
Ttd. Ttd.
OSA MALIKI H.M. SUBCHAN Z.E.
WAKIL KETUA, WAKIL KETUA,
Ttd. Ttd. Hu
M. SIREGAR MASHUDI
BRIG. JEN. TNI