penugasan kepada presiden ri€¦ · web viewsedangkan utang swasta meliputi utang lembaga keuangan...

87
BAB III BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN A. PENDAHULUAN Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001 di bidang ekonomi dan keuangan secara umum menugaskan kepada Presiden untuk: (a) memulihkan kepercayaan dunia usaha; (b) meningkatkan kepastian hukum; (c) meningkatkan penerimaan negara; (d) meningkatkan kinerja Bank Indonesia; (e) mendorong sektor riil dan memberdayakan UKM dan Koperasi; serta (f) melakukan gerakan penghematan nasional. B. KEBIJAKAN BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN Sejalan dengan prioritas Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) Tahun 2002 dan Program Kerja Kabinet Gotong-Royong, pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi dan III – 1

Upload: others

Post on 31-May-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB III

BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN

A. PENDAHULUAN

Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001 di bidang ekonomi dan keuangan secara umum menugaskan kepada Presiden untuk: (a) memulihkan kepercayaan dunia usaha; (b) meningkatkan kepastian hukum; (c) meningkatkan penerimaan negara; (d) meningkatkan kinerja Bank Indonesia; (e) mendorong sektor riil dan memberdayakan UKM dan Koperasi; serta (f) melakukan gerakan penghematan nasional.

B. KEBIJAKAN BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN

Sejalan dengan prioritas Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) Tahun 2002 dan Program Kerja Kabinet Gotong-Royong, pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan diarahkan untuk memenuhi keenam butir penugasan tersebut.

C. PELAKSANAAN PUTUSAN MPR-RI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN

Dalam tahun 2001 perekonomian tumbuh sekitar 3,3 persen lebih rendah dari tahun 2000 yang mencapai 4,9 persen. Salah satu penyebab utamanya adalah meningkatnya ketidakpastian global

III – 1

berupa melambatnya perekonomian dunia yang kemudian disusul oleh tragedi WTC, New York 11 September 2001. Dalam tahun 2001 perekonomian dunia hanya tumbuh 2,5 persen, lebih rendah dari tahun 2000 yang mencapai 4,7 persen.

Pertumbuhan ekonomi dunia yang lambat pada tahun 2001, mempengaruhi perekonomian negara-negara Asia.

Memasuki tahun 2002, meskipun perekonomian nasional masih dipengaruhi oleh melambatnya perekonomian dunia, namun kepercayaan masyarakat kembali meningkat seperti yang tercermin dari penguatan kurs rupiah dan meningkatnya IHSG. Ini membantu upaya meningkatkan stabilitas moneter antara lain dalam mengendalikan peredaran uang, laju inflasi, dan suku bunga.

Meningkatnya kembali kepercayaan masyarakat tersebut ikut mendorong penguatan rupiah. Selama triwulan I Tahun 2002 pergerakan nilai tukar rupiah relatif stabil dengan kecenderungan terus menguat. Pada akhir bulan Maret 2002 nilai tukar rupiah ditutup pada Rp 9.655,- per US$. Selanjutnya pada akhir bulan April, Mei, dan Juni 2002, kurs rupiah menguat berturut-turut menjadi Rp 9.316,-, Rp 8.785,-, dan Rp 8.730,- per US$.

Sejak awal tahun 2002, laju pertumbuhan uang primer dapat dikendalikan dibawah 15 persen. Terkendalinya pertumbuhan uang primer dan menguatnya kurs ikut membantu menstabilkan harga. Secara keseluruhan hingga 6 bulan pertama (Januari s/d Juni) tahun 2002 laju inflasi mencapai 4,46 persen; lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,46 persen.

Kecenderungan menurunnya laju inflasi memudahkan upaya untuk menurunnya tingkat suku bunga. Secara bertahap suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 bulan menurun dari 17,2 persen pada akhir bulan Juli 2001 menjadi 15,1 persen pada akhir bulan Juni 2002.

III – 2

Selanjutnya, berdasarkan amanat MPR-RI yang harus diemban pada Tap X/MPR/2001, langkah-langkah yang telah diambil pemerintah dan hasil-hasil yang dicapai dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Kepercayaan Dunia Usaha

1.1 Permasalahan

Belum pulihnya kepercayaan dunia usaha terhadap keadaan dalam negeri dan belum fokusnya kebijakan dan langkah-langkah pemerintah serta belum optimalnya kerjasama yang baik dari semua pihak yang terkait, termasuk antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam hal koordinasi fiskal dan moneter, serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama dalam rangka privatisasi BUMN, pengelolaan dan penjualan aset-aset yang dikelola BPPN, penyehatan perbankan, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, investasi, dan otonomi daerah.

1.2 Penugasan kepada Presiden

Segera menetapkan kebijakan dan mengambil langkah konkret yang komprehensif dan fokus pada percepatan pemulihan ekonomi, yang diikuti dengan kerjasama antar semua pihak yang terkait khususnya antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam hal koordinasi fiskal dan moneter, serta antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terutama dalam rangka privatisasi BUMN, pengelolaan dan penjualan aset-aset yang dikelola BPPN, penyehatan perbankan, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, investasi, dan otonomi daerah.

III – 3

1.2.1 Privatisasi BUMN

1.2.1.1 Penugasan

Menyusun segera rencana tindak (action plan) secara komprehensif tentang program privatisasi termasuk di dalamnya kerangka regulasi sektoral yang disepakati bersama DPR.

Pelaksanaan

Rencana tindak program privatisasi telah dicakup dalam Master Plan BUMN berjangka waktu lima tahun (2002-2006). Untuk mewujudkan BUMN yang berkualitas dalam lima tahun ke depan akan ditempuh tahap konsolidasi (tahun 2002), tahap revitalisasi bisnis (tahun 2003-2004) dan tahap pertumbuhan (tahun 2005-2006). Dalam tahap konsolidasi yang sedang berlangsung implementasi rencana tindak program privatisasi BUMN telah dilakukan melalui:

1. Pembentukan Tim Kebijakan Privatisasi BUMN sesuai dengan Keppres Nomor 7 Tahun 2002 tanggal 11 Januari 2002 yang diketuai oleh Menko Perekonomian.

2. Tim telah menyetujui dilaksanakannya privatisasi terhadap BUMN, antara lain: PT Wisma Nusantara Internasional, PT Angkasa Pura II, PT Kimia Farma, PT Indofarma, PT Indosat Tbk, PT Telkom Tbk, PT Bank Mandiri, PT Tambang Batu Bara Bukit Asam.

3. Dalam implementasi berikutnya telah dibentuk Tim Kerja Privatisasi sesuai dengan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep.72/M-BUMN/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Tim Kerja Privatisasi BUMN.

4. Telah diluncurkan website BUMN sebagai salah satu upaya untuk memberikan informasi kepada publik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan BUMN.

III – 4

1.2.1.2 Penugasan

Melaksanakan sosialisasi secara sistematis tentang tujuan dan maksud privatisasi guna mengurangi resistensi dari masyarakat.

Pelaksanaan

1. Telah dilakukan seminar-seminar dan diskusi-diskusi panel dengan menghadirkan para pakar restrukturisasi, divestasi, dan privatisasi BUMN serta para pakar ekonomi politik.

2. Telah dilakukan press release dengan mass media cetak maupun elektronik secara periodik maupun wawancara-wawancara.

3. Dalam rangka menciptakan landasan hukum yang kuat dan jelas bagi seluruh stakeholder telah disiapkan rancangan Undang-Undang BUMN yang saat ini masih dalam pembahasan dengan DPR

1.2.2 Pengelolaan dan penjualan aset-aset yang dikelola BPPN

1.2.2.1 Penugasan

Pengelolaan dan pemeliharaan aset-aset BPPN diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai aset.

Pelaksanaan

Telah dilakukan pengendalian dan penjualan aset yang ditangani BPPN dengan tindak lanjut penyelesaian aset berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:

1. Aset Pinjaman yang dialihkan oleh bank terkait, yang terdiri dari NPL untuk bank yang masih operasional dan seluruh pinjaman untuk bank beku. Aset ini oleh AMC dikelola dimana untuk meningkatkan pengembalian uang

III – 5

negara yang mempercepat pengembalian kredit ke sektor swasta dan perbankan KKSK pada tanggal 13 Mei 2002 menetapkan:

a. Restrukturisasi kewajiban debitur lebih besar dari Rp 750 miliar dapat diteruskan. Penandatanganan Perjanjian Restrukturisasi Utang harus sudah tercapai maksimal dalam waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal 13 Mei 2002

b. Restrukturisasi kewajiban debitur terkait dengan JITF dapat diteruskan. Penandatanganan Perjanjian Restrukturisasi harus sudah tercapai maksimal dalam waktu 4 bulan terhitung sejak tanggal 13 Mei 2002.

c. Debitur BUMN diwajibkan untuk melakukan restrukturisasi terlebih dahulu. Selanjutnya atas debitur yang sudah direstrukturisasi dapat dimasukan kedalam program penjualan hanya untuk porsi kewajiban debitur yang masih dapat ditanggung oleh cash flow perusahaan tersebut (sustainable debt).

d. Debitur dengan kategori industri dalam program revitalisasi, yaitu industri kayu/kertas & pulp, sepatu, elektronik dan tekstil masuk dalam program penjualan baik dalam kondisi telah direstrukturisasi maupun yang belum direstrukturisasi.

e. Sesuai Keputusan KKSK Nomor Kep.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002, dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dan mempercepat pengembalian aset ke sektor swasta dan perbankan, BBPN telah melaksanakan Program Penjualan Aset Kredit skala korporasi dan komersial yang telah direstrukturisasi dan yang belum direstrukturisasi melalui penjualan langsung dan lelang. Aset kredit yang masuk dalam program ini

III – 6

adalah untuk debitur diluar kreteria (a) s/d (c) diatas, namun termasuk (d).

2. Aset Perusahaan eks Pemegang Saham Bank yang terkait dengan PKPS, MSAA, MRNIA, dan APU. Aset ini ditangani oleh AMI dimana pengendalian dan pengelolaan perusahaan eks Pemegang Saham yang masuk dalam perjanjian MSAA dan MRNIA dilakukan oleh Holding Company yang dibentuk masing-masing eks Pemegang Saham Bank terkait. Perusahaan yang masih beroperasi agar dikelola Holding Co. Sedangkan perusahaan yang tidak beroperasi proses restrukturisasinya dilakukan oleh Holding Co. bersama dengan BPPN. Selanjutnya proses penjualan perusahaan dilakukan oleh Holding Co. bersama-sama BPPN, namun kebijakan dan prosedur penjualan ditetapkan BPPN

3. Aset dalam bentuk Penyertaan Pemerintah/BPPN di Bank Swasta peserta program rekapitalisasi perbankan. Aset ini ditangani oleh BRU dimana pengendalian dan pengelolaan aset dilakukan dengan menempatkan secara langsung personil BPPN di dalam jajaran direksi dan atau komisaris sehingga dapat secara langsung memonitor kinerja perusahaan/bank tersebut.

1.2.2.2 Penugasan

Mempercepat penjualan aset-aset yang ada di BPPN dengan tingkat pengembalian harga (recovery rate) yang wajar dengan prosedur yang transparan dan akuntabel serta mengupayakan penukaran aset dengan obligasi (asset to bond swap).

Pelaksanaan

1. Upaya telah dilakukan dengan ditetapkannya Keputusan KKSK Nomor Kep.01/K.KKSK/05/02 tanggal 13 Mei 2002 dalam rangka mempercepat penerimaan negara dari penjualan aset kredit BPPN dan meningkatkan hasil penjualan melalui mekanisme penjualan yang terbuka,

III – 7

transparan, adil kompetitif, dan berbasis komersial. Dalam kaitan itu, BPPN telah melakukan penawaran atas penjualan aset-aset kredit skala korporasi dan komersial baik yang telah direstrukturisasi maupun yang belum direstrukturisasi dari portfolio BPPN melalui program penjualan aset kredit (PPAK) meliputi sekitar 2.500 aset kredit di AMC. Pada tanggal 11 Juli 2002, KKSK menetapkan kebijakan terkait mekanisme aset bond swap untuk meningkatkan minat investor/perbankan dalam membeli aset kredit BPPN dan untuk mempercepat bond redemption.

2. Aset-aset kredit yang ditawarkan berupa aset-aset kredit BPPN dengan utang pokok ATK (Aset Transfer Kit) sebesar Rp 5 miliar sampai dengan Rp 50 miliar per obligor dan skala korporasi berupa aset kredit dengan utang pokok ATK diatas Rp 50 miliar per obligor.

1.2.2.3 Penugasan

Pemerintah perlu konsisten melaksanakan MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRA (Master of Refinancing Agreement) dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS 2000–2004 Bab IV butir C Nomor 2,3,4 perlu diambil tindakan tegas.

Pelaksanaan

1. BPPN/AMI merupakan pengelola aset milik mantan pemegang saham pengendali bank-bank BTO, BBO dan BBKU yang berdasarkan Financial Due Diligence dan Legal Due Diligence (FDD/LDD) telah melanggar ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan transaksi tidak wajar.

2. Pemegang saham bank dimaksud diikutsertakan dalam Program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yaitu program yang bertujuan untuk memaksimalkan

III – 8

pengembalian uang negara yang telah tersalurkan kepada bank dalam penyehatan dengan mengalokasikan kerugian bank dan pinjaman untuk perusahaan terafiliasi kepada pemegang saham yang bertanggung jawab.

3. Melalui program PKPS, BPPN mengharapkan pembayaran tunai (cash settlement) dan pembayaran melalui aset (asset setlement) oleh pemegang saham atas kewajibannya kepada Pemerintah. PKPS dilakukan dengan cara:

a. Akte Pengakuan Utang (APU), yang terkait dengan perjanjian utang

b. Asset Settlement, yang terkait dengan perjanjian MSAA dan MRNIA

4. Untuk mempercepat penanganan PKPS dari aspek hukum telah dibentuk oleh KKSK Tim Bantuan Hukum (TBH) KKSK yang didukung oleh Konsultan Hukum Pendukung (KHP), dimana BPPN menyampaikan semua data dan dokumen yang terkait dengan PKPS/APU, MSAA, dan MRNIA .

5. Sesuai keputusan Sidang Kabinet dan KKSK, TBH akan menyampaikan Laporan Pemeriksaan dan Pendapat Hukum atas tingkat kepatuhan masing-masing PKPS/APU, MSAA dan MRNIA kepada TPBH dan OC untuk dilakukan pengkajian berdasarkan aspek strategis dengan pertimbangan kepentingan publik dalam rangka pengembalian uang negara.

6. Proses identifikasi kepatuhan masing-masing debitur PKPS oleh TBH sampai dengan akhir Juli 2002 telah diselesaikan seluruhnya dan disampaikan kepada TPBH dan OC yaitu berjumlah 39 PKPS terdiri dari 5 PKPS MSAA, 4 PKPS MRNIA dan 30 PKPS APU.

7. Selanjutnya TPBH dan OC hingga akhir Juli 2002 telah menyelesaikan hasil kajian untuk 30 PKPS APU dan 2 PKPS

III – 9

MSAA. Sisanya sebanyak 3 PKPS MSAA dan 4 PKPS MRNIA akan segera diselesaikan pada minggu I Agustus 2002. BPPN telah menyampaikan surat pernyataan kepatuhan masing-masing debitur PKPS tersebut kepada masing-masing debitur PKPS berdasarkan hasil kajian TBH yang telah dikaji oleh TPBH dan OC.

8. Pada tanggal 22 Juli 2002, KKSK telah meminta BPPN bersama-sama instansi terkait khususnya Kejaksaan Agung untuk melakukan tindakan hukum terhadap 10 debitur pemegang saham BBO/BBKU yang tidak menandatangani PKPS APU.

1.2.3 Penyehatan Perbankan

1.2.3.1 Penugasan

Pemerintah bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk segera menata sistem perbankan nasional sebagai fungsi intermediasi perbankan sehingga dapat berjalan secara efisien dan efektif setelah berkonsultasi dengan DPR-RI.

Pelaksanaan

1. Sesuai dengan Keppres Nomor 143 Tahun 2000 jo. Keppres Nomor 177 Tahun 1999 ditetapkan Komite Kebijakan Sektor Keuangan yang bertugas antara lain merumuskan arah kebijakan bagi upaya penyehatan perbankan termasuk restrukturisasi dan rekapitalisasi bank.

2. Perkembangan sistem perbankan nasional saat ini, meskipun fungsi intermediasi masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, namun kinerjanya sampai dengan triwulan pertama tahun 2002 secara umum telah menunjukkan perbaikan. Hal ini tercermin dari perkembangan jumlah dana pihak ketiga dan jumlah kredit (setelah dihilangkan pengaruh kurs) serta modal perbankan yang cenderung meningkat sejak triwulan tiga tahun 2001.

III – 10

3. Kebijakan perbankan nasional tetap diarahkan untuk secara konsisten memperkuat ketahanan sistem perbankan melalui upaya good corporate governance, penyempurnaan peraturan/ketentuan perbankan dan peningkatan pengawasan bank. Di samping itu tetap meneruskan program penyehatan lembaga perbankan meliputi restrukturisasi perbankan dan penjaminan.

4. Melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat diciptakan perbankan nasional yang sehat dan memiliki struktur permodalan yang lebih kuat serta selanjutnya menjadikan bank-bank memiliki daya saing tinggi sehingga mampu meningkatkan fungsi intermediasinya secara optimal.

1.2.3.2 Penugasan

Perlu segera membentuk lembaga penjamin simpanan agar ada jaminan kepastian bagi masyarakat penabung/deposan.

Pelaksanaan

Pada awal tahun 2002 telah dimulai langkah awal persiapan pembentukan lembaga penjamin simpanan dengan cara sosialisasi kepada pihak-pihak terkait mengenai konsep pendirian lembaga tersebut. Saat ini sedang dipersiapkan revisi atas Kebijakan Pemerintah tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah terhadap Pembayaran Bank Umum

1.2.3.3 Penugasan

Pemerintah bersama-sama DPR perlu segera membentuk undang-undang tentang lembaga independen yang bertugas melakukan pengawasan jasa keuangan dan perbankan

Pelaksanaan

Saat ini sedang disusun Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK) dan penyampaian draft RUU OJK

III – 11

kepada DPR direncanakan pada bulan Juli 2002. Pengesahan Rancangan Undang-Undang ini diharapkan selesai pada akhir tahun 2002.

1.2.3.4 Penugasan

Bank-bank yang tidak memenuhi target CAR (Capital Adequate Ratio/Rasio Kecukupan Modal), NPL (Non Performing Loan/Kredit Bermasalah) yang ditentukan, dan yang tidak menjalankan fungsi intermediasi agar segera dibekukan dan selanjutnya diambil tindakan hukum yang menguntungkan rakyat dan negara, sedangkan pemilik dan pengendali bank wajib bertanggung jawab terhadap pengembalian dana pihak ketiga.

Pelaksanaan

1. Upaya peningkatan CAR terus dilakukan baik melalui langkah mendorong bank untuk melakukan penambahan modal atau merger agar bank memenuhi ketentuan CAR minimum 8 persen.

2. Untuk itu, Bank Indonesia terus melakukan pengawasan khusus (special surveilance) terhadap bank-bank yang belum memenuhi CAR 8 persen. Pada akhir tahun 2001, satu bank (Unibank) dibekukan operasinya karena tidak memunhi persyaratan CAR yang ditetapkan. Dalam tahun 2002, terdapat enam bank yang belum dapat memenuhi ketentuan CAR yang ditetapkan, yang terdiri dari 4 bank peserta rekap dan 2 bank pada kategori A. Terhadap 4 bank peserta rekap tersebut, agar dapat memenuhi ketentuan minimal CAR 8 persen, akan dilakukan merger; sedangkan untuk 2 bank kategori A, pemilik bank telah menyatakan komitmennya untuk menambah modal.

3. Mengenai ketentuan NPL 5 persen, pemerintah memang masih perlu mendorong bank-bank untuk meningkatkan kinerjanya, agar dapat mencapai maksimal NPL 5 persen,

III – 12

karena dari seluruh bank yang ada saat ini baru 48,9 persen yang sudah memenuhi ketentuan tersebut.

1.2.4 Pengelolaan Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri

1.2.4.1 Utang Dalam Negeri

1.2.4.1.1 Penugasan

Mempercepat penjualan aset BPPN dan menarik kembali obligasi Pemerintah

Pelaksanaan

Posisi utang dalam negeri per 25 Juli 2002 sebesar Rp. 656,27 triliun, terdiri atas:

- Surat Utang Dalam Rangka Program Penjaminan sebesar Rp. 218,32 triliun;

- Obligasi Rekapitalisasi sebesar Rp. 427,98 triliun terdiri dari Obligasi Fixed Rate sebesar Rp 154,20 triliun, Obligasi Variable Rate Rp 241,54 triliun, dan Hedge Bond sebesar Rp 32,24 triliun;

- Surat Utang Dalam Rangka Kredit Program Rp. 9,97 triliun.

Dalam Tahun Anggaran 2002, total target sumbangan BPPN pada APBN sebesar Rp 42,8 triliun. Dari sejumlah tersebut Rp 19,5 triliun dipergunakan untuk pembiayaan defisit, sedangkan Rp 23,3 triliun dipergunakan untuk menarik kembali obligasi pemerintah. Penarikan obligasi tersebut dilakukan dengan: (i) penggunaan dana hasil penjualan aset program restrukturisasi secara tunai (asset-cash- bond swap) sebesar Rp 15,7 triliun; dan (ii) penukaran langsung antara aset program restrukturisasi dengan obligasi (asset-bond swap) sebesar Rp 7,5 triliun.

III – 13

1.2.4.1.2 Penugasan

Mengoptimalkan program privatisasi secara selektif dan hasilnya digunakan untuk menarik kembali obligasi pemerintah.

Pelaksanaan

Upaya mengoptimalkan program privatisasi dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor Kep-01/TKP/05/2002 tanggal 3 Mei 2002 dengan disetujui dilaksanakan privatisasi terhadap PT. Wisma Nusantara, PT.Angkasa Pura II, PT. Kimia Farma, PT. Indo Farma, PT. Indosat Tbk, PT. Telkom, PT. Bank Mandiri, PT. Tambang Batubara Bukit Asam. Untuk tahun 2002, direncanakan privatisasi BUMN sebesar Rp 6,5 triliun, dimana Rp 2,5 triliun diantaranya akan digunakan untuk menarik kembali obligasi pemerintah.

1.2.4.1.3 Penugasan

Mempercepat restrukturisasi utang Pemerintah Daerah dan BUMN kepada Pemerintah Pusat.

Pelaksanaan

Restrukturisasi utang Pemerintah Daerah dan BUMN, yang berasal dari pinjaman luar negeri (two step loan) maupun dari dalam negeri (dalam bentuk Rekening Pembangunan Daerah untuk pinjaman ke Pemda dan APBN pos pinjaman untuk pinjaman ke BUMN) dilakukan kasus per kasus. Pelaksanaan kasus per kasus ini didasarkan pada pemikiran bahwa dalam merestrukturisasi tersebut harus ada upaya dari Pemda/PDAM dan BUMN untuk melakukan perbaikan intern sehingga kesulitan keuangan yang terjadi tidak terulang lagi. Untuk Pemda dan PDAM saat ini memperoleh bantuan teknis dari Bank Dunia untuk menangani restrukturisasi tersebut melalui Program Penyehatan PDAM. Bantuan teknis ini bertujuan membantu PDAM dalam menyusun rencana tindak masing-masing PDAM. Dalam restrukturisasi tersebut tidak dimungkinkan adanya (i) penghapusan pokok pinjaman; (ii) penghapusan biaya administrasi/bunga pinjaman; (iii) penghapusan denda pinjaman.

III – 14

Untuk PDAM yang patuh memenuhi kewajiban pinjaman akan memperoleh keringanan. Sampai saat ini telah disetujui penjadwalan pinjaman kepada tujuh PDAM dan tujuh PDAM lainnya sedang dievaluasi.

1.2.4.1.4 Penugasan

Mempercepat proses penagihan pajak yang tertunggak.

Pelaksanaan

Dalam rangka mempercepat proses penagihan pajak yang tertunggak, dilakukan langkah-langkah berupa:

1. Peningkatan pencarian tunggakan secara persuasif maupun tindakan tegas berupa penyitaan sampai dengan pelelangan harta penunggak pajak.

2. Pengawasan khusus terhadap penunggak pajak besar termasuk langkah-langkah pencekalan.

1.2.4.2 Utang Luar Negeri

1.2.4.2.1 Penugasan

Utang Luar Negeri Indonesia wajib dibayar, tetapi Pemerintah perlu mengupayakan program restrukturisasi utang luar negeri, baik melalui penjadualan utang (pokok dan bunga), penukaran utang yang relatif mahal dengan utang yang sangat lunak (IDA/Internatonal Development Agency), program debt to poverty swap, maupun debt to nature swap dalam rangka mengurangi beban APBN.

Pelaksanaan

1. Dalam Sidang Paris Club III tanggal 12 Mei 2002, dicapai hasil sebagai berikut: jumlah pinjaman yang dijadualkan US$ 5,4 miliar yang meliputi pokok utang dan periode konsolidasi 1 April 2002 s/d 31 Desember 2003 dengan jenis pinjaman ODA periode pembayaran 20 tahun, tenggang

III – 15

waktu 10 tahun; pinjaman Non ODA periode pembayaran 18 tahun, tenggang waktu 5 tahun serta debt swap 100 persen ODA dan Non ODA 20 persen atau maksimal SDR 30 juta.

2. Saat ini debt swap senilai 50 juta DM sedang dalam proses perundingan dengan Jerman. Sementara itu sedang dijajagi debt swap dengan negara lain.

3. Posisi utang luar negeri Indonesia per Mei 2002 sebesar US$ 132.053,0 juta, terdiri atas utang pemerintah sebesar US$ 74.189,2 juta dan utang swasta sebesar US$ 57.863,8 juta. Utang pemerintah berasal dari multilateral US$ 29.074,8 juta, bilateral US$ 24.354,5 juta, kredit ekspor sebesar US$ 15.704,3 juta serta lainnya sebesar US$ 5.055,5 juta. Sedangkan utang swasta meliputi utang lembaga keuangan bank dan bukan bank masing-masing sebesar US$ 6.648,8 juta dan US$ 1.063,7 juta, serta utang bukan lembaga keuangan sebesar US$ 49.132,1 juta.

Dilihat dari jangka waktunya, jumlah utang luar negeri tersebut adalah merupakan utang jangka pendek sebesar US$ 2.334 juta dan utang jangka menengah & panjang sebesar US$ 129.719 juta.

1.2.4.2.2 Penugasan

Pemerintah perlu secara bertahap mengurangi pinjaman luar negeri yang baru menuju kemandirian bangsa

Pelaksanaan

Sejauh ini pemerintah telah berupaya untuk mengurangi beban pinjaman luar negeri. Hal ini diupayakan melalui penurunan defisit APBN, yaitu dari tahun 2001 dengan defisit 3,7 persen terhadap PDB, tahun ini direncanakan menjadi 2,5 persen terhadap PDB, dan tahun depan diupayakan menjadi 1,1 persen terhadap PDB. Demikian pula pinjaman melalui CGI juga terus menurun. Jika tahun 2000 besarnya pinjaman US$ 5,14 miliar, tahun 2001 menjadi US$ 3,4 miliar.

III – 16

1.2.4.2.3 Penugasan

Penggunaan pinjaman luar negeri berupa program dan proyek harus digunakan secara efektif dan efisien sesuai dengan sasaran dan prioritas pembangunan

Pelaksanaan

Pinjaman luar negeri merupakan salah satu unsur pembiayaan untuk menutup defisit anggaran dalam rangka mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan. Penggunaannya dilakukan secara selektif melalui proses yang ketat untuk membiayai program-program kegiatan yang sesuai dengan prioritas pembangunan nasional di berbagai sektor pembangunan, disamping untuk membiayai proyek atau industri yang secara ekonomis mampu untuk membayar kembali pinjaman tersebut dari hasil kegiatan proyek atau industri yang bersangkutan (cost recovery).

1.2.5 Investasi

1.2.5.1 Penugasan

Mengambil kebijakan khusus berupa insentif yang memadai untuk menarik investasi langsung, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Pelaksanaan

1. Sebagai upaya menarik investor asing, sambil menunggu Undang-undang Penanaman Modal yang baru sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, telah dilakukan kebijakan melalui Keppres Nomor 96 Tahun 2000 dan Keppres Nomor 118 Tahun 2000 yang mengatur mengenai pengurangan bidang-bidang usaha yang tertutup bagi Penanaman Modal Asing. Disamping itu juga dilakukan kebijakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 yang mengatur mengenai Badan

III – 17

Hukum Asing di dalam membeli saham perusahaan dalam rangka PMA maupun PMDN. Langkah-langkah dalam rangka membuka lebih banyak bidang usaha yang dapat dilakukan PMA maupun PMDN terus dilakukan melalui upaya penyempurnaan Peraturan Pemerintah tersebut.

2. Sebagai upaya mengoptimalkan potensi pembiayaan untuk mengurangi resiko keuangan negara serta meningkatkan jaminan kepastian hukum kepada publik/investor atas komitmen Pemerintah untuk memenuhi kewajiban keuangan serta penyelenggaraan manajemen Surat Utang Negara yang transparan dan profesional, sedang dipersiapkan RUU tentang Surat Utang Negara

3. Mengembangkan Skim Insentif bagi investor antara lain:

a. Insentif di luar tax holiday, memberikan data dan informasi standar bangunan industri di kawasan industri, kawasan bounded warehouse, free trade zone; recruitment dan training dari tenaga kerja dan manajer; memperbesar insentif bagi R & D; training/retraining; perluasan pasar ekspor; dukungan perbankan dalam fasilitas penyediaan rupiah dan kreditor ekspor; konsistensi dalam bidang kepastian hukum dan regulasi; perlindungan atas pasar dalam negeri agar kompetitif.

b. Insentif dalam kegiatan operasional antara lain pelayanan bea cukai, perpajakan, pengembangan kerjasama industrial, penyederhanaan prosedur (hukum/peraturan/kebijakan), pelayanan secara terdesentralisasi di lokasi, mengurangi hambatan investasi, penyediaan pelayanan investor dalam satu atap.

4. Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang Pembangunan Ekonomi

III – 18

Untuk mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia, pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, melalui Keppres Nomor 81 Tahun 2001 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI). Beberapa kriteria yang dipakai dalam prioritas pembangunan infrastruktur adalah: (1) menciptakan lapangan kerja, (2) menunjang pembangunan ekonomi wilayah, (3) menciptakan manfaat ekonomis pada masyarakat sekitar proyek, dan (4) layak secara ekonomis dan finansial sehingga menarik bagi investor.

Pelaksanaan program pemerintah hingga saat ini telah dilaksanakan melalui upaya-upaya berikut:

4.1 Pembangunan ruas-ruas jalan tol

a. Percepatan pembangunan ruas-ruas jalan tol antara lain: dilaksanakan pada ruas Cikampek–Padalarang dan Surabaya–Mojokerto. Disamping itu saat ini sedang dipersiapkan untuk pembangunan jalan lingkar luar Jakarta atau disebut Jakarta Outer Ring Road (JORR), Demikian juga sedang dilakukan persiapan untuk ruas-ruas jalan tol lainnya yang tercantum dalam Keppres Nomor 39 Tahun 1997 jo Keppres Nomor 15 Tahun 2002

b. Pada saat ini sedang dilaksanakan proses untuk pembuatan RUU tentang pemisahan fungsi regulator dan operator melalui pembentukan Badan Regulasi Tol. Melalui pemisahan ini diharapkan dapat lebih memberikan kepastian bagi dunia usaha untuk ikut membangun jalan tol.

c. Telah dimulai peningkatan jalan lintas Timur di provinsi Lampung

III – 19

antara Bakauheni–Mengala–Bujungtenuk dan melalui kerjasama dengan pemerintah Cina akan dilaksanakan kajian jembatan-jembatan bentang panjang seperti jembatan Selat Sunda dan Jembatan Selat Bali.

d. Telah dilaksanakan pembangunan tahap awal pengkajian Jembatan Surabaya–Madura antara Jawa–Madura sebagai upaya untuk melancarkan arus barang dan jasa antar wilayah.

4.2 Percepatan pembangunan pelabuhan

a. Setelah Keppres Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan Swasta yang Berkaitan dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara dicabut yang didalamnya termasuk proyek pembangunan pelabuhan Bojonegara, dan digantikan dengan Keppres Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencabutan Keppres Nomor 39 Tahun 1997, saat ini sedang dilakukan studi pengembangan Pelabuhan Bojonegara setelah proyek tersebut tertunda pembangunannya.

b. Peningkatan efisiensi sistem kebandarudaraan nasional.

c. Peningkatan keamanan bandara, khususnya dengan mengacu kepada peraturan-peraturan baru di bidang penerbangan internasional.

d. Proses penyelesaian bandara-bandara yang termasuk dalam

III – 20

Keppres Nomor 39 Tahun 1997 jo Keppres Nomor 15 Tahun 2002 (antara lain Kualanamu, Medan).

e. Indonesia telah mendapatkan penilaian kategori 1 dari FAA untuk program penilaian keselamatan penerbangan internasional.

4.3 Percepatan pembangunan jaringan jalan kereta api yang dibiayai pemerintah:

Pembangunan sistem jaringan jalan kereta api diharapkan dapat mengurangi beban jalan raya dalam melancarkan arus penumpang dan barang di suatu wilayah, serta mendukung efisiensi distribusi baik dalam proses produksi maupun pemasaran barang dan jasa dari sektor-sektor lain. Pembangunan perkeretaapian dilaksanakan dengan memperhatikan efisiensi dan akuntabilitas pelayanan melalui peningkatan profesionalitas dan kemandirian kepengusahaan (korporasi) dan regulasi yang tetap memperhatikan aspek pelayanan umum. Upaya-upaya yang sedang dilaksanakan saat ini adalah:

a. Peningkatan keselamatan kereta api.

b. Melanjutkan restrukturisasi PT. KAI sebagai perusahaan.

c. Mempertahankan tingkat pelayanan prasarana melalui rehabilitasi dan peningkatan jalan dan jembatan kereta api.

d. Pelaksanaan skema pendanaan perkeretaapian yang memperjelas peran dan fungsi antara regulator, owner, dan operator, dan sistem penugasan pelayanan umum

III – 21

melalui pendanaan public service obligation dari pemerintah.

e. Pembangunan jalur ganda lintas perkeretaapiaan yang sudah jenuh, diantaranya melanjutkan pembangunan jalur ganda Cikampek–Cirebon; jalur ganda parsial Cikampek–Padalarang serta persiapan pembangunan jalur ganda kedua Manggarai–Bekasi (Cikarang).

f. Persiapan studi untuk pengembangan KA di Sumatera dan Kalimantan. Khusus di Kalimantan akan dikembangkan berdasarkan pendekatan kerjasama regional antar negara melalui Kerja Sama Sub Ekonomi Regional Brunei–Indonesia–Malaysia–Filipina.

4.4 Peningkatan pelayanan air bersih bagi penduduk perkotaan:

a. Restrukturisasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) melalui restrukturisasi manajemen PDAM, pembenahan hubungan PDAM dengan pemerintah daerah, serta restrukturisasi utang PDAM.

b. Bantuan teknis bagi beberapa PDAM untuk dapat mencapai FCR (full cost recovery) serta pengembangan jaringan pelayanan.

c. Meningkatkan profesionalisme pengelolaan PDAM melaui pola public-private-partnership dan privatisasi PDAM.

d. Mendorong penyediaan dan pengelolaan air bersih yang dikelola oleh komunitas (masyarakat).

4.5 Peningkatan penyediaan hunian bagi masyarakat

III – 22

a. Pembenahan pasar primer perumahan sehingga menarik bagi investor untuk berkiprah dalam pasar primer perumahan.

b. Menyiapkan instrumen peraturan perundang-undangan di bidang secondary mortgage facilities untuk mendorong investor berkiprah dalam penyediaan modal bagi pembangunan perumahan.

c. Mengembangkan penyediaan rumah susun sewa sederhana bagi masyarakat berpendapatan rendah.

4.6 Pembangunan jaringan sarana dan prasarana tidak hanya dilaksanakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga untuk menggerakkan perekonomian di wilayah-wilayah yang relatif tertinggal dan wilayah-wilayah yang memiliki potensi ekonomi yang dapat segera dikembangkan. Melalui Keppres Nomor 150 Tahun 2001 pemerintah telah menetapkan Badan Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang melaksanakan pembinaan terhadap 13 KAPET di seluruh Indonesia (12 berada di KTI dan satu KAPET berada di KBI). Beberapa KAPET yang telah maju, diantaranya KAPET Manado–Bitung, telah menuju ke arah pembentukan Holding Company untuk menjawab tuntutan bisnis di masa mendatang.

4.7 Pelaksanaan investasi di bidang pengelolaan SDA perlu dilaksanakan sejalan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah telah membentuk antara lain Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (Keppres Nomor 62 Tahun 2000) untuk menyelaraskan pemanfaatan SDA dengan daya dukung lingkungannya. Upaya-upaya yang telah dilaksanakan oleh BKTRN diantaranya adalah:

III – 23

a. Kajian tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Regional seperti Keppres Jabodetabek, Bopunjur.

b. Kajian tentang penataan ruang dalam kaitannya dengan banjir di DKI Jakarta.

c. Penyelesaian tumpang tindih kegiatan pertambangan dan hutan lindung.

4.8 Pembangunan pembangkit dan jaringan transmisi tenaga listrik:

Pada pembangunan pembangkit yang sedang berjalan adalah PLTA Renun dengan kapasitas 82 MW di Sumatera Utara; PLTA Sipansihaporas dengan kapasitas 50 MW di Sumatera Utara, PLTA Musi dengan kapasitas 210 MW di Bengkulu serta pembangunan berbagai pembangkit listrik swasta yang sedang pada tahap renegosiasi. Selain itu, dilakukan pula pembangunan jaringan transmisi tegangan tinggi di Muara Bungo Jambi dan jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi Kediri–Klaten di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

4.9 Pembangunan sarana penyaluran energi gas:

Dalam upaya mengurangi penggunaan bahan bakar minyak melalui pengurangan subsidi harga secara bertahap digantikan dengan subsidi langsung, akan diberikan insentif penggunaan energi alternatif seperti gas. Hal ini dilakukan melalui Master Plan Gas Sector Development yang merupakan guideline bagi pengembangan gas domestik untuk memenuhi kebutuhan energi domestik dan ekspor. Disamping itu pada tahun ini untuk proyek fisik gas telah disepakati pledging untuk proyek South Sumatera–West Java Gas Pipelines Project dengan kapasitas 600 MMSCFD (free flow) untuk memenuhi kebutuhan sektor usaha kecil dan menengah serta

III – 24

industri. Pembangunan sarana gas dalam negeri ini dilakukan sejalan dengan rencana pembangunan Trans ASEAN Gas Pipeline (TAGP).

1.2.5.2 Penugasan

Melakukan deregulasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, baik di pusat maupun di daerah, guna menghilangkan hambatan-hambatan investasi

Pelaksanaan

1. Mengupayakan harmonisasi peraturan perundang-ungangan terhadap kepentingan Nasional dan Daerah melalui revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan menyelesaikan Rancangan Undang-undang Penanaman Modal pada tahun 2002.

2. Reformasi Peraturan dan Perundang-undangan di bidang infrastruktur dilakukan oleh Pemerintah simultan dengan pelaksanaan pembangunan infrastruktur antara lain:

a. Revisi Keppres Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur.

b. Penerbitan Keppres Nomor 15 Tahun 2002 yang mencabut Keppres Nomor 39 Tahun 1997 untuk melaksanakan berbagai proyek-proyek infrastuktur yang ditunda karena krisis ekonomi.

c. Dalam rangka meningkatkan kinerja jalan dan mempertahankan sistem jaringan jalan yang ada, maka perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1981 tentang Jalan sehingga dapat menjamin terciptanya tertib penyelenggaraan pembangunan dan untuk mendorong terciptanya otonomi daerah dan mendorong peranserta masyarakat dan swasta yang semakin demokratis.

III – 25

d. Penyesuaian peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem kepelabuhanan nasional dalam kaitannya dengan desentralisasi dan otonomi daerah, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan.

e. Penyesuaian peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem kebandarudaraan nasional dalam kaitannya dengan desentralisasi dan otonomi daerah, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan.

f. Mengupayakan penyelesaian Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan pada akhir tahun 2002 dalam rangka menciptakan struktur industri ketenagalistrikan yang kompetitif.

g. Melakukan reformasi sektor telekomunikasi yang mengarahkan penyelenggaraan telekomunikasi secara kompetisi dalam lingkungan multi operator. Hal itu dilakukan antara lain melalui penerbitan Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan beberapa peraturan pelaksanaannya, serta pembentukan Tim Restrukturisasi Terpadu Telekomunikasi yang hingga kini masih melakukan beberapa kajian termasuk penentuan besar dan metoda kompensasi bagi PT. Telkom dan PT. Indosat sebagai incumbent yang diterminasi dini masa eksklusivitasnya.

1.2.5.3 Penugasan

Meningkatkan koordinasi antara instansi terkait melalui sistem satu atap guna memudahkan pelayanan terhadap investor

Pelaksanaan

Telah disusun landasan hukum pelayanan investor dalam satu atap di dalam RUU Penanaman Modal, dengan tetap

III – 26

mempertimbangkan pengembangan sistem desentralisasi pemerintahan/ otonomi daerah.

1.2.5.4 Penugasan

Meningkatkan frekuensi promosi dan diplomasi untuk menarik investor ke Indonesia.

Pelaksanaan

1. Upaya menarik investor telah dilakukan melalui berbagai kunjungan Presiden atau para Menteri keluar negeri untuk menjalin hubungan bilateral dan kerjasama investasi.

2. Kegiatan promosi dalam negeri oleh masyarakat, swasta, pemerintah daerah serta pengembangan kerjasama regional antar provinsi yang berbatasan yaitu IMT-GT, IMS-GT, ISTC, BIMP-EAGA dan AIDA.

3. Sesuai dengan Keppres Nomor 13 Tahun 2001 telah ditetapkan Tim Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Sub Regional yang bertugas melakukan koordinasi pengembangan kerjasama ekonomi antar negara sub regional.

1.2.6 Otonomi Daerah

1.2.6.1 Penugasan

Pemerintah segera melakukan rasionalisasi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan, baik oleh pusat maupun oleh daerah yang menghambat perkembangan dunia usaha

Pelaksanaan

1. Keppres Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan

III – 27

Infrastruktur Publik yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah, mempunyai nuansa semangat sentralisasi, sehingga perubahan dan tuntutan kebutuhan desentralisasi dalam konteks otonomi daerah sedang disempurnakan oleh Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 81 Tahun 2001.

2. Untuk menyelaraskan pembangunan daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah telah melaksanakan koordinasi pembangunan ekonomi regional melalui pendekatan kewilayahan melalui dua forum yaitu:

a. Rapat Koordinasi Terbatas Perekonomian untuk Pembangunan Perkotaan

b. Tim Koordinasi Pengembangan Infrastruktur Perdesaan (TKPIP)

3. Di dalam kedua forum ini dibicarakan koordinasi pembangunan sektoral antar departemen dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah. Melalui kedua forum ini diharapkan pembangunan fisik infrastruktur dapat disinergiskan dengan pelaksanaan program-program non-fisik seperti sektor perbankan, ketenagakerjaan, usaha kecil menengah, dan lain-lain.

4. Pemerintah menyadari bahwa banyak peraturan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dengan maksud untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah telah menyulitkan dunia usaha. Untuk itu Pemerintah terus mengevaluasi semua peraturan daerah dan atas dasar evaluasi tersebut meminta Pemerintah Daerah untuk mengubah peraturan yang dinilai memberatkan dunia usaha. Agar tidak terjadi pembuatan peraturan yang menghambat perkembangan dunia usaha, Pemerintah Pusat akan terus menerus melakukan dialog dengan Pemerintah Daerah mengenai peluang-peluang untuk meningkatkan PAD.

III – 28

Sebagai tindakan preventif, Pemerintah Pusat akan mendorong Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan penerimaan daerah; mengefisiensikan dan mengefektifkan penggunaan dana daerah khususnya dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat; memfasilitasi kerjasama antar daerah dan lembaga keuangan daerah; memfasilitasi investasi dan pengembangan usaha daerah; melakukan restrukturisasi dan reorientasi manajemen BUMD; melakukan bimbingan teknis dan penyiapan instrumen perpajakan dan retribusi daerah; melakukan analisis strategi kerjasama antar pemerintah daerah sebagai upaya peningkatan sumber penerimaan daerah; dan menyusun pedoman umum mengenai peningkatan modal daerah.

1.2.6.2 Penugasan

Penggunaan dana APBD (PAD dan Dana Perimbangan) perlu dialokasikan pada sektor-sektor prioritas sesuai dengan yang ditetapkan dalam APBN dan dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.

Pelaksanaan

1. Penggunaan dana APBD (PAD dan Dana Perimbangan) untuk Tahun Anggaran 2001 sudah diatur dalam Surat Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 903/2735/SJ perihal Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2001.

2. Sedangkan pengelolaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dimana dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa APBD disusun menurut pendekatan kinerja anggaran (performance budget) yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kinerja dari perencanaan alokasi dana yang ditetapkan.

III – 29

3. Penggunaan dana APBD yang berasal dari PAD, dan dana perimbangan yang meliputi: Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan pada sektor-sektor prioritas melalui APBD yang diawasi DPRD dengan memperhatikan prioritas dalam PROPENAS, Repeta dan alokasi APBN.

4. Agar penggunaan dana publik dilakukan secara transparan dan akuntabel, Pemerintah Pusat memfasilitasi penyiapan Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah; melakukan sosialisasi dan evaluasi pedoman pengelolaan dan penatausahaan anggaran daerah; mendorong peningkatan kualitas peratanggungjawaban pelaksanaan anggaran daerah melalui pengemabangan sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu pada standar akuntansi keuangan pemerintah.

2. Kepastian Hukum

2.1 Permasalahan

Efektivitas kebijakan ekonomi Pemerintah dan kepercayaan dunia internasional sering terganggu oleh belum adanya perangkat perundang-undangan dan rendahnya mutu serta lemahnya penegakan perundang-undangan yang sudah ada.

2.2 Penugasan kepada Presiden

Bersama DPR mempercepat penyelesaian Undang-undang Obligasi, Undang-undang Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan dan Perbankan, Undang-undang Pencucian Uang, Undang-undang Keuangan Negara, Undang-undang BUMN, Undang-undang Ketenagalistrikan, Undang-undang Penanaman Modal, Amandemen Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, serta Pembentukan Lembaga Penjaminan Deposito sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

III – 30

2.3 Pelaksanaan

1. Rancangan Undang-undang (RUU) Surat Utang Negara saat ini sedang dibahas dengan DPR dan diharapkan dapat segera diselesaikan selambat-lambatnya September 2002.

2. RUU Otoritas Jasa Keuangan saat ini sedang disusun. Pengesahan Rancangan Undang-Undang ini diharapkan selesai pada akhir tahun 2002.

3. Pengaturan tentang kegiatan pencucian uang sudah diterbitkan berupa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada tanggal 17 April 2002.

4. RUU tentang Keuangan Negara sebagai pelaksanaan Pasal 23 C Undang-Undang Dasar 1945 saat ini sedang dibahas dengan DPR dan diharapkan dapat disahkan menjadi Undang-undang dalam tahun 2002 ini. Disamping RUU tentang Keuangan Negara tersebut, 2 RUU lainnya dibidang Keuangan Negara saat ini juga sedang dibahas dengan DPR, yaitu:

a. RUU tentang Perbendaharaan Negara, sebagai Pengganti ICW

b. RUU tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sebagai pengganti IAR.

5. RUU tentang BUMN saat ini dalam proses pembahasan di DPR.

6. Rancangan Undang-undang Ketenagalistrikan sedang dibahas dengan DPR dan diharapkan dapat segera diselesaikan.

7. Undang-undang Penanaman Modal:

III – 31

- Telah disosialisasikan kebijakan penanaman modal yang sejalan dengan RUU Penanaman Modal, untuk mendapatkan respon dari masyarakat, Pemerintah Daerah maupun Lembaga lainnya.

- Telah dilakukan pembahasan dan kajian terhadap RUU, baik antara instansi/departemen, maupun dengan pemerintah daerah.

- Telah dilakukan pembulatan dan koordinasi oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dengan instansi terkait sesuai dengan ketentuan Keppres Nomor 188 Tahun 1988 tentang Tata Cara mempersiapkan Rancangan Undang-undang.

- Mengupayakan agar Undang-undang Penanaman Modal dapat diselesaikan pada tahun 2002

8. Amandemen Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Proses penyusunan Amandemen Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia pada tahap pembahasan dengan DPR.

9. Pembentukan Lembaga Penjamin Deposito sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

- Saat ini pada tahap sosialisasi dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mensinergikan konsep pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.

- Sebelum Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dibentuk, terlebih dulu dilakukan pengurangan terhadap lingkup penjaminan umum kewajiban perbankan yang berlaku. Pengurangan lingkup penjaminan umum akan dilakukan secara bertahap

III – 32

sehingga pada saatnya hanya dana pihak ketiga saja yang tetap dijamin. LPS akan dibentuk dan beroperasi untuk melaksanakan penjaminan terhadap dana pihak ketiga sampai jumlah tertentu.

III – 33

3. Penerimaan Negara

3.1 Permasalahan

Penerimaan negara belum maksimal yang ditandai dengan belum tuntasnya penyelesaian BLBI, masih banyaknya penyelewengan pajak, maraknya penyelundupan dan pencurian sumber daya alam, serta belum maksimalnya pengelolaan sumber daya alam.

3.2 Penugasan kepada Presiden

3.2.1 Penugasan

Melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku yang terbukti secara hukum terlibat dalam kasus penyimpangan BLBI, penyelewengan pajak, penyelundupan (Bahan Bakar Minyak, dan lain-lain), dan pencurian sumber daya alam (kayu, ikan, dan lain-lain).

Pelaksanaan

1. Sampai saat ini laporan mengenai masalah para pelaku yang terbukti secara hukum terlibat dalam kasus penyimpangan BLBI, masih dalam proses penyelesaian oleh instansi yang bersangkutan.

2. Untuk masalah penyelundupan, terus dilakukan tindakan-tindakan penyidikan, sementara terhadap penyalahgunaan BBM telah dilakukan tindakan penyidikan meskipun hingga saat ini belum sampai di tingkat pengadilan.

3. Terhadap para pelaku penyelewengan pajak telah dilakukan tindakan yang tegas, baik pada wajib pajak maupun aparat pajak. Dalam tahun 2001, terhadap aparat pajak yang telah melanggar ketentuan dijatuhkan sanksi berupa hukuman atas 327 orang pegawai, dimana 21 orang diantaranya dikenai

III – 34

hukuman diberhentikan dengan tidak hormat. Dalam tahun 2002 sampai dengan bulan Juni telah dijatuhkan hukuman kepada 136 orang pegawai, 15 orang diantaranya telah diberhentikan dengan tidak hormat. Sedangkan terhadap wajib pajak yang mempunyai indikasi kuat melakukan penyelewengan dibidang perpajakan dilakukan penyidikan. Saat ini 27 perkara sedang dalam proses penyidikan dimana 4 orang sudah dalam penahanan Kepolisian RI, dan 2 orang warga negara asing dicekal.

3.2.2 Penugasan

Semua dana nonbudgeter yang saat ini berada pada rekening instansi dan pejabat pemerintah agar dilaporkan dan diserahkan kepada negara (Menteri Keuangan).

Pelaksanaan

Dalam rangka menertibkan pengelolaan keuangan negara, diterbitkan Inpres Nomor 9 tahun 1999 dan diperkuat lagi dengan Inpres Nomor 4 tahun 2000, yang menginstruksikan semua departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen untuk melaporkan semua rekening instansi pemerintah yang ada selain Rekening Bendaharawan Rutin dan Bendaharawan Pembangunan yang mengelola dana yang berasal dari APBN. Jumlah dana non budgeter (termasuk bunga) yang telah disetor ke kas negara sampai dengan tanggal 15 Juli 2002 seluruhnya sebesar Rp 10.892,5 miliar dan US$ 2,6 juta termasuk dalam jumlah tersebut Dana Reboisasi dan Dana Bantuan Presiden yang selama ini dikelola Sekretariat Negara. Selain itu, berdasarkan temuan BPKP per 11 Maret 2002, masih terdapat dana non budgeter yang belum disetor ke Kas Negara sebesar Rp 443,3 miliar, US$ 39,6 juta dan DM 765,3 ribu. Penertiban pengelolaan keuangan negara akan terus ditingkatkan sehingga tidak dimungkinkan adanya pengelolaan dana non budgeter lagi.

III – 35

3.2.3 Penugasan

Menindak tegas pelaku penyalahgunaan pengelolaan sumber daya alam terutama kehutanan, kelautan, dan pertambangan termasuk pasir laut sehingga menghindari rusaknya lingkungan hidup dan meningkatkan penerimaan negara.

Pelaksanaan

Sumber daya hutan selama lebih dari tiga dasawarsa secara signifikan telah berperan sebagai penggerak roda pembangunan ekonomi nasional. Namun akibat eksploitasi yang dilakukan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang lestari, saat ini apa yang dapat dituai adalah kerusakan hutan yang terjadi di hampir seluruh kawasan hutan. Kerusakan tersebut telah terakumulasi pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, Pemerintah melakukan reorientasi kebijakan kehutanan untuk mengurangi tekanan-tekanan terhadap hutan alam tropika.

Kebijakan ini secara sederhana dapat diistilahkan sebagai memberi kesempatan hutan untuk “bernapas”. Kebijakan ini akan menitikberatkan kebijakan kehutanan ke depan lebih pada upaya rehabilitasi hutan-hutan yang sudah tergradasi atau rusak dan konservasi hutan-hutan alam yang masih tersisa. Dengan kata lain, periode ini adalah era Rehabilitasi dan Konservasi Hutan.

Pemanfaatan atau eksploitasi akan ditekan sampai pada tingkat yang benar-benar sustainable. Hanya kawasan hutan yang masih berpotensi baik saja yang dapat diperbolehkan dieksploitasi. Sedangkan pada kawasan hutan yang potensinya sudah tidak memungkinkan dilarang untuk dilakukan eksploitasi. Ini yang diistilahkan sebagai moratorium selektif. Selain hal itu, Pemerintah sementara ini juga tidak mengijinkan adanya konversi hutan-hutan alam untuk peruntukan lainnya, dan melarang ekspor kayu bulat.

1. Sesuai dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2000 telah ditetapkan Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan (IDCF) yang bertugas melakukan koordinasi kebijakan di

III – 36

bidang kehutanan. Tindak lanjut koordinasi oleh Komite di dalam menangani masalah kehutanan, yaitu:

a. Penebangan Liar (Illegal Logging)

Menghadapi penebangan liar dan pencurian kayu telah diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu oleh Golongan dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal dan telah dibentuk Tim Wanalaga dan Wanabahari yang melibatkan Polri dan TNI Angkatan Laut serta pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) untuk menindak pelaku Illegal Logging dan Illegal Trade yang dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu juga telah ditetapkan perjanjian bilateral antara Indonesia dengan pemerintah Inggris, Irlandia Utara dalam rangka pemberantasan penebangan liar dan perdagangan gelap hasil hutan, dan dengan Malaysia tentang larangan impor kayu illegal (Ban On The Importation of Logs From Indonesia).

b. Kebakaran Hutan (Forest Fire)

Penanggulangan kebakaran hutan dilakukan dengan monitoring terhadap pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu penegakan hukum (vonis pengadilan) terpadu, yang melibatkan Kepolisian, Kejaksaan Agung, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, pemerintah daerah (gubernur dan bupati); antisipasi dan rencana aksi menghadapi perkiraan musim kemarau tahun 2002; penetapan biaya dan jumlah serta spesifikasi peralatan standar kebutuhan minimum regu brigade Dalkarhut; pembentukan pengendalian kebakaran hutan Manggala Agni. Selanjutnya telah direalisasikan pengadaan peralatan pemadam

III – 37

kebakaran hutan di beberapa Taman Nasional yang peka terhadap kebakaran, yaitu: Taman Nasional Way Kambas (Lampung), Berbak dan Bukit Tiga Puluh (Jambi), dan Gunung Palung (Kalimantan Barat).

2. Penanggulangan pelanggaran pengelolaan sumber daya kelautan, pemerintah mengambil langkah strategis dengan mengembangkan dan menerapkan aplikasi Monitoring, Controlling, dan Surveillance (MCS) melalui pengembangan Sistem Pengawasan Masyarakat dan Vesel Monitoring System; Pembenahan sistem perijinan dan pendaftaran ulang perijinan usaha penangkapan ikan; serta Penataan penggunaan kapal perikanan di perairan ZEEI.

3. Sesuai dengan Keppres Nomor 25 Tahun 2001 telah ditetapkan Tim Koordinasi Penanggulangan Pertambangan Tanpa Izin, Penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak serta Perusakan Instalasi Ketenagalistrikan dan Pencurian Aliran Listrik yang bertugas melakukan penindakan terhadap penyalahgunaan pengelolaan sumber daya alam pertambangan. Salah satu penyalahgunaan pengelolaan pertambangan adalah beroperasinya usaha pertambangan tanpa izin. Usaha pertambangan tanpa izin selain merugikan negara, karena negara tidak menerima pemasukan dari retribusi ataupun pajak. Selain itu, juga berpotensi merusak lingkungan, karena tidak bisa dilakukan pengawasan dan pemantauan cara-cara beroperasinya. Untuk usaha-usaha Pertambangan yang resmi, selalu dilakukan pengawasan dan pemantauan operasinya oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, baik teknis operasinya maupun terhadap dampak lingkungan, sehingga pengelolaan pertambangan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

4. Dalam rangka pencegahan pencurian dan ekspor pasir laut secara ilegal telah dikeluarkan Keppres Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.

III – 38

3.2.4 Penugasan

Bersama-sama DPR perlu segera membentuk Undang-undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pelaksanaan

1. Pengelolaan sumber daya alam masih banyak menyebabkan terjadinya pengurasan sumber daya alam secara tidak lestari dan tidak banyak memberikan manfaat bagi kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat serta menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan. Sebagai contoh Undang-undang Minyak dan Gas Bumi yang lama, Undang-undang Pertambangan, Undang-undang Perairan, Undang-undang Perikanan, dan sebagainya yang lebih memberikan keuntungan yang besar pada pihak asing atau hanya pada segelintir perusahaan, dan dalam pelaksanaannya sering menimbulkan masalah pelestarian dan gangguan lingkungan. Dalam rangka proses perumusan, RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam, saat ini naskah akademik telah diselesaikan dan mekanisme konsultasi publiknya sedang dalam proses penyelesaian.

2. Sesuai dengan Keppres Nomor 123 Tahun 2001 telah ditetapkan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai upaya koordinasi kebijakan pengelolaan sumber daya air berkenaan dengan belum ditetapkannya Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam.

3. Sesuai dengan Keppres Nomor 62 Tahun 2000 telah ditetapkan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional yang bertugas melakukan koordinasi kebijakan penataan ruang khususnya dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam serta menanggulangi penyalahgunaan kewenangan pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kebijakan penataan ruang yang telah ditetapkan.

III – 39

4. Telah ditetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagai konsekuensi bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

5. Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi bertujuan untuk:

a. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas minyak dan gas bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan.

b. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

c. Menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya minyak bumi dan gas bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri.

d. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional.

e. Meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian

III – 40

nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia.

f. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

4. Bank Indonesia

4.1 Permasalahan

Kinerja Bank Indonesia pada saat ini kurang efektif, baik sebagai otoritas moneter maupun pengawas perbankan yang ditandai oleh kurs yang terus melemah, suku bunga, dan inflasi yang terus meningkat.

4.2 Penugasan kepada Presiden

4.2.1 Penugasan

Meningkatkan koordinasi dengan Bank Indonesia untuk menjamin adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter, menjaga kestabilan nilai tukar, menekan inflasi dibawah dua digit, suku bunga yang rendah, serta menyediakan kredit bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi

Pelaksanaan

Peningkatan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal dilakukan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah melalui Rapat Koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang dilaksanakan secara rutin. Dengan semakin mantapnya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter, laju inflasi dan suku bunga menurun, dan nilai tukar rupiah makin stabil. Kredit perbankan untuk UKM juga meningkat.

III – 41

4.2.2 Penugasan

Bersama DPR agar segera menyelesaikan amandemen Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Pelaksanaan

Proses penyusunan Amandemen Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia pada tahap pembahasan dengan DPR dan diharapkan dapat diselesaikan pada akhir tahun 2002.

5. Sektor Riil dan Pemberdayaan UKM dan Koperasi

5.1 Permasalahan

Masih kurang jelasnya kebijakan dan langkah-langkah konkret dan terkoordinasi dalam rangka mempercepat pemulihan sektor riil, serta pemihakan terhadap pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi.

5.2 Penugasan kepada Presiden

5.2.1 Penugasan

Segera menyusun kebijakan yang diikuti dengan langkah-langkah konkret dan terkoordinasi guna memulihkan sektor riil dengan menjamin tersedianya kredit perbankan dengan suku bunga rendah, terjaminnya keamanan, dan penegakan hukum, dengan prioritas pada pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi.

Pelaksanaan

Upaya koordinasi guna memulihkan sektor riil mencakup peningkatan jaminan keamanan, penegakan hukum, dan penyediaan kredit perbankan dengan prioritas pada pemberdayaan usaha kecil, menegah, dan koperasi, terus ditingkatkan pada seluruh komponen

III – 42

produksi (mencakup sektor primer, sekunder dan tersier). Beberapa langkah diantaranya sebagai berikut.

1. Kebijakan pembiayaan kredit program dilaksanakan, melalui:

a. Surat Utang Pemerintah (SUP)

Pembelian SUP sesuai dengan Keppres Nomor 176 Tahun 1999 tanggal 28 Desember 2000. SUP dibeli oleh BI dengan nilai maksimum Rp 10 triliun dan dapat dicairkan secara bertahap berdasarkan jumlah KLBI yang akan jatuh tempo. Sampai dengan Desember 2000 masih terdapat kelonggaran tarik dana untuk Pemerintah sebesar Rp 2,4 triliun dan sudah dicairkan oleh Pemerintah sebanyak Rp 850 miliar, sehingga dana yang masih dapat dicairkan sejumlah Rp 1,5 triliun. Dana ini dapat digunakan untuk membiayai sektor UKM atau Proyek Kredit Mikro. Masih rendahnya penarikan dana tersebut oleh Pemerintah disebabkan adanya kendala tingginya suku bunga SUP dan belum tersedianya program Pemerintah untuk memanfaatkan dana SUP dimaksud.

b. Dana relending KLBI oleh BUMN Koordinator (BRI, BTN dan PNM)

Dana relending adalah dana angsuran KLBI yang diterima oleh BUMN Koordinator yang dapat disalurkan kembali kepada bank-bank pelaksana melalui skim-skim kredit program yang sesuai dengan ketentuan BI. Jumlah angsuran KLBI yang dikelola oleh BUMN Koordinator sampai dengan Desember 2001 sebesar Rp 3,3 triliun, yang dikelola oleh PT PNM 2,79 triliun dan BTN Rp 0,51 triliun. Dari dana ini telah dikembalikan oleh PT PNM ke Bank Indonesia sebesar Rp 1,45 triliun dan oleh PT

III – 43

BTN ke Bank Indonesia Rp 202,29 juta. Dana yang masih ada di PT PNM ditambah kelonggaran tarik sebesar 1,4 triliun telah disalurkan kembali sebesar Rp 2,61 triliun dan yang ada di BTN disalurkan kembali sebesar Rp 369 miliar.

c. Proyek Kredit Mikro (PKM)

PKM merupakan proyek pemerintah yang dibantu dengan dana pinjaman ADB yang dimulai sejak tahun 1995. Peranan BI adalah sebagai penerus pinjaman kepada BPD dan BPR yang selanjutnya diteruskan kepada nasabah mikro. Tujuan proyek adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan. Sampai dengan Desember 2001 kredit yang telah disalurkan sebesar Rp 257,98 miliar kepada 752.492 nasabah mikro. Jumlah lembaga yang terlibat dalam proyek sebanyak 1.278 buah meliputi 15 BPD, 240 LKDP, 951 BPR dan 72 LPSM. Proyek dinilai berhasil oleh ADB dan BPK, khususnya dari sisa tunggakan yang relatif kecil yakni 0,86 persen. Dengan berakhirnya pendanaan dari ADB, maka perlu dicari alternatif sumber pendanaan lain.

d. Kredit Ketahanan Pangan (KKP)

Kredit Usaha Tani (KUT) adalah kredit modal kerja yang dananya berasal dari pemerintah, bank pelaksana dan bank umum lainnya di luar bank pelaksana, yang oleh bank pelaksana dananya disalurkan kepada koperasi primer/LSM untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani dalam rangka intensivikasi padi, kedelai dan jagung (SK Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.017/1999). Sebagai pengganti skim KUT, Pemerintah melalui SK Menteri Keuangan Nomor 345/KMK.017/2000 tanggal 22 Agustus 2000 telah

III – 44

menerbitkan skim KKP yang merupakan kredit investasi dan atau modal kerja yang diberikan langsung oleh bank pelaksana kepada petani/peternak/nelayan kecil. Sumber pendanaan KKP dan resiko kreditnya sepenuhnya ada pada bank, sedangkan Pemerintah hanya memberikan subsidi bunga, yaitu untuk intensifikasi tanaman pangan adalah 10 persen dan untuk budidaya tebu, peternakan, perikanan dan pengadaan pangan sebesar 6 persen. Realisasi KKP saat ini belum sesuai dengan yang diharapkan, sehingga pemerintah mengupayakan penyempurnaan skip KKP dan akan lebih menggalakkan sosialisasi skim ini bersamaan dengan penguatan kelembagaan usaha petani melalui koperasi.

e. Bagian pemerintah atas laba BUMN

Berdasarkan SK Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/ 1994 tanggal 27 Juni 1994, jo Nomor 60/KMK.016/1996 tanggal 9 Februari 1996, jo Nomor 266/KMK.016/1997 tanggal 11 Juni 1997, maka 1-3 persen bagian pemerintah atas laba BUMN disalurkan oleh masing-masing BUMN untuk Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK). Sampai dengan akhir tahun 2001 telah terealisir Rp 2,88 triliun dari total akumulasi dana sebesar Rp 3,24 triliun. Dana PUKK dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan UKM dilingkungan operasi BUMN yang bersangkutan.

f. Sesuai dengan Keppres Nomor 8 Tahun 2002 jo Keppres Nomor 124 Tahun 2001 telah ditetapkan Komite Penanggulangan Kemiskinan yang bertugas melakukan koordinasi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang melibatkan berbagai departemen/LPND.

III – 45

g. Nota kesepakatan antara Menko Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komite Penanggulangan Kemiskinan dengan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 22 April 2002 tentang upaya untuk penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan dan pengembangan serta penyediaan fasilitas kredit usaha mikro, kecil dan menengah sebesar Rp 27,6 triliun selama 3 tahun.

h. Pengembangan sistem informasi kredit untuk mempermudah perbankan dalam penilaian aplikasi kredit. Langkah ini diikuti dengan mengembangkan penyedia jasa pengembangan usaha bagi UKM dan kooperasi.

2. Sebagai tindak lanjut dari PROPENAS, pemerintah melalui mekanisme partisipatif yang melibatkan segenap komponen lintas pelaku, telah menyusun pola pengembangan UKM secara rinci, komprehensif, dan terkoordinasi dalam bentuk rencana aksi jangka menengah (Medium Term Action Plan/MTAP). Adapun fokus MTAP mencakup setiap agenda utama pengembangan UKM dalam PROPENAS, yaitu meliputi penciptaan iklim usaha yang kondusif; peningkatan akses kepada sumber daya produktif seperti modal, pasar, teknologi, serta informasi; dan pengembangan kewirausahaan dan UKM berkeunggulan kompetitif. Dalam pelaksanaannya MTAP terakomodasi dalam penyusunan Repeta 2002 dan Repeta 2003. Diharapkan bahwa MTAP dapat menjadi pedoman dan acuan bagi setiap instansi pemerintah dan masyarakat, baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota dalam merencanakan dan melaksanakan pengembangan UKM untuk menghasilkan sinergi pembangunan nasional dalam jangka menengah.

5.2.2 Penugasan

III – 46

Untuk memfokuskan pembangunan sektor riil meliputi upaya penyediaan kebutuhan primer masyarakat (pangan, sandang, dan papan), pengembangan ekspor, dan penyediaan lapangan kerja.

Pelaksanaan

1. Berbagai kebijakan dan program pemerintah telah dikeluarkan untuk pembangunan dan penyediaan pangan, seperti:

a. Meningkatkan produksi pangan melalui optimalisasi dan perluasan areal tanam; mendorong upaya peningkatan kualitas lahan; memperkuat kelembagaan dan bimbingan manajemen produksi; mendorong peningkatan frekuensi penanaman; kelancaran penyediaan pupuk, obat-obatan, saprotan dan alsintan; pembangunan dan rehabilitasi irigasi; penyebaran informasi perkembangan cuaca; penyediaan kredit murah; penyediaan dana bergulir melalui bantuan langsung masyarakat; dan mendorong kelancaran distribusi.

b. Meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani melalui diversifikasi tanaman; penyediaan pupuk berimbang/majemuk; penyediaan bibit berkualitas; meningkatkan penyuluhan lapangan; dan pengembangan teknologi dan mutu pangan.

c. Meningkatkan kemampuan sistem antisipasi/deteksi dini kerawanan pangan, melalui: (1) pengembangan sistem antisipasi/deteksi dini dan penanggulangan kerawanan pangan, (2) pengembangan sumber-sumber cadangan pangan alternatif dalam rangka diversifikasi produksi pangan, (3) pengembangan produk olahan pangan karbohidrat dan protein, (4) peningkatan kemampuan ibu rumah tangga

III – 47

(perempuan) dalam penyusunan menu makanan bergizi, dan (5) pengembangan percontohan diversifikasi konsumsi/menu melalui sekolah dasar dan PKK. Langkah ini diiringi dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan berupa penyediaan beras untuk keluarga miskin (raskin).

d. Menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam peningkatan ketahanan pangan, melalui pengembangan kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (Lembaga Lumbung Desa, dan lain-lain).

e. Memperluas akses pasar luar negeri dan pengembangan skema imbal dagang; meningkatkan upaya-upaya promosi pasar luar negeri; penanggulangan hambatan dan kendala ekspor melalui berbagai forum dan pendekatan internasional; penyebaran informasi pasar luar negeri; penyesuaian produksi dengan kecenderungan pola konsumsi; peningkatan diversifikasi dan nilai tambah komoditas ekspor; dan sebagainya.

f. Mendorong peningkatan industri olahan melalui restrukturisasi dan revitalisasi industri serta perluasan kegiatan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.

g. Meningkatkan koordinasi kebijakan dan pelaksanaan penyediaan distribusi dan konsumsi pangan di tingkat Pusat, antar Pusat-Daerah, dan di Daerah.

2. Sesuai Keppres Nomor 133 Tahun 2000 jo Keppres Nomor 166 Tahun 1999 telah ditetapkan Tim Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT. PLN yang bertugas diantaranya melakukan penyelesaian kontrak-kontrak PLN dengan swasta dalam rangka mengantisipasi permintaan kebutuhan tenaga listrik yang meningkat khususnya untuk sektor industri.

III – 48

3. Sesuai Keppres Nomor 152 Tahun 2000 telah ditetapkan Tim Pengkajian Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang bertugas diantaranya melakukan koordinasi kebijakan pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas guna mendukung pengembangan perekonomian nasional sektor perdagangan.

5.2.3 Penugasan

Agar pembangunan sektor pertanian dalam arti luas termasuk kelautan harus mendapatkan prioritas untuk secara bertahap membangun kemandirian di bidang pangan serta menjadikan Indonesia eksportir produk-produk pertanian yang tangguh.

Pelaksanaan

1. Meningkatkan akses dan optimalisasi sumber daya lahan dan air bagi produksi bahan pangan, melalui: (1) optimalisasi pendayagunaan lahan tidur dan telantar, lahan gambut; (2) irigasi, rehabilitasi jaringan irigasi, efisiensi manajemen penggunaan air secara terpadu dalam rangka kemandirian pengelolaan jaringan irigasi dan pompanisasi sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2000 tentang Irigasi; dan (3) optimalisasi pendayagunaan lahan melalui peningkatan intensitas tanam.

2. Pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan termasuk meningkatkan kemampuan armada perikanan nasional; pembudidayaan ikan; dan peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat pesisir lain.

3. Meningkatkan akses pelaku agribisnis terhadap permodalan, melalui: (1) pengembangan lembaga permodalan mikro perdesaan, (2) pengembangan skim-skim kredit agribisnis, dan (3) penyediaan bantuan langsung masyarakat.

III – 49

4. Meningkatkan akses terhadap sarana dan prasarana agribisnis melalui: (1) peningkatan lembaga layanan/penyedia input produksi, (2) memfasilitasi berkembangnya industri, usaha jasa dan pemakaian alsintan, (3) peningkatan infrastruktur publik seperti jalan, pelabuhan, dan lain-lain.

5. Meningkatkan penyediaan dan akses terhadap teknologi melalui: (1) penciptaan dan penerapan teknologi spesifik lokasi dan ramah lingkungan, (2) penguatan kelembagaan layanan dan informasi teknologi, dan (3) pengembangan sistem dan sarana perlindungan dan perbenihan/perbibitan tanaman dan ternak.

6. Meningkatkan akses terhadap pasar, melalui: (1) penyediaan informasi pasar agribisinis, dan (2) peningkatan layanan promosi pasar.

7. Menumbuhkan usaha agribisnis/agroindustri melalui: (1) pemantapan pengembangan kawasan agribisnis komoditas komersial tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan, (2) peningkatan kegiatan dan fungsi penyuluhan, (3) peningkatan kegiatan pelatihan kewirausahaan, (4) pengembangan percontohan inkubator agribisnis, (5) penguatan kelembagaan dan kemitraan usaha agribisnis, dan (6) peningkatan peran perempuan dalam agribisnis.

8. Mengembangkan sistem dan usaha agribisnis berbasis komoditas pangan non beras, hortikultura, perkebunan dan peternakan, beberapa kegiatan pokoknya akan mencakup: (1) pengembangan sistem perbenihan/perbibitan, (2) perluasan areal, (3) peningkatan intensitas tanam, (4) peningkatan populasi ternak, (5) pengembangan usaha pengolahan hasil, (6) pengembangan pemasaran, (7) pengembangan kelembagaan usaha dan layanan agribisnis, dan (8) pengokohan sistem penelitian dan penyuluhan.

III – 50

9. Melakukan Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dan Ekosistemnya, yang mencakup: (1) pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat, (2) rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut, (3) manajemen kawasan pesisir secara terpadu, (4) penataan ruang wilayah pesisir dan laut, (5) pembangunan kawasan konservasi laut, (6) pengelolaan kawasan perairan umum untuk perairan tawar maupun perairan laut melalui pengembangan culture based fisheries guna mendukung pengembangan pengkayaan stok di kawasan suaka dan kegiatan restocking, (7) pengendalian pencemaran, dan (8) pengendalian pemanfaatan pasir laut.

10. Peningkatan Peran Laut Sebagai Pemersatu Bangsa (Perekat Antar Nusa) dan Budaya Bahari, dengan (1) mengintegrasikan iptek perikanan dan kelautan ke dalam kurikulum pendidikan formal, (2) pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan tentang iptek bidang kelautan serta manajemen perikanan dan kelautan bagi masyarakat, (3) pemberian insentif ekonomi maupun sosial kepada generasi muda yang bekerja di bidang perikanan dan kelautan, (4) kampanye dan advokasi program “Lautmu, Lautku, Satu”, seminar, kapal budaya, media relations, government relations, community relations, public services aids, dan (5) pendayagunaan Forum Komunikasi Pengelolaan dan Pengendalian Sumber Daya Ikan.

11. Dimulainya kembali pembangunan pabrik pupuk PT. PIM 2, PT. Asean Aceh Fertilizer, PT. Pupuk Kujang, PT. Pupuk Kaltim yang diresmikan Presiden tanggal 3 Juli 2002 diharapkan dapat mendukung sektor pertanian khususnya penyediaan pupuk untuk kebutuhan dalam negeri disamping untuk memenuhi permintaan ekspor.

12. Menghadapi kemungkinan datangnya El Nino yang diperkirakan lemah dalam tahun ini,

III – 51

telah dilakukan Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian yang menetapkan langkah-langkah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional menghadapi musim kering mendatang.

13. Pemerintah juga telah membentuk Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai (Keppres Nomor 99 Tahun 1999). Tim telah bertugas untuk mengkaji pengembangan sumber daya air melalui konsep one river, one plan, one management. Upaya-upaya yang telah dilaksanakan tim antara lain adalah penyelesaian berbagai rancangan Peraturan Pemerintah tentang sumber daya air (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, RPP Irigasi, dan lain-lain).

14. Selain itu juga dilaksanakan operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi untuk mempertahankan tingkat layanan jaringan irigasi. Kegiatan lain yang telah dilakukan berupa pembangunan jaringan irigasi seluas 117 ribu hektar, pembangunan bendungan Wonorejo di Jawa Timur, Tilong di Nusa Tenggara Timur, Pelaparado dan Batubulan di Nusa Tenggara Barat dan Batutegi di Lampung untuk memenuhi kebutuhan air irigasi dan air baku perkotaan. Sejalan dengan water sector adjustment program (WATSAP) selain kegiatan penyediaan air irigasi, juga dilakukan pembentukan korporatisasi pengelolaan wilayah sungai secara terpadu mulai dari hulu sampai hilir, membangun dan merehabilitasi waduk, danau, situ, telaga, dan embung, serta bangunan penampung air lainnya. Untuk mengendalikan daya rusak air, maka dilakukan pembangunan dan rehabilitasi prasarana pengendalian banjir berupa pembangunan tanggul sepanjang 280 kilometer dan abrasi pantai serta perbaikan alur sungai sepanjang 120 kilometer.

5.2.4 PenugasanIII – 52

Bersama dengan DPR membentuk Undang-undang tentang perkreditan yang akan lebih mempermudah prosedur dan meringankan persyaratan perkreditan bagi usaha kecil, menengah dan koperasi.

Pelaksanaan

RUU yang berkaitan dengan Perkreditan/Perbankan terdiri atas: RUU tentang Perkreditan Perbankan, yang merupakan Usul Inisiatif DPR. Selanjutnya RUU tentang Keuangan Mikro, dan RUU tentang Penjamian Usaha merupakan usulan dari pemerintah. Ketiga Rancangan Undang-Undang tersebut pada saat ini sedang dibahas pada tingkat pemerintah:

1. RUU tentang Kredit Perbankan. Rancangan Undang-undang ini merupakan Usul Inisiatif DPR. Rancangan Undang-Undang ini dimaksudkan karena peraturan perkreditan yang berlaku selama ini masih berpedoman pada berbagai ketentuan seperti: (1) Buku Ketiga Undang-undang Hukum Perdata; (2) Undang-undang Pelepas Uang; (3) Undang-undang Riba; (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; dan (5) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, serta perundangan lainnya yang pada umumnya menimbukan terjadinya penerapan yang tidak konsisten dan pada gilirannya kurang memberi kepastian hukum bagi para pihak debitur maupun kreditur. Namun dengan keterbatasan waktu pemerintah, Rancangan Undang-undang ini masih dibahas pada tingkat pemerintah dan oleh karenanya belum sempat dibahas dengan DPR. Melalui kesempatan ini pemerintah ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas Usul Inisiatif DPR mengenai RUU Perkreditan Perbankan yang telah disampaikan kepada pemerintah yang akan segera ditindaklanjuti dengan pembahasan-pembahasan dengan DPR.

III – 53

2. RUU tentang Keuangan Mikro, sebagai upaya pemerintah untuk menggerakkan dan melindungi Usaha Mikro. Pada saat ini Rancangan Undang-undang tersebut sedang dalam pembahasan ditingkat pemerintah.

3. RUU tentang Penjaminan Kredit UKM. Rancangan Undang-undang ini dimaksudkan sebagai terobosan bagi kelangsungan usaha UKM akibat lemahnya penjaminan usaha ini. Konsep Rancangan Undang-undang ini juga masih dibahas pada tingkat pemerintah.

5.2.5 Penugasan

Segera membangun sistem informasi yang didukung oleh sarana dan prasarana telekomunikasi dan transportasi yang kompetitif dalam rangka memasuki perdagangan bebas (WTO, AFTA).

Pelaksanaan

1. Sesuai dengan Keppres Nomor 50 Tahun 2000 telah ditetapkan Tim Koordinasi Telematika Indonesia yang bertugas diantaranya melakukan koordinasi kebijakan telematika agar efisiensi dan efektif didalam memberikan layanan kepada masyarakat.

2. Rencana tindak dalam Repeta 2003 Kebijakan Diseminasi Informasi Teknologi dilaksanakan oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, LIPI, BATAN, BPPT, LAPAN, Bakosurtanal, BSN, dan Bapeten dengan diprogramkan dalam RAPBN 2003, yaitu:

a. Meningkatkan jaringan sistem informasi teknologi sebagai bentuk pelayanan iptek kepada dunia usaha dan masyarakat.

III – 54

b. Menyediakan paket informasi dan teknologi siap pakai dalam berbagai bentuk media informasi cetak maupun elektronik yang sederhana dan mudah diakses.

c. Menyediakan informasi peluang usaha berbasis pemanfaatan teknologi

3. Informasi layanan di bidang perekonomian kepada masyarakat dapat diperoleh dengan mengakses website Menko Perekonomian yang telah selesai dibangun melalui www.ekon.go.id. Sedangkan untuk informasi layanan di bidang keuangan, masyarakat dapat mengakses website Departemen Keuangan melalui www.depkeu.go.id.

4. Dalam rangka menghadapi perdagangan bebas WTO, AFTA disamping membangun sistem informasi juga telah disiapkan infrastruktur utama dalam perdagangan berupa telah ditetapkannya Tim Nasional untuk Perundingan Perdagangan Multilateral dalam kerangka World Trade Organization melalui Keppres Nomor 18 Tahun 2001 jo Keppres Nomor 104 Tahun 1999 dan Keppres Nomor 119 tahun 1999 tentang Badan Peningkatan Kerjasama Ekonomi Indonesia dengan Organisasi Konferensi Islam.

5.2.6 Penugasan

Mengaktifkan program kemitraan yang saling menguntungkan, baik antara usaha besar dan usaha kecil, menengah dan koperasi atau pemerintah, maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pelaksanaan

1. Pengembangan program kemitraan PUKK BUMN yang telah berjalan disamping program kemitraan sinergis dalam menunjang produk unggulan dari sektor hulu hingga hilir.

III – 55

2. Pengembangan program kemitraan dengan mengacu pada mekanisme pasar diantara produsen dengan komunitas antar konsumen serta mendorong pemerintah daerah menciptakan program kemitraan didalam mengembangkan UKM di daerah.

5.2.7 Penugasan

Mempercepat restrukturisasi utang usaha kecil dan menengah.

Pelaksanaan

1. Data Bank Indonesia per 31 Desember 2001, total kredit bermasalah (NPL) UKM yang berada di Bank BUMN dan Bank Swasta sebanyak 335.091 rekening dengan nilai sebesar Rp 4,67 triliun dari total outstanding sebesar Rp 119,75 triliun atau 3,9 persen, yang terdiri dari:

a. kredit bermasalah dari usaha kecil sebanyak 333.762 rekening dengan nilai sebesar Rp 2,44 triliun

b. kredit bermasalah dari usaha menengah sebanyak 1.329 rekening dengan nilai sebesar Rp 2,23 triliun

c. jumlah kredit bermasalah sebanyak 335.091 rekening dibandingkan dengan total rekening UKM sebanyak 11.615.467 rekening hanya mencapai 2,88 persen.

2. Data jumlah utang UKM yang macet (kolektibilitas 5) pada kurun waktu 31 Desember 2001 hanya sebesar Rp 2,18 triliun atau 1,82 persen dari total outstanding, yang terdiri:

III – 56

a. kredit macet dari usaha kecil sebanyak 190.098 rekening dengan nilai sebesar Rp 1,12 triliun

b. kredit macet dari usaha menengah sebanyak 655 rekening dengan nilai sebesar Rp 1,06 triliun

3. BPPN menerima pengalihan kredit UKM (BBO, BBKU, BTO, Bank Rekap, Bank BUMN). Pelaksanaan Restrukturisasi Utang UKM di BPPN dilakukan:

a. Program penyelesaian kredit dengan pola discount (loan settlement crash programme) melalui program LWOP reguler sebanyak Rp 3,6 triliun dari 54.999 rekening debitur UKM.

b. Program penjualan kredit UKM (SME & Retail loan disposal programme) sebanyak Rp 3,2 triliun dari 63.118 rekening debitur UKM.

c. BPPN melanjutkan program restrukturisasi utang UKM berjumlah Rp 3,0 triliun dari 48.533 rekening debitur UKM.

4. Jumlah piutang negara yang macet dari sektor UKM sampai dengan 31 Desember 2001 mencapai Rp 5,0 triliun dan US$ 3,018,685,7 dari 66.561 kasus.

5. Upaya untuk mempercepat restrukturisasi utang UKM dalam rangka meningkatkan gairah, kepastian berusaha dan keberlangsungan hidup UKM akibat krisis moneter tahun 1997, Pemerintah telah menetapkan Keppres tentang Restrukturisasi Utang UKM yang sifatnya sebagai payung kebijakan untuk melindungi kelangsungan usaha bagi UKM yang akan mendukung pilar utama ekonomi bangsa.

6. Upaya percepatan dan pemulihan ekonomi di daerah bergejolak, antara lain Propinsi NAD, Propinsi Maluku Utara, Ambon, Poso, Sampit, Propinsi Papua, sedang dipersiapkan Keppres tentang Penyelesaian utang debitur

III – 57

UKM di daerah bergejolak yang diharapkan dapat ditetapkan dalam tahun 2002.

6. Gerakan Penghematan Nasional

6.1 Permasalahan

Dalam masa krisis, masih banyak terlihat aktivitas yang terkesan bermewah-mewah, boros dan konsumtif yang menunjukkan rendahnya kesadaran atas krisis (sense of crisis).

6.2 Penugasan kepada Presiden

6.2.1 Penugasan

Mencanangkan gerakan penghematan nasional di segala sektor yang dilaksanakan oleh seluruh lembaga dan komponen maspnkan oleh para pnkan oleh para pnkan oleh para pejabat negara.

Pelaksanaan

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 357/M.PAN/12/2001 perihal langkah-langkah efisiensi dan Penghematan serta Hidup Sederhana di lingkungan Aparatur Negara dan Nomor 175.1/M.PAN/6/2002 perihal Pedoman Umum pelaksanaan peninetapkan pola hidup sederhana bagi aparatur Pemerintah diantaranya tidak menyelenggarperorangan di tempat yang mdi tempat yang mdi tempat yang mdi tempat yang mdi tempat yang mdi tempat yang mdi tempat yang mdi tempat yang mewah dan berlebihan; tidak melakukan penyambutan, pengawalan dan penghormatan yang berlebihan; tidak menerima hadiah/kenang-kenangan dalam bentuk apapun termasuk isteri dan anak-anaknya yang diduga terkait langsung/tidak langsung dengan jabatannya; tidak melakukan pungutan baik langsung/tidak langsung yang berdampak ekonomi biaya tinggi serta melakukan upaya penghematan penggunaan APBN

III – 58

dan APBD serta melaksanakan tugas secara efisien dan penuh disiplin.

6.2.2 Penugasan

Perlu membatasi impor barang-barang mewah sampai krisis ekonomi berakhir

Pelaksanaan

Sebagai upaya meningkatkan kelancaran arus barang ekspor dan impor termasuk upaya membatasi impor barang mewah yang dirasakan telah mengganggu perekonomian nasional dan menimbulkan kerugian penerimaan negara, telah dibahas dan dipersiapkan Keppres tentang Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor, sebagai tindak lanjut hasil Sidang Kabinet. Diharapkan dalam waktu dekat segera ditetapkan.

III – 59