pengujian performance biodiesel biji alpukat di tinjau dari
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan bidang industri dan transportasi, konsumsi bahan bakar
minyak bumi semakin meningkat. Akibatnya persediaan minyak bumi yang terdapat di
dunia semakin menipis perkiraan tentang penurunan produk minyak bumi pada massa
yang akan datang dan ketergantungan yang besar terhadap sumber energi minyak bumi,
mendorong penelitian dan pengembangan sumber energi alternatif dari bahan – bahan
alam yang jumlahnya melimpah dan bersifat terbarukan (renewable natural resources).
Biodiesel adalah salah satu bahan bakar alternatife yang memungkinkan sebagai
bahan bakar pengganti yang memiliki beberapa keunggulan diantaranya mudah
digunakan, ramah lingkungan (biodegradable), tidak beracun, dan mempunyai titik nyala
yang lebih tinggi dari pada petroleum diesel sehingga lebih aman dalam penggunaannya.
Biodiesel merupakan sumber daya yang dapat di perbaharui karena pada umumnya dapat
diekstrak dari berbagai produk hasil pertanian dan perkebunan.
Ada beberapa banyak macam minyak biodiesel ditinjau dari bahan – bahan
campurannya, ada yang menggunakan jarak pagar, ada yang menggunakan biji
nyamplung, dan mungkin banyak lagi jenis – jenis yang lain. Disini penulis menganalisa
jenis biodiesel yang berasal dari biji alpukat, karena diketahui biji alpukat merupakan
sumber daya yang cukup melimpah dan mudah untuk ditemui di masyarakat, selain itu
juga biji alpukat juga memiliki beberapa keunggulan lain di antaranya kandungan
minyaknya relatif tinggi dibandingkan tanaman lain yaitu sekitar 2638 liter/ha dalam
2217 kg/ha. Sedangkan tanaman seperti jarak adalah 1590 kg/ha : 1892 liter/ha dan bunga
matahari 800 kg/ha : 925 liter/ha. Selain itu bahan bakar ini lebih ekonomis dan ramah
lingkungan karena kadar belerang dalam minyak tersebut kurang dari 15 ppm, sehingga
pembakaran berlangsung sempurna dengan dampak emisi CO, CO2
serta polusi udara
yang rendah.
Penelitian ini menggunakan biji alpukat sebagai bahan dasar pembuatan biodiesel
untuk dapat mengetahui perbandingan dari penggunaan biodiesel berbahan biji alpukat
dan terhadap performansi ditinjau dari karakteristik panjang penyemprotan dan ukuran
butiran.
2
1.2 Rumusan Masalah
Biodiesel merupakan suatu sumber energy yang sangat baik, karena merupakan suatu
energy terbarukan, akan tetapi karakteristik dari suatu biodiesel tersebut terlebih
dahulu perlu di ketahui. Salah satu permasalahan yang ada adalah pengaruh dari
viskositas biodiesel terhadap panjang penyemprotan dan ukuran butiran yang
berdampak kepada performansi
Bagaimana performansi suatu biodiesel dengan perbandingan 5%, 10%, 15%, dan 20%
ditinjau dari panjang penyemprotan dan ukuran butirannya.
1.3 Batasan Masalah
Adapun permasalah – permasalahan yang ada, akan dibatasi untuk mendapatkan
hasil penelitian yang terfokus dan tidak bias. Adapun batasan – batasan permasalahan
tersebut adalah :
Solar digunakan sebagai data perbandingan untuk biodiesel minyak alpukat pada saat
mengamati hasil penyemprotan.
Alat uji yang dirancang agar dapat melakukan pengujian yang memungkinkan
menyerupai kondisi ruang bakar
Parameter pengujian yang diambil adalah pompa injeksi dan Nozel pada saat
pemakaian biodiesel minyak alpukat dan solar serta dapat mengamati karakteristik
semprotan dari biodiesel biji alpukat dan solar dengan tekanan pompa 10bar.
Pada Tekanan 10 bar akan dilakukan pengukuran terhadap panjang penyemprotan dan
ukuran butiran yang keluar dari Nozel.
Penelitian dilakukan dalam volume dan tekanan konstan.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Mengetahui karakteristik dari suatu biodiesel ditinjau dari pengaruh viskositas
biodiesel terhadap panjang penyemprotan dan ukuran butiran yang berdampak kepada
performansi
Mengetahui performansi suatu biodiesel dengan perbandingan 5%, 10%, 15%, dan
20% ditinjau dari panjang penyemprotan dan ukuran butirannya.
3
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Dapat mengetahui jenis karakteristik biodiesel minyak alpukat yang dapat
menghasilkan performansi maksimal.
2. Memperdalam ilmu tentang biodiesel yang nantinya akan dapat bermanfaat untuk
perkembangan keilmuan terutama yang berkaitan dengan mesin diesel
3. Memberikan informasi kepada mayarakat tentang pengunaan biodiesel minyak
alpukat sebagai bahan bakar alternative pada mesin diesel.
4. Penggunaan biodiesel minyak alpukat yang lebih ramah lingkungan dan merupakan
renewable energy dibandingan dengan solar.
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Alpukat
Alpukat, atau Persea Americana tumbuhan ini berasal dari Meksiko dan Amerika
Tengah dan kini banyak dibudidayakan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah sebagai
tanaman perkebunan monokultur dan sebagai tanaman pekarangan di daerah – daerah
tropika lainnya di dunia, seperti juga Indonesia yang memiliki iklim tropis,
pembudidayaan tanaman alpukat sendiri juga tidak terlalu sulit karena iklim yang cocok
dengan Negara kita Indonesia.
Alpukat merupakan salah satu jenis buah bergizi tinggi yang semakin banyak
diminati. Hal ini terlihat dari banyaknya permintaan alpukat di pasaran. Sebagai contoh,
seorang grosir membutuhkan alpukat 12-20 ton/minggu untuk pedagang pengecer di
Bogor.
Manfaat buah dan biji alpukat. Selain buah dan daunnya ternyata khasiat biji
alpukat juga bermanfaat untuk beberapa penyakit, yaitu diantaranya adalah: Manfaat biji
alpukat untuk pengobatan dapat digunakan untuk mengobati sakit gigi, manfaat biji
alpukat untuk maag dan kencing manis, dan banyak lagi maanfaat lain yang terdapat
dalam kandungan biji alpukat.
Pohon, dengan batang mencapai tinggi 20 m dengan daun sepanjang 12 hingga 25
cm. Bunganya tersembunyi dengan warna hijau kekuningan dan ukuran 5 hingga 10
milimeter. Ukurannya bervariasi dari 7 hingga 20 sentimeter, dengan massa 100 hingga
1000 gram; biji yang besar, 5 hingga 6,4 sentimeter.
Selain dari beberapa keunggulan diatas alpukat juga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber bahan baku biodiesel. Bagian dari buah alpukat yang dapat digunakan sebagai
biodiesel adalah bijinya. Bahan ini (biji alpukat) merupakan limbah yang begitu banyak
orang membuangnya setelah memanfaatkan daging buah tersebut. Padahal biji alpukat
mengandung lemak nabati yang tersusun dari senyawa yang bisa menghasilkan minyak.
Senyawa ini sangat unik karena memiliki komposisi yang sama dengan bahan bakar
diesel solar. Selain itu kadar belarang dalam alpukat lebih sedikit dibandingkan kadar
belerang dalam solar. Hal ini membuat pembakaran berlangsung sempurna sehingga gas
buangnya lebih ramah lingkungan.
5
Disamping itu, biji alpukat merupakan bahan biomassa yang mengandung
trigliserida serta kandungan asam lemak bebas (FFA) pada minyak biji alpukat rendah
yakni 0,367% sehingga dapat dijadikan biodiesel dengan proses transesterifikasi.
Adapaun kandungan minyak nabati dari berbagai tanaman ditunjukkan pada tabel 2.1
Tabel 2.1. kandungan minyak
kandungan minyak alpukat lebih tinggi dibandingkan tanaman-tanaman seperti
kedelai, jarak, bunga matahari, dan kacang tanah. Namun, kandungan minyak alpukat
masih lebih rendah dibandingkan sawit. Karakteristik fisika minyak alpukat dapat dilihat
pada tabel 2.2, disana ditunjukkan berbagai karakteristiknya seperti specific gravity, dan
viscosity dari minyak biji alpukat.
Asam-asam lemak/minyak tumbuh-tumbuhan terdiri dari komponen senyawa
utamanya adalah trigliserida dimana karakteristik fisik minyak biji alpukat sebagai
berikut:
Tabel 2.2. Karakteristik fisika minyak biji alpukat
2.2 Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar alternatife yang diformulasikan khusus untuk mesin
diesel yang terbuat dari minyak nabati (bio-oil). Proses pembuatan biodiesel adalah
proses transesterifikasi antara minyak nabati dengan methanol dan katalis pada suhu
70oC. Biodiesel memiliki keuntungan antara lain tidak diperlukan modifikasi mesin,
6
memiliki cetane number tinggi, ramah lingkungan, memiliki daya pelumasan yang tinggi,
aman dan tidak beracun.
Biodiesel juga merupakan bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbarukan
(renewable) yang terbuat bukan dari minyak bumi. Biodiesel tersusun dari berbagai
macam ester asam lemak yang dapat diproduksi dari minyak-minyak tumbuhan seperti
minyak sawit (palm oil), minyak kelapa, minyak jarak pagar, minyak biji kapuk randu,
minyak kemiri, minyak nyamplung dan masih ada lebih dari 30 macam tumbuhan
Indonesia yang potensial untuk dijadikan sumber energi bentuk cair ini. Pada gambar 2.1
dapat dilihat biji dari alpukat yang masih utuh dan minyak yang berasal dari biji alpukat.
Gambar 2.1. Biji dan minyak Alpukat
Secara kimia, transesterifikasi berarti mengambil molekul asam lemak kompleks
dari minyak nabati atau hewani, menetralkan asam lemak tak jenuh minyak nabati atau
hewani dan menghasilkan alcohol-ester. Karena komposisi asam lemak tak jenuh pada
minyak jarak sudah berkurang secara drastis, maka pembuatan biodiesel dengan
bahanbaku minyak jarak diperkirakan akan terjadi dengan lebih cepat. Prinsip proses
transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini:
Gambar 2.2. Proses Transesterifikasi Secara Kimia
+ C2H5OH
7
2.3 Rapat Massa (Density)
Adalah perbandingan antara massa bahan bakar dengan volume bahan bakar.
Density bahan bakar dipengaruhi oleh temperatur, dimana semakin tinggi temperatur,
maka density semakin turun dan sebaliknya.
2.4 Viskositas / kekentalan
Kekentalan suatu bahan bakar menunjukkan sifat menghambat terhadap aliran,
dan menunjukkan sifat pelumasannya pada permukaan benda yang dilumasi. Kekentalan
bisa didefinisikan sebagai gaya yang diperlukan untuk menggerakkan suatu bidang
dengan luas tertentu pada jarak tertentu dan dalam waktu yang tertentu pula. Viskositas
bahan bakar mempunyai pengaruh yang besar terhadap bentuk semprotan bahan bakar.
Dimana untuk bahan bakar dengan viskositas yang terlalu tinggi akan memberikan
atomisasi yang rendah sehingga mengakibatkan mesin sulit di start. Selain itu, gas buang
yang dihasilkan juga akan menjadi hitam dengan smoke density yang cukup tinggi. Jika
viskositas bahan bakar terlalu rendah maka akan terjadi kebocoran pada pompa bahan
bakarnya dan mempercepat keausan pada komponen pompa dan injektor bahan bakar.
2.5 Titik Nyala (flash Point)
Flash point adalah temperatur pada keadaan di mana uap di atas permukaan bahan
bakar (biodiesel) akan terbakar dengan cepat (meledak). Flash Point menunjukan
kemudahan bahan bakar untuk terbakar. Makin tinggi flash point, maka bahan bakar
semakin sulit terbakar.Makin mudah bahan bakar untuk terbakar maka flash point-nya
menurun dan bahan bakar lebih effisien.
2.6 Specific Gravity
Berat bahan bakar atau Specific Gravity memegang peranan yang sangat penting
dalam hal nilai kalor bahan bakar, flash point, dan sifat pelumasan pada mesin. Makin
tinggi specific gravity berarti bahan bakar akan semakin berat, dan nilai kalor yang
dihasilkan tiap volume akan semakin besar pula. Specific Gravity yang lebih tinggi juga
menunjukkan sifat pelumasan yang lebih baik. Tetapi Specific Gravity yang terlalu tinggi
akan menyebabkan viskositas yang terlalu tinggi, dan flash point yang terlalu tinggi.
8
Specific Gravity terhadap air = ………………… 2.1
2.7 Nilai Kalor
Nilai kalor dari bahan bakar diesel diukur dengan bomb kalorimeter. Untuk
memperoleh perkiraan nilai kalornya, bisa dipakai rumus empiris di bawah ini:
NK = 18,650 + 40 (API – 10) BTU/lb ...................................................... 2.2
API = API Gravity pada 60 oF = (141,5/Specific Gravity) – 131,5 ......... 2.3
Untuk menghitung lower heating value (LHV ) dan higher heating Value
digunakan persamaan sebagai berikut:
LHV= HHV- ……………………………………………… 2.4
2.8 Minyak Solar
Bahan bakar solar adalah bahan bakar minyak hasil sulingan dari minyak bumi
mentah bahan bakar ini berwarna kuning coklat yang jernih. Penggunaan solar pada
umumnya adalah untuk bahan bakar pada semua jenis mesin Diesel dengan putaran tinggi
(diatas 1000 rpm), yang juga dapat digunakan sebagai bahan bakar pada pembakaran
langsung dalam dapur-dapur kecil yang terutama diinginkan pembakaran yang
bersih.(www. Com Pertamina: 2005 ), pada tabel 2.3 dapat dilihat spesifikasi bahan
bakar solar.
Tabel 2.3. Spesifikasi bahan bakar solar.
9
Air Fuel Ratio ( AFR)
Air fuel ratio adalah perbandingan antara udara dan bahan bakar (proses
pencampuran udara dan bahan bakar), bahan bakar yang hendak dimasukkan ke dalam
ruang bakar haruslah dalam keadaan mudah terbakar, hal tersebut agar didapatkan
effisiensi tenaga motor yang maksimal. Campuran bahan bakar yang belum sempurna
akan sulit dibakar oleh percikan bunga api di dalam ruang bakar, bahan bakar tidak dapat
terbakar tanpa adanya udara (O2), tentunya dalam keadaan yang homogen. Bahan bakar
yang di gunakan dalam pembakaran sesuai dengan ketentuan sebab bahan bakar yang
melimpah pada ruang bakar justru tidak meningkatkan tenaga dari motor tersebut,
semakin banyak bahan bakar yang tidak terbakar pada ruang bakar akan mengakibatkan
filament pada dinding silinder.
Air fuel ratio adalah faktor yang mempengaruhi kesempurnaan proses
pembakaran didalam ruang bakar. Merupakan komposisi campuran bahan bakar dan
udara idealnya AFR bernilai 13,6 (1 bahan bakar : 13,6 udara) stoichiometry, berikut
pengaruh AFR pada kinerja mesin:
AFR Terlalu kurus :
Tenaga mesin menjadi sangat lemah
Sering menimbulkan detonasi
Mesin cepat panas
Dapat membuat kerusakan pada sillinder ruang bakar
AFR Kurus :
Tenaga mesin berkurang
Terkadang terjadi detoansi
Konsumsi bahan bakar irit
AFR Ideal :
Kondisi Paling Ideal
AFR Kaya :
Bensin agak boros
Tidak terjadi detonasi
10
Mesin lebih bertenaga
AFR Terlalu kaya :
Bensin sangat boros
Asap knalpot berwarna hitam
Menimbulkan filament pada gesekan dinding sillinder dengan ring piston
(Sumber : Wisnu Arya Wardana, 2001 : 38)
Perbandingan jumlah udara dengan bahan bakar disebut dengan Air Fuel Ratio
(AFR). Perbandingan ini dapat dibandingkan baik dalam jumlah massa ataupun dalam
jumlah volume.
𝐴𝐹𝑅 = 𝑚𝑓𝑢 : 𝑚𝑎𝑖𝑟 = 𝑉𝑓𝑢𝑒𝑙 : 𝑉𝑎𝑖𝑟 ……………………………………………………… 2.5
Besarnya AFR dapat diketahui dari uji coba reaksi pembakaran yang benar-benar
terjadi, nilai ini disebut AFR aktual. Sedangkan AFR lainnya adalah AFR stoikiometri,
merupakan AFR yang diperoleh dari persamaan reaksi pembakaran. Dari perbandingan
nilai AFR tersebut dapat diketahui nilai Rasio Ekuivalen (ϕ) :
𝜙 = 𝐴𝐹𝑅𝑠 : 𝐴𝐹𝑅𝑎𝑘𝑡 ……………………………………………………………………………. 2.6
Untuk dapat mengetahui nilai AFR , maka harus dihitung jumlah keseimbangan
atom C, H dan O dalam suatu reaksi pembakaran. Adapun rumus umum reaksi
pembakaran yang menggunakan udara kering adalah :
………………………. 2.7
2.9 Motor Diesel
Motor diesel ditemukan oleh seorang insinyur Jerman benama Rudolf Diesel pada
tahun 1897 sebagai salah satu jenis motor pembakaran dalam (Internal Combustion
Engine). Konsep dari mesin ini adalah memulai pembakaran dengan menyemprotkan
bahan bakar cair ke dalam udara yang dipanaskan kompresi yang dapat menghasilkan
efisiensi yang lebih dari motor bensin.
Motor bakar diesel yang bebeda dengan motor bakar bensin proses penyalaan
bukan dengan loncatan bunga api listrik. Pada langkah hisap hanyalah udara segar yang
11
masuk ke dalam silinder. Pada waktu torak hampir mencapai TMA bahan bakar
disemprotkan ke dalam sillinder.
Terjadilah penyalaan untuk pembakaran, pada saat udara masuk ke dalam silinder
sudah bertemperatur tinggi.
Tipe- Tipe Motor Diesel :
Tipe Motor Diesel Injeksi Langsung (Direct Injection Type)
Bahan bakar disemprotkan langsung ke Ruang bakar utama letak ruang bakar
utama ada di antara piston & silinder headBagian atas piston dibuatkan ruang
dengan desain khusus.
Tipe Injeksi Tidak Langsung ( Indirect Injection Type)
Pada ruang bakar Motor diesel Injeksi tidak langsung, Bahan bakar
disemprotkan ke dalam ruang bakar pendahuluan (prechamber) yang telah
dipanaskan dan disinilah awal pembakaran terjadi untuk mendapatkan campuran
yang baik kemudian dilanjukan dengan pembakaran utama diruang bakar utama.
2.10 Prinsip Kerja Motor Diesel Empat Langkah
Pada motor diesel empat langkah, katup masuk dan katup buang digunakan untuk
mengontrol proses pemasukan dan pembuangan gas dengan membuka dan menutup
saluran masuk dan saluran buang.
Gambar 2.3. Prinsip kerja motor diesel 4 langkah
1. Langkah isap, yaitu waktu torak bergerak dari TMA ke TMB. Udara diisap
melalui katup isap sedangkan katup buang tertutup.
12
2. Langkah kompresi, yaitu ketika torak bergerak dari TMB ke TMA dengan
memampatkan udara yang diisap, karena kedua katup isap dan katup buang
tertutup, sehingga tekanan dan suhu udara dalam silinder tersebut akan naik.
3. Langkah usaha, ketika katup isap dan katup buang masih tertutup, partikel
bahan bakar yang disemprotkan oleh pengabut bercampur dengan udara
bertekanan dan suhu tinggi, sehingga terjadilah pembakaran. Pada langkah ini
torak mulai bergerak dari TMA ke TMB karena pembakaran berlangsung
bertahap.
4. Langkah buang, ketika torak bergerak terus dari TMA ke TMB dengan katup
isap tertutup dan katup buang terbuka, sehingga gas bekas pembakaran
terdorong keluar.
2.11 Siklus Motor Diesel
Siklus Diesel adalah Siklus teoretis untuk (Compression Ignition Engine) atau
motor diesel.Perbadaan siklus diesel dengan siklus otto adalah: pada motor diesel
penambahan panas terjadi pada tekana tetap.
Gambar:2.4. Siklus diesel digram P-V dan T-S
Prosesnya:
1-2 Kompresi Isentropik (Reversibel Adiabatik).
2-2 Pembakaran Isobarik.
3-4 Ekspansi Isentropik (Reversibel Adiabatik)
4-1 Pembakaran kalor Isochoric.
13
Efisiensi teoritis siklus diesel
𝜂 =1- ………………………………………… 2.1
Efisiensi teoritis siklus dual:
𝜂 = 1- ……………………………………….. 2.2
Dimana:
P3/P2 (Perbandingan tekana pada volume konstan)
V4/V2 (Cut-off ratio/ perbandingan pemancuan).
K = 1,40
r= V1/V2
2.12 Komponen Bahan Bakar Motor Diesel
Gambar 2.5. Komponen Bahan bakar Motor diesel
14
Dapat dilihat pada gambar 2.5 komponen – komponen bahan bakar pada motor diesel
Adapun fungsi – fungsi komponen tersebut :
1. Fuel tank berfungsi untuk menyimpan bahan bakar sementara yang akan
digunakan dalam penyaluran bahan bakar yang dibutuhkan oleh mesin.
2. Feed pump atau pompa penyalur berfungsi untuk mengalirkan bahan bakar
dengan cara memompa bahan bakar dari tangki dan mengalirkannya ke pompa
injeksi. Didalam feed pump juga terpasang komponen yang bernama priming
pump, yang berfungsi untuk mengeluarkan udara palsu dari sistem bahan bakar.
3. Fuel filter biasanya terdapat 2 (dua) yaitu pada bagian sebelum feed pump yang
dilengkapi pula dengan water sedimenter yang berfungsi untuk memisahkan air
dalam sistem bahan bakar dan fuel filter (saringan bahan bakar) yang berfungsi
untuk menyaring kotoran kotoran yang terdapat pada bahan bakar untuk menjaga
kualitas bahan bakar agar selalu bersih dan tidak menghambat aliran bahan bakar.
4. Injection pump yang berfungsi untuk menaikkan tekanan sehingga bahan bakar
solar dapat mudah dikabutkan oleh nozzle. didalam pompa injeksi ada komponen
yang bernama automatic timer dan governor yang fungsinya ada dibawah ini.
5. Automatic timer yang terpaang pada bagian depan pompa injeksi yang
berhubungan dengan timing gear berfungsi untuk memajukan saat injeksi sesuai
dengan putaran motor.
6. Governor terpasang pada bagian belakang pompa injeksi yang berfungsi sebagai
pengatur jumlah injeksi bahan bakar sesuai dengan pembebanan motor.
7. Pengabut (Nozzle) berfungsi untuk mengabutkan bahan bakar agar mudah
bercampur dengan oksigen sehingga mudah terbakar dalam silinder
8. Pipa tekanan tinggi terbuat dari bahan baja yang berfungsi untuk mengalirkan
bahan bakar bertekanan tinggi dari pompa injeksi ke masing-masing pengabut
9. Busi pijar atau busi pemanas (glow plug) berfungsi untuk memanaskan ruangan
prechamber pada saat mulai start. Dengan merubah energi listrik dari battery
menjadi energi panas
10. Battery (aki) berfungsi sebagai sumber energi listrik yang mensupply energi yang
dibutuhkan oleh busi pijar untuk memanaskan ruangan pre chamber
11. Kunci kontak (ignition switch) berfungsi sebagai saklar utama pada sistem
kelistrikan kendaraan
12. Relay yang berfungsi sebagai pengaman dan pengatur saat pemanasan ruang pre
chamber.
15
2.12.1. Tangki Bahan bakar
Tangki bahan bakar terbuat dari bahan yang tidak korosi atau terbuat dari
baja tipis yang bagian dalamnya melapisi bahan anti karat. Tangki bahan bahar
harus bebas dari kebocoran dan tahan terhadap tekana minimal 0-3 bar, serta
tahan terhadap getaran mekanis yang ditimbulkan pada saat motor beroperasi.
Dalam tangki bahan bakar terdapat fuel sender gauge yang berfungsi untuk
menujukan jumlah bahan bakar yang ada didalam tangki.
2.12.2. Filter Bahan Bakar
Umur komponen system aliran bahan bakar motor diesel sangat ditentukan
oleh mutu saringan / filter serta perawantan berkala system bahan bakar.Tekanan
bahan bakar dapat dibangkitkan oleh pompa injector melalui plunyer dan barel
serta nozel. Hal ini mengharuskan bahan bakar yang selalu bersih dan tidak
terkontaminasi oleh material lain sebelum masuk ke pompa injektor dan nozel.
2.12.3. Pompa Injeksi
Berfungsi memberikan tekanan pada solar yang akan diinjeksikan /
disemprotkan oleh nozzel. Pada gambar 2.6 dapat dilihat gambar pompa injector
dan bagian – bagianya.
Gambar 2.6. Pompa Injektor
16
2.12.4. Injektor / Nozel
Injektor / Nozel adalah Pemisahan fluida atau minyak menjadi tetesan kecil yang
membutuhkan energi tertentu, energi yang diberikan melalui pompa yang
memiliki tekanan, yang tinggi. Dengan pompa bertekanan tinggi akan
memecahkan minyak atau fluida dengan kecepatan tertentu, tekanan dan
kecepatan yang diberikan biasaya mencapai 100 psi sehinga memaksa fluida atau
minyak melalui lubang nozel. Dapat dilihat pada gambar 2.7 model injektor /
nozel dan bagian – bagian dari injektor / nozel tersebut.
Gambar 2.7. Injektor/Nozel
Untuk mengatahui model laju aliran masa tekanan injeksi, tekanan udara
lingkungan, sifat fisik bahan bakar yang diuji, dapat di notasi dengan L/D
geometri lubang Nozel R/D Rasio Inlet. Parameter output koefisien debit aliran,
kecepatan injeksi yang efektif, dan diameter efektif dapat digunakan persamaan
sebagai berikut :
…………………………………………… 2.8
Keterangan :
= mean velocity.
= injeksi rate.
17
= liquid density.
= nozel hole area.
Dan untuk menghitung tekanan masuk dan keluar (P1, P2) digunakan persamaan
Bernoulli’s.
………………………………… 2.9
Dimana tekanan lingkungan (P2) akan diganti kooefisienya ( Cd) maka.
………………………………..….. 2.10
Fraksi kooefisenya adalah:
……………………………………. 2.11
Macam – macam injektor seperti disebutkan diatas dengan sifat pengabutan dan
karakteristik yang berbeda maka pemilihan untuk fungsi pemakaiannya juga
berbeda yang tergantung pada proses pembakarannya dan proses pembakaran ini
ditentukan oleh bentuk ruang bakarnya, untuk sifat-sifat injektor ini antara lain
adalah seperti berikut:
a. Injector berlubang satu (Single hole) proses pengabutannya sangat baik akan
tetapi mememrlkukan tekanan injection pump yang tinggi.
b. Demikian halnya dengan injektor berlubang banyak (multi hole)
pengabutannya sangat baik. Injector ini sangat tepat digunakan pada direct
injection (injeksi langsung).
c. Injektor dengan model pin, injektor model pin ini model trotle maupun model
pintle lebih tepat digunakan pada motor diesel dengan ruang bakar yang
memiliki combustion chamber, kamar muka maupun kamar pusar (turbulen)
dan Tipe Lanova.
18
2.13 Penyemprotan (Spray)
Penyemprotan atau spray adalah aliran udara / gas yang mengandung droplet;
atau droplet yang bergerak dalam aliran udara / gas.Oleh karena itu, dalam proses
pengabutan ini pada dasarnya adalah mencampur bahan bakar dengan oksigen, untuk
itu proses pengabutan untuk memperoleh gas bahan bakar yang sempurna pada
injector dapat dilakukan dengan tiga sistem pengabutan yaitu:
a. Pengabutan Udara
Proses pengabutan udara terjadi pada saat bahan bakar yang
bertekanan 60 sampai 85 kg/cm² mengakibatkan tekanan pada rumah pengabut
sebesar 60 kg/cm² yang selalu berhubungan langsung dengan tabung udara dengan
tekanan bahan bakar dari pompa mencapai 70 kg/cm² pada Volume tertentu akan
tertampung pada cincin pembagi dari pengabut tersebut.
b. Pengabutan Tekanan
Pada proses pengabut tekan ini saluran bahan bakar dan ruangan dalam
rumah pengabut harus selalu terisi penuh oleh bahan bakar, dengan jarum
pengabut yang tertekan oleh pegas sehingga saluran akan tertutup. Namun ketika
bahan bakar dari injection pump yang beterkanan 250 kg/Cm² mengalir kebagian
takikan jarum pengabut, pengabut akan tertekan keatas sehingga saluran akan
terbuka. Dengan demikian, bahan bakar akan terdesak melalui celah di antara
jarum pengabut dalam bentuk gas.
c. Pengabutan Gas
Pengabutan ini dikonstruksi sedemikisn rupa dengan komponen –
komponen yang terdiri atas rumah pengabutan, katup dan bak pengabutan yang
ditempatkan di bagian bawah dari pengabutan dan berada di dalam ruang bakar.
Dalam proses pengabutan ini bahan bakar telah berada dalam keadaan bertekanan
tinggi dan katup injeksi sudah terbuka sejak langkah pengisapan oleh torak dan
pada kondisi demikan ini sebagian bahan bakar telah menetes ke bak pengabut
yang di bagian sisinya terdapat lubang-lubang kecil (Taufiq, 2012). Pada gambar
2.8 dapat dilihat sistem semprotan (spray) yang terjadi pada proses pengabutan.
19
Gambar 2.8. Sistem peyemprotan ( spray)
(Adapted from: www.elsevier.com/locate/renene)
Untuk mesin diesel, penetrasi ujung semprotan terlalu lama disebabkan oleh
injeksi tekanan tinggi juga memiliki efek yang merugikan pada kontrol akurasi
campuran dan kinerja emisi karena penguapan.
Berdasarkan topik diatas sehingga untuk dapat mengetahui tingkat
penyemprotan dengan tekanan atomisasi, dan dapat di ukur sudut kerucut
berdasarkan jarak semprotan digunakan persamaan empiris dimana , dapat
dilihat pada gambar 2.9 penyemprotan tip penetrasi, jarak penetrasi L oleh (Arai et
al)
Gambar 2.9. Penyemprotan tip Penetrasi
…………………………… 2.12
……………………………………….. 2.13
……………………………………………… 2.14
20
…………………………………….. 2.15
Dimana :
L = Jarak penetrasian.
= Tekana injeksi.
= Lubang Nozel.
= Break-up time
= Udara lingkungan.
= Diameter nozel.
Diameter semprotan merupakan hasil rata – rata dari panjang semprotan di
sumbu vertikal dan sumbu horizontal. Berdasarkan data diameter hasil semprotan,
menurut (Borman, 1998) besarnya sudut semprotan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
…………………………………………………. 2.16
Dimana :
Ɵ = Sudut semprotan ( o)
Δp = Tekanan injector (MPa)
= Diameter semprotan (mm)
= Velocity (m/s)
Sepanjang semprotan penetrasi ditentukan dengan mencari arah axial
semprotan yang terjauh dari nozzel, sudut yang meliputi struktur semprotan dari
nozzle hingga 1/3 dari penetrasi. Garis linear digunakan untuk mengukur sudut
yang dekat dan garis singgung kontur yang ada sampai ujung semprotan. (Ghurri
et.el)
21
Gambar 2.10. Tip Penetrasi
Pada gambar 2.10 dapat dilihat tip penetrasi yang terjadi pada nozel spray.
Untuk menganalisis sifat penetrasi semprotan diatas digunakan persamaan Hiroyasu
……………………………… 2.17
...……………...…………….. 2.18
...………….………………… 2.19
……………………………. 2.20
.……………………………. 2.21
Dimana :
= Diameter Nozel.
= Penetrasi tip penyemprotan.
= Waktu setelah mulai injeksi.
= Break up time.
= Kecepatan awal semprotan.
= Discharge Koofisen Nozel.
22
= Tekanan Injeksi.
= Fuel Density.
= Density udara Lingkungan.
= Volume fraction pengabutan dari semprotan.
= Sudut kerusut semprotan.
Konsumsi bahan bakar spesifik (SFC) adalah menyatakan jumlah pemakaian
bahan bakar yang dikonsumsi oleh motor untuk menghasilkan daya (Hp) dalam kurun
waktu tertentu. Semakin rendah nilai Sfc maka semakin rendah pula konsumsi bahan
bakar yang digunakan. Berikut ini merupakan hasil dari pengukuran konsumsi bahan
bakar spesifik.
Rumus yang digunakan untuk menghitung Sfc adalah :
………………………………………………. 2.22
Dimana :
Sfc : Specific fuel consumption (Kg/Hp.jam)
mf : laju aliran bahan bakar (Kg/jam)
P : daya yang dihasilkan oleh mesin (Hp)
Sementara nilai diameter rata – rata dari semprotan yang terjadi ini dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan Sauter Mean Diameter (SMD) berikut
(Viriato, 1996) :
....... 2.23
Dimana :
σ = Tegangan permukaan minyak
ρl = Massa jenis minyak
Va = Kecepatan Udara
µl = Viskositas minyak
ρa = Udara lingkungan
AFR = Rasio bahan bakar dengan udara
23
2.14 Camera
Camera High speed digunakan untuk mengambil proses gambar panjang
penyemprotan dan ukuran butiran pada saat penetrasi bahan bakar. untuk
menganalisis data dari panjang semprotan, dan ukuran butiran digunakan softwere.
Adapun model camera high speed dapat dilihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.11. High Speed Camera
24
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1. Kerangka Berpikir
Biodiesel adalah salah satu bahan bakar alternatif yang mempunyai beberapa
keunggulan di antaranya mudah digunakan, ramah lingkungan (biodegradable), tidak
beracun, bebas dari logam berat seperti sulfur dan senyawa aromatik serta memiliki
titik nyala yang tinggi. Biji alpukat merupakan salah satu sumber minyak nabati yang
melimpah, cukup mudah untuk dapat ditemukan dan memiliki kandungan minyak
yang relatif tinggi dibandingkan dengan tanaman lain, sehingga dalam pengolahan
menjadi minyak nabati memiliki keberlanjutan yang baik. Biodiesel dari minyak biji
alpukat lebih ekonomis dan ramah lingkungan karena kadar belerang dalam minyak
tersebut kurang dari 15 ppm. Memiliki angka setana yang tinggi, maka pembakaran
biodiesel berlangsung lebih sempurna. Dengan berbagai hal di atas diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk dapat mengetahui performansi mesin diesel yang
menggunakan biodiesel minyak biji alpukat ditinjau dari panjang penyemprotan dan
ukuran butirannya.
2.2. Konsep
Dengan berbagai keunggulan yang terdapat pada biji alpukat dan memiliki
kandungan minyak yang relative lebih besar bila dibandingkan dengan penggunaan
sumber nabati yang lain dihitung per gram yang sama, maka akan di lakukan
pengamatan dan analisis dari karaktersitik minyak biodiesel biji alpukat, adapun
proses dalam pembuatan biodiesel biji alpukat diantaranya proses transesterifikasi dan
titrasi untuk menentukan banyaknya katalis (KOH/NaOH) yang diperlukan
Dari biodiesel tersebut akan diamati karakteristik panjang penyemprotan dan
ukuran butiran dari masing – masing campuran biodiesel 5%, 10%, 15%, dan 20%,
maka akan dapat di ketahui karakteristik dari masing – masing campuran tersebut
yang berdampak terhadap performansi dan effisiensi.
25
2.3. Hipotesis Penelitian
Mengacu pada pemasalahan di atas, hipotesis yang disampaikan dalam
penelitian ini adalah biodiesel menghasilkan karakteristik panjang penyemprotan dan
ukuran butiran yang lebih baik bila dibandingkan dengan minyak solar.
26
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian
Pengujian dilakukan terhadap biodiesel biji alpukat dengan perbandingan
campuran 5%, 10%, 15%, 20%, dan 100% solar, ditinjau dari panjang
penyemprotan dan ukuran butiran, maka akan dapat diketahui karakteristik panjang
penyemprotan dan ukuran butiran dari masing – masing campuran. Dilakukan
pengamatan dan analisis data dari masing – masing hasil pengujian sehingga dapat
menentukan campuran terbaik dari masing – masing campuran tersebut.
4.2 Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di laboratorim Mekanik Politeknik Negeri Bali
dan Laboratorium Konversi Energi Universitas Udayana Jimbaran Badung Bali.
4.3 Batas Dan Prosedur Pengujian
Pengujian dilakukan dengan mengunakan Injektor / Nozel berdasarkan
perbandingan bahan bakar biodiesel minyak biji alpukat dan minyak solar atau
fosil.
a. Pengujian dilakukan berdasarkan persentase campuran biodiesel minyak biji
alpukat dengan minyak solar/fosil.
b. Pengujian ini dilakukan tanpa modifikasi pada injektor/ Nozel agar dapat
memperoleh fleksibilitas dalam penggunaan bahan bakar.
c. Pengujian ini dilakukan pada tekan 150 bar pada nozel injektor
27
4.4 Skema Pembuatan Biodiesel Minyak Alpukat
Gambar. 4.1 Skema proses pengolahan biji alpukat menjadi biodiesel alpukat
Dapat dilihat pada gambar 4.1 skema proses pengolahan biji alpukat menjadi
biodiesel minyak alpukat. Biji alpukat dikupas dan dikeringkan terlebih dahulu lalu di
ekstraksi menjadi crude oil, dimurnikan dengan H2SO4 / HCl sehingga minyak tersebut
mengalami deguming / pengendapan, kemudian minyak nabati yang telah di murnikan
tersebut di esterifikasi dengan penambahan katalis berupa KOH / NaOH, kemudian di
transesterifikasi dengan penambahan ethanol / methanol, barulah di dapatkan hasil berupa
biodiesel minyak alpukat. Pada gambar 4.2 di bawah ini dapat dilihat biji buah alpukat
yang telah dikupas dan dikeringkan.
Biji Alpukat
Pengupasan & Pengeringan
Ekstraksi / Pengepresan
Deguming
Cruid Oil
Refined Oil
C
C
Esterifikasi (E1)
Esterifikasi (E2)
Transesterifikasi (T)
Biodiesel Alpukat
ET
EET
T
28
Gambar 4.2. Biji Buah Alpukat
Gambar 4.3. Proses Pembuatan Biodiesel Minyak Alpukat
Pada gambar 4.3 diatas dapat dilihat biji buah alpukat yang telah mengalami proses
pengeringan dan di parut, lalu di ekstraksi agar dapat menghasilkan minyak biji alpukat.
29
Gambar 4.4. Proses Esterifikasi dan Transesterifikasi
Pada Gambar 4.4 dapat dilihat minyak nabati yang di murnikan agar menghasilkan
degumming, dan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi agar dapat
menghasilkan biodiesel minyak alpukat. Pada proses pemurnian di tambahkan H2SO4 /
HCL pada temperature 80o – 100o sehingga menghasilkan deguming, barulah kemudian
dilanjutkan dengan penambahan katalis berupa NaOH, dan penambahan methanol untuk
dapat menjadi biodiesel minyak alpukat.
30
\
Gambar 4.5. Gambar Peralatan dan Proses Pengujian
Pada gambar 4.5 dapat dilihat alat – alat pengujian yang di gunakan dalam
penelitian ini, adapun alat uji yang di gunakan antara lain, rangkaian alat uji panjang
semprotan dan ukuran butiran, alat uji flas dan fire point, dan alat uji bomb calorimeter.
31
4.5 Diagram Alir Pengujian
Adapun proses diagram alir pengujian bahan bakar biodiesel minyak alpukat di
tunjukkan pada gambar diagram alir di bawah ini :
Gambar 4.6 Diagram Alir Pengujian
Persiapan
Alat
Pelaksanaan Pengujian
Bahan Bakar BD & D
Camera HS
%
BIODIESEL
% DIESEL /
SOLAR
Plot Grafik
Kesimpulan
Hasil
Semprotan
Keterangan :
: Garis Pembanding
32
4.6 Proses Pengambilan Data
Pada gambar 4.7 di bawah dapat dilihat skema proses pengambilan data
pengujian, berikut merupakan proses alur pengambilan data yang dilakukan dalam
penelitian panjang semprotan, ukuran butiran, dan sudut semprotan bahan bakar.
Nozzle berfungsi menginjeksikan bahan bakar biodiesel dan campuran biodiesel ke
dalam ruang pengujian, adapun tekanan hidrolis pada nozzle tester adalah 150 bar.
Bahan bakar di injeksikan ke dalam simulasi ruang bakar melalui nozell injector,
kemudian bahan bakar yang masuk ke dalam simulasi ruang bakar di rekam dengan
high speed kamera sehingga di dapatkan gambar sudut semprotan, ukuran butiran,
dan panjang semprotan, tekanan ambinen dalam simulasi ruang bakar tersebut di
kondisikan konstan sebesar 10 bar.
Gambar 4.7. Skema Proses pengambilan Data
33
BAB V
DATA PENELITIAN
5.1 Prosedur Penelitian
Pada gambar 5.1 dapat dilihat pengujian penelitian panjang penyemprotan,
sudut, dan ukuran butiran bahan bakar digunakan dua buah bahan bakar yaitu minyak
biodiesel biji alpukat dan minyak solar. Pengujian ini dilakukan dengan
memvariasikan campuran dari kedua bahan bakar minyak tersebut, adapun variasi
campuran bahan bakar pengujian dapat dilihat pada gambar 5.2. Pengujian awal dari
bahan bakar adalah pengujian 100% minyak solar, lalu 100% minyak biodiesel biji
alpukat, 5%BD (5% Biodiesel + 95% Solar), 10% BD (10% Biodiesel + 90% Solar),
15%BD (15% Biodiesel + 85% Solar), 20%BD (20% Biodiesel + 80% Solar).
Variable tetap pada pengujian ini adalah tekanan injector dari tester injector (Pinj) 150
bar dan tekanan ruang bakar (Pamb) 10 bar.
Gambar 5.1. Rangkaian Alat Pengujian
Kamera HD
Tester Nozel
Tekanan
tester nozel
150 bar
Tangki Minyak Pipa kapiler
Tekanan
Ruang bakar
10 bar
Simulasi
Ruang bakar
34
Gambar 5.2. Variasi Campuran Bahan Bakar Pengujian
5.2 Data Penelitian
Data yang di dapat dari pengamatan kamera video pada penelitian adalah
sebagai berikut, Panjang tip penetrasi semprotan (L), Kecepatan tip penetrasi (Uin),
Sudut semprotan (Ɵ), Luas area semprotan (A), dan distribusi ukuran diameter dari
butiran / droplet (D) yang terjadi pada semprotan minyak biodiesel. Untuk dapat
menemukan nilai – nilai dari karakter semprotan tersebut di atas, data mentah tersebut
kemudian di ubah dalam format (jpg). Gambar 5.3 menunjukkan salah satu semprotan
hasil pengujian yang telah di ubah formatnya menjadi format gambar (jpg).
Gambar 5.3. Pengolahan data awal semprotan dengan program image J
35
5.3 Pengolahan Data
Data panjang dan kecepatan tip penetrasi semprotan
Gambar 5.4. di bawah ini menunjukkan pengukuran sudut dan panjang tiap variasi
biodiesel hasil pengolahan dimana ditunjukkan karakteristik semprotan dimulai
dari ujung nozzle hingga akhir semprotan (semprotan yang sempurna) untuk
setiap variasi biodiesel.
Gambar 5.4. Pengukuran sudut dan panjang tiap variasi biodiesel
Panjang tip penetrasi semprotan (L) yang terbentuk pada tiap pengujian tersebut
diatas rata – rata menunjukkan panjang lebih besar dari pada 200 mm dan
memiliki kecepatan yang bervariasi untuk terbentuknya tip penetrasi yang berbeda
36
untuk tiap pengujiannya. Dan berikut ini merupakan table lengkap dari hasil
karakteristik semprotan yang terjadi pada tiap pengujian.
Tabel 5.1 data sudut, kecepatan dan panjang semprotan untuk tiap variasi
biodiesel
5 % BD
10 % BD
No
Sudut Ѳ
( Deg)
Jarak L
( 10-3 m)
Waktu t
( 10-3 s)
Kecepatan V
(m/s)
No
Sudut Ѳ
(Deg )
Jarak L
( 10-3 m)
Waktu t
( 10-3 s)
Kecepatan V
(m/s) 1 8.16 192.46 19.6 9.82
1 6.60 202.58 32.30 6.27
2 8.92 204.84 22.4 9.14
2 6.37 229.03 36.40 6.29
3 9.05 212.58 24 8.86
3 7.45 236.45 37.00 6.39
4 9.58 219.37 27.4 8.01
4 8.39 243.23 38.20 6.37
5 11.77 228.06 29.2 7.81
5 9.77 244.36 39.00 6.27
9.50 211.46 24.52 8.73
7.72 231.13 36.58 6.32
15 % BD
20 % BD
No
Sudut Ѳ
(Deg )
Jarak L
( 10-3 m)
Waktu t
( 10-3 s)
Kecepatan V
(m/s)
No
Sudut Ѳ
(Deg )
Jarak L
( 10-3 m)
Waktu t
( 10-3 s)
Kecepatan V
(m/s) 1 5.19 238.06 26.40 9.02
1 5.19 216.25 24.40 8.86
2 7.82 245.32 27.00 9.09
2 7.82 229.69 27.20 8.44
3 9.04 246.13 28.20 8.73
3 9.04 236.27 35.20 6.71
4 11.66 249.68 29.00 8.61
4 11.66 239.53 38.20 6.27
5 11.47 254.03 38.00 6.69
5 11.47 237.21 44.00 5.39
9.04 246.64 29.72 8.43
9.04 231.79 33.80 7.14
100% BD
100 % D
No
Sudut Ѳ
(Deg )
Jarak L
( 10-3 m)
Waktu t
( 10-3 s)
Kecepatan V
(m/s)
No
Sudut Ѳ
(Deg )
Jarak L
( 10-3 m)
Waktu t
( 10-3 s)
Kecepatan V
(m/s) 1 6.29 233.00 34.40 6.77
1 4.72 183.45 8.20 22.37
2 6.97 242.00 37.20 6.51
2 8.43 198.31 9.20 21.56
3 7.62 243.00 45.20 5.38
3 11.21 212.20 10.50 20.21
4 8.76 244.00 48.20 5.06
4 13.80 215.41 12.00 17.95
5 9.19 245.00 54.00 4.54
5 14.82 217.05 16.00 13.57
7.77 241.40 43.80 5.65
10.59 205.28 11.18 19.13
37
Sedangkan untuk grafik karakteristik lengkap dari panjang tip penetrasi tiap
semprotan pada pengujian ini dapat dilihat seperti pada grafik 5.1 sampai grafik
5.3 berikut :
Grafik 5.1 Hubungan panjang tip penetrasi dengan waktu semprotan
Dari grafik 5.1 diatas, dapat dijelaskan bahwa semakin besar kandungan
persentase biodiesel sangat berpengaruh pada panjang tip penetrasi, dimana
penambahan persentase biodiesel berdampak pada peningkatkan panjang tip
penetrasi dan peningkatkan waktu semprotannnya.
Grafik 5.2 Perubahan sudut penyemprotan setiap Pengujian
Sedangkan dari grafik 5.2, dapat dijelaskan bahwa penambahan persentase
biodiesel pada minyak solar berpengaruh pada terbentuknya sudut semprotan
38
bahan bakar tersebut, begitu juga berpengaruh terhadap waktu terbentuknya
semprotan. Dimana semakin besar kandungan persentase biodiesel akan
meningkatkan waktu penyemprotannya. Nilai sudut semprotan pada variasi
campuran 5%BD, 10%BD, 15%BD, dan 20% BD, adalah 9.50o, 7.72o, 9.04o,
9.04o. Secara signifikan sudut semprotan pada minyak solar murni (100%D)
cenderung lebih besar daripada minyak biodiesel murni dalam beberapa variasi
dengan besar sudut maksimum sampai 10.59o sedangkan minyak biodiesel
100%BD sudut maksimum hanyan mencapai 7.77o.
Grafik 5.3 Variasi Kecepatan semprotan pengujian
Grafik 5.3 diatas merupakan perbedaan kecepatan semprotan yang terdapat
pada tiap persentase biodiesel. Grafik tersebut menunjukkan bahwa penambahan
persentase biodiesel cenderung akan mengakibatkan semakin kecilnya kecepatan
yang terbentuk pada semprotan yang berarti semakin lama terbentuknya
semprotan pada persentase biodiesel yang lebih besar. Perbedaan kecepatan
biodiesel murni (100%BD) dengan kecepatan solar murni (100%D) cukup besar
dimana nilai kecepatan 100%BD 5.65 m/s sedangkan nilai kecepatan 100%D
adalah 19.13 m/s.
39
Grafik 5.4 Variasi Sudut semprotan pengujian
Sedangkan grafik 5.4 diatas merupakan perbedaan sudut semprotan maksimal
yang terjadi pada tiap persentase biodiesel. Grafik tersebut menunjukkan bahwa
sudut semprotan yang terbentuk cenderung meningkat untuk tiap penurunan
persentase kandungan biodiesel. Sudut maksimum yang mampu terbentuk oleh
solar murni (100%D) adalah yang paling besar yaitu hingga 14,82o. Namun hal ini
berbeda signifikan dengan sudut semprotan pada minyak biodiesel murni
(100%BD) dimana sudut maksimum yang terbentuk oleh minyak biodiesel murni
adalah yang paling rendah yaitu sebesar 9,19o, lebih kecil 3o dari sudut semprotan
solar murni.
Data distribusi butiran (droplet)
Selanjutnya untuk dapat mengetahui distribusi butiran untuk semprotan pada
tiap pengujian, data yang telah berbentuk gambar seperti pada gambar 5.3 dan 5.4
diatas, dapat diketahui melalui olah data lebih lanjut dengan menggunakan
program image J yang banyak beredar di pasaran. Hasil olah data lebih lanjut ini
akan dapat diketahui berapa banyak jumlah butiran yang terdapat pada setiap
semprotan, diameter butirannya, luas area semprotan, dan persentase jumlah dari
tiap butiran dengan diameter tertentu. Gambar 5.5 berikut merupakan salah satu
contoh hasil oleh data dengan menggunakan program Image J tersebut.
40
Gambar 5.5 hasil olah data dengan menggunakan program Image J
Dan table 5.2 berikut merupakan contoh hasil keseluruhan distribusi butiran yang
ada pada semprotan dengan campuran 5%BD, dan table 5.3 adalah hasil resume
dari total tabel untuk tiap campuran biodiesel yang berbeda. Sedangkan grafik 5.5
sampai grafik 5.10 merupakan implementasi data yang mewakili tabel – tabel
distribusi diameter butiran pada masing – masing semprotan.
41
Tabel 5.2 Data distribusi butiran semprotan pada campuran 5% BD
Tabel 5.3 Data total distribusi butiran tiap campuran biodiesel
Data ke-n Area Mean X Y D (µm)
1 124860 14.60 517.64 99.13 1561.59
2 2 24.50 340.00 0.50 3.26
3 1 9.00 383.50 0.50 2.31
4 1 1.00 694.50 0.50 2.31
5 1 0.00 741.50 0.50 2.31
6 3 17.33 668.17 21.50 4.00
7 2 7.00 725.50 31.00 3.26
8 1 25.00 684.50 32.50 2.31
9 7 22.57 717.21 35.07 6.10
10 2 30.50 708.00 35.50 3.26
11 5 17.20 710.70 36.70 5.16
12 14 22.36 680.86 37.71 8.63
13 1 11.00 700.50 36.50 2.31
14 1 5.00 675.50 37.50 2.31
15 5 20.00 707.90 38.90 5.16
16 7 23.29 682.36 41.50 6.10
17 1 29.00 684.50 38.50 2.31
18 5 21.40 676.10 40.50 5.16
.... …. …. …. …. ….
2671 17 15.29 461.15 175.56 9.51
2672 9 12.89 457.39 180.39 6.92
2673 1 0.00 460.50 182.50 2.31
2674 6 8.00 461.50 184.00 5.65
2675 1 0.00 913.50 186.50 2.31
2676 1 31.00 461.50 187.50 2.31
2677 5 1.80 561.50 195.50 5.16
No
Biodiesel / Diesel Jumlah Butir
D Min D Max Luas Total
(%) (n) (µm) % (µm) % (µm2)
1 5 % BD 2677 2.31 50.24 19.98 0.04 10934.37
2 10 % BD 2596 2.71 53.21 31.62 0.04 11844.53
3 15 % BD 2266 2.20 58.87 8.53 0.04 6389.43
4 20 % BD 2342 0.00 52.69 17.70 0.04 9066.32
5 100% BD 3177 1.49 52.22 11.81 0.03 7856.62
6 100 % D 3682 3.06 66.97 344.69 0.03 17926.84
42
Grafik 5.5 Distribusi diameter butiran semprotan minyak 5% BD
Gambar 5.6 Distribusi butiran semprotan minyak 5 % BD
43
Grafik 5.6 Distribusi diameter butiran semprotan minyak 10% BD
Gambar 5.7 Distribusi butiran semprotan minyak 10 % BD
44
Grafik 5.7 Distribusi diameter butiran semprotan minyak 15% BD
Gambar 5.8 Distribusi butiran semprotan minyak 15 % BD
45
Grafik 5.8 Distribusi diameter butiran semprotan minyak 20% BD
Gambar 5.9 Distribusi butiran semprotan minyak 20 % BD
46
Grafik 5.9 Distribusi diameter butiran semprotan minyak 100% D
Gambar 5.10 Distribusi butiran semprotan minyak 100% D
47
Grafik 5.10 Distribusi diameter butiran semprotan minyak 100 % BD
Gambar 5.11 Distribusi butiran semprotan minyak 100 % BD
Grafik 5.5 sampai 5.10 diatas menunjukkan distribusi butiran untuk tiap
persentase biodiesel dan solar murni (100%D). Pada persentase biodiesel 5%BD
sampai 20%BD (grafik 5.5 sampai 5.8) memiliki karakter distribusi butiran yang
48
relative sama, dimana nilai diameter butiran yang mendominasi berada pada
diameter 45µm. Sedangkan pada biodiesel murni dan solar murni (grafik 5.9 dan
grafik 5.10) memiliki nilai diameter butiran dominan pada nilai sekitar 50µm.
Perbedaan yang cukup signifikan antara minyak biodiesel murni dengan
solar murni adalah pada biodiesel murni banyak juga didominasi oleh ukuran
butiran yang lebih besar dari 50 µm, sedangkan pada solar murni sedikit sekali
jumlah butiran yang diameternya lebih dari 50 µm tersebut.
Tabel 5.4 merupakan perbandingan persentase jumlah butiran yang
terdapat pada semprotan tiap campuran biodiesel yang diuji, sedangkan grafik
5.11 berikutmerupakan imploementasi dari tabel 5.4 tersebut. Dari grafik 5.11
tersebut terlihat bahwa karakter distribusi semprotan pada biodiesel murni
(100%BD) dan campurannya masih terdapat perbedaan yang cukup signifikan,
Data Flash dan Fire Poin
Dari tabel 5.4 dan 5.5 di bawah ini dapat dilihat flash point / titik nyala dan
fire point dari masing – masing campuran biodiesel minyak alpukat.
Tabel 5.4 Flash Point
Flash Point
No t1(oC) t2(oC) Σt (oC)
100 % D 49 51 50
100 % BD 65,5 74 74
5 % BD 44 49 46.5
10 % BD 46 47 46.5
15 % BD 44 49 46.5
20 % BD 43 45 44
49
Tabel 5.5 Fire Point
Massa Jenis Bahan Bakar
Tabel 5.6 Massa Jenis Bahan Bakar
Massa Jenis Bahan Bakar (ρ)
ml gr ρ (gr/ml)
5 % BD 50 35.85 0.717
10 % BD 50 35.982 0.71964
15 % BD 50 35.332 0.70664
20 % BD 50 35.654 0.71308
100 % D 50 35.796 0.71592
100 % BD 50 36.816 0.73632
Fire Point
t1(oC) t2(oC) Σt(oC)
100 % D 57 58.5 57.75
100 % BD 83 88 85.5
5 % BD 50 58 54
10 % BD 57 61 59
15 % BD 51 55 53
20 % BD 49.5 51.5 50.5
50
Nilai Kalor Bahan Bakar
Tabel 5.7 Nilai Kalor Bahan Bakar
Nilai kalor Bahan Bakar
No
Standarisasi
benzoid acid saample massa T1(°C) T2(°C) m.H2O HHV LHV
(cal/gr°C) (gr) (cal/gr) (cal/gr)
1 A1 1.996 22.060 33.153 2.296 10837.350 9597.992
2 A2 1.902 31.185 41.520 2.114 10595.820 9454.704
3 B1 2.050 30.060 40.380 2.204 9816.585 8626.888
4 B2 2.028 31.700 41.925 2.144 9831.731 8674.421
5 C1 2.026 39.051 49.046 2.038 9620.064 8519.972
6 1950.000 C2 2.050 22.410 32.516 2.114 9613.024 8471.908
7 D1 2.084 32.120 42.170 2.264 9403.791 8181.706
8 D2 2.080 39.660 49.650 2.300 9365.625 8124.108
9 E1 2.052 42.700 52.205 2.194 9032.529 7848.230
10 E2 2.050 47.600 57.080 2.142 9017.561 7861.331
11 F1 2.020 16.820 25.840 2.378 8707.426 7423.805
12 F2 2.120 25.695 35.219 2.226 8760.283 7558.710
Keterangan :
A : 100 % Diesel
B : 5 % BD
C : 10 % BD
D : 15 % BD
E : 20 % BD
F : 100 % BD
51
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Anaslisis Panjang Tip Penetrasi
Dari tabel 5.1 pada Bab 5 diatas di ketahui bahwa panjang tip penetrasi
semprotan untuk masing – masing pengujian memiliki kecendrungan yang serupa
yaitu memiliki panjang lebih dari 200 mm, hal ini dapat di akibatkan oleh tekanan
pada pompa injeksi yang memiliki perbedaan yang cukup besar bila dibandingkan
dengan tekanan ruang pengujian. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa untuk
campuran 5% BD jarak 0,2 m tercapai dalam waktu 0,0196 s sehingga kecepatan tip
penetrasinya adalah 8,73 m/s sedangkan untuk solar murni (100%D) jaraknya 0,2 m
tercapai hanya dalam waktu 0,0082 s sehingga kecepatan tip penetrasinya 19,13 m/s.
Terlihat dari tabel tersebut bahwa semakin besar kandungan persentase
biodiesel pada campuran akan berdampak pada penurunan kecepatan tip penetrasi.
kecepatan tip penetrasi yang paling kecil terdapat pada minyak biodiesel murni
100%BD dimana nilai kecepatan tip penetrasinya tersebut hanya sekitar 5,65 m/s jauh
lebih kecil dari nilai kecepatan pada minyak solar murni (100%D). Hal tersebut
sangat di pengaruhi oleh kekentalan (viskositas) dari minyak biodiesel yang lebih
besar dari pada minyak solar murni sehingga untuk dapat tercapainya tip penetrasi
tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama. Terbentuknya panjang tip penetrasipun
memiliki nilai yang berbeda – beda untuk setiap pengujian yaitu pada pada 5%BD :
211,46x10-3, 10%BD : 231,13x10-3, 15%BD : 246x10-3, dan 20%BD 231,79x10-3
Sedangkan secara teoritis, panjang tip penetrasi ini juga dapat diperkirakan
dengan menggunakan persamaan pada bab 2 diatas.
Secara teoritis panjang tip penetrasi ini juga dapat diperkirakan dengan menggunakan
persamaan 2.12. Dengan nilai Lb dapat dihitung melalui rumus seperti pada
persamaan 2.14. Dimana diketahui bahwa dari data pada tabel pengujian dan tabel
propertis minyak solar murni 100% D didapat :
ΔPinj = 150 bar = 1,5 x 107 pa
t = 16.00 ms = 0,016s
ρL = 840 kg/m3
ρa = 1,2 kg/m3, dan
do = 0,2 mm
52
sehingga panjang Lb :
Dan panjang tip penetrasi, L :
Melalui mekanisme perhitungan yang sama dengan di atas, selanjutnya di dapat data
panjang tip penetrasi untuk campuran yang lain. Berikut ini merupakan tabel
perbandingan panjang tip penetrasi yang didapat melalui eksperimen dengan panjang
tip penetrasi secara teoritis untuk tiap campuran biodiesel.
Tabel 6.1 perbedaan panjang tip penetrasi hasil pengujian dengan hasil perhitungan
teoritis
No
%
Jarak
Aktual Waktu Jarak Teoritis
Campuran (mm) ms s (mm)
1 5%BD 211,46 29,2 0,0029 213
2 10% BD 231,13 39,00 0,0039 284
3 15% BD 246,64 38,00 0,0038 277
4 20% BD 237,21 44,00 0,0044 321
5 100% BD 245,00 54,00 0,0054 394
6 100% D 205,28 16,00 0,0016 232
Panjang tip penetrasi yang didapat melalui perhitungan memiliki perbedaan
dengan panjang tip penetrasi yang di dapat dengan pengujian, hal tersebut dapat
diakibatkan oleh keterbatasan pada penelitian ini baik dari sisi alat pengujian,
software, maupun tingkat ketepatan skala pada pengolahan data pengujian yang
dilakukan secara manual.
Jika dibandingkan dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya juga terdapat perbedaan yang relative besar tentang kecepatan
tercapainya tip penetrasi ini. Waktu yang diperlukan untuk tercapainya panjang tip
53
penetrasi penuh berkisar antara rentang waktu 16,00 – 54,00 ms ( 16,00ms untuk
100%D, dan 54,00 ms untuk 100%BD). Sedangkan hasil yang didapat pada pengujian
yang sama dengan tekanan injector yang sama pula sekitar 150 bar, waktu yang
diperlukan untuk tercapainya tip penetrasi tersebuthanya berkisar pada nilai 1,2 ms
saja (Liguan2007). Terjadinya perbedaan yang cukup jauh, ini besar dipengaruhi oleh
alat (kamera) dan program yang digunakan untuk pengolahan data yang tidak
memiliki spesifikasi yang memadai. High speed kamera yang digunakan pada
penelitian sebelumnya telah menggunakan kamera yang memiliki nilai fps (fram per
second) yang cukup tinggi yaitu sekitar 10000 fps (Yuan Gao et al, 2005) sedangkan
high speed kamera yang digunakan pada penelitian ini hanya memiliki kemampuan
50 fps saja (NIKON D5200 series). Sehingga dapat dirasa wajar jika terjadi perbedaan
dan masih cukup jauh dari hasil – hasil yang telah di peroleh pada penelitian
sebelumnya.
Pada tabel 5.1 juga di dapatkan nilai kecepatan tip semprotan yang terjadi
berkisar 19,13 m/s yang terjadi pada minyak diesel murni (100%D). sedangkan untuk
minyak biodiesel murni (100%BD) nilai kecepatan semprotan paling rendah yaitu
hanya sekitar 5,65 m/s. Nilai kecepatan semprotan ini dapat diperkirakan secara
teoritis dengan menggunakan persamaan 2.21.
Dimana :
Cd = 0,8 (asumsi)
ρL = 840 kg/m3
ΔPinj = 150 bar =1,5 x 107Pa
Sehingga nilai kecepatan semprotan ini adalah :
= 151,2 m/s
Nilai ini sangat berbeda jauh dengan nilai hasil pengujian pada minyak solar murni
yang hanya sekitar 19,13 m/s. Besarnya nilai error tersebut dapat diakibatkan oleh
kesalahan pada saat olah gambar dengan menggunakan program tertentu.
54
6.2 Analisa Sudut Semprotan
Dari data yang terdapat pada tabel 5.1 pada bab 5 diatas terlihat bahwa tidak
ada perbedaan yang berarti dari semua semprotan yang terbentuk baik untuk tiap
campuran biodiesel maupun dengan minyak solar murni 100% D. Untuk campuran
biodiesel 5% BD, 10% BD, dan 15% BD memiliki sudut yang mendekati dengan
solar murni 100% D yaitu 9,04o hingga 9,50o. perbedaan sudut jelas terlihat pada
campuran 100% BD dan 100%D. Campuran 100% BD memiliki sudut yang lebih
kecil dari solar murni 100% D, yaitu 7,77o, sedangkan campuran 100% D memiliki
sudut yang lebih besar yaitu sebesar 10,59o. Ini berarti dapat dikatakan bahwa
kecendrungan penambahan persentase biodiesel pada solar akan berakibat pada sudut
semprotannya menjadi lebih kecil daripada minyak solar murni itu sendiri. Hal ini
dikarenakan kekentalan minyak biodiesel yang relative lebih besar, sehingga memiliki
hambatan yang besar pada semprotannya sehingga pola semprotan cendrung melancip
dengan hasil semprotan kabut yang kurang homogen.
Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sudut yang dibentuk oleh semprotan biodiesel dan campurannya
dengan solar, memiliki sudut dengan kisaran nilai antara 15o sampai 25o (Liguan,
2007). Hal ini berarti memang sudah sesuai antara hasil pengujian pada penelitian ini,
dengan hasil yang didapat pada penelitian – penlitian sebelumnya.
Sedangkan untuk besarnya sudut semprotan secara teoritis, dapat
menggunakan rumus pada persamaan 2.16.
Dimana :
ΔPinj = 150 bar = 1.5 x 107 Pa
υL = 5 x 10-7 m2/s υL2 = 25 x 10-14 m2/s
ρL = 840 kg/m3 ; dan
do = 0.2 mm
Sehingga :
Nilai ini sudah hampir sesuai dengan sudut semprotan yang terjadi pada hasil
pengujian ini yang sebesar 9o – 11o ( nilai rata – rata sebagian besar semprotan yang
terjadi).
55
6.3 Analisis Distribusi Diameter Butiran
Terlihat dari tabel 5.3 dan 5.4 pada bab 5 diatas, bahwa jumlah butiran yang
ada pada semprotan akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya persentase
campuran biodiesel. Untuk campuran 5%BD jumlah total butirannya mencapai 2677
butiran, sementara 10% BD, 15% BD, 20% BD dan, 100% BD jumlah butirannya
masing – masing adalah 2596 butir, 2266 butir, 2342 butir, dan 3177 butir, namun
demikian terdapat kesamaan dalam hal persentase ukuran diameter butiran yang
paling dominan. Ukuran diameter butiran yang paling mendominasi pada tiap
semprotannya adalah butiran dengan ukuran diameter 2.31 – 2.36 µm. Ukuran
diameter yang paling dominan pada semprotan 5% BD sampai 100% BD adalah
sekitar 2.31 – 2.36 µm dengan persentase rata – rata sekitar 50% dari jumlah butiran
yang ada. Sedangkan pada minyak solar murni 100%D, diameter yang paling
dominan adalah berukuran 1.49 µm dengan persentase 52.21%, jauh lebih besar
nilainya dari semua nilai persentase pada biodiesel dan campurannya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa penambahan persentase biodiesel pada solar murni akan
mengakibatkan jumlah partikel yang lebih kecil akan berkurang persentasenya seiring
dengan meningkatnya persentase biodiesel pada solar tersebut.
Jika dibandingkan dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, terdapat banyak perbedaan tentang distribusi ukuran diameter butiran ini.
Penelitian sebelumnya dengan metode dan variable yang sama, didapatkan hasil
diameter semprotan yang paling mendominasi adalah butiran dengan ukuran diameter
sekitar 10 – 25 µm saja seperti terlihat pada gambar 6.1 diatas (Liguan, 2007). Hal ini
kemungkinan terjadi dikarenakan oleh adanya kebocoran pada sisi lubang nozzle
injector yang mengakibatkan semburannya makin banyak sehingga panjang tip
penetrasinya lebih panjang dan juga butiran yang terjadi pada semprotannya menjadi
lebih besar ukuran diameternya daripada ukuran seharusnya.
Sedangkan pada tabel 5.4 pada bab 5 diatas juga didapatkan nilai diameter rata
– rata yang terjadi pada semprotan dengan minyak solar (100% D), didapatkan
diameter rata – ratanya adalah sekitar 60 µm dan yang paling besar adalah terjadi pada
campuran minyak biodiesel 20% dimana, di dapatkan nilai diameter rata – rata
sebesar 82 µm. Sementara nilai diameter rata – rata dari semprotan yang terjadi ini
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Sauter Mean Diameter (SMD)
berikut, seperti pada persamaan 2.23.
56
Dimana dari data – data sifat minyak biodiesel murni (100% BD) yang ada pada
lampiran didapat :
σ = 35 dyne / cm = 0.035 N/m
ρL = 736 kg/m3
υa = 103.55 m/s
µL = 55 mm2/s
AFR = 10
Sehingga nilai teoritis dari diameter rata – rata untuk semprotan pada minyak 100%
BD tersebut adalah sbb:
Nilai ini lebih kecil dari pada nilai yang di dapat dari hasil pengujian yang diameter
rata – ratanya berkisar pada nilai 1.49 – 11.81 µm.
57
BAB VII
KESIMPULAN
7.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan adalah sebagai
berikut, yaitu :
Dari semprotan biodiesel minyak alpukat terlihat bahwa panjang tip penetrasi
campuran biodiesel minyak alpukat dari masing – masing campuran 5%BD -
20%BD mengalami peningkatan 211,46x10-3 – 231,13x10-3 dimana untuk
solar murni sendiri panjang tip penetrasinya adalah 205,28x10-3. Kecepatan
semprotan dari msing – masing campuran bahan bakar biodiesel tersebut
adalah 5%BD : 8.73m/s, 10%BD : 6.32 m/s, 15%BD : 8.43m/s, 20%BD : 7.14
m/s. Jadi dari masing – masing campuran bahan bakar tersebut yang paling
mendekati untuk panjang tip penetrasi adalah campuran biodiesel dengan
komposisi 5%BD yang memiliki panjang 211.46x10-3 dimana kecepatan dari
pembentukan semprotan juga yang paling mendekati dari solar murni
Karakteristik distribusi butiran pada semprotan yang terbentuk pada pengujian
campuran minyak biodiesel (5%BD, 10 %BD, 15%BD, dan 20%BD) diameter
yang paling mendominasi adalah butiran dengan ukuran 2.20 µm. persentase
diameter yang dominan tersebut berkisar pada nilai 58.87%, sedangkan untuk
minyak solar murni, persentase diameter butiran yang dominan tersebut
berkisar pada nilai 66.97%, jauh lebih besar dari pada minyak biodiesel
alpukat dan campurannya
7.2 Saran
Mengingat dengan segala keterbatasan dalam penelitian ini, sangat di
mungkinkan terdapat benyak kekurangan dalam penelitian ini, untuk semakin baiknya
penelitian yang dilakukan sangat diharapkan berbagai saran yang membangun,
sehingga akan di dapatkan hasil penelitian semakin baik di kemudian harinya.
58
DAFTAR PUSTAKA
Daryanto dan Setyabudi, I., 2013, Teknik Motor Diesel, Alfabeta, Bandung
Manai, S., 2010, Membuat Sendiri Biodiesel, Lyly publisher, Jakarta
Yuan Gao1, Jun Deng2, Chunwang Li3, Fengling Dang4, Zhuo Liao5, Zhijun Wu6, Liguang
Li7, 2007, Experimental study of the spray characteristics of biodiesel based on
inedible oil.
I.G.B.W Kusuma, 2003 Pembuatan biodiesel dan pengujian terhadap prestasi kinerja mesin
diesel. Journal poros, V 6 (4).
Rabiman, A.Z., 2011, Sistem Bahan Bakar Motor Diesel, edisi pertama – Yogyakarta,
Graham Ilmu.
Pudjanarsa, Astu1., Nursuhud, Djati2., MSME, 2006, Mesin konversi energi.
Park, Su Han1, Hyun Kyu Suh2, Chang Sik Lee3, 2009. Nozzle flow and atomization
characteristics of ethanol blended biodiesel fuel. Journal home page: Available
online: www.elsevier.com/locate/renene.
Borman, G.L1., Ragland, Kennth W2 1998, Combustion Engineering International Editions.
Oxford, USA.
Ghurri, A,1, Kim Jae-duk2, Song Kyu-Keun3, Jung Jae-Youn4 and Kim Hyung Gon5,
Qualitative and quantitative analysis of spray characteristics of dieseland biodiesel
blend on common-rail injection system. Journal of Mechanical science and
Thecnology Available From : URL: http://www.springerlink.com/content.
Liguang Li (Dong and Liu, and Senatore et al: (2007): Experimental study of the spray
characteristic of biodiesel based on inedible oil.(Biotechnology Advances 27 (2009)
616-624.Journal homepage:
www.elsevier.com/locate/biotechad
Viriato1, Pedro Andrade2 and Maria da Gracea Carvalho3, 1996. Spray Characterization:
numerical prediction of sauter mean diameter and droplet size distribution.
Departemento de Engeharia Mechanical, Instituto Superior Tecnic, Universidade
Tecnico de Lisboa, Portugal.
59
Dong, Quan1, Wuqiang Long2, Tsuneaki Ishima3, Hisanobu Kawashima4, 2012. Spray
characteristic of V-type intersecting hole nozzle for diesel engines. Journal home
page : Available online : www.elsevier.com/locate/fuel.
Havendri, A., 2008. Kaji eksperimental perbandingan prestasi dan emisi gas buang motor
bakar diesel menggunakan bahan bakar campuran solar dengan biodiesel cpo, minyak
jarak dan minyak kelapa. No.29 Vol.1 Thn. XV April 2008. ISSN: 0854-8471.
Jurusan Teknik Mesin – Fakultas Teknik Universitas Andalas.