penggunaan uupa secara nyata dan mekanisme bagi hasil lahan pertanian
DESCRIPTION
Penggunaan UUPA Secara Nyata Dan Mekanisme Bagi Hasil Lahan PertanianTRANSCRIPT
TUGAS KELOMPOKMATA KULIAH KELEMBAGAAN AGRARIA
Semester Genap 2015/2016
Judul Tugas : Penggunaan UUPA Secara Nyata dan Mekanisme Bagi Hasil Lahan Pertanian
Kelas : Agribisnis ADosen : Ir. Yayat Sukayat, M.Si.
Disusun Oleh :
Kelompok
No
Nama NPM
1. Ardelia Defani 1506101200402. Siti Rima Herdiana 1506101201233. Gelda Amalia
Hasanah150610120136
UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGRIBISNISJATINANGOR
2015
A. PENGGUNAAN UUPA DI LAPANGAN
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa hanya warga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.
Penjabarannya adalah bahwa hanya warganegara Republik Indonesia yang dapat memilik
“hak milik atas tanah”. Hal ini menunjukkan adanya prinsip nasionalitas dalam UUPA
terutama sebagai hak milik turun temurun yang terkuat dan terpenuh.
Akan tetapi dalam implementasinya, UUPA di lapangan masih belum berjalan dengan
baik. Tinjauan terhadap UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
antara lain :
a) Terdapat ketidaksinkronan antara berbagai peraturan yang mengatur tentang tanah di
bumi Indonesia ini. Ketidaksinkronan ini dilihat baik secara horisontal maupun secara
vertikal antara berbagai peraturan tersebut.Hal ini menyebabkan kebijakan agraria di
Indonesia “berwajah sektoral”.
b) Hak-hak masyarakat adat atas tanahnya, yang diakui oleh Hukum Agraria 1960, (UUPA)
dalam kenyataannya tidak berjalan sebagai yang dicita-citakan.Pengaturan dalam bentuk
hak tersendiri belum atau tidak dijabarkan secara jelas.
c) Hak-hak dasar masyarakat atas sumber daya agraria yang sudah diatur dalam UUPA
dalam usaha implementasinya kalah terhadapa berbagai kepentingan sektoral.Hal ini
menjadi lebih parah dengan persaingan antar sektor dengan kepentingannya masing-
masing.
d) Diutamakannya investasi dalam pembangunan ekonomi, sering sekali menyebabkan hak-
hak masyarakat atas tanah terabaikan.
e) Hak Menguasai Negara (HMA) yang menurut UUPA dapat didelegasikan kepada
masyarakat adat dan daerah swatantra, dalam prakteknya diberikan kepada badan-badan
atau departemen-departemen pemerintah/negara dan kemudian dikenal sebagai Hak
Pengelolaan (yang sebenarnya tidak dikenal dalam UUPA).
Sangat mengherankan bahwa UUPA yang diakui sebagai suatu produk jaman Orde
Baru yang cukup baik dalam keberpihakannya pada masyarakat adat, dalam prakteknya
tidaklah demikian. Kajian diatas menunjukkan bahwa dalam periode 50 tahun lebih adanya
undang-undang ini, masyarakat adat dan hak-haknya atas tanah masih terpinggirkan.
1
Hal ini terjadi karena, negara Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara hukum
namun belum dapat mengakomodasikan pembagian kewenangan atas tanah antara negara
(pemerintah) dan warga masyarakat. Pemahaman tentang doktrin Domein dari pemerintah
kolonial Hindia Belanda, sepertinya masih dipergunakan dan terbawa sampai sekarang. Hak-
hak masyarakat adat seperti hak ulayat dan hak atas hutan adat belum memberikan kepastian
hukum pada masyarakat di daerah pedesaan. Apalagi dalam penyelesaian konflik-konflik
mengenai tanah, baik antara warga masyarakat adat sendiri, antara mereka dengan warga
pendatang/migran, dan terlebih lagi bila terjadi sengketa antara masyarakat adat dengan
perusahaan (swasta dan negara) yang mendapat hak dari pemeritah (pusat ataupun daerah).
B. MEKANISME BAGI HASIL DI INDONESIA
Bagi hasil pertanian sawah cenderung dilatar belakangi adanya kesulitan pemilik
untuk menggarap lahannya, disisi lain tenaga kerja atau buruh tani melimpah. Bagi hasil
pertanian sawah ini ada yang menggunakan uang tambahan sekedar untuk memperkuat
ikatan, ada pula yang mekanisme pembagian tidak berimbang. Pada saat ini ditemukan ada
tiga bentuk hubungan kerjasama antara petani penggarap dan pemilik tanah sebagai dampak
dari komersialisasi dan modernisasi pertanian, yaitu:
1. Sistem Maro (1:1)
Sebelum menyerahkan tanahnya kepada penggarap, pemilik mendapat sejumlah uang
atau mendapatkan hasil bumi senilai uang. Dimana petani penggarap menyediakan
tenaga kerja sejak pengolahan tanah sampai perontokan dan pembersihan padi,
sedangkan pemilik tanah berkontribusi tanah dan sarana produksi (bibit, pupuk, dan
pestisida. Hasil produksi yang diperoleh dibagi dengan perbandingan 1 : 1 atau bagi
dua bahagian sama rata
2. Sistem Moro telu (1 : 3)
Pemilik tanah hanya menyediakan tanah sedangkan tenaga kerja dan saprodi lainnya
diusahakan petani penggarap. Pada sistem ini, hasil produksi yang diperoleh dibagi dua
per tiga hasil panen untuk pemilik tanah dan sepertiga hasil panen untuk petani
penggarap.
3. Sistem Moro Prapat (1 : 3)
Banyak digunakan dalam sistem bagi hasil di wilayah lahan kering, dengan
kepemilikan lahan relatif luas, tenaga kerja mahal atau kondisi fisik yang kurang
2
menguntungkan. Dimana petani pemilik hanya mendapat seperempat bagian
sedangkan petani penggarap akan mendapat tiga per empat bagian. Kontribusi pemilik
tanah berbeda-beda, ada yang menyediakan tanah dan bibit, atau menyediakan ternak
pembajak, atau menanggung ongkos penanaman dan panen.
4. Sistem Moro Limo (2:3)
Moro limo digunakan ketika semua biaya produksi ditanggung oleh penggarap,
sehingga pemilik lahan berhak terhadap 3/5 bagian dan penggarap berhak terhadap 2/5
dari hasil kotor.
5. Sistem kontrak (contract) dimana petani penggarap disudutkan pada pilihan harus
menyewa tanah dengan harga tertentu kepada pemilik tanah. Sewa ini terpaksa diambil
karena faktor kelangkaan tanah dan tidak tersedia pekerjaan lain bagi petani penggarap
(Marsudi, 2011).
Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 1980 tentang Pedoman pelaksanaan undang-undang nomor 2
tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, pasal 4 ayat (1) Besarnya bagian
hasil tanah ialah:
1. 1 (satu) bagian untuk penggarap dan 1 (satu) bagian untuk pemilik
bagi tanaman padi yang ditanam di sawah;
2. 2/3 (dua pertiga) bagian untuk penggarap serta 1/3 (satu pertiga)
bagian untuk pemilik bagi tanaman palawija di sawah dan padi yang
ditanam di lading kering.
3
DAFTAR PUSTAKA
F. Hermawan. 2012. “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian”. Jurnal Ilmu Hukum, MIZAN, Volume 1, Nomor 2. http://publikasi.uniska-kediri.ac.id/data/uniska/mizan/mizanvol1no2des2012/Mizan-vol1no2Des2012-10.%20F.%20Hermawan.pdf. Html [8 Maret 2015].
Komisi Hukum. 2013. Kajian Oleh Komisi Hukum Nasional [online]. Tersedia: http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=170:hukum-agraria-1960-masyarakat-hukum-adat-perlukah-reformasi-hukum-agraria&catid=162:index-opini&Itemid=622. Html [10 Maret 2015].
Pane, Ely Astuti. 2014. “Sistem Bagi Hasil Dan Pendapatan Petani Padi Di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu”. http://repository.unib.ac.id/9268/1/I,II,III,II-14-ely-FP.pdf. Html [8 Maret 2015].
4