pengertian aksiologi dan ilmu.doc
DESCRIPTION
Uploaded from Google DocsTRANSCRIPT
A Pengertian Aksiologi dan Ilmu
1 Definisi Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai
atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran
atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan
bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap
satu institusi dapat terwujud.
2 Definisi Ilmu
Ilmu adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu scientia yang berarti ilmu.
Atau dalam kaidah bahasa Arab berasal dari kata ‘ilm yang berarti pengetahuan. Ilmu
atau sains adalah pengakajian sejumlah penrnyataan-pernyataan yang terbukti dengan
fakta-fakta dan ditinjau yang disusun secara sitematis dan terbentuk menjadi hukun-
hukum umum.
B Teori Bebas Nilai
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik
baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai
netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang
didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound.
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu
pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan
penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun
penggunaan produk penelitian (Bebas Mutlak). Sedangkan bagi ilmuwan penganut
faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena
dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai
ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan
pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya
tersebut justru menambah masalah bagi manusia.
Jika dipahami kembali, makna bebas dapat memeiliki dua makna. Pertama,
kemungkinan unutuk memilih. Kedua, kemampuan atau hak untuk menentukan
subjeknya.
C Kebenaran Keilmuan
Sifat ilmu yang tak akan pernah selesai adalah merupakan sama dengan hasrat
manusia yang tanpa henti ingin tahu segalanya. Jika dihubungkan dengan etika,
manusia ibarat memiliki logos, itu tidak berarti manusia sekedar ditabiati oleh akal.
Pada saat tersebut ketika dikumpulkan dengan ethos, maka logos akan berarti sikap
hidup yang menyadari sesuatu. Sehubungan dengan ini maka ilmu adalah usaha
manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang
dihuninya. Semakin garis batas dari ilmu dicari, maka yang tersisa adalah perspektif
baru yang membuka hal baru untuk diteliti.
Ilmu lengket dengan keberadaan manusia yang transenden dengan kata-kata lain
keresahan ilmu bertalian erat dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia.
D Ilmu dan Humaniora
1 Humaniora
Menurut Elwood, humaniora merupakan seperangkat sikap dan perilaku moral
terhadap sesamanya. Definisi ini menyiratkan bahwa manusia merupakan
makhluk yang mempunyai kedudukan amung (unik) di dalam ekosistem
sekaligus bergantung pada ekosistem itu sendiri bahkan merupakan bagiannya.
Karena itu makna humaniora yang mendatar menjadi hubungan trisula: hubungan
manusia dengan Khalik ,dengan sesama manusia dan alam, maupun dengan benda
mati.
2 Ilmu
Dalam tulisan ini ilmu merupakan semua pengetahuan yang terhimpun lewat
metode keilmuan. Tegasnya pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil rentetan
daur induksi, deduksi dan verifikasi yang terus menerus tak kunjung usai.
(Kemeny, 1959).
3 Hubungan Ilmu dengan Humaniora
Jika ‘perilaku moral’ da;am definisi humaniora di atas boleh diartikan sebagai
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dasar, maka ilmu merupakan bagian dari
humaniora. Karena definisi ilmu juga adalah suatu latihan dalam mencari
meresapkan dan menghayati nilai-nilai dasar.
Kebenaran adalah tidak mutlak, tidak samad, langgeng, melainkan bersifat nisbi,
sementara dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran yang saat ini dipegang
dengan taguh pada masa yang akan datang bisa jadi hanya pendekatan kasar saja
dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi. Atau bahkan kebenaran yang sekarang
kita agungkan terpaksa akan dicampakan, sebab ternyata tak lebih dari keyakinan
salah.
● Budi luhur / Kebajikan (Virtue)
Untuk membuka tabir rahasia keilmuan, diperlukan budi luhur/kebajikan agar
kebenaran ditemukan. Budi luhur ini misalnya kapasitas kerja keras, ketabahan,
atau kegigihan, ketekunan, kesetiaan pada tugas, keterbukaan untuk bekerja sama,
saling mernghargai. Hal ini yang akan mengingkatkan kemampuan manusia untuk
berkomunikasi dengan sesamanya dan untuk secara wajar justru menunjukan
sikap dan perilaku moral terhada sesamanya dan terhadap dunia alam. Kesediaan
untuk belajar saling percaya dan menghargai menimbulkan harapan bahwa dengan
bekerja bahu-membahu, memadukan bakat, dana dan sumber daya untuk
menangani tantangan, masalah-maslah pokok yang bersifat mondial kita dapat
paling tidak berhasil pada taraf pertama: berkomunikasi. Dan berkomunikasi pada
hakekatnya adalah tujuan humaniora.
● Ilmu dan Etika
Berbicara masalah ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi,
keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka
kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling
tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan
menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,
tentunya tetap mengindahkan aspek moral.
Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seseorang ilmuan yang
memiliki landasan moral yang kuat, ia harus tetap memegang moral dan etika
dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan
pemahaman terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuan bisa menjadi
“monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan
bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh
lebih jahat dan membahayakan dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu
(boboh).
Hanya dengan bersikap penuh tanggung jawab etis terhadap masyarakat (baik
masyarakat dewasa ini maupun akngkatan-angkatan yang akan datang) ilmu dapat
menghindarkan diri dari kehilangan hak istimewanya untuk mengabdi pada
kemanusiaan.
● Berwawansabda dengan Sang Pencipta
Ilmu adalah tidak bergantung pada asas normatif, karena pertimbangan
berdasarkan nilai-nilai yang merupakan saripati dari etika dan estetika, terleteak di
luar ranah ilmu. Namun, bukan berarti ilmu sama sekali tidak relevan bagi etika
dan estetika. Sebabnya ialah, karena bedasarkan pertimbangan berdasarkan nilai
saja tidak cukup. Apa guna pertimbangan muluk berdasarkan nilai luhur kalau
tidak tahu bagaimana merealisasikan nilai-nilai itu.
Ilmu menyediakan alternatif-alternatif, dan menyediakan pula sarana dan alat-alat
untuk melaksanakan alternatif yang dipilih. Dengan berkomunikasi kita dapat
menentukan mana yang paling baik dan paling diinginkan banyak orang. Tetapi
sekali pilhan itu telah jatuh, maka lagi-lagi tak ada pilihan lain kecuali berpaling
pada ilmu untuk mengetahui dan menyediakan jalan dan cara untuk
merealisasikan hal tersebut.
Pada kenyataannya setiap usaha kegiatan keilmuan senantiasa berpangkal tolak
dari anggapan atau andaian dasar tertentu, termasuk juga yng sifatnya metafisis
dan bahwa perspektif iman mempengaruhi pemilihan andaian-andaian itu.
Pengembangan selanjutnya karya keilmuan itu tak hanya tergantung pada objek
telaahnya saja,yaitu alam, melainkan sampai batas-batas tertentu juga tergantung
pada faktor subjektif, yakni individu sendiri beserta falsafah hidup dan keyakinan
iman.
Jikalau manusia mau terbuka dan tidak congkak dengan menganggap bahwa
manusia berada di strata tertinggi dalam kehidupan, ilmu tidak akan lagi
merupakan bagian dari humaniora. Dalam arti bahwa ilmu tak menopang upaya
humaniora untuk mencapai tujuannya, yakni memungkinkan insan
berwawansabda dengan sang Penciptanya.