pengaruh kolonialisme dalam relasi masyarakat pribumi dengan kaum minoritas cina: perbandingan...

27

Click here to load reader

Upload: afiq88

Post on 27-Jul-2015

1.146 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki

banyak sekali kesamaan, baik dari segi penduduk, budaya, bahasa dan agama. Kedua negara

juga mengalami periode masa penjajahan oleh kekuatan kolonial Eropa, yakni Belanda dan

Inggris.

Penduduk mayoritas di Indonesia dan Malaysia berasal dari kelompok Malayo-Polynesia.

Bahasa yang dipakai oleh kedua negara memiliki akar yang sama, yakni bahasa Melayu.

Sedangkan dari sisi agama yang dianut oleh mayoritas kelompok pribumi adalah agama

Islam, yang datang ke kawasan ini melalui kontak dengan para pedagang dari Timur Tengah

serta dari beberapa pedagang Cina di Indonesia.

Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara yang memiliki penduduk minoritas dari etnis

Cina. Etnis Cina yang ada di kedua negara merupakan keturunan dari etnis Cina yang datang

pada masa sebelum dan selama berlangsungnya penjajahan.

Hubungan-hubungan antara penduduk pribumi di Indonesia dan Malaysia dengan etnis Cina

telah berlangsung jauh sebelum masa berlangsungnya penjajahan. Hubungan ini dimulai

dengan adanya hubungan perdagangan di kota-kota perdagangan utama, baik di Malaya

ataupun di pulau-pulau Nusantara seperti Sumatra dan Jawa. Berawal dari hubungan dagang,

banyak pedagang asing yang kemudian menikah dengan perempuan lokal di kawasan ini, dan

kemudian menghasilkan kelompok yang merupakan percampuran antara budaya Melayu

lokal dengan budaya pendatang. Contoh dari hubungan-hubungan ini adalah adanya kaum

Peranakan di Indonesia dan Malaysia.

Dalam perjalanan sejarahnya, kedua negara pernah mengalami konflik etnis yang terjadi

diantara penduduk pribumi dan penduduk etnis Cina. Konflik-konflik ini seringkali

dilatarbelakangi oleh adanya stereotype tertentu dari penduduk pribumi terhadap etnis Cina.

Tulisan ini akan mencoba menelusuri bagaimana pengaruh kolonialisme terhadap dinamika

dalam relasi etnis Cina dengan pribumi.

1 | P a g e

Page 2: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

Rumusan Masalah

Bagaimanakah kolonialisme di Indonesia dan Malaysia mempengaruhi dinamika dari relasi

penduduk pribumi dengan etnis minoritas Cina?

2 | P a g e

Page 3: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

BAB II

ISI

Sejarah imigrasi etnis Cina ke kawasan Asia Tenggara

Sejarah mencatat, kontak antara etnis Cina dengan kawasan Asia Tenggara telah berlangsung

sejak zaman Dinasti Han (abad ke-2 Masehi), atau bahkan pada periode waktu sebelum itu.

Namun imigrasi etnis Cina secara massal baru berlangsung pada pertengahan abad ke-19,

dimana kekuatan Barat mengalahkan Dinasti Ching di Cina daratan. Sebelum pertengahan

abad ke-19, etnis Cina yang datang ke kawasan Asia Tenggara (terutama ke Thailand,

Filipina, Malaysia dan Indonesia) berjumlah terbatas. Imigrasi dalam skala massal belum

berlangsung pada periode ini. Dengan jumlahnya yang terbatas serta minimnya kaum wanita

yang datang ke kawasan Asia Tenggara, kebanyakan imigran Cina menikah dengan wanita

lokal. Pernikahan campuran ini menghasilkan keturunan Cina campuran, yang dikenal

dengan nama kaum Peranakan. Pendatang Cina pada periode ini banyak yang kemudian

tinggal menetap dan membentuk komunitas di tempat mereka tinggal. Dalam prosesnya,

kelompok ini kehilangan kemampuan berbahasa Cina yang dahulu dimiliki oleh nenek

moyangnya.

Imigrasi secara massal baru berlangsung setelah pertengahan abad ke-19. Ada faktor-faktor

yang mendorong terjadinya gelombang imigrasi etnis Cina ke kawasan Asia Tenggara.

Peluang ekonomi yang luas di kawasan Asia Tenggara menjadi faktor penarik yang membuat

etnis Cina dari Cina daratan untuk melakukan imigrasi ke kawasan Asia Tenggara.

Sedangkan faktor pendorong yang membuat etnis Cina berimigrasi dari negaranya adalah

situasi Cina daratan yang sedang mengalami gejolak. Inilah kemudian yang menjadi faktor

pendorong untuk etnis Cina untuk pindah ke Asia Tenggara. Kombinasi dari keadaan Cina

yang buruk serta adanya peluang ekonomi di kawasan Asia Tenggara, membuat etnis Cina

berbondong-bondong berimigrasi ke kawasan Asia Tenggara.1

1 Suryadinata, L. (Ed.). 2007. Understanding the Ethnic Chinese in Southeast Asia. Singapore: ISEAS Publishing,

hlm. 50-51.

3 | P a g e

Page 4: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

Peranan Pihak Kolonial dalam Dinamika Penduduk di Malaysia dan Indonesia

Baik Indonesia maupun Malaysia, sama-sama melewati periode kolonisasi oleh kekuatan

Eropa. Indonesia dijajah oleh Belanda, sedangkan Malaysia dijajah oleh Inggris. Periode

penjajahan di Indonesia berlangsung kurang lebih selama 3 abad lebih, sedangkan di

Malaysia berlangsung selama kurang lebih 2 abad.

Periode penjajahan di Indonesia dan Malaysia sangat berpengaruh dalam membentuk relasi

etnis minoritas Cina dengan penduduk pribumi di kedua negara.

Malaysia2

Pada masa penjajahan Inggris di Malaysia, ditemukan cadangan timah yang besar.

Inggris juga membuka perkebunan-perkebunan karet setelah diperkenalkannya karet

dari Brazil. Baik timah maupun karet merupakan sumber pendapatan yang besar bagi

Inggris. Inggris kemudian mengimpor tenaga kerja dalam jumlah besar. Sumber tenaga

kerja tersebut berasal dari Cina dan India (yang pada masa tersebut juga sedang berada

dibawah kekuasaan Inggris). Tenaga kerja ini dibutuhkan untuk mengeksplorasi

kekayaan alam Malaysia, terutama di sektor pertambangan timah dan perkebunan karet.

Pada masa itu, sebagian besar Malaysia masih berupa hutan belantara, dengan jumlah

penduduk Melayu yang masih sedikit.

Langkah Inggris untuk mengimpor tenaga kerja dari beberapa wilayah tetangga

dilakukan karena kurangnya tenaga kerja yang tersedia di Malaysia. Inggris enggan

untuk mempekerjakan etnis Melayu karena menganggap bahwa etnis Melayu tidak

cukup cakap untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan. Inggris juga enggan

untuk mengajari etnis Melayu agar mempunyai kemampuan yang cukup untuk bekerja

di pertambangan dan perkebunan. Alasan Inggris, selain anggapan bahwa etnis Melayu

tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengelola pertambangan dan

perkebunan, adalah adanya kekhawatiran Inggris, bahwa etnis Melayu akan

memberontak dari kolonialisme Inggris seandainya mereka diajari dan menjadi pintar.

Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, Malaysia menjadi penghasil timah

terbesar di dunia. Etnis Cina dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kecakapan 2 Sebagian besar pembahasan pada bagian ini diambil dari: Guan, L. H. 2000. “Ethnic Relations in Peninsular Malaysia: The Cultural and Economic Dimensions”. Social and Cultural Issues, (Online), 1(2000), (http://www.sabrizain.org/malaya/library/ethnicrels.pdf, diakses 19 Desember 2009).

4 | P a g e

Page 5: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

yang tinggi dalam urusan penambangan timah, dan oleh sebab itu Inggris

mendatangkan banyak orang Cina ke Malaysia untuk melakukan penambangan timah.

Sedangkan orang India didatangkan Inggris ke Malaysia, dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam sektor perkebunan, terutama perkebunan

karet, yang memberikan pemasukan yang besar bagi Inggris. Dengan masuknya

imigran dari Cina dan India ke Malaysia, komposisi kependudukan di Malaysia

menjadi berubah. Penduduk dari etnis Melayu, tidak lagi menjadi mayoritas di beberapa

negara bagian, seperti yang terjadi di Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang

pada 1930, jumlah penduduk dari etnis Cina berjumlah 64% dari total populasi.

Berubahnya komposisi penduduk di Malaysia ini merupakan awal dari permasalah etnis

yang kemudian terjadi di kemudian hari. Masalah ini diperparah dengan kebijakan

‘divide and rule’ dari pemerintah Inggris. Dibawah kebijakan ini, kelompok etnis yang

berbeda tidak dibiarkan untuk berbaur satu sama lain, dengan tujuan tidak ada

persatuan etnis yang dapat mengancam kekuasaan Inggris. Alih-alih, masing-masing

kelompok etnis pada zaman kolonial Malaysia hidup berkelompok berdasarkan

kelompok etnis masing-masing. Etnis Melayu kebanyakan berprofesi sebagai petani

dan tinggal di kawasan pedesaan dimana kebanyakan dari etnis Melayu yang

berpendidikan dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah. Etnis Cina mendominasi

industry perdagangan dan kebanyakan dari etnis India bekerja di sektor perkebunan.

Kebijaksanaan Inggris ini membuat kelompok-kelompok etnis di Malaysia tidak saling

mengenal satu sama lain, dan akibatnya, masing-masing kelompok tidak mempunyai

pengetahuan akan kelompok etnis yang lain. Hal inilah yang kemudian menyebabkan

adanya stereotype yang tumbuh terhadap satu kelompok etnis dari kelompok etnis

lainnya. Etnis Melayu dianggap sebagai kelompok etnis yang bekerja sebagai petani di

pedesaan dan tidak maju. Sebaliknya, etnis Cina dianggap sebagai etnis yang unggul

secara ekonomi. Persepsi ini tumbuh karena adanya anggapan bahwa etnis Cina

memiliki pengaruh yang luas dalam bidang ekonomi, yang berkisar dari sektor produksi

timah pada bidang pertambangan, sektor produksi karet pada bidang perkebunan dan

juga transportasi dari komoditas-komoditas tersebut. Oleh karena adanya pandangan

seperti ini dari etnis lainnya terhadap etnis Cina, etnis Melayu menganggap dominasi

etnis Cina di bidang ekonomi ini sebagai ancaman terhadap keberlangsungan hidup

mereka.

5 | P a g e

Page 6: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

Kebijakan kolonial Inggris ini akhirnya menghasilkan masyarakat Malaysia yang secara

kemampuan ekonomi terbagi-bagi berdasarkan garis etnis. Posisi etnis Melayu menjadi

berada di lapisan paling bawah dalam hal pencapaian ekonomi, dan hal ini sudah

barang tentu menimbulkan ketidakpuasan di kalangan etnis Melayu, yang merasa

bahwa di tanah airnya sendiri, merekan menjadi terpinggirkan. Kondisi ini terus

terbawa hingga kemerdekaan Malaysia, dan kemudian pecah menjadi konflik. Bagian

mengenai konflik akan dibahas secara lebih jauh pada pembahasan berikutnya pada

tulisan ini.

Indonesia

Di Indonesia, sejak masa sebelum penjajah Belanda datang, telah ada populasi etnis

Cina yang tinggal menetap. Catatan sejarah menunjukkan bahwa komunitas Cina

Muslim telah ada pada abad ke-15 dan abad ke-16 di sepanjang daerah pantai utara

Pulau Jawa. Berkaitan dengan komunitas tersebut adalah adanya kunjungan dari

Laksamana Cheng Ho ke Pulau Jawa. Laksamana Cheng Ho adalah seorang Muslim

dan dilaporkan mengunjungi Pulau Jawa selama beberapa kali diantara tahun 1405 dan

1433.

Sumber-sumber sejarah Belanda menyatakan bahwa pemukiman penduduk Cina yang

paling awal di Indonesia diketahui berada di Pulau Jawa, terutama di sepanjang pantai

utara. Sebagian besar merupakan pedagang, namun di beberapa daerah mereka bekerja

dalam bidang agrikultur.

Masuknya Belanda ke Indonesia membuka kesempatan baru bagi etnis Cina. Banyak

imigran Cina berdatangan untuk berdagang, membuka perkebunan, dll. Gelombang

besar imigrasi Cina ini merupakan gelombang imigrasi kedua dimana terjadi pada

paruh kedua abad ke-19. Banyak dari mereka datang ke pulau-pulau diluar Jawa,

seperti contohnya ke Kalimantan Barat karena tertarik untuk mencari emas, ke

Sumatera Utara untuk bekerja di perkebunan tembakau, ke Pulau Bangka dan Belitung

untuk bekerja di pertambangan timah.3 Sebelum Belanda berpengaruh di Indonesia,

kebanyakan pendatang Cina dapat hidup berdampingan dengan damai dengan kalangan

penduduk pribumi. Namun berkuasanya Belanda merubah hal ini.

3 Tan, M. G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia – Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 3-4.

6 | P a g e

Page 7: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

Ketika berkuasa, penjajah Belanda mempengaruhi dinamika relasi etnis dengan cara

melakukan pembagian penduduk Hindia Belanda kedalam tiga kelompok. Pembagian

tersebut adalah sebagai berikut: (1) Golongan Eropa, yang menempati posisi teratas, (2)

Golongan Timur Asing, yang menempati posisi tengah, termasuk kedalam golongan ini

adalah orang-orang etnis Cina, India dan Arab, (3) Golongan Pribumi, yang menempati

posisi paling bawah dari stratifikasi masyarakat. Pengaturan ini berdasarkan pada pasal

163 IS/1854 Indische Staatsregeling.4

Pembagian penduduk Indonesia oleh Belanda ini termasuk ke dalam strategi pecah-

belah Belanda (devide et impera), dengan tujuan yang sama seperti yang dilakukan oleh

Inggris di Malaysia, yakni untuk menjamin agar kekuasaannya tidak terganggu.

Kebijakan Belanda ini sangat mempengaruhi dinamika masyarakat pada saat itu.

Masyarakat pribumi, yang sebagian besar merupakan rakyat kecil, menjadi

terpinggirkan oleh kebijakan ini. Masyarakat pribumi yang merupakan penghasil

berbagai komoditas hasil bumi Nusantara yang diperdagangkan oleh Belanda melalui

VOC, tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya dengan terlibat lebih jauh pada kegiatan

perdagangan berbagai komoditas hasil bumi tersebut, karena melalui sistem stratifikasi

masyarakat buatan Belanda ini, posisi etnis Cina yang berada di tengah mengambil

peranan sebagai penghubung perdagangan (disebut “middlemen” atau “broker”) antara

masyarakat pribumi sebagai produsen dengan pihak Belanda sebagai pembeli (untuk

kemudian dijual kembali di pasar Eropa). Peranan masyarakat pribumi tereduksi tidak

lebih dari hanya sekedar “buruh” yang menghasilkan berbagai komoditas, sedangkan

kegiatan perdagangannya sendiri lebih dipegang oleh etnis Cina. Masyarakat pribumi

juga merasakan bahwa kedudukan mereka sebagai penghuni asli Nusantara, menjadi

lebih rendah daripada etnis Cina yang merupakan pendatang.

Peranan etnis Cina sebagai “middlemen” atau “broker” dalam perdagangan diantara

penjajah Belanda dengan penduduk pribumi dibahas secara lebih jauh oleh Mely G.

Tan. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Etnis Tionghoa di Indonesia”, tentang

peranan etnis Cina sebagai penghubung dalam kegiatan perdagangan diantara produsen

pribumi dengan pembeli dari pihak Belanda.

Dengan posisinya ini, peranan etnis Cina dalam kegiatan perekonomian Hindia Belanda

menjadi penting. Sebagai “penghubung ekonomi” antara pribumi dan Belanda, etnis

4 Focus Asia-Pacific. Maret 2009. “Discrimination Against Ethnic Chinese in Indonesia”, p. 2.

7 | P a g e

Page 8: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

Cina berperan dalam proses transaksi barang yang diproduksi oleh pribumi dengan cara

membeli barang tersebut dari produsen pribumi. Barang yang sudah dibeli tersebut

kemudian dijual ke pembeli Belanda, yang kemudian akan dikapalkan ke Eropa untuk

diperdagangkan disana. Keterlibatan etnis Cina dalam kegiatan perekonomian menjadi

besar, dan hal ini memungkinkan mereka untuk menjadi lebih mapan secara ekonomi.

Sedangkan penduduk pribumi tidak banyak menerima keuntungan ekonomi dan tetap

hidup dengan keterbatasan.

Terpusatnya kegiatan etnis Cina dalam bidang ekonomi juga disebabkan oleh adanya

kebijakan Belanda yang membatasi keterlibatan mereka dalam bidang sektor pelayanan

publik. Pemerintah Belanda juga melarang etnis Cina untuk memiliki tanah, sehingga

membuat etnis Cina tidak bisa terlibat secara langsung di sektor pertanian. Oleh karena

itu, hanya di bidang perdagangan dan bisnislah etnis Cina dapat memperoleh

penghasilan. Dengan posisinya juga yang berperan sebagai penghubung perdagangan

antara kaum pribumi dan Belanda, etnis Cina menjadi mendominasi kegiatan

perdagangan dan bisnis; seperti kegiatan perdagangan dalam bidang agrikultur, dan

juga dalam distribusi domestik dari berbagai komoditas dan juga pasar retail.5

Pemaparan singkat diatas menunjukkan bagaimana etnis Cina dapat memegang kendali

yang besar dalam perekonomian dikarenakan posisinya yang spesial yang merupakan

bentukan pemerintah Belanda. Dilihat dari kacamata pribumi, tentu saja hal ini

menyakitkan, karena sebagai pemilik sah tanah-air Indonesia, mereka tersingkirkan dan

berada di level paling bawah dari stratifikasi sosial, dan akibatnya menjadi kekurangan

secara ekonomi.

Kebijakan pemerintah Belanda lainnya yang berpengaruh pada relasi etnis di Hindia

Belanda adalah aturan passenstelsel (kebijakan surat jalan) dan wijkenstelsel. Dibawah

peraturan wijkenstelsel, etnis Cina tidak dibolehkan bermukin di sembarang tempat.

Dibawah aturan ini orang Cina ditempatkan di sebuah pemukiman khusus orang Cina,

dan konsentrasi pemukiman orang Cina ini biasanya disebut dengan nama pecinan di

sejumlah kota besar Hindia Belanda.6 Sedangkan kebijakan surat jalan membuat orang

Cina harus selalu membawa surat jalan ketika mengadakan perjalanan/keluar dari

kawasan tempat tinggal. Dibawah peraturan-peraturan ini pihak Belanda mencoba

5 Tan, op. cit., hlm. 116-120.

6 Setiono, B. G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Penerbit Elkasa.

8 | P a g e

Page 9: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

membatasi interaksi antara kaum pribumi dan etnis Cina. Dibatasinya interaksi ini

dapat memicu proses timbulnya stereotyping dari masing-masing etnis, baik etnis Cina

maupun pribumi, karena terbatasnya interaksi, seperti yang terjadi di Malaysia.

Konflik-konflik diantara pribumi dengan etnis Cina

Dalam bahasan diatas, diuraikan beberapa kebijakan kaum kolonial baik di Malaysia maupun

di Indonesia yang membuat timbulnya jurang ekonomi diantara kaum pribumi dan etnis Cina.

Pemisahan dalam pergaulan diantara pribumi dan etnis Cina yang dilakukan oleh pihak

kolonial juga membuat pergaulan antara etnis Cina dan pribumi menjadi terbatas, sehingga

memberikan ruang bagi timbulnya prasangka-prasangka negatif diantara kedua kelompok.

Keadaan seperti ini sangatlah berpotensi dalam timbulnya konflik diantara penduduk pribumi

dan etnis Cina. Dalam perjalanan sejarahnya, baik Indonesia dan Malaysia pernah mengalami

konflik antara kelompok pribumi dengan kelompok etnis minoritas Cina, beberapa

diantaranya diuraikan dibawah:

Malaysia

Di Malaysia, konflik besar terjadi pada tahun 1969. Peristiwa tersebut disebut dengan

nama Insiden 13 Mei. 7

Konflik di Malaysia ini merupakan puncak dari adanya perasaan ketimpangan ekonomi

antara penduduk pribumi (bumiputera dalam bahasa Melayu) dengan penduduk etnis

Cina. Sebagai warisan dari sistem kolonial, selepas Malaysia merdeka, kelompok etnis

Cina adalah kelompok dengan status ekonomi yang baik dan dianggap memegang

perekonomian Malaysia. Sedangkan penduduk Melayu masih banyak hidup didalam

kemiskinan dan keterbelakangan.

Penyebab terjadinya kerusuhan dimulai dari adanya kekalahan dari koalisi aliansi yang

memerintah yang dipimpin oleh United Malays National Organization (UMNO). Partai

terbesar golongan Tionghoa Democratic Action Party dan Gerakan mendapat suara

dalam pemilihan, dan berhak untuk mengadakan pawai kemenangan di Kuala Lumpur.

Pawai inilah yang kemudian menjadi masalah. Pawai diadakan dengan berisik dan

mengolok-olok penduduk Melayu. Kelompok Melayu mengadakan pawai tandingan

7 Wikipedia.org. “May 13 Incident”. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/May_13_incident, diakses 11 Januari 2009).

9 | P a g e

Page 10: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

pada kesokan harinya, dan disinilah kerusuhan etnis pecah. Pertumpahan darah antar

etnis pun terjadi. Tercatat 196 orang tewas menurut data kepolisian Malaysia.

Indonesia

Di Indonesia, sejarah konflik antara kelompok pribumi dengan kelompok minoritas

Cina pernah terjadi beberapa kali, diantaranya adalah peristiwa Tangerang pada tahun

1946, peristiwa G 30-S/PKI, Peristiwa Malari, Peristiwa tahun 1998.

Mengenai konflik-konflik antara etnis Cina dengan kelompok pribumi di Indonesia,

saya tidak akan membahasnya satu persatu. Saya akan memberikan beberapa contoh

untuk memberikan gambaran bahwa di Indonesia terjadi beberapa konflik karena

adanya stereotype/sentimen negatif terhadap etnis Cina dari masyarakat pribumi,

sehingga mudah sekali masyarakat pribumi tersulut emosinya ketika ada masalah dan

diprovokasi untuk melakukan kekerasan terhadap etnis Cina.

Beberapa contoh konflik antara pribumi dan etnis Cina di Indonesia antara lain:

Peristiwa Tangerang 1946

Pada 6 Juni 1946, di Tangerang, sebanyak kurang lebih 600 etnis Cina dibunuh oleh

penduduk pribumi Indonesia. Pembunuhan terhadap etnis Cina berlangsung hingga

tanggal 8 Juni 1946.

Peristiwa pada 1946 dimulai dari adanya tuduhan sepihak yang menyatakan bahwa ada

orang-orang etnis Cina yang pro-Belanda menjadi agen NICA. Rumor yang kemudian

berkembang adalah memang ada tentara NICA yang beretnis Cina yang menurunkan

bendera merah-putih dan menggantinya dengan bendara merah-putih-biru (bendera

Belanda). Rumor ini menyulut kemarahan rakyat, apalagi pada waktu itu republik ini

belum genap berusia satu tahun, dan menghadapi kemungkinan akan dikuasai kembali

oleh Belanda. Oleh karena itu, sentimen terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda

menjadi sangat kental.

Kekerasan terhadap etnis Cina di Tangerang ini tersulut karena adanya anggapan bahwa

etnis Cina masih mendukung Belanda (pro-Belanda). Sikap ini dapat dipahami sebagai

warisan dari penjajahan dimana etnis Cina menempati posisi kedua dalam stratifikasi

sosial (berada di bawah Belanda) dalam pembagian masyarakat yang dilakukan oleh

Belanda (sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian terdahulu). Oleh karena itu

10 | P a g e

Page 11: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

masyarakat pribumi masih mempunyai ingatan akan adanya anggapan kedekatan etnis

Cina dengan Belanda.8

Peristiwa Malari

Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa yang terjadi di

Jakarta pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa ini diawali dengan adanya demonstrasi

mahasiswa antimodal asing yang ditujukan kepada Perdana Menteri (PM) Jepang

Kakuei Tanaka. Demonstrasi ini berujung pada terjadinya tindakan pengrusakan

terhadap toko-toko. Sebenarnya, pada tahun-tahun tersebut pemerintah sedang

menerima kecaman yang semakin gencar mengenai praktik-praktik cukong9 dalam

bisnis dan dampak yang parah mengenai kesenjangan yang semakin membesar antara

pribumi dan non-pribumi. Oleh karena itu, meskipun peristiwa Malari adalah kejadian

yang didasari pada gerakan penolakan modal asing (yang dianggap tidak memberikan

manfaat ekonomi bagi sebagian besar rakyat Indonesia) dengan sasaran perusahaan-

perusahaan Jepang, permasalahan mengenai praktik cukong yang banyak dijalankan

oleh kaum etnis Cina juga menjadi salah satu permasalahan besar yang berada di benak

kesadaran para mahasiswa pada masa itu, dan dapat dianggap sebagai bagian dari

rangkaian konflik pribumi dan etnis Cina yang telah berlangsung lama.

Peristiwa Mei 1998

Peristiwa pada Mei 1998 adalah peristiwa kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang

paling baru, dan paling besar skala kekerasannya.

Peristiwa Mei 1998 dilatarbelakangi dengan terjadinya krisis moneter yang mendera

Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Para mahasiswa pun mengadakan

demonstrasi untuk memprotes pemerintahan orde baru atas kondisi bobroknya ekonomi

Indonesia yang beberapa sebabnya diantaranya adalah adanya KKN yang sudah parah.

8 Majalah Tempo. 10 Juni 1998. “Tragedi Cina Benteng”. (Online), (http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/INT/mbm.19981006.INT95675.id.html, diakses 11 Januari 2010).

9 Istilah “cukong” dalam bisnis mempunyai pengertian sebagai seorang “finansir yang kuat” yang beroperasi di belakang layar. Menurut Dr. Mely G. Tan, istilah itu berasal dari tsu kung, pemimpin kongsi dalam masyarakat Cina tradisional.

11 | P a g e

Page 12: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

Demonstrasi ini berubah kacau dengan terjadinya penembakan atas mahasiswa dari

Universitas Triskati. Kejadian ini memicu terjadinya kerusuhan yang besar. Masyarakat

etnis Cina di Jakarta dan Solo menjadi target kekerasan dalam kerusuhan ini. Toko-

toko, pusat perbelanjaan, rumah, kendaraan dibakar. Banyak korban jiwa yang jatuh

dalam peristiwa ini. Diperkirakan ribuan orang terkorban dalam kerusuhan pada Mei

1998.

Penyerangan terhadap etnis Cina dipicu oleh provokator yang membakar emosi

masyarakat. Masyarakat Cina masih dianggap sebagai pihak yang menikmati

keuntungan ekonomi ditengah sulitnya kehidupan rakyat.

Konstruksi stereotype negatif terhadap etnis Cina di mata kaum pribumi Indonesia dan

Malaysia

Peter L. Berger, seorang sosiolog, menyatakan bahwa pengetahuan (knowledge) yang

dimiliki oleh masyarakat, dibangun dari realitas keseharian yang dibangun oleh masyarakat

tersebut. Peter L. Berger berargumen, masyarakat dapat menerima sebuah keadaan sebagai

sebuah “kenyataan”, terlepas dari sahih atau tidaknya “kenyataan” tersebut. Argumentasi dari

Peter L. Berger ini menyatakan bahwa masyarakat menerima sebuah keadaan sebagai

“kenyataan” dari apa yang mereka lihat sehari-hari. “Kenyataan” yang dipercaya oleh

masyarakat boleh jadi belum jelas kebenarannya, tetapi hal itulah yang dipercaya oleh

masyarakat.

Penjelasan sosiologis ini saya rasa cukup relevan untuk menjelaskan fenomena terbentuknya

stereotype negatif yang timbul di kalangan penduduk pribumi terhadap etnis Cina di

Indonesia dan Malaysia, dan juga pandangan etnis Cina yang negatif terhadap pribumi.

Kebijakan pemerintah kolonial, baik di Indonesia dan Malaysia, menciptakan suatu kondisi

dimana masing-masing etnis membangun pandangannya terhadap etnis lainnya dengan

karakteristik-karakteristik tertentu, yang boleh jadi tidak selalu sesuai dengan kenyataan

sebenarnya.

Di Malaysia, pemerintah kolonial Inggris memilih untuk mendatangkan tenaga kerja dari

Cina dan India untuk menggarap pertambangan timah dan perkebunan karet. Inggris tidak

mau memberdayakan kelompok etnis Melayu, dengan berbagai alasan, diantaranya adalah

adanya anggapan bahwa etnis Melayu adalah tidak mempunyai cukup kepintaran (alias

dianggap bodoh/terbelakang). Sikap dari Inggris ini membuat kaum Melayu terpinggirkan di

12 | P a g e

Page 13: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

negaranya sendiri. Dan di depan matanya, kaum Melayu melihat etnis Cina berkembang

secara ekonomi, karena adanya sikap preferential dari Inggris. Pada poin inilah, masyarakat

Melayu membangun “kenyataan” bahwa etnis Cina adalah etnis yang maju secara ekonomi

(kaya). Pandangan ini diterima oleh etnis Melayu sebagai generalisir dari apa yang mereka

yakini bagaimana kehidupan etnis Cina di Malaysia. Padahal, pandangan bahwa etnis Cina

semuanya kaya tentu saja tidak benar.

Hal yang sama seperti di Malaysia juga terjadi di Indonesia. Dari beberapa konflik antara

penduduk pribumi dan etnis Cina yang terjadi di Indonesia sepanjang perjalanan sejarahnya,

dapat ditarik benang merah, yakni adanya anggapan bahwa etnis Cina adalah kelompok yang

menikmati kekayaan. Pandangan di Indonesia ini juga berakar dari kebijakan kolonial

Belanda, yang menempatkan posisi etnis Cina diatas pribumi, seperti yang sudah saya

jelaskan pada bagian terdahulu.

Donald Horowitz, menyatakan bahwa dalam memahami adanya konflik dari kelompok etnis

yang satu dengan kelompok etnis yang lainnya, kita harus dapat memahami bagaimana

seseorang dapat memandang dirinya sebagai suatu kelompok dan bagaimana dia membenci

sebuah kelompok lainnya. Horowitz menyatakan bahwa, secara psikologis, persepsi terhadap

sebuah kelompok dari kelompok lainnya adalah dasar yang fundamental dari adanya konflik

antar kelompok. Horowitz mendapatkan bahwa pihak kolonial, dalam menghadapi

keberagaman tingkat pendidikan dan ekonomi dari penduduk negara jajahannya, seringkali

menerapkan kebijakan yang mengistimewakan golongan tertentu dan di saat yang bersamaan

meminggirkan golongan lainnya.

Pemikiran Horowitz sejalan dengan apa yang terjadi di Malaysia dan Indonesia. Penduduk

pribumi, berbagi kesamaan dalam sejarah sebagai pihak yang terpinggirkan dari sistem sosial

dan ekonomi. Penduduk pribumi di Indonesia dan Malaysia bersama-sama mengalami,

bagaimana lewat politik pecah belah kaum kolonis, tumbuhnya persepsi mereka akan etnis

Cina di kedua negara yang ‘diuntungkan’ secara ekonomi. Penduduk pribumi, membangun

kesadaran kolektif bahwa mereka adalah ‘korban’ dari setting kaum kolonial, dan

menganggap bahwa etnis Cina adalah kelompok yang diuntungkan. Ketika pemikiran

kolektif bahwa sebagai pribumi (sebagai satu kesatuan kelompok) adalah kelompok yang

dirugikan dan ketika etnis Cina (dianggap sebagai satu kelompok secara pukul rata), sebagai

pihak yang menerima keuntungan (terutama ekonomi) atas berbagai kebijakan di masa lalu,

maka akan sangat mudah sekali bagi kaum pribumi untuk terprovokasi untuk melakukan

13 | P a g e

Page 14: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

kekerasan melawan etnis Cina ketika timbul masalah. Berbagai konflik yang sudah saya

paparkan pada bagian terdahulu merupakan contoh nyata dari hal ini.

Kebijakan affirmative action pemerintah Indonesia dan Malaysia10

Malaysia

Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan yang bersifat affirmative sebagai reaksi dari

adanya kerusuhan rasial pada tahun 1969. Pemerintah menyadari, bahwa sumber

permasalahan ada pada lebarnya jurang ekonomi antara kaum Melayu bumiputera dengan

etnis Cina, sehingga menyulut terjadinya konflik. Oleh karena itu, pada tahun 1970

pemerintah Malaysia memperkenalkan kebijakan “New Economic Policy” atau biasa

disingkat dengan NEP. NEP dimaksudkan untuk menghapus kemiskinan tanpa memandang

kelompok dan membuat restrukturisasi masyarakat agar negara dapat membangun dengan

stabil, aman, dan hasilnya dapat dinikmati seluruh rakyat. Garis besar kebijakan NEP adalah

memajukan golongan miskin bumiputera dengan cara memodernkan sektor pertanian,

meningkatkan tingkat pendidikan, serta mendorong lahirnya usahawan bumiputera.

Secara umum NEP dianggap cukup berhasil, dimana tingkat kemiskinan dapat diturunkan,

tingkat pendidikan bumiputera meningkat dan membuat banyak golongan bumiputera dapat

bekerja di level yang lebih tinggi.11

Indonesia

Pada era Orde Lama, pemerintah Indonesia membuat program affirmative yang bertujuan

untuk memajukan para pengusaha pribumi, untuk memberikan mereka pengaruh yang lebih

besar dalam ekonomi. Program ini dinamakan “Program Benteng”, yang memberikan

bantuan kredit kepada pengusaha pribumi agar mereka dapat memajukan usahanya dan dapat

bersaing. Namun karena keterbatasan kemampuan pengusaha pribumi, Program Benteng ini

malah melahirkan praktek yang disebut dengan nama “Ali-Baba”, yakni praktek kerjasama

dengan pengusaha etnis Cina, dimana pengusaha etnis Cina yang menjalankan bisnis dibalik

nama perusahaan pribumi. Program Benteng akhirnya gagal, kaum pribumi tidak

10 Meskipun bahasan pada bagian ini telah meninggalkan periode kolonial, saya ingin menuliskannya (meskipun secara singkat), dengan tujuan untuk memberikan gambaran bagaimana usaha-usaha pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam rangka mengatasi permasalahan warisan kolonialisme diantara kaum pribumi dan etnis Cina di masing-masing negara.

11 Abidin, M. Z. 2007. “Membangun Keseimbangan dengan NEP”. Kompas, (Online), (http://202.146.5.33/kompas-cetak/0709/22/opini/3859754.htm, diakses pada 11 Januari 2010)

14 | P a g e

Page 15: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

memperoleh manfaat dan malah sebagian pengusaha etnis Cina diuntungkan dari adanya

kebijakan ini.

Praktek “Ali-Baba” pada masa Orde Lama berkembang menjadi praktek percukongan. Yang

dimaksud dengan cukong disini adalah pengusaha Cina yang berkolaborasi dengan elit

penguasa, dimana penguasa memberikan perlindungan pada pengusaha Cina sementara

mereka menjalankan bisnis.

Praktek percukongan inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan meletusnya peristiwa

Malari, dimana rakyat merasa bahwa kepentingan ekonomi pribumi terabaikan dan

tersisihkan. Pemerintah kemudian merespon rakyat dengan cara mengeluarkan kebijakan

ekonomi yang berpihak pada pribumi, diantaranya pemberian bantuan usaha, pemberian

lisensi usaha khusus pribumi, dsb.12

Namun berbagai kebijakan pemerintah tersebut tidak berefek banyak pada kesejahteraan

rakyat pribumi. Kesenjangan ekonomi tetap ada, dan hal ini diperparah dengan adanya

praktek kronisme pada era Orde Baru diantara pemerintah dengan konglomerat etnis Cina.

Hal ini semakin memperkukuh stereotype negatif terhadap etnis Cina yang sudah ada di

dalam benak masyarakat pribumi.

BAB III

KESIMPULAN

Etnis Cina yang tinggal menetap di Indonesia dan Malaysia telah ada sebelum pihak kolonial

Belanda dan Inggris datang dan menguasai kedua negara tersebut. Sebelum masa penjajahan,

secara umum relasi diantara penduduk pribumi di kedua negara dengan etnis Cina terbilang

harmonis.

12 Suryadinata, L. op. cit. hlm. 232-235.

15 | P a g e

Page 16: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

Datangnya pihak kolonial Belanda dan Inggris ke Indonesia dan Malaysia, ternyata

mempengaruhi dinamika relasi penduduk pribumi – etnis Cina di kedua negara. Kebijakan

pecah-belah dari kaum kolonis berakibat kepada terbangunnya pandangan yang sifatnya

stereotype diantara penduduk pribumi dan etnis Cina.

Kebijakan kolonial menghasilkan etnis Cina yang lebih maju secara ekonomi, dan hal ini juga

yang menjadikan adanya pandangan bahwa etnis Cina adalah golongan penduduk yang kaya-

raya. Jurang ekonomi yang ada diantara etnis Cina dengan penduduk pribumi seringkali

menjadi alasan yang melatarbelakangi beberapa konflik etnis yang terjadi di kedua negara.

Secara umum, kondisi relasi etnis diantara pribumi – etnis Cina di Indonesia dan Malaysia

mempunyai kemiripan, namun setelah kedua negara merdeka, terlihat adanya perbedaan. Di

Malaysia, secara umum kebijakan affirmative dalam bentuk New Economic Policy dianggap

berhasil dalam mengurangi jurang ekonomi diantara etnis Cina dengan penduduk bumiputera,

dimana di Indonesia, beberapa kebijakan yang dijalankan pemerintah pada masa Orde Lama

dan Orde Baru dalam rangka menangani permasalahan etnis belum menunjukkan

keberhasilan yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M. Z. 2007. “Membangun Keseimbangan dengan NEP”. Kompas, (Online),

(http://202.146.5.33/kompas-cetak/0709/22/opini/3859754.htm, diakses pada 11 Januari

2010)

16 | P a g e

Page 17: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

Astarini, R. 2001. “Kebijakan Affirmative Action Bidang Ekonomi dalam Penyelesaian

Konflik Etnis: Studi Komparasi Malaysia Indonesia”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.

Berger, P. L. dan Luckmann, T. 1967. The Social Construction of Reality: A Treatise in the

Sociology of Knowledge. United States: Anchor Books.

Focus Asia-Pacific. Maret 2009. “Discrimination Against Ethnic Chinese in Indonesia”, p. 2-

3.

Guan, L. H. 2000. “Ethnic Relations in Peninsular Malaysia: The Cultural and Economic

Dimensions”. Social and Cultural Issues, (Online), 1(2000),

(http://www.sabrizain.org/malaya/library/ethnicrels.pdf, diakses 19 Desember 2009).

Horowitz, D. L. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University of California Press.

Jesudason, J. V. 2001. “State Legitimacy, Minority Political Participation, and Ethnic

Conflict in Indonesia and Malaysia”. Dalam Colletta, N. J., Lim, T. G. dan Kelles-

Viitanen, A. (Ed.), Social Cohesion and Conflict Prevention in Asia: Managing

Diversity through Development (hlm. 65-98). Washington D. C.: The World Bank.

Majalah Tempo. 10 Juni 1998. “Tragedi Cina Benteng”. (Online),

(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/INT/mbm.19981006.INT9567

5.id.html, diakses 11 Januari 2010).

Setiono, B. G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Penerbit Elkasa.

Suryadinata, L. (Ed.). 2004. Ethnic Relations and Nation-Building in Southeast Asia: The

Case of the Ethnic Chinese. Singapore: ISEAS Publishing.

Suryadinata, L. (Ed.). 2007. Understanding the Ethnic Chinese in Southeast Asia. Singapore:

ISEAS Publishing.

Tan, M. G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia – Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Vivanews.com. 15 Januari 2009. “Malari Riot of 1974”. (Online),

(http://en.vivanews.com/news/read/21646-malari_riot_of_1974, diakses pada 11

Januari 2010).

17 | P a g e

Page 18: Pengaruh Kolonialisme dalam Relasi Masyarakat Pribumi dengan Kaum Minoritas Cina: Perbandingan Indonesia dan Malaysia

Wikipedia.org. “May 13 Incident”. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/May_13_incident,

diakses 11 Januari 2009).

18 | P a g e