menelisik kisah cinta perempuan pribumi dengan pemuda

21
Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda Tionghoa dalam Sinar Boelan di Priangan Andrian Pratama T., 0806353343 Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia [email protected] ABSTRAK Penelitian ini membahas karya Sastra Melayu Tionghoa berjudul Sinar Boelan di Priangan karya Saint Diano. Cerita ini mengangkat kisah cinta seorang gadis pribumi Sunda dari Sukabumi, Jawa Barat dengan seorang pemuda Tionghoa miskin. Penelitian ini bertujuan untuk menelisik gambaran masyarakat dalam liku-liku kisah cinta kedua tokoh berbeda bangsa ini. Selain itu, penulis juga menjelaskan aspek-aspek lain menimbulkan makna selain kisah cinta antar-bangsa. Dalam meneliti cerita, penulis menggunakan metode analitis deskriptif dengan pendekatan intrinsik. Berdasarkan hasil penelitian, penulis berkesimpulan pengarang menggambarkan beragam permasalahan pernikahan antar-bangsa lewat liku-liku kisah cinta tokoh pribumi dan pemuda Tionghoa. Pasangan ini tidak hanya ditekan oleh pemuda Tionghoa kaya, tetapi juga penguasa pribumi dan hukum. Selain bentuk tekanan, penulis menemukan bahwa gambaran lain berupa kekuatan cinta dapat mengalahkan beragam tekanan, baik secara status sosial maupun lintas-etnis. Kata kunci: kisah cinta, kisah cinta pribumi, sastra melayu tionghoa, pribumi-tionghoa, pribumi, tionghoa ABSTRACT This thesis discussed about a Malay-Chinese literature based from the novel Sinar Boelan di Priangan by Saint Diano. This text tells about a love story between native Sundanese from Sukabumi, West Java with a Malay-Chinese man. This research aims to understand the local environment based on the story. This research uses analytical description method that focus on intrinsic aspects. As the result, writer believed that author wanted to describe problems that arise when a native is having a relationship with Malay-Chinese people. In this story, both Malay-Chinese and Native not only must fight against local warlord, but also rich Malay-Chinese and law. Furthermore, writer also concluded that love was unbreakable even though they have to fight against social class and cultural problems. Keywords: love story, native love story, malay-chinese literature, malay-chinese, indo-malay, malay Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda Tionghoa dalam Sinar Boelan

di Priangan

Andrian Pratama T., 0806353343

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

[email protected]

ABSTRAK Penelitian ini membahas karya Sastra Melayu Tionghoa berjudul Sinar Boelan di Priangan karya

Saint Diano. Cerita ini mengangkat kisah cinta seorang gadis pribumi Sunda dari Sukabumi, Jawa

Barat dengan seorang pemuda Tionghoa miskin. Penelitian ini bertujuan untuk menelisik gambaran

masyarakat dalam liku-liku kisah cinta kedua tokoh berbeda bangsa ini. Selain itu, penulis juga

menjelaskan aspek-aspek lain menimbulkan makna selain kisah cinta antar-bangsa. Dalam meneliti

cerita, penulis menggunakan metode analitis deskriptif dengan pendekatan intrinsik. Berdasarkan hasil

penelitian, penulis berkesimpulan pengarang menggambarkan beragam permasalahan pernikahan

antar-bangsa lewat liku-liku kisah cinta tokoh pribumi dan pemuda Tionghoa. Pasangan ini tidak

hanya ditekan oleh pemuda Tionghoa kaya, tetapi juga penguasa pribumi dan hukum. Selain bentuk

tekanan, penulis menemukan bahwa gambaran lain berupa kekuatan cinta dapat mengalahkan

beragam tekanan, baik secara status sosial maupun lintas-etnis. Kata kunci: kisah cinta, kisah cinta pribumi, sastra melayu tionghoa, pribumi-tionghoa, pribumi, tionghoa

ABSTRACT This thesis discussed about a Malay-Chinese literature based from the novel Sinar Boelan di Priangan

by Saint Diano. This text tells about a love story between native Sundanese from Sukabumi, West

Java with a Malay-Chinese man. This research aims to understand the local environment based on the

story. This research uses analytical description method that focus on intrinsic aspects. As the result,

writer believed that author wanted to describe problems that arise when a native is having a

relationship with Malay-Chinese people. In this story, both Malay-Chinese and Native not only must

fight against local warlord, but also rich Malay-Chinese and law. Furthermore, writer also concluded

that love was unbreakable even though they have to fight against social class and cultural problems. Keywords: love story, native love story, malay-chinese literature, malay-chinese, indo-malay, malay

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 2: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Pendahuluan

Jejak kesusastraan Indonesia memang menarik untuk ditelaah, apalagi ketika kita melihat

sejarah kemunculan Kesusastraan Indonesia Modern. Jika kita membicarakan asal-mula Kesusastraan

Indonesia Modern, maka muncul pertanyaan “kapan asal mula Kesusastraan Indonesia Modern?” Ajip

Rosiadi, salah satu pengam at dan peneliti Kesusastraan Indonesia, menilai bahwa pertanyaan ini

bukanlah suatu pertanyaan yang penting. Bagi Ajip, dalam buku Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1988), bukanlah kapan asal mula yang menjadi pertanyaan

utama, tetapi bagaimana proses kemunculan sehingga munculnya istilah Kesusastraan Indonesia

Modern. Rosiadi menekankan pentingnya pendefinisian kata modern sebagai pembeda antara karya

sastra Indonesia modern dan non-modern. Ia meyakini, pendefinisian kata modern akan mengarahkan

pada asal-mula kemunculan sastra Indonesia Modern.

Dalam mendefinisikan karya awal Kesusastraan Indonesia Modern, saya sependapat dengan

Nio Joe Lan (1962), C.W. Watson (1971), W.V. Sykorsky (1980), Claudine Salmon (1988), Ibnu

Wahyudi (1988) dan Jakob Sumardjo (2004). Mereka meyakini bahwa tradisi Kesusastraan Indonesia

Modern telah muncul sebelum penerbitan novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920).

Terlebih lagi, kemunculan karya sastra Indonesia Modern diperkirakan jauh sebelum pendirian Balai

Pustaka pada tahun 1917. Berdasarkan laporan penelitian Wahyudi (1988), beragam kelompok

memberikan kontribusi kemunculan Kesusastraan Indonesia Modern. Salah satu kelompok yang

berkontribusi dalam perkembangan sastra modern awal merupakan karya sastra Tionghoa Peranakan.

Anda tentu bertanya apa itu Sastra Tionghoa Peranakan? Secara definisi, Kesusastraan

Tionghoa Peranakan, atau pula disebut sebagai Kesuastraan Melayu Tionghoa, merupakan karya-

karya sastra dari buah tangan para sastrawan Peranakan (Suryadinata, 1996:1). Berdasarkan hasil

penelusuran peneliti sastra, karya Tionghoa Peranakan muncul dari tahun 1870 hingga 1966 (Salmon,

1988: xv). Berpegang pada hasil penelitian para pengamat Kesusastraan Melayu Tionghoa, karya-

karya yang lahir dari tangan Tionghoa Peranakan dianggap berciri khas khusus. Sumarjo, salah satu

peneliti yang tertarik dengan Kesusastraan Melayu Tionghoa, meyakini bahwa karya Kesusastraan

Tionghoa Peranakan tidak hanya memuat kisah-kisah didaktis dan mendidik, tetapi juga menyimpan

data penting (dalam Suryadinata, 1996:58). Selain

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 3: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

data penting, Suryadinata (1996: 60) juga meyakini bahwa karya Tionghoa Peranakan juga

menjelaskan beragam masalah sosial. Pendapat ini tidak hanya dikemukakan satu orang saja. Liang

Liji, salah satu pemerhati Sastra Tionghoa Peranakan, sependapat dengan Suryadinata. Liji (Liji,

1987: 167) meyakini para pengarang Tionghoa Peranakan umumnya langsung mengambil bahan

ceritanya dari peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi dalam masyarakat. Bahkan, Liji memberi contoh

pola cerita berupa di bawah judul cerita sering tercantum kalimat «Satoe tjerita yang soenggoe-

soenggoe soedah terdjadi di...». Poin ini merupakan tradisi yang membuat sastra peranakan Tionghoa

lebih bersifat realistis dan tak terpisah dari kehidupan masyarakatnya. (Liji, 1987: 167).

Pernyataan kelompok memang layak diutarakan para pengamat. Berdasarkan informasi yang

diperoleh, jumlah karya Tionghoa Peranakan yang terbit pada kala itu pun cukup banyak. Bahkan,

Wahyudi sampai menyatakan bahwa Sastra Tionghoa Peranakan merupakan “barisan” tersendiri

dalam penerbitan kesusastraan masa itu (Wahyudi, 1988: 37). Berdasarkan hasil penelitian Salmon,

salah satu peneliti Cina-peranakan dari Prancis, (Salmon, 1988: xv) tentang Kesusastraan Tionghoa

Peranakan, jumlah karya Kesusastraan Tionghoa Peranakan yang terbit di Indonesia mencapai 2.757

karya dari 806 orang pengarang. Ribuan karya di atas umumnya merupakan karya saduran dan karya

orisinal penulis Tionghoa. Jika diperinci, ribuan karya itu meliputi 73 karya drama, 183 syair, 233

terjemahan karya barat, 759 terjemahan karya-karya Tionghoa, serta 1.398 novel dan cerpen asli.

Jumlah itu pun masih belum mencakup karya anonim sejumlah 248 buah. Dengan kata lain, sekitar

3.005 buah karya sastra telah terbit dari para pengarang Tionghoa Peranakan (Salmon, 1988: xv).

Karya Tionghoa Peranakan pun mempunyai ciri khas dalam perkembangannya di Indonesia.

Salmon memperiodisasikan Kesusastraan Tionghoa Peranakan menjadi empat fase yaitu awal

kemunculan hingga 1911; 1911 - 1923; 1923 - 1942; dan 1942 – 1960 (Salmon, 2010: 17). Uniknya,

dalam buku tersebut, Salmon menyatakan para pengarang Tionghoa-Peranakan mulai menaruh

perhatian terhadap masyarakat pribumi pada awal 1920-an. Pada fase tersebut, beberapa pengarang

Tionghoa Peranakan mulai mengangkat tema percintaan antar-bangsa. Beberapa kisah percintaan

terkenal dari para pengarang Tionghoa Peranakan yang menggunakan tema cerita seperti ini ialah

Drama Dari Krakatau karya Kwee Tek Hoay (1929) Raden Adjeng Moerhia, Peringaten Medan 1929

– 1933 karya Njoo Cheong Seng (dalam Tjerita Roman), dan Pertjintahan dalam Halimoen karangan Numa (1923). Seluruh latar masyarakat Nusantara tidak

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 4: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

luput dari sorot pandang pengarang Tionghoa Peranakan, mulai dari Jawa, Sunda, Sumatera, Bali,

Irian Barat hingga masyarakat Tionghoa sendiri (Salmon, 2010:376).

Salmon menelusuri alasan pengarang Tionghoa Peranakan menggunakan latar masyarakat

pribumi dan tema percintaan di kala itu. Berdasarkan hasil penelitian ini pula, Salmon menyimpulkan

latar belakang pemakaian situasi masyarakat sebagai bahan cerita. Dirinya melihat tiga alasan yang

membuat para pengarang Tionghoa Peranakan menggunakan latar dan tema percintaan. Pertama,

penggunaan tema dan latar cerita pribumi dipilih karena situasi dan kodisi masyarakat yang dinamis,

terutama masyarakat Jawa. Kedua, para pengarang tertarik kepada masyarakat dan suku-suku asing

yang sempat mempertahankan cara hidup, dan terakhir adalah para pengarang yang sudah terlalu

familiar dengan lingkungan masyarakat Jawa (Salmon, 2010:378).

Pernyataan Salmon membuat saya terdorong untuk meneliti karya-karya pada zaman

Kesusastraan Melayu Tionghoa tahun 1911-1923. Saat menelusuri karya pengarang Tionghoa

Peranakan pada zaman itu, saya menemukan sebuah kisah menarik berjudul Sinar Boelan di Priangan

karangan Saint Diano. Keunikan cerita ini muncul ketika saya membaca isi resensi Nio Joe Lan, salah

satu pengamat Kesusastraan Melayu Tionghoa. Dirinya memasukkan kisah ini dalam resensinya.

Padahal, jumlah cerita yang mengangkat tema kisah cinta cukup banyak pada masa itu. Akan tetapi,

setelah membaca cerita ini, saya menemukan nilai yang tidak dimiliki cerita antar-bangsa di saat itu,

yakni kisah cinta yang bukan mengarah pada pernyaian/pergundikan. Dalam cerita ini, tokoh utama

menikah secara sah dengan tokoh yang dicintai, bukan pernikahan yang tidak direstui. Hal lain patut

digarisbawahi dari cerita ini ialah nama pengarang. Saya berasumsi nama Diano merupakan nama

samaran. Pendapat ini juga diperkuat dengan pernyataan Salmon bahwa tidak sedikit pengarang

Tionghoa Peranakan menggunakan nama pena yang unik seperti Young Chinaman (Salmon, 1981:

372) dalam bercerita. Terakhir ialah bagaimana penggambaran hubungan masyarakat Tionghoa dan

Pribumi dalam Sinar Boelan di Priangan. Dalam cerita ini, Diano sangat menonjolkan perbedaan

kelas antara protagonis dan antagonis. Penonjolan kelas ini tentu menimbulkan kemungkinan adanya

makna lain yang ingin disampaikan pengarang melalui kisah ini.

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini awalnya memfokuskan pada jejak kepengarangan,

hubungan masyarakat yang tergambarkan dalam cerita dan membaca makna lain yang disampaikan

pengarang lewat Sinar Boelan di Priangan. Sayangnya, akibat banyaknya data

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 5: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Tionghoa Peranakan yang hilang, saya hanya berfokus pada hubungan masyarakat dan pembacaan

makna. Demi menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan metode deksiptis-analisis yang berfokus

pada unsur intrinsik cerita.

Analisis Intrinsik

Apabila dibaca sekilas, kisah Sinar Boelan di Priangan mungkin dikatakan sebagai kisah

picisan. Sinar Boelan di Priangan mengisahkan tentang kehidupan seorang gadis desa bernama

Soerianti. Meskipun hanya seorang gadis desa, pola pikir dan perilaku Soerianti bukanlah perempuan

biasa. Dirinya sempat bersekolah di sekolah rakyat hingga remaja karena kesetiaan kedua orangtua

Soerianti yang bekerja pada satu majikan Eropa.

Soerianti pun menjadi buah bibir tidak hanya karena kepintaran, tetapi juga kecantikan dirinya.

Alhasil, dua orang pemuda Tionghoa mencintai dirinya, yakni Keng Hong dan Bob. Keng Hong, yang

bernama lengkap Louw Keng Hong, merupakan anak sebatang kara yang tidak mampu. Meskipun

sebatang kara, Keng Hong mempunyai hati yang mulia, sopan, ramah dan pandai bela diri. Di sisi lain,

Bob merupakan pemuda Tionghoa kaya, tetapi berperilaku nakal dan licik. Keduanya saling berusaha

untuk memperoleh Soerianti. Sayang, Soerianti memilih Keng Hong setelah dirinya melihat budi

luhur Keng Hong lebih baik dibandingkan Bob. Padahal, Soerianti mengetahui bahwa hubungannya

dengan Keng Hong berkemungkinan tidak direstui keluarga dan masyarakat. Akan tetapi,bermodalkan

keyakinan, mereka tetap menjalani hubungan.

Tidak terima dilecehkan, Bob berusaha merebut Soerianti. Tidak bisa memperoleh dengan cara

terhormat, Bob berusaha memelet Soerianti. Akan tetapi, pelet tersebut tidak berhasil karena kuatnya

cinta Soerianti dengan Keng Hong. Di balik keputusasaan cara pertama, Bob memutuskan untuk

menculik Soerianti. Sayangnya, penculikan tersebut tidak membuat cinta Keng Hong dan Soerianti

surut. Justru, Bob harus kehilangan nyawanya akibat kalah berkelahi dengan Keng Hong.

Di saat penculikan, Soerianti berusaha kabur dari cengkraman Bob. Saat Soerianti kelelahan

kabur dari Bob, muncullah seorang tokoh bernama Raden Soemawa Soerianata, salah satu keturunan

menak Priangan. Raden yang sebelumnya pernah melihat Soerianti memang ingin memiliki Soerianti.

Akan tetapi, dia berusaha menahan emosi dengan cara menolong Soerianti terlebih dahulu. Saat

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 6: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Soerianti sadar, Raden ungkapkan keinginannya untuk mempersunting

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 7: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Soerianti. Soerianti langsung menolak permohonan Raden. Tidak terima dengan keputusan Soerianti,

Raden menyekap Soerianti layaknya apa yang dilakukan Bob sebelumnya.

Kisah penculikan ini berakhir setelah Soerianti berhasil kabur dari Raden. Dalam masa

pelarian, dirinya ditolong pemuda Tionghoa yang bekerja di hotel bernama Tjin. Saat itu, Tjin

menolong Soerianti dengan bantuan makanan, tempat tinggal dan perlindungan. Bahkan, Raden pun

ditangkap setelah Soerianti melaporkan tindak penculikan yang dilakukan Raden dengan bantuan Tjin.

Di saat penangkapan Raden, Keng Hong ingin menjemput Soerianti. Penjemputan ini gagal

setelah Keng Hong dituduh telah menganiaya seseorang hingga meninggal. Setelah ditelusuri, Keng

Hong dituduh telah membunuh Bob. Kejadian ini sampai ke telinga Soerianti. Soerianti langsung

bergegas menyelamatkan Keng Hong. Berkat Soerianti, Keng Hong mendapatkan bebas bersyarat.

Saat bebas bersyarat, Keng Hong menemui Samina, ibunda Soerianti yang sedang sakit. Dalam

kunjungan itu, Samina merestui hubungan mereka.

Ketika menghadapi persidangan, Keng Hong sempat takut dakwaan terhadapnya menjadi

kenyataan. Beruntung, berkat kehandalan sang advokat, Keng Hong lolos dari hukuman. Dirinya pun

langsung hidup bersama dengan Soerianti. Meskipun menjalani bahagia, keduanya sempat berkelahi

karena ketidaktahuan Soerianti terhadap situasi ibunya. Akan tetapi, keduanya tetap hidup bahagia dan

menikah bersama-sama.

Jikalau melihat dari sinopsis, tokoh yang dideskripsikan dalam cerita ini terbagi atas 6

orang, yakni Soerianti, Keng Hong, Bob, Raden Soemawa Soerianata, Samina dan Tjin Ho Siem.

Berdasarkan hasil analisis, semua tokoh bersifat datar (yakni tidak mengalami perubahan

karakter). Karakter tokoh sentral (tokoh protagonis dan tokoh antagonis) dan tokoh bawahan

cerita digambarkan sesuai posisi mereka, yakni tokoh antagonis dengan sifat-sifat buruk seperti

licik dan penipu sementara tokoh protagonis yang baik, sopan dan pintar. Cerita ini juga cukup

detil dalam mengisahkan hubungan antar-tokoh. Hubungan para tokoh pun terkesan mempunyai

makna satu sama lain. Hal ini dapat tergambarkan lewat diagram berikut

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 8: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

keterangan

1 : Soerianti-Keng Hong (saling mencintai) 2 : Soerianti-Samina (anak-ibu) 3 : Soerianti-Bob (teman sekolah/korban penculikan-perempuan

idaman/penculik Soerianti) 4 : Samina-Keng Hong (mertua-menantu) 5 : Keng Hong-Bob (teman sekolah/sama-sama mencintai Soerianti) 6 : Samina-Bob (kenal sebagai teman Soerianti-calon mertua) 7 : Soerianti-Tjin (meminta bantuan-penolong di Yogyakarta) 8 : Soerianti-Raden (korban penculikan/perempuan idaman-penculik

Soerianti) 9 : Raden-Tjin (pencari Soerianti/korban pemukulan-pemukul)

Tabel 1.1 tabel hubungan karakter dalam karya Sinar Boelan di Priangan

Jikalau melihat pada alur cerita, Sinar Boelan di Priangan merupakan kisah yang menonjolkan

permasalahan percintaan antar-bangsa. Pendapat ini terbukti setelah saya melihat empat kasus yang

diutarakan Diano dengan fokus cerita pada Soerianti sesuai isi cerita. Pertama, perdebatan keyakinan

Keng Hong dan Soerianti terhadap kisah cinta mereka sendiri.Keduanya sempat ragu dalam menjalani

kisah cinta mereka karena restu hubungan; Kedua adalah hubungan mereka dengan orang ketiga,

dalam hal ini Bob dan Raden; Ketiga ialah saat Keng Hong dan Soerianti berhadapan dengan

masyarakat, yang terlihat dalam pernyataan Raden tentang pilihan Soerianti untuk hidup bersama

Tionghoa; dan terakhir hubungan mereka dengan hukum. Keempat kasus ini pun digambarkan dengan

empat klimaks berbeda, yakni klimaks hubungan Soerianti-Keng Hong, klimaks hubungan Soerianti-

Keng Hong-Bob, klimaks kasus Soerianti-Raden-Tjin dan klimaks kasus Soerianti-Keng Hong-

hukum.

Selain empat kasus itu, berdasarkan penelitian, alur cerita ini juga memuat unsur-unsur yang

menjadi “bumbu” dalam cerita. Setelah ditelaah , cerita ini memuat formula kisah detektif,

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 9: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

yakni kisah kejar-kejaran saat Soerianti diculik, dan unsur tegangan, seperti sorot balik dan regangan

sehingga kisah ini menarik untuk dibaca. Format ini merupakan format yang umum pengarang pada

masa itu untuk menarik pembaca, terutama formula kisah detektif yang juga menjadi nilai jual

pengarang Tionghoa kepada para pembaca. Hal ini semakin dipertegas dengan latar cerita yang

mengangkat pada tahun 1900-an.

SINAR BOELAN DI PRIANGAN: ANTARA CINTA, PERBEDAAN STATUS SOSIAL DAN PERBEDAAN ETNIS

Setelah menelaah cerita dengan pendekatan intrinsik, saya menemukan jawaban atas

permasalahan penelitian. Pertama ialah hubungan masyarakat pribumi dan Tionghoa dalam cerita.

Apabila dilihat dari alur dan tokoh, cerita ini menggambarkan bahwa hubungan masyarakat pribumi

dan Tionghoa tidak harmonis. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, saya menemukan empat peristiwa

besar yang menjadi liku-liku kisah cinta antara Soerianti dengan Keng Hong, yakni permasalahan dari

hubungan mereka sendiri (masalah perbedaan ras); masalah mereka dengan Bob (pemuda Tionghoa

yang berusaha merebut Soerianti dari tangan Keng Hong; masalah hubungan Soerianti dan Keng

Hong yang diganggu Raden Soemawa Soerianata (keturunan regent yang membawa lari Soerianti);

dan masalah mereka dengan hukum (tuduhan bahwa Keng Hong telah melakukan pembunuhan).

Setelah menelaah isi Sinar Boelan di Priangan secara mendalam, saya menemukan beberapa bukti

ketidakharmonisan antara masyarakat pribumi dan Tionghoa.

Pada peristiwa pertama, yakni kekhawatiran Soerianti dan Keng Hong untuk menjalani kisah

cinta, saya melihat adanya ketidakharmonisan ketika tokoh Soerianti “ketakutan” untuk menerima

cinta Keng Hong. Pernyataan pada kutipan tentang Soerianti yang meneyesali Keng Hong sebagai

warga Tionghoa (Diano, 1923: 6) merupakan bukti adanya ketidakharmonisan hubungan Tionghoa-

pribumi dalam Sinar Boelan di Priangan. Pernyataan ini juga membuktikan bahwa ada suatu masalah

apabila masyarakat pribumi dan Tionghoa hidup bersama. Berdasarkan isi cerita, saya menemukan

alasan masyarakat pribumi dan Tionghoa sulit untuk menjalin cinta. Diano menggambarkan 2

“benturan” sebagai konsekwens i dan bentuk ketidakharmonisan pada cerita Sinar Boelan di

Priangan.

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 10: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Benturan pertama terjadi ketika Soerianti dan Keng Hong ingin menjalani hubungan mereka.

Keduanya sempat meragukan kisah cinta mereka karena Keng Hong menyadari secara implisit adat

dan perilaku mereka berdua yang berbeda. Soerianti pula sempat berpikir demikian. Mereka berdua

sempat saling ragu satu sama lain untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius. Meskipun begitu,

mereka memutuskan untuk tetap berjalan dengan menggunakan dasar agama. Walaupun Diano tidak

menyatakan secara eksplisit agama Keng Hong, Diano menggunakan latar agamis Soerianti, yang

memegang teguh nilai agama, sebagai alasan restu hubungan (Diano, 1923: 7).

Benturan kedua terjadi ketika Samina meninggal dunia. Bukti ini merupakan bukti sulitnya

perjalanan cinta Keng Hong dan Soerianti. Saat Keng Hong menjenguk Samina, ibunda Soerianti, ia

menemukan Samina dalam keadaan sakaratul maut. Menjelang ajalnya, Samina meminta Keng Hong

untuk tidak menceritakan kematiannya kepada Soerianti. Hal itu pun dilakukan oleh Keng Hong.

"Akoe harep kaoe tidak mendjadi kaget dan berdoeka sampe kaliwat wates

hingga bikin roesak kasehatan dirimoe," kata Keng Hong.

Apakah ia-poenja sakit belom semboe koetika kaoe brangkat ka Djokja boeat soesoel akoe? Dan kanapakah sampe begitoe lama kaoe tida kasitaoe

padakoe? Hatikoe rasanja tida enak sekali,

...

Keng Hong tida lantas menjaoet, ia pikir sekarang soeda tida perloe toetoep lebih

djaoeh itoe perkara, maka pada Soerianti ia telah kasi taoe dengen sabenernja apa jang soeda kadjadian

...

Sembari menangis tida brentinja Soerianti mengomel, ia toedoeh Keng Hong soeda

berlakoe kaliwatan dan kedjem hingga kamatian satoe iboe sang anak tida dikasi taoe” (Diano, 1923: 41-42)

Kutipan di atas merupakan bukti bahwa perbedaan kebiasaan membuat mereka berbeda. Keng Hong

mengalami dilema antara menceritakan kematian Samina atau tidak. Akan tetapi, Keng Hong akhirnya

menceritakan tentang kematian Samina setelah setelah Soerianti bermimpi tentang Samina yang

sedang mengenakan pakaian pernikahan. Apalagi, orang yang dicintainya itu sangat merindukan sang

ibunda setelah sekian lama tidak bertemu akibat beragam kasus. Alhasil, Keng Hong pun

menceritakan seluruh kejadian kepada sang kekasih. Usai mendengar

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 11: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

seluruh ujaran Keng Hong, Soerianti pun langsung menjerit. Ia sempat membenci Keng Hong karena

dirinya tidak diberitahu terkait kematian sang ibunda. Pasalnya, Soerianti yang digambarkan sebagai

anak yang berbakti kepada orang tua tidak bisa menemani sang ibunda hingga akhir hayat. Hal ini

sesuai dengan kutipan /ia toedoeh Keng Hong soeda berlakoe kaliwatan dan kedjem hingga kamatian satoe iboe sang anak tida dikasi taoe/. Alhasil, dirinya merasa kecewa dengan Keng Hong karena Keng Hong seharusnya jujur dengan Soerianti terkait keadaan Samina. Akan

tetapi, mereka tetap menjalani hubungan mereka.

Gambaran hubungan Tionghoa-pribumi yang tidak harmonis juga muncul pada peristiwa

ketiga. Pada peristiwa ketiga, tokoh Raden Soemawa Soerianata sempat membenci tindakan Keng

Hong yang mendapatkan Soerianti. Hal ini terbukti saat Raden melihat Keng Hong bermesraan

dengan Soerianti.

Dari sitoe RadenSoemawa Soerianata dapet taoe perhoebongan apa jang

ada antara itoe doea orang moeda dan koetika ia dapet liat pasarnja Soerianti jang eilok

dari sela-sela djendela, ia-poenja hati rasanja seperti djoega maoe lompat lantaran

katarik sama keilokannja Soerianti itoe Raden poenja hati djadi panas meliat

gadis bangsanja jang begitoe ajoe misti djadi njainja saorang Tionghoa!

"Neen, tida! Akoe ... Akoelah jang wadjib lindoengken itoe gadis dari

ganggoeannja itoe orang!" (Diano, 1923: 18).

Berdasarkan kutipan di atas, situasi ini membuktikan bahwa pribumi dan Tionghoa tidak harmonis.

Pernyataan Raden yang masih keturunan menak membuktikan bahwa pribumi membenci pria

Tionghoa karena banyaknya perempuan pribumi menjadi nyai (dalam cerita ini Soerianti menjadi nyai

Tionghoa). Bahkan, pernyataan Raden ini seolah membuat pribumi harus menjaga nilai pribuminya

dari tangan asing.

Selain kebencian, adapula sedikit gambaran hubungan pribumi dan Tionghoa yang positif

dalam peristiwa ketiga. Setelah Soerianti kabur dari tindak pemerkosaan yang akan dilakukan Raden

Soemawa Soerianata, Soerianti sempat ditolong oleh pengurus hotel Tionghoa, Tjin Ho Siem. Seperti

yang dijelaskan pada bab sebelumnya, tokoh Tjin menolong Soerianti meskipun pemuda yang bekerja

sebagai pengurus hotel ini mungkin menghadapi hukuman. Pasalnya, tempat Tjin bekerja, yakni Hotel

Peng An Kie, tidak memperbolehkan ada tamu perempuan

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 12: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

(Diano, 1923: 33). Pada bagian ini, hubungan Tionghoa dan pribumi digambarkan dengan dingin

meskipun Tjin akhirnya menolong Soerianti. Hal ini dapat dibuktikan dengan keengganan Tjin

menolong Soerianti yang baru kabur dari Raden. Tjin mau menolong Soerianti setelah mengetahui

keadaan Soerianti lewat kutipan /Dari maski Soerianti menangis dengen pelahan, tida loepoet soeda

dapet didenger oleh itoe pengoeroes hotel jang roepanja ada sanget perhatiken keadahannja ini

tetamoe baroe/ dan kutipan /Memang itoe pengoeroes hotel roepanja ada soenggoe-soenggoe aken

menoeloengsoerianti, maski atoeran hotelnja ada menetapken tida boleh trima tetamoe prampoean

jang dateng sendirian, toch ini kali ia soeda langgar, sebab ia pertjaja jang Soerianti betoel ada

dalem kesoesahan/ (Diano, 1923: 33).

Selain ketidakharmonisanm ada beberapa keunikan yang cukup menonjol dalam cerita.

Keunikan pertama yang patut digarisbawahi ialah munculnya beragam tokoh Tionghoa dalam cerita

ini. Seperti yang diutarakan sesuai analisis bab sebelumnya, tokoh Soerianti lebih memilih tokoh Keng

Hong dibandingkan Bob karena perilaku Keng Hong yang lebih baik dibandingkan tokoh Bob.

Kemudian, Bob berusaha merebut Soerianti dari tangan Keng Hong dengan beragam cara. Di saat

yang sama, tokoh Keng Hong berusaha mempertahankan Soerianti dari usaha-usaha Bob merebut

Soerianti. Lalu, muncul tokoh Tjin yang berusaha menolong Soerianti dalam mempertahankan

hubungannya dengan Keng Hong saat Soerianti dikejar Raden Soemawa Soerianata.

Pada bagian ini, saya melihat adanya gambaran masyarakat Tionghoa ideal di masyarakat dan

tidak. Kemunculan tokoh Keng Hong, Bob dan Tjin merupakan bukti pemaknaan lain dalam cerita.

Tokoh Keng Hong yang berkarakter baik, sopan, berjiwa adil dan kuat digambarkan mirip layaknya

tokoh Tjin yang baik, pandai, sopan, berjiwa adil dan kuat. Kemunculan tokoh berkarakter dominan

ini menggambarkan perilaku masyarakat Tionghoa yang baik dan penolong. Di sisi lain, karakter Bob

yang jahat seolah menjadi bentuk yang tidak pantas dalam cerita ini.

Keunikan kedua terjadi dalam status antara masyarakat Tionghoa dengan pribumi. Dalam

kisah ini, pembaca pasti ingat dengan tokoh Raden Soemawa Soerianata. Pria yang merupakan anak

keturunan menak ini ternyata bukanlah pria sembarangan. Saat saya melakukan penelusuran tentang

menak, saya mendapatkan informasi tentang makna dan status menak di masyarakat, terutama

masyarakat Priangan.

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 13: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Dalam buku karangan Lubis (1998), menak merupakan salah satu kelompok aristokrasi lokal

yang bergerak di daerah Priangan. Dalam tugasnya, mereka bertanggungjawab kepada pemerintah

Hindia Belanda dalam menjalankan kebijakan kolonial. Umumnya, kaum menak terdiri dari para

bupati, bawahan bupati, dan ada yang dianggap berasal dari keturunan raja-raja Sunda dan benar-

benar keluarga bangsawan (Lubis, 1998:1). Beberapa daerah yang mempunyai bupati yang diatur oleh

pemerintah Hindia-Belanda adalah Bandung, Sumedang, Sukapura (Tasikmalaya), Cianjur, Galuh

(Ciamis), dan Garut.

Dalam bukunya, Lubis menceritakan tidak hanya struktur, tetapi juga tingkah laku para menak

(Lubis, 1998:71-73). Saat saya menyocokkan tingkah laku menak ideal dengan karakter Raden

Soemawa Soerianata, perilaku sang Raden ternyata tidak mencerminkan layaknya seorang Menak yang seharusnya. Raden malah berperilaku sebagai pria mata keranjang yang mempunyai

banyak “gula-gula”. Sikap mata keranjang tersebut t ercemin seperti pada peristiwa yang hendak ia

lakukan kepada Soerianti sesuai kutipan berikut,

Perkatahan Soerianti oetjapeken dengen meratap soepaja orang kasianin padanja, tapi

kita poenja Raden jang memang bertabeat rendah, maski orang minta sampe begitoe

toch sama sekali tidak mempoenjai rasa kasian, malah ia pikir, maski soeda sisa toch ia

maoe dapet bagian djoega. (Diano, 1923: 27) Padahal, seorang menak seharusnya mempunyai standar etika dan moral yang tinggi di masyarakat.

Lubis (1998:63-64) menyatakan, menak yang ideal adalah “Barangsiapa memiliki kesaktian, keras

kulit badannya, manjur pedangnya, dan pemberani, maka dialah yang dianggap sebagai menak yang

disegani bawahannya serta diindahkan, dilaksanakan, dan diladeni segala keinginannya. Bodoh pun

tidak menjadi masalah, asalkan berani. Kesaktian diperoleh dengan mempelajari elmu kabedasan

(ilmu kekuatan) dan elmu kawedukan (ilmu kekebalan), dan ajian-ajian. Pekerjaan merawat dan

menyaktikan senjata tajam adalah pekerjaan sehari-hari kaum menak zaman dahulu. Seorang penguasa

ideal pada masa kemudian mengalam perubahan.” Dengan kata lain, menak harus kuat, disegani, dan

berani. Tidak hanya itu saja, menak harus bertabiat luhur, mempunyai pertimbangan untuk melakukan

baik-buruknya sesuatu, keutamaan, kesetiaan, kepandaian, keberanian, keteguhan hati, ilmu dan

keadilan. Selain itu, pengetahuan soal kenegaraan dan pengetahuan agama ikut menentukan integritas

menak. Oleh karena itu, perilaku menak yang ideal merupakan bentuk pemimpin yang melindungi dan

disegani.

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 14: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Dalam kisah ini, perilaku menak yang digambarkan Saint Diano pada tokoh Raden Soemawa

Soerianata jauh dari gambaran menak seharusnya. Malah, setelah menelaah karakter Raden, pemuda

ini mirip dengan pernyataan Lubis tentang tingkah laku menak yang yang hidup pada masa kolonial.

Lubis (1998:232) menyatakan bahwa kaum menak memang mengizinkan seorang laki-laki untuk

beristri empat, tetapi hal ini bukan semata-mata karena agama. Sebenarnya, tindakan ini merupakan

salah satu kebiasaan leluhur raja-raja Priangan dalam rangka menjalin tindakan politis. Namun, pada

abad ke-19, poligami yang dilakukan para menak di priangan bukan lagi mengarah kepada masalah

politik, tetapi menuju hasrat untuk kesenangan dan kenikmatan duniawi. Apalagi, munculnya sistem

nyanggrah, yaitu meminta milik rakyat secara paksa bukan dengan cara yang halus, membuat menak

mempunyai status khusus di masyarakat Priangan. Bahkan, Lubis menyatakan bahwa kehidupan

menak layaknya gateuw (ratu rayap) yang pekerjaannya hanya seputar kesibukan di kabupaten, bermain serimpi, bedaya,

wayang orang, dan bersenang-senang dengan istri dan selir-selir sebagai penghibur (Lubis, 1998:232-

234). Situasi ini tergambar dengan tindakan yang dilakukan oleh Raden Soemawa Soerianata kepada

Soerianti yang cantik. Seperti kutipan berikut,

“Sembari oetjapken itoe perkataan Raden kita menjam perin semangkin deket orang poenja badan dan tangannja meraba-raba” ( Diano, 1923: 28)

Apabila kita menyimpulkan tentang keterlibatan tokoh Raden Soemawa Soerianata dalam

kisah cinta Soerianti dan Keng Hong, keberadaan Raden Soemawa Soerianata merupakan salah satu

bentuk permasalahan yang muncul di Priangan. Dalam hal ini, Keng Hong dan Soerianti harus diuji

dengan menghadapi salah satu keturunan penguasa di tanah Priangan. Meskipun hanya keturunan,

orangtua Raden mampu membuat Soerianti harus mengikuti permintaan Raden. Namun, Soerianti

malah melawan hal itu. Dirinya tetap meyakini bahwa kisah cintanya bersama Keng Hong merupakan

hal yang benar. Dengan kata lain, keberadaan sistem menak ditolak oleh Soerianti dan Keng Hong.

Bagi kedua pasangan ini, tidak ada yang dapat mengalahkan kisah cinta mereka berdua.

Terakhir, saya melihat adanya kesamaan makna peristiwa dalam kisah ini. Pertama, kisah ini

berusaha membahas tentang nilai kelas sosial secara implisit. Apabila kita melihat tentang dari status

tokoh yang digambarkan Diano dalam cerita ini, kita dapat melihat bahwa tokoh Soerianti dan tokoh

Keng Hong merupakan tokoh yang berada dari kelas bawah. Dalam Sinar Boelan di Priangan, Soerianti digambarkan sebagai salah satu pribumi. Saat menelusuri

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 15: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

makna pribumi, saya menemukan literatur yang menegaskan bahwa masyarakat pribumi merupakan

masyarakat terendah setelah masyarakat Eropa dan Asia dalam tatanan sosial di tataran Hindia

Belanda (Gautama & Hornick, 1974, dalam Tan, 2002:15). Terlebih lagi, Soerianti juga perempuan

biasa. Dengan kata lain, Soerianti berada pada strata terendah dalam masyarakat. Begitu pula dengan

Keng Hong. Meskipun dirinya berstatus Tionghoa, Keng Hong tidak memiliki harta melimpah.

Dirinya hanyalah seorang pekerja biasa.

Hal ini berbanding terbalik dengan para tokoh antagonis. Bob merupakan pria Tionghoa

dengan harta melimpah. Berdasarkan hasil analisis tokoh sesuai pada bab 2, Bob merupakan tokoh

yang mempunyai cukup banyak harta di Sukabumi. Bahkan, keluarga Bob pun mempunyai harta

cukup melimpah. Selain itu, dirinya juga mempunyai kendaraan dan ketampanan. Begitu pula tokoh

antagonis lainnya, yaitu Raden Soemawa Soerianata. Raden merupakan anak keturunan regent menak.

Dirinya tentu mempunyai harta melimpah karena mantan anak dari pegawai pemerintahan, yakni

ambtenaar. Belum lagi, titel Raden milik Raden Soemawa Soerianata berasal dari leluhurnya. Alhasil,

jumlah harta pria ini tentu besar dan banyak. Bukti lain menunjukkan bahwa tokoh Raden merupakan

tokoh kaya dan punya kuasa terlihat pada kepemilikan dua rumah di tempat yang berbeda sesuai

dengan analisis latar tempat tokoh Raden.

Apabila kita melihat perbedaan status para tokoh protagonist dan tokoh antagonis, tentu hal ini

menimbulkan pertanyaan. Masyarakat kelas atas, yakni pemuda Tionghoa kaya maupun keturunan

regent rela mengejar perempuan pribumi desa. Padahal, masyarakat kelas atas ini bisa memperoleh

perempuan yang lebih baik maupun lebih berkelas dibandingkan Soerianti yang merupakan

perempuan desa. Saya melihat penggunaan tokoh Soerianti yang digambarkan sebagai perempuan

cantik jelita dan pintar, tetapi dari keluarga pribumi miskin merupakan bukti bahwa kelas bawah juga

mempunyai nilai layaknya masyarakat kelas atas.

Hal yang sama juga terjadi di luar kisah cinta Soerianti-Keng Hong. Ini terlihat saat tokoh

Samina, yang merupakan ibunda Soerianti, berhadapan dengan sang majikan yang berasal dari Eropa.

Seperti yang diketahui, Soerianti memutuskan pergi dari rumah majikannya setelah dirinya

berkeinginan pulang kampung ke Soenia-Wenang di Soekabumi. Sebelumnya, sang majikan yang

juga ingin pulang ke Eropa meminta Samina untuk menempati rumah sang majikan. Akan tetapi,

Samina menolak pemberian sang majikan karena dirinya ingin tinggal bersama ibunya. Dalam

pandangan saya, situasi ini menjelaskan bahwa nilai masyarakat kelas

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 16: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

bawah juga sama besar layaknya masyarakat kelas atas. Samina malah menolak seluruh pemberian

yang hendak dilimpahkan oleh majikan. Samina justru meminta tanah dan rumah kecil untuk ia hidup.

Padahal, harta dari sang majikan tentu bisa membuat Samina dan Soerianti hidup nyaman.

Kedua ialah kegigihan masyarakat kelas bawah menghadapi kelas atas. Saat kita membaca

karya ini, Saint Diano menonjolkan adanya ketimpangan status. Tokoh Keng Hong dan Soerianti

dapat digolongkan sebagai masyarakat kelas bawah karena Keng Hong adalah pemuda Tionghoa

miskin sementara Soerianti adalah perempuan pribumi kelas bawah (perempuan desa). Mereka harus

menghadapi Raden Soemawa Soerianata dan Bob yang dapat digolongkan sebagai orang kelas atas.

Raden merupakan salah satu menak dari keluarga bangsawan sementara Bob merupakan pemuda

Tionghoa kaya raya.

Dalam kisah Sinar Boelan di Priangan, Soerianti, selaku tokoh utama harus bersabar dan

berani menghadapi beragam siksaan akibat mempertahankan hubungan dirinya dengan Keng Hong.

Hal ini terlihat saat Soerianti yang harus diculik karena menolak Bob. Belum lagi Soerianti yang harus

bersabar untuk menjaga kesuciannya saat diculik kedua kalinya oleh Raden. Padahal, Raden sudah

berniat jahat jauh sebelum mengenal Soerianti. Hal senada juga dialami oleh Keng Hong. Pria yang

tidak mempunyai harta ini harus berkelahi dengan sesama bangsanya sendiri. Tidak hanya itu saja,

Keng Hong harus mengejar kekasihnya yang jauh dari tempat tinggalnya demi mempertahankan kisah

cintanya. Belum lagi masalah Keng Hong yang harus berurusan dengan aparat berwajib yang

mempunyai kekuasaan untuk memisahkan mereka. Akan tetapi, tindakan Keng Hong dan Soerianti

yang berusaha melawan tindak jahat Bob maupun Raden Soemawa Soerianata merupakan bentuk

perlawanan mereka untuk mempertahankan kisah cinta mereka. Tidak hanya itu saja, tindakan ini juga

menggambarkan bentuk perlawanan kelas bawah, yaitu Soerianti dan Keng Hong, terhadap tindakan

kelas atas. Dalam hal ini, Diano menggunakan tema percintaan antar-bangsa sebagai dasar keyakinan

untuk melawan kelas atas.

Kemudian, kekuatan kelas bawah menghadapi tekanan dari masyarakat. Kalau melihat kisah

Keng Hong dan Soerianti, tokoh Soerianti dan Keng Hong harus menghadapi tekanan dari pemerintah

dan adat. Jika kita melihat tindakan pernikahan Keng Hong dan Soerianti, maka mereka telah

melanggar tatanan sistem kasta di Hindia Belanda. Pelanggaran ini tentu membuat mereka dapat

terkucilkan di masyarakat. Namun, mereka tetap menjalani meskipun sulit. Selain

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 17: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

itu, Soerianti juga melawan adat yaitu dengan menolak keinginan menak. Alhasil, tindakan ini

merupakan bentuk perlawanan kelas bawah terhadap kebudayaan dan sosial-masyarakat pada saat itu.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelaahan Sinar Boelan di Priangan karya Saint Diano ini, saya

menyimpulkan bahwa karya ini merupakan karya sastra yang mengangkat tema besar tentang kisah

percintaan antar-bangsa. Hal ini terlihat dari hubungan peristiwa dalam cerita ini, yakni liku-liku kisah

cinta bangsa Pribumi dan bangsa Tionghoa di tanah Priangan.

Apabila melihat hasil analisis tokoh, saya melihat Diano berusaha menggunakan kisah

percintaan antar-bangsa, yaitu etnis Tionghoa dan etnis Pribumi sebagai fokus cerita. Dalam cerita ini,

Diano menggunakan tokoh Soerianti, yang berposisi sebagai perempuan pribumi dari desa, dan Keng

Hong, pemuda Tionghoa miskin, sebagai contoh karakter baik. Sementara itu, tokoh jahat

dideskripsikan sebagai tokoh yang tidak sopan dan kasar, yakni Bob yang merupakan pemuda

Tionghoa berada dan Raden yang mempunyai gelar kekuasaan.

Selain tokoh protagonis dan tokoh antagonis, saya melihat adanya keberadaan tokoh bawahan

dalam Sinar Boelan di Priangan. Diano memasukkan beberapa tokoh bawahan sebagai pembantu

cerita seperti Samina dan Tjin Ho Siem. Tokoh Samina digambarkan sebagai tokoh yang penyayang

layaknya seorang ibu ideal, yakni ibu yang baik, setia, perhatian dengan anak dan tidak gila harta. Di

sisi lain, Tjin Ho Siem digambarkan sebagai pemuda Tionghoa yang baik dan akan membela semua

orang, termasuk masyarakat pribumi. Bahkan, Tjin seolah layaknya tokoh andalan kedua dalam cerita

ini.

Dalam cerita ini pula, karakter tokoh yang digambarkan Diano hampir semuanya datar. Dalam

penelitian ini, saya menemukan sifat-sifat tokoh yang tidak banyak berubah seperti sifat Soerianti

yang baik, murah hati, sopan dan menjaga kehormatan dirinya meskipun telah mengalami beragam

cobaan. Hal senada juga dialami tokoh antagonis dan tokoh bawahan. Penokohan para tokoh antagonis

seperti Raden Soemawa maupun Bob digambarkan berkarakter statis. Pengambaran tokoh Raden yang

suka perempuan dan Bob yang menggunakan cara licik untuk memperoleh Soerianti hingga akhir

cerita merupakan bukti bahwa karakter antagonis

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 18: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

bersifat statis. Untuk karakter bawahan, karakter Samina yang menyayangi anaknya maupun tokoh

Tjin yang bersikap baik pun tidak mengalami perubahan hingga keberadaan mereka berakhir. Hal ini

membuktikan bahwa karakter tokoh bersifat datar dalam Sinar Boelan di Priangan.

Selain tema percintaan, unsur mempertahankan hak dari masalah status sosial juga terlihat

jelas dalam analisis alur cerita. Dalam kisah setebal 43 halaman ini, fokus pada cara Soerianti dan

Keng Hong mempertahankan hubungan mereka dari tekanan penguasa. Keyakinan kisah cinta antara

Keng Hong dan Soerianti diuji saat mereka berhadapan dengan orang berharta dan status lebih. Selain

diuji dengan harta, mereka juga diuji dengan opresi yang dimiliki penguasa daerah, dalam hal ini

Raden yang merupakan keturunan menak. Hubungan mereka juga harus diuji dengan kekuatan hukum

karena suatu kesalahan yang diperbuat. Hal ini terlihat saat Keng Hong menghadapi sidang akibat

tindakannya memukuli Bob. Namun, dirinya berhasil diselamatkan berkat bantuan advokat yang

diajukan Soerianti kepada majikan Keng Hong. Berkat keteguhan hati dan keyakinan, mereka mampu

melewati beragam permasalahan yang dialami masyarakat Tionghoa dan pribumi dalam menjalani

hubungan bersama.

Apabila Sinar Boelan di Priangan ditelaah dan dipilihkan sesuai konsep Panuti Sudjiman

tentang macam alur, alur cerita ini merupakan alur berkarakter longgar. Hal ini terlihat atas beragam

peristiwa dalam Sinar Boelan di Priangan dapat menjadi cerita tersendiri dalam cerita ini. Kemudian,

cerita ini juga memuat beragam sorot balik. Tercatat, empat kali sorot balik muncul dalam cerita ini.

Sorot balik ini menjadi bumbu cerita yang disuguhkan Diano bagi para pembaca. Liku-liku kisah cinta

yang diceritakan Diano memuat formula cerita detektif (yakni adegan Keng Hong yang berusaha

mencari Soerianti), formula petualangan (pencarian Soerianti) dan bentuk ketegangan/suspense (saat

Soerianti akan diperkosa Raden). Hal ini membuat hubungan Keng Hong dan Soerianti cerita Sinar

Boelan di Priangan memiliki beragam masalah dan kerumitan.

Di sisi lain, setelah mengklasifikasi latar cerita, saya melihat bahwa Diano seolah mengangkat

situasi dan kondisi faktual yang terjadi pada tahun 1908-1920 dengan menggunakan latar fisik dan

waktu yang mirip di masyarakat. Contohnya berupa penggunaan nama Sukabumi untuk latar tempat

dan 1914 dan 1915 untuk latar waktu.

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 19: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Setelah saya menganalisis latar, alur, dan tokoh, saya menyimpulkan bahwa adanya hubungan

tidak harmonis antara etnis Tionghoa dan pribumi. Tercatat, dua situasi dalam cerita menunjukkan

adanya ketidakharmonisan antar-bangsa dalam cerita. Kedua bukti itu terdiri atas keengganan

Soerianti dan Keng Hong menjalani hubungan dan ketidakterimaan Raden Soemawa Soerianata

melihat masyarakatnya dipinang oleh Keng Hong.

Tidak hanya itu saja, saya juga menemukan makna lain berupa masuknya nilai-nilai status

sosial dan kelas sosial. Nilai-nilai status dan kelas sosial terlihat dari pemilihan tokoh Diano dalam

cerita ini. Diano menggunakan tokoh-tokoh kelas bawah, yakni pribumi desa dan Tionghoa miskin.

Saya menyimpulkan, Diano memasukkan masalah kelas bawah dan kelas atas untuk mengingatkan

kekuatan masyarakat kelas bawah dan adanya “lubang” kekuasaan kelas atas. Hal ini dipertegas

dengan menggunakan tokoh Soerianti sebagai fokus utama cerita ini. Dia menekankan bahwa

keyakinan masyarakat kelas bawah, dalam hal ini kisah cinta antara Diano dengan Soerianti, tidak

dapat digoyangkan jika menghadapi orang-orang yang lebih kuat atau berkuasa, yaitu Bob dalam segi

harta dan Raden dari segi kekuasaan. Hal ini semakin dipertegas dengan adanya tindak pernikahan

secara sah antara Soerianti dan Keng Hong. Alhasil, saya menyimpulkan bahwa pesan yang

Selain itu, saya menemukan adanya makna nilai masyarakat kelas bawah sama tinggi dengan

masyarakat kelas atas. Diano menggunakan tokoh masyarakat kelas atas, dalam hal ini Bob dan Raden

Soemawa Soerianata, yang ingin memperoleh perempuan pribumi rendahan. Tokoh Raden Soemawa

Soerianata yang merupakan menak justru tertarik dengan masyarakat kelas bawah. Begitu pula tokoh

Bob. Bob yang merupakan pemuda Tionghoa kaya rela menculik Soerianti demi mendapatkan gadis

yang dicintainya. Keadaan ini dimunculkan Diano untuk memberikan dampak bahwa citra kelas

bawah pun bisa lebih berharga dibandingkan masyarakat kelas atas.

DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan

Budaya. Yogyakarta: Jalasutra Cheang, Sim Chee. 2008. Indonesian Pre-War Chinese Peranakan Writings as

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 20: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Indonesian „post-colonial‟ Literary Text pada Akademika 74 (Desember) (2008:21-39).

Diano, Saint. 1923. Sinar Boelan di Priangan. Batavia: Drukkerij Sin Po. Eagleton, Terry. 2008. Literary Theory an Introduction. Great Britain: Blackwell Publisher Ltd.

Endaswara, Suardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress. Holman, C. Hugh. 1980. A Handbook of Literature: Fourth Edition. USA: Bobbs-

Merrill Company, Inc. Lan, Nio Joe. 1962. Sastra Indonesia-Tionghoa. Jakarta: Gunung Agung. Liji, Liang. 1987. Sastra Peranakan Tionghoa dan Kehadirannya dalam Sastra Sunda. In: Archipel.

Volume 34. pp. 165-179. Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi

Kebudayaan Sunda. Luxemburg, Jan van, (et al.). 1989. Pengantar Ilmu Susastra (Dick Hartoko,

Penerjemah.). Jakarta: PT Gramedia. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Rachman, Vicky, 2006. Analisis Makna Novel Sirah: Kajian intrinsik dan Ekstrinsik. Depok:

Universitas Indonesia Ricklefs, M. C. 2001. A History of Modern Indonesia since c. 1200 Third Edition. Hampshire:

Palgrave Rosiadi, Ajip. 1988. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir. Jakarta: Haji Masagung.

Salmon, Claudine. 2010. Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa.

Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta:

Galang Press Suryadinata, Leo. 1996. Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia.Jakarta: Grasindo Syafarina, Siti. 2009. Tema Kemanusiaan dalam Lima Cerpen pada Lelaku Kabut dan Boneka Karya

Helvy Tiana Rosa. Depok: Universitas Indonesia. Sykorsky, W.V. 1980. “Some Additional Remarks On The Antecedents Of Mod ern Indonesian

Literature” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 136, 4de Afl. (1980), pp.

498-516.

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013

Page 21: Menelisik Kisah Cinta Perempuan Pribumi dengan Pemuda

Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

Wahyudi, Ibnu. 1988. "Perkembangan Novel Indonesia Sebelum Balai Pustaka” laporan penelitian.

Depok: Unversitas Indonesia.

Watson, C.W. 1971. “ Some Preliminary Remarks On The Antecedents Of Modern Indonesian

Literature” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkun de, Deel 127, 4de Afl. (1971), pp.

417-433.

Wolfreys, Julian, Ruth Hobbins, dan Kenneth Womack. 2006. Key Concepts in

Literary Theory. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Melani

Budianta, Penerjemah.). Jakarta: PT. Gramedia Jakarta

Menelisik kisah..., Andrian Pratama T, FIB UI, 2013