penerapan analisis sistem dalam kajian...

17
PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN EKONOMI UNTUK MENDUKUNG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN I Ketut Ardana ABSTRAK PENDAHULUAN Puslitbang Perkebunan E-mail: .................... Kajian ekonomi pada sektor pertanian sebagaimana kajian pada bidang lainnya, juga berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai metode penelitian telah diterapkan sesuai tujuan dan lingkup kajian. Publikasi hasil penelitian menunjukkan bahwa metode penelitian yang banyak digunakan dalam kajian ekonomi pertanian antara lain: analisis usahatani yang menggunakan perhitungan pendapatan usahatani dan rumah tangga petani, analisis kelayakan usahatani yang menggunakan kriteria investasi NPV, B/C, dan IRR, analisis tataniaga komoditas pertanian dengan fokus distribusi keuntungan antar pelaku tataniaga, optimasi usahatani dengan pendekatan Riset Operasi, analisis keterkaitan antar sektor menggunakan Input Output Analysis, Model Ekonometrik, Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SAM) atau Model Keseimbangan Umum (CGE). Disamping itu, dalam penyusunan rekomendasi kebijakan, dalam penentuan prioritas banyak digunakan metode perbandingan eksponensial (MPE), SWOT, dan analytical hierarchie process (AHP). Sejalan dengan perkembangan Aplikasi Komputer, metode analisis dan penyajian informasi hasil penelitian juga terus berkembang. Di sisi lain penetapan kebijakan sering memerlukan kajian yang komprehensif dalam waktu singkat. Penerapan analisis sistem menggunakan aplikasi komputer dalam kajian ekonomi komoditas perkebunan dapat dijadikan pilihan untuk mengintegrasikan hasil kajian parsial berbagai aspek yang saling terkait. Berbagai skenario yang dapat disimulasikan dalam pemodelan sistem dapat membantu pengambil kebijakan untuk menentukan pilihan strategi pengembangan komoditas perkebunan dan memprediksi dampak dari strategi kebijakan yang diambil terhadap kinerja sistem secara keseluruhan secara cepat. Kata kunci: Komoditas perkebunan, kajian ekonomi, analisis sistem Sejak dicanangkan program pembangunan nasional, baik yang berjangka pendek (tahunan), menengah (lima tahun) maupun panjang (10 - 25 tahun) pada zaman orde baru, hingga saat ini pertanian merupakan sektor penting, karena memberikan kontribusi signifikan baik terhadap PNB maupun penyediaan lapangan kerja. Sejalan dengan penempatannya sebagai prioritas dalam pembangunan nasional, kajian mengenai berbagai aspek dalam sektor pertanian juga mewarnai kajian-kajian untuk 114 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Upload: vanque

Post on 06-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN EKONOMI UNTUK

MENDUKUNG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS

PERKEBUNAN

I Ketut Ardana

ABSTRAK

PENDAHULUAN

Puslitbang Perkebunan

E-mail: ....................

Kajian ekonomi pada sektor pertanian sebagaimana kajian pada bidang lainnya, juga

berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai metode

penelitian telah diterapkan sesuai tujuan dan lingkup kajian. Publikasi hasil penelitian

menunjukkan bahwa metode penelitian yang banyak digunakan dalam kajian ekonomi pertanian

antara lain: analisis usahatani yang menggunakan perhitungan pendapatan usahatani dan rumah

tangga petani, analisis kelayakan usahatani yang menggunakan kriteria investasi NPV, B/C, dan

IRR, analisis tataniaga komoditas pertanian dengan fokus distribusi keuntungan antar pelaku

tataniaga, optimasi usahatani dengan pendekatan Riset Operasi, analisis keterkaitan antar sektor

menggunakan Input Output Analysis, Model Ekonometrik, Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SAM)

atau Model Keseimbangan Umum (CGE). Disamping itu, dalam penyusunan rekomendasi

kebijakan, dalam penentuan prioritas banyak digunakan metode perbandingan eksponensial

(MPE), SWOT, dan analytical hierarchie process (AHP). Sejalan dengan perkembangan Aplikasi

Komputer, metode analisis dan penyajian informasi hasil penelitian juga terus berkembang. Di sisi

lain penetapan kebijakan sering memerlukan kajian yang komprehensif dalam waktu singkat.

Penerapan analisis sistem menggunakan aplikasi komputer dalam kajian ekonomi komoditas

perkebunan dapat dijadikan pilihan untuk mengintegrasikan hasil kajian parsial berbagai aspek

yang saling terkait. Berbagai skenario yang dapat disimulasikan dalam pemodelan sistem dapat

membantu pengambil kebijakan untuk menentukan pilihan strategi pengembangan komoditas

perkebunan dan memprediksi dampak dari strategi kebijakan yang diambil terhadap kinerja

sistem secara keseluruhan secara cepat.

Kata kunci: Komoditas perkebunan, kajian ekonomi, analisis sistem

Sejak dicanangkan program pembangunan nasional, baik yang berjangka pendek

(tahunan), menengah (lima tahun) maupun panjang (10 - 25 tahun) pada zaman orde

baru, hingga saat ini pertanian merupakan sektor penting, karena memberikan

kontribusi signifikan baik terhadap PNB maupun penyediaan lapangan kerja. Sejalan

dengan penempatannya sebagai prioritas dalam pembangunan nasional, kajian

mengenai berbagai aspek dalam sektor pertanian juga mewarnai kajian-kajian untuk

114 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 2: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

dilakukan secara berkala baik dilingkungan Badan Litbang pertanian maupun

Perguruan Tinggi. Departemen Pertanian bahkan mendirikan Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi Pertanian untuk melaksanakan tugas dan fungsi penelitian dibidang sosial

ekonomi pada sektor pertanian.

Kajian ekonomi pertanian sebagaimana kajian pada bidang lainnya, juga

berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai

metode penelitian telah diterapkan sesuai tujuan dan lingkup kajian. Publikasi hasil

penelitian menunjukkan bahwa metode penelitian yang banyak digunakan dalam kajian

ekonomi pertanian antara lain: analisis usahatani yang menggunakan perhitungan

pendapatan usahatani dan rumah tangga petani, analisis kelayakan usahatani yang

menggunakan kriteria investasi NPV, B/C, dan IRR, analisis tataniaga komoditas

pertanian dengan fokus distribusi keuntungan antar pelaku tataniaga, optimasi

usahatani dengan pendekatan Riset Operasi, analisis keterkaitan antar sektor

menggunakan Input Output Analysis, Model Ekonometrik, Sistem Neraca Sosial

Ekonomi (SAM) atau Model Keseimbangan Umum (CGE). Disamping itu, dalam

penyusunan rekomendasi kebijakan, dalam penentuan prioritas banyak digunakan

metode perbandingan eksponensial (MPE) dan analytical hierarchie process (AHP).

Dari penelusuran publikasi hasil kajian, dapat dikemukakan bahwa sebagian besar

kajian bersifat parsial berdasarkan kelompok produk dan pelaku usahatani, dan sebagian

lainnya menggunakan pendekatan sistem.

Sejalan dengan perkembangan Aplikasi Komputer, metode analisis dan penyajian

informasi hasil penelitian juga terus berkembang. Di sisi lain penetapan kebijakan sering

memerlukan kajian yang komprehensif dalam waktu singkat. Dalam upaya mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menyajikan hasil kajian sesuai

kebutuhan pengambil kebijakan, maka penerapan analisis sistem dalam kajian ekonomi

komoditas perkebunan perlu dikembangkan. Dalam makalah ini disajikan studi kasus

penerapan analisis sistem yang mencerminkan tahapan analisis sistem untuk menyusun

rekomendasi kebijakan pengembangan komoditas perkebunan. Penyajian makalah

diawali dengan beberapa hasil kajian parsial usahatani komoditas perkebunan yang telah

dilakukan penulis baik secara sendiri maupun bersama peneliti lain sebagai pembanding

terhadap hasil kajian menggunakan analisis sistem.

Kajian parsial usahatani komoditas pertanian, termasuk juga komoditas

perkebunan, biasanya diawali dengan perumusan masalah yang menyebabkan

komoditas yang bersangkutan tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan, atau

justifikasi kenapa suatu komoditas perlu dikembangkan di suatu wilayah. Hasil kajian

seperti ini biasanya berupa kesimpulan tentang potensi, kendala dan kelayakan finansial

KAJIAN PARSIAL USAHATANI KOMODITAS PERKEBUNAN

115Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 3: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

usahatani. Beberapa hasil penelitian yang mencerminkan kajian parsial usahatani

komoditas perkebunan sebagai berikut:

1. Hasil penelitian Androecia D., I Ketut Ardana dan R. Jundariatin (1990) tentang

efisiensi usahatani kelapa menyimpulkan bahwa kontribusi usahatani kelapa

terhadap pendapatan petani dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efisiensi

penggunaan faktor produksi lahan dan tenaga kerja.

2. Hasil penelitian Mamat H.S dan I Ketut Ardana (1992) tentang usahatani pada

pertanaman cengkeh rakyat di Jawa Timur menyimpulkan bahwa 93% petani

mengusahakan cengkeh secara polikultur. Penerapan pola polikultur dijadikan solusi

untuk memperoleh tambahan dan kontinuitas pendapatan sebagai antisipasi

terhadap terjadinya fluktuasi hasil dan fluktuasi harga cengkeh.

3. Penelitian I Ketut Ardana dan S.R. Sigarlaki (1994) tentang manfaat pembuatan gula

kelapa di Propinsi Bengkulu menyimpulkan bahwa pendapatan usaha pembuatan

gula kelapa di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan masing-masing Rp

3.097.500/ha/th dan Rp 1.982.000/ha/th dengan R/C masing-masing 1,85 dan 1,67.

4. I Ketut Ardana (1994) meneliti tentang profit margin dan kelayakan usahatani jahe

dan kedelai pada lorong tanaman kopi muda di propinsi Bengkulu, menyimpulkan

bahwa penerapan budidaya lorong tanaman kopi dengan tanaman sela jahe layak

secara finansial berdasarkan kriteria NPV, B/C dan IRR.

5. Hasil penelitian Wahyudi A., S. Wulandari dan I Ketut Ardana (2005) menyatakan

bahwa efektivitas penambahan lahan usahatani mete dalam meningkatkan

pendapatan petani di dua daerah sentra produksi, yakni Kabupaten Buton dan

Kendari memiliki perilaku yang berbeda. Di kabupaten Buton efek penambahan

lahan akan mulai memberikan pengaruh positif bila penambahannya lebih dari 4,6 ha

untuk setiap rumah tangga. Sedangkan di Kendari sudah memberikan pengaruh

positif pada penambahan 0,6 ha. Perbedaan efek tersebut karena kedua daerah

memiliki karakteristik agribisnis berbeda, terutama dalam hal pola tanam yang

diterapkan.

6. Hasil penelitian I Ketut Ardana dkk (2008) tentang pengembangan usahatani jarak

pagar mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida menyimpulkan bahwa

karakteristik lahan dan iklim di wilayah Nusa Penida termasuk ke dalam kriteria

sesuai (S-2) untuk pengembangan tanaman jarak pagar dengan faktor pembatas

ketersediaan air pada musim kemarau, sehingga waktu panen hanya berlangsung

hanya 5 bulan/th. Faktor penentu keberhasilan pengembangan jarak pagar di daerah

tersebut adalah harga biji jarak di tingkat petani.

116 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 4: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

ANALISIS SISTEM PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN

Sistem didefinisikan sebagai kumpulan elemen yang saling terkait dan terintegrasi

untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu analisis sistem memiliki tiga ciri utama,

yaitu berorientasi tujuan ( ), menyeluruh ( ), dan efektif. Dalam

merepresentasikan sistem yang sesungguhnya, dalam analisis sistem dilakukan

pemodelan sistem ( ). Untuk menggambarkan sistem yang kompleks

(terdiri atas banyak elemen yang saling terkait) biasanya dilakukan pengelompokan

elemen ke dalam subsistem-subsistem (Muhammadi ., 2001; Ortiz 2005;

Refsgaard, C.J. and H. J. Henriksen, 2002; Tasrif, M dan T. Avianto, 2004 ). Tahapan

pemikiran dan alur analisis ditunjukkan pada Gambar 1 (Kusnadi , 2006).

Cybernetic holistic

System Modelling

et al

et al

et al.,

.

Basis Data Basis Pengetahuan

Identifikasi Sistem

Pengembangan Model

Simulasi

Identifikasi Skenario

Pengembangan

Formulasi

Opsi Kebijakan

Gambar 1. Alur tahapan analisis

117Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 5: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

Sebagai contoh penerapan analisis sistem, berikut ini disajikan hasil kajian sistem

agribisnis lada untuk penyusunan rekomendasi kebijakan pengembangan agribisnis

lada.

Pembahasan sistem agribisnis lada dibagi menjadi beberapa sub sistem yaitu sub

sistem pengadaan input, sub sistem usahatani lada, sub sistem pengolahan lada, sub

sistem pemasaran lada, dan sub sistem kelembagaan dan kebijakan lada. Berikut adalah

uraian untuk setiap sub sistem tersebut (Kusnadi , 2006).

Kegiatan pada subsistem ini terdiri dari kegiatan penghasil bibit, benih, pupuk,

obat-obatan, peralatan pertanian bagi pengembangan lada. Fungsi subsistem ini adalah

memproduksi dan memasok kebutuhan input yang akan digunakan dalam subsistem

berikutnya, yaitu subsistem produksi primer. Produktivitas lada di Indonesia saat ini

lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produktivitas lada di negara lain.

Faktor produksi yang dimiliki dalam upaya pengembangan industri lada di

Indonesia terdiri dari faktor kondisi dasar ketersediaan benih, (2) ketersediaan lahan

dengan persyataran klimatisasi yang sesuai sehingga mendatangkan ketersediaan bahan

baku, (2) ketersediaan tenaga kerja, (3) ketersediaan kapital. Sedangkan faktor kondisi

lanjutan terdiri dari: (1) Ketersediaan teknologi, (2) Kapabilitas pelaku sebagai akumulasi

pengalaman, dan (3) ketersediaan infrastruktur.

Pada saat ini, telah dilepas tujuh varietas lada, yaitu Petaling 1. Petaling 2, Natar 1,

Natar 2, Cunuk RS, Lampung Daun Kecil RS, dan Bengkayang LU. Masing-masing

varietas mempunyai keunggulannya sendiri sehingga dalam pengembangannya

disesuaikan dengan kondisi lahan dan iklim wilayahnya. Pada umumnya petani di

Bangka-Belitung menanam lada jenis Lampung Daun Lebar, Lampung Daun Kecil dan

Cunuk, sedangkan di Lampung banyak ditanam jenis Belantung sedang di Kalimantan

ditanam varietas Bengkayang.

Penggunaan bibit asalan terjadi pada petani lada. Sebagian besar petani

menggunakan sulur gantung jenis lada lokal dan sebagian lagi menggunakan jenis

belantung, yang berasal dari kebun sendiri atau membeli dari teman dan merasa yakin

bahwa dari sekian jenis lada lokal, jenis belantung merupakan jenis yang paling toleran

terhadap penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Bahkan petani yang terlibat Prima Tani

pun belum mempercayai 100% bahwa varietas Natar 1** yang telah dilepas dapat

berproduksi tinggi dan tahan terhadap BPB, walaupun di desa binaan Prima Tani yaitu

Desa Sukamarga, Kecamatan Abung Tinggi telah dibina kelompok petani penangkar

benih lada Natar 1 .

3.1. Sistem agribisnis lada

3.1.1. Subsistem pengadaan input lada

: (1)

et al.

**

118 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 6: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

3.1.2. Subsistem usahatani lada

Terdapat berbagai cara dalam pelaksanaan budidaya lada. Di Bangka, lada

diusahakan dalam bentuk budidaya yaitu (1) budidaya tiang panjat mati, (2) budidaya

tiang panjat hidup, dan (3) budidaya lada perdu. Budidaya tiang panjat mati sebagian

besar (98,4%) diusahakan dipropinsi Bangka Belitung (Elizabeth, 2005). Budidaya tiang

panjat mati disebut budidaya intensif, karena menggunakan tiang panjat kayu yang

bermutu tinggi serta menggunakan pupuk dan pestisida dosis tinggi sehingga biaya

produksi lebih tinggi dibandingkan dengan tiang panjat hidup. Namun demikian masa

produksi lada tiang panjat mati hanya 3 tahun, dengan produktivitas optimum minimal 1

ton/ha. Dengan harga tiang panjat mati yang makin mahal (sekarang mecapai Rp.

10.000/batang), maka petani mulai mencari tiang panjat yang lebih murah tetapi bagus

dengan harga Rp. 4.000/batang.

Petani umumnya petani sudah mengerti cara budidaya lada, karena sifatnya yang

turun temurun. Namun dosis pupuk digunakan disesuaikan dengan modal yang

dipunyai,kadangkadang dosisnya penuh kadang-kadang hanya sebagian. Sebagian

besar petani menggunakan tenaga kerja keluarga kecuali panen. Mulai dari tanam,

pemupukan, pengendalian hama, penyiangan dan penyulaman dilaksanakan bersama

istri, anak dan menantu. Usahatani lada belum mendapat dukungan atau ada lembaga

keuangan yang membantu dalam pendanaan usaha tani nya.

Sedangkan di Propinsi Lampung, lada diusahakan dalam 3 bentuk budidaya yaitu:

(1) budidaya tiang panjat mati, (2) budidaya tiang panjat hidup dan (3) budidaya lada

perdu. Di Lampung petani menggunakan tiang panjat hidup. Tiang panjat hidup yang

umumnya digunakan adalah pohon dadap ( Erytrina fusca Laur), gamal ( Gliricidia

maculata) dan kapok (Ceiba pentandra). Tiang panjat ini memerlukan pemangkasan tiga

kali setahun, tapi umumnya hanya dilakukan dua kali setahun untuk mengantisipasi

adanya musim kemarau panjang. Meskipun tanaman lada membutuhkan pupuk N, P,

dan K 3 ton/tahun dan sudah tersedia di kios-kios pupuk tingkat desa, namun sebagian

besar petani tidak menggunakan pupuk N,P,K akibat tidak mempunyai modal yang

cukup. Beberapa petani menggunakan pupuk NPK namun dosisnya sangat rendah.

Analisis usahatani lada menunjukkan bahwa, sebenarnya menguntungkan seperti yang

pernah dihitung oleh Nurasa dan Supriatna, (2005). Namun karena petani kurang dapat

merawat tanamannya (kurang modal) dan adanya serangan penyakit BPB produktivitas

menjadi menurun.

Berdasarkan data penyebaran areal lada di Indonesia, 60% dari areal lada tersebut

berada di Lampung dan Bangka-Belitung. Apabila digabung dengan Sulawesi Selatan,

Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, proporsi luas arealnya menjadi 79% dari total

lada Indonesia. Dengan demikian, sisanya sebesar 21% nya berasal dari provinsi lainnya

(Ditjen Perkebunan, 2006).

Perkembangan produksi lada meningkat tajam dari tahun 1980 sebesar 36.626 ton

menjadi 69.899 ton tahun 1990 (9,08% rata- rata per tahun). Namun, selama satu dekade

119Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 7: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

berikutnya produksi berfluktuasi dan relatif stagnan. Selama periode 2001 - 2005 terjadi

peningkatan produksi lada rata-rata 4,5% per tahun. Dari sisi produktivitas,

perkembangan dari tahun ke tahun berfluktuasi dan berkisar antara 0,801 ton/ha sampai

dengan 0,839 ton/ha. Hasil ini masih di bawah potensi varietas tanaman lada yang

ditanam yaitu dapat mencapai 2 - 3 ton/ha.

Dari sisi tenaga kerja, tenaga kerja yang diperlukan dalam industri lada tersedia

secara memadai dengan sebaran yang merata, namun demikian terdapat perbedaan

upah pada beberapa wilayah. Perbankan sebagai lembaga bagi percepatan

pembangunan sektor riil memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap

pengembangan industri berbasis komoditas potensial lokal. Pada sisi implementasi,

teknologi yang dibutuhkan telah tersedia dengan dukungan berbagai lembaga penelitian

dalam proses pengembangannya. Selain itu kapabilitas pelaku realtif tinggi sebagai

akumulasi pengalaman. Dari sisi infrastruktur, diketahui bahwa telah tersedia berbagai

dukungan fasilitas fisik oleh pemerintah daerah pada berbagai tempat.

Pengolahan hasil lada putih masih sangat tradisional. Pengolahan secara

tradisional memerlukan waktu yang cukup lama, air yang bersih dan tenaga yang

banyak. Buah lada dirontokkan dengan cara diinjak atau menggunakan tangan,

kemudian direndam dengan menggunakan air kolong selama 10 - 14 hari, kualitas air

yang kurang memadai menyebabkan aroma khas lada putih kurang tajam dan masih

mengandung lada hitam. Mutu lada putih yang dihasilkan ditingkat petani cenderung

rendah dan tidak memenuhi syarat negara importir. Hal ini menyebabkan harga lada

putih yang baik dengan lada putih yang tercampur lada hitam berbeda Rp. 1.000/kg.

Untuk meningkatkan nilai ekonomi dan daya saing lada Indonesia di pasar dunia perlu

dilakukan perbaikan pengolahan dan penerapan sistem manajemen mutu di tingkat

petani. Apabila petani lada dapat melakukan usahataninya secara berkelompok,

perendaman dengan air bersih dapat dilakukan dengan membuat bak-bak perendaman

dengan air yang mengalir yang dapat bertahan selama beberapa tahun.

Di Propinsi Lampung, pengolahan lada lebih bervariatif diantaranya dijadikan

lada hitam, lada putih, lada hijau, lada bubuk, minyak lada dan Oleoresin lada, dengan

produk utama (lada hitam dan putih) serta produk samping (lada enteng, menir dan

debu). Hampir semua petani di Lampung menjual lada dalam bentuk lada hitam, buah

lada dipanen dengan menggunakan tenaga kerja luar dengan upah yang sangat

bervariasi yaitu dengan upah harian atau bagian dari hasil panen lada yaitu Rp. 500-

Rp800, per 1 kg hasil atau sekitar 30 HOK per hektar atau untuk menghasilkan 1 ton

kering lada diperlukan 5 orang selama 30 hari mulai dari panen sampai lada siap jual.

Produk yang dikembangkan dari lada dibagi dalam tiga kelompok yakni lada

hitam, lada putih dan lada hijau. Lada yang diperoleh dari sisa hasil sortasi, dapat

dimanfaatkan menjadi produk lain berupa minyak lada dan oleoresin.

3.1.3. Subsistem pengolahan hasil lada

120 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 8: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

3.1.4. Subsistem pemasaran lada

3.2. Model kelembagaan perbenihan lada indonesia

Rantai pemasaran lada di Indonesia cukup efisien. Bagian harga yang diterima

petani mencapai 84,85% (Nurasa dan Supriatna, 2005). Petani menjual lada putih ke

pedagang desa, pedagang desa ke pedagang kabupaten, dari pedagang kabupaten ke

eksportir. Dari pedagang desa diperoleh informasi bahwa lada putih dari petani dibeli

dengan harga Rp.38.000/kg. Kalau mutunya kurang baik hanya dibeli dengan harga Rp.

37.000/kg. Kemudian secara keseluruhan dijual ke pedagang besar di kabupaten dengan

harga Rp. 38.250/kg. Disebutkan bahwa dari rata-rata 40.000 ton ekspor per tahun, pada

tahun 2006 hanya dapat mengekspor 7.000 - 8.000 ton. Disebutkan bahwa saat ini lada

putih Indonesia hanya mencapai kedudukan nomor 4, yang sebelumnya sempat menjadi

eksportir kedua.

Di Propinsi Lampung, petani menjual lada hitam ke pedagang pengumpul di desa,

kemudian pedagang mengumpul menjual ke pedagang besar sebelum ke eksportir.

Keuntungan yang diterima pedagang pengumpul maksimal Rp.1.000/kg. Begitu pula

dipedagang besar di pasar Kabupaten , karena persaingan antara pedagang besar di

pasar kabupaten sangat ketat untuk dapat membeli lada petani dengan harga tinggi.

Dilihat dari margin keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul maupun

pedagang besar, bagian harga yang diterima petani cukup besar yaitu lebih dari 85%.

Harga lada ditentukan oleh informasi yang diterima oleh pedagang besar dari

eksportir dan harga ini dikontrol hampir setiap waktu oleh eksportir berdasarkan harga

luar negeri. Pada saat survei berlangsung harga yang dicapai Rp. 30.000/kg lada hitam

kering.

Masalah yang ditemui dalam rantai tataniaga adalah pedagang pengumpul selalu

berusaha untuk mencampur produk petani yang sudah baik dengan lada asalan atau

campuran lain yang memang khusus dibeli dengan harga murah. Ditingkat eksportir

bagian yang baik dan bagian pencampur dipisah lagi, bagian produk yang bermutu

tinggi diekspor, sedang bagian yang jelek dijual lagi ke pedagang besar untuk djual

kepedagang pengumpul dangan harga murah.

Kelembagaan bibit lada menyangkut banyak pihak yang menentukan kinerja

lembaga secara keseluruhan. Antara satu lembaga dengan lembaga lainnya saling terkait

dalam bentuk keterkaitan sosial ekonomi. Keterkaitan antara lembaga dan faktor-faktor

bibit lada tersebut dinyatakan dalam bentuk diagram saling ketergantungan (causal loop

diagram) seperti terlihat pada Gambar 2. Semua loop dalam model tersebut terjadi dalam

bentuk positif (reinforcing) yang dinyatakan dalam lambang R. Pada model ini terdapat

lima buah loop yang bersifat reinforcing.

Loop R1 menggambarkan permintaan benih lada bermutu, minat penangkar

benih, akses permodalan, produksi benih sebar, efektivitas BPPMB, minat petani

menanam lada dan adopsi benih bermutu. Pada loop ini jika misalnya terjadi

121Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 9: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

peningkatan minat petani dalam menanam lada, mengingat keterbatasan sumber benih

sendiri yang dimiliki petani, petani akan terdorong untuk mengadopsi benih lada.

Meningkatnya adopsi benih lada akan meningkatkan permintaan terhadap benih lada

bermutu. Peningkatan permintaan terhadap benih lada bermutu tersebut didukung

dengan akses permodalan yang semakin mudah akan mendorong tumbuhnya industri

penangkar benih lada yang akan dapat menghasilkan benih sebar dalam jumlah yang

semakin besar yang penyalurannya sangat ditentukan oleh efektivitas BPPMB. Di sini

terjadi loop yang menghasilkan peningkatan terus menerus karena adanya mekanisme

saling menguatkan antara variabel yang satu dengan yang lain. Sebaliknya jika terjadi

penurunan di salah satu variabel, maka pada loop ini akan terjadi penurunan yang saling

menekan. Misalnya, jika minat petani untuk menanam lada menurun, maka pada

akhirnya produksi benih sebar pun akan menurun akibat tidak termotivasinya para

penangkar benih untuk berproduksi. Jika pada faktanya industri penangkar benih lada

tidak berkembang atau menurun, maka penyebabnya dapat ditelusuri dari variabel-

variabel yang terdapat pada loop ini.

Gambar 2. Causal loop diagram peran lembaga pembenihan lada

122 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 10: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

Loop R2 merupakan pengembangan dari loop R1. Pada loop ini ditambahkan

variabel intensitas penelitian dan mutu benih. Loop ini menggambarkan bahwa minat

penangkar benih lada untuk menghasilkan benih lada bermutu juga sangat tergantung

pada ketersediaan benih sumber yang bermutu. Mutu benih sumber itu sendiri sangat

tergantung pada intensitas penelitian lada.

Perkembangan industri penangkar benih lada bermutu juga dapat dikaitkan

dengan berbagai variabel lain seperti yang dapat dilihat dalam loop R3. Pada loop yang

menggambarkan peran ekspor lada tersebut dapat dilihat bahwa minat penangkar benih

untuk memproduksi benih lada bermutu selain dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas

juga berhubungan dengan peningkatan luas areal perkebunan lada. Secara logis,

peningkatan areal perkebunan lada ini akan meningkatkan produksi lada nasional

sehingga memungkinkan peningkatan ekspor lada. Peningkatan ekspor itu sendiri juga

dapat distimulir oleh meningkatnya harga Lada FOB yang dipicu oleh peningkatan

permintaan impor lada. Peningkatan ekspor tersebut akan meningkatkan peran industri

lada dalam perekonomian nasional. Sampai saat ini peran pasar lada ekspor dalam

membentuk kinerja industri lada Indonesia, masih jauh lebih besar dibanding pasar

dalam negeri. Mengingat pentingnya peran lada tersebut dalam perekonomian nasional

maka dapat menstimulir peningkatan perhatian pemerintah yang terwujud dalam

bentuk pengalokasian dana untuk pengembangan lada. Peningkatan anggaran lada

tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan intensitas penelitian untuk memperbaiki

benih sumber maupun teknologi budidaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa loop R3

menggambarkan perbaikan kinerja industri perbenihan lada melalui alokasi dana

pemerintah yang direspons dengan perbaikan teknologi budidaya (benih maupun proses

budidaya). Sebaliknya, seperti halnya loop R1 maupun R2, jika salah satu variabel terkait

tersebut mengalami penurunan, maka kinerja industri lada umumnya akan cenderung

turun.

Selanjutnya diperlihatkan Loop R4 yang menggambarkan keterkaitan antara

permintaan benih bermutu dengan efektivitas penyuluhan. Penyuluhan yang efektif

akan dapat meningkatkan motivasi petani untuk menanam lada sehingga permintaan

terhadap benih bermutu akan meningkat. Secara logis, peningkatan permintaan benih

bermutu tersebut akan membutuhkan areal perkebunan yang semakin luas.

Bertambahnya areal perkebunan akan meningkatkan produksi lada yang dapat berakibat

pada meningkatnya penerimaan petani dari lada. Penerimaan petani pun akan semakin

meningkat jika harga lada domestik meningkat karena meningkatnya harga FOB lada

akibat kenaikan permintaan impor. Meningkatnya share penerimaan lada terhadap total

penerimaan petani tersebut akan memotivasi petani untuk beralih ke menanam lada

daripada menanam komoditi lain atau melakukan usaha yang lain.

Kinerja lada dari sisi petani sangat erat kaitannya dengan kehadiran “pesaing”

lada, yaitu sumber penerimaan rumahtangga selain lada. Hal diperlihatkan pada loop R5

yang kembali bersifat reinforcing dan mengarah pada penguatan. Meningkatnya minat

petani untuk menanam lada akan berakibat pada menurunnya alokasi lahan untuk

123Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 11: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

penggunaan non lada. Hal ini akan berakibat penerimaan petani dari usaha non lada

menurun. Penurunan tersebut akan meningkatkan share penerimaan lada terhadap total

penerimaan petani meningkat yang dapat memicu peningkatan minat petani untuk

menanam lada dan mengurangi penanaman non lada, demikian seterusnya.

Causal loop diagram yang diuraikan di atas merupakan kerangka dasar untuk

membangun model system dynamics kelembagaan pembenihan lada Indonesia. Model

system dynamics memanfaatkan sejumlah variabel yang telah dibahas di atas dengan

mempertimbangkan focus pengembangan kelembagaan perbenihan lada berdasarkan

analisis ISM yang telah dilakukan sebelumnya.

Berdasarkan hasil analisis terhadap kendala-kendala yang dihadapi dalam

pengembangan kelembagaan perbenihan lada, keterbatasan benih sumber, keterbatasan

anggaran untuk inventarisasi penangkar dan kebun benih serta keterbatasan modal

penangkar terkait dengan rendahnya akses permodalan, penyusunan model

pengembangan kelembagaan perbenihan lada Indonesia difokuskan pada

pengembangan kelembagaan benih yang memungkinkan peningkatan daya saing lada di

dunia internasional melalui pengurangan biaya produksi lada dengan penerapan benih

bermutu. Seperti dapat dilihat pada struktur model (Gambar 3).

area

ekstensifikasi

area lahan

rehabilitasi

permintaan

potensial

benih sebar

Pertumbuhan

area

intensifikasi

areal lada

awal

produksi benih

sebar

permintaan

efektif

benih sebar

laju pertumbuhan

produksi benih

sumber 1

area lahan

intensifikasiPengurangan

area konservatif

krn intensifikasi

laju intensifikasi

lahan

Produksi Lada

Nasional

area

lada

intensifikasi

peningkatan

produktivitas

laju produktivitas

laju penambahan

area benih unggul

pengurangan area

konservatif krn rehabilitasi

area lahan

rehabilitasi

pertumbuhan

area

rehabilitasi

laju rehabilitasi

lahan

laju

ekstensifikasi

delay pertumbuhan

benih sumber

kebutuhan benih

ekstensifikasi

produktivitas

nasional

produktivitas awal

kebutuhan benih

rehabilitasi kebutuhan benih

intensifikasirataan

populasi

luas lahan

totalarea

ekstensifikasi

luas lahan

total

Area

Benih Unggularea

lada

intensifikasi

area lahan

rehabilitasi

produksi awal

benih sumber

biaya produksi

per ha

produksi

benih sumber

pertumbuhan

produksi benih

sumber

biaya produksi

per kg

kebutuhan

anggaran

harga benih

subsidi benihArea

Benih Unggul

biaya pendampingan

satuan area

pendampingan

biaya satuan

pendampingan

subsidi biaya

input lain

paket subsidi

input lain

Gambar 3. Struktur model pengembangan kelembagaan perbenihan lada

124 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 12: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

Model kelembagaan perbenihan lada dibangun berdasarkan keterkaitan antara (1)

sistem pengembangan areal produksi lada, (2) sistem produksi dan distribusi benih lada,

(3) sistem pengembangan daya saing lada, (4) sistem perencanaan anggaran

pengembangan benih lada dan operasional adopsi benih di tingkat petani.

Sistem pengembangan areal produksi lada memanfaatkan kebijakan

ekstensifikasi, intensifikasi maupun rehabilitasi lahan produksi lada. Berdasarkan

model di atas, dengan target laju intensifikasi untuk meningkatkan produksi mencapai

20% dari total lahan lada seluas area sebesar 150.000 ha, maka pada tahun 2014 luas lahan

yang direhabilitasi akan mencapai 126.398 ha. Dengan laju rehabilitasi sebesar 15% per

tahun, luas lahan yang drehabilitasi pada akhir tahun 2014 diperkirakan akan mencapai

94.798 ha. Luas area ekstensifikasi akan mencapai 117.738 ha pada tahun 2014 dengan

tingkat laju penambahan area sebesar 5% pertahun (Tabel 1).

Tabel 1. Luas area produksi lada tahun 2010-2019

Tahun Area Intensifikasi Area RehabilitasiArea

Ekstensifikasi

Area Lada

Total

2010 30,000.00 22,500.00 7,500.00 157,500.00

2011 26,287.16 19,715.37 15,140.63 165,140.63

2012 21,938.16 16,453.62 23,157.42 173,157.42

2013 24,190.95 18,143.22 31,563.28 181,563.28

2014 23,982.16 17,986.62 40,377.21 190,377.21

2015 23,678.83 17,759.12 49,619.00 199,619.00

2016 23,860.52 17,895.39 59,309.44 209,309.44

2017 23,834.71 17,876.03 69,470.29 219,470.29

2018 23,811.48 17,858.61 80,124.39 230,124.39

2019 23,826.83 17,870.13 91,295.70 241,295.70

Peningkatan luas area produksi lada akan berakibat pada meningkatnya

kebutuhan benih sebar lada. Sistem produksi benih lada terdiri atas sistem produksi

benih sumber dan sistem produksi benih sebar. Sistem produksi benih sumber

dilaksanakan oleh Balai Penelitian yang melepas varietas unggul sebagai sumber

perbanyakan benih untuk produksi benih sebar. Diperkirakan dalam kurun waktu 5

tahun mendatang, hasil penelitian memungkinkan tingkat produksi dengan laju

pertumbuhan produksi benih sumber sebesar lima persen per tahun. Sehingga pada

tahun 2014 nanti produksi benih sumber mencapai 1.500.000 batang. Dengan potensi

produksi 14 batang benih sebar per batang benih sumber maka potensi produksi benih

sebar mencapai 21 juta batang Tabel 2.

Namun pada tingkat produksi tersebut, permintaan potensial benih sebar belum

dapat dipenuhi 100 persen. Pada luas lahan total sebesar 190.377 ha pada tahun 2014,

diperkirakan akan dibutuhkan benih sebar sebanyak 33.508.415 batang, sementara

125Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 13: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

kemampuan memproduksi benih hanya sebesar 21.000.000. Artinya berdasarkan model

yang ada, potensi penangkar hanya mampu memenuhi 37% dari total kebutuhan benih

sebar.

Tabel 2. Produksi benih sumber, benih sebar dan permintaan potensial benih sebar

Tahun Produksi Benih Sumber Produksi Benih SebarPermintaan Potensial

Benih Sebar

2010 1,100,000.00 15,400,000.00 33,178,243.95

2011 1,200,000.00 16,800,000.00 30,120,500.84

2012 1,300,000.00 18,200,000.00 32,494,687.92

2013 1,400,000.00 19,600,000.00 33,020,760.09

2014 1,500,000.00 21,000,000.00 33,508,414.79

2015 1,600,000.00 22,400,000.00 34,399,552.85

2016 1,700,000.00 23,800,000.00 35,169,541.78

2017 1,800,000.00 25,200,000 .00 35,979,824.96

2018 1,900,000.00 26,600,000.00 36,859,620.80

2019 2,000,000.00 28,000,000.00 37,767,968.00

Sistem produksi benih sebar pada umumnya belum secara baik dapat beroperasi

mengingat lembaga-lembaga penangkaran sebagai pelaksananya baru terbentuk di satu

daerah yaitu di Lampung. Sedangkan di daerah lain, seperti Bangka, Kalimantan Timur,

dan Kalimantan Barat, lembaga penangkar belum terbentuk. Lembaga penangkar belum

berkembang dengan baik di beberapa daerah tersebut karena belum ada pasar. Petani

lebih banyak menggunakan benih hasil produksi sendiri, sehingga permintaan terhadap

benih belum berkembang.

Jika dilihat dari luas area lada yang menggunakan benih unggul sebagai hasil

program ekstensifikasi, rehabilitasi dan intensifikasi, kontribusi adopsi benih unggul

sangat signifikan dalam peningkatan produktivitas lada. Diperkirakan melalui ketiga

program di atas, maka produktivitas nasional dapat mencapai lebih dari 1 ton/ha/tahun

dalam waktu 4 -5 tahun (40% peningkatannya). Hal ini mampu meningkatkan daya saing

lada di pasar internasional karena biaya produksi lada rata-rata per kg dapat berkurang

sebesar 29%, dari Rp 18.000/kg hingga Rp 12.867/kg dalam waktu lima tahun (Tabel 3).

126 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 14: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

Tabel 3. Produktivitas dan biaya produksi lada nasional pada kondisi laju ekstensifikasi

5%, laju rehabilitasi 15% dan laju intensifikasi 20%

Total Luas Area Produksi ProduktivitasBiaya

produksi/kg

2010 157,500.00 118,240,312.50 816.00 17,156.86

2011 165,140.63 134,963,033.20 884.00 15,837.10

2012 173,157.42 152,944,984.50 952.00 14,705.88

2013 181,563.28 172,356,615.45 1,020.00 13,725.49

2014 190,377.21 193,292,443.85 1,088.00 12,867.65

2015 199,619.00 215,854,744.92 1,156.00 12,110.73

2016 209,309.44 240,152,094.06 1,224.00 11,437.91

2017 219,470.29 266,299,775.96 1,292.00 10,835.91

2018 230,124.39 294,420,179.37 1,360.00 10,294.12

2019 241,295.70 324,643,215.27 1,428.00 9,803.92

Peningkatan daya saing tersebut dapat dicapai dengan penyediaan anggaran

sekisar 1,5 trilyun rupiah dalam kurun waktu 5 tahun mendatang (Tabel 4). Penyerapan

anggaran dialokasikan baik untuk subsidi benih, input lain maupun biaya

pendampingan selama 5 tahun. Pengalokasian anggaran didasarkan pada kondisi saat

ini dimana biaya overhead mencapai 15%, biaya tenaga kerja 50% dan 35% biaya input

lain. Biaya pendampingan diberikan dalam bentuk bantuan modal untuk penangkar,

maupun pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas penangkar.

Tabel 4. Kebutuhan anggaran dan subsidi pengembangan lada indonesia

Tahun Subsidi Benih Subsidi Input Lain Biaya Pendampingan Kebutuhan Anggaran

2010 50,837,500,000.00 42,865,026,855.47 14,288,342,285.16 107,990,869,140.63

2011 55,737,500,000.00 116,298,963,771.83 38,766,321,257.28 210,802,785,029.11

2012 60,637,500, 000.00 188,140,009,223.21 62,713,336,407.74 311,490,845,630.95

2013 65,537,500,000.00 264,096,598,858.05 88,032,199,619.35 417,666,298,477.40

2014 70,437,500,000.00 339,376,725,050.86 113,125,575,016.95 522,939,800,067.82

2015 75,337,500,000.00 415,187,934,783.85 138,395,978,261.28 628,921,413,045.13

2016 80,237,500,000.00 491,938,140,851.76 163,979,380,283.92 736,155,021,135.69

2017 85,137,500,000.00 569,262,023,461.03 189,754,007,820.34 844,153,531,281.38

2018 90,037,500,000.00 647,300,527,807.80 215,766,842,602.60 953,104,870,410.40

2019 94,937,500,000.00 726,114,965,972.89 242,038,321,990.96 1,063,090,787,963.85

127Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 15: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

Namun jika laju ekstensifikasi, rehabilitasi dan intensifikasi meningkat sebesar

lima persen, anggaran pengembangan lada akan meningkat menjadi 2 trilyun rupiah

sebagaimana bisa dilihat dalam Tabel 5 di bawah ini. Peningkatan lebih dari setengah

trilyun tersebut memiliki kontribusi yang cukup besar dalam peningkatan daya saing

karena dapat menekan biaya produksi hingga Rp 8.900 per kilogram dalam lima tahun.

Namun perlu dipertimbangkan ketersediaan lahan potensial jika target laju perluasan

lahan tersebut diterapkan.

Tabel 5. Kebutuhan anggaran dan besaran subsidi pada kenaikan laju ekstensifikasi

rehabilitasi, dan intensifikasi sebesar 5%

Tahun Subsidi BenihSubsidi Input

Lain

Biaya

PendampinganKebutuhan Anggaran

2010 50,837,500,000 54,438,684,082 18,146,228,027 123,422,412,109

2011 55,737,500,000 151,894,056,047 50,631,352,015 258,262,908,063

2012 60,637,500,000 249,903,405,315 83,301,135,105 393,842,040,421

2013 65,537,500,000 356,244,849,102 118,748,283,034 540,530,632,137

2014 70,437,500,000 461,914,761,859 153,971,587,286 686,323,849,146

2015 75,337,500,000 570,629,754,050 190,209,918,016 836,177,172,067

2016 80,237,500,000 682,953,094,345 227,651,031,448 990,841,625,793

2017 85,137,500,000 798,153,380,307 266,051,126,769 1,149,342,007,076

2018 90,037,500,000 917,027,930,272 305,675,976,757 1,312,741,407,030

2019 94,937,500,000 1,039,892,428,271 346,630,809,423 1,481,460,737,695

3.3. Rumusan kebijakan pengembangan agribisnis lada

Dengan asumsi laju ekstensifikasi 5 persen, laju intensifikasi 20 persen dan laju

rehabilitasi 15%, kebijakan intensifikasi dilaksanakan dengan sumbangan 10 persen

benih unggul untuk penyulaman tanaman-tanaman yang sudah mati dan pemberian

sumbangan untuk bantuan pengadaan pupuk dan pestisida. Kebijakan rehabilitasi

diberlakukan untuk areal petani yang telah mengadopsi benih unggul dengan populasi

hanya tinggal 50 persen. Bantuan benih unggul untuk rehabilitasi maksimum 50 persen

dari total kebutuhan dan bantuan pengadaan pupuk dan pestisida. Sementara kebijakan

ekstensifikasi dimaksudkan untuk peremajaan kembali areal tanaman yang sudah rusak

atau produktivitas tanaman sudah sangat rendah selain untuk pengembangan areal baru.

Pemerintah dapat mendorong ekstensifikasi dengan memberikan benih unggul

maksimum sampai 100 persen.

Sistem produksi benih lada terdiri atas sistem produksi benih sumber dan sistem

produksi benih sebar. Sistem produksi benih sumber dilaksanakan oleh Balai Penelitian

yang melepas varietas unggul sebagai sumber perbanyakan benih untuk produksi benih

sebar. Permintaan potensial benih belum dapat dipenuhi 100 persen karena produksi

benih sumber belum mampu memenuhinya. Sistem produksi benih sebar pada

128 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 16: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

umumnya belum secara baik dapat beroperasi mengingat lembaga-lembaga

penangkaran sebagai pelaksananya baru terbentuk di satu daerah yaitu di Lampung.

Sedangkan di daerah lain, seperti Bangka, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat,

lembaga penangkar belum terbentuk. Peran lembaga penjamin kualitas benih juga masih

perlu untuk ditingkatkan kemampuannya agar benih yang beredar di petani semuanya

memiliki sertifikasi.

Pelaksanaan program intensifikasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi menggunakan

benih unggul menunjukkan bahwa kontribusi adopsi benih unggul sangat signifikan

dalam peningkatan produktivitas lada. Diperkirakan melalui ketiga program di atas,

maka produktivitas nasional dapat mencapai lebih dari 1 ton/ha/tahun dalam waktu 4 -5

tahun. Ditinjau dari sudut biaya produksi lada rata-rata, kenaikan produktivitas tersebut

dapat meningkatkan daya saing lada di pasar internasional karena biaya produksi lada

rata-rata per kg dapat berkurang dari Rp 18.000/kg hingga Rp 12.867/kg dalam waktu

lima tahun.

Untuk pelaksanaan program revitalisasi lada dalam bentuk perluasan dan

perbaikan lahan serta penggunaan benih unggul diperlukan anggaran yang mencapai Rp

1,5 Trilyun dalam kurun waktu lima tahun pertama. Anggaran tersebut dialokasikan

untuk mendorong adopsi benih lada secara nasional beserta sumbangan untuk

pengadaan pupuk dan pestisida serta pendampingan untuk berbagai aplikasi teknologi.

Penerapan analisis sistem sedapat mungkin dilakukan dalam mendukung

analisis kebijakan pengembangan komoditas perkebunan secara selektif, terutama untuk

penyusunan rekomendasi kebijakan antisipatif. Analisis sistem seyogyanya didukung

dengan pengumpulan informasi melalui diskusi yang intensif antar stakeholders sebagai

bahan untuk merumuskan keterkaitan antar elemen pembentuk sistem. Sebagai langkah

awal sudah dibangun model utama sistem industri gula untuk menyusun neraca gula

tahun 2011 dan strategi pencapaian swasembada gula nasional tahun 2014.

Penerapan analisis sistem dalam kajian ekonomi komoditas perkebunan dapat

dijadikan pilihan untuk mengintegrasikan hasil kajian parsial berbagai aspek yang saling

terkait. Berbagai skenario yang dapat disimulasikan dalam pemodelan sistem dapat

membantu pengambil kebijakan untuk menentukan pilihan strategi pengembangan

komoditas perkebunan dan memprediksi dampak dari strategi kebijakan yang diambil

terhadap kinerja sistem secara keseluruhan.

PROGRAM KE DEPAN

KESIMPULAN

129Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Page 17: PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/11/... · mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah

DAFTAR PUSTAKA

Androecia D., I Ketut Ardana dan R. Jundariatin, 1990. Efisiensi Usahatani Kelapa. Seri

Pengembangan. Puslitbang perkebunan.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia: Lada.

I Ketut Ardana, 1994. Profit Margin dan kelayakan Usahatani Jahe dan Kedelai pada

Lorong Tanaman Kopi Muda di Rejang Lebong, Bengkulu. Media Komunikasi.

Puslitbang Perkebunan.

I Ketut Ardana, B. Pramudia, M. Hasana, dan A. Tambunan, 2008. Pengembangan

Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) mendukung kawasan mandiri energi di

Nusa Penida. Jurnal Littri 14(4) Desember 2008/ Puslitbang Perkebunan.

I Ketut Ardana dan S.R. Sigarlaki, 1994. Analisis Manfaat Usaha pembuatan Gula Kelapa

di propinsi Bengkulu. Media Komunikasi. Puslitbang perkebunan.

Kusnadi, N., A. Wahyudi, Dwi Rachmina, E.R. Pribadi dan I Ketut Ardana, 2006.

Pengembangan model kelembagaan perbenihan untuk optimalisasi peran lada

Indonesia di pasar dunia. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor

bekerjasama dengan Badan Litbang Pertanian.

Mamat H.S. dan I Ketut Ardana, 1992. Usahatani pada areal cengkeh rakyat di Jawa

Timur. Media Komunikasi. Puslitbang Perkebunan.

Muhammadi, E. Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan

Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press.

Nurasa T. dan A. Supriatna, 2005. Analisis Kelayakan Finansial Lada Hitam: Studi Kasus

di Propinsi Lampung. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA 5(1)

Pebruari 2005. Universitas Udayana.

Ortiz, A, J. Maria, and J. Santosa. 2005. Applying Modelling Paradigms to Analyze

Organizational Problems.

Refsgaard, C.J. and H. J. Henriksen. 2002. Modelling Guidelines- A Theoritical

Framework.

Tasrif, M dan T. Avianto. 2004. Kursus Analisis Kebijaksanaan Menggunakan Model

System Dyanamics. Kelompok Penelitian dan Pengembangan Energi. ITB.

Wahyudi, A dan S. Wulandari. 2006. Pengaruh Berbagai Kebijakan Produksi,

Perdagangan, dan Makroekonomi terhadap Harga Relatif dan Kinerja Komoditas

Perkebunan: Tinjauan Historis.

Wahyudi, A., S. Wulandari, dan I Ketut Ardana. 2005. Efektivitas Penambahan Lahan

Usahatani Mete dalam Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Littri 11(1) Maret

2005. Puslitbang Perkebunan.

130 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat