penerapan analisis sistem dalam kajian...
TRANSCRIPT
PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN EKONOMI UNTUK
MENDUKUNG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS
PERKEBUNAN
I Ketut Ardana
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Puslitbang Perkebunan
E-mail: ....................
Kajian ekonomi pada sektor pertanian sebagaimana kajian pada bidang lainnya, juga
berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai metode
penelitian telah diterapkan sesuai tujuan dan lingkup kajian. Publikasi hasil penelitian
menunjukkan bahwa metode penelitian yang banyak digunakan dalam kajian ekonomi pertanian
antara lain: analisis usahatani yang menggunakan perhitungan pendapatan usahatani dan rumah
tangga petani, analisis kelayakan usahatani yang menggunakan kriteria investasi NPV, B/C, dan
IRR, analisis tataniaga komoditas pertanian dengan fokus distribusi keuntungan antar pelaku
tataniaga, optimasi usahatani dengan pendekatan Riset Operasi, analisis keterkaitan antar sektor
menggunakan Input Output Analysis, Model Ekonometrik, Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SAM)
atau Model Keseimbangan Umum (CGE). Disamping itu, dalam penyusunan rekomendasi
kebijakan, dalam penentuan prioritas banyak digunakan metode perbandingan eksponensial
(MPE), SWOT, dan analytical hierarchie process (AHP). Sejalan dengan perkembangan Aplikasi
Komputer, metode analisis dan penyajian informasi hasil penelitian juga terus berkembang. Di sisi
lain penetapan kebijakan sering memerlukan kajian yang komprehensif dalam waktu singkat.
Penerapan analisis sistem menggunakan aplikasi komputer dalam kajian ekonomi komoditas
perkebunan dapat dijadikan pilihan untuk mengintegrasikan hasil kajian parsial berbagai aspek
yang saling terkait. Berbagai skenario yang dapat disimulasikan dalam pemodelan sistem dapat
membantu pengambil kebijakan untuk menentukan pilihan strategi pengembangan komoditas
perkebunan dan memprediksi dampak dari strategi kebijakan yang diambil terhadap kinerja
sistem secara keseluruhan secara cepat.
Kata kunci: Komoditas perkebunan, kajian ekonomi, analisis sistem
Sejak dicanangkan program pembangunan nasional, baik yang berjangka pendek
(tahunan), menengah (lima tahun) maupun panjang (10 - 25 tahun) pada zaman orde
baru, hingga saat ini pertanian merupakan sektor penting, karena memberikan
kontribusi signifikan baik terhadap PNB maupun penyediaan lapangan kerja. Sejalan
dengan penempatannya sebagai prioritas dalam pembangunan nasional, kajian
mengenai berbagai aspek dalam sektor pertanian juga mewarnai kajian-kajian untuk
114 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah
dilakukan secara berkala baik dilingkungan Badan Litbang pertanian maupun
Perguruan Tinggi. Departemen Pertanian bahkan mendirikan Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian untuk melaksanakan tugas dan fungsi penelitian dibidang sosial
ekonomi pada sektor pertanian.
Kajian ekonomi pertanian sebagaimana kajian pada bidang lainnya, juga
berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai
metode penelitian telah diterapkan sesuai tujuan dan lingkup kajian. Publikasi hasil
penelitian menunjukkan bahwa metode penelitian yang banyak digunakan dalam kajian
ekonomi pertanian antara lain: analisis usahatani yang menggunakan perhitungan
pendapatan usahatani dan rumah tangga petani, analisis kelayakan usahatani yang
menggunakan kriteria investasi NPV, B/C, dan IRR, analisis tataniaga komoditas
pertanian dengan fokus distribusi keuntungan antar pelaku tataniaga, optimasi
usahatani dengan pendekatan Riset Operasi, analisis keterkaitan antar sektor
menggunakan Input Output Analysis, Model Ekonometrik, Sistem Neraca Sosial
Ekonomi (SAM) atau Model Keseimbangan Umum (CGE). Disamping itu, dalam
penyusunan rekomendasi kebijakan, dalam penentuan prioritas banyak digunakan
metode perbandingan eksponensial (MPE) dan analytical hierarchie process (AHP).
Dari penelusuran publikasi hasil kajian, dapat dikemukakan bahwa sebagian besar
kajian bersifat parsial berdasarkan kelompok produk dan pelaku usahatani, dan sebagian
lainnya menggunakan pendekatan sistem.
Sejalan dengan perkembangan Aplikasi Komputer, metode analisis dan penyajian
informasi hasil penelitian juga terus berkembang. Di sisi lain penetapan kebijakan sering
memerlukan kajian yang komprehensif dalam waktu singkat. Dalam upaya mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menyajikan hasil kajian sesuai
kebutuhan pengambil kebijakan, maka penerapan analisis sistem dalam kajian ekonomi
komoditas perkebunan perlu dikembangkan. Dalam makalah ini disajikan studi kasus
penerapan analisis sistem yang mencerminkan tahapan analisis sistem untuk menyusun
rekomendasi kebijakan pengembangan komoditas perkebunan. Penyajian makalah
diawali dengan beberapa hasil kajian parsial usahatani komoditas perkebunan yang telah
dilakukan penulis baik secara sendiri maupun bersama peneliti lain sebagai pembanding
terhadap hasil kajian menggunakan analisis sistem.
Kajian parsial usahatani komoditas pertanian, termasuk juga komoditas
perkebunan, biasanya diawali dengan perumusan masalah yang menyebabkan
komoditas yang bersangkutan tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan, atau
justifikasi kenapa suatu komoditas perlu dikembangkan di suatu wilayah. Hasil kajian
seperti ini biasanya berupa kesimpulan tentang potensi, kendala dan kelayakan finansial
KAJIAN PARSIAL USAHATANI KOMODITAS PERKEBUNAN
115Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
usahatani. Beberapa hasil penelitian yang mencerminkan kajian parsial usahatani
komoditas perkebunan sebagai berikut:
1. Hasil penelitian Androecia D., I Ketut Ardana dan R. Jundariatin (1990) tentang
efisiensi usahatani kelapa menyimpulkan bahwa kontribusi usahatani kelapa
terhadap pendapatan petani dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efisiensi
penggunaan faktor produksi lahan dan tenaga kerja.
2. Hasil penelitian Mamat H.S dan I Ketut Ardana (1992) tentang usahatani pada
pertanaman cengkeh rakyat di Jawa Timur menyimpulkan bahwa 93% petani
mengusahakan cengkeh secara polikultur. Penerapan pola polikultur dijadikan solusi
untuk memperoleh tambahan dan kontinuitas pendapatan sebagai antisipasi
terhadap terjadinya fluktuasi hasil dan fluktuasi harga cengkeh.
3. Penelitian I Ketut Ardana dan S.R. Sigarlaki (1994) tentang manfaat pembuatan gula
kelapa di Propinsi Bengkulu menyimpulkan bahwa pendapatan usaha pembuatan
gula kelapa di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan masing-masing Rp
3.097.500/ha/th dan Rp 1.982.000/ha/th dengan R/C masing-masing 1,85 dan 1,67.
4. I Ketut Ardana (1994) meneliti tentang profit margin dan kelayakan usahatani jahe
dan kedelai pada lorong tanaman kopi muda di propinsi Bengkulu, menyimpulkan
bahwa penerapan budidaya lorong tanaman kopi dengan tanaman sela jahe layak
secara finansial berdasarkan kriteria NPV, B/C dan IRR.
5. Hasil penelitian Wahyudi A., S. Wulandari dan I Ketut Ardana (2005) menyatakan
bahwa efektivitas penambahan lahan usahatani mete dalam meningkatkan
pendapatan petani di dua daerah sentra produksi, yakni Kabupaten Buton dan
Kendari memiliki perilaku yang berbeda. Di kabupaten Buton efek penambahan
lahan akan mulai memberikan pengaruh positif bila penambahannya lebih dari 4,6 ha
untuk setiap rumah tangga. Sedangkan di Kendari sudah memberikan pengaruh
positif pada penambahan 0,6 ha. Perbedaan efek tersebut karena kedua daerah
memiliki karakteristik agribisnis berbeda, terutama dalam hal pola tanam yang
diterapkan.
6. Hasil penelitian I Ketut Ardana dkk (2008) tentang pengembangan usahatani jarak
pagar mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida menyimpulkan bahwa
karakteristik lahan dan iklim di wilayah Nusa Penida termasuk ke dalam kriteria
sesuai (S-2) untuk pengembangan tanaman jarak pagar dengan faktor pembatas
ketersediaan air pada musim kemarau, sehingga waktu panen hanya berlangsung
hanya 5 bulan/th. Faktor penentu keberhasilan pengembangan jarak pagar di daerah
tersebut adalah harga biji jarak di tingkat petani.
116 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
ANALISIS SISTEM PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN
Sistem didefinisikan sebagai kumpulan elemen yang saling terkait dan terintegrasi
untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu analisis sistem memiliki tiga ciri utama,
yaitu berorientasi tujuan ( ), menyeluruh ( ), dan efektif. Dalam
merepresentasikan sistem yang sesungguhnya, dalam analisis sistem dilakukan
pemodelan sistem ( ). Untuk menggambarkan sistem yang kompleks
(terdiri atas banyak elemen yang saling terkait) biasanya dilakukan pengelompokan
elemen ke dalam subsistem-subsistem (Muhammadi ., 2001; Ortiz 2005;
Refsgaard, C.J. and H. J. Henriksen, 2002; Tasrif, M dan T. Avianto, 2004 ). Tahapan
pemikiran dan alur analisis ditunjukkan pada Gambar 1 (Kusnadi , 2006).
Cybernetic holistic
System Modelling
et al
et al
et al.,
.
Basis Data Basis Pengetahuan
Identifikasi Sistem
Pengembangan Model
Simulasi
Identifikasi Skenario
Pengembangan
Formulasi
Opsi Kebijakan
Gambar 1. Alur tahapan analisis
117Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Sebagai contoh penerapan analisis sistem, berikut ini disajikan hasil kajian sistem
agribisnis lada untuk penyusunan rekomendasi kebijakan pengembangan agribisnis
lada.
Pembahasan sistem agribisnis lada dibagi menjadi beberapa sub sistem yaitu sub
sistem pengadaan input, sub sistem usahatani lada, sub sistem pengolahan lada, sub
sistem pemasaran lada, dan sub sistem kelembagaan dan kebijakan lada. Berikut adalah
uraian untuk setiap sub sistem tersebut (Kusnadi , 2006).
Kegiatan pada subsistem ini terdiri dari kegiatan penghasil bibit, benih, pupuk,
obat-obatan, peralatan pertanian bagi pengembangan lada. Fungsi subsistem ini adalah
memproduksi dan memasok kebutuhan input yang akan digunakan dalam subsistem
berikutnya, yaitu subsistem produksi primer. Produktivitas lada di Indonesia saat ini
lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produktivitas lada di negara lain.
Faktor produksi yang dimiliki dalam upaya pengembangan industri lada di
Indonesia terdiri dari faktor kondisi dasar ketersediaan benih, (2) ketersediaan lahan
dengan persyataran klimatisasi yang sesuai sehingga mendatangkan ketersediaan bahan
baku, (2) ketersediaan tenaga kerja, (3) ketersediaan kapital. Sedangkan faktor kondisi
lanjutan terdiri dari: (1) Ketersediaan teknologi, (2) Kapabilitas pelaku sebagai akumulasi
pengalaman, dan (3) ketersediaan infrastruktur.
Pada saat ini, telah dilepas tujuh varietas lada, yaitu Petaling 1. Petaling 2, Natar 1,
Natar 2, Cunuk RS, Lampung Daun Kecil RS, dan Bengkayang LU. Masing-masing
varietas mempunyai keunggulannya sendiri sehingga dalam pengembangannya
disesuaikan dengan kondisi lahan dan iklim wilayahnya. Pada umumnya petani di
Bangka-Belitung menanam lada jenis Lampung Daun Lebar, Lampung Daun Kecil dan
Cunuk, sedangkan di Lampung banyak ditanam jenis Belantung sedang di Kalimantan
ditanam varietas Bengkayang.
Penggunaan bibit asalan terjadi pada petani lada. Sebagian besar petani
menggunakan sulur gantung jenis lada lokal dan sebagian lagi menggunakan jenis
belantung, yang berasal dari kebun sendiri atau membeli dari teman dan merasa yakin
bahwa dari sekian jenis lada lokal, jenis belantung merupakan jenis yang paling toleran
terhadap penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Bahkan petani yang terlibat Prima Tani
pun belum mempercayai 100% bahwa varietas Natar 1** yang telah dilepas dapat
berproduksi tinggi dan tahan terhadap BPB, walaupun di desa binaan Prima Tani yaitu
Desa Sukamarga, Kecamatan Abung Tinggi telah dibina kelompok petani penangkar
benih lada Natar 1 .
3.1. Sistem agribisnis lada
3.1.1. Subsistem pengadaan input lada
: (1)
et al.
**
118 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
3.1.2. Subsistem usahatani lada
Terdapat berbagai cara dalam pelaksanaan budidaya lada. Di Bangka, lada
diusahakan dalam bentuk budidaya yaitu (1) budidaya tiang panjat mati, (2) budidaya
tiang panjat hidup, dan (3) budidaya lada perdu. Budidaya tiang panjat mati sebagian
besar (98,4%) diusahakan dipropinsi Bangka Belitung (Elizabeth, 2005). Budidaya tiang
panjat mati disebut budidaya intensif, karena menggunakan tiang panjat kayu yang
bermutu tinggi serta menggunakan pupuk dan pestisida dosis tinggi sehingga biaya
produksi lebih tinggi dibandingkan dengan tiang panjat hidup. Namun demikian masa
produksi lada tiang panjat mati hanya 3 tahun, dengan produktivitas optimum minimal 1
ton/ha. Dengan harga tiang panjat mati yang makin mahal (sekarang mecapai Rp.
10.000/batang), maka petani mulai mencari tiang panjat yang lebih murah tetapi bagus
dengan harga Rp. 4.000/batang.
Petani umumnya petani sudah mengerti cara budidaya lada, karena sifatnya yang
turun temurun. Namun dosis pupuk digunakan disesuaikan dengan modal yang
dipunyai,kadangkadang dosisnya penuh kadang-kadang hanya sebagian. Sebagian
besar petani menggunakan tenaga kerja keluarga kecuali panen. Mulai dari tanam,
pemupukan, pengendalian hama, penyiangan dan penyulaman dilaksanakan bersama
istri, anak dan menantu. Usahatani lada belum mendapat dukungan atau ada lembaga
keuangan yang membantu dalam pendanaan usaha tani nya.
Sedangkan di Propinsi Lampung, lada diusahakan dalam 3 bentuk budidaya yaitu:
(1) budidaya tiang panjat mati, (2) budidaya tiang panjat hidup dan (3) budidaya lada
perdu. Di Lampung petani menggunakan tiang panjat hidup. Tiang panjat hidup yang
umumnya digunakan adalah pohon dadap ( Erytrina fusca Laur), gamal ( Gliricidia
maculata) dan kapok (Ceiba pentandra). Tiang panjat ini memerlukan pemangkasan tiga
kali setahun, tapi umumnya hanya dilakukan dua kali setahun untuk mengantisipasi
adanya musim kemarau panjang. Meskipun tanaman lada membutuhkan pupuk N, P,
dan K 3 ton/tahun dan sudah tersedia di kios-kios pupuk tingkat desa, namun sebagian
besar petani tidak menggunakan pupuk N,P,K akibat tidak mempunyai modal yang
cukup. Beberapa petani menggunakan pupuk NPK namun dosisnya sangat rendah.
Analisis usahatani lada menunjukkan bahwa, sebenarnya menguntungkan seperti yang
pernah dihitung oleh Nurasa dan Supriatna, (2005). Namun karena petani kurang dapat
merawat tanamannya (kurang modal) dan adanya serangan penyakit BPB produktivitas
menjadi menurun.
Berdasarkan data penyebaran areal lada di Indonesia, 60% dari areal lada tersebut
berada di Lampung dan Bangka-Belitung. Apabila digabung dengan Sulawesi Selatan,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, proporsi luas arealnya menjadi 79% dari total
lada Indonesia. Dengan demikian, sisanya sebesar 21% nya berasal dari provinsi lainnya
(Ditjen Perkebunan, 2006).
Perkembangan produksi lada meningkat tajam dari tahun 1980 sebesar 36.626 ton
menjadi 69.899 ton tahun 1990 (9,08% rata- rata per tahun). Namun, selama satu dekade
119Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
berikutnya produksi berfluktuasi dan relatif stagnan. Selama periode 2001 - 2005 terjadi
peningkatan produksi lada rata-rata 4,5% per tahun. Dari sisi produktivitas,
perkembangan dari tahun ke tahun berfluktuasi dan berkisar antara 0,801 ton/ha sampai
dengan 0,839 ton/ha. Hasil ini masih di bawah potensi varietas tanaman lada yang
ditanam yaitu dapat mencapai 2 - 3 ton/ha.
Dari sisi tenaga kerja, tenaga kerja yang diperlukan dalam industri lada tersedia
secara memadai dengan sebaran yang merata, namun demikian terdapat perbedaan
upah pada beberapa wilayah. Perbankan sebagai lembaga bagi percepatan
pembangunan sektor riil memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap
pengembangan industri berbasis komoditas potensial lokal. Pada sisi implementasi,
teknologi yang dibutuhkan telah tersedia dengan dukungan berbagai lembaga penelitian
dalam proses pengembangannya. Selain itu kapabilitas pelaku realtif tinggi sebagai
akumulasi pengalaman. Dari sisi infrastruktur, diketahui bahwa telah tersedia berbagai
dukungan fasilitas fisik oleh pemerintah daerah pada berbagai tempat.
Pengolahan hasil lada putih masih sangat tradisional. Pengolahan secara
tradisional memerlukan waktu yang cukup lama, air yang bersih dan tenaga yang
banyak. Buah lada dirontokkan dengan cara diinjak atau menggunakan tangan,
kemudian direndam dengan menggunakan air kolong selama 10 - 14 hari, kualitas air
yang kurang memadai menyebabkan aroma khas lada putih kurang tajam dan masih
mengandung lada hitam. Mutu lada putih yang dihasilkan ditingkat petani cenderung
rendah dan tidak memenuhi syarat negara importir. Hal ini menyebabkan harga lada
putih yang baik dengan lada putih yang tercampur lada hitam berbeda Rp. 1.000/kg.
Untuk meningkatkan nilai ekonomi dan daya saing lada Indonesia di pasar dunia perlu
dilakukan perbaikan pengolahan dan penerapan sistem manajemen mutu di tingkat
petani. Apabila petani lada dapat melakukan usahataninya secara berkelompok,
perendaman dengan air bersih dapat dilakukan dengan membuat bak-bak perendaman
dengan air yang mengalir yang dapat bertahan selama beberapa tahun.
Di Propinsi Lampung, pengolahan lada lebih bervariatif diantaranya dijadikan
lada hitam, lada putih, lada hijau, lada bubuk, minyak lada dan Oleoresin lada, dengan
produk utama (lada hitam dan putih) serta produk samping (lada enteng, menir dan
debu). Hampir semua petani di Lampung menjual lada dalam bentuk lada hitam, buah
lada dipanen dengan menggunakan tenaga kerja luar dengan upah yang sangat
bervariasi yaitu dengan upah harian atau bagian dari hasil panen lada yaitu Rp. 500-
Rp800, per 1 kg hasil atau sekitar 30 HOK per hektar atau untuk menghasilkan 1 ton
kering lada diperlukan 5 orang selama 30 hari mulai dari panen sampai lada siap jual.
Produk yang dikembangkan dari lada dibagi dalam tiga kelompok yakni lada
hitam, lada putih dan lada hijau. Lada yang diperoleh dari sisa hasil sortasi, dapat
dimanfaatkan menjadi produk lain berupa minyak lada dan oleoresin.
3.1.3. Subsistem pengolahan hasil lada
120 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
3.1.4. Subsistem pemasaran lada
3.2. Model kelembagaan perbenihan lada indonesia
Rantai pemasaran lada di Indonesia cukup efisien. Bagian harga yang diterima
petani mencapai 84,85% (Nurasa dan Supriatna, 2005). Petani menjual lada putih ke
pedagang desa, pedagang desa ke pedagang kabupaten, dari pedagang kabupaten ke
eksportir. Dari pedagang desa diperoleh informasi bahwa lada putih dari petani dibeli
dengan harga Rp.38.000/kg. Kalau mutunya kurang baik hanya dibeli dengan harga Rp.
37.000/kg. Kemudian secara keseluruhan dijual ke pedagang besar di kabupaten dengan
harga Rp. 38.250/kg. Disebutkan bahwa dari rata-rata 40.000 ton ekspor per tahun, pada
tahun 2006 hanya dapat mengekspor 7.000 - 8.000 ton. Disebutkan bahwa saat ini lada
putih Indonesia hanya mencapai kedudukan nomor 4, yang sebelumnya sempat menjadi
eksportir kedua.
Di Propinsi Lampung, petani menjual lada hitam ke pedagang pengumpul di desa,
kemudian pedagang mengumpul menjual ke pedagang besar sebelum ke eksportir.
Keuntungan yang diterima pedagang pengumpul maksimal Rp.1.000/kg. Begitu pula
dipedagang besar di pasar Kabupaten , karena persaingan antara pedagang besar di
pasar kabupaten sangat ketat untuk dapat membeli lada petani dengan harga tinggi.
Dilihat dari margin keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul maupun
pedagang besar, bagian harga yang diterima petani cukup besar yaitu lebih dari 85%.
Harga lada ditentukan oleh informasi yang diterima oleh pedagang besar dari
eksportir dan harga ini dikontrol hampir setiap waktu oleh eksportir berdasarkan harga
luar negeri. Pada saat survei berlangsung harga yang dicapai Rp. 30.000/kg lada hitam
kering.
Masalah yang ditemui dalam rantai tataniaga adalah pedagang pengumpul selalu
berusaha untuk mencampur produk petani yang sudah baik dengan lada asalan atau
campuran lain yang memang khusus dibeli dengan harga murah. Ditingkat eksportir
bagian yang baik dan bagian pencampur dipisah lagi, bagian produk yang bermutu
tinggi diekspor, sedang bagian yang jelek dijual lagi ke pedagang besar untuk djual
kepedagang pengumpul dangan harga murah.
Kelembagaan bibit lada menyangkut banyak pihak yang menentukan kinerja
lembaga secara keseluruhan. Antara satu lembaga dengan lembaga lainnya saling terkait
dalam bentuk keterkaitan sosial ekonomi. Keterkaitan antara lembaga dan faktor-faktor
bibit lada tersebut dinyatakan dalam bentuk diagram saling ketergantungan (causal loop
diagram) seperti terlihat pada Gambar 2. Semua loop dalam model tersebut terjadi dalam
bentuk positif (reinforcing) yang dinyatakan dalam lambang R. Pada model ini terdapat
lima buah loop yang bersifat reinforcing.
Loop R1 menggambarkan permintaan benih lada bermutu, minat penangkar
benih, akses permodalan, produksi benih sebar, efektivitas BPPMB, minat petani
menanam lada dan adopsi benih bermutu. Pada loop ini jika misalnya terjadi
121Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
peningkatan minat petani dalam menanam lada, mengingat keterbatasan sumber benih
sendiri yang dimiliki petani, petani akan terdorong untuk mengadopsi benih lada.
Meningkatnya adopsi benih lada akan meningkatkan permintaan terhadap benih lada
bermutu. Peningkatan permintaan terhadap benih lada bermutu tersebut didukung
dengan akses permodalan yang semakin mudah akan mendorong tumbuhnya industri
penangkar benih lada yang akan dapat menghasilkan benih sebar dalam jumlah yang
semakin besar yang penyalurannya sangat ditentukan oleh efektivitas BPPMB. Di sini
terjadi loop yang menghasilkan peningkatan terus menerus karena adanya mekanisme
saling menguatkan antara variabel yang satu dengan yang lain. Sebaliknya jika terjadi
penurunan di salah satu variabel, maka pada loop ini akan terjadi penurunan yang saling
menekan. Misalnya, jika minat petani untuk menanam lada menurun, maka pada
akhirnya produksi benih sebar pun akan menurun akibat tidak termotivasinya para
penangkar benih untuk berproduksi. Jika pada faktanya industri penangkar benih lada
tidak berkembang atau menurun, maka penyebabnya dapat ditelusuri dari variabel-
variabel yang terdapat pada loop ini.
Gambar 2. Causal loop diagram peran lembaga pembenihan lada
122 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Loop R2 merupakan pengembangan dari loop R1. Pada loop ini ditambahkan
variabel intensitas penelitian dan mutu benih. Loop ini menggambarkan bahwa minat
penangkar benih lada untuk menghasilkan benih lada bermutu juga sangat tergantung
pada ketersediaan benih sumber yang bermutu. Mutu benih sumber itu sendiri sangat
tergantung pada intensitas penelitian lada.
Perkembangan industri penangkar benih lada bermutu juga dapat dikaitkan
dengan berbagai variabel lain seperti yang dapat dilihat dalam loop R3. Pada loop yang
menggambarkan peran ekspor lada tersebut dapat dilihat bahwa minat penangkar benih
untuk memproduksi benih lada bermutu selain dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas
juga berhubungan dengan peningkatan luas areal perkebunan lada. Secara logis,
peningkatan areal perkebunan lada ini akan meningkatkan produksi lada nasional
sehingga memungkinkan peningkatan ekspor lada. Peningkatan ekspor itu sendiri juga
dapat distimulir oleh meningkatnya harga Lada FOB yang dipicu oleh peningkatan
permintaan impor lada. Peningkatan ekspor tersebut akan meningkatkan peran industri
lada dalam perekonomian nasional. Sampai saat ini peran pasar lada ekspor dalam
membentuk kinerja industri lada Indonesia, masih jauh lebih besar dibanding pasar
dalam negeri. Mengingat pentingnya peran lada tersebut dalam perekonomian nasional
maka dapat menstimulir peningkatan perhatian pemerintah yang terwujud dalam
bentuk pengalokasian dana untuk pengembangan lada. Peningkatan anggaran lada
tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan intensitas penelitian untuk memperbaiki
benih sumber maupun teknologi budidaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa loop R3
menggambarkan perbaikan kinerja industri perbenihan lada melalui alokasi dana
pemerintah yang direspons dengan perbaikan teknologi budidaya (benih maupun proses
budidaya). Sebaliknya, seperti halnya loop R1 maupun R2, jika salah satu variabel terkait
tersebut mengalami penurunan, maka kinerja industri lada umumnya akan cenderung
turun.
Selanjutnya diperlihatkan Loop R4 yang menggambarkan keterkaitan antara
permintaan benih bermutu dengan efektivitas penyuluhan. Penyuluhan yang efektif
akan dapat meningkatkan motivasi petani untuk menanam lada sehingga permintaan
terhadap benih bermutu akan meningkat. Secara logis, peningkatan permintaan benih
bermutu tersebut akan membutuhkan areal perkebunan yang semakin luas.
Bertambahnya areal perkebunan akan meningkatkan produksi lada yang dapat berakibat
pada meningkatnya penerimaan petani dari lada. Penerimaan petani pun akan semakin
meningkat jika harga lada domestik meningkat karena meningkatnya harga FOB lada
akibat kenaikan permintaan impor. Meningkatnya share penerimaan lada terhadap total
penerimaan petani tersebut akan memotivasi petani untuk beralih ke menanam lada
daripada menanam komoditi lain atau melakukan usaha yang lain.
Kinerja lada dari sisi petani sangat erat kaitannya dengan kehadiran “pesaing”
lada, yaitu sumber penerimaan rumahtangga selain lada. Hal diperlihatkan pada loop R5
yang kembali bersifat reinforcing dan mengarah pada penguatan. Meningkatnya minat
petani untuk menanam lada akan berakibat pada menurunnya alokasi lahan untuk
123Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
penggunaan non lada. Hal ini akan berakibat penerimaan petani dari usaha non lada
menurun. Penurunan tersebut akan meningkatkan share penerimaan lada terhadap total
penerimaan petani meningkat yang dapat memicu peningkatan minat petani untuk
menanam lada dan mengurangi penanaman non lada, demikian seterusnya.
Causal loop diagram yang diuraikan di atas merupakan kerangka dasar untuk
membangun model system dynamics kelembagaan pembenihan lada Indonesia. Model
system dynamics memanfaatkan sejumlah variabel yang telah dibahas di atas dengan
mempertimbangkan focus pengembangan kelembagaan perbenihan lada berdasarkan
analisis ISM yang telah dilakukan sebelumnya.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kendala-kendala yang dihadapi dalam
pengembangan kelembagaan perbenihan lada, keterbatasan benih sumber, keterbatasan
anggaran untuk inventarisasi penangkar dan kebun benih serta keterbatasan modal
penangkar terkait dengan rendahnya akses permodalan, penyusunan model
pengembangan kelembagaan perbenihan lada Indonesia difokuskan pada
pengembangan kelembagaan benih yang memungkinkan peningkatan daya saing lada di
dunia internasional melalui pengurangan biaya produksi lada dengan penerapan benih
bermutu. Seperti dapat dilihat pada struktur model (Gambar 3).
area
ekstensifikasi
area lahan
rehabilitasi
permintaan
potensial
benih sebar
Pertumbuhan
area
intensifikasi
areal lada
awal
produksi benih
sebar
permintaan
efektif
benih sebar
laju pertumbuhan
produksi benih
sumber 1
area lahan
intensifikasiPengurangan
area konservatif
krn intensifikasi
laju intensifikasi
lahan
Produksi Lada
Nasional
area
lada
intensifikasi
peningkatan
produktivitas
laju produktivitas
laju penambahan
area benih unggul
pengurangan area
konservatif krn rehabilitasi
area lahan
rehabilitasi
pertumbuhan
area
rehabilitasi
laju rehabilitasi
lahan
laju
ekstensifikasi
delay pertumbuhan
benih sumber
kebutuhan benih
ekstensifikasi
produktivitas
nasional
produktivitas awal
kebutuhan benih
rehabilitasi kebutuhan benih
intensifikasirataan
populasi
luas lahan
totalarea
ekstensifikasi
luas lahan
total
Area
Benih Unggularea
lada
intensifikasi
area lahan
rehabilitasi
produksi awal
benih sumber
biaya produksi
per ha
produksi
benih sumber
pertumbuhan
produksi benih
sumber
biaya produksi
per kg
kebutuhan
anggaran
harga benih
subsidi benihArea
Benih Unggul
biaya pendampingan
satuan area
pendampingan
biaya satuan
pendampingan
subsidi biaya
input lain
paket subsidi
input lain
Gambar 3. Struktur model pengembangan kelembagaan perbenihan lada
124 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Model kelembagaan perbenihan lada dibangun berdasarkan keterkaitan antara (1)
sistem pengembangan areal produksi lada, (2) sistem produksi dan distribusi benih lada,
(3) sistem pengembangan daya saing lada, (4) sistem perencanaan anggaran
pengembangan benih lada dan operasional adopsi benih di tingkat petani.
Sistem pengembangan areal produksi lada memanfaatkan kebijakan
ekstensifikasi, intensifikasi maupun rehabilitasi lahan produksi lada. Berdasarkan
model di atas, dengan target laju intensifikasi untuk meningkatkan produksi mencapai
20% dari total lahan lada seluas area sebesar 150.000 ha, maka pada tahun 2014 luas lahan
yang direhabilitasi akan mencapai 126.398 ha. Dengan laju rehabilitasi sebesar 15% per
tahun, luas lahan yang drehabilitasi pada akhir tahun 2014 diperkirakan akan mencapai
94.798 ha. Luas area ekstensifikasi akan mencapai 117.738 ha pada tahun 2014 dengan
tingkat laju penambahan area sebesar 5% pertahun (Tabel 1).
Tabel 1. Luas area produksi lada tahun 2010-2019
Tahun Area Intensifikasi Area RehabilitasiArea
Ekstensifikasi
Area Lada
Total
2010 30,000.00 22,500.00 7,500.00 157,500.00
2011 26,287.16 19,715.37 15,140.63 165,140.63
2012 21,938.16 16,453.62 23,157.42 173,157.42
2013 24,190.95 18,143.22 31,563.28 181,563.28
2014 23,982.16 17,986.62 40,377.21 190,377.21
2015 23,678.83 17,759.12 49,619.00 199,619.00
2016 23,860.52 17,895.39 59,309.44 209,309.44
2017 23,834.71 17,876.03 69,470.29 219,470.29
2018 23,811.48 17,858.61 80,124.39 230,124.39
2019 23,826.83 17,870.13 91,295.70 241,295.70
Peningkatan luas area produksi lada akan berakibat pada meningkatnya
kebutuhan benih sebar lada. Sistem produksi benih lada terdiri atas sistem produksi
benih sumber dan sistem produksi benih sebar. Sistem produksi benih sumber
dilaksanakan oleh Balai Penelitian yang melepas varietas unggul sebagai sumber
perbanyakan benih untuk produksi benih sebar. Diperkirakan dalam kurun waktu 5
tahun mendatang, hasil penelitian memungkinkan tingkat produksi dengan laju
pertumbuhan produksi benih sumber sebesar lima persen per tahun. Sehingga pada
tahun 2014 nanti produksi benih sumber mencapai 1.500.000 batang. Dengan potensi
produksi 14 batang benih sebar per batang benih sumber maka potensi produksi benih
sebar mencapai 21 juta batang Tabel 2.
Namun pada tingkat produksi tersebut, permintaan potensial benih sebar belum
dapat dipenuhi 100 persen. Pada luas lahan total sebesar 190.377 ha pada tahun 2014,
diperkirakan akan dibutuhkan benih sebar sebanyak 33.508.415 batang, sementara
125Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
kemampuan memproduksi benih hanya sebesar 21.000.000. Artinya berdasarkan model
yang ada, potensi penangkar hanya mampu memenuhi 37% dari total kebutuhan benih
sebar.
Tabel 2. Produksi benih sumber, benih sebar dan permintaan potensial benih sebar
Tahun Produksi Benih Sumber Produksi Benih SebarPermintaan Potensial
Benih Sebar
2010 1,100,000.00 15,400,000.00 33,178,243.95
2011 1,200,000.00 16,800,000.00 30,120,500.84
2012 1,300,000.00 18,200,000.00 32,494,687.92
2013 1,400,000.00 19,600,000.00 33,020,760.09
2014 1,500,000.00 21,000,000.00 33,508,414.79
2015 1,600,000.00 22,400,000.00 34,399,552.85
2016 1,700,000.00 23,800,000.00 35,169,541.78
2017 1,800,000.00 25,200,000 .00 35,979,824.96
2018 1,900,000.00 26,600,000.00 36,859,620.80
2019 2,000,000.00 28,000,000.00 37,767,968.00
Sistem produksi benih sebar pada umumnya belum secara baik dapat beroperasi
mengingat lembaga-lembaga penangkaran sebagai pelaksananya baru terbentuk di satu
daerah yaitu di Lampung. Sedangkan di daerah lain, seperti Bangka, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Barat, lembaga penangkar belum terbentuk. Lembaga penangkar belum
berkembang dengan baik di beberapa daerah tersebut karena belum ada pasar. Petani
lebih banyak menggunakan benih hasil produksi sendiri, sehingga permintaan terhadap
benih belum berkembang.
Jika dilihat dari luas area lada yang menggunakan benih unggul sebagai hasil
program ekstensifikasi, rehabilitasi dan intensifikasi, kontribusi adopsi benih unggul
sangat signifikan dalam peningkatan produktivitas lada. Diperkirakan melalui ketiga
program di atas, maka produktivitas nasional dapat mencapai lebih dari 1 ton/ha/tahun
dalam waktu 4 -5 tahun (40% peningkatannya). Hal ini mampu meningkatkan daya saing
lada di pasar internasional karena biaya produksi lada rata-rata per kg dapat berkurang
sebesar 29%, dari Rp 18.000/kg hingga Rp 12.867/kg dalam waktu lima tahun (Tabel 3).
126 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel 3. Produktivitas dan biaya produksi lada nasional pada kondisi laju ekstensifikasi
5%, laju rehabilitasi 15% dan laju intensifikasi 20%
Total Luas Area Produksi ProduktivitasBiaya
produksi/kg
2010 157,500.00 118,240,312.50 816.00 17,156.86
2011 165,140.63 134,963,033.20 884.00 15,837.10
2012 173,157.42 152,944,984.50 952.00 14,705.88
2013 181,563.28 172,356,615.45 1,020.00 13,725.49
2014 190,377.21 193,292,443.85 1,088.00 12,867.65
2015 199,619.00 215,854,744.92 1,156.00 12,110.73
2016 209,309.44 240,152,094.06 1,224.00 11,437.91
2017 219,470.29 266,299,775.96 1,292.00 10,835.91
2018 230,124.39 294,420,179.37 1,360.00 10,294.12
2019 241,295.70 324,643,215.27 1,428.00 9,803.92
Peningkatan daya saing tersebut dapat dicapai dengan penyediaan anggaran
sekisar 1,5 trilyun rupiah dalam kurun waktu 5 tahun mendatang (Tabel 4). Penyerapan
anggaran dialokasikan baik untuk subsidi benih, input lain maupun biaya
pendampingan selama 5 tahun. Pengalokasian anggaran didasarkan pada kondisi saat
ini dimana biaya overhead mencapai 15%, biaya tenaga kerja 50% dan 35% biaya input
lain. Biaya pendampingan diberikan dalam bentuk bantuan modal untuk penangkar,
maupun pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas penangkar.
Tabel 4. Kebutuhan anggaran dan subsidi pengembangan lada indonesia
Tahun Subsidi Benih Subsidi Input Lain Biaya Pendampingan Kebutuhan Anggaran
2010 50,837,500,000.00 42,865,026,855.47 14,288,342,285.16 107,990,869,140.63
2011 55,737,500,000.00 116,298,963,771.83 38,766,321,257.28 210,802,785,029.11
2012 60,637,500, 000.00 188,140,009,223.21 62,713,336,407.74 311,490,845,630.95
2013 65,537,500,000.00 264,096,598,858.05 88,032,199,619.35 417,666,298,477.40
2014 70,437,500,000.00 339,376,725,050.86 113,125,575,016.95 522,939,800,067.82
2015 75,337,500,000.00 415,187,934,783.85 138,395,978,261.28 628,921,413,045.13
2016 80,237,500,000.00 491,938,140,851.76 163,979,380,283.92 736,155,021,135.69
2017 85,137,500,000.00 569,262,023,461.03 189,754,007,820.34 844,153,531,281.38
2018 90,037,500,000.00 647,300,527,807.80 215,766,842,602.60 953,104,870,410.40
2019 94,937,500,000.00 726,114,965,972.89 242,038,321,990.96 1,063,090,787,963.85
127Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Namun jika laju ekstensifikasi, rehabilitasi dan intensifikasi meningkat sebesar
lima persen, anggaran pengembangan lada akan meningkat menjadi 2 trilyun rupiah
sebagaimana bisa dilihat dalam Tabel 5 di bawah ini. Peningkatan lebih dari setengah
trilyun tersebut memiliki kontribusi yang cukup besar dalam peningkatan daya saing
karena dapat menekan biaya produksi hingga Rp 8.900 per kilogram dalam lima tahun.
Namun perlu dipertimbangkan ketersediaan lahan potensial jika target laju perluasan
lahan tersebut diterapkan.
Tabel 5. Kebutuhan anggaran dan besaran subsidi pada kenaikan laju ekstensifikasi
rehabilitasi, dan intensifikasi sebesar 5%
Tahun Subsidi BenihSubsidi Input
Lain
Biaya
PendampinganKebutuhan Anggaran
2010 50,837,500,000 54,438,684,082 18,146,228,027 123,422,412,109
2011 55,737,500,000 151,894,056,047 50,631,352,015 258,262,908,063
2012 60,637,500,000 249,903,405,315 83,301,135,105 393,842,040,421
2013 65,537,500,000 356,244,849,102 118,748,283,034 540,530,632,137
2014 70,437,500,000 461,914,761,859 153,971,587,286 686,323,849,146
2015 75,337,500,000 570,629,754,050 190,209,918,016 836,177,172,067
2016 80,237,500,000 682,953,094,345 227,651,031,448 990,841,625,793
2017 85,137,500,000 798,153,380,307 266,051,126,769 1,149,342,007,076
2018 90,037,500,000 917,027,930,272 305,675,976,757 1,312,741,407,030
2019 94,937,500,000 1,039,892,428,271 346,630,809,423 1,481,460,737,695
3.3. Rumusan kebijakan pengembangan agribisnis lada
Dengan asumsi laju ekstensifikasi 5 persen, laju intensifikasi 20 persen dan laju
rehabilitasi 15%, kebijakan intensifikasi dilaksanakan dengan sumbangan 10 persen
benih unggul untuk penyulaman tanaman-tanaman yang sudah mati dan pemberian
sumbangan untuk bantuan pengadaan pupuk dan pestisida. Kebijakan rehabilitasi
diberlakukan untuk areal petani yang telah mengadopsi benih unggul dengan populasi
hanya tinggal 50 persen. Bantuan benih unggul untuk rehabilitasi maksimum 50 persen
dari total kebutuhan dan bantuan pengadaan pupuk dan pestisida. Sementara kebijakan
ekstensifikasi dimaksudkan untuk peremajaan kembali areal tanaman yang sudah rusak
atau produktivitas tanaman sudah sangat rendah selain untuk pengembangan areal baru.
Pemerintah dapat mendorong ekstensifikasi dengan memberikan benih unggul
maksimum sampai 100 persen.
Sistem produksi benih lada terdiri atas sistem produksi benih sumber dan sistem
produksi benih sebar. Sistem produksi benih sumber dilaksanakan oleh Balai Penelitian
yang melepas varietas unggul sebagai sumber perbanyakan benih untuk produksi benih
sebar. Permintaan potensial benih belum dapat dipenuhi 100 persen karena produksi
benih sumber belum mampu memenuhinya. Sistem produksi benih sebar pada
128 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
umumnya belum secara baik dapat beroperasi mengingat lembaga-lembaga
penangkaran sebagai pelaksananya baru terbentuk di satu daerah yaitu di Lampung.
Sedangkan di daerah lain, seperti Bangka, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat,
lembaga penangkar belum terbentuk. Peran lembaga penjamin kualitas benih juga masih
perlu untuk ditingkatkan kemampuannya agar benih yang beredar di petani semuanya
memiliki sertifikasi.
Pelaksanaan program intensifikasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi menggunakan
benih unggul menunjukkan bahwa kontribusi adopsi benih unggul sangat signifikan
dalam peningkatan produktivitas lada. Diperkirakan melalui ketiga program di atas,
maka produktivitas nasional dapat mencapai lebih dari 1 ton/ha/tahun dalam waktu 4 -5
tahun. Ditinjau dari sudut biaya produksi lada rata-rata, kenaikan produktivitas tersebut
dapat meningkatkan daya saing lada di pasar internasional karena biaya produksi lada
rata-rata per kg dapat berkurang dari Rp 18.000/kg hingga Rp 12.867/kg dalam waktu
lima tahun.
Untuk pelaksanaan program revitalisasi lada dalam bentuk perluasan dan
perbaikan lahan serta penggunaan benih unggul diperlukan anggaran yang mencapai Rp
1,5 Trilyun dalam kurun waktu lima tahun pertama. Anggaran tersebut dialokasikan
untuk mendorong adopsi benih lada secara nasional beserta sumbangan untuk
pengadaan pupuk dan pestisida serta pendampingan untuk berbagai aplikasi teknologi.
Penerapan analisis sistem sedapat mungkin dilakukan dalam mendukung
analisis kebijakan pengembangan komoditas perkebunan secara selektif, terutama untuk
penyusunan rekomendasi kebijakan antisipatif. Analisis sistem seyogyanya didukung
dengan pengumpulan informasi melalui diskusi yang intensif antar stakeholders sebagai
bahan untuk merumuskan keterkaitan antar elemen pembentuk sistem. Sebagai langkah
awal sudah dibangun model utama sistem industri gula untuk menyusun neraca gula
tahun 2011 dan strategi pencapaian swasembada gula nasional tahun 2014.
Penerapan analisis sistem dalam kajian ekonomi komoditas perkebunan dapat
dijadikan pilihan untuk mengintegrasikan hasil kajian parsial berbagai aspek yang saling
terkait. Berbagai skenario yang dapat disimulasikan dalam pemodelan sistem dapat
membantu pengambil kebijakan untuk menentukan pilihan strategi pengembangan
komoditas perkebunan dan memprediksi dampak dari strategi kebijakan yang diambil
terhadap kinerja sistem secara keseluruhan.
PROGRAM KE DEPAN
KESIMPULAN
129Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
DAFTAR PUSTAKA
Androecia D., I Ketut Ardana dan R. Jundariatin, 1990. Efisiensi Usahatani Kelapa. Seri
Pengembangan. Puslitbang perkebunan.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia: Lada.
I Ketut Ardana, 1994. Profit Margin dan kelayakan Usahatani Jahe dan Kedelai pada
Lorong Tanaman Kopi Muda di Rejang Lebong, Bengkulu. Media Komunikasi.
Puslitbang Perkebunan.
I Ketut Ardana, B. Pramudia, M. Hasana, dan A. Tambunan, 2008. Pengembangan
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) mendukung kawasan mandiri energi di
Nusa Penida. Jurnal Littri 14(4) Desember 2008/ Puslitbang Perkebunan.
I Ketut Ardana dan S.R. Sigarlaki, 1994. Analisis Manfaat Usaha pembuatan Gula Kelapa
di propinsi Bengkulu. Media Komunikasi. Puslitbang perkebunan.
Kusnadi, N., A. Wahyudi, Dwi Rachmina, E.R. Pribadi dan I Ketut Ardana, 2006.
Pengembangan model kelembagaan perbenihan untuk optimalisasi peran lada
Indonesia di pasar dunia. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor
bekerjasama dengan Badan Litbang Pertanian.
Mamat H.S. dan I Ketut Ardana, 1992. Usahatani pada areal cengkeh rakyat di Jawa
Timur. Media Komunikasi. Puslitbang Perkebunan.
Muhammadi, E. Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan
Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press.
Nurasa T. dan A. Supriatna, 2005. Analisis Kelayakan Finansial Lada Hitam: Studi Kasus
di Propinsi Lampung. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA 5(1)
Pebruari 2005. Universitas Udayana.
Ortiz, A, J. Maria, and J. Santosa. 2005. Applying Modelling Paradigms to Analyze
Organizational Problems.
Refsgaard, C.J. and H. J. Henriksen. 2002. Modelling Guidelines- A Theoritical
Framework.
Tasrif, M dan T. Avianto. 2004. Kursus Analisis Kebijaksanaan Menggunakan Model
System Dyanamics. Kelompok Penelitian dan Pengembangan Energi. ITB.
Wahyudi, A dan S. Wulandari. 2006. Pengaruh Berbagai Kebijakan Produksi,
Perdagangan, dan Makroekonomi terhadap Harga Relatif dan Kinerja Komoditas
Perkebunan: Tinjauan Historis.
Wahyudi, A., S. Wulandari, dan I Ketut Ardana. 2005. Efektivitas Penambahan Lahan
Usahatani Mete dalam Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Littri 11(1) Maret
2005. Puslitbang Perkebunan.
130 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat