penegakan hukum pidana terhadap pelaku …digilib.unila.ac.id/30306/2/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKUPENELANTARAN ANAK
(Skripsi)
Oleh
Maiza Putri
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2017
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARANANAK
OlehMAIZA PUTRI
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk berfungsinya norma-norma hukum sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat,penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak ditegakkan, untukmengurangi maraknya kasus penelantaran anak. Penegakan hukum tentangpenelantaran anak dilakukan dengan sosialisasi dan penguatan terhadap lembaga-lembaga perlindungan anak, memperkuat peraturan dibidang perlindungan anak,pemberian sanksi yang tinggi agar memberi efek jera. Aparat penegak hukum dalammenangani kasus pelaku penelantaran anak berkoordinasi dengan petugasKelurahan / Desa untuk mencegah dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat,Penegakan hukum pidana pada pelaku penelantaran anak harus ditegakkan, karenalemahnya penegakan hukum dan ringannya sanksi bagi pelaku penelantaran anakmenjadi penyebab banyak terjadinya kasus penelantaran anak. Permasalahan dalampenelitian ini adalah: Bagaimanakah Penegakan Hukum Pidana Terhadap PelakuPenelantaran Anak dan Apakah Yang Menjadi Faktor Penghambat PenegakanHukum Terhadap Pelaku Penelantaran Anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridisempiris. Data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan.Narasumber penelitian ini adalah Penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan AnakSatreskrim Polresta Bandar Lampung, Jaksa pada Kantor Cabang Kejaksaan NegeriPanjang, Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampungdan Aktivis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Lampung. Analisis datadilakukan secara kualitatif.
Maiza PutriHasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: Penegakan Hukum Pidana terhadapPelaku Penelantaran Anak menggunakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia atauCriminal Justice System, dan ada 3 (tiga) tahapan yakni tahap formulasi yaitu tahappembentukan undang-undang oleh legislatif, tahap aplikasi yaitu tahap penegakanhukum oleh aparat penegak hukum dan tahap eksekusi yaitu tahap penegakanhukum pidana secara konkret oleh aparat penegak hukum. Faktor penghambatpenegakan hukum terhadap pelaku penelantaran anak adalah faktor substansihukum, faktor aparat penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, faktormasyarakat dan faktor budaya, adapun faktor yang mendominasi sebagaipenghambat adalah faktor masyarakat dan faktor budaya untuk itu dibutuhkankerjasama serta sosialisasi yang baik agar pemahaman masyarakat menjadi terbukadan bersikap kooperatif dalam mencegah terjadinya penelantaran anak, sertamembuka pemahaman terhadap budaya di masyarakat yang tidak bersikapkooperatif terhadap penegakan hukum pidana pelaku penelantaran anak.
Saran dalam penelitian ini adalah, Penegak hukum mampu menerapkan peraturanperundang-undangan (tahap formulasi dan aplikasi) serta melaksanakan tahapeksekusi terhadap putusan hakim untuk mencegah penelantaran anak agar tidakterjadi dan untuk menegakkan hukum apabila terdapat kasus penelantaran anak agarmemberi efek jera terhadap para pelaku. Masyarakat menjadi terbuka danbekerjasama dengan petugas kepolisian untuk mencegah penelantaran anak danbudaya masyarakat yang menghormati jalannya penegakan hukum denganmembudayakan penyelesaian penelantaran anak melalui sistem peradilan pidana(criminal justice system).
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penelantaran, Anak
ABSTRACT
CRIMINAL LAW ENFORCEMENT TO ACTORS OF CHILDREN OFEDUCATION
ByMAIZA PUTRI
Law enforcement is the process of conducting efforts to the functioning of legalnorms as a guideline of behavior in community life, enforcement of criminal lawagainst abuser child perpetrators, to reduce the rampant cases of neglect of children.Law enforcement on child abandonment is conducted through socialization andstrengthening of child protection institutions, strengthening child protectionregulations, sanctions are high in order to provide a deterrent effect. Lawenforcement officers in handling cases of child abusers coordinate with village /kelurahan officers to prevent and socialize to the community. Criminal lawenforcement on abandoners should be upheld, because the weakness of lawenforcement and the lightness of sanction for abuser child become the cause ofabandonment case child. The problems in this research are: How Criminal LawEnforcement Against Child Abandonment Perpetrators and What Are the Factorsinhibiting Law Enforcement Against Child Abandonment Perpetrators.
This research uses normative juridical approach and empirical juridical approach.The data were done by literature study procedure and field study. The sources ofthis research are the Investigator Unit of Women and Children Protection ofSatreskrim Polresta Bandar Lampung, Attorney at Branch Office of State Attorney,Law Academician of Criminal Law Faculty of Lampung University and Activist ofChild Protection Institution (LPA) Lampung Province. Data analysis is donequalitatively.
The results of research and discussion show: Enforcement of Criminal Law againstAbandonment of Child using Criminal Justice System of Indonesia Criminal JusticeSystem, and there are 3 (three) stage that is formulation stage that is formation stageof legislation by law, application phase that is law enforcement stage by apparatuslaw enforcement and the execution stage is the stage of criminal law enforcement inconcrete by law enforcement officers. Inhibiting factors of law enforcement againstchild neglect are the factors of law substance, law enforcement factor factor, facilityand infrastructure factor, society factor and cultural factor, while the dominantfactor as a hindrance is society factor and cultural factor for that needed cooperationand good socialization public understanding becomes open and cooperative inpreventing abandonment of children, and open understanding on culture in societythat is not cooperative attitude toward criminal law enforcement perpetrator neglectchild.
Maiza PutriSuggestion in this research is, law enforcement able to apply legislation (stage offormulation and application) and executing stage of execution to judge decision toprevent neglect of child to not happened and to enforce law if there is case neglectof child to give deterrent effect to perpetrator. Communities are open and cooperatewith police officers to prevent abandonment of children and the culture of peoplewho respect the course of law enforcement by cultivating the settlement of childneglect through the criminal justice system.
Keywords: Law Enforcement, Neglect, Child
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKUPENELANTARAN ANAK
OlehMaiza Putri
SkripsiSebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
SARJANA HUKUM
pada
Bagian Hukum PidanaFakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis di lahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Mei
1996, merupakan anak keempat dari empat bersaudara, dari
Bapak Badri Aziz dan Ibu Sri Norma, S.Pd.
Penulis mengawali pendidikan pada Taman Kanak-Kanak (TK) Satria di Bandar
Lampung pada tahun 2002, penulis melanjutkan Sekolah Dasar di SDN 1
Sukarame Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2008, Sekolah
Menengah Pertama di SMPN 4 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2011,
dan Sekolah Menengah Atas di SMA YP Unila Bandar Lampung diselesaikan
pada Tahun 2014.
Pada tahun 2014 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui jalur SBMPTN, Penulis merupakan mahasiswa
bagian hukum pidana. Penulis mengikuti program pengabdian kepada masyarakat
yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2017 di Desa Goras Jaya, Kecamatan
Bekri, Kabupaten Lampung Tengah, selama 40 (empat puluh) hari.
vii
MOTTO
“There Is Not Limit Of Struggling ”
(Maiza Putri)
“Kita lebih besar dan lebih baik dari apa yang kita pikirkan”
(Maiza Putri)
“Kebahagiaan itu bergantung pada dirimu sendiri”
(Aristoteles)
viii
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang kusayangi
Kedua orang tuaku tercinta
Bapak Badri Aziz dan Ibu Sri Norma, S.PdYang selama ini telah memberikan cinta, kasih sayang, do’a disetiap
langkahku serta pengorbanannya untuk keberhasilanku
kakakkuLucy Amelia, S.I.Kom, M.IP
Devi OktariaAndri Jendika
Yang selama ini telah memberikan kasih sayang, kebahagiaan, do’a,motivasi, semangat hidup untukku kalian yang terbaik.
Almamater Tercinta Universitas Lampung
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, Tuhan sekalian alam yang maha kuasa atas bumi, langit dan seluruh
isinya, serta hakim yang maha adil di yaumil akhir kelak, sebab hanya dengan
kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Penegakan
Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Lampung dan dengan harapan agar hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi upaya pengembangan hukum pidana di Indonesia pada
umumnya.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk
pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Armen Yasir, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
2. Bapak Eko Raharjo, S.H, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung dan juga selaku Pembahas I yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi
ini;
3. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H, M.H selaku Pembimbing I, atas kesabarannya
dan bersedia untuk meluangkan waktu, mencurahkan segenap pemikiran,
memberikan bimbingan, motivasi, nasihat dalam mengarahkan penulis
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;
4. Ibu Dona Raisa Monica, S.H, M.H selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum dan juga Pembimbing II, atas kesabarannya dan bersedia
untuk meluangkan waktu, mencurahkan segenap pemikiran, memberikan
bimbingan, motivasi, nasihat dalam mengarahkan penulis sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan
5. Ibu Rini Fathonah, S.H, M.H selaku Pembahas II yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini
6. Bapak Sepriyadi Adhan, S.H, M.H selaku Pembimbing Akademik yang telah
membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi
dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan
yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi;
8. Teristimewa untuk Papa Badri Aziz dan Mama Sri Norma, S.Pd, kalian
adalah orang terhebat dalam hidupku yang tiada henti memberikan cinta
kasih, semangat dan sembah sujudnya terhadap ALLAH SWT untuk
kebahagiaan dan keberhasilanku, yang tidak pernah lelah mendukung,
membimbing, mendidik, dan menyayangiku dari dalam kandungan sampai
kapanpun agar dapat menggapai sukses di dunia tanpa meninggalkan dan
melupakan akhirat serta menjadi semangat untuk menggapai cita-citamaupun
harapan yang diinginkan agar dapat menjadi seorang yang beriman, berilmu,
sukses dan bermanfaat bagi agama, negara dan keluarga:
9. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum, Dini, Elsa, Fitria, Marissa,
Melista, Aulia, Misa, Hanny, dll yang sudah bersama-sama belajar dan
bercanda di Fakultas Hukum;
10. Teman-teman di KKN Desa Goras Jaya, Marissa, Tyra, Rosi, Fista, Marina,
Faris, Angga, Bambang, Emboh dan Lazuardi.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua dukungan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan kebaikan yang telah
diberikan kepada penulis, semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat
bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan
mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, ............... 2017Penulis
Maiza Putri
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKHALAMAN JUDULRIWAYAT HIDUPMOTTOHALAMAN PERSEMBAHANSANWACANADAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………….………………... 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………………………... 10
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………………………….... 11
E. Sistematika Penulisan ……………………………………….... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Anak ……………………………………………..... 17
B. Penegakan Hukum ….....……………………………...………. 19
C. Kejahatan Dalam Keluarga ………………………………….... 32
D. Aspek Pidana Penelantaran Anak UU Perlindungan Anak…… 35
E. Pengertian Penelantaran Anak Dalam UU Perlindungan Anak.. 37
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ………………………………………...... 40
B. Jenis dan Sumber Data ……………………………………...... 40
C. Penentuan Narasumber …....………………………………….. 41
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data …………….....… 42
E. Analisa Data ......………………………………………………. 43
IV. PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum Pidana Pelaku Penelantaran Anak .............. 44
B. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pelaku Penelantaran Anak .. 72
V. PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 83
B. Saran ........................................................................................ 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelantaran anak adalah praktik melepaskan tanggung jawab dan klaim atas
keturunan dengan cara ilegal, hal ini antara lain disebabkan oleh faktor-faktor
seperti faktor ekonomi dan sosial, serta penyakit mental. Seorang anak yang
ditinggalkan atau dibuang oleh orang tuanya disebut dengan anak buangan.1
Penelantaran anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala keadaan
perhatian yang tidak memadai, baik fisik, emosi, maupun sosial.
Penelantaran anak adalah dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal
untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik
(kegagalan untuk menyediakan pakaian, makanan yang cukup, atau kebersihan),
emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang),
pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) atau medis
(kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).2 Pelaku
penelantaran anak adalah setiap orang yang melakukan penelantaran terhadap
anak.
1 http://id.m.wikipedia.org/penelantaran-anak/, dikutip pada hari Senin, tanggal 29 Mei 2017, jam20.00 wib.2 http://blogspot.com/pengertian-penelantaran-anak/, dikutip pada hari Senin, tanggal 29 Mei 2017,jam 20.05 wib.
2
Keseluruhan peraturan yang ada dan berlaku di Indonesia, mengatur dan mengikat
berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk juga mengenai perlindungan
terhadap anak, dikarnakan sesuai dengan isi UUD 1945, dikatakan bahwa seorang
anak memiliki hak hidup untuk tumbuh dan berkembang serta dilindungi dari
kekerasan dan diskriminasi. Idealnya anak adalah pewaris dan penerus masa depan
bangsa, secara real kondisi anak Indonesia masih mengalami kekerasan.3
Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak, yakni berusia maksimal 18 (delapan belas) tahun, termasuk
yang terkategori anak adalah anak yang masih dalam kandungan, uraian pasal ini
jika melihat komposisi penduduk maka penduduk Indonesia yang terkategori
sebagai anak sangat besar, memiliki potensi untuk memajukan kehidupan bangsa.
Pasal 1 angka 2 UU No. 35 Tahun 2014 berisi “Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”, uraian ini pentingnya perlindungan terhadap anak menentukan
proses kejiwaan, karena pada hakikatnya dunia anak adalah dunia bermain yang
penuh kreatifitas dan imajinasi.4
Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang dijunjung tinggi dan setiap anak
yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta, dalam
Konvensi Hak Anak terdapat 4 (empat) prinsip umum yang menjadi dasar dan
3 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung, Nuansa Cet-1, 2006, hlm. 15.4M.J.A Nasir, Membela Anak Dengan Teater, Yogyakarta,Purwanggan Cet-1, 2001, hlm. 10.
3
acuan bagi para pihak khususnya negara saat melakukan kewajibannya memenuhi,
menghormati dan melindungi hak-hak anak, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Prinsip non-diskriminasi, prinsip ini mewajibkan negara agar semua anak
yang berkonflik dengan hukum mendapatkan perlakuan yang sama;
2. Prinsip kepentingan terbaik anak, prinsip kepentingan terbaik secara
sistematis dengan mempertimbangkan hak-hak anak dan kepentingan anak
akan dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan badan-badan tersebut;
3. Prinsip asas keberlangsungan hidup dan perkembangannya;
4. Prinsip penghargaan terhadap anak.5
Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1989, ada 10 (sepuluh)
hak yang harus diberikan untuk anak kita, antara lain:
1. Hak untuk bermain;2. Hak untuk mendapatkan pendidikan;3. Hak untuk mendapatkan perlindungan;4. Hak untuk mendapatkan nama (identitas);5. Hak untuk mendapatkan status kebangsaan;6. Hak untuk mendapatkan makanan;7. Hak untuk mendapatkan akses kesehatan;8. Hak untuk mendapatkan rekreasi;9. Hak untuk mendapatkan kesamaan;10. Hak untuk memiliki peran dalam pembangunan.6
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Penegakan hukum pidana pada pelaku penelantaran anak harus
5 Ayu Nadia Maryandani, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi KorbanPenelantaran Oleh Orang Tua Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia (Skrips), Fakultas HukumUniversitas Lampung, Bandar Lampung, 2016, hlm.66 http://republika.co.id/10-hak-anak-indonesia-sudahkah-anda-memberikan-ini?, diakses pada hariMinggu, tanggal 28 Mei 2017, jam 19.00 wib
4
ditegakkan, karena lemahnya penegakan hukum dan ringannya sanksi bagi pelaku
menjadi salah satu penyebab masih maraknya kasus penelantaran anak. Mencegah
meningkatnya penelantaran anak maka penegakan hukum harus diperkuat dengan
kerasnya sanksi bagi pelaku penelantaran anak, misalnya; hukuman seumur hidup,
untuk kejahatan seksual hukumannya dikebiri, dan jika pelakunya orang tua
kandung maka harus dihukum mati.
Penegakan hukum tentang penelantaran anak harus dilakukan dengan sosialisasi
dan penguatan terhadap lembaga-lembaga perlindungan anak, memperkuat
peraturan dibidang perlindungan anak, pemberian sanksi yang tinggi agar
memberi efek jera (misalnya: sanksi hukuman kebiri, seumur hidup, bahkan
sampai hukuman mati). Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,
baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan
pidana. Kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks
sosial, sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan, dikatakan
sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-
nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus
diperhatikan dengan baik dan cermat dalam proses penegakan hukum.7
UU No. 35 Tahun 2014, mengatur mengenai larangan-larangan perbuatan yang
tidak dapat dilakukan terhadap anak, baik secara fisik maupun psikis, yang diatur
dalam Pasal 76 B berisi bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, melibatkan,
7Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 2.
5
menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran”,
adapun ancaman hukuman sesuai dengan ketentuan Pasal 77 B, berisi bahwa
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam kasus pelaku
penelantaran anak adalah melakukan koordinasi dengan Petugas Kelurahan/Desa
untuk mencegah dengan melakukan sosialisasi dan penguatan pemahaman kepada
masyarakat, selanjutnya jika telah terjadi tindakan penelantaran anak maka aparat
penegak hukum melakukan tindakan refresif dengan menjalankan sistem
peradilan pidana atau criminal justice system, dengan melakukan penerimaan
laporan dan/atau pengaduan, penyelidikan (pengumpulan alat bukti), penyidikan
dan pelimpahan kepada penuntut umum (kejaksaan) agar dilakukan penuntutan di
persidangan dan pemberian putusan oleh hakim.
Kasus penelantaran anak saat ini setiap tahun terus terjadi dan meningkat dari
tahun ke tahun, pemerintah belum menemukan langkah dan tindakan nyata yang
mampu mencegah dan mengurangi angka penelantaran anak. Kasus penelantaran
anak yang terjadi bisa menimpa siapapun, salah satunya adalah kasus penelantaran
anak yang terjadi di Cianjur, dalam Dakwaan bernomor:
PDM/119/0.2.18/EUH.2/2014 tertanggal 4 November 2014, Jaksa Penuntut
Umum mendakwa Sonny Irawan Tarigan alias Muhammad Irawan berusia 32
(tiga puluh dua) tahun, dengan Pasal 77B UU no. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak jo Pasal 49 huruf a UU No. 23 Tahun 2004 tentang
6
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adapun terdakwa sebagai kepala
keluarga telah menelantarkan 3 (tiga) orang anaknya, yakni Michael Tarigan,
Rachel Tarigan dan Sarah Tarigan tanpa memenuhi kewajibannya, adapun
peristiwa tersebut terjadi sejak bulan desember tahun 2012, terdakwa
meninggalkan keluarganya tanpa alasan yang jelas dan tidak pernah bertemu
ataupun berkomunikasi lagi dengan keluarganya dan sejak itu keberadaan
terdakwa tidak diketahui sampai akhir tahun 2013 terdengar kabar keberadaan
terdakwa yang telah menikah lagi. Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa
dengan pidana penjara 2 (dua) tahun, denda Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) atau
subsidair 3 (tiga) bulan kurungan penjara.8
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur yang memeriksa dan Memutus Perkara
dengan Putusan bernomor: 333/Pid.B/2014/PN.Cjr, tertanggal 5 Februari 2015,
menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yang telah terbukti secara sah dan
menyakinkan telah melakukan tindak kejahatan dengan hukuman penjara selama 4
(empat) bulan dikurangi selama terdakwa menjalani penahanan dan
memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan.
Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Cianjur yang menuntut dan
menyidangkan perkara ini, melakukan upaya hukum banding terhadap putusan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur yang memutus terdakwa dengan pidana
penjara selama 4 (empat) bulan, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang
menerima permohonan banding, kemudian memeriksa dan menyidangkan perkara
ini pada intinya sependapat dengan Putusan Pengadilan Negeri Cianjur yang telah
8 http:www.putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/.../pdf, diakses pada hari Rabu,tanggal 30 Agustus 2017, jam 23.00 wib.
7
memeriksa perkara ini ditingkat pertama, kemudian dari dasar tersebut maka
Majelis Hakim Banding pada Pengadilan Tinggi Bandung memutuskan menerima
permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum, dan memperbaiki Putusan dari
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur, adapun amar putusan dari Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Bandung adalah menyatakan terdakwa Sonny Irawan
Tarigan alias Muhammad Irawan telah terbukti secara sah dan bersalah melakukan
tindak pidana “Dengan sengaja melakukan penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami penderitaan mental dan sosial”, menjatuhkan
pidana penjara selama 6 (enam) bulan terhadap terdakwa, menetapkan masa
penahanan yang telah dijalankan terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang telah ditetapkan.9
Kasus lain, terkait dengan penelantaran anak adalah kasus orang tua usir anak,
adapun kronologisnya adalah sebagai berikut pada hari rabu tanggal 13 Mei 2015,
Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Erlinda mendapat
informasi ada kasus penelantaran anak di Cibubur, Kamis 14 Mei, Erlinda
berusaha ke lokasi di Perumahan Citra Gran Cibubur, dia juga berkoordinasi
dengan tim Kementerian Sosial, berangkat kerumah pasangan Utomo Purnomo-
Nurindria Sari di Perumahan Citra Gran Cluster Nusa II Blok E Nomor 37,
Cibubur, Pondok Gede, Bekasi. Utomo menelantarkan lima anaknya selama
bertahun-tahun. Putranya usia delapan tahun inisial D diusir dan tidur di pos jaga
perumahan, D tidak diberi makan dan pendidikan. Erlinda mengantongi bukti foto
D tidur di pos jaga, kondisi didalam rumah Utomo berantakan. Erlinda kemudian
berkoordinasi dengan aparat polsek dan polres setempat untuk mengamankan
9 Ibid
8
kedua orang tua itu. Sekitar pukul 12.30 wib, tim jatanras Polda Metro Jaya datang
ke lokasi kejadian. Aparat Polda Metro jaya tahu ada kasus penelantaran anak di
Cibubur dari media sosial, Warga angkat tangan ketika Utomo kembali mengusir
D pendekatan warga ke Utomo dan istri tidak berhasil. Utomo mengatakan dia
berhak mengurus anaknya dengan caranya sendiri, warga menyebarkan kejadian
ini melalui media sosial. Erlinda mengetahui masalah ini dari media sosial, jadi
laporannya tidak langsung ke KPAI, tapi melalui broadcast ke media sosial karena
warga sudah tidak kuat, paparnya.10
Menindaklanjuti amanat UU No. 23 Tahun 2004, beserta UU No.35 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka
Pemerintah Provinsi Lampung membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan
Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang langsung dipimpin oleh Istri Wakil
Gubernur, di tingkat Kabupaten atau Kota juga telah dibentuk Pusat Pelayanan
Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak yang dipimpin oleh Istri
Bupati/Wakil Bupati atau Istri Walikota/Wakil Walikota.
Kepolisian sendiri sudah tersedia Unit khusus yakni Unit Perlindungan Perempuan
dan Anak (Unit PPA), sampai tingkatan Kepolisian Sektor (Polsek), selain itu dari
sisi bantuan hukum adanya lembaga-lembaga bantuan hukum yang bergerak di
bidang perlindungan anak, seperti Lembaga Advokasi Anak (LADA), DAMAR,
Lembaga Perlindungan Anak (LPA), serta ditingkatan nasional telah adanya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selain itu di tingkat Kejaksaan
sudah adanya Seksi Khusus yang menangani perkara-perkara yang melibatkan
10 http://m.metrotvnews.com/news/peristiwa/ybJEd9WN-kronologi-kasus-orangtua-usir-anak-terungkap, diakses pada hari Kamis, tanggal 18 Mei 2017, jam 00.15 wib.
9
anak baik anak sebagai anak pelaku maupun sebagai korban, selain itu di
Pengadilan-pengadilan sudah adanya ruangan khusus untuk sidang anak yang
menerapkan amanat UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul “Penegakan Hukum Pidana
Terhadap Pelaku Penelantaran Anak”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam Latar Belakang diatas, maka
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran
Anak?
2. Apakah Yang Menjadi Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap
Pelaku Penelantaran Anak ?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang menggambarkan
batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi area penelitian.
Ruang lingkup substansi penelitian mengenai penegakan hukum pidana terhadap
pelaku penelantaran anak dan faktor penghambat penegakan hukum terhadap
pelaku penelantaran anak, ruang lingkup lokasi di Polresta Bandar Lampung Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
10
Provinsi Lampung, Cabang Kejaksaan Negeri Panjang, dan Fakultas hukum
Universitas Lampung. Ruang lingkup waktu dilaksanakan pada 8-10 Agustus
2017.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan dalam
penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui, memahami serta menganalisa penegakan hukum pidana
terhadap pelaku penelantaran anak.
2) Untuk mengetahui, memahami serta menganalisa faktor penghambat
penegakan hukum terhadap pelaku penelantaran anak.
b. Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian dalam penulisan ini
adalah :
1. Secara teoritis.
1) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang hukum
pidana khususnya perlindungan anak.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi di dunia
kepustakaan dan memberi masukan kepada pihak-pihak lain yang dapat
digunakan untuk kajian dan penulisan ilmiah di bidang hukum.
11
2. Secara Praktis.
1) Memberikan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dalam upaya
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan hukum pidana khususnya
perlindungan anak.
2) Salah satu syarat akademik bagi penulis untuk menyelesaikan studi di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
a. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara,
aturan, asas, keterangan, sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi acuan,
landasan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.11
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori-teori yang dikumpulkan
dari berbagai pendapat ahli hukum dalam rangka untuk dijadikan acuan atau
landasan dari penelitian ini, antara lain:
a. Teori Penegakan Hukum
Teori Roscoe Pound, Sosiological Jurisprudence menyebutkan bahwa politik
hukum pidana sebagai salah satu usaha dalam menanggulangi kejahatan dalam
penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan hukum pidana yang rasional
itu terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:
A. Tahap Formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh
badan pembentuk undang-undang dalam tahap ini pembentuk undang-undang
melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan
11 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,hlm. 73.
12
situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya
dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna. Tahap ini juga disebut tahap kebijakan legislatif;
B. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum
pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan
hingga pengadilan, dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta
menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh
badan pembentuk undang-undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat
penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan daya guna.
Tahap ini disebut juga tahap kebijakan yudikatif;
C. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara
konkret oleh aparat pelaksana pidana, dalam tahap ini aparat pelaksana pidana
bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk
undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh
pengadilan. Aparat pelaksana dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman
kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh
pembentuk undang-undang (legislatur) dan nilai-nilai keadilan serta daya
guna.12
12 Mardjono Reksodiputro, Loc Cit
13
b. Teori Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan
perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang
mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:
1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan
kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
Kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang
dapat dibenarkan sepanjang kebijakan tidak bertentangan dengan hukum.
2) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas
atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri.Dalam rangka penegakan
hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus
dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
3) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan
hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin
menjalankan peran semestinya.
14
4) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan
hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai dalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat
maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.
5) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.
Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-
nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin
banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan
kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudah menegakannya.13
b. Konseptual
Konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang akan diteliti agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penulisan ini,
maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan
beberapa istilah yang digunakan oleh penulis, adapun istilah-istilah yang
dimaksud antara lain sebagai berikut:
Penegakan hukum menurut Satjipto Raharjo adalah penegakan ide-ide atau
konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya.
Jadi penegakan hukum adalah proses perwujudan ide-ide.
13 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rineka Cipta,Jakarta, 1983, hlm.8-10
15
Pelaku menurut Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP adalah orang yang melakukan,
menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu.
Anak menurut Pasal 1 Ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 adalah seseorang yang
belum berusia 18 (Delapan Belas Tahun), termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Penelantaran anak adalah dimana orang dewasa yang bertanggungjawab gagal
untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik,
emosional, pendidikan, atau medis.
E. Sistematika Penulisan
Subbab ini penulis membuat sistematika penulisan yang membuat uraian secara
garis besar urutan kegiatan dalam melakukan penulisan masalah apa yang
diuraikan sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Pada Bab ini mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan
yang kemudian dilanjutkan dengan permasalahan, tujuan dan kegunaan
penulisan, kerangka konsepsional (teoritis dan konseptual) dan diakhiri
dengan sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab ini mengemukakan pengertian anak, penegakan hukum, kejahatan
dalam keluarga, bentuk-bentuk penelantaran anak, aspek pidana penelantaran
anak dalam sistem hukum Indonesia.
16
III. METODE PENELITIAN
Pada Bab ini menjelaskan metode yang dipakai guna memperoleh data yang
akurat, adapun metode yang digunakan terdiri dari jenis penelitian, tipe
penelitian, pendekatan masalah, jenis dan sumber data, metode pengumpulan
data, metode pengolahan data, analisa data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang
mengemukakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran
Anak.
V. PENUTUP
Pada Bab ini berisikan kesimpulan dari apa yang dibahas dalam bab
sebelumnya, yang selanjutnya diberikan saran.
DAFTAR PUSTAKA
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Anak
Pengertian anak bisa didapatkan dari beberapa literatur yakni,
1. Pengertian anak adalah seorang laki-laki atau perempuan yang belum dewasa
atau belum mengalami pubertas, dan anak merupakan keturunan kedua,
dimana kata anak merupakan lawan dari orangtua dan berdasarkan pendapat
psikologi, anak adalah periode perkembangan yang merentang dari masa bayi
hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut periode
prasekolah, kemudian berkembang ke tahap sekolah.14
2. Pengertian anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang
dimaksud dengan anak adalah keturunan atau manusia yang masih kecil.15
3. Pengertian anak menurut hukum adat/kebiasaan adalah belum dapat bekerja
sendiri, belum cakap untuk melaksanakan apa yang diisyaratkan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bertanggungjawab, belum dapat mengurus
harta kekayaan sendiri.16
4. Pengertian anak menurut hukum perdata, tercantum dalam Pasal 330 KUHPdt
yakni anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang yang belum
14 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Anak, diakses pada hari Selasa tanggal 18 April 2017, Jam 17.39Wib15 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 8116 https://andibooks.wordpress.com/definisi-anak/, diakses pada hari Selasa tanggal 18 April 2017,jam 18.00 eib
18
mencapai usia batas legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya
subjek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata.17
5. Pengertian anak menurut hukum pidana, sesuai dengan isi Pasal 46 KUHP,
bahwa anak adalah anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16
(enam belas) tahun.18
6. Pengertian anak dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terdapat
dalam Pasal 47 ayat (1), yakni orang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orangtuanya.
7. Pengertian anak menurut UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,
Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa anak adalah anak yang dalam perkara
anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belu mencapai 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
8. Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
menyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18
(delapan belas) tahun dan belu menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
9. Pengertian anak berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014, Pasal 1 ayat (1) adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
10. Pengertian sehari-hari mengenai anak, jika ditinjau dari hukum yang berlaku
di Indonesia adalah orang yang belum dewasa, yang dibawah umur atau
keadaan dibawah umur atau dibawah pengawasan wali.19
17 Ibid18 Ibid
19
Uraian diatas maka seorang anak adalah seseorang laki-laki atau perempuan, yang
belum mencapai usia dewasa dan belum mampu untuk menjadi subjek hukum
serta bertanggung jawab atas segala konsekuensi hukum dari tindakannya.
B. Penegakan Hukum
Pengertian penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum
adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam
kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantab dan mengejahwantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Menurut Satjipto
Raharjo, penegakan hukum merupakan penegakan penegakan ide-ide atau konsep
tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya, jadi penegakan
hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep tadi
menjadi kenyataan.
Teori Roscoe Pound, Sosiological Jurisprudence menyebutkan bahwa politik
hukum pidana sebagai salah satu usaha dalam menanggulangi kejahatan dalam
penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan hukum pidana yang rasional
itu terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:
A. Tahap Formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh
badan pembentuk undang-undang dalam tahap ini pembentuk undang-undang
melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan
situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya
dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil
19 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori Praktek dan Permasalahannya), CV.Manda Mulya, Bandung, 2005, hlm. 3.
20
perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna. Tahap ini juga disebut tahap kebijakan legislatif;
B. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum
pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan
hingga pengadilan, dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta
menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh
badan pembentuk undang-undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat
penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan daya guna.
Tahap ini disebut juga tahap kebijakan yudikatif;
C. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara
konkret oleh aparat pelaksana pidana, dalam tahap ini aparat pelaksana pidana
bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk
undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh
pengadilan. Aparat pelaksana dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman
kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh
pembentuk undang-undang (legislatur) dan nilai-nilai keadilan serta daya
guna.20
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana
materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun
demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks
sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan, dikatakan
20 Mardjono Reksodiputro, Loc Cit
21
sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-
nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus
diperhatikan dengan baik dan cermat dalam proses penegakan hukum.
Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana
substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam
bentuk prefentif, refresif, kuratif. Terlihat keterkaitan antar subsistem peradilan
pidana yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Menurut Muladi, satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan
pidana yakni istilah due process of law yang memiliki arti proses hukum yang adil
dan layak, secara keliru penerapan hukum ini hanya pada seorang tersangka atau
terdakwa, padahal arti istilah ini mencakup arti luas lebih dari penerapan hukum
atau perundang-undangan secara formil.21
Sistem peradilan pidana anak menurut UU No. 11 Tahun 2012 adalah keseluruhan
proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap
penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, hal
ini dikhususkan bagi anak sebagai pelaku, anak sebagai korban dan anak sebagai
saksi. Tujuan pemidanaan dapat dilihat melalui dasar pembenaran adanya hukum
atau penjatuhan pidana, dasar penjatuhan pidana ada 3 (tiga) teori, yaitu:
1. Teori Absolut
Menurut teori absolut tujuan dari pemidanaan terletak pada hukum pidana itu
sendiri, ”barang siapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, harus dijatuhkan
21 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,Semarang, 1997, hlm. 62.
22
hukum pidana.....”, teori ini disebut juga teori pembalasan, karena bersifat
pembalasan (vergelding), hukum dijatuhkan karena ada dosa.
2. Teori Relatif
Menurut teori relatif, tujuan pemidanaan adalah untuk:
a. Mencegah;
b. Menakut-nakuti, sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan;
c. Memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana;
d. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan.
Teori ini disebut juga teori tujuan, karena menitikberatkan pada tujuan hukuman,
ancaman hukuman perlu supaya manusia tidak melanggar.
3. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan, yang merupakan kombinasi antara teori absolut dan teori
relatif, tujuan penjatuhan pidana karena orang tersebut melakukan kejahatan dan
agar ia tidak melakukan kejahatan lagi.22
Pengertian dan Jenis-jenis Pidana dan Tindak Pidana
Mengenai pengertian pidana, tindak pidana dan segala pengaturannya diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau “Wetboek Van
Strafrecht” dikenal 2 (dua) istilah pokok yaitu “Straf” (pidana) dan “Strafbaarfeit”
(tindak pidana).
22 Yulies Tina Masriani, Pengantar Hukum Indonesia Cet-V, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,hlm. 66.
23
1. Pengertian dan Jenis-Jenis Pidana
1. Pengertian Pidana
Istilah pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Straf”, dimana istilah
tersebut khusus dipakai dalam bidang hukum. Terdapat beberapa pengertian
tentang “pidana” yang dikemukakan oleh para sarjana hukum, yaitu :
1. Roeslan Saleh berpendapat “pidana” adalah reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik
itu.23
2. Soedarto berpendapat “pidana” adalah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.24
3. R. Soesilo berpendapat “pidana” adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara)
yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis, kepada orang-orang yang
melanggar Undang-Undang Hukum Pidana.25
Definisi yang telah diungkapkan oleh para sarjana diatas dapat diambil unsur atau
ciri-ciri dari pidana, yaitu :
1. Pidana itu merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-
akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan atau memiliki kewenangan.
23 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara baru-Cet IV, Jakarta, 1983, hlm. 9.24 Soedarto, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 48.25 R. Soesilo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 9.
24
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang penanggungjawab pidana menurut
undang-undang.
2. Jenis-jenis Pidana
Jenis-Jenis Pidana seperti yang terdapat dalam Pasal 10 (sepuluh) KUHP terbagi
dalam 2 (dua) Jenis, yaitu :
1. Pidana Pokok (utama) :
1) Pidana Mati;
2) Pidana Penjara :
a. Pidana seumur hidup.
b. Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun
dan sekurang-kurangnya 1 tahun).
3) Pidana Kurungan, (Sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya 1
tahun);
4) Pidana Denda;
5) Pidana Tutupan.
2. Pidana Tambahan :
1) Pencabutan hak-hak tertentu;
2) Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu;
3) Pengumuman keputusan hakim.
Hukum pidana hal tersebut sangat penting karena dipandang dapat menjamin
terlaksananya proses penegakan hukum. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat
diketahui jenis-jenis pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
25
Pidana terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu ; Pidana Pokok dan Pidana Tambahan
yang menjadi dasar penjatuhan sanksi pidana dalam putusan hakim.
2) Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana berasal dari salah satu terjemahan dari kata “Strafbaarfeit”,
adapun terjemahan yang lain yaitu peristiwa pidana, perbuatan pidana,
pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh
dihukum. Terdapat beberapa pengertian tentang istilah-istilah tersebut dari para
sarjana yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pompe berpendapat bahwa Pengertian “Strafbaarfeit” dibedakan :
a. Definisi menurut teori, memberikan pengertian “Strafbaarfeit” adalah
suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si
pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata
hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi menurut Hukum Positif, memberikan pengertian “Strafbaarfeit”
adalah suatu kejadian (Feit) yang oleh peraturan undang-undang
dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
2. Vos berpendapat bahwa Pengertian “Strafbaarfeit” adalah suatu kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu
kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman Pidana.
3. Simons berpendapat bahwa Pengertian “Strafbaarfeit” adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum yang
26
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.26
4. Van Hammel berpendapat bahwa Pengertian “Strafbaarfeit” adalah kelakuan
orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.27
5. Moeljatno berpendapat bahwa Pengertian “Strafbaarfeit” dengan memberikan
pengertian perbuatan pidana, perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan
tersebut.28 Moeljatno juga berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
aturan tersebut.29
Pengertian “strafbaarfeit” yang diberikan oleh para sarjana diatas, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Feit dalam Strabaarfeit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku.
2. Pengertian Strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang
melakukan kelakuan tersebut.30
Penggunaan istilah “tindak pidana” sebagai terjemahan dari istilah Strafbaarfeit
didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut :
26 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta-Cet VI, Jakarta, 2000, hlm. 56.27 Ibid, hlm. 56.28 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara,Jakarta, hlm. 83.29 Nikmah Rosidah, Asas-Asas Hukum Pidana, Pustaka Magister, Semarang, 2011, hlm. 10.30Moeljatno, Op. cit, hlm. 56.
27
1. Tinjauan dari segi sosio-yuridis, hampir semua perundang-undangan pidana
memakai istilah tindak pidana.
2. Instansi dan Para Penegak Hukum memakai istilah tindak pidana.
3. Meskipun dipakai istilah tindak pidana, secara yuridis-teoritis berarti tindak
pidana (actus reus) harus dibedakan dan dipisahkan dari pertanggung
jawaban pidana (mens reus).
4. Istilah tindak pidana selain selain mengandung pengertian yang tepat dan
jelas sebagai istilah hukum, juga sangat praktis digunakannya.31
Menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana tersebut adalah
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan tersebut juga merugikan
masyarakat karena bertentangan dengan tata pergaulan masyarakat yang dianggap
baik atau adil.
Diketahui bahwa pengertian tindak pidana (Strafbaarfeit) menunjuk kepada unsur-
unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang;
2. Perbuatan yang bersifat melawan hukum;
3. Perbuatan yang dilakukan dengan kesalahan; dan
4. Perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Jenis-jenis Tindak Pidana
Jenis-Jenis Tindak Pidana terdiri dari 2 (dua) macam yakni Tindak Pidana Umum
dan Tindak Pidana Khusus, yang pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-
31 M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-Undang HukumPidana, CV. Remadja Karya, Bandung, 1986, hlm. 1.
28
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundang-undangan lain diluar KUHP
sebagai pendukungnya.
a. Tindak Pidana Umum
Tindak Pidana Umum adalah suatu perbuatan yang pengaturannya terdapat dalam
KUHP, yang terdiri dari :
1) Kejahatan
Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan apa yang
ditentukan dalam kaidah, perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan
dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah yang telah
ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.32 Kaitan ini,
pelaku tindak pidana kejahatan dapat dikatakan telah mempunyai latar belakang
yang ikut mendukung terjadinya kriminalitas tersebut, sebagai contoh seorang
yang hidup dilingkungan yang rawan akan tindak kriminal, maka secara sosiologis
jiwanya akan terpengaruh oleh keadaan tempat tinggalnya.
Menurut Sue Titus Reid bagi suatu perumusan tentang kejahatan maka yang
diperhatikan adalah :
1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja (omissi). Dalam pengertian ini
seseorang dapat dihukum karena pikirannya, melainkan harus ada suatu
tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat
juga merupakan kejahatan. Jika terdapat suatu keajaiban hukum untuk
bertindak dalam kasus tertentu, disamping itu ada niat jahat (“criminal
insert”,”mens rea”);
32 Ninik Widiyanti, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari SegiKriminologi dan Sosial, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1978, hlm. 147.
29
2. Merupakan pelanggaran hukum pidana;
3. Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui
secara hukum;
4. Diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran.33
Definisi tersebut di atas, pada dasarnya kejahatan adalah suatu bentuk perbuatan
dan tingkah laku yang melanggar hukum dan perundang-undangan lain serta
melanggar norma sosial sehingga masyarakat menentangnya. KUHP tidak
memberikan definisi secara tegas tentang pengertian kejahatan. Kaitannya dengan
kejahatan dapat disimpulkan bahwa semua perbuatan yang disebut dalam buku ke-
II Pasal 104 – 488 KUHP adalah kejahatan dan perbuatan lain secara tegas
dinyatakan sebagai kejahatan dalam Undang-Undang di luar KUHP.
2) Pelanggaran
Pengaturan KUHP yang mengatur tentang pelanggaran adalah Pasal 489-569 /
Bab I-IX. Pelanggaran adalah “Wetsdelichten” yaitu perbuatan-perbuatan yang
sifat hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.34
Pembunuhan, pencurian, penganiayaan dan peristiwa-peristiwa semacam itu
merupakan kejahatan (Rechtsdelicten) karena terpisah dari aturan pidana yang
tegas, dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil. Peristiwa seperti bersepeda
diatas jalan yang dilarang, berkendara tanpa lampu atau kejurusan yang dilarang
merupakan kejahatan undang-undang/pelangaran (Wetsdelicten), karena kesadaran
hukum kita tidak menganggap bahwa hal-hal itu dengan sendirinya dapat
33 Soerjono Soekanto, Penanggulangan Kejahatan, Rajawali Pers, Jakarta, 1984, hlm .44.34 Moeljatno, Op. cit, hlm .72.
30
dipidana, tetapi baru dirasakan sebagai demikian, karena oleh undang-undang
diancam dengan pidana.35
Perbedaan kejahatan dan pelanggaran adalah sebagai berikut :
a. Kejahatan adalah criminal onrecht dan pelanggaran adalah politie onrecht.
Criminal onrecht adalah perbuatan hukum sedangkan Politie onrecht
merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan keharusan yang
ditentukan oleh penguasa negara. Pendapat lain yang mengatakan arti
Criminal onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan atau
membahayakan kepentingan hukum, sedangkan arti politie onrecht sebagai
perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan pada perbuatan yang
dilarang oleh peraturan penguasa atau negara.
b. Kejahatan adalah memperkosa suatu kepentingan hukum seperti:
pembunuhan, pencurian, dan sebagainya atau juga membahayakan suatu
kepentingan hukum dalam arti abstrak misalnya penghasutan dan sumpah
palsu, namun kadang-kadang dapat pula dikatakan bahwa sumpah palsu juga
termasuk sebagai suatu kejahatan.
c. Kejahatan atau pelanggaran itu dibedakan karena sifat dan hakekatnya
berbeda, tetapi ada perbedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas
ukuran pelanggaran itu dipandang dari sudut kriminologi tidaklah berat
apabila dibandingkan dengan kejahatan.
35 Mr. J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987,hlm. 27.
31
Uraian tersebut di atas, maka dapat disebutkan bahwa suatu perbuatan dikatakan
termasuk pelanggaran atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara
karena antara kejahatan dan pelanggaran itu berbeda baik dari sifat, hakekat,
maupun ukuran dari tindak pidana yang dilakukan.
b. Tindak Pidana Khusus
Tindak Pidana Khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang
diatur diluar Kitab Undang-Undang Pidana, dasar pemberlakuan tindak pidana
khusus adalah KUHP diatur dalam Pasal 103, yaitu : Ketentuan-ketentuan dalam
Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan
yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana kecuali
jika oleh undang-undang ditentukan lain, misal :
a. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
d. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
e. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
f. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak.
g. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Pencucian Uang.
h. Undang-undang Nomor 15 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003
Tentang Terorisme.
i. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
32
j. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Tindak Pidana Khusus maksudnya ditinjau dari peraturan yang menurut Undang-
Undang bersifat khusus baik jenis tindak pidananya, penyelesaiannya, sanksinya
bahkan hukum acaranya sebagian diatur secara khusus dalam Undang-Undang
tersebut dan secara umum tetap berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
Aparat Penegak Hukum, telah melakukan tindakan maksimal dengan memberikan
hukuman yang disesuaikan dengan aturan perundang-undangan dengan putusan
yang diatas 5 (lima) Tahun Penjara dan denda yang diatas Rp. 72.000.000,- (tujuh
puluh dua juta rupiah) yang dilakukan hukuman pengganti denda berupa hukuman
penjara bagi terdakwa jika tidak mampu membayar denda hukuman.
B. Kejahatan Dalam Keluarga
Mengenai kejahatan atau penelantaran terhadap anak, selain diatur dalam UU No.
35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak juga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun sebelum berbicara UU
No. 23 Tahun 2004, kita sebaiknya memahami dulu mengenai apa yang dimaksud
dengan Pengertian Keluarga, yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4) UU No. 35 Tahun
2014. Orangtua adalah ayah atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau
ayah dan/atau ibu angkat.
33
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004, menyatakan bahwa Kekerasan
dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang terutama
perempuan,yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Ketentuan ayat (3) berisi bahwa Korban
adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga.
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004, menyatakan bahwa:
(1) Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:
a. Suami, isteri dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga, dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 4 UU No. 23 tahun 2004, menyatakan bahwa:
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
34
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Ketentuan Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004, menyatakan bahwa:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga.
Ketentuan Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004, menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah
sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.
Pasal 10 UU No.23 Tahun 2004, menyatakan bahwa:
Korban berhak mendapatkan:
35
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dan pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.
C. Aspek Pidana Penelantaran Anak Dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak
Bentuk- Bentuk Penelantaran Anak
Penelantaran anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala keadaan
perhatian yang tidak memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Bentuk-bentuk
penelantaran anak adalah sebagai berikut:
a. Penelantaran fisik merupakan kasus yang paling banyak ditemui, misalnya
keterlambatan bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak
tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
b. Penelantaran pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat
pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal,
lama-kelamaan hal ini mengakibatkan prestasi di sekolah menurun.
c. Penelantaran secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak
menyadari kehadiran anak ketika ribut dengan pasangannya, atau orangtua
36
memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak-
anaknya.
d. Penelantaran fasilitas medis, hal ini terjadi ketika orang tua gagal
menyediakan fasilitas kesehatan untuk anak padahal finansial memadai,
misalnya ketika anak sakit diobati secara tradisional ketika tidak berhasil baru
ke dokter.
Penyebab penelantaran anak umumnya terjadi, karna permasalahan didalam
keluarga yang banyak, misalnya karena orangtua kecanduan obat-obatan terlarang,
permasalahan ekonomi keluarga yang sulit, orangtua tunggal, dan lain-lain.36
Perkembangan hukum di Indonesia, banyak sekali diatur mengenai aspek
pertanggungjawaban pidana bagi anak, baik anak yang ditelantarkan atau anak
yang menjadi pelaku pelanggaran hukum pidana, yakni:
1. UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP);
2. UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP);
3. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:
4. UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak;
5. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia;
6. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
7. UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga;
36 http://rotsania.blogspot.co.id/2012/11/penelantaran-anak.html, yang diakses pada hari Rabu,Tanggal 19 April 2017, jam 22.27 wib.
37
8. UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Khusus
mengatur anak yang menjadi anak pelaku);
9. UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
Uraian mengenai aturan hukum diatas maka, upaya pemerintah dalam mencegah
kekerasan terhadap anak, dengan cara memberikan hukuman terhadap pelakunya
sudah dioptimalisasikan, dengan harapan melindungi anak dari kekerasan, selain
itu juga dalam rangka mencegah anak terlibat dalam kejahatan juga dilakukan
dalam penyusunan peradilan yang bersahabat dengan anak.
E. Pengertian Penelantaran Anak Dalam UU Perlindungan Anak
Penelantaran anak merupakan suatu perbuatan yang melanggar norma hukum
yang berlaku dan perbuatan ini dilakukan oleh orang tua dari anak tersebut,
dimungkinkan karena orang tua tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan anak
secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Kepentingan anak
haruslah dijadikan dasar pedoman oleh mereka yang bertanggung jawab terhadap
pendidikan dan bimbingan anak yang bersangkutan pertama-tama tanggung
jawabnya terletak pada orang tua mereka. Anak-anak harus mempunyai
kesempatan yang leluasa untuk bermain dan berekreasi yang harus diarahkan
untuk tujuan pendidikan, dan masyarakat serta penguasa yang berwenang harus
berusaha meningkatkan pelaksanaan hak tersebut.
Anak terlantar adalah anak yang karena sebab orang tuanya melalaikan
kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dipenuhi secara wajar baik rohani,
38
jasmani, maupun sosial. Pengertian anak terlantar tertera pada Undang-Undang
No. 35 Tahun 2015 Pasal 1 ayat 6 bahwa : “anak terlantar adalah anak yang tidak
terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial”,
Walaupun ada seperangkat peraturan perundang-undangan yang melindungi hak-
hak anak, tetapi kualitas permasalahannya dari tahun ketahun mengalami
perkembangan kompleksitas bahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, moral, sosial dan intelektual anak.
Jenis penelantaran yang semakin marak ditemukan seperti orang tua tidak
menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal maupun kasih sayang yang cukup
bagi seorang anak, serta anak anak yang ditinggalkan orang tuanya, dikarenakan
hutang, ataupun dikarenakan ekonomi kemiskinan yang menjadi faktor utamanya.
Penelantaran mempunyai pengertian yaitu merupakan kegagalan untuk
memberikan keperluan hidup yang mendasar kepada anak seperti makan, pakaian,
tempat berlindung, perhatian atau pengawasan kesehatan sehingga mengakibatkan
kesehatan dan perkembangan anak dapat atau mungkin dapat terancam.
Kewajiban orang tua adalah memberikan perlindungan dan bertanggung jawab
terhadap perkembangan anak. Tidak hanya orang tua saja yang harus
mempersiapkan generasi muda, tetapi masyarakat dan pemerintah juga ikut andil
dalam perlindungan dan perkembangan anak.
Titik tolaknya adalah masa depan anak melalui perlindungan anak terhadap segala
bentuk ketelantaran, kekerasan dan lainnya. Kasus penelantaran yang dilakukan
oleh orang tua kandung terhadap anaknya ini jika dilihat dari sisi hukumnya
merupakan perbuatan yang termasuk kedalam tindak pidana, karena jelas orang
39
tua korban menelantarkan anak, dan ini merupakan suatu perbuatan yang
dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang perlindungan anak yaitu Undang-Undang No.35 Tahun
2014, dijelaskan tentang ancaman hukuman pidana penjara dan denda. Didalam
Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak pada Pasal 76
huruf a dan b dan Pasal 77 huruf b tentang ketentuan pidana yang menyebutkan
bahwa : a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak
mengalami kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya. b. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.
40
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis
normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai
beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi,
doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan
dengan permasalahan penelitian ini. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk
mempelajari hukum berdasarkan kenyataan atau fakta yang didapat secara objektif
di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum
dalam melaksanakan penegakan hukum secara empirik.
B. Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan jenis penelitian yang telah ditentukan di atas, maka data yang
digunakan meliputi data sekunder, yakni sebagai berikut:
Data sekunder adalah data yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku literatur terkait. Data sekunder terdiri atas:
1. Bahan hukum primer, yaitu :
41
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) jo UU No. 73 Tahun 1958 Tentang
Pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1946 Tentang KUHP;
b. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga;
c. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU.No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang bersumber dari literatur – literatur,
bahan kuliah yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
website, surat kabar, kamus hukum dan lain – lain.
C. Penentuan Narasumber
Narasumber dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Penyidik Unit PPA Polresta Bandar Lampung : 1 Orang
2. Anggota LPA Provinsi Lampung : 1 Orang
3. Jaksa Cabang Kejaksan Negeri Panjang : 1 Orang
4. Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 Orang
Jumlah : 4 Orang
42
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, maka metode
pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas yang relevan dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Adapun cara yang dilakukan
yaitu dengan mengidentifikasi data sekunder yang diperlukan, inventarisasi
data yang sesuai dengan rumusan masalah, mengutip literature dan undang-
undang yang berhubungan dengan materi penelitian.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan ini dimaksudkan bahwa penulis langsung melakukan
penelitian pada lokasi atau objek yang telah ditentukan, dan penulis akan
melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam, yaitu
menggali informasi secara menyeluruh terkait penegakan hukum pidana
terhadap pelaku penelantaran anak.
2. Metode Pengolahan Data
Setelah mengumpulkan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data sehingga
dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti. Data yang telah
terkumpul, diolah melalui pengolahan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1. Identifikasi data, yaitu memeriksa data yang telah diperoleh untuk
mengetahui apakah data tersebut telah relevan dan sesuai dengan bahasan,
apabila terdapat data yang salah, maka akan dilakukan perbaikan.
43
2. Klasifikasi data, yaitu data yang telah selesai diseleksi, kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan jenis dan hubungannya dengan masalah
penelitian.
3. Sistematisasi data, yaitu menempatkan data pada masing-masing bidang
pembahasan yang dilakukan secara sistematis.
E. Analisa Data
Setelah data telah tersusun secara sistematis, maka tahap selanjutnya adalah
menganalisis data ini dengan cara yuridis kualitatif yaitu mengungkapkan dan
menguraikan data yang diperoleh dalam bentuk kalimat perkalimat yang disusun
secara terperinci, logis dan sistematis mengenai pokok bahasan sehingga dapat
ditarik suatu kesimpulan. Setelah semua data selesai diolah secara kualitatif,
kemudian dianalisa sesuai dengan pokok bahasan yaitu menganalisa tentang
Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak.
83
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak, sesuai dengan
tahap formulasi (KUHAP dan UU NO. 35 Tahun 2014 tentang perubahan
atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) dan UU No. 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tahap
aplikasi (pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum),
penerapan Pasal 77B UU no. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo
Pasal 49 huruf a UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, terhadap terdakwa serta pemberian putusan hukuman
selama 6 (enam) bulan penjara kepada terdakwa dan Tahap Eksekusi
(Pelaksanaan penetapan hakim atau putusan pengadilan oleh aparat penegak
hukum), terdakwa yang perkaranya telah incracht kemudian beralih status
menjadi terpidana dan menjalankan hukumannya di Lembaga
Pemasyarakatan.
2. Faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku
penelantaran anak yang dominan, adalah segi budaya adalah budaya yang
tertutup dan budaya menyelesaikan permasalahan tanpa harus diselesaikan
84
lewat Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Criminal Justice System), faktor
penghambat penegakan hukum pidana dari segi masyarakat yang masih
mengganggap permasalahan penelantaran anak sebagai hal yang biasa dan
bukan terkategori pelanggaran / kejahatan pidana, masih banyaknya kasus
penelantaran anak adalah hal yang biasa terjadi, apalagi jika permasalahan
keluarga yang dijadikan alasan seperti faktor ekonomi dan lain-lain.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah:
1. Penegak hukum mampu menerapkan peraturan perundang-undangan (tahap
formulasi dan aplikasi) serta melaksanakan tahap eksekusi terhadap putusan
hakim untuk mencegah penelantaran anak agar tidak terjadi dan untuk
menegakkan hukum apabila terdapat kasus penelantaran anak agar memberi
efek jera terhadap para pelaku.
2. Masyarakat menjadi terbuka dan bekerjasama dengan petugas kepolisian
untuk mencegah penelantaran anak dan budaya masyarakat yang
menghormati jalannya penegakan hukum dengan membudayakan
penyelesaian penelantaran anak melalui sistem peradilan pidana (criminal
justice system).
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung.
Andrisman, Tri, 2001 Hukum Pidana, Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Gosita, Arif, 2004, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta, PT. Bhuana IlmuPopuler.
Huraerah, Abu, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung, Nuansa Cet-1.
Jonkers, Mr. J.E., 1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Belanda, PT. BinaAksara, Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980.
Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta-Cet VI, Jakarta.
----------, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta.
Mulyadi, Lilik, 1997, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori Praktek danPermasalahannya), CV. Manda Mulya, Bandung, 2005, hlm. 3. 1 Muladi,Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan PenerbitUNDIP, Semarang
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
Nasir, M.J.A, 2001, Membela Anak Dengan Teater, Yogyakarta,Purwanggan Cet-1.
Nawawi Arief, Barda, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan DanPengembangan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti
Reksodiputro, Mardjono, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (MelihatKejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi), PusatKeadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta.
Ridwan, HR, 2013 Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.
Rosidah, Nikmah, 2011, Asas-Asas Hukum Pidana, Semarang, Pustaka Magister.
Saleh, Roeslan, 1983 Stelsel Pidana Indonesia, Aksara baru-Cet IV, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PenegakanHukum, Rineka Cipta, Jakarta
----------, 1984, Penanggulangan Kejahatan, Rajawali Pers, Jakarta.
Soedarto, 1983, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soesilo, R., 2000 Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2012 Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers.
Sudrajat Bassar, M., 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam KitabUndang-Undang Hukum Pidana, CV. Remadja Karya, Bandung.
Syahrani, Riduan, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra AdityaBakti
Tina Masriani, Yulies, 2009, Pengantar Hukum Indonesia Cet-V, Sinar Grafika,Jakarta.
Widiyanti, Ninik, 1978, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjaudari Segi Kriminologi dan Sosial, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan :
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Tentang KUHP;
c. Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Tentang Pemberlakuan KUHP;
d. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga;
e. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU.No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
C. Sumber Lain
Ayu Nadia Maryandani, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang MenjadiKorban Penelantaran Oleh Orang Tua Berdasarkan Hukum PidanaIndonesia (Skrips), Fakultas Hukum Universitas Lampung, BandarLampung, 2016.
http://www.lampost.co/mobile/artikel_detail.php?lampost=90462, yang dikutippada hari Jum”at, tanggal 14 April 2017, waktu 20.19 wib
http://www.saibumi.com/artikel-80511, yang dikutip pada hari jum’at, tanggal 14April 2017, waktu 20.31 wib
https://id.wikipedia,org/wiki/kekerasan_terhadap_anak., dikutip pada hari Selasa,tanggal 16 Mei 2017, jam 03.12 wib
http://news.liputan6.com/read/2558069/ayah-si-mancung-resmi-dipolisikan-atas-dugaan-penelantaran-anak, diakses hari Rabu, tanggal 17 Mei 2017, jam13.42 wib.
http://m.metrotvnews.com/news/peristiwa/ybJEd9WN-kronologi-kasus-orangtua-usir-anak-terungkap, diakses pada hari Kamis, tanggal 18 Mei 2017, jam00.15 wib.
http://republika.co.id/10-hak-anak-indonesia-sudahkah-anda-memberikan-ini?,diakses pada hari Minggu, tanggal 28 Mei 2017, jam 19.00 wib
http://id.m.wikipedia.org/penelantaran-anak/, dikutip pada hari Senin, tanggal 29Mei 2017, jam 20.00 wib.
http://blogspot.com/pengertian-penelantaran-anak/, dikutip pada hari Senin,tanggal 29 Mei 2017, jam 20.05 wib.
http:www.putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/.../pdf, diaksespada hari Rabu, tanggal 30 Agustus 2017, jam 23.00 wib.