pendidikan kewarganegaraan kelompok 7 2013 a.pdf

Upload: muhammad-iqbal-rachmansyah

Post on 07-Jul-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    1/28

    PENGIMPLEMENTASIAN PASAL 27 (1) UUD 1945

    DALAM BERKEHIDUPAN BERNEGARA

    Studi Kasus: Analisis Yuridis Normatif Kasus Gugatan Class Action

    Peristiwa Longsor Gunung Mandalawangi Tahun 2003

    (MAKALAH)

    DOSEN:

    Emilianshah Banowo, S.Sos, MM.

    KELOMPOK 7

    1. 

    M. Iqbal Rachmansyah 15313195

    2.   Nabil Dhiya Ulhaq 16313252

    3.   Nuryani 16313746

    JURUSAN TEKNIK SIPIL

    FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

    UNIVERSTAS GUNADARMA

    APRIL 2016

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    2/28

    ii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah Swt. atas limpahan rahmat

    dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

    Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas kelompok mata kuliah Pendidikan

    Kewargenagaraan yang dibimbing oleh Bapak Emilianshah Banowo, S.Sos, MM.

    Pembuatan makalah ini tentunya tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa

     bantuan berbagai pihak, oleh karena itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada

    semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai

    dengan waktunya, khususnya kepada Dosen Mata Kuliah Pendidikan

    Kewarganegaraan, yang telah memberi arahan dalam rangka penyelesaian

     penyusunan makalah ini.

    Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik

    dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat

    diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan

    informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan

     bagi kita semua.

    Depok, April 2016

     Penulis

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    3/28

    iii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR  ............................................................................... ii

    DAFTAR ISI .............................................................................................. iii 

    BAB 1 PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG .......................................................... 1

    1.2 RUMUSAN MASALAH ...................................................... 3

    1.3 BATASAN MASALAH ....................................................... 3

    1.4 TUJUAN PENULISAN ........................................................ 3

    BAB 2 PEMBAHASAN

    2.1 KANDUNGAN DAN KEDUDUKAN PASAL 27 AYAT 1

    UUD 1945 .............................................................................. 5

    2.2 TINJAUAN TEORITIS GUGATAN CLASS ACTION  

    SEBAGAI IMPLEMENTASI PASAL 27 AYAT 1

    UUD 1945 ............................................................................. 6

    2.3 STUDI KASUS GUGATAN CLASS ACTION   PERISTIWA

    LONGSOR GUNUNG MANDALAWANGI ....................... 11

    BAB 3 PENUTUP

    3.1 KESIMPULAN ..................................................................... 22

    3.2 SARAN .................................................................................. 23

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ iv 

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    4/28

    1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1  LATAR BELAKANG

    Indonesia merupakan salah satu negara yang berdasarkan pada hukum,

    dimana sistem yang dianut adalah sistem konstitusionalisme. Hal ini tertuang dalam

     penjelasan UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak

     berdasarkan atas kekuasaan belaka”. Ditegaskan juga dalam idealisme negara

     bahwa Pancasila adalah sebagai sistem hukum, dimana Pancasila merupakan

    sumber dari segala sumber hukum atau sumber hukum yang tertinggi didalam

    sistem atau tata hukum Indonesia. Pancasila bertujuan untuk mencapai keserasian,

    keselarasan, dan keseimbangan, serta kemampuan untuk mengayomi masyarakat,

     bangsa dan negara. Begitu jelas pernyataan-pernyataan itu, tersebut dalam

     penjelasan UUD 1945, sehingga telah nyata juga adanya batasan-batasan mengenai

     bentuk dasar dan sistem negara Indonesia (Surbakti, 2005). 

    Setiap warga negara Indonesia yang baik mempunyai kewajiban

    menjunjung tinggi hukum yang berlaku, dalam mewujudkan negara Indonesia

    sebagai negara hukum, maka diperlukan tanggung jawab dan kesadaran bagi warga

    negaranya. Tanggung jawab dan kesadaran itu harus diwujudkan dalam tingkah

    laku dan tindakan setiap orang yang ada di Indonesia. Sejalan dengan dengan

    ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting adalah adanya jaminan

    kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum. Oleh karena itu, setiap orang

     berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,

    serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Supriadi, 2006). 

    Hal ini tentunya sesuai dengan bunyi Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 yang

    menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

     pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

    kecualinya”.

    Pasal ini pada intinya menjelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai

    hak persamaan kedudukan dihadapan hukum atau asas persamaan dimata hukum

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    5/28

    2

    (equality before the law) dan kewajiban menaati hukum dan pemerintahan yang

     bersifat normatif. 

     Namun di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Pasal 27 Ayat 1

    UUD 1945 masih dapat dikatakan belum sepenuhnya terimplementasi sesuai

    dengan maksud yang terkandung di dalamnya. Ketidak-implementasian Pasal 27

    Ayat 1 UUD 1945 justru lebih banyak terjadi pada pelanggaran-pelanggaran pada

    hak konstitusional warga negara dalam bidang hukum antara lain meliputi, hak

    kesamaan di hadapan hukum (equality before the law), hak atas pengakuan, jaminan

     perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta hak atas perlakuan yang sama

    dihadapan hukum.

    Meskipun demikian, tidak sedikit pula kasus-kasus yang berhubungan

    dengan Pasal 27 Ayat 1 telah dijalankan dan ditegakkan menurut hukum

    normatifnya. Salah satu bentuk pengimplementasian Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945

    adalah dengan adanya peraturan seputar gugatan class action. S ecara singkat,

    gugatan Perwakilan Kelompok (class action) didefinisikan sebagai suatu tata cara

    atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili

    kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili

    sekelompok orang yang jumlahnya sangat banyak, yang memiliki kesamaan fakta

    atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan

    anggota kelompoknya.

    Salah satu kasus class action  paling berhasil dalam sejarah peradilan di

    Indonesia, adalah diterimanya gugatan class action oleh Pengadilan kepada

    masyarakat Garut yang diwakili oleh Wahana Lingkugan Hidup Indonesia

    (WALHI) yang menggugat Perum Perhutani karena dianggap aktivitas kerja yang

    dilakukan oleh mereka telah menyebabkan terjadinya perubahan lingkunganGunung Mandalawangi, yang dibuktikan dengan terjadinya banjir, longsor, serta

    mengakibatkan banyak korban jiwa akibat peristiwa tersebut.

    Oleh karena itu, Penulis menganggap perlu membahas kajian perihal kasus

    class action ini sebagai sebuah manifestasi penegakan hukum normatif di Republik

    Indonesia, sehingga diharapkan dapat menambah wawasan bagi masyarakat

    Indonesia untuk mengetahui lebih mendalam terhadap konsep Pasal 27 Ayat 1 UUD

    1945 yang mengatur hak persamaan derajat setiap warga Negara didepan hukum. 

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    6/28

    3

    1.2  RUMUSAN MASALAH

    Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka

    rumusan masalah yang akan dibahas pada Makalah ini antara lain sebagai berikut:

    1. 

    Bagaimana kandungan dan kedudukan Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 sebagai

    Landasan Hukum Normatif Republik Indonesia?

    2. 

    Bagaimana tinjauan secara teoritis perihal gugatan class action sebagai

    salah satu bentuk implementasi Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945?

    3.  Bagaimana analisis secara yuridis normatif terhadap kasus kelongosoran

    Gunung Mandalalawangi pada tahun 2003 dan korelasinya terhadap

    implementasi Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 mengenai Persamaan Derajat

    Setiap Warga Negara Didepan Hukum?

    1.3  BATASAN MASALAH

    Karena adanya keterbatasan kompetensi dalam bidang Hukum yang dimiliki

    oleh Penulis, maka Penulis menetapkan batasan-batasan terhadap permasalahan

    yang diangkat, antara lain:

    1.  Analisis yuridis yang dilakukan didasarkan dari sudut pandang UUD 1945

    Pasal 27 Ayat 1, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

    Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 1, UU No.

    41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, PP No. 2 Tahun 1978 Tentang

    Penambahan Unit Produksi Perusahaan Umum Kehutanan Negara, PP. No.

    27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

    (AMDAL), dan juga Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun

    2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok.

    2. 

    Analisis yuridis yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridisnormatif, dimana data yang digunakan adalah data-data yang bersifat

    normatif, bukan data-data yang bersifat empiris, yang didasarkan pada

    Peraturan-peraturan yang telah disebutkan pada poin sebelumnya.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    7/28

    4

    1.4  TUJUAN PENULISAN

    Tujuan penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:

    1. 

    Mengetahui kandungan dan kedudukan Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 sebagai

    landasan hukum normatif Republik Indonesia.

    2.  Mengetahui metode gugatan class action dan korelasinya terhadap konsepsi

     persamaan derajat didepan hukum (equality before the law) yang diatur

    dalam Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945.

    3.  Mengetahui kajian gugatan class action dalam kasus kelongsoran Gunung

    Mandalawangi dana analisisnya yang ditinjau dari sudut pandang yuridis

    normatif dari peraturan-peraturan terkait.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    8/28

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    9/28

    6

    1.  Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum.

    2.  Pemerintah harus berprilaku dalam suatu bingkai yang sesuai dengan

     peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi

    kekuasaan diskresi.

    3.  Sengketa mengenai keabsahan (legality) tindakan pemerintah akan

    diputuskan oleh pengadilan murni independen dari eksekutif. (H.W.R.

    Wade, 1982)

    Jadi secara keseluruhan, inti kandungan Pasal 27 ayat 1 Amandemen UUD

    1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi

    menurut kedudukannya masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap

    warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah.

    Di sisi lain warga negara wajib pula mematuhi hukum dan peraturan-peraturan yang

     berlaku. Meskipun warga negara bebas menuntut haknya, tetapi dengan syarat

    kebebasan itu tidaklah seperti kebebasan demokrasi Barat.

    Kebebasan yang dimiliki warga Indonesia adalah kebebasan bertanggung

     jawab. Setiap orang menuntut haknya, tetapi harus bisa pula tuntutan itu

    dipertanggungjawabkan. Demikian pula Pemerintah berhak memberikan sanksi

    kepada warga negara yang melanggar norma hukum, asalkan pemberian sanksi

    tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Jika pemberian sanksi tersebut tidak bisa

    dipertanggungjawabkan secara hukum maka tindakan tersebut bertentangan dengan

    nilai Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 (Ramly Hutabarat, 1985).

    2.2  TINJAUAN TEORITIS GUGATAN CLASS ACTION SEBAGAI

    IMPLEMENTASI PASAL 27 AYAT 1 UUD 1945

    Berdasarkan kandungan dan kedudukan Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 yangtelah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, secara singkat dapat disimpulkan

     bahwa semua warga negara Indonesia memiliki persamaan derajat didepan hukum

    tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan. Kedudukan setiap warga

    negara Indonesia didepan hukum tidak memiliki nilai diskriminatif, semuanya

    senilai dan setara, tidak mengenal kedudukan dan statuta sosial warga negara

    tersebut.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    10/28

    7

    Salah satu bentuk implementasi Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 yang mengatur

    tentang persamaan kedudukan warga negara didepan hukum adalah gugatan class

    action yang secara konstitutif diatur dalam beberapa pasal peraturan perundang-

    undangan Republik Indonesia. Secara singkat, gugatan class action merupakan

    salah satu bentuk demonstrasi yang dilakukan secara hukum dan diwakili oleh

     beberapa perwakilan masyarakat untuk mengajukan gugatan terhadap suatu

     perusahaan ataupun badan pemerintahan yang dianggap telah merusak kualitas

    lingkungan hidup di sekitar masyarakat tersebut.

    2.2.1  Pengertian dan Ruang Lingkup Gugatan Class action  

    Peraturan utama yang mengatur perihal gugatan class actions adalah

    Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

    Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok. Pada prinsipnya, gugatan class

    action merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk

    mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jaur keperdataan.

    Bahwasanya sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian

    terhadap banyak orang, memiliki fakta-fakta atau dasar hukum, serta tergugat yang

    sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidakefisienan bagi

     pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan kepada pihak

     pengadilan sendiri.

    Dalam Peraturan Mahkahamh Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata

    Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, gugatan Perwakilan Kelompok

    (class action) didefinisikan sebagai suatu tata cara atau prosedur pengajuan

    gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan

    gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya sangat banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar

    hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggita kelompoknya. 

    Gugatan perwakilan kelompok yang disebutkann dalam Peraturan

    Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara

    Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok dan Hak Gugat Organisasi yang

    disebutkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan

    Hidup jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    11/28

    8

     jo. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pada dasarnya

    merupakan padanan kata dari istilah class action dan legal standing yang sudah

    sering digunakan dalam praktek peradilan dan negara-negara barat, khususnya

    negara Anglo Saxon yang pada umumnya menganut sistem hukum common law,

    yang menitikberatkan pada penciptaan kaidah hukum melalui putusan pengadilan.

    Dalam perkembangannya konsep class action dan legal standing tersebut

    ternyata juga diterima dan dipraktekkan di negara-negara kontinental yang

    menganut sistem hukum statute law. Sistem hukum statute law adalah sistem yang

    menitikberatkan penciptaan kaidah hukum melalui peraturan perundang-undangan

    yang dibuat oleh parlemen. Indonesia sendiri adalah termasuk salah satu negara

     penagnut sistem hukum  statute law tersebut, sehingga gugatan perwakilan

    kelompok dan hak gugat organisasi merupakan fenomena hukum yang relatif masih

     baru dalam dunia peradilan di Indonesia.

    Seperti ketentuan class action yang telah disebutkan sebelumya, persyaratan

    untuk gugatan Perwakilan Kelompok yang dimuat dalam dalam US Federal of Civil

     Procedure, yaitu:

    1.   Numerousity, artinya jumlah penggugat sedimikian banyaknya, sehingga

    tidak praktis dan tidak efisien apabila gugatan diajukan secara sendiri-

    sendiri, dan oleh karenanya dipandang cukup apabila gugatan diajukan oleh

    salah satu orang atau beberapa orang selaku wakil kelompok (class

    representatives) yang mewakili anggota kelompok (class members).

    2.  Commonality, artinya harus ada kesamaan fakta maupun peristiwa dan dasar

    hukum antara pihak yang diwakili dalam pengajuan gugatan.

    3.  Typicality, artinya harus terdapat kesamaan tuntutan hukum maupun

     pembelaan dari seluruh anggota yang diwakili (class members).4.

     

     Adequacy of Representation, artinya harus ada kelayakan perwakilan yaitu

    mewajibkan perwakilan kelas (class representatives) untuk menjamin

    secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan mereka yang

    diwakilkan.

    Dalam praktek gugatann class action, komponen perwakilan kelompok

    (class representatives) harus terlebih dahulu dibuktikan kepada Hakim Pengadilan,

    agar benar-benar dapat menjamin kepentingan dari seluruh angoota kelompok

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    12/28

    9

    secara jujur dan bertanggung jawab. Selanjutnya untuk menetapkan apakah

    guagatan merupakan gugatan class action atau gugatan biasa diterapkan mekanisme

     Preliminary Certification Test kepada anggota kelompok agar melakukan opt in

    dan opt out. Opt in adalah prosedur yang dilakukan anggota kelompok dengan

    memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar anggota kelompok sedangkan

    opt out adalah kesempatan anggota kelompok untuk menyatakan dirinya keluar dari

    class action dan tidak menghendaki bagian dari gugatan.

    Mekanisme Preliminary Certification Test tersebut harus dilakukan apabila

    tuntutan gugatan berupa uang ganti rugi (monetary damages) karena menentukan

    siapa-siapa yang berhak mendapatkan uang ganti rugi, sedangkan gugatan yang

    tuntutannya hanya berupa permintaan deklaratif dan injuksi maka mekanisme ini

    tidak perlu dilakukan.

    Setelah pemeriksaan kelayakan kelompok dan pemberitahuan kepada

    masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap, barulah pemeriksaan

     pokok sengketa dilaksanakan.

    Pada awal proses pemeriksaan persidangan, Hakim wajib memeriksa dan

    mempertimbangkan gugatan Perwakilan Kelompok, antara lain: (a) Memenuhi

    unsur kesamaan fakta, dasar hukum, dan tuntutan; (b) Memiliki bukti yang paling

    kuat dan meyakinkan; (c) Terpercaya dan dihormati; (d) Tidak mendahulukan

    kepentingan pribadi didepan kepentingan anggota kelompok.

    Sahnya gugatan Perwakilan Kelompok dinyatakan melalui penetapan

     pengadilan sedangkan apabila dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan

    ditentukan melalui suatu putusan Hakim (vide Pasal 5 PERMA Nomor 1 Tahun

    2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok).

    Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, Hakim wajib memutuskan jumlahhanti rugi secara rinci dan jelas, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang

     berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi, dan langkah-langkah yang wajib

    ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti

    halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    13/28

    10

    2.2.2  Manfaat Gugatan Class Acti on  

    Pada prinsipnya gugatan class action merupakan suatu cara untuk

    memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang

    dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus

    yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta-fakta atau

    dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga

    menimbulkan ketidakefisienan bagi para pihak yang mengalami kerugian, maupun

     pihak tergugat bahkan kepada pihak pengadilan sendiri.

    Seperti di negara-negara lainnya yang telah mempunyai prosedur gugatan

    class action pada umumnya memiliki tujuan dan manfaat yang sama, yaitu:

    1. 

    Agar proses berpekara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien.

    2.  Mencegah pengulangan proses perkara yang sama, dan mencegah putusan-

     putusan yang berbeda satu dengan yang lainnya ataupun putusan-putusan

    yang tidak konsisten.

    3. 

    Memberikan akses kepada keadilan, dan mengurangi hambatan-hambatan

    yang terjadi bagi penggugat individual yang pada umumnya berposisi

    lebih lemah.

    4. 

    Merubah sikap pelaku pelanggaran dengan diterapkannya prosedur class

    action  berarti memberikan akses yang lebih luas bagi para pencari

    keadilan untuk mengajukan gugatan dengan biaya yang lebih efisien, dan

    kemudian akan berpeluang untuk menumbuhkan sikap jera bagi mereka

    yang berpotensi untuk merugikan kepentingan masyarakat yang luas.

    2.2.3  Landasan Hukum Gugatan Class Acti on  

    Acara gugatan class action di Indonesia belum diatur dalam Hukum AcaraPerdata, tetapi pengakuan secara hukum adanya gugatan class action diakui dan

    diatur dalam:

    1.  Pasal 37 UU Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengololaan Lingkungan

    Hidup, mengatur hak msyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk

    mengajukan gugatan perwakilan kelompok maupun gugatan kelompok ke

     pengadilan mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan

     peri kehidupan masyarakat.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    14/28

    11

    2.  Pasal 46 Ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

    Konsumen, gugatan secara kelompok, bahwa gugatan atas pelanggaran

     pelaku usaha dapat dilakukan oleh seorang, sekelompok orang, lembaga

     perlindungan kosumen ataupun instansi yang dirugikan dari kegiatan yang

    dilakukan oleh orang lain.

    3. 

    Pasal 71 UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang diatur dalam

     pasal tersebut antara lain:

    (l) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan,

    organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk

    kepentingaan pelestarian fungsi hutan.

    (2) Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

     berbentuk badan hukum; organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya

    dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk

    kepentingan pelestarian fungsi hutan dan; telah melaksanakan kegiatan

    sesuai dengan anggaran dasarnya

    4.  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara

    Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok.

    2.3  STUDI KASUS GUGATAN CLASS ACTION PERISTIWA

    LONGSOR GUNUNG MANDALAWANGI

    Berdasarkan penjelasan terhadap gugatan class action yang telah dijelaskan

    sebelumnya,terdapat beberapa contoh studi kasus yang berhubunan dengan prinsip

    dan konsepsi gugatan class action  di Republik Indonesia, salah satunya adalah

    kasus longsor dan banjir di daerah Gunung Mandalawangi. Gugatan class actiondilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), kepada pihak

    Perum Perhutani karena dianggap aktivitas yang dilakukan oleh mereka di Gunung

    Mandalawangi menyebabkan terjadinya dampak kerusakan lingkungan yang parah

    di daerah tersebut.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    15/28

    12

    2.3.1  Kasus Posisi

    Pada tanggal 28 Februari 2003, tejadi longsor di area hutan Mandalawangi.

    Longsor terebut mengakibatkan 20 orang meninggal dunia, 165 rumah hancur, 67

    rumah rusak berat, dan telah mengakibatkan 1769 jiwa mengungsi dan kehilangan

    mata pencaharian. Hasil penyelidikan Direktorat Vulkanologi diperoleh informasi

     bahwa faktor-faktor penyebab longsornya Gunung Mandalawangi dikarenakan: (a)

    ketebalan pelalpukan tanah yang mencapai 3 meter; (b) sarang (mudah meloloskan

    air); (c) batuan vulkanik yang belum padat; (d) kecuraman lereng 20-50 % dan

     bagian bawah relatif landai; dan (e) adanya perubahan tata guna lahan bagian atas

     bukit dari tanaman keras ke tanaman musiman.

    Peristiwa ini disebabkan karena Perum Perhutani yaitu Pengelola kawasan

    hutan di Jawa Barat termasuk kawasan Rutan Gunung Mandalawangi yang

    statusnya adalah hutan lindung berdasarkan Pasal 24 PP No. 27 Tahun 1999,

    kemudian diubah statusnya menjadi hutan produksi terbatas berdasarkan SK

    Menhut No. 419/KPTS/II/1999. Dikarenakan Perum Perhutani, kondisi alam

    sekitar Gunung Mandalawangi mengalami kerusakan ekosistem lingkungan,

     pengelolaan atau pengawasan lingkungan yang belum optimal dari pihak pengelola,

    rawan terjadi longsor dan banjir serta reboisasi yang gagal dilaksanakan. Selain itu,

    sebagaimana diakui oleh pihak Perum Perhutani bahwa Perum Perhutani telah

    mengetahui terdapat 8 titik longsor sejak 6 bulan silam di kawasan Mandalawangi

    tersebut.

    Oleh karena itu, masyarakat setempat melakukan gugatan class action dan

    menggugat Direksi Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah setempat ke

    Pengadilan Negeri Bandung. Pengertian gugatan class action itu sendiri adalah

    gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class representative).

    Perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk dan atas

    nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang mereka wakili,

    tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok. Dalam pengajuan gugatan

    tersebut tidak perlu disebutkan secara individual satu persatu identitas anggota

    kelompok yang diwakili, karena yang terpenting adalah asal kelompok yang

    diwakili dapat diidentifikasi sebagai anggota kelompok secara spesifik sehingga

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    16/28

    13

    dengan adanya wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang

    melahirkan kesamaan kepentingan, kesamaan penderitaan, dan apa yang dituntut

    memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota. Di tingkat Pengadilan

     Negeri tersebut, Hakim memenangkan perkara masyarakat dan memutuskan para

    tergugat untuk melaksanakan gugatan dari para penggugat.

    Merasa tidak puas dengan keputusan tersebut, Direksi Perum Perhutani dan

    Pemerintah Daerah melakukan banding ke Pengadilan Tinggi sebagai Penggugat.

    Dan ternyata Pengadilan Tinggi juga memenangkan pihak masyarakat setempat

    tersebut. Kembali merasa tidak puas dengan keputusan Pengadilan Tinggi, Direksi

    Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah mengajukannya ke Mahkamah Agung.

    Dan setelah mencermati kasusnya dengan seksama, akhirnya Mahkamah Agung

    menolak gugatan (kasasi) yang diajukan pihak Direksi Perum Perhutani dan

    Pemerintah Daerah.

    2.3.2  Eksepsi Tergugat

    Pihak tergugat mengajukan beberapa hal di dalam eksepsinya. Pertama,

    menurut Perum Perhutani bahwa para penggugat tidak memenuhi syarat-syarat

    hukum bagi sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action). Menurut Perum

    Perhutani gugatan class action  telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung

    (PERMA) No.1 tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dan

     juga menurut mereka bahwa gugatan class action yang diajukan oleh pengugat tidak

    memenuhi syarat formil sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 3 PERMA No.1

    Tentang Tata Cara Gugatan Class Action.

    Menurut Penulis, syarat-syarat gugatan class action tersebut telah terpenuhi

    dalam gugatan ini, dimana Para Penggugat terdiri dari wakil kelompok (classrepresentatives) dan anggota kelompok (class members) yang terdiri dari banyak

    orang yang menuntut kerugian atas peristiwa longsornya tanah dan banjir di

    kawasan Gunung Mndalawangi.

    Lalu eksepsi selanjutnya adalah bahwa Surat Kuasa yang diajukan

    Masyarakat Korban Longsor Mandalawangi tidak memenuhi syarat materiil, karena

    menurut Pihak Perum Perhutani ada pernyataan “tidak pernah  memberi kuasa”

    untuk menggugat Dinas, Instansi Pemda dan Perhutani. Padahal menurut Penulis,

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    17/28

    14

     perlu diketahui bahwa didalam suatu class action memang tidak ada pemberian

    surat kuasa khusus dari anggota kelompok, dikarenakan sistem class action yang

    memang tidak menuntut adanya hal tersebut.

    Sistem dari class action tersebut adalah anggota yang setuju dan mau ikut

    dalam gugatan tersebut bisa dilakukan secara diam atau dengan melapor untuk

    mengikuti gugatan tersebut, sedangkan anggota yang mau keluar dari class action 

    ini bisa dilakukan dengan melapor kepada wakil anggota untuk tidak mengikuti ini

    class action  tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa memang tidak ada

     pemberian kuasa khusus dari anggota kelompok.

    Sementara surat kuasa Para Penggugat menurut pendapat Penulis telah

    memenuhi ketentuan standar yang harus dimiliki oleh sebuah surat kuasa, yakni

    identitas pemberi dan penerima kuasa serta hal-hal apa saja yang dikuasakan. Hal

    itu diatur dalam pasal 1795 KUHPerdata tentang pemberian kuasa dapat dilakukan

    secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Yang

    dalam hal ini dilakukan oleh wakil anggota atau class representatives kepada para

    advokatnya, bukan dari para anggotanya tapi hanya perwakilannya saja.

    Menurut eksepsi Perum Perhutani, bahwa semua yang telah dilakukan olehnya

    dalam rangka mengelola hutan atas kawasan hutan produksi dan lindung senantiasa

     berdasarkan persetujuan dari Menteri Kehutanan.

    Ketentuan tersebut mengenai pembinaan dan pengawasan dari Menteri

    Keuangan dan Menteri Kehutanan diatur lebih lanjut dengan terbitnya Surat

    Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 53/Kpts-11/1987 tentang Pembinaan

    Terhadap Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Dan sebagai

    realisasi atas Keputusan Menteri Kehutanan tersebut, maka Perum Perhutani telah

    membuat Rencana Umum Perusahaan, Rencana Lima Tahunan Perusahaan, danRencana Kerja Tahunan Perusahaan. Jadi menurut Perum Perhutani tidak benar

     pernyataan korban longsor Mandalawangi sebagaimana yang telah digugatkan oleh

     pihak penggugat kepada mereka.

    Perum Perhutani juga menolak dalil korban longsor Mandalawangi yang

    mengatakan bahwa luas hutan di Jawa Barat tinggal 8% dari 20%. Hal ini karena

    terdapat pembedaan antara Hutan dan Kawasan Hutan. Dan Kawasan Hutan yang

    masuk dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani hanya seluas 791.886 Ha

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    18/28

    15

    sedangkan luas daratan Propinsi Jawa Barat adalah hanya kurang lebih 3,5 juta Ha.

    Dan Perum Perhutani mensomir pihak korban longsor Mandalawangi untuk

    membuktikan bahwa luas hutan di Jawa Barat 53 juta Ha dan sekarang hanya ada

    4,24 juta Ha.

    Menurut Perum Perhutani SK Menhut No 419/Kpts-II/1999 tidak terdapat

    amar yang menyatakan merubah status Hutan Lindung Mandalawangi menjadi

    Hutan Produksi Terbatas. Jadi sebelum terbitnya SK Menhut tersebut, kawasan

    Hutan Gunung Mandalawangi belum pernah ada penetapan fungsi, yang ada adalah

     bahwa berdasarkan hasil inventaris hutan dengan melihat kondisi di lapangan, maka

    Gunung Mandalawangi termasuk Kelas Hutan Lindung Terbatas.

    Perum Perhutani juga menolak gugatan yang mengatakan bahwa mereka

    tidak pernah melakukan reboisasi dan menambah hutan primer menjadi hutan

    sekunder. Sebelum dan setelah ada SK Menhut tersebut di lokasi Gunung

    Mandalawangi Perum Perhutani tidak pernah melakukan penebangan pohon, yang

    ada adalah tindakan perbaikan kondisi hutan yang rusak atau gundul akibat

     perambahan kemudian direboisasi dengan tanaman hutan.

    Bahwa berdasarkan gugatan yang dilayangkan kepada pihak mereka, Perum

    Perhutani tidak pernah menyewakan tanah kawasan hutan kepada penduduk dengan

    alasan maupun tujuan apapun. Juga menurut Perum Perhutani tidak benar yang

    dinyatakan korban longsor Mandalawangi dalam gugatannya halaman 4 angka 10

    karena Perum Perhutani telah melakukan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi pada

    areal in casu sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1999 dengan jenis tanaman

    Pinus, sedangkan terciptanya lahan kosong bukan dilakukan Perum Perhutani,

    tetapi dilakukan oleh masyarakat perambah hutan sehingga mengakibatkan adanya

    kerusakan hutan.Perum Perhutani juga berpendapat bahwa bencana tanah longsor yang

    terjadi di Kecamatan Kadungora merupakan bencana banjir bandang yang diikuti

    dengan tanah longsor yang merupakan kombinasi antara curah hujan sangat deras,

    kemiringan lereng curam dan jebolnya tanggul-tanggul penahan air hujan yang

    terbentuk oleh aliran air disertai batu, lumpur dan bahan perintang aliran air lainnya.

    Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Perum Perhutani tidak pernah

    melakukan perubahan fungsi tata guna tanah, melainkan menyelenggarakan

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    19/28

    16

     pengelolaan hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu dengan mereboisasi

    tanaman hutan dalam rangka rehabilitasi.

    Perum Perhutani mengeksepsikan bahwa pernyataan korban yang

    menyatakan Perum Perhutani sudah mengetahui dan mengakui bahwa sejak 6 bulan

    silam telah mengakui adanya titik-titik longsor adalah pernyataan yang tidak benar

    dan tidak berdasarkan atas hukum. Bahwa yang benar adalah adanya 8 titik longsor

    tersebut diketahui setelah bencana alam banjir bandang terjadi.

    Dan juga mengenai relokasi pemukiman korban longsor sebagaimana yang

    digugatkan kepada pihak Perrum Perhutnai, bahwasanya bukan hanya tanggung

     jawab maupun konsekuensi Perum Perhutani tetapi merupakan tanggung jawab

    semua pihak.

    Selain itu, pihak Perum Perhutani mengklaim bahwa sama sekali tidak ada

    data-data dan fakta-fakta yang menunjukan bahwa Perum Perhutani telah

    melakukan perbuatan baik secara langsung maupun tidak langsung yang

    mengakibatkan lingkungan tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena kejadian

     bencana alam di Gunung Mandalawangi adalah murni bencana alam. Karena

    mereka menganggap kejadian longsor itu adalah murni bencana alam, maka Perum

    Perhutani tidak seharusnya dibebani tanggung jawab materiil dan imateriil, tidak

     perlu mengadakan mekanisme pendistribusian ganti rugi, tidak perlu melakukan

     strict liability, karena kerugian yang diderita oleh korban longsor Mandalawangi

     bukan karena diakibatkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh Perum Perhutani.

    2.3.3  Amar Putusan Kasus

    Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung pada kasus tersebut (Nomor

    49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28 Agustus 2003) adalah sebagai berikut:1.

     

    Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil kelompok

    masyarakat korban longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora,

    Kabupaten Garut untuk sebagiannya. 

    2. 

    Menyatakan bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III Jawa

    Barat), tergugat III (Menteri Kehutanan), tergugat IV (Pemerintah Provinsi

    Jawa Barat) dan tergugat V (Pemerintah Kabupaten Garut)

     bertanggungjawab secara mutlak ( strict liability) atas dampak yang

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    20/28

    17

    ditimbulkan oleh adanya longsor dikawasan hutan Gunung Mandalawangi,

    Kecamatan Kedungora Kabupaten Garut. 

    3. 

    Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V tersebut

    untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung

    Mandalawangi tempat terjadinya longsor langsung dan seketika dengan

    ketentuan sebagai berikut: 

    a.  Pertama, Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung Mandalawangi

    dibebankan kepada Tergugat I dan Tergugat III dengan perintah supaya

    dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan agar memulihkan,

    mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, produktivitas dan

     peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap

    terjaga, dengan biaya yang harus ditanggung oleh Tergugat I dan

    Tergugat III secara tanggung renteng, yang apabila akan diserahkan

     pelaksanaannya kepada masyarakat sesuai dengan Penyelenggaraan

    Hutan Kemasyarakatan berpedoman pada Knomor 31/KPTSII/ 2001

    Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan

    Kemasyarakatan, pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari jumlah Rp.

    20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada

    Tim yang telah ditetapkan. 

     b.  Kedua, Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat

    V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian kepada korban

    longsor Gunung Mandalawangi tersebut sebesar Rp. 10.000.000.000,-

    (sepuluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada Tim yang akan

    ditetapkan di bawah ini.

    c. 

     Ketiga, Menetapkan prosedur pelaksanaan pemulihan lingkungankawasan longsor di Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora serta

    tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil kelompok dan

    masyarakat korban yang tergabung ke dalam anggota kelompok gugatan

     perwakilan ini melalui satu tim/panel yang dikoordinasikan oleh Badan

    Perencana Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Garut sebagai

    Ketua Tim Perwakilan BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut,

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    21/28

    18

    kuasa para wakil kelompok serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi

    Lingkungan Hidup UNPAD Bandung masing-masing sebagai anggota.

    d. 

     Keempat , memerintahkan kepada Gubernur Jawa Barat (Tergugat IV)

    untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim tersebut

    lengkap dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana isi diktum

     putusan ini.

    e.  Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel tersebut untuk melakukan

     pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala pelaksanaan

     pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah dalam putusan ini

    serta mengalokasikan dana ganti kerugian tersebut kepada masyarakat

    korban yang tergabung dalam wakil dan anggota kelompoknya yang

     jumlah dan identitasnya tercatat dalam Berita Acara Persidangan ini,

    secara adil sesuai dengan bobot dan besarnya kerugian berdasarkan jenis

    kerugian yang dideritanya.

    f. 

     Keenam, menetapkan sebagai hukum bahwa manakala pembentukan

    Tim/Panel serta pengalokasian dana ganti kerugian sulit dilakukan, maka

     pelaksanaannya ditempuh proses pelaksanaan putusan (upaya paksa)

    dikoordinasikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Kelas I B Bandung. 

    4.  Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara terlebih

    dahulu walaupun ada upaya hukum dari para Tergugat (Uit voorbaar bij

    voorad ). 

    5.  Menolak gugatan selain dan selebihnya. Putusan Pengadilan Negeri

    Bandung ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung (Putusan

     Nomor 507/PDT/2003/PT.Bdg Tanggal 5 Februari 2004) dengan perbaikan

    amar putusan tanpa mengubah  substansi  putusan. Mahkamah AgungRepublik Indonesia (Putusan Nomor 1794 K /Pdt/2004 Tanggal 22 Januari

    2007) juga menolak permohonan kasasi para tergugat atau para pembanding

    yang berarti Mahkamah Agung Republik Indonesia memperkuat putusan

    Pengadilan Negeri Bandung tersebut. 

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    22/28

    19

    2.3.4  Analisis Putusan

    Putusan kasus Mandalawangi No. 1794 K/Pdt/2003 ini adalah salah satu

     bentuk contoh penegakan hukum yang seharusnya dilakukan di dunia peradilan.

    Hal ini dikarenakan banyak sekali mafia peradilan yang melanggar esensi dari nilai

     peradilan tersebut. Esensi dari suatu peradilan adalah untuk melindungi warga

    negara Indonesia dan untuk memberi keadilan dan keamanan juga kepastian hukum

    di negara ini, akan tetapi sering kali realitanya tidak sesuai dengan keinginan

    masyarakat. Putusan kasus Mandalawangi ini adalah salah satu bentuk peradilan

    yang harus diteladani, karena putusan ini adalah putusan pertama kali yang

    memenangkan gugatan penggugat class action, yang dalam hal ini adalah

    masyarakat setempat di daerah Mandalawangi. Adapun perwakilan kelompok atau

    class representative  dari korban Mandalawangi ini adalah Dedi, Hayati, Entin,

    Oded Sutisna, Ujang Ohim, Dindin Holidin, Aceng Elim dan Mahmud. Peristiwa

    ini diwarnai dengan suka cita dari para rakyat Mandalawangi, karena gugatan

    mereka dimenangkan baik dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.

    Menurut Penulis, pihak Perum Perhutani memang layak untuk tidak

    dimenangkan oleh Majelis Hakim. Hal ini dikarenakan pihak perum Perhutani

    sudah terbukti menyalahgunakan wewenangnya yang dalam hal ini diberikan

     berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1978  jo. Keputusan Kepmen

    Pemerintah No. 27 Tahun 1999 yaitu memberikan kewenangan pengelolaan untuk

    mengelola kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Jawa Barat yaitu dalam

    hal ini kawasan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut.

    Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999, Perum Perhutani

    sebagai pengelola hutan berkewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan

     perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan, dan pemasaran serta perlindungan dan pengamatan hutan. Sedangkan telah terbukti

     bahwa Perum Perhutani tidak melakukan pengelolaan dan pemeliharaan tersebut,

    sehingga dapat disimpulkan bahwa Perum Perhutani telah melanggar pasal tersebut

    dan juga melanggar Pasal 7 butir b PP No. 27 Tahun 1999 jo. Pasal 6 UUPLH ayat

    1, dikarenakan Pihak Perum Perhutani tidak memelihara kelestarian fungsi

    lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan

    lingkungan hidup.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    23/28

    20

    Kelestarian lingkungan telah diabaikan oleh Pihak Perum Perhutani, hal

    tersebut terlihat dari diabaikannya pengelolaan hutan dan telah menyimpangnya

    dari maksud dan tujuan perusahaan, yang mana mengakibatkan hutan di jawa barat

    menjadi tinggal 8 % dari sebelumnya 20% sebelum di kelola oleh Tergugat I, hal

    itulah yang menyebabkan banjir dan longsornya tanah di kawasan Gunung

    Mandalawangi. Hal ini merupakan celah yang dilakukan oleh pihak Perum

    Perhutani, dikarenakan berdasarkan SK Menhut No. 419/KPTS.II/1999 mengubah

    status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi terbatas serta memberi

    kewenangan pengelolaannya kepada Perum Perhutani, yang pada kenyatannya

    memberikan peluang kepada Perum Perhutani untuk melakukan perbuatan yang

    menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan. Perbuatan tersebut seperti tidak

    melakukan reboisasi setelah penebangan atau merubah hutan primer menjadi hutan

    skunder.

    Oleh karena itu, Menteri Kehutanan telah lalai dalam melakukan

    kewajibannya yaitu melakukan pembinaan kepada Perum Perhutani berdasarkan

    Pasal 16 ayat 1 dan 4 PP No. 27 Tahun 1999. Di samping itu, Perum Perhutani juga

    telah menyewakan lahan kepada penduduk di sekitarnya dengan alasan dan tujuan

    yang tidak jelas diatas area yang seharusnya direboisasi. Maka dapat diimpulkan

     bahwa Perum Perhutani telah melanggar Pasal 1365 KUHPerdata yang berisi:

    “Tiap Perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada Seorang

    lain, mewajibkan orang yang salah karena menerbitkan Kerugian itu, mengganti

    kerugian tersebut.” 

    Hal ini dapat dilihat ketika Perum Perhutani menyewakan lahan tersebut

    serta perbuatan lain yang malah merusak ekosistem hutan tersebut, hal ini

     berdampak pada banjir dan longsornya daerah tersebut yang berdampak padakerugian masyarakat hingga kematian, jadi dapat disimpulkan kembali bahwa

    Perum Perhutani dapat digugat berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

    Perum Perhutani juga telah melakukan perusakan hutan berdasarkan Pasal 50 ayat

    2 UU No. 41 Tahun 1999, hal ini muncul dikarenakan Perum Perhutani tidak

    melakukan reboisasi, mengubah hutan primer menjadi hutan sekunder,

    menciptakan lahan kosong dan lahan garapan pertanian di sekitar area hutan.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    24/28

    21

    Perum Perhutani juga lalai ketika tidak memberikan informasi kepada masyarakat

    dan pihak-pihak terkait termasuk Pemda Kabupaten Garut.

    Sebelum terjadinya longsor, Perum Perhutani sudah mengetahui dan

    mengakui bahwa sejak 6 bulan silam, petak V yang berarea 102 ha terdapat 3 titik

    rawan longsor dan VI yang berarea 195 ha terdapat 4 titik rawan longsor, namun

    Perum Perhutani tidak menanganinya dan mengumumkannya maka hal ini telah

    melanggar Pasal 6 UU No. 23 Tahun 1997. Maka dapat disimpulkan pihak yang

    menanggung atas semua kerugian dan kesalahan ini adalah Pihak Perum Perhutani

    sebagai Pihak utama yang harus di salahkan, pihak Gubernur Provinsi Jawa Barat

     barat dan pihak Menteri kehutanan. Semua pihak ini harus bertanggung jawab atas

    kesalahan mereka baik dengan sengaja atau dengan lalai.

    Berdasarkan UU Lingkungan yang baru yaitu UU No. 23 Tahun 1997

    terdapat pasal yang sangat menguntungkan Penggugat yaitu pihak para korban

    longsor Mandalawangi. Hal ini terdapat dalam Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997

    yang berisi: “Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usahanya dan

    kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,

     yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah

    bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian

     yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan

     seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.” 

    Sehingga dari pasal tersebut, para korban longsor Mandalawangi tidak perlu

    repot dalam membuktikan kesalahan dari pihak Perum Perhutani, karena pasal ini

    hanya melihat dari sisi kerugiannya saja, jadi dampak dari pasal ini adalah pihak

    Perum Perhutani harus mengganti semua kerugian yang diderita oleh Para korban

    Mandalawangi tersebut. Hal ini termasuk strict liability atau biasa disebut tanggung jawab mutlak.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    25/28

    22

    BAB 3

    PENUTUP

    3.1  KESIMPULAN

    Dari pembahasan yang tekah dilakukan sebelumnya, maka kesimpulan

    terhadap hasil pembahasan diatas antara lain adalah sebagai berikut:

    1.  Inti kandungan dari Pasal 27 Ayat 1 Amandemen UUD 1945 adalah adalah

    suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang berfungsi menurut

    kedudukannya masing-masing. Hak dan kewajiban yang dimaksud adalah

    hak mendapatkan kesetaraan di dalam hukum dan kewajiban menjunjung

    hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara dalam kehidupan

     bermasyarakat dan bernegara.

    2.  Pasal 27 Ayat 1 Amandemen UUD 1945 memiliki kedudukan yang sangat

     penting di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yaitu sebagai

    dasar teori dan konsep equality before the law dan sebagai dasar

     perlindungan konsep tersebut. Selain itu Pasal 27 Ayat 1 Amandemen UUD

    1945 juga merupakan dasar aspek dari rule of law  yang diterapkan di

    Indonesia.

    3.  Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) didefinisikan sebagai suatu

    tata cara atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih

    yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan

    sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya sangat banyak, yang

    memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan

    tuntutan antara wakil kelompok dan anggita kelompoknya.

    4.  Persyaratan untuk gugatan class action  berdasark US Federal of Civil

     Procedure, yaitu numerousity, commonality, typicality, dan adequacy of

    representatives. 

    5.  Landasan hukum gugatan class action antara lain, Pasal 37 UU Nomor 23

    Tahun 1997, Pasal 46 Ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 71 UU Nomor

    41 Tahun 1999, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    26/28

    23

    6.  Putusan Hakim pada Kasus Mandalawangi merupakan salah satu wujud

    dilindunginya kepentingan dan hak masyakaat, yang selama ini menjadi

    korban dari suatu hukum yang hanya dimiliki oleh mafia peradilan dan

     pejabat tinggi pemerintah.

    7.  Gugatan class action yang dilakukan mengisyaratkan telah adanya upaya

     pengimplementasian Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 perihal kedudukan yang

    sama didepan hukum didalam kehidupan bermsayarakat, dengan bukti

     bahwa masyarakat pun berhak menggugat badan/pemerintah yang secara

    hukum memiliki otoritas lebih dibandingkan dengan masyarakat tersebut.

    8.  Majelis hakim dalam hal ini sudah membuat keputusan yang adil dan tepat

    untuk menolak kasasi pihak Perum Perhutani, karena pihak tersebut dalam

     proses persidangan tidak dapat membuktikan dalil-dalil yang mereka

    gunakan dan tidak ditemukan adanya bukti-bukti baru. Pihak Perum

    Perhutani telah terbukti lalai dalam mengelola hutan dan tidak menjaga

    kelestarian hutan tersebut yang dalam hal ini memiliki peran penting untuk

    mencegah bencana tanah longsor dan banjir bagi penduduk Gunung

    Mandalawangi dan sekitarnya.

    3.2  SARAN

    Saran yang dapat diberikan oleh Penulis terhadap Makalah ini serta

     pemabahasan didalamnya adalah sebagai berikut:

    1.  Pada pembahasan lainnya, diharapkan pembahasan diperluas dengan

    menambahkan berbagai kasus yang membahas perihal kedudukan yang

    sama didepan hukum, bahkan akan lebih bagus jika yang dibahas adalah

     pembahasan yang kontradiktif dengan prinsip yang ada pada hukumnormatif Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945.

    2.  Pada pembahasan lainnya, diharapkan pembahasan lebih menekankan

    kepada analisis yuridis yang lebih komprehensif dan mendetail, seperti

    dibuatnya analisis secara perdata terhadap sebuah kasus, prosedur, hingga

    dibuatnya amar putusan akhirnya, sehingga diharapkan dapat memahami

     perihal konsep class action lebih baik.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    27/28

    iv

    DAFTAR PUSTAKA

    A.  Buku

    Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005,  Hukum  Tata Lingkungan, Gadjah Mada

    University Press, Yogyakarta.

    Hutabarat, Ramly, 1985,  Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The

     Law) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

    Mulyadi, Lilik, 2007, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta.

    Rangkuti, Siti Sundari, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan

     Nasional, Airlangga University Press, Surabaya.

    Santosa, Mas Ahmad, dkk., 1997, Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict

     Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta.

    Supriadi, 2006,  Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia,  Sinar

    Grafita, Jakarta.

    Surbakti, Natangsa, 2005,  Filsafat Hukum, FH Universitas Muhammadiyah

    Surakarta, Surakarta.

    Walukow, Julita Melissa, 2013, Perwujudan Prinsip Equality Before The Law Bagi

     Narapidana, Universitas Sam Ratulangi Press, Manado.

    B.  Artikel Jurnal

    Imamulhadi, 2013, “ Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary

    dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan”, Jurnal

    Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 3, 2013.

    C.  Peraturan Perundang-Undangan

    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penerapan

    Gugatan Perwakilan Kelompok.

    Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

  • 8/18/2019 Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok 7 2013 A.pdf

    28/28