pendahuluan 1.1. latar belakang 1.1.1. peran moda...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Peran Moda Transportasi Kereta Api dalam Mobilitas Perkotaan
Pada dasarnya, pola mobilitas atau pergerakan manusia secara umum didorong oleh
kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pola pergerakan manusia (mobilitas) yang
terjadi pada suatu kawasan terkait dengan aspek transportasi dan tata guna lahan. Pergerakan
dari satu tempat ke tempat lain dalam skala perkotaan diakomodasi oleh moda transportasi
yang beragam. Mobilitas merupakan dampak dari interaksi antara guna lahan (lokasi asal dan
tujuan mobilitas) dan transportasi.
Sarana dan prasarana transportasi merupakan elemen penting yang berperan dalam
terbentuknya sistem layanan transportasi yang mewadahi dan memperlancar mobilitas
perkotaan. Dominasi penggunaan transportasi publik merupakan indikator layanan sistem
transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Dalam layanan transportasi publik, satu moda
dapat mengangkut banyak penumpang per perjalanan, berbeda dengan kendaraan pribadi di
mana satu moda hanya dapat mengangkut penumpang dalam jumlah terbatas. Perbandingan
efisiensi penggunaan ruang dapat digambarkan bahwa untuk mengangkut 50.000 orang per
jam, diperlukan lebar jalan 175 meter dengan kendaraan pribadi/mobil, atau lebar jalan 35
meter dengan bus, atau lebar jalan 9 meter dengan kereta api. Perbandingan yang lain juga
menyatakan bahwa 75 orang yang memerlukan 60 kendaraan pribadi untuk bermobilitas
ternyata bisa diakomodasi dengan hanya 1 bus saja (UITP, 2001). Hal ini menunjukkan
penggunaan kendaraan pribadi sangat tidak efisien dalam penggunaan ruang jika
dibandingkan dengan kendaraan umum yang mendorong efisiensi waktu, biaya, dan tenaga.
Dalam konteks lingkungan, semakin banyak kendaraan pribadi juga memberikan
dampak negatif. Emisi dari kendaraan bermotor berkontribusi pada pemanasan global dan
polusi udara. Konsumsi energi rata-rata per kendaraan bermotor juga semakin tidak efisien
ketika jumlah kendaraan semakin banyak. Pilihan moda transportasi juga mempengaruhi
efisiensi energi, dengan penggunaan 1 kg bahan bakar, dapat ditempuh jarak yang beragam
bergantung pada moda transportasi yang digunakan. Untuk 1 kg bahan bakar mobil pribadi
hanya dapat berjalan sejauh kurang dari 20 km, sangat jauh lebih pendek dibandingkan
dengan moda transportasi publik pada umumnya. Kendaraan pribadi mengkonsumsi energi 3
2
kali lebih banyak dan memproduksi CO2 lebih banyak 3 kali lipat dibandingkan dengan
kendaraan umum per penumpang.
Berangkat dari permasalahan tersebut, ketersediaan moda transportasi publik ramah
lingkungan menjadi suatu kebutuhan. Kereta api merupakan moda transportasi publik yang
efisien dan ramah lingkungan jika dibandingkan dengan moda transportasi publik lainnya
yang menggunakan bahan bakar sebagai penggerak. Direktorat Jendral Perkeretaapian,
Kementrian Perhubungan RI (2011), mengemukakan bahwa pada tahun 2005 emisi karbon
dari sektor transportasi di Indonesia mencapai angka 70 juta ton. Jumlah tersebut
merepresentasikan 3% dari angka total emisi karbon nasional (2.250 juta ton). Emisi karbon
yang berasal dari kereta api adalah paling rendah jika dibandingkan dengan moda transportasi
lain, hanya 1% dari 70 juta ton. Kondisi tersebut menempatkan kereta api sebagai moda
transportasi paling ekologis. Di samping itu, kereta api juga merupakan moda transportasi
paling efisien sesudah kapal laut dalam hal konsumsi bahan bakar, hanya memerlukan 0,002
liter/km/orang. Jumlah ini jauh lebih efisien jika dibandingkan dengan bus (0,0125
liter/km/orang), pesawat udara (0,05 liter/km/orang) dan sepeda motor (0,04 liter/km/orang).
Meskipun demikian, dalam konteks transportasi darat, kereta api kurang populer jika
dibandingkan dengan moda transportasi jalan raya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengguna
kereta api hanya sekitar 7,32%, sedangkan 84,13% orang lebih memilih moda transportasi
jalan raya (bus, mobil, sepeda motor) untuk bermobilitas. Untuk pergerakan barang, hanya
0,62% menggunakan kereta api sedangkan selebihnya, 90,34%, menggunakan moda
transportasi jalan raya.
Hayashi et al. (2004) dalam tulisannya mengemukakan bahwa sistem transportasi
perkotaan yang berkelanjutan merupakan tantangan bagi negara-negara Asia yang pada
umumnya didominasi oleh transportasi jalan raya, di mana sistem transit moda kereta api
perkotaan dan antar kota kurang berkembang. Transportasi publik pada kota-kota besar Asia
termasuk Indonesia, pada umumnya lebih didominasi oleh bus dan paratransit jika
dibandingkan dengan kereta api. Jenis transportasi publik tersebut memiliki jangkauan
layanan „dari pintu ke pintu‟ yang sesuai untuk kondisi struktur perkotaan yang tidak
terencana dengan baik dan juga infastruktur transportasi yang tidak memadai. Salah satu
dampak yang terjadi adalah kepadatan lalu lintas jalan raya yang melebihi kapasitas beban
jalan sehingga memperlama waktu tempuh ke tujuan, polusi udara yang berlebih dan juga
konsumsi bahan bakar yang lebih banyak (time and energy consuming). Di sisi lain, melihat
perkembangan akses informasi dan teknologi yang pesat beberapa tahun terakhir ini,
fenomena ojek online semakin marak di Indonesia. Keberadaan ojek sebagai sarana
3
transportasi lokal bermotor itu sendiri tentunya tidak berbeda dengan penggunaan kendaraan
bermotor pribadi apalagi ditambah dengan karakter layanannya „dari pintu ke pintu‟ yang
membuat akses semakin mudah dan preferensi penggunaannya semakin tinggi. Kajian terkait
bagaimana membatasi dan menyelesaikan permasalahan tersebut tidak termasuk dalam ranah
penelitian ini. Tantangan untuk membuat preferensi berjalan kaki dan penggunaan moda
transportasi publik lebih tinggi ini lah yang harus ditindaklanjuti dalam pengembangan
kawasan perkotaan.
Terminologi kereta api merupakan representasi dari terminologi rail transport atau
moda transportasi yang menggunakan rel. Kereta api didefinisikan sebagai sarana transportasi
“menggunakan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana lain
yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel terkait dengan perjalanan kereta api” (Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian). Prasarana
perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar
kereta api dapat dioperasikan. Indonesia memiliki sejarah perkeretaapian yang cukup panjang
dan kaya akan aset perkeretaapian:
1. Jalur kereta api tertua di pulau Jawa dibangun pada tahun 1864 yang menghubungkan
tiga kota penting: Semarang–Solo–Yogyakarta. Jalur kereta api ini merupakan jalur
kereta api ke-dua di Asia sebelum jalur kereta api di Jepang dibangun pada tahun
1872.
2. Selain di Jawa, pembangunan jalur kereta api juga dilakukan di Aceh (1874),
Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), dan
Sulawesi (1922).
3. Dalam perkembangannya, aset infrastruktur perkeretaapian di Indonesia berkurang
dari 6.811 km pada akhir dekade 1930-an saat ini menjadi 5.042 km. Dalam rentang
waktu tersebut, tumbuh dan berkembang beragam aset kawasan stasiun kereta api
yang meliputi stasiun kereta api dengan beragam tipologi skala stasiun, jalur kereta
api dan teknologinya, aset tanah emplasemen serta aset fasilitas operasional kereta api
(Widyastuti dan Ikaputra, 2012).
1.1.2. Perkembangan Kawasan Stasiun Kereta Api dalam Konteks Perkotaan
Dalam sistem transportasi kereta api terdapat beberapa komponen fisik (Ikaputra,
2011), yaitu jalur kereta api dan teknologinya, lahan dan emplasemen, stasiun kereta api serta
fasilitas untuk operasional mobilitas kereta api (rumah dinas, gudang, kantor, dan fasilitas
4
publik lain milik stasiun kereta api). Pada waktu lampau, menurut Subarkah (1983), beragam
tipologi stasiun terkait erat dengan fungsi dan skala layanan transportasi yang diberikan.
Stasiun besar selalu berada di tengah kota atau setidaknya berada pada lokasi yang pada masa
itu direncanakan sebagai pusat kota, demikian pula dengan tipologi stasiun yang lain.
Semakin dekat keberadaan stasiun dengan pusat kegiatan kota maka jalur pergerakan
menggunakan moda transportasi lainnya dari stasiun menuju bagian-bagian kota menjadi
lebih dekat pula. Bergesernya pusat kota seiring dengan pertumbuhan kota dan
perkembangan moda transportasi lain menjadikan peran stasiun menjadi tidak sedominan
pada waktu lalu.
Permasalahan yang terjadi pada pengembangan kawasan-kawasan stasiun kereta api
di Indonesia saat ini adalah belum terintegrasi atau berbasis pada jalur kereta api sebagai
sarana transportasi publik untuk mendukung keberlanjutan operasional moda transportasi
kereta api. Kebijakan pemerintah di bidang transportasi sejauh ini belum mempertimbangkan
integrasi jalur transportasi publik pada umumnya dan jalur kereta api pada khususnya dengan
pengembangan lahan kawasan di sekitarnya dan sebagai bagian penting dari rencana
pengembangan kota. Hal ini berdampak pada keterbatasan mobilitas dengan menggunakan
moda transportasi kereta api dan aksesibilitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
moda transportasi jalan raya.
Dalam pengembangan kawasan stasiun kereta api sebagai kawasan transit transportasi
publik di beberapa negara terdapat beberapa konsep yang memberikan dampak positif bagi
perkembangan kawasan (Kido, 2005), di antaranya adalah:
1. Station Renaissance; dikembangkan oleh negara-negara Eropa, merehabilitasi stasiun
dengan desain yang atraktif, fasilitas lengkap termasuk untuk penjualan tiket, ruang
tunggu, perpindahan moda dan belanja. Arsitektur jalur kereta api menjadi inovatif
secara struktural, formal dan fungsional dan merefleksikan karakter modern. Konsep
ini memberikan impresi bahwa stasiun merupakan bagian ruang publik kota dan
bagian amenitas kota, tidak hanya mengakomodasi fungsi mobilitas kota.
2. Context Sensitive Design (CSD); dikembangkan oleh Amerika, fokusnya pada
transportasi jalan raya, dengan mengintegrasikan sistem transportasi yang dapat
meningkatkan kualitas hidup: pendekatan kolaboratif dan interdisipliner yang
melibatkan semua pihak terkait dan pemangku kepentingan untuk mengembangkan
fasilitas transportasi yang terintegrasi dengan seting fisik dan mempreservasi scenic,
estetika, sejarah dan potensi alam serta memberikan keamanan dan mobilitas.
5
3. Context Sensitive Design for Railways (CSDR); dikembangkan oleh Jepang,
merupakan pengembangan dari konsep CSD yang diadopsi dari Amerika dan
diterapkan pada stasiun kereta api, fokusnya pada estetika (ekologi, kesederhanaan
bentuk, harmoni dari material dan warna), kualitas arsitektur, integrasi dengan
lingkungan sekitar, desain untuk pencitraan layanan kereta api, akses dan interaksi
antar peron, bangunan dan jalan, keamanan dan apresiasi terhadap nilai-nilai lama.
Menurut Calimente (2012), konsep pengembangan kawasan stasiun kereta api di
Jepang dikenal dengan istilah RIC (Rail Integrated Community). Definisi RIC pada dasarnya
adalah pembangunan pada kawasan sekitar stasiun dengan densitas tinggi, aman, guna lahan
campur, yang berperan sebagai pusat kegiatan komunitas, yang terkoneksi dengan layanan
jalur kereta api cepat dalam frekuensi tinggi di sepanjang hari, serta dapat diakses dengan
berjalan kaki, bersepeda serta transit transportasi publik. Dalam pengembangan kawasan
stasiun berbasis RIC, terdapat guna lahan lengkap (tempat bekerja, sekolah, retail, dan
sebagainya); penggunaan transportasi publik dalam sistem transit sangat tinggi (untuk
aktivitas harian ataupun akhir pekan) sehingga secara signifikan mengurangi penggunaan
kendaraan pribadi; serta tidak hanya ditekankan pada bentukan fisik tetapi juga pentingnya
kebijakan pemerintah yang memungkinkan penyedia jasa transportasi untuk pengembangan
area sekitar. Prosentase komuter berjalan kaki menuju stasiun untuk menggunakan kereta api
cukup tinggi, konsekuensinya jumlah lahan parkir di sekitar stasiun menjadi rendah.
Di sisi lain, dalam konteks pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia, di
mana aset dan prasarana perkeretaapian potensi layanan sudah dimiliki namun belum
terintegrasi dengan pengembangan lahan pada kawasan stasiun, penerapan konsep Transit-
Oriented Development (TOD) yang menstimulasi mobilitas perkotaan dengan moda
transportasi utama kereta api melalui pengembangan kawasan transit stasiun kereta api
menjadi suatu solusi yang dielaborasi dalam penelitian ini.
1.1.3. Konsep Transit-Oriented Development dalam Pengembangan Kawasan Stasiun
Kereta Api (Rail-transit Oriented Development)
Di negara-negara maju pada dunia Barat, pola pengembangan kawasan berbasis pada
integrasi tata ruang kawasan dengan transportasi publik dikenal sebagai TOD (Transit-
Oriented Development), suatu integrasi pengembangan kawasan multi fungsi hunian dan
komersial dalam kawasan kompak kepadatan tinggi untuk meningkatkan aksesibilitas pada
transportasi publik dan meningkatkan mobilitas perkotaan. Caltorphe (1993) menguraikan
6
konsep TOD ini sebagai suatu komunitas multi fungsi dalam jarak tempuh rata-rata berjalan
kaki sejauh 2.000 ft (± 600 m) menuju tempat transit transportasi publik dan pusat komersial
kawasan. Area dalam jangkauan pejalan kaki ini merupakan zona hunian dengan skala
kepadatan yang beragam dari kepadatan sedang hingga tinggi, zona komersial serta tempat
bekerja dengan aktivitas tinggi pejalan kaki dan sebagai titik penting untuk perjalanan transit.
Stasiun kereta api merupakan komponen penting dalam pengembangan kawasan Rail-
transit Oriented Development (ROD). Menurut Bertolini dan Spit (1998), kawasan stasiun
kereta api memiliki peran sebagai node, titik awal dan akhir akses kereta api dan jaringan
transportasi lainnya dan sebagai place yang merupakan integrasi antara bangunan dan ruang
terbuka di sekitarnya dengan stasiun kereta api sebagai pusat kawasan yang memberikan
kenyamanan bertempat tinggal, bekerja ataupun beraktivitas transit. Dalam hal ini, node
merepresentasikan aksesibilitas, sedangkan place merepresentasikan intensitas dan diversitas
aktivitas. Ketika moda transportasi kereta api menjadi moda transportasi publik utama dalam
sistem transit, stasiun kereta api akan berperan menjadi stasiun transit, di mana konsep
peralihan antar moda harus diintegrasikan. Stasiun kereta api harus memfasilitasi pergerakan
dan perpindahan penumpang dari kereta api ke moda transportasi penghubung atau
sebaliknya sehingga jangkauan layanan stasiun transit dan moda kereta api menjadi optimal.
Konektivitas layanan transportasi publik akan meningkatkan kelancaran mobilitas perkotaan.
Menurut Hedayatifard dan Hosseinian (2012), dalam pengembangan kawasan
perkotaan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan komposisi dari urban zone (guna
lahan hunian, komersial, ruang terbuka), urban corridor (sistem transportasi) dan urban node
(pusat aktivitas kawasan). Urban corridor harus memiliki konektivitas baik dengan urban
node untuk mengurangi perjalanan dalam kota sehingga pola organisasi arus pergerakan
sangat bergantung pada bentukan spasial perkotaan (urban form). Struktur perkotaan
merupakan pola penempatan pengembangan blok kawasan, jalan, bangunan, ruang terbuka
dan lansekap dalam kawasan perkotaan.
Heilemann dan Kemming (2002) menyatakan strategi untuk mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan pada dasarnya mengacu pada integrasi guna lahan dan
transportasi. Mobilitas perkotaan dipengaruhi oleh efektivitas dari integrasi transportasi dan
guna lahan. Strategi disentralisasi konsentrasi yang mendorong pertumbuhan perkotaan dan
pengembangan area di luar pusat kota sekitar stasiun dan koridor transportasi publik
merupakan upaya memfasilitasi kebutuhan mobilitas harian dalam jarak dekat. Perpaduan
antara struktur ruang yang memfasilitasi pedestrian dan kendaraan tidak bermotor, fungsi
7
lahan yang beragam (hunian, fasilitas perkantoran, fasilitas perbelanjaan, hiburan), serta
konsep kota kompak akan berkontribusi pada terbentuknya mobilitas kawasan perkotaan.
Dalam pandangan yang serupa, Jenks dan Dempsey (2005), menyatakan bahwa pada
kawasan kompak, fungsi lahan dapat dimaksimalkan melalui tata guna lahan multi fungsi,
intensifikasi serta konektivitas pada infrastruktur pedestrian dan sistem transportasi publik
yang efisien. Guna lahan multi fungsi akan mengurangi frekuensi dan jarak mobilitas. Di sisi
lain, kecenderungan dalam mobilitas lebih mengutamakan travel time (singkatnya waktu
perjalanan) jika dibandingkan dengan travel distance (jarak tempuh perjalanan), sehingga
moda transportasi yang menjadi pilihan adalah moda transportasi yang dapat memberikan
kenyamanan dalam perjalanan (dalam waktu singkat dan mudah diakses). Dalam konsep
pengembangan TOD yang terkonsentrasi pada pengembangan kawasan kepadatan tinggi
(kompak) di sekitar titik transit akan berimplikasi pada kenyamanan transit serta mendorong
mobilitas dari dan ke kawasan TOD (Walters dan Brown, 2004). Lokasi hunian yang dekat
dengan akses transit transportasi publik akan mendorong penggunaan transportasi publik
untuk mobilitas di luar jarak jangkau berjalan kaki.
1.1.4. Kasus Pengembangan Kawasan Stasiun Kereta Api di Indonesia
Penelitian ini berada dalam kerangka besar penelitian pengembangan kawasan yang
terintegrasi sistem transportasi dalam pembangunan perkotaan yang difokuskan pada moda
transportasi publik kereta api sebagai moda transportasi publik yang paling efisien dan ramah
lingkungan. Dalam substansinya termasuk pengembangan stasiun kereta api (skala mikro)
serta kawasan di sekitar stasiun kereta api (skala messo) untuk mencapai mobilitas dan
konektivitas yang lebih baik pada area perkotaan (skala makro). Lingkup dari penelitian ini
adalah skala messo (sekitar stasiun) yang dipengaruhi oleh peran dan layanan serta fasilitas
pada stasiun kereta api dan pola mobilitas harian dalam skala messo dan makro. Konsep
pengembangan kawasan stasiun kereta api dalam penelitian ini merupakan integrasi dari
karakter fisik urban dan transportasi publik perkotaan yang dapat memberikan arahan pada
pengembangan layanan dan fasilitas stasiun kereta api serta dapat meningkatkan mobilitas
dan konektivitas dalam skala perkotaan. Mobilitas difokuskan pada pergerakan orang untuk
segala macam bentuk aktivitas keseharian seperti perjalanan komuter untuk bekerja,
bersekolah ataupun aktivitas sosial (berbelanja, berekreasi). Pemahaman mendasar dari
mobilitas penduduk kawasan sekitar stasiun, konsep interaksi dari transportasi dan guna lahan
8
serta peran stasiun yang tidak sekedar sebagai fungsi pergantian moda namun juga sebagai
lokasi pusat bisnis dan komersial diperlukan untuk mengelaborasi kasus.
Tabel 1.1. Batasan Lingkup Penelitian
SKALA MIKRO
(bangunan stasiun)
SKALA MESSO
(kawasan stasiun)
SKALA MAKRO
(konteks urban)
FORM
building form: konfigurasi bentuk
ruang dan fungsinya dalam
stasiun
district form: konfigurasi bentuk
massa bangunan dan ruang terbuka, serta
fungsi lahan pada kawasan
city form: konfigurasi bentuk dan fungsi
kawasan dalam konteks perkotaan
TRANSPORT
layanan moda utama: jenis dan frekuensi layanan kereta api dalam
stasiun
integrasi antar moda: konektivitas kereta api
dengan moda transportasi feeder
dalam kawasan
sistem transportasi perkotaan: jaringan
transportasi perkotaan yang
terintegrasi, kereta api sebagai moda
transportasi utama
MOBILITY
inside station building mobility:
akesibilitas keberangkatan
dan kedatangan dalam stasiun
around station area mobility: aksesibilitas pedestrian dan non-
motorised dalam kawasan stasiun
inter-station area mobility: aksesibilitas dari origin pada satu
kawasan stasiun menuju destinasi
pada kawasan stasiun yang lain
Dalam pemilihan kasus penelitian ini salah satu aspek yang menjadi pertimbangan
adalah Visi Pembangunan Perkotaan Nasional 2025 yang mengarah pada pembangunan
kawasan urban berkelanjutan (layak huni, berjati diri, produktif, berkelanjutan) dalam ragam
skala bangunan/lahan, blok kawasan, kawasan dan kota/regional (Direktorat Jendral
Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, 2013). Visi tersebut direpresentasikan dalam
kebijakan pembangunan perkotaan nasional yang secara hirarkial dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Meningkatkan peran kota sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi lokal, regional
dan nasional (tingkatan pertama);
2. Menyebarkan pusat-pusat pertumbuhan perkotaan untuk mengatasi ketimpangan
pembangunan antar-wilayah/disentralisasi konsentrasi (tingkatan ke dua);
3. Mendorong pembangunan manusia dan sosial-budaya dalam pembangunan perkotaan
agar mampu mengembangkan ekonomi lokal, sarana dan prasarana kota-kota padat-
9
lahan (kota kompak) dengan pemanfaatan ruang perkotaan yang efisien, ramah
lingkungan, tangguh dan adaptif terhadap kemungkinan bencana (tingkatan ke tiga);
4. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, kelembagaan, dan menerapkan
prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik/pemerintahan yang berjalan dengan baik
(tingkatan ke empat)
Lebih lanjut, dalam arahan pengembangan perkotaan, terdapat 4 (empat) tipologi kota
berdasarkan skala dan perannya yaitu (1) Kota metropolitan (diarahkan menjadi kota
internasional); (2) Kota besar (diarahkan menjadi pusat kegiatan nasional); (3) Kota sedang,
dan (4) Kota kecil (diarahkan menjadi pusat kegiatan wilayah yang mengakomodasi interaksi
desa – kota). Beberapa komponen kebijakan pembangunan perkotaan nasional ditujukan pada
penyebaran pusat-pusat pertumbuhan perkotaan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan
antar-wilayah (desentralisasi konsentrasi), sehingga akan mendorong kota dan wilayah
sekitarnya untuk mampu mengembangkan ekonomi lokal. Pilihan kasus pada kota kecil,
sedang dan besar yang terangkai dalam satu koridor layanan transportasi kereta api menjadi
lebih tepat karena lebih banyak kota di Indonesia dalam skala tersebut sehingga akan
memberikan kontribusi yang signifikan pada pembangunan perkotaan Indonesia.
Pada kasus-kasus kawasan stasiun kereta api di Indonesia dengan beragam karakter
lokasi dan skala stasiun, banyak stasiun yang tidak difungsikan lagi karena berbagai kendala
di antaranya biaya operasional yang tinggi, jalur layanan yang terbatas, minimnya pengguna
layanan kereta api, berdampak pada tidak berkembangnya kawasan stasiun. Keadaan ini
seakan diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada transportasi jalan
raya. Pada sisi lain, jika stasiun kereta api difungsikan secara aktif dan didukung operasional
layanan moda kereta api yang memadai akan dapat mengakomodasi mobilitas orang dan
barang dalam skala perkotaan ataupun regional yang lebih efisien dibandingkan dengan
sistem transportasi jalan raya. Konsep Rail-transit Oriented Development dapat menjadi
solusi pengembangan kawasan stasiun yang sejalan dengan kebijakan pembangunan
perkotaan nasional. Konsep Rail-transit Oriented Development menjadi bagian
pengembangan kota kecil dan kota sedang untuk dapat meningkatkan daya saing lokal dan
kelayakan huni dengan kota besar sebagai generatornya. Dalam konteks pengembangan
fungsinya, kota sedang dan kota kecil berperan sebagai pusat kegiatan wilayah interaksi desa-
kota, sehingga pengembangan perdesaan juga dipengaruhi oleh fungsi dan peran dari kota
sedang dan kecil. Pada umumnya pengembangan perdesaan lebih pada pusat permukiman
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
10
Model konseptual pengembangan kawasan stasiun pada kota kecil, sedang, dan besar
nantinya akan lebih banyak bermanfaat mengingat jumlah kota dengan kategori tersebut lebih
banyak dijumpai di Indonesia. Hal ini dikuatkan dengan pertimbangan bahwa mobilitas
perkotaan harian (komuter) merupakan gambaran dinamika pembangunan perkotaan serta
merepresentasikan interaksi desa – kota dan antar kota yang mengarahkan pada pilihan kasus
kawasan stasiun kereta api yang memfasilitasi layanan komuter. Layanan kereta api ini
berbeda dengan jenis rapid transit dan high speed rail yang mengakomodasi mobilitas non
komuter pada kota besar dan metropolitan. Model Rail-transit Oriented Development yang
menjadi lingkup penelitian ini adalah model ROD di Indonesia untuk kawasan stasiun kereta
api dengan layanan komuter.
Gambar 1.1. Dasar Pemilihan Kasus
Pemilihan kasus dalam penelitian ini didasarkan pada: (1) kawasan stasiun dengan
keberadaan potensi infrastruktur perkeretaapian yang baik namun tidak difungsikan secara
optimal dalam operasional layanannya; (2) memiliki potensi lahan yang memadai
(ketersediaan lahan) untuk pengembangan kawasan dengan prinsip ROD; (3) memiliki
potensi pengguna jalur layanan transportasi kereta api yang bagus; dan (4) memiliki tipologi
karakter fisik kawasan stasiun yang lengkap dalam satu koridor layanan. Dalam uraian di
atas, pilihan kasus berada dalam lingkup skala kota besar, kota sedang dan kota kecil.
11
Jalur transportasi Yogyakarta - Solo merupakan jalur padat pergerakan dengan jarak ±
60 km yang menghubungkan dua kota penting di Jawa Tengah. Jalur layanan kereta api
Yogyakarta – Solo ini menghubungkan stasiun-stasiun: Yogyakarta Tugu, Lempuyangan,
Maguwo, Kalasan, Brambanan, Srowot, Klaten, Ketandan, Ceper, Delanggu, Gawok,
Purwosari, Solo Balapan. Dalam perkembangannya, selain sebagai kota budaya, kota Solo
tumbuh menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi dan sebagai kota transit. Di sisi lain, kota
Yogyakarta berkembang menjadi kota pusat pendidikan, budaya dan pariwisata. Dengan
jumlah penduduk kedua kota tersebut saat ini ± 530 ribu jiwa, Kota Yogyakarta dan Solo
diklasifikasikan sebagai kota besar. Standar kota besar menurut Bappenas (1995) adalah kota
dengan jumlah penduduk 500 ribu sampai dengan 1 juta jiwa dengan fungsi pusat pelayanan
jasa, produksi, dan distribusi serta merupakan simpul transportasi untuk pencapaian beberapa
pusat kawasan atau propinsi. Karakter pertumbuhan kedua kota dan pengembangan konsep
keruangan regional yang diarahkan pada pengoptimalan koridor Yogyakarta – Solo -
Semarang (Joglosemar) ini menjadi generator pergerakan masyarakat (komuter) dari
Yogyakarta ke Solo dan sebaliknya.
Pada saat ini, mobilitas komuter Yogyakarta – Solo diakomodasi oleh moda
transportasi publik jalan raya (bus antar kota) dan kereta api. Dalam kajian yang pernah
dilakukan oleh Ansusanto dan Pramarito (2010) jumlah pengguna kedua moda transportasi
tersebut cukup seimbang dengan masing-masing preferensi terkait kenyamanan, keamanan,
ketepatan waktu, kedekatan lokasi sampai dengan tarif perjalanan. Moda transportasi kereta
api dipilih karena kenyamanan dan keamanan serta ketepatan waktu. Moda transportasi bus
antar kota cenderung memiliki nilai lebih pada kedekatan dengan lokasi asal keberangkatan
dan tujuan serta tarif perjalanan yang lebih murah. Dari kajian ini terlihat bahwa moda
transportasi kereta api tidak lebih populer dibandingkan dengan moda transportasi jalan raya.
Hal ini salah satunya disebabkan karena kereta api tidak berhenti pada setiap stasiun yang
dilalui sepanjang jalur Yogyakarta – Solo dan layanan moda transportasi penghubung
(intermoda) yang buruk, sehingga akan menyulitkan akses penumpang potensial yang berada
di luar jangkauan stasiun Yogyakarta, Klaten dan Solo.
Urgensi dalam penelitian ini adalah pentingnya penyelarasan jalur layanan kereta api,
dalam hal ini termasuk peran dan fungsi stasiun, dengan hirarki bentuk dan karakter kawasan.
Inti urban yang merupakan pusat kendali aktivitas kota dengan guna lahan campur kepadatan
tinggi memerlukan stasiun berkapasitas besar yang memiliki potensi tarikan tinggi sekaligus
sebagai pusat pergantian antar moda. Kawasan rural dengan dominasi fungsi hunian lebih
memerlukan stasiun yang optimal untuk memfasilitasi pergerakan bangkitan menuju pusat-
12
pusat aktivitas perkotaan. Sebagai kasus penelitian, kawasan-kawasan stasiun di sepanjang
jalur Yogyakarta – Solo ini memenuhi pertimbangan-pertimbangan dalam pemilihan kasus
seperti yang diuraikan di atas:
1. Merupakan rangkaian kawasan stasiun dengan keberadaan potensi infrastruktur
perkeretaapian yang baik namun tidak difungsikan secara optimal dalam operasional
layanannya, dalam hal ini beberapa stasiun pada jalur Yogyakarta – Solo (Kalasan,
Brambanan, Srowot, Ketandan, Ceper, Delanggu, Gawok) saat ini dihentikan layanan
penumpangnya karena alasan kekurangan pengguna untuk membiayai operasional
layanan;
2. Memiliki potensi lahan yang memadai untuk pengembangan kawasan dengan prinsip
ROD, dalam hal ini kepadatan bangunan pada kawasan-kawasan stasiun di sepanjang
jalur Yogyakarta – Solo masih berkepadatan rendah dan sedang (kurang dari 50 unit
hunian/ha);
3. Memiliki potensi pengguna jalur layanan transportasi kereta api yang bagus, dengan
jumlah pengguna komuter rata-rata 3500 penumpang/hari, belum termasuk pengguna
potensial yang saat ini memilih menggunakan moda transportasi pribadi dan
transportasi publik jalan raya, hal ini dikuatkan dengan adanya rencana PT Kereta Api
Indonesia (PT KAI) untuk meningkatkan kualitas layanan jalur kereta api komuter
Yogyakarta – Solo dengan menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) yang
operasionalnya lebih murah dan ramah lingkungan pada beberapa tahun ke depan;
4. Memiliki tipologi karakter fisik kawasan stasiun yang beragam dalam satu koridor
layanan yaitu rural (Srowot, Ketandan, Ceper, Brambanan), urban-rural (Maguwo,
Kalasan, Klaten, Delanggu, Gowok), dan urban (Solo Balapan, Lempuyangan,
Purwosari, Yogyakarta Tugu);
5. Memiliki dukungan kebijakan pemerintah di antaranya adalah melalui
a. Strategi pengembangan Transit-Oriented Development, parkir untuk komuter
(park and ride), transfer antar moda serta pengembangan rel ganda dan kereta api
komuter untuk pengembangan sistem pusat pelayanan terintegrasi dan berhirarki
(Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta 2011 – 2031);
b. Strategi pengembangan jalan kereta api untuk meningkatkan peran kereta api
sebagai angkutan regional melalui pengembangan poros utama Timur - Barat dan
Utara – Selatan serta pengembangan jaringan kereta api perkotaan, di mana dalam
hal ini Stasiun Yogyakarta Tugu dan Lempuyangan sebagai stasiun angkutan
penumpang serta Stasiun Maguwo sebagai pendukung terminal angkutan udara di
13
bandara Adisucipto (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta 2009 – 2029).
Dengan melihat keterkaitan antara karakter fisik kawasan stasiun lokal, karakter
layanan transportasi kawasan, termasuk layanan moda transportasi lokal bermotor dan tidak
bermotor, dengan pola mobilitas komuter yang terjadi, dan dengan menggunakan wacana
konsep Transit Oriented Development yang diadaptasi dalam konteks lokal, penelitian ini
akan mengkaji lebih lanjut konsep pengembangan kawasan stasiun yang mengintegrasikan
karakter fisik kawasan dan jalur kereta api yang merupakan moda transportasi utama dalam
kawasan yaitu konsep Rail-transit Oriented Development dalam meningkatkan mobilitas dan
konektivitas perkotaan.
1.1.5. Celah Teoritik dan Pentingnya Pemodelan
Teori dan konsep yang ada saat ini memperlihatkan konsep Transit-Oriented
Development sebagai bentuk pengembangan kawasan yang mengakomodasi interaksi guna
lahan dan transportasi publik yang berperan dalam mendorong mobilitas perkotaan. Di sisi
lain, teori dan konsep Transit-Oriented Development menggunakan wacana negara maju dan
negara di belahan dunia Barat, sehingga perlu kajian adaptasi untuk konteks negara
berkembang. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, teori Transit-Oriented
Development akan dideskripsikan aplikasinya dalam bentuk model konseptual ideal sehingga
akan dapat menjembatani jarak antara teori dan kondisi empirik (kawasan stasiun di
Indonesia) untuk dapat diinterpretasikan dengan mudah sekaligus sebagai alat modifikasi
teori untuk mengisi kekosongan teori terkait Transit-Oriented Development/Rail-transit
Oriented Development di negara berkembang.
Model konseptual pengembangan kawasan stasiun kereta api yang dibangun nantinya
merupakan representasi dan penyederhanaan dari penerapan konsep Rail-transit Oriented
Development (konseptualisasi) pada kondisi eksisting tipologi kawasan stasiun kereta api di
Indonesia. Tipologi kawasan stasiun kereta api di Indonesia akan diklasifikasikan berdasar
posisi/lokasi stasiun terhadap perkotaan dalam satu koridor jalur layanan kereta api dan juga
dengan menggunakan konsep smart code transect zone (Parolek et al., 2008) yang
merepresentasikan kecenderungan karakter fisik urban atau rural dari kawasan stasiun. Dalam
hal ini kasus jalur kereta api Yogyakarta - Solo dipandang tepat untuk dijadikan kasus
pengembangan model konseptual karena merepresentasikan secara lengkap tipologi kawasan
stasiun dalam satu jalur. Model yang dibangun dalam penelitian ini akan dapat memahamkan
14
dan menjelaskan bagaimana sistem akan memberikan respons pada berbagai kondisi yang
berbeda dengan melihat keterkaitan antar komponennya (siklis dan dinamis) dan akan dapat
mengevaluasi performansi (menganalisis kelebihan dan kekurangan) serta memberikan
prediksi yang layak dari sistem tersebut untuk diterapkan. Secara ringkas, model konseptual
ideal yang terbangun akan dapat mengorganisasikan pemikiran, memunculkan gagasan, dan
menguji perspektif pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Upaya pengembangan suatu kawasan tidak dapat terlepas dari penghargaan terhadap
konteks. Di dalamnya, aspek positif dan negatif menjadi pertimbangan dalam konsep dan
arah pengembangan kawasan. Dengan melihat keunggulan kereta api sebagai moda
transportasi publik, dan melihat potensi pengembangan kawasan stasiun kereta api sebagai
generator aktivitas kawasan perkotaan, pertanyaan besar dalam penelitian ini adalah:
Seperti apa model konseptual pengembangan kawasan stasiun kereta api yang
sesuai untuk Indonesia?
Pertanyaan tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa sub pertanyaan yaitu
1. Bagaimana prinsip-prinsip pengembangan kawasan stasiun kereta api berdasar konsep
Rail-transit Oriented Development? Bagaimana transformasi konsep Rail-transit
Oriented Development di beberapa negara?
2. Sejauh mana prinsip-prinsip Rail-transit Oriented Development dapat
ditransformasikan dalam pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia?
a. Bagaimana karakter fisik kawasan stasiun kereta api? Bagaimana karakter sistem
transportasi publik yang terkait dengan kawasan stasiun kereta api? Bagaimana
pola mobilitas pada kawasan stasiun kereta api dan kaitannya dengan pola
mobilitas perkotaan?
b. Dalam transformasi Rail-transit Oriented Development di Indonesia bagaimana
konsep yang sesuai untuk pengembangan kawasan stasiun?
3. Bagaimana konsep pengembangan kawasan stasiun kereta api pada ragam tipologi
lokasi kawasan pada jalur Yogyakarta - Solo yang dapat dikembangkan sebagai
model konseptual pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia?
15
Gambar 1.2. Celah Teori
konteks negara maju TEORI EMPIRIK konteks negara berkembangIndikator performansi mobilitas dilihat melalui modal share, travel
time, trip length dan land use (Bojkovik et al., 2001)
Mobilitas dinyatakan dengan jarak tempuh dan jumlah perjalanan
maksimal seseorang dengan menggunakan moda transportasi
yang tersedia pada jangka waktu tertentu (Onnavong dan Nitta,
2005) Mobilitas merupakan dampak dari interaksi aktivitas lahan
(demand) dan ketersediaan sistem transportasi (supply) (Khisty
dan Lall, 2005; Meyer, 1984)
Mobilitas meningkatkan aksesibilitas melalui pemusatan aktivitas
dengan penggunaan ruang secara intensif (Hansen, 1959 dalam
Handy, 2002)
Mobilitas didorong adanya daya tarik tempat tujuan dan daya
dorong tempat asal (Khisty dan Lall, 2005)
Elemen-elemen urban form terdiri dari plot (lahan), street
(jalan), constructed space (ruang terbangun), dan open space
(ruang terbuka) Levy (1999); Elemen-elemen urban form terdiri
dari street/cadastral (jalan), plot pattern (pola lahan), building
structures (struktur bangunan) dan land uses (guna lahan)
(Conzen, 1960 dalam Carmona et al., 2010)
Konsep sustainable urban form yang ideal adalah yang memiliki
compactness dan densitas tinggi, fungsi lahan campur, jaringan
ruang jalan yang terkoneksi, didukung oleh jaringan transportasi
publik yang baik (sustainable transportation), kontrol lingkungan
yang baik (greening dan passive solar energy) dan manajemen
urban yang berkualitas (Williams et al, 2000)
Layanan transit pada negara berkembang berperan dalam
membentuk sustainable urban form. Urban form dibentuk oleh
layout area hunian (lokasi aktivitas harian dan jaraknya dari
hunian), serta travel to work (moda, waktu tempuh dan biaya
perjalanan) (Zhang et al., 2013)
Komunitas multi fungsi dalam jarak tempuh rata-rata berjalan
kaki sejauh 2.000 ft (± 500 m) menuju tempat transit transportasi
publik dan pusat komersial kawasan (Calthorpe, 1993)
Standar performa TOD yang diterapkan di negara maju
kebanyakan tidak applicable secara langsung, karena perbedaan
dalam guna lahan eksisting. Di samping itu, kurangnya dukungan
kebijakan terkait guna lahan, transportasi dan transit finance
dalam keterkaitan dengan pengembangan kawasan TOD (Zhang,
2007; Cervero dan Day, 2008))
Kawasan stasiun kereta api memiliki peran sebagai node, titik
awal dan akhir akses kereta api dan jaringan transportasi lainnya
dan sebagai place yang merupakan integrasi antara bangunan
dan ruang terbuka di sekitarnya dengan stasiun kereta api
sebagai pusat kawasan yang memberikan kenyamanan bertempat
tinggal, bekerja ataupun beraktivitas transit (Bertolini dan Spit,
1998)
GAP
Sistem transit transportasi publik berkompetisi dengan moda
transportasi pribadi dalam kasus kawasan dengan kepadatan
rendah, memerlukan integrasi transportasi publik kereta api dan
feeder bus , serta integrasi park and ride dan stasiun kereta api
(Curtis, 2008). Pada kasus dengan kepadatan tinggi, lebih
difokuskan pada integrasi guna lahan dan transportasi serta
dukungan kebijakan zoning, serta desain kawasan yang
pedestrian friendly (Chen, 2010; Sung dan Oh, 2011)
Pada dasarnya ROD/TOD memiliki prinsip-prinsip yang menuju
pada walkable community yaitu density, diversity, design, distance
to transit, destination accessibility (Dittmar dan Ohland, 2004;
Greenberg, 2004 dalam Dittmar dan Ohland, 2004; Ewing dan
Cervero, 2001; Ewing et al., 2009 dalam Ewing dan Cervero,
2010; Chen, 2010)
Meskipun terdapat beragam kondisi geografis dan tingkat
pembangunan ekonomi, kondisi mendasar yang penting harus
diselesaikan sebelum menerapkan TOD adalah pedestrian friendly
urban design, good governance, dan high quality transit service
(Mua dan deJong, 2012)
Elemen yang berperan dalam rail-oriented development, yaitu:
Land use development di sekitar kawasan, Perbaikan suplai
transport dan layanannya, Penggunaan kembali dan peningkatan
kualitas bangunan stasiun dan lingkungannya (Heilemann dan
Kemming, 2002)
Mobilitas dalam neighborhood merupakan elemen kunci dalam
menerapkan prinsip Rail-Oriented Development (L'Hostis et al,
2010).
MODIFIKASI
TEORI TOD/ROD NEGARA BERKEMBANG
MO
BIL
ITAS U
RBAN
Pada umumnya di negara berkembang mobilitas dan aksesibilitas
rendah karena motorisasi yang pesat, fasilitas transportasi yang
tidak dapat mengimbangi permintaan, tingkat pemeliharaan
sarana dan prasarana transportasi yang buruk, serta rendahnya
kolaborasi antar stakeholder untuk menyelesaikan permasalahan
(Gakenheimer, 1999).
MODEL KONSEPTUAL RAIL-ORIENTED DEVELOPMENT
INDONESIA
Negara berkembang tidak memiliki integrasi sistem transportasi
yang baik, namun memiliki tingkat mobilitas dan perpindahan
moda transportasi yang lebih tinggi dibandingkan negara maju.
Sedangkan aksesibilitasnya rendah karena hanya memiliki sedikit
fasilitas publik di perkotaan (Onnavong dan Nitta, 2005)
URBAN
FO
RM
TO
D/R
OD
Pada permukiman formal, karakter urban form dikembangkan
sejalan dengan rencana yang sudah disusun sebelumnya.
Sedangkan pada permukiman informal, berkembang secara
sporadis tanpa perencanaan sehingga cenderung membentuk
pola spasial yang iregular. Pertumbuhan informal urban form
biasanya terjadi pada area belakang distrik komersial, bantaran
sungai, sepanjang rel kereta api dan lahan kosong yang tidak
terlihat dari jalan utama (Bawole, 2012)
16
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membangun model konseptual pengembangan kawasan
yang berbasis pada integrasi karakter fisik dan sistem layanan transportasi publik kereta api
(Rail-transit Oriented Development) pada kawasan stasiun di Indonesia, melalui langkah-
langkah:
1. Mengetahui prinsip-prinsip pengembangan kawasan stasiun kereta api berdasar
konsep Rail-transit Oriented Development dan transformasinya pada beberapa negara.
2. Mengetahui sejauh mana prinsip-prinsip Rail-transit Oriented Development dapat
ditransformasikan dalam pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia
dengan
a. mengidentifikasi karakter fisik kawasan stasiun kereta api, mengidentifikasi
karakter sistem transportasi publik yang terkait dengan kawasan stasiun kereta api,
serta mengetahui pola mobilitas pada kawasan stasiun kereta api dan kaitannya
dengan pola mobilitas perkotaan;
b. mengeksplorasi prinsip dan strategi dalam transformasi konsep Rail-transit
Oriented Development yang sesuai dengan konteks kawasan stasiun di Indonesia
3. Merumuskan model konseptual pengembangan kawasan stasiun kereta api
berdasarkan konsep Rail-transit Oriented Development yang sesuai untuk konteks
Indonesia
1.3.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara umum dalam ranah praktis akan memberikan kontribusi kepada
upaya pengembangan kawasan stasiun kereta api serta untuk mengoptimalkan fungsi jalur
kereta api dalam mendukung mobilitas dan konektivitas pada area perkotaan. Sejauh ini
upaya yang dilakukan pemerintah masih sebatas pada pengembangan jalur kereta api, belum
menyentuh kawasan sekitar jalur kereta api, sehingga menjadi terintegrasi atau
pengembangan kawasan yang berbasis pada jalur kereta api sebagai sarana transportasi
publik.
Penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi dalam ranah praktis secara khusus
pada bidang perencanaan dan perancangan kota. Pengembangan kawasan stasiun kereta api
yang selama ini terabaikan dalam suatu kota akan dapat menjadi wacana pembentukan
17
generator baru bagi pertumbuhan kota, dan memberikan wacana pembenahan sistem
transportasi kota.
Dalam ranah teoritik, penelitian ini akan memperkaya wacana perancangan kawasan
dengan konteks lokal yang akan memberikan keunikan pada temuan model konseptual
pengembangan kawasan dalam ranah messo. Model konseptual pengembangan kawasan yang
didapatkan nantinya akan dapat ditransformasikan pada kasus-kasus serupa di Indonesia.
Penelitian ini nantinya juga akan memberikan modifikasi pada teori Transit-Oriented
Development/Rail-transit Oriented Development untuk negara berkembang.
1.4. Hasil yang Diharapkan
Dari penelitian ini diharapkan dapat ditemukan pengetahuan baru dan teori lokal
tentang konsep perancangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia. Dalam penelitian ini
akan digali aspek-aspek lokalitas yang dapat memberikan kontribusi pada pengembangan
kawasan yang berpijak pada integrasi karakter fisik kawasan stasiun dan jalur moda
transportasi publik kereta api. Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan wacana dalam
penyusunan kebijakan perancanaan kota pada umumnya, serta dijadikan acuan dan arahan
dalam perancangan kawasan stasiun kereta api pada khususnya. Secara teoritik, hasil
penelitian dapat memperkaya pengetahuan tentang transformasi konsep Rail-transit Oriented
Development pada konteks lokal kawasan stasiun kereta api di Indonesia.
1.5. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang terkait dengan kajian interaksi dan integrasi karakter fisik
kawasan dan sistem layanan transportasi publik serta mobilitas perkotaan melalui konsep
Transit-Oriented Development telah dilakukan dengan beragam kasus dan lingkup ruang
yang diteliti. Penelitian tentang keterhubungan karakter fisik kawasan dan sistem transportasi
publik tanpa mengkaitkan dengan konsep TOD banyak dilakukan, demikian juga penelitian
terkait kawasan stasiun kereta api sebagai objeknya. Penelitian terkait TOD juga sudah
seringkali dilakukan baik dalam skala messo ataupun makro dalam bahasan aspek yang
beragam.
Penelitian mengenai keterkaitan atau hubungan antara karakter fisik kawasan dan
sistem transportasi publik dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya Miller dan Ibrahim
(2001), Pooley dan Turnbull (2000), Stead dan Marshall (2001). Miller dan Ibrahim (2001)
18
dalam penelitiannya melihat pengaruh tingkatan dan distribusi spasial aktivitas dalam area
urban terhadap konsumsi energi sektor transportasi dan interkoneksi perilaku antara aktivitas
sebagai manifestasi pola spatial-temporal di mana komunitas area urban terkait. Karakter
fisik kawasan terbentuk dari sinergi pola distribusi aktivitas secara fisik dan pola aktivitas
manusia dalam konteks ruang dan waktu. Sementara itu, Pooley dan Turnbull (2000)
mengeksplorasi hubungan antara perubahan teknologi transportasi, mobilitas individu dan
urban form dengan mengidentifikasi perubahan keberadaan transportasi publik dan
perubahan pola komuter yang memfokus pada perilaku pelaku perjalanan terhadap beragam
bentuk transportasi dan hubungan antara pilihan komuter, kenyamanan transportasi dan
karakter fisik kawasan. Demikian juga Stead dan Marshall (2001) melihat keterkaitan antara
karakter fisik kawasan dan pola perjalanan serta interaksi faktor-faktor sosial ekonomi
dengan karakter fisik kawasan dan pola perjalanan. Amin (1998) dalam penelitiannya pada
konteks Indonesia merumuskan model interaksi guna lahan dan transportasi dengan
menggunakan metode dinamika sistem, merumuskan dominasi penggunaan lahan dan
kebijakan pengembangan lahan pada tiap zona berdasarkan model interaksi tersebut.
Sementara itu, Ho (2009) mengkaji hubungan jalur kereta api dan konsep pembangunan
berkelanjutan untuk mengetahui dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi dan guna lahan.
Dalam penelitian terkait kawasan stasiun kereta api, Septianto (2004) memunculkan
simulasi rancangan ruang kota di kawasan stasiun kereta api yang terintegrasi dengan
kawasan sekitarnya dengan melakukan perbaikan beberapa elemen perkotaan yang ada di
sekitar kawasan dan menambahkan fungsi baru untuk menciptakan vitalitas baru di kawasan.
Penelitian ini mengarah pada transformasi konsep TOD pada kawasan namun masih sebatas
aspek-aspek fisik spasial. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sudarisman (2008) yang
melihat kawasan stasiun kereta api sebagai sebuah ruang publik kota yang mewadahi
aktivitas pengguna kawasan dan sangat mempengaruhi perkembangan kawasan sekitarnya.
Pendekatan perilaku menjadi penekanan pada penelitian ini sehingga simulasi rancangannya
menyebabkan setiap bagian kawasan stasiun menjadi hidup oleh beragam aktivitas serta
pergerakan manusia. Penelitian sebelumnya, dengan objek kawasan stasiun kereta api juga
dilakukan oleh Prabowo (2002) dengan arahan pada studi karakter perancangan kota di mana
kawasan stasiun kereta api merupakan bagian dari konfigurasi kota lama.
Pembahasan dalam skala messo kawasan stasiun kereta api dilakukan oleh Kido
(2005) dalam penelitiannya mengenai Context Sensitive Design for Railways (CSDR) melalui
komparasi aspek estetika stasiun kereta api di Jepang dan di Eropa. Dalam penelitian ini,
stasiun kereta api dipandang sebagai bagian dari lanskap jalur kereta api (Railway
19
Landscape) yang merupakan infrastruktur jalur kereta api terkait pada aspek amenitas visual
dan efisiensi fungsional. Di samping itu, stasiun kereta api juga mendorong hubungan
interaktif antara tata guna lahan dan transportasi untuk membuat fasilitas transportasi lebih
fungsional dan bermanfaat untuk mobilitas, livabilitas, afordabilitas guna lahan serta untuk
aktivitas dan atraktivitas kota.
Sic (2004) dalam penelitiannya mengidentifikasi peran kawasan stasiun kereta api
dalam pertumbuhan fungsional keruangan kota melalui telaah perkembangan kawasan stasiun
kereta api pada periode waktu yang berbeda. Temuan dari penelitian ini menunjukkan
terdapat keterkaitan dalam pembangunan antara transportasi dan sistem urban, antara lalu
lintas kendaraan dan fungsional keruangan dari pertumbuhan kota. Modernisasi kawasan
jalur kereta api memberikan atraktivitas pada stasiun kereta api dan mampu beradaptasi
dengan pertumbuhan kebutuhan dari waktu ke waktu.
Sementara itu, Kusumo (2007) dalam disertasinya mengelaborasi peran stasiun kereta
api dalam konteks messo kawasan dan konektivitasnya dengan skala urban khususnya
mengkaitkan dengan pertumbuhan fungsi komersial (pasar) di sekitarnya. Dalam temuannya,
Kusumo (2007) mengemukakan pentingnya stasiun kereta api terintegrasi secara fisik dengan
jalur pergerakan kota dan lokal (kawasan) untuk menciptakan livabilitas kawasan di sekitar
stasiun kereta api.
Dalam fokus pengembangan strategi, konsep dan model TOD terdapat beberapa
penelitian yang sudah dilakukan. Penelitian dengan elaborasi konsep TOD dilakukan oleh
Yuniasih (2007) dalam penelitiannya pada kawasan stasiun Dukuh Atas dengan melihat
aspek optimalisasi sirkulasi. Dalam penelitian ini, disimpulkan adanya perencanaan elemen
sirkulasi dan kegiatan-kegiatan yang tepat dapat menjadi alternatif dalam memunculkan
sinergi antara pengembangan dan transit. Mobilitas moda transportasi yang menjadi objek
penelitian di sini adalah mobilitas moda transportasi jalan raya. Dari sudut pandang
transportasi, intensitas kawasan direkayasa untuk mencapai tingkat pelayanan jalan dan
volume pengembangan yang optimal. Heilemann dan Kemming (2002) dalam penelitiannya
mengkaji strategi guna lahan dan transportasi publik dalam mentransformasikan konsep Rail-
transit Oriented Development pada berbagai skala (lokal, regional, nasional). Dalam
kesimpulannya didapatkan tiga aspek yang berperan dalam integrasi tersebut: pengembangan
guna lahan pada kawasan stasiun, peningkatan layanan dan suplai transportasi, serta
penggunaan kembali dan peningkatan kualitas bangunan stasiun dan lingkungannya.
Li et al. (2010) melakukan kajian pengembangan model transit-oriented land
planning yang mendukung keberlanjutan transit transportasi kereta api. Model yang dibangun
20
akan dapat menyelesaikan permasalahan guna lahan pada kawasan stasiun yang terkait
dengan jenis guna lahan dan densitas. Zhang (2007) mengkaji pengembangan model
konseptual untuk pengembangan kawasan urban, di mana dalam model tersebut digunakan
prinsip-prinsip 5 (lima) D2 yaitu density, dockized district, delicate design, diverse
destination, and distributed dividends. Dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa untuk
menjadi kawasan transit yang berkelanjutan, TOD harus didukung kebijakan terkait guna
lahan, transportasi dan finansial transit. Dalam kerangka penelitian yang serupa, Chen (2010)
mengkaji model konseptual untuk pengembangan kawasan urban dengan menggunakan
prinsip-prinsip 5 (lima) D yaitu density, diversity, design, distance dan destination
accessibility.
Beberapa penelitian pengembangan model TOD dan ROD dilakukan dalam batasan
karakter fisik kawasan. Curtis (2008) membangun model TOD untuk kawasan sub urban
kepadatan rendah dengan beberapa tipologi: TOD dalam kawasan pejalan kaki, TOD dalam
kawasan yang berbasis pada lingkungan yang memperlambat laju kendaraan bermotor, serta
stasiun transit-transfer yang terkoordinasi dengan intermodal. Dalam model yang
dikembangkan terdapat peluang untuk eksplorasi integrasi jalur kereta api dengan guna lahan
sekaligus untuk menguji validitas konsep TOD. Dalam kasus dengan karakter yang berbeda,
Sung dan Oh (2011) mengkaji pengembangan TOD dalam kawasan urban berkepadatan
tinggi dengan melihat keterkaitan faktor-faktor perencanaannya dengan peningkatan transit
ridership. Sementara itu Li dan Lai (2007) membangun sistem evaluasi TOD yang berdasar
pada analytic hierarchy progresses (AHP) pada TOD kawasan metropolitan. Hedayatifard
dan Hosseinian (2012) mengkaji potensi dan urgensi transformasi konsep TOD pada kawasan
dengan struktur spasial linier.
Dalam fokus kajian potensi dan peluang pengembangan TOD, Falconer dan
Richardson (2010), melakukan eksplorasi peluang pengembangan TOD melalui kajian
interaksi guna lahan dan transportasi pada kawasan urban. Temuan dari penelitian ini
menyatakan bahwa setiap tipologi lokasi TOD memiliki karakteristik yang berbeda meskipun
prinsip-prinsip yang mendasarinya tetap konsisten. Di samping itu, dalam upaya transformasi
TOD diperlukan dukungan dari pemerintah dan kebijakannya serta koordinasi antara
pengembangan sistem tata ruang dan transportasi publik kota. Mua dan de Jong (2012) dalam
penelitiannya mengidentifikasi kondisi suatu lokasi yang dapat dikembangkan untuk TOD
berdasarkan indikator-indikator kritis dan kondisi empirik kemudian memetakannya secara
sistematis. Penelitian serupa dilakukan oleh Thomas dan Deakin (2008), Shastry (2010) serta
Lo Feudo dan Festa (2012) dalam kasus dan metode yang berbeda. Chorus dan Bertolini
21
(2011) menggunakan model node-place dalam melakukan eksplorasi kasus-kasus
pengembangan kawasan stasiun serta mengidentifikasi kecenderungan peran faktor guna
lahan dan transportasi dalam menstrukturkan pengembangan kawasan.
Dalam fokus kajian dampak, penelitian terkait TOD dilakukan oleh Renne dan Wells
(2002), Jenks (2005), Cervero dan Day (2008) serta Ratner dan Goetz (2012). Jenks (2005)
mengkaji pengembangan strategi untuk mengukur keberhasilan dan dampak TOD, di mana
pada kesimpulannya didapatkan beberapa aspek yang dapat digunakan sebagai indikator
kesuksesan TOD. Cervero dan Day (2008) meneliti dampak relokasi penduduk pada kawasan
TOD terkait aksesibilitas, pilihan moda komuter dan durasi aktivitas komuter. Ratner dan
Goetz (2012) mengkaji dampak keberadaan aksesibilitas transit dan TOD terhadap guna
lahan dan karakter fisik kawasan. Sistem transit kereta api dan penekanan pada TOD
berkontribusi dalam peningkatan densitas rata-rata pada kawasan urban.
Berdasar pada uraian di atas, beberapa penelitian mengenai kawasan stasiun kereta api
secara khusus yang terkait dengan Rail-transit Oriented Development sudah pernah dilakukan
namun belum ada yang mengkaitkan dengan ragam tipologi kawasan stasiun di Indonesia.
Dalam penelitian yang akan dilakukan, akan dikaji lebih dalam pada aspek karakter fisik
kawasan stasiun kereta api yang akan dielaborasi dari berbagai elemen kawasan, mengkaji
eksisting pola spasial dan fungsional kawasan stasiun kereta api dan pengaruhnya terhadap
kecenderungan perkembangan kawasan serta konektivitasnya dengan skala urban. Di
samping itu, juga akan dikaji pola mobilitas di sekitar kawasan stasiun kereta api dan faktor-
faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola mobilitas pengguna potensial dalam kaitannya
dengan karakter fisik kawasan stasiun. Kajian terhadap penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan akan digunakan sebagai pembeda dengan rencana penelitian yang akan dilakukan
dapat dilihat dalam tabel berikut ini
Tabel 1.2. Rincian Penelitian yang Sudah Dilakukan
PENULIS,
TAHUN JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE
Amin, Mirna
(1998)
Pemodelan Interaksi
Land Use dan
Transportasi dengan
Simulasi Dinamika
Sistem
Pemodelan
interaksi land
use dan
transportasi
Dinamika sistem Kecamatan
Bekasi Barat,
Bekasi Timur,
Bekasi Utara,
Bekasi Selatan
Rasionalistik
kuantitatif
Pooley, Colin
G dan Jean
Turnbull
(2000)
Commuting,
Transport and
Urban Form:
Manchester and
Glasgow in the Mid-
Twentieth Century
Pertumbuhan
kawasan urban
Hubungan antara
urban form dan
sistem
transportasi
urban
Manchester
dan Glasgow
Historis
interpretatif
22
PENULIS,
TAHUN JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE
Miller, Eric J.
dan Amal
Ibrahim
(2001)
Urban Form and
Vehicular Travel:
Some Empirikcal
Findings
Pola mobilitas
dalam kawasan
urban
Distribusi spasial
aktivitas area
urban sbg
manifestasi pola
spatial-temporal
Kawasan
Greater
Toronto (GTA)
Rasionalistik
kuantitatif
Stead,
Dominic dan
Stephen
Marshall
(2001)
The Relationships
between Urban
Form and Travel
Patterns
Pola mobilitas
dalam kawasan
urban
Interaksi faktor-
faktor sosial
ekonomi dengan
urban form dan
pola perjalanan
Kawasan
urban di
berbagai kota
dunia
Review
literatur
Prabowo,
Bintang Noor
(2002)
Studi Karakter
Perancangan Kota
di Kawasan Stasiun
Kereta Api sebagai
Bagian dari
Konfigurasi Kota
Lama, Kasus
Stasiun Tawang dan
Stasiun Jakarta Kota
Kawasan stasiun
kereta api
sebagai bagian
dari kota lama
Karakter
perancangan kota
Kawasan
stasiun kereta
api Tawang
Semarang dan
Jakarta Kota
Rasionalistik
kualitatif
Renne, John
dan Jan
Wells (2002)
State of the
Literature: Transit-
Oriented
Development,
Assessing the
Impacts of the New
Jersey Transit
Village Initiative
Transformasi
Konsep Transit-
Oriented
Development
Evaluasi Dampak
TOD terhadap
Rencana
Pengembangan
Kawasan Transit
Kawasan
Transit New
Jersey
Review
literatur
Heilemann,
Anke dan
Herbert
Kemming
(2002)
Rail Oriented
Development on
Urban and Regional
Levels, Potentials
and Impacts, Policy
Measures and
Processes
Transformasi
Konsep Rail-
Oriented
Development
Strategi
Perencanaan
Guna Lahan
dalam skala
lokal, regional
dan nasional
Kawasan
Orlean
Studi kasus
Septianto,
Eggi (2004)
Penataan Kawasan
Stasiun Kereta Api
Cimahi
Kawasan stasiun
kereta api
Elemen-elemen
ruang kota
Kawasan
stasiun kereta
api Cimahi
Sinoptik
rasionalistik
Sic, Miroslav
(2004)
Role of Railway
Station Zones in the
Spatio-Functional
Development of
Zagreb
Kawasan stasiun
kereta api
Peran kawasan
stasiun kereta api
dalam
pertumbuhan
spasial
fungsional kota
Kawasan
stasiun kereta
api Zagreb
Studi kasus
Kido, Ewa
Maria (2005)
Aesthetic Aspects of
Raillway Stations in
Japan and Europe,
as a Part of
‘Context Sensitive
Design for
Railways’
Stasiun kereta
api sebagai
bagian dari
lansekap jalur
kereta api
Aspek estetika
dalam Context
Sensitive Design
for Railways
Stasiun-stasiun
kereta api di
Jepang dan
Eropa
Studi kasus
Jenks,
Christopher
W (2005)
Transit-oriented
Develoment:
Developing a
Strategy to Measure
Success
Transformasi
Konsep Transit-
Oriented
Development
Strategi
Pengukuran
Keberhasilan
TOD
Review
literatur dan
Delphi
23
PENULIS,
TAHUN JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE
Yuniasih,
Fahdiana
(2007)
Perancangan
Kawasan Transit
Oriented
Development Dukuh
Atas Berdasarkan
Optimalisasi
Sirkulasi
Eksplorasi
konsep Transit
Oriented
Development
Optimasi
sirkulasi
Kawasan
transit
intermoda
Dukuh Atas
Rasionalistik
kuantitatif
Zhang, Ming
(2007)
Chinese Edition of
Transit-Oriented
Development
Pengembangan
model
konseptual
Transit Oriented
Development
Sustainable
transit
development
Kawasan
perkotaan Cina
Studi kasus
Li, Chia-
Nung dan
Tsung-Yu
Lai (2007)
Establishment of the
goals of strategies
of Metropolitan
Transit-Oriented
Development in
Taipei
Strategi
transformasi
Transit-Oriented
Development
Evaluasi
transformasi
TOD
Kawasan
metropolitan
Taipei
Rasionalistik
kuantitatif
berdasar
Analytic
Hierarchy
Progress
(AHP)
Kusumo,
Camelia
(2007)
Railway Stations
Centers and
Markets
Strategi
konfigurasi
spasial untuk
livabilitas
kawasan stasiun
kereta api
Kajian
keterkaitan
stasiun kereta api
dan pertumbuhan
ekonomi di
sekitarnya
Kawasan
stasiun kereta
api di
Surabaya,
Delft dan
Leiden
Studi kasus
Sudarisman,
Irwan (2008)
Perancangan Ruang
Publik dengan
Dasar Pendekatan
Perilaku, Studi
Kasus Kawasan
Stasiun Kereta Api
Bandung Bagian
Selatan
Kawasan stasiun
kereta api
Kajian perilaku
pengguna
kawasan stasiun
Kawasan
stasiun kereta
api Bandung
bagian Selatan
Rasionalistik,
pendekatan
perilaku
Curtis, Carey
(2008)
Evolution of the
Transit-oriented
Development Model
for Low-density
Cities: A Case Study
of Perth's New
Railway Corridor
Pengembangan
model
konseptual
Transit Oriented
Development
TOD pada
kawasan dengan
kepadatan rendah
Kawasan urban
Perth
Rasionalistik
kualitatif
Cervero,
Robert dan
Jennifer Day
(2008)
Suburbanization
and Transit-
oriented
Development in
China
Pengembangan
model
assessment
Transit-Oriented
Development
Dampak
pengembangan
TOD pada
mobilitas
perkotaan
Kawasan sub
urban Cina
Rasionalistik
kuantitatif
Thomas,
Alainna dan
Elizabeth
Deakin
(2008)
Land Use
Challenges to
Implementing
Transit-Oriented
Development in
China Case Study of
Jinan, Shandong
Province
Potensi
pengembangan
Transit-Oriented
Development
Transformasi
smart growth
Kawasan kota
sedang Jinan
Rasionalistik
kualitatif
24
PENULIS,
TAHUN JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE
Ho, Man-sze
(2009)
Railway and
Sustainable
Development :
Socio-Economic
and Land Use
Impacts of West
Rail on Yuen Long
Town
Interaksi
transportasi
publik dan guna
lahan
Dampak sosial
ekonomi dan
guna lahan
berdasar prinsip
sustainable
development
Kawasan urban
Yuen Long
Rasionalistik
kualitatif
Falconer,
Ryan dan
Emmerson
Richardson
(2010)
Rethinking Urban
Land Use and
Transport Planning
– Opportunities for
Transit Oriented
Development in
Australian Cities
Case Study Perth
Interaksi
transportasi
publik dan guna
lahan
Potensi
pengembangan
TOD berdasar
ragam tipologi
karakter kawasan
Kawasan urban
Perth
Studi kasus
Li, Yan, H.
L. Guo, Heng
Li, G. H. Xu,
Z. R. Wang,
C. W. Kong
(2010)
Transit-Oriented
Land Planning
Model Considering
Sustainability of
Mass Rail Transit
Pengembangan
model
perencanaan
lahan untuk
TOD
Sustainable Mass
Rail Transit
Kawasan urban
Cina
Rasionalistik
kuantitatif
Chen,
Xueming
(2010)
Prospect of the
Transit-Oriented
Development in
China
Potensi
pengembangan
Transit-Oriented
Development
Transit-Oriented
Corridor dan
Transit-Oriented
Metropolis
Kawasan urban
Cina
Review
literatur
Shastry,
Srikanth
(2010)
Spatial Assesment
of TOD in
Ahmedabad, India
Pengembangan
model decision
making untuk
TOD
Implementasi
dan improvement
kawasan
Koridor BRT
kawasan urban
densitas tinggi
Ahmedabad
Rasionalistik
kuantitatif
dengan
SMCE
(Spatial Multi
Criteria
Evaluation)
Sung,
Hyungun dan
Ju-Taek Oh
(2011)
Transit-oriented
Development in a
High-density City:
Identifying its
Association with
Transit Ridership in
Seoul, Korea
Pengembangan
model
konseptual
Transit Oriented
Development
TOD pada
kawasan dengan
kepadatan tinggi
dalam kaitannya
dengan transit
ridership
Kawasan urban
Seoul
Rasionalistik
kuantitatif
dengan
multiple
regression
Chorus, Paul
dan Luca
Bertolini
(2011)
An application of
the Node Place
Model to Explore
the Spatial
Development
Dynamics of Station
Areas in Tokyo
Interaksi
transportasi
publik dan guna
lahan
Model Node-
Place dalam
pengembangan
spasial kawasan
stasiun
Kawasan urban
Tokyo
Rasionalistik
kuantitatif
Mua, Rui dan
Martin de
Jong (2012)
Establishing the
Conditions for
Effective Transit-
oriented
Development in
China: the Case of
Dalian
Potensi
pengembangan
Transit-Oriented
Development
Komponen-
komponen
critical dan
important dalam
pengembangan
TOD
Kawasan urban
Dalian
Review
literatur
25
PENULIS,
TAHUN
JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE
Hedayatifard,
Maedeh dan
Mojtaba
Hosseinian
(2012)
Application of the
concept Transit-
Oriented
development in
linear urban spatial
structures:
(Fereidunkenar as
the case study)
Transformasi
Konsep Transit-
Oriented
Development
Potensi dan
peluang
pengembangan
TOD
Kawasan linier
urban
Fereidunkenar
Rasionalistik
kualitatif
Lo Feudo,
Fausto dan
Demetrio
Carmine
Festa (2012)
A Tram-train
System to Connect
the Urban Area of
Cosenza to its
Province: a
Simulation Model of
Transport Demand
Modal Split and
Territorial Analysis
to Identify Adapted
Transit-Oriented
Development
Prospects
Pengembangan
model simulasi
Transit Oriented
Development
Potensi
pengembangan
TOD terkait
dengan transport
demand, modal
split dan analisa
teritori
Kawasan
koridor tram-
train Cosenza
Rasionalistik
kuantitatif
dengan
sistem Tranus
Ratner, Keith
A. dan
Andrew R.
Goetz (2012)
The Reshaping of
Land Use and
Urban Form in
Denver through
Transit-Oriented
Development
Transformasi
Konsep Transit-
Oriented
Development
Dampak
pengembangan
TOD terhadap
guna lahan dan
urban form
Kawasan
metropolitan
Denver
Review
literatur
Siregar,
Deliani P
(2013)
Perancanaan
Transit-Oriented
Development di
Jakarta Pusat
Identifikasi
Konsep Transit-
Oriented
Development
yang sesuai
untuk konteks
Jakarta Pusat
Potensi
pengembangan
TOD dan strategi
perencanaannya
Kawasan
Stasiun Senen
Jakarta Pusat
Penilaian
potensi
dengan
standar ITDP
Berdasarkan kajian terhadap penelitian-penelitian dalam tabel di atas, dapat disusun
kategorisasi berdasarkan fokus penelitiannya sebagai berikut:
1. Penelitian dengan fokus kajian stasiun kereta api dan kawasan di sekitarnya sebagai
bagian dari pertumbuhan kota, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2002),
Sic (2004), Kido (2005), dan Kusumo (2007).
2. Penelitian dengan fokus kajian keterkaitan karakter fisik kawasan, transportasi publik
dan mobilitas yaitu penelitian yang dilakukan oleh Pooley dan Turnbull (2000), Miller
dan Ibrahim (2001), Stead dan Marshall (2001), Heilemann dan Kemming (2002),
Renne dan Wells (2002), Jenks (2005), Li dan Lai (2007), Thomas dan Deakin
(2008), Ho (2009), Chen (2010), Falconer dan Richardson (2010), Chorus dan
Bertolini (2011), Hedayatifard dan Hosseinian (2012), Mua dan de Jong (2012),
Ratner dan Goetz (2012).
26
3. Penelitian dengan fokus kajian transformasi Transit-Oriented Development dan Rail-
transit Oriented Development (strategi, konsep, dan model perancangan kawasan
transit), yaitu penelitian yang dilakukan oleh Amin (1998), Septianto (2004),
Yuniasih (2007), Zhang (2007), Curtis (2008), Cervero dan Day (2008), Sudarisman
(2008), Li et al. (2010), Shastry (2010), Sung dan Oh (2011), Lo Feudo dan Festa
(2012), Siregar (2013).
Penelitian-penelitian di atas dapat juga dikategorikan berdasarkan skala lokus objek
kajiannya, sebagai berikut:
1. Penelitian yang skala lokus objek kajiannya adalah skala messo kawasan, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Heilemann dan Kemming (2002), Prabowo (2002),
Renne dan Wells (2002), Septianto (2004), Sic (2004), Kido (2005), Yuniasih (2007),
Zhang (2007), Kusumo (2007), Cervero dan Day (2008), Curtis (2008), Sudarisman
(2008), Shastry (2010), Chorus dan Bertolini (2011), Sung dan Oh (2011),
Hedayatifard dan Hosseinian (2012), Lo Feudo dan Festa (2012), Mua dan de Jong
(2012), Siregar (2013).
2. Penelitian yang skala lokus kajiannya adalah skala makro urban, dalam hal ini yang
dipengaruhi oleh sistem transportasi publik, yaitu penelitian yang dilakukan oleh
Amin (1998), Pooley dan Turnbull (2000), Miller dan Ibrahim (2001), Stead dan
Marshall (2001), Jenks (2005), Li dan Lai (2007), Thomas dan Deakin (2008), Ho
(2009), Chen (2010), Falconer dan Richardson (2010), Li et al.(2010), Ratner dan
Goetz (2012).
Dari berbagai metode yang digunakan, penelitian-penelitian tersebut dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Penelitian yang menggunakan metode rasionalistik kuantitatif, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Amin (1998), Miller dan Ibrahim (2001), Yuniasih (2007). Li dan Lai
(2007), Cervero dan Day (2008), Li et al. (2010), Shastry (2010), Sung dan Oh
(2011), serta Chorus dan Bertolini (2011).
2. Penelitian yang menggunakan metode rasionalistik kualitatif, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Prabowo (2002), Septianto (2004), Sudarisman (2008), Curtis (2008),
Thomas dan Deakin (2008), Ho (2009), serta Hedayatifard dan Hosseinian (2012).
3. Penelitian yang menggunakan metode analisis konten, yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Pooley dan Turnbull (2000), Stead dan Marshall (2001), Renne dan Wells
(2002), Jenks (2005), Chen (2010), Mua dan de Jong (2012), serta Ratner dan Goetz
(2012).
27
4. Penelitian yang menggunakan metode studi kasus, yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Heilemann dan Kemming (2002), Sic (2004), Kido (2005), Zhang (2007),
Kusumo (2007), serta Falconer dan Richardson (2010) dan Siregar (2013).
5. Penelitian yang menggunakan metode pemodelan, yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Amin (1998), Zhang (2007), Curtis (2008), Cervero dan Day (2008), Shastry
(2010), Li et al. (2010), Sung dan Oh (2011), Lo Feudo dan Festa (2012).
Kesamaan kajian fokus dan skala lokus serta metode dengan tipologi kasus yang
berbeda pernah dilakukan oleh Zhang (2007), Curtis (2008) serta Sung dan Oh (2011). Zhang
(2007) dalam penelitiannya menggunakan kasus perkotaan Cina dengan metode pemodelan
melalui studi kasus. Dalam penelitiannya, Zhang menemukan bahwa dalam transformasi
TOD diperlukan kebijakan terpadu antara guna lahan, transportasi dan transit finance untuk
menerapkan prinsip-prinsip 5D2 (differentiated density, docksized district, delicate design,
diverse destination, distributed dividends). Curtis (2008) menggunakan tipologi kasus
penerapan TOD pada kawasan densitas rendah dengan pemodelan rasionalistik kualitatif.
Temuannya menyatakan bahwa dalam kasus kawasan dengan densitas rendah, transformasi
TOD lebih difokuskan pada kualitas intermodal dan fasilitas park and ride (parkir komuter),
guna lahan komersial di sekitar stasiun tidak menjadi prioritas. Sementara itu, Sung dan Oh
(2011) dalam penelitiannya menggunakan lokus kawasan dengan kepadatan tinggi melalui
metode pemodelan rasionalistik kuantitatif. Temuan yang dihasilkan adalah model
pengembangan TOD untuk kawasan dengan kepadatan tinggi peningkatan densitas tidak
menjadi prioritas, namun lebih difokuskan pada layanan transit, guna lahan, jaringan jalan
dan desain kawasan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang mengkaji
konsep pengembangan kawasan stasiun kereta api melalui model konseptual integrasi
karakter fisik kawasan dan layanan transportasi publik dalam ragam tipologi ruang urban di
Indonesia melalui pemodelan belum pernah dilakukan. Terminologi Rail-transit Oriented
Development akan menjadi referensi bagi konsep yang akan dikembangkan. Temuan-temuan
penelitian sebelumnya akan digunakan sebagai pengetahuan bagi peneliti untuk memperkaya
khasanah pengetahuan/teori tentang konsep-konsep pengembangan kawasan khususnya pada
kawasan stasiun kereta api dengan karakter fisik kawasan sebagai aspek penting dalam
integrasi dengan transportasi publik untuk membangun pengetahuan baru dan konsep
pengembangan kawasan stasiun kereta api.
28
Gambar 1.3. Keaslian Penelitian
1.6. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini disusun dalam tujuh bab pembahasan sebagai acuan dalam berfikir
secara sistematis, adapun rancangan sistematika pembahasan disusun sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, merupakan gambaran umum isi penelitian yang terdiri dari latar
belakang permasalahan yang mendasari pentingnya penelitian, pertanyaan penelitian yang
memberi gambaran tahap penelitian, tujuan dan manfaat penelitian yang memberi gambaran
hasil dan manfaat penelitian, hasil penelitian yang secara rinci memberi gambaran produk
dari penelitian, keaslian penelitian yang memberikan gambaran bahwa penelitian ini belum
pernah ada yang melakukan sebelumnya, serta sistematika pembahasan yang memberikan
gambaran substansi dan proses penelitian.
Bab II Kajian Pustaka, merupakan kajian berbagai teori dan literatur yang terkait
dengan substansi penelitian, yaitu karakter dan perkembangan kawasan urban, transportasi
dalam kawasan urban, mobilitas kawasan urban, kawasan transit, konsep Transit Oriented
KUANTITATIF
pooley dan
turnbull
2000
renne dan
wells
2002
chen
2010
stead dan
marshall
2001
jenks
2005
mua dan de
jong
2012
ratner dan
goetz
2012
mixed
kuantitatif
miller dan
ibrahim
2001
li dan lai
2007
yuniasih
2007
prabowo
2002
sic
2004
thomas dan
deakin
2008
hedayatifard
dan
hosseinian
2012
siregar
2013
heilemann
dan
kemming
2002
ho
2009
septianto
2004
sudarisman
2008
falconer
dan
richardson
2010
mixed
chorus dan
bertolini
2011
amin
1998
cervero
dan day
2008
shastry
2010
sung dan
oh
2011
li et al.
2010
feudo dan
festa
2012
kualitatifcurtis
2008
zhang
2007
mixed
INDONESIANEGARA
BERKEMBANG
NEGARA
MAJU
PENGEMBANGAN GUNA LAHAN +
SISTEM TRANSPORTASI PUBLIKKARAKTER FISIK KAWASAN STASIUN
kusumo
2007
NEGARA
MAJUINDONESIA
NEGARA
MAJUINDONESIA
NEGARA
MAJU
NEGARA
BERKEMBANG
NEGARA
BERKEMBANGK
AJI
AN
LIT
ERA
TUR
KUALITATIF
KA
JIA
N K
ASU
S
kualitatif
PEM
OD
ELA
N kuantitatif
TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT
INDONESIA
widyastuti
2017
NEGARA
BERKEMBANG
RAIL-TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT
widyastuti
2017
29
Development dan Rail-transit Oriented Development, pemodelan dalam penelitian serta
landasan teori dalam penelitian yang memberikan gambaran arahan dan landasan berpikir
dalam proses penelitian.
Bab III Metode Penelitian, mendeskripsikan paradigma penelitian, rancangan dan
tahapan pelaksanaan penelitian beserta metode yang digunakan, serta penentuan lokasi
penelitian berdasar pertimbangan tujuan penelitian.
Bab IV Best Practices Pengembangan Kawasan Stasiun Kereta Api, merupakan
kajian kawasan acuan dalam metode best practices pada penelitian yang meliputi peran best
practices dalam pengembangan model konseptual, deskripsi serta identifikasi karakter dan
proses pengembangan kawasan acuan dalam konteks konsep Rail-transit Oriented
Development, fleksibilitas dan adaptasi prinsip-prinsip Rail-transit Oriented Development
secara umum pada kawasan acuan (kawasan stasiun negara maju), serta kajian konteks lokal
pengembangan kawasan (Jabodetabek) yang dianalisis dari prinsip-prinsip Rail-transit
Oriented Development untuk mengidentifikasi kesenjangan implementasi konsep ROD dan
keunikan lokal terkait konteks.
Bab V Analisis dan Pembahasan Kawasan Stasiun Kereta Api Jalur Yogyakarta-Solo,
merupakan kajian terhadap kasus kawasan target yaitu kawasan stasiun Yogyakarta Tugu,
Lempuyangan, Solo Balapan, Purwosari, Klaten, dan Srowot meliputi kajian karakter fisik
kawasan, layanan transportasi kawasan, serta pola mobilitas kawasan dalam prinsip-prinsip
Rail-transit Oriented Development. Dalam bab ini juga terdapat analisis karakter kawasan
secara umum dalam kaitannya dengan mobilitas kawasan.
Bab VI Pengembangan Model Konseptual Rail-transit Oriented Development pada
Kawasan Stasiun Kereta Api Indonesia, memberikan gambaran dasar-dasar pengembangan
model, logika dan proses konstruksi model, serta validasi model untuk menjamin kesahihan
dan transferabilitas model melalui uji simulasi kawasan kasus dengan skenario tertentu.
Bab VII Kesimpulan dan Saran, mendeskripsikan ringkasan temuan penelitian yang
berupa konsep Rail-transit Oriented Development untuk kasus pengembangan kawasan
stasiun kereta api di Indonesia, model konseptual, serta prinsip-prinsip dan strategi dalam
implementasi sesuai konteks, kontribusi teoritik pada ranah ilmu arsitektur, keterbatasan
penelitian, implikasi kebijakan serta saran untuk penelitian selanjutnya.