pendahuluan 1.1. latar belakang 1.1.1. peran moda...

29
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Peran Moda Transportasi Kereta Api dalam Mobilitas Perkotaan Pada dasarnya, pola mobilitas atau pergerakan manusia secara umum didorong oleh kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pola pergerakan manusia (mobilitas) yang terjadi pada suatu kawasan terkait dengan aspek transportasi dan tata guna lahan. Pergerakan dari satu tempat ke tempat lain dalam skala perkotaan diakomodasi oleh moda transportasi yang beragam. Mobilitas merupakan dampak dari interaksi antara guna lahan (lokasi asal dan tujuan mobilitas) dan transportasi. Sarana dan prasarana transportasi merupakan elemen penting yang berperan dalam terbentuknya sistem layanan transportasi yang mewadahi dan memperlancar mobilitas perkotaan. Dominasi penggunaan transportasi publik merupakan indikator layanan sistem transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Dalam layanan transportasi publik, satu moda dapat mengangkut banyak penumpang per perjalanan, berbeda dengan kendaraan pribadi di mana satu moda hanya dapat mengangkut penumpang dalam jumlah terbatas. Perbandingan efisiensi penggunaan ruang dapat digambarkan bahwa untuk mengangkut 50.000 orang per jam, diperlukan lebar jalan 175 meter dengan kendaraan pribadi/mobil, atau lebar jalan 35 meter dengan bus, atau lebar jalan 9 meter dengan kereta api. Perbandingan yang lain juga menyatakan bahwa 75 orang yang memerlukan 60 kendaraan pribadi untuk bermobilitas ternyata bisa diakomodasi dengan hanya 1 bus saja (UITP, 2001). Hal ini menunjukkan penggunaan kendaraan pribadi sangat tidak efisien dalam penggunaan ruang jika dibandingkan dengan kendaraan umum yang mendorong efisiensi waktu, biaya, dan tenaga. Dalam konteks lingkungan, semakin banyak kendaraan pribadi juga memberikan dampak negatif. Emisi dari kendaraan bermotor berkontribusi pada pemanasan global dan polusi udara. Konsumsi energi rata-rata per kendaraan bermotor juga semakin tidak efisien ketika jumlah kendaraan semakin banyak. Pilihan moda transportasi juga mempengaruhi efisiensi energi, dengan penggunaan 1 kg bahan bakar, dapat ditempuh jarak yang beragam bergantung pada moda transportasi yang digunakan. Untuk 1 kg bahan bakar mobil pribadi hanya dapat berjalan sejauh kurang dari 20 km, sangat jauh lebih pendek dibandingkan dengan moda transportasi publik pada umumnya. Kendaraan pribadi mengkonsumsi energi 3

Upload: duongkhanh

Post on 16-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Peran Moda Transportasi Kereta Api dalam Mobilitas Perkotaan

Pada dasarnya, pola mobilitas atau pergerakan manusia secara umum didorong oleh

kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pola pergerakan manusia (mobilitas) yang

terjadi pada suatu kawasan terkait dengan aspek transportasi dan tata guna lahan. Pergerakan

dari satu tempat ke tempat lain dalam skala perkotaan diakomodasi oleh moda transportasi

yang beragam. Mobilitas merupakan dampak dari interaksi antara guna lahan (lokasi asal dan

tujuan mobilitas) dan transportasi.

Sarana dan prasarana transportasi merupakan elemen penting yang berperan dalam

terbentuknya sistem layanan transportasi yang mewadahi dan memperlancar mobilitas

perkotaan. Dominasi penggunaan transportasi publik merupakan indikator layanan sistem

transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Dalam layanan transportasi publik, satu moda

dapat mengangkut banyak penumpang per perjalanan, berbeda dengan kendaraan pribadi di

mana satu moda hanya dapat mengangkut penumpang dalam jumlah terbatas. Perbandingan

efisiensi penggunaan ruang dapat digambarkan bahwa untuk mengangkut 50.000 orang per

jam, diperlukan lebar jalan 175 meter dengan kendaraan pribadi/mobil, atau lebar jalan 35

meter dengan bus, atau lebar jalan 9 meter dengan kereta api. Perbandingan yang lain juga

menyatakan bahwa 75 orang yang memerlukan 60 kendaraan pribadi untuk bermobilitas

ternyata bisa diakomodasi dengan hanya 1 bus saja (UITP, 2001). Hal ini menunjukkan

penggunaan kendaraan pribadi sangat tidak efisien dalam penggunaan ruang jika

dibandingkan dengan kendaraan umum yang mendorong efisiensi waktu, biaya, dan tenaga.

Dalam konteks lingkungan, semakin banyak kendaraan pribadi juga memberikan

dampak negatif. Emisi dari kendaraan bermotor berkontribusi pada pemanasan global dan

polusi udara. Konsumsi energi rata-rata per kendaraan bermotor juga semakin tidak efisien

ketika jumlah kendaraan semakin banyak. Pilihan moda transportasi juga mempengaruhi

efisiensi energi, dengan penggunaan 1 kg bahan bakar, dapat ditempuh jarak yang beragam

bergantung pada moda transportasi yang digunakan. Untuk 1 kg bahan bakar mobil pribadi

hanya dapat berjalan sejauh kurang dari 20 km, sangat jauh lebih pendek dibandingkan

dengan moda transportasi publik pada umumnya. Kendaraan pribadi mengkonsumsi energi 3

2

kali lebih banyak dan memproduksi CO2 lebih banyak 3 kali lipat dibandingkan dengan

kendaraan umum per penumpang.

Berangkat dari permasalahan tersebut, ketersediaan moda transportasi publik ramah

lingkungan menjadi suatu kebutuhan. Kereta api merupakan moda transportasi publik yang

efisien dan ramah lingkungan jika dibandingkan dengan moda transportasi publik lainnya

yang menggunakan bahan bakar sebagai penggerak. Direktorat Jendral Perkeretaapian,

Kementrian Perhubungan RI (2011), mengemukakan bahwa pada tahun 2005 emisi karbon

dari sektor transportasi di Indonesia mencapai angka 70 juta ton. Jumlah tersebut

merepresentasikan 3% dari angka total emisi karbon nasional (2.250 juta ton). Emisi karbon

yang berasal dari kereta api adalah paling rendah jika dibandingkan dengan moda transportasi

lain, hanya 1% dari 70 juta ton. Kondisi tersebut menempatkan kereta api sebagai moda

transportasi paling ekologis. Di samping itu, kereta api juga merupakan moda transportasi

paling efisien sesudah kapal laut dalam hal konsumsi bahan bakar, hanya memerlukan 0,002

liter/km/orang. Jumlah ini jauh lebih efisien jika dibandingkan dengan bus (0,0125

liter/km/orang), pesawat udara (0,05 liter/km/orang) dan sepeda motor (0,04 liter/km/orang).

Meskipun demikian, dalam konteks transportasi darat, kereta api kurang populer jika

dibandingkan dengan moda transportasi jalan raya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengguna

kereta api hanya sekitar 7,32%, sedangkan 84,13% orang lebih memilih moda transportasi

jalan raya (bus, mobil, sepeda motor) untuk bermobilitas. Untuk pergerakan barang, hanya

0,62% menggunakan kereta api sedangkan selebihnya, 90,34%, menggunakan moda

transportasi jalan raya.

Hayashi et al. (2004) dalam tulisannya mengemukakan bahwa sistem transportasi

perkotaan yang berkelanjutan merupakan tantangan bagi negara-negara Asia yang pada

umumnya didominasi oleh transportasi jalan raya, di mana sistem transit moda kereta api

perkotaan dan antar kota kurang berkembang. Transportasi publik pada kota-kota besar Asia

termasuk Indonesia, pada umumnya lebih didominasi oleh bus dan paratransit jika

dibandingkan dengan kereta api. Jenis transportasi publik tersebut memiliki jangkauan

layanan „dari pintu ke pintu‟ yang sesuai untuk kondisi struktur perkotaan yang tidak

terencana dengan baik dan juga infastruktur transportasi yang tidak memadai. Salah satu

dampak yang terjadi adalah kepadatan lalu lintas jalan raya yang melebihi kapasitas beban

jalan sehingga memperlama waktu tempuh ke tujuan, polusi udara yang berlebih dan juga

konsumsi bahan bakar yang lebih banyak (time and energy consuming). Di sisi lain, melihat

perkembangan akses informasi dan teknologi yang pesat beberapa tahun terakhir ini,

fenomena ojek online semakin marak di Indonesia. Keberadaan ojek sebagai sarana

3

transportasi lokal bermotor itu sendiri tentunya tidak berbeda dengan penggunaan kendaraan

bermotor pribadi apalagi ditambah dengan karakter layanannya „dari pintu ke pintu‟ yang

membuat akses semakin mudah dan preferensi penggunaannya semakin tinggi. Kajian terkait

bagaimana membatasi dan menyelesaikan permasalahan tersebut tidak termasuk dalam ranah

penelitian ini. Tantangan untuk membuat preferensi berjalan kaki dan penggunaan moda

transportasi publik lebih tinggi ini lah yang harus ditindaklanjuti dalam pengembangan

kawasan perkotaan.

Terminologi kereta api merupakan representasi dari terminologi rail transport atau

moda transportasi yang menggunakan rel. Kereta api didefinisikan sebagai sarana transportasi

“menggunakan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana lain

yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel terkait dengan perjalanan kereta api” (Undang

Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian). Prasarana

perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar

kereta api dapat dioperasikan. Indonesia memiliki sejarah perkeretaapian yang cukup panjang

dan kaya akan aset perkeretaapian:

1. Jalur kereta api tertua di pulau Jawa dibangun pada tahun 1864 yang menghubungkan

tiga kota penting: Semarang–Solo–Yogyakarta. Jalur kereta api ini merupakan jalur

kereta api ke-dua di Asia sebelum jalur kereta api di Jepang dibangun pada tahun

1872.

2. Selain di Jawa, pembangunan jalur kereta api juga dilakukan di Aceh (1874),

Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), dan

Sulawesi (1922).

3. Dalam perkembangannya, aset infrastruktur perkeretaapian di Indonesia berkurang

dari 6.811 km pada akhir dekade 1930-an saat ini menjadi 5.042 km. Dalam rentang

waktu tersebut, tumbuh dan berkembang beragam aset kawasan stasiun kereta api

yang meliputi stasiun kereta api dengan beragam tipologi skala stasiun, jalur kereta

api dan teknologinya, aset tanah emplasemen serta aset fasilitas operasional kereta api

(Widyastuti dan Ikaputra, 2012).

1.1.2. Perkembangan Kawasan Stasiun Kereta Api dalam Konteks Perkotaan

Dalam sistem transportasi kereta api terdapat beberapa komponen fisik (Ikaputra,

2011), yaitu jalur kereta api dan teknologinya, lahan dan emplasemen, stasiun kereta api serta

fasilitas untuk operasional mobilitas kereta api (rumah dinas, gudang, kantor, dan fasilitas

4

publik lain milik stasiun kereta api). Pada waktu lampau, menurut Subarkah (1983), beragam

tipologi stasiun terkait erat dengan fungsi dan skala layanan transportasi yang diberikan.

Stasiun besar selalu berada di tengah kota atau setidaknya berada pada lokasi yang pada masa

itu direncanakan sebagai pusat kota, demikian pula dengan tipologi stasiun yang lain.

Semakin dekat keberadaan stasiun dengan pusat kegiatan kota maka jalur pergerakan

menggunakan moda transportasi lainnya dari stasiun menuju bagian-bagian kota menjadi

lebih dekat pula. Bergesernya pusat kota seiring dengan pertumbuhan kota dan

perkembangan moda transportasi lain menjadikan peran stasiun menjadi tidak sedominan

pada waktu lalu.

Permasalahan yang terjadi pada pengembangan kawasan-kawasan stasiun kereta api

di Indonesia saat ini adalah belum terintegrasi atau berbasis pada jalur kereta api sebagai

sarana transportasi publik untuk mendukung keberlanjutan operasional moda transportasi

kereta api. Kebijakan pemerintah di bidang transportasi sejauh ini belum mempertimbangkan

integrasi jalur transportasi publik pada umumnya dan jalur kereta api pada khususnya dengan

pengembangan lahan kawasan di sekitarnya dan sebagai bagian penting dari rencana

pengembangan kota. Hal ini berdampak pada keterbatasan mobilitas dengan menggunakan

moda transportasi kereta api dan aksesibilitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan

moda transportasi jalan raya.

Dalam pengembangan kawasan stasiun kereta api sebagai kawasan transit transportasi

publik di beberapa negara terdapat beberapa konsep yang memberikan dampak positif bagi

perkembangan kawasan (Kido, 2005), di antaranya adalah:

1. Station Renaissance; dikembangkan oleh negara-negara Eropa, merehabilitasi stasiun

dengan desain yang atraktif, fasilitas lengkap termasuk untuk penjualan tiket, ruang

tunggu, perpindahan moda dan belanja. Arsitektur jalur kereta api menjadi inovatif

secara struktural, formal dan fungsional dan merefleksikan karakter modern. Konsep

ini memberikan impresi bahwa stasiun merupakan bagian ruang publik kota dan

bagian amenitas kota, tidak hanya mengakomodasi fungsi mobilitas kota.

2. Context Sensitive Design (CSD); dikembangkan oleh Amerika, fokusnya pada

transportasi jalan raya, dengan mengintegrasikan sistem transportasi yang dapat

meningkatkan kualitas hidup: pendekatan kolaboratif dan interdisipliner yang

melibatkan semua pihak terkait dan pemangku kepentingan untuk mengembangkan

fasilitas transportasi yang terintegrasi dengan seting fisik dan mempreservasi scenic,

estetika, sejarah dan potensi alam serta memberikan keamanan dan mobilitas.

5

3. Context Sensitive Design for Railways (CSDR); dikembangkan oleh Jepang,

merupakan pengembangan dari konsep CSD yang diadopsi dari Amerika dan

diterapkan pada stasiun kereta api, fokusnya pada estetika (ekologi, kesederhanaan

bentuk, harmoni dari material dan warna), kualitas arsitektur, integrasi dengan

lingkungan sekitar, desain untuk pencitraan layanan kereta api, akses dan interaksi

antar peron, bangunan dan jalan, keamanan dan apresiasi terhadap nilai-nilai lama.

Menurut Calimente (2012), konsep pengembangan kawasan stasiun kereta api di

Jepang dikenal dengan istilah RIC (Rail Integrated Community). Definisi RIC pada dasarnya

adalah pembangunan pada kawasan sekitar stasiun dengan densitas tinggi, aman, guna lahan

campur, yang berperan sebagai pusat kegiatan komunitas, yang terkoneksi dengan layanan

jalur kereta api cepat dalam frekuensi tinggi di sepanjang hari, serta dapat diakses dengan

berjalan kaki, bersepeda serta transit transportasi publik. Dalam pengembangan kawasan

stasiun berbasis RIC, terdapat guna lahan lengkap (tempat bekerja, sekolah, retail, dan

sebagainya); penggunaan transportasi publik dalam sistem transit sangat tinggi (untuk

aktivitas harian ataupun akhir pekan) sehingga secara signifikan mengurangi penggunaan

kendaraan pribadi; serta tidak hanya ditekankan pada bentukan fisik tetapi juga pentingnya

kebijakan pemerintah yang memungkinkan penyedia jasa transportasi untuk pengembangan

area sekitar. Prosentase komuter berjalan kaki menuju stasiun untuk menggunakan kereta api

cukup tinggi, konsekuensinya jumlah lahan parkir di sekitar stasiun menjadi rendah.

Di sisi lain, dalam konteks pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia, di

mana aset dan prasarana perkeretaapian potensi layanan sudah dimiliki namun belum

terintegrasi dengan pengembangan lahan pada kawasan stasiun, penerapan konsep Transit-

Oriented Development (TOD) yang menstimulasi mobilitas perkotaan dengan moda

transportasi utama kereta api melalui pengembangan kawasan transit stasiun kereta api

menjadi suatu solusi yang dielaborasi dalam penelitian ini.

1.1.3. Konsep Transit-Oriented Development dalam Pengembangan Kawasan Stasiun

Kereta Api (Rail-transit Oriented Development)

Di negara-negara maju pada dunia Barat, pola pengembangan kawasan berbasis pada

integrasi tata ruang kawasan dengan transportasi publik dikenal sebagai TOD (Transit-

Oriented Development), suatu integrasi pengembangan kawasan multi fungsi hunian dan

komersial dalam kawasan kompak kepadatan tinggi untuk meningkatkan aksesibilitas pada

transportasi publik dan meningkatkan mobilitas perkotaan. Caltorphe (1993) menguraikan

6

konsep TOD ini sebagai suatu komunitas multi fungsi dalam jarak tempuh rata-rata berjalan

kaki sejauh 2.000 ft (± 600 m) menuju tempat transit transportasi publik dan pusat komersial

kawasan. Area dalam jangkauan pejalan kaki ini merupakan zona hunian dengan skala

kepadatan yang beragam dari kepadatan sedang hingga tinggi, zona komersial serta tempat

bekerja dengan aktivitas tinggi pejalan kaki dan sebagai titik penting untuk perjalanan transit.

Stasiun kereta api merupakan komponen penting dalam pengembangan kawasan Rail-

transit Oriented Development (ROD). Menurut Bertolini dan Spit (1998), kawasan stasiun

kereta api memiliki peran sebagai node, titik awal dan akhir akses kereta api dan jaringan

transportasi lainnya dan sebagai place yang merupakan integrasi antara bangunan dan ruang

terbuka di sekitarnya dengan stasiun kereta api sebagai pusat kawasan yang memberikan

kenyamanan bertempat tinggal, bekerja ataupun beraktivitas transit. Dalam hal ini, node

merepresentasikan aksesibilitas, sedangkan place merepresentasikan intensitas dan diversitas

aktivitas. Ketika moda transportasi kereta api menjadi moda transportasi publik utama dalam

sistem transit, stasiun kereta api akan berperan menjadi stasiun transit, di mana konsep

peralihan antar moda harus diintegrasikan. Stasiun kereta api harus memfasilitasi pergerakan

dan perpindahan penumpang dari kereta api ke moda transportasi penghubung atau

sebaliknya sehingga jangkauan layanan stasiun transit dan moda kereta api menjadi optimal.

Konektivitas layanan transportasi publik akan meningkatkan kelancaran mobilitas perkotaan.

Menurut Hedayatifard dan Hosseinian (2012), dalam pengembangan kawasan

perkotaan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan komposisi dari urban zone (guna

lahan hunian, komersial, ruang terbuka), urban corridor (sistem transportasi) dan urban node

(pusat aktivitas kawasan). Urban corridor harus memiliki konektivitas baik dengan urban

node untuk mengurangi perjalanan dalam kota sehingga pola organisasi arus pergerakan

sangat bergantung pada bentukan spasial perkotaan (urban form). Struktur perkotaan

merupakan pola penempatan pengembangan blok kawasan, jalan, bangunan, ruang terbuka

dan lansekap dalam kawasan perkotaan.

Heilemann dan Kemming (2002) menyatakan strategi untuk mewujudkan

pembangunan yang berkelanjutan pada dasarnya mengacu pada integrasi guna lahan dan

transportasi. Mobilitas perkotaan dipengaruhi oleh efektivitas dari integrasi transportasi dan

guna lahan. Strategi disentralisasi konsentrasi yang mendorong pertumbuhan perkotaan dan

pengembangan area di luar pusat kota sekitar stasiun dan koridor transportasi publik

merupakan upaya memfasilitasi kebutuhan mobilitas harian dalam jarak dekat. Perpaduan

antara struktur ruang yang memfasilitasi pedestrian dan kendaraan tidak bermotor, fungsi

7

lahan yang beragam (hunian, fasilitas perkantoran, fasilitas perbelanjaan, hiburan), serta

konsep kota kompak akan berkontribusi pada terbentuknya mobilitas kawasan perkotaan.

Dalam pandangan yang serupa, Jenks dan Dempsey (2005), menyatakan bahwa pada

kawasan kompak, fungsi lahan dapat dimaksimalkan melalui tata guna lahan multi fungsi,

intensifikasi serta konektivitas pada infrastruktur pedestrian dan sistem transportasi publik

yang efisien. Guna lahan multi fungsi akan mengurangi frekuensi dan jarak mobilitas. Di sisi

lain, kecenderungan dalam mobilitas lebih mengutamakan travel time (singkatnya waktu

perjalanan) jika dibandingkan dengan travel distance (jarak tempuh perjalanan), sehingga

moda transportasi yang menjadi pilihan adalah moda transportasi yang dapat memberikan

kenyamanan dalam perjalanan (dalam waktu singkat dan mudah diakses). Dalam konsep

pengembangan TOD yang terkonsentrasi pada pengembangan kawasan kepadatan tinggi

(kompak) di sekitar titik transit akan berimplikasi pada kenyamanan transit serta mendorong

mobilitas dari dan ke kawasan TOD (Walters dan Brown, 2004). Lokasi hunian yang dekat

dengan akses transit transportasi publik akan mendorong penggunaan transportasi publik

untuk mobilitas di luar jarak jangkau berjalan kaki.

1.1.4. Kasus Pengembangan Kawasan Stasiun Kereta Api di Indonesia

Penelitian ini berada dalam kerangka besar penelitian pengembangan kawasan yang

terintegrasi sistem transportasi dalam pembangunan perkotaan yang difokuskan pada moda

transportasi publik kereta api sebagai moda transportasi publik yang paling efisien dan ramah

lingkungan. Dalam substansinya termasuk pengembangan stasiun kereta api (skala mikro)

serta kawasan di sekitar stasiun kereta api (skala messo) untuk mencapai mobilitas dan

konektivitas yang lebih baik pada area perkotaan (skala makro). Lingkup dari penelitian ini

adalah skala messo (sekitar stasiun) yang dipengaruhi oleh peran dan layanan serta fasilitas

pada stasiun kereta api dan pola mobilitas harian dalam skala messo dan makro. Konsep

pengembangan kawasan stasiun kereta api dalam penelitian ini merupakan integrasi dari

karakter fisik urban dan transportasi publik perkotaan yang dapat memberikan arahan pada

pengembangan layanan dan fasilitas stasiun kereta api serta dapat meningkatkan mobilitas

dan konektivitas dalam skala perkotaan. Mobilitas difokuskan pada pergerakan orang untuk

segala macam bentuk aktivitas keseharian seperti perjalanan komuter untuk bekerja,

bersekolah ataupun aktivitas sosial (berbelanja, berekreasi). Pemahaman mendasar dari

mobilitas penduduk kawasan sekitar stasiun, konsep interaksi dari transportasi dan guna lahan

8

serta peran stasiun yang tidak sekedar sebagai fungsi pergantian moda namun juga sebagai

lokasi pusat bisnis dan komersial diperlukan untuk mengelaborasi kasus.

Tabel 1.1. Batasan Lingkup Penelitian

SKALA MIKRO

(bangunan stasiun)

SKALA MESSO

(kawasan stasiun)

SKALA MAKRO

(konteks urban)

FORM

building form: konfigurasi bentuk

ruang dan fungsinya dalam

stasiun

district form: konfigurasi bentuk

massa bangunan dan ruang terbuka, serta

fungsi lahan pada kawasan

city form: konfigurasi bentuk dan fungsi

kawasan dalam konteks perkotaan

TRANSPORT

layanan moda utama: jenis dan frekuensi layanan kereta api dalam

stasiun

integrasi antar moda: konektivitas kereta api

dengan moda transportasi feeder

dalam kawasan

sistem transportasi perkotaan: jaringan

transportasi perkotaan yang

terintegrasi, kereta api sebagai moda

transportasi utama

MOBILITY

inside station building mobility:

akesibilitas keberangkatan

dan kedatangan dalam stasiun

around station area mobility: aksesibilitas pedestrian dan non-

motorised dalam kawasan stasiun

inter-station area mobility: aksesibilitas dari origin pada satu

kawasan stasiun menuju destinasi

pada kawasan stasiun yang lain

Dalam pemilihan kasus penelitian ini salah satu aspek yang menjadi pertimbangan

adalah Visi Pembangunan Perkotaan Nasional 2025 yang mengarah pada pembangunan

kawasan urban berkelanjutan (layak huni, berjati diri, produktif, berkelanjutan) dalam ragam

skala bangunan/lahan, blok kawasan, kawasan dan kota/regional (Direktorat Jendral

Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, 2013). Visi tersebut direpresentasikan dalam

kebijakan pembangunan perkotaan nasional yang secara hirarkial dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Meningkatkan peran kota sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi lokal, regional

dan nasional (tingkatan pertama);

2. Menyebarkan pusat-pusat pertumbuhan perkotaan untuk mengatasi ketimpangan

pembangunan antar-wilayah/disentralisasi konsentrasi (tingkatan ke dua);

3. Mendorong pembangunan manusia dan sosial-budaya dalam pembangunan perkotaan

agar mampu mengembangkan ekonomi lokal, sarana dan prasarana kota-kota padat-

9

lahan (kota kompak) dengan pemanfaatan ruang perkotaan yang efisien, ramah

lingkungan, tangguh dan adaptif terhadap kemungkinan bencana (tingkatan ke tiga);

4. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, kelembagaan, dan menerapkan

prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik/pemerintahan yang berjalan dengan baik

(tingkatan ke empat)

Lebih lanjut, dalam arahan pengembangan perkotaan, terdapat 4 (empat) tipologi kota

berdasarkan skala dan perannya yaitu (1) Kota metropolitan (diarahkan menjadi kota

internasional); (2) Kota besar (diarahkan menjadi pusat kegiatan nasional); (3) Kota sedang,

dan (4) Kota kecil (diarahkan menjadi pusat kegiatan wilayah yang mengakomodasi interaksi

desa – kota). Beberapa komponen kebijakan pembangunan perkotaan nasional ditujukan pada

penyebaran pusat-pusat pertumbuhan perkotaan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan

antar-wilayah (desentralisasi konsentrasi), sehingga akan mendorong kota dan wilayah

sekitarnya untuk mampu mengembangkan ekonomi lokal. Pilihan kasus pada kota kecil,

sedang dan besar yang terangkai dalam satu koridor layanan transportasi kereta api menjadi

lebih tepat karena lebih banyak kota di Indonesia dalam skala tersebut sehingga akan

memberikan kontribusi yang signifikan pada pembangunan perkotaan Indonesia.

Pada kasus-kasus kawasan stasiun kereta api di Indonesia dengan beragam karakter

lokasi dan skala stasiun, banyak stasiun yang tidak difungsikan lagi karena berbagai kendala

di antaranya biaya operasional yang tinggi, jalur layanan yang terbatas, minimnya pengguna

layanan kereta api, berdampak pada tidak berkembangnya kawasan stasiun. Keadaan ini

seakan diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada transportasi jalan

raya. Pada sisi lain, jika stasiun kereta api difungsikan secara aktif dan didukung operasional

layanan moda kereta api yang memadai akan dapat mengakomodasi mobilitas orang dan

barang dalam skala perkotaan ataupun regional yang lebih efisien dibandingkan dengan

sistem transportasi jalan raya. Konsep Rail-transit Oriented Development dapat menjadi

solusi pengembangan kawasan stasiun yang sejalan dengan kebijakan pembangunan

perkotaan nasional. Konsep Rail-transit Oriented Development menjadi bagian

pengembangan kota kecil dan kota sedang untuk dapat meningkatkan daya saing lokal dan

kelayakan huni dengan kota besar sebagai generatornya. Dalam konteks pengembangan

fungsinya, kota sedang dan kota kecil berperan sebagai pusat kegiatan wilayah interaksi desa-

kota, sehingga pengembangan perdesaan juga dipengaruhi oleh fungsi dan peran dari kota

sedang dan kecil. Pada umumnya pengembangan perdesaan lebih pada pusat permukiman

yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.

10

Model konseptual pengembangan kawasan stasiun pada kota kecil, sedang, dan besar

nantinya akan lebih banyak bermanfaat mengingat jumlah kota dengan kategori tersebut lebih

banyak dijumpai di Indonesia. Hal ini dikuatkan dengan pertimbangan bahwa mobilitas

perkotaan harian (komuter) merupakan gambaran dinamika pembangunan perkotaan serta

merepresentasikan interaksi desa – kota dan antar kota yang mengarahkan pada pilihan kasus

kawasan stasiun kereta api yang memfasilitasi layanan komuter. Layanan kereta api ini

berbeda dengan jenis rapid transit dan high speed rail yang mengakomodasi mobilitas non

komuter pada kota besar dan metropolitan. Model Rail-transit Oriented Development yang

menjadi lingkup penelitian ini adalah model ROD di Indonesia untuk kawasan stasiun kereta

api dengan layanan komuter.

Gambar 1.1. Dasar Pemilihan Kasus

Pemilihan kasus dalam penelitian ini didasarkan pada: (1) kawasan stasiun dengan

keberadaan potensi infrastruktur perkeretaapian yang baik namun tidak difungsikan secara

optimal dalam operasional layanannya; (2) memiliki potensi lahan yang memadai

(ketersediaan lahan) untuk pengembangan kawasan dengan prinsip ROD; (3) memiliki

potensi pengguna jalur layanan transportasi kereta api yang bagus; dan (4) memiliki tipologi

karakter fisik kawasan stasiun yang lengkap dalam satu koridor layanan. Dalam uraian di

atas, pilihan kasus berada dalam lingkup skala kota besar, kota sedang dan kota kecil.

11

Jalur transportasi Yogyakarta - Solo merupakan jalur padat pergerakan dengan jarak ±

60 km yang menghubungkan dua kota penting di Jawa Tengah. Jalur layanan kereta api

Yogyakarta – Solo ini menghubungkan stasiun-stasiun: Yogyakarta Tugu, Lempuyangan,

Maguwo, Kalasan, Brambanan, Srowot, Klaten, Ketandan, Ceper, Delanggu, Gawok,

Purwosari, Solo Balapan. Dalam perkembangannya, selain sebagai kota budaya, kota Solo

tumbuh menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi dan sebagai kota transit. Di sisi lain, kota

Yogyakarta berkembang menjadi kota pusat pendidikan, budaya dan pariwisata. Dengan

jumlah penduduk kedua kota tersebut saat ini ± 530 ribu jiwa, Kota Yogyakarta dan Solo

diklasifikasikan sebagai kota besar. Standar kota besar menurut Bappenas (1995) adalah kota

dengan jumlah penduduk 500 ribu sampai dengan 1 juta jiwa dengan fungsi pusat pelayanan

jasa, produksi, dan distribusi serta merupakan simpul transportasi untuk pencapaian beberapa

pusat kawasan atau propinsi. Karakter pertumbuhan kedua kota dan pengembangan konsep

keruangan regional yang diarahkan pada pengoptimalan koridor Yogyakarta – Solo -

Semarang (Joglosemar) ini menjadi generator pergerakan masyarakat (komuter) dari

Yogyakarta ke Solo dan sebaliknya.

Pada saat ini, mobilitas komuter Yogyakarta – Solo diakomodasi oleh moda

transportasi publik jalan raya (bus antar kota) dan kereta api. Dalam kajian yang pernah

dilakukan oleh Ansusanto dan Pramarito (2010) jumlah pengguna kedua moda transportasi

tersebut cukup seimbang dengan masing-masing preferensi terkait kenyamanan, keamanan,

ketepatan waktu, kedekatan lokasi sampai dengan tarif perjalanan. Moda transportasi kereta

api dipilih karena kenyamanan dan keamanan serta ketepatan waktu. Moda transportasi bus

antar kota cenderung memiliki nilai lebih pada kedekatan dengan lokasi asal keberangkatan

dan tujuan serta tarif perjalanan yang lebih murah. Dari kajian ini terlihat bahwa moda

transportasi kereta api tidak lebih populer dibandingkan dengan moda transportasi jalan raya.

Hal ini salah satunya disebabkan karena kereta api tidak berhenti pada setiap stasiun yang

dilalui sepanjang jalur Yogyakarta – Solo dan layanan moda transportasi penghubung

(intermoda) yang buruk, sehingga akan menyulitkan akses penumpang potensial yang berada

di luar jangkauan stasiun Yogyakarta, Klaten dan Solo.

Urgensi dalam penelitian ini adalah pentingnya penyelarasan jalur layanan kereta api,

dalam hal ini termasuk peran dan fungsi stasiun, dengan hirarki bentuk dan karakter kawasan.

Inti urban yang merupakan pusat kendali aktivitas kota dengan guna lahan campur kepadatan

tinggi memerlukan stasiun berkapasitas besar yang memiliki potensi tarikan tinggi sekaligus

sebagai pusat pergantian antar moda. Kawasan rural dengan dominasi fungsi hunian lebih

memerlukan stasiun yang optimal untuk memfasilitasi pergerakan bangkitan menuju pusat-

12

pusat aktivitas perkotaan. Sebagai kasus penelitian, kawasan-kawasan stasiun di sepanjang

jalur Yogyakarta – Solo ini memenuhi pertimbangan-pertimbangan dalam pemilihan kasus

seperti yang diuraikan di atas:

1. Merupakan rangkaian kawasan stasiun dengan keberadaan potensi infrastruktur

perkeretaapian yang baik namun tidak difungsikan secara optimal dalam operasional

layanannya, dalam hal ini beberapa stasiun pada jalur Yogyakarta – Solo (Kalasan,

Brambanan, Srowot, Ketandan, Ceper, Delanggu, Gawok) saat ini dihentikan layanan

penumpangnya karena alasan kekurangan pengguna untuk membiayai operasional

layanan;

2. Memiliki potensi lahan yang memadai untuk pengembangan kawasan dengan prinsip

ROD, dalam hal ini kepadatan bangunan pada kawasan-kawasan stasiun di sepanjang

jalur Yogyakarta – Solo masih berkepadatan rendah dan sedang (kurang dari 50 unit

hunian/ha);

3. Memiliki potensi pengguna jalur layanan transportasi kereta api yang bagus, dengan

jumlah pengguna komuter rata-rata 3500 penumpang/hari, belum termasuk pengguna

potensial yang saat ini memilih menggunakan moda transportasi pribadi dan

transportasi publik jalan raya, hal ini dikuatkan dengan adanya rencana PT Kereta Api

Indonesia (PT KAI) untuk meningkatkan kualitas layanan jalur kereta api komuter

Yogyakarta – Solo dengan menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) yang

operasionalnya lebih murah dan ramah lingkungan pada beberapa tahun ke depan;

4. Memiliki tipologi karakter fisik kawasan stasiun yang beragam dalam satu koridor

layanan yaitu rural (Srowot, Ketandan, Ceper, Brambanan), urban-rural (Maguwo,

Kalasan, Klaten, Delanggu, Gowok), dan urban (Solo Balapan, Lempuyangan,

Purwosari, Yogyakarta Tugu);

5. Memiliki dukungan kebijakan pemerintah di antaranya adalah melalui

a. Strategi pengembangan Transit-Oriented Development, parkir untuk komuter

(park and ride), transfer antar moda serta pengembangan rel ganda dan kereta api

komuter untuk pengembangan sistem pusat pelayanan terintegrasi dan berhirarki

(Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta 2011 – 2031);

b. Strategi pengembangan jalan kereta api untuk meningkatkan peran kereta api

sebagai angkutan regional melalui pengembangan poros utama Timur - Barat dan

Utara – Selatan serta pengembangan jaringan kereta api perkotaan, di mana dalam

hal ini Stasiun Yogyakarta Tugu dan Lempuyangan sebagai stasiun angkutan

penumpang serta Stasiun Maguwo sebagai pendukung terminal angkutan udara di

13

bandara Adisucipto (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta 2009 – 2029).

Dengan melihat keterkaitan antara karakter fisik kawasan stasiun lokal, karakter

layanan transportasi kawasan, termasuk layanan moda transportasi lokal bermotor dan tidak

bermotor, dengan pola mobilitas komuter yang terjadi, dan dengan menggunakan wacana

konsep Transit Oriented Development yang diadaptasi dalam konteks lokal, penelitian ini

akan mengkaji lebih lanjut konsep pengembangan kawasan stasiun yang mengintegrasikan

karakter fisik kawasan dan jalur kereta api yang merupakan moda transportasi utama dalam

kawasan yaitu konsep Rail-transit Oriented Development dalam meningkatkan mobilitas dan

konektivitas perkotaan.

1.1.5. Celah Teoritik dan Pentingnya Pemodelan

Teori dan konsep yang ada saat ini memperlihatkan konsep Transit-Oriented

Development sebagai bentuk pengembangan kawasan yang mengakomodasi interaksi guna

lahan dan transportasi publik yang berperan dalam mendorong mobilitas perkotaan. Di sisi

lain, teori dan konsep Transit-Oriented Development menggunakan wacana negara maju dan

negara di belahan dunia Barat, sehingga perlu kajian adaptasi untuk konteks negara

berkembang. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, teori Transit-Oriented

Development akan dideskripsikan aplikasinya dalam bentuk model konseptual ideal sehingga

akan dapat menjembatani jarak antara teori dan kondisi empirik (kawasan stasiun di

Indonesia) untuk dapat diinterpretasikan dengan mudah sekaligus sebagai alat modifikasi

teori untuk mengisi kekosongan teori terkait Transit-Oriented Development/Rail-transit

Oriented Development di negara berkembang.

Model konseptual pengembangan kawasan stasiun kereta api yang dibangun nantinya

merupakan representasi dan penyederhanaan dari penerapan konsep Rail-transit Oriented

Development (konseptualisasi) pada kondisi eksisting tipologi kawasan stasiun kereta api di

Indonesia. Tipologi kawasan stasiun kereta api di Indonesia akan diklasifikasikan berdasar

posisi/lokasi stasiun terhadap perkotaan dalam satu koridor jalur layanan kereta api dan juga

dengan menggunakan konsep smart code transect zone (Parolek et al., 2008) yang

merepresentasikan kecenderungan karakter fisik urban atau rural dari kawasan stasiun. Dalam

hal ini kasus jalur kereta api Yogyakarta - Solo dipandang tepat untuk dijadikan kasus

pengembangan model konseptual karena merepresentasikan secara lengkap tipologi kawasan

stasiun dalam satu jalur. Model yang dibangun dalam penelitian ini akan dapat memahamkan

14

dan menjelaskan bagaimana sistem akan memberikan respons pada berbagai kondisi yang

berbeda dengan melihat keterkaitan antar komponennya (siklis dan dinamis) dan akan dapat

mengevaluasi performansi (menganalisis kelebihan dan kekurangan) serta memberikan

prediksi yang layak dari sistem tersebut untuk diterapkan. Secara ringkas, model konseptual

ideal yang terbangun akan dapat mengorganisasikan pemikiran, memunculkan gagasan, dan

menguji perspektif pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Upaya pengembangan suatu kawasan tidak dapat terlepas dari penghargaan terhadap

konteks. Di dalamnya, aspek positif dan negatif menjadi pertimbangan dalam konsep dan

arah pengembangan kawasan. Dengan melihat keunggulan kereta api sebagai moda

transportasi publik, dan melihat potensi pengembangan kawasan stasiun kereta api sebagai

generator aktivitas kawasan perkotaan, pertanyaan besar dalam penelitian ini adalah:

Seperti apa model konseptual pengembangan kawasan stasiun kereta api yang

sesuai untuk Indonesia?

Pertanyaan tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa sub pertanyaan yaitu

1. Bagaimana prinsip-prinsip pengembangan kawasan stasiun kereta api berdasar konsep

Rail-transit Oriented Development? Bagaimana transformasi konsep Rail-transit

Oriented Development di beberapa negara?

2. Sejauh mana prinsip-prinsip Rail-transit Oriented Development dapat

ditransformasikan dalam pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia?

a. Bagaimana karakter fisik kawasan stasiun kereta api? Bagaimana karakter sistem

transportasi publik yang terkait dengan kawasan stasiun kereta api? Bagaimana

pola mobilitas pada kawasan stasiun kereta api dan kaitannya dengan pola

mobilitas perkotaan?

b. Dalam transformasi Rail-transit Oriented Development di Indonesia bagaimana

konsep yang sesuai untuk pengembangan kawasan stasiun?

3. Bagaimana konsep pengembangan kawasan stasiun kereta api pada ragam tipologi

lokasi kawasan pada jalur Yogyakarta - Solo yang dapat dikembangkan sebagai

model konseptual pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia?

15

Gambar 1.2. Celah Teori

konteks negara maju TEORI EMPIRIK konteks negara berkembangIndikator performansi mobilitas dilihat melalui modal share, travel

time, trip length dan land use (Bojkovik et al., 2001)

Mobilitas dinyatakan dengan jarak tempuh dan jumlah perjalanan

maksimal seseorang dengan menggunakan moda transportasi

yang tersedia pada jangka waktu tertentu (Onnavong dan Nitta,

2005) Mobilitas merupakan dampak dari interaksi aktivitas lahan

(demand) dan ketersediaan sistem transportasi (supply) (Khisty

dan Lall, 2005; Meyer, 1984)

Mobilitas meningkatkan aksesibilitas melalui pemusatan aktivitas

dengan penggunaan ruang secara intensif (Hansen, 1959 dalam

Handy, 2002)

Mobilitas didorong adanya daya tarik tempat tujuan dan daya

dorong tempat asal (Khisty dan Lall, 2005)

Elemen-elemen urban form terdiri dari plot (lahan), street

(jalan), constructed space (ruang terbangun), dan open space

(ruang terbuka) Levy (1999); Elemen-elemen urban form terdiri

dari street/cadastral (jalan), plot pattern (pola lahan), building

structures (struktur bangunan) dan land uses (guna lahan)

(Conzen, 1960 dalam Carmona et al., 2010)

Konsep sustainable urban form yang ideal adalah yang memiliki

compactness dan densitas tinggi, fungsi lahan campur, jaringan

ruang jalan yang terkoneksi, didukung oleh jaringan transportasi

publik yang baik (sustainable transportation), kontrol lingkungan

yang baik (greening dan passive solar energy) dan manajemen

urban yang berkualitas (Williams et al, 2000)

Layanan transit pada negara berkembang berperan dalam

membentuk sustainable urban form. Urban form dibentuk oleh

layout area hunian (lokasi aktivitas harian dan jaraknya dari

hunian), serta travel to work (moda, waktu tempuh dan biaya

perjalanan) (Zhang et al., 2013)

Komunitas multi fungsi dalam jarak tempuh rata-rata berjalan

kaki sejauh 2.000 ft (± 500 m) menuju tempat transit transportasi

publik dan pusat komersial kawasan (Calthorpe, 1993)

Standar performa TOD yang diterapkan di negara maju

kebanyakan tidak applicable secara langsung, karena perbedaan

dalam guna lahan eksisting. Di samping itu, kurangnya dukungan

kebijakan terkait guna lahan, transportasi dan transit finance

dalam keterkaitan dengan pengembangan kawasan TOD (Zhang,

2007; Cervero dan Day, 2008))

Kawasan stasiun kereta api memiliki peran sebagai node, titik

awal dan akhir akses kereta api dan jaringan transportasi lainnya

dan sebagai place yang merupakan integrasi antara bangunan

dan ruang terbuka di sekitarnya dengan stasiun kereta api

sebagai pusat kawasan yang memberikan kenyamanan bertempat

tinggal, bekerja ataupun beraktivitas transit (Bertolini dan Spit,

1998)

GAP

Sistem transit transportasi publik berkompetisi dengan moda

transportasi pribadi dalam kasus kawasan dengan kepadatan

rendah, memerlukan integrasi transportasi publik kereta api dan

feeder bus , serta integrasi park and ride dan stasiun kereta api

(Curtis, 2008). Pada kasus dengan kepadatan tinggi, lebih

difokuskan pada integrasi guna lahan dan transportasi serta

dukungan kebijakan zoning, serta desain kawasan yang

pedestrian friendly (Chen, 2010; Sung dan Oh, 2011)

Pada dasarnya ROD/TOD memiliki prinsip-prinsip yang menuju

pada walkable community yaitu density, diversity, design, distance

to transit, destination accessibility (Dittmar dan Ohland, 2004;

Greenberg, 2004 dalam Dittmar dan Ohland, 2004; Ewing dan

Cervero, 2001; Ewing et al., 2009 dalam Ewing dan Cervero,

2010; Chen, 2010)

Meskipun terdapat beragam kondisi geografis dan tingkat

pembangunan ekonomi, kondisi mendasar yang penting harus

diselesaikan sebelum menerapkan TOD adalah pedestrian friendly

urban design, good governance, dan high quality transit service

(Mua dan deJong, 2012)

Elemen yang berperan dalam rail-oriented development, yaitu:

Land use development di sekitar kawasan, Perbaikan suplai

transport dan layanannya, Penggunaan kembali dan peningkatan

kualitas bangunan stasiun dan lingkungannya (Heilemann dan

Kemming, 2002)

Mobilitas dalam neighborhood merupakan elemen kunci dalam

menerapkan prinsip Rail-Oriented Development (L'Hostis et al,

2010).

MODIFIKASI

TEORI TOD/ROD NEGARA BERKEMBANG

MO

BIL

ITAS U

RBAN

Pada umumnya di negara berkembang mobilitas dan aksesibilitas

rendah karena motorisasi yang pesat, fasilitas transportasi yang

tidak dapat mengimbangi permintaan, tingkat pemeliharaan

sarana dan prasarana transportasi yang buruk, serta rendahnya

kolaborasi antar stakeholder untuk menyelesaikan permasalahan

(Gakenheimer, 1999).

MODEL KONSEPTUAL RAIL-ORIENTED DEVELOPMENT

INDONESIA

Negara berkembang tidak memiliki integrasi sistem transportasi

yang baik, namun memiliki tingkat mobilitas dan perpindahan

moda transportasi yang lebih tinggi dibandingkan negara maju.

Sedangkan aksesibilitasnya rendah karena hanya memiliki sedikit

fasilitas publik di perkotaan (Onnavong dan Nitta, 2005)

URBAN

FO

RM

TO

D/R

OD

Pada permukiman formal, karakter urban form dikembangkan

sejalan dengan rencana yang sudah disusun sebelumnya.

Sedangkan pada permukiman informal, berkembang secara

sporadis tanpa perencanaan sehingga cenderung membentuk

pola spasial yang iregular. Pertumbuhan informal urban form

biasanya terjadi pada area belakang distrik komersial, bantaran

sungai, sepanjang rel kereta api dan lahan kosong yang tidak

terlihat dari jalan utama (Bawole, 2012)

16

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membangun model konseptual pengembangan kawasan

yang berbasis pada integrasi karakter fisik dan sistem layanan transportasi publik kereta api

(Rail-transit Oriented Development) pada kawasan stasiun di Indonesia, melalui langkah-

langkah:

1. Mengetahui prinsip-prinsip pengembangan kawasan stasiun kereta api berdasar

konsep Rail-transit Oriented Development dan transformasinya pada beberapa negara.

2. Mengetahui sejauh mana prinsip-prinsip Rail-transit Oriented Development dapat

ditransformasikan dalam pengembangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia

dengan

a. mengidentifikasi karakter fisik kawasan stasiun kereta api, mengidentifikasi

karakter sistem transportasi publik yang terkait dengan kawasan stasiun kereta api,

serta mengetahui pola mobilitas pada kawasan stasiun kereta api dan kaitannya

dengan pola mobilitas perkotaan;

b. mengeksplorasi prinsip dan strategi dalam transformasi konsep Rail-transit

Oriented Development yang sesuai dengan konteks kawasan stasiun di Indonesia

3. Merumuskan model konseptual pengembangan kawasan stasiun kereta api

berdasarkan konsep Rail-transit Oriented Development yang sesuai untuk konteks

Indonesia

1.3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara umum dalam ranah praktis akan memberikan kontribusi kepada

upaya pengembangan kawasan stasiun kereta api serta untuk mengoptimalkan fungsi jalur

kereta api dalam mendukung mobilitas dan konektivitas pada area perkotaan. Sejauh ini

upaya yang dilakukan pemerintah masih sebatas pada pengembangan jalur kereta api, belum

menyentuh kawasan sekitar jalur kereta api, sehingga menjadi terintegrasi atau

pengembangan kawasan yang berbasis pada jalur kereta api sebagai sarana transportasi

publik.

Penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi dalam ranah praktis secara khusus

pada bidang perencanaan dan perancangan kota. Pengembangan kawasan stasiun kereta api

yang selama ini terabaikan dalam suatu kota akan dapat menjadi wacana pembentukan

17

generator baru bagi pertumbuhan kota, dan memberikan wacana pembenahan sistem

transportasi kota.

Dalam ranah teoritik, penelitian ini akan memperkaya wacana perancangan kawasan

dengan konteks lokal yang akan memberikan keunikan pada temuan model konseptual

pengembangan kawasan dalam ranah messo. Model konseptual pengembangan kawasan yang

didapatkan nantinya akan dapat ditransformasikan pada kasus-kasus serupa di Indonesia.

Penelitian ini nantinya juga akan memberikan modifikasi pada teori Transit-Oriented

Development/Rail-transit Oriented Development untuk negara berkembang.

1.4. Hasil yang Diharapkan

Dari penelitian ini diharapkan dapat ditemukan pengetahuan baru dan teori lokal

tentang konsep perancangan kawasan stasiun kereta api di Indonesia. Dalam penelitian ini

akan digali aspek-aspek lokalitas yang dapat memberikan kontribusi pada pengembangan

kawasan yang berpijak pada integrasi karakter fisik kawasan stasiun dan jalur moda

transportasi publik kereta api. Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan wacana dalam

penyusunan kebijakan perancanaan kota pada umumnya, serta dijadikan acuan dan arahan

dalam perancangan kawasan stasiun kereta api pada khususnya. Secara teoritik, hasil

penelitian dapat memperkaya pengetahuan tentang transformasi konsep Rail-transit Oriented

Development pada konteks lokal kawasan stasiun kereta api di Indonesia.

1.5. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang terkait dengan kajian interaksi dan integrasi karakter fisik

kawasan dan sistem layanan transportasi publik serta mobilitas perkotaan melalui konsep

Transit-Oriented Development telah dilakukan dengan beragam kasus dan lingkup ruang

yang diteliti. Penelitian tentang keterhubungan karakter fisik kawasan dan sistem transportasi

publik tanpa mengkaitkan dengan konsep TOD banyak dilakukan, demikian juga penelitian

terkait kawasan stasiun kereta api sebagai objeknya. Penelitian terkait TOD juga sudah

seringkali dilakukan baik dalam skala messo ataupun makro dalam bahasan aspek yang

beragam.

Penelitian mengenai keterkaitan atau hubungan antara karakter fisik kawasan dan

sistem transportasi publik dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya Miller dan Ibrahim

(2001), Pooley dan Turnbull (2000), Stead dan Marshall (2001). Miller dan Ibrahim (2001)

18

dalam penelitiannya melihat pengaruh tingkatan dan distribusi spasial aktivitas dalam area

urban terhadap konsumsi energi sektor transportasi dan interkoneksi perilaku antara aktivitas

sebagai manifestasi pola spatial-temporal di mana komunitas area urban terkait. Karakter

fisik kawasan terbentuk dari sinergi pola distribusi aktivitas secara fisik dan pola aktivitas

manusia dalam konteks ruang dan waktu. Sementara itu, Pooley dan Turnbull (2000)

mengeksplorasi hubungan antara perubahan teknologi transportasi, mobilitas individu dan

urban form dengan mengidentifikasi perubahan keberadaan transportasi publik dan

perubahan pola komuter yang memfokus pada perilaku pelaku perjalanan terhadap beragam

bentuk transportasi dan hubungan antara pilihan komuter, kenyamanan transportasi dan

karakter fisik kawasan. Demikian juga Stead dan Marshall (2001) melihat keterkaitan antara

karakter fisik kawasan dan pola perjalanan serta interaksi faktor-faktor sosial ekonomi

dengan karakter fisik kawasan dan pola perjalanan. Amin (1998) dalam penelitiannya pada

konteks Indonesia merumuskan model interaksi guna lahan dan transportasi dengan

menggunakan metode dinamika sistem, merumuskan dominasi penggunaan lahan dan

kebijakan pengembangan lahan pada tiap zona berdasarkan model interaksi tersebut.

Sementara itu, Ho (2009) mengkaji hubungan jalur kereta api dan konsep pembangunan

berkelanjutan untuk mengetahui dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi dan guna lahan.

Dalam penelitian terkait kawasan stasiun kereta api, Septianto (2004) memunculkan

simulasi rancangan ruang kota di kawasan stasiun kereta api yang terintegrasi dengan

kawasan sekitarnya dengan melakukan perbaikan beberapa elemen perkotaan yang ada di

sekitar kawasan dan menambahkan fungsi baru untuk menciptakan vitalitas baru di kawasan.

Penelitian ini mengarah pada transformasi konsep TOD pada kawasan namun masih sebatas

aspek-aspek fisik spasial. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sudarisman (2008) yang

melihat kawasan stasiun kereta api sebagai sebuah ruang publik kota yang mewadahi

aktivitas pengguna kawasan dan sangat mempengaruhi perkembangan kawasan sekitarnya.

Pendekatan perilaku menjadi penekanan pada penelitian ini sehingga simulasi rancangannya

menyebabkan setiap bagian kawasan stasiun menjadi hidup oleh beragam aktivitas serta

pergerakan manusia. Penelitian sebelumnya, dengan objek kawasan stasiun kereta api juga

dilakukan oleh Prabowo (2002) dengan arahan pada studi karakter perancangan kota di mana

kawasan stasiun kereta api merupakan bagian dari konfigurasi kota lama.

Pembahasan dalam skala messo kawasan stasiun kereta api dilakukan oleh Kido

(2005) dalam penelitiannya mengenai Context Sensitive Design for Railways (CSDR) melalui

komparasi aspek estetika stasiun kereta api di Jepang dan di Eropa. Dalam penelitian ini,

stasiun kereta api dipandang sebagai bagian dari lanskap jalur kereta api (Railway

19

Landscape) yang merupakan infrastruktur jalur kereta api terkait pada aspek amenitas visual

dan efisiensi fungsional. Di samping itu, stasiun kereta api juga mendorong hubungan

interaktif antara tata guna lahan dan transportasi untuk membuat fasilitas transportasi lebih

fungsional dan bermanfaat untuk mobilitas, livabilitas, afordabilitas guna lahan serta untuk

aktivitas dan atraktivitas kota.

Sic (2004) dalam penelitiannya mengidentifikasi peran kawasan stasiun kereta api

dalam pertumbuhan fungsional keruangan kota melalui telaah perkembangan kawasan stasiun

kereta api pada periode waktu yang berbeda. Temuan dari penelitian ini menunjukkan

terdapat keterkaitan dalam pembangunan antara transportasi dan sistem urban, antara lalu

lintas kendaraan dan fungsional keruangan dari pertumbuhan kota. Modernisasi kawasan

jalur kereta api memberikan atraktivitas pada stasiun kereta api dan mampu beradaptasi

dengan pertumbuhan kebutuhan dari waktu ke waktu.

Sementara itu, Kusumo (2007) dalam disertasinya mengelaborasi peran stasiun kereta

api dalam konteks messo kawasan dan konektivitasnya dengan skala urban khususnya

mengkaitkan dengan pertumbuhan fungsi komersial (pasar) di sekitarnya. Dalam temuannya,

Kusumo (2007) mengemukakan pentingnya stasiun kereta api terintegrasi secara fisik dengan

jalur pergerakan kota dan lokal (kawasan) untuk menciptakan livabilitas kawasan di sekitar

stasiun kereta api.

Dalam fokus pengembangan strategi, konsep dan model TOD terdapat beberapa

penelitian yang sudah dilakukan. Penelitian dengan elaborasi konsep TOD dilakukan oleh

Yuniasih (2007) dalam penelitiannya pada kawasan stasiun Dukuh Atas dengan melihat

aspek optimalisasi sirkulasi. Dalam penelitian ini, disimpulkan adanya perencanaan elemen

sirkulasi dan kegiatan-kegiatan yang tepat dapat menjadi alternatif dalam memunculkan

sinergi antara pengembangan dan transit. Mobilitas moda transportasi yang menjadi objek

penelitian di sini adalah mobilitas moda transportasi jalan raya. Dari sudut pandang

transportasi, intensitas kawasan direkayasa untuk mencapai tingkat pelayanan jalan dan

volume pengembangan yang optimal. Heilemann dan Kemming (2002) dalam penelitiannya

mengkaji strategi guna lahan dan transportasi publik dalam mentransformasikan konsep Rail-

transit Oriented Development pada berbagai skala (lokal, regional, nasional). Dalam

kesimpulannya didapatkan tiga aspek yang berperan dalam integrasi tersebut: pengembangan

guna lahan pada kawasan stasiun, peningkatan layanan dan suplai transportasi, serta

penggunaan kembali dan peningkatan kualitas bangunan stasiun dan lingkungannya.

Li et al. (2010) melakukan kajian pengembangan model transit-oriented land

planning yang mendukung keberlanjutan transit transportasi kereta api. Model yang dibangun

20

akan dapat menyelesaikan permasalahan guna lahan pada kawasan stasiun yang terkait

dengan jenis guna lahan dan densitas. Zhang (2007) mengkaji pengembangan model

konseptual untuk pengembangan kawasan urban, di mana dalam model tersebut digunakan

prinsip-prinsip 5 (lima) D2 yaitu density, dockized district, delicate design, diverse

destination, and distributed dividends. Dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa untuk

menjadi kawasan transit yang berkelanjutan, TOD harus didukung kebijakan terkait guna

lahan, transportasi dan finansial transit. Dalam kerangka penelitian yang serupa, Chen (2010)

mengkaji model konseptual untuk pengembangan kawasan urban dengan menggunakan

prinsip-prinsip 5 (lima) D yaitu density, diversity, design, distance dan destination

accessibility.

Beberapa penelitian pengembangan model TOD dan ROD dilakukan dalam batasan

karakter fisik kawasan. Curtis (2008) membangun model TOD untuk kawasan sub urban

kepadatan rendah dengan beberapa tipologi: TOD dalam kawasan pejalan kaki, TOD dalam

kawasan yang berbasis pada lingkungan yang memperlambat laju kendaraan bermotor, serta

stasiun transit-transfer yang terkoordinasi dengan intermodal. Dalam model yang

dikembangkan terdapat peluang untuk eksplorasi integrasi jalur kereta api dengan guna lahan

sekaligus untuk menguji validitas konsep TOD. Dalam kasus dengan karakter yang berbeda,

Sung dan Oh (2011) mengkaji pengembangan TOD dalam kawasan urban berkepadatan

tinggi dengan melihat keterkaitan faktor-faktor perencanaannya dengan peningkatan transit

ridership. Sementara itu Li dan Lai (2007) membangun sistem evaluasi TOD yang berdasar

pada analytic hierarchy progresses (AHP) pada TOD kawasan metropolitan. Hedayatifard

dan Hosseinian (2012) mengkaji potensi dan urgensi transformasi konsep TOD pada kawasan

dengan struktur spasial linier.

Dalam fokus kajian potensi dan peluang pengembangan TOD, Falconer dan

Richardson (2010), melakukan eksplorasi peluang pengembangan TOD melalui kajian

interaksi guna lahan dan transportasi pada kawasan urban. Temuan dari penelitian ini

menyatakan bahwa setiap tipologi lokasi TOD memiliki karakteristik yang berbeda meskipun

prinsip-prinsip yang mendasarinya tetap konsisten. Di samping itu, dalam upaya transformasi

TOD diperlukan dukungan dari pemerintah dan kebijakannya serta koordinasi antara

pengembangan sistem tata ruang dan transportasi publik kota. Mua dan de Jong (2012) dalam

penelitiannya mengidentifikasi kondisi suatu lokasi yang dapat dikembangkan untuk TOD

berdasarkan indikator-indikator kritis dan kondisi empirik kemudian memetakannya secara

sistematis. Penelitian serupa dilakukan oleh Thomas dan Deakin (2008), Shastry (2010) serta

Lo Feudo dan Festa (2012) dalam kasus dan metode yang berbeda. Chorus dan Bertolini

21

(2011) menggunakan model node-place dalam melakukan eksplorasi kasus-kasus

pengembangan kawasan stasiun serta mengidentifikasi kecenderungan peran faktor guna

lahan dan transportasi dalam menstrukturkan pengembangan kawasan.

Dalam fokus kajian dampak, penelitian terkait TOD dilakukan oleh Renne dan Wells

(2002), Jenks (2005), Cervero dan Day (2008) serta Ratner dan Goetz (2012). Jenks (2005)

mengkaji pengembangan strategi untuk mengukur keberhasilan dan dampak TOD, di mana

pada kesimpulannya didapatkan beberapa aspek yang dapat digunakan sebagai indikator

kesuksesan TOD. Cervero dan Day (2008) meneliti dampak relokasi penduduk pada kawasan

TOD terkait aksesibilitas, pilihan moda komuter dan durasi aktivitas komuter. Ratner dan

Goetz (2012) mengkaji dampak keberadaan aksesibilitas transit dan TOD terhadap guna

lahan dan karakter fisik kawasan. Sistem transit kereta api dan penekanan pada TOD

berkontribusi dalam peningkatan densitas rata-rata pada kawasan urban.

Berdasar pada uraian di atas, beberapa penelitian mengenai kawasan stasiun kereta api

secara khusus yang terkait dengan Rail-transit Oriented Development sudah pernah dilakukan

namun belum ada yang mengkaitkan dengan ragam tipologi kawasan stasiun di Indonesia.

Dalam penelitian yang akan dilakukan, akan dikaji lebih dalam pada aspek karakter fisik

kawasan stasiun kereta api yang akan dielaborasi dari berbagai elemen kawasan, mengkaji

eksisting pola spasial dan fungsional kawasan stasiun kereta api dan pengaruhnya terhadap

kecenderungan perkembangan kawasan serta konektivitasnya dengan skala urban. Di

samping itu, juga akan dikaji pola mobilitas di sekitar kawasan stasiun kereta api dan faktor-

faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola mobilitas pengguna potensial dalam kaitannya

dengan karakter fisik kawasan stasiun. Kajian terhadap penelitian-penelitian yang sudah

dilakukan akan digunakan sebagai pembeda dengan rencana penelitian yang akan dilakukan

dapat dilihat dalam tabel berikut ini

Tabel 1.2. Rincian Penelitian yang Sudah Dilakukan

PENULIS,

TAHUN JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE

Amin, Mirna

(1998)

Pemodelan Interaksi

Land Use dan

Transportasi dengan

Simulasi Dinamika

Sistem

Pemodelan

interaksi land

use dan

transportasi

Dinamika sistem Kecamatan

Bekasi Barat,

Bekasi Timur,

Bekasi Utara,

Bekasi Selatan

Rasionalistik

kuantitatif

Pooley, Colin

G dan Jean

Turnbull

(2000)

Commuting,

Transport and

Urban Form:

Manchester and

Glasgow in the Mid-

Twentieth Century

Pertumbuhan

kawasan urban

Hubungan antara

urban form dan

sistem

transportasi

urban

Manchester

dan Glasgow

Historis

interpretatif

22

PENULIS,

TAHUN JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE

Miller, Eric J.

dan Amal

Ibrahim

(2001)

Urban Form and

Vehicular Travel:

Some Empirikcal

Findings

Pola mobilitas

dalam kawasan

urban

Distribusi spasial

aktivitas area

urban sbg

manifestasi pola

spatial-temporal

Kawasan

Greater

Toronto (GTA)

Rasionalistik

kuantitatif

Stead,

Dominic dan

Stephen

Marshall

(2001)

The Relationships

between Urban

Form and Travel

Patterns

Pola mobilitas

dalam kawasan

urban

Interaksi faktor-

faktor sosial

ekonomi dengan

urban form dan

pola perjalanan

Kawasan

urban di

berbagai kota

dunia

Review

literatur

Prabowo,

Bintang Noor

(2002)

Studi Karakter

Perancangan Kota

di Kawasan Stasiun

Kereta Api sebagai

Bagian dari

Konfigurasi Kota

Lama, Kasus

Stasiun Tawang dan

Stasiun Jakarta Kota

Kawasan stasiun

kereta api

sebagai bagian

dari kota lama

Karakter

perancangan kota

Kawasan

stasiun kereta

api Tawang

Semarang dan

Jakarta Kota

Rasionalistik

kualitatif

Renne, John

dan Jan

Wells (2002)

State of the

Literature: Transit-

Oriented

Development,

Assessing the

Impacts of the New

Jersey Transit

Village Initiative

Transformasi

Konsep Transit-

Oriented

Development

Evaluasi Dampak

TOD terhadap

Rencana

Pengembangan

Kawasan Transit

Kawasan

Transit New

Jersey

Review

literatur

Heilemann,

Anke dan

Herbert

Kemming

(2002)

Rail Oriented

Development on

Urban and Regional

Levels, Potentials

and Impacts, Policy

Measures and

Processes

Transformasi

Konsep Rail-

Oriented

Development

Strategi

Perencanaan

Guna Lahan

dalam skala

lokal, regional

dan nasional

Kawasan

Orlean

Studi kasus

Septianto,

Eggi (2004)

Penataan Kawasan

Stasiun Kereta Api

Cimahi

Kawasan stasiun

kereta api

Elemen-elemen

ruang kota

Kawasan

stasiun kereta

api Cimahi

Sinoptik

rasionalistik

Sic, Miroslav

(2004)

Role of Railway

Station Zones in the

Spatio-Functional

Development of

Zagreb

Kawasan stasiun

kereta api

Peran kawasan

stasiun kereta api

dalam

pertumbuhan

spasial

fungsional kota

Kawasan

stasiun kereta

api Zagreb

Studi kasus

Kido, Ewa

Maria (2005)

Aesthetic Aspects of

Raillway Stations in

Japan and Europe,

as a Part of

‘Context Sensitive

Design for

Railways’

Stasiun kereta

api sebagai

bagian dari

lansekap jalur

kereta api

Aspek estetika

dalam Context

Sensitive Design

for Railways

Stasiun-stasiun

kereta api di

Jepang dan

Eropa

Studi kasus

Jenks,

Christopher

W (2005)

Transit-oriented

Develoment:

Developing a

Strategy to Measure

Success

Transformasi

Konsep Transit-

Oriented

Development

Strategi

Pengukuran

Keberhasilan

TOD

Review

literatur dan

Delphi

23

PENULIS,

TAHUN JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE

Yuniasih,

Fahdiana

(2007)

Perancangan

Kawasan Transit

Oriented

Development Dukuh

Atas Berdasarkan

Optimalisasi

Sirkulasi

Eksplorasi

konsep Transit

Oriented

Development

Optimasi

sirkulasi

Kawasan

transit

intermoda

Dukuh Atas

Rasionalistik

kuantitatif

Zhang, Ming

(2007)

Chinese Edition of

Transit-Oriented

Development

Pengembangan

model

konseptual

Transit Oriented

Development

Sustainable

transit

development

Kawasan

perkotaan Cina

Studi kasus

Li, Chia-

Nung dan

Tsung-Yu

Lai (2007)

Establishment of the

goals of strategies

of Metropolitan

Transit-Oriented

Development in

Taipei

Strategi

transformasi

Transit-Oriented

Development

Evaluasi

transformasi

TOD

Kawasan

metropolitan

Taipei

Rasionalistik

kuantitatif

berdasar

Analytic

Hierarchy

Progress

(AHP)

Kusumo,

Camelia

(2007)

Railway Stations

Centers and

Markets

Strategi

konfigurasi

spasial untuk

livabilitas

kawasan stasiun

kereta api

Kajian

keterkaitan

stasiun kereta api

dan pertumbuhan

ekonomi di

sekitarnya

Kawasan

stasiun kereta

api di

Surabaya,

Delft dan

Leiden

Studi kasus

Sudarisman,

Irwan (2008)

Perancangan Ruang

Publik dengan

Dasar Pendekatan

Perilaku, Studi

Kasus Kawasan

Stasiun Kereta Api

Bandung Bagian

Selatan

Kawasan stasiun

kereta api

Kajian perilaku

pengguna

kawasan stasiun

Kawasan

stasiun kereta

api Bandung

bagian Selatan

Rasionalistik,

pendekatan

perilaku

Curtis, Carey

(2008)

Evolution of the

Transit-oriented

Development Model

for Low-density

Cities: A Case Study

of Perth's New

Railway Corridor

Pengembangan

model

konseptual

Transit Oriented

Development

TOD pada

kawasan dengan

kepadatan rendah

Kawasan urban

Perth

Rasionalistik

kualitatif

Cervero,

Robert dan

Jennifer Day

(2008)

Suburbanization

and Transit-

oriented

Development in

China

Pengembangan

model

assessment

Transit-Oriented

Development

Dampak

pengembangan

TOD pada

mobilitas

perkotaan

Kawasan sub

urban Cina

Rasionalistik

kuantitatif

Thomas,

Alainna dan

Elizabeth

Deakin

(2008)

Land Use

Challenges to

Implementing

Transit-Oriented

Development in

China Case Study of

Jinan, Shandong

Province

Potensi

pengembangan

Transit-Oriented

Development

Transformasi

smart growth

Kawasan kota

sedang Jinan

Rasionalistik

kualitatif

24

PENULIS,

TAHUN JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE

Ho, Man-sze

(2009)

Railway and

Sustainable

Development :

Socio-Economic

and Land Use

Impacts of West

Rail on Yuen Long

Town

Interaksi

transportasi

publik dan guna

lahan

Dampak sosial

ekonomi dan

guna lahan

berdasar prinsip

sustainable

development

Kawasan urban

Yuen Long

Rasionalistik

kualitatif

Falconer,

Ryan dan

Emmerson

Richardson

(2010)

Rethinking Urban

Land Use and

Transport Planning

– Opportunities for

Transit Oriented

Development in

Australian Cities

Case Study Perth

Interaksi

transportasi

publik dan guna

lahan

Potensi

pengembangan

TOD berdasar

ragam tipologi

karakter kawasan

Kawasan urban

Perth

Studi kasus

Li, Yan, H.

L. Guo, Heng

Li, G. H. Xu,

Z. R. Wang,

C. W. Kong

(2010)

Transit-Oriented

Land Planning

Model Considering

Sustainability of

Mass Rail Transit

Pengembangan

model

perencanaan

lahan untuk

TOD

Sustainable Mass

Rail Transit

Kawasan urban

Cina

Rasionalistik

kuantitatif

Chen,

Xueming

(2010)

Prospect of the

Transit-Oriented

Development in

China

Potensi

pengembangan

Transit-Oriented

Development

Transit-Oriented

Corridor dan

Transit-Oriented

Metropolis

Kawasan urban

Cina

Review

literatur

Shastry,

Srikanth

(2010)

Spatial Assesment

of TOD in

Ahmedabad, India

Pengembangan

model decision

making untuk

TOD

Implementasi

dan improvement

kawasan

Koridor BRT

kawasan urban

densitas tinggi

Ahmedabad

Rasionalistik

kuantitatif

dengan

SMCE

(Spatial Multi

Criteria

Evaluation)

Sung,

Hyungun dan

Ju-Taek Oh

(2011)

Transit-oriented

Development in a

High-density City:

Identifying its

Association with

Transit Ridership in

Seoul, Korea

Pengembangan

model

konseptual

Transit Oriented

Development

TOD pada

kawasan dengan

kepadatan tinggi

dalam kaitannya

dengan transit

ridership

Kawasan urban

Seoul

Rasionalistik

kuantitatif

dengan

multiple

regression

Chorus, Paul

dan Luca

Bertolini

(2011)

An application of

the Node Place

Model to Explore

the Spatial

Development

Dynamics of Station

Areas in Tokyo

Interaksi

transportasi

publik dan guna

lahan

Model Node-

Place dalam

pengembangan

spasial kawasan

stasiun

Kawasan urban

Tokyo

Rasionalistik

kuantitatif

Mua, Rui dan

Martin de

Jong (2012)

Establishing the

Conditions for

Effective Transit-

oriented

Development in

China: the Case of

Dalian

Potensi

pengembangan

Transit-Oriented

Development

Komponen-

komponen

critical dan

important dalam

pengembangan

TOD

Kawasan urban

Dalian

Review

literatur

25

PENULIS,

TAHUN

JUDUL TEMA FOKUS LOKUS METODE

Hedayatifard,

Maedeh dan

Mojtaba

Hosseinian

(2012)

Application of the

concept Transit-

Oriented

development in

linear urban spatial

structures:

(Fereidunkenar as

the case study)

Transformasi

Konsep Transit-

Oriented

Development

Potensi dan

peluang

pengembangan

TOD

Kawasan linier

urban

Fereidunkenar

Rasionalistik

kualitatif

Lo Feudo,

Fausto dan

Demetrio

Carmine

Festa (2012)

A Tram-train

System to Connect

the Urban Area of

Cosenza to its

Province: a

Simulation Model of

Transport Demand

Modal Split and

Territorial Analysis

to Identify Adapted

Transit-Oriented

Development

Prospects

Pengembangan

model simulasi

Transit Oriented

Development

Potensi

pengembangan

TOD terkait

dengan transport

demand, modal

split dan analisa

teritori

Kawasan

koridor tram-

train Cosenza

Rasionalistik

kuantitatif

dengan

sistem Tranus

Ratner, Keith

A. dan

Andrew R.

Goetz (2012)

The Reshaping of

Land Use and

Urban Form in

Denver through

Transit-Oriented

Development

Transformasi

Konsep Transit-

Oriented

Development

Dampak

pengembangan

TOD terhadap

guna lahan dan

urban form

Kawasan

metropolitan

Denver

Review

literatur

Siregar,

Deliani P

(2013)

Perancanaan

Transit-Oriented

Development di

Jakarta Pusat

Identifikasi

Konsep Transit-

Oriented

Development

yang sesuai

untuk konteks

Jakarta Pusat

Potensi

pengembangan

TOD dan strategi

perencanaannya

Kawasan

Stasiun Senen

Jakarta Pusat

Penilaian

potensi

dengan

standar ITDP

Berdasarkan kajian terhadap penelitian-penelitian dalam tabel di atas, dapat disusun

kategorisasi berdasarkan fokus penelitiannya sebagai berikut:

1. Penelitian dengan fokus kajian stasiun kereta api dan kawasan di sekitarnya sebagai

bagian dari pertumbuhan kota, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2002),

Sic (2004), Kido (2005), dan Kusumo (2007).

2. Penelitian dengan fokus kajian keterkaitan karakter fisik kawasan, transportasi publik

dan mobilitas yaitu penelitian yang dilakukan oleh Pooley dan Turnbull (2000), Miller

dan Ibrahim (2001), Stead dan Marshall (2001), Heilemann dan Kemming (2002),

Renne dan Wells (2002), Jenks (2005), Li dan Lai (2007), Thomas dan Deakin

(2008), Ho (2009), Chen (2010), Falconer dan Richardson (2010), Chorus dan

Bertolini (2011), Hedayatifard dan Hosseinian (2012), Mua dan de Jong (2012),

Ratner dan Goetz (2012).

26

3. Penelitian dengan fokus kajian transformasi Transit-Oriented Development dan Rail-

transit Oriented Development (strategi, konsep, dan model perancangan kawasan

transit), yaitu penelitian yang dilakukan oleh Amin (1998), Septianto (2004),

Yuniasih (2007), Zhang (2007), Curtis (2008), Cervero dan Day (2008), Sudarisman

(2008), Li et al. (2010), Shastry (2010), Sung dan Oh (2011), Lo Feudo dan Festa

(2012), Siregar (2013).

Penelitian-penelitian di atas dapat juga dikategorikan berdasarkan skala lokus objek

kajiannya, sebagai berikut:

1. Penelitian yang skala lokus objek kajiannya adalah skala messo kawasan, yaitu

penelitian yang dilakukan oleh Heilemann dan Kemming (2002), Prabowo (2002),

Renne dan Wells (2002), Septianto (2004), Sic (2004), Kido (2005), Yuniasih (2007),

Zhang (2007), Kusumo (2007), Cervero dan Day (2008), Curtis (2008), Sudarisman

(2008), Shastry (2010), Chorus dan Bertolini (2011), Sung dan Oh (2011),

Hedayatifard dan Hosseinian (2012), Lo Feudo dan Festa (2012), Mua dan de Jong

(2012), Siregar (2013).

2. Penelitian yang skala lokus kajiannya adalah skala makro urban, dalam hal ini yang

dipengaruhi oleh sistem transportasi publik, yaitu penelitian yang dilakukan oleh

Amin (1998), Pooley dan Turnbull (2000), Miller dan Ibrahim (2001), Stead dan

Marshall (2001), Jenks (2005), Li dan Lai (2007), Thomas dan Deakin (2008), Ho

(2009), Chen (2010), Falconer dan Richardson (2010), Li et al.(2010), Ratner dan

Goetz (2012).

Dari berbagai metode yang digunakan, penelitian-penelitian tersebut dapat

dikelompokkan menjadi:

1. Penelitian yang menggunakan metode rasionalistik kuantitatif, yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Amin (1998), Miller dan Ibrahim (2001), Yuniasih (2007). Li dan Lai

(2007), Cervero dan Day (2008), Li et al. (2010), Shastry (2010), Sung dan Oh

(2011), serta Chorus dan Bertolini (2011).

2. Penelitian yang menggunakan metode rasionalistik kualitatif, yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Prabowo (2002), Septianto (2004), Sudarisman (2008), Curtis (2008),

Thomas dan Deakin (2008), Ho (2009), serta Hedayatifard dan Hosseinian (2012).

3. Penelitian yang menggunakan metode analisis konten, yaitu penelitian yang dilakukan

oleh Pooley dan Turnbull (2000), Stead dan Marshall (2001), Renne dan Wells

(2002), Jenks (2005), Chen (2010), Mua dan de Jong (2012), serta Ratner dan Goetz

(2012).

27

4. Penelitian yang menggunakan metode studi kasus, yaitu penelitian yang dilakukan

oleh Heilemann dan Kemming (2002), Sic (2004), Kido (2005), Zhang (2007),

Kusumo (2007), serta Falconer dan Richardson (2010) dan Siregar (2013).

5. Penelitian yang menggunakan metode pemodelan, yaitu penelitian yang dilakukan

oleh Amin (1998), Zhang (2007), Curtis (2008), Cervero dan Day (2008), Shastry

(2010), Li et al. (2010), Sung dan Oh (2011), Lo Feudo dan Festa (2012).

Kesamaan kajian fokus dan skala lokus serta metode dengan tipologi kasus yang

berbeda pernah dilakukan oleh Zhang (2007), Curtis (2008) serta Sung dan Oh (2011). Zhang

(2007) dalam penelitiannya menggunakan kasus perkotaan Cina dengan metode pemodelan

melalui studi kasus. Dalam penelitiannya, Zhang menemukan bahwa dalam transformasi

TOD diperlukan kebijakan terpadu antara guna lahan, transportasi dan transit finance untuk

menerapkan prinsip-prinsip 5D2 (differentiated density, docksized district, delicate design,

diverse destination, distributed dividends). Curtis (2008) menggunakan tipologi kasus

penerapan TOD pada kawasan densitas rendah dengan pemodelan rasionalistik kualitatif.

Temuannya menyatakan bahwa dalam kasus kawasan dengan densitas rendah, transformasi

TOD lebih difokuskan pada kualitas intermodal dan fasilitas park and ride (parkir komuter),

guna lahan komersial di sekitar stasiun tidak menjadi prioritas. Sementara itu, Sung dan Oh

(2011) dalam penelitiannya menggunakan lokus kawasan dengan kepadatan tinggi melalui

metode pemodelan rasionalistik kuantitatif. Temuan yang dihasilkan adalah model

pengembangan TOD untuk kawasan dengan kepadatan tinggi peningkatan densitas tidak

menjadi prioritas, namun lebih difokuskan pada layanan transit, guna lahan, jaringan jalan

dan desain kawasan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang mengkaji

konsep pengembangan kawasan stasiun kereta api melalui model konseptual integrasi

karakter fisik kawasan dan layanan transportasi publik dalam ragam tipologi ruang urban di

Indonesia melalui pemodelan belum pernah dilakukan. Terminologi Rail-transit Oriented

Development akan menjadi referensi bagi konsep yang akan dikembangkan. Temuan-temuan

penelitian sebelumnya akan digunakan sebagai pengetahuan bagi peneliti untuk memperkaya

khasanah pengetahuan/teori tentang konsep-konsep pengembangan kawasan khususnya pada

kawasan stasiun kereta api dengan karakter fisik kawasan sebagai aspek penting dalam

integrasi dengan transportasi publik untuk membangun pengetahuan baru dan konsep

pengembangan kawasan stasiun kereta api.

28

Gambar 1.3. Keaslian Penelitian

1.6. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini disusun dalam tujuh bab pembahasan sebagai acuan dalam berfikir

secara sistematis, adapun rancangan sistematika pembahasan disusun sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, merupakan gambaran umum isi penelitian yang terdiri dari latar

belakang permasalahan yang mendasari pentingnya penelitian, pertanyaan penelitian yang

memberi gambaran tahap penelitian, tujuan dan manfaat penelitian yang memberi gambaran

hasil dan manfaat penelitian, hasil penelitian yang secara rinci memberi gambaran produk

dari penelitian, keaslian penelitian yang memberikan gambaran bahwa penelitian ini belum

pernah ada yang melakukan sebelumnya, serta sistematika pembahasan yang memberikan

gambaran substansi dan proses penelitian.

Bab II Kajian Pustaka, merupakan kajian berbagai teori dan literatur yang terkait

dengan substansi penelitian, yaitu karakter dan perkembangan kawasan urban, transportasi

dalam kawasan urban, mobilitas kawasan urban, kawasan transit, konsep Transit Oriented

KUANTITATIF

pooley dan

turnbull

2000

renne dan

wells

2002

chen

2010

stead dan

marshall

2001

jenks

2005

mua dan de

jong

2012

ratner dan

goetz

2012

mixed

kuantitatif

miller dan

ibrahim

2001

li dan lai

2007

yuniasih

2007

prabowo

2002

sic

2004

thomas dan

deakin

2008

hedayatifard

dan

hosseinian

2012

siregar

2013

heilemann

dan

kemming

2002

ho

2009

septianto

2004

sudarisman

2008

falconer

dan

richardson

2010

mixed

chorus dan

bertolini

2011

amin

1998

cervero

dan day

2008

shastry

2010

sung dan

oh

2011

li et al.

2010

feudo dan

festa

2012

kualitatifcurtis

2008

zhang

2007

mixed

INDONESIANEGARA

BERKEMBANG

NEGARA

MAJU

PENGEMBANGAN GUNA LAHAN +

SISTEM TRANSPORTASI PUBLIKKARAKTER FISIK KAWASAN STASIUN

kusumo

2007

NEGARA

MAJUINDONESIA

NEGARA

MAJUINDONESIA

NEGARA

MAJU

NEGARA

BERKEMBANG

NEGARA

BERKEMBANGK

AJI

AN

LIT

ERA

TUR

KUALITATIF

KA

JIA

N K

ASU

S

kualitatif

PEM

OD

ELA

N kuantitatif

TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT

INDONESIA

widyastuti

2017

NEGARA

BERKEMBANG

RAIL-TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT

widyastuti

2017

29

Development dan Rail-transit Oriented Development, pemodelan dalam penelitian serta

landasan teori dalam penelitian yang memberikan gambaran arahan dan landasan berpikir

dalam proses penelitian.

Bab III Metode Penelitian, mendeskripsikan paradigma penelitian, rancangan dan

tahapan pelaksanaan penelitian beserta metode yang digunakan, serta penentuan lokasi

penelitian berdasar pertimbangan tujuan penelitian.

Bab IV Best Practices Pengembangan Kawasan Stasiun Kereta Api, merupakan

kajian kawasan acuan dalam metode best practices pada penelitian yang meliputi peran best

practices dalam pengembangan model konseptual, deskripsi serta identifikasi karakter dan

proses pengembangan kawasan acuan dalam konteks konsep Rail-transit Oriented

Development, fleksibilitas dan adaptasi prinsip-prinsip Rail-transit Oriented Development

secara umum pada kawasan acuan (kawasan stasiun negara maju), serta kajian konteks lokal

pengembangan kawasan (Jabodetabek) yang dianalisis dari prinsip-prinsip Rail-transit

Oriented Development untuk mengidentifikasi kesenjangan implementasi konsep ROD dan

keunikan lokal terkait konteks.

Bab V Analisis dan Pembahasan Kawasan Stasiun Kereta Api Jalur Yogyakarta-Solo,

merupakan kajian terhadap kasus kawasan target yaitu kawasan stasiun Yogyakarta Tugu,

Lempuyangan, Solo Balapan, Purwosari, Klaten, dan Srowot meliputi kajian karakter fisik

kawasan, layanan transportasi kawasan, serta pola mobilitas kawasan dalam prinsip-prinsip

Rail-transit Oriented Development. Dalam bab ini juga terdapat analisis karakter kawasan

secara umum dalam kaitannya dengan mobilitas kawasan.

Bab VI Pengembangan Model Konseptual Rail-transit Oriented Development pada

Kawasan Stasiun Kereta Api Indonesia, memberikan gambaran dasar-dasar pengembangan

model, logika dan proses konstruksi model, serta validasi model untuk menjamin kesahihan

dan transferabilitas model melalui uji simulasi kawasan kasus dengan skenario tertentu.

Bab VII Kesimpulan dan Saran, mendeskripsikan ringkasan temuan penelitian yang

berupa konsep Rail-transit Oriented Development untuk kasus pengembangan kawasan

stasiun kereta api di Indonesia, model konseptual, serta prinsip-prinsip dan strategi dalam

implementasi sesuai konteks, kontribusi teoritik pada ranah ilmu arsitektur, keterbatasan

penelitian, implikasi kebijakan serta saran untuk penelitian selanjutnya.