pencegahan perkawinan ditinjau dari undang-undang

17
Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Studi Kasus): Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 310/K/AG Dinda Raihan, Farida Prihatini dan Wismar Ain Marzuki Fakultas Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hubungan Antara Sesama Masyarakat [email protected] Abstrak Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat penting untuk membentuk keluarga dan sudah menjadi norma dalam masyarakat untuk membentuk keluarga yang damai, rukun dan sejahtera. Perkawinan memiliki syarat- syarat yang perlu dipenuhi agar dapat mencapai tujuan perkawinan, dengan demikian sudah sepatutnya perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan terdapat larangan perkawinan untuk dicegah pelaksanaannya. Pencegahan perkawinan memiliki berbagai kendala dalam penerapannya. Skripsi ini membahas mengenai analisis permohonan pencegahan perkawinan dengan studi kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 301/K/AG/2012. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan baik di Indonesia, Belanda dan Perancis dan pendekatan kasus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti dapat disimpulkan bahwa kendala dalam permohonan pencegahab perkawinan adalah pengumuman rencana perkawinan dilakukan di tempat yang jarang dikunjungi oleh masyarakat luas dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 301/K/AG/2012 menurut penulis secara hukum belum tepat. Kata Kunci: Perkawinan; Persyaratan Perkawinan; Larangan Perkawinan; Pencegahan Perkawinan Marriage Prevention Based On Marriage Act No 1 Year 1974 and Compilation of Islamic Law (Case Study) Supreme Court Decision No 310/K/AG Abstract Marriage is a very important bond to form a family and has become a norm in society to form a peaceful, harmonize and wealthy family. Marriage has requirements that need to be fulfilled in order to achieve the goals of marriage, thus deservedly the marriage that not met the requirements and there is a disallowance of marriage to be prevented in its implementation. Prevention of marriage has many problems in the implementation. This thesis discuss about the petition of marriage prevention with case study of Supreme Court Decision of Republic of Indonesia No. 301/K/AG/2012. This thesis uses juridical-normative method with law approach in Indonesia, Netherland and France and also case approach. Based on the research, it can be conlcuded that the problem in petition of marriage prevention is the announcement of the marriage plan performed in place that is rarely visited by the public and Supreme Court Decision of Repblic of Indonesia No: 301/K/AG/2012 according to the author is not legally appropriate. Keyword: Marriag; Requirements of Marriage; Marriage Disallowance; Marriage Prevention Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Studi Kasus):

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 310/K/AG

Dinda Raihan, Farida Prihatini dan Wismar Ain Marzuki

Fakultas Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hubungan Antara Sesama

Masyarakat

[email protected]

Abstrak

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat penting untuk membentuk keluarga dan sudah menjadi norma dalam masyarakat untuk membentuk keluarga yang damai, rukun dan sejahtera. Perkawinan memiliki syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar dapat mencapai tujuan perkawinan, dengan demikian sudah sepatutnya perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan terdapat larangan perkawinan untuk dicegah pelaksanaannya. Pencegahan perkawinan memiliki berbagai kendala dalam penerapannya. Skripsi ini membahas mengenai analisis permohonan pencegahan perkawinan dengan studi kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 301/K/AG/2012. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan baik di Indonesia, Belanda dan Perancis dan pendekatan kasus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti dapat disimpulkan bahwa kendala dalam permohonan pencegahab perkawinan adalah pengumuman rencana perkawinan dilakukan di tempat yang jarang dikunjungi oleh masyarakat luas dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 301/K/AG/2012 menurut penulis secara hukum belum tepat. Kata Kunci: Perkawinan; Persyaratan Perkawinan; Larangan Perkawinan; Pencegahan Perkawinan

Marriage Prevention Based On Marriage Act No 1 Year 1974 and Compilation of Islamic Law (Case Study) Supreme Court Decision No 310/K/AG

Abstract

Marriage is a very important bond to form a family and has become a norm in society to form a peaceful, harmonize and wealthy family. Marriage has requirements that need to be fulfilled in order to achieve the goals of marriage, thus deservedly the marriage that not met the requirements and there is a disallowance of marriage to be prevented in its implementation. Prevention of marriage has many problems in the implementation. This thesis discuss about the petition of marriage prevention with case study of Supreme Court Decision of Republic of Indonesia No. 301/K/AG/2012. This thesis uses juridical-normative method with law approach in Indonesia, Netherland and France and also case approach. Based on the research, it can be conlcuded that the problem in petition of marriage prevention is the announcement of the marriage plan performed in place that is rarely visited by the public and Supreme Court Decision of Repblic of Indonesia No: 301/K/AG/2012 according to the author is not legally appropriate. Keyword: Marriag; Requirements of Marriage; Marriage Disallowance; Marriage Prevention

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 2: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

Pendahuluan

Perkawinan adalah suatu persekutuan atau perserikatan antara seorang pria dan wanita

yang diakui secara sah oleh peraturan negara yang bertujuan untuk menyelenggarkan kesatuan

yang abadi. Dalam kehidupan ini, perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat penting

untuk membentuk keluarga dan sudah menjadi norma dalam masyarakat untuk membentuk

keluarga yang damai, rukun dan sejahtera. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu

bangsa, keluarga diharapkan tercipta dari perkawinan yang sah sesuai dengan syarat-syarat

perkawinan berdasar keyakinan maupun menurut Undang-Undang suatu Negara.1 Perkawinan

itu sendiri merupakan suatu kejadian yang sangat mempengaruhi status hukum seseorang

artinya:

a. Dengan perkawinan timbul kedudukan sebagai suami dan sebagai isteri;

b. Bila dalam perkawinan lahir anak maka akan timbul hubungan antara

orang tua dan anak.2

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan

oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 2 UU No.1 tahun 1974 menyatakan perkawinan

yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan. Dengan

demikian suatu perkawinan tidaklah sah apabila tidak mengikuti aturan agama dari calon

mempelai. Apabila calon mempelai menganut agama Islam, maka perkawinan tersebut tunduk

kepada Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu

sangatlah penting bagi masyarakat untuk mempelajari terlebih dahulu peraturan yang terkait

agar terhindar dari masalah di kemudian hari.

Setiap manusia memiliki haknya masing-masing untuk merasakan cinta dan menikah.

Pandangan dari sudut Hak Asasi Manusia tentu sangat dimengerti bahwa perkawinan yang

hakiki didasari oleh adanya cinta kasih dan kepercayaan. Selain itu, faktor lain yang

menentukan adalah keseragaman antara perkawinan tersebut dengan masyarakat sekitar,

karena adanya status baru sebagai suami-isteri praktis ikut merubah tatanan dalam keseharian

                                                                                                                         1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008). Hlm. 1. 2 Wienarsih Imam Subekti, Sri Soesilowati Mahdi,Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat,

(Jakarta: Gitama Jaya, 2005). Hlm.27. 3 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3019,

Ps. 1.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 3: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

bermasyarakat.4 Terdapat beberapa hal yang menjadi pembatasan apabila dilihat dari

perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1975 junto PP No.9

Tahun 1975 junto PMA No.3 Tahun 1975 junto PMA No.11 Tahun 2007 junto Kompilasi

Hukum Islam. Tidak semua manusia dapat melakukan perkawinan, hanya mereka yang sudah

matang jiwa dan raganya saja yang diperbolehkan oleh Undang-Undang. Hal itu dikarenakan

menjalani sebuah perkawinan bukan sesuatu yang mudah. Untuk membentuk perkawinan

yang kekal abadi calon suami dan calon isteri yang harus dewasa dan mampu untuk berfikir

secara logis, agar tidak melakukan dan mengucapkan hal yang kemudian disesali dan

menyimpang dari tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia juga kekal.

Batasan usia minimal menikah menjadi salah satu syarat yang secara tegas diatur oleh

Undang-Undang. Setiap manusia saat melakukan perkawinan, memiliki tujuan untuk bersama

selamanya sampai ajal memisahkan. Menikah dibawah usia dewasa memiliki tantangan yang

lebih dibandingkan dengan pasangan suami isteri yang sudah dewasa. Banyak faktor yang

dapat menjadi pemicu perselisihan, dari mulai faktor ekonomi yang belum memadai karena

masih di bangku sekolah, sampai psikologis suami maupun isteri yang belum siap untuk

menghadapi problematika rumah tangga. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi alasan untuk

mengakhiri hubungan mereka dengan cara bercerai.5

Selain perceraian, salah satu akibat dari perkawinan dalam usia muda adalah angka kematian

melahirkan yang tinggi. Secara medis perkawinan anak dibawah umur sangat beresiko.

Beberapa kasus kesehatan yang terjadi pada perkawinan yang terlalu muda adalah pendaraan

saat persalinan dan komplikasi. Selain itu wanita yang hamil saat usia muda berpotensi besar

untuk melahirkan anak dengan berat badan yang rendah.6 Oleh karena itu, peraturan

perundang-undangan mengatur secara tegas mengenai batas usia untuk menikah. Pasal 7 ayat

(1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan hanya diijinkan jika pihak

pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.7

Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah

                                                                                                                         4 Muhammad Makhfudz, Berbagai Permasalahan Dalam Masyarakat ditinjau dari Ilmu Sosial dan Hukum,

(Disertasi Doktor Universitas Diponegoro: Semarang, 2010), diunduh pada 20 September 2013. 5 Eko Widianto, “Angka Perceraian Melonjak Drastis”

http://www.tempo.co/read/news/2013/10/19/058522963/Angka-Perceraian-Melonjak-Drastis, Diakses pada 27 Desember 2013.

6 World Health Organization, “Child Marriage” http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2013/child_marriage_20130307/en/ , diakses pada 27 Desember 2013

7 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3019, Ps. 7(1).

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 4: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

Bab IV Pasal 8 menyatakan, apabila seorang suami belum mencapai 19 tahun dan calon isteri

belum mencapai 16 tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan.

Pasal-pasal tersebut di atas sangat jelas dan hampir tidak ada alternatif penafsiran, bahwa usia

yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk pria adalah 19 tahun dan untuk wanita adalah

16 tahun. Selain itu dalam implementasi atas ketentuan Undang-Undang tersebut masih

terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh calon pengantin, yakni jika calon suami dan calon

isteri belum genap berusia 21 tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah, hal itu

sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007: “apabila seorang calon

mempelai belum mencapai usia 21 tahun, harus mendapat ijin tertulis dari kedua orang tua”.

Ijin tersebut sifatnya wajib, karena batas usia dewasa berdasarkan Undang-Undang No.1

Tahun 1974 dan KHI adalah 21 tahun, sehingga usia dibawah 21 tahun dipandang masih

memerlukan bimbingan dan pengawasan dari orang tua/wali. Lain halnya jika kedua calon

pengantin sudah lebih dari 21 tahun, maka mereka dapat melaksanakan perkawinan tanpa ijin

dari orang tua/wali. Namun untuk wanita, tidak adanya ijin dari orangtua akan menjadi

masalah karena dalam Islam, orang tua merupakan wali sekaligus orang yang

menikahkannya.

Ketentuan dalam Pasal 7 (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 masih memberikan ruang

toleransi, hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat 2 yang rumusannya: “dalam hal penyimpangan

terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain

yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita”. Dalam Pasal 15

Kompilasi Hukum Islam diterangkan demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,

perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang

ditetapkan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yakni sekurang-kurangnya 19 tahun

bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.8 Dengan demikian jelas terlihat Hukum Islam memikirkan

kesejahteraan kelangsungan keluarga dengan memberi batasan usia minimal menikah.

Walau bagaimanapun, pembatasan ini pada dasarnya tidak ditetapkan secara mutlak. Akan

tetapi, calon mempelai dibawah usia 21 tahun yang akan melangsungkan perkawinan terlebih

dahulu harus mendapatkan ijin dari orang tua atau wali seperti yang diatur dalam Pasal 15

ayat (2) KHI, bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat ijin

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2, 3, 4 dan 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974.9

Apabila tidak dipenuhinya syarat usia minimal dalam perkawinan seperti yang telah

disebutkan di atas, atau tidak dipenuhinya syarat dan rukun perkawinan maka terhadap

                                                                                                                         8Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Paung Bona Jaya, 2009), Ps. 15. 9 Ibid.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 5: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

perkawinan itu dapat dilakukan pencegahan. Pencegahan atau stuiting adalah suatu usaha

yang digunakan untuk menghindari terjadinya perkawinan yang bertentangan dengan

ketentuan undang-undang.10

Suatu perkawinan dapat dicegah apabila terdapat pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat

untuk melangsungkan perkawinan. Pihak-pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para

keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah wali,

pengampu dari salah seorang calon mempelai, pihak-pihak yang berkepentingan dan pejabat

yang ditunjuk.11 Pengampu dapat mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah

seorang mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan adanya perkawinan akan

menimbulkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya. Upaya pencegahan

perkawinan hanya dapat dilaksanaan apabila telah terdapat penetapan hakim. Dengan

demikian upaya pencegahan tidak dapat dilakukan langsung terhadap mereka yang akan

melangsungkan perkawinan maupun terhadap pihak yang berwenang untuk mencatat suatu

perkawinan atau Pegawai Pencatat Nikah. Pencegahan perkawinan harus terlebih dahulu

dilakukan sesuai dengan prosedur yang tepat.

Selama tidak terdapat tindakan pencegahan perkawinan, maka perkawinan tetap dapat

dilangsungkan. Oleh karena itu, prosedur pencegahan haruslah dicermati sebaik mungkin agar

tidak terjadi kekeliruan dan perkawinan yang seharusnya dicegah tetap terlaksana dan

menimbulkan akibat-akibat yang ingin dihindari. Dalam Kompilasi Hukum Islam,

pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh

Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan

apabila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi

syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan

Perundang-undangan.12 Selain tidak memenuhi syarat perkawinan, pencegahan perkawinan

dapat dilakukan karena pertalian semenda dan karena pertalian susuan. Pencegahan

perkawinan juga dapat dilakukan apabila wanita yang bersangkutan masih terikat satu

perkawinan dengan pria lain, seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan

pria lain dan seorang wanita yang tidak beragama Islam.13 Kompilasi Hukum Islam kemudian

menerangkan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita

apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat                                                                                                                          

10 R. Soetojo Prawirohamidjodjo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Surabaya: Airlangga University Press, 1991). hlm. 26.

11 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3019, Ps. 14.

12 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Paung Bona Jaya, 2009), Ps. 60. 13 Ibid. Ps. 40.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 6: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka

masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.14

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai

pencegahan perkawinan. Hal itu dikarenakan pada zaman sekarang banyak oang yang

menghalalkan segala cara untuk dapat melangsungkan perkawinan walaupun mereka belum

memenuhi syarat-syarat perkawinan itu sendiri, sehingga menyebabkan timbul banyak

pelanggaran yang selain bertentangan dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan

di Indonesia juga bertentangan dengan syariat Agama Islam. Batas usia seringkali menjadi

salah satu syarat perkawinan yang tidak dipenuhi. Padahal dengan tidak dipenuhinya batas

usia perkawinan dapat mengakibatkan perkawinan yang tidak sehat. Perkawinan yang tidak

sehat akan berujung ke pertikaian yang tidak berujung bahkan perceraian dimana pihak yang

paling dirugikan adalah sang anak. Sebagai penerus bangsa, seharusnya anak kuat baik secara

fisik dan mental. Mental yang kuat dipupuk dari kelompok terkecil dalam masyarakat, yaitu

keluarga. Dengan banyaknya keluarga yang tidak sehat, secara tidak langsung akan

mengakibatkan kemunduran perkembangan anak yang akan berpengaruh terhadap

pertumbuhan negara. oleh karena itu, pencegahan perkawinan terhadap perkawinan di usia

muda sangat penting dilakukan demi masa depan bangsa dan negara.

Tinjauan Teoritis

a. Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang

ditentukan oleh Undang-Undang No.1 tahun 1974 Pasal 2(1) yang menyatakan bahwa

perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan agama dan

kepercayaan. Suatu perkawinan menjadi tidak sah apabila tidak dilakukan menurut

tata cara yang telah diatur oleh undang-undang.15

                                                                                                                         14 Ibid. Ps. 42. 15 Wienarsih Imam Subekti, Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat,

(Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 44.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 7: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

b. Syarat perkawinan adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang akan

melangsungkan suatu perkawinan. Syarat-syarat perkawinan tersebut menyangkut

syarat materil maupun syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang menyangkut

diri pribadi masing-masing pihak, sedangkan syarat formil adalah syarat yang

berkaitan dengan formalitas atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami isteri.16

c. Wali perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan

dalam suatu akad nikah. Dalam Agama Islam, wali nikah ini diperlukan oleh calon

mempelai perempuan. Ini adalah sebuah rukun/syarat perkawinan menurut mayoritas

ulama yang menyatakan bahwa perkawinan hanya akan sah apabila ada wali.17

d. Izin kawin adalah izin yang diperlukan bagi calon mempelai yang belum berumur 21

tahun. Izin harus dibedakan dengan keharusan adanya wali nikah bagi mereka yang

beragama Islam, izin disini hanya diperlukan selama calon mempelai belum berusia 21

tahun, di atas 21 tahun calon mempelai dapat melangsungkan perkawinan tanpa

adanya izin kawin. Sedangkan wali nikah selamanya diperlukan bagi calon mempelai

perempuan yang beragama Islam.18

e. Pencegahan perkawinan adalah suatu usaha yang digunakan untuk menghindari

terjadinya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang.

Suatu perkawinan dapat dicegah apabila terdapat pihak yang tidak memenuhi syarat-

syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pihak-pihak yang dapat mencegah

perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas,

saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai, pihak-pihak

yang berkepentingan dan pejabat yang ditunjuk.19

f. Akibat Hukum adalah suatu akibat yang timbul karena adanya suatu peristiwa

hukum.20

Metode Penelitian                                                                                                                          

16 Ibid., hlm. 36.

17 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Paung Bona Jaya, 2009), Ps. 19.

18 Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007, Ps. 7.

19 R. Soetojo Prawirohamidjodjo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Surabaya: Airlangga University Press, 1991). hlm. 26.

20 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm.. 17.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 8: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

Penelitian yang dilakukan berbentuk penelitian hukum yuridis-normatif yang

bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau

penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada. Tipe penelitian yang digunakan oleh

penulis adalah tipe penelitiaan deskriptif21. Dimana peneliti dalam penelitiannya bertujuan

untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, akurat, serta secara apa adanya sesuai

dengan permasalahan yaitu kendala dari permohonan pencegahan perkawinan. Sehingga

analisis data yang digunakan bersifat deskriptif analitis yang artinya analisa data untuk

penelitian berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum guna diaplikasikan untuk

menjelaskan seperangkat data, atau menjelaskan hubungan seperangkat data dengan data

lainnya.22

Hasil Penelitian

Hasil penelitian skripsi ini adalah didapatkannya pemahaman mengenai permohonan

pencegahan perkawinan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 310/K/AG.

Pembahasan

Penulis mendapatkan beberapa fakta dalam Putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan

bahwa Pemohon merupakan Toriq Martak bin M. Yuslam Martak merupakan orang tua

kandung Nisrin binti Toriq Martak, beragama Islam, bertempat tinggal di Jalan Sukodono 3

No.42 RT. 005 RW. 015, Kelurahan Ampel Kecamatan Semampir Surabaya. Nisrin

merupakan anak pertama dari perkawinan Pemohon dengan seorang perempuan bernama

Nallah Abdullah Bahasuan, yang lahir di Surabaya pada tanggal 27 Juni 1994. Nisrin pada

tahun 2011 mengajukan permohonan untuk mendapatkan Penetapan wali adhol dari

Pengadilan Agama Surabaya sesuai dengan register perkara No: 573/Pdt.P/2011/PA.Sby

tanggal 17 Juni 2011. Saat mengajukan permohonan penetapan kepada Pengadilan Agama

                                                                                                                         21 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998). Hlm. 36.

22 Ibid., hlm. 38.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 9: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

Surabaya, anak tersebut selaku Pemohon masih berusia 16 tahun namun dalam pengajuan

mengaku telah berumur 17 tahun dan status dari Nisrin adalah pelajar.

Nisrin kemudian menunjuk seorang advokat untuk mewakilkan dirinya dalam

melakukan perbuatan hukum yang berupa permohonan untuk mendapatkan penetapan wali

adhol di Pengadilan Agama Surabaya dalam register perkara No: 573/Pdt.P/2011/PA.Sby

tanggal 17 Juni 2011. Permohonan yang diajukan oleh Nisrin dilakukan dalam rangka untuk

dapat melangsungkan perkawinan dengan seorang anak laki-laki yang bernama Khalid bin

Chozi. Nisrin dan Khalid masih berstatus pelajar dan tidak bekerja sehingga dapat dikatakan

bahwa mereka berdua tidak mampu secara finansial untuk membangun sebuah keluarga.

Sebelum diajukan permohonan penetapan penunjukan wali kepada Pengadilan Agama

Surabaya, baik Nisrin maupun Khalid sama sekali tidak pernah mengajukan permohonan

untuk meminta ijin nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan

Semampir Kota Surabaya. Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan

Semampir Kota Surabaya hingga saat ini belum pernah menerima surat permohonan izin

menikah tersebut dari Nisrin. Khalid dan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama

Kecamatan Semampir Kota Surabaya tidak pernah memberikan jawaban mengenai

persetujuan atau penolakan apapun terhadap permohonan Nisrin dan Khalid untuk

mendapatkan izin nikah dari Pejabat Nikah yang berwenang.

Pemohon dalam permohonannya meminta kepada Majelis Hakim untuk mengabulkan

permohonan pencegahan perkawinan terhadap anak pemohon tersebut. Pengadilan Agama

menetapkan bahwa permohonan pemohon ditolak. Hal tersebut dapat dilihat dalam

pertimbangan hakim yaitu:

1. Menimbang, bahwa Pemohon untuk meneguhkan dalil permohonannya, tidak

mengajukan alat bukti baik surat maupun saksi, bahkan pemohon diberi waktu untuk

mengurus surat ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Semampir Kota Surabaya

tentang adanya Permohonan dari anak pemohon yang akan melaksanakan akad nikah

di Kantor Urusan Agama Kecamatan Semampir Surabaya. Namun sampai batas waktu

yang telah diberikan, pemohon tidak berhasil mengajukan surat keterangan dari

Kantor Urusan Agama kecamatan Semampir Kota Surabaya yang di maksud.

2. Menimbang, bahwa pemohon sudah diberi waktu yang cukup untuk meneguhkan dalil

permohonannya akan tetapi pemohon tetap tidak bisa menunjukkan alat bukti surat

yang berkaitan dengan adanya permohonan melangsungkan perkawinan yang diajukan

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 10: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

oleh anak pemohon dengan calon suaminya dari Kantor Urusan Agama Kecamatan

Semampir Surabaya, hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 jo Pasal 65 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang

menyatakan bahwa pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah

hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada

Pegawai Pencatat Perkawinan.

3. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan pemohon tidak di dukung sama sekali

oleh alat bukti baik surat maupun saksi terutama yang berkaitan dengan adanya

permohonan pelaksanaan perkawinan oleh anak pemohon dan calon suaminya ke

Kantor Urusan Agama, maka permohonan pemohon dianggap tidak beralasan dan

harus ditolak.

Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak Permohonan Pemohon dengan dalil

bahwa Pemohon telah diberi beberapa kali kesempatan untuk membuktikan adanya

permontaan melangsung perkawinan dari Kantor Urusan Agama setempat, tetapi Pemohon

Kasasi tidak memenuhinya, dengan tidak adanya pembuktian tentang pendaftaran tersebut,

maka proses pemeriksaan tidak dilanjutkan. Kantor Urusan Agama menolak untuk

memberikan keterangan tertulis tentang adanya pendaftaran nikah, hal ini bukan urusan dari

hakim, hal tersebut adalah urusan antara Pemohon Kasasi dengan Kantor Urusan Agama.

Pembahasan permohonan pencegahan perkawinan tersebut apabila dilihat dari

Undang-Undang Perkawinan telah memenuhi syarat dan patut dikabulkan. Hal itu

dikarenakan Pemohon selaku orang tua dari Nisrin tidak memberikan izin kawin kepada

Nisrin dikarenakan Nisrin dan Khalid masih berstatus pelajar dan tidak memiliki penghasilan.

Khalid yang belum memiliki pekerjaan dan tidak berpenghasilan, secara otomatis tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami yaitu memberi nafkah pada Nisrin. Hal tersebut

bertentangan dengan Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan suami wajib

melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga. Izin

kawin merupakan salah satu syarat materiil dari perkawinan yang telah di atur oleh Undang-

Undang Perkawinan. Syarat materiil khusus suatu perkawinan adalah syarat mengenai diri

seseorang yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan23 Pengaturan

mengenai izin kawin terdapat dalam Pasal 6 UU No.1 Tahun 1974. Dalam ayat 2 disebutkan

bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus

                                                                                                                         23 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Op. Cit., hlm. 19.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 11: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

mendapat izin kedua orang tua.24 Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan disebutkan bahwa bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21

tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Dalam kasus ini baik Nisrin maupun Khalid

belum ada yang berumur 21 tahun. Dengan demikian syarat izin kawin ini harus dipenuhi

agar mereka berdua dapat melaksanakan perkawinan. Pemohon pencegahan perkawinan

dalam permohonannya harus membawa bukti pendaftaran rencana perkawinan yang ingin

dicegah, baik berupa berkas pendaftaran perkawinan maupun keterangan dari pihak Kantor

Urusan Agama, yang menyatakan memang betul suatu perkawinan yang tidak memenuhi

syarat atau terdapat larangan perkawinan akan dilaksanakan. Syarat Keberadaan Kantor

Urusan Agama sebagai saksi dipergunakan untuk membuktikan kehendak anak pemohon

untuk melangsungkan perkawinan yang akan dinikahkan oleh Kantor Urusan Agama dengan

wali hakim pada hari Jumat tanggal 11 November 2011 di Masjid Sunan Ampel Surabaya

adalah relevan dengan permohonan pemohon untuk mencegah rencana perkawinan tersebut.

Karena tanpa adanya kehadiran Kantor Urusan Agama sebagai saksi di ruang pengadilan,

pemohon tidak dapat membuktikan pendaftaran perkawinan yang dilakukan oleh anak

pemohon. Karena tersendat kesaksian dari Kantor Urusan Agama Surabaya yang meminta

Pengadilan Agama Surabaya untuk memanggil secara tertulis, maka pemohon meminta

kepada majelis hakim untuk memanggil Kantor Urusan Agama sebagai saksi dalam ruangan

pengadilan. Permintaan pemohon yang meminta bantuan kepada hakim untuk memanggil dan

menghadirkan Kantor Urusan Agama telah memenuhi seluruh unsur dari Pasal 165 RBg/139

HIR yang menyatakan salah satu pihak dapat meminta bantuan kepada hakim untuk

memanggil dan menghadirkan seorang saksi melalui pejabat yang berwenang agar saksi

tersebut menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan, apabila saksi yang bersangkutan

relevan namun pihak tersebut tidak dapat menghadirkan sendiri saksi yang diminta secara

sukarela. Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalil majelis hakim Pengadilan Agama yang

menyatakan bahwa majelis hakim tidak memiliki kewenangan untuk memanggil saksi

dikarenakan dalam persidangan voluntair hakim bersifat pasif, adalah tidak sesuai dengan

Pasal 165 RBg/139 HIR di atas. Seharusnya majelis hakim memanggil Kantor Urusan Agama

Surabaya sebagai saksi di peradilan.

Pembahasan mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor 310/K/AG apabila dilihat

dari Hukum Islam belum sesuai dan sudah sepatutnya permohonan pencegahan perkawinan

                                                                                                                         24 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No.

3019, Ps. 6.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 12: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

pemohon dikabulkan. Hal itu tercermin dari telah terpenuhinya syarat-syarat permohonan

pencegahan perkawinan. Pemohon juga tidak bersedia menjadi wali dalam perkawinan Nisrin.

Dalam Hukum Islam keberadaan wali bagi calon mempelai wanita merupakan rukun dan

syarat khusus dari perkawinan. Menurut Mahzab Syafii berdasarkan hadits Rasul yang

diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasul pernah mengatakan tidak ada kawin

tanpa wali. Namun menurut Mahzab Hanafi wanita dewasa tidak perlu wali bila akan

menikah. Wali disini adalah wali perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria.25 terdapat

beberapa jenis wali, yang pertama adalah wali nasab. Wali nasab artinya anggota keluarga

pria bagi calon pengantin wanita yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon

pengantin wanita itu. Termasuk kedalamnya ialah bapak, datuk, saudara laki-laki bapak,

saudara laki-laki sendiri dan lain lain.

Pemohon dalam kasus ini merupakan ayah kandung dari Nisrin sehingga

kedudukannya adalah Wali Nasab. Karena Pemohon tidak bersedia menjadi wali karena tidak

memberikan izin kawin pada Nisrin dan Khalid. Ketidaksetujuan pemohon terhadap

perkawinan antara Nisrin dan Khalid dikarenakan kenyataan bahwa mereka berdua masih

berstatus pelajar dan tidak memiliki penghasilan yang berpengruh kepada ketidakmampuan

Khalid memberikan nafkah kepada Nisrin. Khalid apabila menikahi Nisrin maka wajib

baginya untuk memberi Nisrin nafkah. Hal itu didasari oleh HR. Muslim 2137:“Rasulullah

bersabda: Dan mereka (para Istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang

diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).” Ketidakmampuan Khalid untuk

memberi nafkah pada Nisrin juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 80 ayat (2) dan ayat

(4) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan suami wajib melindungi istrinya dan

memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga yang berupa nafkah, kiswah,

tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi

istri dan anak dan biaya pendidikan bagi anak.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini, kesimpulan yang dapat diberikan oleh Penulis adalah

sebagai berikut:

                                                                                                                         25 Sayuti Thalib, Op. Cit., hlm. 65-66.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 13: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

1. Kendala dari permohonan pencegahan perkawinan bahwa jangka waktu

pengajuan pencegahan perkawinan tidak di atur secara rinci oleh perundang-

undangan, yaitu pada saat pengumuman rencana perkawinan oleh Kantor

Urusan Agama yang sering dilewatkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan

seperti orang tua atau wali. Tidak setiap saat orang tua atau wali akan

melakukan pengecekan baik ke Kantor Urusan Agama maupun Kelurahan.

Sehingga sering kali pihak yang keberatan atas suatu rencana perkawinan,

melewatkan jangka waktu pengumuman dan tidak dapat mengajukan

permohonan pencegahan perkawinan. Karena tidak dapat melakukan

permohonan pencegahan perkawinan, maka permohonan pembatalan

perkawinan yang sering diajukan oleh para pihak yang mempunyai keberatan

terhadap perkawinan tersebut.

2. Pada putusan Mahkamah Agung Nomor 301/K/AG/2012 belum sesuai dengan

Undang-Undang Perkawinan dan KHI. Pada putusannya majelis hakim

menolak permohonan pencegahan perkawinan pemohon dengan dalil bahwa

pemohon tidak dapat memberikan alat bukti yang berupa saksi dari Kantor

Urusan Agama tanpa memperhatikan kenyataan bahwa tidak terdapatnya wali

dan izin kawin dalam perkawinan yang akan dilaksanakan yang merupakan

rukun dan syarat dari perkawinan yang harus dipenuhi. Dengan tidak

terdapatnya wali bagi calon mempelai wanita dan izin kawin, maka tidak

terpenuhilah syarat dan rukun perkawinan yang menjadikan suatu akad

menjadi sah. Tidak dipenuhinya salah satu di antara rukun dan syarat

perkawinan maka disebut sebagai akad perkawinan yang fasid, dengan

demikian seharusnya Majelis Hakim mengabulkan permohonan pencegahan

perkawinan, karena bila suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak

dicegah, maka akan menimbulkan kerugian bagi banyak pihak.

Saran

1. Kendala permohonan pencegahan perkawinan seharusnya dapat diatasi dengan

memperluas media pengumuman rencana perkawinan, tidak hanya di Kantor

Urusan Agama dan Kelurahan saja. Teknologi masa kini dan ponsel pintar

telah mempermudah masyarakat untuk mengakses internet kapanpun.

Terhadap pengumuman rencana perkawinan, sebaiknya pihak petugas pencatat

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 14: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

perkawinan mencantumkan pengumuman rencana perkawinan di media sosial

seperti website Kantor Urusan Agama dan Kelurahan, facebook atau blog.

Dengan demikian semakin banyak orang yang dapat memantau pengumuman

tersebut sehingga tidak melewatkan jangka waktu untuk dapat mengajukan

permohonan pencegahan perkawinan.

2. Para majelis hakim yang menangani kasus pencegahan perkawinan sebaiknya

lebih jeli dalam meneliti fakta materiil yang ada. Apabila pemohon

pencegahan perkawinan tidak dapat menghadirkan saksi yang penting dalam

persidangan, lebih baik majelis hakim membantu memanggil saksi yang

dibutuhkan secara patut, terlebih jika saksi yang tersebut merupakan saksi

yang sangat penting bagi hakim dalam membuat keputusan. Walaupun dalam

gugatan perdata hakim bersifat pasif, namun terdapat dasar hukum untuk

hakim membantu pemohon untuk memanggil saksi yang dibutuhkan dalam

Pasal 165 Rbg/139 HIR. Majelis hakim juga harus mempertimbangkan

keputusan penolakan pencegahan perkawinan sebaik mungkin sehingga tidak

terulang kasus seperti ini.

3. Bagi hakim yang akan memutus kasus permohonan pencegahan perkawinan

dimana pemohon tidak bisa mendapatkan keterangan petugas Kantor Urusan

Agama sebagai pembuktian telah didaftarkannya suatu rencana perkawinan,

dapat mempertimbangkan bukti lain. Bukti tersebut dapat melalui copy

pengumuman rencana perkawinan atau copy buku pedaftaran nikah, sehingga

tidak terulang penolakan permohonan pencegahan perkawinan dikarenakan

tidak menghadirkan alat bukti.

Daftar Referensi

Books:

Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia.

Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1998.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 15: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

Berlianti, Yeni Salma. Buku Ajar Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Islam. Jakarta:

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.

Cahyono, Akhmad Budi, Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: Gitama

Jaya, 2008.

Chorus, Jeroen, et.al. Introduction to Dutch Law. The Hague: Kluwer Law International,

1999.

Darmabrata, Wahyono, Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia.

Cet. 1. Jakarta: Penerbit Rizkita, 2002.

__________. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, cet. 2. Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

_________. Hukum Perkawinan Perdata: Syarat Sahnya Perkawinan, Hak dan Kewajiban

Suami, Harta Benda Perkawinan, cet. 1. Jakarta: Rizkita 2009

Djubaedah, Neng dan Sulaikin Lubis, Farida Prihartini. Hukum Perkawinan Islam di

Indonesia. Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005.

Gatot, Suparmono. Segi Segi Hukum Hubungan Luar Nikah. Jakarta: Penerbit Djambatan,

1998.

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang, Hukum Adat,

Hukum Agama. Bandung: CV Mandar Maju, 1990.

Hamid, Zahry. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di

Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Binacipta, 1978.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

________________. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading, 1975.

Hazairin. Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan: Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974. Jakarta: Tinta Mas, 1975.

Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah dan Rujuk. Jakarta: Ihya

Ulumuddin, 1971.

Komariah. Hukum Perdata. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang, 2002.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cet. 3. Yogyakarta: Penerbit

Liberty. 2002.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mahzab. Jakarta: Penerbit Lentera. 2006.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Cet. 2. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti. 1993.

Mukhtar, Kamal. Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1974.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 16: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang-Undang No.1 Tahun 1974

dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1999.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid 2 (Analisa Fiqih Para Mujtahid). Jakarta: Pustaka Amani.

2002.

Saleh, K Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1976.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.

________________. Penelitian Hukum Normatif, cet. 14. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa,

2012.

Subekti, Wienarsih Iman, Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan

Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya, 2005.

Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Rajawali Perrs,

2004.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 1986.

Suparmono, Gatot. Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah. Jakarta: Penerbit Djambatan,

1998.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media, 2007.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Penerbit UI, 1974.

___________. Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, cet. 2. Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia, 1982.

Waaldjik, Kees. Major Legal Consequences of Marriagec Cohabitation and Registered

Partnership for Different-sex and Same-sex Partners in the Netherlands. Paris: Institut

national d'études démographiques, 2002.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: CV. Al Hudayah, 1964.

______________. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Syafi’i, Hnafi, Maliki, Hambali.

Jakarta: Hidakarya Agung, 1986.

Law:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht), diterjemahkan oleh

Moeljatno, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan

R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2008.

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014

Page 17: Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang

Indonesia (a). Undang-Undang tentang Perkawinan. UU No.1 tahun 1974, LN No.1 Tahun

1974, TLN No. 3019.

Indonesia (b). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Diterjemahkan

oleh R.Subekti dan R. Rjitrosudibio. Cet. 32. Jakarta: Pradnya Paramita. 2003.

Indonesia (c). Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undng-undang Nomor 1 tahun

1974 Tentang Perkawinan. PP No.9 tahun 1975, LN No.12, TLN No. 3050.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri

Sipil, PP Nomor 45 Tahun 1990, LN. No 61 Tahun 1990.

Instruksi Presiden Republik Indonesia. Kompilasi Hukum Islam, KHI Nomor 1 Tahun 1991.

Kementrian Agama. Peraturan Menteri Agama tentang Pencatatan Nikah, PMA No.11 Tahun

2007, BN No.5 tahun 2007.

Online Sources:

http://www.tempo.co/read/news/2013/10/19/058522963/Angka-Perceraian-Melonjak-Drastis.

Accessed on December 27 2013.

http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2013/child_marriage_20130307/en/. Accessed

on December 27 2013.

http://www.government.nl/issues/family-law/marriage-registered-partnership-and-

cohabitation-agreements, Accessed on May 25 2014.

 

Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014