pencegahan perkawinan ditinjau dari undang-undang
TRANSCRIPT
Pencegahan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Studi Kasus):
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 310/K/AG
Dinda Raihan, Farida Prihatini dan Wismar Ain Marzuki
Fakultas Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hubungan Antara Sesama
Masyarakat
Abstrak
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat penting untuk membentuk keluarga dan sudah menjadi norma dalam masyarakat untuk membentuk keluarga yang damai, rukun dan sejahtera. Perkawinan memiliki syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar dapat mencapai tujuan perkawinan, dengan demikian sudah sepatutnya perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan terdapat larangan perkawinan untuk dicegah pelaksanaannya. Pencegahan perkawinan memiliki berbagai kendala dalam penerapannya. Skripsi ini membahas mengenai analisis permohonan pencegahan perkawinan dengan studi kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 301/K/AG/2012. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan baik di Indonesia, Belanda dan Perancis dan pendekatan kasus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti dapat disimpulkan bahwa kendala dalam permohonan pencegahab perkawinan adalah pengumuman rencana perkawinan dilakukan di tempat yang jarang dikunjungi oleh masyarakat luas dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 301/K/AG/2012 menurut penulis secara hukum belum tepat. Kata Kunci: Perkawinan; Persyaratan Perkawinan; Larangan Perkawinan; Pencegahan Perkawinan
Marriage Prevention Based On Marriage Act No 1 Year 1974 and Compilation of Islamic Law (Case Study) Supreme Court Decision No 310/K/AG
Abstract
Marriage is a very important bond to form a family and has become a norm in society to form a peaceful, harmonize and wealthy family. Marriage has requirements that need to be fulfilled in order to achieve the goals of marriage, thus deservedly the marriage that not met the requirements and there is a disallowance of marriage to be prevented in its implementation. Prevention of marriage has many problems in the implementation. This thesis discuss about the petition of marriage prevention with case study of Supreme Court Decision of Republic of Indonesia No. 301/K/AG/2012. This thesis uses juridical-normative method with law approach in Indonesia, Netherland and France and also case approach. Based on the research, it can be conlcuded that the problem in petition of marriage prevention is the announcement of the marriage plan performed in place that is rarely visited by the public and Supreme Court Decision of Repblic of Indonesia No: 301/K/AG/2012 according to the author is not legally appropriate. Keyword: Marriag; Requirements of Marriage; Marriage Disallowance; Marriage Prevention
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
Pendahuluan
Perkawinan adalah suatu persekutuan atau perserikatan antara seorang pria dan wanita
yang diakui secara sah oleh peraturan negara yang bertujuan untuk menyelenggarkan kesatuan
yang abadi. Dalam kehidupan ini, perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat penting
untuk membentuk keluarga dan sudah menjadi norma dalam masyarakat untuk membentuk
keluarga yang damai, rukun dan sejahtera. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu
bangsa, keluarga diharapkan tercipta dari perkawinan yang sah sesuai dengan syarat-syarat
perkawinan berdasar keyakinan maupun menurut Undang-Undang suatu Negara.1 Perkawinan
itu sendiri merupakan suatu kejadian yang sangat mempengaruhi status hukum seseorang
artinya:
a. Dengan perkawinan timbul kedudukan sebagai suami dan sebagai isteri;
b. Bila dalam perkawinan lahir anak maka akan timbul hubungan antara
orang tua dan anak.2
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3
Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 2 UU No.1 tahun 1974 menyatakan perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan. Dengan
demikian suatu perkawinan tidaklah sah apabila tidak mengikuti aturan agama dari calon
mempelai. Apabila calon mempelai menganut agama Islam, maka perkawinan tersebut tunduk
kepada Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu
sangatlah penting bagi masyarakat untuk mempelajari terlebih dahulu peraturan yang terkait
agar terhindar dari masalah di kemudian hari.
Setiap manusia memiliki haknya masing-masing untuk merasakan cinta dan menikah.
Pandangan dari sudut Hak Asasi Manusia tentu sangat dimengerti bahwa perkawinan yang
hakiki didasari oleh adanya cinta kasih dan kepercayaan. Selain itu, faktor lain yang
menentukan adalah keseragaman antara perkawinan tersebut dengan masyarakat sekitar,
karena adanya status baru sebagai suami-isteri praktis ikut merubah tatanan dalam keseharian
1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008). Hlm. 1. 2 Wienarsih Imam Subekti, Sri Soesilowati Mahdi,Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat,
(Jakarta: Gitama Jaya, 2005). Hlm.27. 3 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3019,
Ps. 1.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
bermasyarakat.4 Terdapat beberapa hal yang menjadi pembatasan apabila dilihat dari
perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1975 junto PP No.9
Tahun 1975 junto PMA No.3 Tahun 1975 junto PMA No.11 Tahun 2007 junto Kompilasi
Hukum Islam. Tidak semua manusia dapat melakukan perkawinan, hanya mereka yang sudah
matang jiwa dan raganya saja yang diperbolehkan oleh Undang-Undang. Hal itu dikarenakan
menjalani sebuah perkawinan bukan sesuatu yang mudah. Untuk membentuk perkawinan
yang kekal abadi calon suami dan calon isteri yang harus dewasa dan mampu untuk berfikir
secara logis, agar tidak melakukan dan mengucapkan hal yang kemudian disesali dan
menyimpang dari tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia juga kekal.
Batasan usia minimal menikah menjadi salah satu syarat yang secara tegas diatur oleh
Undang-Undang. Setiap manusia saat melakukan perkawinan, memiliki tujuan untuk bersama
selamanya sampai ajal memisahkan. Menikah dibawah usia dewasa memiliki tantangan yang
lebih dibandingkan dengan pasangan suami isteri yang sudah dewasa. Banyak faktor yang
dapat menjadi pemicu perselisihan, dari mulai faktor ekonomi yang belum memadai karena
masih di bangku sekolah, sampai psikologis suami maupun isteri yang belum siap untuk
menghadapi problematika rumah tangga. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi alasan untuk
mengakhiri hubungan mereka dengan cara bercerai.5
Selain perceraian, salah satu akibat dari perkawinan dalam usia muda adalah angka kematian
melahirkan yang tinggi. Secara medis perkawinan anak dibawah umur sangat beresiko.
Beberapa kasus kesehatan yang terjadi pada perkawinan yang terlalu muda adalah pendaraan
saat persalinan dan komplikasi. Selain itu wanita yang hamil saat usia muda berpotensi besar
untuk melahirkan anak dengan berat badan yang rendah.6 Oleh karena itu, peraturan
perundang-undangan mengatur secara tegas mengenai batas usia untuk menikah. Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan hanya diijinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.7
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah
4 Muhammad Makhfudz, Berbagai Permasalahan Dalam Masyarakat ditinjau dari Ilmu Sosial dan Hukum,
(Disertasi Doktor Universitas Diponegoro: Semarang, 2010), diunduh pada 20 September 2013. 5 Eko Widianto, “Angka Perceraian Melonjak Drastis”
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/19/058522963/Angka-Perceraian-Melonjak-Drastis, Diakses pada 27 Desember 2013.
6 World Health Organization, “Child Marriage” http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2013/child_marriage_20130307/en/ , diakses pada 27 Desember 2013
7 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3019, Ps. 7(1).
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
Bab IV Pasal 8 menyatakan, apabila seorang suami belum mencapai 19 tahun dan calon isteri
belum mencapai 16 tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan.
Pasal-pasal tersebut di atas sangat jelas dan hampir tidak ada alternatif penafsiran, bahwa usia
yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk pria adalah 19 tahun dan untuk wanita adalah
16 tahun. Selain itu dalam implementasi atas ketentuan Undang-Undang tersebut masih
terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh calon pengantin, yakni jika calon suami dan calon
isteri belum genap berusia 21 tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah, hal itu
sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007: “apabila seorang calon
mempelai belum mencapai usia 21 tahun, harus mendapat ijin tertulis dari kedua orang tua”.
Ijin tersebut sifatnya wajib, karena batas usia dewasa berdasarkan Undang-Undang No.1
Tahun 1974 dan KHI adalah 21 tahun, sehingga usia dibawah 21 tahun dipandang masih
memerlukan bimbingan dan pengawasan dari orang tua/wali. Lain halnya jika kedua calon
pengantin sudah lebih dari 21 tahun, maka mereka dapat melaksanakan perkawinan tanpa ijin
dari orang tua/wali. Namun untuk wanita, tidak adanya ijin dari orangtua akan menjadi
masalah karena dalam Islam, orang tua merupakan wali sekaligus orang yang
menikahkannya.
Ketentuan dalam Pasal 7 (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 masih memberikan ruang
toleransi, hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat 2 yang rumusannya: “dalam hal penyimpangan
terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita”. Dalam Pasal 15
Kompilasi Hukum Islam diterangkan demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yakni sekurang-kurangnya 19 tahun
bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.8 Dengan demikian jelas terlihat Hukum Islam memikirkan
kesejahteraan kelangsungan keluarga dengan memberi batasan usia minimal menikah.
Walau bagaimanapun, pembatasan ini pada dasarnya tidak ditetapkan secara mutlak. Akan
tetapi, calon mempelai dibawah usia 21 tahun yang akan melangsungkan perkawinan terlebih
dahulu harus mendapatkan ijin dari orang tua atau wali seperti yang diatur dalam Pasal 15
ayat (2) KHI, bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat ijin
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2, 3, 4 dan 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974.9
Apabila tidak dipenuhinya syarat usia minimal dalam perkawinan seperti yang telah
disebutkan di atas, atau tidak dipenuhinya syarat dan rukun perkawinan maka terhadap
8Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Paung Bona Jaya, 2009), Ps. 15. 9 Ibid.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
perkawinan itu dapat dilakukan pencegahan. Pencegahan atau stuiting adalah suatu usaha
yang digunakan untuk menghindari terjadinya perkawinan yang bertentangan dengan
ketentuan undang-undang.10
Suatu perkawinan dapat dicegah apabila terdapat pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan. Pihak-pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah wali,
pengampu dari salah seorang calon mempelai, pihak-pihak yang berkepentingan dan pejabat
yang ditunjuk.11 Pengampu dapat mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah
seorang mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan adanya perkawinan akan
menimbulkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya. Upaya pencegahan
perkawinan hanya dapat dilaksanaan apabila telah terdapat penetapan hakim. Dengan
demikian upaya pencegahan tidak dapat dilakukan langsung terhadap mereka yang akan
melangsungkan perkawinan maupun terhadap pihak yang berwenang untuk mencatat suatu
perkawinan atau Pegawai Pencatat Nikah. Pencegahan perkawinan harus terlebih dahulu
dilakukan sesuai dengan prosedur yang tepat.
Selama tidak terdapat tindakan pencegahan perkawinan, maka perkawinan tetap dapat
dilangsungkan. Oleh karena itu, prosedur pencegahan haruslah dicermati sebaik mungkin agar
tidak terjadi kekeliruan dan perkawinan yang seharusnya dicegah tetap terlaksana dan
menimbulkan akibat-akibat yang ingin dihindari. Dalam Kompilasi Hukum Islam,
pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh
Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan
apabila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan.12 Selain tidak memenuhi syarat perkawinan, pencegahan perkawinan
dapat dilakukan karena pertalian semenda dan karena pertalian susuan. Pencegahan
perkawinan juga dapat dilakukan apabila wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain, seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain dan seorang wanita yang tidak beragama Islam.13 Kompilasi Hukum Islam kemudian
menerangkan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat
10 R. Soetojo Prawirohamidjodjo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Surabaya: Airlangga University Press, 1991). hlm. 26.
11 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3019, Ps. 14.
12 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Paung Bona Jaya, 2009), Ps. 60. 13 Ibid. Ps. 40.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka
masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.14
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai
pencegahan perkawinan. Hal itu dikarenakan pada zaman sekarang banyak oang yang
menghalalkan segala cara untuk dapat melangsungkan perkawinan walaupun mereka belum
memenuhi syarat-syarat perkawinan itu sendiri, sehingga menyebabkan timbul banyak
pelanggaran yang selain bertentangan dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan
di Indonesia juga bertentangan dengan syariat Agama Islam. Batas usia seringkali menjadi
salah satu syarat perkawinan yang tidak dipenuhi. Padahal dengan tidak dipenuhinya batas
usia perkawinan dapat mengakibatkan perkawinan yang tidak sehat. Perkawinan yang tidak
sehat akan berujung ke pertikaian yang tidak berujung bahkan perceraian dimana pihak yang
paling dirugikan adalah sang anak. Sebagai penerus bangsa, seharusnya anak kuat baik secara
fisik dan mental. Mental yang kuat dipupuk dari kelompok terkecil dalam masyarakat, yaitu
keluarga. Dengan banyaknya keluarga yang tidak sehat, secara tidak langsung akan
mengakibatkan kemunduran perkembangan anak yang akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan negara. oleh karena itu, pencegahan perkawinan terhadap perkawinan di usia
muda sangat penting dilakukan demi masa depan bangsa dan negara.
Tinjauan Teoritis
a. Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang-Undang No.1 tahun 1974 Pasal 2(1) yang menyatakan bahwa
perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan agama dan
kepercayaan. Suatu perkawinan menjadi tidak sah apabila tidak dilakukan menurut
tata cara yang telah diatur oleh undang-undang.15
14 Ibid. Ps. 42. 15 Wienarsih Imam Subekti, Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat,
(Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 44.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
b. Syarat perkawinan adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang akan
melangsungkan suatu perkawinan. Syarat-syarat perkawinan tersebut menyangkut
syarat materil maupun syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang menyangkut
diri pribadi masing-masing pihak, sedangkan syarat formil adalah syarat yang
berkaitan dengan formalitas atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami isteri.16
c. Wali perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan
dalam suatu akad nikah. Dalam Agama Islam, wali nikah ini diperlukan oleh calon
mempelai perempuan. Ini adalah sebuah rukun/syarat perkawinan menurut mayoritas
ulama yang menyatakan bahwa perkawinan hanya akan sah apabila ada wali.17
d. Izin kawin adalah izin yang diperlukan bagi calon mempelai yang belum berumur 21
tahun. Izin harus dibedakan dengan keharusan adanya wali nikah bagi mereka yang
beragama Islam, izin disini hanya diperlukan selama calon mempelai belum berusia 21
tahun, di atas 21 tahun calon mempelai dapat melangsungkan perkawinan tanpa
adanya izin kawin. Sedangkan wali nikah selamanya diperlukan bagi calon mempelai
perempuan yang beragama Islam.18
e. Pencegahan perkawinan adalah suatu usaha yang digunakan untuk menghindari
terjadinya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang.
Suatu perkawinan dapat dicegah apabila terdapat pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pihak-pihak yang dapat mencegah
perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas,
saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai, pihak-pihak
yang berkepentingan dan pejabat yang ditunjuk.19
f. Akibat Hukum adalah suatu akibat yang timbul karena adanya suatu peristiwa
hukum.20
Metode Penelitian
16 Ibid., hlm. 36.
17 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Paung Bona Jaya, 2009), Ps. 19.
18 Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007, Ps. 7.
19 R. Soetojo Prawirohamidjodjo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Surabaya: Airlangga University Press, 1991). hlm. 26.
20 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm.. 17.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
Penelitian yang dilakukan berbentuk penelitian hukum yuridis-normatif yang
bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau
penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada. Tipe penelitian yang digunakan oleh
penulis adalah tipe penelitiaan deskriptif21. Dimana peneliti dalam penelitiannya bertujuan
untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, akurat, serta secara apa adanya sesuai
dengan permasalahan yaitu kendala dari permohonan pencegahan perkawinan. Sehingga
analisis data yang digunakan bersifat deskriptif analitis yang artinya analisa data untuk
penelitian berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum guna diaplikasikan untuk
menjelaskan seperangkat data, atau menjelaskan hubungan seperangkat data dengan data
lainnya.22
Hasil Penelitian
Hasil penelitian skripsi ini adalah didapatkannya pemahaman mengenai permohonan
pencegahan perkawinan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 310/K/AG.
Pembahasan
Penulis mendapatkan beberapa fakta dalam Putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan
bahwa Pemohon merupakan Toriq Martak bin M. Yuslam Martak merupakan orang tua
kandung Nisrin binti Toriq Martak, beragama Islam, bertempat tinggal di Jalan Sukodono 3
No.42 RT. 005 RW. 015, Kelurahan Ampel Kecamatan Semampir Surabaya. Nisrin
merupakan anak pertama dari perkawinan Pemohon dengan seorang perempuan bernama
Nallah Abdullah Bahasuan, yang lahir di Surabaya pada tanggal 27 Juni 1994. Nisrin pada
tahun 2011 mengajukan permohonan untuk mendapatkan Penetapan wali adhol dari
Pengadilan Agama Surabaya sesuai dengan register perkara No: 573/Pdt.P/2011/PA.Sby
tanggal 17 Juni 2011. Saat mengajukan permohonan penetapan kepada Pengadilan Agama
21 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998). Hlm. 36.
22 Ibid., hlm. 38.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
Surabaya, anak tersebut selaku Pemohon masih berusia 16 tahun namun dalam pengajuan
mengaku telah berumur 17 tahun dan status dari Nisrin adalah pelajar.
Nisrin kemudian menunjuk seorang advokat untuk mewakilkan dirinya dalam
melakukan perbuatan hukum yang berupa permohonan untuk mendapatkan penetapan wali
adhol di Pengadilan Agama Surabaya dalam register perkara No: 573/Pdt.P/2011/PA.Sby
tanggal 17 Juni 2011. Permohonan yang diajukan oleh Nisrin dilakukan dalam rangka untuk
dapat melangsungkan perkawinan dengan seorang anak laki-laki yang bernama Khalid bin
Chozi. Nisrin dan Khalid masih berstatus pelajar dan tidak bekerja sehingga dapat dikatakan
bahwa mereka berdua tidak mampu secara finansial untuk membangun sebuah keluarga.
Sebelum diajukan permohonan penetapan penunjukan wali kepada Pengadilan Agama
Surabaya, baik Nisrin maupun Khalid sama sekali tidak pernah mengajukan permohonan
untuk meminta ijin nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan
Semampir Kota Surabaya. Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan
Semampir Kota Surabaya hingga saat ini belum pernah menerima surat permohonan izin
menikah tersebut dari Nisrin. Khalid dan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Semampir Kota Surabaya tidak pernah memberikan jawaban mengenai
persetujuan atau penolakan apapun terhadap permohonan Nisrin dan Khalid untuk
mendapatkan izin nikah dari Pejabat Nikah yang berwenang.
Pemohon dalam permohonannya meminta kepada Majelis Hakim untuk mengabulkan
permohonan pencegahan perkawinan terhadap anak pemohon tersebut. Pengadilan Agama
menetapkan bahwa permohonan pemohon ditolak. Hal tersebut dapat dilihat dalam
pertimbangan hakim yaitu:
1. Menimbang, bahwa Pemohon untuk meneguhkan dalil permohonannya, tidak
mengajukan alat bukti baik surat maupun saksi, bahkan pemohon diberi waktu untuk
mengurus surat ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Semampir Kota Surabaya
tentang adanya Permohonan dari anak pemohon yang akan melaksanakan akad nikah
di Kantor Urusan Agama Kecamatan Semampir Surabaya. Namun sampai batas waktu
yang telah diberikan, pemohon tidak berhasil mengajukan surat keterangan dari
Kantor Urusan Agama kecamatan Semampir Kota Surabaya yang di maksud.
2. Menimbang, bahwa pemohon sudah diberi waktu yang cukup untuk meneguhkan dalil
permohonannya akan tetapi pemohon tetap tidak bisa menunjukkan alat bukti surat
yang berkaitan dengan adanya permohonan melangsungkan perkawinan yang diajukan
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
oleh anak pemohon dengan calon suaminya dari Kantor Urusan Agama Kecamatan
Semampir Surabaya, hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 jo Pasal 65 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan bahwa pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada
Pegawai Pencatat Perkawinan.
3. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan pemohon tidak di dukung sama sekali
oleh alat bukti baik surat maupun saksi terutama yang berkaitan dengan adanya
permohonan pelaksanaan perkawinan oleh anak pemohon dan calon suaminya ke
Kantor Urusan Agama, maka permohonan pemohon dianggap tidak beralasan dan
harus ditolak.
Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak Permohonan Pemohon dengan dalil
bahwa Pemohon telah diberi beberapa kali kesempatan untuk membuktikan adanya
permontaan melangsung perkawinan dari Kantor Urusan Agama setempat, tetapi Pemohon
Kasasi tidak memenuhinya, dengan tidak adanya pembuktian tentang pendaftaran tersebut,
maka proses pemeriksaan tidak dilanjutkan. Kantor Urusan Agama menolak untuk
memberikan keterangan tertulis tentang adanya pendaftaran nikah, hal ini bukan urusan dari
hakim, hal tersebut adalah urusan antara Pemohon Kasasi dengan Kantor Urusan Agama.
Pembahasan permohonan pencegahan perkawinan tersebut apabila dilihat dari
Undang-Undang Perkawinan telah memenuhi syarat dan patut dikabulkan. Hal itu
dikarenakan Pemohon selaku orang tua dari Nisrin tidak memberikan izin kawin kepada
Nisrin dikarenakan Nisrin dan Khalid masih berstatus pelajar dan tidak memiliki penghasilan.
Khalid yang belum memiliki pekerjaan dan tidak berpenghasilan, secara otomatis tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami yaitu memberi nafkah pada Nisrin. Hal tersebut
bertentangan dengan Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga. Izin
kawin merupakan salah satu syarat materiil dari perkawinan yang telah di atur oleh Undang-
Undang Perkawinan. Syarat materiil khusus suatu perkawinan adalah syarat mengenai diri
seseorang yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan23 Pengaturan
mengenai izin kawin terdapat dalam Pasal 6 UU No.1 Tahun 1974. Dalam ayat 2 disebutkan
bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
23 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Op. Cit., hlm. 19.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
mendapat izin kedua orang tua.24 Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan bahwa bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Dalam kasus ini baik Nisrin maupun Khalid
belum ada yang berumur 21 tahun. Dengan demikian syarat izin kawin ini harus dipenuhi
agar mereka berdua dapat melaksanakan perkawinan. Pemohon pencegahan perkawinan
dalam permohonannya harus membawa bukti pendaftaran rencana perkawinan yang ingin
dicegah, baik berupa berkas pendaftaran perkawinan maupun keterangan dari pihak Kantor
Urusan Agama, yang menyatakan memang betul suatu perkawinan yang tidak memenuhi
syarat atau terdapat larangan perkawinan akan dilaksanakan. Syarat Keberadaan Kantor
Urusan Agama sebagai saksi dipergunakan untuk membuktikan kehendak anak pemohon
untuk melangsungkan perkawinan yang akan dinikahkan oleh Kantor Urusan Agama dengan
wali hakim pada hari Jumat tanggal 11 November 2011 di Masjid Sunan Ampel Surabaya
adalah relevan dengan permohonan pemohon untuk mencegah rencana perkawinan tersebut.
Karena tanpa adanya kehadiran Kantor Urusan Agama sebagai saksi di ruang pengadilan,
pemohon tidak dapat membuktikan pendaftaran perkawinan yang dilakukan oleh anak
pemohon. Karena tersendat kesaksian dari Kantor Urusan Agama Surabaya yang meminta
Pengadilan Agama Surabaya untuk memanggil secara tertulis, maka pemohon meminta
kepada majelis hakim untuk memanggil Kantor Urusan Agama sebagai saksi dalam ruangan
pengadilan. Permintaan pemohon yang meminta bantuan kepada hakim untuk memanggil dan
menghadirkan Kantor Urusan Agama telah memenuhi seluruh unsur dari Pasal 165 RBg/139
HIR yang menyatakan salah satu pihak dapat meminta bantuan kepada hakim untuk
memanggil dan menghadirkan seorang saksi melalui pejabat yang berwenang agar saksi
tersebut menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan, apabila saksi yang bersangkutan
relevan namun pihak tersebut tidak dapat menghadirkan sendiri saksi yang diminta secara
sukarela. Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalil majelis hakim Pengadilan Agama yang
menyatakan bahwa majelis hakim tidak memiliki kewenangan untuk memanggil saksi
dikarenakan dalam persidangan voluntair hakim bersifat pasif, adalah tidak sesuai dengan
Pasal 165 RBg/139 HIR di atas. Seharusnya majelis hakim memanggil Kantor Urusan Agama
Surabaya sebagai saksi di peradilan.
Pembahasan mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor 310/K/AG apabila dilihat
dari Hukum Islam belum sesuai dan sudah sepatutnya permohonan pencegahan perkawinan
24 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No.
3019, Ps. 6.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
pemohon dikabulkan. Hal itu tercermin dari telah terpenuhinya syarat-syarat permohonan
pencegahan perkawinan. Pemohon juga tidak bersedia menjadi wali dalam perkawinan Nisrin.
Dalam Hukum Islam keberadaan wali bagi calon mempelai wanita merupakan rukun dan
syarat khusus dari perkawinan. Menurut Mahzab Syafii berdasarkan hadits Rasul yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasul pernah mengatakan tidak ada kawin
tanpa wali. Namun menurut Mahzab Hanafi wanita dewasa tidak perlu wali bila akan
menikah. Wali disini adalah wali perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria.25 terdapat
beberapa jenis wali, yang pertama adalah wali nasab. Wali nasab artinya anggota keluarga
pria bagi calon pengantin wanita yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon
pengantin wanita itu. Termasuk kedalamnya ialah bapak, datuk, saudara laki-laki bapak,
saudara laki-laki sendiri dan lain lain.
Pemohon dalam kasus ini merupakan ayah kandung dari Nisrin sehingga
kedudukannya adalah Wali Nasab. Karena Pemohon tidak bersedia menjadi wali karena tidak
memberikan izin kawin pada Nisrin dan Khalid. Ketidaksetujuan pemohon terhadap
perkawinan antara Nisrin dan Khalid dikarenakan kenyataan bahwa mereka berdua masih
berstatus pelajar dan tidak memiliki penghasilan yang berpengruh kepada ketidakmampuan
Khalid memberikan nafkah kepada Nisrin. Khalid apabila menikahi Nisrin maka wajib
baginya untuk memberi Nisrin nafkah. Hal itu didasari oleh HR. Muslim 2137:“Rasulullah
bersabda: Dan mereka (para Istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang
diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).” Ketidakmampuan Khalid untuk
memberi nafkah pada Nisrin juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 80 ayat (2) dan ayat
(4) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan suami wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga yang berupa nafkah, kiswah,
tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak dan biaya pendidikan bagi anak.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, kesimpulan yang dapat diberikan oleh Penulis adalah
sebagai berikut:
25 Sayuti Thalib, Op. Cit., hlm. 65-66.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
1. Kendala dari permohonan pencegahan perkawinan bahwa jangka waktu
pengajuan pencegahan perkawinan tidak di atur secara rinci oleh perundang-
undangan, yaitu pada saat pengumuman rencana perkawinan oleh Kantor
Urusan Agama yang sering dilewatkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan
seperti orang tua atau wali. Tidak setiap saat orang tua atau wali akan
melakukan pengecekan baik ke Kantor Urusan Agama maupun Kelurahan.
Sehingga sering kali pihak yang keberatan atas suatu rencana perkawinan,
melewatkan jangka waktu pengumuman dan tidak dapat mengajukan
permohonan pencegahan perkawinan. Karena tidak dapat melakukan
permohonan pencegahan perkawinan, maka permohonan pembatalan
perkawinan yang sering diajukan oleh para pihak yang mempunyai keberatan
terhadap perkawinan tersebut.
2. Pada putusan Mahkamah Agung Nomor 301/K/AG/2012 belum sesuai dengan
Undang-Undang Perkawinan dan KHI. Pada putusannya majelis hakim
menolak permohonan pencegahan perkawinan pemohon dengan dalil bahwa
pemohon tidak dapat memberikan alat bukti yang berupa saksi dari Kantor
Urusan Agama tanpa memperhatikan kenyataan bahwa tidak terdapatnya wali
dan izin kawin dalam perkawinan yang akan dilaksanakan yang merupakan
rukun dan syarat dari perkawinan yang harus dipenuhi. Dengan tidak
terdapatnya wali bagi calon mempelai wanita dan izin kawin, maka tidak
terpenuhilah syarat dan rukun perkawinan yang menjadikan suatu akad
menjadi sah. Tidak dipenuhinya salah satu di antara rukun dan syarat
perkawinan maka disebut sebagai akad perkawinan yang fasid, dengan
demikian seharusnya Majelis Hakim mengabulkan permohonan pencegahan
perkawinan, karena bila suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak
dicegah, maka akan menimbulkan kerugian bagi banyak pihak.
Saran
1. Kendala permohonan pencegahan perkawinan seharusnya dapat diatasi dengan
memperluas media pengumuman rencana perkawinan, tidak hanya di Kantor
Urusan Agama dan Kelurahan saja. Teknologi masa kini dan ponsel pintar
telah mempermudah masyarakat untuk mengakses internet kapanpun.
Terhadap pengumuman rencana perkawinan, sebaiknya pihak petugas pencatat
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
perkawinan mencantumkan pengumuman rencana perkawinan di media sosial
seperti website Kantor Urusan Agama dan Kelurahan, facebook atau blog.
Dengan demikian semakin banyak orang yang dapat memantau pengumuman
tersebut sehingga tidak melewatkan jangka waktu untuk dapat mengajukan
permohonan pencegahan perkawinan.
2. Para majelis hakim yang menangani kasus pencegahan perkawinan sebaiknya
lebih jeli dalam meneliti fakta materiil yang ada. Apabila pemohon
pencegahan perkawinan tidak dapat menghadirkan saksi yang penting dalam
persidangan, lebih baik majelis hakim membantu memanggil saksi yang
dibutuhkan secara patut, terlebih jika saksi yang tersebut merupakan saksi
yang sangat penting bagi hakim dalam membuat keputusan. Walaupun dalam
gugatan perdata hakim bersifat pasif, namun terdapat dasar hukum untuk
hakim membantu pemohon untuk memanggil saksi yang dibutuhkan dalam
Pasal 165 Rbg/139 HIR. Majelis hakim juga harus mempertimbangkan
keputusan penolakan pencegahan perkawinan sebaik mungkin sehingga tidak
terulang kasus seperti ini.
3. Bagi hakim yang akan memutus kasus permohonan pencegahan perkawinan
dimana pemohon tidak bisa mendapatkan keterangan petugas Kantor Urusan
Agama sebagai pembuktian telah didaftarkannya suatu rencana perkawinan,
dapat mempertimbangkan bukti lain. Bukti tersebut dapat melalui copy
pengumuman rencana perkawinan atau copy buku pedaftaran nikah, sehingga
tidak terulang penolakan permohonan pencegahan perkawinan dikarenakan
tidak menghadirkan alat bukti.
Daftar Referensi
Books:
Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1998.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
Berlianti, Yeni Salma. Buku Ajar Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Islam. Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.
Cahyono, Akhmad Budi, Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: Gitama
Jaya, 2008.
Chorus, Jeroen, et.al. Introduction to Dutch Law. The Hague: Kluwer Law International,
1999.
Darmabrata, Wahyono, Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia.
Cet. 1. Jakarta: Penerbit Rizkita, 2002.
__________. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, cet. 2. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
_________. Hukum Perkawinan Perdata: Syarat Sahnya Perkawinan, Hak dan Kewajiban
Suami, Harta Benda Perkawinan, cet. 1. Jakarta: Rizkita 2009
Djubaedah, Neng dan Sulaikin Lubis, Farida Prihartini. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia. Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005.
Gatot, Suparmono. Segi Segi Hukum Hubungan Luar Nikah. Jakarta: Penerbit Djambatan,
1998.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang, Hukum Adat,
Hukum Agama. Bandung: CV Mandar Maju, 1990.
Hamid, Zahry. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Binacipta, 1978.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
________________. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading, 1975.
Hazairin. Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan: Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974. Jakarta: Tinta Mas, 1975.
Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah dan Rujuk. Jakarta: Ihya
Ulumuddin, 1971.
Komariah. Hukum Perdata. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang, 2002.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cet. 3. Yogyakarta: Penerbit
Liberty. 2002.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mahzab. Jakarta: Penerbit Lentera. 2006.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Cet. 2. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 1993.
Mukhtar, Kamal. Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1974.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang-Undang No.1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1999.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid 2 (Analisa Fiqih Para Mujtahid). Jakarta: Pustaka Amani.
2002.
Saleh, K Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1976.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.
________________. Penelitian Hukum Normatif, cet. 14. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa,
2012.
Subekti, Wienarsih Iman, Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya, 2005.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Rajawali Perrs,
2004.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 1986.
Suparmono, Gatot. Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah. Jakarta: Penerbit Djambatan,
1998.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media, 2007.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Penerbit UI, 1974.
___________. Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, cet. 2. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1982.
Waaldjik, Kees. Major Legal Consequences of Marriagec Cohabitation and Registered
Partnership for Different-sex and Same-sex Partners in the Netherlands. Paris: Institut
national d'études démographiques, 2002.
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: CV. Al Hudayah, 1964.
______________. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Syafi’i, Hnafi, Maliki, Hambali.
Jakarta: Hidakarya Agung, 1986.
Law:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht), diterjemahkan oleh
Moeljatno, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan
R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2008.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014
Indonesia (a). Undang-Undang tentang Perkawinan. UU No.1 tahun 1974, LN No.1 Tahun
1974, TLN No. 3019.
Indonesia (b). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Diterjemahkan
oleh R.Subekti dan R. Rjitrosudibio. Cet. 32. Jakarta: Pradnya Paramita. 2003.
Indonesia (c). Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undng-undang Nomor 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan. PP No.9 tahun 1975, LN No.12, TLN No. 3050.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil, PP Nomor 45 Tahun 1990, LN. No 61 Tahun 1990.
Instruksi Presiden Republik Indonesia. Kompilasi Hukum Islam, KHI Nomor 1 Tahun 1991.
Kementrian Agama. Peraturan Menteri Agama tentang Pencatatan Nikah, PMA No.11 Tahun
2007, BN No.5 tahun 2007.
Online Sources:
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/19/058522963/Angka-Perceraian-Melonjak-Drastis.
Accessed on December 27 2013.
http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2013/child_marriage_20130307/en/. Accessed
on December 27 2013.
http://www.government.nl/issues/family-law/marriage-registered-partnership-and-
cohabitation-agreements, Accessed on May 25 2014.
Pencegahan perkawinan…, Dinda Raihan, FH UI, 2014