penatalaksanaan komplikasi selama dialisis
DESCRIPTION
hemodialisaTRANSCRIPT
PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI SELAMA DIALISISDIALYSIS DISEQUILIBRIUM SYNDROME (DDS)
Imam Hadi Yuwono
PD. IPDI Jawa Tengah
phone : 081326546035
A. PendahuluanInsufisiensi ginjal memiliki efek protein pada sistem saraf pusat gejala awal seperti
kelelahan, kecanggungan, dan gangguan konsentrasi dapat berkembang menjadi
halusinasi, agitasi, disorientasi dan koma jika insufisiensi pada ginjal tidak diobati.
Kondisi ini merupakan manifestasi dari perubahan funsgsi ginjal karena uremik yang
mengakibatkan ensefalopati dan diyakini dimediasi oleh gangguan eurotransmisi
(Flannery, 2011).
Pasien dengan keadaan uremia yang tinggi saat ini sudah jarang ditemukan pada
sebagian negara maju, namun masih banyak ditemukan di negara-negara yang
berkembang. Pasien dengan kadar uremia diatas 175 mg/dl mempunyai resiko
terjadi komplikasi dialysis disequilibrium syndrome (DDS) saat dilakukan dialisis
pertama kali (Lopez & Correa, 2008).
Dialysis disequilibrium syndrome (DDS) adalah komplikasi dialisis yang jarang terjadi
namun komplikasi ini merupakan hal yang sangat serius dan bisa mengakibatkan hal
yang sangat buruk bahkan kematian. DSS terjadi pada saat pasien menjalani dialisis
pertama kali. (Orozco & Quigley, 2012). Sindrom disequilibrium adalah kumpulan
gejala sistemik dan neurologis yang sering dikaitkan dengan temuan pada
pemeriksaan electroencephalography (EEG) yang dapat terjadi baik selama atau
setelah dialisis. Manifestasi awal termasuk mual, muntah, gelisah, dan sakit kepala.
Manifestasi yang lebih serius termasuk kejang, penurunan kesadaran, dan koma
(Daugirdas, Blake, & Ing, 2007). DDS adalah gangguan pada otak yang ditandai
dengan gejala neurologis karena edema serebal setelah proses dialisis (Esnault,
Lacroix, Cungi, D’Aranda, Cotte, & Goutorbe, 2012).
DDS ditandai dengan gejala neurologis yang disebabkan oleh penurunan kadar urea
yang terlalu cepat selama proses dialisis sehingga terjadi gradien osmotik dalam
otak dan plasma. Perbedaan osmotik dalam otak dan plasma mengakibatkan edema
otak yang menimbulkan beberapa gejala neurologis seperti mual, muntah, kram otot,
tremor, kesadaran terganggu dan kejang atau kematian karena edema serebal
(Patel, Dalal, & Paneser, 2008).
B. PatogenesisPatogenesis dari komplikasi dialisis DDS sampai sekarang masih banyak perbedaan
dan masih menjadi perdebatan dikalangan para ilmuwan. Ada tiga patogenisis yang
mengakibatkan DDS yaitu efek penurunan ureum yang terlalu cepat, asidosis
intraserebal dan edema interstitial/serebral (Aziz, Dutta, & Zaeem, 2013).
1. Efek Penurunan Ureum
Proses dialisis akan menurunkan kadar ureum dalam plasma. Penurunan yang
terlalu cepat akan mengakibatkan gradien osmotik dalam otak dan darah
meningkat cepat. Periode jeda antara penurunan kadar ureum dan pengembalian
keseimbangan osmotik diyakini akan mengakibatkan pergerakan air dari plasma
ke otak dan akan terjadi edema cerebral.
Penurunan kadar ureum berdampak penurunan osmolaritas plasma sehingga
mengakibatkan gradien osmotik dan meningkatkan pergerakan air ke otak.
Proses ini terjadi di otak melewati barrier darah dan otak sehingga menimbulkan
edema cerebral dan disfungsi neurologis yang memunculkan gejala bervariasi
sesuai dengan tingkat keparahan dan kecepatan penurunan kadar ureum (Silver,
Stearns, & Halperin, 1996)
2. Asidosis Intraserebral
Penurunan kadar ureum pada proses dialisis di vaskuler dan otak terjadi secara
bersamaan akan tetapi ureum yang ada di cairan cerebrospinal terjadi lebih
lambat. Studi pada pasien dialisis telah menunjukkan bahwa sering kali ada
kenaikan PCO2 dalam cerebrospinal fluid dan PH berada pada posisi asam
selama dialisis (Arieff, Massry, Barrientos, & Kleeman, 1973).
Penurunan kadar PH di intraseluler otak meningkatkan pengikatan Na dan K oleh
Hodrogen. Kondisi ini meningkatkan osmolaritas intraseluler dan mempercepat
perpindahan air ke otak sehingga terjadi asidosis cerebral. Faktor yang lain yang
mengakibatkan asidosis cerebral adalah prinsip idiogenic osmole (Arieff,
Guisado, Massry, & Lazarowitz, 1976).
Peningkatan osmolaritas cairan ekstraseluler karena kadar uremia yang tinggi
menyebabkan perubahan osmolitas organik intraseluler agar tidak terjadi
dehidrasi pada otak. Selama proses dialisis terjadi retensi karena osmolitas
organik dan berpengaruh pada pengurangan PH intraseluler. Kondisi ini
mengakibatkan peningkatan osmolaritas otak dan mengakibatkan edema
cerebral (Arieff, Massry, Barrientos, & Kleeman, 1973).
3. Dialysis disequilibrium syndrom (DDS) yang disebabkan edema interstitial
Perkembangan tekhnologi di bidang kesehatan khususnya magnetic resonance
imaging (MRI) memungkinkan untuk mengevaluasi kadar air dalam otak.
Pemeriksaan dengan metode Diffusion-weighted imaging (DWI) bisa digunakan
untuk mendeteksi perubahan air dalam jaringan. Metode ini sudah banyak
dikembangkan untuk mendeteksi terjadinya DSS pada pasien yang menjalani
dialisisi. Proses dialisis meningkatkan koefisien difusi air dalam otak sehingga
terjadi edema interstitial disamping edema otak sebagai patogenesis DSS.
(Chen, Lai, Chou, Lee, Chung, & Fang, 2007).
DDS telah menjadi masalah yang besar selama hampir dua dekade terakhir.
Penyebab DDS masih menjadi kontroversi dan masih banyak pendapat dan teori
tentang hal tersebut. Sebagian ahli percaya bahwa DSS berkaitan dengan
peningkatan kadar air yang cepat pada otak. Ketika tingkat zat terlarut plasma
dengan cepat diturunkan selama proses dialisis, plasma menjadi hipotonik dan
mempengaruhi perpindahan air dari plasma ke otak. Penyebab lainnya adalah
perubahan pH cairan serebrospinal yang cepat selama dialisis (Daugirdas, Blake, &
Ing, 2007)
Pasien dengan kadar uremia yang sangat tinggi akan memerlukan tindakan dialisis
dalam jangka waktu yang lama dan memungkinkan terjadi komplikasi DDS saat
pertama menjalani dialisis. Namun bentuk ringan dari gejala DSS seperti mual,
muntah dan sakit kepala sering masih ada walaupun telah menjalani dialisis dalam
jangka waktu yang lama (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007). Disisi lain tindakan dialisis
pada anak-anak, pasien dengan riwayat cedera kepala, hematoma subdural, stroke,
hipertensi, hiponatremia merupakan predisposisi terjadinya edema serebral (Fine,
Korsch, Grushkin, & Lieberman, 1970).
Menurut Lopez & Correa (2008) ada dua teori utama untuk menjelaskan tentang
patofisiologi terjadinya DDS. Teori pertama adalah efek penurunan ureum, yang
menganggap bahwa pergeseran urea antara ruang intraseluler otak dan plasma
tidak langsung terjadi,sehingga menyebabkan konsentrasi yang lebih tinggi dari urea
dalam otak dan mengakibatkan edema serebral. Teori kedua, setelah proses dialisis,
pasien mengalami asidosis metabolik dalam sistem saraf pusat, menggusur Na ( + )
dan K ( + ) dari anion organik, membuat mereka osmotik aktif dan mengarah ke
edema serebral.
C. Gejala DDSMunculnya gejala terjadinya DSS bisa disaat dialisis atau saat setelah dialisis telah
selesai. Gejala awal yang sering terjadi adalah mual, muntah, gelisah, dan sakit
kepala. Manifestasi yang lebih serius termasuk kejang, penurunan kesadaran dan
koma (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007)
Disisi lain menurut Patel, Dalal & Paneser (2008) gejala dari DDS terjadi karena
gangguan neurologis yang bemanifestasi seperti sakit kepala, mual, muntah, kram
otot, tremor, kesadaran terganggu, dan kejang-kejang. Dalam kasus yang parah,
pasien dapat meninggal karena edema serebral.
Beberapa gejala akut bisa muncul saat dialisis ataupun sesudah dialisis seperti sakit
kepala, mual, disorientasi, gelisah, bicara tidak jelas dan asterixis. Gejala lainnya
yang muncul saat menjelang akhir dialisis adalah kram otot, pusing dan anorexia.
Semua gejala ini bisa dijadikan dasar untuk menegakkan diagnosa DDS. Adanya
edema pupil menujukkan adanya peningkatan intrakranial pada kejadian DDS.
Manifestasi lebih lanjut dari gejala DDS adalah bingung, kejang, koma, dan bahkan
kematian (Im, Atabay, & Eller, 2007).
Munculnya gejala DDS merupakan manifestasi dari gangguan neurologis dan mirip
dengan gejala yang muncul pada kasus tekanan intrakranial yang meningkat,
hiponatremia akut seperti gelisah, sakit kepala, kebingungan dan koma. Kondisi ini
akan mengaburkan penegakan diagnosa dari DDS sehingga harus dipertimbangkan
ada diagnosa yang lain seperti : hematoma subdural, uremia, dehidrasi karena kadar
gula darah yang tinggi, gangguan serebrovaskular akut, dimensia karena dialisis,
ultrafiltrasi yang berlebihan, hipoglikemia, hipertensi dan hiponatremia (Mahoney &
Arieff, 1982).
D. Pencegahan DSSPenggunaan dialyzer dengan luas permukaan yang kecil, menurunkan quick of
blood dan memendekkan waktu dialisis diyakini bisa menurunkan resiko penurunan
ureum dalam otak sehingga bisa mencegah terjadinya DDS (Bagshaw, Peets,
Hameed, Boiteau, Laupland, & Doig, 2004). Menurut Kashimoto, et al., (1980) salah
satu tindakan yang paling sederhana untuk mencegah terjadinya DDS adalah
dengan menggunakan tindakan hemofiltrasi pada pasien chronic kidney disease
(CKD). Tindakan hemofiltrasi memungkinkan tidak terjadi penurunan gradien osmotik
dengan cepat dalam kompartemen darah dan otak sehingga tidak terjadi DDS.
Pengaturan proses dialisis agar penurunan ureum perlahan-lahan, dengan target
penurunan 40% selama 2 jam bisa dilakukan pada saat pertama dilakukan dialisis
untuk mencegah DDS (Patel, Dalal, & Paneser, 2008). Penurunan ureum ini
menunjukkan bahwa urea reduction ratio (URR) hanya sebesar 0,4 dari ureum awal.
Namun demikian tindakan ini tidak sepenuhnya aman bagi pasien karena untuk
mencapai tujuan ini tergantung pada indek masa tubuh pasien yang mempengaruhi
volume distribusi ureum. Kondisi ini harus diperhatikan untuk menentukkan
pengaturan quick of blood dan time dialysis (Daugirdas, 1993).
Beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya DDS adalah
mengidentifikasi pasien resiko tinggi, mengurangi efektivitas dialisis dan membatasi
pengurangan urea sampai 30% dengan menggunakan dialyzer yang mempunyai
ukuran KuF kecil. Pengaturan time dialysis dinaikan bertahap tiap kali tindakan dari
waktu yang pendek menjadi waktu yang sesuai standar time dialysis (Macon, 1998).
Pemberian monitol, glukosa, fruktosa dan memakai dialysate tinggi sodium saat
dialisis bisa digunakan untuk mencegah terjadinya DDS. Monitol 20% dengan
diazepam diberikan secara intravena 50cc/jam untuk pasien resiko tinggi DDS
(Nicholls, 2001).
E. Penatalaksanaan bila terjadi DDSMunculnya gejala mual, muntah, gelisah, dan sakit kepala saat tindakan dialisis, sulit
ditentukan apakah ini merupakan gejala akut dari DDS atau sebab yang lain. Jika
gejala seperti ini muncul dan berkembang pada pasien selama dialisis, laju aliran
darah harus dikurangi untuk menurunkan proses difusi zat terlarut dan perubahan pH
dan harus dipertimbangkan untuk mengakhiri sesi dialisis lebih awal dari yang
direncanakan. Natrium klorida atau glukosa larutan hipertonik dapat diberikan
sebagai pengobatan untuk kram otot. Bila kesadaran semakin menurun, terjadi
kejang dan koma, maka tindakan dialisis harus segera dihentikan dan semua darah
di sirkuit dialisis dikembalikan ke tubuh pasien. Jaga jalan nafas agar selalu lancar
dan monitol intravena segera diberikan untuk mengurangi edema serebral.
(Daugirdas, Blake, & Ing, 2007).
Komplikasi DDS selama dialisis merupakan hal yang harus segera ditangani, bila
gejala dan gangguan semakin parah proses dialisis harus segera dihentikan. Jika
kejang segera berikan glukosa dan diazepem, kemudian dikuti dengan pemberian
infus phenytoin secara intra vena. Pemberian larutan dengan konsentrasi tinggi
seperti albumin, monnitol dan glyccerol bisa dilakukan untuk segera mengatasi
kejang atau gangguan edema cerebral (Arieff, 1994).
Secara umum penatalaksanaan DDS adalah (1) Program dialisis dengan proses
difusi yang lambat dan waktu yang pendek (2) Menaikkan sodium dialyzate (3)
pemberian cairan dengan osmolaritas tinggi (Aziz, Dutta, & Zaeem, 2013).
F. Study KasusPasien baru, perempuan 42 tahun, BB 39 kg, diagnosa medis CKD grade V. Hasil
pemeriksaan laboratorium : Hemoglobin 10,5 gr/dl; Hematokrit 31 %; Leukosit
10.000/ul; Trombosit 256.000/ul; GDS 123 mg/dL; Na 135 mmol/l; Kalium 6,9 mmol/l
dan Asam urat 5,4 mg/dL. Ureum 198 mg/dL dan creatin 8,2 mg/dL.
Program dialisis dengan jenis dialyzer 14L Gambro, time dialysis 4 jam, QB 150
ml/menit, QD 500. Base Natrium mesin 140 mmol/l. Dialisis menggunakan
bicarbonate. Akses vaskuler masih menggunakan vena femoral.
Tekanan darah awal sebelum dialisis 155/90 mmHg. Kondisi hemodinamik stabil,
nadi 82x/menit. Jam kedua dialisis T : 140/85 mmHg keluhan sementara tidak ada.
Memasuki jam ketiga pasien mengeluh keringat dingin, mual, pusing, T :
160/100mmHg, N : 103x/menit dan GDS 86 mg/dL. Advis dokter bolus D40% 25 cc
dan pemberian NaCl 0,9% 150 cc. Setelah observasi 15 menit T : 150/90, N :
90x/menit, mual dan pusing berkurang. Memasuki awal jam keempat pasien gelisah,
mengeluh mau muntah dan pusing hebat. Advis dokter HD dihentikan. T : 160/105, N
: 120x/menit. Pemberian O2 3Lt/menit. Bolus D40% 25cc. Bolus NaCl 150cc. Periksa
Ureum dan creatin setelah dialisis hasil : ureum 89 mg/dL dan creatin 4,5 mg/dL.
GDS 103 mg/dL. Kondisi hemodinamik stabil, T : 160/90 mmHg, N : 100x/menit.
Keluhan pusing dan mual menurun.
DiskusiKondisi seperti pasien diatas bisa terjadi saat pertama dilakukan dialisis ataupun bila
sudah dilakukan secara reguler. Munculnya keluhan mual, muntah dan pusing bila
baru pertama kali dilakukan dialisis harus diperhatikan juga kemungkinan terjadi
komplikasi dialisis yaitu DDS. Anamnese awal sebagai kemungkinan karena sebab
lain harus dilakukan seperti riwayat stroke, hematoma subdural, uremia, dehidrasi
karena kadar gula darah yang tinggi, gangguan serebrovaskular akut, dimensia
karena dialisis, ultrafiltrasi yang berlebihan, hipoglikemia, hipertensi dan
hiponatremia.
Muncul gejala mual, pusing dan keringat dingin pada kasus diatas harus diperhatikan
bahwa kondisi ini adalah termasuk kegawat daruratan dialisis. Diagnosa DDS ini bisa
ditegakkan pada kasus diatas karena: 1) Ureum yang tinggi pada awal dialisis. 2)
Jenis dializer yang besar. 3) Quick of dialysate 500 ml/menit. 4) Base natrium tidak
dinaikkan. 5) Penurunan ureum lebih dari 40%.
Pemberian glukosa seharusnya diberikan saat awal dialisis dan natrium dialysate
dinaikkan untuk mencegah terjadinya DDS. Pada kasus diatas glukosa diberikan
saat sudah ada gejala dan natrium dialysate tidak dinaikkan.
Penatalaksanaan DDS pada kondisi pasien diatas hanya menggunakan D40% dan
NaCl 0,9% saja. Karena saat dialisis dihentikan dan darah dikembalikan lagi ke
tubuh pasien dengan bolus glukosa dan natrium kondisi sudah membaik. Tidak
nampak adanya pupil oedema dan hemodinamik stabil. Keluhan saat dilakukan
pemberian glukosa dan natrium sudah menurun.
G. PenutupKomplikasi dialisis DDS merupakan kondisi yang jarang terjadi dan belum ada
kesepakatan dari para ahli untuk penyebab dan patogenesisnya. DDS adalah
komplikasi yang sangat berbahaya yang bisa mengakibatkan kematian saat dialisis.
Anamnese awal untuk pasien resiko terjadi DDS menjadi tanggung jawab yang harus
dilakukan oleh petugas kesehatan di unit dialisis. Pemilihan pasien dengan resiko
DDS harus dilakukann untuk memudahkan dalam pengaturan program dialisis.
Penanganan yang cepat dan tepat saat terjadi DDS harus dilakukan dan menjadi
kompetensi wajib yang harus dikuasi bagi petugas di unit dialisis. Kerja sama antar
disiplin ilmu harus diterapkan untuk penatalaksanaan DDS tanpa mengesampingkan
informasi dari pasien dan keluarga untuk menegetahui riwayat kemungkinan
diagnosa differensial DDS.
KEPUSTAKAAN
Arieff, A. I. (1994). Dialysis disequilibrium syndrome: Current concepts onpathogenesis and prevention [editorial]. Kidney Int 45 , 629-635.
Arieff, A. I., Guisado, R., Massry, G., & Lazarowitz, V. (1976). Central nervous systempH in uraemia and the effects of haemodialysis. J Clin Invest (2) 58 , 306-311.
Arieff, A. I., Massry, S. G., Barrientos, A., & Kleeman, C. R. (1973). Brain water andelectrolyte metabolism in uremia: effects of slow and rapid hemodialysis. KidneyInt 4 , 177-187.
Aziz, F., Dutta, S., & Zaeem, M. (2013). Dialysis Disequilibrium Syndrome: A CaseReport & Concise Reveiw. Greener Journal of Medical Sciences 3 (6) , 207-210.
Bagshaw, S. M., Peets, A. D., Hameed, M., Boiteau, P. J., Laupland, K. B., & Doig, C.J. (2004). Dialysis disequilibrium syndrome: brain death following haemodialysisfor metabolic acidosis and acute renal failure – a case report. BMC Nephrology 5(9) , 1-5.
Chen, C. L., Lai, P. H., Chou, K. J., Lee, P. T., Chung, H. M., & Fang, H. C. (2007). Apreliminary report of brain oedema inpatients with uraemia at first haemodialysis:evaluation by diffusion-weighted imaging. . Am J Neuroradiol (1) 28 , 68-71.
Daugirdas, J. T. (1993). Second generation logarithmic estimates of single-poolvariable volume Kt/V: an analysis of error. J Am Soc Nephrol 4 , 1205-1213.
Daugirdas, J. T., Blake, P. G., & Ing, T. S. (2007). Hand Book of Dialysis 4th Edition.Philadelpphia: Lippincolt Williams & Wilkins.
Esnault, P., Lacroix, G., Cungi, P. J., D’Aranda, E., Cotte, J., & Goutorbe, P. (2012).Dialysis disequilibrium syndrome in neurointensive care unit: the benefi t ofintracranial pressure monitoring. Critical Care 16 , 472-473.
Fine, R. N., Korsch, B. M., Grushkin, C. M., & Lieberman, E. (1970). Hemodialysis inchildren. Am J Dis Child 119 , 498–504.
Flannery, Thomas. (2011). Dialysis Disequilibrium Syndrome: A NeurologicalManifestation of Haemodialysis. Dalam M. G. Penido, Special Problems inHemodialysis Patient (hal. 113). Rijeka, Croatia: In Tech.
Im, L., Atabay, C., & Eller, A. W. (2007). Papilloedema associated with dialysisdisequilibrium syndrome. Semin Opthalmol 22. (3) , 133-135.
Kishimoto, T., Yamagami, S., Tanaka, H., Ohyama, T., Yamamoto, T., Yamakawa, M.,et al. (1980). Superiority of hemofiltration to hemodialysis for treatment of chronicrenal failure: comparative studies between hemofiltration and hemodialysis ondialysis disequilibrium syndrome. Artif Organs 4 , 86-93.
Lopez, A. E., & Correa, R. R. (2008). Dialysis disequilibrium syndrome and othertreatment complications of extreme uremia: a rare occurrence yet not vanished.Hemodial int 3 , 301-306.
Macon, D. J. ( 1998). Dialysis disequilibrium after acute dialysis: Must the ureareduction ratio be limited to 30%? . J Am Soc Nephrol 9 , 259A.
Mahoney, C. A., & Arieff, A. I. (1982). Uremic encephalopathies: clinical,biochemical,and experimental features. AmJ Kidney Dis 2 , 324-336.
Nicholls, A. J. (2001). Nervous System. Dalam J. T. Daugirdas, P. G. Blake, & T. S.Ing, Handbook of Hemodialysis. Third Edition (hal. 656-666). Philadelphia:Lippincott Williams & Wilikns.
Orozco, Z. D., & Quigley, R. (2012). Dialysisi Disequilibrium Syndrom. Pediatr Nephrol27 , 2205-2211.
Patel, N., Dalal, R., & Paneser, M. (2008). Dialysis disequilibrium syndrome: anarrative review. Semin Dial 21 , 493-498.
Silver, S. M., Stearns, R. H., & Halperin, M. L. (1996). Brain swelling after dialysis: oldurea or new osmoles. Am J Kidney Dis 28 (1) , 1-13.