penatalaksanaan hepatitis b kronik

7
PENATALAKSANAAN HEPATITIS B KRONIK Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitib B kronik, yaitu : 1. Kelompok imunomodulasi a. Interferon b. Timosin alfa 1 c. Vaksinasi terapi 2. Kelompok anti virus a. Lamivudin b. Adefovir Dipivoksil Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progesi jejas hati ( liver injury ) dengan cara menekan replikasi virus dan menghilangkan injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan DNA VHB). Pada umumnya serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negative, serokonversi HBeAg tidak dapat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respon terapi hanya dapat dinilai dengan pemeriksaan DNA VHB Terapi dengan Imunomodulator 1. Interferon (IFN) alfa

Upload: ratnadewisetiawan

Post on 27-Dec-2015

47 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penatalaksanaan Hepatitis b Kronik

PENATALAKSANAAN HEPATITIS B KRONIK

Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitib B kronik, yaitu :

1. Kelompok imunomodulasi

a. Interferon

b. Timosin alfa 1

c. Vaksinasi terapi

2. Kelompok anti virus

a. Lamivudin

b. Adefovir Dipivoksil

Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progesi jejas

hati ( liver injury ) dengan cara menekan replikasi virus dan menghilangkan injeksi.

Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya

petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan DNA VHB). Pada umumnya

serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum

dan meredanya penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negative,

serokonversi HBeAg tidak dapat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respon terapi hanya dapat

dinilai dengan pemeriksaan DNA VHB

Terapi dengan Imunomodulator

1. Interferon (IFN) alfa

Interferon (IFN) alfa adalah kelompok intraprotein intraselular yang normal ada dalam

tubuh dan diproduksi oleh berbagai macam sel. IFN alfa diproduksi oleh limfosit B, IFN beta

diproduksi oleh monosit fibroepiteleal, dan IFN gama diproduksi oleh sel limfosit T. produksi

IFN dirangsang oleh berbagai macam stimulasi terutama infeksi virus.

Bebearapa khasiat IFN adalah khasiat antivirus, imunomedulator, anti proliferatif, anti

fibrotik. Dalam proses terjadinya aktivitas antivirus, IFN mengadakan interaksi dengan reseptor

IFN yang terdapat pada membrane sitoplasma sel hatiyang diikuti dengan diproduksinya protein

Page 2: Penatalaksanaan Hepatitis b Kronik

efektor. Salah satu protein yang terbentuk adalah 2’,5’- olygoadenylate synthetase (OAS) yang

merupaakn suatu enzim yang berfungsi dalam terbentuknya aktivitas antivirus.

Khasiat IFN pada hepatitis B kronik terutama disebabkan oleh khasiat imunomodulator.

Penelitian menunjukan bahwa pada pasien hepatitis B kronik didapatkan penurunan produksi

IFN. Sebagai salah satu akibatnya terjadi gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada

membrane hepatosit yang sangat diperlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali sel-sel

hepatosit yang terkena infeksi VHB. Sel-sel tersebut menampilkan antigen sasaran (target

antigen) VHB pada membrane hepatosit.

IFN adalah salah satu pilihan dalam pengobatan hepatitis B kronik dengan HBeAg

positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang, yang belum mengalami sirosis.

PEngaruh pengobatan IFN dalam menurunkan replikasi virus telah banyak dilaporkan dari

berbagai laporan penelitian yang menggunakan follow up jangka panjang.

Beberapa factor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN :

1. Konsentrasi ALT yang tinggi

a. Konsentrasi DNA VHB yang rendah

b. Timbulnya flare-up selama terapi

c. IgM anti-HBC yang positif

2. Efek samping IFN :

a. Gejala seperti flu

b. Tanda-tanda supresi sumsum tulang

c. Flare-up

d. Depresi

e. Rambut rontok

f. Berat badan turun

g. Gangguan fungsi tiroid

Sebagai kesimpulan IFN merupakan suatu pilihan untun pasien hepatitis B kronik

nonsirotik dengan HBeAg positef dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang.

Page 3: Penatalaksanaan Hepatitis b Kronik

Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10

MU 3x selama 16- 24 minggu. Penelitian menunjukan bahwa terapi IFN untuk hepatitis B kronik

HBeAg negative sebaiknya diberikan sedikitnya selama 12 bulan.

Kontraindikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau riwayat depresi di

waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung berat

Saat ini sudah terdapat pengobatan deng PEG Interferon. Penambahan glikol (PEG)

menimbulkan senyawa IFN dengan umur paruh yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IFN

biasa. Dalam suatu penelitian yang membandingkan pemakaian PEG IFN Alfa 2a dengan dosis

90,180, atau 270 mikrogram tiap minggu selama 24 minggu menimbulkan penurunan DNA VHB

yang lebih cepat dibandingkan dengan IFN biasa yang diberikan 4,5 MU 3x seminggu.

Serokonversi HBeAg pada kelompok PEG IFN pada masing-masing dosis adalah 27, 33,37%

dan pada kelompok IFN biasa sebesar 25%.

2. Timosin alfa 1

Timosin adalah suatu jenis sitotoksin yang dala keadaan alami ada dalam ekstrak pinus.

Obat ini sudah dapat dipakai untuk terapi baik sebagai sediaan parenteral maupun oral. Timosin

alfa 1 merangsang fungsi sel limfosit. Pemberian Timosin alfa 1 pada pasien hepatitis B kronik

dapat menurunkan replikasi VHB dena menurunkan konsentrasi atau menghilangkan DNA

VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak adanya efek samping seperti IFN. Dengan kombinasi

IFN, obat ini meningkatkan efektifitas IFN.

3. Vaksinasi

Salah satu langkah maju dalam bidang vaksinasi hepatitis B adalah kemungkinan penggunaan

vaksin hepatitis B untuk pengobatan infeksi VHB. Prinsip dasar vaksinasi terapi adalah fakta

bahwa penderita VHB tidak memberikan respon terhadap vaksin hepatitis B konvensional

yang mengandung HBsAg karena individu-individu tersebut mengalami imunotoleransi

terhadap HBsAg. Salah satu dasar terapi untuk hepatitis B adalah penggunaan vaksin yang

menyertakan epitop yang mampu merangsang sel T sitotoksik yang bersifat human leucocyte

antigen (HLA)-restricted,diharapkan sel T sitotoksik tersebut dapat menghancurkan sel-sell

hati yang terinfeksi VHB. Salah satu strategi adalah penggunaan vaksin yang mengandung

Page 4: Penatalaksanaan Hepatitis b Kronik

protein pre-S. Strategi kedua adalah menyertakan antigen kapsid yang spesifik untuk sel

limfosit T sitotoksik (CTL). Strategi ketiga adalah vaksinasi DNA.

Terapi Antivirus

1. Lamivudin

Lamivudian adalah suatu enantiomer (-) dari 3’ tiasitidin yang merupakan suatu analog

nukleosid. Nukleosid berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom, sehingga analog

nukleosid bersaing dengan nikleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reserve

transcriptase yang berfungsi dalam transkip balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam

replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan mencegah infeksi hepatosi

sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena

pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan convalent closed circuler

(cccDNA). Lamivudin adalah analog nukloesid oral dengan aktivitas antivirus yang kuat.

Kalau diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari, lamivudin akan menurunkan konsentrasi DNA

VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu seminggu

Menurut penelitian, dalam waktu 1 tahun serokonversi HBeAg menjadi anti HBe terjadi

pada 16-18% pasien yang mendapat lamivudin. Beberapa penelitian menunjukan bahawa

setelah pengobatan lamivudin selama 1 tahun telah terjadi perbaikan derajat nekroinflamasi

serta penurunan progersi fibrosis yang bermakna. Di samping khasiat lamivudin untuk

menghambat fibrosis, Peek dan kawan-kawan telah membuktikan pada hewan percobaan yang

terinfeksi VHB, bahwa pemberian lamivudin sedini mungkin dapat mencageah terjadinya

hepatoselluler.

Pada penggunaan lamivudin terdapat keuntungan dan kerugian. Salah satu keuntungan

utama dari lamivudin adalah keamanan, toleransi pasien, serta harganya yang relative murah.

Kerugiannya adalah seringnya timbul kekebalan. Dalam penggunaan lamivudn juga dapat

mengalami kekambuhan akut (flare up) seteleha penghentia terapi lamivudin. Sekitar 16%

hepatitis B kronik yang mendapatkan pengobatan lama lamivudin mengalami kenailkan

konsentrasi ALT 8-24 minggu setelah lamivudin dihentikan. Pada umumnya reaktivasi infeksi

VHB tersebut tidak disertai ikterus dan kebanyakan akan hilang sendiri. Pada sebagian kecil

kasus dapat terjadi gejala-gejala hepatitis akut bahkan gagal hati. Keadaan ini disebabkan

karena terjadinya reinfeksi sejumlah sel-sel hati yang sehat akibat dihentikannya lamivudin

Page 5: Penatalaksanaan Hepatitis b Kronik

yang diikuti dengan respon imun yang mirip hepatitis B akut. Karena itu pada semua pasien

hepatitis B kronik yang mendapatkan terapi lamivudin perlu dilakukan monitoring dengan

seksama setelah pengobatan dihentikan,

2. Adefovir dipivoksil

Adefovir dipivoksil adalah suatu nuklosid oral yang menghambat enzim reserve

transkcriptase. Mekanisme khasiat adefovir hamper sama dengan lamivudin. Walaupun

adefovir dapat juga dipakai untuk terapi tunggal primer, namun karena alasan ekonomik dan

efek adefovir, maka pada saat ini adefovir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap

lamivudin. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg tiap hari. Sampai sekarang kekebalan

terhadap adefovir belum pernah dilaporkan. Salah satu hambatan utama dalam pemakaian

adefovir adalah toksisitas pada ginjal yang sering dijumpai pada dosis 30 mg atau lebih.

Keuntungan penggunaan adefovir adalaha jarangnya terjadi kekebalan. Dengan begini

obat ini merupakan obat yang ideal untuk pengobatan hepatitis B kronik dengan penyakit hati

yang parah. Kerugiannya adalah harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai

khasiat dan keamanan dalam jangka yang sangat panjang.

Sumber : Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2009. h. 653-660