pemikiran sayyid muhammad rasyid ridha (s …repositori.uin-alauddin.ac.id/1210/1/andi...
TRANSCRIPT
PEMIKIRAN SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA
DALAM PENGEMBANGAN ISLAM
(Suatu tinjauan Historis)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih GelarSarjana Humaniora Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
pada Fakultas Adab dan HumanioraUIN Alauddin Makassar
Oleh
ANDI MAPPIASWANNIM. 40200111006
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORAUIN ALAUDDIN MAKASSAR
2015
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Andi Mappiaswan
NIM : 40200111006
Tempat/Tgl. Lahir : Bulukumba/06 Februari 1993
Jur/Prodi/Konsentrasi : Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas/Program : Adab dan Humaniora
Alamat : Desa Salemba Kec. Ujungloe Kab. bulukumba
Judul : Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
dalam Pengembangan Islam (suatu tinjauan historis).
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini
benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia
merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau
seluruhnya, maka Skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Makassar, 12 November 2015
Penyusun,
Andi MappiaswanNim: 40200111006
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul “Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam
Pengembangan Islam (Suatu Tinjauan Historis)” yang disusun oleh Saudara Andi
Mappiaswan Nim 40200111006, mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar, telah diujikan dan
dipertahankan dalam Sidang Ujian Munaqasyah yang diselenggarakan pada hari
Jum’at, 18 Desember 2015 bertepatan dengan tanggal 7 Rabiul Awal 1437 H,
dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Strata Satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum), dengan
beberapa perbaikan.
.
Makassar, 12 Desember 2015 M7 Rabiul Awal 1437 H
DAFTAR PENGUJI
Ketua : Dr. Abd. Rahman R., M.Ag. ( )
Sekretaris : Drs. Nasruddin, MM. ( )
Munaqisy I : Dra. Susmihara, M.Pd. ( )
Munaqisy II : Drs. Muh. Idris, M.Pd. ( )
Pembimbing I : Dr. H. Barsihannor, M.Ag. ( )
Pembimbing II : Drs. Abu Haif, M. Hum. ( )
Diketahui oleh:Dekan Fakultas Adab dan HumanioraUIN Alauddin Makassar
Dr. H. Barsihannor, M.Ag.NIP. 19691012 199603 1 003
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Pembimbing penulisan skripsi saudara Andi Mappiaswan Nim:
40200111006, Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam pada Fakultas
Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar, setelah dengan seksama meneliti
dan mengoreksi skripsi yang bersangkutan dengan judul, “Pemikiran Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha dalam Pengembangan Islam Suatu Tinjauan Historis,”
memandang bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat
disetujui untuk diajukan ke sidang munaqasyah.
Demikian persetujuan ini diberikan untuk diproses lebih lanjut.
Samata, November 2015
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Barsihannor, M. Ag. Drs. Abu Haif M.Hum.NIP.19691012 199603 1 003 NIP.19691210 199403 1 005
Mengetahui
Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Drs. Rahmat, M.Pd.I
NIP. 19680904 199403 1 002
iv
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيمAlhamdulillah,puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., yang telah
melimpahkan segala nikmat, rahmat, dan inayah-Nya, sehingga penulisan
Skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam penulis kirimkan kepada
Nabi Muhammad Saw., dan sahabat-sahabatnya, serta orang-orang yang
mengikuti risalahnya.
penyusun berdoa, mudah-mudahan karya ini bermanfaat bagi semua,
khususnya civitas akademika UIN Alauddin Makassar dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan yang merupakan salah satu tri darma perguruan tinggi kepada berbagai
pihak, penyusun mohan maaf atas kesalahan dan ketidak disiplinan, dan kepada
Allah penyusun beristigfar atas dosa baik yang disengaja maupun yang tidak
disengaja.
Penulis telah banyak mendapat bantuan, motivasi dan bimbingan dari
berbagai pihak. Untuk itu patut diucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan
Kepada kedua orang tua, Ayahanda A. Syamsir M dan Ibunda Nuraedah tercinta
yang dengan penuh kasih sayang, pengertian dan iringan doanya dan telah mendidik
dan membesarkan serta mendorong penulis hingga menjadi manusia yang lebih
dewasa.
v
Skripsi ini berjudul, Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam
Pengembangan Islam (Suatu Tinjauan Historis). Dalam proses penulisan sampai
tahap penyelesaian, penulis banyak mendapat bantuan dari segenap pihak.
Ucapan syukur dan terima kasih kepada mereka, terkhusus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Musafir Pababbari M.Si., selaku rektor dan para Wakil
Rektor.
2. Bapak Dr. H. Barsihannor M.Ag., selaku Dekan Fakultas Adab dab Humaniora
UIN Alauddin Makassar.
3. Bapak Dr. Abdul Rahman M.Ag., selaku Wakil Dekan I, Ibu Dr. Syamzan
Syukur M.Ag., selaku Wakil Dekan II, dan Bapak Dr. Abdul Muin M.Hum.,
selaku Wakil Dekan III Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar.
4. Bapak Drs. Rahmat, M. Pd,I., selaku Ketua Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam
dan Bapak Drs. Abu Haif, M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi
jurusan.
5. Bapak Dr. H. Barsihannor M.Ag., dan Bapak Drs. Abu Haif M.Hum., selaku
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu membimbing,
mengarahkan dan memberikan kontribusi penting untuk penulis selama
proses penyelesaian Skripsi ini.
6. Teman-teman serta kerabat penulis dan para mahasiswa Sejarah dan
Kebudayaan Islam di UIN Alauddin Makassar, yang penulis tidak bisa
vi
menyebutkan satu-persatu, disadari telah banyak membantu, memotivasi
dan memberi inspirasi kepada penulis selama menempuh pendidikan Strata
Satu.
Semoga Allah Swt., memberikan balasan pahala yang setimpal kepada
mereka. Penulis berdoa, agar mereka senantiasa mendapat naungan rahmat dan
hidayah Allah Swt., Akhirnya, segala kerendahan hati, penulis mengharapkan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi penulis
sendiri.
Makassar, 12 November 2015Penulis,
Andi MappiaswanNim: 40200111006
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iii
KATA PENGANTAR..................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... ix
ABSTRAK.. ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1-12
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Deskripsi Fokus Penelitian ......................................................... 5
D. Kajian Pustaka............................................................................ 6
E. Metodologi Penelitian................................................................. 7
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 10
BAB II BIOGRAFI SINGKAT SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA11-26
A. Kelahiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha............................... 13
B. Latar Belakang Pendidikan ......................................................... 14
C. Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha .................................... 20
D. Wafat.......................................................................................... 26
BAB III KARYA SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA.............. 27-40
A. Penulisan Tafsir al-Manar ........................................................... 28
B. Metodologi Kitab Tafsir ............................................................. 32
C. Contoh Penafsiran al-Manar........................................................ 36
viii
BAB IV PEMIKIRAN PEMBAHARUAN SAYYID MUHAMMAD
RASYID RIDHA.......................................................................... 41-54
A. Pembaharuan Bidang Keagamaan ............................................. 41
B. Pembaharuan Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan........... 47
C. Pembaharuan Bidang Sosial Politik .......................................... 51
BAB V PENUTUP.................................................................................. 55-57
A. Kesimpulan .............................................................................. 55
B. Implikasi .................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 58-59
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... 60
ix
TRANSLITERASI
A. Trasnliterasi Arab
1. Konsonan
Berikut huruf Arab yang ditransliterasi ke dalam huruf Latin;
ا = a د = d ض = ḍ ك = k
ب = b ذ = ż ط = ṭ ل = l
ت = t ر = r ظ = ẓ م = m
ث = ṡ ز = z ع = ‘ ن = n
ج = j س = s غ = g و = w
ح = ḣ ش = sy ف = f ھـ = ’
خ = kh ص = ṣ ق = q ي = y
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya, tanpa diberi
tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau akhir maka ditulis dengan tanda (’).
Tā’ al-Marbūţah ditransliterasi dengan (ة) “t”, tetapi jika ia terletak di akhir
kalimat, maka ia ditransliterasi dengan “h”, misalnya; al-risālat al-mudarrisah;
al-marhalat al-akhīrah.
2. Vokal dan Diftong
a. Vokal (a, i, u) b. Diftong (aw, ay) :
Bunyi Pendek Panjang Bunyi Tulis Contohfathah a ā او aw qawlkasrah i ī اي ay bayn
dammah u ū
x
3. Kata Sandang
Kata sandang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan huruf .ا ل Dalam
penelitian ini kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti
oleh huruf syamsiyah dan huruf qomariyah. Kata sandang ditulis terpisah dengan
kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Sebagai
contoh; al-syamsu, al-zalzalah, al-falsafah dan lainnya.
B. Daftar Singkatan
Beberapa singkatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. swt. = Subhanahu wa ta’ala
2. saw. = Sallalahu ‘alaihi wa sallam
3. a.s = ‘alaihi al-salam
4. H = Hijriah
5. M = Masehi
6. w. = wafat tahun
7. QS.../...:4 = QS al-Baqarah/2:4
8. HR = Hadis Riwayat
xi
ABSTRAK
Nama : Andi MappiaswanNim : 40200111006Judul : Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam
Pengembangan Islam (Suatu Tinjauan Historis).
Skripsi ini merupakan hasil penelitian tentang sejarah sebuah Tokoh yangsangat berperan penting dalam mengembangkan Islam dan Pendidikan Islam, yakniTentang Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Pengembangan Islam,yang meneliti dua permasalahan, yaitu: Bagaimana Biografi Sayyid MuhammadRasyid Ridha dan Bagaimana Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalamPengembangan Islam.
Skripsi ini menggunakan metodologi penelitian dengan jenis penelitiankualitatif deskriptif dan menggunakan pendekatan historis, kemudian penulisanskripsi ini dimulai dengan tahap pengumpulan data (heuristik) melalui metodelibrary research dan field research dengan mengadakan observasi, interview dandokumentasi, kemudian data yang terkumpul di kritik sumber melalui dua metodeyaitu kritik ekstrn dan kritik intern, di interpretasi atau pengolahan dan analisis datamenggunakan dua metode yaitu analisis dan sintesis dan historiografi.
Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha maka ada tiga jenis pemikiranyang akan disimpulkan yaitu pemikiran agama, pemikiran pendidikan danpengetahuan serta pemikiran politik. Pemikiran agama seorang Ridha bisa dikatakansama seperti pemikiran Muhammad Abduh. Ia menyadari bahwa umat Islammengalami kemunduran karena tidak menganut ajaran-ajaran Islam yangsebenarnya. Hal ini dikarenakan banyak faham-faham yang tidak sesuai masuk kedalam tubuh Islam, seperti segala khurafat, takhayul, bidah, jumud dan taklid. Lebihlanjut dalam pemikiran pendidikan dan pengetahuan seorang Ridha mengemukakanbahwa umat Islam dianjurkan memiliki satu kekuatan untuk menghadapi beratnyatantangan dunia modern.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekuasaan Islam mulai menurun di penghujung abad XVII M. Titik awal
penurunan itu dimulai dari kekalahan-kekalahan yang diderita oleh angkatan perang
Turki dalam pertempuran-pertempuran dengan kekuatan-kekuatan bangsa Eropa.
Mesir sebagai salah satu daerah kekuasaan Turki tidak terlepas dari gangguan
bangsa Eropa. Tahun 1798 M, Mesir yang merupakan pusat kebudayaan Islam
terbesar saat itu jatuh ketangan Prancis.1
Salah satu faktor penyebab kekalahan dan kemunduran Islam pada masa itu,
dikarenakan terlenanya umat Islam akan kejayaan Islam pada masa lalu dan
banyaknya umat Islam yang disibukkan dengan masalah-masalah agama tanpa ingin
mempelajari dan ingin membahas lebih dalam masalah pendidikan. Inilah yang
menyebabkan tertutupnya pintu Ijtihad, dikarenakan umat Islam banyak yang
bersifat taqlik dan banyaknya perselisihan antar mazhab. Tidak hanya itu, banyak
para pemimpin yang tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya karena para
pemimpin banyak yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kesenangan
pribadinya.
Dari berbagai masalah-masalah yang terjadi, pemuka Islam mulai
memikirkan cara untuk mengatasi hal tersebut. Dengan cara menimbulkan ide-ide
1“Perkembangan Modern dalam Islam”, (Riau: Lembaga Penelitian dan PerkembanganFakultas Ushuluddin UIN SUSKA dan Yayasan Pusaka Riau, 2002), h. 55
2
yang dapat membawa pembaharuan dikalangan umat Islam. Salah satu pemuka
Islam yang resah terhadap kemunduran Islam pada masa itu adalah Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ingin mengadakan
pembaharuan disegala bidang. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha melihat umat
Islam banyak mengikuti peradaban Barat dan banyak meninggalkan nilai-nilai
keislaman serta banyak umat Islam yang terpecah belah oleh perebutan kekuasaan.
Selain dalam hal pemikiran modern, arah pembaharuan pemikiran Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan sang guru, Muhammad
Abduh. Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha antara lain dalam bidang agama, pendidikan, dan politik. Di bidang
agama, Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi
mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktikkan pada masa
Rasulullah Saw., dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan
lebih banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafat.2
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menegaskan jika umat Islam ingin maju,
mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan sunnah. Ia membedakan
antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah Swt.) dan masalah
muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Adapun masalah yang pertama
menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, telah tertuang dalam Alquran dan hadis,
yang ketentuannya harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi
masyarakat terus berubah dan berkembang.
2Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
3
Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti
keadilan, persamaan, dan hal lain. Namun, pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan
kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi
dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar
ajaran Islam. Di bidang pendidikan, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berpendapat
bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia
banyak menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya
bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan.
Dalam bidang ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha pun berupaya
memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum.
Sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di Kairo pada tahun 1912
yang diberi nama Madrasah Ad-Da’wah wa Al-Irsyad.3 Dalam bidang politik,
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan Islam). Sebab, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha banyak melihat
penyebab kemunduran Islam antara lain karena perpecahan yang terjadi di kalangan
mereka sendiri. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali dibawah
satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu
sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha adalah seorang tokoh muslim modern
yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran rasional. Salah satu karya yang
3Muhammad ibn ‘Abdillah al-Salman, Rasyid Ridha wa Da’wah al-Syaykh Muhammad ibn‘Abdulwahhab, (Kuwait: Maktabah al-Ma’la, 1409 H/1998 M)
4
terkenal di bidang Tafsir al-Qur’an al-Hakim adalah Tafsir al-Manar yang ditulis
bersama gurunya Muhammad Abduh.
Dalam Sejarah pemikir Islam modern, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
merupakan tokoh pembaharu Islam yang hidup pada kondisi zaman dalam
kekacauan dan keterpurukan lantaran kebanyakan mereka telah meninggalkan
petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha berupaya mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan masyarakat dan
kehidupan serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan abadi, yang
selalu sesuai dengan kebutuhan manusia disegala waktu dan tempat.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha memiliki visi bahwa umat Islam harus
menjadi umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat yang maju
sehingga dapat bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-bangsa barat diberbagai
bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha juga berusaha meneruskan cita-cita al-Urwah al-
Wutsqa majalah yang memuat ide-ide pemikiran Syekh Jamaluddin al-Afgani dan
Syekh Muhammad Abduh yaitu memberantas bid’ah, khurafat, takhayul,
kepercayaan jabar, dan fatalis, paham-paham yang keliru tentang qada dan qadar,
praktek-praktek bid’ah dalam tarekat sufi, meningkatkan mutu pendidikan Islam.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha adalah satu dari sekian banyak pembaru,
yang telah banyak menyumbangkan banyak ide dan pemikirannya bagi kemajuan
umat. Hal itulah yang melatar belakangi dilakukannya penelitian ini.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan dalam latar belakang, maka penulis membatasi
persoalan riwayat hidup, karya, dan pemikiran. Untuk itu penulis menetapkan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha?
2. Bagaimana Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Pengembangan
Islam?
C. Deskripsi Fokus Penelitian
Penelitian ini terfokus pada rangkaian kehidupan Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha. Fokus penelitian ini berdasarkan judul penelitian yang ditetapkan dalam
penelitian, yakni Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha Dalam
Pengembangan Islam. Upaya dalam mengelaborasi pemikiran tersebut, berangkat
dari penelusuran penulis terhadap sejarah hidupnya. Tentu saja penelusuran tersebut
dengan tinjauan historis yang penulis usung dalam penelitian ini.
Selanjutnya, penulis menekankan penelitian ini terhadap pemikiran Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha terhadap pengembangan Islam. Ada dua hal yang perlu
dilakukan sebelum melihat pengembangan Islam secara general sebagai akibat dari
pemikiran Rasyid Ridha.
Pertama, terlebih dahulu penulis meninjau karya-karya Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha yang tentu termotivasi oleh pendidikan serta perjalanan hidup yang ia
alami.
6
Kedua, penulis akan meninjau pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
dalam beberapa aspek yaitu dalam bidang agama, pendidikan dan politik. Kesemua
hal tersebut diharapkan mampu memberi jawaban terhadap fokus penelitian penulis
yaitu pengaruh pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha terhadap
pengembangan Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan usaha untuk menujukkan sumber-sumber yang
terkait dengan judul skripsi ini, sekaligus menelusuri tulisan atau penelitian tentang
masalah yang dipilih dan juga untuk membantu penulisan dalam menemukan data
sebagai bahan perbandingan, supaya data yang dikaji lebih jelas.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa literatur sebagai
bahan bacaan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Diantara literatur yang penulis
pergunakan dalam menyusun skripsi ini, antara lain:
Dalam buku yang ditulis oleh A.Athaillah berjudul Konsep Teologi Rasional
Dalam Tafsir Al-Manar diterbitkan di Jakarta tahun 2006. Dalam buku tersebut
dijelaskan tentang biografi sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan tokoh yang
berpengaruh. Salah satu tokoh yang akan dibahas yaitu sayyid Muhammad Rasyid
Ridha.
Buku yang ditulis oleh Hammim, ilyas berjudul Dan Ahli Kitab Pun Masuk
Surga diterbitkan di Yogyakarta pada tahun 2005. Dalam buku tersebut
menguraikan tentang karya-karya yang dihasilkan semasa hidup Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha.
7
Dalam Jurnal Studia Islamika yang ditulis oleh Ridha, Muhammad rasyid
ridha yaitu Tafsir al-Manar, juz 4 (Beirut: Dar kutub al-Ilmiah,t.th). Dalam buku
tersebut menguraikan tentang pemikiran-pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha dalam hal pemikiran Agama, Pedidikan, dan Politik.
Sejauh pengamatan penulis, pembahasan skripsi tentang Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha sudah dikaji secara deksriptif. Untuk itu penulis mencoba mengangkat
tokoh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam penelitian ini dengan titik tekan pada
biografi, karya, serta pemikirannya.
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini disusun berdasarkan sumber kepustakaan (library research)
berupa buku, jurnal, media elektronik maupun sumber-sumber ilmiah lainnya yang
berhubungan dengan penulisan. Dalam pembahasan penelitian ini menggunakan
model deskriptif analitik, yaitu berusaha menggambarkan secara objektif keadaan
yang sebenarnya dari masalah-masalah yang diteliti, kemudian dianalisa sehingga
menjadi jelas dan diketahui letak pemikirannya.4
Sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu yang terikat pada prosedur
ilmiah. Suatu karya ilmiah pada dasarnya merupakan hasil dari penyelidikan yang
bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menuju kebenaran. Sejarah
sebagai ilmu mempunyai metode dalam menghimpun data sampai menyajikan
dalam bentuk cerita ilmiah. Oleh karena itu studi dan bentuk penelitian ini bersifat
historis, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah, yaitu suatu proses
4A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 62
8
mengumpulkan data dan menafsirkan suatu gejala peristiwa atau gagasan yang
timbul di masa lampau.
Adapun tahap-tahap metode sejarah yang timbul dalam penelitian yakni:
1. Tahapan Heuristik atau pengumpulan Data
Untuk dapat mengumpulkan data sesuai dengan objek pembahasan, maka
penulis melakukan pencarian terhadap sumber-sumber yang dimaksud, baik di
perpustakaan, melalui internet, maupun peminjaman buku kepada pihak personal.
Ada beberapa perpustakaan yang penulis kunjungi untuk mendapatkan referensi
yang dibutukan, antara lain: perpustakaan Umum UIN Alauddin Makassar, Jurnal
Penelitian maupun dalam pencarian sumber referensi di internet menggunakan
mesin pencari (Search Engine) www.google.com. Penulis juga melakukan
pencarian tentang karya-karya yang memberikan informasi mengenai Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha dan segala yang terkait berupa buku, jurnal penelitian
maupun media elektronik lainnya.
2. Tahapan Verifikasi atau Kritik Sumber
Kritik sumber adalah suatu usaha menganalisa, memisahkan dan mencari
suatu sumber untuk memperoleh keabsahan sumber yang dibutuhkan. Dalam hal ini,
dilakukan penyeleksian apakah data tersebut akurat ataukah tidak, baik dari segi
bentuk maupun isinya sehingga dapat dipertanggujawabkan. Berdasarkan data yang
didapat, penulis berusaha melaukan kritik sumber, baik intern maupun ekstern untuk
mendapatkan objektifitas. Kritik intern dilakukan dengan menganalisa dan
menjabarkan isi yang terdapat dalam data yang diperoleh. Fokus dalam kritik intern
9
ini ditujukan pada buku-buku yang berkaitan degan eksistensi Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha di dunia politik.
Sedang kritik ekstern bertujuan untuk mengetahui kedekatan pengarang
buku guna mengetahui orisinalitas data. Kritik ekstern dilakukan terhadap sumber-
sumber yang digunakan sebagai bahan referensi.
3. Tahapan Interpretasi atau Penafsiran
Interpretasi atau sering disebut juga analisa (penafsiran). Analisa sendiri
mempunyai pengertian menguraikan dan secara terminologi berbeda dengan sistensi
yang berarti menyatukan, namun kedua metode ini merupakan hal yang paling
utama dalam interpretasi. Tahap ini penting karena merupakan upaya untuk
mengkronologiskan sebuah peristiwa sejarah, sehingga menghasilkan konstruksi
sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan. Interpretasi dilakukan dengan
menganalisa hal-hal berkaitan dengan pembahasan yang terdapat dalam referensi,
sehingga diharapkan dapat menemukan jawaban atas permasalahan yang ada. Bukti
fakta sejarah tidak dapat menjelaskan apapun tanpa dibarengi dengan tafsiran
manusia. Dalam tahap ini penulis melakukan analisa terhadap sumber data yang
telah diverifikasi dalam tema-tema tertentu. Apabila terdapat data yang berbeda
dalam suatu permasalahan yang sama, penulis membandingkannya antara data yang
satu dengan yang lainnya untuk menentukan yang lebih mendekati kebenaran.
Berdasarkan teori yang dipakai penulis mencoba mengorganisasikan data
berdasarkan tema-tema yang dibuat dan kemudian didapat kesimpulan. Pada tahap
ini dilakukan analisa terhadap peran yang berkaitan dengan penelitian ini.
10
4. Tahapan Historiografi atau Penulisan
Tahap ini adalah tahap akhir dari penelitian dengan menghubungkan
peristiwa yang satu dengan yang lain sehingga menjadi sebuah rangkaian sejarah.
Tahap ini merupakan penyajian hasil penelitian dari data yang diperoleh ke dalam
bentuk penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah
dilakukan sebagai penulisan sejarah. Penulis berusaha menyajikan penulisan skripsi
ini berdasarkan sistematika yang telah disajikan.
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perihal riwayat hidup Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha, karya serta pemikirannya sehingga menghasilkan suatu
simpulan yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
pengetahuan sejarah di Indonesia.
Adapun kegunaan dalam penelitian ini adalah:
1. Menambah dan melengkapi perbendaharaan bahan kepustakaan disiplin ilmu
sejarah, khususnya tentang tokoh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
2. Meningkatkan pengetahuan keilmuan para peminat studi sejarah Islam,
terutama sejarah karya dan pemikiran Islam terkait dengan tokoh Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha.
3. Menjadi cermin dan pelajaran berharga bagi umat Islam Indonesia generasi
mendatang terhadap perkembangan sejarah intelektual di Indonesia.
4. Sebagai sumbangan ilmiah terhadap literatur keislaman yang kiranya perlu
dikembangkan.
13
BAB II
BIOGRAFI SINGKAT
SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA
A. Kelahiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalamun wilayah
pemerintahan Tarablus Syam pada tahun 1282 H/1865 M. Qalamun adalah sebuah
desa yang terletak di pantai Laut Tengah, sekitar tiga mil dari Kota Libanon. Saat
itu Libanon merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki Utsmani.1 Perlu
dipahami saat itu pada pertengahan abad ke 19, Turki Ustmani atau Ottoman
merupakan Daulah Islamiyah sekaligus masih merupakan salah satu negara
adikuasa di Dunia.
Nama lengkap Rasyid Ridha adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn
Muhammad Syamsuddin Ibn Muhammad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah.
Keluarganya dari keturunan terhormat berhijrah dari Bagdad dan menetap di
Qalamun. Kelahirannya tepat pada 27 Jumadil Tsani tahun 1282 H/18 Oktober
tahun 1865 M.2 Kota kelahirannya adalah daerah dengan tradisi kesalehan Sunni
yang kuat, tempat tarekat-tarekat memainkan peranan aktifnya.3 Melalui hal ini
1A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar (Cet. I:Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 26
2Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan oleh MuhammadYasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format Peradaban Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005), h.1
3Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis diterjemahkan oleh Ade Alimah, dengan judul Sufidan Anti-sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h.146
14
dapat terlihat bahwa setting sosial daerah tarekat sangatlah kental terhadap dasar
keagamaan seorang Ridha.
Ayah dan Ibu Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan al-
Husayn putra Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah, Putri Rasulullah itu sebabnya
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menyandang gelar al-sayyid di depan namanya
dan sering menyebut tokoh-tokoh ahl al-bayt seperti Ali ibn Abi Thalib, al-Husyan
dan Ja’far al-Shadiq dengan Jadduna (nenek moyang kami).4 Hal ini mungkin
karena ayahnya yang bernama al-Sayyid Ali-Ridha adalah seorang Sunni yang
bermahzab Syafi’i.5
B. Latar Belakang Pendidikan
Semasa kecilnya (usia tujuh tahun), Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang
tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalmun. Rasyid Ridha juga belajar pada
sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di
kampungnya yang ketika itu dinamai al-kuttab; di sana ia diajarkan membaca Al-
Qur’an, menulis dan dasar-dasar berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya,
Rasyid kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku
4Fahd al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir, (Beirut:Mu’assasah al –Risalah, 1981 M) h.172
5Muhammad Ibn Abdillah al-Salman, al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih (Cet. I Riyadh:Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah, 1933), h. 18.
15
daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi
dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.6
Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan dikampungnya
yang dinamai al-Kuttab, Ridha dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli (Libanon) untuk
belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan ilmu nahwu, sharaf, akidah, fiqih,
berhitung dan ilmu bumi, dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, karena
madrasah ini adalah milik pemerintah yang bertujuan untuk mempersiapkan sumber
daya manusia yang akan menjadi pegawai pemerintahan Turki Usmani.7 mengingat
Libanon waktu itu ada dibawah kekuasaan kerajaan Usmani.
Sayyid Muhammad Ridha tidak tertarik pada sekolah tersebut, setahun
kemudian dia pindah ke sekolah Islam Negeri Madrasah Wathaniyyah Islamiyyah
yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis.8 Sekolah ini
dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak
mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan
keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah
Turki.9 Dari Syaikh inilah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mendapat kesempatan
6Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha’ al-Imam al-Mujahid (Kairo: al-MuassasahMishriyyah al-Ammah, t.th), h.19
7Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al–Imam al-Mujahid, (Kairo: al-MuassasahMishiyyah al-Ammah,t.th), h.19
8A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 25
9A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 26.
16
menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin
majalah al-Manar.
Guru Sayyid Muhammad Rasyid Ridha bernama Syaikh Husain al-Jisr
dikenal sebagai ulama yang berfikiran modern merupakan pemimpin tarekat
Khalwatiyah10, diketahui pula bahwa gurunya al-Qawaqiji adalah seorang pengikut
Syadziliyah.11 Selain Syaikh Husain al-Jisr, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha juga
belajar dari Syaikh Mahmud Nasyabah12 yang ahli dibidang hadis dan mengajarnya
sampai selesai dan karenanyalah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mampu menilai
hadis-hadis yang dhaif dan maudhu sehingga dia digelari “Voltaire13”-nya kaum
Muslim karena keahliannya menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam
bidang agama.
Sayyid Muhammad Ridha juga belajar dari Syaikh Abdul Gani ar-Rafi yang
mengajarkannya sebagian dari kitab hadis Nailul Authar (sebuah kitab hadis yang
dikarang oleh Asy-Syaukani yang bermadzhab Syiah Zaidiyah14), al-Ustad
10Ahmad al-Syarbashi, Rasyid Ridha Shahib al-Manar (Kairo: al-Majlis al-A’lai Syu’un al-Islamiyah, 1970), h. 239
11Ahmad al-Syarbashi, Rasyid Ridha Shahib al-Manar, h. 250
12Lihat lebih lanjut mengenai Syekh Muhammad Nasabah dalam Nurjannah Ismail,Perempuan dalam Pasungan (Cet. I: Yogyakarta: LKIS, 2013), h. 131
13Voltaire adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemukaagama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya RevolusiPrancis tahun 1789 M, Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah(Cet.I: Jakarta: PT Dunia Pustaka, 1978), h. 65
14Syi’ah Zaidiyah dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin. Ali Zainal Abidin yangmerupakan ayahandanya termasuk sosok yang cinta kepada para sahabat seperti Abu bakar, Umardan Utsman. Bahkan beliau menilai kalangan yang senantiasa mencaci maki para sahabat merupakankalangan yang melecehkan Islam dan bukan bagian dari Islam. Pemahaman ayahnya tersebutrupanya diikuti oleh anaknya, Zaid bin Ali. Zaid bin Ali Zainal Abidin merupakan sosok yang ‘alim,
17
Muhammad al-Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi dan Ridha selalu
hadir dalam diskusi mereka mengenai ilmu ushul dan logika.
Selama masa pendidikannya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha membagi
waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik keluarganya, ibunya
sempat bercerita: Semenjak Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dewasa, aku tidak
pernah melihat dia tidur karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun
sebelum kami terbangun.; Tidak itu saja, adiknya, Sayyid Shaleh pernah juga
berkata: Aku tadinya menganggap saudaraku Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
adalah seorang Nabi. Tetapi ketika aku tahu bahwa Nabi kita Muhammad Saw.,
adalah penutup seluruh Nabi, aku menjadi yakin bahwa dia adalah seorang wali.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang sangat luas, ia
memanfaatkannya untuk memberikan pengarahaan dan petunjuk kepada para
sahabatnya. Dalam kegiatannya dia selalu mengamati masalah-masalah yang terjadi
di kawasan negara tetangga, terutama masalah agama kemasyarakatan melalui surat
kabar dan majalah. Dia begitu tertarik dan terkesan kepada majalah al-Urwah al-
Wusqa yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afgani dan muridnya Syaikh Muhammad
Abduh. Pertemuan dengan kedua tokoh itu sangat didambakan dan dirindukannya,
tapi ia begitu menyesal karena ia sendiri tak dapat bertemu dengan Jamaluddin al-
Afgani sebab tokoh ini terburu meninggal dunia sebelum ia dapat menemuinya.
taqwa, pemberani, senatiasa berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah. Tim Penulis MUI, Mengenaldan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia (Cet I: Depok: Gema Insani, 2013), h. 33-34
18
Akhirnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berusaha menemui muridnya Syaikh
Muhammad Abduh dan langsung berangkat ke Mesir pada tahun 1879 M.15
Pertemuan antara Murid dan Guru: Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan
Muhammad Abduh, bermula dari interaksi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
dengan Majalah Al-‘Urwah Al-Wusqa’, majalah yang diterbitkan oleh Jamaludin
Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris. Tulisan-tulisan kedua pembaharu
tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar kepada Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha, sehingga mampu merubahnya dari pemuda sufi menjadi menjadi
pemuda yang penuh semangat.16
Jika selama ini Sayyid Muhammad Rasyid Ridha hanya berusaha untuk
memperbaiki aqidah dan syari’ah serta mengajak masyarakatnya untuk menjauhi
kemewahan duniawi dengan melakukan zuhud, maka setelah mendapatkan
pengaruh dari majalah tersebut merubah mindset Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
dan berusaha untuk membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan
ajaran agama secara utuh serta membela Negara dengan ilmu pengetahuan dan
industri.
Pada bulan Rajab 1315 H. (1898 M) dia berhasil menemui Syaikh
Muhammad Abduh seorang pejuang dan ilmuan yang sangat diharapkan ilmu dan
nasihat-nasihatnya. Usul dan saran pertama yang ditujukan Sayyid Muhammad
15Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), h. 45
16Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 46
19
Rasyid Ridha kepada Syaikh Muhammad Abduh adalah agar ia menulis tafsir Al-
Qur’an dengan metode yang digunakan dalam penulisannya di majalah al-Urwah al-
Wustqa. Setelah kedua orang ulama itu berdialog akhirnya Syaikh Muhammad
Abduh bersedia memberikan kuliah tafsir di Jami’ al-Azhar kepada murid-
muridnya.17
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha adalah termasuk orang paling tekun
mengikuti pelajarannya, sehingga tak pernah libur dari seluruh kegiatan yang
diadakan oleh Jami’al-Azhar itu. Maka ditulisnya semua apa yang telah didengarnya
serta diadakan beberapa tambahan keterangan bagi masalah yang menurut Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha perlu diterangkan. Dalam penulisannya dia selalu
mengadakan konsultasi dengan gurunya, hingga semua tulisannya telah diadakan
koreksi dan pembetulan seperlunya. Oleh karena itu pantas jika ia disebut sebagai
pewaris pertama yang menerima ilmu Syaikh Muhammad Abduh, sebab ia adalah
orang yang paling banyak menerima dan menulis pelajaran dari gurunya, baik
ketika Muhammad Abduh masih hidup maupun sesudah wafatnya. Dalam
penulisannya, ia tidak pernah menyimpang dari metode yang ditempuh oleh
gurunya, dan tidak pula menyimpang dari jalan pikirannya. Oleh karena itu, Syaikh
Muhamad Abduh berkata: ‘pemilik al-Manar adalah penerjemah pikiran saya”, dan
salah seorang dari murid Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berkata: Imam
Muhammad Abduh pernah mengomentari sifat Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
17A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 2
20
bahwa dia telah menyatu dengan Muhammad Abduh dalam ‘akidah, pikiran,
pendapat, akhlak dan amalnya.18
Setelah Muhammad Abduh wafat, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
kembali ke Damaskus pada tahun 1908 M, tetapi tak lama setelah itu dia
meninggalkan kota Damaskus dan kembali lagi ke Mesir serta mendirikan
Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad. Kemudian ia melanjutkan ke Suriyah dan di sana
dia terpilih sebagai ketua Muktamar Suriyah. Pada Tahun 1920 M. dia kembali lagi
ke Mesir dan waktu itu dia sempat berkunjung ke India, Hijaz dan Eropa, dan
akhirnya menetap selamanya di Mesir sambil meneruskan perjuangannya di Kairo.
Pada tahun 1935 M. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha wafat dan dimakamkan di
Kairo.19
C. Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sangat terpengaruh oleh Ihya Ulum ad Din
karya al-Gazali. Kitab Ihya Ulum ad-Din membantu membentuk pandangannya
bahwa umat muslim harus secara sadar menghayati (menginternalisasikan)
keimanannya, dan melampaui ketaatan-ketaatan lahiriyah belaka, serta harus selalu
menyadari implikasi etis dari tindakan-tindakannya. Kitab Ihya Ulum ad-Din
mendorong Sayyid Muhammad Rasyid Ridha muda untuk berkonsentrasi kepada
persiapan spiritual untuk kehidupan akhirat. Kitab tersebut tidak hanya menarik
18A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 89
19Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2009), h.56
21
minatnya untuk berulang kali membacanya, tetapi telah menjadi gurunya yang
pertama dalam membentuk kepribadiannya.20 Sewaktu dalam pengaruh al-Ghazali
itulah, kata Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ia mengikuti tarekat
Naqsyabandiyyah, mengamalkan ajaran-ajarannya, dan melaksanakan latihan-
latihan ‘uzlah yang sangat berat.
Beberapa tahun kemudian setelah tekun menjalani kehidupan sufi dan
mengamalkan ajaran-ajaran tarekat, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menyadari
banyakanya bidah dan khurafat yang terdapat dalam ajaran-ajaran tasawuf dan
tarekat tersebut. Karena itu, ajaran-ajaran tersebut ditinggalkannya. Bahkan,
sikapnya terhadap ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat, tidak hanya sampai disitu,
tetapi ia membimbing masyarakatnya agar meninggalkan ajaran-ajaran yang telah
bercampur baur dengan bidah dan khurafat tersebut.Yaitu dengan membuka
pengajian untuk kaum pria dan pengajian untuk kaum wanita, menebang pohon-
pohon yang dianggap keramat dan membawa berkah, dan melarang masyarakat
mencari berkah dari kuburan-kuburan para wali atau bertawasul dengan para wali
yang telah wafat.21
Perubahan sikap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha terhadap ajaran tasawuf
dan tarekat muncul setelah ia mempelajari kitab-kitab hadits dengan tekun.
Perubahan sikapnya terhadap ajaran-ajaran tersebut semakin terlihat dengan jelas
setelah ia terpengaruh oleh ide-ide pebaharuan Syekh Jamal al-Din al-Afghani dan
20Ahmad Ibrahim al-Adawi, op.cit., h. 36
21Muhammad ibn ‘Abdillah al-Salman, op.cit.,h. 36-38
22
Syekh Muhammad Abduh yang dimuat dalam majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang
mereka terbitkan di Paris, Prancis. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mulai
membaca majalah tersebut ketika ia masih belajar di Tripoli.
Melalui surat kabar ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengenal
gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-
Afghani, seorang pemimpin pembaharu dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh,
seorang pembaharu dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu
berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan
berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai,
karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh
dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan dan
dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam
dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kebodohannya.22
Di Libanon, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mencoba menerapkan ide-ide
pembaruan yang diperolehnya. Namun, upayanya ini mendapat tentangan dan
tekanan politik dari Kerajaan Turki Usmani yang tidak menerima ide-ide
pembaruan yang dilontarkannya. Akibat semakin besarnya tentangan itu, akhirnya
22Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan¸ h. 62
23
pada 1898 M, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti
gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana.
Di kota ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha langsung menemui
Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan
pengikut setia Abduh. Rasyid Ridha tidak hanya menjadi murid yang paling dekat
dan setia kepada Abduh tetapi menjadi mitra, penerjemah, dan pengulas pemikiran-
pemikirannya.
D. Cita – Cita Besar
Beberapa bulan setelah menetap di Mesir, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
mulai menerbitkan majalah al-Manar (Mercusuar) dengan persetujuan Muhammad
Abduh. Majalah tersebut dipersiapkan untuk menjadi corong dan media bagi
gerakan pembaruan Islam dalam memajukan umat Islam dan membebaskan mereka
dari belenggu penjajahan.
Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
berupaya mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan masyarakat dan kehidupan
serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan abadi, yang selalu
sesuai dengan kebutuhan manusia disegala waktu dan tempat.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha memiliki visi bahwasa” umat Islam harus
menjadi umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat yang
maju” sehingga dapat bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-bangsa barat
diberbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan
teknologi.
24
Beberapa ide-ide pembaruan yang dipublikasikan oleh Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha antara lain:
a. Kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan lantaran mereka tidak
lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku mereka juga sudah
banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Misalnya, anggapan
yang menyatakn bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan Rohani yang
membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya.
Padahal menurut ajaran agama, kebahagian dunia dan akhirat hanya dapat
diperoleh melalui amal usaha yang sesuai sunatullah.23
b. Kemunduran umat Islam juga disebabkan membudayanya paham fatalis
(Jabbariyyah). Sebaliknya salah satu sebab kemajuan bangsa Eropa dalah sudah
membudayanya paham ikhtiar (dinamis). Padahal Islam sendiri sebenarnya
berisi ajaran yang mendorong umatnya untuk bersifat dinamis. Ajaran tersebut
terkandung dalam kata jihad, yang berarti berusaha keras dan bersungguh-
sungguh dalam mencurahkan segenap pikiran, kekuatan, dan berkurban, baik
dengan harta benda maupun dengan jiwa raga.
c. Ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan Islam sudah sepantasnya
umat Islam yang mendambakan kemajuan, siap mempelajarinya. Kemajuan
yang pernah dicapai umat Islam pada zaman klasik adalah karena kemajuan
mereka dibidang ilmu pengtahuan. Namun, ilmu pengetahuan tersebut telah
23Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 72
25
diabaikan oleh umat Islam yang datang kemudian dan sebaliknya dikembangkan
oleh bangsa barat. Akibatnya Islam mengalami kemunduran sedangkan barat
mengalami kemajuan. Karena itu jika umat Islam mempelajari ilmu
pengetahuan dari barat, mereka sebenarnya mempelajari kembali ilmu
pengetahuan yang pernah dimiliki.
d. Islam itu sederhana, baik masalah ibadah maupun masalah muamalah. Ibadah
kelihatan ruwet, karena hal-hal yang sunah dan tidak wajib dijadikan hal-hal
yang wajib.Hukum-hukum fiqih yang berkenaan dengan kemasyarakatan meski
didasrkan pada al-Qur’an dan Hadits, tidak boleh dianggap absolut dan tidak
dapat diubah. Hukum-hukum itu ditetapkan sesuai dengan suasana tempat dan
zaman ia ditetapkan.
e. Dalam masalah politik, kemunduran umat Islam dalam bidang ini adalah karena
perpecahan, karena itu jika ingin maju maka harus mewujudkan persatuan dan
kesatuan yang didasarkan pada keyakinan, bukan hanya didasarkan pada bahasa
dan ethnis. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah
satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam
satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun,
negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam
bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin. Dia
menganjurkan pembentukan organisasi Al-jami’ah al-Islamiyah (Persatuan
Umat Islam) di bawah naungan khalifah. Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia
politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ia pernah menjadi Presiden
26
Kongres Suriah pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun
1921. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan
menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun
1931.24
E. Wafat
Setelah berjuang dengan segala kemampuan yang ada padanya untuk
kemajuan dan kejayaan Islam, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sebagai ulama
yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu pula berjuang selama hayatnya,
telah menutup lembaran hidupnya dalam usia 70 tahun pada kamis, pada tanggal 23
Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Sayyid Muhammad
Rasyid Rida wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai dengan senyuman.25
24Muhammad Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari FormatPeradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 87
25M. Quraish Shihab, op. cit., h. 63
27
BAB III
KARYA SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA
Majalah al-Manar mulai terbit pada tanggal 22 Syawal 1315 H/ 15 Maret
1898 M. Pada mulanya majalah tersebut terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam
seminggu, kemudian setengah bulan sekali, kemudian sebulan sekali, dan kadang-
kadang sembilan nomor dalam setahunnya. Majalah tersebut dapat diterbitkan
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha seorang diri hingga akhir hayatnya. Apa yang
telah dilakukan oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha adalah prestasi besar yang
sulit ditandingi orang lain. Selama al-Manar terbit, sebayak 34 jilid besar dan setiap
jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul seluruhnya.
Tafsir Al-Qur’an karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha itu berjudul Tafsir
al-Qur’an al Hakim (Tafsir Al-Manar)1 bagian pertamanya, yaitu surat al-Fatihah
sampai dengan surat an-Nisa ayat 125 merupakan hasil kerjasama dengan gurunya,
Syekh Muhammad Abduh. Sedangkan bagian keduanya, yaitu dari surat al-Nisa
ayat 126 sampai dengan surat Yusuf ayat 110 adalah hasil karyanya secara mandiri.
Karya-karya yang dihasilkan semasa hidup Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha pun cukup banyak. Antara lain, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh
‘Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida’ Li Al-Jins Al-
Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah
yang diturunkan kepada Muhammad Saw.), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-
1Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran /Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang,1994), h. 280
28
‘Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam),
Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam besar),
Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan
konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad
Saw.), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).
A. Penulisan Tafsir al-Manar
Secara mendetail tidak ada referensi atau penjelasan mengenai sebab
penulisan Tafsir al-Manar. Namun dari beberapa pengamat menyebutkan bahwa
pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari gagasan pemikiran dari tiga
tokoh pembaharu dalam Islam yaitu Jamaluddin al-Afgani, Syekh Muhammad
Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Meski mereka sepakat mengatakan
bahwa penulis karya Tafsir al-Manar ini adalah hasil tokoh yang ketiga.2
Syaikh Muhammad Abduh telah merintis kebangkitan ilmiyah dan
memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada
kesadaran Islam, upaya pemahaman sosiologis islam dan pemecahan agama
terhadap problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan itu
sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaludin al-Afgani, yang kepadanya
Muhammad Abduh berguru. Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas
al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya.3 Sayyid
2Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), h. 48
3Muhammad Ibn ‘Ismā’īl Abu Abdillāh al-Bukhāri, al-Jāmi’ al-Ṣahih al-Mukhtaṣar,(Bairūt: Dar Ibn Kathīr, 1987), h. 154
29
Muhammad Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah
tersebut, paling semangat dan mencatatnya dengan teliti. Maka dapatlah dikatakan
bahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah
nyata akal hal ini tampak jelas dalam tafsirya yang diberi nama Tafsir al-Quran al-
Hakim, populer dengan nama Tafsir al-Manar, nisbah kepada majalah al-Manar
yang diterbitkanya.
Namun, perlu diketahui bahwa pada mulanya tafsir ini merupakan materi
Abduh yang diajarkan di Masjid al-Azhar dan dicatat oleh muridnya bernama
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, yang kemudian berinisiatif tulisan-tulisannya itu
dijadikan sebuah buku tafsir, karena sebelumnya tulisannya disebuah majalah
tersebar luas dan berpengaruh terhadap negara-negara Arab. Kemudian semua
pengajaran Abduh dicatat oleh muridnya untuk kemudian dikoreksi kembali oleh
Abduh.4
Hal tersebut bermula dari ketertarikan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
terhadap artikel-artikel al-Urwah al-Wusqa yang pernah diterbitkan oleh al-Afghani
dan Abduh ketika keduanya bermukim di Prancis menumbuhkan obsesinya bisa
berguru kepada keduanya. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha tertarik kepada artikel-
artikel majalah itu. Mengenai usulan penafsiran al-Qur’an yang disampaikan oleh
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha kepada Abduh sempat mengalami kegagalan tiga
kali. Meskipun Muhammad Abduh menyadari akan pentingnya penulisan tafsir,
4A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar (Cet. I:Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 45
30
namun Abduh mempunyai alasan yaitu, tulisan dalam bentuk buku-buku tidak
bermanfaat bagi orang yang berhati buta. Kemudian metode ceramah lebih efektif
ketimbang penulisan.5
Namun pada akhirnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menyatakan
tekadnya siap menanggung kerugian material selama satu tahun sampai dua tahun
setelah penerbitan itu. Akhirnya abduh merestui penerbitan dan memilih nama al-
Manar dan dari sekian banyak nama yang diusulkan oleh Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha. Al-Manar terbit pertama kali pada 22 Syawal 1315H/17 Maret 1898
berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat dari
berbagai kalangan, baik itu dari Mesir maupun di luar Mesir, Eropa dan Indonesia
itu sendiri.6
Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Quran al-Hakim memperkenalkan
dirinya sebagai, “kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang
shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syari’at,
serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan
fungsi al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat.
Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-
5Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam. (Jakarta: PT RajaGrafidoPersada,2005), h. 2-3
6Lihat Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), h.64
31
istilah ilmu dan teknis sehingga dapat di mengerti oleh orang awam tetap tidak
dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendekiawan).7
Karenanya tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar untuk
dinisbahkan kepada Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, sebab di samping lebih
banyak yang ditulisnya, baik dari segi jumlah ayat maupun dari segi jumlah
halamannya, juga karena dalam penafsiran ayat-ayat surah al-Fatihah dan surah al-
Baqarah serta surah an-Nisa ditemui pula pendapat-pendapat Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha yang ditandai olehnya dengan menulis kata (أقول) aqulu “saya
berkata” sebelum menguraikan pendapatnya.8 Tetapi di bagian-bagian awalnya
(lima jilid pertama) memuat Tafsir Muhammad Abduh dengan menggunakan
pemikiran pembaharuan yang bisa menggugah kesadaran pembacanya untuk
mengkaji al-Qur’an lebih dalam.9
Adapun mengenai sistematika penulisan dalam tafsir al-Manar adalah
penulisan secara susunan mushafi. Sebagaimana dapat dilihat bahwa dalam
penafsiran al-Manar dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan al-Nas.
Kemudian, dilanjutkan dengan penjelasan ayat per ayat yang ada, lalu dikaitkan
dengan ayat qur’an lain beserta hadis yang terkait. Penjelasan yang ada dijabarkan
dengan mengemukakan asbabun nuzul, dan keutamaan ayat-ayat tersebut.
7Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir (Jakarta: BulanBintang,1994), h. 34
8Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yaogyakarta: Teras, 2005), h. 45
8Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Jakarta: Lintera antarnusa, 1992), h. 512
32
B. Metodologi Kitab Tafsir
Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha) hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh
oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat
kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan
umat yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal
mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola
kehidupan yang mendewakan akal. Sehingga muncul kelompok yang taqlid
(mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh bermaksud dalam setiap
penuangan pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk selalu
mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan
Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam
memahami al-Qur’an.
Mengenai metode yang digunakan oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
dalam penulisan kitab al-Manar, beliau menggunakan metode tahlili dalam
tafsirannya. Hal ini dapat terlihat dari adanya penafsiran dan penjelasan dalam per
ayat, dengan menjelaskan makna yang terkandung dalam kata per kata ataupun per
ayat yang dimaksud, sebagaimana yang terdapat dalam metode tahlili pada
penafsiran sebelumnya. Beliau menggunakan kerasionalitasannya dalam memahami
dan mejelaskan suatu ayat dengan memperhatikan beberapa aspek yang termuat
dalam seorang mufassir dan juga memerhatikan beberapa kitab tafsir terdahulu
33
untuk dijadikan sebagai bahan rujukannya dalam menafsirkan. Jenis tafsir seperti ini
biasa juga disebut tafsir tajzi’ah.10
Adapun mengenai sistematika penulisan dalam tafsir al-Manar adalah
penulisan secara susunan mushafi. Sebagaimana dapat dilihat bahwa dalam
penafsiran al-Manar dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan an-Nas.
Kemudian, dilanjutkan dengan penjelasan ayat per ayat yang ada, lalu dikaitkan
dengan ayat qur’an lain beserta hadis yang terkait. Penjelasan yang ada dijabarkan
dengan mengemukakan asbabun nuzul, dan keutamaan ayat-ayat tersebut.11
Walaupun secara global tafsir ini menggunakan metode tahlili sebagaimana
yang terdapat pada penafsiran-penafsiran sebelumnya, namun terdapat titik
penekanan yang menjadikan tafsir ini berbeda dengan metode pada tafsir yang ada.
Dimana pada tafsir-tafsir sebelumnya menitik beratkan hanya pada pemaknaan
terhadap makna linguistik yang terdapat pada ayat, namun penafsiran dalam al-
Manar bukan lagi hanya mefokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat
keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada
zaman sekarang, atau biasa disebut dengan corak adabi ijtimai, sehingga al-Qur’an
bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-
Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat
10Muhammad Baqr Shadr, Sejarah dalam Perspektif Alquran (Cet. I: Jakarta: PustakaHidayah, 1993), h. 12
11Hal tersebut serupa dengan tafsir tajzi’ah lihat Muhammad Baqr Shadr, Sejarah dalamPerspektif Alquran, h. 12
34
Islam), yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik
perbedaan yang menjadikan kitab tafsir al-Manar sebagai bibit tafsir modern.12
Adapun ciri dari corak adabi ijtimai adalah penonjolan ketelitian redaksi
ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi
yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.13 Dalam artian lain
bahwa memahami ayat dari segi balaghahnya untuk kemudian dipahami sesuai
dengan makna yang dimaksud di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang
mudah dipahami dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan mudah dipahami oleh umat
Islam dari kalangan manapun (bukan hanya ulama) untuk dijadikan sebagai huda li
al-nas, sebagaimana yang merupakan fungsi utama dari al-Qur’an.
Dan pada dasarnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan
ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh.14 Persamaannya
yaitu:
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
12Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an (Yogyakart: Qalam, 2002), h. 64
13Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidahdan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 111
14Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),hlm. 70-92 Moeslim Abdurrahman, Islam Transpormatif, (Cet. I: Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 62
35
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.
Salah satu ide pembaruan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya
disebabkan adanya kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan
lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat
Islam juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah
yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke
dalam Islam. Misalnya, anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat
ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa
yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan
akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.
Tafsir al-Manar sendiri dalam penafsirannya mengambil beberapa referensi
dari beberapa kitab terdahulu, seperti: Al-Kasysyaf, Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an,
Tafsir Ath-Thabary, Al-Tafsir al-Kabir, Ta’wil Musykil al-Qur’an, Tafsir Al-Alusi,
Tafsir Al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ibn Katsir, Al-Itqan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an,
Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi, ‘Ijaz al-
Qur’an, dan Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an.15
15Nasir Baidan, Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia (Cet. I: Solo: PT TigaSerangkai, 2002), h. 77
36
C. Contoh Penafsiran al-Manar
Sebagaimana yang telah dijelaskan mengenai tafsir al-Manar di atas,
perlulah kiranya untuk membahas mengenai salah satu penafsiran yang termuat
dalam tafsir al-Manar sebagai pemahaman mengenai hal-hal yang telah disebutkan
(seperti aspek metodologinya). Dalam hal ini, penafsiran ayat tentang puasa pada
QS. Al-Baqarah/2:183.
Terjemahan:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-
Baqarah: 183)
Dalam penafsiran ayat tersebut, Abduh mengambil beberapa titik penting
dari lafadz ayat tersebut. Sebut saja pada lafadz “kaum terdahulu”, Abduh
menjelaskannya dengan menjelaskan semua pengetahuan yang dimilikinya, yakni
mulai dari menjelaskan mengenai kebiasaan puasa yang sudah ada sejak zaman
dahulu, sampai dengan penyebutan melaksanakan puasa pada agama-agama lain.
Selain itu juga Abduh menjelaskan mengenai berbagai macam hikmah dan manfaat
yang terkandung dalam perintah puasa dalam berbagai perspektif di dalamnya,
37
sehingga kita bisa mengetahui alasan kenapa diperintahkan untuk berpuasa, bukan
hanya bertaqlid pada ucapan ulama terdahulu ataupun hanya ikut-ikut pada
lingkungan sekitar.
Selain itu juga beliau menjelaskan mengenai keterkaitan orang yang
berpuasa dengan ketakwaan (sebagaimana terdapatnya lafadz tattaqun dalam ayat
tersebut) bagi orang yang berpuasa dengan mengkaitkan kerasionalitasannya dengan
cara menghubungkannya pada perilaku sehari-hari. Sehingga puasa bukan lagi
difahami sebagai bentuk formalitas bagi umat Islam, namun sebagai ibadah yang
sangat berarti, khususnya sebagai benteng dalam melakukan hal-hal yang dilarang.
Sehingga bisa dipastikan di sini bahwa Abduh tidak ingin umat Islam melakukan
puasa dengan hanya bertaqlid saja (berpuasa dengan tidak memahami dan
mengetahui rahasia serta hikmah disyariatkannya puasa dan juga tidak mengetahui
kegunaan puasa itu bagi kemaslahatan hidup manusia, atau berpuasa semata-mata
karena mengikuti kebiasaan sahabat karib).16
Selanjutnya salah satu contoh penafsiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
mengenai keimanan seseorang tergantung kehendak Allah Swt., dapat ditinjau pada
QS. al-An’am/6:111.
16Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, ttt) Jilid II, h. 143-158
38
Terjemahnya:
Kalau Sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-orangyang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segalasesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman,kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidakmengetahui.Dalam penafsirannya mengenai ayat tersebut, Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha berpendapat bahwa meski Allah Swt., telah menurunkan malaikat yang dapat
mereka lihat atau orang yang telah mati dapat berbicara kepada mereka untuk
membuktikan kebenaran agama yang dibawa oleh Muhammad Saw., atau apa saja
yang dapat menjadi bukti kebenarannya, mereka tetap tidak mau beriman karena
mereka memandang bukti-bukti tersebut dengan pandangan orang yang ingin
mencari kebenaran, tetapi hanya memandangnya dengan pandangan seseorang
terhadap musuhnya.17
Lebih lanjut dalam pandangannya ia mengatakan bahwa orang-orang yang
berpandangan seperti itu selamanya tidak akan beriman kecuali jika Allah
menghendaki lain. Akan tetapi, sunnatullah yang berkenan dengan ketidaksiapan
mereka untuk beriman itu sejalan dengan kehendak Allah pada segala sesuatu yang
terjadi di alam semesta ini. Jika Allah menghendaki mereka beriman, pasti akan
terjad. Namun Allah tidak menghendakinya karena yang demikian itu mengubah
17A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar (Cet. I:Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 248
39
sunnah-Nya dan mengganti tabiat manusia. Dengan demikian, penegasan Allah Swt,
“kecuali Allah menghendakinya” semakin memperkuat penegasan-Nya, yaitu
mereka tidak akan beriman.18
Selanjutnya beralih kepada penafsiran Ridha’ di QS al-A’raf/7:157 di atas,
kita akan menjumpai lagi pendiriannya yang lebih tegas tentang kemampuan akal
dalam mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan. Ayat tersebut menyatakan:
Terjemahnya:
….yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang merekadari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segalayang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk padamereka….
Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha’, yang dimaksud dengan yang
ma’ruf ialah kebaikan yang dapat diketahui oleh akal sehat dan disenangi oleh hati
yang suci sebab kebaikan itu sesuai dengan fitrah manusia. Kegunaan dan
kemaslahatannya tidak dapat ditolak oleh orang yang memiliki fitrah yang sehat
meskipun syarak atau wahyu belum datang menjelaskannya. Yang dimaksud
dengan yang munkar ialah sesuatu yang dicela dan tidak dibenarkan oleh akal sehat
dan tidak disukai oleh kata hati. Karena itu menafsirkan yang ma’ruf dengan apa
saja yang telah diperintahkan oleh syarak dan menafsirkan yang munkar dengan apa
18A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 249
40
yang telah dilarangnya termasuk dalam kategori menjelaskan air dengan air. Apa
yang telah kita katakan di atas membuktikan bahwa baik dan buruknya suatu
perbuatan dapat diketahui oleh akal sesuai dengan pendiri Mu’tazilah dn
bertentangan dengan pendirinya Asy’ariyyah.19 Pernyataan yang sama juga
dikemukakan Ridha’ saat menafsirkan QS. al-A’raf/7: 28
Terjemahnya:
Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatanyang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidakkamu ketahui.
Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha’, ayat tersebut telah membantah
pernyataan orang-orang kafir yang mengatakan bahwa perbuatan keji, seperti tawaf
tanpa mengenakan busana yang menutup tubuh mereka itu adalah perintah Allah.
Bantahan tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek akal dan aspek naqal.20
Bantahan dari aspek akal adalah perbuatan semacam itu sudah jelas termasuk
perbuatan keji dan buruk. Padahal Allah Maha suci dari memerintahkan perbuatan
keji kepada hamba-Nya. Setanlah sebenarnya yang memerintahkan perbuatan-
perbutan tersebut kepada mereka.
19A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 18820A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 190
41
BAB IV
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN
SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA
Dalam catatan atau literatur kontemporer, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
digambarkan sebagai pejuang muslim yang tidak jauh beda dengan Muhammad
Abduh.1 Muhammad Abduh menilai bahwa tidak ada jalan yang paling ampuh bagi
tercapainya pembaharuan di dunia Islam kecuali melalui politik merupakan jalan
terpendek, sedangkan pembaharuan melalui pendidikan dan pengajaran sekalipun
menempuh jalan yang panjang tapi hasilnya mantap dan langgeng. Oleh sebab itu,
antara kedua jalur itu sebenarnya sangat berkaitan. Menurut Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha pembaharuan mutlak harus dilakukan, karena tanpa itu, umat Islam
senantiasa berada dalam kejumudan dan akan menjadi umat yang terlantar. Ia
melihat bahwa kemunduran umat Islam dan kelemahan mereka disebabkan karena
mereka tidak lagi memegang dan menjalankan ajaran Islam yang sebenarnya.2
Untuk pembahasan lebih lanjut, tentang pemikiran pembaharuan Islam Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha dapat dibagi menjadi beberapa bidang:
A. Pembaharuan Bidang Keagamaan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan umat Islam lemah dan jauh
ketinggalan oleh orang Barat, di antaranya Islam telah kemasukan ajaran-ajaran
1Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam (Surabaya: Jawara Surabaya), h. 265
2Nasution, Enskiklopedia, h. 993
42
yang nampaknya Islam, tetapi sebenarnya bukan. Hal itu menyebabkan umat Islam
melaksanakan ajaran yang tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam sebenarnya.
Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, umat Islam dapat mengejar
ketinggalannya dari bangsa Eropa, jika mereka kembali kepada ajaran Islam
sebenarnya sebagaimana telah diajarkan Nabi Muhammad Saw., dan dipraktekkan
oleh sahabat. Dengan demikian, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menganjurkan
untuk menggali kembali teks al-Qur’an.
Ijtihad adalah modal awal demi keberlangsungan syariat Islam yang
memenuhi seluruh kebutuhan pembaruan “karena syariat Islam adalah syariat
penutup dari Tuhan, dan hikmah dari semua itu adalah bahwasanya Allah Swt.,
telah menyempurnakan agama ini dan menjadikannya agama yang universal antara
ruh dan jasad, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya pada umatnya untuk
berijtihad yang benar dan dalam mengambil istinbat. Kedua sisi ini sangat sesuai
dengan kemaslahatan manusia di setiap tempat dan waktu.
Masalah aqidah di zaman hidupnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha masih
belum tercemar unsur-unsur tradisi maupun pemikiran filosof. Dalam masalah
teologi, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh pemikiran para
tokoh gerakan salafiyah. Dalam hal ini, ada beberapa konsep pembaharuan yang
dikemukakannya, yaitu masalah akal dan wahyu, sifat Tuhan, perbuatan manusia
(af’al al-Ibad) dan konsep iman.
41
1. Akal dan Wahyu
Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan
menghendaki agar urusan keyakinan mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun
demikian, akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi
terutama kepada mereka yang masih ragu-ragu.
43
2. Sifat Tuhan
Dalam menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam terjadi
perbedaan pendapat yang sangat signifikan, terutama dari kalangan Mu’tazilah
dan Asy’ariyah. Mengenai masalah ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
berpandangan sebagaimana pandangan kaum Salaf, menerima adanya sifat-sifat
Tuhan seperti yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsiran maupun
takwil.
3. Perbuatan Manusia
Pembahasan teologi tentang perbuatan manusia bertolak dari pertanyaan
apakah manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya (freewill) atau
perbuatan manusia hanyalah diciptakan oleh Tuhan (Predistination). Perbuatan
manusia menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sudah dipolakan oleh suatu
hukum yang telah ditetapkan Tuhan yang disebut Sunatullah, yang tidak
mengalami perubahan.
4. Konsep Iman
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa
kemunduran umat Islam disebabkan keyakinan dan amal perbuatan mereka
yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, upaya pembahasan
yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk mengembalikan
keberagamaan ummat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Pandangan Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha mengenai keimanan didasarkan atas pembenaran hati
(tasdiq) bukan didasarkan atas pembenaran rasional.
44
Pemikiran pembaharuan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam bidang
keagamaan bisa dikatakan sama seperti pemikiran Muhammad Abduh. Umat Islam
mengalami kemunduran karena tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Hal ini dikarenakan banyak faham-faham yang tidak sesuai masuk ke
dalam tubuh Islam, seperti segala khurafat, takhayul, bidah, jumud dan taklid. Oleh
karena itu, menurut analisis Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ajaran Islam yang
murni akan membawa kemajuan umat Islam, itulah sebabnya segala macam
khurafat, takhayul, bidah, jumud, taklid, ajaran-ajaran yang menyeleweng dari
ajaran Islam harus dikikis dan disingkirkan.3
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha banyak menyoroti masalah akidah Islam
yang hubungannya dengan praktik di tengah umat Islam saat itu. Umumnya, umat
Islam mempunyai pengalaman agama berdasarkan taklid. Umat Islam pada saat itu
lebih meminati sesuatu hukum atau fatwa yang sudah baku, karena dianggap
sebagai kebenaran mutlak. Dengan dasar itu, segala sesuatu sikap yang berbeda
akan dianggap tidak sesuai dengan paham ini. Kecenderungan taklid juga akan
menimbulkan sikap saling menyalahkan terhadap kelompok yang berbeda. Sampai
tingkat yang lebih parah akan membawa pertentangan bahkan permusuhan.
Keanekaragaman faham keagamaan yang muncul justru makin memperdalam
perpecahan dikalangan umat Islam. Untuk itu umat Islam perlu mencari alternatif
3Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis (Yogyakarta:Pusat Ilmu Yogyakarta), h. 350
45
faham keagamaan yang dapat membawa kepada arah persatuan, yaitu sebagaimana
terdapat di zaman Rasulullah Saw.
Selain itu dalam Islam telah banyak masuk unsur bidah yang merugikan bagi
perkembangan dan kemajuan umat Islam. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sangat
menentang keras ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya hidup
duniawi, puji-pujian dan kepatuhan yang berlebih-lebihan pada syekh dan wali.
Menurutnya, umat Islam harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya yaitu, ajaran yang murni dan terhindar dari segala bidah yang
menggerogoti ajaran tauhid.4
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengatakan Islam murni itu sederhana
sekali, sesederhana dalam ibadah dan sederhana dalam muamalahnya. Ibadah
kelihatannya berat dan ruwet karena dalam ibadah telah ditambahkan hal-hal yang
bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunnat. Mengenai hal-hal yang sunnat ini
nantinya akan muncul perbedaan faham dan akan memicu munculnya kekacauan.
Sedangkan soal muamalah, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan,
persamaan, pemerintahan syura. Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini
semua diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqih
mengenai hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu didasarkan atas Alquran dan hadis
tidak boleh dianggap absolut dan tidak dapat berubah. Hukum-hukum itu timbul
sesuai dengan situasi tempat dan zaman.
4Abd. Syukur Hasyim dkk, Teks Book Dirasat Islamiyyah (Surabaya: CV. Anika BahagiaOffset, 1995), h. 139
46
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha juga menganjurkan supaya bertoleransi
bermazhab untuk dihidupkan. Dalam hal-hal dasarlah yang perlu dipertahankan
kesamaan faham bagi umat Islam, tetapi dalam hal perincian dan bukan dasar
diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjelaskan mana yang disetujuinya.
Selanjutnya ia menganjurkan pembaharuan dalam bidang hukum dan penyatuan
mazhab hukum. Selain itu faktor yang membawa umat Islam mengalami
kemunduran adalah sikap fatalisme. Sedangkan salah satu faktor yang membawa
masyarakat Barat kepada kemajuan ialah faham dinamika yang terdapat dikalangan
mereka. Agar umat Islam tidak lemah, maka mutlak membuang jauh-jauh faham
fatalisme tersebut, kemudian menggantikannya dengan faham dinamisme (progres,
kemajuan).
Dengan menjunjung tinggi asas kemajuan, secara perlahan umat Islam akan
meyakini bahwa faktor nasib dan keberuntungan merupakan kehendak sepenuhya
manusia. Dengan kata lain, kemajuan dan perubahan hidup yang dijalani umat
Islam, sepenuhnya lebih ditentukan oleh umat Islam itu sendiri. Oleh karena itu
umat Islam harus bersikap aktif. Dinamika dan sikap aktif itu terkandung dalam kata
jihad. Jihad dalam arti berusaha keras dan sedia memberi pengorbanan harta bahkan
juga jiwa, untuk mencapai tujan perjuangan. Semangat jihad serupa inilah yang
menyebabkan umat Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.
Selanjutnya pemahaman ini, akan membawa umat Islam memiliki wawasan
rasional dan selalu maksimal dalam menggunakan akal pikiran. Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha juga menghargai akal manusia. Namun, penghargaannya terhadap
47
akal tidak setinggi penghargaan yang di kemukakan oleh gurunya Muhammad
Abduh. Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha akal dapat dipakai terhadap
ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ibadah. Dalam
lapangan ini pula umat Islam memiliki konsep yang disebut dengan ijtihad. Konsep
ini akan memacu umat Islam untuk berfikir keras tentang agama dan sosial
kemasyarakatannya. Kendati demikian, ijtihad dalam persoalan agama hanya
terdapat dalam lapangan muamalah saja. Dalam bidang ibadah, tidak perlu
dilakukan ijtihad. Ijtihad diperlukan hanya untuk soal-soal hidup kemasyarakatan.
erhadap ayat dan hadist yang mengandung arti tegas, tidak diperlukan ijtihad. Akal
dapat dipergunakan terhadap ayat dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan
terhadap persoalan-persoalan yang tidak tersebut dalam Alquran dan hadis. Oleh
karena itu inilah letak dinamika Islam menurut faham Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha.
B. Pembaharuan Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menganjurkan umat Islam memiliki satu
kekuatan untuk menghadapi beratnya tantangan dunia modern. Kekuatan itu hanya
dapat dimiliki jika umat Islam bersedia menerima peradaban Barat. Jalan untuk
memperoleh peradaban Barat itu ialah berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dan
teknologi Barat itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berlawanan
dengan Islam, bahkan umat Islam wajib mempelajari dan menerima ilmu
pengetahuan dan teknologi itu bila mereka ingin maju.
48
Dalam berbagai tulisannya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mendorong
umat Islam untuk menggunakan kekayaannya dalam pembangunan lembaga-
lembaga pendidikan. Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, membangun
lembaga pendidikan lebih baik dari membangun masjid. Baginya masjid tidaklah
besar nilainya apabila orang-orang yang shalat di dalamnya hanyalah orang-orang
bodoh. Dengan membangun lembaga pendidikan, kebodohan dapat dihapuskan dan
dengan demikian pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik. Satu-satunya
jalan menuju kemakmuran adalah perluasan pendidikan secara umum. Di bidang
pendidikan ini ia mendirikan sekolah sebgai misi Islam dengan nama madrasah
Aldakwah Wa Al-Irsyad dikairo pada tahun 1912 M. Para alumni madrasah ini
disebarkan keberbagai dunia Islam yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam
kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Erat kaitannya dengan konsep “jihad” yang dikemukakannya, Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha menganjurkan umat Islam memiliki satu kekuatan untuk
menghadapi beratnya tantangan dunia modern. Kekuatan itu hanya dapat dimiliki
jika umat Islam bersedia menerima peradaban Barat. Jalan untuk memperoleh
peradaban Barat itu ialah berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi
Barat itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berlawanan dengan Islam,
bahkan umat Islam wajib mempelajari dan menerima ilmu pengetahuan dan
teknologi itu bila mereka ingin maju.5
5Kurnial Ilahi, “Perkembangan Modern dalam Islam”, (Riau: Lembaga Penelitian danPerkembangan Fakultas Usuluddin UIN SUSKA dan Yayasan Pusaka Riau, 2002), h. 64
49
Peradaban Barat modern menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam lapangan ini
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sangat antusias mendukung program Muhammad
Abduh untuk melakukan pemasukan ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga
pendidikan milik umat Islam (sekolah atau madrasah Islam tradisional). Hal itu
karena ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk
kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada (ilmu
pengetahuan dan teknologi). Bahkan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha melihat
wajib bagi umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi modern,
asalkan dimanfaatkan dalam hal kebaikan.6 Umat Islam di zaman klasik dapat
mencapai kemajuan karena mereka mau maju, belajar dan memanfaatkan akal
mereka untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Barat maju karena mau mengambil
ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh umat Islam. Dengan demikian,
mengambil ilmu pengetahuan Barat modern berarti mengambil kembali ilmu
pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.7
Dalam bidang pendidikan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengikuti
gurunya, Muhammad Abduh. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sangat menaruh
perhatian terhadap pendidikan. Umat Islam hanya dapat maju apabila menguasai
bidang pendidikan. Oleh karena itu, ia selalu menghimbau dan mendorong umat
6Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 199-200
7Harun Nasution, Pembaharuan, h. 75
50
Islam untuk menggunakan kekayaanya bagi pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan. Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, membagun lembaga
pendidikan lebih bermanfaat daripada membangun masjid. Lembaga pendidikan
akan dapat menghapuskan kebodohan dan pada gilirannya membuat umat menjadi
maju dan makmur.
pada tahun 1909, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengadakan kunjungan
ke Istambul dengan tujuan mendirikan lembaga pemdidikan Islam yang Shahih dan
menghilangkan kesalahpahaman antara Turki dan Arab. Tapi usahanya ini tidak
berhasil, maka niatnya itu akan dilaksanakan di Kairo setelah mendirikan Dar al-
Da’wah wa al-Irsyad. Rencana menegakkan sekolah itu baru terwujud setelah
pulang dari kunjungannya ke India pada tahun 1912.
Dalam kunjungan ke Istambul, ke India dan lain-lain, ia selalu berpidato
tentang pendidikan dan pengajaran, tentang faktor-faktor yang membangkitkan
kaum muslimin. Dalam tulisan yang dimuat di al-Manar, Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha juga menyampaikan idenya tentang pendidikan.
Selain itu aktivitas Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam bidang
pendidikan selain memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga pendidikan
milik umat Islam, ia juga membentuk lembaga pendididkan yang bernama “al-
Dakwah Wal Irsyad” pada tahun 1912 M di kairo, Mesir. Mula-mula ia mendirikan
madrasah tersebut di Konstantinopel terutama meminta bantuan pemerintah
setempat akan tetapi gagal, karena pada saat itu Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
tidak mendapat dukungan dari pemerintah, akhirnya ia mendirikannya di Kairo,
51
Mesir. Motif mendirikan madrasah ini ialah, karena adanya keluhan-keluhan yang
disampaikan melalui pesan surat dari negeri-negeri Islam, diantaranya dari
Indonesia, tentang aktivitas missi Kristen di negara-negara mereka. Oleh karena itu,
untuk mengimbangi sekolah missi Kristen dipandang perlu mendirikan sekolah
missi Islam. Sebab banyak dari kalangan umat Islam yang pada saat itu
menyekolahkan anak mereka di sekolah Kristen, karena di sekolah tersebut
diajarkan ilmu pengetahuan umum dan teknologi modern.
Dengan berdirinya sekolah al-Dakwah Wal Irsyad, diharapkan para lulusan dan
sekolah ini akan dikirim ke negara mana saja yang memerlukan bantuan mereka
dalam hal pengajaran atau pendidikan dan kenegaraan. Akan tetapi usia sekolah ini
tidak panjang, karena situasi Perang Dunia I.
C. Pembaharuan Bidang Politik dan Sosial Kemasyarakatan
Semua umat bersatu di bawah satu keyakinan, satu sistem moral dan satu
system pendidikan dan tunduk pada satu sistem hukum. Hukum dan undang-undang
tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, untuk kesatuan
umatperlu mengambil bentuk negara. Negara yang dianjurkan Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha ialah Negara dalam bentuk kekhalifahan. Sebab Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha memiliki program pelaksanaan yaitu menghidupkan kembali sistem
kekhalifahan di dalam zaman modern., karena bentuk pemerintahan seperti ini akan
membawa kesatuan umat Islam.
Walaupun Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengakui kemajuan peradaban
Barat, tetapi dia tidak setuju dengan ide kebangsaan yang dibawa bangsa Barat.
52
Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, umat Islam tidak perlu meniru ide
kebangsaan Barat, karena dalam Islam rasa kebangsaan itu dibangun atas dasar
keagamaan. Sejalan dengan konsepnya ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
merindukan pulihnya kesatuan dan persatuan umat. Ia mengajak umat Islam untuk
bersatu kembali di bawah satu sistem hukum dan moral. Untuk melaksanakan
hukum harus ada kekuasaan dalam bentuk negara. Negara yang dianjurkan Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala negara
dibantu oleh ulama-ulama pembantu.8
Kepala negara ialah khalifah. Karena khalifah memiliki kekuasaan legislatif
dan harus empunyai sifat mujtahid. Akan tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh
bersifat absolut. Sedangkan para ulama merupakan pembantu-pembantunya yang
utama dalam soal memerintah umat. Untuk mewujudkan kesatuan umat itu ia pada
mulanya meletakkan harapan pada kerajaan Usmani, tetapi harapan itu hilang
setelah Mustafa Kamal berkuasa di Istambul dan kemudian menghapus sistem
pemerintahan khalifah dan berubah menjadi Republik.
Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha calon khalifah tidak hanya terdiri
dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid, tetapi juga dari
pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai bidang termasuk bidang perdagangan,
perindustrian dan sebagainya. Syarat bagi calon khalifah yaitu harus berilmu dan
mampu berijtihad. Syarat untuk dapat menduduki jabatan khalifah adalah berilmu
8A. Munir dan Sudarsono, “Aliran Modern dalam Islam”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1994). h. 163
53
dalam arti menguasai pengetahuan agama dan bahasa Arab, sehingga mampu
memahami secara tepat maksud-maksud Alquran dan sunnah Nabi dan teladan-
teladan yang diwariskan oleh para pendahulu (salaf) yang saleh, dan yang sudah
mencapai tingkat mampu berijtihad secara betul.
Untuk mempersiapkan calon-calon khalifah yang memenuhi syarat-syarat
tersebut, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengusulkan pendirian suatu lembaga
pendidikan tinggi keagamaan untuk mendidik dan mencetak calon-calon khalifah.
Dalam lembaga pendidikan ini, diajarkan berbagai cabang ilmu agama Islam,
sejarah, ilmu kemasyarakatan dan ajaran-ajaran agama lainnya. Kemudian khalifah
dipilih dari antara para lulusan dan lembaga tersebut yaitu mereka yang telah
memperlihatkan keunggulan dalam penguasaan ilmu dan kemampuan berijtihad.
Pemilihan itu dilakukan dengan bebas dan oleh rekan-rekan sesama lulusan
lembaga itu, untuk kemudian dikukuhkan melalui baiat oleh Ahl-al-Halli wa al-Aqdi
(orang yang berhak memilih Khalifah/para ahli ilmu khususnya keagamaan dan
mengerti permasalahan umat) dari seluruh dunia Islam. Taat kepada khalifah yang
dipilih dan kemudian dibaiat dengan cara demikian itu hukumnya wajib bagi tiap
muslim. Untuk melaksanakan “proyek” menghidupkan kembali lembaga
kekhalifahan itu Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengusulkan
diselenggarakannya suatu muktamar raya Islam di Kairo, Mesir, yang dihadiri oleh
wakil-wakil dari semua negara Islam dan seluruh umat Islam. Dengan
menambahkan bahwa Mesir adalah satu-satunya negara yang layak menjadi
54
penyelenggara pertemuan akbar Islam seperti itu, tanpa memberikan uraian lebih
lanjut tentang alasannya.
Muktamar tersebut berlangsung pada tahun 1926 M, tetapi muktamar
tersebut berakhir dengan kegagalan. Karena banyak dan kuatnya pertentangan di
antara para peserta muktamar dan akhirnya tidak dapat tercapai kesepakatan.
Tentang Nasionalisme yang sedang menggejala pada masa itu, Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha berpendapat bahwa faham Nasionalisme itu bertentangan dengan
persaudaraan Islam. Maka ia tidak setuju dengan faham Nasionalisme yang dibawa
oleh Mustafa Kemal di Mesir maupun Turki Muda di Turki. Menurutnya
persaudaraan Islam tidak mengenal batas baik ras, bangsa, bahasa dan tanah air.
Namun, menurut pandangan penulis, Konsep kekhalifahan yang diajukan
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sebagai yang termuat dalam buku al-Khalifah,
kelihatannya semata-mata hasil renungan dan pandangannya terhadap sejarah
perjalanan khalifah al-Rasyidin. Dia hanya melihat pada fungsi negara dengan
mengenyampingkan persepsi negara ditinjau dari sudut pertumbuhan penduduk.
Dengan kata lain, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha kurang menghayati dinamika
sejarah pemerintahan Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Secara
administrasi, sistem kekhalifahan itu memancing instabilitas dan perebutan
kekuasaan karena secara langsung menutup kreativitas dan aspirasi rakyat.
Tampaknya sistem kekhalifahan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar pada pokok masalah dan sub-sub masalah yang diteliti dalam
skripsi ini, dan kaitannya dengan pembahasan yang ada, maka dirumuskan tiga
kesimpulan sebagai berikut:
1. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan
Tarablus Syam pada tahun 1282 H/1865 M. Nama lengkap Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad
Syamsuddin Ibn Muhammad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah. Ayah dan Ibu
Sayyid Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan al-Husayn putra
Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah binti Muhammad Saw. Dalam perjalanan
pendidikannya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha telah mengecam berbagai jenis
pendidikan agama, mulai dari pemahaman syiah, tarekat hingga ke model
pemikiran moderat yang bertujuan kea rah pembahaaruan Islam. Maka tidak
mengherakan pada bulan Rajab 1315 H. (1898 M) setelah berhasil menemui
Syaikh Muhammad Abduh seorang pejuang dan ilmuan yang sangat diharapkan
ilmu dan nasihat-nasihatnya. Ia menyarankan dan mengusulkan kepada Syaikh
Muhammad Abduh adalah agar ia menulis tafsir al-Qur’an (diberi nama Tafsir al-
Manar) dengan metode yang digunakan dalam penulisannya di majalah al-Urwah
al-Wustqa. Setelah kedua orang ulama itu berdialog akhirnya Syaikh Muhammad
56
Abduh bersedia memberikan kuliah tafsir di Jami’ al-Azhar kepada murid-
muridnya. Selain itu Sayyid Muhammad Rasyid Ridha juga merintis Majalah al-
Manar serta menerbitkan karya-karyanya, gurunya (Muhammad Abduh) dan
Jamaluddin al-Afghani.
2. Berdasarkan fokus pembahasan yang ditujukan mengenai pemikiran Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha maka ada tiga jenis pemikiran yang akan disimpulkan
yaitu pemikiran agama, pemikiran pendidikan dan pengetahuan serta pemikiran
politik. Pemikiran agama seorang Sayyid Muhammad Rasyid Ridha bisa
dikatakan sama seperti pemikiran Muhammad Abduh. Ia menyadari bahwa umat
Islam mengalami kemunduran karena tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Hal ini dikarenakan banyak faham-faham yang tidak sesuai masuk ke
dalam tubuh Islam, seperti segala khurafat, takhayul, bidah, jumud dan taklid.
Lebih lanjut dalam pemikiran pendidikan dan pengetahuan seorang Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha mengemukakan bahwa umat Islam dianjurkan
memiliki satu kekuatan untuk menghadapi beratnya tantangan dunia modern.
Kekuatan itu hanya dapat dimiliki jika umat Islam bersedia menerima peradaban
Barat. Jalan untuk memperoleh peradaban Barat itu ialah berusaha memperoleh
ilmu pengetahuan dan teknologi Barat itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak berlawanan dengan Islam, bahkan umat Islam wajib mempelajari
dan menerima ilmu pengetahuan dan teknologi itu bila mereka ingin maju. Lalu
pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam bidang sosial politik
57
menekankan bahwa Negara yang tepat ialah Negara dalam bentuk kekhalifahan.
Sehingga Semua umat bersatu di bawah satu keyakinan, satu sistem moral dan
satu sistem pendidikan dan tunduk pada satu sistem hukum. Walaupun Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha mengakui kemajuan peradaban Barat, tetapi dia tidak
setuju dengan ide kebangsaan yang dibawa bangsa Barat. Menurut Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha, umat Islam tidak perlu meniru ide kebangsaan Barat,
karena dalam Islam rasa kebangsaan itu dibangun atas dasar keagamaan.
B. Implikasi Penelitian
Penelitian ini berimplikasi kepada pemahaman umat Islam terhadap awal
abad pembaharuan ketika umat Muslim mengalami kejumudan yang luar biasa.
Sehingga dengan keberadaan seorang Sayyid Muhammad Rasyid Ridha pada
masanya, persoalan mengenai hal tersebut dapat diminimalisir. Hal ini yang perlu
diaktualisasikan pada masa sekarang, karena memahami al-Qur’an secara tekstual
hanya akan berimbas pada kondisi umat yang stagnan.
Penelitian ini juga diharapkan mendorong kajian historis lainnya, terkhusus
pada kajian tokoh pembaharu Islam. Sehingga melalui kajian tersebut dapat
dipahami kontinuitas dalam perkembangan sejarah umat Islam hingga kini. Pada
sisi lain, kajian biografi seperti ini dapat memfokuskan diri pada transmisi
gagasan para pemikir Islam. Sebagaimana dipahami tidak ada suatu individu atau
masyarakat yang lahir dan berkembang dalam keadaan vakum, karena adanya
tranformasi gagasan atau idea dalam alam pikiran para pemikir Islam.
58
DAFTAR PUSTAKA
A.Athaillah, Rasyid Ridha;Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar,(Jakarta: Erlangga, 2006)
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah,. (Jakarta: Djambatan,1995
Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996 dalamDunia Islam Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Black, Antony. Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini), terj,Abdullah Ali, Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis diterjemahkan oleh Ade Alimah, denganjudul Sufi dan Anti-sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003)
Fahd al-Rumi, Manhaj al Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir, (Beirut:Mu’assasah al–Risalah, 1981 M)
Hamka, Said Jamaluddin al-Afghany, cet. ke-2; Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakanJakarta: Bulan Bintang, 1992.
Hourani, Albert. Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj., Suparno dkk., Bandung:PT Mizan Pustaka, 2004.
Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al –Imam al-Mujahid, (Kairo:al-MuassasahMishiyyah al-Ammah,t.th)
Muhammad ibn ‘Abdillah al-Salman, Rasyid Ridha wa Da’wah al-SyaykhMuhammad ibn ‘Abdulwahhab,(Kuwait: Maktabah al-Ma’la, 1409 H/1998M)
Muhammad Ahmad al-Darniqah, al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ’waIshlahatuh al-Ijtima’iyah wa al-Diniyyah, cetakan ke-1, (Beirut: Mu’assasahal-Risalah, 1406 H/1986 M)
Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan olehMuhammad Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul MencariFormat Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
Nasution, Harun. Pembaruan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
59
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan),Jakarta: PT Bulan Bintang, 1975.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Syiyasah; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet ke-3,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ridha, Ridha Muhammad Rasyid, al-Khilāfah, Kairo: Madinah Nasr, 1922.
Ridha, Ridha Muhammad Rasyid, Tafsīr al-Manār, Beirūt: Dār Kutub al-Ilmiah,t.th.
Syihab, M. Quraish, Rasionalitas Alquran Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar,Tanggerang: Lentera Hati, 2007.
Taufik, Ahmad dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernisme Islam, Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2005.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Andi Mappiaswan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat tanggal lahir : Bulukumba, 06 Februari 1993
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Desa Salemba Kec. Ujungloe Kab. Bulukumba
Nomor HP : 082346996230
DATA ORANG TUA
Ayah : Syamsir M, S.Sos.
Ibu : Nuraedah, A.Ma.
RIWAYAT PENDIDIKAN
2000-2005 : SDN 200 Dannuang Salemba Kab. Bulukumba
2005-2008 : SMP Negeri 5 Ujungloe Kab. Bulukumba
2008-2011 : SMA Negeri 1 Ujungloe Kab. Bulukumba
Samata-gowa,
ANDI MAPPIASWANNIM: 40200111006