pernikahan syarifah dengan laki-laki non sayyid

96
PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID (STUDI PENDAPAT HABAIB PADA RABITHAH ALAWIYAH JAKARTA) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: MUHAMMAD ZAINUDIN NIM. 1112044100069 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

(STUDI PENDAPAT HABAIB PADA RABITHAH ALAWIYAH JAKARTA)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

MUHAMMAD ZAINUDIN

NIM. 1112044100069

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

Page 2: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID
Page 3: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID
Page 4: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID
Page 5: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

v

ABSTRAK

Muhammad Zainudin. NIM 1112044100069 PERNIKAHAN SYARIFAH

DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID (Studi Pendapat Habaib pada Rabithah

Alawiyah Jakarta). Program Studi Hukum Keluarga Islam Konsentrasi Ahwal Al-

Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438/2017.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan larangan menikahi syarifah

dengan laki-laki non sayyid dalam pandangan Rabithah Alawiyah Jakarta,

disamping itu juga untuk mengetahui konsep kafaah dalam pandangan Rabithah

Alawiyah Jakarta dan dalam perspektif hukum Islam.

Penulisan skripsi ini ditulis dengan metode kualitatif, pendekatannya

dilakukan dengan pendekatan normativ, sumber data terdiri dari data primer dan

data sekunder, teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi

pustaka, serta analisis data dilakukan dengan metode induktif dan deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang wanita syarifah sangat

dilarang menikah dengan laki-laki non sayyid, dikarenakan akan merusak nasab

dan keturunan Nabi Muhammad SAW, dan juga termasuk tidak sopan serta dapat

dikatakan menghina Nabi Muhammad SAW. Menurut pandangan ulama Ahlul

Bait, bahwa konsep kafaah ini tidak semata-mata karena adat, akan tetapi ini

adalah perintah Rasulullah SAW, sebagaimana yang termaktub di dalam hadits-

hadits Nabi maupun qaul ulama tentang kemuliaan nasab keluarga beliau. Namun

menurut perspektif hukum Islam pendapat Rabithah Alawiyah bertentangan

dengan hukum Islam karena menurut hukum Islam wanita syarifah diperbolehkan

menikah dengan laki-laki non sayyid karena yang dilihat adalah dari sisi

ketakwaannya kepada Allah, bukan dari sisi nasab ataupun yang lainnya.

Kata kunci : nasab, kafaah, pernikahan syarifah dengan laki-laki non sayyid.

Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A

Daftar Pustaka : Tahun 1957 s.d. Tahun 2014

Page 6: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

vi

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر الر بسم الله

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

menjadikan kita dari orang-orang yang diberi nasihat dan menjadikan kita pandai

dari ilmunya ulama-ulama yang shalih. Shalawat serta salam penulis panjatkan

kepada Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat beliau

yang senantiasa memegang teguh syariatnya.

Alhamdulillah, penulis telah berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban

berupa sebuah skripsi yang dibebankan kepada setiap mahasiswa yang ingin

menyelesaikan studinya (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Selain itu, karya tulis ini, penulis mempersembahkan kepada Ayahanda

(H.Abdul Jabbar Utsman) dan Ibunda (Nihayah) tercinta yang dengan kasih

sayang, doa dan dukungan selalu mengharapkan kesuksesan bagi penulis.

Untuk itu, patut kiranya penulis ucapkan terima kasih yang tulus dan

menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag selaku ketua Program Studi Ahwal al-

Syakhshiyah, yang telah memberikan Acc judul yang penulis ajukan, dan

juga yang selalu memberikan support hingga selesainya skripsi ini.

Page 7: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

vii

3. Bapak Arip Purkon, M.Ag selaku sekretaris Program Studi yang dengan

sibuk mengurus tahap-tahap ujian yang penulis jalankan.

4. Ibu Dr. Hj. Azizah, M.A selaku pembimbing skripsi sekaligus dosen

pembimbing akademik yang sudah meluangkan waktunya untuk

memberikan arahan dan pengajaran kepada penulis sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah yang telah mengajar dan membimbing serta memberikan

berbagai ilmunya dengan penuh keikhlasan.

6. Staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

yang telah memberikan pelayanan dengan baik dalam hal administrasi dan

lain-lain.

7. Kedua Orang Tua penulis beserta keluarga besar semuanya, yang selalu

memberikan semangat dan dukungan baik materil dan non materil.

8. Abuya al-Ustadz al-Habib Abu bakar bin Hasan bin Abu bakar al-Athas

az-Zabidi, sebagai guru spiritual penulis yang selalu membimbing untuk

menjadi manusia yang lebih baik.

9. Semua kawan-kawan dan sahabat-sahabat Hukum Keluarga angkatan

2012, Tuan Guru Ustadz Ismail Madarid Yahya MA, Tuan Guru Ustadz

Muhammad Fatih Risyad MA, Abuya Dr. KH. Ibnu Hamdun bin Abuya

Ahnaf, teman-teman Majelis Ta’lim At-Taufiq beserta tim hadrah, Harun,

Yusuf, Agil, Rizki Ji’ih, Awank, Jenoy, Agastani, Luthvi (cadel), Habibi

Asyaf, Miqdad, Riki, Anto, Rahmat Syaiful Haq, Faishol dan segenap

Page 8: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

viii

kawan-kawan komunitas majelis sholawat, mereka inilah yang selalu

menemani dan memberikan support sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

10. Kepada seluruh pihak maupun siapa saja yang telah membantu

terselesaikannya skripsi ini.

Seiring dengan itu, penulis berdoa semoga amal kebaikan mereka

memperoleh Ridha Allah SWT.

Tak lupa penulis mengharap tegur dan perbaikan dari para pembaca,

karena penulis sadar dalam pembuatan skripsi ini tak luput dari

kekurangan seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Ashfaghani “Saya tidak

pernah melihat seseorang ketika melihat suatu buku kecuali pada hari esok

ia berkata “Kalau bagian ini dirubah tentu lebih serasi, kalau

pembicaraan ini ditambah tentu lebih lengkap, kalau pasal ini

diajukan akan lebih utama, dan kalau soal ini dibuang tentu akan

lebih baik.” Ini adalah bukti yang paling tepat bahwa manusia adalah

makhluk yang penuh dengan sifat kekurangan dan kekhilafan.

Harapan penulis semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan

menjadi sumbagsih penulis bagi pengembangan ilmu pengetahuan,

khususnya ilmu Islam dan khazanah peneliti ilmiah umumnya, amin.

Jakarta, 17 Maret 2017

Penulis,

Muhammad Zainudin

Page 9: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI iii

LEMBAR PERNYATAAN iv

ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 6

D. Review Studi Terdahulu 7

E. Kerangka Teori 9

F. Metode Penelitian 11

G. Sistematika Penulisan 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN

KAFAAH 16

A. Pengertian dan Dasar Hukum 16

B. Rukun dan Syarat 23

C. Kedudukan Kafaah dalam Pernikahan Menurut Imam Madzhab

............................................................................................... 27

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG RABITHAH ALAWIYYAH

32

A. Sejarah Singkat Masuknya Habaib di Indonesia dan

Pengaruhnya 32

B. Sejarah Berdirinya Lembaga Rabithah Alawiyah Jakarta..... 42

C. Kewajiban Mencintai Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW dalam

Pandangan Habaib 46

Page 10: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

x

BAB IV PEMIKIRAN HABAIB PADA RABITHAH ALAWIYYAH

JAKARTA TERHADAP PERNIKAHAN SYARIFAH

DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID 53

A. Pendapat Habaib pada Rabithah Alawiyyah Tentang Kafaah

dan Alasannya 53

B. Pernikahan Syarifah dengan Laki-Laki Non Sayyid Menurut

Pemikiran Habaib pada Rabithah Alawiyyah 58

C. Pernikahan Syarifah dengan Laki-Laki Non Sayyid ditinjau dari

Perspektif Hukum Islam 61

D. Analisis Penulis 65

BAB V PENUTUP 73

A. Kesimpulan 73

B. Saran-Saran 74

DAFTAR PUSTAKA 75

LAMPIRAN........................................................................................................

Page 11: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada

makhluk Allah, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang

diciptakan Allah adalah berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan, sebagaimana

berlaku pada makhluk Allah yang paling sempurna, yakni manusia.1 Dalam surat

az-Zariyat ayat 49 disebutkan:

ومه كل شيء خلقىا شوجيه لعلكم تركسون

Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat kebesaran Allah.”2

Islam mengatur manusia dalam hidup berpasang-pasangan itu melalui

jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dengan wujud aturan-aturan

yang disebut hukum perkawinan dalam Islam.3 Hukum Islam juga diterapkan

untuk kesejahteraan ummat, baik secara perorangan maupun secara

bermasyarakat, baik untuk kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat.

Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya keluarga yang

sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga kecil dalam masyarakat sehingga

kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kesejahteraan keluarga.

1 Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang,

(Bandung, Pustaka Setia: 2008), hlm. 13. 2 Departemen Agama, Alquran Dan Terjemahnya,(tk), hlm. 862.

3 Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf: 1995), hlm. 43.

Page 12: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

2

Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan

hidup keluarganya. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi

sampai terperinci, yang demikian ini menunjukan perhatian yang sangat besar

dalam kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu

perkawinan sangat dianjurkan oleh agama Islam bagi yang telah mempunyai

kemampuan. Tujuan itu dinyatakan dalam Alquran maupun As Sunnah.

Melalui perkawinan, syariat Islam tidak hanya ingin merealisasikan

masalah duniawi dan kesejahteraan material belaka, akan tetapi ingin

merealisasikan kesejahteraan dan rohani secara bersama-sama, serta ingin

menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk peningkatan dan perbaikan akhlak,

membersihkan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tercela, menciptakan dan

membentuk tatanan masyarakat yang agamis. Perkawinan dapat dipandang

sebagai kemaslahatan umum, sebab tanpa adanya perkawinan manusia akan

menurunkan sifat kebinatangan dalam melampiaskan hawa nafsunya yang akan

menimbulkan perselisihan dan permusuhan antar sesama.4

Dalam pandangan Islam, perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata

semata, bukan pula hanya sekedar urusan keluarga dan budaya, tetapi masalah

peristiwa agama, karena perkawinan itu dilakukan melalui syariat Allah SWT dan

sunnah Rasulullah SAW serta dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah SWT

dan petunjuk Nabi SAW. Disamping itu, perkawinan juga bukan untuk

mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu,

4 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Abadi, 1972), hlm. 48.

Page 13: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

3

seorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan

dilihat dari berbagai sisi.5

Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih

seorang perempuan untuk pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah

karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki atau

kesuburan keduanya dalam menginginkan keturunan, karena kekayaannya, karena

kebangsawanannya, dan keberagamaannya. Diantara alasan yang cukup banyak

itu, maka yang paling utama dijadikan motivasi adalah keberagamaannya.

Seorang laki-laki yang shalih walaupun dari keturunan rendah berhak

menikah dengan perempuan yang berderajat lebih tinggi. Laki-laki yang memiliki

kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan-perempuan yang memiliki

derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun,

ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki

itu muslim dan menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorangpun dari

pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. Selain itu, ada kerelaan

dari walinya yang mengakadkan dari pihak perempuannya.6

Rukun dan syarat menentukan perbuatan suatu hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan dari segi hukum. Kedua kata

tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan

sesuatu yang harus ada. Dalam perkawinan contohnya rukun dan syarat tidak

5Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana:2006),hlm.

48. 6 Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Kencana: 2003), hlm. 98.

Page 14: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

4

boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau

tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi hukum. Bahwa

rukun itu adalah suatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian dari

unsur yang mewujudkannya. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada

diluarnya dan bukan merupakan unsurnya.7

Begitupun dengan pernikahan, didalamnya mempunyai rukun dan syarat

yang harus dipenuhi, Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas:

1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.

2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.

3. Adanya dua orang saksi.

4. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul.

Sedangkan untuk syarat dari pernikahan secara garis besarnya ada dua:8

1. Calon mempelai perempuan halal dikawinkan oleh laki-laki yang ingin

menjadikannya istri.

2. Akad nikah dihadiri para saksi.

3. Mahar.

Namun pada masyarakat kalangan habaib9, ada hal lain yang

mensyaratkan seseorang yang ingin menikahkan putrinya atau yang biasa disebut

7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 59.

8 Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, hlm. 49.

9 Habaib merupakan jamak dari kata habib, sebutan/gelar habib dikalangan Arab-

Indonesia yang dinisbatkan secara khusus terhadap keturunan nabi Muhammad SAW melalui

putrinya yang bernama Fathimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Lihat Zulkifli, Ensiklopedi

Gelar Dalam Islam, (Yogyakarta: Interprebook, 2011), hlm. 41. Panggilan habib biasa digunakan

mereka yang dipandang tokoh agama yang secara geneologis dari keturunan Sayyidina Husein

ataupun Sayyidina Hasan dipanggil dengan sebutan habib (bentuk tunggal dari kata habaib). Lihat

Page 15: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

5

dengan syarifah10

, yaitu sebaiknya syarifah dinikahkan dengan seorang

syarif/sayyid/habib11

, dan bagi yang bukan sayyid/syarif/habib agar tidak

menikahi seorang syarifah. Karena pernikahan tersebut terhukum fasakh (bila

tidak sekufu nasab laki-laki dengan wanita keturunan Ahlul Bait Nabi Muhammad

SAW). Sedang hukum setara nasab bagi para syarifah adalah wajib dalam rangka

menjaga hubungan kefamilian keturunan anaknya kepada Nabi Muhammad

SAW.12

Padahal di dalam Alquran telah dijelaskan bahwa setiap manusia adalah

sama, yang membedakan hanya ketakwaannya. Seperti yang terdapat dalam

firman Allah surat al-Hujurat ayat 13:

سمكم يا أيها الىاس إوا خلقىاكم مه ذكس وأوثى وجعلىاكم شعىبا وقبائل لتعازفىا إن أك

عليم خبيس أتقاكم إن الل عىد الل

Artinya: “Hai sekalian manusia sesungguhnya kami telah menciptakanmu dari

laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang

paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa diantaramu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.

Al-Hujurat : 13)13

Ahmad haydar Baharun, madzhab para Habaib & Akar Tradisinya, (Malang, Pustaka Basma,

2013), hlm. 33 10

Syarifah adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan wanita yang

merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau Husein bin Ali dan Hasan bin

Ali yang merupakan keturunan anak dari anak perempuannya Nabi Muhammad SAW, yaitu

Fathimah az-Zahra dan menantunya yaitu Ali bin Abi Thalib. Lihat Zulkifli, gelar dalam Islam,…

Hlm. 63. 11

Syarif secara bahasa berarti Yang Mulia dan Sayyid (jamak: Sadah) secar harfiah

berarti tuan dan menurut istilah dalam pembahasan ini adaalah gelar kehormatan yang diberikan

kepada keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau Husein bin Ali dan Hasan bin Ali,

yang merupakan anak perempuan dari Nabi Muhammad SAW, Fathimah az-Zahra dan

menantunya Ali bin Abi Thalib. Lihat Zulkifli, gelar dalam Islam,… hlm. 64 12

Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafaah Syariat Pernikahan Keluarga Nabi Muhammad

SAW, (Jakarta, El-Batul Publisher: 2007), hlm. 95. 13

Departemen Agama, Alquran dan terjemahnya, hlm. 847.

Page 16: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

6

Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti hal tersebut dengan judul:

“Pernikahan Syarifah dengan Laki-Laki Non Sayyid

(Studi Pendapat Habaib pada Rabithah Alawiyah Jakarta)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam menyusun karya ilmiah ini, agar tidak terlalu luas, penulis akan

membatasi masalah hanya pada permasalahan kafaah menurut pandangan Habaib

pada Rabithah Alawiyah Jakarta.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, agar pembatasannya terarah,

maka dapat dirumuskan masalah tentang penelitian ini yaitu:

1. Mengapa Rabithah Alawiyah Jakarta melarang pernikahan antara

Syarifah dengan laki-laki non Sayyid?

2. Bagaimana pendapat Rabithah Alawiyah Jakarta mengenai konsep

kafaah di kalangan Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad SAW)?

3. Bagaimana pendapat Rabithah Alawiyah Jakarta mengenai konsep

kafaah menurut perspektif hukum Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan yang dicapai oleh penulis dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui alasan larangan menikahi syarifah dengan laki-laki

non sayyid

b. Untuk mengetahui konsep kafaah dalam pandangan Rabithah Alawiyyah

c. Untuk mengetahui konsep kafaah dalam perspektif hukum Islam

Page 17: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

7

d. Memenuhi syarat akademik untuk memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Manfaat yang diharapkan dari skripsi ini:

a. Untuk menjadikan bahan pengalaman dalam bidang penelitian bagi

penulis.

b. Bisa menjadi bahan pengetahuan bagi penulis tentang pendapat Rabithah

Alawiyah Jakarta mengenai pernikahan antara Syarifah dan laki-laki non

Sayyid.

c. Manfaat bagi dunia penelitian di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

d. Dapat menjadi bahan bacaan bagi civitas akademika UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, baik untuk kepentingan akademik maupun untuk

kepentingan pengayaan pengetahuan.

D. Review Studi Terdahulu

Dari hasil pengamatan, penelusuran dan pencarian literatur yang telah

penulis lakukan, akhirnya penulis menemukan beberapa literatur yang relevan

dengan judul yang akan dibahas, diantaranya adalah:

Karya skripsi Muggeni yang berjudul Fatwa larangan perkawinan syarifah

dengan laki-laki non sayyid (Studi Kitab Bughyah al-Mustarsyidin)14

. Skripsi ini

14

Muggeni, Fatwa LaranganPerkawinanSyarifah Dengan Non Sayyid, (Studi atas kitab

Bughyah al-Mustarsyidin), skripsi IAIN Semarang, 2004

Page 18: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

8

berusaha menganalisa dan menjelaskan fatwa larangan perkawinan syarifah

dengan laki-laki non sayyid dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin yang pada

akhirnya menyimpulkan diperbolehkanya pernikahan antara syarifah dengan laki-

laki non sayyid dengan alasan pendapat mayoritas jumhur ulama yang

menyepakati bahwa yang masuk dalam kriteria kafaah adalah dalam segi agama

dan akhlak, bukan dalam segi nasabnya.

Skripsi yang disusun oleh Latifatun Ni’mah yang berjudul “Konsep

Kafaah Dalam Islam (Studi Atas Pemikiran Sayyid Sabiq Dalam Kitab Fiqih

Sunnah)”15

. Disebutkan bahwasanya dalam kitab Fiqih Sunnah kriteria kafaah ada

6 macam: keturunan, status merdeka, Islam, pekerjaan atau kekayaan, dan selamat

dari cacat. Penulis sendiri pada akhirnya menyimpulkan bahwa yang dimaksud

kafaah oleh Sayyid Sabiq adalah laki-laki yang sebanding dengan calon istri

dalam tingkat sosial dan derajat dalam bentuk akhlak serta takwa kepada Allah.

Skripsi Nurin Niswatin yang berjudul “Konsep Kafaah menurut Zainuddin

al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu‟in (Studi Analisis Dengan Perspektif Historis-

Sosiologis)”16

. Bahwasanya konsep kafaah itu mengikuti arah perubahan dan

perkembangan zaman, maka dalam hal-hal tertentu bisa dikatakan sudah tidak

relevan, seperti status merdeka, dan yang paling relevan adalah hanya terletak

pada hal agama saja, sesuai yang dijelaskan dalam pasal 44 dan 61 KHI.

15

Latifatun Ni’mah, Konsep Kafaah Dalam Hukum Islam, (Studi Pemikiran as-Sayyid

Sabiq Dalam Kitab Fiqih Sunnah), skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009. 16

Nurin niswatin, Konsep Kafaah menurut Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fath al-

Mu‟in (Studi Analisis Dengan Perspektif Historis-Sosiologis), skripsi tidak diterbitkan, Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003.

Page 19: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

9

Skripsi Laila Nurmilah yang berjudul “Konsep Kafaah Dalam Pandangan

Abu Yusuf”17

. Disebutkan bahwasanya konsep kafaah menurut Abu Yusuf ada

enam, yaitu, nasab, pekerjaan, keagamaan, keislaman, kemerdekaan dan

kekayaan. Setelah dilakukan analisis, penulis menyimpulkan bahwa kriteria

kafaah hanya ada tiga, yaitu pekerjaan, kekayaan dan agama. Hal ini didasarkan

pada perubahan dan perkembangan zaman dan bisa direaktualisasikan sesuai

dengan kebutuhan zaman.

Uraian di atas menunjukan bahwasanya skripsi dengan judul Pernikahan

Syarifah dengan Laki-Laki Non Sayyid (Studi Pendapat Habaib pada

Rabithah Alawiyah Jakarta) belum ada satu karya ilmiah pun yang

membahasnya.

E. Kerangka Teori

Dalam literatur kitab-kitab fikih klasik, yakni konsep kafaah yang oleh

para fuqaha’ diberi pengertian sebagai kesepadanan atau kesetaraan dari calon

suami kepada calon istri dalam berbagai kriteria yang telah dirumuskan dan

disepakati oleh para fuqaha’, diantaranya adalah: agama, nasab, merdeka dan

pekerjaan.18

Kafaah memang tidak mempengaruhi sah dan tidaknya pernikahan,

akan tetapi kafaah bisa menjadi syarat sahnya pernikahan jika tidak adanya ridha

dari wanita dan walinya.

17

Laila Nurmilah, Konsep Kafaah Dalam Pandangan Abu Yusuf, skripsi tidak

diterbitkan, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2005 18

Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh „alaa al-Madzahibi al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikr,

2008), IV: 47.

Page 20: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

10

Para Imam madzhab berbeda pendapat tentang permasalahan kriteria

kafaah, kecuali dalam hal agama. Golongan Syafi’iyyah, Hanabilah dan

Hanafiyyah sepakat bahwa nasab termasuk dari bagian kriteria kafaah. Mereka

berpendapat bahwa Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan yang lainnya,

Orang Quraisy kufu’ dengan sesama Quraisy lainnya. karena itu konsep kafaah

inilah yang kemudian mendasari para ulama dalam menentukan tidak bolehnya

pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non sayyid karena dianggap tidak

sekufu dan akan merusak nasab keturunan dari Rasulullah Muhammad SAW,

karena ukuran nasab seseorang dinisbatkan kepada nasab seorang bapak atau

sistem patrilineal.

Kedudukan nasab atau derajat yang tinggi dimana Allah SWT telah

memberikan secara khusus kepada Ahlul Bait merupakan dasar kewajiban kita

untuk mencintai Ahlul Bait, bahkan jangan sampai kita menyakitinya. Jumhur

Ulama sepakat tentang keutamaan dan kekhususan Ahlul Bait, sebab mereka

merupakan orang-orang yang dibersihkan oleh Allah dari dosa-dosa, sebagaimana

firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 33:

جس أهل البيت ويطهسكم تطهيساإوم ليرهب عىكم الس ا يسيد الل

Artinya: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari

kamu, wahai Ahli-Bait dan membersihkan (dosa) kamu sebersih-

bersihnya.”19

19

Al-Ahzab(33): 33.

Page 21: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

11

Imam ar-Razi berpendapat bahwa yang dimaksud Ahli-Bait dalam ayat

tersebut adalah semua anak keturunan nabi Muhammad SAW, istri-istri Nabi, dan

keturunan dari Hasan dan Husein. Disebutkan bahwa maksud dari lafadz

liyudzhiba dan wa yuthohhirokum yaitu Allah SWT berkehendak untuk

membersihkan dosa-dosa mereka dan memberikan derajat yang mulia kepada

mereka.20

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan metode atau cara utama yang digunakan

untuk seorang peneliti dalam mencapai tujuan, cara tersebut digunakan setelah

peneliti memperhitungkan kelayakannya ditinjau dari tujuan situasi dan kondisi.

Untuk mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah dalam

penelitian, maka penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini jenis yang digunakan adalah penelitian lapangan

(field research), yakni penelitian yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat

maupun kelompok tertentu. Dimana peneliti terjun langsung pada obyeknya

dalam hal ini adalah Habaib pada Rabithah Alawiyah Jakarta mengenai

pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non sayyid. Penelitian ini juga

didukung dengan penelitian pustaka (library research) yakni penelitian yang

bersifat kepustakaan.

20

Imam ar-Razi, Tafsir ar-Razi, (Beirut,Dar al-Fikr), hlm. 350.

Page 22: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

12

2. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriktif-analitik yakni penelitian untuk

menyelesaikan masalah dengan cara mendeskripsikan masalah melalui

pengumpulan, penyusunan, dan menganalisa data, kemudian dijelaskan. Dalam

penelitian ini penyusun berusaha mengumpulkan, menyusun kemudian

memaparkan serta menjelaskan pandangan serta penafsiran Habaib pada Rabithah

Alawiyah Jakarta mengenai pernikahan syarifah dengan laki-laki non sayyid.

3. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode:

a. Wawancara (interview), penyusun melakukan wawancara mendalam

(indepth interview) menggunakan dialog, mengajukan pertanyaan dan

meminta penjelasan serta menggali keterangan yang lebih jelas secara

langsung yang berkaitan dengan masalah yang diteliti kepada responden

yaitu dalam hal ini adalah Rabithah Alawiyyah Jakarta.

b. Dokumentasi, yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri buku-buku

relevan dengan judul yang bersangkutan yaitu tentang larangan pernikahan

antara syarifah dengan laki-laki non sayyid dan sumber yang digali dalam

penelitian ini adalah:

1) Sumber data primer, yaitu Alquran, al-Hadits, dan kitab-kitab

Mu’tabarah yang merupakan sumber utama hukum yang berkaitan

dengan pernikahan syarifah dengan laki-laki non sayyid serta

wawancara dengan Habaib pada Rabithah Alawiyyah Jakarta.

Page 23: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

13

2) Sumber data sekunder, yaitu buku-buku yang relevan dengan

penelitian yang dibahas.

4. Analisis Data

Analisis data yaitu suatu cara yang dipakai untuk menganalisa,

mempelajari serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat diambil suatu

kesimpulan yang konkrit tentang permasalahan yang diteliti dan dibahas.21

Dalam

penelitian ini penyusun menggunakan analisis data yang meliputi:

a. Induktif, yaitu metode berfikir dengan cara menganalisa data khusus yang

mempunyai unsur-unsur persamaan untuk diambil suatu kesimpulan

umum. Metode ini digunakan untuk memahami permasalahan yang

bersifat kasuistik yang terjadi secara khusus, berupa pertimbangan-

pertimbangan Rabithah Alawiyyah Jakarta yang kemudian

digeneralisasikan pada kesimpulan umum.

b. Deduktif, yaitu cara memberi alasan dengan berfikir dan bertolak dari

pernyataan yang bersifat umum kemudian ditarik pada persoalan yang

berkaitan dengan penelitian. Metode ini digunakan dalam rangka

mengetahui bagaimana penerapan kaidah-kaidah normativ dalam masalah

perkawinan antara syarifah dengan laki-laki non sayyid.

21

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, (Jakarta: Rineka Cipta,

1993), hlm. 205.

Page 24: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

14

5. Pendekatan penelitian

Sudut pandang yang digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian ini

adalah pendekatan normativ22

yaitu cara mendekati masalah yang diteliti

berdasarkan pada hukum Islam, dalam arti melakukan pemahaman pada teks-teks

Alquran dan Hadits, pendapat para ulama serta kaidah ushul atau kaidah fikih

yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah berguna untuk

menciptakan karya ilmiah yang utuh dan komprehensif, maka skripsi ini dibagi

dalam lima bab yang saling berkesinambungan antara yang satu dengan yang lain.

Bab I, berisi pendahuluan yang menjelaskan arah yang akan dicapai dalam

penelitian ini. Pendahuluan ini meliputi latar belakang masalah, penegasan istilah

dengan judul yang terkait pada skripsi ini, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II, berisi gambaran umum tentang pernikahan dan kafaah yang terdiri

dari beberapa sub bab, yaitu sub bab pertama berisi tentang pengertian nikah dan

dasar hukumnya, rukun dan syarat nikah, pengertian dan kewajiban mencintai dan

menghormati Ahlul Bait, kafaah dalam pandangan Imam madzhab, dan

kedudukan kafaah dalam pernikahan.

22

Bambang Sunggowo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm.

42.

Page 25: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

15

Bab III, berisi tentang tinjauan umum Rabithah Alawiyah Jakarta, terdiri

dari tiga sub bab, yang pertama mendeskripsikan sejarah singkat masuknya

habaib di kota Jakarta, sub kedua mendeskripsikan tentang sejarah masuknya

habaib di Kota Jakarta dan pengaruhnya dalam berdakwah di kota Jakarta, dan

sub ketiga berisi pandangan Habaib pada Rabithah Alawiyah Jakarta tentang

pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non sayyid.

Bab IV, adalah analisis mengenai pemikiran Habaib pada Rabithah

Alawiyah Jakarta terhadap pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non sayyid

dan ditinjau dari perspektif hukum Islam.

Bab V, merupakan bab penutup dari rangkaian bab-bab yang ada dalam

skripsi ini yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.

Page 26: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN KAFAAH

A. Pengertian dan Dasar Hukum

Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata, zawaj. Dalam kamus al-

Munawwir, kata nikah disebut dengan al-nikah ( dan al-zawaj-al-zawj ( الىكاح

atau al-zijah ( Secara harfiah, al-nikah berarti al-wath'u .( السجح –السوج –السواج

( الىطء ), al-dhammu ( الضم ) dan al-jam'u ( الجمع) . Al-wath'u berasal dari kata

wathi'a-yatha'u-wath'an ( اوط –طا –وطا ) , artinya berjalan di atas, melalui,

memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau

bersenggama.1 Al-dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma-yadhummu–

dhamman ( ضما ,secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang (ضم - ضم -

menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul,

memeluk dan menjumlahkan juga berarti bersikap lunak dan ramah.2

Sedangkan al-jam'u yang berasal dari akar kata jama’a-yajma'u-jam'an

( جمعا –جمع –جمع ) berarti: mengumpulkan, menghimpun, menyatukan,

menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya mengapa

bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fikih disebut dengan al-jima'

1 Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1461.

2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42-43.

Page 27: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

17

mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang

terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u.3

Dalam memaknai hakekat nikah, ada ulama yang menyatakan bahwa

pengertian hakiki dari nikah adalah bersenggama (wath’i), sedang pengertian

nikah sebagai akad merupakan pengertian yang bersifat majazi. Sementara Imam

Syafi’i berpendapat bahwa pengertian hakiki dari nikah adalah akad, sedang

pengertian nikah dalam arti bersenggama (wath’i), merupakan pengertian yang

bersifat majazi. Sementara itu ada ulama yang menyatakan bahwa pengertian

nikah adalah antara keduanya yakni antara akad dan wath’i karena terkadang

nikah itu diartikan akad dan terkadang diartikan wath’un (hubungan intim).4

Secara terminologi, nikah di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara

seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Definisi lain tentang nikah adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan

kepada tuntunan agama.5 Ada juga yang mengartikan:

1. Akad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis

dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.

3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 43. 4 Ahmad Atabik dan Khoridathul Mudhiiah, “Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif

Hukum Islam”, Yudisia V, no.2 (Desember 2014), hlm. 287.

5 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:

Graha Paramuda, 2008), hlm. 5.

Page 28: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

18

2. Akad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang

perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis

antara keduanya.6

Dalam Bab 1 pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang di sahkan

tanggal 2 Januari dinyatakan: Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7

Di antara pengertian-pengertian di atas tidak terdapat pertentangan satu

sama lain, bahkan jiwanya adalah sama dan seirama, karena pada hakikatnya

syari'at Islam itu bersumber kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan

demikian, nikah adalah akad yang menjadikan halalnya hubungan suami isteri,

saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban

antara keduanya.

Dalam perspektif fikih, nikah di syariatkan dalam Islam berdasarkan

Alquran, as-Sunnah dan ijma’. Ayat yang menunjukkan nikah di syariatkan adalah

firman Allah dalam Surah an-Nisa [4]: 3 berikut:

ما مكد فاوكحىا ما طاب لكم مه الىطاء مثىى وثلز ورتاع فإن خفرم ألا ذعذلىا فىاحذج أو

لك أدوى ألا ذعىلى ماوكم ر اأ

6 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Mazhab,

(Jakarta:PT.Prima heza lestari, 2006), hlm. 1.

7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 203.

Page 29: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

19

Artinya : “Maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga,

atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.8

Selanjutnya disebutkan dalam surat an-Nur {24}: 32 berikut:

الحه مه عثادكم وإمائكم إن كىوىا فقراء غىهم اللا وأوكحىا الامى مىكم والصا مه فض

واضع عم واللا

Artinya : “Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan

orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang

laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan.”9

Hadist Nabi Saw yang menerangkan masalah ini adalah hadist riwayat Abdullah

bin Mas’ud ra.:

ضرطاع مىكم الثاءج فرسوج فاو اغض لثصر واحصه لفرج ومه لم ا معشرالشثاب مه ا

( رواي الثخاري ومطم) طرطع فع تالصىم فاو ل وجاء

Artinya : “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka

menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan

pandangan dan menjaga kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang

siapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa

itu adalah sebuah penawar.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).10

Ijma’ para ulama sepakat mengatakan nikah itu di syariatkan.

8 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 4-5

9 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 5.

10 Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, (Riyadh: Ummul Qura, 2013), hlm. 208

Page 30: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

20

Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah menjadi

sunnah, wajib, makruh dan haram. Perinciannya sebagaimana dibawah ini.11

1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk

menikah dan khawatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia

wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram.

2. Haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan

membawa mudharat kepada istrinya karena ketidak mampuan memberi

nafkah lahir dan batin.

3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama bagi yang apabila tidak

menikah sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram

dan apabila ia menikah, ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa

mudharat kepada istrinya. Ini di dasarkan pada firman Allah swt .

الحه مه عثادكم وإمائكم إن كىوىا فقراء غىهم اللا وأوكحىا الامى مىكم والصا

واضع عم واللا مه فض

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang

lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka

miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah

Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.12

Hadist Nabi Saw riwayat Abdullah bin Mas’ud ra.:

11

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 6-8.

12 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 6

Page 31: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

21

ا معشرالشثاب مه الطرطاع مىكم الثاءج فرسوج )رواي الثخاري ومطم(

Artinya : “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka

manikahlah”. (HR. Al-Bukhori dan Muslim).13

Namun menurut Syafi’iyah, menikah dalam kondisi seperti ini adalah mubah dan

lebih baik baginya memfokuskan diri untuk beribadah atau menyibukkan diri

dalam menuntut ilmu. Karena Allah Swt. Memuji Nabi Yahya as dalam firman-

Nya surah Ali Imran [3]: 39:

الحه وضذا وحصىرا ووثا مه الصا

Artinya : “Kemudian Malaikat (Jibril memanggil Zakariya, sedang ia tengah

berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah

menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang

membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri

(dari hawa nafsu.) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang shalih.”14

Menahan diri dalam ayat ini berarti tidak bercampur dengan wanita, maka

seandainya menikah itu lebih baik maka Allah tidak akan memuji Nabi Yahya as

tatkala meninggalkannya. Dan firman Allah dalam Surah Ali Imran [3]: 14

berikut:

زه لىااش حة الشاهىاخ مه الىطاء والثىه

Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-

apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, dan anak-anak.”15

13

Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, (Riyadh: Ummul Qura, 2013), hlm. 208

14 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 7.

15 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 7.

Page 32: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

22

Ungkapan ayat di atas tentang kecintaan manusia akan wanita adalah ungkapan

yang mengandung dzamm (celaan). Maka jika itu merupakan celaan, lebih baik

memfokuskan diri untuk beribadah.

Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah jumhur ulama karena ada riwayat yang

menerangkan bagaimana Rasulullah Saw melarang umatnya menjauhi wanita

dengan tujuan fokus untuk ibadah berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh

Anas bin Malik ra.:

وافطر واص وارقذ واذسوج الىطاء فمه رغة عه ضىر فص مىولكى اصىم

)رواي الثخاري ومطم(

Artinya : “Akan tetapi saya juga puasa, berbuka, shalat, bersenggama dan

menikahi wanita-wanita. Maka barang siapa yang tidak suka sunnahku

maka tidak termasuk dari umatku.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).16

B. Rukun dan Syarat

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua

kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa keduanya merupakan

sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan, sebagai perbuatan

hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak boleh ditinggalkan. Perkawinan

menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

16

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 8.

Page 33: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

23

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya

suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,

seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat atau

adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.17

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya

suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak masuk dalam rangkaian

pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Atau, menurut Islam, calon

pengantin laki-laki/ perempuan itu harus beragama islam.18

Menurut ulama Syafi’iyah bahwa rukun perkawinan bukan hanya

berkaitan dengan akad nikah, melainkan keseluruhan dari segala unsur-unsurnya.

Dengan begitu rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam

suatu perkawinan. Adapun syarat dan rukun nikah sebagaimana di ketahui

menurut UU No. 1/1974 tentang pernikahan bab 1 pasal 2 dinyatakan: pernikahan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya.19

Berikut rukun akad pernikahan ada lima20

, yaitu:

1. Adanya calon suami, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam

17

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: kencana, 2003), hlm. 45-46.

18 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, hlm. 46.

19 Direktorat Pembina Badan PA Islam, Himpunan Peraturan PP Dalam Lingkungan PA,

(Jakarta, 2001), hlm. 131.

20 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 30-32.

Page 34: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

24

b. Merdeka

c. Berakal

d. Benar-benar laki-laki

e. Adil

f. Tidak beristri empat

g. Tidak mempunyai hubungan mahram (haram di nikahi) dengan

calon istri

h. Tidak sedang berihram haji atau umrah

2. Adanya calon istri, syarat-syaratnya:

a. Muslimah

b. Benar-benar perempuan

c. Telah mendapat izin dari walinya

d. Tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah

e. Tidak mempunyai hubungan mahram (haram dinikahi) dengan

calon suami

f. Tidak sedang berihram haji atau umrah

3. Adanya wali, syarat-syaratnya:

Page 35: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

25

a. Muslim

b. Berakal

c. Tidak fasik

d. Laki-laki

e. Mempunyai hak untuk menjadi wali

4. Adanya saksi, syarat-syaratnya:

a. Muslim

b. Baligh

c. Berakal

d. Merdeka

e. Laki-laki

f. Adil

g. Pendengaran dan penglihatannya sempurna

h. Memahami bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul

i. Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah

5. Pengucapan shigat ijab qabul, syarat-syaratnya:

a. Lafaz ijab dan qabul harus lafaz nikah atau tazwij

Page 36: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

26

b. Lafaz ijab qabul bukan kata-kata kinayah (kiyasan)

c. Lafaz ijab qabul tidak di ta’liqkan (dikaitkan) dengan suatu syarat

tertentu yang dilarang agama, misalnya, “Aku nikahkan engkau

dengan anakku dengan syarat engkau segera membangun rumah.”

d. Lafaz ijab qabul harus terjadi pada satu majelis, dan harus segera

diucapkan dengan ijab.

Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut di atas wajib

dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan

tidak sah. Disebutkan dalam Kitab al-Fiqh ’ala al-Madzahib al-Arba’ah:

“Nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang

nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya. Dan hukum,

nikah fasid dan nikah bathil adalah sama, yaitu tidak sah.21

Kompilasi

Hukum Islam menjelaskan rukun nikah dalam pasal 14, yaitu: (a) calon

suami, (b) calon istri, (c) wali nikah, (d) dua orang saksi, dan (e) ijab dan

qabul.22

21

Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 4, Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, hlm. 118.

22 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Humaniora Utama Press, 1991/1992),

hlm. 18.

Page 37: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

27

C. Kedudukan Kafaah dalam Pernikahan Menurut Imam Madzhab

1. Pendapat Imam Hanafi

Kafaah diartikan sebagai kesepadanan antara laki-laki dan perempuan

dalam lima kriteria:

a. Nasab. Nasab dibagi menjadi dua golongan Arab dan ajam,

sementara Arab terbagi kembali dalam dua golongan yaitu:

Quraisy & non Quraisy, seperti laki-laki Quraisy sekufu dengan

perempuan Quraisy walaupun berbeda kabilah. Sementara

perempuan Arab non Quraisy sekufu dengan laki-laki Arab dari

kabilah manapun dan laki-laki ajam tidak sekufu bagi perempuan

Quraisy.23

b. Islam. Orang Quraisy sekufu dengan sesamanya, agama tidak

menjadi masalah bagi orang Quraisy, seperti: Orang tua seorang

laki-laki muslim tidak beragama Islam, sedangkan orang tua

perempuan muslimah beragama Islam masih dikategorikan sekufu.

c. Kemerdekaan. Tidak ada masalah dalam hal kemerdekaan, karena

orang Arab tidak boleh di perbudak. Sedangkan bagi orang Ajam,

nasab yang berlaku hanya kemerdekaan dan keislamannya saja.

Lelaki yang merdeka dan memiliki ayah budak, tidak sekufu

dengan perempuan merdeka.24

23

Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm. 46.

24 Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm. 47

Page 38: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

28

d. Pekerjaan. Seorang laki-laki sepadan dalam hal pekerjaan dengan

keluarga perempuan dan ukuran kesepadanannya adalah adat dan

tradisi yang berlaku di masyarakat.

e. Keagamaan. Keagamaan ini hanya berlaku bagi orang ajam dan

Arab. Seperti orang fasik tidak sekufu dengan perempuan shalihah

yang memiliki ayah shalih.

2. Pendapat Imam Syafi’i

Kafaah menurut Mazhab syafi’i seperti dikutip Hasyim Assegaf,25

adalah

persamaan dan kesempurnaan, persamaan ini terbagi kepada empat

kriteria:

a. Nasab. Orang Ajam hanya berhak menikah dengan orang Ajam,

orang Quraisy hanya berhak menikah dengan orang Quraisy.

Madzhab Syafi’i memiliki persepsi yang sama dengan madzhab

Hanafi tentang golongan tertinggi di masyarakat Arab.

b. Agama, Laki-laki harus sama dalam hal istiqamah dan kesucian.

Laki-laki yang fasik tidak sekufu dengan perempuan yang

istiqamah kecuali telah bertaubat, sementara laki-laki pezina tidak

kufu dengan perempuan yang suci meskipun laki-laki tersebut telah

bertaubat.

25

Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm. 49.

Page 39: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

29

c. Kemerdekaan. Hanya berlaku pada pihak laki-laki dan tidak pada

perempuan, karena laki-laki dapat menikah dengan siapa saja baik

hamba atau sederajat.

d. Profesi. Laki-laki miskin yang pekerjaannya tergolong rendah tidak

sekufu dengan perempuan yang kaya, namun laki-laki yang miskin

dapat sekufu dengan perempuan yang kaya dengan syarat kerelaan

orang tua.

3. Pendapat Imam Hambali

Mendefinisikan kafaah dengan kesamaan dalam lima hal26

:

a. Keagamaan. Laki-laki fasik tidak sekufu dengan perempuan suci

dan shalihah

b. Pekerjaan. Laki-laki yang memiliki pekerjaan yang dianggap

rendah, dan hina tidak kufu dengan perempuan yang memiliki

pekerjaan yang mulia.

c. Harta. Laki-laki yang miskin tidak kufu dengan perempuan yang

kaya, karena berhubungan dengan mahar dan nafkah.

d. Kemerdekaan. Dalam hal kemerdekaan dibedakan antara budak

laki-laki dan perempuan, Karena laki-laki budak dianggap tidak

sekufu dengan perempuan merdeka.

e. Nasab. Laki-laki ajam tidak sekufu dengan perempuan Arab.

26

Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm. 53

Page 40: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

30

4. Pendapat Imam Malik

Madzhab Maliki tidak mengakui kafaah dalam nasab kemerdekaan

dan harta, karena masalah kafaah dalam perkawinan hanya berhubungan

dengan dua hal yang menjadi hak bagi perempuan bukan walinya yaitu :

a. Keagamaan : yakni muslim bukan fasik

b. Bebas dari aib : yang dapat membahayakan pihak perempuan.

Page 41: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

31

Untuk lebih mudah memahami pandangan tentang definisi dan unsur kafaah

berdasarkan madzhab secara singkat dapat dilihat dalam tabel dibawah ini

MADZHAB DEFINISI KRITERIA

Imam Hanafi

Kesamaan, Kesepadanan

dan kecocokan antara laki-

laki dan perempuan

Keturunan, Islam, Merdeka,

Keshalihan, Pekerjaan

Imam Syafi’i

Kesamaan dan Kesepadanan

dalam perkawinan yang

menjadi aib apabila tidak

menjalankan

Nasab, Agama,

Kemerdekaan, Pekerjaan

Imam Hambali

Kesepadanan antara laki-laki

dan perempuan dalam lima

hal

Keagamaan, Pekerjaan,

Harta, Kemerdekaan dan

Nasab

Imam Malik

Kesepadanan dan Kesamaan

yang menjadi hak

perempuan bukan walinya

Keagamaan, Tidak memiliki

aib yang membahayakan bagi

perempuan

Dari data tabel di atas menunjukan bahwa diantara para imam madzhab

yang empat banyak memiliki kesamaan pada definisi dan unsur kafaah. Ini semua

bertujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinah.

Page 42: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

32

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HABAIB PADA RABITHAH ALAWIYAH

A. Sejarah Singkat Masuknya Habaib di Indonesia dan Pengaruhnya

Dalam kehidupan di Indonesia kata habib sudah tidak asing lagi di

masyarakat. Sebutan habib merupakan sebuah gelar yang diberikan para

pecintanya sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada para keturunan

Rasulullah SAW. Di beberapa negara, sebutan untuk dzuriah Rasulullah SAW ini

berbeda-beda. Di Maroko dan sekitarnya mereka dikenal dengan sebutan syarif, di

daerah Hijaz (Semenanjung Arabia) mereka lebih dikenal dengan sebutan sayyid,

sedangkan di nusantara ini umumnya mereka dikenal dengan sebutan habib.1

Pada sekitar abad ke-9 H hingga abad ke-14 H mulai membanjirinya hijrah

kaum Alawiyin keluar dari Hadhramaut. Mereka menyebar ke seluruh belahan

dunia hingga sampailah ke Nusantara ini. Diantara mereka ada yang mendirikan

kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga saat

ini, diantaranya adalah: Kerajaan al-Aydrus di Surrat India, Kesultanan al-Qadri

di kepulauan Komoro dan Pontianak, Kesultanan al-bin Syahab di Siak dan

Kesultanan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawiyin pada masa itu adalah al-

„Allamah al-Imam al-Qutub al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad ra, penyusun

Ratib al-Haddad.2

1 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 3. 2 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 3.

Page 43: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

33

Alawiyyin atau Bani Alawi atau Ba‟alawi atau al-Abi Alawi adalah orang-

orang yang bernasab kepada Baginda Rasulullah SAW melalui jalur kedua

cucunda beliau SAW. Baginda Nabi Muhammad SAW mempunyai putra namun

meninggal kala balita, maka berdasarkan sabda beliau SAW sendiri, bahwa

keturunannya melalui al-Hasan dan al-Husein.3

Mereka itu adalah keturunan Baginda Rasulullah SAW atau dzurriyah ar-

Rasul yang nasabnya melalui sayyidina Alwi bin „Ubaidillah bin Ahmad al-

Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali al-„Uraidhi bin Ja‟far ash-Shadiq bin

Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein putera Sayyidina Ali bin

Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW.4

Disamping Alawiyyin masih ada lagi keturunan Baginda Rasulullah SAW

yang lain, yaitu mereka yang bernasab kepada Sayyidina Husein putera Sayyidina

Ali bin Abi Thalib ra dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah SAW, tapi

nasabnya tidak melalui jalur Sayyidina Alwi bin „Ubaidillah. Mereka itu tidak

disebut Alawiyyin sebab nasabnya tidak melalui jalur Alwi. (Muhammad Hasan

Aidid, Petunjuk Monogram Silsilah Berikut Biografi dan Arti Gelar Masing-

masing Leluhur Alawiyyin. Penerbit Amal Saleh, Malang, tahun 1999).

Selain keturunan Sayyidina Husein, keturunan Sayyidina Hasan juga

disebut dzurriyah ar-Rasul atau keturunan Rasulullah SAW. Mereka dikenal

dengan sebutan syarif, yang dalam bentuk jamak disebut asyraf. Sedangkan

3 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 4. 4 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 4.

Page 44: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

34

keturunan Sayyidina Husein dikenal dengan sebutan sayyid, dalam bentuk jamak

disebut saadat. Sedangkan di Indonesia, baik keturunan Sayyidina Hasan ataupun

Sayyidina Husein tersebut dipanggil dengan sebutan habib (bentuk tunggal dari

habaib).

Dalam buku „Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh‟, „Prof. Dr. Hamka

menyebutkan bahwa gelar syarif khusus digunakan bagi keturunan Sayyidina

Hasan dan Husein apabila menjadi raja. Banyak dari para sultan di Indonesia

adalah keturunan Rasulullah SAW, diantaranya adalah sultan di Pontianak yang

mereka digelari syarif. Sultan Siak terakhir secara resmi digelari Sultan Sayyid

Syarif Qasim bin Sayyid Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin. Demikian pula

dengan pendiri kota Jakarta yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, ia

digelari Syarif Hidayatullah.5

Kemudian Buya Hamka menjelaskan, bahwa dalam sebuah hadits,

Rasulullah SAW bersabda yang artinya: „Sesungguhnya anakku ini adalah

pemimpin (sayyid) pemuda ahli surga‟ (Seraya menunjuk kedua cucu beliau,

Sayyidina Hasan dan Husein). Berlandaskan hadits tersebut, sudah menjadi tradisi

turun-temurun bahwa setiap keturunan Sayyidina Hasan dan Husein digelari

sayyid. Dipandang sangat tidak hormat kepada Rasulullah SAW jika ada yang

mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki keturunan dan mengatakan

bahwa orang yang mengkau keturunan beliau SAW adalah seorang yang

5 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 5.

Page 45: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

35

berbohong. Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang yang

dihatinya terdapat perasaan iri dan dengki (hasud).

Diantara keistimewaan nasab Alawiyyin adalah bahwa silsilah nasab

mereka tercatat rapi. Mereka mempunyai satu badan atau lembaga khusus yang

dikenal dengan nama al-Maktab al-Daimi atau Rabithah Alawiyah, berdiri sejak

tahun 1928, yang berpusat di kota Jakarta, yang bertugas khusus mencatat

Ansaabul Alawiyyin (nasab dan silsilah keturunan Alawiyyin) dimanapun mereka

berada, sehingga benar-benar gelar habib atau sayyid tidak disalah gunakan oleh

seseorang. Karenanya apabila ada orang yang bukan dari Alawiyyin mengaku

sebagai seorang Alawi, pasti akan ketahuan. Sebab namanya dan nama kakek dan

datuk-datuknya akan dicocokkan dengan buku induk Ansaabul Alawiyyin yang

ada di al-Maktab al-Daimi.6

Adapun pihak Alawiyyin, sejak dahulu hingga sekarang tetap menganut

akidah atau teologi sebagaimana yang diikuti oleh mayoritas muslimin dunia

sampai saat ini, yaitu akidah Ahlusunnah Wal Jama‟ah. Inilah akidah yang

berpegang teguh kepada segala apa yang dilakukan dan terapkan oleh Baginda

Rasulullah SAW bersama para sahabatnya. Kemudian secara mutawatir

(berkesinambungan) sanad (mata rantai) bersambung ke para tabi‟in,

tabi‟uttabi‟in, para pendiri madzhab, para ulama sampai ke habaib beserta para

6 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 6.

Page 46: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

36

kyai (dalam konteks Indonesia) ketika menyebarkan Agama Islam disini dengan

ajaran Sunni dalam empat madzhab.7

Mereka menerima akidah Ahlusunnah Wal Jama‟ah tersebut secara

sambung-menyambung hingga sampailah kepada kakek-kakek mereka, hingga

bermuara kepada Baginda Rasulullah SAW. Dalam konteks ini al-„Allamah al-

Habib Idrus bin Umar al-Habsyi ra menulis dalam kitabnya yang berjudul al-

„Iqdu al-Yawaqit al-Jauhariyah, menerangkan bahwa Alawiyyin yang ada di

Hadhramaut seluruhnya adalah Ahlusunnah Wal Jama‟ah, Asy‟ari (aqidatan

dalam teologi) dan Syafi‟i (madzhaban dalam fikih atau hukum Islam).

Mereka mempunyai dasar ilmu pengetahuan yang sama dan tidak ada yang

bertentangan satu dengan yang lain. Sehingga merupakan mata rantai yang apabila

digerakkan yang satu akan bergerak pula yang lain, dikarenakan mereka

bersumber dari kakek mereka Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra yang dibawa oleh

Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husein ra dan diteruskan oleh Sayyidina al-Faqih

al-Muqqadam Muhammad bin Ali Ba‟alawi ra. (al-„Iqdu al-Yawaqit al-

Jauhariyah, karya al-Imam al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi).8

Disamping keterangan al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi ra dan al-Habib

Abdullah bin Alawi al-Haddad ra di atas, al-Imam al-Habib Ahmad bin Hasan al-

Attas ra dalam kitabnya yang berjudul al-Tadzkir al-Naas juga menerangkan,

7 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 6. 8 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 7.

Page 47: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

37

bahwa Alawiyyin adalah pengikut yang menjalankan dengan benar-benar Akidah

Ahlusunnah Wal Jama‟ah.9

Menurut al-Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri, Wali Songo yang

menyebarkan dakwah Islamiyah di Indonesia, mereka adalah para Alawiyin yang

datang dari negeri Hadhramaut. Mereka merupakan para dzuriyat Rasulullah

SAW yang silsilahnya bersambung pada al-Imam Ahmad al-Muhajir. Silsilah

Wali Songo sampai kepada al-Imam Alwi „Amm al-Faqih al-Muqaddam (paman

dari al-Imam al-Faqih al-Muqaddam).10

Dari rujukan berbagai buku sejarah yang mu‟tabar (dikenal atau diakui).

Pasti kita temukan bahwa para Wali Songo itu adalah keturunan Ba‟alawi yang

selalu berpegang teguh pada ajaran para leluhurnya, yaitu bermadzhab Syafi‟i

secara fikih dan secara akidah mereka menganut teologi Abu Al-Hasan Al-

Asy‟ari11

dan Abu al-Mansur al-Maturidi,12

sedangkan manhaj dakwah mereka

mengikuti Thariqah Ba‟alawi. Selanjutnya, al-Habib Salim Bin Abdullah asy-

Syathiri mengingatkan, agar umat Islam mempertahankan akidah yang telah

dibawa oleh Wali Songo dan tetap berada dalam thariqah salafunasshalihin, para

generasi terdahulu yang memiliki keimanan yang kuat. Menurutnya, akidah ahlu

9 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 8. 10

Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang: Pustaka Basma, 2013), hlm. 8.

11 Deklarator Faham Ahlu Al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang doktrinnya disebut al-

Asy’ariyah 12

Deklarator Faham Ahlu Al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang doktrinnya disebut al-Maturidiyah

Page 48: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

38

al-sunnah wa al-jamaa‟ah adalah ajaran yang sudah mu‟tabar serta diakui oleh

mayoritas ulama.13

Sejak ratusan tahun yang lalu, para Alawiyyin (keturunan al-Imam Alwi

bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa) atau yang di Indonesia orang

mengenalnya dengan sebutan habib, dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih

berdakwah ke berbagai belahan dunia. Sejak dahulu, kawasan Asia Tenggara pada

umumnya dan Indonesia pada khususnya telah menjadi salah satu tujuan dakwah

mereka.

Rute perjalanan para Alawiyyin tersebut adalah: Hijaz, India, Kamboja,

Filipina dan yang terakhir adalah Indonesia. Dari abad ke abad mereka terus

berdatangan ke Nusantara ini. Sebagian besar mereka datang ke Indonesia dan

menetap hingga akhir hayatnya, sedangkan sebagian lagi pulang kembali ke

kampung halamannya di Hadhramaut. Adapula yang meninggalkan Indonesia,

namun mereka tidak kembali lagi ke Hadhramaut, melainkan melanjutkan

pengembaraan dakwahnya ke negeri-negeri lain di kawasan Asia hingga Afrika.14

Meskipun banyak diantara mereka yang meninggalkan Indonesia, namun

yang tetap tinggal jumlahnya jauh lebih banyak. Sehingga Indonesia kemudian

menjadi pusat komunitas para Alawiyin di dunia, disamping Hadhramaut. Bahkan

menurut survey, jumlah Alawiyin di Indonesia lebih banyak dibandingkan yang

berada di negeri nenek moyang mereka sendiri (Hadhramaut). Tidak

13

Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang: Pustaka Basma, 2013), hlm. 17.

14 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 19.

Page 49: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

39

mengherankan jika didalam literatur Islam, Indonesia disebut sebagai al-Mahjaru

al-Tsani (tempat hijrah kedua) bagi para Alawiyin.15

Para Alawiyin tersebut juga yang berperan dalam mendirikan,

mengembangkan serta mempertahankan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Setelah tumbangnya sistem kerajaan di Indonesia, mereka masih berperan aktif

dalam kancah dakwah di Indonesia. Mereka secara aktif ikut serta dalam

perjuangan melawan penjajah, bahkan diantara mereka tercatat sebagai pemimpin

dan pendorong gerakan kemerdekaan.

Hingga abad ke-20 M ini pun mereka masih memegang peranan dalam

kancah dakwah di Tanah Air, baik mereka yang datang langsung dari Hadhramaut

maupun yang lahir dan berasimilasi dengan penduduk pribumi. Proses berbaurnya

antara habaib dan penduduk pribumi, khususnya dengan para ulama Tanah Air

sudah berlangsung sejak berabad-abad silam.16

Semua sumber sejarah telah menyebutkan, bahwa yang pertama kali

menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah para habaib yang datang dari

Hadhramaut dan tidak ada satupun ahli sejarah yang memungkirinya. Hal ini

dapat kita lihat dari akidah mayoritas para penduduk di Tanah Air ini yaitu ahlu

al-sunnah wa al-jamaah dengan madzhab Syafi‟i dan berthariqahkan Alawiyyah.

Serta amalan yang berkembang di kalangan ummat Islam mayoritas di Indonesia

15

Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang: Pustaka Basma, 2013), hlm. 19.

16 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 20.

Page 50: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

40

ini, yang merupakan amalan para habaib, seperti pembacaan maulid, tahlil, ratib

serta amalan-amalan lainnya.17

Adapun banyak para sejarawan maupun cendekiawan muslim

mengomentari tentang masuknya Islam melalui tangan para habaib, diantaranya

ialah:18

1. Sejarawan Persia abad pertengahan, asy-Syaikh Nuruddin Muhammad

Awfi menuliskan: „setelah penindasan para keturunan Rasulullah SAW di

masa Bani Umayyah semakin keras, sebagian diantara mereka hijrah ke

perbatasan Cina. Disana mereka mendirikan tempat tinggal, tepatnya di

kawasan tepi sungai. Dalam perkembangannya, para kaum Alawiyin

tersebut menyebar ke kawasan Asia Tenggara dan memegang peranan

penting. Diantara mereka ada yang hijrah ke pulau Jawa, yang saat itu

masih dikuasai oleh kerajaan Majapahit yang beragama Hindu.‟

2. Sejarawan Hadhramaut, asy-Syaikh Shaleh al-Bakri, dalam kitabnya yang

berjudul Tarikh Hadhramaut (diterbitkan pada tahun 1936 M) menuliskan:

„Tidak diragukan lagi, hijrahnya Alawiyin Hadhramaut ke Jawa dan

pulau-pulau sekitarnya adalah hijrah terbesar dalam sejarah Alawiyin.

Mereka memasuki Timur jauh ketika lautan penuh dengan bahaya. Lalu

mereka turun di pulau-pulau yang subur itu, diantara hasil terbesar dari

17

Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang: Pustaka Basma, 2013), hlm. 17-22.

18 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 23-28.

Page 51: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

41

hijrah tersebut adalah lenyapnya agama Hindu Budha dan tegaknya

panji-panji Islam.‟

3. Cendekiawan Indonesia, Prof. Dr. Hamka, dalam bukunya yang berjudul

„Hamka Membahas Soal-soal Islam,‟ menuliskan: „Sejak zaman kebesaran

kerajaan Aceh, telah banyak keturunan Hasan dan Husein datang ke

Tanah Air kita, sejak dari semenanjung Tanah Melayu kepulauan

Indonesia dan Filipina. Harus diakui, banyak sekali jasa dan peranan

mereka dalam penyebaran agama Islam di seluruh kawasan Nusantara.

Penyebar Islam dan pembangun kerajaan di Banten dan Cirebon adalah

Syarif Hidayatullah yang merupakan keturunan dari Raja Aceh, adapun

yang menyebarkan Islam di kepulauan Mindanau dan Sulu adalah Syarif

Kebungsuan. Setelah Raja Iskandar Muda Mahkota Alam menjadi raja di

Aceh, kemudian naiklah seorang sayyid dari keluarga Jamalullail menjadi

raja. Di Pontianak, juga sayyid dari keluarga al-Qadri menjadi rajanya.

Kepulauan Siak rajanya adalah sayyid dari keluarga al-bin Syahab,

kerajaan Perlis Malaysia dipegang oleh seorang sayyid dari keluarga

Jamalullail. Selain dipanggil sayyid, mereka juga dipanggil dengan

sebutan habib, di Pariaman Sumatera Barat mereka disebut dengan

panggilan sidi. Komunitas mereka tersebar di seluruh dunia, sedangkan

silsilah mereka sampai kepada Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah binti

Muhammad SAW.

Dalam seminar yang bertajuk „Masuknya Islam ke Indonesia‟ yang

diselenggarakan di Medan (pada tanggal 17 hingga 20 maret 1963 M)

Page 52: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

42

menyimpulkan, antara lain: „Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama

hijriyyah langsung dari Hijaz (sekarang orang mengenalnya Arab Saudi) dan yang

pertama kali mereka kunjungi adalah Samudera Pasai, di Pesisir Timur Sumatera,

tempat dimana terbentuknya kerajaan Islam petama kalinya. Selain itu

disimpulkan, bahwa para muballigh yang datang pertama kali adalah para kaum

Alawiyin dari keturunan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein.19

Ada kemungkinan, sebelum sampai ke Nusantara ini mereka singgah

selama beberapa waktu di Gujarat (pantai sebelah barat negeri India), sebelum

melanjutkan pelayarannya ke arah timur (Indonesia, Malaysia, Filipina). Selain

berdakwah mereka juga berniaga. Mereka aktif dalam berdakwah dan cakupan

dakwah mereka meliputi India, Indonesia, Malaya (sekarang dikenal dengan

Malaysia) hingga Filipina dan Tiongkok.‟20

B. Sejarah Berdirinya Lembaga Rabithah Alawiyah Jakarta

Rabithah Alawiyah adalah suatu organisasi masa Islam yang bergerak di

bidang sosial kemasyarakatan. Pada umumnya organisasi ini menghimpun WNI

keturunan Arab, khususnya yang memiliki keturunan langsung dari Nabi

Muhammad SAW. Organisasi ini berdiri pada tanggal 27 Desember 1928 tidak

lama setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.21

19

Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang: Pustaka Basma, 2013), hlm. 27.

20 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:

Pustaka Basma, 2013), hlm. 27. 21

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah

Page 53: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

43

Dalam rangka memelihara dan meningkatkan harkat dan martabat ummat

Islam di Indonesia, khususnya keluarga Alawiyin melalui usaha-usaha sosial

kemasyarakatan dan pendidikan serta dakwah Islamiah melalui pembinaan akhlak

al-karimah serta ukhuwah Islamiah dalam persatuan berbangsa dan bernegara,

maka dua bulan setelah peristiwa Sumpah Pemuda, beberapa tokoh Alawiyin

menganjurkan kepada Pemerintah Belanda untuk mendirikan perkumpulan kaum

Alawiyin yang bernama al-Rabithatoel-Alawijah berdasarkan akta Notaris Mr.

A.H.Van Ophuijsen No. 66 tanggal 16 Januari 1928 dan mendapat pengesahan

dari pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1928 (1346 H), yang ditanda

tangani oleh GR. Erdbrink (Sekretaris Pemerintahan Belanda).22

Untuk merealisasikan program-program Rabithah Alawiyah, beberapa

waktu kemudian didirikan al-Maktab al-Daimi, suatu lembaga yang khusus

memelihara sejarah dan mencatat nasab as-Saadah al-Alawiyin. Maktab ini telah

melakukan pencatatan di seluruh wilayah Indonesia. Pada tanggal 28 Januari

1940, jumlah Alawiyin yang tercatat oleh al-Maktab al-Daimi berjumlah 17.764

orang. Tokoh-tokoh yang telah berjasa antara lain, Sayyid Ali bin Ja‟far Assegaf

dan Sayyid Syekh bin Ahmad bin Shihabuddin.23

Realisasi program Rabithah Alawiyah lainnya adalah di dalam bidang

sosial. Kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh Rabithah Alawiyah antara lain

mendirikan panti asuhan Daar al-Aitam pada tanggal 12 Agustus 1931 di jalan

22

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah 23

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah

Page 54: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

44

karet No. 47, yang dipimpin pertama kali oleh Sayyid Abubakar bin Muhammad

bin Abdurrahman al-Habsyi.24

Perkembangan kegiatan masyarakat Alawiyin khususnya dan keturunan

Arab umumnya di kemudian hari mengikuti pasang surutnya pergerakan politik di

Indonesia. Di antara mereka banyak yang terjun ke bidang politik, bergabung

dalam organisasi Partai Arab Indonesia (PAI), mengingat partai-partai Nasionalis

masih belum membuka diri untuk keturunan asing.25

Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan PAI dibubarkan, mereka berkiprah di

partai-partai politik sesuai dengan hati nurani masing-masing. Sedangkan

perkumpulan Rabithah Alawiyah sebagai kelanjutan dari perkumpulan Jamiat

Kheir tetap bergerak pada bidang sosial kemasyarakatan.26

Hingga kini Rabithah Alawiyah mempunyai jaringan kerja dengan majelis-

majelis taklim di seluruh Indonesia yang dikelola oleh kaum Alawiyin. Disamping

itu organisasi ini juga memfasilitasi pendirian lembaga-lembaga pendidikan mulai

dari tingkat taman kanak-kanak hingga tingkat perguruan tinggi.27

Dalam rangka ikut mensukseskan wajib belajar, Rabithah Alawiyah telah

memberikan bea siswa untuk anak-anak Alawiyin dari tingkat dasar hingga

perguruan tinggi. Sampai saat ini bea siswa telah diberikan kepada 4.040 anak.

24

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah 25

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah 26

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah 27

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah

Page 55: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

45

Sedangkan di bidang kesehatan, Rabithah Alawiyah telah memberikan bantuan

kepada 1.659 orang dalam bentuk bantuan sosial kesehatan.28

Kiprah keluarga besar Rabithah Alawiyah terhadap kepentingan nasionalis

secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui Lembaga Pendidikan

Formal. Pesantren, majelis taklim, majelis dzikir, lembaga kursus keterampilan

yang tersebar di seluruh Tanah Air, turut serta berperan aktif mencerdaskan juga

mendewasakan kehidupan berbangsa dan bernegara, membangun perekonomian

rakyat serta menumbuh kembangkan kecintaan terhadap Negara Persatuan dan

Kesatuan Republik Indonesia.29

Selain itu Rabithah Alawiyah juga berusaha mewujudkan Muslim/Muslimah

Indonesia selaku warga Negara yang berakhlakul karimah, mempunyai kepedulian

dan turut serta bertanggung jawab mengentaskan kemiskinan dan turut peduli

didalam mengatasi persoalan-persoalan sosial yang terjadi di tingkat lokal

maupun Nasional di Tanah Air.30

Adapun para anggota pengurus yang pertama kali dari perkumpulan ini

adalah mereka yang mendirikan yaitu : Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bin

Shihab (Ketua Umum), Sayyid Abubakar bin Abdullah al-Athas (Wakil Ketua I),

Sayyid Abdullah bin Ali al-Aydrus (Wakil Ketua II), Sayyid Abubakar bin

Muhammad al-Habsyi (Bendahara I), Sayyid Idrus bin Ahmad bin Shihab

(Bendahara II), Sayyid Ahmad bin Abdullah Assegaf (Sekretaris), Sayyid Ali bin

28

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah 29

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah 30

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah

Page 56: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

46

Abdurrahman al-Habsyi (Pengawas), Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad

(Pengawas), Sayyid Alwi bin Thahir al-Haddad (Pengawas), Sayyid Umar bin

Abdullah az-Zahir (Pengawas), Sayyid Abdullah bin Abubakar al-Habsyi

(Pengawas), Syekh Salim bin Ahmad Bawazir (Pengawas).31

C. Kewajiban Mencintai Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW dalam Pandangan

Habaib

Nabi SAW dalam beberapa kesempatan, di muka khalayak, seringkali

menunjukkan rasa cinta yang begitu besar terhadap kedua cucu lelakinya, Hasan

dan Husein. Pernah dua cucu kesayangannya itu bermain diantara dua kaki Nabi

SAW saat beliau tengah ruku‟. Kedua putra Fathimah itu pernah pula bermain

kuda-kudaan di punggung beliau saat beliau tengah bersujud. Di kesempatan lain,

Hasan dan Husein bermain dan duduk di tangga mimbar sementara beliau sedang

berkhutbah di hadapan umat.

Ikatan emosional yang terjalin antara Nabi SAW dan kedua cucu lelakinya

mengalir begitu mesra. Melihat ikatan emosional Nabi SAW dengan kedua cucu

lelakinya seolah umat tidak akan lagi melihat hubungan kekerabatan yang terjalin

semesra itu setelahnya. Dan umat menjadi saksi bagaimana sosok Nabi SAW

dengan beban dakwah yang demikian berat masih sempat mengerahkan energi

penuh untuk mencintai kedua cucu lelakinya. Sentuhan batin dan fisik Nabi SAW

pada Hasan dan Husein terlalu transparan untuk disebut hubungan antara kakek

dan cucu. Dan disebut hubungan apalagi mukjizat yang konon tidak muncul

kecuali dalam keadaan terpaksa ditunjukkan beliau saat menyusui cucunya. Air

31

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah

Page 57: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

47

Susu Ibu (ASI) itu keluar dari celah-celah ibu jari beliau dan langsung diminum

oleh cucunya. Kiranya wajar jika Nabi kerap bersabda :

وا مه اند حاوتا ه ما ر انحس إن انحسه

Artinya : “Sesungguhnya Al-Hasan dan Al-Husein adalah kesayanganku dari

dunia”.32

Setelah ayat Al-Kautsar turun, Nabi SAW menjadi lega. Ayat tersebut

menegaskan bahwa ia bukan seorang pria abtar. Dan Ayat itu pula secara tidak

langsung menerangkan bahwa penerus keturunan beliau tidak melalui anak lelaki

seperti pada umumnya. Pada fase selanjutnya, takdir Allah SWT menentukan

bahwa penerus keturunan Nabi SAW melalui putri tercintanya, Sayyidah

Fathimah Az-Zahra ra, karena hanya Fathimah yang dikaruniai Allah SWT anak

lelaki.33

Kemuliaan pada sosok-sosok Ahlul Bait Nabi SAW dan perintah-perintah

untuk menghormati dan mencintai mereka merupakan sebuah keputusan langit

yang telah menjadi ketetapan dalam ajaran Islam secara universal. Sebagaimana

Allah SWT mengatakan kepada Nabi Muhammad SWT di dalam Surat Asy-

Syuura : 23 :

مهقتزفحسىتوزدنفاحسىا د ةفانقزب انم أجزاإل قملأسأنكمعه

غفرشكر الل إن

Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) bahwa aku tidak

meminta upah apapun atas dakwahku kecuali kasih sayang pada

32

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Juz VII,(Mesir, Daar al-kutub al-Ilmiyyah), hlm. 464. 33

Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafa’ah Syari’at Pernikahan Keluarga Nabi SAW, (Jakarta, El-Batul Publisher, 2007), hlm. 2-3.

Page 58: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

48

keluarga (ku). Barang siapa berbuat kebajikan baginya kami

tambahkan kebaikan pada kebajikannya itu. Sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Pembalas Syukur”. (Q.S. Asy-Syuura :

23).

Imam Ahmad bin Hanbal, Thabrani, dan Al-Hakim meriwayatkan sebuah

hadits dari Ibnu Abbas r.a yang mengatakan, bahwa setelah turunnya ayat ini para

sahabat bertanya :

“Ya Rasulallah siapakah kerabat Anda yang wajib kami kasihi?Ali, Fathimah,

dan dua orang anak mereka berdua (Hasan dan Husein)“, jawab Rasulullah

SAW.

Sesungguhnya di atas kertas cinta terhadap Ahlul Bait merupakan suatu

kewajiban setiap mukmin. Maka gunakan kesempatan hidup berdampingan

dengan mereka untuk tidak menyakiti dan mengganggu mereka serta

menghormati eksistensi mereka, baik ketika mereka masih hidup atau setelah

mereka wafat. Dan bagi orang mukmin yang tulus melakukannya Allah SWT

akan berikan karunia kepadanya.34

Dalam kaitannya dengan argumen Ahlul Bait, kaum muslimin juga dapat

menilai sejauh mana penekanan Rasulullah SAW pada masalah ini, sebagaimana

dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

نماغذكممهوعم -صهاللعهسهمأحباالل عهابهعب اسقالقالرسلالل

.)رايانتزمذ( تنحب مب اأ أحب الل وبحب أحب

34

Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafa’ah Syari’at Pernikahan Keluarga Nabi SAW, (Jakarta, El-Batul Publisher, 2007), hlm. 4.

Page 59: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

49

Artinya: “Dari Ibnu Abbas berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Cintailah

Allah karena Allah telah memberi nikmat kepada kalian. Cintailah Aku

karena cinta kepada Allah dan Cintailah keluargaku karena cinta

kepadaku” (HR. At-Tirmidzi)

Konteks mencintai dan mengasihi Ahlul Bait sesungguhnya bukan

dilandasi oleh kemauan pribadi atau disebabkan faktor kekerabatan mereka

dengan Nabi, melainkan lebih didasari oleh rasa cinta pada Allah SWT dan Rasul-

Nya (ta‟abbudiyyah).

Seringkali pola pikir manusia mengalami fase kerancuan yang

membingungkan. Kerancuan yang melebar hingga menyentuh tipikal sosok Nabi

SAW yang mulia. Lalu tanpa beban pola pikir itu dengan seenaknya menilai,

mengatur bahkan memfonis jalan hidup Rasulullah SAW yang jelas-jelas skenario

beliau telah digariskan oleh Allah Azza Wa Jalla.

Rasulullah SAW tak ubahnya manusia lain yang memiliki rasa kasih pada

istri, anak, menantu, saudara, maupun kerabat. Menyayangi anak cucu atau

kerabat adalah sifat manusiawi dan sudah menjadi sebuah kodrat alam, tapi untuk

sosok Muhammad yang tengah mengemban tugas suci, dimana umat Islam selalu

menanti tindak-tanduk beliau yang terlanjur dipercaya bijaksana.

Memprioritaskan emosional pribadi atau keluarganya adalah buah simalakama

yang menakutkan. Kesan nepotisme atau penentangan terhadap perintah Allah

jelas akan menjadi alternatif pilihan yang akan diterima Rasulullah sebagai

dampak dari penerapan cinta terhadap Ahlul Bait. Dan seandainya saja Alquran

Page 60: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

50

yang mulia itu tidak pernah menyinggung masalah Ahlul Bait niscaya Nabi tidak

akan terbebani oleh perasaannya. Namun demikian pribadi seperti Muhammad

SAW tidak akan pernah berani membantah instruksi langit meskipun pada

akhirnya hal itu memberatkan dirinya sendiri.35

Memuliakan kerabat Nabi adalah bagian dari ciri-ciri orang yang

bertakwa. Maka seorang hamba belum diangap orang yang bertakwa pada Allah

selama ia belum mentaati Rasulnya, dan bukan pula ia tergolong orang-orang

bertakwa apabila ia menafikan dan mengkhianati wasiat Rasulullah SAW,

termasuk pula memutuskan tali nasab seorang syarifah dengan beliau.

Ulama-ulama salaf terdahulu begitu hormat dengan Ahlul Bait maupun

keturunan mereka. Tak satupun dari mereka berani melakukan ataupun

melegalkan pernikahan tanpa dilandasi kafaah, apalagi sampai menganjurkannya.

Maka banyak hadits Nabi SAW yang menekankan betapa seharusnya menjadi

suatu kewajiban seorang muslim untuk menghormati, menjaga serta memelihara

nasab Nabi SAW, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari

„Iyadh Al-Anshari ra:

“Jagalah kehormatanku didalam perihal sahabat-sahabatku dan orang-

orang yang bersambung kefamilian denganku. Maka barang siapa menjaga

(kehormatan) aku dalam hal tentang mereka, Allah akan melihatnya di dunia dan

akhirat (dengan pandangan rahmat). Dan barang siapa tidak menjaga

kehormatanku dalam hal tentang mereka itu, maka Allah akan membiarkannya

(jauh dari pandangan rahmat). Dan arang siapa dibiarkan Allah, kelak tentu

akan ditindak oleh Allah SWT”. (HR. Al-Baghawi dari „Iyadh Al-Anshari ra)

35 Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafa‟ah Syari‟at Pernikahan Keluarga Nabi SAW,

(Jakarta, El-Batul Publisher, 2007), hlm. 5-6

Page 61: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

51

Kalangan Ajam memiliki ulama salaf yang mengerti betul tentang

kedudukan keturunan Nabi SAW. Dengan ilmu dan kelapangan hati mereka dapat

bersosialisasi dengan anak cucu beliau, mereka dapat berinteraksi dengan para

anak cucu beliau diiringi segenap perasaan cinta yang tulus yang mampu

membersitkan keinginan begitu kuat untuk menjalin hubungan kekerabatan

dengan keluarga nubuwwah (Nabi SAW). Mereka nikahkan putri mereka dengan

lelaki yang bernasab kepada Rasulullah SAW (Sayyid/Syarif). Dalam hal yang

satu ini seringkali tanpa sungkan mereka meminta sayyid untuk menikahi anak

gadis mereka. Terlepas dari seberapa besar cinta mereka terhadap keturunan Nabi

SAW namun yang pasti mereka tidak akan menyerahkan putrinya begitu saja

kepada seorang sayyid kecuali setelah mereka yakin akan kualitas kepribadian

putrinya. Melalui serangkaian pendidikan dan gemblengan agama, etika, cinta,

serta berbagai ilmu sebagai bekal pengabdian pada calon suami yang memiliki

hubungan kerabat dengan Nabi SAW, barulah mereka berani menyerahkan

putrinya untuk dinikahi oleh sayyid. Hal ini mereka lakukan tak lain hanya ingin

memperoleh hubungan kekerabatan dengan Rasulullah SAW melalui putrinya.

Disamping itu mereka sangat yakin bahwa kekerabatan mereka dengan Nabi

SAW sebagai suatu hal yang dapat membawa berkah, dan sama sekali bukan

didasari oleh tuntutan duniawi.36

Dalam menjelaskan keutamaan keturunan Rasulullah SAW melalui

Sayyidah Fathimah, al-„Allamah Ibnu Hajar al-Asqalani dalam salah satu

karyanya “al-Shawaiq al-Muhriqah”, menerangkan sebagai berikut : “Barang

36

Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafa’ah Syari’at Pernikahan Keluarga Nabi SAW, (Jakarta, El-Batul Publisher, 2007), hlm. 19-20.

Page 62: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

52

siapa mengganggu salah seorang putra Fathimah, ia akan menghadapi bahaya

karena perbuatannya itu membuat marah Sayyidah Fathimah ra. Sebaliknya

barang siapa mencintai putra-putri Sayyidah Fathimah, ia akan memperoleh

keridhaannya.” Para ulama khawas (yakni para ulama yang memiliki

keistimewaan khusus) merasa didalam hatinya terdapat keistimewaan yang

sempurna karena kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW dan keturunannya

disebabkan mereka (keturunan Nabi SAW) mempunyai dzat mulia yang

diciptakan dari nur Muhammad sebelum Allah menciptakan bumi dan langit.

Sebagaimana Nabi SAW bersabda :

“Allah telah menciptakan cahaya bagiku dan Fathimah sebelum

menciptakan bumi dan langit. Sebagian sahabat bertanya, “Ya Rasulullah,

bukankah Fatimah adalah manusia biasa? Rasuullah menjawab : “ Fathimah

adalah bidadari berbentuk manusia.”

Dan diantara bidadari yang ada pada dirinya adalah bahwa dia tidak

pernah melihat darah yang keluar dari rahim. Demikianlah Fathimah ra, ia suci

dari haid dan nifas seperti yang disepakati oleh kaum muslimin.37

37

Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 13.

Page 63: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

53

BAB IV

PEMIKIRAN HABAIB PADA RABITHAH ALAWIYAH JAKARTA

TERHADAP PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON

SAYYID

A. Pendapat Habaibpada Rabithah Alawiyyah Tentang Kafa’ahdan Alasannya

Faktor nasab (keturunan) perlu mendapat perhatian yang khusus terhadap

penentuan calon jodoh seseorang, sebab masalah ini banyak mempengaruhi terhadap

sifat, watak dan karakter seseorang. Keturunan merupakan sebagian dari pada darah

kedua orang tuanya.

Dalam hal keturunan orang Arab adalah kufu‟ antara satu dengan lainnya.

Begitu pula halnya orang Quraisy dengan Quraisynya. Karena itu laki-laki yang

bukan Arab (Ajam) tidak sekufu‟ dengan wanita-wanita Arab. Laki-laki Arab tetapi

bukan dari golongan Quraisy tidak sekufu‟ dengan wanita Quraisy.

Menurut Imam Syafi‟i : Laki-laki Quraisy tidak sepadan (sekufu‟) dengan

wanita Bani Hasyim dan wanita Bani Muthalib.

Jika laki-laki Quraisy saja tidak sekufu‟dengan wanita-wanita Bani Hasyim

dan Bani Muthalib, apalagi laki-laki bukan dari golongan Quraisy (Ajam) ingin

menikahi wanita-wanita Bani Hasyim dan Bani Muthalib itu sangat tidak sekufu‟.

Page 64: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

54

Seorang wali tidak boleh mengawinkan seorang perempuan dengan lelaki

yang tidak kufu‟, sebab para wali berhak menghalangi kawinnya perempuan dengan

laki-laki yang tidak sepadan (kufu‟). Imam Syafi‟i berkata : jika perempuan yang

dikawinkan dengan lelaki yang tidak sepadan (kufu‟) tanpa ridhanya dan ridha

walinya, maka perkawinannya batal. Imam Hanafi berkata : jika seorang wanita

kawin dengan seorang pria yang tidak sederajat (kufu‟) tanpa persetujuan walinya,

maka perkawinan tersebut tidak sah dan walinya berhak untuk mengahalangi

perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat tersebut, karena yang demikian

itu akan menimbulkan aib bagi keluarga.1 Imam Ahmad berkata : perempuan itu hak

bagi seluruh walinya, baik yang dekat atau yang jauh. Jika salah seorang dari mereka

tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang tidak sekufu‟, maka ia berhak

membatalkan. Riwayat lain dari Imam Ahmad menyatakan : bahwa perempuan

adalah hak Allah, sekiranya seluruh wali dan perempuannya sendiri ridha menerima

laki-laki yang tidak sekufu‟ maka keridhaan mereka tidaklah sah.2

Pada dasarnya ayat-ayat Alquran yangmenyebutkan keutamaan dan kemuliaan

Ahlul Bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa‟ah dalam

perkawinan syarifah. Salah satu ayat tersebut terdapat dalam Alquran Surat al-

An„Am ayat 87 yang berbunyi :

ىاهم إنى صشاط مغتقم ىاهم وهذ اتهم وإخىاوهم واجتث ومه آتائهم ورس

1Wawancara pribadi dengan Syarifah Azizah (wanita Ahlul Bait), pada 09 Maret 2017 di

gedung Lembaga Rabithah Alawiyah Jakarta. 2Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 18-19.

Page 65: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

55

Artinya : “Dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka,

keturunan dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka

(untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke

jalan yang lurus.” (QS. Al An‟am : ayat 87)3

Hal ini dikuatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib bahwa : “tiada seorangpun

dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Muhammad SAW.” Tentang

keluaga Nabi SAW, Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang

setaraf (sekufu‟) dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan

mereka dalam hal kemuliaan.

Imam Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul

Muthalib, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau

menjawab : “Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal

dari jenis kelompok manusia terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah

terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan

keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku keluarga yang paling baik. Akulah

orang yang terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah

orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi

silsilah.”

Page 66: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

56

Imam Baihaqi, Abu Nu‟aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah,

disebutkan bahwa Jibril as pernah berkata :

قهثت مشاسق الاسض ومغاستها فهم أجذ سجلا افضم مه محمذ وقهثت مشاسق الاسض ومغاستها

فهم أجذ تىى أب أفضم مه تى ههشم

Artinya : “Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak

menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad SAW dan

akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan

Bani Hasyim.”4

Para anggota Ahlul Bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah

mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia

pilihan Allah, yaitu junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Hubungan biologis

itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat

diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah SWT

dalam surat Al-Ahzab ayat 33 dan wasiat Rasulullah SAW berupa hadits Tsaqalain,

disamping itu beliau sendiri telah menegaskan:

اأهاانىاط إن انفضم وانششف وانمىضنح وانىلاح نشعىل الله ورسته فلا تز هثه

الأتاطم

Artinya: „Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan

kepemimpinan ada padaRasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian

diseret oleh kebatilan‟.

4Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 24.

Page 67: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

57

Di dalam hadits yang lain, Rasulullah juga menegaskan :

ثىا الأعمش عه عطح عه أت م حذ ذ ته فض ثىا محم حذ ته انمىزس انكىف ثىا عه حذ

عىهما قالا قال سعىل الله الله ذ ته أسقم سض ععذ والأعمش عه حثة ته أت ثاتت عه ص

خش ه وعهم إو تاسك فكم ما إن تمغكتم ته نه تضهىا تعذي أحذه ما أعظم مه ا عه صهى الله

قا حتى شد ا عه ت ونه تفش ماء إنى الأسض وعتشت أهم ت حثم ممذود مه انغ كتاب الله

ف تخهفىو فهما قال هزا حذث حغه غشة انحىض فاوظشوا ك

Artinya : Telah menceritakan kepada kami „Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah

menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan

kepada kami Al-A‟masy, dari „Athiyyah, dari Abu Sa‟iid. Dan Al-A‟masy

dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam radliyallaahu„anhumaa,

mereka berdua berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu „alaihi

wa sallam : “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu

yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak

akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih besar dari

yang lain, yaitu; Kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari langit

ke bumi, dan „itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah

hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu

perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya

sesudahku"

Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa‟ah

syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi

Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci

yang telah dinikahkan Rasulullah SAW berdasarkan wahyu Allah SWT. Hadits

tersebut berbunyi :

Page 68: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

58

إوما اوا تشش مثهكم أتضوج فكم وأصوجكم إلا فاطمح فئن تضوجها وضل مه انغماء , ووظش

سعىل الله إنى أولاد عه وجعفش فقال تىاتىا نثىىا وتىىوا نثىاتىا

Artinya : “Sesungguhnya aku hanya manusia biasa yang kawin dengan kalian dan

mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku

Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang

diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah SWT). Kemudian

Rasulullah telah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja‟far,

dan beliau berkata : “Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan

anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan

anak-anak perempuan kami.”5

B. Pernikahan Syarifahdengan Laki-Laki Non SayyidMenurut Pemikiran Habaib

Rabithah Alawiyah

Sudah kita ketahui bahwa syarifah amat sangat dianjurkan menikah dengan

laki-laki yang juga golongan Ahlul Bait. Dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsydin

karya al-„Allamah as-Sayyid Abdurahman bin Muhammad bin Husain al-Masyhur

Ba‟alawi, berkata : “seorang syarifah yang dipinang orang selain laki-laki keturunan

Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut.

Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi SAW dan walinya yang terdekat

merestui. Ini dikarenakan nasab mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan.

Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan Sayyidah Fathimah Az-

Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait tersebut.”6

5Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 26.

6Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, (Kediri, PP Hidayah at-Thullab: 1995),

hlm. 132.

Page 69: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

59

Dijelaskan oleh al-„Alim al-„Allamah as-Sayyid Utsman bin Abdullah bin

Agil bin Yahya (Mufti Betawi) dalam kitabnya Qawanin Syar‟iyyah wa Al-Ifta‟iyyah,

berkata : “Dalam perkara kafa‟ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan

perempuan yang tidak sekufu‟ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang

bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya

menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah, namun

para ulama Ahlul Bait mempunyai ijtihad ikhtiar dalam syara‟ yang tiada didapati

oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan

pernikahan wanita keturunan Ahlul Bait Nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari

memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah

tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah

bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara

umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid.”

Mufti Makkah al-Mukarramah, Sayyid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf,

menjelaskan dalam kitabnya „Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu‟in‟

halaman 316-317 :

“Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun

selain anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu‟) dengan anak keturunan

Sayyidah fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah SAW, karena anak

Page 70: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

60

keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam

hal kafa‟ah dan lainnya.7

Menurut penjabaran di atas dapat kita ketahui bahwa : anak-anak perempuan

kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayyid/syarif), begitu pula

sebaliknya anak-anak laki kami (sayyid/syarif) menikah dengan anak-anak

perempuan kami (syarifah). Berdasarkan pendapat atau pandangan Rabithah

Alawiyah jelaslah dasar pelaksanaan kafa‟ah yang dilakukan oleh para keluarga

Alawiyin yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam menikahkan anak putrinya

Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Di zaman Syaikh Umar Muhdhar bin

Abdurrahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi „naqib

al-alawiyin‟ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin

menikahkan putrinya dengan laki-laki yang sekufu‟. Mustahil jika ulama Alawiyin

seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syaikh Abdurrahma al-Saqqaf,

Syaikh Umar Muhdhar, Syaikh Abu bakar al-Sakran, Syaikh Abdullah al-Aydrus,

Syaikh Ali bin Abi bakar al-Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang

sekufu‟ antara syarifah dengan sayyid hanya berdasarkan adat semata-mata dengan

meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah SAW sebagai uswatun hasanah bagi

ummat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal dzhahir tetapi juga

mengetahui hal-hal batin yang didapat karena kedekatannya dengan Alah SWT.

Kepada para ulama, pakar, cendekiawan, penulis, pembaca yang mempunyai pikiran

7Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 30-31.

Page 71: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

61

bahwa ulama Alawiyin yang mewajibkan pernikahan antara syarifah dengan sayyid

berdasarkan adat semata-mata, agar mengkaji kembali mengapa ulama Alawiyin

tersebut mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu disebabkan agar kemuliaan dan

keutamaan anak keturunan Rasulullah tetap terjaga.

Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa‟ah adalah hadits yang

diriwayatkan oleh Thabrani, al-Hakim dan Rafi‟i :

فئوهم عتشت, خهقىا مه طىت وسصقىا فهم و عهم, فىم نهمكزته تفضههم مه أمت

انقاطعه مىهم صهت لا أوضنهم الله شفاعت

Artinya : “maka mereka itu keturunanku yang diciptakan oleh Allah dari darah

dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah

(neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan

mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu

Allah tidak akan menurunkan syafaatku.”

Dalam memahami hadits ini, mustahil akan terjadi pemutusan hubungan

keturunan Nabi SAW kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak, dan tidak

akan terputus nasab seseorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah

dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada Nabi SAW. Dan jika telah

terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad

tidak akan memberi syafaatnya kepada orang yang memutuskan hubungan

keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan laki-laki yang

bukan sayyid.8

8Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 26-27.

Page 72: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

62

Namun demikian, di Indonesia masih ada syarifah yang secara sengaja

menikah dengan laki-laki non sayyid, dan dari pihak lemaba Rabithah Alawiyah tidak

bisa memberikan sanksi tersebut, itu hanya urusan dengan pihak keluarganya saja.9

C. Pernikahan Syarifah dengan Laki-Laki Non Sayyidditinjau dari Perspektif Islam

Konsep kafa‟ah merupakan perwujudan dari kehidupan sosial dalam

berinteraksi di masyarakat, ketika akan memilih pasangan yang akan dinikahi. Pada

dasarnya kafa‟ah sudah diterapkan dimasyarakat namun dalam kafa‟ah tidak diatur

secara jelas mengenai batasan dan ukuran ke-sekufuan seseorang. Namun demikian,

kafa‟ah tetap menjadi pertimbangan, sebab perkawinan merupakan penggabungan

dua keluarga.10

Konsep kafa‟ah yang dimaksud menurut Jumhur Ulama adalah bahwa kufu

(kafa‟ah) yang menjadi ukurannya adalah segi agama dan akhlaknya, bukan nasab,

usaha, kekayaan ataupun sesuatu yang lainnya.11

Jadi dalam hal ini laki-laki sekalipun

bukan dari keturunan orang yang terpandang, ia berhak atas kebolehan untuk nikah

dengan seorang perempuan dari manapun. Manusia pada asalnya dan nilai

kemanusiaannya adalah sama, dan bahwa tidak ada seorang manusiapun yang lebih

mulia di sisi Allah SWT daripada yang lainnya, selain dengan ketaqwaannya kepada-

9 Wawancara pribadi dengan Sayyid Nabil Syauqi al-Qadri (tokoh ulama Ahlul Bait), pada 09

Maret 2017 di gedung Lembaga Rabithah Alawiyah Jakarta. 10

Farhat J. Ziadeh, “Equality (Kafa’ah) In the Muslim Law Of Mariage” American Jurnal Of Comparative Law, (1957): Hlm. 503.

11 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fikih Wanita, (Semarang, 1986), hlm. 370.

Page 73: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

63

Nya dengan menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT dan kewajibannya kepada

sesama manusia.

Oleh karena itu prinsip dalam memilih jodoh yang dikehendaki Islam

merupakan ketentuan dalam beragama dan berakhlak yang luhur, dan bahwa

kemegahan, harta, nasab dan lain-lain, itu semua tidak diakui oleh Islam dan tidak

dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh suatu kebahagiaan yang hakiki baik di

dunia atau di akhirat. Karena dalam Islam semua manusia sama, tidak ada perbedaan

antara si kaya dan si miskin, si putih dan si hitam, si kuat dan si lemah. Itu semua

merupakan dari segi lahiriah saja.

Dalam banyak hal, tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dengan

perempuan dalam pengamalan ajaran agama dan imbalan yang diterimanya dari Allah

SWT atas amalnya. Sebagaimana yang sudah disebutkan dan dijelaskan dalam

Alquran bahwa semua manusia hidup di dunia ini hakekatnya sama, yang

membedakannya hanyalah kadar ketakwaan, keimanan, amal shalih yang mereka

perbuat.12

Ke-Mahabesaran Allah SWT yang telah menciptakan mahluk-Nya berbeda-

beda, baik suku dan bangsa, dan semua itu menunjukkan bahwa agama Islam sangat

memperhatikan dan peduli terhadap persoalan manusia, termasuk salah satunya

hubungan sosial antar manusia, baik suku, bangsa, dan ataupun masyarakat dunia.

12

Amir Syariffudin, Meretas Kebekuan Ijitihad; Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia, Ciputat Press, (Jakarta, 2002) hlm. 174.

Page 74: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

64

Dengan demikian, maka Islam mempunyai reponsibilitas yang tinggi terhadap hak

azasi manusia. Di satu pihak manusia juga harus menghargai dirinya sendiri,

sedangkan di pihak lain manusia juga harus menghargai orang lain.

Dalam Alquran disebutkan secara jelas tentang konsep kafa‟ahdalam

perkawinan. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa‟ah tidak penting dalam sebuah

perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan dengan orang Islam

yang lainnya adalah sama (sekufu). Semua orang Islam asalkan dia tidak pernah

berzina, maka dia berhak kawin dengan semua wanita muslimah yang tidak pernah

berzina.13

Berdasarkan firman Allah SWT Q.S. Al-Hujurat : 10 :

إوما انمؤمىىن إخىج

Artinya : ”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara....”. (Q.S. Al-

Hujurat : 10)14

Begitu juga dengan al-Hasan al-Basri, al-Tsauri, dan al-Karkhi berpendapat

bahwa kafa‟ah bukanlah faktor penting dalam perkawinan dan tidak termasuk syarat

sah atau syarat lazim perkawinan. Menurut mereka, ketidak kufuan calon suami dan

calon istri tidak menjadikan penghalang kelangsungan perkawinan tersebut.15

Alasan-

alasan mereka berdasarkan firman Allah SWT. :

13

Sayyid Sabiq, Fiqh SunnahJilid 3, Terjemah oleh Ismail Madarid Yahya, hlm.37. 14

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hlm. 846. 15

Wahbah Al-Zuhailiy,Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz, 9, hlm. 673.

Page 75: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

65

أتقاكم إن أكشمك م عىذ الله

Artinya: “ ... Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah

ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu ... “. (Q.S. Al-Hujurat :

13).16

Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama dalam

hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan lainnya kecuali

takwa. Dan mereka juga menyatakan bahwa penghormatan dan penghargaan terhadap

darah seseorang dalam hukum pidana ialah sama saja. Jika yang membunuh adalah

orang terhormat dan yang dibunuh adalah orang jelata, maka hukuman qishas tetap

dijalankan. Jika ke-kufuan diterapkan dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula

ketentuan dalam perkawinan seharusnya tidak diterapkan.17

D. Analisis Penulis

Di dalam pernikahan, di samping ada syarat dan rukun yang mempengaruhi sah

tidaknya sebuah pernikahan, terdapat pula konsep kafa‟ah, yakni kesepadanan antara

calon mempelai pria dan wanita dalam berbagai hal termasuk agama, keturunan dan

keilmuannya. Dari konsep kafa‟ah inilah kemudian melahirkan fatwa pelarangan

pernikahan antara wanita syarifah dengan laki-laki non sayyid karena dianggap tidak

kufu dan merusak nasab Nabi Muhammad SAW.

Kafa‟ah merupakan masalah yang diperhitungkan dalam pernikahan sebagai

antisipasi adanya cacat dan bukan untuk sahnya pernikahan. Adanya larangan

16

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hlm. 847. 17

Wahbah Al-Zuhailiy,Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz, 9, hlm. 673.

Page 76: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

66

pernikahan wanita syarifah dengan laki-laki non sayyid merupakan konsep kafa‟ah

dalam pernikahan dilihat dari segi nasab. Sebagaimana diketahui bahwa nasab

merupakan salah satu hal pokok dalam konsep kafa‟ah. Hal ini dapat dilihat bahwa

dalam konsep fikih bernasab Arab merupakan satu kebanggan karena termasuk

sebuah kehormatan, sehingga orang Ajam tidaklah seimbang dengan orang Arab.

Demikian pula orang Arab bukan dari suku Quraisy tidaklah sekufu dengan orang

Arab dari suku Quraisy, karena keutamaan suku Quraisy dibanding dengan suku-suku

lainnya. Tidak sekufu pula orang-orang seketurunan dengan bani Hasyim dan

Muthalib dengan orang-orang lainnya sekalipun dari keturunan Abdi Syam. Jika

seseorang dari keturunan Hasyim atau Muthalib menikahi seorang budak perempuan

dengan beberapa syarat, dan kemudian budak melahirkan untuknya seorang anak

perempuan, maka anak perempuan tersebut menjadi miliknya. Sedangkan menurut

qaul yang rajih, diperbolehkan baginya untuk menikahi anak perempuan itu dari segi

tipis dan rendah nasabnya.18

Dari deskripsi diatas maka dapat diketahui bahwa orang Arab dengan non

Arab saja tidak dianggap sepadan, apalagi putri dari keturunan Baginda Nabi SAW

tentu sangat tidak sepadan apabila dinikahi oleh laki-laki non sayyid. Inilah yang

kemudian mendasari mengapa wanita syarifah dilarang dinikahi oleh laki-laki non

sayyid.

18

Ahmad bin Umar ad-Dirabi, Fikih Nikah, (Jakarta: Mustaqim, 2003) hlm. 199.

Page 77: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

67

Disamping itu, larangan pernikahan wanita syarifah dengan laki-laki non

sayyid adalah untuk menjaga dan memelihara kemuliaan nasab Nabi SAW agar tidak

tercampur dengan nasab lain. Dengan demikian dalam konsep kafa‟ah yang bertalian

dengan nasab terutama sekali nasab Nabi merupakan hal yang sangat penting

mengingat tujuan pemeliharaan nasab Nabi. Dengan tujuan yang mulia inilah para

ulama mengeluarkan fatwa bahwa tidak diperbolehkan wanita keturunan Nabi dengan

laki-laki diluar keturunan beliau.

Menurut pendapat Habaib Rabithah Alawiyah yang merujuk pada kitab

Bughyah al-Mustarsyidin, karya al-„Alim al-„Allamah as-Sayyid Abdurahman bin

Muhammad bin Husain al-Masyhur al-Ba‟alawi, kitab Qawanin Syar‟iyyah wa al-

ifta‟iyyah, karya al-„Alim al-„Allamah as-Sayyid Utsman bin Abdullah bin Agil bin

Yahya, telah dijelaskan bahwa perkawinan antara seorang perempuan syarifah

dengan laki-laki non sayyid itu, beliau melarang keras, baik dilihat dari harta

kekayaan dan lain sebagainya. Apalagi dilihat dari nasab, karena dari segi nasab

tersebut menurut beliau akan merusak sebuah keturunan, artinya keturunan dari

seorang Nabi akan menjadi putus jika seorang perempuan syarifah kawin dengan

laki-laki non sayyid.

Dalam hal ini, maka menarik untuk dikaji lebih lanjut bahwa keluarnya fatwa

ini tidak hanya lahir dari pemahaman fikih. Dalam hal ini penulis menemukan

indikasi bahwa fatwa ini keluar dari adanya pengaruh dunia tasawuf sebagaimana

diketahui bahwa hampir semua ulama abad klasik adalah pengikut dan sekaligus

Page 78: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

68

penyebar ajaran tasawuf. Sehingga penulis kitab-kitab fikih tidak lepas dari pengaruh

ajaran tasawuf.19

Dalam tradisi tasawuf, penghormatan kepada keluarga Nabi

sangatlah besar dan keharusan yang tidak bisa ditawar serta mengandung unsur

magnetik yang luar biasa. Hal ini merupakan cerminan cinta kepada Nabi yang sangat

ditekankan dalam dunia tasawuf. Dengan demikian, dari rasa mahabbah yang sangat

dalam ini sampai kepada kehormatan dan kemuliaan yang begitu dahsyatnya, sampai

mengalir kepada orang-orang yang diyakini sebagai keturunan Nabi SAW yakni para

Habaib dan anak keturunannya.

Dari sinilah kemudian para habaib dan anak-anaknya mendapat tempat yang

mulia dan sangat dihormati, sehingga menghina mereka sama dengan menghina Nabi,

melecehkan mereka sama dengan melecehkan Nabi, mencemarkan mereka sama

dengan mencemarkan Nabi. Termasuk mencemarkan Nabi adalah menikahkan

keturunan Nabi dengan laki-laki yang bukan keturunan Nabi. Inilah yang melandasi

keluarnya larangan pernikahan wanita syarifah dengan laki-laki non sayyid dalam

kitab-kitab fikih pada bab kafa‟ah. Sehingga pada saat ini memuliakan dan

mengagungkan Nabi beserta keluarga dan keturunannya masih berimplikasi pada

pelarangan tersebut.

Selanjutnya, keluarnya fatwa ini sangat wajar mengingat lembaga Rabithah

Alawiyah merupakan salah satu dari golonganAhlul Bait Nabi dan mereka banyak

bergaul dan dekat dengan para ulama kalangan habaib. Para ulama ini tentu

19

Martin Van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning, (Jakarta: Mizan 1992).

Page 79: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

69

mempunyai pengaruh besar terhadap keluarnya pendapat Rabithah Alawiyah melalui

rujukan fatwa al-Ba‟alawi dalam melarang perkawinan syarifah dengan laki-laki non

sayyid. Ulama-ulama dimaksud adalah Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam,

Syaikh Abdurrahma al-Saqqaf, Syaikh Umar Muhdhar, Syaikh Abu bakar al-Sakran,

Syaikh Abdullah al-Aydrus, Syaikh Ali bin Abi bakar al-Sakran, Imam Abdilah

Bafaqih, Imam Abdullah bin Yahya, Imam Alawy bin Tsaqaf bin Muhammad al-

Ja‟fari, Imam Muhammad bin Abi Bakar al-Asykhari al-Yamani dan Imam

Muhammad Bin Sulaiman al-Kurdi al-Madani.

Adapun landasan normatif adalah Alquran Surat as-Syura: 23:

ه أجشا إلا انمىدج ف انقشتى قم لا أعأنكم عه

Artinya: “.... katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah atas seruanku

kecuali kasih sayang kepada kerabatku”. (QS: as-Syura: 23)20

Dan surat al-Ahzab ayat 33 :

ت وطهشكم تطهشا جظ أهم انث نزهة عىكم انش إوما شذ الله

Artinya: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu

wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS: al-

Ahzab: 33)21

Dengan landasan normatif ini maka mensucikan dan mencintai AhlulBait

termasuk wanita syarifah adalah wajib. Dengan demikian, mafhum mukhalafahnya

adalah diharamkan mencemarkan kesucian Ahlul Bait apalagi membencinya.

20

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: 1989), hlm 786. 21

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: 1989), hlm 672.

Page 80: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

70

Dalam pandangan Habaib Rabithah Alawiyah yang masih merujuk pada

fatwa ulama Ahlul Bait, menikahkan wanita syarifah dan laki-laki non sayyid

merupakan salah satu bentuk pencemaran Ahlul Bait Nabi, karena tidak sebanding

(tidak kufu„) dengan mencampur adukkan nasab Ahlul Bait dengan yang bukan Ahlul

Bait.

Namun demikian, apabila ditilik dari konsep kafa‟ah sendiri bahwa kafa‟ah

yang dimaksud menurut Jumhur Ulama adalah bahwa kufu (kafa‟ah) yang menjadi

ukurannya adalah segi agama dan akhlaknya, bukan nasab, usaha, kekayaan ataupun

sesuatu yang lainnya.Jadi dalam hal ini laki-laki sekalipun bukan dari keturunan

orang yang terpandang, ia berhak atas kebolehan untuk nikah dengan seorang

perempuan dari manapun. Manusia pada asalnya dan nilai kemanusiaannya adalah

sama, dan bahwa tidak ada seorang manusiapun yang lebih mulia di sisi Allah SWT

daripada yang lainnya, selain dengan ketakwaannya kepada-Nya dengan menunaikan

kewajibannya kepada Allah SWT dan kewajibannya kepada sesama manusia.

Oleh karena itu, prinsip dalam memilih jodoh yang dikehendaki Islam

merupakan ketentuan dalam beragama dan berakhlak yang luhur, dan

bahwakemegahan, harta, nasab dan lain-lain, itu semua tidak diakui oleh Islam dan

tidak dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh suatu kebahagiaan yang hakiki baik

di dunia atau di akhirat. Karena dalam Islam semua manusia sama, tidak ada

perbedaan antara si kaya dan si miskin, si putih dan si hitam, si kuat dan si lemah. Itu

semua merupakan dari segi lahiriah saja.

Page 81: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

71

Dalam banyak hal, tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dengan

perempuan dalam pengamalan ajaran agama dan imbalan yang diterimanya dari Allah

SWT atas amalnya. Sebagaimana yang sudah disebutkan dan dijelaskan dalam

Alquran bahwa semua manusia hidup di dunia ini hakekatnya sama, yang

membedakannya hanyalah kadar ketakwaan, keimanan, amal shalih yang mereka

perbuat.

Jika ummat Islam konsisten terhadap Alquran dan as-Sunnah, maka tidak

akan ada lagi kasus-kasus seperti orang tua yang memaksakan anaknya dalam hal

pemilihan jodoh berdasarkan keturunan, kekayaan atau kedudukan calon menantu.

Para orang tua tentu akan mengikuti aturan Islam, karena Islam punya konsep

tersendiri tentang pernikahan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama

fikih. Konsep pernikahan dalam Islam tidak mengenal syarat harus sama-sama dari

keturunan yang terpandang. Syarat yang ada dalam Islam itu hanyalah keseimbangan

dalam beragama, fisik maupun mental dan juga persetujuan dari kedua belah pihak.

Dengan semangat tauhid, manusia akan menemukan jati dirinya sebagai

makhluk Allah SWT yang paling mulia, bebas dari segala bentuk perbedaan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Qutb :

“Apabila jiwa terbebas dari bentuk peribadatan dan pengkultusan terhadap

seseorang diantara sesama hamba Allah SWT, dan merasa sepenuhnya berada dalam

hubungan dengan Allah SWT, maka ia tidak akan terpengaruh oleh rasa takut

Page 82: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

72

menghadapi kehidupan, mendapatkan rezeki, dan memperoleh kedudukan. Rasa takut

terhadap sesamanya itu hanyalah perasaan buruk yang menutupi hati seseorang dan

menyeretnya kepada kehinaan, dan sebagian besarnya dalam melenyapkan harga diri

dan hak-haknya. Akan tetapi Islam karena kekuatannya dalam mendorong

terwujudnya kehormatan dan keluhuran martabat manusia, serta menyemaikan

kebebasan jiwa dalam membela kebenaran dan memelihara keadilan. Dengan

semuanya itu ia memberi jaminan terwujudnya keadilan sosial yang mutlak”.22

Dalam Islam ada pandangan tersendiri yang berbeda-beda mengenai kafaah

dalam pernikahan orang pada umumnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu

Hazm : “ bahwasannya orang Islam manapun asal bukan pezina, mereka berhak

menikahi/mengawini perempuan muslimat mana saja, selagi bukan pezina”. Beliau

beralasan bahwa semua orang Islam merupakan satu rumpun/bersaudara,

sebagaimana firman Allah SWT :

إوما انمؤمىىن إخىج

”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara....”. (Q.S. Al-Hujurat : 10)

Dan kemudian diperkuat lagi dengan firman Allah SWT :

فاوكحىا ما طاب نكم مه انىغاء

Artinya : “ ... maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi ... “. (QS. An-Nisa‟

: 3)

22

Sayyid Qutb, al-‘Adalat al-Ijtima’iyyah fi al-Islam, t.p., 1967, hlm. 41.

Page 83: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

73

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah dilakukan penelitian terhadap habaib pada lembaga Rabithah

Alawiyah, tentang pernikahan syarifah dengan laki-laki non sayyid, dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Bahwa Habaib Rabithah Alawiyah melarang pernikahan syarifah dengan laki-

laki non sayyid karena dianggap tidak sekufu. Dalam hal keturunan orang

Arab adalah kufu‟ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya orang

Quraisy dengan Quraisynya. Karena itu laki-laki yang bukan Arab („Ajam)

tidak sekufu‟ dengan wanita-wanita Arab. Laki-laki Arab tetapi bukan dari

golongan Quraisy tidak sekufu‟ dengan wanita Quraisy.

2. Di kalangan Habaib, bahwa konsep pernikahan keluarga Ahlul Bait adalah

suatu keharusan untuk mendapatkan pasangan yang sekufu, sebagaimana yang

sudah dijelaskan oleh Habib Utsman bin Yahya, bahwa pernikahan syarifah

dengan sayyid bukan hanya sekedar adat, namun sebuah perintah dari

Rasulullah SAW untuk melangsungkan banyaknya keturunan beliau hingga

hari kiamat.

3. Adapun pernikahan syarifah dengan laki-laki non sayyid itu diperbolehkan

menurut perspektif hukum Islam, karena dianggap bahwa semua manusia

adalah sama, dan yang dilihat adalah sisi ketakwaannya kepada Allah SWT,

bukan dari sisi nasab ataupun kebangsawanannya.

Page 84: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

74

B. Saran-saran

Permasalahan ini masih banyak orang-orang yang belum mengetahuinya,

ada baiknya jika permasalahan ini juga dibahas pada kajian-kajian baik di dunia

akademisi maupun di majelis majelis ilmu. Dengan harapan, agar laki-laki yang

bukan dari golongan Ahlul Bait tidak menikahi wanita-wanita syarifah, serta

semakin bertambah kecintaan kita kepada keluarga dan keturunan Rasulullah

dengan cara mencintai yang sudah digariskan.

Page 85: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

75

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh „alaa al-Madzahibi al-Arba‟ah, Beirut: Dar al-Fikr,

2008.

Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Kediri, PP Hidayah at-

Thullab.

Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia,

Malang: Pustaka Basma, 2013.

Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana: 2003.

Ahmad Atabik dan Khoridathul Mudhiiah, “Pernikahan Dan Hikmahnya

Perspektif Hukum Islam”, Yudisia V, no.2 Desember 2014.

Ahmad haydar Baharun, madzhab para Habaib & Akar Tradisinya, Malang,

Pustaka Basma, 2013.

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar

Mazhab, Jakarta:PT.Prima heza lestari

, 2006

Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta,

Kencana:2006.

Amir Syariffudin, Meretas Kebekuan Ijitihad; Isu-isu Penting Hukum Islam

Kontemporer Di Indonesia, Ciputat Press, Jakarta, 2002.

Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga,

Jakarta: Graha Paramuda, 2008.

Page 86: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

76

Bambang Sunggowo, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1997.

Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang,

Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemhnya, Jakarta, 1987.

Direktorat Pembina Badan PA Islam, Himpunan Peraturan PP Dalam

Lingkungan PA, Jakarta, 2001.

Farhat J. Ziadeh, “Equality (Kafa‟ah) In the Muslim Law Of Mariage” American

Jurnal Of Comparative Law, 1957.

Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa‟ah Syarifah,

Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Riyadh: Ummul Qura, 2013.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Juz VII, Riyadh: Maktabah Darussalam.

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fikih Wanita, Semarang, 1986.

Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa‟ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya, Jakarta:

Rabithah Alawiyah.

Imam ar-Razi, Tafsir ar-Razi, Beirut, Dar al-Fikr, 1981.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Humaniora Utama Press,

1991/1992.

Martin Van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning, Jakarta: Mizan 1992.

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2004.

Sayyid Qutb, al-„Adalat al-Ijtima‟iyyah fi al-Islam, t.p., 1967.

Page 87: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

77

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3, Beirut: al-maktabah al-as‟ariyyah, 2012.

Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafaah Syariat Pernikahan Keluarga Nabi

Muhammad SAW, Jakarta, El-Batul Publisher: 2007.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, Jakarta: Rineka

Cipta, 1993.

Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Abadi, 1972.

Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz 9.

Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih Jilid 2, Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf: 1995.

Zulkifli, Ensiklopedi Gelar Dalam Islam, Yogyakarta: Interprebook, 2011.

Page 88: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID
Page 89: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

Hasil Wawancara

1. T : Bagaimana pendapat Rabithah Alawiyah tentang pernikahan ditinjau dari

sisi kafa’ah?

J : untuk melangsungkan pernikahan yang bahagia dan menghilangkan

adanya cacat dalam sebuah pernikahan, menurut pandangan lembaga

Rabithah Alawiyah maka konsep kafaah itu perlu diberlakukan.

2. T : Apakah pernikahan secara kafa’ah itu harus dilakukan?

J : Konsep kafaah di kalangan Ahlul Bait adalah suatu keharusan,

dikarenakan jika seorang syarifah menikah dengan laki-laki yang bukan

dari golongan sayyid akan merusak dan memutuskan nasab anak keturunan

Nabi Muhammad SAW.

3. T : Apakah pernikahan kafa’ah dalam hal nasab itu harus diterapkan?

J : Ya, sangat perlu diterapkan.

4. T : Jika memang iya bahwa kafa’ah dalam hal nasab itu harus diterapkan,

apa alasan menurut pandangan Rabithah Alawiyah?

J : alasan perlunya diterapkan konsep kafaah pada kalangan Ahlul Bait adalah

untuk menjaga keberlangsungan nasab silsilah anak keturunan Nabi

Muhammad SAW.

5. T : Sepanjang buku-buku yang saya baca terkait tentang kafa’ah, banyak

fatwa ataupun pendapat para habaib yang melarang pernikahan syarifah

dengan laki-laki non sayyid. Menurut pandangan ataupun pendapat

Page 90: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

Rabithah Alawiyah, mengapa seorang syarifah tidak diperkenankan menikah

dengan laki-laki yang bukan golongan ahlul bait?

J : melihat kitab dari karya al-‘Allamah as-Sayyid Abdurrahman bin

Muhammad bin Husein al-Masyhur yang berjudul Bughyah al-

Mustarsyidin, bahwa seorang syarifah yang menikah dengan laki-laki

selain sayyid, maka aku tidak melihat diperbolehkannnya pernikahan

tersebut.

6. T : Apakah semua habaib melarang pernikahan syarifah dengan laki-laki non

sayyid?

J : Tidak semua habaib faham akan masalah pelaksanaan kafaah, oleh

karenanya ada juga habaib yang tidak melakukan konsep kafaah dalam

sebuah pernikahan. Namun lembaga Rabithah Alawiyah selalu

menyarankan agar para syarifah menikah dengan seorang laki-laki

sayyid.

7. T : Jika terjadi di lapangan (dalam hal ini di Indonesia), ada seorang wanita

syarifah menikah dengan laki-laki non sayyid dan walinya merestui,

apakah ada sanksi tersendiri dari kalangan habaib ataupun dari Rabithah

Alawiyah jika mengetahui hal tersebut?

J : ini adalah sebuah hal yang rumit, kalau ada sanksi dari pihak Rabithah

Alawiyah, mungkin agak sulit untuk mendata para syarifah yang

melanggar akan hal ini. Oleh karenanya tidak ada sanksi dari Rabithah

Alawiyah dalam hal ini.

Page 91: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

SUSUNAN PENGURUS RABITHAH ALAWIYYAH

Dewan Syuro

1 Muhsin Idrus Alhamid

2 Ust Taufik Assegaf

3 Faisal Shahab

4 Abdulkadir Assegaf

5 Abdussalam Alhinduan

Tanfidhiyah (Pengurus)

Ketua Umum Zen Umar Smith

Wk Ketua Umum Ahmad Riyad Alhiyed

Wk Ketua Umum Achmad Umar Mulachela

Sekretaris Umum Dr. Husin Ali Alatas

Wk Sekretaris & Ketua

Badan Pengurus Harian

Muhammad Ghazi Alaidrus

Wk Sekretaris bid. Legal Zen Ahmad Smith, SH

Wk Sekretaris bid. Legal Syarif Umar Shahab, SH

Bendahara Umum

Musthofa Salim

Mauladawilah

Wk Bendahara Umum Taufik Ismet Alhabsyi

Mustasyar (Dewan Penasehat)

1 Dr. Salim Segaf Aljufri

2 Prof. Dr. Anis Shahab

3 Prof. Dr. Muhammad Alhamid

4 Dr. Fadel Muhammad Alhaddar

5 Aziz Mochdar BSA

6 Ismet Abdullah Alhabsyi

7 Anas Yahya Mulachela

8 Ahmad Fahmi Assegaf

Page 92: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

Keagamaan & Dakwah

Ketua

Ali Hasan Albahar,

M.A

Anggota Salim Barakwan

Anggota Hamid Alqadri

Pengembangan SDM & Pemberdayaan Organisasi

Ketua

Prof. DR. Muhammad Idrus

Alhamid

Kabid Pengembangan

SDM Mahdi BSA

Anggota Segaf usman bin Yahya

Kabid Kesejahteraan

Sosial Hasan bin Zeid Alatas

Anggota Zainal Abidin bin Agil

Anggota Hud Alhabsyi

Anggota Ahmad Alhabsyi

Hubungan Lembaga Dalam &

Luar Negri

Ketua Nabil Fuad Alusawa

Anggota

Abdurahman

Basurrah

Anggota Mustofa Hadi Alatas

TI & Komunikasi Sosial/Humas

Ketua

Husin Abdullah

Alatas

Anggota Ibrahim Shahab

Anggota Ayip Alwi Alhaddad

Kabid Komunikasi

Sosial/Humas

Ahmad Bahar

Alhaddar

Anggota Azed Almusawa

Anggota Syami Alhirid

Page 93: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

FOTO-FOTO DOKUMENTASI:

Penulis berada di gedung Rabithah Alawiyah Jakarta

Page 94: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID
Page 95: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

Para tokoh pendiri Rabithah Alawiyah

Page 96: PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID

Motto Rabithah Alawiya