pemikiran prof

11
PEMIKIRAN PROF. DR. HAZAIRIN, SH. TENTANG CORAK PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DAN KOMITMENNYA TERHADAP NILAI-NILAI KEHIDUPAN KEBANGSAAN INDONESIA (Suatu Tinjauan Filosofis) 1 Oleh Dr. Yanto Sufriadi, SH.,M.Hum Pendahuluan Ibarat kata pepatah : "Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama". Ketika mendengar atau membaca nama Prof. Dr. Hazairin, SH., mengingatkan kita kepada sosok seorang pemikir hukum yang religius dan pemberani. Meskipun beliau merupakan ahli hukum yang dididik melalui pendidikan "Barat" di masa kolonial Belanda, tetapi pemikiran-pemikirannya tentang hukum tidak terbelenggu oleh Paradima pemikiran Hukum "Barat" dari para ahli hukum Belanda yang mendidiknya. Sistem Hukum 'Baraf dibangun dan terkembang berdasarkan nilai-nilai ideologis : Individualisme, persamaan dan kebebasan, yang diperjuangkan dan berhasil dicapai melalui sejumlah revolusi besar bangsa "Barat" di Benua Eropa, dan mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-19. Nilai-nilai ideologis ini, dibidang politik menghasiiakan apa yang disebut Liberalism dan dibidang ekonomi menghasilkan Capitalism, sedangkan dibidang hukum menghasilkan apa yang disebut dengan Lega/ Positivism. Legal Positivism ini terkembang dalam negara hukum (yang belakangan dikenal dengan sebutan negara hukum penjaga malam), berdasarkan Trias Politika-nya Montesque. Dalam apa yang disebut "Negara hukum penjaga malam" negara bersifat pastf dan tidak ikut campur dalam urusan ekonomi dan sosial masyarakat. Kemudian dengan Trias Politikanya Montesque, Pemerintah (Pemegang kekuasaan eksekutif) hanya bertugas melaksanakan hukum yang telah ditetapkan oleh Parlemen. Demikian juga penegak hukum (Pemegang kekuasaan Judikatif) hanya bertugas menerapkan saja hukum yang telah ditetapkan dan dibentuk oleh Pariemen (Pemegang kekuasaan legisiatif). Pariemen adalah wakil rakyat yang bertugas membentuk hukum berdasarkan nilai Ideologis: Individualisme, persamaan dan kebebasan. Legal Positivism yang lahir berdasarkan nilai-nilai Ideologis : individualisme, persamaan dan kebebasan yang diperjuangkan oleh bangsa "Barat" 1 Disampaikan dalam Acara Dialog Kebangsaan dan Bed ah Pemikiran Prof. Hazairin, dalam rangka memperingati Hari Pahlawan Nasional, yang diselenggarakan oleh Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH., bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Rl, pada tanggal 21 November 2015. 1

Upload: glx-chandra-gaul

Post on 16-Feb-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemikiran Prof

PEMIKIRAN PROF. DR. HAZAIRIN, SH. TENTANG CORAK PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DAN KOMITMENNYA TERHADAP NILAI-NILAI KEHIDUPAN KEBANGSAAN

INDONESIA(Suatu Tinjauan Filosofis)1

OlehDr. Yanto Sufriadi, SH.,M.Hum

Pendahuluan

Ibarat kata pepatah : "Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama". Ketika mendengar atau membaca nama Prof. Dr. Hazairin, SH., mengingatkan kita kepada sosok seorang pemikir hukum yang religius dan pemberani. Meskipun beliau merupakan ahli hukum yang dididik melalui pendidikan "Barat" di masa kolonial Belanda, tetapi pemikiran-pemikirannya tentang hukum tidak terbelenggu oleh Paradima pemikiran Hukum "Barat" dari para ahli hukum Belanda yang mendidiknya.

Sistem Hukum 'Baraf dibangun dan terkembang berdasarkan nilai-nilai ideologis : Individualisme, persamaan dan kebebasan, yang diperjuangkan dan berhasil dicapai melalui sejumlah revolusi besar bangsa "Barat" di Benua Eropa, dan mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-19. Nilai-nilai ideologis ini, dibidang politik menghasiiakan apa yang disebut Liberalism dan dibidang ekonomi menghasilkan Capitalism, sedangkan dibidang hukum menghasilkan apa yang disebut dengan Lega/ Positivism.

Legal Positivism ini terkembang dalam negara hukum (yang belakangan dikenal dengan sebutan negara hukum penjaga malam), berdasarkan Trias Politika-nya Montesque. Dalam apa yang disebut "Negara hukum penjaga malam" negara bersifat pastf dan tidak ikut campur dalam urusan ekonomi dan sosial masyarakat. Kemudian dengan Trias Politikanya Montesque, Pemerintah (Pemegang kekuasaan eksekutif) hanya bertugas melaksanakan hukum yang telah ditetapkan oleh Parlemen. Demikian juga penegak hukum (Pemegang kekuasaan Judikatif) hanya bertugas menerapkan saja hukum yang telah ditetapkan dan dibentuk oleh Pariemen (Pemegang kekuasaan legisiatif). Pariemen adalah wakil rakyat yang bertugas membentuk hukum berdasarkan nilai Ideologis: Individualisme, persamaan dan kebebasan.

Legal Positivism yang lahir berdasarkan nilai-nilai Ideologis : individualisme, persamaan dan kebebasan yang diperjuangkan oleh bangsa "Barat" tersebut, kemudian melahirkan pandangan bahwa hukum harus memberikan kebebasan kepada setiap individu baik dalam bidang ekonomi dan sosial (dan karena itu negara harus bersifat pasif/negara penjaga

1 Disampaikan dalam Acara Dialog Kebangsaan dan Bed ah Pemikiran Prof. Hazairin, dalam rangka memperingati Hari Pahlawan Nasional, yang diselenggarakan oleh Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH., bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Rl, pada tanggal 21 November 2015. 1

Page 2: Pemikiran Prof

malam), unifikasi hukum harus dilakukan (untuk menjamin persamaan hukum), dan kodifikasi hukum harus dilakukan (untuk menjamin kepastian perlindungan hukum bagi setiap orang).

Forsk unifikasi dan kodifikasi hukum yang demikian rtu, mengakibatkan munculnya pandangan dalam _foa ^vsrtrvism yang mengidentikkan bahwa hukum itu adalah Undang-Undang, berlaku seragam bagi sem ja warga negaranya dan terpisah dengan persoalan moral/religius2. Ini untuk memungkinkan hukum itu :<r"iaku bagi semua waranegara.

Pada puncak perkembangannya, Legal Positivism ini tidak hanya terkembang dalam negara-negara nasional di benua Eropa, tetapi meluas dibanyak negara temtama di negara bekas jajahan negara nasional dari benua Eropa; termasuk Indonesia. Sekalipun Prof. Dr. Hazairin, SH., dididik dan belajar hukum kepada ahli hukum Belanda, tetapi pemikirannya tentang hukum sangat berbeda dengan arus utama pemikiran "Hukum Barat*.

Permasalahan

Bagaimanakah Pemikiran Prof. Dr. Hazairin, SH tentang Corak Pembangunan Hukuk nasional dan komitmenya terhadap nilai-nilai kebangsaan Indonesia ?

Pemikiran Hukum Prof. Dr. Hazairin, SH. Tentang Corak Pembangunan Hukum Nasional dan Komitmennya Terhadap Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia.

Sebagai seorang didikan "Barat", Prof. Dr. Hazairin, SH., ternyata tidak terbelenggu dengan arus utama pemikiran hukum "Baraf yang sangat mengedepankan pentingnya kesatuan hukum untuk mewujudkan nilai ideologis "persamaan". Pada saat menyampaikan gagasannya dalam Konperensi Kementerian Kehakiman di Salatiga tanggal 16 Desember 1950, beliau memang berpandangan bahwa Unifikasi (kesatuan) Hukum periu dilakukan sebanyak-banyaknya dengan syarat apabila masyarakatnya homogen; baik dari sudut kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan, keagamaan dan kecendasan umum rakyat3

Dalam Forum Konperensi tersebut, beliau menjelaskan bahwa Indonesia barn bertiasil mencapai kesatuan dalam arti politik, dan hal itu tidaklah cukup untuk pembangunan kesatuan hukum. karena kesatuan politik yang sudah dicapai itu hanya sebagian dari semua urusan mengenai kesatuan bangsa. Selebihnya, beliau justru banyak mempertanyakan

222 Paul Scholten menyatakan bahwa Legal Positivisme mengidentikan Hukum dengan Peraturan Perundang-undangan, Lihat dalam Satjipto Rahardjo, Konsep dan Karakter Hukum Progresif, Makalah Seminar Hukum Pnogresif ke-1 Fakultas Hukum dan PDIH Undip serta Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, 2007, him. 6, dan Hans Kelsen dalam teori hukum mumi-nya, dengan tegas mengajarkan bahwa keadilan hendaknya dikeluarkan dari llmu Hukum, karena keadilan dipandang sebagai suatu konsep ideologis, suatu ideal yang irrasional. Lihat dalam Satjipto Rahardjo,,//mu Hukum, Alumni, Bandung, 1991, him. 272.3 Prof. Dr. Hazairin, SH., Hukum Baru di Indonesia, dalam Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Bina Aksara, Cetakan Keempat, 1985, hal.118.

Page 3: Pemikiran Prof

berbagai aspek tentang persoalan kesatuan dalam berbagai aspek kepada forum tersebut, diantaranya, sbb:

3

Page 4: Pemikiran Prof

Pertama : dari aspek kemasyarakatan, apakah orang Indonesia asli, dan orang warganegara Indonesia lainnya sudah menjadi satu masyarakat ? Beliau kemudian menjawab sendiri pertanyaan tersebut dengan menyatakan "belum !, Masyarakat Tionghoa tetap masih masyarakat Tionghoa, kasyarakat Asli tetap masih masyarakat Asli, masyarakat Enopah tetap masih masyarakat Eropah".4

Kedua: dari sudut perekonomian, apakah kita telah mencapai kesatuan susunan perekonomian ? pertanyaan ini beliau jawab sendiri "belum !. Kita mewarisi tiga lapisan perekonomian, yang paling puncak adalah perekonomian oran Eropah yang menguasai hampir seluruh rusan ekspor-impor serta yang menguasai sebahagian besar dari urusan kapital yang ada di negeri kita. Lapisan tengah terdapat perekonomian orang Timur Asing, yaitu gotongan Tionghoa dan Arab. Gotongan ini menghubungkan perekonomian Puncak dan bawahan. Lapisan paling bawah adalah perekonomian orang Indonesia Asli dengan struktur perekonomian pertanian yang konsumtif".5

Ketiga : dari aspek kebudayaan lahir bathin, terutama bathin yang berkait dengan keagamaan. Beliau menjelaskan : "Disini tidak ada kesatuan keagamaan. Sekitar 90 % dari rakyat beragama Islam, disamping itu ada agama Kristen, dan ada pula agama Budha, Hindu dan lainnya, termasuk perbagai macam aninisme, dan semuanya itu banyak pengaruhnya dalam soal kesatuan hukum. misalnya : apakah mungkin bersatu hukum bagi orang Islam dengan orang Kristen, jika ditilik dari hukum kekeiuargaan ? itu tidak mungkin."6

Keempat: dari aspek kecerdasan umum bagi rakyat. "Kecerdasan umum rakyat ini memberikan dua pengaruh, adakalanya menjadi penghambat dalam kesatuan hukum selain mempermudah ikhtiar kearah kesatuan hukum, tetapi merupakan syarat mutlak untuk corak pembangunan hukum kita. Apakah masyarakat itu seluaihnya cerdas; setidak-tidaknya tidak buta huruf, ataukah ada sebagian kecil yang buta huruf atau melek huruf. Semuanya ini penting artinya bagi corak kesatuan hukum dan bagi perkembangan hukum. Dibidang perekonomian misalnya, kita tidak dapat menghendaki supaya orang-orang yang buta huruf ini untuk menggunakan persekutuan dagang yang berupa Perseroan Terbatas, untuk menundukkan mereka kepada hukum dagang yang menghendaki adanya buku dagang (maksudnya : pembukuan), karena mereka tidak bisa membaca dan menulis.7

Sebagai seorang religius, beliau justeru merupakan penentang teori receptie yang dikemukakan oleh ahli hukum "Baraf Snouck Hurgronje. Teori receptie ini kemudian mendapat dasar yuridisnya dalam (Pasal 132 ::2) Konstitusi Hindia Belanda (Indisce

4/b/dhal 1195 Ibid, hal 119-1206 Ibid.7 Ibid, 121 4

Page 5: Pemikiran Prof

Staatsregeling). Menurut teori ini, hukum Islam itu baru berlaku sebagai hukum apabila telah diterima menjadi hukum adat. Prof. Dr. Hazairin, SH. menentang teori receptie ini dengan menyebutnya sebagai teori iblis. Lebin lanjut beliau mengemukakan :Kelima : "Kita masih merasa tenteram, karena adanya warisan dari masa Belanda sehingga kita mempunyai faham di seluruh Indonesia bahwa hukum agama itu hanya boleh dipakai sekedar dia telah diterima oleh hukum adat, dan umumnya hanyalah urusan perkawinan". Akan tetapi, beliau mengingatkan bahwa "dengan berkembangnya kegiatan keagamaan, berkembangnya llmu Keagamaan dan dengan bertambah luasnya pandangan bangsa kita tentang kemajuan faham Islam, maka dasar politik yang sekarang kita anggap kokoh itu, mungkin akan roboh. Orang akan tuntut supaya hukum agama itu diberikan tempat bukan di dalam hukum adat tetapi tersendiri di samping hukum adat. Kita mengaku beragama Islam, mengakui Qur"an sebagai pokok- pokok keagamaan kita, yang kita mesti beriman kepadanya, tetapi mengapa tak beriman kepada hukum yang diperintahkan oleh Allah ? Zakat, faraid, Perkawainan, dan hukum hudud (sebagian hukum pidana khusus yang diperintahkan Allah dalam Qur'an)."8

Keenam : "biarkanlah saudara-saudara kita orang Kristen mengatur hidupnya diatas semacam Pancapersada Paulus" dan .orang Budha mengatur hidup mereka selaras dengan moral Panca-

Sada melalui Badan Perundang-undangan, asal saja dalam rangka Pancasila dan UUD-1945. Jangan pula hendaknya mereka menghambat-hambat kita orang Islam dalam mentaati hukum Agama kita, juga dalam rangka Pancasila dan UUD-1945. Walaupun kita semua sangat berminat kepada Unifikasi hukum, tetapi jika tidak dapat dilakukan sepenmuhnya, marilah kita hidup bersatu dalam hukum yang agak bervariasi, seperti telah ditegaskan dalam SeminarLPHN 1963: Berunifikasisebanyak mungkin, bervariasi dalam hal-hal yang periu*9

Ketujuh : Pancasila maupun UUD 1945 sekali-kali tidak merintangi untuk mencapai Sistim Hukum Tanpa Penjara (sesuai ketentuan hukum pidana Islam), bahkan negara mesti menjalankan hukum Agama bagi pemeluk-pemeluknya, dan karena itu negara mesti pula menjalankan hukuman agama... karena kaidah hukum tidak dapat teriepas dari sanctumnya.10

Kedelapan : "Jika berhasil hukum agama itu melepaskan persandarannya dari hukum Adat, yaitu apabila penguasa dalam masyarakat sampai tidak lagi mau menerima paham bahwa hukum Agama hanya berlaku sekedar ia diterima baik dalam hukum Adat, maka terpaksalah 8 Ibid, hal 122-1239 Prof. Dr. Hazairin, SH., Negara Tanpa Penjara, dalam Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Edisi Keempat, PT. Bina Aksara, 1985, hal. 24- 2510 Ibid, hal 29 5

Page 6: Pemikiran Prof

hukum Agama itu mencari persandarannya di dunia kita ini pada Undang-undang, sebagaimana hukum Adat itu bagi berlakunya secara resmi mempunyai persandaran pada Undang-undang."11

Kesembilan : "tugas pembentukan hukum barn itu, adalah tugas seluruh kita yang berdiam di negara ini, seluruh kita yang bermacam-macam golongan dan agama ini. Ada tugas itu yang pelaksanaannya dilakukan secara yang diinsyafi (disadari) dengan dialirkan melalui saluran yang tertentu berupa Undang-Undang atau

11"Ibid, hal 127 6

Page 7: Pemikiran Prof

Keputusan-keputusan, ada pula secara yang tidak diinsyafi dengan melalui perbuatan-perbuatan yang berulang- ulang sehingga merupakan kebiasaan bam."12

Kesepuluh :" Kesatuan hukum itu bukanlah suatu perkara yang mudah dicapai sekaligus, tetapi hanya dapat dicapai secara berangsur-angsur. Hukum Romawi baru sampai ia kepada kodifikasinya selama 1000 tahun melalui pembulatannya dalam llndang-undang Justinianus, dan hukum Eropah selama 13 abad baru mencapai kodifikasinya di zaman Napoleon."

Pandangan Prof. Dr. Hazairin, SH yang dikemukakan diatas, secara keseluruhan sangat berberda dengan aliran Pemikiran Legal Postivism; sebagaimana yang menjadi arus utama pemikiran para ahli hukum "Barat" yang mendidiknya.

Pandangan beliau yang menyatakan bahwa unifikasi hukum (kesatuan hukum) perlu sebanyak- banyaknya, dengan syarat masyarakatnya homogen, baik dari sudut kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan, keagamaan dan kecerdasan umum rakyat Kemudian setelah menjelaskan fakta keberagaman rakyat, baik dari aspek kemasyarakatan, perekonomian dan keagamaan, beliau menegaskan pembangunan hukum nasional itu hams dilakukan "bemnifikasi sebanyak-banyaknya dan bervariasi dalam hal-hal perlu." Pandangan yang demikian ini, menunjukkan komitmennya terhadap nilai kebangsaan Indonesia "Negara Kesatuan Republik Indonesia" dan "Bhinneka Tunggal Ika," yang dalam kajian fitosofis disebut sebagai Legal Pluralism.13

Legal Pluralism (Pluralisme Hukum); sebagaimana yang dikemukakan oleh John Griffiths, berlaku pada kondisi dimana suatu masyarakat tidak hanya tunduk pada hukum negara atau aturan-aturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga negara, sehingga tertib hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut tidak seragam dan tidak sistematis. Pluralisme Hukum yang demikian ini disebutnya sebagai Pluralisme Hukum Kuat. Sementara dalam pemahaman Vanderlinden , Pluralisme Hukum mempakan salah satu bagian kecil dari hukum suatu negara, yang berlaku selama diperintahkan (secara implisit) oleh Penguasa atau berdasarkan mandat kaidah dasar terhadap segolongan kecil masyarakat berdasarkan beberapa pertimbangan tertentu; seperti faktor etnis, agama, nasionalitas, atau wilayah geografis. Pluralisme dalam pengertian yang terakhir ini sangat bergantung pada kontrol hukum negara, sehingga Pluralisme Hukum hams mendapat "pengakuan" dari sistem hukum negara terhadap keberlakuannya, dan dianggap sebagai "Hukum Adat" dari masyarakat

12» Ibid, hal 124-12513 Penjetasan mengenai Legal Pluralism dapat dibaca antara lain dalam Dr. Yanto Sufriadi, SH.,M.Hum, Sistem Hukum Perundang- undangan dan Permasalahannya di Indonesia, Penertxt Pustaka M agister, Semarang, 2014, hal 45-75

Page 8: Pemikiran Prof

bersangkutan.14 Pluralisme Hukum yang demikian oleh John Griffiths disebut sebagai Pturalisme Hukum Lemah.15

Pemikiran Prof. Dr. Hazairin, SH, termasuk dalam Pluralisme Hukum Lemah. Hal ini terlihat dari penyataannya : "Jika berhasil hukum agama itu melepaskan persandarannya dari hukum Adat, yaitu apabila penguasa dalam masyarakat sampai tidak lagi mau menerima paham bahwa hukum Agama hanya bertaku sekedar ia diterima baik dalam hukum Adat, maka terpaksalah hukum Agama itu mencari persandarannya di dunia kita ini pada Undang-undang, sebagaimana hukum Adat itu bagi berlakunya secara resmi mempunyai persandaran pada Undang-undang,"

Pandangan hukum beliau sebagai seorang muslim, terlihat dari pemyataannya : "biarkanlah saudara- saudara kita orang Kristen mengatur hidupnya diatas semacam Pancapersada Paulus dan .orang Budha mengatur hidup mereka selaras dengan moral Panca-

Sada melalui Badan Perundang-undangan asal saja dalam rangka Pancasila dan UUD-1945. Jangan pula hendaknya mereka menghambat-hambat kita orang Islam dalam mentaati hukum Agama kita, juga dalam rangka Pancasila dan UUD-1945. Pancasila maupun UUD 1945 sekali-kali tidak merintangi untuk mencapai Sistim Hukum Tanpa Penjara (sesuai ketentuan hukum pidana Islam), bahkan negara mesti menjalankan hukum Agama bagi pemeluk-pemeluknya, dan karena itu negara mesti pula menjalankan hukuman agama..., karena kaidah hukum tidak dapat terlepas dari sanctumnya. Tugas pembentukan hukum bam itu, adaiah tugas seluruh kita yang berdiam di negara ini, seluruh kita yang bermacam-macam golongan dan agama ini. Pandangan Hukum yang demikian menunjukkan komitmen Prof. Dr. Hazairin, SH yang sangat kuat terhadap nilai kebangsaan Indonesia: Pancasila dan UUD 1945.

Kecaman beliau terhadap teori receptie (yang menganggap hukum Agama itu baru diakui sebagai hukum jika sudah diterima dalam hukum adat), dapat dikaitkan dengan komitmennya terhadap nilai kebangsaan Pancasila ini. Dalam pandangannya, Adat itu merupakan kebudayaan, yang normatif mempunyai kedudukan dalam sila kedua dari Pancasila. Pancasila dipahamkan sebagai perpaduan semua sila-silanya, maka adat tidak boleh bertentangan dengan makna-makna dalam keempat sila lainnya. Karena itu, menurut beliau, bagi umat yang beragama Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh Adat itu bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni dengan syariat setiap agama; baik dengan hukum yang diberikan oleh agama itu maupun dengan kesusilaan yang diberikannya bagi hidup bermasyarakat. Hukum Agama yang dimaksudkan beliau adaiah

14 John Griffiths, Sebuah Deskripsi Kooseptuai Dalam Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Inferdisiplin, dalam Memahami Pluralisme Hukum, Penerbit HuMa, Jakarta, 2005,hal. 7515 Ibid, hal. 79

Page 9: Pemikiran Prof

hukum yang sanctum-nya dapat dijalankan di dunia ini dengan perantaraan atau melalui penguasa di dunia ini. Hukum agama yang sanctum-nya secara ekslusif berada dalam tangan Tuhan, bukanlah hukum yang dapat dicampuri oleh penguasa dunia.16 Dengan demikian, berdasarkan nilai fitosofis yang terkandung dalam Pancasila, menjadi jelas bahwa bukanlah hukum Adat yang menentukan keberiakuan hukum Agama (seperti teori receptie dari Snouck Hurgronje), melainkan sebaliknya : hukum Agamalah yang menentukan keberiakuan hukum Adat.. Ini sangat berkesesuain dengan teori hukum Prof. Dr. Hazairin, SH., yang dikenal dengan sebutan Teori Receptie A Contrario. Dengan pandangan yang demikian, maka Hukum Adat akan mengandung nilai (lokal) yang baik dan memberikan manfaat bagi kehidupan di dunia maupun akhirat Inilah yang disebut dengan nilai kearifan lokal dalam arti yang sebenamya.

Keseluruhan Pemikiran Prof. Dr. Hazairin, SH, diatas, sangat berkesesuaian dengan pandangan Werner Menski dalam Triangular Concept of Legal Pluralism yang menyerukan agar hukum negara (state law) dipertautkan dengan society dan moral/ethic/religion.17 Artinya Hukum Negara dikehendaki supaya dibangun harmonis dengan Hukum Agama dan Hukum Adat agar dikembangkan harmonis dengan Hukum Agama.

Simpulan

Berdasarkan hasil kajian tertiadap pemikiran Hukum Prof. Dr. Hazairin, SH, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemikiran Hukum Prof. Dr. Hazairin, SH. tentang corak pembangunan hukum nasional Indonesia, didadasarkan pada Legal Pluralism, yaitu membangun unifikasi hukum (kesatuan hukum) untuk bidang- bidang hukum yang masyarakatnya sudah homogen, dan membangun hukum yang bervariasi (Plural) dalam bidang hukum yang masyaratnya masih heterogen. Pemikiran ini yang demikian, menunjukkan komitmennya beliau terhadap nilai Kebangsaan : Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan

2. Dalam rangka membangun hukum yang Plural, terutama berkaitan dengan heterogenitas masyarakat dalam hal agama; yang hukumnya tidak mungkin di-Unifikasi-kan, maka negara harus hadir untuk memberikan pengakuan atas keberiakuan dan dalam penegakan hukumnya, agar sanksi yang telah ditentukan dalam hukum Agama dapat diterapkan.

16 Prof. Dr. Hazairin, SH., Sekelumit Persangkupautan Hukum Adat, dalam Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Cetakan Keempat, 1985, hal.44-451711 Werner Menski, Comparative Law in a Global Context The tegal Systems of Asia and Afrika. Cambridge University Press, United Kingdom. 2006. hlm.89

Page 10: Pemikiran Prof

3. Keberiakuan Hukum Agama tidak boleh didasarkan atas dasar penerimaan hukum Adat (seperti dalam teori receptie), melainkan berlaku atas dasar landasan hukum yang tersendiri. Sebaliknya, sesuai dengan nilai Kebangsaan Pancasila, Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Agama (seperti dalam teori receptie a contrario). Kehadiran negara diperiukan untuk memberikan landasan hukum tersendiri tentang pengakuan keberiakuan hukum Agama dan hukum Adat, adalah sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Pemikiran yang demikian ini menunjukkan komitmennya terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Implikasi

Unihaz sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengusung nama "Prof. Dr. Hazairin, SH", dengan sedirinya berkewajiban mengemban Visi dan Misi-nya yang didasarkan pada nilai-nilai yang diperiihatkan, dikembangkan dan diperjuangkan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH., sebagai berikut:

1. Membangun keunggulan akademik; seperti yang diperiihatkan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH, dengan teori dan gagasan-gagasannya.

2. Menjunjung Tinggi dan menghormati perbedaan dalam keberagaman, yang diperjuangkan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH; sesuai dengan nilai-nilai Kebangsaan Indonesia : Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945.dan Negara Kesatuan.

3. Mengembangkan nilai-nilai Islam, sesuai dengan keyakinan agama yang diperjuangkan Prof. Dr. Hazairin, SH., dengan tetap memberikan toleransi kepada pemeluk Agama lain untuk melaksanakan nilai agamanya masing-masing.

4. Menggali dan mengembangkan nilai-nilai Hukum Adat yang tidak bertentangan dengan Agama (nilai kearaifan lokal) yang hidup dan terkembang dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Griffiths, John, Sebuah Deskripsi Konseptual Dalam Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisiplin,

2005, dalam Memahami Pluralisme Hukum, Penerbit HuMa, Jakarta.

Hazairin, Hukum Baru di Indonesia, 1985, dalam Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Cetakan Keempat., PT Bina Aksara Jakarta.

----------., Sekelumit Persangkupautan Hukum Adat, 1985, dalam Tujuh Serangkai Tentang Hukum, CetakanKeempat., PT Bina Aksara, Jakarta.

Page 11: Pemikiran Prof

, Negara Tanpa Penjara, 1985, dalam Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Edisi Keempat PT. BinaAksara, Jakarta.

Menski, Werner, 2006, Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asia and Afrika,

Cambridge University Press, United Kingdom.

Sufriadi, Yanto, Sistem Hukum Perundang-undangan dan Permasalahannya di Indonesia, Penerbit Pustaka

Magister, Semarang, 2014.