pemeriksaan laboratorium

14
Pemeriksaan laboratorium 1. Pemeriksaan kortisol 2. Pemeriksaan norepinefrin 3. Katekolamin 4. CRH 5. Dopamine Stres dimaksud dapat berupa stres biologis, stres fisik, stres mekanik, dan stres psikologis. Stimulus stres akan diterima di sistem limbik, susunan saraf pusat sebagai stress perception, disini akan terjadi perubahan neuro-kimiawi dan gelombang otak yang akan diteruskan ke hipotalamus yang akan mengawali terjadinya stress responsesberupa dilepaskannya hormon kortikotropin (corticotrpin realeasing hormone, CRH)melalui para-ventricular nucleusakan menstimuli kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan adrenocorticotropin hormone (ACTH), sebagai hasil akhir hormon ini akan mengaktifkan korteks adrenal untuk memproduksi kortisol. Seperti diketahui kortisol merupakan mediator imunosupresan dan anti-inflamasi. Jalur ini disebut sumbu HPA. Dalam waktu yang sama respons stres juga akan mengaktifkan sumbu simpatethetic-adreno medullary (sumbu SAM) yang akan melepaskan norepinefrin dari medula adrenal. Kortisol dan norepinefrin sebagai hormon stres utama akan menyebabkan terganggunya keseimbangan sel Th1 dan Th2 dengan berbagai dampak klinisnya.

Upload: silvia-putri-kumalasari-setyohadi

Post on 15-Sep-2015

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

laboratorium

TRANSCRIPT

Pemeriksaan laboratorium1. Pemeriksaan kortisol2. Pemeriksaan norepinefrin3. Katekolamin4. CRH5. Dopamine Stres dimaksud dapat berupa stres biologis, stres fisik, stres mekanik, dan stres psikologis. Stimulus stres akan diterima di sistem limbik, susunan saraf pusat sebagai stress perception, disini akan terjadi perubahan neuro-kimiawi dan gelombang otak yang akan diteruskan ke hipotalamus yang akan mengawali terjadinya stress responsesberupa dilepaskannya hormon kortikotropin (corticotrpin realeasing hormone, CRH)melalui para-ventricular nucleusakan menstimuli kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan adrenocorticotropin hormone(ACTH), sebagai hasil akhir hormon ini akan mengaktifkan korteks adrenal untuk memproduksi kortisol. Seperti diketahui kortisol merupakan mediator imunosupresan dan anti-inflamasi. Jalur ini disebut sumbu HPA. Dalam waktu yang sama respons stres juga akan mengaktifkan sumbu simpatethetic-adreno medullary (sumbu SAM) yang akan melepaskan norepinefrin dari medula adrenal. Kortisol dan norepinefrin sebagai hormon stres utama akan menyebabkan terganggunya keseimbangan sel Th1 dan Th2 dengan berbagai dampak klinisnya.

Norepinefrin selain sebagai neuro-peptida juga sebagai hormon karena disintesis dan dilepas-kan dari kelenjar medula adrenal. Norepinefrin melalui reseptor beta adrenergik pada makrofag dan sel Th1 dapat menstimuli sel Th1 mensintesis IFN-sitokin ini sangat penting dalam patogenesis psoriasis. Pada keadaan fisiologis, adanya stresor menyebabkan peningkatan norepinepfrin dan juga peningkatan dari kortisol. Kedua stres hormon ini akan menjaga homeostatis tubuh dengan menjaga keseimbangan Th1/Th2. Dikatakan adanya reseptor adrenergik di permukaan sel T helper sangat penting dalam meregulasi sel Th1/sel Th2, namun kegagalan sumbu HPA dalam merespons stres sehingga terjadi penurunan sistesis kortisol.

stres psikologis akan meningkatkan sintesis norepinefrin, yang kemudian menstimulasi pergeseran sel Th ke arah sel Th1. Norepinefrin juga dapat meningkatkan produksi interleukin-12 (IL-12) yang akan merangsang sel Th1 melalui reseptor beta-adrenergik di permukaannya untuk memproduksi IFN-sebagai sitokin pro-inflamasi yang sangat berperan meningkatkan epidermal growth factor(EGF) dan nerve growth factor(NGF) sebagai sitokin yang sangat berperan dalam proliferasi keratinosit dan reaksi autoimun.

Adanya stresor psikologis secara fisiologis akan direspons oleh sumbu SAM dengan norepinefrin sebagai salah satu petanda dan sumbu HPA dengan biomarkernya adalah kortisol. Peran keseimbangan norepinefrin dan kortisol sangat penting dalam menjaga keseimbangan peran Th1/Th2 dalam upaya menjaga homeostasis tubuh. Adanya gangguan pada psoriasis dalam merespons stres, peningkatan norepinefrin secara bermakna dan peningkatan yang tidak signifikan pada kortisol menyebabkan kelebihan produksi dari IFN-sebagai sitokin pro-inflamasi yang memegang peran penting patogenesis psoriasis.

Tubuh bereaksi terhadap stres dengan mengeluarkan dua jenis zat kimia pembawa pesan, yakni hormon dalam darah dan neurotransmitter di sistem saraf. Stres dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana tuntutan yang harus dipenuhi melebihi kemampuan yang ada pada obyek (Cance et al. 1994). Stres dapat juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menunjukkan perubahan sebagai akibat merespon suatu stresor. Stres tidak hanya terjadi pada tingkat organisme, melainkan juga terjadi pada tingkat organ dan sel. Stres merupakan bentuk reaksi tubuh yang menentukan kelangsungan kehidupan. Stres dapat menunjukkan keseimbangan baru atau suatu fenomena adaptasi. Apabila sel atau organ dapat mengatasi stresor dengan baik dan masih dalam keadaan keseimbangan dinamakan eustres, sedangkan apabila kehidupan tidak dapat mengatasi dalam proses transaksi, maka sel atau organ akan mengalami distres (Setyawan 2003; Duman et al.2001).Dalam keadaan normal, hormon stres dilepaskan dalam jumlah kecil sepanjang hari, tetapi bila menghadapi stres kadar hormon ini meningkat secara dramatis (Stocker 2012). Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik maupun stres psikis dapat meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar kortisol, Awal pelepasan hormon stres dimulai dengan sekresi corticotrophin releasing factor (CRF). Pertama kali CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah, sehingga mencapai kelenjar pituitary yang berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di tempat ini CRF merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh pituitary, yang pada gilirannya akan merangsang kelenjar adrenalis untuk melepaskan berbagai hormon. Salah satunya adalah kortisol. Kortisol beredar di dalam tubuh dan berperan dalam mekanisme coping (coping mechanism). Bila stresor yang diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan meningkat, sehingga rangsang yang diterima oleh pituitary juga meningkat, dan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal juga meningkat. Apabila kondisi emosional telah stabil, coping mecahnismmenjadi positif, maka sinyal di otak akan menghambat pelepasan CRF dan siklus hormon-stres berulang lagi (Akil & Morano 1995; Bear et al.1996). Dalam kondisi gelisah, cemas dan depresi, sekresi kortisol meningkat. Menurut Zainullah (2005) akibat stress sekresi kortisol dapat meningkat sampai 20 kali.

Kemampuan mengelola stressor atau coping mechanismsetiap orang tergantung dari temperamen individu dan persepsi serta kognisi terhadap adanya stressor yang diterima (Singh 1999). Coping mechanism terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar dalam kaitan ini adalah kemampuan menyesuaikan diri pada pengaruh faktor internal dan aksternal. Manusia memilikicoping mechanismdisebabkan otak mempunyai plastisitas yang luar biasa. Apabila coping mechanism dari individu dapat berlangsung efektif walaupun ada peningkatan stressor, maka kerentanan tubuh yang dapat menjadikan terjadinya sakit dapat ditiadakan (Notossoedirdjo 1998). Glaser (1999) melaporkan bahwa siswa yang lebih banyak mengalami stress mengalami kelambatan pembentukan antibody dalam merespon pathogen. Dalam hal ini sangat berkaitan dengan glukokortikoid yang sudah diketahui secara luas memiliki sifat imunosupresif. Namun glukokortikoid juga merupakan kebutuhan esensial untuk respon imun normal. Peranan ACTH pada sekresi kortisol terjadi melalui interaksi komponen-komponen yang terdapat dalam hypothalamic-pituitary axis(HPA-axis). ACTH yang disekresi oleh hipofisis anterior akan terikat dengan reseptornya pada membran sel korteks adrenal, untuk ini dibutuhkan ion kalsium ekstrasel. Selanjutnya ikatan tersebut akan mengaktifkan enzim adenilsiklase, cAMP dan protein kinase-A, sehingga terjadi perubahan kolesterol esterase menjadi kolesterol bebas (Guyton 2000; Cance et al.1994; Fox 1996). Kortisol disintesis dari kolesterol. Kolesterol mengalami esterifikasi oleh kolesterol esterase dan disimpan dalam lipid droplet. Pembentukan kolesterol bebas pada lipid droplet dilakukan oleh kolesterol esterase hidrolase. Perangsangan oleh ACTH akan mengakibatkan aktifasi kolesterol esterase. ACTH mengaktifkan sel korteks adrenal untuk memproduksi kortikosteroid (Duman et al.2001; Guyton 2000).Reseptor kortisol tergolong ke dalam reseptor intraseluler, karena kortisol terikat dengan reseptor dalam sitoplasma. Ikatan tersebut akan bergerak ke dalam inti sel dan berinteraksi dengan kromatin. Interaksi kortisol dengan reseptornya akan menginduksi proses transkripsi, yakni dengan jalan berinteraksi dengan bagian DNA yang disebut glucocorticoid response element (GREs). Berbagai protein yang dihasilkan akan mempengaruhi respon kortisol terhadap berbagai jaringan. Respon tersebut dapat bersifat stimulasi atau inhibisi, tergantung dari hormon mana jaringan tersebut bekerja. Walaupun reseptor kortisol sama di semua jaringan, namun terdapat variasi sintesis akibat ekspresi gen spesifik pada berbagai jaringan. Glukokortikoid meningkatkan dan menurunkan transkripsi gen untuk mempengaruhi sintesis mRNA dari protein tertentu yang memperantarai banyak efek fisiologis (Guyton 2000).Kortisol beredar dalam plasma dalam bentuk fraksi bebas dan terikat dengan molekul protein transkortin atau globulin pengikat kortikosteroid. Fraksi bebas merupakan sekitar 8% kortisol plasma total dan merupakan fraksi kortisol yang secara biologis paling aktif. Pada sejumlah kondisi atau aktivitas opiat endogen, terjadi insensitivitas rasa nyeri serta peningkatan rasa nikmat, positif atau euforia. Pada pengguna narkotika jenis 3,4-metylenedioxy-methamphetamine (ecstasy) dijumpai kadar ACTH dan kortisol yang lebih tinggi dibanding pada kelompok kon trol (Cance et al.1994; Gerra et al.2002). Menurut Selye dalam Cance (1994) terdapat tiga tahapan reaksi fisiologis tubuh terhadap stres. yang dikenal dengan istilah General Adaptation Syndrome(GAS). Pertama tahap peringatan (the alarm stage), pada tahap ini sistem saraf dibangkitkan dan pertahanan tubuh dimobilisasi. Kedua, tahap perlawanan atau adaptasi (the stage of resistence or adaptation), yakni saat mobilisasi menentukan untuk flight or fight, pada tahap ini tubuh sudah mampu mengatasi dosis transaksi stresor. Ketiga, tahap keletihan (the stage of exhaustion), saat stres berkelanjutan, menyebabkan rusaknya mekanisme adaptasi dan homeostasis. Respon fisiologik non spesifik yang diidentifikasi Selye terdiri atas interaksi cabang simpatetik sistem saraf otonom dan dua kelenjar, pituitary dan adrenal. Fase peringatan pada GAS dimulai bila stresor memicu hipotalamus dan sistem saraf simpatetik. Fase perlawanan atau adaptasi dimulai dengan bekerjanya hormon adrenal (kortisol), norepineprin dan epineprin. Fase keletihan terjadi jika stres berlanjut atau adaptasi tidak berhasil (Cance et al. 1994). CRF, juga dikenal sebagai hormon corticotropin releasing (CRH), telah ditunjukkan untuk mendorong perubahan perilaku yang berkaitan dengan berbagai adaptasi terhadap stres. Disregulasi dari sistem CRF pada titik apapun dapat menyebabkan berbagai gangguan kejiwaan seperti depresi, gangguan obsesif kompulsif, dan stress (Haass & Bartlett 2012).Hasil penelitian menunjukkan pada kondisi stress dan addict HPA-axis terstimuli sehingga sekresi CRF oleh hipotalamus meningkat yang diikuti oleh peningkatan ACTH oleh Pituitary dan peningkatan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal. Kondisi tenang yang diakibatkan treatment rehabilitasi pada Addict recoverydapat menyebabkan penurunan kadar kortisol.

ACTH PlasmaA. Metode Pengukuran : Pengukuran ACTH plasma sangat berguna untuk mendiagnosa adanya disfungsi h ipofisis-adrenal. Batas normal ACTH pla sma, menggunakan immunoradiometric assay sensitif, adalah 10-50 pg/mL (2,2-11,1 pmol/L).B. Interpretasi : Kadar ACTH plasma sangat berguna untuk membedakan disfungsi adrenal yang dasebab kan oleh kelainan hipofisis atau adrenal: (1) Pada insufisiensi adrenal yang dise babkan oleh penyak it primer di adrenal, kadar ACTH plasma meningkat, biasany a lebih dari 250 pg/mL. Se baliknya pada defisiensi ACTH hipofisis dan hipoadrenalisme sekunder, kadar AC TH plasma kurang dari 50 pg/mL. (2) Pada sindroma Cushing yang disebab kan pleh tumor-tumor a drenal primer yang mensekresi glukokortikoid, kadar ACTH pla sma tersupresi, dan kadar yang kur ang dari 1 pg/mL (2,2 pmol/L) adalah diagnostik. Pada pasien -pasien pe nyakit Cushing (hipersekresi A CTH hipofisis), ACTH plasma normal atau meningkat sedang (20-200 pg/mL [4,4-44 pmol/L]). (3) Kadar ACTH juga meningkat nyata pada pasien dengan h iperplasia adrenal kongenital bentuk umum dan berguna dalam diagnosis dan penanganan kelainan-kelainan iniKortisol PlasmaA. Metode Pengukuran : Metode pengukuran kortisol plasma yang palingsering dipakai ada lah radioimmunoassay. Metode ini mengukur kortisol tot al (baik terikat maupun bebas) dalam plasma. Metode yang mengukur kortisol bebas dalam plasma belum tersedia untuk kegunaan klinis.B. Interpretasl : Manfaat dari pemeriksaan tunggal kadar kortisol plasma untuk diagnosis terbatas karena adanya sekresi alamiah kortisol yang berlangsung episodik dan terjadinya pengik atan selama adanya stres. Seperti dij elaskan di bawah, informasi yang le bih baik didapat dengan melaku kan uji dinamis pada aksis hipotalamus-hipofisisadrenal.1. Nilai-nilai normal- Kadar kortisol plasma normal bervariasi tergantung metode yang digunakan. Dengan radioimmunoassay dan competitive protein-binding assay, kadar pada jam 8 pagi berkisar dari 3 sampai 20 g/dL (0,08 -0,55 mol/L) dan rata -rata 10 -12 g/dL (0,28 -0,33 mol/L). 2. Kadar selama stres - Sekresi kortisol meningkat pad a pasien -pasien yang mengalami pe nyakit akut, selama pembedahan , dan setelah trauma. Konsentrasi plasma dap at mencapai 40 -60 g/dL (1 ,1-1,7 mol/L).3. Keadaan tinggi estrogen - Konsentrasi plasma total juga meningkat dengan meningkatnya kapasitas pengikatan CBG, yang paling se ring ter jadi pada keadaan estrogen yang tin ggi dalam sirkulasi, misal selama kehamilan d an pemberian estrogen eksogen atau kontraseptif oral . Pada keadaan ini, kortisol plasma dapat mencapai 2 atau 3kali lebih tinggi dari normal.4. Kondisi-kondisi lain- Kadar CBG dapat meningkat ataupun menurun pada keadaan-keadaan lain, seperti yang. tela h dibahas di atas pad a bagian sirkulasi dan metabolisme. Konsentrasi t otal kortisol plasma mungkin j uga meningkat pada an xietas berat, depresi endogen, kelaparan, anoreksia nervosa,alkoholisme dan gagal ginjal kronis.Kortisol Bebas :1. Metode-metode pengukuran- Assay untuk ekskresi kortisol yang t idak terikatdalam urin merupakan me tode yang sangat baik untuk me ndiagnosis Sindroma Cushing. Normalnya, k urang dari 1% kortisol yang di sekresi dalarn urin adalah kortisol yang diek skresikan tanpa ba nyak perubahan. Pada keadaan sekresi berlebihan, kapasitas ikatan CBG meningkat, sehingga kortisol bebas plasma meningkat seperti juga ekskresinya dalarn urin. Korti sol bebas urin diukur dari urin 24 jam dengan radioimmunoassay atau high-performance liquid chromatography.2. Nilai normal- Kisaran normal dari assay ini ialah 25-95 g/g kreatinin (8-30 mo1/mol kreatinin), dan peningkatan konsen trasi dijumpai pada 90% pasiendengan sindroma Cushing spontan.3. Kegunaan diagnostik - Metode ini terutama bergun a untuk membedakan obesitas biasa dengan sindroma Cushing, karena kadarnya tida k meningkat pada obesitas, seperti 17 -hidroksikortikosteroid dalarn urin , kadar nya dapat meningkat pada keadaan -keadaan serupa yang meningkatk an kortisol plasma , terrnasuk peningkatan ringan selama keham ilan. Uji ini tidak bermanfaat pada insufisiensi adrenal, karena h ilangnya sensitivitas pada kad ar yang ren dah dan karena ekskresi kortisol yang rendah sering pula ditemukan pada orang normal