pemekaran wilayah dan politik identitasrepository.usd.ac.id/33639/2/076322002_full.pdf · papa agus...

124
TESIS PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS STUDI KASUS DI WAISARISA, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT, MALUKU Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Oleh : FABIOLA SINTHYA SEITTE 076322002 UNIVERSITAS SANATA DHARMA PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA YOGYAKARTA 2009

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • TESIS

    PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS STUDI KASUS DI WAISARISA, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT,

    MALUKU

    Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora

    (M.Hum.) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

    Oleh :

    FABIOLA SINTHYA SEITTE

    076322002

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

    YOGYAKARTA

    2009

  • ii

  • iii

    Prof. Dr. A. Supratiknya

    Lembaran Pernyataan

    Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Fabiola Sinthya Seitte, NIM:

    076322002, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya

    yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan

    tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat

    yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah

    ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

    Yogyakarta, 11 Desember 2009,

    Penulis

  • iv

  • v

    Motto

    Takut akan Tuhan

    adalah permulaan Pengetahuan,

    (Amsal 1: 7a)

  • vi

  • vii

    Kata Pengantar

    Ide penulisan tesis ini berawal dari rasa keprihatinan yang saya pendam dari

    Ambon terhadap nasib salah seorang adik (dan ribuan tenaga kerja lainnya) yang

    mengalami PHK pada pabrik pengolahan kayu lapis di Waisarisa, Kabupaten

    Seram Bagian Barat. Rasa keprihatinan ini kemudian menjadi suatu hal yang

    menarik ketika saya diperhadapkan pada mata kuliah Marxisme. Ide ini kemudian

    oleh Pa‟ Budiawan diarahkan bukan pada masalah ketidakadilan yang dialami

    tetapi pada bagaimana para mantan pekerja ini bergulat dengan identitas-identitas

    mereka sebagai mantan pekerja pabrik maupun sebagai etnis mayoritas dan

    minoritas dalam sebuah kabupaten baru. Saya mengakui untuk sampai pada tahap

    ini, saya sangat tertolong oleh berbagai bantuan yang diberikan. Oleh karena itu

    pada kesempatan ini, secara pribadi saya ingin mengucapkan danke banya voor

    semua orang yang telah membantu saya selama saya berstudi di IRB yang tidak

    dapat saya sebutkan satu per satu.

    Danke voor Direktur Program Pasca Sarjana, Kaprodi dan Wakaprodi IRB.

    Untuk semua dosen yang selama ini telah membekali saya dengan sejumlah ilmu,

    Pa‟ Nardi, Romo Bas, Bu‟ Katrin, Romo Moko, Pa‟George, Romo Hary Susanto,

    Mbak Devi dan Mbak Stefani, khususnya untuk Pa‟ Budiawan dan Pa‟ Anton

    Haryono yang begitu sabar membimbing saya serta mengajarkan saya banyak hal

    baik, termasuk secara tidak langsung dan tanpa disadari oleh kalian. Bahkan

    penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa bimbingan dan arahan kalian berdua.

    Untuk Romo Banar atas diskusi-diskusi menarik yang semakin menambah

    wawasan saya. Untuk mbak Hengki atas pelayanannya serta mas-mas dan mbak

    pada WS dan perpustakaan.

    Danke voor Ketua STAKPN Ambon, R. Souhaly, SH,MH, yang telah

    memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar, serta para Pembantu Ketua I,II

    dan III. Pemda Propinsi Maluku Bidang Kesra yang telah membantu dengan

    dukungan dana pada awal saya berstudi. Sesama rekan dari STAKPN Ambon di

    Jogja, Bapa Agus, Bu Angky, Usi Udi, Usi Ko, Usi Echi dan Ona, serta untuk Nn

    Venty atas semua bantuannya. Teman-teman IRB angkatan 2007, Vivin, Novel,

  • viii

    Sansan, Tia, Uul, Anas, Karin, Trisno, Boy, Mas Dedy, Wahyu, khusus buat Bu

    Risma untuk dorongannya yang tak henti-hentinya.

    Danke voor Drs.Nataniel Elake, M.Si (Bu‟ Tanel) yang selalu memberikan

    bantuan setiap kali saya perlukan, bahkan untuk semua informasi yang diberikan

    termasuk membagi pengalaman selama berstudi di Makasar untuk saya. Semua

    kebaikan itu saya tidak bisa membalasnya, hanya doa yang dapat saya berikan

    semoga engkau tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang. Juga untuk para

    informan serta perangkat Desa Waisarisa dan staf kantor Bupati SBB yang telah

    memberikan sejumlah informasi yang saya butuhkan untuk kelengkapan penulisan

    ini. Khusus untuk Mas Yanto dan Usi Nonce atas kesediaan menjadi bapa dan

    mama piara saya selama penelitian di Waisarisa. Juga untuk Keluarga Kakisina di

    Piru, Bapa Agus, Mama Ati, Bu Ade dan Usi Moni yang selalu memberikan

    bantuan dan dukungan untuk saya. Juga untuk Keluarga Ahyate (Angky, Erna dan

    anak-anak). Untuk sahabatku Pdt. Lita Tuamely (ingatlah “viva forever together”),

    Jus Anamofa, Fani dan Wien, Plavius, Eby H serta semua teman-teman lain atas

    kebersamaan selama ini. Juga untuk Keluarga Anguarmase untuk bantuannya

    dalam penyelesaian tesis ini.

    Danke banya voor kakak-kakak dan adik-adikku, Bu Ampi, Usi Lisa, Ade

    Nova, O64N dan Bu Cila serta semua keponakanku, Icky, Ge, Bapin, Adri

    (Topilus), Dave (Rambo), Dinda, Ona Kety atas semua bantuan dan dorongan

    semangat yang tak terkira, terutama dalam mengurus kedua buah hatiku serta

    menjadi teman bermain mereka. Keluarga besar Seitte-Frans (khusus untuk Opa

    Cada) dan keluarga Lekitoo (Mama Yo dan Son), Keluarga Suryaman serta Nn

    Ema T.

    Natalis Mathias Lekitoo, suamiku tercinta serta kedua buah hatiku, Jovi dan

    Ona Tasya, atas semua pengorbanan yang diberikan selama ini, untuk doa yang tak

    henti-hentinya, untuk cinta dan kepercayaan yang berwujud pada kerelaan kalian

    mengizinkan mama pergi belajar jauh di tana orang, untuk celoteh yang

    menguatkan ketika kerinduan menyergap hati bahkan untuk kesabaran kalian

    menanti mama pulang. Pada akhirnya kesuksesan ini merupakan buah dari

    pengorbanan kalian.

  • ix

    Papa Agus dan Mama Sien Seitte, nama kalian yang saya cantumkan

    terakhir dalam lembaran ini, bukan bermaksud mengecilkan arti kehadiran dan

    pengorbanan kalian tapi saya tetap meyakini bahwa yang terakhir akan menjadi

    yang pertama. Karena itu kalian adalah orang pertama dalam hati saya. Karena

    kalianlah saya ada. Untuk semua keringat, doa dan air mata yang kalian taruhkan

    hanya untuk hidup anak-anakmu. Semuanya tidak akan sia-sia, teriring doa yang

    tulus, semoga Tete Manis mau kasih umur panjang voor papa deng mama supaya

    tetap menjadi sombar untuk anak- cucu.

  • x

    ABSTRAK

    Setelah terjadi reformasi, otonomisasi daerah seakan-akan memberikan

    peluang bagi daerah-daerah untuk berkembang. Dari sisi jumlah, terjadi

    peningkatan jumlah propinsi diikuti dengan peningkatan kabupaten kota dan

    kecamatan-kecamatan yang merupakan salah satu syarat mutlak terjadinya

    pemekaran. Dari aspek tujuan, pemekaran bertujuan untuk mendekatkan

    pemerintah dengan rakyatnya yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan-

    pembangunan diberbagai bidang. Tapi Otonomi daerah yang berwujud pada

    pemekaran wilayah menyisakan banyak persoalan. Daerah-daerah yang merasa

    tidak puas beramai-ramai menuntut mekar lepas dari kabupaten atau propinsi induk

    dengan harapan dapat mengatur diri sendiri. Pemekaran daerah juga setidaknya

    ikut memberikan harapan bagi masyarakat di daerah mekaran baru, khususnya

    akses ke sumber-sumber daya publik. Etnis yang termarjinalkan mulai bangkit dan

    memperjuangkan hak-haknya. Terjadi tegangan antara para pendatang dan putera

    daerah.

    Masalah tegangan antara para pendatang dan putera daerah juga terjadi

    pada Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Perebutan sumber-sumber daya publik

    pasca pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah arena pertarungan

    identitas “asli” dan bukan. Isu pengutamaan putera daerah yang beredar bersamaan

    dengan perjuangan pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah harga mati.

    Putera daerah mengklaim hak mereka pada sumber-sumber daya publik.

    Tesis ini bermaksud menunjukkan bahwa motivasi pemekaran kabupaten

    Seram Bagian Barat untuk kepentingan masyarakat, yakni agar masyarakat SBB

    dapat menikmati pembangunan yang setara dengan daerah-daerah lainnya. Selain

    itu motif lainnya adalah memperjuangkan nasib putera daerah yang setiap kali

    harus kalah dan tersingkir dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Namun

    motivasi motivasi terselubung yang dibawa oleh masing-masing tokoh pemekaran

    justru menjadikan putera daerah berada pada tingkatan yang sama dengan para

    pendatang. Identitas sebagai yang asli/lokal bukan menjadi sebuah jaminan

    kesuksesan dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Putera daerah pada

  • xi

    akhirnya harus mengalami hal yang sama ketika masih berada dalam wilayah

    administratif Kabupaten Maluku Tengah. Masyarakat Waisarisa yang adalah

    mantan pekerja pabrik turut merasakannya. Bagi mereka ketika bersama dalam

    perebutan sumber daya publik, sesama mantan pekerja pabrik yang merupakan

    etnis lain dianggap merupakan saingan. Tetapi ketika mereka sama-sama gagal

    dalam perebutan sumber daya publik tersebut, kebersamaa mereka wujudkan dalam

    kehidupan yang harmonis sebagai sesama mantan pekerja pabrik.

  • xii

    Daftar Isi

    Halaman Judul ……………………………………………………....………i

    Lembar Persetujuan ....…..…………………………………………....…...…ii

    Lembar Pengesahan ........................................................................................iii

    Lembar Pernyataan .........................................................................................iv

    Lembar Motto …....……………………………………………………...........v

    Kata Pengantar ………………………………………………………....……..vi

    Abstrak ……………...……………………………………..………….....…..ix

    Daftar Isi ……………………………………………………………....……...xi

    Bab I. Pendahuluan

    1. Latar Belakang ..…… …………………....……………....…...1

    2. Perumusan Masalah ................…………………….....……...5

    3. Tujuan Penelitian .……........………………………....……...6

    4. Kerangka Konseptual ....……………………………....…....6

    5. Tinjauan Pustaka ...........................................................13

    6. Metodologi Penelitian ............................................................17

    7. Sistematika Penulisan ...........................................................20

    Bab II. Seram Bagian Barat: Geografi, Demografi dan Mitos-Sejarah

    1. Pengantar ...............................................................................21

    2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat ..................................24

    A. Letak Geografis ........................................................24

    B. Kondisi Demografi ....................................................26

    C. Sumber Daya dan Pembangunan ................................29

    3. Sejarah Lokal Masyarakat Seram Bagian Barat .......................31

    A. Mitos Yang Berkembang Dalam

    Masyarakat Seram dan Sejarah Adat ..........................33

    B. Masa Kolonial Belanda .............................................38

    4. Sejarah Panjang Yang berujung Pada Pemekaran ...................41

    5. Catatan Penutup .....................................................................43

  • xiii

    Bab III. Menuju Terbentuknya Kabupaten Seram Bagian Barat:

    Proses Politik dan Proses Administif

    1. Pengantar ...............................................................................45

    2. Pemekaran Wilayah Seram Bagian Barat ...............................47

    A. Di Awal Perjuangan .................................................49

    B. Pemekaran Kabupaten Baru ......................................51

    C. Alasan-alasan di balik Usulan

    Pemekaran ...............................................................57

    3. Catatan Penutup ..................................................................64

    Bab IV. Pergumulan Kabupaten Baru dan Politik Identitas

    1. Pengantar ................................................................................66

    2. Mengenal Masyarakat Waisarisa

    A. Geografis dan Demografis ........................................69

    B. Sejarah Lokal Masyarakat Waisarisa ..........................71

    3. Masyarakat Bekas Pekerja Pabrik .........................................72

    4. Proses Pengidentifikasian Diri „Lokal/Asli‟

    dan „Pendatang (Orang dagang) „ ......................................75

    A. Penduduk „Lokal/Asli‟ ..............................................76

    B. „Pendatang‟ ...............................................................78

    5. Upaya Perebutan Sumber-sumber Daya Publik ......................84

    6. Identifikasi Masyarakat: Sebuah Perjuangan hidup ................91

    A. Berjuang Untuk Hidup .............................................91

    B. Kesamaan Identifikasi Diri .......................................94

    7. Catatan Penutup ...................................................................95

    Bab V. Penutup ....................................................................................98

    Daftar Pustaka ............................................................................................105

    Lampiran-lampiran

  • BAB I

    P E N D A H U L U A N

    1. Latar Belakang

    Sejak tahun 1998 dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan,

    banyak pengamat menyatakan bahwa Indonesia memasuki suatu era baru dalam

    bidang pemerintahan, yakni dari pemerintahan yang tersentralisasi ke pemerintahan

    yang terdesentralisasi. Artinya, daerah di beri kewenangan yang lebih besar untuk

    mengatur dirinya sendiri (otonom). Ini jelas terlihat dengan adanya undang-undang

    otonomi daerah, walaupun garis pemisah tentang tanggung jawab dan klaim-klaim

    antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum begitu jelas1.

    Sejak dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah, Propinsi Maluku

    yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga kabupaten dan satu kotamadya,

    dimekarkan menjadi 9 kabupaten, 2 kota dan 1 propinsi baru yakni Maluku Utara.

    Pemekaran wilayah-wilayah ini cukup membawa dampak bagi kehidupan

    masyarakat di daerah-daerah hasil pemekaran, terutama berkaitan dengan

    distribusi akses terhadap sumber-sumber daya publik. Ini dikarenakan tingginya

    angka pengangguran akibat konflik yang melanda propinsi ini beberapa waktu

    sebelumnya. Pengangguran di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 mencapai

    120.000 orang atau 13, 34% dari angkatan kerja. Jumlah ini meningkat di tahun

    2001 mencapai 17,40%, jumlah ini kemudian mulai menurun, seiring mulai

    membaiknya kondisi keamanan. Sampai akhir tahun 2003, pengangguran

    1 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal Di Indonesia, , Jakarta, KITLV

    dan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm.13.

  • 2

    mencapai 15,43% dari jumlah usia kerja. Pada Desember 2004, Tingkat

    Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebanyak 505.296 orang dengan

    penggangguran hampir mencapai 76.000 orang atau sekitar 15%.2 Jumlah ini

    perlahan-lahan mulai turun namun jumlah pengangguran termasuk kategori cukup

    tinggi dibandingkan yang terjadi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lainnya.

    Masalah perebutan akses sumber-sumber daya publik juga melanda

    Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), salah satu kabupaten baru hasil pemekaran

    dari Kabupaten Maluku Tengah. Di kabupaten ini bukan hanya berdiam

    masyarakat lokal SBB serta orang Maluku sendiri, tetapi juga etnis lain dari luar

    Maluku. Adanya etnis lain yang berdiam di daerah ini karena bermacam-macam

    alasan. Alasan terbesar adalah mengikuti program pemerintah Orde Baru, yakni

    transmigrasi nasional. Kehadiran etnis lain di daerah ini pada awalnya tidak

    bermasalah. Antara penduduk lokal dengan pendatang hidup saling

    berdampingan.

    Demikian pula dengan apa yang terjadi di „negeri‟3 Waisarisa. Waisarisa

    adalah satu daerah di wilayah kabupaten SBB dengan komposisi penduduk yang

    sangat beragam karena adanya pabrik pengolahan kayu lapis milik PT. Djayanti

    Group. Pabrik ini menyerap banyak tenaga kerja yang bukan hanya etnis SBB

    atau Maluku, tetapi juga banyak dari etnis Jawa, Toraja, Minahasa, dll. Mereka

    yang berasal dari etnis luar Maluku, terutama Jawa dan Toraja, didatangkan secara

    besar-besaran dengan menggunakan sistem angkatan kerja. Ketika mereka tiba

    2 www.detiknews.com/ dan www.disnakertrans-jateng.go.id/ , tanggal 2 April 2009 dan

    www.hamline.edu/apakhabar/ dan http//74.125.153.132/ tanggal 27 Oktober 2009. 3 Negeri merupakan sebutan umum untuk desa di Maluku. Ketika pemerintahan orde baru, negeri-

    negeri di Maluku mengalami perubahan nama menjadi desa dan sistem pemerintahannya pun

    diseragamkan dengan desa-desa di Jawa..

  • 3

    untuk pertama kalinya, tidak pernah ada rasa iri dan perasaan tersaingi dari

    penduduk lokal. Selain itu, karena merupakan tenaga kerja yang khusus

    didatangkan dari luar Maluku oleh perusahaan, maka keberadaan mereka sangat

    dilindungi oleh pihak perusahaan yang bersangkutan. Lagipula keberadaan

    mereka di sana hanya untuk bekerja, bukan untuk hal-hal lain yang dapat

    menyusahkan kehidupan mereka bersama.

    Kemp-kemp yang disediakan pihak perusahaan dihuni bersama-sama baik

    etnis lokal maupun pendatang. Dalam kehidupan bersama ini terjadi perjumpaan

    multietnik dan multikultural. Ketika konflik Ambon yang mengedepankan isu

    agama terjadi, daerah Waisarisa boleh dikatakan tidak terjamah sama sekali.

    Masyarakat telah belajar dari perjumpaan-perjumpaan yang terjadi, sehingga

    konflik relatif dapat dihindari.

    Dengan kondisi keamanan yang mulai membaik, undang-undang otonomi

    daerah mulai diberlakukan. Atas perjuangan tokoh-tokoh masyarakat, lahirlah

    kabupaten-kabupaten baru. Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini membawa

    harapan baru tentang akan adanya perbaikan dalam setiap bidang kehidupan buat

    masyarakat yang bermukim di daerah hasil pemekaran tersebut. Salah satunya

    adalah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) yang beribukota di Piru, yang

    disahkan dengan UU No. 40 Tahun 2003. Kasus inipun terjadi pada kabupaten ini

    (SBB). Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini selalu diikuti dengan perekrutan

    tenaga kerja baru pada instansi pemerintah kabupaten dalam jumlah besar. Wacana

    yang berkembang sebelum pelaksanaan proses seleksi penerimaan pegawai adalah

    pengutamaan “anak daerah”4 dan bukan “orang dagang”

    5. Walaupun sudah hidup

    4 Istilah ini artinya sejajar dengan putera daerah

  • 4

    bertahun-tahun di Maluku bahkan di SBB, para pendatang tetap dianggap orang

    luar. Dengan kata lain berhembusnya isu ini seakan-akan menutup peluang

    bagi etnis lain dari luar SBB, bahkan dari luar Maluku untuk mendapatkan

    pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Proses perjumpaan yang telah

    terjadi bertahun-tahun seolah-olah tidak lagi diperhitungkan. Perbedaan etnis

    menjadi isu utama dalam seleksi penerimaan PNS bukan perbedaan agama dan

    keyakinan.

    Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh warga Waisarisa.

    Tes yang pertama kali dilakukan diikuti oleh ribuan pelamar, termasuk orang-

    orang Waisarisa yang pada saat itu masih berstatus sebagai karyawan PT. Jayanti

    grup. Bukan hanya anak daerah yang berlomba-lomba, tetapi juga menarik minat

    orang-orang dari luar SBB. Ada rasa optimis “anak daerah” SBB bahwa mereka

    akan diterima sebagai PNS. Tapi kenyataan yang terjadi di luar dugaan mereka.

    Dari hasil yang diumumkan, muncul nama-nama yang berasal dari luar SBB. Hal

    ini tentu saja membawa rasa kecewa di kalangan orang Waisarisa. Mereka

    beranggapan bahwa sebagai orang Seram dan putera daerah SBB, mereka lebih

    berhak atas sumber-sumber daya publik tersebut daripada orang-orang luar. Rasa

    kekecewaan semakin diperkuat ketika pada tahun 2006 pabrik mengadakan PHK

    besar-besaran terhadap dua ribu lebih karyawannya dan disusul dengan penutupan

    pabrik itu pada tahun berikutnya. Mereka menilai pemerintah seakan-akan

    menutup mata terhadap nasib mereka.

    5 Istilah ini selalu dikenakan kepada orang asing atau bukan penduduk asli setempat yang berdiam

    ditengah-tengan penduduk asli. Misalnya saja orang Waisarisa menyebut orang dari etnis luar yang

    berdiam ditengah-tengah mereka dengan sebutan ini. Istilah ini bukan saja ditujukan pada orang-

    orang dari luar propinsi Maluku tetapi juga kepada sesama orang Maluku, yang berlainan pulau

    maupun negeri/kampung.

  • 5

    Dengan gambaran di atas, identitas seseorang kembali dipertanyakan.

    Sebelum pemekaran wilayah tidak ada wacana penguatan identitas etnis. Tetapi

    setelah pemekaran wilayah, penguatan identitas etnis ini kemudian dimunculkan

    dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Fenomena inilah yang akan

    saya kaji.

    2. Perumusan Masalah

    Dengan melihat latar belakang diatas maka pertanyaan masalah yang muncul

    adalah: Sejauh mana politik identitas berperan dalam perebutan sumber-sumber

    daya publik paska pemekaran wilayah di kabupaten Seram Bagian Barat?

    Pertanyaan umum tersebut diuraikan kedalam beberapa pertanyaan penelitian

    sebagai berikut :

    1. Bagaimana etnis “pendatang” dan etnis “lokal” saling memandang?

    Bagaimana masing-masing mendefinisikan identitas mereka?

    2. Bagaimana pandangan etnis “pendatang” dan etnis “lokal” terhadap isu

    “putra daerah” yang digulirkan dalam proses penerimaan Calon Pegawai

    Negeri Sipil pasca pemekaran?

    3. Bagaimana identifikasi diri yang dibangun oleh orang Waisarisa (pendatang

    maupun lokal) dalam menjembatani penguatan-penguatan identitas etnis

    pasca seleksi CPNS?

    3. Tujuan Penelitian

  • 6

    Dengan melihat gambaran permasalahan diatas maka penelitian ini bertujuan

    untuk:

    1. Mendeskripsikan proses politisasi identitas pasca pemekaran kabupaten baru.

    2. Mengungkapkan fungsi politisasi identitas dalam proses perebutan

    sumber- sumber daya publik.

    4. Kerangka Konseptual

    Ketika pada akhirnya pemerintah pusat menyetujui usulan pemekaran

    Kabupaten Seram Bagian Barat dengan UU No.40 tahun 2003, ada rasa lega yang

    tersirat dari ungkapan-ungkapan oleh orang-orang yang berasal dari Seram Bagian

    Barat. Rasa lega itu dikaitkan dengan terbukanya lapangan pekerjaan, “Syukurlah,

    dengan berdiri sendiri maka setidaknya anak-anak daerah SBB punya peluang

    besar untuk mendapat pekerjaan di negeri sendiri”. Demikianlah ungkapan seorang

    ibu asal SBB bahkan mungkin orang-orang SBB lainnya. Sekali lagi kata anak

    daerah ini patut digarisbawahi. Ungkapan “anak daerah” telah menjadi kata kunci

    bagi orang-orang yang merasa berasal dari Seram Bagian Barat (SBB). Ini

    merupakan pembeda mereka yang mengaku berasal dari SBB dengan orang lain

    yang bukan berasal dari SBB berdasarkan nama keluarga (fam)6 yang diwariskan.

    Anak daerah dan nama keluarga (fam) merupakan dua hal yang saling

    berhubungan satu dengan yang lainnya dan berkaitan erat dengan masalah yang

    terjadi di kabupaten baru hasil pemekaran. Kedua hal ini juga yang menjadi

    instrumen pengidentifikasian diri. Menurut Stuart Hall, pada dasarnya identitas

    6 Kata ini sengaja penulis cetak miring. Fam bagi orang Maluku merupakan sebutan untuk nama

    keluarga/marga, dan masing-masing etnis Maluku memilikinya dibelakang nama depannya,

    misalnya nama keluarga yang penulis pakai.

  • 7

    selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Ide atau gagasan tentang

    identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris, karena terdiri dari satu atau

    lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya.7 Artinya,

    identitas seseorang dapat merepresentasikan banyak hal dan oleh karena itu tidak

    tunggal serta selalu berproses. Identitas itu bersifat cair, ia akan berubah ketika

    situasi yang dihadapi berbeda pula. Dengan banyak komponen itulah maka kita

    dapat menggambarkan diri kita dan orang lain sehingga dapatlah dikatakan bahwa

    identitas menurut Hall selalu bersifat relasional. Defenisi tentang “diri” itu selalu

    terkait dengan siapa yang dilihat/dibayangkan sebagai yang “lain”.

    Sejalan dengan pikiran Hall, Robin Tolmach Lakoff menyatakan bahwa

    identitas manusia adalah sebuah „proses‟ yang dikonstruksi dan dapat berubah oleh

    pengalaman hidup. Identitas dikonstuksi lewat sebuah cara yang sangat kompleks

    dengan maupun tanpa kesadaran. Dalam beberapa kasus, ia menyatakan bahwa

    identitas sama dengan proses pengidentifikasian seseorang terhadap keanggotaan

    dari komunitasnya.8 Dengan melihat pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Hall

    dan Lakoff memiliki pandangan bahwa identitas itu disamakan dengan

    pengidentifikasian diri dan melewati sebuah proses yang dikonstruksi berulang-

    ulang oleh pengalaman yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain, bagi Hall dan

    Lakoff, identitas itu bersifat cair. Seperti yang diungkapkan oleh Kobena Mercer

    bahwa identitas itu merupakan sebuah kata kunci dalam perkembangan politik,

    bahkan kata identitas juga bisa ditafsirkan dalam makna yang berbeda maupun

    7 Stuart Hall, “Old and New Indentities, Old And New Ethnicities”, dalam Anthony D. King (ed),

    Culture, Globalization And The World-System, Binghamton ,The Macmillan Press Ltd, 1991, hlm.

    49. 8 Robin Tolmach Lakoff, “Identity: „You Are What You Eat”, dalam Anna de Fina, dkk (ed)

    Discourse and Identity, Crambridge, Cambridge University, 2006, hlm. 142-143.

  • 8

    sama tergantung siapa pelakunya.9 Artinya, bahwa identitas bersifat cair karena ia

    bebas diartikan oleh siapa saja tergantung kepentingan yang ingin dicapai. Bahkan

    kelompok-kelompok etnis sebagai tatanan sosial pun terbentuk bila seseorang

    menggunakan identitas etnisnya dalam mengkategorikan/mengidentifikasi dirinya

    dan orang lain untuk tujuan interaksi.10

    Pada kasus Waisarisa, asumsinya adalah bahwa yang dipakai sebagai

    tanda identifikasi diri adalah nama keluarga (fam). Tanda ini akan dipakai jika

    berkaitan dengan upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Lain lagi jika

    masalah yang dihadapi secara komunal sebagai sebuah masyarakat (sosial) bekas

    pekerja, tentunya indikator pengidentifikasian diri itupun berbeda pula. Misalnya

    saja yang dipakai adalah buruh pabrik yang terkena PHK gelombang pertama dan

    kedua atau kelompok kerja pada bagian alat berat di pabrik. Akhirnya dapat

    dikatakan bahwa nama keluarga (fam) yang dipakai sebagai penanda hanya

    merupakan salah satu dari begitu banyak penanda-penanda yang lain misalnya

    etnis, agama, pekerjaan, dll.

    Dalam pengidentifikasian diri yang menggunakan nama keluarga (fam),

    orang selalu mengaitkannya dengan perebutan sumber-sumber daya publik untuk

    membedakan yang asli dan pendatang. Banyak contoh menunjukkan bahwa nama

    keluarga (fam) ini pada akhirnya bermuara pada apa yang disebut etnis. Etnis

    pendatang dan etnis lokal itu yang selalu bergaung setelah pemekaran kabupaten

    Seram Bagian Barat. Sebenarnya, apa yang dimaksudkan dengan etnis itu sendiri?

    9 Kobena Mercer, “1968”:Periodizing Politics and Identity”, dalam Lawrence Grossberg, dkk (ed),

    Cultural Studies, New York & London, Roudledge, 1992, hlm. 424. 10

    Fredrik Barth, Ethnic Group and Boundaries, Bergen and London, Universitets Forlaget and George Allen & UNWIN, 1970, hlm.14.

  • 9

    Menurut Anthony D. Smith, etnis atau komunitas etnis dapat diartikan

    sebagai penamaan populasi manusia yang memiliki mitos, sejarah dan budaya yang

    sama, memiliki tanah tumpah darah (homeland) dan memiliki rasa solidaritas11

    .

    Dengan demikian komunitas ini juga lebih mengacu pada sistem primodial yang

    telah berlangsung lama. Hal senada juga diungkapkan oleh Tilaar bahwa pada

    dasarnya suatu kelompok etnis memiliki enam sifat dasar diantaranya adalah

    memiliki nama khas yang mengidentifikasikan hakikat dari suatu masyarakat serta

    terikat dengan tanah tumpah darah.12

    Mengacu pada kedua pendapat ini maka,

    mereka yang mengaku sebagai anak daerah Seram Bagian Barat merasa bahwa

    mereka adalah etnis Seram Barat karena mereka memiliki nama keluarga dan mitos

    terutama tentang tiga batang air/aer: Tala (Kecamatan Kairatu), Eti (Kecamatan

    Seram Barat) dan Sapalewa (Kecamatan Taniwel), sejarah dan budaya yang sama,

    tanah tumpah darah (homeland) yang telah berdiri menjadi daerah otonom. Dari

    sinilah rasa solidaritas sebagai orang Seram Bagian Barat dibangun. Dengan

    demikian ketika diperhadapkan dengan perebutan sumber-sumber daya publik,

    etnis SBB mulai membangun benteng pertahanan dengan isu putera asli daerah.

    Asumsinya bahwa dengan adanya isu ini memungkinkan putera-puteri daerah

    memiliki kesempatan besar dalam perebutan sumber-sumber daya publik.

    Ketika telah berdiri menjadi sebuah kabupaten yang mandiri, dalam upaya

    perebutan sumber-sumber daya publik tersebut, masalah identitas mulai mencuat.

    Seiring dengan berjalannya waktu, kontestasi politik lokal yang mengetengahkan

    isu identitas kembali dimunculkan. Politik identitas ini seakan-akan merupakan

    11

    Anthony D. Smith, “Structure and Persistence of Etnie”, dalam Montserrat Guibernau dan John

    Rex (ed), The Ethnicity Reader, Cambridge, Polity Press, 1997, hlm.27 12

    H.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT.Rineka Cipta, 2007, hlm.6.

  • 10

    jalan terakhir dalam perebutan lapangan pekerjaan. Politik identitas itu mengacu

    pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun

    identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.13

    Mengacu pada kasus Waisarisa dimana banyak penduduknya berasal dari

    luar Seram, maka hal ini tentulah dapat dipahami. Mereka yang merasa sebagai

    orang lokal/putera asli daerah mengklaim bahwa mereka lebih berhak bekerja di

    negeri mereka sendiri ketimbang etnis/orang lain. Asumsi mereka adalah bahwa

    negeri mereka akan maju jika dipimpin oleh orang-orang mereka sendiri. Sejalan

    dengan itu Gustiana Kambo, mengutip Halls dan Gay, mengatakan bahwa politik

    identitas merujuk pada berbagai bentuk mobilisasi politik atas dasar identitas

    kolektif yang sebelumnya sering disembunyikan, ditekan, diabaikan baik oleh

    kelompok dominan yang terdapat dalam sebuah sistem demokrasi liberal atau oleh

    agenda politik kewarganegaraan yang diusung untuk dan atas nama demokrasi

    yang lebih progresif.14

    Mengacu pada pendapat tadi pertanyaan yang muncul adalah apakah

    memang selama ini orang/etnis Seram Bagian Barat merasa selalu

    menyembunyikan identitas kolektifnya, karena selalu ditekan dan diabaikan oleh

    etnis lain yang dominan? Bukankah politik identitas selalu dikaitkan dengan

    sentimen primordialisme? Sentimen primordialisme bukan hanya berbicara

    tentang diri sendiri atau siapa kami, tetapi juga cenderung untuk melihat relasi

    kekuasaan terutama berkaitan dengan siapakah yang dianggap “the other”. Bagi

    13

    Ari Setyaningrum, „Memetakan lokasi Bagi Politik Identitas dalam Wacana Politik Poskolonial‟, Jurnal Mandatory, Edisi 2/Tahun 2/2005, Yogyakarta, IRE, 2005, hlm.18. 14

    Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik: Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar

    internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008.

  • 11

    penduduk “asli” Waisarisa, ketika masih sama-sama bekerja di pabrik, mungkin ia

    tidak merasa bahwa sesama pekerja etnis pendatang adalah “orang lain”, tetapi ia

    menjadi “orang lain“ ketika konteks yang dihadapi mulai berubah, sama-sama

    dalam urusan memperjuangkan hidup.

    Masalah etnisitas telah menjadi sebuah hal penting dalam membicarakan

    berbagai fenomena di seputar masalah otonomi daerah. Otonomi daerah selalu

    dikaitkan dengan kebijakan daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Konsep

    otonomi daerah pada hakikatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk

    mengambil keputusan, baik politik maupun administratif, menurut prakarsa

    sendiri.15

    Secara normatif otonomi daerah lebih menekankan aspek

    kemandirian daerah dalam mengurus dirinya sendiri, tak lain untuk meningkatkan

    kesejahteraan rakyat serta mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya. Otonomi

    daerah memicu terjadinya pemekaran wilayah-wilayah. Pemekaran wilayah sendiri

    merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah,

    dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan.16

    Sejalan

    dengan pemikiran itu, Henk S. Nordholt dan Gerry van Klinken menyatakan

    bahwa pemekaran daerah merupakan sebutan untuk subdivisi distrik-distrik dan

    provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru.17

    Dari

    kedua pendapat ini terlihat bahwa yang menjadi alasan adanya pemekaran sebuah

    daerah baru bukan cuma keinginan mengatur dirinya sendiri, tetapi secara

    administratif lebih mempermudah pelayanan kepada masyarakat.

    15

    Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm.7. 16

    Yadi Surya Diputra, “Analisa Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Proses Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa”, makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika

    Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008, hlm.11 17

    Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, op.cit, hlm.25.

  • 12

    Bagi masyarakat Seram Bagian Barat, menjadi sebuah kabupaten sendiri

    lepas dari kabupaten induk, secara administratif sangat mempermudah

    mendapatkan pelayanan birokrasi, karena jarak yang harus ditempuh tidaklah jauh

    dibandingkan ke Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Jarak antara Kairatu

    (kecamatan SBB yang berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah) kurang

    lebih sekitar 148 km18

    , belum lagi dengan kecamatan-kecamatan yang tidak

    berbatasan langsung. Selama ini untuk mengurus keperluan administrasi maka

    orang dari Seram Bagian Barat harus ke Masohi. Secara geografis, jarak yang harus

    ditempuh cukup jauh dengan kondisi jalan raya yang rusak cukup parah sehingga

    memakan biaya yang tidak sedikit. Selain itu prasarana jalan raya ini tidak

    langsung menghubungkan beberapa daerah dengan Masohi disebabkan kondisi

    geografis yang tidak memungkinkan, belum lagi sarana transportasi yang sulit

    menyebabkan pengurusan bisa memakan waktu berhari-hari dan mahal. Jadi,

    alasan pemekaran ini bukan karena masalah perbedaan etnis semata, tetapi lebih

    pada alasan pelayanan atministratif yang lebih efisien. Dengan kata lain, untuk

    mempersempit rentang kendali pemerintahan.

    5. Tinjauan Pustaka

    Ketika berbicara tentang otonomisasi daerah yang berwujud pada

    pemekaran wilayah, pemikiran kita akan dibawa pada adanya kemandirian dan

    desentralisasi kekuasaan. Dengan adanya desentralisasi ini maka daerah mendapat

    kewenangan yang lebih besar untuk mengatur jalannya roda pembangunan di

    daerah bersangkutan. Ada banyak penelitian yang telah dilakukan baik pribadi

    18

    http://www2.kompas.com/ tanggal 12 Desember 2008.

  • 13

    maupun berkelompok untuk melihat persoalan yang terjadi di seputar otonomisasi

    daerah. Mulai dari perlunya merevisi UU Otonomi Daerah yang selama ini telah

    digunakan sampai pada masalah kontestasi politik lokal.

    Berdasarkan tulisan-tulisan tersebut tampak bahwa masalah otonomisasi

    daerah selalu ditinjau dari aspek yuridisnya (Lili Romli,2007; Ni‟matul

    Huda,2007), tetapi ada beberapa tulisan yang berbicara dari sisi kontestasi politik

    lokal, misalnya tentang bagaimana para elit lokal mulai melebarkan pengaruhnya

    untuk turut mengambil bagian dalam setiap proyek daerah paska otonomisasi (John

    F. McCarthy, 2007; Erwiza Erman, 2007; Akiko Morishita, 2006, dll). Dari sisi

    kontestasi politik ini ada beberapa orang yang sudah mulai berbicara tentang politik

    identitas (Yadi Surya Diputra, 2008; Gustiana A. Kambo, 2008; Carole Foucher,

    2007; Myrna Eindhoven,2007). Tulisan-tulisan mengenai otonomisasi daerah dan

    kaitannya dengan politik identitas ini semuanya sangat menarik karena kasus yang

    dihadapi oleh setiap daerah berdasarkan hasil penelitian ini hampir sama. Alasan

    sebuah daerah ingin mekar atau terlepas dari daerah induk (entah propinsi atau

    kabupaten), selalu dikaitkan dengan identitas etnis dan rasa termarjinalkan dalam

    bidang sosial maupun bidang ekonomi oleh etnis “dominan”.

    Dalam tulisan Myrna Eindhoven misalnya, alasan terpisahnya kepulauan

    Mentawai sebagai sebuah kabupaten sendiri lepas dari kabupaten Padang Pariaman

    di daratan Sumatera disebabkan kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten

    Padang Pariaman yang berada di daratan Sumatra terhadap pembangunan di

    kepulauan ini. Selain itu juga adanya diskriminasi agama yang dimunculkan

    sebagai sebuah persyaratan, yakni dengan adanya peraturan daerah yang

  • 14

    mengharuskan para pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) harus beragama

    Islam.

    …Selain itu, untuk bisa melamar menjadi pegawai negeri, ada syarat yang

    bersangkutan harus orang Muslim, dan hal ini membuat sebagaian besar

    orang Mentawai praktis tidak mungkin melamar posisi-posisi di

    pemerintahan. Karena menjadi orang Kristen sejak awal abad ke-20,

    mayoritas orang Mentawai sekarang memandang Kristenitas sebagai

    bagian integral dari identitas mereka. Meskipun begitu, ada beberapa

    kasus yang diketahui ketika orang-orang Mentawai beralih memeluk

    agama Islam atau setidak-tidaknya mengubah nama Kristen menjadi nama

    Islam-agar bisa memenuhi syarat sebagai pegawai negeri.19

    Hal ini menyebabkan etnis Mentawai merasa terpinggirkan karena mayoritas

    beragama Kristen. Seiring dengan masalah tersebut identitas yang dipolitisir ikut

    menentukan dalam pengambilan kebijakan tentang kepemimpinan “putra daerah”.

    Tulisan Gustiana A. Kambo juga mencirikan hal yang sama yakni adanya

    ketidakpuasan etnis Mandar yang merasa didominasi oleh etnis Bugis. Padahal

    etnis Mandar merasa memiliki sejarah kolektif tentang asal usul dan keberadaan

    mereka sendiri. Seperti yang diungkapkan bahwa politik perbedaan (politik

    identitas) antaretnik di Sulawesi Selatan didasarkan atas dominasi etnik dominan

    (Bugis) atas kelompok minoritas dan marginal (Mandar). Dengan alasan inilah

    mereka lepas dari Propinsi Sulawesi Selatan dan membentuk Propinsi Sulawesi

    Barat.20

    Dari kedua kajian di atas dapat kita lihat betapa identitas dapat menjadi

    sebuah kekuatan untuk menentukan nasib sendiri lewat pemekaran sebuah daerah

    19

    Myrna Eindhoven, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik

    Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV dan YOI, 2007, hlm.92. 20

    Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik: Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar

    internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008.

  • 15

    baru. Artinya, identitas etnis dan atau agama telah menjadi alasan utama

    pemekaran. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi yang dihadapi oleh

    Kabupaten Seram Bagian Barat. Isu tentang perbedaan etnis bukan menjadi alasan

    mendasar pemekaran. Isu identitas etnis baru dimunculkan setelah terjadi

    pemekaran dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik antara etnis “asli”

    dan “pendatang” (orang dagang). Bagi orang Maluku sendiri, penyebutan

    seseorang dengan istilah “orang dagang” bukan cuma ditujukan bagi orang-orang

    yang berasal dari etnis di luar Maluku (etnis Jawa, Buton, Bugis-Makasar, dll).

    Sebutan ini juga dikenakan bagi orang-orang Maluku sendiri yang berasal dari

    bahkan pulau bahkan negeri yang berbeda.21

    Misalnya, orang Saparua memanggil

    orang-orang Seram atau orang Kei dengan sebutan ini (baca: orang dagang). Hal

    ini pun terjadi di Waisarisa yang dihuni bukan saja oleh penduduk lokal, tetapi oleh

    berbagai suku bekas pekerja pabrik. Seorang mantan pekerja yang berasal dari desa

    Allang dan menikah dengan perempuan Waisarisa, oleh keluarga istrinya tetap

    disebut orang dagang.22

    Identitas menjadi salah satu variabel kunci. Penduduk

    lokal (asli Waisarisa dan Seram Bagian Barat) akhirnya menggunakan variabel

    kunci ini sebagai justifikasi untuk dapat menjadi CPNS bahkan PNS.

    Selain hal itu, yang menarik dari daerah Seram Bagian Barat khususnya

    Waisarisa adalah bahwa daerah ini tidak terjamah konflik sama sekali sehingga

    ketika terjadi pemekaran wilayah, agama bukanlah sebuah alasan yang cukup

    penting untuk membedakan yang lokal dan pendatang. Hal ini disebabkan karena

    21

    Maluku merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 972 pulau, dengan Pulau Seram sebagai pulau terbesar (Sumber: Asisten I Sekda Maluku 2007,

    http://www.malukuprov.go.id/) tanggal 12 Desember 2008. 22

    Seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan pekerja pabrik berinisial AS, tanggal 13 Januari

    2009.

  • 16

    dalam kehidupan masyarakat pada umumnya terjadi pembauran, dimana tempat

    tinggal tidak berdasar pada agama yang dipeluk. Hal ini berbeda dengan negeri-

    negeri lainnya di Maluku, terutama pasca-konflik Ambon.23

    6. Metodologi Penelitian

    A. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi

    kasus, dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yakni:

    1. Observasi lapangan dengan mengamati langsung kehidupan

    penduduk Waisarisa baik orang lokal maupun pendatang yang

    sampai saat ini masih bertahan di kemp perusahaan serta wacana-

    wacana seputar pemekaran wilayah.

    2. Wawancara; teknik ini diharapkan dapat menggali sejumlah

    informasi penting melalui interaksi dengan para informan.

    3. Pendalaman berbagai dokumen tertulis untuk mendapatkan

    gambaran tentang sejarah adat masyarakat SBB sampai pada upaya-

    upaya pemekaran dan seputar politisasi identitas dalam perebutan

    sumber-sumber daya publik.

    23

    Pada umumnya negeri-negeri di Maluku, memiliki pemeluk agama yang homogen. Artinya bahwa sebuah agama menjadi agama tunggal di sebuah negeri tertentu pula sehingga ketika

    menyebut sebuah nama negeri maka orang akan langsung tahu agama yang dianut oleh masyarakat

    negeri tersebut. Misalnya negeri Kamariang, orang langsung tahu bahwa ia merupakan sebuah

    negeri Kristen sedangkan Mamala, orang langsung tahu bahwa itu adalah negeri Islam. Kalaupun

    pada akhirnya ada dua negeri yang memiliki kesamaan nama mungkin karena adanya pertalian

    darah antara leluhur negeri-negeri tersebut (ade-kaka) maka akan ada penambahan nama

    berdasarkan agama yang dianut oleh masyarakat negeri tersebut, misalnya negeri Sirisori Sarane

    (Sirisori Kristen) dan Sirisori Salam (Sirisori Islam). Agama Islam telah lebih dulu ada

    dibandingkan agama Kristen. Agama tersebar lewat jalur perdagangan yang dikembangkan oleh

    para pedagang dari Jawa dan Gowa (Sulawesi Selatan) dan juga pengaruh dari kerajaan Ternate dan

    Tidore di Maluku Utara. Sedangkan agama Katolik dan Protestan disebarkan oleh bangsa Portugis

    dan Belanda yang cukup giat mengadakan pengkristenan terhadap negeri-negeri yang pada awalnya

    telah beragama Islam.

  • 17

    Kombinasi ketiga teknik pengumpulan data ini digunakan untuk

    mendapatkan data yang tidak dapat digali dari satu teknik tertentu.

    B. Yang menjadi informan adalah penduduk Waisarisa baik pendatang maupun

    lokal, yang telah memiliki pekerjaan maupun belum, teristimewa mantan

    tenaga kerja pabrik kayu lapis, aparat pemerintahan setempat (bisa dari

    negeri Waisarisa maupun dari pemerintah kabupaten). Hal ini guna

    mendapat data yang akurat tentang pemekaran dan implikasinya pada

    politisasi identitas. Selain dari masyarakat Waisarisa dan pemerintah,

    penulis juga berupaya mendapat data dari beberapa orang tua asal SBB

    guna penyempurnaan data mengenai sejarah adat masyarakat SBB. Penulis

    merasa tertarik menulis tentang kondisi kabupaten baru ini karena walaupun

    sebagai etnis Seram Bagian Barat yang tidak pernah merasakan pahit

    getirnya hidup di negeri asal, kondisi pasca pemekaran ini dengan berbagai

    permasalahan yang terjadi menimbulkan pertanyaan besar tentang politik

    identitas yang sedang dipraktekkan. Walaupun para informannya sebagian

    berasal dari etnis lain, penulis tetap pada posisi tidak berpihak dan

    menganggap bahwa informasi yang didapatkan dari setiap informan itu

    penting. Mungkin akan ada keraguan dari etnis pendatang tentang

    keberadaan penulis sebagai putera daerah SBB dan rasa subjektivitas

    sebagai seorang peneliti bisa saja muncul. Untuk mengatasi masalah

    tersebut, penulis menggunakan seorang mantan pekerja pabrik etnis Jawa

    yang mendampingi penulis melakukan wawancara awal dengan para

    informan.

  • 18

    C. Wawancara dilakukan secara terbuka dengan pertanyaan semi terstruktur.

    Artinya informasi digali lewat wawancara berdasarkan pertanyaan-

    pertanyaan penelitian tetapi bisa juga terjadi pengembangan pertanyaan

    berdasarkan informasi yang diberikan. Kesemuanya bertujuan untuk

    menggali lebih jauh sejumlah informasi penting yang belum terdapat dalam

    lampiran pertanyaan-pertanyaan operasional. Selain itu juga agar para

    informan dapat mengemukakan apa yang mereka tahu dan rasakan serta

    harapan-harapan mereka tanpa harus diintervensi oleh penulis terlebih

    dulu.

    D. Penelitian ini dilakukan di negeri Waisarisa, Kecamatan Kairatu, Kabupaten

    Seram Bagian Barat. Lokasi ini dipilih karena memiliki keunikan.

    Penduduknya bukan hanya penduduk asli/lokal, tetapi terdiri dari berbagai

    etnis karena dulunya di wilayah ini berdiri pabrik pengolahan kayu lapis

    yang mempekerjakan banyak orang dari berbagai etnis. Ketika pabrik ini

    tutup, orang-orang tersebut tetap tinggal dan menetap di negeri ini

    bersamaan dengan pemekaran wilayah Kabupaten SBB. Selain itu pula

    yang cukup menarik dari Waisarisa adalah penduduk asli Waisarisa juga

    bukan merupakan etnis SBB, melainkan orang-orang yang berasal dari

    Pulau Nusalaut di Kecamatan Maluku Tengah. Mereka sudah menempati

    tanah ini sekitar dua generasi.

    7. Sistematika Penulisan

    Tesis ini terdiri atas 5 bab dengan sistematika sebagai berikut : bab I

    merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan

    penilitian, kerangka teori yang memaparkan sejumlah kata kunci yang menjadi

  • 19

    sandaran penulisan ini, tinjauan pustaka yang mengupas penelitian-penelitian

    dengan topik yang sama namun dengan sudut pandang yang berbeda, serta

    metodologi penelitian. Bab II akan memaparkan gambaran Kabupaten Seram

    Bagian Barat baik letak dan kondisi geografis, demografi, serta deskripsi sejarah

    lokal. Deskripsi sejarah lokal diawali dengan mitos tentang asal-usul etnis Seram

    sampai pada perjuangan mengusir Belanda dari Seram Barat serta penentuan batas

    wilayah yang dirunut dari sejarah tersebut. Bab III akan membahas proses

    pemekaran wilayah baik secara administratif maupun secara politik ditingkat

    birokrasi pemerintahan pusat maupun daerah dan dalam lingkup masyarakat SBB

    sendiri serta implikasinya dengan isu politik identitas. Bab IV akan menyoroti

    identifikasi pendatang dan penduduk lokal dalam kaitannya dengan proses

    rekrutmen pegawai negeri, indikator-indikator yang dipakai Pemda untuk

    mengetahui pendatang dan penduduk lokal serta upaya-upaya untuk meredam

    kemungkinan terjadinya ketegangan antar etnis akibat politisasi identitas dalam

    rekrutmen CPNS. Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari

    seluruh hasil penulisan serta saran-saran.

  • 20

    B A B II

    SERAM BAGIAN BARAT:

    GEOGRAFI, DEMOGRAFI DAN MIT0S-SEJARAH

    Sejarah harus dihormati,…..

    Sejarah tidak bersinonim dengan nostalgia hampa

    atau pemujaan tanpa pandang bulu pada masa lalu.

    Sebaliknya, ia mewadahi semua yang telah dibangun selama berabad-abad:

    ingatan, lambang-lambang, pranata-pranata, bahasa,

    karya seni dan semua hal lain tempat orang bisa terikat secara sah.

    (Amin Maalouf, 2004)

    1. Pengantar

    Desentralisasi pemerintahan yang terjadi saat ini turut membuka artikulasi

    keberadaan suatu kelompok etnis yang selama ini merasa didominasi etnis lain.

    Berbagai upaya dilakukan etnis itu untuk menggali kembali simbol-simbol budaya

    yang sebelumnya terkungkung oleh budaya Orde Baru. Penggalian simbol budaya

    ini kemudian menjadi sebuah pemicu ide pemekaran karena adanya kesamaan

    budaya yang dianggap berbeda dengan budaya mayoritas/dominan. Oleh sebab

    itu setiap komunitas yang relatif homogen mempunyai kebudayaan tersendiri

    yang merupakan ciri khas dari kelompok etnis tersebut.24

    Dari sinilah perasaan

    primordial dibangun, entah itu secara kesukuan ataupun kepercayaan/religi.

    24

    H.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2007, hlm.2.

  • 21

    Bab ini akan memaparkan gambaran Seram Bagian Barat (SBB) bukan

    semata-mata sebagai satu kesatuan administratif (geografis, demografi) tetapi juga

    sebagai sebuah kesatuan kultural-historis. Hal ini karena pemekaran wilayah yang

    berlangsung di tahun 2004 membagi Pulau Seram menjadi tiga wilayah

    administratif. Tetapi secara kultural historis masyarakat Seram tetap satu yang

    terbagi dalam dua suku, yakni Alune dan Wemale. Kultur historis masyarakat

    Seram ini menarik karena sama seperti masyarakat lainnya, masyarakat Seram pun

    memiliki sejarah panjang dengan warisan budaya yang sampai saat ini tetap

    dipelihara dari generasi ke generasi. Bahkan sejarah awal masyarakat Seram dapat

    ditelusuri dari mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

    Diantaranya mitos Nunusaku.25

    Mitos Nunusaku masyarakat Seram sampai saat ini masih dipercaya

    merupakan cikal bakal masyarakat Maluku pada umumnya. Dalam tuturan mitos

    ini terkandung patokan yang dijadikan penentuan batas wilayah administratif

    Seram Bagian Barat pada saat kabupaten ini sedang diperjuangkan menjadi sebuah

    wilayah administratif baru. Mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam

    masyarakat ini menjadi gambaran kehidupan etnis Seram, bagaimana mereka

    memandang diri mereka dan orang-orang lain di sekitar mereka. Mitos Nunusaku

    merupakan gambaran kehidupan dalam kebersamaan dengan orang luar.

    Mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat Seram dan sejarah panjang

    mereka menjadi bukti bahwa sejak dulu etnis Seram bukan etnis yang menutup diri

    terhadap etnis lain yang ada disekitarnya, walaupun mereka merupakan etnis

    25

    Nunusaku secara etimologi berarti pohon beringin. Nunu artinya beringin dan saku artinya pohon.

  • 22

    mayoritas. Nunusaku yang menjadi mitos sentral26

    etnis Seram merupakan sebuah

    gambaran keterbukaan etnis Seram terhadap orang luar. Sehingga pada akhirnya

    ketika kabupaten Seram Bagian Barat berdiri, nilai-nilai filosofis Nunusaku

    diharapkan dapat tertanam dalam setiap kehidupan etnis Seram, yakni mereka tetap

    memandang etnis lain sebagai sesama mereka, kendati terjadi perebutan sumber-

    sumber daya publik di Seram Bagian Barat.

    Dengan melihat paparan di atas, bab ini berisikan gambaran umum Seram

    Bagian Barat. Gambaran SBB akan dimulai dengan mengenal SBB lebih dekat

    baik letak wilayah, kondisi demografinya serta potensi yang dimiliki oleh SBB

    berupa sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Selain itu bab ini juga

    berisikan sejarah panjang masyarakat Seram yang dapat ditelusuri lewat mitos-

    mitos berkembang dalam kehidupan masyarakat Seram dan yang merupakan dasar

    masyarakat Seram berpikir tentang diri mereka. Sejarah ini juga akan menyinggung

    perjuangan masyarakat Seram ketika berada dalam penguasaan kolonial Belanda

    sampai pada perjuangan untuk mekar menjadi sebuah kabupaten baru.

    2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat27

    A. Letak Geografis

    Seram Bagian Barat (SBB) adalah salah satu kabupaten baru hasil

    pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah. Wilayahnya meliputi Pulau Seram

    bagian barat serta beberapa pulau kecil yang berada diseputarnya namun sebagian

    besar wilayahnya berada di Pulau Seram. Secara geografis kabupaten ini terletak

    26

    Kata ini sengaja penulis miringkan untuk menunjukan pentingnya mitos Nunusaku dalam kehidupan etnis Seram 27

    Data diambil dari Buku Seram Bagian Barat Dalam Angka 2007, hasil kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

    Kabupaten Seram Bagian Barat serta beberapa sumber lainnya.

  • 23

    antara 2˚ 55‟ – 3˚ 30‟ Lintang Selatan dan 127˚ - 55˚ Bujur Timur, dengan batas

    wilayah sebagai berikut :

    a. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah;

    b. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Buru;

    c. Sebelah utara dengan Laut Seram;

    d. Sebelah selatan dengan Laut Banda.

    Ketika melihat peta Seram Bagian Barat maka sudah dapat dipastikan

    bahwa kabupaten ini memiliki luas laut yang lebih besar dibandingkan luas

    daratannya. Luas laut mencapai 79.005 km² dan luas daratan sekitar 5.176 km² dari

    total keseluruhan luas wilayahnya sekitar 84.181 km². Kabupaten ini juga terbagi

    atas 4 kecamatan yakni:

    1. Kecamatan Huamual Belakang seluas 569,36 km²;

    2. Kecamatan Seram Barat seluas 879,92 km²;

    3. Kecamatan Kairatu seluas 1.811,60 km² dan,

    4. Kecamatan Taniwel seluas 1.915,12 km²

    Kabupaten ini terdiri dari 62 pulau dengan Pulau Seram sebagai pulau yang

    terbesar dan yang berpenghuni hanya sekitar 10 pulau dan yang tidak berpenghuni

    sekitar 52 pulau. Kabupaten ini banyak dialiri aliran sungai besar dan kecil, tetapi

    yang menjadi pusat cerita yang diwariskan turun temurun adalah Sungai Tala di

    Kecamatan Kairatu, Sungai Eti di Kecamatan Seram Barat dan Sungai Sapalewa di

    Kecamatan Taniwel yang oleh Bupati Seram Bagian Barat dikatakan sebagai

    “aliran sungai kehidupan”.28

    28

    Disampaikan pada acara pembukaan seminar Sejarah dan Bahasa Tiga Batang Air tanggal 15 Januari 2009, Tabloid Umum Nusa Ina, Kamis 22 s/d Selasa, 27 Januari 2009.

  • 24

    Dengan beribukota di Piru maka pelayanan publik dipermudah. Jarak yang

    ditempuh dari masing-masing kecamatan ke ibukota kabupaten tidaklah jauh jika

    dibandingkan ke ibukota kabupaten lama (Masohi ibukota Kabupaten Maluku

    Tengah). Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat yang

    memakan waktu beberapa jam saja. Kalaupun ada yang masih menggunakan

    transportasi laut, hal ini lebih disebabkan pada belum tersedianya akses jalan raya

    ke Piru (sampai draf ini ditulis sementara masih dikerjakan) misalnya beberapa

    desa di kecamatan Huamual Belakang. Berikut jarak masing-masing kecamatan

    dengan Piru selaku ibukota kabupaten :

    a. Waesala (Kec. Huamual Belakang) 35,0 km;

    b. Piru (Kec. Seram Barat) 1,0 km;

    c. Kairatu (Kec. Kairatu) 48,0 km;

    d. Taniwel (Kec. Taniwel) 76,7 km.

    Dengan melihat jarak antara kecamatan-kecamatan yang ada dengan Piru

    selaku ibukota kabupaten maka dapat dikatakan bahwa pemekaran wilayah ini

    setidaknya memang telah membantu masyarakat memperpendek jarak untuk

    urusan pelayanan publik. Walaupun demikian, ketika Surat Keputusan Menteri

    Dalam Negeri tentang pemekaran kabupaten ini disahkan, sempat terjadi polemik

    seputar letak ibukota kabupaten yang baru tersebut.

    B. Kondisi Demografi

    Dalam setiap pembangunan, yang menjadi sasaran pembangunan adalah

    masyarakat. Di sisi lain penduduk atau masyarakat juga adalah pelaku

    pembangunan itu sendiri. Sedangkan pemerintah adalah fasilitator dan pelayan

    masyarakat, menampung aspirasi masyarakat dan memberikan pelayanan bagi

  • 25

    aktivitas warga masyarakat. Oleh karena itu sumber daya manusialah yang selalu

    diperhatikan oleh pemerintah yang sedang membangun. Hal ini terjadi mengingat

    masyarakat di daerah-daerah yang baru dimekarkan selalu menuntut untuk dapat

    berperan dalam bidang-bidang pemerintahan.29

    Hal ini menjadi masalah apabila

    pada daerah-daerah ini kualitas sumber daya manusianya dianggap belum layak

    untuk berperan dalam bidang pemerintahan tersebut. Ditambah pula dengan

    tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan

    pekerjaan yang tersedia. Hal ini juga terjadi pada Kabupaten SBB.

    Jumlah penduduk SBB menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal

    Daerah (BKPMD) Maluku tahun 2004-2005 adalah sekitar 148.988 jiwa dengan

    klasifikasi laki-laki :75.115 jiwa sedangkan perempuan 73.873 jiwa yang tersebar

    pada empat kecamatan. Kecamatan Seram Barat: 53.909 jiwa; Kecamatan Kairatu:

    49.481 jiwa; Kecamatan Taniwel: 16.936 jiwa dan Kecamatan Huamual Belakang:

    28.662 jiwa.. Penduduk ini tersebar pada 89 desa serta 126 dusun.30

    Jumlah ini

    mengalami peningkatan yang cukup besar pada tahun-tahun berikutnya. Data yang

    diperoleh dari Seram Bagian Barat Dalam Angka Tahun 2007 menyebutkan bahwa

    pada tahun 2006 jumlah penduduk SBB sebanyak 157.318 jiwa dan menjadi

    158.478 jiwa pada tahun 2007. Laju pertumbuhan penduduk mengalami

    peningkatan sebesar 0,62 persen pada tahun 2006 menjadi 0,74 persen pada tahun

    2007. Faktor peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi ini pendukungnya

    adalah penerimaan pegawai yang cukup banyak tetapi berasal bukan dari

    Kabupaten SBB sendiri, melainkan berasal dari Maluku tengah dan kota Ambon,

    29

    J.W.Ajawaila, “Etnisitas dan Pemekaran Wilayah”, opini dalam Harian Siwalima, Selasa 23 September 2003 Edisi 243/IX Tahun IV. 30

    http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009.

  • 26

    bahkan luar propinsi Maluku. Selain itu juga masih kurang kesadaran sebagian

    penduduk (terutama yang bermukim di pedesaan) untuk membatasi jumlah anak.

    Hal ini disebabkan mereka membutuhkan banyak tenaga untuk berkebun dan yang

    diharapkan untuk membantu adalah anak-anak mereka sendiri. Selain itu adanya

    proses pewarisan nama keluarga/fam yang mengikuti garis keturunan laki-laki,

    sehingga setiap keluarga tetap berupaya memiliki anak laki-laki.

    Pemda SBB telah berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk tersebut.

    Hal ini dilakukan mengingat tingginya angka pertumbuhan penduduk selalu tidak

    berimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, baik pada birokrasi

    pemerintah maupun pada sektor swasta. Oleh karena itu salah satu cara yang

    ditempuh pemda adalah dengan menggalakkan program Keluarga Berencana

    (KB). Program KB ini diharapkan dapat menggugah masyarakat demi alasan

    perbaikan hidup anak cucu di kemudian hari.

    Selain program KB, perhatian Pemda SBB juga diarahkan pada upaya

    pemerataan penyebaran penduduk. Hal ini dikarenakan sekitar 36 persen penduduk

    SBB terkonsentrasi di Kecamatan Seram Barat. Padahal luas kecamatan ini hanya

    17 persen dari luas kabupaten. Keadaan ini kontras dengan kecamatan Taniwel.

    Kecamatan Taniwel memiliki luas sekitar 37 persen dari luas seluruh kabupaten

    tetapi hanya dihuni oleh sekitar 11 persen dari jumlah penduduk SBB. Pemda

    Kabupaten SBB boleh saja berupaya melakukan penyebaran penduduk agar tidak

    hanya terkonsentrasi pada Kecamatan Seram Barat yang dianggap sudah padat.

    Namun tindakan nyata pemda untuk mengurangi kepadatan itu belumlah nampak.

    Program ini akan menemui kesulitan jika pemda tidak memiliki gambaran jelas

    penyebab terjadinya ketimpangan penyebaran penduduk tersebut.

  • 27

    Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan

    penyebaran penduduk. Misalnya, Piru sebagai ibukota kabupaten, sedikit banyak

    memberikan sumbangan bertambahnya jumlah penduduk yang mendiami Piru dan

    daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini tentu dapat dipahami mengingat semua

    kegiatan administrasi pemerintahan maupun ekonomi berpusat di Piru. Selain itu

    akses jalan raya yang menghubungkan Piru dengan dua kecamatan lainnya

    (Huamual belakang dan Taniwel) rusak parah, apalagi di musim hujan. Ini

    menyebabkan lambatnya pembangunan di dua kecamatan ini. Pembangunan yang

    berjalan lambat di dua kecamatan ini tentu saja akan menghambat laju

    perekonomian karena pengusaha lokal yang berasal dari luar kecamatan ini enggan

    berinvestasi di daerah-daerah ini. Tingginya modal yang harus dikeluarkan tidak

    seimbang dengan daya dukung masyarakat. Akibatnya justru mereka akan merugi.

    Dalam bidang pendidikan, Pemda SBB telah berupaya semaksimal

    mungkin mengupayakan pendidikan yang layak bagi warganya. Upaya-upaya itu

    diantaranya dengan mengadakan program pemberantasan buta huruf serta

    penambahan jumlah tenaga pengajar (guru) dan sejumlah gedung sekolah yang

    pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah siswa. Hal ini dilakukan dengan

    harapan ketersediaan fasilitas-fasilitas pendidikan akan dapat meningkatkan mutu

    pendidikan. Jumlah sekolah sampai tahun 2005 adalah 274 buah dengan rincian

    TK: 17, SD/MI: 183, SLTP/MTS: 52 dan SMU/MA: 22.31

    C. Sumber Daya dan Pembangunan

    Sebagaimana diungkapkan Bosko bahwa dengan adanya permintaan akan

    persediaan sumber daya alam menyebabkan adanya pencarian dan gerakan

    31

    http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009.

  • 28

    eksploitasi sumber-sumber ini sampai pada daerah-daerah terpencil.32

    Di sela-sela

    upaya peningkatan dan optimaliasi SDM yang sedang gencar-gencarnya dilakukan

    oleh Pemda SBB, berdasarkan hasil survei para ahli yang khusus didatangkan dari

    Jakarta, kabupaten ini bukan hanya berlimpah dengan hasil hutan, perkebunan atau

    hasil laut (ikan dan mutiara), tetapi juga telah ditemukan sejumlah titik yang

    mengandung hasil tambang bernilai jual tinggi, diantaranya nikel dan emas.

    Bahkan menurut seorang informan, hasil tambang nikel dan emas jika nantinya

    diolah hasilnya dapat dipakai untuk membangun Kota Piru sebagai ibukota

    kabupaten, terutama di bidang infrastruktur. Apalagi dalam merancang tata kota

    ini pemda mengadakan kerja sama dengan ITB.33

    Dengan demikian dapat

    dikatakan bahwa bisa jadi suatu saat nanti ada perusahaan yang tertarik untuk

    berinvestasi dan bekerja sama dengan pemda SBB. Keuntungannya dapat dipakai

    untuk pembangunan daerah.

    Pembangunan di bidang infrastruktur ini ditegaskan karena memang sampai

    saat ini kantor-kantor masih dibangun secara bertahap. Misalnya saja kantor bupati

    masih menggunakan bekas kantor Camat Seram Barat karena kantor definitifnya

    masih belum dibangun (sementara masih dalam penggusuran jalan ke lokasi

    kantor). Bahkan ada sebagaian instansi yang masih mengontrak/menyewa rumah-

    rumah warga sebagai kantor (misalnya Kesbanglinmas, kantor Pendidikan dan

    Olahraga, dll). Dalam pandangan penulis sendiri sebenarnya tidak layak disebut

    kantor apalagi dalam konteks kabupaten. Hal ini dikarenakan dengan ruangan yang

    sempit dan jumlah ruangan yang terbatas sangat menyulitkan pelayanan

    32

    Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam (terjem), Jakarta, Elsam, 2006, hlm. 84. 33

    Wawancara dengan seorang bapak berinisial MS, tanggal 21 Desember 2008.

  • 29

    administrasi kepada warga. Belum lagi pada siang hari sering terjadi pemadaman

    listrik dari PLN sehingga semakin memperumit pengurusan. Dari kondisi ini

    terlihat belum adanya kesiapan SBB sebagai kabupaten baru dalam hal persiapan

    infrastukturnya, bahkan sampai ulang tahun yang ke-5 tanggal 07 Januari 2009

    lalu.

    3. Sejarah Lokal Masyarakat SBB

    Terbentuknya kabupaten Seram Bagian Barat tidak dapat dipisahkan dari

    sejarah masyarakat adat yang ada sampai saat ini. Bagi masyarakat adat SBB,

    sejarah tentang asal-usul mereka tidak akan terlupakan. Apalagi konflik yang

    mendera Propinsi Maluku beberapa waktu lalu ikut menegaskan keberadaan

    mereka sebagai penjaga “Nusa Ina”34

    .

    Sampai saat ini etnis Seram masih mempercayai cerita tentang Nunusaku

    dan asal-muasal mereka sebagai orang Seram. Bahkan bukan cuma etnis Seram

    tetapi orang Maluku pada umumnya. Walaupun demikian mereka tidak dapat

    mengatakan bahwa cerita ini merupakan sebuah mitos ataukah sejarah. Bagi

    mereka itu tidak terlalu penting dibandingkan makna filosofis yang terkandung

    dalam cerita tersebut.35

    Hal ini tentu dapat dipahami mengingat cerita ini sudah

    turun temurun diwariskan oleh orang-orang tua mereka. Penulispun mendengar

    tuturan cerita yang sama oleh orang tua yang adalah etnis Seram, dan penulispun

    menganggap bahwa cerita Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos. Sebab

    sampai saat ini ada beberapa versi cerita tentang Nunusaku tersebut. Pertanyaan

    34

    Nusa Ina merupakan sebutan untuk Pulau Seram. Nusa Ina sendiri artinya Pulau Ibu. Nusa artinya pulau dan Ina artinya Ibu. Ada banyak cerita yang berkembang seputar penyebutan Pulau Seram

    sebagai “Pulau Ibu” 35

    Wawancara dengan seorang bapak yang berinisial AK, tanggal 28 Januari 2009

  • 30

    yang muncul adalah benarkah Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos? Lalu

    apakah sebenarnya mitos itu?

    Menurut Eliade, mitos adalah sejarah mengenai apa yang terjadi di masa

    lalu. Sejarah di sini dipahami sebagai sejarah kudus/sakral karena berbicara tentang

    sesuatu yang bersifat mistis. Ia hadir untuk memproklamirkan kehadiran sebuah

    situasi kosmis baru atau sebuah kejadian kuno.36

    Dengan demikian dapat dipahami

    dari pemikiran Eliade bahwa mitos merupakan cara masyarakat arkais

    menceritakan keberadaan mereka melintasi dunia yang supra-natural menuju

    kenyataan dunia ini dan cerita ini dianggap kudus sehingga perlu adanya pewarisan

    bagi generasi berikutnya. Bahwa untuk mengetahui keberadaan/asal usul maupun

    segala ritus-ritus dan tindakan mereka di dunia dapat dipahami melalui

    kenyataan-kenyataan yang ditunjukkan oleh mitos tersebut.

    Seperti yang diungkapkan oleh Eliade di atas ketika dibenturkan dengan

    pandangan etnis Seram tentang Nunusaku, maka akan dijumpai sebuah makna

    mendalam. Makna inilah yang diyakini merupakan kosmologi etnis Seram tentang

    keberadaan mereka. Cerita Nunusaku hadir untuk menceritakan kejadian kuno

    etnis Seram. Kejadian ini adalah cerita tentang awal mula kehidupan etnis Seram

    dibawah pemerintahan sebuah kerajaan besar namun akhirnya hancur karena

    adanya perpecahan dalam masyarakat. Berdasarkan pandangan Eliade, Susanto

    mengelompokkan mitos ke dalam beberapa tipe, yakni mitos kosmogoni

    (menceritakan tentang penciptaan alam semesta secara keseluruhan) dan mitos

    asal-usul (menceritakan tentang asal mula segala sesuatu, asal mula makluk hidup,

    pulau-pulau, tempat-tempat suci, dsb). Tipe mitos asal-usul ini melengkapi mitos

    36

    Mircea Eliade, Sakral dan Profan (terjemahan), Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2002, hlm. 94.

  • 31

    kosmogoni, menceritakan tentang bagaimana dunia itu diubah, ditambah atau

    dikurangi.37

    Dari pengertian mitos serta beberapa tipenya, cerita Nunusaku dapat

    dikatagorikan sebagai mitos asal-usul. Sebab cerita Nunusaku inilah yang menjadi

    dasar kepercayaan masyarakat Seram dan Maluku pada umumnya tentang asal-

    usul keberadaan mereka sebagai penduduk pribumi yang menempati pulau-pulau di

    Maluku. Selain itu keberadaan Nunusaku tidak dapat dibuktikan secara faktual,

    walaupun banyak tetua adat menyatakan bahwa Nunusaku berada di salah satu

    gunung di Seram Bagian Barat. Bagi sebagian etnis Seram, ada yang merasa takut

    untuk menceritakan kisah Nunusaku bahkan untuk mencari tahu letak Nunusaku

    tersebut melebihi apa yang diketahui. Karena bagi mereka ini merupakan sebuah

    hal yang tabu (mengandung sanksi baik bagi individu maupun kelompoknya).

    A. Mitos yang Berkembang dalam Masyarakat Seram dan Sejarah Adat

    Menurut tuturan para tetua adat bahwa pada awalnya di Pulau Seram (Nusa

    Ina) terdapat sebuah kerajaan yang bernama Nunusaku. Diperkirakan bahwa

    Nunusaku ini berada di wilayah Seram Bagian Barat.38

    Dalam kerajaan ini

    terdapat kelompok-kelompok berdasarkan pekerjaannya. Kelompok yang pertama

    adalah kelompok menenun atau dalam bahasa tana39

    disebut kelompok Auna

    (yang akhirnya melahirkan suku Alune) dan kelompok kedua adalah kelompok

    berburu atau kelompok Wema (menurunkan suku Wemale). Kelompok ini timbul

    37

    Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hlm. 74,76-77. 38

    J. E. Lokollo, Pela-Gandong Dari Pulau Ambon (Seri Budaya), Ambon, Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998, hlm. 3. 39

    Bahasa tana merupakan istilah masyarakat lokal yang menunjuk pada bahasa daerah setempat (Seram/Alune dan Wemale). Bahasa ini umumnya dipakai pada upacara-upacara adat.

  • 32

    karena adanya kebiasaan yang sama. Walaupun demikian bahasa yang digunakan

    saat itu masih satu artinya bahasa komunikasi mereka masih sama. Dari dua

    kebiasaan yang berbeda ini mulailah terjadi segregesi dalam masyarakat

    Nunusaku.40

    Suatu ketika terjadi kekacauan (perang saudara) di Nunusaku. Alasan

    peperangan karena kedua kelompok (Wema dan Auna) memperebutkan Rapie

    Hainuwele41

    , perempuan yang terkenal paling cantik di kerajaan tersebut. Karena

    terjadi peperangan, seluruh penduduknya menyebar ke seluruh pulau (Pulau

    Seram) bahkan ada yang sampai meninggalkan pulau dan menyeberang ke pulau-

    pulau lainnya di Maluku.42

    Setelah perpisahan tersebut, para orang tua dari kedua

    kelompok kemudian menurunkan bahasa yang berbeda kepada anak cucu mereka.

    Kelompok Auna kemudian menurunkan suku Alune dengan bahasa Alune dan

    kelompok Wema menurunkan suku Wemale dengan bahasa Wemale. Lama

    kelamaan bahasa asli yang mereka gunakan ketika masih sama-sama di Nunusaku

    perlahan-lahan mulai hilang.43

    Pengakuan bahwa penduduk yang mendiami

    pulau-pulau di Maluku berasal dari Pulau Seram bukan hanya milik orang Seram

    semata. Pengakuan ini juga milik orang Maluku pada umumnya. Mereka juga

    menganggap bahwa memang tete nene moyang44

    mereka berasal dari Pulau Seram

    40

    Wawancara dengan beberapa orang tua etnis SBB, tanggal 25 Februari 2009 dan 2 Maret 2009 41

    Mitos tentang Rapie Hainuwele ini merupakan awal terjadinya peperangan antara kedua kelompok dalam masyarakat Nunusaku. Rapie Hainuwele sendiri artinya putri yang berasal dari

    kuming kelapa. Mitos Rapie Hainuwele ini sudah ditulis oleh Agustina Kakiay dalam tesis tahun

    2001. 42

    Wawancara dengan Bapak AS, tanggal 18 Desember 2008, hal ini ikut pula menegaskan keyakinan masyarakat Maluku bahwa mereka berasal dari Pulau Seram. 43

    Wawancara dengan seorang tokoh masyarakat SBB berinisial NE, tanggal 2 Maret 2009. 44

    Tete nene adalah sebutan lokal untuk kakek nenek, tetapi dalam konteks bahasa diatas diterjemahkan sebagai nenek moyang atau para leluhur.

  • 33

    dan setelah beranak pinak, mereka akhirnya menyebar ke seluruh wilayah

    Maluku.45

    Menurut Lokollo, ada beberapa perkembangan kehidupan sosial di

    Nunusaku yang ikut membuat masyarakatnya berpencar. Diantaranya adalah

    adanya pertambahan jumlah penduduk, dasar ucapan dan cara rumpun Patasiwa

    dan Patalima berbahasa dan adanya perbedaan ketrampilan, antara lain cara

    menenun pakaian diantara anggota kedua rumpun tersebut.46

    Patasiwa adalah

    kelompok sembilan dan patalima adalah kelompok lima. Masyarakat Maluku

    Tengah (termasuk Seram Barat) umumnya termasuk salah satu kelompok ini.

    Adapun susunan sosial kelompok sembilan terdiri dari sembilan satuan yang lebih

    kecil, misalnya sembilan pemukiman, dsb. Begitu pula dengan kelompok lima.47

    Itu berarti bahwa susunan dan perangkat negeri/desa atau adat tersebut termasuk

    dalam kelompok Patasiwa atau Patalima.

    Dari pembagian itu dapatlah dikatakan bahwa penghuni Pulau Seram pada

    umumnya terdiri dari dua suku, yakni Alune dan Wemale. Terjadinya perpecahan

    dalam masyarakat Nunusaku ikut menentukan terbentuknya kelompok-kelompok

    baru. Terbentuknya kelompok baru ini dengan membawa pola kehidupan sama

    dari kelompok asal mereka yang pada akhirnya mereka pelihara sampai menyebar

    ke pulau-pulau lainnya di Maluku, terutama Ambon-Lease (Saparua, Haruku dan

    Nusalaut).

    45

    Pemda Propinsi Maluku, The Wondeful Islands Maluku, Jakarta-Ambon, Gibon Books dan Pemprov Maluku, 2008, hlm. 82. 46

    J. E. Lokollo, op cit, hlm. 8, hal ini juga diungkapkan oleh NE, tanggal 2 Maret 2009 47

    Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta (terjemahan), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 118.

  • 34

    Menurut Cooley, kelompok Patasiwa menghuni wilayah Seram sebelah

    barat Sungai Mala, sedangkan orang-orang Patalima menghuni daerah-daerah

    sebelah timurnya.48

    Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan salah satu tokoh

    masyarakat SBB bahwa kelompok Patalima menghuni wilayah sebelah timur

    Sungai Makina (perbatasan Kecamatan Taniwel Kabupaten SBB dengan

    Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah) dan di sebelah selatannya

    dengan Sungai Mala. Jadi wilayah sebelah timur sungai Mala merupakan wilayah

    Patalima. Sedangkan sebelah barat Sungai Mala dan Makina merupakan wilayah

    Patasiwa. Walaupun demikian ada juga kelompok patasiwa yang pada akhirnya

    masuk pada wilayah patalima dan begitu pula sebaliknya. Dalam pandangan

    masyarakat Seram, kelompok patasiwa dan patalima merupakan nama lain dari

    suku Wemale dan Alune. Tetapi ada perkecualian untuk suku Wemale, misalnya

    saja tidak semua suku Wemale termasuk dalam kelompok Patasiwa, Wemale

    Ulipatai49

    ada sebagian Patasiwa dan ada sebagian Patalima.50

    Kelompok Patasiwa dan Patalima ini mungkin merupakan gabungan dari

    beberapa sub-sub suku dari Alune dan Wemale dan mungkin juga merupakan

    sebuah bentuk kelompok politik yang berupaya membendung serangan dari Utara

    (empat kerajaan besar, yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo/Halmahera).

    Hal lain yang berkembang juga adalah bahwa ketika terjadi perang antara Patasiwa

    dan Patalima yang memakan banyak korban, orang-orang tua dari kedua

    kelompok bersepakat untuk melupakan permusuhan dan mengangkat sumpah

    48

    Frank L. Cooley, ibid, hlm. 119 49

    Ini merupakan nama sub suku yang diberikan berdasarkan wilayah tempat tinggalnya. Selain Wemale Ulipatai ada juga Wemale Yapioupatai yang menghuni daerah Elpaputi yang secara

    administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku tengah, sedangkan Wemale Ulipatai masuk

    dalam wilayah administratif Kabupaten SBB (Kecamatan Taniwel). 50

    Wawancara tanggal 2 Maret 2009.

  • 35

    untuk hidup bersatu dalam perdamaian satu dengan yang lain dan tidak ada lagi

    bakalai51

    apalagi dalam skala besar seperti konflik Maluku.

    Perjanjian orang-orang tua antara dua kelompok tadi dilakukan di batas

    wilayah kedua kelompok, yakni di Kali Makina dan Kali Mala. Janji ini dipegang

    teguh supaya pada gilirannya nilai-nilainya dapat diwariskan kepada generasi

    berikutnya. Bahkan menurut penuturan salah satu orang tua, adanya janji ini

    dapat memotivasi seluruh aparatur SBB agar memiliki kinerja yang baik. Dari

    peristiwa itu diperkirakan muncul istilah miloku atau maloku, yang artinya diikat

    menjadi satu. Diduga bahwa kedua kata ini ikut melahirkan kata Maluku yang

    diambil menjadi nama propinsi.52

    Selain itu pula bahwa kata miloku dan maloku

    dianggap pula berasal dari bahasa Maluku Utara atau setidaknya telah mendapat

    pengaruh dari bahasa Maluku Utara. Hal ini dapat dipahami mengingat pada saat

    itu telah terjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Maluku Utara.

    B. Masa Kolonial Belanda

    Ketika Belanda menguasai Maluku, seluruh etnis Seram/Nusa Ina

    mengadakan perlawanan. Kekuasaan Kolonial Belanda menghancurkan sistem

    Pata/Uli. Sebagai gantinya Belanda mendirikan negeri-negeri/desa yang berdiri

    sendiri yang langsung tunduk kepada pejabat-pejabat VOC.53

    Hal ini dilakukan

    Belanda guna mempersempit ruang gerak masyarakat pribumi supaya tidak

    mengadakan perlawanan. Dengan kata lain, untuk mempermudah penguasaan

    daerah-daerah yang dianggap potensial mengadakan perlawanan, pemerintah

    kolonial menyeragamkan bentuk-bentuk pemerintahan lokal. Selain itu juga untuk

    51

    Pertengkaran/perkelahian 52

    Wawancara tanggal 2 Maret 2009 53

    Frank L. Cooley, op.cit, hlm. 224

  • 36

    membantu Belanda memperlancar monopoli perdagangan rempah-rempah yang

    sangat laku di pasaran Eropa.

    Ketika Belanda datang dan menggantikan Portugis, mereka membentuk

    Inama-inama (semacam kantong-kantong pemerintahan) dengan tujuan untuk

    dapat menguasai Seram dan memadamkan perlawanan-perlawanan masyarakat

    yang oleh Belanda dianggap sebagai pemberontak. Di daerah Seram Bagian Barat

    dibentuk tiga inama besar yang meliputi tiga sungai besar di daerah itu, yakni

    Inama Etibatai (secara administratif masuk Kecamatan Seram Barat), Inama

    Talabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Kairatu) dan Inama

    Sapalewabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Taniwel). Dari ketiga

    Inama ini diangkatlah lembaga tua-tua adat (Saniri) yang nantinya mengatur

    kehidupan masyarakat yang berada pada ketiga Inama tersebut, tetapi tetap tunduk

    secara mutlak kepada pejabat VOC.

    Adapun pembentukan ketiga inama ini berdasarkan pada aliran ketiga

    sungai tersebut, yakni Tala, Eti dan Sapalewa. Menurut informasi seorang bapak

    bahwa pembentukan berdasarkan sungai-sungai ini karena menurut cerita yang

    dia terima dari orang-orang tua, kapala air (hulu) ketiga sungai berasal dari

    Nunusaku tersebut. Air yang keluar dari sebelah bawah akar beringin (nunu)

    kemudian tertampung dalam sebuah danau dimana danau inilah yang menjadi

    kapala air ketiga sungai.54

    Itulah mengapa sampai ketiga air ini sangat penting

    bagi kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat. Mereka tetap menganggap diri

    mereka satu, karena berasal dari satu kapala.

    54

    Wawancara dengan seorang bapak yang berinisial AK, tanggal 28 Januari 2009

  • 37

    Selain itu menurut informan tersebut, Belanda juga ingin membentuk

    Inama Ulipatai yang meliputi wilayah seputar Sungai Uli. Namun ini tidak jadi

    dilaksanakan entah apa sebabnya. Tetapi pada intinya inama-inama dibentuk

    Belanda guna pengendalian kekuasaan. Hal ini dilakukan karena sebelum Belanda

    menguasai Seram, telah terjadi perang antara etnis Seram/Nusa Ina melawan

    Portugis yang dikenal dengan nama Perang Sahulau. Bahkan menurut tuturan

    orang-orang tua, hal ini merupakan perang pertama kalinya di Maluku, walaupun

    kepastian tahunnya tidak jelas dan tidak pernah tercatat dalam sejarah Indonesia.55

    Ternyata usaha Belanda untuk menaklukkan Seram Barat melalui

    pendekatan pada daerah-daerah adat sama seperti cara yang dipakai di Kalimantan.

    Dengan menggunakan pendekatan adat, yakni mengayau (headhunting) yang

    memiliki citra yang mampu menimbulkan dampak psikologis kepada publik

    sangat besar untuk kemudian dipakai mencapai kepentingan kolonial.56

    Kedua cara

    ini memang kelihatannya cukup berhasil dengan makin bertambahnya wilayah-

    wilayah jajahan.

    Walaupun inama-inama telah dibentuk namun masih saja terjadi berbagai

    perlawanan masyarakat ketiga inama tersebut. Salah satunya adalah perlawanan

    masyarakat Taniwel yang pada saat itu masih berdiam di daerah pegunungan.

    Daerah yang menjadi incaran Belanda adalah Riring-Romasoal dan Uweng

    Pegunungan. Hal ini dikarenakan kedua daerah ini merupakan pusat perlawanan

    dari daerah Taniwel. Pada tahun 1820 terjadi perang Romasoal, dan di tahun 1825-

    55

    Wawancara tanggal 18 Desember 2008 dan 2 Maret 2009. 56

    John Bamba, “Borneo Headhunters : Imej dan Manipulasi” dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (ed), Kelompok Kekerasan Dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan

    CSEAS Universitas Kyoto, 2006, hlm. 117-118.

  • 38

    1826 Belanda mengadakan ekspedisi ke Romasoal dan berhasil menaklukannya.57

    Selain itu juga daerah-daerah lain di Seram Barat dapat ditaklukkan oleh Belanda.

    Dari penaklukan inilah, Belanda semakin memperketat keamanan dengan

    membentuk Saniri Tiga Batang Air (Tala, Eti dan Sapalewa) yang sangat berperan

    dalam menggalang persatuan di antara masyarakat adat ketiga inama tersebut.

    Selain itu ketiga inama ini memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan peraturan-

    peraturan yang berlaku pada ketiga wilayah ini. Kepemimpinan Saniri Tiga Batang

    Air ini merupakan contoh besarnya peran lembaga-lembaga adat dalam kehidupan

    masyarakat Maluku.58

    4. Sejarah Panjang yang Berujung Pada Pemekaran Wilayah

    Ketika pada akhirnya Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia dan

    meninggalkan Indonesia, akar masyarakat adat ketiga inama itu telah tertanam

    dalam kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat hingga saat ini. Ketika pada

    akhirnya otonomisasi daerah yang memungkinkan pengembangan daerah propinsi

    dan kabupaten/kota muncul, ada suatu pemikiran untuk berdiri sendiri lepas dari

    kabupaten Maluku Tengah. Dengan bermodalkan sejarah panjang itu masyarakat

    Seram Bagian Barat menuntut hak untuk dapat mengatur kehidupan mer