pemekaran daerah dan kesejahteraan rakyat. mencari jalan alternatif

150
UNDP BAPPENAS DSF Pemekaran Daerah dan Kesejahteraan Rakyat Mencari Jalan Alternatif 2009

Category:

Education


1 download

DESCRIPTION

Sebuah laporan studi oleh Harry Seldadyo dengan dukungan Deli Sopian, Denny Julian, Retno Handini, Rullan Rinaldi, dan Wahyudi Romdhani. BRIDGE Project UNDP-BAPPENAS

TRANSCRIPT

Page 1: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

UNDP BAPPENAS DSF

Pemekaran Daerahdan

Kesejahteraan Rakyat

Mencari Jalan Alternatif

2 0 0 9

Page 2: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Pemekaran Daerah dan Kesejahteraan Rakyat:Mencari Jalan Alternatif

Sebuah laporan studi oleh Harry Seldadyodengan dukunganDeli Sopian, Denny Julian, Retno Handini,Rullan Rinaldi, dan Wahyudi Romdhani.

BRIDGE ProjectUNDP-BAPPENASJl. Ki Mangunsarkoro 21Menteng, Jakarta Pusat 10310IndonesiaTelp : 6221 391 7284, 391 8554, 3193 5361Fax : 6221 315 3461Seri Publikasi BRIDGE Project—Juni 2009

c©2009 ISBN: 978-979-17554-2-9

Pernyataan: Analisis dan rekomendasi laporan ini bukan merupakan pandangan res-

mi BAPPENAS, UNDP, maupun DSF. Laporan dengan dukungan DSF ini disusun

melalui BRIDGE yang merupakan proyek pengembangan kapasitas tata pemerintahan

yang dikembangkan oleh BAPPENAS dan UNDP.

Page 3: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Kata Pengantar

Undang-Undang (UU) 22-1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi men-jadi UU 32-2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) 129-2000 tentang Tata CaraPembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang kemudian direvisimenjadi PP 78-2007 merupakan landasan kebijakan yang memberi peluang bagipembentukan daerah otonom baru (DOB), atau lazim dikenal sebagai pemekarandaerah. Pemekaran daerah sendiri bertujuan adalah untuk memeratakan pem-bangunan, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kese-jahteraan masyarakat. Sejak 1999 hingga Februari 2009 telah terbentuk 205DOB, yang terdiri dari tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Mencermatilaju pembentukan DOB yang relatif tinggi ini, pemerintah telah melakukan be-berapa upaya pengendalian, di antaranya melalui moratorium atau penghentiansementara proses pembentukan DOB, serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang persyaratan dan tatacara pembentukan DOB, antara lain de-ngan merevisi PP Nomor 129 Tahun 2000 menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007.Upaya pengendalian tersebut perlu dibarengi dengan upaya untuk mencari berba-gai terobosan dan inovasi dalam peningkatan kualitas pelayanan publik dan kese-jahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pemekaran daerah itu sendiri, selainmelalui pemekaraan daerah. Salah satunya adalah dengan melakukan suatu ka-jian alternatif pemekaran daerah seperti yang hasilnya disajikan dalam buku ini.

Evaluasi-evaluasi terdahulu mengenai dampak pemekaran daerah (Bappe-nas, 2005 dan 2007; Departemen Dalam Negeri, 2005; dan Lembaga AdministrasiNegara, 2006), secara umum menyimpulkan bahwa pemekaran daerah belum me-nunjukkan hasil yang optimal, baik dalam bidang ekonomi, keuangan daerah,aparatur pemerintahan, maupun pelayanan publik. Studi ini, melalui serangkai-an pengujian dan perbandingan empirik kinerja pembangunan DOB, memberikonfirmasi bahwa kebijakan pemekaran daerah memang belum menghasilkan ak-selerasi pembangunan yang signifikan, utamnya jika dibandingkan dengan ca-paian daerah lain yang tidak mengambil opsi pemekaran. Hasil analisis jugamenunjukkan bahwa pemekaran bukanlah sebuah langkah yang efektif untukmencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah. Selain itu, studi juga mengi-dentifikasi isu-isu strategis dalam pembangunan daerah selama ini yang perludipertimbangkan dalam pembangunan daerah ke depan. Mengacu pada isu-isu

Page 4: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

strategis itu, studi ini merekomendasikan langkah-langkah alternatif atas wacanapemekaran yang selama ini mendominasi kebijakan desentralisasi di Indonesia.Ditilik dari lingkupnya, seluruh rekomendasi itu terbagi ke dalam tiga kelompokyang sekaligus juga mencerminkan aktor-aktor mana yang dapat mengambil ini-siatif atas setiap alternatif itu, yakni alternatif untuk tingkat kabupaten/kota,lintas wilayah (alternatif kebijakan yang dapat dijalankan melalui peran provin-si), dan pemerintah pusat.

Sebagaimana lazimnya sebuah studi, kajian ini memiliki beberapa keter-batasan baik dalam hal data, asumsi-asumsi yang digunakan, maupun ruanglingkup yang tidak memasukkan aspek politik (yang sering menjadi pertimbang-an utama dalam pembentukan daerah otonom baru). Hasil studi ini juga belumcukup mendalam untuk menguji beberapa usulan alternatif yang direkomen-dasikan, sehingga ke depan masih dibutuhkan konfirmasi lebih lanjut atas usulan-usulan itu. Namun demikian, sebagai bagian dari background study penyusunanRPJMN 2010-2014, hasil studi ini tentunya menjadi salah satu masukan pentingbagi pemerintah, khususnya Bappenas, dalam rangka penyusunan arah kebijakandan program-program bidang desentralisasi dan otonomi daerah dalam RPJMN2010-2014. Laporan studi ini dapat digunakan sebagai referensi yang menyajikanwacana tambahan dalam pencarian alternatif bagi kebijakan pemekaran daerahpada khususnya dan wacana pembangunan daerah pada umumnya.

Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerjasama dari berba-gai pihak yang telah memungkinkan terlaksananya studi ini dengan baik. Diantaranya adalah United Nations Development Programme (UNDP) melalui pro-gram Building and Reinventing Decentralized Governance (BRIDGE), Decentra-lization Support Facility (DSF), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, De-partemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik, peme-rintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta pihak-pihak lain yangtelah berpartisipasi dalam studi ini. Kami juga mengharapkan masukan, kritikmaupun saran guna penyempurnaan laporan pelaksanaan studi ini.

Jakarta, 22 Juni 2009

Direktur Otonomi Daerah, Bappenas/National Project Director Program BRIDGE,

Dr. Ir. Himawan Hariyoga, M.Sc.

Page 5: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Daftar Isi

Bab 1 Pemekaran Daerah Selayang Pandang . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1• Peta Umum Pemekaran 2• Motif Pemekaran 7• Konsekuensi Pemekaran 11• Capaian Daerah 20

Bab 2 Membandingkan Capaian Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23• Pemilihan Indikator 23• Kesejahteraan Umum 25• Pendidikan 26• Kesehatan 27• Infrastruktur 29• Analisis “Counter-Factual” 34

Bab 3 Apa yang Menentukan Capaian Daerah? . . . . . . . . . . . . . . . . . . 43• Determinan Capaian 43• Kesejahteraan Umum 44• Pendidikan 49• Kesehatan 51• Infrastruktur 53

Bab 4 Menemukan Kembali Pembangunan Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57• Mencari Alternatif Kebijakan:

Kerangka Dasar 57• Lingkup Kabupaten-Kota? Revitalisasi Perencanaan Daerah 60? Penguatan Wilayah Kecamatan 64? Temu-Ulang Kebijakan Antikemiskinan 67

Page 6: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

• Lingkup Antardaerah? Kompetisi Antardaerah 73? Kerjasama Antardaerah 76

• Lingkup Makro? Perimbangan Geografi Kependudukan 83? Teknokrasi Pembangunan 85? Penataan Pembentukan Yurisdiksi 86

Bab 5 Epilog . . . . . . . . . . . . . . . . . . 91

Lampiran Teknis . . . . . . . . . . . . . . . . . . 103• Metode Evaluasi 103• Mencari Kesebandingan Amatan 104• Membandingkan Capaian 108• Determinan Capaian Sosial-Ekonomi 110• Model Spasial IPM 118

Page 7: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Daftar Tabel

Tabel 1.1.Produksi Undang-Undang oleh DPR-RI 1999-2008 . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6

Tabel 1.2.Geografi Administrasi per Kabupaten-kota 1999-2006 . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16

Tabel 2.1.Indeks Pembangunan Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30

Tabel 2.2.Lama Sekolah dan Partisipasi Sekolah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31

Tabel 2.3.Vaksinasi dan Persalinan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32

Tabel 2.4.Pembangunan Jalan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33

Tabel 2.5.IPM: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36

Tabel 2.6.Partisipasi Sekolah: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 38

Tabel 2.7.Vaksinasi Bayi: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39

Tabel 2.8.Pembangunan Jalan: “Counter-Factual Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40

Page 8: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif
Page 9: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Daftar Gambar

Gambar 1.1.Perkembangan Jumlah Kabupaten-Kota . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4Gambar 1.2.Peta Daerah Pemekaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15Gambar 1.3.Implikasi Fiskal Pemekaran Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18

Gambar 3.1.IPM dan Kemiskinan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47Gambar 3.2.Partisipasi Sekolah dan Teknokrasi Fiskal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51Gambar 3.3.Vaksinasi Bayi dan Infrastruktur Kesehatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 54

Gambar 4.1.Hubungan Spasial dalam IPM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 80

Gambar Lampiran Teknis 1.Sebaran “Propensity Score” . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107

Page 10: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif
Page 11: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Daftar Tabel Lampiran Teknis

Tabel Lampiran Teknis 1Rentang Kendali: Hasil “Factor Analysis” . . . . . . . . . . . . . . . . . . 105

Tabel Lampiran Teknis 2Fungsi Probit Pembentukan Daerah Otonomi Baru . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107

Tabel Lampiran Teknis 3Blok Optimal dan Uji Keseimbangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 109

Tabel Lampiran Teknis 4ADeterminan Indeks Pembangunan Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113

Tabel Lampiran Teknis 4BDeterminan Indeks Pembangunan Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114

Tabel Lampiran Teknis 5Determinan Partisipasi Sekolah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 115

Tabel Lampiran Teknis 6Determinan Vaksinasi Bayi . . . . . . . . . . . . . . . . . . 116

Tabel Lampiran Teknis 7Determinan Panjang Jalan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 117

Tabel Lampiran Teknis 8Model Spasial IPM . . . . . . . . . . . . . . . . . . 118

Page 12: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif
Page 13: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Daftar Tabel Lampiran

Tabel Lampiran A.1Penyusun IPM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 122Tabel Lampiran A.2Partisipasi Kasar SD, SMP, dan SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 123Tabel Lampiran A.3Partisipasi Murni SD, SMP, dan SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 124Tabel Lampiran A.4Ujian Nasional SD, SMP, dan SMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 125Tabel Lampiran A.5Vaksinasi Bayi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 126

Tabel Lampiran BDeskripsi Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 130

Page 14: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif
Page 15: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Sekapur Sirih dari M21

Laporan ini disusun di tengah hiruk-pikuk pemekaran daerah, di tengah pro dankontra apakah pemekaran merupakan langkah jitu untuk mencapai kesejahteraanrakyat. Di dalam laporan ini seluruh pemangku kepentingan diajak untuk meli-hat fakta-fakta yang ada tentang pemekaran, sebelum diajak untuk menimang-nimang jalan apa yang bisa ditempuh mengatasi soal-soal yang masih tersisa.Sudah barang tentu, gagasan-gagasan yang disampaikan di sini terbuka untukdipilih, dipilah, bahkan dinegasikan.

Jika laporan ini berbentuk seperti sekarang ini, jelas ia bukan merupakanhasil kerja satu orang. Boleh disebut, laporan ini adalah resultante dari begitubanyak helping hands —termasuk tentu, critical comments. Dari Jl. Mangun-sarkoro 21 —‘M21’, begitu kami menyebutnya— kami ingin menulis sebuah daf-tar panjang untuk nama-nama yang telah begitu berjasa. Di ‘lingkaran dalam’ada Daan Pattinasarany, Jana Ferdinandus Hertz, dan Erita Nurhalim dari DSFdengan segala support dan komentar yang mencerahkan. Juga ada AntoniusTarigan, Daryll Ichwan Akmal, Taufiq H. Putra, dan —sudah barang tentu— Hi-mawan Hariyoga dari Direktorat Otonomi Daerah Bappenas yang menyediakanruang dan masa interaksi produktif selama studi ini berlangsung. Tidak keting-galan, Rizal Malik, Sofian Effendi, Leonard Simanjuntak, dan Budiati Prase-tiamartati dari Governance Unit UNDP yang bersedia membuka diskusi-diskusimenarik dan inspiring. Dari lingkaran yang lebih dalam lagi, ada kawan-kawandi M21 —Brasukra Sudjana, Mellyana Frederika, Loui Thenu, Ari Prasutyawan,dan Putri Maharani— yang harus ikut menanggung ‘dampak pemekaran’ untukmenyiapkan rangkaian lokakarya bagi studi ini.

Daftar terima kasih ini akan lebih panjang lagi mengingat masih ada sederetnama yang telah mengalokasikan waktu dan membagi pikiran dalam rapat-rapatdan serial workshops yang diselenggarakan Hotel Cempaka, kantor Bappenas,kantor UNDP, Wisma Bakrie, dan Hotel Bintang. Mereka yang telah berbaikhati itu adalah Abdul Fattah (Dit. Penataan Daerah dan Otonomi Khusus, De-pdagri), Adi Suryanto (LAN), Agung Djojosoekarto (Partnership), Anang BudiGunawan (Dit. Pembangunan Wilayah Bappenas), Aswicaksana (Dit. Tata Ru-ang dan Pertanahan, Bappenas), Awan Diga A. (BAPPENAS), Bambang Juanda

Page 16: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

(Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB), Bastian (Bappenas), BudiHarsoyo (BAKD), Cecep Effendi (ASSD-GLG), Christian Dwi Prasetijaningsih(Dit. Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas), Cucu Suryaman (Kemitraan), En-dang Turyana (YIPD), Endi Jaweng (KPPOD), Endi Rukmo (YIPD), ErvanA. (Dit. Otda BAPPENAS), Fadhilla Izzaty (IPB), Frans H. (Ditjen PUM,Depdagri), Guritno Soerjodibroto (GTZ), Hamka (Program Studi ManajemenKebijakan Pelayanan, STIA-LAN), Hasa (IGOR), Ig. Sigit Murwito (KPPOD),Jayadi (BAPPENAS), J. Endi Rukmo (YIPD), Kadek Arta (LPEM-UI), KhairulRizal (Dit. TRP BAPPENAS), Kresnandi (Dana Perimbangan, Ditjen PK), LaOde Ida (DPD), Mangara Tambunan (CESS), M. Badaruddin dan Agus Purnomo(DPR RI), Maulina Cahyaningrum (DSF), Muh. Handry Irmansyah (ADB TA7010-Preparation of Local Government Finance and Governance Reform), NikenL. Wardhani (Programme Manager, Sub-National Governance), Novi Anggriani(YIPD), Petang Sumarsono (Direktur Transportasi), Pheni Chalid (UNDP- Par-liamentary Support Programme), Koswara Kertapradja (Program Doktor IlmuManajemen Pemerintahan Universitas Satyagama), Rinaldi Rustam (ProgramStudi Ekonomi Pembangunan FE Usakti), Raksaka Mahi (Ketua Program Magis-ter Perencanaan dan Kebijakan Publik FE-UI), Robert S. H (Direktur Politik danKomunikasi), Rudy (Kemitraan), Saleh Thalib (Direktorat Pengembangan Kap-asitas dan Evaluasi Kinerja Daerah, Ditjen Otda), Samsul Widodo (DirektoratKawasan Khusus dan Daerah Tertinggal), Sowwam (Direktorat Otonomi Daer-ah), Suahasil Nazara (Kepala Lembaga Demografi FE-UI), Suharso Monoarfa(Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI), Sukarso (Dit. Otda BAPPENAS), Sul-ton Mawardi (SMERU Research Institute), Sumedi Andono Mulyo (DirektoratPengembangan Wilayah BAPPENAS) , Talitha Fauzia C. (Bappenas), Ubai-di Socheh Hamidi (Sub-Direktorat DAK, Direktorat Dana Perimbangan, DitjenPK), Wildan Risanjaya (RED-GTZ), Yusman Syaukat (Program Magister Pem-bangunan Daerah SPS IPB), dan Yusrizal Anur (Subdit Pembangunan PenataanDaerah).

Kendati begitu banyak nama berada di belakangnya dan kendati tiga agenpembangunan —UNDP, Bappenas, dan DSF— secara manajerial menaunginya,laporan ini sama sekali tidak mencerminkan standing position orang-orang danlembaga-lembaga ini, apalagi untuk menyatakan ‘resmi mewakilinya’. Sepenuh-nya, tanggung jawab substansial dan akademik ada di pundak penyusunnya.

Last but not least, tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan laporanini.

Jakarta, April 2009Tim Penyusun

Page 17: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Ringkasan

Pemekaran yurisdiksi nyaris mendominasi wacana desentralisasi Indonesia secarakeseluruhan. Issu ini menggelinding dari satu titik ke titik lain, dari provinsihingga desa, dari Daerah ke Pusat, dan dari Pusat ke Daerah. Namun demikian,sejumlah studi meragukan apakah pemekaran yurisdiksi telah mencapai tujuan-nya untuk membangun kesejahteraan rakyat. Keraguan ini mendapat konfirmasiempirik dalam Laporan ini. Pendekatan quasi experimental dan counter factualanalysis yang dikembangkan dalam studi ini menemukan bahwa pembentukanyurisdiksi baru bukan merupakan jalan efektif ke arah pencapaian kesejahteraanrakyat. Jika pemekaran bukan merupakan jalan efektif menuju kesejahteraan,opsi alternatif apa yang bisa ditempuh agar kesejahteraan rakyat lebih efektiftercapai?

Laporan ini merekomendasikan satu gugus kebijakan yang disebut reinvent-ing regional development sebagai kebijakan alternatif. Kebijakan ini bersifat out-ward looking karena ia lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik dari-pada inward looking yang berorientasi melulu pada urusan-urusan administratifyurisdiksi. ‘Temu ulang pembangunan daerah’ ini terbagi ke dalam tiga tingkatankebijakan: mikro, meso, dan makro. Di tingkat mikro kebijakan ini terbagi kedalam (1) kebijakan pembangunan manusia dengan konsentrasi pada persoalankemiskinan yang dikaitkan dengan pendidikan dan kesehatan, serta (2) kebijakanpembangunan wilayah dengan konsentrasi pada pembangunan wilayah-wilayahtertinggal dan distribusi fungsi wilayah. Di tingkat meso direkomendasikan kebi-jakan penguatan hubungan antardaerah dengan basis kerjasama dan kompetisi.Sementara itu, di tingkat makro diusulkan untuk membentuk kebijakan restruk-turisasi daerah untuk menurunkan ketimpangan pembangunan antarwilayah.

Page 18: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif
Page 19: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Bab 1

Pemekaran DaerahSelayang Pandang

Pergantian regim politik-administrasi dari sentralisasi menjadi desentralisasi tidakmenjadikan persoalan-persoalan yang dihadapi Daerah terselesaikan dengan sen-dirinya. Di tingkat daerah sejumlah kemajuan dapat dicatat, tetapi beberapaissu masih persisten dan tersisa hingga masa kini (Hill et al., 2008 dan 2009;del Granado, 2009). Pada saat yang bersamaan, meski membangkitkan banyakharapan, desentralisasi juga melahirkan beberapa issu serius baru yang menyitaperhatian.

Salah satu di antara yang paling fenomenal sejak desentralisasi digulirkanialah pembentukan daerah baru, atau lazim dikenal sebagai pemekaran daerah,khususnya pembentukan yurisdiksi tingkat kabupaten-kota. Pemekaran menjadifenomenal karena ini merupakan sebuah big bang —sebuah fenomena pemben-tukan yurisdiksi terbesar dalam 30 tahun terakhir. Dinamika sosio-politik yangmenyertainya juga terhitung fenomenal. Mobilisasi massa, lobby politik, hing-ga konflik terbuka mengiringi gerak usulan pemekaran daerah. Saat ini wacanadesentralisasi Indonesia bahkan hampir didominasi oleh wacana pembentukandaerah baru. Issu-issu lain di seputar desentralisasi seolah-olah hanya merupakanwacana turunan dari wacana pokoknya: pemekaran daerah.

Di dalam situasi seperti ini, pertanyaannya yang penting dikemukakanadalah apakah tindakan politik-administrasi berupa pemekaran daerah itu mam-pu mencapai tujuan pokoknya, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat?Apakah pembentukan yurisdiksi baru merupakan jalan efektif untuk mengatasipersoalan-persoalan yang bersifat persisten? Atau, adakah alternatif lain yanglebih efektif?

Laporan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Menyajikangambaran mengenai kinerja daerah-daerah pemekaran yang terbentuk sejak de-sentralisasi digulirkan, laporan ini menemukan bahwa tindakan politik-adminis-

1

Page 20: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

2

trasi seperti pemekaran daerah bukan merupakan jaminan bagi pencapaian ke-sejahteraan rakyat. Oleh karenanya, dibutuhkan upaya-upaya yang langsungbergerak ke arah jantung persoalan pembangunan daerah. Pembangunan daerahperlu ‘ditemukan ulang’ agar ia tidak melulu didominasi oleh issu-issu politik-administrasi, dan agar ia dikembalikan pada tujuan pokok desentralisasi. ‘Temu-ulang pembangunan daerah’ (reinventing regional development) mengembalikanorientasi pembangunan daerah dari inward looking yang terkonsentrasi pada issu-issu politik-administrasi, ke arah outward looking yang langsung ke arah issu-issuperbaikan kesejahteraan rakyat.

Peta Umum Pemekaran

Secara khusus, laporan ini akan mencermati fenomena yang terjadi di lingkupkabupaten-kota. Ada beberapa alasan mengapa kabupaten-kota mendapat per-hatian dalam laporan ini. Pertama, yurisdiksi di lingkup ini adalah titik tumpudesentralisasi dan otonomi daerah Indonesia. Di lingkup kabupaten-kota inilahstatus ‘otonomi penuh’ diberikan —sementara di lingkup provinsi diberikan sta-tus ‘otonomi terbatas’ (Rasyid, 2007).1 Kedua, fenomena pembentukan daerahotonomi baru juga paling banyak ditemui di lingkup kabupaten-kota daripada dilingkup provinsi. Hal ini kemudian mengubah total peta geografi administrasi In-donesia jika dua masa —pradesentralisasi dan saat desentralisasi— dibandingkan.Ketiga, perubahan geografi administrasi kabupaten-kota telah pula mengubaharsitektur fiskal secara keseluruhan. Hill et al (2009) mengemukakan peneri-maan pemerintah kabupaten-kota telah meningkat 300 persen sejak desentrali-sasi digulirkan. Oleh del Granado (2009) fenomena ini dnyatakan sebagai bigbang desentralisasi fiskal. Bagaimana perubahan landscape geografi administrasikabupaten-kota itu terjadi dan dinamika apa yang menyertainya didiskusikan dibagian berikut.

Kabupaten-Kota Lintas Waktu

Dalam lintasan sejarah politik-administrasi Indonesia, pembentukan yurisdik-si lingkup kabupaten-kota sesungguhnya bukan hal baru. Yurisdiksi-yurisdiksi

1‘Otonomi penuh’ merujuk pada absennya operasi Pemerintah Pusat di kabupaten-kota, ke-cuali melalui sejumlah urusan yang diatur undang-undang. Sementara itu, ‘otonomi terbatas’mengacu pada peluang yang terbuka bagi operasi Pemerintah Pusat di provinsi. Lihat RyaasRasyid. 2007. ‘Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya.’ dalam Syamsuddin Har-ris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan AkuntabilitasPemerintah Daerah. LIPI Press.

Page 21: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

3

lingkup kabupaten-kota —bahkan juga provinsi2— yang ada sekarang ini pa-da hakekatnya adalah juga hasil pemekaran dari yurisdiksi-yurisdiksi awal yangdibentuk saat Republik Indonesia diproklamasikan tahun 1945. Ini berarti apayang mengemuka dalam 10 tahun terakhir ini dapat dikatakan sebagai fenomenalama yang muncul kembali.

Gambar 1.1 menampilkan dinamika tahunan pembentukan yurisdiksi kabu-paten-kota sejak 1950. Terlihat jelas lompatan-lompatan yang relatif besar dalamjumlah kabupaten-kota hanya terjadi di dua sub-periode, yaitu masa-masa se-belum Dekrit Presiden 1959 dan masa-masa setelah reformasi sistem politik dandesentralisasi sistem administrasi 1999. Penggal waktu di antara dua periode iniadalah masa-masa hampir nihil pembentukan kabupaten-kota.3

Dalam 10 tahun pertama sejak kemerdekaan, jumlah kabupaten-kota di In-donesia terhitung baru sekitar 101 yurisdiksi. Antara tahun 1956-1959, jumlahini cepat membesar dari 149 (1956), 177 (1958), ke 254 kabupaten-kota (1959).Tetapi sejak tahun 1960 hingga 33 tahun kemudian, kecepatan pertambahan jum-lah kabupaten-kota praktis rendah. Tahun 1966, misalnya, hanya dibentuk enamkabupaten-kota baru, sehingga secara keseluruhan ada 260 kabupaten-kota yangmewarnai landscape administrasi Indonesia. Jumlah ini bertambah sembilan unitsaja untuk menjadi 269 kabupaten-kota di tahun 1970, lalu meningkat enam unit

2Berbeda dengan yang terjadi di lingkup kabupaten-kota, di lingkup provinsi pemekaranbergerak dengan laju yang lebih lamban. Dimulai dari enam provinsi di masa-masa awal ke-merdekaan, hingga awal Pelita I ada tambahan 20 provinsi baru. Kemudian tercatat 27 provinsidi era Orde Baru manakala Timor Timur masuk ke dalam wilayah Indonesia. Sebelum sam-pai pada formasi 33 provinsi, dua keadaan menandai fenemona yurisdiksi provinsi. Pertama,pemisahan (secession) satu provinsi untuk menjadi negara baru: Timor Timur. Kedua, pem-bentukan tujuh provinsi baru: Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Banten, Sulawesi Barat,Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat. Ketiga, pembatalan pembentukan satu provinsipemekaran: Irian Jaya Tengah. Melalui perubahan ini formasi total provinsi Indonesia kini ter-diri dari 10 provinsi di Sumatera dengan satu daerah khusus (Aceh), enam di Jawa dengan duadaerah khusus (DKI dan DIY), tiga di Nusa Tenggara, empat di Kalimantan, enam di Sulawesi,dua di Maluku, dan dua provinsi di Papua yang keduanya adalah daerah khusus.

3Apa yang menarik di sini adalah dua lompatan besar dalam pertambahan jumlah kabupaten-kota itu terjadi manakala posisi tawar relatif parlemen menguat terhadap presiden. Masa se-belum 1959 adalah era demokrasi parlementer di kala eksekutif praktis menjadi subordinatparlemen (Lihat Miriam Budiarjo (2008) untuk pembagian kurun waktu politik Indonesia).Sementara itu, masa setelah 1999 adalah era demokrasi presidensial yang didalamnya terja-di reformasi hubungan politik antara parlemen dan presiden. Masa-masa di antaranya dapatdikatakan sebagai otokrasi presidensial dengan kekuasaan yang tersentralisasi —kendati ad-ministrasi Soekarno menyebutnya ‘demokrasi terpimpin’ (1959-1965) dan administrasi Soehartomenyebutnya ‘demokrasi Pancasila’ (1965-1998)— yang di dalamnya posisi tawar relatif presidenterhadap parlemen mengalami penguatan dengan amat berarti. Di saat posisi parlemen meng-alami pelemahan dan, sebaliknya, posisi tawar relatif presiden mengalami pelemahan pemben-tukan jumlah kabupaten-kota baru praktis tidak berarti. Tampaknya pasang-surut pemekaranbergerak seirama dengan pasang-surut relasi politik parlemen dan eksekutif, sehingga dapatlahdikatakan bahwa masa-masa naik-turunnya jumlah pembentukan kabupaten-kota baru adalahmasa-masa menguat-melemahnya posisi tawar parlemen terhadap eksekutif.

Page 22: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

4

sehingga menjadi 275 kabupaten-kota sepuluh tahun kemudian. Di paruh akhir1980-an terbentuk tak lebih dari dua unit kabupaten-kota baru untuk menjadi277, sebelum ia naik menjadi 280 yurisdiksi memasuki tahun 1990-an. Secaratotal 340 kabupaten-kota mewarnai awal reformasi politik Indonesia.

Di masa reformasi politik dan pengguliran kebijakan desentralisasi, jumlahyurisdiksi kabupaten-kota menjadi lebih besar lagi. Tahun 2001 tak kurang dari353 kabupaten-kota baru tersebar dari Weh ke Merauke dan dari Sangihe ke Rote.Tahun 2002 menjadi 390, sebelum melonjak ke 440 (2003). Tahun 2007 tercatat465 kabupaten-kota terhampar dari Sabang ke Pegunungan Bintang dan dariTahuna hingga Ba’a.4 Puncaknya terjadi di tahun 2008 tatkala 498 kabupaten-kota di empat penjuru mata angin membentuk landscape baru Republik Indonesia(Data hingga November 2008).

GAMBAR 1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten-Kota

Dalam dua kali siklus terakhir parlemen dan empat kali pergantian pe-merintahan, paling sedikit 150 kabupaten-kota baru terbentuk. Pukul rata, 15

4Angka-angka jumlah kabupaten-kota ini dihitung berdasarkan banyaknya kabupaten-kotamenurut tahun pembentukan kabupaten-kota itu.

Page 23: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

5

kabupaten-kota baru setiap tahun di Indonesia sejak 1999.5 Angka-angka ini punbelum termasuk kecamatan dan desa baru yang dibentuk di luar mekanisme pem-bentukan UU, mengingat pemekaran terjadi juga di dua yurisdiksi terbawah ini—yang merupakan konsekuensi langsung dari pembentukan yurisdiksi di tingkatkabupaten-kota. Dalam bentang 10 tahun yang sama sejak desentralisasi di-gelindingkan, jumlah kecamatan naik lebih dari 2000 unit (dari 4028 pada 1998ke 6131 pada tahun 2007), sedangkan jumlah desa melonjak hampir 6000 unit(dari 67.925 di 1998 menjadi 73.405 unit di tahun 2008). Secara rata-rata hampir20 kecamatan dan 50 desa terbentuk setiap bulan dalam 10 tahun terakhir.

Undang-Undang Pembentukan Daerah

Utamanya pada masa kebijakan desentralisasi, deskripsi di atas jelas menun-jukkan adanya big bang pembentukan yurisdiksi baru di Indonesia yang berlang-sung dengan kecepatan tinggi. Big bang pembentukan yurisdiksi baru ini bersum-ber dari big bang produksi undang-undang pembentukan daerah baru (UUPD)oleh parlemen dengan kecepatan yang sama pula. Hubungan ini terjadi karena se-tiap daerah bentukan baru memang harus ditetapkan oleh suatu undang-undangsebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18, 18a, dan 18b UUD 1945.6 Dengan katalain, pembentukan daerah selain merupakan hasil dari suatu proses teknokratis—sebagaimana terlihat dalam persyaratan teknis, administratif, dan fisik kewi-layahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 78-2007— juga meru-pakan hasil dari suatu proses politik di tingkat parlemen. Di dalam proses poli-tik itu, parlemen mengajukan RUU insiatif pembentukan daerah yang menjadisalah satu agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas).7 Tetapi, secara formalpemerintah pun dapat mengajukan RUUPD.

Issu penting yang perlu diajukan mengenai proses politik dan proses tekno-krasi adalah apakah proses politik ini merupakan fungsi dari proses teknokratik,ataukah keduanya berjalan secara independen. Artinya, apakah proses politikjuga mempertimbangkan argumentasi-argumentasi teknis hasil evaluasi propo-sal pembentukan DOB oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD),

5Jika tanpa moratorium yang tegas dan efektif, jumlah ini secara potensial akan meningkatmengingat beberapa pengusulan pemekaran daerah dan perancangan UU-nya masih terus ter-jadi.

6Penjelasan Soepomo mengenai Pasal 18 UUD 1945 menarik untuk dicatat, “. . . Oleh karenaNegara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalamlingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsidan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yangbersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi be-laka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.”. Cetak miringfrasa terakhir oleh penyusun laporan ini.

7Secara formal, fungsi ini juga dimiliki oleh Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Namunsecara empirik, fungsi ini kurang teraksentuasi.

Page 24: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

6

ataukah proses politik itu memang terlepas-kait dari proses teknis.8 Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting, karena —sebagaimana didiskusikan lebih rincikelak dalam laporan ini— daerah-daerah yang secara formal telah dinyatakanmemiliki kapasitas untuk menyelenggarakan otonomi9, secara empiris justru me-nampakkan kinerja yang berlawanan. Dengan kata lain, dalam proses pemben-tukan daerah baru, apakah proses teknokratis yang dijalankan oleh DPOD danproses politik di Dewan Perwakilan Rakyat memiliki sumbangan bermakna bagikesejahteraan rakyat seharusnya menjadi pertanyaan yang terus melekat.

Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa sepanjang dua masa bakti terakhir par-lemen, yaitu 1999-2004 dan 2004-2009, UUPD hampir mendominasi produk-produk hukum parlemen. Dalam masa bakti pertama, misalnya, sekitar 40 persenUU yang dihasilkan oleh DPR-RI adalah UU pembentukan daerah baru. Secararata-rata, tak kurang dari 14 UUPD dihasilkan pada 1999-2004 —jika tahun 2004dikeluarkan angka itu menjadi 16 UUPD per tahun. Selain di tahun 2004 denganjumlah UUPD hanya satu buah, jumlah UUPD yang mencolok dihasilkan selamaperiode itu terjadi di tahun 2003 —tahun menjelang akhir masa bakti parlemen.

TABEL 1.1. Produksi Undang-Undang oleh DPR-RI 1999-2008

UUPD UU Lain Total Kab. Prov.

Terkait Bukan UU UU Kot. BaruTahunProduksi Efektif

Otonomi ttg Daerah Baru

1999 19 19 5 32 56 27 1

2000 14 3 1 23 38 0 3

2001 12 12 2 8 22 12 1

2002 13 13 0 19 32 38 1

2003 24 23 1 15 40 49 0

20041] 1 1 1 28 30 0 0

1999-2004 83 71 10 125 218 126 6

20042] 0 0 2 9 11 0 1

2005 0 0 1 13 14 0 0

2006 0 0 2 21 23 0 0

2007 25 25 1 22 48 25 0

20083] 19 18 3 22 44 33 0

2004-2008 44 43 9 87 140 58 1

1999-2008 127 114 19 212 358 184 71] Hingga masa bakti 30 September 2004; 2] Dimulai dari masa bakti 1 Oktober 20043] Hingga UU 34-2008 untuk UU pembentukan daerah dan hingga UU 44-2008 untuk UU lain

8Sayang sekali saat ini tidak ada statistik resmi yang menginformasikan rejection rate usulanpemekaran melalui pemerintah dan DPR, bahkan DPD.

9Berdasarkan UU 32-2004 dan PP 78-2007, daerah yang dimekarkan adalah daerah yangdikategorikan sebagai ‘sangat mampu’ dan ‘mampu’ memenuhi syarat-syarat dasarnya.

Page 25: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

7

Pada masa bakti berikutnya UU pembentukan daerah baru tetap menjadiagenda legislasi yang penting, tetapi dengan variasi tahunan yang ekstrim. Dalamtiga tahun pertama masa bakti 2004-2009, praktis tidak ada satupun UUPD di-hasilkan. Sebaliknya, konsentrasi parlemen bergeser ke arah penyusunan undang-undang lain. Namun demikian, seperti dalam periode sebelumnya, dalam tahun-tahun terakhir masa bakti parlemen, keadaan ini berubah. Separuh perhatianDPR dalam proses legislasi dibagi untuk pembentukan UUPD. Dengan demikian,secara rata-rata lebih dari 30 persen UU yang diproduksi pada masa sidang 2004-2009 adalah undang-undang tentang pembentukan daerah. Ini berarti pula seki-tar 35 persen dari 358 UU yang diproduksi dalam satu dasa warsa terakhir adalahUU tentang pembentukan daerah baru. Dari 127 UUPD yang dikeluarkan dalamdua putaran siklus parlemen itu, 13 di antaranya mengalami revisi, sehinggasecara keseluruhan terdapat 114 UU yang berlaku efektif.10

Pertanyaan yang alamiah mengenai seluruh kecenderungan itu adalah apakekuatan penggerak pembentukan daerah? Mengapa suatu daerah memilih opsipemekaran, sedangkan daerah lain tidak. Bagian berikut akan mendiskusikanmotif-motif di balik pemekaran daerah itu.

Motif Pemekaran

Motif apa yang mendorong pembentukan daerah baru? Apakah pembentukandaerah baru muncul begitu saja tanpa membentuk keteraturan? Atau, adakahgejala yang lebih sistematis?

Motif di belakang aspirasi pembentukan daerah baru memang dapat bervari-asi dari satu tempat ke tempat lain. Di suatu daerah suatu faktor dapat lebihmenonjol daripada di daerah lain, sedangkan di lokasi yang lain keadaan yangsebaliknya mungkin terjadi.11 Namun demikian, pemekaran tampaknya bukanfenomena yang bersifat acak, karena ada beberapa gejala sistematik yang da-pat digeneralisasi. Gejala ini dapat dikategorisasi ke dalam tiga dimensi motif:sosiologis, ekonomis, dan politis.

Motif Sosial

Bagaimana ujud motif sosial di belakang pemekaran daerah? Motif sosial dalampemekaran daerah berada dalam konteks latar belakang yang lebih luas, yakni

10Jumlah UUPD ini tidak persis sama dengan jumlah daerah otonomi baru (DOB) sebabsebuah UUPD dapat mencakup lebih dari satu pembentukan DOB.

11Tetapi dimensi waktu juga mungkin berperan, karena waktu senantiasa memberikan konteksterhadap suatu peristiwa.

Page 26: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

8

desentralisasi —utamanya jika diingat bahwa kebijakan desentralisasi lahir ditengah-tengah tantangan heterogenitas Indonesia dan ketidakpuasan Daerah ataskebijakan sentralisasi dengan penyeragaman di banyak aspek pembangunan. Keti-ka desentralisasi digelindingkan, gejala etnosentrisme, misalnya, ditengarai akanbanyak mewarnai perkembangan otonomi daerah. Etnosentrisme itu mengambilbeberapa bentuk seperti yang terlihat dalam penetapan dan pemilihan pemimpindaerah baik di eksekutif maupun legislatif, dalam recruitment dan promosi biro-krat lokal (Badjuri, 2007, Suyatno, 2007). Fenomena pemekaran daerah termasukyang berada dalam kategori ini (Djohan, 2007).

Khusus mengenai etnosentrisme dalam pemekaran daerah, Fitrani et al(2005) menemukan bahwa pengelompokan menurut etnis (ethnic clustering) telahmemicu kecenderungan Daerah untuk memekarkan diri. Melalui model ekonome-trik yang dibangun, Fitrani et al mendeteksi bahwa motif pengelompokan inimerupakan salah satu determinan yang secara statistik signifikan untuk menje-laskan mengapa banyak daerah mengambil opsi pemekaran. Hasrat untuk mem-bentuk yurisdiksi baru dengan batas geografi-administrasi baru —yang terpisahdari geografi-administrasi lama— mencuat sejalan dengan meningkatnya kecen-derungan pengelompokan etnis. Fenomena ini lebih mencolok terdeteksi padamasa setelah tahun 2001 —sebagai tahun patokan desentralisasi dalam analisisFitrani et al— daripada sebelum tahun itu.

Dari keadaan ini tampak bahwa identitas etnis cenderung dilekatkan pa-da identitas teritorial, karena pada dasarnya fenomena pengelompokan etnis iniadalah cermin dari homogenitas preferensi masyarakat, sedangkan pemekarandalam ujudnya adalah pembentukan teritori baru.12 Teritori baru ini lebih kecil,baik dalam luasan geografi administrasi ataupun populasi dibandingkan dengansebelumnya. Dalam keadaan itu, heterogenitas preferensi masyarakat cenderungminimum. Dengan kata lain, pembentukan daerah baru juga dipicu oleh motifsosiologis ke arah homogenisasi etnis, yakni kehendak untuk hidup dalam suaturuang etnis yang homogen, dan bahkan bukan tidak mungkin jika motif ini ber-gerak pula ke arah regionalisme —“a feeling of regional identity” (Schrijver, 2006,p. 28); semangat kedaerahan. Semangat ini berbeda dengan spirit normatif yangtertuang dalam simbol Bhinneka Tunggal Ika sebagai komitmen ideologi nasional.

12Varian lain tentang relasi identitas teritorial dan identitas etnis ditemukan dalam kasusimigran baru di Kanada. Uji ekonometrik McDonald (2004) menunjukkan bahwa adanya ethnicenclave di suatu lokus tertentu secara signifikan menentukan pilihan lokasi di mana migran baruakan berdiam. Dengan kata lain, imigran baru dari kelompok etnik tertentu cenderung memilihlokasi yang didiami oleh penduduk dengan latar belakang etnik yang sama. Dalam konteksnegara, Collier and Hoeffler (2002) menyatakan akar persoalan pemisahan negara juga dapatditelusuri dari issu politik identitas yang mencuat dari perasaan kesamaan identitas etnis.

Page 27: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

9

Motif Politik

Ekspresi pembentukan yuridiksi baru ternyata juga mendapat respons memadaidari fraksi-fraksi politik di dalam parlemen untuk selanjutnya diteruskan ke dalamproses legislasi. Seri penyusunan UU pembentukan daerah sebagaimana di-ungkap di muka bisa menunjukkan adanya respons itu. Berbeda dengan relasipemerintah-DPR, tampaknya tidak ada kontroversi yang cukup berarti dalamrelasi antarfraksi di tingkat parlemen dalam proses legislasi UU pembentukandaerah baru. Ini juga berbeda dengan proses legislasi UU lain yang tidak jarangmenciptakan polar-polar posisi politik fraksi yang bahkan terus berlanjut hinggake tingkat sidang paripurna.

Di tingkat normatif, pembentukan daerah baru bisa dipandang sebagaiupaya untuk mendekatkan pemimpin-pemimpin politik pada konstitutennya, se-hingga aspirasi dan preferensi masyarakat dapat lebih efektif untuk ditangkap.Namun demikian, di tingkat empiri, sudah barang tentu ada kalkulasi politikyang dilakukan sehingga partai-partai memberi respons atas ekspresi yang bersi-fat bottom-up ini.13 Beberapa di antaranya yang dapat disebut di sini adalahterbukanya peluang baru bagi kompetisi jabatan-jabatan eksekutif dan legislatifdi yurisdiksi-yurisdiksi bentukan baru, termasuk juga ekspansi konstituensi. Diposisi legislatif, misalnya, dua besaran yang paralel dapat dipakai untuk memberikonfirmasi mengenai adanya kalkulasi politik itu. Pertama, fraksionalisasi poli-tik14; dan, ke dua, jumlah partai di dalam parlemen. Fraksionalisasi politik diyurisdiksi-yurisdiksi bentukan baru terhitung lebih besar daripada yang terjadidi daerah bukan-DOB. Di daerah pemekaran kursi parlemen lebih terdistribusidaripada di daerah non-pemekaran.15 Setara itu, dibandingkan dengan wilayahnon-pemekaran, lebih banyak partai masuk ke dalam DPRD di wilayah DOB.16

Keadaan ini memperlihatkan bahwa partai politik dan politisi mempunyai prefe-rensi yang lebih besar pada pemekaran. Grossman (1994) menyatakan preferensiseperti ini dapat terjadi karena adanya potensi return of votes relatif tinggi sejalandengan (lebih) kecilnya populasi di wilayah semacam ini sebagaimana terlihat didaerah bentukan baru.

13Patut dicatat pula ada sejumlah kecil kasus pemekaran yang bersifat top-down. Di Papua,misalnya, pemekaran bersumber dari inisiatif pemerintah, tetapi justru sempat mendapat peno-lakan dari komunitas dan elit setempat.

14Fraksionalisasi politik mengukur tingkat fragmentasi kursi berdasarkan besarnya share kursisetiap partai di DPRD. Semakin banyak partai masuk ke dalam parlemen, semakin terfragmen-tasi pula kursi-kursi yang dikuasai partai.

15Uji statistik-t dua-sisi terhadap sebaran kursi parlemen hasil Pemilu 2004 di 440 kabupaten-kota menunjukkan bahwa perbedaan fraksionalisasi politik ini signifikan pada taraf satu persen(nilai-t=4,31).

16Uji dua-sisi atas jumlah partai di dalam parlemen lokal menunjukkan perbedaan jumlah par-tai di dalam DPRD antara DOB dan non-DOB juga signifikan pada taraf satu persen (t=2.87).

Page 28: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

10

Motif Ekonomi

Lebih lanjut, selain motif sosiologis dan politik, masih ada serangkaian motiflain di belakang pengambilan opsi pemekaran wilayah. Yang lazim mengemukadalam wacana publik ialah motif ekonomi. Potensi perolehan insentif melaluitransfer Dana Alokasi Umum (DAU) biasanya menjadi latar belakang pentingdalam gagasan untuk memekarkan diri. Transfer ini bersifat otomatis. Sekalisebuah yurisdiksi terbentuk, sejak itu pula DAU diterima sebagai hak Daerah. Iajuga menjadi insentif otomatis karena secara empirik DAU merupakan fungsi daritiga karakteristik yang selalu melekat dalam suatu yurisdiksi: luas daerah, jumlahpenduduk, dan jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD).17 Menariknya, tidakada satu pun “variabel pemerintah pusat” dalam penentuan DAU ini. Besar-kecilnya DAU sepenuhnya “ditentukan oleh Daerah” melalui karakteristik yangotomatis melekat padanya. Setara itu, Fane (2003) juga menyimpulkan DAUtelah menjadi insentif bagi terjadinya pemekaran.

Pada ranah motif ekonomi yang lain, ekspektasi pembagian hasil ekstraksisumber daya alam juga merupakan faktor pemicu yang tak kalah penting. Eks-pektasi ini utamanya ada pada wilayah-wilayah yang secara alami kaya sumberdaya alam. Di wilayah-wilayah seperti ini, membangun yurisdiksi baru samaartinya dengan membangun otoritas atas hak perolehan manfaat atas hasil-hasilekstraksi sumber daya alam sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.18

Laporan ini menemukan bahwa probabilitas untuk menemukan daerah hasil pe-mekaran akan meningkat sejalan dengan besarnya kontribusi sektor ekstraktif kedalam perekonomian (lihat Lampiran Teknis). Sama seperti DAU, transfer DanaBagi Hasil ini pun bersifat otomatis. Selekas suatu yurisdiksi terbentuk, secepatitu pula Dana Bagi Hasil dialirkan. Jelas bahwa pemekaran daerah datang puladari motif ini.

Argumentasi lain dalam kelompok motif ekonomi pemekaran adalah kehen-dak untuk mengejar ketertinggalan. Ini sesungguhnya bertolak belakang dengansyarat-syarat administratif pemekaran sebagaimana diatur oleh Peraturan Pe-merintah (PP) 129 tahun 2000 maupun versi revisinya (PP 78 tahun 2007). Jikasyarat-syarat dalam PP itu dipenuhi, ketertinggalan praktis bukan merupakanissu penting di balik pemekaran.19 Namun demikian, empiri memperlihatkan

17Melalui regresi linier terlihat bahwa 84 persen variasi DAU dapat diterangkan oleh variasidalam tiga variabel itu secara sangat signifikan (Nilai t-statistik ketiga variabel itu berkisar padanilai 11-17).

18Ini terlihat dengan jelas dalam relasi Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (DBHBP) dan nilaitambah sektor ekstraktif yang diperoleh kabupaten-kota. Sekitar 74 persen variasi DBHBPtingkat kabupaten-kota mampu dijelaskan oleh besarnya nilai tambah sektor kehutanan dansektor pertambangan (termasuk migas) dengan amat signifikan (t-statistik antara 12-17).

19Patut dicatat, di samping proses legislasi, usulan pemekaran juga melewati proses evaluasiteknis. Dalam proses evaluasi teknis, yurisdiksi pengusul akan dikategorisasi sebagai “sangatmampu” dan “mampu” manakala ia memiliki kapasitas untuk melewati persyaratan adminis-

Page 29: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

11

kenyataan yang sebaliknya. Model probit dalam laporan ini menyiratkan bah-wa probabilitas untuk menemukan daerah pemekaran meningkat sejalan denganstatus ketertinggalannya (Lihat Lampiran Teknis). Ini artinya daerah-daerahtertinggal cenderung memekarkan diri dibandingkan dengan yang tidak menda-pat status ‘daerah tertinggal”.

Dekat dengan ketertinggalan adalah kemiskinan. Kehendak normatif untukmengejar ketertinggalan juga dapat dijelaskan melalui fakta kemiskinan yang di-hadapi oleh Daerah. Laporan ini menemukan bahwa peluang untuk menemukanada-tidaknya peristiwa pemekaran akan menguat di daerah-daerah dengan jum-lah penduduk miskin yang tinggi (Lihat Lampiran Teknis). Dengan kata lain,kecenderungan untuk memekarkan daerah akan membesar manakala populasikemiskinan di daerah itu juga besar.

Melalui seluruh gambaran itu terlihat adanya motif-motif sosiologis, politis,dan ekonomis di belakang pemekaran. Satu motif tertentu bisa lebih mengemukadaripada yang lain. Bahkan, kombinasi ketiganya juga bukan hal yang tak la-zim. Ini semua menunjukkan bahwa semesta pemekaran bukanlah semesta hampayang terisolasi, ataupun terjadi dengan sendirinya (exogenous), tetapi dibentukoleh serangkaian motif sehingga ia bersifat endogenous dan multidimensional.Namun demikian, apapun motif di belakang pemekaran daerah, dua ukuran laikdipakai sebagai acuan: konsekuensi dan efektivitas pencapaian tujuan. Dalamhal pertama, setiap tindakan selalu mengandung konsekuensi, karena konsekuensimelekat dengan tindakan. Kedua, setiap tindakan juga diarahkan untuk mencapaitujuan pemekaran itu sendiri. Pemekaran daerah secara esensial menetapkankesejahteraan rakyat sebagai tujuannya. Oleh karena itu, pembentukan daerahotonomi baru perlu dipandang dalam perspektif acuan ini.

Konsekuensi Pemekaran

Demokratisasi sistem politik yang digelindingkan sejak 1999 telah membuka ru-ang yang amat lebar bagi berbagai ekspresi, termasuk keinginan untuk memben-tuk yurisdiksi administratif baru.20 Pada saat yang sama dinamika demokratisasi

tratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam PP 78-2007. Dibagian Penjelasan dinyatakan bahwa, “Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor ke-mampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah... Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat tum-buh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkanpelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dandalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Cetak miring olehpenyusun laporan ini.)

20Pada tingkat negara, Alesina dan Spolaore (1997) menunjukkan bahwa demokratisasi mem-buka peluang bagi pemisahan yurisdiksi sehingga terjadi pembentukan lebih banyak negara.

Page 30: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

12

Seribu Jurus Bercerai

Pembentukan Provinsi Gorontalo bisa dibilang mulus. “Cuma butuh 14 bulan,” kataM. Nasser, bekas Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Komite Pusat PembentukanProvinsi Gorontalo. Panitia menempuh semua jalur untuk melapangkan jalan. “Ya,semacam gerilyalah.” Pembentukan provinsi itu berawal dari kongko-kongko beberapatokoh di Jakarta pada 1999. Ide ini dilempar ke daerah, yang ternyata bersambut.Para penggagasnya membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Gorontalodan menggelar seminar di Gedung Bidakara pada 1999. Untuk melobi para pejabatdan tokoh kunci di Jakarta, Komite Pusat dibentuk dan bermarkas di Jakarta. Darisitu, gerilya politik dilancarkan untuk mengail dukungan dari Komisi PemerintahanDPR dan Depdagri. Panitia juga menggelar jamuan makan malam di Hotel Mulia.Seusai acara, masing-masing anggota Dewan disodori bungkusan berisi baju kerawangkhas Gorontalo.

Komite Pusat juga melobi beberapa tokoh kunci DPR, seperti ketua fraksi dan ketuakomisi. Komite bahkan mendatangi rumah dinas atau rumah pribadi para pentolanfraksi itu. Tak lupa pelobi membawakan oleh-oleh ikan bakar, ayam bakar rica-rica,dan binthe biluhuta. Beres di Jakarta, Komite Pusat mengundang para anggota De-wan meninjau lapangan pada 2000. Tiket pesawat Mandala Airlines dibayari panitia,juga akomodasi dan transportasi selama tiga hari di Manado dan Gorontalo. Panitiamendatangi kamar hotel tempat menginap anggota Dewan. Amplop-amplop segeraberpindah tangan. “Cuma Rp 1,8 juta per orang. Ini uang jalan karena mereka datangke Gorontalo,” kata Nasser. Uang jalan ini juga diberikan kepada tim DepartemenDalam Negeri yang meninjau Gorontalo. Besarnya Rp 23 juta per orang. Lobi jugadilakukan ke Gubernur E.E. Mangindaan. Total dana yang dihabiskan untuk prosesini, menurut Nasser, sekitar Rp 1,3 miliar. Namun, menurut Abas Nusi, biayanya Rp3 miliar lebih.

Sebaliknya, pembentukan Provinsi Kepulauan Riau pada 2002 tersendat-sendat.“Prosesnya cukup panjang seperti rencana Provinsi Tapanuli yang rusuh itu,” kataHuzrin Hood, bekas Bupati Kepulauan Riau, yang saat itu menjadi Ketua BadanPekerja Pembentukan Provinsi. Upaya penggagas provinsi itu terganjal seretnyarekomendasi dari DPRD dan Gubernur Saleh Djasit. Itu sebabnya Badan Pekerjamembentuk tim khusus lobi di Jakarta. Suatu ketika, Huzrin harus datang ke rumahKetua DPR, Akbar Tandjung, menjelang tengah malam untuk melobi. Lobi di Jakar-ta membuat pembahasan di Senayan bisa segera digelar. Namun, karena provinsiinduk tidak juga memberikan rekomendasi, pembahasan tersendat. Badan Pekerjapun mengerahkan 3.000 orang untuk berdemonstrasi di Senayan. Di tengah prosespembentukan provinsi, Huzrin dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara karena korupsi.Padahal ia digadang-gadang untuk jadi gubernur.

Dicuplik dengan penyesuaian dariTempo 51/XXXVII 09 Februari 2009

Page 31: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

13

ini juga diiringi dinamika yang serupa dalam desentralisasi di mana bandul sis-tem pemerintahan bergeser jauh dari Pusat ke Daerah. Di dalam kombinasidua keadaan itu —demokrasi dan desentralisasi— gagasan tentang pembentukanyurisdiksi baru menjadi lebih masif dikomunikasikan dari simpul ke simpul, darielit ke komunitas, dan sebaliknya, sebelum ia menjadi ide kolektif dan disalurkanmelalui kanal-kanal kelembagaan demokrasi yang ada. Oleh karenanya, tidakmengherankan jika pembentukan kabupaten-kota bergerak amat ekspansif.

Geografi Administrasi

Akibat langsung dari ekspansi pembentukan daerah otonomi baru (DOB) iniadalah perubahan geografi yurisdiksi Indonesia. Jawa di detik-detik pertamadesentralisasi masih mendominasi komposisi kabupaten-kota Indonesia denganporsi 32 persen. Di masa-masa berikutnya dominasi Jawa perlahan memudar.Sejalan dengan maraknya pemekaran yurisdiksi di Luar Jawa, kabupaten-kotadi Sumatera sekarang mengambil 30 persen share —yang menyalip Jawa sejak2003 dengan 26 persen share dari total kabupaten-kota. Maluku dan Papua ki-ni mengambil porsi yang lebih besar pula. Dengan jumlah kabupaten-kota yangnaik dua lipat, porsi kabupaten-kota Maluku dan juga Papua dua kali lebih besarsaat ini dibandingkan dengan keadaan satu dasa warsa lalu. Di Kalimantan danSulawesi kabupaten-kota baru menjamur pula. Di dua pulau besar yang berte-tangga ini, jumlah kabupaten-kota sekarang satu-setengah kali lebih besar dari-pada angka 10 tahun silam. Di Nusa Tenggara, kendati dengan angka yang lebihrendah, pertumbuhan jumlah kabupaten-kota juga menandai landscape yurisdiksidi wilayah ini. Gambar 1.2 memberi konfirmasi visual: pemekaran ialah fenome-na Luar Jawa. Di Luar Jawa hampir tidak ada pulau besar atau gugusan pulauyang tidak memiliki kabupaten-kota pemekaran. Di Luar Jawa pula hampir tidakditemui provinsi tanpa pemekaran kabupaten-kota.

Perubahan geografi yurisdiksi ini sudah barang tentu menyusutkan luaswilayah yang berada di bawah wewenang administratif setiap yurisdiksi, bahkanjuga termasuk jumlah desa (Tabel 1.2) —kendatipun, sebagaimana diungkap,secara total jumlah desa meningkat tajam. Di hampir seluruh kelompok pulaukecuali Jawa, terjadi perubahan geografi administrasi yang amat kentara. Sudahbarang tentu pula hal ini membawa dampak pada penyusutan rentang kendalipemerintahan. Utamanya pada daerah-daerah yang mengalami pemekaran, iniberarti bahwa pemekaran memang telah mampu mencapai salah satu di an-tara sejumlah tujuannya: penyempitan ruang kendali. Jika DOB dan non-DOBdiperbandingkan, misalnya, indeks rentang kendali yang dikonstruksi dalam studiini menunjukkan bahwa kabupaten-kota DOB secara konsisten memiliki rentangkendali yang jauh lebih sempit daripada apa yang diperlihatkan oleh kabupaten

Page 32: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

14

dan kota bukan-DOB.21

Namun demikian, agak disayangkan, penyempitan rentang kendali22 initidak serta merta menciptakan perbaikan dalam kinerja ekonomi dan sosial. Padadataran normatif, secara sekuensial, penyempitan rentang kendali pemerintah-an, peningkatan pelayanan aparat publik pada masyarakat, dan akhirnya pe-ningkatan kesejahteraan rakyat seringkali disebut sebagai tujuan-tujuan yanglumrah tertuang dalam proposal pemekaran wilayah, selain perbaikan keter-tinggalan regional. Akan tetapi, efek keunggulan daerah pasca pemekaran karenamemiliki rentang kendali yang lebih sempit ini masih harus diuji lagi pada mutulayanan publik, ketertinggalan regional, serta —yang jauh lebih penting— kese-jahteraan masyarakat. Bagaimanapun, kesejahteraan masyarakat adalah tujuanutama pemekaran, bukan sekedar pemuasan preferensi selapis tipis elit lokal.Opsi memekarkan daerah akan kehilangan makna jika kesejahteraan rakyat tidakmenjadi batu penjurunya. Jadi, pemekaran jelas bukan tujuan. Ia hanyalah carauntuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, pertanyaan yang patut diajukan ialah apakah pemekaranmemang sungguh-sungguh memiliki efek pada kesejahteraan? Diekspresikan de-ngan cara lain, apakah skenario pembentukan DOB merupakan skenario yangefektif dalam pencapaian kesejahteraan? Adakah skenario alternatif yang lebihefektif untuk pencapaian tujuan ini?23

Fiskal

Derasnya kecepatan pembentukan DOB seperti saat ini bukan tanpa resiko.”There is no such thing as a free lunch,” demikian ungkapan Nobel-laureate,Milton Friedman. Beberapa di antaranya dapat dicatat di sini. Yang pertamaterlihat jelas adalah konsekuensi fiskal dari fenomena pemekaran. Dalam hal ini,setiap pembentukan yurisdiksi baru di tingkat daerah selalu membawa dampak

21Indeks rentang kendali untuk DOB dan bukan-DOB, masing-masing, adalah −0, 38 dan0,18. Perbedaan ini terhitung signifikan secara statistik. Lihat Lampiran Teknis.

22Dalam konteks perkembangan teknologi saat ini, rentang kendali geografis dan pemerintahanhingga derajat tertentu tampaknya tidak lagi relevan untuk dijadikan alasan sebagai kendalapembangunan.

23Pemekaran sendiri selalu menghasilkan perubahan size of jurisdiction. Literatur mencatatdaftar panjang mengenai manfaat dan mudarat besar-kecilnya yurisdiksi. Size yang besar —yang bisa juga merupakan gabungan dari yurisdiksi-yurisdiksi yang lebih kecil— mendapatmanfaat dalam (1) skala ekonomi untuk produksi barang-jasa publik, (2) internalisasi eksternali-tas melalui sentralisasi penyediaan barang-jasa publik, atau internalisasi eksternalitas karenaeksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara independen oleh yurisdiksi yang kecil-kecil,(3) redistribusi pendapatan antarregion yang tidak mungkin dilakukan oleh setiap yurisdiksisecara independen, dan (4) market size. Sedangkan mudaratnya terlihat dalam heterogeneityof preferences anggota masyarakatnya. Semakin besar size, kian beragam “selera masyarakat”.Lihat Alberto Alesina, et al.. 2005. ‘Growth and the Size of Countries.’ dalam Philippe Aghionand Steven Durlauf (eds.). Handbook of Economic Growth. Elsevie.

Page 33: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

15

GA

MB

AR

1.2.

Pet

aD

aera

hP

emek

aran

Page 34: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

16

TABEL 1.2. Geografi Administrasi per Kabupaten-kota 1999-2006

Kel. Pulau 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Luas Wilayah (km2)Jawa 1.169 1.146 1.099 1.079 1.079 1.051 1.051 1.053Sumatera 5.938 5.244 5.080 4.757 4.204 3.713 3.628 3.664Nusa Tenggara 2.522 2.522 2.438 2.395 2.285 1.975 2.151 2.151Kalimantan 17.814 14.456 14.456 12.405 11.659 10.314 10.314 10.306Sulawesi 4.332 4.355 4.357 4.240 3.671 3.163 3.163 3.154Maluku 9.377 10.938 10.938 10.938 10.938 5.665 5.665 5.469Papua 37.229 30.142 30.142 30.142 15.050 14.938 14.711 14.757Indonesia 5.942 5.762 5.679 5.302 4.925 4.403 4.371 4.375

Jumlah Kecamatan (unit)Jawa 17 17 18 18 17 18 18 18Sumatera 11 11 12 12 12 11 12 12Nusa Tenggara 9 9 11 11 11 11 11 11Kalimantan 13 11 11 10 10 9 10 10Sulawesi 11 11 12 12 12 11 12 13Maluku 7 8 7 11 12 6 7 9Papua 15 12 12 13 8 8 12 14Indonesia 13 13 14 14 13 12 13 14

Jumlah Desa (unit)Jawa 227 226 227 222 217 218 218 214Sumatera 5.938 5.244 5.080 4.757 4.204 3.713 3.628 3.664Nusa Tenggara 129 132 131 130 123 124 125 122Kalimantan 200 166 160 135 122 118 121 123Sulawesi 181 160 172 160 138 131 134 137Maluku 196 194 194 197 201 102 100 117Papua 243 233 240 268 140 134 134 160Indonesia 220 209 203 190 173 161 163 164

Diukur sebagai rata-rata per kabupaten-kota

anggaran di tingkat nasional. Untuk memeriksanya, dua ukuran dapat dipakai:[1] total aliran dana APBN ke APBD melalui komponen anggaran belanja daerah(BD, Belanja Daerah); dan [2] rasio belanja daerah terhadap belanja total (RB,rasio belanja). Ukuran pertama memotret beban anggaran dari besaran absolut,sedangkan yang ke dua dari besaran relatif.24

Memang sejauh ini penerimaan dan belanja APBN memperlihatkan trendyang menaik. Namun demikian, beban pengalokasian dana ke daerah jelas tetapbesar tatkala diingat bahwa selalu ada potensi penurunan di dua sisi APBN:penerimaan dan belanja. Akibatnya, bukan hanya tambahan aliran dana kedaerah berpotensi menurun. Lebih daripada itu, total aliran dana ke daerahjuga potensial menyusut jika terjadi shock serius dalam APBN. Walhasil, resikofiskal selalu tetap ada.

Gambar 1.3 memberi potret tegas tentang konsekuensi anggaran yang ditim-bulkan akibat pemekaran. Pada Panel 1.3a pergerakan ke arah kanan jum-

24Beban ini belum termasuk pembiayaan instansi Pusat di daerah. Hal ini sejalan dengan UUdesentralisasi yang memerintahkan beberapa urusan tetap di bawah kendali Pusat.

Page 35: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

17

lah kabupaten-kota di sumbu horisontal diikuti oleh pergerakan ke atas bebananggaran di sumbu vertikal. Jelas terpampang, aliran dana APBN ke APBD, baiksecara absolut maupun relatif, sangat sensitif terhadap banyaknya kabupaten-kota yang harus mendapat injeksi dana dari pemerintah pusat. Ini artinya, sam-pai batas tertentu, makin banyak jumlah yurisdiksi yang terbentuk, makin besarpula belanja daerah yang harus dialokasikan, utamanya apabila constraint darisisi penerimaan APBN tidak diperhitungkan.25

Panel 1.3b memberi konfirmasi dari sudut lain mengenai potret itu. Benarbahwa transfer Pusat ke Daerah meningkat setiap tahun. Akan tetapi, jelas pulaterlihat bahwa dari waktu ke waktu kemampuan pemerintah untuk menambahjumlah transfer itu terus menurun. Garis merah menunjukkan bahwa ekspan-si belanja daerah yang dapat diambil dari penerimaan APBN hanya terjadidalam paruh pertama dasa warsa 1999-2008, manakala jumlah kabupaten-kotamasih 440 dan provinsi masih 30. Lepas masa itu dengan sempat diselingi olehdua tahun penurunan tajam (2003-2005) kemampuan pemerintah pusat untukmeningkatkan porsi belanja daerah melalui penerimaan APBN tahunan berku-rang. Bahkan, andaipun penurunan tajam itu tidak terjadi, data menunjukkanbahwa kecenderungan marginal diminishing tetap tak terhindarkan. Dalam duatahun terakhir, garis kecenderungan itu mendatar lalu menekuk turun.

Pola tambahan belanja daerah yang semakin menurun ini juga terjadi padaalokasi dana belanja daerah per yurisdiksi dari tahun ke tahun, sebagaimana di-pantulkan oleh garis biru. Ada pola marginal diminishing dalam belanja daerahper yurisdiksi. Belanja daerah per yurisdiksi menaik perlahan sejak 2001, tibadi masa puncak 2006, lalu melambat. Lagi pula, mengingat setiap tahun jumlahyurisdiksi, khususnya kabupaten-kota, cenderung meningkat akibat pemekaran,kemampuan pemerintah secara potensial akan mencapai titik limitasinya. Inimakin tegas terlihat manakala ada pagu tertentu untuk belanja daerah yang dipa-tok berdasarkan besar penerimaan dalam negeri atau berdasarkan rujukan lain.26

Dibaca dengan cara berbeda, di satu pihak tambahan dana per tahun yang dite-rima oleh setiap pemerintah daerah akan menurun sejalan dengan membesarnyajumlah yurisdiksi penerima. Di lain pihak, kebutuhan dana setiap pemerintahdaerah dari waktu ke waktu justru memiliki kecenderungan yang meningkat.Dengan kata lain, akan ada trade-off antara dana yang diterima oleh setiap yuris-diksi di satu sisi dengan pertumbuhan jumlah yurisdiksi di lain sisi. Terobosanuntuk melawan kecenderungan ini hanya dapat dilakukan jika terjadi pertum-buhan belanja daerah agresif yang bersumber dari ekspansi penerimaan dalamnegeri; atau bila dilakukan pengendalian atas pertumbuhan DOB.

25Data berdasarkan harga berlaku, sehingga belum ada koreksi inflasi.26Undang-undang 33, 2004.

Page 36: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

18

(a) Sumbu vertikal kiri: belanja daerah (BD, trilyun ripuah). Sumbu vertikal kanan: rasiobelanja daerah (RB) terhadap total belanja APBN. Sumbu horisontal: jumlah yurisdiksi(provinsi, kabupaten, dan kota (PKK). Garis merah: garis estimasi hubungan antarabelanja daerah dan jumlah yurisdiksi untuk data plot biru. Garis biru: garis estimasihubungan antara rasio belanja daerah terhadap total belanja APBN dan jumlah yurisdiksiuntuk data plot merah. Garis merah: Ln BD = -29,56 + 5,62 Ln PKK; R2=0,88. Garisbiru: Ln RB = -15,44 + 2,31 Ln PKK; R2=0,74

(b) Sumbu vertikal kiri: rasio belanja daerah terhadap total penerimaan APBN (RB).Sumbu vertikal kanan: belanja daerah per yurisdiksi (BDY , trilyun rupiah). Sumbuhorisontal: tahun. Garis biru: garis pemeta hubungan RB dan tahun. Garis merah: garispemeta hubungan BDY dan tahun

GAMBAR 1.3. Implikasi Fiskal Pemekaran Daerah

Page 37: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

19

Penundaan Kebijakan

Dalam keadaan lain, utamanya di yurisdiksi-yurisdiksi hasil pemekaran, alirandana Pusat ke Daerah ini tidak serta merta dapat diubah-ujudkan menjadi ke-bijakan pembangunan yang mempunyai efek kesejahteraan yang langsung dansegera pada masyarakat.27 Issu ini sekarang menjadi keprihatinan publik. Ditahun-tahun awal pemekaran, sebuah yurisdiksi mau tak mau harus lebih du-lu mengambil fokus pada issu-issu administrasi-birokrasi. Penyiapan institusi-institusi eksekutif dan legislatif di tingkat lokal, recruitment and staffing, pem-bangunan infrastuktur pemerintahan, serta issu-issu lain yang berkenaan denganpenggelindingan roda pemerintahan adalah rangkaian prioritas yang harus diam-bil di muka. Sudah barang tentu prioritas ini akan melekat kuat dengan prioritasalokasi sumber daya yang akan digunakan untuk itu semua. Ini berarti adapergeseran pembiayaan untuk mengikuti ‘urutan prioritas’ yang tertuang dalamnorma kegiatan dan pembiayaan. Keadaan ini memperlihatkan bahwa start-upcosts yang diperlukan di daerah bentukan baru dengan infrastruktur eksekutifdan legislatif yang juga baru cenderung lebih besar daripada di daerah bukanbentukan baru.

Yang terjadi kemudian adalah sebuah policy delay. Kebijakan-kebijakanyang lebih substansial ke arah kesejahteraan masyarakat harus ditunda karenaprioritas kebijakan terletak pada pembangunan perangkat lunak dan keras untukpenyelenggaraan pemerintahan. Tatkala kebijakan-kebijakan substansial ini ter-tunda, tertunda pula pencapaian kesejahteraan masyarakat. Jadi, ada senjangwaktu yang cukup berarti antara kebijakan yang bersifat administratif dengan ke-bijakan yang lebih substansial. Percepatan pembangunan yang ada dalam asumsijustru menjadi penundaan pembangunan dalam realisasi. Policy delay ini mem-buat pemekaran terasa mahal mengingat (lebih) panjangnya rute pembangunanyang harus ditempuh. Policy delay ini pula menjadikan otoritas lokal tertinggaldi belakang issu-issu pembangunan.

Sebagai ringkasan, paling sedikit ada tiga konsekuensi yang ditimbulkanoleh policy delay. Kesatu, yang paling mencolok, adalah masyarakat kehilangankesempatan untuk mencapai kesejahteraan dalam tempo yang (seharusnya) lebihcepat. Kedua, pembuat kebijakan kehilangan timing untuk merespon issu-issudalam masyarakat, apalagi jika terjadi perubahan sosial dan ekonomi yang cepat.Ketiga, seluruh aktor pembangunan kehilangan sumber daya karena adanya (mis)-alokasi yang bersifat prioritas: mengedepankan pembangunan infrastruktur biro-krasi pemerintahan, mengebelakangkan pembangunan masyarakat.

27Bersamaan dengan itu, sepanjang 2007-2008 media secara intensif melaporkan bahwabanyak Daerah tidak membelanjakan dana-dana ini, tetapi justru menyimpannya dalam SerifikatBank Indonesia. Ini menegaskan bahwa transfer Pusat tidak otomatis menginjeksi perekonomianlokal atau diterjemahkan menjadi kegiatan yang menghela pergerakan ekonomi lokal.

Page 38: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

20

Capaian Daerah

Efektivitas Pemekaran

Kecenderungan tinggi pembentukan yurisdiksi baru tidak serta merta diikuti olehkinerja yurisdiksi itu dalam peningkatan pelayanan dan pencapaian kesejahteraanrakyat sebagai ide-ide pokok yang mendasari pembentukan yurisdiksi. Bahkan,sejumlah studi cenderung melaporkan hasil negatif pemekaran: biaya pemekaranterhitung mahal, sedangkan manfaatnya relatif terbatas (DSF, 2007),28 kiner-ja yurisdiksi bentukan baru di beberapa sektor yang terkait langsung denganmasyarakat tidak selalu lebih baik daripada kinerja sektoral daerah lain (BAP-PENAS dan UNDP, 2007; Qibthiyyah, 2008), sebagaimana juga ditemukan dalamkinerja aparatur (BAPPENAS, 2004).29

Mengamati empat sektor pembangunan —kesejahteraan umum, pendidikan,kesehatan, dan infrastruktur— keraguan akan efektivitas pemekaran ini menda-pat konfirmasi empiris dalam laporan ini. Pendekatan quasi experimental dancounter factual analysis yang dikembangkan dalam studi ini menemukan bah-wa pembentukan yurisdiksi baru bukan merupakan jalan efektif ke arah pen-capaian kesejahteraan rakyat. Seluruh indikator yang dievaluasi dan disimulasi— Indeks Pembangunan Manusia (IPM), lama sekolah dan partisipasi sekolah,vaksinasi bayi dan persalinan medis, serta pembangunan jalan distrik— tidakmendukung argumentasi mengenai manfaat pemekaran. Mutu pembangunanmanusia tidak terangkat, sementara anak-anak juga tidak lebih banyak dikirimke sekolah-sekolah. Bayi-balita pun lebih sedikit yang mendapatkan vaksinasi.Tidak kalah pentingnya, pembangunan infrastruktur daerah juga tidak menam-pakkan kemajuan yang berarti.

Gambaran ini memancing pertanyaan yang sangat mendasar tentang efek-tivitas pemekaran terhadap kesejahteraan rakyat umumnya, bahkan juga ten-tang ke arah mana gerakan desentralisasi akan menuju. Berdasarkan perspek-tif itu tidaklah mengherankan apabila, dari sisi capaian pembangunan, secaraumum, yurisdiksi bentukan baru tidak mampu menampilkan kinerja yang lebihbaik daripada yurisdiksi induk maupun yurisdiksi lain yang tidak mengambilopsi pemekaran. Di bagian berikut laporan ini ditunjukkan bahwa opsi pe-mekaran bukanlah tindakan efektif untuk mencapai kesejahteraan. Dalam em-pat sektor yang dianalisis —kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan

28‘Biaya’ di sini didefinisikan sebagai penurunan dalam belanja pembangunan akibat pe-mekaran. Sementara itu, ‘manfaat’ dinyatakan sebagai perbandingan produktivitas belanjapembangunan DOB dan daerah induk dengan daerah lain yang tidak mengalami perubahanyurisdiksional. Lihat, DSF (2007), Costs and Benefits of New Region Creation in Indonesia.Final Report, 2 November 2007.

29Dalam keadaan yang lain, menarik untuk diperiksa apakah fenomena flypaper effect terja-di dalam relasi fiskal Pusat-Daerah melalui dana transfer Pusat, utamanya apabila dikaitkandengan kinerja perekonomian masyarakat di daerah yang menerima dana transfer itu.

Page 39: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

21

infrastruktur— tanda-tanda bahwa opsi pemekaran jauh dari tujuannya diper-lihatkan. Skenario counter factual juga menunjukkan bahwa tindakan tidakmemekarkan yurisdiksi, tapi langsung menjawab persoalan-persoalan riil masyara-kat, terhitung lebih efektif.

Argumen umum untuk menjelaskan keadaan ini biasanya menyatakan bah-wa, untuk menampakkan kinerjanya, pemerintahan hasil pemekaran membu-tuhkan waktu dan kesempatan untuk menggerakkan seluruh potensi yang ada.Argumen ini sahih dari sudut pandang pembangunan administrasi-birokrasi, kare-na memang diperlukan akumulasi pengetahuan dan pengalaman bagi birokrasiuntuk membentuk learning curve-nya sendiri. Namun demikian, dari sudut ca-paian pembangunan —capaian yang ditunggu oleh rakyat banyak— argumentasiitu jelas dapat diperdebatkan,30 mengingat banyak soal-soal genting dan akutdi masyarakat yang membutuhkan respons cepat. Sebagaimana disebut, policydelay yang terjadi akibat pemekaran memiliki resiko serius pada kesejahteraanrakyat.

Penentu Capaian

Laporan ini menemukan bahwa issu-issu dasar pembangunan daerah —kemiskinandan ketertinggalan— menjadi variabel penjelas penting atas capaian daerah. Se-mentara itu, simulasi yang dikembangkan dalam laporan ini menunjukkan bah-wa kebijakan untuk menangani masalah-masalah dasar seperti ini justru jauhlebih efektif jika dijalankan tanpa melalui skenario pemekaran. Oleh karenanya,tindakan-tindakan yang langsung menjawab persoalan-persoalan semacam ini di-rasakan sebagai sebuah kebutuhan.

Saat ini kebijakan desentralisasi sebagai koreksi atas kebijakan sentralisasimasa lalu tampaknya perlu dikembalikan kepada tujuan esensialnya, yakni pen-capaian kesejahteraan rakyat. Ini dimaksudkan agar kebijakan desentralisasitidak melulu didominasi oleh issu-issu pembentukan daerah otonomi baru. Im-plikasinya ialah suatu wacana alternatif untuk pencapaian kesejahteraan rakyatpenting untuk digaungkan, yang tidak semata-mata ditempuh melalui jalan pem-bentukan daerah otonomi baru. Wacana ini adalah upaya untuk memetakankembali persoalan-persoalan pembangunan daerah dan cara-cara penyelesaian-nya —suatu upaya reinventing regional development (Kant et al, 2004) yang

30Lagi pula, empirik memperlihatkan, tidak ada hubungan yang tegas antara ‘pengalamansuatu yurisdiksi’ (berapa lama suatu yurisdiksi telah dibangun) dengan capaian sosial-ekonomiyang mampu ditunjukkannya. Korelasi antara IPM, partisipasi sekolah, vaksinasi bayi, danpanjang jalan di satu sisi dengan tahun pembentukan yurisdiksi di lain sisi sebagai proksi pe-ngalaman pemerintahan, misalnya, terhitung rendah. Untuk kabupaten-kota DOB, koefisienkorelasi bergerak antara −0, 05 sampai −0, 26, sedangkan untuk non-DOB antara −0, 03 hingga−0, 11. Sementara itu, untuk keseluruhan yurisdiksi kabupaten-kota koefisien itu berada diantara −0, 14 hingga −0, 20.

Page 40: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

22

mencakup dimensi-dimensi pembangunan manusia dan pembangunan wilayah didaerah, serta perbaikan ketimpangan antardaerah. Reinventing regional deve-lopment dalam laporan ini dijadikan wacana alternatif atas pemekaran karenasifatnya yang lebih luas daripada sekedar issu politik-administrasi yurisdiksi seba-gaimana halnya pemekaran. Inisiatif-inisiatif perlu digulirkan untuk membangunwacana ini tanpa perlu dilimitasi oleh issu politik-administrasi pemerintahan se-mata.

Laporan ini akan bermuara pada penggelindingan wacana ini. Di dalam babawal dan bab antara pada laporan ini, sejumlah issu terkait akan didiskusikan du-lu sebelum ia sampai pada diskusi mengenai pilihan-pilihan kebijakan untuk pen-capaian kesejahteraan rakyat selain melalui jalan pemekaran. Issu-issu itu berta-lian potret empiris pemekaran yang ditilik dari perspektif kesejahteraan rakyat.Perspektif kesejahteraan rakyat ini dipakai sebab ia selalu ditetapkan sebagai tu-juan yang hendak dicapai oleh pembentukan yurisdiksi baru. Berdasarkan per-spektif ini pula wacana ‘temu-ulang pembangunan daerah’ digelindingkan sebagaiwacana alternatif.

Pemekaran kini berada di persimpangan jalan. Laporan ini sama sekalitidak menafikkan kenyataan bahwa, dalam jumlah terbatas, ada kasus-kasus pe-mekaran yang mendulang sukses. Pada saat yang bersamaan, studi ini jugamencatat arus besar hasrat untuk melakukan pemekaran masih terus mengalir.Tetapi, efek kesejahteraan yang ditimbulkan oleh pemekaran juga masih sangatlaik dipertanyakan. Di persimpangan ini pilihan ditentukan.

Page 41: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Bab 2

Membandingkan Capaian Daerah

Apakah pemekaran sudah mencapai tujuannya, membawa masyarakat ke tingkatkesejahteraan yang lebih tinggi? Kini, setelah satu dasa warsa desentralisasibergulir, pertanyaan sejenis ini laik diajukan. Ia bukan hanya penting untukdijadikan pijakan ketika Indonesia menoleh balik ke belakang, mengevaluasi apayang telah terjadi; tetapi juga manakala Republik ini harus menatap ke mukasejalan dengan gerakan pengusulan pemekaran yurisdiksi yang belum berhentimenggelinding. Pertanyaan semacam ini menguak esensi pemekaran yang palingdalam: kesejahteraan rakyat.

Pemilihan Indikator

Bab ini meninjau capaian pembangunan sosial dan ekonomi yang langsung di-rasakan oleh masyarakat di daerah pemekaran dan bukan pemekaran. Pemba-ngunan sektor sosial sendiri tidaklah terisolasi. Ia (seharusnya) merupakan buahpembangunan ekonomi. Kemajuan sektor ekonomi menjadi kurang bermaknatanpa perbaikan sektor sosial. Upaya pembangunan ekonomi yang tidak mem-beri dampak positif pada sektor sosial dapat dikatakan sebagai upaya yang “tidakberbuah”. Peningkatan pendapatan per kapita, misalnya, tidak memberi banyakarti jika tidak terjadi perbaikan dalam pendidikan dan kesehatan masyarakat.Sebaliknya, perbaikan pendidikan dan kesehatan menjadi fondasi penting bagipeningkatan produktivitas dan efisiensi. Tidaklah mengherankan, sebagaimanadinyatakan Hill (1996), jika sektor sosial bisa dijadikan sebagai the most tangibleyardstick —tongkat pengukur paling kentara— bagi pembangunan ekonomi.

Dengan spirit yang sama, pemekaran juga seharusnya berbuah kesejahte-raan rakyat. Sukses atau tidaknya pemekaran —bahkan gagasan pemekaran itusendiri— justru harus ditilik dari cara pandang ini. Lebih luas lagi, Indonesiaharus dipandang dari kacamata kesejahteraan rakyat. Berbasis pada pertimbang-an itu, bab ini akan terkonsentrasi pada variabel-variabel yang mengarah lang-

23

Page 42: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

24

sung pada kesejahteraan rakyat. Di bab ini pula dilaporkan perbedaan capaianantara DOB sebagai kelompok perlakuan dan non-DOB sebagai kelompok kon-trol. Diskusi rinci tentang metodologi dalam bab ini disajikan dalam LampiranTeknis.

Capaian-capaian pembangunan kabupaten-kota yang didiskusikan dalambab ini yang merujuk pada outcomes di empat sektor, yaitu kesejahteraan umum,pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ini untuk menggambarkan capaianyang lebih komprehensif karena mencakup capaian-capaian ekonomi dan sosialsekaligus. Selain dirujuk untuk mendapatkan makna substantifnya, pilihan atasindikator-indikator ini dibatasi juga oleh ketersediaan data yang dapat meliput440 kabupaten-kota amatan. Secara khusus beberapa indikator kunci didiskusikanuntuk menggambarkan capaian di empat sektor itu.

• Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini untuk menggam-barkan capaian di sektor kesejahteraan masyarakat secara agregat, karenaindeks ini menangkap perkembangan di sektor ekonomi dan sektor sosialsekaligus.

• Partisipasi Sekolah Siswa. Berbeda dengan observasi atas IPM yangtidak terbatas pada suatu cohort demografi tertentu, partisipasi sekolahmerujuk pada cohort demografi yang spesifik.

• Vaksinasi Bayi. Representasi sektor kesehatan ini memotret cohort de-mografi yang lebih spesifik lagi. Dua indikator di sektor pendidikan dan ke-sehatan ini dapat menggambarkan ‘mutu manusia’ dalam cohort demografiyang ditelaah, sehingga penilaian atas capaian Daerah menangkap lebihlengkap cohort demografi yang ada.

• Panjang Jalan. Capaian pembangunan panjang jalan untuk merepresen-tasi sektor infrastruktur juga didiskusikan dalam bab ini. Sebagaimanaluas diketahui, jalan raya adalah urat nadi arus barang dan jasa untukpergerakan ekonomi suatu wilayah.

Selain indikator-indikator itu, padanan indikator sektor pendidikan dan ke-sehatan juga dilengkapi dengan indikator lama sekolah (schooling year) dan per-salinan dengan bantuan tenaga paramedik. Hingga derajat tertentu, indikator-indikator itu bisa menjelaskan apa yang terjadi dalam infrastruktur dan kelemba-gaan di sektor pendidikan dan kesehatan. Selain itu, untuk mendapatkan gam-baran capaian Daerah dalam sektor ekonomi dan sosial, indikator-indikator lainyang relevan —kendati tidak didiskusikan secara khusus di bab ini— disajikandalam Lampiran A.

Page 43: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

25

Kesejahteraan Umum:Indeks Pembangunan Manusia

Bagaimana mengukur tingkat kesejahteraan umum mengingat ini adalah termdengan cakupan yang luas? Di antara pelbagai indikator yang ada, Indeks Pem-bangunan Manusia (IPM) paling tepat dipakai untuk mengukur profil kesejahte-raan umum. Di dalam indeks ini, kesejahteraan tidak hanya ditilik melalui per-spektif ekonomi semata sebagaimana lazim terekam dalam Produk Domestik Re-gional Bruto (PDRB) per kapita, tetapi juga diteropong via capaian di sektorsosial, yakni pendidikan dan kesehatan. Dalam hal yang terakhir, Tingkat MelekHuruf (TMH) dan Tingkat Harapan Hidup (THH) adalah dua indikator yanglazim termaktub dalam konstruksi IPM.

Tabel 2.1 melaporkan perbedaan capaian IPM antara daerah perlakuandengan daerah kontrol. Untuk keseluruhan Indonesia, melalui pasangan amatanyang sepadan (macthed pair), dapat dinyatakan bahwa capaian daerah perlakuandalam IPM lebih buruk daripada capaian IPM oleh daerah kontrol, sebagaimanadicirikan oleh tanda negatif ATET (Average Treatement Effect for the Treated).31

Ketiga teknik yang dipakai —stratification, nearest neighbor, dan kernel match-ing— memberikan hasil yang secara kualitatif senada, bahkan dua di antaranyamelaporkan gambaran kuantitatif yang sangat dekat. Dengan standard erroryang relatif kecil —kurang-lebih separuh dari nilai ATET— perbedaan capaianIPM antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik terhitungsignifikan.

Fakta ini menjelaskan bahwa, kecuali Jawa-Bali dan Sulawesi, yurisdik-si yang tidak mengambil opsi pemekaran menunjukkan kinerja yang lebih baikdibandingkan yurisdiksi counterpart-nya. Ketiga teknik yang dipakai memberikangambaran yang secara umum konsisten dalam urutan perbedaan capaian. Perbe-daan capaian yang terbesar terjadi di Papua, di mana yurisdiksi DOB jauhtertinggal di belakang yurisdiksi bukan-DOB, lalu disusul Sumatera dan Kali-mantan. Di Maluku dan Nusa Tenggara, meski tak terlalu besar, yurisidiksinon-pemekaran masih lebih baik daripada yurisdiksi hasil pemekaran.

Gambaran IPM yang lebih buruk di kelompok DOB juga didukung olehkomponen-komponen penyusunnya, walaupun secara statistik tidak selalu sig-nifikan. Masyarakat yang tinggal di DOB umumnya memiliki usia harapan hidupyang lebih pendek. Dibandingkan dengan di daerah lain, di yurisdiksi DOB lebihsedikit orang yang mampu “membaca, menulis, dan mengerti kalimat sederhana”.Pada saat yang sama, pendapatan per kapita (non-migas) di wilayah pemekaranjuga terhitung lebih kecil. Ringkas kata, jika IPM boleh dibaca sebagai potret

31Nilai ATET adalah nilai perbedaan capaian indikator sosial-ekonomi antara kelompok per-lakuan dan kelompok kontrol sebagai suatu matched pair. Tanda negatif menunjukkan capaiandi kelompok perlakuan lebih rendah daripada capaian di kelompok kontrol.

Page 44: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

26

tentang mutu pembangunan manusia, yurisdiksi hasil pemekaran belum mampumenunjukkan kemampuan untuk membangun mutu kehidupan masyarakatnya.

Pendidikan:Lama Sekolah dan Partisipasi Sekolah

Untuk menjadikan masyarakat lebih terdidik, jelas dibutuhkan partisipasi pen-didikan yang lebih baik. Ini tentu dimulai dengan mengirim anak-anak lebihbanyak ke sekolah. Harus lebih banyak siswa berada di kelas tatkala lonceng seko-lah berbunyi. Harus lebih banyak anak usia sekolah berpartisipasi di jenjangnyamasing-masing. Pendidikan juga menentukan mutu pembangunan manusia.

Di sektor pendidikan dua indikator dipakai sebagai variabel evaluasi: lamasekolah (schooling year) dan partisipasi sekolah. Lama sekolah menjelaskan be-rapa lama suatu komunitas mengecap pendidikan di dalam lembaga-lembagapendidikan formal. Mengingat “lama pendidikan” hingga derajat tertentu jugamemantulkan makna sebagai “tingkat pendidikan”, lama sekolah juga bisa mem-berikan gambaran kasar tentang “seberapa tinggi” suatu komunitas dapat dididikoleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sementara itu, partisipasi sekolahmengacu pada berapa banyak anak usia sekolah terserap dalam sistem pendidikanmenurut jenjangnya masing-masing. Di Lampiran A juga disajikan disagregasipartisipasi sekolah menurut jenjang pendidikan. Selain itu, ditampilkan pulatingkat kompetensi siswa sebagai variabel yang menangkap kemampuan siswasekolah dari pelbagai jenis dan tingkat untuk melampaui ujian tingkat nasionaldan tingkat sekolah.

Tabel 2.2 merekam potret kinerja dunia pendidikan yang lebih buram didaerah pemekaran dibandingkan dengan daerah pembandingnya. Pertama, un-tuk keseluruhan Indonesia, penduduk di daerah pemekaran mengenyam masapendidikan 4,5-6 bulan lebih pendek daripada penduduk di daerah pembanding.Secara substansial perbedaan ini boleh jadi tidak bermakna, tetapi pengujiansecara statistik melaporkan bahwa perbedaan ini signifikan. Artinya, temuanini bersifat sistematik, bukan “kebetulan” semata. Dalam ekspresi lain, peluanguntuk menemukan kinerja DOB yang seperti ini lebih tinggi daripada sebaliknya.

Kedua, lebih sedikit anak pergi ke sekolah di yurisdiksi perlakuan daripadayurisdiksi kontrol. Pada tingkat sekolah dasar perbedaan partisipasi sekolah an-tara yurisdiksi perlakuan dan kontrol ini masih relatif kecil, antara 1-3 persen.Tetapi pada tingkat SLTP, selisih itu melebar dua kali, hingga 3-5 persen. Se-makin tinggi lagi jenjang pendidikan, senjang partisipasi sekolah itu semakinmenganga. Partisipasi sekolah pada jenjang SLTA untuk yurisdiksi perlakuanlebih rendah 10-17 persen dibandingkan dengan yurisdiksi kontrol. Mengingat

Page 45: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

27

piramida penduduk kabupaten-kota Indonesia membengkak di bagian tengah-bawah, angka 10-17 persen ini merupakan issu yang sangat serius.

Kisah ketertinggalan berulang kembali pada kompetensi siswa. LampiranA menunjukkan prestasi siswa-siswa di daerah pemekaran tampaknya tertinggal.Nilai ujian nasional dan ujian sekolah di setiap jenjang selalu lebih rendah di dae-rah pemekaran daripada nilai-nilai ujian siswa di daerah non-pemekaran. Serupapula seperti dalam tingkat partisipasi sekolah, perbedaan kompetensi siswa inimenajam sejalan dengan menaiknya tingkat pendidikan. Keadaan ini masih di-tambah lagi dengan fakta bahwa nilai terburuk untuk semua jenjang ujian justruditemui di daerah pemekaran, tetapi nilai tertinggi ditemui di daerah bukan-pemekaran —kecuali pada nilai ujian tertinggi SD. Siswa-siswa di wilayah per-lakuan masih harus belajar lebih keras untuk mengejar prestasi teman-temannyadi wilayah kontrol.

Singkat cerita, untuk keseluruhan Indonesia, wajah sektor pendidikan didaerah pemekaran masih kurang rupawan dibandingkan wajah sektor pendidikandi daerah non-pemekaran. Dalam kalimat lain, agak disayangkan, pilihan pe-mekaran bukan pilihan yang berdayaguna bagi dunia pendidikan. Namun demi-kian, mengingat di beberapa daerah pemekaran kemajuan itu tetap terjadi, se-bagaimana ditunjukkan juga oleh Tabel itu, tampaknya perlu dicari cara agarterjadi policy mimicking dari daerah pemekaran yang lebih maju oleh daerahhasil pemekaran lain yang masih tertinggal.

Kesehatan:Vaksinasi dan Persalinan

Sektor kesehatan jelas merupakan sektor penting dalam pembangunan. Perha-tian pada cohort demografi yang lebih khusus di sektor kesehatan, yakni balita,juga tak kalah pentingnya, karena dalam jangka panjang cohort demografi iniakan menjadi generasi baru yang amat menentukan. Pada saat yang sama, ibu-ibu yang melahirkan generasi baru ini juga tidak mungkin dapat disisihkan dariperhatian, apalagi ibu-ibu yang menghadapi masa persalinan. Saat-saat persalin-an adalah masa-masa yang amat menentukan bagi ibu-ibu dan bayi-bayi mere-ka. Oleh karenanya, dukungan-dukungan medis pada saat persalinan merupakantindakan-tindakan yang juga perlu mendapat perhatian.

Daerah Otonomi Baru kembali gagal menunjukkan capaiannya di sektorkesehatan. Daya jangkau vaksinasi bayi daerah ini masih lebih kecil daripadadaya jangkau daerah bukan-pemekaran. Kendati dalam jumlah terbatas beberapayurisdiksi mampu menampilkan citra mengesankan, daerah pemekaran secarakeseluruhan tertinggal 3-4 persen di belakang daerah non-pemekaran.

Page 46: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

28

Maluku dan Papua perlu mendapat perhatian khusus yang amat serius un-tuk capaian vaksinasi bayi. Di timur kaki langit Indonesia ini, daerah pemekarantertinggal amat jauh. Dampak atas pilihan pemekaran sama sekali tidak terasabagi bayi-bayi untuk mendapatkan vaksinasi. Bayi-bayi di wilayah pemekarantidak lebih banyak mendapatkan vaksinasi dibandingkan dengan bayi-bayi yangdilahirkan di wilayah bukan-pemekaran.

Di Maluku, jangkauan vaksinasi yurisdiksi pemekaran tertinggal 10-12 per-sen. Di kabupaten-kota pemekaran Papua, bayi-bayi masih harus menangis lebihnyaring, karena tenaga medis kalah sigap 11-15 persen dalam menjangkau bayi-bayi untuk divaksin. Tetapi yurisdiksi pemekaran di Sulawesi menampilkan citrayang sebaliknya. Di Sulawesi, jarum suntik vaksinasi daerah pemekaran lebihbanyak menjangkau bayi-bayi. Senafas dengan IPM dan indikator di sektor pen-didikan, daerah pemekaran di Sulawesi berada di depan daerah bukan pemekaran.

Dalam hal persalinan, jangkauan tenaga medis untuk menolong persalinandi daerah pemekaran lebih terbatas. Di sini persalinan dengan bantuan tenagamedis terhitung 8-9 persen lebih rendah dibandingkan persalinan di yurisdiksikontrol. Gambaran ini tampaknya konsisten dari nusa ke nusa. Sejauh timurdari barat Indonesia, sejauh itu pula ketertinggalan yurisdiksi pemekaran dalammenolong ibu-ibu menghadapi detik-detik kehidupan yang menentukan: persalin-an.

Yurisdiksi pemekaran di Sulawesi yang dalam indikator-indikator sebelum-nya tampil meyakinkan, kali ini harus terpuruk jatuh. Sumatera dan Kaliman-tan setali tiga uang. Yurisdiksi pemekaran di sana tertinggal 10 persen di be-lakang yurisdiksi bukan-pemekaran dalam menolong ibu-ibu membawa jiwa baruke dunia. Di Jawa kejutan juga terjadi. Daerah pemekaran di Jawa rupanyamasih membiarkan ibu-ibu berjuang sendiri dalam melahirkan bayi. Sementaraitu, Papua kembali gagal membawa berita baik, karena pemekaran tidak meng-hasilkan dampak yang positif. Wilayah pemekaran di sana hanya mampu meno-long 24-30 persen lebih rendah ibu-ibu untuk bersalin dibandingkan yurisdiksicounterpart-nya.

Keadaan di atas belum merupakan potret keseluruhan, sebab ia masihharus dilengkapi pula dengan kondisi sanitasi yang lebih buruk di DOB. Pen-duduk di kelompok perlakuan tidak mampu melampaui penduduk di kelompokkontrol dalam pemilikan jamban sendiri. Selisih keduanya antara 2,5 hingga 6,5persen dari populasi. Pemilikan jamban sendiri terasa bukan issu serius bagisejumlah lapisan masyarakat. Tapi temuan ini seperti mencengangkan, kare-na banyak penduduk daerah pemekaran yang gagal memenuhi kebutuhan ini.Keadaan ini tentu makin serius ketika pemilikan jamban sendiri dibidik dalamperspektif mutu sanitasi. Mutu sanitasi, hingga derajat tertentu, menentukanmutu pembangunan manusia.

Page 47: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

29

Akses pada air bersih juga tak berbeda, malah lebih buruk lagi. Persentasependuduk yang memiliki akses pada air bersih di yurisdiksi DOB lebih rendah13-15 persen dibandingkan dengan porsi penduduk yang mampu mengakses airbersih di daerah kontrol (Lampiran A). Air bersih tampaknya belum bisa mengalirlancar ke huma-huma penduduk di daerah pemekaran. Bagi penduduk di sana,masih dibutuhkan upaya tak ringan untuk memperoleh air bagi kehidupan harian.Singkat kata, kesehatan dan sanitasi masih menjadi persoalan serius bagi wilayah-wilayah hasil pemekaran. Perlu kerja yang lebih keras lagi untuk membuktikanbahwa pemekaran adalah opsi yang bermanfaat bagi rakyat banyak, agar cita-citakesejahteraan menjadi nyata, bukan wacana semata.

Infrastruktur:Pembangunan Jalan

Jalan raya bukan hanya penting untuk menghubungkan satu lokus dengan lainlokus perekonomian. Lebih daripada itu, ia juga menghidupkan dan mengge-rakkan pelbagai aktivitas tautannya. Pembangunan jalan yang membuka keter-kuncian dan keterkulican wilayah memiliki sumbangan berarti pada penyempitandisparitas harga antar-wilayah. Telah menjadi fakta bahwa tingkat harga berbedadari satu titik ke titik geografi lain. Perbedaan ini semakin tajam mencoloktatkala ketika jalan menjadi bottleneck pergerakan barang dan jasa antar-wilayah.

Dalam hal kemampuan pembangunan jalan, baik dalam ukuran kilometerabsolut maupun dalam ukuran relatif terhadap luas wilayah, kelompok perlakuantidak mampu menandingi kelompok kontrol. Yurisdiksi di kelompok perlakuantertinggal antara 240-250 km dalam pembangunan jalan dibandingkan denganyurisdiksi di kelompok kontrol. Di semua kelompok pulau, tak satu pun yurisdiksipemekaran mampu membangun jalan yang lebih panjang.

Diukur secara relatif terhadap luas wilayah, kemampuan kabupaten-kotapemekaran untuk membangun jalan juga tak lebih baik. Hanya di Kaliman-tan dan Nusa Tenggara, relatif terhadap luas wilayahnya, yurisdiksi pemekaranmampu mengungguli yurisdiksi non-pemekaran. Dari Sumatera hingga Papua,bahkan juga di Jawa, tak ada jalan yang lebih panjang di kabupaten-kota pe-mekaran dibandingkan dengan kabupaten-kota bukan-pemekaran.

Situasi ini setali tiga uang dengan kemampuan distrik-distrik di wilayahpemekaran dalam menghasilkan energi listrik. Sekali lagi, DOB tidak mampumemperlihatkan kinerja yang lebih baik. Di wilayah perlakuan, produksi listrikterhitung jauh lebih rendah daripada produksi listrik di wilayah counterpart-nya. Perbedaan capaian ini bersifat sistematik sebagaimana ditunjukkan olehsignifikansi statistiknya.

Page 48: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

30

TA

BE

L2.

1.In

dek

sP

emb

angu

nan

Man

usi

a

Nea

rest

Ker

nel

Reg

ioP

erla

kuan

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

lakuan

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

lakuan

Kontr

ol

Matc

hin

g

Sum

ate

ra56

59

-2,4

43

56

27

-1,2

05

56

59

-2,3

46

Jaw

a-B

ali

628

1,3

07

66

1,7

50

628

1,1

48

Nusa

Ten

ggara

43

-0,7

75

52

-0,2

80

52

-0,9

27

Kalim

anta

n17

14

-2,2

05

22

7-1

,595

22

9-1

,761

Sula

wes

i15

37

1,2

43

22

10

0,7

77

22

30

0,7

01

Malu

ku

77

-1,5

14

11

3-1

,182

11

3-1

,024

Papua

16

10

-6,6

78

17

5-5

,353

17

9-5

,972

Indones

ia139

175

-1,5

37

139

65

-1,2

52

139

175

-1,5

61

(-2,4

66)

(-1,8

35)

(-2,8

54)

Ket

eran

gan

:A

ngka

dala

mku

run

gad

ala

ht-

stati

stik

per

bed

aan

anta

raca

paia

nD

OB

dan

Non

-DO

B.

Page 49: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

31

TA

BE

L2.

2.L

ama

Sek

olah

dan

Par

tisi

pas

iS

ekol

ah

Nea

rest

Ker

nel

Reg

ioP

erla

kuan

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

lakuan

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

lakuan

Kontr

ol

Matc

hin

g

•L

am

aSek

ola

h

Sum

ate

ra56

59

-0,8

77

56

27

-0,5

11

56

59

-0,8

30

Jaw

a-B

ali

628

0,8

13

66

0,9

67

628

0,7

69

Nusa

Ten

ggara

43

0,0

75

52

-0,0

20

52

0,1

22

Kalim

anta

n17

14

-0,4

53

22

7-0

,445

22

9-0

,491

Sula

wes

i15

37

0,5

17

22

10

0,3

59

22

30

0,3

15

Malu

ku

77

-0,4

86

11

3-0

,336

11

3-0

,301

Papua

16

10

-1,8

14

17

5-0

,959

17

9-1

,666

Indones

ia139

175

-0,5

30

139

65

-0,3

76

139

175

-0,4

95

(-2,3

52)

(-1,6

09)

(-2,6

22)

•P

art

isip

asi

Sek

ola

h

Sum

ate

ra56

59

-1,1

01

56

27

1,8

43

56

59

-0,6

44

Jaw

a-B

ali

628

-1,7

59

66

2,0

65

628

-1,7

88

Nusa

Ten

ggara

43

0,4

87

52

4,5

36

52

-0,5

73

Kalim

anta

n17

14

-0,5

56

22

7-0

,956

22

9-0

,900

Sula

wes

i15

37

1,5

80

22

10

5,9

50

22

30

4,1

93

Malu

ku

77

-11,7

63

11

3-1

0,1

72

11

3-1

0,8

5

Papua

16

10

-12,1

44

17

5-1

4,9

91

17

9-1

1,0

39

Indones

ia139

175

-3,2

59

139

65

-4,0

29

139

175

-2,8

94

(-2,3

19)

(-2,3

42)

(-2,0

58)

Ket

eran

gan

:A

ngka

dala

mku

run

gad

ala

ht-

stati

stik

per

bed

aan

anta

raca

paia

nD

OB

dan

Non

-DO

B.

Page 50: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

32

TA

BE

L2.

3.V

aksi

nas

id

anP

ersa

linan N

eare

stK

ernel

Reg

ioP

erla

kuan

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

lakuan

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

lakuan

Kontr

ol

Matc

hin

g

•V

aksi

nasi

Bay

i

Sum

ate

ra56

59

-1,1

01

56

27

1,8

43

56

59

-0,6

44

Jaw

a-B

ali

628

-1,7

59

66

2,0

65

628

-1,7

88

Nusa

Ten

ggara

43

0,4

87

52

4,5

36

52

-0,5

73

Kalim

anta

n17

14

-0,5

56

22

7-0

,956

22

9-0

,900

Sula

wes

i15

37

1,5

80

22

10

5,9

50

22

30

4,1

93

Malu

ku

77

-11,7

63

11

3-1

0,1

72

11

3-1

0,8

50

Papua

16

10

-12,1

44

17

5-1

4,9

91

17

9-1

1,0

39

Indones

ia139

175

-3,2

59

139

65

-4,0

29

139

175

-2,8

94

(-2,3

19)

(-2,3

42)

(-2,0

58)

•P

ersa

linan

Sum

ate

ra56

59

-10,2

48

56

27

-5,1

45

56

59

-9,2

73

Jaw

a-B

ali

628

-8,0

82

66

-0,3

40

628

-7,7

84

Nusa

Ten

ggara

43

-9,9

30

52

0,4

76

52

-9,5

98

Kalim

anta

n17

14

-9,8

69

22

7-4

,701

22

9-6

,501

Sula

wes

i15

37

-5,0

71

22

10

-11,2

73

22

30

-7,5

32

Malu

ku

77

-7,7

44

11

3-1

1,6

52

11

3-1

1,7

51

Papua

16

10

-23,6

91

17

3-2

7,8

70

17

9-2

9,5

04

Indones

ia139

175

-9,9

26

139

65

-7,8

25

139

175

-9,3

32

(-2,4

62)

(-2,2

32)

(-3,0

34)

Ket

eran

gan

:A

ngka

dala

mku

run

gad

ala

ht-

stati

stik

per

bed

aan

anta

raca

paia

nD

OB

dan

Non

-DO

B.

Page 51: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

33

TA

BE

L2.

4.P

emb

angu

nan

Jala

n

Nea

rest

Ker

nel

Reg

ioP

erla

kuan

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

lakuan

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

lakuan

Kontr

ol

Matc

hin

g

•Jala

nA

bso

lut

(km

)

Sum

ate

ra56

59

-237,4

71

56

24

-264,3

95

56

59

-217,6

6

Jaw

a-B

ali

628

-95,1

23

63

-169,0

32

628

-97,5

89

Nusa

Ten

ggara

43

-609,2

50

51

-609,2

50

52

-609,2

50

Kalim

anta

n17

14

-82,2

97

22

7-9

6,2

24

22

9-8

4,5

84

Sula

wes

i15

37

-209,3

63

22

8-3

42,0

43

22

30

-308,7

39

Malu

ku

77

-186,5

63

11

2-1

98,9

78

11

3-2

00,4

26

Papua

16

10

17

5-5

05,5

17

17

9-1

93,0

67

Indones

ia139

175

-249,9

68

139

65

-237,1

09

139

175

-255,0

74

(-2,9

75)

(-2,3

25)

(-2,8

73)

•Jala

nR

elati

f

Sum

ate

ra56

59

-1,1

40

56

24

-0,5

64

56

59

-1,1

41

Jaw

a-B

ali

628

-0,3

57

63

-1,0

50

628

-0,5

64

Nusa

Ten

ggara

43

0,0

80

51

0,0

80

52

0,0

80

Kalim

anta

n17

14

0,0

15

22

70,0

05

22

90,0

01

Sula

wes

i15

37

-0,4

42

22

8-0

,350

22

30

-0,5

61

Malu

ku

77

-0,0

32

11

2-0

,041

11

3-0

,045

Papua

17

5-0

,199

17

9-0

,118

Indones

ia139

175

-0,6

09

139

65

-0,3

28

139

175

-0,6

00

(-2,5

75)

(-1,5

42)

(-2,7

81)

•P

roduksi

Lis

trik

(mw

)

Indones

ia139

175

-8.6

5E

+07

139

40

-4.4

8E

+07

139

175

-6.7

8E

+07

(-2.0

99)

(-1.2

47)

(-2.5

01)

Ket

eran

gan

:A

ngka

dala

mku

run

gad

ala

ht-

stati

stik

per

bed

aan

anta

raca

paia

nD

OB

dan

Non

-DO

B.

Page 52: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

34

Analisis “Counter-Factual”

Sejauh ini telah dipaparkan bahwa pilihan administratif pemekaran bukanlahjalan efektif ke arah pencapaian kesejahteraan rakyat. Indikator-indikator sosial-ekonomi yang ada menyajikan cerita buram: yurisdiksi pemekaran belum mampumenampilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan kinerja counterpart-nya. Dari indikator-indikator yang dianalisis terlihat bahwa perbedaan capaianini bersifat sistematik. Ini berarti peluang untuk menyatakan fenomena ini “be-nar” secara empiris jauh lebih tinggi daripada peluang untuk menolaknya.

Pengertian

Bagian berikut ini melakukan counter-factual analysis atas perilaku itu. Secaraverbal pertanyaaan yang diajukan di sini adalah, given perilaku determinan yangmelekat padanya, apa yang akan terjadi jika yurisdiksi pemekaran tidak mengam-bil opsi pemekaran? Bagaimana dengan sebaliknya? Lebih spesifik lagi, berapabesar perbedaan yang terjadi? Diekspresikan dengan cara lain, apa yang terjadijika DOB berperilaku seperti non-DOB? Bagaimana sebaliknya? Bagaimana pulajika skenario kebijakan yang langsung menyentuh jantung persoalan pembangu-nan daerah, yakni antikemiskinan dan perbaikan mutu teknokrasi pembangunan,dijalankan di bawah setiap opsi administratif?

Counter-factual analysis ini dilakukan untuk mencapai dua tujuan. Per-tama, menyajikan ilustrasi mengenai hubungan antaropsi administatif dan an-tarskenario kebijakan. Kedua, memprakirakan dampak yang terjadi berkenaandengan skenario-skenario itu.32 Analisis ini merupakan sebuah eksperimen untukmenguji efektivitas suatu kebijakan dibandingkan dengan kebijakan lain sebagaialternatifnya dengan mempertimbangkan satu gugus determinannya.

Dalam konteks studi ini, counter-factual analysis dilakukan untuk mengujiefektivitas pilihan administratif pemekaran untuk dibandingkan dengan bukan-pemekaran. Di dalam dua pilihan administratif ini dijalankan beberapa skenariokebijakan yang lebih teknis lagi. Analisis berikut ini menampilkan hasil simu-lasi skenario-skenario itu. Pilihan atas jenis kebijakan apa yang disimulasi di-dasarkan pada tingkat signifikansi variabel-variabel, yaitu determinan capaiandaerah, yang ditelaah (Lihat Lampiran Teknis) —di antaranya adalah penu-runan kemiskinan, perbaikan mutu perencanaan pembangunan, dan perbaikanmutu teknokrasi fiskal.33

32Terkandung di dalamnya, analisis ini mengendalikan confounding factors yang mungkinmempengaruhi dampak atau capaian yang diukur.

33Untuk kepentingan ilustratif, besarnya shock dalam simulasi kebijakan diberikan secaraarbitrary, yakni 5 dan 10 persen berturut-turut untuk penurunan kemiskinan dan perbaikanteknokrasi fiskal (peningkatan rasio sumber pembiayaan anggaran (Daerah-Pusat)). Sementaraitu, skenario perbaikan perencanaan pembangunan dinyatakan sebagai situasi apabila memiliki

Page 53: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

35

Pemekaran Wilayah di Lampung Lebih Banyak Nilai Merahnya...

Tahun 1999, di Lampung terjadi pemekaran wilayah. Kabupaten Lampung Tengahdipecah menjadi Kota Metro, Kabupaten Lampung Timur, dan Kabupaten LampungTengah. Sementara Kabupaten Lampung Utara dipecah menjadi Kabupaten WayKanan, Tulang Bawang, Lampung Barat, dan Lampung Utara. Alasan utama pe-mekaran adalah menekan rentang kendali dan pelayanan yang terlampau jauh. “Saatitu alasan pemekaran sangat tepat,” demikian komentar Syafarudin, pengamat otono-mi daerah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Lampung,5 Februari lalu.

Selama 10 tahun pemekaran berjalan, Metro mampu mengembangkan diri menjadikota yang maju dari aspek pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, ke-sehatan, dan pendidikan. Khusus tentang infrastruktur, Metro mewarisi peninggalanBelanda yang infrastrukturnya relatif teratur dalam tata ruang ataupun tata kota.Selain itu, Pemerintah Kota Metro melangsungkan pembangunan dengan mengikutitata ruang yang direncanakan. Soal pembangunan infrastruktur, Kabupaten LampungBarat dan Kabupaten Lampung Utara pun tergolong baik, sedangkan Kabupaten Tu-lang Bawang memiliki pusat perekonomian.

Kabupaten Way Kanan kurang berkembang. Lokasinya dikelilingi perkebunan swasta,sementara pemerintah kabupaten tidak memiliki keberanian untuk mencari terobosan.Hal serupa dialami Kabupaten Lampung Tengah. Sebagai kabupaten induk, LampungTengah sampai sekarang belum bisa berkembang lantaran tidak dapat memfokuskanpembangunan sumber daya alam yang tersisa setelah pemekaran. Satu kabupatenlainnya, Lampung Timur, pembangunannya dinilai stagnan karena aparat pemerintahkurang jeli mengembangkan potensi wilayah. Pemerintah Kabupaten Lampung Timurhanya mengembangkan pertanian tanpa berpikir untuk mengembangkan industri pen-golahan.

Pemekaran wilayah di Lampung tidak seperti yang dicita-citakan, lebih banyak nilaimerahnya. Rakyat pada umumnya tidak mendapat kemudahan pelayanan di berba-gai bidang, di samping tak ada kemajuan pembangunan berarti. Pemerintah barumemiliki kualitas yang tidak bagus dan tidak bisa memfokuskan pembangunan yangpenting untuk memicu pertumbuhan ekonomi, seperti infrastruktur. Di samping itu,daerah pemekaran pada umumnya hanya menjadi obyek politis segelintir elite poli-tik. Dampaknya, aparat pemerintah diisi orang yang tidak tepat karena faktor kroni.“Faktor tersebut menjadikan pemanfaatan anggaran keuangan daerah atau APBDtidak seimbang. Sebesar 70 persen dari APBD lebih banyak dipakai untuk belanjaaparatur dan 30 persen untuk rakyat,” tambah Syafarudin.

Dicuplik dengan penyesuaian dariKompas, 11 Februari 2009 (hal. 24)

Page 54: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

36

Perbandingan

Kesejahteraan Umum: IPM. Tabel 2.5 memotret hasil yang diperoleh darianalisis counter-factual. Kolom pertama menjelaskan status yurisdiksi yang sebe-narnya (faktual), apakah ia DOB atau bukan. Kolom kedua menampilkan hasilestimasi capaian faktual yurisdiksi menurut statusnya. Kolom ketiga menun-jukkan estimasi capaian jika yurisdiksi mengambil opsi yang berlawanan denganopsi yang telah diambilnya. Kolom keempat menggambarkan besarnya gain ataupain jika yurisdiksi mengambil opsi yang berlawanan. Dua kolom terakhir meng-uji perbedaan itu secara statistik.

Tabel 2.5 melempar pesan substansial: Jauh lebih baik bagi yurisdik-si yang mengalami pemekaran (factual) apabila ia tidak mengambil opsi itu(counter-factual). Analisis counter-factual menunjukkan andai yurisdiksi itutidak memekarkan diri, ia justru mendapatkan gain yang secara statistik sa-ngat signifikan. Ini artinya opsi pemekaran bukanlah opsi yang wise dari segicapaian IPM. Pemekaran mengakibatkan yurisdiksi kehilangan dua poin IPM —sebuah kehilangan yang substansial tatkala diingat bahwa IPM adalah indikatorkomposit dari variabel-variabel ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.

TABEL 2.5. IPM: “Counter-factual Analysis”

Status Faktual Skenario Counter-Factual Perbedaan Signifikansi(N=384) Mekar −→ Tidak Mekar Capaian t-stat.• DOB 69,17 71,33 2,16 7,74 ***• Kemiskinan -5% 69,28 71,43• Perbaikan

Perencanaan 71,10 72,71

Tidak Mekar −→ Mekar• Bukan-DOB 69,70 69,85 0,15 0,46• Kemiskinan -5% 69,86 70,03• Perbaikan

Perencanaan 69,82 70,03

Lalu, apa yang akan terjadi jika yurisdiksi yang tidak memekarkan dirimengambil opsi pemekaran? Tabel 2.5 mempresentasikan lagi hasil simulasiskenario counter-factual -nya. Benar bahwa pemekaran akan menghasilkan pe-ningkatan IPM, yakni dari 69,7 ke 69,8, tapi gain itu sedikit saja (0,15 poin)dibandingkan dengan mekanisme sebaliknya. Uji statistik atas kenaikan tipis inimelaporkan hasil yang tidak signifikan. Singkatnya, pemekaran bukanlah opsiyang efektif untuk mengejar perbaikan kesejahteraan. Telah terjadi kehilangankesempatan untuk memperbaiki IPM bagi mereka yang saat ini memekarkan diri.

RTRW yang mendapat legitimasi parlemen.

Page 55: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

37

Sementara itu, manfaat yang diterima tidak terlalu berarti jika yurisdiksi yangsaat ini tidak memekarkan diri hendak mengambil opsi itu.

Selanjutnya, dengan mengambil baris pertama dalam setiap panel seba-gai baseline, apa yang akan terjadi jika masing-masing opsi administratif me-rancang kebijakan skenario penurunan kemiskinan hingga lima persen? Panelbagian atas Tabel 2.5 memperlihatkan bahwa, di bawah opsi pemekaran, DOBmengalami peningkatan yang sedikit saja, dari 69,2 menjadi 69,3. Tetapi apabi-la skenario itu dijalankan di bawah opsi non-pemekaran kenaikan IPM menjadijauh lebih besar, yakni 71,4. Kemudian, bagaimana jika terjadi perbaikan dalamkemampuan perencanaan pembangunan? Tabel 2.5 panel bagian atas lagi-lagimemberikan gambaran yang searah. Di bawah opsi pemekaran, hanya ada per-baikan IPM sebesar 1,93 poin yakni dari 69,2 menjadi 71,1, tetapi di bawah opsinon-pemekaran skenario perbaikan teknokrasi membawa hasil jauh lebih efektif—IPM mengalami kenaikan 3,5 poin.

Sementara itu, dalam situasi yang sebaliknya —non-DOB mengambil opsimemekarkan diri— hanya ada penambahan IPM yang tidak besar. Hasil yangsearah juga terjadi ketika dijalankan skenario perbaikan perencanaan pembangun-an wilayah. Memang tetap ada perbaikan IPM jika yurisdiksi mengambil opsipemekaran. Namun demikian, tingkat efektivitasnya terhitung rendah diban-dingkan dengan skenario terdahulu kendatipun terjadi penurunan kemiskinandan perbaikan perencanaan. Analisis ini menegaskan kembali keunggulan opsiadministratif non-pemekaran dibandingkan opsi pemekaran. Lebih daripada itu,analisis ini juga memperlihatkan tindakan yang langsung memperbaiki sumber-sumber persoalan daerah selalu punya efek yang lebih besar ketika upaya itudijalankan melalui pemekaran.

Pendidikan: Partisipasi Sekolah. Bagaimana dengan capaian rata-rataangka partisipasi sekolah tingkat SD, SLTP, dan SLTA? Tabel 2.6 memperli-hatkan hasil yang agak kembar. Yurisdiksi DOB telah kehilangan kesempatanuntuk menjangkau empat persen siswa lebih banyak agar mereka ikut dalam pro-ses pendidikan. Simulasi menunjukkan, seharusnya angka partisipasi sekolah 88persen, tapi yang teraih hanya 84 persen. Perbedaan ini sangat berarti secarastatistik. Secara substansial angka ini jelas pula bermakna. Empat persen anakusia sekolah yang kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan jelasbukan jumlah yang sedikit.

Counter-factual analysis yang sebaliknya memperlihatkan bahwa benar pe-mekaran akan meningkatkan angka partisipasi sekolah dari 89 ke 90 persen. Tapikenaikan satu persen ini terlalu sedikit, sehingga ia secara statistik tidak berarti—apalagi jika dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi melalui opsi sebelum-nya. Singkat kata, apa yang dapat dicatat di sini, sekali lagi, ialah pemekaranbukan opsi efektif untuk perbaikan di dalam sektor pendidikan.

Page 56: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

38

Hasil senada juga diperlihatkan jika yurisdiksi memainkan skenario kebi-jakan penurunan kemiskinan dan perbaikan teknokrasi fiskal. Terjadi lompatanpeningkatan angka partisipasi sekolah yang amat berarti jika perbaikan kemiskin-an dilakukan di bawah opsi non-pemekaran. Setara itu, lompatan juga terjadiketika dilakukan perbaikan kapasitas pembiayaan dari sumber-sumber lokal. Se-bagaimana telah didiskusikan di muka, keadaan ini sekali lagi menegaskan bahwayurisdiksi yang mampu mengerahkan sumber daya lokal cenderung mampu pulamengembalikannya dalam bentuk penyediaan barang-barang publik yang lebihbaik kepada masyarakat setempat. Dalam skenario yang sebaliknya keadaanitu juga terjadi, tetapi dengan besaran efek peningkatannya jauh lebih terbatas.Manakala dua jenis kebijakan ini dijalankan dalam skenario pemekaran, hanyaterjadi peningkatan kurang-lebih satu poin. Baik melalui skenario penurunankemiskinan maupun skenario perbaikan teknokrasi fiskal, besar perubahannyamasih lebih kecil.

TABEL 2.6. Partisipasi Sekolah: “Counter-factual Analysis”

Status Faktual Skenario Counter-Factual Perbedaan Signifikansi(N=384) Mekar −→ Tidak Mekar Capaian t-stat.• DOB 84,23 88,22 3,99 2,60 ***• Kemiskinan -5% 84,13 88,12• Perbaikan

Tek. Fiskal 84,32 88,44

Tidak Mekar −→ Mekar• Bukan-DOB 89,32 90,26 0,93 0,65• Kemiskinan -5% 89,43 90,37• Perbaikan

Tek. Fiskal 89,61 90,38

Gambaran ini mengulang apa yang terjadi dalam skenario sebelum ini.Kebijakan yang langsung mengarah pada jantung masalah di daerah selalu mam-pu menghasilkan dampak yang lebih besar daripada kebijakan yang diambil de-ngan cara berputar melalui pemekaran. Dengan mengontrol sejumlah determi-nan capaian partisipasi sekolah, hasil simulasi menunjukkan bahwa upaya-upayayang langsung memperbaiki masalah-masalah kemiskinan dan meningkatkan mu-tu teknokrasi fiskal lebih terasa bagi publik luas (outward orientation) daripadamelakukan upaya-upaya yang bersifat politik administratif ke dalam (inward ori-entation) semacam pemekaran.

Kesehatan: Vaksinasi Bayi-Balita. Pemekaran mengurangi kemam-puan yurisdiksi untuk memvaksin bayi-balita lebih banyak lagi. Lebih dari empatpersen bayi tidak tervaksin karena yurisdiksi telah mengambil prioritas memekar-kan diri daripada mengembangkan program vaksinasi bayi. Sementara itu, sebuahpesan peringatan dini juga diceritakan oleh Tabel 2.7. Jika pemekaran hendak

Page 57: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

39

diambil hari ini, 7,5 persen bayi akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkanvaksinasi BCG, DPT, polio, hepatitis, dan campak. Angka-angka ini bukan hanyaberarti secara statistik, tapi jelas bermakna secara substansial. Bagi bayi-balita,pemekaran menghasilkan pain, bukan gain.

Lebih jauh daripada itu, skenario menurunkan kemiskinan secara lang-sung lagi-lagi memperlihatkan efek yang sangat berarti bagi upaya peningkatanjangkauan vaksinasi bayi dibandingkan dengan skenario melalui pemekaran. Se-tara itu, ketika pemerintah daerah mampu mendayagunakan sumber-sumber lokaluntuk pembiayaan pembangunan, kemampuan pengembalian sumber-sumber inidalam bentuk layanan publik terlihat jauh lebih baik. Pemerintah daerah dengankarakteristik yang demikian cenderung memiliki kinerja di sektor publik, terma-suk kesehatan, yang lebih baik. Skenario langsung semacam ini menghasilkan 3-4persen jangkauan vaksinasi bayi yang lebih baik daripada skenario pemekaran.

TABEL 2.7. Vaksinasi Bayi: “Counter-factual Analysis”

Status Faktual Skenario Counter-Factual Perbedaan Signifikansi(N=384) Mekar −→ Tidak Mekar Capaian t-stat.• DOB 82,05 86,42 4,37 5,90 ***• Kemiskinan -5% 82,40 86,75• Perbaikan

Tek. Fiskal 82,12 85,59

Tidak Mekar −→ Mekar• Bukan-DOB 85,42 82,84 -7,47 -0,65 ***• Kemiskinan -5% 85,53 82,96• Perbaikan

Tek. Fiskal 85,53 82,88

Infrastruktur: Pembangunan Jalan Distrik. Tidak dapat dipungkiri,hingga derajat tertentu, perekonomian bergerak melalui fasilitas jalan raya. Pem-bangunan infrastruktur jalan raya paling sedikit mampu menggerakkan perekono-mian dalam dua fase: saat pembangunan fisik itu dilakukan melalui kaitan ekono-mi ke belakang dan pasca pembangunan jalan melalui kaitan ekonomi ke depan.Permintaan barang dan jasa mengalir dalam dua fase itu. Mobilitas barang danjasa dapat dipertinggi ketika jalan-jalan raya dibangun. Isolasi wilayah dan dife-rensiasi harga antarwilayah juga dapat diminimumkan oleh jalan raya.

Tabel 2.8 menunjukkan bahwa dalam hal kemampuan membangun jalandistrik, opsi pemekaran juga bukan opsi yang efektif. Counter-factual analysismenunjukkan, kabupaten-kota kehilangan kesempatan untuk membangun seki-tar 200 km jalan34. Jika yurisdiksi yang telah mekar tidak mengambil opsi pe-mekaran, tapi langsung mengembangkan infrastruktur daerah, ia tidak kehilang-

34Hasil konversi ulang dari skala logaritma natural.

Page 58: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

40

an 214 km jalan. Sejajar itu, ada potensi kehilangan 207 km jalan jika yuris-diksi yang saat ini tidak melakukan pemekaran berniat untuk memekarkan diri.Jarak sejauh itu setara dengan jarak dari Simeulue ke Gayo Lues di Aceh, ataumendekati jarak Merauke ke Boven Digoel atau Puncak Jaya ke Mimika di Papua.

Menariknya, besar perbedaan capaian ini tidak hanya signifikan secarastatistik. Secara substansial kehilangan kesempatan untuk membangun 200 kmjalan adalah hal serius, apalagi jika diingat di atas jalan raya barang dan jasadidistribusikan dari satu titik ke titik lain. Perbedaan harga barang-jasa an-tartitik dapat menyusut jika titik-titik itu terhubungkan dalam suatu road net-work. Ini belum memperhitungkan multiplier effect yang tercipta akibat pem-bangunan 200 km jalan; belum pula memperhitungkan peluang perkembangansosial-ekonomi yang terjadi usai jalan dibangun. Pada saat yang sama, skenarioperbaikan langsung mutu perencanaan wilayah dan teknokrasi fiskal memberidampak yang jauh lebih efektif dalam ujud pembangunan jalan daripada ske-nario memutar melalui pembentukan yurisdiksi baru.

TABEL 2.8. Pembangunan Jalan: “Counter-factual Analysis”

Status Faktual Skenario Counter-Factual Perbedaan Signifikansi(N=384) Mekar −→ Tidak Mekar Capaian t-stat.• DOB 5,08 5,93 0,84 9,75 ***• Perbaikan

Perencanaan 6,45 6,91

• PerbaikanTek. Fiskal 5,10 5,93

Tidak Mekar −→ Mekar• Bukan-DOB 6,31 5,83 0,47 -9,25 ***• Perbaikan

Perencanaan 6,52 6,12

• PerbaikanTek. Fiskal 6,32 5,84

Keterangan: Angka-angka capaian dalam tabel dihitung dalam skala logaritma natural.

Hingga derajat tertentu, simulasi-simulasi counter-factual ini bisa mem-beri ilustrasi mengenai argumen policy delay yang dipaparkan di muka. Tegas-nya, apabila sumber daya dan sumber dana dapat dialokasikan langsung untukmenjawab tantangan-tantangan riil yang ada di tingkat daerah —daripada di-alokasikan untuk membangun infrastruktur birokrasi administrasi baru melaluipemekaran— kesejahteraan rakyat akan lebih terwujud secara efektif. Ini berartipendekatan cost-effective perlu mendapat tempat dalam wacana pemekaran ataupembangunan daerah umumnya, karena pendekatan ini memandang sumber dayadan sumber dana publik dalam perspektif kelangkaan untuk dipertautkan dengancara-cara pencapaian tujuan.

Page 59: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

41

Akhirnya, apa yang dapat ditekan-ulangkan di sini adalah pemekaran bukan-lah jalan efektif bagi pencapaian kesejahteraan rakyat. Seluruh indikator yangdievaluasi dan disimulasi tidak mendukung argumentasi mengenai manfaat pe-mekaran. Mutu pembangunan manusia tidak terangkat oleh pemekaran. Anak-anak juga tidak lebih banyak dikirim ke sekolah-sekolah. Bayi-balita pun lebihsedikit yang mendapatkan vakisnasi. Last but note least, peluang membangunratusan kilometer jalan hilang. Pembentukan Daerah Otonomi Baru adalah se-buah langkah yang mahal, baik dari segi real cost maupun dari sisi opportunitycost —ekonomi dan sosial. Sebaliknya, membangun langsung sektor-sektor dasaradalah langkah paling efektif menuju jantung persoalan.

Page 60: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

42

Tak Hanya Senjang Pantai Timur dan Barat

Awalnya adalah kesenjangan ekonomi yang mencolok antara wilayah eks Karesiden-an Tapanuli dan eks Karesidenan Sumatera Timur. Tapanuli yang mencapai PantaiBarat Sumatera Utara menjadi kantong kemiskinan. Sebaliknya, eks Karesidenan Su-matera Timur yang mencapai Pantai Timur adalah pusat perekonomian sejak zamanBelanda. Daerah ini dulunya tambang emas bagi Belanda, penghasil komoditas perke-bunan yang dipasarkan ke berbagai penjuru dunia. Meski wilayah Pantai Barat lebihdulu tersentuh peradaban, dalam perkembangannya wilayah Pantai Timur jauh lebihmaju. Berkembangnya beberapa Kesultanan Melayu di Pantai Timur, dan masuknyaBelanda yang bekerja sama dengan aristokrasi Melayu, membuat wilayah ini melesatmeninggalkan daerah-daerah di Pantai Barat.

Salah seorang anggota Komite Pemrakarsa Pembentukan Provinsi Tapanuli yang ju-ga Guru Besar Antropologi Universitas Sumatera Utara (USU), Profesor Dr RobertSibarani, mengatakan, awal ide pembentukan Provinsi Tapanuli sebenarnya adalahkeprihatinan melihat Tapanuli di Pantai Barat yang jauh tertinggal dibanding wilayahdi Pantai Timur. “Perekonomiannya sangat tergantung pertanian, sementara infra-struktur tak pernah mendukung. Irigasi banyak yang rusak sehingga praktis petanibergantung pada kemurahan alam. Petani menjadi kelompok paling miskin, semen-tara mereka adalah penduduk terbanyak di daerah ini,” ujar Robert.

Jarak yang jauh dengan pusat-pusat perekonomian di Sumut membuat orang-orangTapanuli, menurut Robert, menjadi termarginalkan. Pemprov Sumut merespon ke-senjangan wilayah ini dengan konsep pemerataan pembangunan. Konsep Marsipa-ture Hutanabe (Ayo Membangun Kampung Halaman) dikenalkan di era Raja InalSiregar, sementara pola pengembangan kawasan dikenalkan di era Tengku Rizal Nur-din. Kepala Bappeda Sumut, Riadil Akhir Lubis, menuturkan, sejak 1997 ada limakawasan strategis yang dikembangkan, yakni Nias, Tapanuli dan sekitarnya, RantauPrapat dan sekitarnya, Medan dan sekitarnya serta Danau Toba dan sekitarnya. Kon-sentrasi pengembangan kawasan strategis ini, menurut Riadil mampu mengangkatketertinggalan wilayah Pantai Barat. Indikator ekonomi menunjukkan wilayah Tapa-nuli saat ini tidak lebih tertinggal dibanding daerah pesisir Pantai Timur. Ini, menurutpengamat politik USU Ridwan Rangkuti, membuat pemekaran bukan jawaban tepatatas persoalan kesenjangan ekonomi antara Pantai Timur dan Barat.

Tetapi, ide awal menghapus kesenjangan kawasan justru makin tak terdengar. Robertmenduga ide membentuk Provinsi Tapanuli saat ini lebih kental nuansa politisnya.Sinyalemen ini ada benarnya jika dilihat perpecahan di antara daerah pengusul.

Dicuplik dengan penyesuaian dariKompas 5 Februari 2009

Page 61: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Bab 3

Apa yang MenentukanCapaian Daerah?

Bab sebelum ini menunjukkan pemekaran bukanlah strategi yang efektif untukmembawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Dalam perspektifkebijakan, pertanyaan yang perlu diajukan ialah bagaimana kesejahteraan itudapat diraih? Bab ini menelusuri faktor atau determinan apa yang menentukancapaian sosial dan ekonomi di tingkat distrik. Untuk kebutuhan itu, ditangkapsatu gugus determinan penjelas capaian di empat sektor.

Determinan Capaian

Penelusuran gugus determinan capaian sosial-ekonomi menjadi penting karenadua alasan. Pertama, ada latar belakang atau karakteristik yang melekat dalamsuatu distrik yang berbeda dengan lain. Perbedaan latar belakang ini dapat mem-bawa perbedaan capaian dari satu distrik ke distrik lain. Kedua, penelusurandeterminan-determinan itu juga menuntun kebijakan untuk dapat menentukandi titik mana intervensi perlu dilakukan agar membawa hasil yang lebih efek-tif. Metodologi yang dibangun dalam studi ini memberi kerangka yang dapatmenuntun ke arah titik-titik intervensi itu.

Secara keseluruhan, gugus determinan itu dapat diklasifikasi ke dalam tigakelompok, yakni geografi, governance, dan input factor. Literatur menunjukkantiga kelompok determinan ini memainkan peranan penting dalam menentukancapaian sosial-ekonomi suatu yurisdiksi (Lihat, misalnya, Rodrik, 2003), tidakhanya untuk yurisdiksi setingkat negara tetapi juga berlaku untuk yurisdiksi de-ngan tingkat yang lebih rendah seperti provinsi ataupun kabupaten-kota. Ketigakelompok determinan ini dipandang sebagai input yang menentukan output, yaknicapaian daerah, dalam suatu ‘fungsi produksi pembangunan daerah’.35

35Di dalam model ‘fungsi produksi pembangunan daerah’ itu, bias dan confounding factors

43

Page 62: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

44

Kelompok determinan geografi menerangkan banyak hal tentang keung-gulan dan ketidakunggulan potensi alami suatu yurisdiksi yang berada dalamtitik, ruang, atau lokasi tertentu (Krugman, 1998). Governance menangkap pen-tingnya peran institusi, karena di dalamnya terdapat norma, aturan main, struk-tur insentif, dan pelbagai enforcement characteristics yang memediasi interaksiagen-agen pembangunan (North, 2005). Sementara itu, input factor merujukpada sekumpulan faktor lain yang dapat diinjeksi ke dalam sistem atau yangsecara langsung mempengaruhi pencapaian sasaram. Masing-masing indikatorcapaian memiliki input factor tertentu yang khas bagi indikator itu tapi berbedadari indikator capaian lain. Diskusi yang lebih detail tentang kelompok-kelompokdeterminan itu ditampilkan dalam Lampiran Teknis.

Namun demikian, dikendalai oleh terbatasnya ketersediaan data menge-nai determinan-determinan itu, hanya beberapa indikator capaian tertentu yangdianalisis. Bagian ini hanya melaporkan beberapa issu yang muncul sebagai imp-likasi dari metodologi yang dibangun. Berikut adalah diskusi mengenai implikasisubstantif yang dapat dipelajari dari model yang dibangun untuk bab ini. Im-plikasi substantif ini akan dipakai sebagai dasar pengusulan paket-paket kebijakanyang dapat diambil, sebagaimana kelak akan didiskusikan.

Kesejahteraan Umum

Perilaku determinan capaian sosial dan ekonomi antara DOB dan non-DOB se-cara kualitatif tidak banyak berbeda. Tetapi tentu saja tetap ditemui perbedaandalam magnitude dan performa statistiknya. Di antara 11 determinan IPM yangditelaah, beberapa di antaranya memperlihatkan perilaku yang penting untukditelusuri lebih jauh. Satu-dua issu didiskusikan di sini.

Pertama, perbedaan perkembangan regional antara sisi barat, tengah dantimur Indonesia masih menjadi issu serius dalam pembangunan.36 Yurisdiksi disisi barat Indonesia secara sistematik memperlihatkan kinerja yang lebih baikdaripada yurisdiksi di tengah dan timur. Hal ini konsisten baik untuk yurisdiksihasil pemekaran maupun non-pemekaran. Di kedua kelompok ini, Tengah danTimur tak pernah menyaingi Barat dalam capaian IPM.

telah diminimisasi. Rincian metodologi yang dipakai dalam bab ini, pertimbangan pemilihandeterminan, serta hasil analisisnya dilaporkan dalam Lampiran Teknis.

36Mengingat ketiadaan batasan resmi tentang mana yang disebut sebagai wilayah barat, te-ngah, atau timur Indonesia, laporan ini mengambil patokan pembagian wilayah berdasarkandaerah waktu. Dengan kata lain, Indonesia bagian barat, tengah, dan timur tak lain adalahWIB, WITA, dan WIT. Melalui cara pembagian ini, dapat dicatat ada 273 yurisdiski di wilayahbarat (76 DOB, 197 non-DOB), 148 di Tengah (49 DOB, 99 non-DOB), dan 45 di Timur (30DOB, 15 non-DOB).

Page 63: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

45

Namun demikian, regional differentials ini berubah wajahnya ketika yuris-diksi amatan dibagi ke dalam Jawa dan Luar Jawa. Hasil analisis menunjukkan,tidak ada perbedaan berarti dalam capaian IPM antara yurisdiksi Jawa dan LuarJawa. Hasil ini tampaknya memberi pesan bahwa ada sedikit pergeseran pola re-gional differentials. Literatur ekonomi pembangunan Indonesia secara tradisionalbiasanya merujuk pada keunggulan Jawa atas Luar Jawa. Kini kecenderunganitu berubah. Jawa dan Luar Jawa bukan lagi entitas ekonomi yang dikotomis,mengingat apa yang dikategorikan sebagai Luar Jawa kini tidak lagi homogen.Perubahan, misalnya, banyak terjadi di Sumatera, sehingga perbedaan capaianantaryurisdiksi tak lagi kentara secara sistematik.37 Lagi pula, kabupaten-kotalain dalam kategori Luar Jawa sedikit-banyak juga ikut berubah.

Wilayah kepulauan perlu mendapat perhatian khusus. Secara geografis,yurisdiksi-yurisdiksi kepulauan memang jauh lebih sempit, sehingga ada keung-gulan tersendiri bagi suatu program pembangunan untuk mencapai target group-nya. Tapi secara geografis pula, wilayah-wilayah kepulauan ini umumnya tidakterintegrasi intensif dengan aktivitas di wilayah daratan utama. Lagi pula, inte-grasi dan interaksi antara wilayah daratan utama dengan pulau-pulau ini sertaintegrasi dan interaksi antarpulau membutuhkan ongkos ekonomi yang tinggi. Iniproblem tipikal wilayah dengan pulau-pulau kecil, sehingga tidak cukup banyakruang yang tersedia untuk membuat pulau-pulau kecil ini terintegrasi dan berin-teraksi. Intervensi di sisi supply tampaknya menjadi jalan yang paling mungkindilakukan. Satu di antaranya ialah dengan menjadikan pulau-pulau ini lebihatraktif bagi pergerakan aliran barang dan jasa.

Hasil analisis menunjukkan bahwa yurisdiksi dengan pulau-pulau kecil me-mang tertinggal dalam capaian IPM. Tetapi ini tidak berarti yurisdiksi den-gan wilayah yang luas tidak mempunyai masalah sama sekali. Data memper-lihatkan bahwa capaian IPM menurun ketika geografi yurisdiksi meluas. Sam-pai di titik ini, argumentasi di belakang gagasan pemekaran mendapatkan justi-fikasinya: penyempitan wilayah administrasi menolong perbaikan IPM. Namunini mesti disikapi hati-hati. Sebagaimana ditunjukkan dalam counter-factualanalysis, kendati geografi wilayah telah dikontrol di dalam analisis itu, simu-lasi menunjukkan opsi pemekaran bukanlah opsi efektif untuk mencapai kese-jahteraan. Lagi pula, pemekaran bukan semata-mata penyempitan ruang kendaligeografi. Dibutuhkan satu gugus kebijakan untuk membuatnya efektif bagi pen-capaian kesejahteraan rakyat.

37Apalagi jika diingat pula bahwa ada 132 yurisdiksi terbentang di Sumatera dari Sabang,Sigli, ataupun Pidie sampai Talangpadang, Bakauheni maupun pulau Legundi —atau sekitar 30persen dari seluruh total amatan. Jumlah sebesar ini tentu merombak karakteristik Luar Jawasecara keseluruhan, sehingga ia tak lagi homogen. Sumatera di sini dipakai sebagai ilustrasi,karena ia termasuk dalam definisi Indonesia Barat bersama Jawa. Lihat catatan kaki sebelumini.

Page 64: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

46

Issu tertaut berikutnya, yang juga relatif persisten, adalah kemiskinan.Benar bahwa kemiskinan telah merosot sejak Pelita I, meski sempat menaik dimasa krisis 1997-1998. Tetapi, ada sesuatu yang menagih perhatian perencanapembangunan. Ketika trend kemiskinan itu terlihat menurun, apa yang tersisasekarang justru dapat menjadi lebih serius. Ini datang dari keluarga-keluargayang tetap miskin hingga saat ini atau dari kemiskinan yang terwariskan ke gen-erasi berikutnya. Bukan tidak mungkin, lapis kemiskinan yang tersisa sekarangadalah lapis yang terkeras, yang sukar dijangkau oleh program-program yang ada.Persistensi kemiskinan adalah tantangan paling serius dalam pembangunan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kemiskinan memperburuk IPM. Semakintinggi kemiskinan, semakin rendah capaian IPM. Keadaan ini benar untuk keduakelompok amatan. Perbedaan besaran efeknya pun tak jauh. Artinya, pengen-tasan kemiskinan di kedua kelompok yurisdiksi ini memberikan efek pada per-baikan IPM yang hampir sama, yakni −0, 10 berbanding −0, 12. Gambar 3.1memberi konfirmasi bahwa di yurisdiksi-yurisdiksi dengan tingkat kemiskinantinggi, IPM merosot secara sistematis. Apa yang terlihat di sini lalu menja-di lebih gamblang: yurisdiksi DOB dan non-BOD sama-sama punya persoalanuntuk menarik orang miskin keluar dari kubangan kesusahan hidupnya. Olehkemiskinan, mutu pembangunan manusia di tingkat kabupaten-kota ditantangdengan sangat serius. Ini artinya pengentasan kemiskinan tidak laik dijadikankebijakan yang minor, inferior, apalagi residual. Pemimpin lokal perlu berdiridi garda terdepan untuk melakukan anti-poverty mainstreaming dalam setiapkebijakan pembangunan.

Secara unik, IPM di setiap kelompok yurisdiksi memiliki determinan kun-ci yang berbeda-beda. Sementara di DOB teknokrasi perencanaan memainkanperan signfikan secara statistik, di non-DOB teknokrasi fiskal yang berperan.Untuk yurisdiksi DOB, temuan ini menarik mengingat langkah pertama pem-bangunan yurisdiksi baru justru ada di sisi perencanaan. Ketersediaan Ren-cana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilegalisasi DPRD dapat digunakansebagai proksi dari teknokrasi perencanaan.38 Proksi ini dipakai karena RTRWadalah dokumen yang sangat teknis dan rinci, jauh lebih rinci daripada develop-ment guidance umum semacam Rencana Pembangunan Jangka Menengah atauPanjang (RPJMP). Pada tingkat ini, tidak mengherankan apabila tidak semuaotoritas kabupaten-kota mampu merancang RTRW, apalagi RTRW yang telahmelalui proses legalisasi di tingkat parlemen lokal —dalam hal inipun, mutuperencanaan belum dipersoalkan. Dari sini dapat dimengerti apabila, di kelom-pok DOB, mereka yang mempunyai kapasitas teknokratis dalam perencanaanmampu menampilkan capaian IPM yang lebih tinggi daripada yang tidak.

38Legalisasi oleh Dewan di tingkat lokal sangat penting karena RTRW akan menjadi peraturandaerah yang pelaksanaannya secara politik dipantau oleh DPRD. Eksperimen dalam studi iniyang hanya mengeksplorasi ketersediaan RTWR tanpa legalisasi —yaitu ada atau tidak adaRTRW— memperlihatkan hasil yang tidak signifikan secara statistik.

Page 65: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

47

GAMBAR 3.1. IPM dan KemiskinanPlot dan garis merah untuk DOB, biru untuk bukan-DOB. Plot ini signifikan secara statistik padataraf 99%.

Di kelompok bukan-DOB —yuridiksi yang umumnya dibentuk jauh se-belum 1999— juga ditemukan hal menarik. Teknokrasi fiskal berperan signifikandi sini. Teknokrasi fiskal dalam hal ini merujuk pada kemampuan suatu yuris-diksi untuk menerjemahkan aktivitas perekonomian di area geografinya ke dalampenganggaran. Ini mencerminkan pentingnya kemampuan untuk menganggarkandan membiayai sendiri perencanaan pembangunan —sehingga sampai derajat ter-tentu, tapi tak seluruhnya, ia dekat dengan konsep fiscal capacity seperti didefi-nisikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.02/2006.39

Bagi wilayah non-DOB kemampuan untuk menggerakkan sumber dayaekonomi lokal untuk diterjemahkan ke dalam anggaran ini penting mengingatregim administrasi non-DOB umumnya adalah regim yang relatif berpengalam-an. Dari perspektif ini, ketersediaan sumber-sumber pembiayaan anggaran yanglebih bervariasi berarti memperbesar kapasitas dan keleluasaan yuridiksi untukmemperbaiki mutu pembangunan manusia. Hal ini mempertegas makna bahwa

39Pasal pertama PMK itu mendefinisikan kapasitas fiskal sebagai “... gambaran kemampuankeuangan Daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasikhusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasiuntuk membiayai pengeluaran tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai, dan dikaitkan de-ngan jumlah penduduk miskin.”

Page 66: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

48

anggaran dan kemampuan pengelolaannya adalah dua sisi mata uang dalam fiscalgovernance.40

Pemekaran Wilayah Malah Timbulkan Kemiskinan

Tidak adanya perencanaan dasar yang menyeluruh mengenai pemekaran wilayah ber-akibat pada mudahnya proses otonomi diwujudkan tanpa melihat aspek masyarakat.Parahnya, masyarakat menjadi korban, bukan menjadi tujuan untuk menyejahterakan.“Pemekaran wilayah yang terjadi saat ini menyebabkan pemekaran kemiskinan,” kataKetua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita dalam pemaparanmengenai Catatan DPDRI Menyambut Tahun 2009 di kediamannya di Jalan WidyaChandra, Jakarta, Minggu (28/12).

Ia mengatakan sebelum dilakukan pemekaran wilayah seharusnya ada satu grand de-sign kewilayahan Indonesia yang mencakup jumlah ideal daerah. Selama grand designkewilayahan itu belum ada, sebaiknya tidak perlu dilakukan pemekaran-pemekaranwilayah. Grand design tersebut harus berisi penataan dan administrasi wilayah disetiap provinsi. Sisi politik masyarakat dan administrasi pemerintah harus menjadidasarnya. Usulan masyarakat juga menjadi pertimbangan dalam pemekaran suatuwilayah.

“Penduduk yang banyak atau wilayah yang luas belum tentu memerlukan pemekaran.Hal tersebut disebabkan jumlah unit pemerintahan yang kurang atau tidak siap.”Selain itu, ia menilai kecenderungan politik semata yang menjadi alasan pemekaranwilayah terus terjadi. Sejak 1999 hingga 2008 tercatat 192 daerah otonomi baru ter-bentuk. Oleh karena itu, berbagai instrumen yang memudahkan sistematika berpikirdan analisis politik perlu terus dikembangkan pemerintah. “Akhirnya justifikasi me-ngenai pemekaran wilayah dapat dipertanggungjawabkan melalui grand design tadi,”tandasnya.

Dicuplik dengan penyesuaian dariKompas 28 Desember 2008

40Studi menarik tentang teknokrasi fiskal di tingkat pemerintah lokal dipresentasikan oleh Hof-man dan Gibson (2005). Studi itu menemukan bahwa belanja untuk pelayanan publik justrusemakin meningkat ketika kontribusi pembiayaan dari sumber-sumber lokal kian besar. Se-mentara itu, belanja pegawai dan administrasi malah meninggi ketika penerimaan yang diper-oleh dari sumber-sumber di luar yurisdiksi lokal makin meningkat. Pada tingkat negara, seba-gaimana ditemui di Amerika Latin, institusi fiskal yang well-designed cenderung menghadapidefisit primer relatif yang kecil (World Bank, 1997).

Page 67: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

49

Pendidikan

Pendidikan secara umum menghasilkan social returns yang tinggi. Investasi dibidang ini, dalam jangka menengah dan panjang, bisa dikatakan investasi yangpro-growth sekaligus pro-poor. Pendidikan meningkatkan pengetahuan dan kete-rampilan, mendongkrak produktivitas, lalu memperbaiki kesejahteraan. Jadi,tantangan terbesar bagi pemerintah di berbagai tingkat dan di pelbagai saatadalah bagaimana sebanyak mungkin mengirimkan anak-anak usia sekolah un-tuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Tingkat partisipasi sekolah bisadijadikan petunjuk untuk hal itu, dan karenanya determinan penentu partisipasisekolah menjadi penting untuk ditelaah.

Berapa banyak anak dikirim ke sekolah ditentukan oleh seberapa literatemasyarakat yang menaunginya. Hasil analisis memberi indikasi tegas: tingkatpartisipasi sekolah meningkat sejalan dengan naiknya kemampuan baca-tulis ma-syarakat. Keadaan ini terjadi baik di yurisdiksi-yurisdiksi pemekaran maupunbukan, dengan dampak nyata yang lebih besar terjadi di yurisdiksi-yurisdiksipemekaran. Tampaknya, suatu keterampilan minimal dalam masyarakat modern—membaca dan menulis— telah mampu menyumbang pembentukan kesadaranakan pendidikan.41 Ini benar ketika variabel tingkat melek huruf dikeluarkan darianalisis dan diganti oleh variabel yang mencerminkan kemampuan yang “lebihdari sekedar baca-tulis”, yaitu lama sekolah. Masyarakat yang lebih terdidiklebih terdorong untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah.42

Sudah barang tentu ini semua harus diimbangi dengan ketersediaan saranapendidikan sebagai fondasi yang terdalam. Gedung-gedung dan institusi sekolahjelas menjadi bagian dari fondasi itu. Analisis data menunjukkan bahwa keber-adaan sekolah mampu mengundang lebih banyak anak-anak usia sekolah untukdatang belajar —sebuah kenyataan tautologis. Berdasarkan hal itu, pesan kebi-jakan yang terkirim menjadi sangat jelas: membangun lebih banyak sekolah lagiuntuk menjangkau anak lebih banyak lagi. Secara lebih khusus, pembangunan inipaling sedikit membutuhkan pertimbangan geografi, sebab hasil analisis menun-jukkan bukan sekedar jumlah sekolah, tetapi jumlah sekolah per km-persegi. Jadidi sini ada dimensi geografi yang laik mendapat perhatian. Keadaan ini benarkalau diingat bahwa di begitu banyak tempat di Indonesia, anak-anak sekolah —juga guru-guru— harus menempuh berkilo-kilo meter jalan untuk tiba di sekolah.Di tempat-tempat seperti itu, telah menjadi kenyataan hidup bahwa dibutuhkanwaktu berjam-jam —pergi dan pulang— bagi anak-anak sebelum mereka dudukdi bangku sekolah dan bagi guru-guru sebelum memulai pelajaran.

41Tentu saja kesadaran tidaklah cukup, karena masih ada satu gugus penjelas lainnya yangmenentukan berapa banyak anak-anak usia sekolah dapat dididik secara formal.

42Issu sebab-akibat (causation) mungkin saja terjadi di sini. Tetapi eksperimen dengan meng-gunakan gugus independent variables yang, dari segi waktu, “mendahului” dependent variablememberikan hasil yang secara kualitatitf tidak berbeda.

Page 68: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

50

Dalam tautan ini juga semakin penting untuk dicatat bahwa alokasi danauntuk sektor pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Analisis menunjukkan DanaAlokasi Khusus (DAK) pendidikan memberi pengaruh signifikan terhadap turun-naiknya partisipasi sekolah. Semakin tinggi angka DAK pendidikan yang diinjeksike daerah, semakin besar pula angka partisipasi sekolah bergerak. Menariknya,sebagaimana ditemukan dalam analisis mengenai jumlah sekolah, dimensi geo-grafi juga berperan di sini. Dalam laporan ini, besar DAK pendidikan dikoreksioleh luas wilayah untuk ia memperlihatkan dampak signifikannya. Jadi, ia bukansekedar total DAK pendidikan, tetapi density-nya per km-persegi.

Ini sekali lagi memberi petunjuk tentang pentingnya geografi untuk ma-suk dalam pertimbangan pengambilan kebijakan. Seperti luas diketahui, DAKpendidikan selalu merujuk pada komponen perangkat keras pendidikan, seper-ti sekolah dan peralatan pendidikan.43 Dalam pengadaannya jelas dibutuhkansuatu moda transportasi tertentu agar material perangkat keras ini bisa dipin-dahkan dari satu titik supply ke titik tujuan. Di rentang antara dua titik inilahdimensi geografi itu memberi pengaruhnya.44

Dana Alokasi Khusus bidang pendidikan adalah bagian dari transfer Pusat.Jadi ia boleh disebut sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang berasaldari luar yurisdiksi kabupaten-kota. Bagi banyak kabupaten-kota dana ini je-las bagian berharga dalam APBD. Untuk banyak hal, memang Daerah memilikiketergantungan fiskal dengan Pusat. Tetapi ada hal menarik mengenai APBDini: pemerintah-pemerintah yang mampu mengundang lebih banyak anak untukdatang ke sekolah adalah justru pemerintah-pemerintah yang mampu menge-rahkan sumber-sumber lokal untuk pembiayaan pembangunan. Jadi bukan mere-ka yang sepenuhnya mengandalkan dana transfer Pusat. Kenyataan ini mem-perlihatkan adanya hubungan positif antara kapasitas teknokrasi fiskal dengancapaian di sektor publik. Ini adalah fakta menarik mengingat ia terjadi secarakonsisten dari yurisdiksi ke yurisdiksi, baik yang termasuk yurisdiksi hasil pe-mekaran maupun yang bukan.45 Gambar 3.2 memberikan ilustrasi grafis tentangini. Fiscal governance memainkan peran kunci lagi, bahkan kini lebih tegas ter-aksentuasi.

Seberapa besar dana yang dapat dipakai untuk pembiayaan pembangunanselalu menjadi tantangan setiap pemerintahan. Namun demikian, bagaimanacara menemukan dan menggali sumber-sumbernya serta mengalokasikan dan men-gawasi penggunaannya juga menjadi tantangan yang tidak kalah serius. Dalamekspresi yang lebih umum, fiscal size adalah tubuh, tapi fiscal governance adalahrohnya. Gabungan keduanya menggiring pemerintah daerah untuk memaksi-

43Lihat Permendiknas No. 5 Tahun 2006.44Sampai sejauh ini dimensi geografi baru berperan tak langsung, yakni melalui DAU, lalu In-

deks Fiskal Neto (IFN), sebelum sampai pada kalkulasi DAK pendidikan. Sebagaimana dicatatsebelumnya, di dalam DAU ini variabel geografi diperhitungkan.

45Lihat catatan kaki sebelum ini tentang studi Hofman dan Gibson (2005).

Page 69: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

51

mumkan sumber daya, mengalokasikannya pada sasaran yang tepat, serta memeli-hara efektivitas penggunaannya.

GAMBAR 3.2. Partisipasi Sekolah dan Teknokrasi FiskalPlot dan garis merah untuk DOB, biru untuk bukan-DOB. Untuk kepentingan visualisasi, variabel-variabel ditampilkan dalam skala logaritma. Plot ini signifikan secara statistik pada taraf 99%.

Kesehatan

Tak diragukan lagi, kesehatan adalah rahmat terpenting dalam kehidupan manu-sia. Mens sana in corpore sano —a healthy mind in a healthy body. Kesehatanmenopang produktivitas, lalu menghela kesejahteraan ke titik yang lebih ting-gi, hingga akhirnya ia memperbaiki mutu kehidupan. Sama seperti pendidikan,kesehatan juga merupakan investasi berharga jangka menengah-panjang.

Telaah terdahulu tentang kesejahteraan umum mengambil bahasan tentangmasyarakat ekonomi secara agregat. Sementara itu, bahasan tentang pendidikanterfokus pada cohort demografi usia sekolah. Telaah tentang determinan kese-hatan di bagian ini membidik cohort demografi terbawah piramida pendudukkabupaten-kota: bayi-balita. Ini adalah kelompok usia yang menentukan masadepan kabupaten-kota, bahkan juga negara ini secara keseluruhan. Hanya dibu-tuhkan 4-6 kali pergantian pemerintahan, kelompok usia ini akan ikut menjadi

Page 70: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

52

penentu gerak pembangunan secara keseluruhan. Oleh karenanya, masuk akalbila kesehatan bayi-balita menjadi perhatian. Jangkauan vaksinasi bayi-balita—BCG, campak, DPT, hepatitis, dan polio— bisa dibuat sebagai tolok ukurnya.

Apa yang menentukan tingkat capaian vaksinasi bayi? Rupanya kemiskin-an masih menjadi bottleneck serius. Di semua kelompok yurisdiksi, pemekaranatau bukan, didapatkan bahwa kemiskinan telah menghalangi keluarga-keluargamiskin untuk membawa bayi-balita mereka ke pusat-pusat layanan kesehatan —rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, ataupun pos pelayanan terpadu.Ini sebuah ancaman serius, apalagi dalam jangka panjang. Keluarga miskin,dengan bayi-balita yang tidak tervaksin, akan meneruskan tanpa putus lingkarankemiskinan ke generasi berikutnya.

Jelas, kemiskinan adalah satu persoalan. Tapi ketersediaan pusat layanankesehatan juga tak kalah serius. Seperti ditemukan juga dalam studi ini, banyak-sedikitnya pusat-pusat layanan kesehatan ini ikut menentukan berapa banyakbayi-balita dapat divaksin. Sudah barang tentu, kian banyak pusat layanan,kian tinggi daya jangkau vaksin atas bayi-balita. Sejalan itu, ada pula hal pentinglain yang perlu diperhatikan. Studi ini menemukan bahwa jumlah pusat layananhanya signifikan dampaknya apabila geografi wilayah ikut diperhitungkan. Seper-ti halnya dengan gedung-gedung sekolah dan partisipasi sekolah, pusat layanankesehatan yang lebih banyak di setiap kilometer-persegi mendekatkan jarum sun-tik vaksin kepada bayi-balita. Dimensi kilometer persegi ini penting jika diingatbahwa perlu beberapa kali kunjungan ke pusat layanan agar bayi-balita tervaksinlengkap. Utamanya di Luar Jawa dengan geografi administrasi yang luas, densi-tas selalu menjadi issu penting dalam penyediaan infastuktur publik.

Gambar 3.3 Panel (a) memamerkan hubungan jumlah infrastruktur ke-sehatan per kilometer-persegi dengan rata-rata persentase bayi tervaksin DPT,BCG, polio, hepatitis, dan campak. Kotak segiempat jumlah rumah sakit, puskes-mas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling yang lebih tinggi (berwar-na biru dan merah) diikuti pula oleh kotak segiempat rata-rata bayi tervaksinyang lebih tinggi berwarna biru dan merah terang). Pola ini konsisten baik diJawa, Luar Jawa, atau Indonesia secara keseluruhan manakala geografi diper-hitungkan. Namun demikan, tatkala luas wilayah tidak pertimbangkan, tidakada pola hubungan yang ditemukan antara infrastruktur kesehatan dan vaksinasibayi tervaksin. Ini dipamerkan oleh Gambar 3.3 Panel (b). Gambaran ini sekalilagi menunjukkan bahwa geografi ikut menentukan. Dengan kata lain, untukmencapai tingkat utilisasi yang diharapkan, kebijakan pembangunan infrastruk-tur kesehatan tidak mungkin menafikkan pertimbangan geografi sebagai kondisiobyektifnya.

Lepas dari dua issu itu, transfer dana kesehatan dari Pusat tetap memainkanperan kunci. Efeknya sangat signifikan bagi kemampuan paramedik menjangkaubayi-balita. Setiap rupiah DAK kesehatan yang diinjeksi dari APBN ke dalam

Page 71: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

53

APBD tentu amat bermakna bagi bayi-balita. Namun demikian, lagi-lagi pen-ting untuk dicatat, sumber-sumber pembiayaan lokal juga tak kurang penting.Studi ini mendapatkan bahwa pemerintah daerah yang mampu mengeksplorasisumber-sumber lokal untuk pembiayaan APBD adalah justru pemerintah yangmemperlihatkan tingkat capaian vaksinasi tinggi. Makin besar dana APBD darisumber lokal, makin banyak bayi-balita tervaksin. Temuan ini konsisten adadi semua kelompok yurisdiksi dan kembali menegaskan bahwa teknokrasi fiskalmenampilkan dampak signifikannya.

Infrastruktur

Tak diragukan, infrastruktur adalah penopang vital aktivitas ekonomi dan sosial.Jalan raya adalah salah satu indikator yang bisa dipakai untuk melihat bagaimanaaktivitas ekonomi dan sosial itu ditopang. Temuan di bab sebelum ini memperli-hatkan DOB dan bukan-DOB berbeda dalam capaian pembangunan jalan tingkatkabupaten. Tapi ini belum tentu berlaku bila yurisdiksi DOB dan non-DOB di-analisis berdasarkan kewilayahan barat dan timur Indonesia. Capaian panjangjalan antara Barat dan Timur tidak lagi berbeda secara statistik. YurisdiksiDOB di barat tidak berbeda dengan counterpart-nya di timur. Demikian pulahalnya dengan yurisdiksi non-DOB, baik di barat maupun di timur. Tidak adaperbedaan statistik dalam capaian jalan distrik melalui analisis ini.46

Apa yang dapat dikatakan di sini adalah, dari segi infrastruktur jalantingkat kabupaten-kota, ketertinggalan regional tidak lagi bermakna, paling ku-rang secara statistik. Tetapi ini lain halnya apabila kapasitas teknokratis peren-canaan dilibatkan dalam analisis. Yurisdiksi-yurisdiksi di dalam DOB ternyatabisa dibedakan secara statistik dalam capaian pembangunan jalan. Fenomenayang sama juga terjadi dalam kelompok yurisdiksi bukan-DOB. Mereka yangmemiliki kapastitas teknokratis perencanaan secara konsisten mampu memba-ngun jalan yang lebih panjang. Ini mempertegas lagi temuan sebelumnya tentangnexus teknokrasi fiskal dan capaian sektor publik.

Tampaknya yurisdiksi yang berpegang pada suatu rencana tata ruang wila-yah yang definitif lebih mampu mengembangkan kemampuan untuk membanguninfrastruktur. Ini temuan menarik mengingat proksi yang dipakai dalam studiini adalah kepemilikan RTRW yang dilegalisasi oleh parlemen di tingkat lokal.Data menunjukkan bahwa baru ada 105 dari 440 kabupaten-kota yang dianali-sis memiliki RTRW yang telah melewati proses legislasi di DPRD. Analisis me-

46Begitu pula ketika DOB dan bukan-DOB dipecah lagi menjadi Jawa dan Luar Jawa. Analisismenunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti secara statistik antaryurisdiksi DOB diJawa dan di Luar Jawa, juga antaryurisdiksi non-DOB di Jawa dan Luar Jawa.

Page 72: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

54

(a) Luas Wilayah Diperhitungkan

(b) Luas Wilayah Tidak Diperhitungkan

GAMBAR 3.3. Vaksinasi Bayi dan Infrastruktur KesehatanKotak merah untuk DOB, biru untuk bukan-DOB. Warna biru dan merah lebih gelap untuk infra-struktur kesehatan, warna biru dan merah lebih terang untuk vaksinasi bayi.

Page 73: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

55

nunjukkan kabupaten-kota inilah yang unggul dalam pembangunan infrastrukturjalan. Keadaan ini menyiratkan bahwa rencana kebijakan teknis yang mendapatdukungan politik adalah sebuah perpaduan yang powerful. Jadi, perpaduan —bukan dominasi— politik dan teknokrasi efektif mencapai tujuan pembangunan.

Akhirnya, secara keseluruhan persoalan-persoalan mengenai capaian dae-rah dapat dirangkum ke dalam beberapa kelompok issu. Pertama, ketertinggalanwilayah. Ini mencakup issu-issu perkembangan sisi barat dan sisi timur Indone-sia, wilayah kepulauan dan daratan, juga isolasi wilayah. Kedua, kemiskinan.Kemiskinan terkait dengan banyak persoalan seperti pendidikan dan kesehatan,karena sifatnya yang multidimensional. Ketiga, keterbatasan infrastruktur un-tuk pelayanan pendidikan dan kesehatan yang terkait dengan geografi wilayah.Keempat, keterbatasan kapasitas teknokrasi birokrasi lokal. Ini mencakup issu-issu teknokrasi di bidang perencanaan dan fiskal. Berdasarkan catatan ini, pesankebijakan yang dapat disampaikan adalah jelas: menangani persoalan-persoalanlangsung dari sumbernya. Ini adalah sebuah jalan alternatif yang langsung menu-ju jantung masalah, bukan jalan memutar melalui pembentukan yurisdiksi baru.Bagian berikut akan mendiskusikan apa dan bagaimana jalan alternatif ini dapatditelusuri agar pembangunan daerah dapat ‘ditemukan kembali’, sehingga desen-tralisasi dapat dikembalikan pada rohnya: peningkatan kesejahteraan rakyat.

Page 74: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

56

Page 75: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Bab 4

Menemukan KembaliPembangunan Daerah

Mencari Alternatif Kebijakan:Kerangka Dasar

Apa hal paling esensial dalam suatu kegiatan pembangunan daerah? Jawabanatas pertanyaan ini tampaknya telah menjadi konsensus: perbaikan kesejahtera-an rakyat. Akan tetapi, bagaimana strategi untuk mencapainya dapat bervari-asi. Sampai saat ini, hampir 150 kabupaten-kota memilih pemekaran sebagaistrategi untuk memperbaiki kesejahteran rakyat. Sayangnya, sebagaimana di-tunjukkan dalam evaluasi dan simulasi di bab sebelum ini, strategi itu bukanstrategi yang efektif untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat.Counter factual analysis menunjukkan bahwa pemekaran wilayah adalah jalanmemutar yang panjang dengan efektivitas rendah. Dengan demikian, jika jalanpemekaran bukanlah jalan yang efektif, pertanyaan yang patut diangkat ialahstrategi apa yang secara efektif mampu menaikkan taraf kesejahteraan rakyat?

Bagian berikut akan mendiskusikan jalan alternatif pencapaian kesejahte-raan rakyat. Apa yang disebut jalan alternatif di sini adalah upaya-upaya un-tuk menangani persoalan pembangunan daerah langsung dari jantung persoalan-nya. Bab sebelum ini menunjukkan jantung persoalan pembangunan daerah ter-letak pada empat kelompok besar issu, yakni ketertinggalan wilayah, kemiskin-an, keterbatasan infrastruktur ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, serta keter-batasan kapasitas teknokrasi. Empat kelompok issu ini menerangkan banyak haltentang capaian Daerah, walau harus diakui bahwa keempatnya bukan issu-issuyang sama sekali baru. Namun demikian, tetap saja keempatnya perlu ‘dite-mukan kembali’ —perlu mendapatkan aksentuasi ulang. Alasan pokoknya ialahissu-issu ini bersifat persisten, yang masih terus terjadi hingga kini —bahkan, duadi antara issu-issu itu, yakni ketertinggalan wilayah dan kemiskinan, ditemukan

57

Page 76: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

58

sebagai bagian dari serangkaian motif di belakang pemekaran. Alasan lainnyaadalah pemekaran daerah telah mengambil porsi besar dalam wacana desentrali-sasi, padahal pembentukan yurisdiksi baru bukanlah tujuan pokok desentralisasi.Desentralisasi Indonesia adalah pergulatan politik-administrasi yang panjang un-tuk mendekatkan pembangunan kepada rakyat sebagai penerima dampak kebi-jakan. Ini berarti dibutuhkan jalan untuk mengembalikan desentralisasi kepa-da tujuan pokoknya, yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dengan langsungmengatasi sumber-sumber persoalannya.

‘Penemuan kembali pembangunan daerah’ (reinventing regional develop-ment) adalah reorientasi fokus pembangunan daerah dari yang terpusat padawacana pembentukan yurisdiksi-yurisdiksi baru ke arah pembentukan kebijakanyang langsung memberikan layanan pada masyarakat sebagai pemanfaat kebi-jakan. Jadi, ‘penemuan kembali pembangunan daerah’ ini mengubah pandanganyang bersifat ke dalam (inward looking, terfokus pada urusan-urusan politik-administrasi yurisdiksi) menjadi pandangan yang bersifat keluar (outward look-ing, terfokus pada pemenuhan kebutuhan publik). Kebijakan yang langsungberorientasi pada kebutuhan publik selalu memiliki efek kesejahteraan yang lebihbesar dibandingkan dengan kebijakan yang membentuk administrasi yurisdiksibaru seperti terlihat dalam fenomena pemekaran. Tindakan langsung yang meng-atasi ketertinggalan wilayah, kemiskinan, keterbatasan kapasitas teknokrasi, ser-ta keterbatasan infrastruktur ekonomi, pendidikan, dan kesehatan justru meru-pakan jalan yang lebih efektif. Hal ini sejalan dengan ide dasar desentralisasi yangmendevolusi otoritas pengambilan kebijakan agar ia lebih dekat pada penerimadampak kebijakan. Perlu dicatat di sini, sekali desentralisasi dinyatakan sebagaikeputusan politik, maka pembangunan daerah sudah menjadi konsekuensinya lo-gisnya. Hasil dan mutu pembangunan daerah senantiasa akan senantiasa adalahbatu ujinya. Lagi pula, pembangunan daerah itu sendiri pada hakekatnya adalahjuga pembangunan nasional, sedangkan pembangunan nasional tidak lain dari-pada pembangunan daerah. Ini berarti hasil dan mutu pembangunan nasionalterletak pada mutu dan hasil pembangunan daerah. Baik-buruknya pembangun-an nasional dicerminkan oleh baik-buruknya pembangunan daerah.

Rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang kelak ditawarkan tidak diran-cang sebagai kumpulan resep atau formula yang instant, tetapi jiwanya ialah cam-pur tangan pemerintah yang lebih efektif dalam pembangunan daerah. Rekomen-dasi-rekomendasi itu hanyalah suatu kerangka dasar yang membutuhkan pe-najaman dan penyesuaian dengan, khususnya, konteks lokal. Pada saat yangsama, tidak semua sumber persoalan pembangunan daerah dapat dicakup dalamkerangka ini. Lagi pula, tidak semua daerah membutuhkan membutuhkan in-tervensi pemerintah dalam intensitas yang sama, karena ada daerah yang telahdidorong sedemikian rupa oleh dinamika pasar, tetapi ada pula daerah yang mem-butuhkan intervensi pemerintah dengan intensitas yang dalam.

Page 77: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

59

Laporan ini terlalu sempit untuk memuat pelbagai macam issu pemba-ngunan daerah. Termasuk dalam hal ini adalah keterbatasan laporan ini dalammemberikan rekomendasi mengenai motif-motif di belakang pemekaran, karenatidak semua motif dapat diintervensi melalui alat-alat kebijakan. Motif sosial danpolitik, misalnya, praktis berada di luar kemampuan alat-alat kebijakan. Bahkanuntuk motif ekonomi tertentu, misalnya dari sisi ekspektasi transfer fiskal (DAUatau Bagi Hasil), membutuhkan telaah yang hati-hati utamanya ketika ia dilihatmelalui teropong efektivitas pencapaian kesejahteraan rakyat. Pada saat yangsama, laporan ini juga tidak dimaksudkan sebagai suatu policy manual, sehinggarekomendasi kebijakan yang diusulkan tidak dapat menjelajahi hal-hal yang lebihteknis, rinci dan dalam.

Menemukan Kembali Pembangunan Daerah

Penemuan kembali pembangunan daerah adalah reorientasi fokus pembangunan dae-rah dari yang inward looking dengan dominasi issu-issu politik-administrasi yurisdiksimenjadi outward looking dengan langsung memperbaiki jantung persoalannya: keter-tinggalan dan ketimpangan wilayah, kemiskinan, keterbatasan kapasitas teknokrasi,serta keterbatasan infrastruktur ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Ini ditandaioleh pembentukan paket-paket kebijakan di tingkat mikro, meso, dan makro yangbertujuan untuk menciptakan keseimbangan perkembangan wilayah dan menaikkanmutu manusia.

• Lingkup mikro-daerah untuk kabupaten-kota:

+ Revitalisasi perencanaan daerah

+ Penguatan wilayah kecamatan

+ Temu-ulang kebijakan anti-kemiskinan

• Lingkup meso untuk antardaerah:

+ Kompetisi antardaerah

+ Kerjasama antardaerah

• Lingkup pusat untuk makro-nasional:

+ Perimbangan geografi demografi

+ Perbaikan teknokrasi pembangunan

+ Penataan prosedur pembentukan yuridiksi

‘Penemuan kembali pembangunan daerah’ dapat dipandang sebagai upa-ya untuk memperkuat kegiatan pembangunan yang telah ada selama ini. Tigatingkatan kebijakan diusulkan dalam laporan ini. Tingkatan ini mengacu pa-da agen pelaku yang direkomendasikan. Pertama, tingkat mikro-daerah untuklingkup kabupaten-kota. Dua kelompok kebijakan pembangunan dapat diambil

Page 78: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

60

pemerintah kabupaten-kota, yakni kelompok kebijakan yang berdimensi pem-bangunan wilayah dan kelompok kebijakan yang berdimensi manusia. Kelompokitu terdiri dari (1) revitalisasi perencanaan daerah, (2) penguatan wilayah keca-matan, dan (3) temu-ulang kebijakan anti-kemiskinan. Dua yang pertama berdi-mensi pembangunan wilayah, sedangkan yang terakhir berdimensi pembangunanmanusia. Kedua, tingkat meso untuk lingkup antardaerah. Di sini diusulkan kebi-jakan penguatan hubungan antaryurisdiksi yang dapat dijalankan oleh gabunganpemerintah kabupaten-kota atau lingkup yurisdiksi yang lebih luas semisal pe-merintah provinsi dan pemerintah pusat. Rekomendasi kebijakan yang diusulkanterdiri dari (1) kompetisi antardaerah dan (2) kerjasama antardaerah. Ketiga,tingkat pusat untuk lingkup makro-nasional. Di tingkat ini direkomendasikankebijakan (1) perimbangan geografi demografi, (2) perbaikan teknokrasi pem-bangunan, dan (3) penataan prosedur pembentukan yuridiksi.

Lingkup Kabupaten-Kota

Revitalisasi Perencanaan Daerah

Kendati desentralisasi telah digelindingkan dan pemekaran yurisdiksi telah di-jadikan opsi administratif oleh banyak Daerah, formasi ekonomi daerah tidakbanyak berubah dalam tiga dekade terakhir ini. Literatur masih melaporkanadanya persistensi persoalan ketimpangan pembangunan daerah hingga kini. Hillet al (2008 dan 2009), misalnya, menemukan dua hal penting yang patut dicatatdalam peta ekonomi geografi Indonesia dalam 30 tahun terakhir. Pertama, tidakada perubahan konsentrasi aktivitas ekonomi yang berarti. Formasi geografi per-tumbuhan praktis masih didominasi oleh apa yang disebut dengan daerah-daerahkunci perekonomian di Jawa dan Bali, serta di beberapa daerah tertentu di Su-matera dan Kalimantan. Selain itu, pertumbuhan di daerah-daerah tertinggalternyata berjalan amat lamban. Kedua, tidak ada perubahan yang signifikandalam ketimpangan ekonomi, sekaligus juga tidak ditemukan tanda-tanda ge-jala konvergensi perekonomian. Keadaan ini juga dikonfirmasi oleh del Granado(2009) yang melaporkan tidak ada bukti bahwa desentralisasi telah menciptakanpusat-pusat pertumbuhan baru, termasuk pusat-pusat industri baru. Singkat ka-ta, konsentrasi aktivitas ekonomi masih terjadi justru ketika dekonsentrasi kewe-nangan pembangunan daerah telah dilakukan.

Temuan-temuan di atas sesungguhnya agak mengejutkan, karena dalamperjalanan yang cukup panjang dan dengan pembiayaan yang amat besar, pem-bangunan daerah belum mampu bergerak untuk sampai pada formasi ekonomiregional yang lebih seimbang. Temuan-temuan itu jelas membawa tantanganyang amat serius mengenai klaim-klaim atas dijalankannya upaya akselerasi pem-bangunan. Lebih dalam lagi, tantangan ini menukik pada issu formasi struktur

Page 79: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

61

ekonomi regional Indonesia dan bagaimana cara-cara untuk merombaknya. Un-tuk lingkup kabupaten-kota ini, langkah kebijakan yang diusulkan berada di lapisperencanaan pembangunan daerah. Revitalisasi perencanaan daerah diusulkansebagai cara untuk merombak formasi geografi ekonomi. Revitalisasi ini ditun-tun oleh tindakan untuk refocusing arah perencanaan pembangunan ke wilayah-wilayah yang tertinggal, termasuk wilayah kepulauan.

Refocusing arah perencanaan pembangunan ke wilayah-wilayah yang ter-tinggal mempunyai target untuk memperbaiki ketimpangan antarwilayah. Se-bagaimana diketahui, wilayah-wilayah seperti ini pada galibnya dicirikan olehketerpencilan geografis sehingga hanya ada mobilitas ekonomi yang terbatas, ke-langkaan sumber daya dan investasi, dan rendahnya densitas penduduk sehinggaaktivitas ekonomi per kilometer persegi juga relatif rendah. Tingkat produkti-vitas dan komersialisasi pertanian biasanya juga rendah, bahkan cenderung sub-sisten. Di hampir semua kasus, kemiskinan dan ketertinggalan ekonomi, keterbe-lakangan pendidikan dan status kesehatan, serta keterbatasan infrastruktur men-jadi warna utama wilayah-wilayah ini. Karakter semacam ini mencolok ditemuidi wilayah-wilayah Luar Jawa, Timur, dan lebih mencolok lagi di wilayah-wilayahkepulauan dan perbatasan negara. Wilayah-wilayah pemekaran juga tidak luputdari problem ini.

Dalam perspektif commercial business keadaan ini tidak menguntungkansejalan dengan kecilnya home market effect. Wilayah-wilayah semacam ini kehi-langan daya tariknya bagi pasar. Sektor swasta hampir tidak mungkin digerakkankecuali terdeteksi potensi ekonomi —umumnya sumber daya alam ekstraktif—yang amat besar, sehingga relatif terhadap biaya eksplorasi dan eksploitasinya,masih tersedia margin yang tidak dapat disaingi oleh return yang diperoleh dariwilayah-wilayah lain. Dalam situasi seperti ini agen pembangunan yang ter-sisa adalah pemerintah dan instrumen kebijakan yang berada dalam otoritas-nya. Dalam literatur ekonomi geografi, kondisi geografi yang eksogen semacamini —yaitu first nature geography– diakui mempengaruhi capaian sosial-ekonomisuatu wilayah. Tetapi pengaruh ini cenderung menurun ketika variabelsecond na-ture geography, seperti pembangunan infrastruktur, area aglomerasi, atau barang-barang publik lainnya, ikut disertakan dalam analisis. Ini berarti bahwa peranyang lebih kuat justru dimainkan oleh second nature daripada first nature geo-graphy. Acemoglu et al (2001) bahkan menunjukkan bahwa governance berperanyang lebih menentukan daripada natural endowment. Dengan kata lain, keung-gulan ataupun ketidakunggulan yang ada akibat faktor-faktor alami bisa dima-nipulasi oleh suatu intervensi kebijakan.

Namun demikian, penanganan wilayah-wilayah seperti ini hampir tidakmungkin dilakukan dalam tempo yang cepat. Oleh karenanya, pola pemba-ngunan wilayah yang bertahap berbasis sektor ekonomi utama amat direkomen-dasikan di sini. Sektor itu biasanya sektor pionir yang relatif memiliki keunggulan

Page 80: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

62

komparatif tertentu meski agak terbatas, baik keunggulan di sisi input-antaramaupun di sisi output, dibandingkan sektor lainnya. Sektor pionir ini adalahsektor penggerak yang menghela dan mendorong kegiatan di sektor-sektor lainyang bertaut dengannya, baik bertaut ke belakang maupun ke depan (backward-forward linkage). Fase awal dengan sektor pionir ini akan diikuti oleh tigarentetan kegiatan selanjutnya, yakni perluasan kuantitas, perbaikan kualitas, dan‘peledakan’ kegiatan (quantity expansion, quality improvement, dan eruption; Ot-suka dan Sonobe, 2009).

Bentuk lain ‘penemuan’ sektor pionir dapat dilakukan melalui proyek-proyekbersubsidi, misalnya, di sektor pertanian, perikanan, atau sektor primer lain.Telah luas diketahui bahwa sektor primer selalu memainkan peran yang berlapisuntuk kondisi wilayah semacam ini. Pertama, ia adalah pintu masuk bagi pen-ciptaan pekerjaan, pendapatan, dan surplus. Kedua, sektor ini diandalkan untukmenarik kegiatan sektor-sektor lain dari sisi pasar input untuk kepentingan pro-duksi sektor primer. Ketiga, melalui pekerjaan, pendapatan, dan surplus, sektorprimer dijadikan pemicu pembentukan kegiatan-kegiatan di sisi pasar output,termasuk, misalnya, penciptaan kegiatan-kegiatan off-farm. Jadi, langkah awaldalam revitalisasi perencanaan pembangunan daerah kabupaten-kota adalah re-focusing pembangunan ke arah wilayah tertinggal, serta ‘menemukan’ dan meng-gerakkan sektor pionir.

Pembangunan wilayah tertinggal hampir tidak mungkin dijalankan meluluoleh sebuah sektor tunggal. Ia perlu diintegrasikan dengan pengembangan infra-struktur jalan dan jaringan transportasi publik untuk, secara bertahap, membukaisolasi wilayah. Tujuannya ialah untuk merangsang gerak dinamika perekonomi-an di wilayah ini sehingga roda ekonomi bergerak dengan kecepatan lebih tinggi.Integrasi dengan pembangunan infrastruktur ini mendapat justifikasinya melaluistudi Yamauchi et al (2009) yang melaporkan bahwa pembangunan jalan mem-punyai dampak positif pada pertumbuhan dan transisi perekonomian ke arahpenciptaan kegiatan di sektor non-pertanian. Tetapi besar-kecilnya dampak inijuga tergantung pada jauh-dekatnya jarak wilayah-wilayah tertinggal ke pusat-pusat perekonomian. Dengan demikian, dekonsentrasi pusat-pusat pertumbuhanatau penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru juga direkomendasikan di sini—issu yang akan didiskusikan nanti.

Sejalan dengan pergerakan ekonomi yang mulai dinamis, fase berikutnyaberikutnya adalah fase pengintegrasian wilayah-wilayah ini dengan wilayah-wila-yah yang lebih berkembang. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan keterkait-an ruang melalui pembangunan suatu seri aglomerasi pertumbuhan. Cara inilazimnya bergerak dari asumsi hirarki wilayah, sehingga ada wilayah yang dika-tegorikan sebagai pusat dan ada pula yang disebut pinggiran. Pembangunan su-atu seri aglomerasi pertumbuhan, sejalan dengan hirarki wilayah, merangsang ge-rakan pembangunan di wilayah-wilayah pinggirnya. Meminjam terminologi yang

Page 81: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

63

digunakan oleh Nishikimi (2008) proses ini dapat disebut pula sebagai agglome-ration force of economic integration.

Data pada tingkat kabupaten-kota memperlihatkan wilayah-wilayah yangtergabung dalam suatu seri aglomerasi pertumbuhan relatif unggul dibandingkandengan wilayah-wilayah di luarnya dalam capaian IPM, lama sekolah, vaksinasibayi-balita, dan pembangunan infrastruktur. Secara statistik perbedaan ini amatsignifikan.47 Jika data tingkat distrik ini bisa dipakai untuk membangun analogiyang lebih jauh, maka penciptaan pusat-pusat pertumbuhan di dalam yurisdiksikabupaten, yakni tingkat kecamatan, akan amat memperbaiki kesenjangan ke-sejahteraan sosial-ekonomi rakyat. Hal yang analog juga bisa ditransmisikanuntuk yurisdiksi yang lebih rendah, yaitu desa. Senjang pembangunan antardesadipersempit jika lebih banyak kecamatan yang dijadikan sebagai titik pertum-buhan.

Ada cukup alasan mengapa pembangunan seri aglomerasi pertumbuhanlazim dipertimbangkan. Unit-unit ekonomi dalam suatu ruang geografi tertentuberinteraksi lebih intensif dengan unit-unit ekonomi yang berdekatan daripadadengan yang berjauhan secara geografis. Jadi, jika salah satu dari unit-unit yangberdekatan itu mendapat injeksi kebijakan yang memadai, unit-unit lainnya akanmendapat efek limpahannya. Ini sejalan dengan Hukum Pertama Geografi olehWaldo Tobler, “Everything is related to everything else, but near things are morerelated than distant things.”48 Contoh terbaik untuk hal ini adalah Jakarta, JawaBarat, dan Banten, termasuk kabupaten-kota di dalamnya (Botabek). Contohlain terlihat dalam perkembangan Gerbangkertasusila di Jawa Timur. Relasi an-taryurisdiksi ini dapat disebut sebagai potret lengkap tentang fenomena ‘dampaklimpahan’ (spillover effect) serta kaitan-depan dan kaitan-belakang (forward andbackward linkages) kegiatan ekonomi, termasuk keterkaitan ruang, dalam suatuseri aglomerasi pertumbuhan. Jawa Barat dan Jawa Timur kini bahkan menjadijantung industrialisasi Indonesia.

Dalam interaksi yang intensif dan interdependent, difusi dan transmisi pe-ngetahuan, serta inovasi mengalir dari satu unit ke unit ekonomi lain di ruang geo-grafi yang berdekatan. Mengingat geografi wilayah umumnya berada dalam satuhirarki, arah aliran difusi dan transmisi itu bergerak dari wilayah-wilayah lebihberkembang ke wilayah-wilayah yang kurang berkembang. Dalam perspektif ini,penciptaan kegiatan pembangunan di wilayah yang teraglomerasi bukan hanyaberarti membangun wilayah itu sendiri, tetapi juga membangun wilayah tetanggayang berdekatan yang mendapat penguatan dari proses pengintegrasian denganwilayah-wilayah tertinggal. Ini tak lain dari pemanfaatan bentuk keterkaitanspasial.

47Nilai t-statistik dari yang terendah hingga tertinggi berada bentang -2,43–4,47.48Waldo R. Tobler (1970) “A Computer Movie Simulating Urban Growth in the Detroit

Region”. Economic Geography 46 (2): 234-240.

Page 82: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

64

Dari sisi penganggaran, biaya pembangunan di wilayah tertinggal per unitaktivitas biasanya lebih mahal daripada pembangunan untuk kegiatan yang samadi wilayah lain. Jangkauan geografi yang luas dan kelangkaan sumber-sumberpembangunan di tingkat lokal membuat biaya itu menjadi tinggi. Dalam keadaanitu, tindakan yang diperlukan adalah menetapkan target-target pembangunanyang sangat spesifik di wilayah tertinggal. Secara ekonomi, walaupun lebih ma-hal, tindakan untuk menjangkau sektor yang spesifik adalah cost-effective. Biayaini akan semakin cost-effective manakala ada seri kegiatan lain yang paralel ataudiintegrasikan dengan itu.

Perspektif cost-effective juga penting badi daerah-daerah perbatasan, baikperbatasan negara49 maupun perbatasan antaryurisdiksi di dalam negeri. Untuklokus-lokus di perbatasan antaryurisdiksi dalam negeri, tampaknya penting untukdipertimbangkan penguatan jaringan antarpemerintah mengingat jaringan yangada belum dioptimisasi, padahal optimisasi jaringan ini adalah sebuah langkahyang juga cost-effective. Banyak issu kerjasama yang bisa dikembangkan, daripembangunan fisik hingga ke hal-hal yang berkenaan dengan administrasi kepen-dudukan dan legalisasi usaha ekonomi. Suatu join planning system antaryuris-diksi yang bertetangga tampaknya akan sangat menolong pengembangan lokus-lokus seperti ini.50 Sementara itu untuk yurisdiksi-yurisdiksi di perbatasan den-gan negara tetangga, yang umumnya jauh pusat-pusat kegiatan di dalam negeri,pengembangan kerjasama ekonomi dengan negara-negara tetangga yang terdekatmelalui kegiatan perdagangan, investasi, dan pergerakan tenaga kerja tampaknyapotensial untuk dilakukan. ‘Kerjasama perbatasan’ ini perlu mendapat topanganyang kuat melalui pembentukan suatu kerangka legal antara pemerintah Indone-sia dengan pemerintah negara tetangga.

Penguatan Wilayah Kecamatan

Penguatan wilayah kecamatan ditujukan untuk menciptakan dan menyebar titik-titik pertumbuhan. Ini tidak lain adalah tindakan untuk melakukan dekonsentrasiaktivitas masyarakat dari satu titik ke beberapa titik yang terdistribusi secaraspasial. Hingga saat ini titik pertumbuhan kabupaten-kota umumnya terpusat

49Kinerja kabupaten-kota di perbatasan negara tidak lebih baik daripada kinerja counterpart-nya di daerah bukan-perbatasan. Di hampir semua indikator, capaian yang selalu lebih rendahitu signifikan secara statistik. Nilai t-statistik untuk perbedaan capaian yang lebih kecil antarayurisdiksi di perbatasan negara dan di tempat lain dalam IPM, partisipasi sekolah, vaksinasibayi, dan panjang jalan distrik, berturut-turut adalah 3,08, 3,61, 1,86, dan 2,29. Keadaan yanglebih buruk lagi terlihat ketika capaian yurisdiksi perbatasan diperbandingkan antara DOBdan non-DOB. Yurisdiksi yang pertama selalu lebih buruk, meski tak selalu signifikan secarastatistik. Nilai t-statistik untuk perbedaan capaian yang lebih rendah antara yurisdiksi DOBperbatasan dengan counterpart-nya di tempat lain untuk IPM, partisipasi sekolah, vaksinasibayi, dan panjang jalan distrik, berturut-turut adalah 1,17, 1,14, 1,63, dan 1,25.

50Diskusi tentang penguatan hubungan antaryurisdiksi didiskusikan nanti.

Page 83: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

65

pada kecamatan yang mengambil peran sebagai ibukota kabupaten-kota. Ke-camatan semacam ini mendominasi hampir seluruh kegiatan di banyak sektor.Pertama, sebagai ibukota, ia menjadi pusat semua kegiatan pemerintahan danpolitik. Kedua, ia juga memainkan peran sebagai pusat kegiatan ekonomi dansosial. Ketiga, dengan fungsi-fungsi sosial dan ekonomi yang terkonsentrasi ini,kecamatan semacam ini menyedot sebagian besar sumber daya ke satu titik per-tumbuhan, dan hanya membagi sebagian kecil sisanya untuk didistribusikan kebanyak tempat lain.

Keadaan ini menciptakan ketidakseimbangan kegiatan sosial-ekonomi, kare-na di satu sisi ada wilayah kecamatan yang padat aktivitas, di sisi lain adakecamatan yang digerakkan hanya oleh aktvitas-aktivitas masyarakat yang ter-batas. Hal yang tampaknya menarik untuk dipertimbangkan adalah mendekosen-trasi pusat kegiatan dengan memisahkan pusat kegiatan pemerintahan denganpusat kegiatan ekonomi. Ibukota pemerintahan kabupaten-kota cukup diisi olehkegiatan-kegiatan pemerintahan yang bersifat seremonial, atau yang tidak ber-orientasi langsung pada pemberian dukungan bagi kegiatan ekonomi. Sementaraitu kegiatan-kegiatan ekonomi disebar ke wilayah-wilayah kecamatan lain sejalandengan potensi yang terdeteksi. Layanan pemerintah dalam hal ini mengikutisebaran kegiatan ekonomi. Ini memperkecil cost of business, utamanya tatkalasektor bisnis memerlukan interaksi dengan sektor pemerintahan. Dengan katalain, suatu gugus regional polycentric system yang telah menjadi praktek lazim dibanyak negara maju perlu menjadi agenda penyusunan kebijakan pengembangankecamatan.Regional polycentric system mengacu diversifikasi kegiatan ke tempat-tempat yang berbeda yang menciptakan lebih banyak pusat-pusat kegiatan sosial-ekonomi (Meijers, et al., 2005). Model ini berbeda dengan model core-peripheryyang diuraikan sebelum ini.

Di Indonesia51 ilustrasi ini dapat ditemui di tingkat provinsi. Di Kaliman-tan Timur, Samarinda adalah ibukota provinsi, tetapi kegiatan ekonomi lebihintensif terjadi di Balikpapan untuk mengikuti dinamika pergerakan ekonomi disektor kehutanan, pertambangan, dan sumber daya lain. Balikpapan bahkanmemiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 1,5 kali lebih besar daripa-da Samarinda. Indikator-indikator lain memperlihatkan pula bahwa Balikpapanmemiliki capaian IPM, lama sekolah, serta rata-rata tingkat vaksinasi bayi-balitayang lebih tinggi daripada capaian yang terjadi di Samarinda. Sementara itu,Samarinda unggul dalam partisipasi sekolah dan pembangunan jalan baik dalamkilometer absolut maupun relatif terhadap luas wilayah —tapi ini pun masih jauhdi atas rata-rata Indonesia secara keseluruhan.52 Dua kutub pertumbuhan ini

51Contoh di tingkat negara yang agak khas, misalnya, dapat ditemui di Belanda. Den Haag se-cara fungsional adalah pusat kegiatan pemerintahan, sedangkan Amsterdam —yang merupakanibukota negara— secara fungsional justru menjadi pusat kegiatan ekonomi.

52Hal menarik pula, tingkat fraksionalisasi pendapatan per kapita kabupaten-kabupaten diProvinsi Kalimantan Timur adalah yang terendah di seluruh Kalimantan. Dengan kata lain,

Page 84: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

66

Pembangunan Wilayah:Tindakan-tindakan Pendukung

Kelengkapan data wilayah adalah langkah pokok untuk mendukung revitalisasi peren-canaan daerah. Pada galibnya, setiap yurisdiksi kabupaten-kota memiliki data yangmemadai tentang kondisi wilayahnya untuk dipakai sebagai bahan pemetaan potensidan karakter wilayah. Tetapi persoalan yang sering muncul dalam data kewilayahanterletak pada derajat kemutakhiran dan akurasi informasi yang terkandung di dalam-nya. Keadaan ini menyulitkan penyusunan rencana pembangunan wilayah, sehinggatampaknya tidak cukup mengejutkan jika sangat sedikit kabupaten-kota yang memilikiRencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) —apalagi yang telah dilegalisasi oleh parlemensetempat.

Dalam keadaan yang lain, karena kapasitas teknisnya, ada ketergantungan tinggi se-tiap yurisdiksi pada pihak ketiga yang memproduksi data tertentu. Ini misalnya ter-lihat pada ketersediaan peta rinci wilayah. Namun demikian, mengingat produksidata semacam ini senantiasa datang dari sesama institusi pemerintah, pokok soalnyabukan terletak pada kelangkaan data, tetapi pada pembangunan jaringan kerjasamaantarinstitusi pemerintah.

Dalam keadaan yang lain lagi, inkonsistensi, kalau tak dapat disebut penyimpangan,antara perencanaan di atas kertas dan pelaksanaan di tingkat lapangan bukan taklazim terjadi. Akibatnya, kendatipun proses legislasi atas suatu perencanaan telahdilakukan, “daur hidup” cetak biru perencanaan itu menjadi lebih pendek daripadaapa yang telah dimaktubkan. Secara potensial keadaan ini memaksa terjadinya revisisebelum waktunya.

Melalui gambaran ini, suatu kebijakan yang dapat meminimumkan problem-problemitu dengan enforcing power tertentu jelas dibutuhkan. Kebijakan ini adalah kebijakanpendukung ke arah refocusing pembangunan wilayah dan distribusi fungsi wilayahyang telah dicandrakan di atas. Peran yang dimainkannya amat krusial bagi gagasanrevitalisasi perencanaan daerah.

Akhirnya, revitalisasi perencanaan daerah bagaimanapun membutuhkan dukunganinstitusional dan organisasional dengan seluruh perangkat sumber daya di dalamnya.Bappeda ada di titik terdepan dalam revitalisasi perencanaan daerah ini. Ini berartipeningkatan kapasitas perencanaan yang berkala tetap perlu dilakukan, baik melaluiseri pelatihan internal maupun melalui kerjasama eksternal dengan pihak lain. Didalam konteks ini pula siklus perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasitetap direkomendasikan sebagai bagian inherent dan reguler, agar siklus kegiatan initak melulu berada di tingkat normatif ataupun dijadikan tindak residual semata.

Page 85: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

67

memecah konsentrasi kegiatan pemerintahan, politik, dan ekonomi dari satu lokusmenjadi beberapa lokus. Masing-masing wilayah memainkan fungsi sesuai karak-terisitik yang melekat padanya untuk membentuk suatu perekonomian wilayahyang terintegrasi. Nishikimi (2008) menyebut ini sebagai specialization force ofeconomic integration. Efek utama yang diharapkan dari pola penyebaran fungsiwilayah kecamatan ini adalah keseimbangan pembangunan wilayah sehingga iamenciptakan kohesi ekonomi, mengoptimalkan alokasi sumber daya, serta mere-duksi ketimpangan yang ada.

Temu Ulang Kebijakan Antikemiskinan

Temu ulang kebijakan antikemiskinan adalah tema pokok pembangunan manu-sia. Kemiskinan secara sistematik menengarai rendahnya capaian ekonomi-sosialkabupaten-kota di Indonesia. Di ranah empiri, yurisdiksi-yurisdiksi pemekaranmenghadapi persoalan kemiskinan yang lebih berat daripada apa yang dialamioleh counterpart-nya. Data menunjukkan, populasi keluarga miskin di yurisdiksiDOB hampir 3,5 persen lebih banyak daripada populasi di yurisdiksi bukan-DOB:22 persen berbanding 18,5 persen. Selain itu, 65 persen kabupaten-kota DOB ju-ga termasuk sebagai kategori ‘daerah tertinggal’, dan di daerah ini terdapat 12persen keluarga miskin lebih banyak dibandingkan dengan di daerah yang tidakmasuk kategori itu.

Tampaknya kemiskinan memang merupakan issu pembangunan pentingdi balik gagasan pemekaran. Tetapi ini tidak berarti bahwa yurisdiksi non-pemekaran terbebas dari persoalan kemiskinan. Pada galibnya, kemiskinan adalahsebuah issu yang bersifat lintas-yurisdiksi, tetapi karakteristik lokal tetap terusmenyertainya. Oleh sebab itu, desentralisasi kebijakan antikemiskinan perlumendapat aksentuasi di tingkat daerah. Penurunan angka kemiskinan tidak la-gi cukup didekati melalui kebijakan makro-nasional yang generik, ia membu-tuhkan sentuhan ulang di tingkat daerah sejalan dengan karakter lokalnya. Be-berapa paket kebijakan diusulkan di sini. Cakupannya terdiri dari dua hal: (1)penyusunan kebijakan teknis antikemiskinan berdimensi lokal, dan (2) desentra-lisasi data kemiskinan. Diskusi dimulai dari desentralisasi data, lalu kebijakanberdimensi lokal.

Desentralisasi Data

Analisis sebelum ini menunjukkan adanya korelasi antara pembangunanmanusia, jangkauan layanan kesehatan, dan jangkauan layanan pendidikan de-ngan persoalan kemiskinan. Sejauh ini variasi program atau proyek antikemis-kinan yang menyentuh issu-issu semacam itu sudah demikian banyak terkoleksi.

perbedaan kesejahteraan antarkabupaten-kota di provinsi ini tidak lebar.

Page 86: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

68

Pemerintah di pusat maupun daerah, bahkan termasuk lembaga non-pemerintahdalam dan luar negeri, telah terlibat dalam pelbagai variasi program itu. Namundemikian, apa yang masih kurang di sini adalah pembangunan dan pengem-bangan sistem data kemiskinan. Sirine di Lapangan Banteng segera berbunyidi ruang kerja para teknokrat keuangan ketika harga minyak berfluktuasi atautatkala defisit APBN membesar. Di Kebun Sirih, lonceng Bank Sentral cepatberbunyi saat nilai tukar rupiah menembus ambang psikologis atau manakalainflasi melewati dua digit. Tetapi, siapa yang memantau orang-orang miskin?Para teknokrat keuangan dan moneter mengambil tindakan cepat dan terarahberdasarkan early warning system yang telah dibangun secara inherent. Tetapi,siapa yang mengambil tindakan cepat dan tepat bagi keluarga-keluarga miskin?Benar bahwa nature sektor keuangan dan moneter berbeda dengan nature kemis-kinan. Namun demikian, prinsip teknokratiknya tidak berbeda: data. Barangkaliterlalu mahal apabila data kemiskinan harus selalu diinisiasi dan disentralisasioleh sebuah badan di ibukota negara, semisal Badan Pusat Statistik di Jakarta.Lima-ratusan kabupaten-kota terlalu besar untuk seri pemantauan berfrekuensitinggi. Tetapi, desentralisasi data kemiskinan hingga tingkat kabupaten-kota,bahkan lebih rendah lagi, bukan tidak mungkin.

Hingga sejauh ini data kemiskinan hanya bisa dimutakhirkan ketika suaturancangan program tertentu membutuhkan informasi target group dengan pre-sisi tinggi, semisal program Bantuan Langsung Tunai (BLT) —itupun dengansistem yang tersentralisasi. Frekuensi pengumpulannya pun cenderung rendah,jika tak dapat dikatakan irregular. Pemerintah Daerah perlu menjadikan pemu-takhiran data kemiskinan sebagai bagian dari rutinitas, sama seperti DepartemenKeuang-an memonitor gerak-gerak variabel yang dapat mempengaruhi APBNatau sebagaimana Bank Indonesia memantau inflasi dengan frekuensi tinggi danreguler.

Manakala kemiskinan meliputi seluruh populasi yang ada, pembangunandengan cara apapun adalah poverty alleviation. Dalam keadaan itu probabilitasuntuk menjangkau kelompok miskin sangat tinggi. Ini benar ketika Indonesiabaru mengibarkan merah-putih kemerdekaannya. Upaya yang kecil saja akanberdampak pada penyusutan jumlah populasi miskin. Sebuah upaya “pemba-ngunan semesta” (broad-based development) memiliki peluang tinggi untuk men-jangkau orang miskin. Namun demikian, tatkala populasi kemiskinan telah tere-duksi sedemikian rupa dan “hanya” menjadi porsi kecil dari seluruh populasi,tidak semua upaya pembangunan akan berorientasi pada penurunan jumlah po-pulasi miskin.

Dalam keadaan seperti di atas, pembangunan yang berorientasi pada penu-runan kemiskinan tidak lagi bersifat umum —bukan lagi sebuah upaya “pem-bangunan semesta”, karena efektivitasnya untuk menjangkau kelompok miskincenderung melemah dari masa ke masa. Ini artinya usaha untuk menurun-

Page 87: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

69

kan kemiskinan harus lebih spesifik, well-targeted, dan langsung pada sasaran.Jadi diperlukan satu gugus informasi yang lengkap mengenai populasi orangmiskin agar upaya pengentasan kemiskinan menjadi terfokus pada sasaran. Gu-gus informasi ini tak lain adalah data kemiskinan yang amat berguna untukmemetakan persoalan kemiskinan berdasarkan hingga membentuk potret utuhmengenai lokus-lokus kemiskinan (poverty clustering) dan karakter-karakter yangmenyertainya.

Tampaknya suatu decentralized poverty surveillance system bisa dipertim-bangkan. Sistem data kemiskinan ini mengandung informasi minimal tentangapa, siapa, dan di mana keluarga-keluarga miskin itu. Lebih daripada itu, infor-masi mengenai keluarga miskin mana yang terlibat atau belum terlibat dalam su-atu program antikemiskinan penting pula dijadikan bagiannya. Informasi ini akansangat berperan bukan saja bagi program antikemiskinan yang tengah dan akanberjalan, tetapi juga ketika ada sebuah atau satu seri sudden shock menghan-tam perekonomian dan menimbulkan dampak yang cepat dan masif. Sepatutnyasuatu pelajaran dapat diambil dari pengalaman di sektor kesehatan mengenaiwabah demam berdarah ataupun flu burung beberapa waktu lalu. Minimnyasupply informasi di pelbagai tingkat, utamanya dari yurisdiksi yang terserangwabah, telah membuat tindakan para pengambil kebijakan kalah cepat diban-dingkan dengan daya penyebaran demam berdarah dan flu burung itu. Sepatut-nya pula, pengalaman dari wabah kelaparan yang kerap menimpa di beberapadaerah menjadi pelajaran yang mahal.

Tak dapat dipungkiri lagi tugas penting pemerintah daerah adalah menge-nal secara persis warga miskinnya. Dalam banyak kasus, keluarga miskin bukanhanya tidak dikenal, tetapi juga tidak diketahui di mana keberadaannya secarapersis. Pada saat yang sama, program-program antikemiskinan cenderung bersi-fat adhoc dan tidak spesifik dalam menjangkau target group. Dengan membu-atnya sebagai bagian dari rutinitas birokrasi dan ditopang oleh suatu sistemsurveillance yang terdesentralisasi, program antikemiskinan akan lebih sustaineddan well-targeted. Jelas bahwa apa yang disebut well-targeted ini merujuk padakombinasi “siapa” dan “dimana”. Jadi sistem surveillance ini merekam dimen-si manusia dan dimensi kewilayahan sekaligus. Dalam hal yang terakhir ini,kelompok-kelompok wilayah yang miskin dan tertinggal dapat diidentifikasi, se-hingga regional catching-up policy tidak diambil dengan cara membangun yuris-diksi baru dengan harga yang mahal dan jalan yang memutar, tetapi dengan carayang langsung ke jantung sasaran persoalan.

Hal-hal yang lebih rinci menyangkut identification number, kode programantikemiskinan, siklus pengambilan data, mekanisme agregasi data dari tingkatdesa, kecamatan, hingga kabupaten, bahkan untuk membuatnya terkoneksi dalamjaringan data yang lebih luas, baik vertikal maupun horisontal, dapat diaturdalam suatu standar nasional. Tetapi yang lebih penting adalah pemerintah

Page 88: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

70

daerah perlu memastikan data kemiskinan updated secara reguler.

Dimensi Lokal

Pengembangan sistem data kemiskinan adalah separuh jalan dari pengen-tasan kemiskinan. Separuh jalan sisanya pastilah pelaksanaan program antikemis-kinan itu sendiri. Pemerintah di pusat, apalagi di daerah, pasti memiliki stockpengetahuan dan pengalaman tentang ragam program antikemiskinan yang khasdan tepat untuk setiap konteks wilayah masing-masing. Saat ini separuh jalanpertama jelas memerlukan pembenahan. Sementara itu, separuh jalan keduasebetulnya pernah ditempuh atau, paling sedikit, diketahui dalam pelbagai pen-galaman dan praktek pembangunan. Dengan basis data kemiskinan yang ter-desentralisasi dan targeting yang lebih terfokus, reorientasi jalan yang kedua inibukan tidak mungkin dilakukan.

Beberapa hal dapat dijadikan pegangan dalam reorientasi jalan kedua ini.Pertama, pada tingkat yang sangat elementer kebijakan antikemiskinan tidaklain adalah kebijakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar yang bersifat pub-lic goods, seperti pendidikan dan kesehatan. Hasil analisis menunjukkan bahwakemiskinan menjelaskan rendahnya capaian sektor pendidikan dan kesehatan se-cara signifikan. Keadaan ini menjelaskan bahwa ada pertalian kuat yang terben-tuk antara kemiskinan dengan rendahnya mutu pendidikan dan kesehatan.

Sesungguhnya, ada banyak opsi yang bisa diambil dalam mengintegrasikankemiskinan dengan persoalan-persoalan pemenuhan kebutuhan dasar. Pengalam-an yang relevan pun tidak kurang banyaknya, sebagaimana juga praktek-praktekyang bisa dimodifikasi dari dunia luar. Di Afrika pendekatan cost-effectivenessdalam sektor kesehatan dipakai untuk memberikan layanan dasar kesehatan de-ngan biaya rendah (World Bank, 1994). Di Ghana program vaksinasi dan imu-nisasi yang terfokus menjangkau penduduk yang berada di pulau-pulau terpencil(WHO, 2005). Di Cina program ‘Wajib Belajar untuk Semua’ telah membukaakses penduduk terhadap pendidikan (Zhang, et al., 2004). Di India kebijakan‘Pendidikan untuk Semua’ diintegrasikan dengan layanan perbaikan mutu asupannutrisi anak sekolah (Kingdon, 2007).

Pengalaman-pengalaman seperti ini bukan tidak ada dalam katalog kebi-jakan pembangunan di Indonesia. Pada masa lalu, tidak kurang pengalamanpemerintah dalam program peningkatan mutu asupan nutrisi siswa sekolah yangdiintegrasikan dengan program pendidikan. Ini adalah contoh yang pernah adadalam katalog pembangunan Indonesia. Tidak kurang pula pengalaman peme-rintah menembus isolasi geografi dalam rangka pemberian layanan vaksinasi danimunisasi. Pada saat ini pengalaman-pengalaman semacam itu bukan hanya da-pat digali dan ditemukan kembali, tetapi juga dapat dimodifikasi oleh pemerintahdaerah untuk suatu program antikemiskinan yang terintegrasi tapi terfokus.

Page 89: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

71

Pembangunan Manusia:Tindakan-tindakan Pendukung

Pembangunan manusia membutuhkan satu gugus tindakan pendukung. Pertama,dalam hal data. Manakala data kemiskinan secara reguler dimutakhirkan, ia perludigerakkan agar tidak bersifat pasif. Data perlu difungsikan sebagai sumber infor-masi bagi kepentingan pemantauan dan evaluasi, termasuk penyusunan strategi baruketika target atau tujuan pengentasan kemiskinan meleset dari alurnya. Pemantauandan evaluasi seringkali bukan merupakan kegiatan riil, rutin dan reguler, tetapi lebihbanyak bersifat normatif, ad hoc, dan residual. Akibatnya, data tidak cukup didaya-gunakan untuk kebutuhan pembangunan kebijakan antikemiskinan.

Kedua, penyiapan tenaga-tenaga khusus bagi kebijakan antikemiskinan sudah jelasmenjadi bagian penting dalam jalan ini. Pelatihan peningkatan kapasitas bagi tenaga-tenaga ini adalah kegiatan turunannya. Melihat kompleks dan luasnya persoalankemiskinan, paket pelatihan peningkatan kapasitas juga membutuhkan pemutakhiran,baik berdasarkan refleksi pengalaman kegagalan maupun pengembangan gagasan daricerita keberhasilan.

Ketiga, optimisasi jaringan kelembagaan hingga ke tingkat desa jelas menjadi kebu-tuhan. Pemerintah, bahkan negara, hanya bisa dirasakan ada dan berfungsi ketikaia hadir di tengah-tengah persoalan rakyatnya. Jaringan pemerintah sangat potensialmenjangkau pintu-pintu rumah rakyat. Tidak ada satupun organisasi di dunia yangdapat menyaingi pemerintah dalam hal institutional network, betapapun luas danbervariasinya liputan geografi suatu negara. Oleh karena itu, amat masuk akal bilainstitutional network ini dimaksimisasi, termasuk dikaitkan agen pembangunan lainyang berpengalaman dan terbiasa berinteraksi dengan lapisan terbawah masyarakat.

Dalam sistem data yang terdesentralisasi, setiap daerah mudah menemukenali apa,siapa, dan di mana kemiskinan berada dan merumuskan langkah aksi yang relevandengan karakter persoalan yang dihadapi. Meningkatkan mutu pembangunan manusiadi daerah melalui peningkatan kapasitas teknokratis dalam pengembangan programantikemiskinan yang berdimensi lokal jauh lebih efektif daripada mengambil jalanmemutar, panjang, dan mahal melalui pemekaran. Jika benar kemiskinan adalahconcern daerah, pemekaran bukan cara untuk menjawabnya. Jawabannya terletakpada peningkatan kemampuan teknokrasi antikemiskinan. Tentu saja itu semua tidakakan bekerja tanpa peningkatan partisipasi dan kapasitas kelompok miskin sebagaisuatu conditio sine qua non.

Akhirnya, pertanyaan vital di sini adalah bagaimana dengan pembiayaan programini. Sesungguhnya, issu ini bukan terletak pada ada atau tidaknya sumber-sumberpembiayaan kebijakan antikemiskinan, tetapi pada political will dalam proses peng-anggaran pembangunan, utamanya di tingkat daerah. Antipoverty mainstreamingsepatutnya menjadi warna pokok dalam bangunan fiskal pemerintah daerah. Yangdibutuhkan saat ini adalah komitmen pada upaya reinventing regional development,yang mengubah sudut pandang dari inward looking menjadi outward looking.

Page 90: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

72

Sayangnya, hingga saat ini banyak daerah belum mampu keluar dari masa-lah-masalah pemenuhan kebutuhan dasar semacam ini. Hingga tingkat tertentu,issu skala ekonomi mengemuka dalam penyediaan kebutuhan dasar yang bersifatbarang publik. Geografi yang luas dengan kantong-kantong penduduk yang ter-pencar selalu menyulitkan upaya-upaya penyediaan layanan dasar oleh yurisdiksiyang dikendalai oleh batas-batas administratif wilayah. Hal ini mencolok terjadidi wilayah-wilayah perbatasan geografi administratif, yang secara formal seharus-nya dilayani oleh pemerintah yurisdiksi yang menaunginya. Untuk itu, suatukoalisi kebutuhan dasar antarpemerintah bukan tidak mungkin untuk dibangun.Koalisi ini adalah bentuk kerjasama antardaerah dalam penyediaan kebutuhandasar. Sebagai ilustrasi, yurisdiksi yang terdekat secara geografi dapat melayanikelompok miskin di dalam wilayah yurisdiksi tetangga dengan mengerahkan in-frastruktur yang ada dan membuka akses kebutuhan dasar, sementara pembia-yaannya dapat dilakukan oleh yurisdiksi yang secara administratif menaungikelompok miskin itu. Koalisi kebutuhan dasar ini dapat diperluas dalam bentukkerjasama antardaerah yang lain —yang akan dibicarakan di bawah.

Namun demikian, kedua, mengingat persoalan kemiskinan dalam hal banyakbersifat local-specific, pada tingkat yang lebih substansial daripada pemenuhankebutuhan dasar, kebijakan penurunan angka kemiskinan dituntut untuk mencer-mati karakter-karakter yang bersifat lokal. Sifat lokalitas kemiskinan, misalnya,tercermin pada perbedaan karakter geografi, demografi, sektor, bahkan sejarahkemiskinan itu sendiri. Demografi kemiskinan yang berbeda sudah barang ten-tu menampilkan karakter kemiskinan yang berbeda. Hal serupa juga bisa dite-mui ketika peta kemiskinan didisagregasi ke dalam kota dan desa. Tingkat iso-lasi wilayah juga memberikan warna kemiskinan yang tidak sama, sementaraling-kungan alam dan iklim yang unik membawa kemiskinan pada persoalan-persoalan tersendiri. Karakter-karakter lokal ini bahkan dapat semakin kompleksmanakala semuanya dipotret melalui lensa pengamatan yang dinamis antarwak-tu. ‘Kemiskinan sementara’ (transient poverty), misalnya, menampilkan karakteryang berbeda dengan ‘kemiskinan menahun’ (chronic poverty), apalagi ketika ke-duanya diperhadapkan dengan dimensi lokalitas.

Patut dicatat pula pemerintah daerah adalah agen yang (seharusnya) jauhlebih mengetahui persoalan kemiskinan yang terjadi di tingkat daerah diband-ingkan dengan pemerintah pusat. Pada saat yang sama, pemerintah pusat memi-liki kecenderungan ‘penyeragaman kebijakan’ (one-size-fits-for-all policy) yangjustru dapat menegasikan keragaman dan kedalaman persoalan di tingkat dae-rah. Pertanyaannya kemudian adalah apakah arti ini semua bagi penyusunankebijakan? Bagaimanapun, muara suatu kebijakan terletak pada efektivitas ke-bijakan itu di tingkat pencapaian tujuan dan target group. Dibutuhkan lebih darisekedar broad-based antipoverty policy, mengingat hampir tidak mungkin diran-cang suatu resep kebijakan generik yang fits for all. Dengan kata lain, kemiskinan,apalagi untuk Indonesia yang heterogen, senantiasa berdimensi lokal. Efektivi-

Page 91: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

73

tas kebijakan kemiskinan dalam mencapai tujuan dan meraih kelompok sasaranakan jauh menurun tatkala dimensi lokal absen dari perspektif kebijakan. Kebi-jakan yang terfokus dan berdimensi lokal berpotensi menurunkan biaya satuanpengentasan kemiskinan yang harus dikeluarkan.

Jika kebijakan pemenuhan kebutuhan dasar lebih berfungsi untuk menahanlaju pemburukan kondisi kemiskinan,53 kebijakan berdimensi lokal diarahkan un-tuk menurunkan secara sistematis rumah tangga yang termasuk dalam kelompokmiskin. Sebagaimana juga telah diungkap, ragam kegiatan yang secara potensialmampu menurunkan jumlah rumah tangga miskin bukan tidak ada katalog peng-alaman pembangunan Indonesia. Micro finance, revolving fund, income genera-ting, dan program-program sejenis mudah ditemukan dalam khasanah kebijakanantikemiskinan. Rosengard et al (2007), misalnya, melaporkan bahwa institusi-institusi keuangan mikro yang dikembangkan dengan baik di daerah ternyatamampu meningkatkan akses usaha-usaha mikro dan masyarakat berpendapatanrendah pada sektor keuangan secara signifikan. Tentu saja penelaahan menge-nai faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dan keberhasilan pengalaman-pengalaman ini selalu dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk mempertajam efek-tivitas capaian-capaian yang ada atau yang ditargetkan. Yang dibutuhkan saatini, sekali lagi, adalah penemuan kembali dan refocusing agar kebijakan-kebijakanseperti ini berdimensi local-specific. Berdimensi lokal berarti juga mengembangkanpartisipasi lokal.

Lingkup Antardaerah

Kompetisi Antardaerah

Kompetisi antardaerah pada dasarnya adalah persaingan (rivalry) di antara peme-rintah-pemerintah daerah untuk memperebutkan sumber-sumber daya —modal,tenaga terampil atau tenaga ahli, teknologi, dan lain-lain— dari luar yurisdik-si yang bermanfaat bagi, tetapi langka ditemui di dalam, yurisdiksi itu sendiri.Pada awalnya literatur tentang kompetisi antardaerah menganggap bahwa kom-petisi akan membawa pemerintah daerah ke dalam situasi distorsi alokasi yangserius. Belakangan diakui bahwa kompetisi justru bersifat efficiency-enhancing

53Pemenuhan kebutuhan dasar dalam negara yang telah 64 tahun merdeka seharusnya sudahmerupakan aktivitas rutin dalam daily governance, sehingga sebetulnya tidak dibutuhkan ke-bijakan yang spesifik untuk itu. Tetapi, sayangnya, empiri memperlihatkan defisit kebutuhandasar masih terjadi di banyak tempat. Untuk itulah upaya pemenuhan kebutuhan dasar masihperlu direaksentuasi. Ini juga diperlukan bagi program antikemiskinan pada tingkat elementer—yang sekedar mempertahankan kondisi agar tidak jatuh lebih buruk lagi. Pada programantikemiskinan yang lebih substansial —penurunan jumlah orang miskin secara sistematis —peran pemerintah pusat dan daerah perlu didefinisikan ulang, karena dalam banyak hal problemkemiskinan bersifat local specific.

Page 92: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

74

—yang model teoritiknya diambil dari analogi kompetisi di sektor swasta (Oates,1999).

Sumber-sumber daya yang diperebutkan dalam kompetisi antardaerah ituumumnya memiliki mobilitas tertentu, padahal sumber-sumber daya itu adalahenergi penggerak pembangunan daerah yang harus terus ada di dalam daerahitu. Besar-kecil perolehan atau penguasaan pelbagai daya ini menentukan tinggi-rendahnya capaian daerah. Pada saat yang sama, ia ditentukan pula oleh ke-mampuan memainkan beragam instrumen untuk memenangkan kompetisi itu.

Instrumen dalam kompetisi ini dapat mengambil dua bentuk besar, yakni(1) maksimisasi insentif dan (2) minimisasi disinsentif yang diarahkan pada pelaku-pelaku ekonomi, karena di tangan pelaku-pelaku ekonomi inilah sumber-sumberdaya itu berada. Pada intinya, instrumen ini berusaha menjadikan suatu yuris-diksi atraktif, sedemikian rupa sehingga terjadi aliran masuk sumber daya, meng-ingat sumber daya bergerak ke lokus-lokus yang memiliki insentif industri maksi-mum atau disinsentif industri minimum —dalam perspektif yang lebih luas darisektor industri, ini disebut juga sebagai vote with their feet. Di dalam kom-petisi, setiap pemerintah daerah, misalnya, ‘dipaksa’ membangun infrastrukturekonomi, membuka layanan terpadu, ataupun melakukan reformasi regulasi danreformasi pungutan-pungutan yang memberi beban bagi pergerakan investasi,karena tindakan-tindakan ini akan menentukan daya tarik, dan kemudian dayasaing, daerah.54

Keadaan ini secara empirik ditemui, misalnya, dalam penentuan lokasi in-dustri. Kuncoro (2009) melaporkan bahwa untuk mencari suatu lokasi, indus-tri ternyata mempertimbangkan juga hal-hal yang telah dilakukan pemerintahdi wilayah yurisdiksinya terhadap industri yang beroperasi di daerah itu. Per-timbangan serupa juga terjadi pada saat industri dihimpit oleh tingginya biayatransaksi sebagaimana terlihat dalam beban pungutan dan korupsi (Henderson,et al., 2004; Kuncoro, 2004). Ini berarti lokasi dengan lingkungan usaha yang sa-ngat regulated ataupun yang menciptakan biaya transaksi mahal akan cenderungditinggalkan oleh industri. Sementara itu, lokasi yang lebih atraktif dan nyamanbagi perkembangan usaha akan didatangi. Jadi, pergerakan lokasi industri tidaksemata-mata mengikuti keberadaan potensi lokal yang given, apalagi jika industriitu bersifat footloose.

54Asumsi dasar dalam public economics adalah yurisdiksi lokal bersifat benevolent yang memi-liki tujuan untuk memaksimum kesejahteraan konsituennya dengan menggunakan sumber dayasektor publik secara efisien. Rauscher (1998) menyatakan bahwa asumsi ini tidak realistik.Yurisdiksi lokal memaksimumkan tujuannya sendiri dan membuang-buang sumber daya publik—termasuk menggunakan segala daya untuk mengeksploitasi agen-agen ekonomi lokal seba-gaimana diterangkan oleh model Leviathan. Dalam iklim yang demokratis, pemerintah sepertiini dapat ‘dihukum’ oleh pemilih (voters) dalam pemilu, sehingga demokrasi bisa dijadikanalat untuk membatasi dan menyeleksi perilaku seperti ini. Tetapi apabila pemilih tidak peduliatau tidak mendapat akses informasi, jalan keluar yang dapat diambil adalah kompetisi, karenakompetisi memaksa yurisdiksi tampil atraktif.

Page 93: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

75

Gambaran di atas menegaskan pandangan baru tentang pemilihan lokasiindustri oleh dunia usaha. Lokasi industri tidak lagi ditentukan secara eksogenoleh faktor kekayaan alam semata (first nature), tapi oleh second nature yangsangat mungkin bersifat ortogonal terhadap geografi first nature. Sebagaimanadalam pandangan new economic geography (NEG) (Krugman, 1993; Fujita danMori, 2005), geografi second nature ditentukan oleh mobilitas faktor produk-si, kaitan input-output, eksternalitas ekonomi dan teknologi, serta infrastruktur—yang kelak menentukan capaian yurisdiksi. Dekat dengan itu adalah biayatransaksi, regulasi, dan mutu governance yang —sebagaimana ditegaskan dalampandangan new institutional economics (North, 2008; Williamson, 2008)— makinberperan penting di dalam ‘fungsi produksi‘ capaian daerah. Jadi, daya tariksuatu daerah —karena maksimum insentif atau minimum disinsentif industri—menentukan tingkat daya saingnya dalam kompetisi sumber daya. Kompetisiantardaerah pada hakekatnya adalah pameran pertarungan daya saing daerah.

Untuk sampai sebagai suatu pameran pertarungan daya saing, dua syaratdasar diperlukan. Pertama, kompetisi terjadi jika terdapat fragmentasi besardalam yurisdiksi lokal. Kedua, kompetisi terjadi jika otoritas lokal memilikiketergantungan fiskal tinggi pada pembiayaan dari sumber-sumber sendiri (lokal).Syarat pertama telah menjadi fakta desentralisasi saat ini. Yurisdiksi kabupaten-kota, misalnya, telah membengkak demikian besar dalam 10 tahun terakhir ini.Jadi syarat pertama praktis bukan issu penting. Namun demikian, hal ini tidakterjadi dalam syarat kedua. Semua yurisdiksi daerah justru amat tergantungpada transfer fiskal yang datang dari Pusat daripada sumber-sumber sendiri, se-hingga sisi penerimaan APBD didominasi oleh pelbagai ragam dana dari Pusatdengan jumlah dominan. Pada saat yang bersamaan, dana Pusat ke Daerahadalah hak otomatis yang melekat dalam suatu yurisdiksi di tingkat sub-nasional.Keadaan ini bukan merupakan lingkungan yang menarik bagi terciptanya kom-petisi antardaerah yang alami. Dengan kata lain, kompetisi antardaerah tidakakan terjadi sepanjang ada ‘jaminan’ pembiayaan yang datang dari sumber-sumber Pusat. Sejalan itu, suatu hal menarik yang perlu mendapat catatankhusus. Studi ini menemukan bahwa yurisdiksi dengan derajat ketergantunganpada sumber-sumber Pusat yang rendah cenderung memiliki kinerja yang lebihbaik (Lihat Lampiran Teknis).

Secara teoritik, desentralisasi seharusnya memang menciptakan kompetisiantarpemerintah daerah secara alami. Tetapi, dalam keadaan kompetisi antar-daerah yang alami sukar terjadi, membangun lingkungan buatan dapat dijadikanalternatifnya. Ini dapat dilakukan dengan menciptakan iklim kompetisi antar-daerah dengan (1) orientasi insentif atau (2) berbasis sanksi. Lingkungan kom-petisi berorientasi insentif merujuk pada pemberian segala kemudahan, fasilitas,ataupun penghargaan kepada yurisdiksi daerah yang mampu menunjukkan ki-nerja ekonomi sosial tertentu. Sedangkan lingkungan kompetisi berbasis sanksimengacu pada keadaan yang sebaliknya, yakni pemberian pinalti pada yurisdiksi

Page 94: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

76

daerah yang tidak mampu menampilkan capaian ekonomi sosial tertentu.55

Sampai sejauh ini sektor fiskal dapat memainkan peran dalam penciptaandua ragam lingkungan itu. Jadi, tampaknya suatu kombinasi —bahkan mungkinsaja transformasi— (1) potensi ekonomi dan (2) kebutuhan daerah, serta (3)penghargaan dan (4) sanksi kepada Daerah dalam hubungan fiskal antara Pusat-Daerah perlu mendapat pertimbangan. Mengingat fiskal adalah jantung kehi-dupan semua yurisdiksi, penggunaan kombinasi —atau malah transformasi—empat hal itu merangsang dan sekaligus memaksa Daerah untuk meningkatkandaya saingnya. Pada tahap awal tentu saja Daerah akan memusatkan perha-tiannya pada relasi fiskal Daerah-Pusat. Tetapi pada tahap selanjutnya, yaknitatkala Daerah telah memaksimumkan insentif dan meminimumkan disinsentifindustri, snowball effect-nya akan bergulir ke arah sektor lain seperti lokasi in-dustri, investasi, perdagangan, migrasi pekerja berkeahlian, dan sebagainya.

Akhirnya, patut dicatat kembali, kompetisi antardaerah yang alami sukarterjadi manakala Daerah selalu mendapat jaminan atau kepastian pembiayaanfiskal yang berorientasi pada potensi ekonomi dan kebutuhannya —tidak peduliapa dan bagaimanapun kinerja yang ditampilkannya. Apa yang dibutuhkan disini adalah perubahan bertahap untuk membuat perimbangan antara potensiekonomi, kebutuhan, dan kinerja Daerah. Bagi Daerah, relasi fiskal vertikal yangmengacu pada kinerja senantiasa bersifat self-enforcing bagi penciptaan dayasaing. Oleh karena itu, kinerja Daerah penting untuk mendapat porsi dalampenetapan formula-formula relasi fiskal Pusat-Daerah.

Kerjasama Antardaerah

Sebagai bagian dari sebuah negara, setiap daerah di Indonesia bukanlah entitaspemerintahan yang berdiri sendiri dan terisolasi satu sama lain, betapapun saatini bandul sistem pemerintahan telah digeser jauh dari sentralisasi ke desentra-lisasi yang diletakkan di tingkat distrik. Itu terlihat tidak hanya pada tingkatnormatif “Negara Kesatuan”, pada tingkat empirik pun terdapat pelbagai ben-tuk interkoneksi antardaerah yang tertuang di beragam sektor, termasuk sektorpemerintahan. Ini semua memperlihatkan adanya suatu sistem jaringan yangberjalan di setiap sektor.

55Tampaknya relasi fiskal pusat-daerah perlu mendapatkan reaksentuasi melalui kebijakanalokasi anggaran berbasis kinerja yang jauh lebih definitif. Diskusi di awal laporan ini menye-butkan bahwa transfer pusat —sekurang-kurangnya secara empirik— ditentukan sepenuhnyaoleh ‘variabel-variabel daerah’. Ini berarti, hingga tingkat tertentu, transfer pusat juga diten-tukan oleh besar-kecilnya kebutuhan daerah tanpa mempersoalkan target dan mutu pencapaian-nya. Dalam konteks inilah keseimbangan antara kebutuhan dan kinerja Daerah dalam kebijakanalokasi anggaran memerlukan perhatian kebijakan yang lebih tegas lagi. Orientasi pada potensi,kebutuhan, dan sekaligus kinerja sepatutnya menjadi satu tarikan nafas dalam transfer pusatbahkan dalam arsitektur fiskal secara keseluruhan, karena ini sangat potensial mempengaruhiperkembangan daerah dan formasi struktur daerah secara keseluruhan.

Page 95: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

77

Khusus untuk sektor pemerintahan, intergovernmental network telah men-dapat perhatian luas, dan malah telah menjadi suatu keniscayaan daripada suatupengecualian dalam proses penyusunan kebijakan. Ini merupakan suatu bentukartikulasi mengenai pentingnya penguatan hubungan antarpemerintah karena se-tiap pemerintah, selain memiliki keunggulan, juga memiliki keterbatasan. Inter-governmental network tidak hanya menyangkut relasi vertikal (Pusat-Daerah)yang telah lazim dikenal, tetapi juga meliputi relasi horisontal (Daerah-Daerah).Dalam hal yang terakhir ini, relasi Daerah-Daerah, jantung jaringan ini terletakpada kerjasama antarpemerintah daerah.

Ada cukup banyak alasan mengapa penguatan hubungan antaryurisdiksimelalui kerjasama perlu dilakukan. Yang pertama adalah skala ekonomi. Produk-si barang dan jasa publik akan selalu berhadapan dengan issu pembiayaan dan pe-manfaatan. Biaya produksi barang dan jasa publik per unit akan menurun ketikavolume produksi meningkat. Yang kedua, pemanfaatan surplus dan ketimpangansumber daya. Suatu yurisdiksi memiliki surplus atas suatu sumber daya, tetapibisa mengalami defisit dalam sumber daya yang lain. Kerjasama antaryurisdiksimengawinkan surplus dan defisit ini. Yang ketiga, redundancy. Duplikasi dalamproduksi barang dan jasa publik seringkali terjadi padahal barang dan jasa publikitu bisa dimanfaatkan secara cross-border. Menurunkan kecenderungan redundan-cy dalam produksi barang dan jasa publik berarti meningkatkan efisiensi ekonomiwilayah secara keseluruhan. Pembiayaan produksi barang dan jasa publik di satusektor memperbesar peluang alokasi pembiayaan di sektor lain yang mengalamimasalah underinvestment.

Namun demikian, pertanyaan yang justru perlu diajukan adalah apa yangdapat menggerakkan pemerintah daerah untuk bekerjasama, dan, bila perlu,sekaligus berkompetisi. Ada banyak jawaban untuk itu, tetapi umumnya iaterkelompok menjadi tiga varian. Kerjasama dapat terjadi karena adanya kebu-tuhan dan inisiatif sendiri, sehingga kerjasama itu bersifat seperti market-based.Ia dapat pula terjadi karena ada suatu komando; jadi lebih bersifat mandatory.Ada pula kerjasama yang tercipta karena dirangsang oleh suatu insentif.

Dalam konteks pemerintah daerah di Indonesia, varian kerjasama perta-ma sudah dilakukan. Sayangnya, ini baru terjadi untuk kasus-kasus yang agakterbatas.56 Boleh dikatakan, masih sedikit pemerintah daerah yang membanguninisiatif sendiri untuk melakukan kerjasama. Dalam varian kerjasama yang kedua, agaknya hampir mustahil bila ia diterapkan dalam konteks Indonesia yang

56Misalnya dalam hal penampungan sampah akhir di Bantar Gebang antara PemerintahProvinsi DKI dan Pemerintah Kota Bekasi. Ada pula, pembentukan Sekretariat Badan Ker-jasama Antar-Daerah (BKAD) “Pawonsari” yang meliputi Pacitan (Jawa Timur), Wonogiri(Jawa Tengah), dan Gunung Kidul (Jogjakarta) untuk pelbagai variasi kegiatan seperti pro-mosi perdagangan, pariwisata, dan seni-budaya. Inisiatif sebagaimana yang dikembangkan olehpemerintah Kabupaten dan Kota Solok dalam pemanfaatan sumber daya air dapat dijadikancontoh untuk itu.

Page 96: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

78

terdesentralisasi seperti sekarang ini. Sistem komando bukan hanya telah kehi-langan momentum dan konteksnya, lebih daripada itu jaminan keberlanjutannyapun amat diragukan.

Yang tersisa sekarang ialah memajukan varian ke tiga: kerjasama melaluiinsentif. Sama seperti pada kompetisi antardaerah, dalam kondisi inisiatif-inisiatifuntuk berinteraksi yang minimum atau bahkan absen, suatu gagasan kerjasamayang dirangsang oleh suatu insentif dapat dijadikan alternatif. Inisiatif pembe-rian insentif dapat dilakukan oleh yurisdiksi di lingkup atau tingkat yang lebihluas. Namun demikian, pertanyaannya adalah apa basis yang dapat dipakai ker-jasama semacam ini? Laporan ini menggagas pendayagunaan keterkaitan spasialantaryurisdiksi sebagai basisnya. Suatu yurisdiksi dengan yurisdiksi lain yangberdekatan secara geografi cenderung saling-terkait secara spasial. Ini terlihatdalam aliran barang dan jasa yang bergerak dari satu titik untuk memenuhikebutuhan di titik lain, dan sebaliknya. Termasuk dalam hal ini adalah difusiinovasi dan transfer pengetahuan yang mengalir dari suatu lokus ke lokus lain.

Korelasi spasial dapat juga terdeteksi dari limpahan kegiatan ekonomi disuatu lokus akibat kegiatan ekonomi di lokus lain. Akibat interaksi ini, lokus-lokus geografi akan membentuk suatu pola spasial, yang di dalamnya yurisdiksi-yurisdiksi terkelompok menurut kemiripan —walau tidak persis betul— karak-teristiknya. Ia dapat berupa kemiripan karakter budaya, politik, atau sosial-ekonomi. Dengan kata lain, suatu unit akan membentuk cluster sedemikianrupa dengan unit lain yang karakteristiknya serupa. Pertanyaannya kemudianialah apa yang dapat dimanfaatkan dari kecenderungan spasial ini? Studi inimerekomendasikan suatu kebijakan yang berbasis kerjasama spasial. Ilustrasi ker-jasama berbasis insentif —sekaligus memanfaatkan keterkaitan spasial— dalampembangunan mutu manusia yang diinisiasi oleh yurisdiksi yang lebih tinggi di-sajikan dalam Liga IPM: Membangun Manusia, Memanfaatkan Ruang.

Dalam keadaan yang lain, suatu joint planning antarbeberapa yurisdiksitampaknya juga menjadi pilihan menarik. Ini dapat dimulai dari proyek-proyekyang berukuran kecil, sebelum bergerak ke skala menengah dan besar. Jointplanning telah menjadi praktek kerjasama pembangunan wilayah di banyak tem-pat di dunia yang utamanya dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yangbersifat lintas-batas.57 Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS), tataguna la-han, pembangunan jaringan jalan, maupun pembangunan kawasan industri atauturisme —karena kaitan antaryurisdiksinya yang kental— merupakan contoh-contoh proyek pembangunan yang dapat dijalankan melalui suatu joint planningapproach. Banyak agen terlibat dalam proyek-proyek semacam ini, bukan hanyapemerintah tetapi juga masyarakat yang di dalam lokasi pembangunan itu.

Dekat dengan joint planning adalah joint procurement dan joint service

57Beberapa negara di Eropa telah menjadikan joint planning sebagai pendekatan baku dalamissu-issu pembangunan fisik yang bersifat lintas-batas. Lihat http://www.jointplanning.eu/.

Page 97: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

79

delivery. Dalam hal joint procurement, sedikitnya tiga manfaat dapat dideteksi:harga, biaya administrasi, serta keahlian. Menggabungkan kegiatan pembelianbarang dan jasa untuk pemerintah mendorong ke arah pencapaian skala ekonomi.Dibandingkan dengan kontrak-kontrak kegiatan yang independen, apalagi dalamskala kecil, dari sisi permintaan joint procurement berarti membangun suatukekuatan tawar yang mampu menekankan harga ke bawah. Sementara itu, seba-gai suatu kegiatan gabungan dengan skala ekonomi yang lebih besar, joint pro-curement jauh lebih atraktif bagi supplier daripada kontrak-kontrak pengadaanbarang-jasa yang kecil-kecil dan independen. Sebagai kegiatan gabungan, biayadan beban kerja administrasi joint procurement pun secara substansial berkurangdibandingkan dengan yang terjadi dalam tender-tender individual yang indepen-den. Joint procurement juga berarti membangun suatu pool keahlian yang dapatdimanfaatkan bersama oleh setiap yurisdiksi partisipan, sehingga kelangkaan ka-pasitas suatu yurisdiksi partisipan dalam suatu kegiatan teknis tertentu dapatdikompensasi oleh yurisdiksi yang lain.

Senada dengan joint procurement, joint public service delivery pada prinsip-nya adalah upaya meningkatkan kemampuan birokrasi lokal untuk bekerja di atasprinsip-prinsip efisiensi. Joint public service delivery juga membuka kemungkinanyang lebih luas bagi peningkatan jasa layanan publik sekaligus memaksimumkanpotensi keahlian yang beragam di antara partisipannya. Penurunan biaya ad-ministrasi Dalam pengalaman intrayurisdiksi, joint public service delivery sudahterlihat pada praktek-praktek ‘satu atap pelayanan publik’ yang di dalamnyaberagam unit kerja di dalam satu yurisdiksi membuka unit layanan gabungan.Apa yang menarik di sini adalah praktek-praktek ‘satu atap pelayanan publik’ini sangat potensial untuk diekspansi ke tingkat antaryurisdiksi, sehingga yangterbentuk adalah suatu gabungan unit kerja antaryurisdiksi dengan sistem mana-jemen dan mutu layanan yang terstandardisasi.58

Daerah-daerah baru hasil pemekaran tampaknya perlu menimbang tiga haldi atas —joint planning, joint procurement dan joint service delivery— mengingatdi tahun-tahun awal pemerintah hasil pemekaran galibnya menghadapi banyakpersoalan manajemen pembangunan, termasuk kelangkaan staf dan kapasitasteknokrasi perencanaan. Tentu saja opsi ini juga terbuka bagi pemerintah-pemerintah lokal yang menghadapi kendala kapasitas teknokratis, bahkan pe-merintah lokal lain yang ingin meningkatkan efisiensi dan efektivitas birokrasi.Ujud rinci dari ketiga model kerjasama ini dapat ditelisik berdasarkan kontekslokal setiap yurisdiksi yang bekerjasama, sehingga tidak ada —bahkan tidak perlu

58Varian lain joint public service delivery adalah yurisdiksi-yurisdiksi partisipan bekerjasamadalam suatu service sharing satu sama lain. Hal ini dimungkinkan karena yurisdiksi-yurisdiksipartisipan biasanya mempunyai kepentingan dan kebutuhan, serta menghadapi tuntutanmasyarakat yang relatif sama. Service sharing ini tidak hanya bisa dilakukan oleh yurisdiksi-yurisdiksi dengan lingkup yang setara, tetapi juga oleh yurisdiksi-yurisdiksi dengan lingkup yangberbeda seperti provinsi dan kabupaten-kota.

Page 98: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

80

Liga IPM:Membangun Manusia, Memanfaatkan Ruang

Kerjasama antara kabupaten-kota yang letaknya berdekatan dan memiliki capaianIPM setara dapat dikembangkan untuk meningkatkan skor IPM-nya masing-masingpeserta kerjasama. Bagaimana kerjasama ini bisa terjadi? Gambar 4.1 memperli-hatkan capaian IPM dalam perspektif spasial. Sumbu tegak mewakili capaian yuris-diksi yang diamati, sedangkan sumbu datar menangkap capaian yurisdiksi yang secarageografi bertetangga dengan unit yang diamati. Apa yang terlihat di sana adalah yuris-diksi yang mempunyai capaian IPM tinggi cenderung berkelompok dengan yurisdiksiyang memiliki capaian IPM yang tinggi juga. Sebaliknya, mereka yang berkinerja ren-dah dalam IPM berada dalam satu cluster dengan mereka yang berkinerja serupa.a

GAMBAR 4.1. Hubungan Spasial dalam IPMIPM Tetangga dikonstruksi melalui penggandaan IPM dengan sebuah matriks jarak antar-distrik pengamatan. Sementara itu, jarak dihitung berdasarkan posisi longitude dan latitudedistrik-distrik itu. Garis merah adalah garis rata-rata IPM amatan dan IPM tetangga.

aKonstruksi hubungan spasial ini robust kendati beberapa variabel lain juga dima-sukkan sebagai kontrol (Lihat Lampiran Teknis). Artinya, ia akan tetap kokoh sepertiitu, dengan atau tanpa memperhitungkan variabel-variabel lain yang mempengaruhibesar-kecilnya IPM, walaupun spesifikasi model dibatasi oleh ketersediaan data.

Page 99: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

81

Dengan memanfaatkan pola spatial clustering seperti yang terlihat dalam mutu pem-bangunan manusia di atas, sebuah liga IPM bisa digelar untuk memperebutkan blockgrant dengan jumlah yang memadai —jumlah yang “sayang untuk dilewatkan”, tapidibutuhkan usaha untuk mendapatkannya. Ini merupakan gagasan bentuk kerjasamayang dirangsang melalui suatu insentif. Namun demikian, insentif ini tidak diberikancuma-cuma, melainkan diperebutkan dalam sebuah liga IPM yang reguler. Dalamvariasi tertentu, Jawa Barat sudah mengembangkan inisiatif semacam ini. Jadi, in-sentif ini mengambil bentuk kompetisi yang menantang yurisdiksi untuk bekerjasamasatu sama lain untuk meningkatkan IPM. Bentuk kerjasama yang secara subtansialmampu memperbaiki mutu pembangunan manusia akan diapreasiasi melalui pembe-rian block grant dalam jumlah tertentu.

Liga IPM ini membentuk suatu siklus, sehingga ia dibayangkan sebagai suatu serikegiatan yang berkesinambungan dengan tahapan-tahapan berikut. Pertama, pro-posal dari setiap daerah diundang dalam liga ini dengan sebuah syarat tunggal:bekerjasama dengan “tetangga geografi-IPM”-nya. Jadi peserta akan mencari danmembentuk pasangan atau bahkan kelompok dengan anggota-anggota yang sepadan.Syarat ini adalah esensi dalam liga ini, karena ia dijadikan basis bagi suatu kerjasama—termasuk juga untuk tetap menjaga interaksi spasial di antara distrik-distrik yangbertetangga itu.

Untuk menjaga azas fairness, seluruh pasangan atau kelompok daerah didistribusikanke dalam sejumlah divisi berdasarkan tingkat capaian awal IPM-nya. Ini juga un-tuk menjaga kesetaraan level playing field, dimana pasangan peserta yang memilikicapaian awal IPM rendah tidak berada dalam divisi yang sama dengan peserta yangmemiliki capaian awal IPM tinggi. Dengan kata lain, di tahap ini peserta diidentifikasidan dikategorisasi berdasarkan level playing field-nya.

Selanjutnya, kedua, proposal dinilai berdasarkan inovasi kerjasama apa yangditawarkan oleh setiap pasangan atau kelompok peserta dalam upaya meningkatkanIPM. Tema spesifik proposal dilepas pada peserta untuk memilihnya. Tetapi tema-tema yang dapat menjawab persoalan-persoalan akut dan persisten yang dijawabmelalui kerjasama antaryurisdiksi adalah tema-tema dapat disebut sebagai tema-temadengan tingkat inovasi tinggi. Secara kategoris tema-tema itu berada pada sektor-sektor penopang perbaikan IPM, yakni ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Padasaat yang sama, target-target kegiatan —yang kelak bermuara pada angka IPM—perlu dipaparkan dalam proposal. Ini menuntut pasangan atau kelompok peserta un-tuk mengidentifikasi dan mengenali titik-titik mana yang membuat capaian IPM masihrendah dan merancang program perbaikannya, termasuk model kerjasama yang akandikembangkannya.

Ketiga, disediakan dana stimulan agar pasangan atau kelompok peserta mengerjakanusulan inovatifnya selama periode yang disyaratkan. Periode ini adalah suatu masayang bersifat siklikal. Dari waktu ke waktu perubahan indikator-indikator IPM di-pantau oleh sebuah panitia di tingkat nasional yang bekerja dalam kurun siklus yangditetapkan. Sementara itu, nilai dana stimulan dapat ditetapkan berdasarkan suatu‘indeks inovasi’ tertentu yang merupakan kombinasi beberapa variabel relavan.

Page 100: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

82

Berapa besar dana stimulan yang diberikan dapat dirumuskan kemudian. Yangterpenting adalah besaran dana itu bersifat proporsional dengan skala kegiatannya(cakupan wilayah, target group, dsb) dan perkembangan capaiannya dari masa kemasa. Dengan kata lain, dana stimulan ini adalah fungsi dari kegiatan dan capaian.Naik-turunnya dana ini bergerak seirama dengan besar-kecilnya capaian dan kegiatan—kendati suatu pagu maksimum dapat ditetapkan untuk tetap menjaga kemampuanpeserta membuat terobosan dalam constraint dana yang ada. Adalah menarik jikadalam fungsi itu cofinancing oleh peserta menjadi variabel yang menentukan besar-kecilnya “indeks inovasi”.

Keempat, hasil akhir liga ini dievaluasi berdasarkan dua variabel. Satu, seberapa be-sar perubahan positif IPM yang bisa diciptakan oleh setiap peserta yang bekerjasamadi setiap kelas kompetisi. Perubahan ini adalah jarak antara capaian pada saat evalu-asi dan capaian pada saat awal kompetisi. Tentu saja kecenderungan konvergen-si —yurisdiksi dengan capaian awal IPM rendah cenderung menghasilan perubahanIPM yang besar— sangat mungkin terjadi. Itu sebabnya, pembagian kelas kompetisisenantiasa diperlukan. Dua, seberapa tinggi replicability program-program inovasiyang ditawarkan jika ia diterapkan di tempat lain. Ini dimaksudkan untuk mem-buka kemungkinan yang seluas-luasnya bagi daerah-daerah lain untuk mempelajaridan menerapkannya. Akhirnya, sejumlah block grant dengan nilai yang berdaya-tarikdiberikan kepada pemenang liga ini. Tentu saja pemberian block grant ini —dan jugadana stimulannya— harus mematuhi kaidah-kaidan keuangan sektor publik, karenaitu memang diberikan untuk memperbaiki mutu barang-barang publik yang bermuarapada IPM.

Fase setelah ini adalah fase yang mengulang proses keseluruhan liga untuk kom-petisi periode berikutnya. Tema-tema ataupun pendekatan-pendekatan baru dapatditawarkan kembali untuk dikompetisikan lagi. Hal-hal teknis lain, seperti besarnyadana stimulan dan block grant, dana pendamping dan cofinancing mechanism-nya,periode evaluasi, presisi data terkait IPM, akuntabilitas, transparansi, audit hibah danpenggunaannya, serta lain-lain hal teknis dapat diatur lebih rinci oleh sebuah panitiatetap. Juga dimungkinkan bila dilakukan penciutan kegiatan ke tingkat yurisdiksi yanglebih rendah. Yang lebih penting adalah menciptakan sistem kompetisi sedemikianrupa yang mampu merangsang datangnya proposal-proposal kerjasama inovatif untukperbaikan IPM di daerah.

Kompetisi IPM ini adalah sebuah ilustrasi mengenai bentuk insentif yang bisa diman-faatkan untuk merangsang penguatan hubungan antaryurisdiksi. Area-area kerjasamadi bidang lain praktis tidak terbatas untuk dilakukan, karena prinsip kerjasama iniadalah upaya saling memanfaatkan keunggulan-keunggulan yang ada untuk mengatasikelemahan-kelemahan yang melekat di masing-masing yuridiksi yang bekerjasama itu.Begitu pula dengan mekanismenya. Selain pada aspek-aspek legalistik, tidak adamekanisme baku tentang bagaimana suatu kerjasama harus dijalankan. Ilustrasi kom-petisi IPM di atas hanya sebuah gambaran tentang opsi apa yang dapat dipilih denganmemanfaatkan fenomena kerkaitan spatial.

Page 101: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

83

ada— suatu guideline bidang-bidang apa yang harus dan perlu dikerjasamakan.Apa yang dibutuhkan dalam ketiga model kerjasama di atas ialah active partner-ing —saling-dukung di antara yurisdiksi-yurisdiksi partisipan untuk pencapaiantujuan-tujuan yang sama.

Lingkup Makro

Perimbangan Geografi Kependudukan

Dalam satu keadaan, geografi penduduk ditentukan oleh perkembangan ekonomidan sosial suatu wilayah. Dalam keadaan lain, penduduk menentukan perkem-bangan wilayah. Urbanisasi, misalnya, merupakan gejala tipikal yang menandairelasi sebab-akibat penduduk dan perkembangan wilayah. Konsentrasi pendudukdi wilayah-wilayah urban menggambarkan perkembangan ekonomi yang terkon-sentrasi di wilayah-wilayah itu, sementara semakin berkembang suatu wilayah se-makin ia atraktif bagi pergerakan migrasi masuk. Oleh karenanya dapat dikatakanbahwa konsentrasi penduduk adalah cermin dari konsentrasi ekonomi, sedangkankonsentrasi ekonomi adalah bayangan dari konsentrasi penduduk.

Tingkat urbanisasi penduduk dalam 35 tahun terakhir telah melonjak dari17 menjadi lebih dari 40 persen. Walau secara spasial porsi penduduk yang ting-gal di pedesaan masih lebih besar, yakni sekitar 60 persen, penduduk bertumbuhdan bermigrasi ke wilayah-wilayah perkotaan yang praktis sama dari waktu kewaktu. Mengingat pembentukan wilayah-wilayah perkotaan baru tidak banyakberkembang, keadaan ini jelas meninggikan densitas penduduk di wilayah perko-taan, dan sebaliknya menjarangkan densitas di wilayah pedesaan. Pada saatyang sama, perkembangan ekonomi-sosial di wilayah-wilayah perkotaan jelas ter-catat jauh lebih cepat dari apa yang terjadi di pedesaan. Del Granado (2009),misalnya, melaporkan bahwa 15 persen kabupaten-kota Indonesia dengan popu-lasi di atas satu juta orang mengambil 51 persen share Produk Domestik Bruto(PDB di luar minyak dan gas). Dari share sebesar itu, separuh lebih disumbangoleh kabupaten-kota ‘urban’, padahal kabupaten-kota ‘urban’ itu hanya sekitarseperlima kabupaten-kota dengan populasi di atas satu juta jiwa.

Lebih jauh, apabila dikotomi desa-kota disimplifikasi menjadi pertanian-industri terlihat bahwa 40 persen populasi pekerja pertanian hanya menyum-bang 14 persen PDB. Sementara itu, 12 persen populasi pekerja manufakturmenyumbang 27 persen PDB. Alisjahbana dan Manning (2006) menunjukkanbahwa kelompok miskin terkonsentrasi di sektor pertanian. Selanjutnya, mana-kala keadaan itu diprotet lagi dalam teropong Jawa-Bali dan Luar Jawa-Bali, ge-ografi demografi Indonesia —sebagaimana juga geografi ekonominya— juga mem-perlihatkan gambaran yang kurang-lebih serupa. Jawa-Bali yang relatif sempitmenyedot 60 persen penduduk dengan sumbangan 62 persen PDB menurut angka

Page 102: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

84

BPS (2007). Sementara itu, 40 persen penduduk sisanya tersebar —juga takmerata antara perkotaan dan pedesaan— di luar Jawa-Bali yang hanya mampumenyumbang 38 persen PDB. Fakta ini lagi-lagi memperlihatkan bahwa ketim-pangan demografi adalah pantulan ketimpangan ekonomi.

Inti dari ketimpangan distribusi kependudukan secara geografi terletak pa-da densitas penduduk. Indonesia menghadapi dua ekstrim keadaan itu, yaknijumlah penduduk tinggi di wilayah sempit dan jumlah penduduk rendah diwilayah luas. Wilayah sempit yang dihuni oleh penduduk yang lebih banyakmenandakan adanya kegiatan sosial-ekonomi yang lebih intensif. Tetapi seba-liknya, dinamika ekonomi-sosial di wilayah luas dengan penduduk sedikit cen-derung rendah. Studi ini menunjukkan jumlah penduduk semata tidak men-jelaskan secara signifikan capaian pembangunan mutu manusia, tetapi densitaspenduduk —jumlah penduduk per kilometer persegi— menentukan perkembang-an sosial-ekonomi sebagaimana ditunjukkan oleh IPM (Lihat, Lampiran Teknis).

Ketimpangan geografi kependudukan ini bukan fenomena yang sama sekalibaru. Ini adalah gejala persisten yang tidak pernah hilang dalam sejarah pem-bangunan Indonesia, yang sekaligus menjadi potret persistensi ketimpangan ge-ografi ekonomi. Upaya-upaya untuk merelokasi penduduk bukan tidak ada. Padamasa lalu, program transmigrasi —baik yang disiapkan langsung oleh pemerintahmaupun yang bersifat ‘swakarsa’— menjadi salah satu tulang punggung programpengendalian penduduk Indonesia. Pada masa kini, utamanya sejak desentrali-sasi digelindingkan, intensitas program relokasi penduduk menurun tajam. Per-hatian pada pengimbangan densitas penduduk nyaris hilang dalam agenda pem-bangunan daerah dan nasional —bahkan perhatian pada pengendalian angkakelahiran pun tak terdengar lagi gaungnya.59

Mengingat argumentasi yang diungkap di awal mengenai nexus kepadatanpenduduk dan perkembangan ekonomi-sosial, kebijakan relokasi penduduk un-tuk membuat densitas penduduk yang lebih berimbang perlu mendapat aksen-tuasi lagi dengan, misalnya, kombinasi insentif.60 Namun demikian, kebijakanini tidak dapat berdiri sendiri, karena ia patut diikuti dengan perangkat kebi-jakan lain yang diarahkan untuk pengembangan wilayah. Apa yang mungkindikembangkan dalam konteks ini adalah menghidupkan kegiatan-kegiatan sektorpionir sejalan dengan relokasi ini. Sektor pertanian adalah satu kemungkinanyang pernah diterapkan, tetapi sektor non-pertanian, semisal manufaktur skalakecil, dapat pula dijadikan pilihan mengingat kegiatan non-pertanian lazimnyamemiliki return dan nilai tambah yang lebih tinggi daripada pertanian.

59Dalam hal ini, tampak masuk akal jika manajemen nasional transmigrasi dan keluargaberencana digabung untuk berada di bawah satu atap tersendiri berlabel ‘kependudukan’.

60Bentuk-bentuk insentif bagi peserta relokasi selain dukungan modal usaha, misalnya, ialahjaminan kesehatan seumur hidup di lokasi tujuan, pelatihan usaha, jaminan pendidikan anak,dan sebagainya.

Page 103: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

85

Teknokrasi Pembangunan

Teknokrasi pembangunan telah diakui sebagai variabel penting bagi perbaikantaraf hidup masyarakat (Kaufmann et al., 1999; Kaufmann dan Kraay, 2002).Studi ini sendiri telah menunjukkan bahwa teknokrasi perencanaan dan teknokrasifiskal merupakan determinan penting dalam perbaikan taraf hidup masyarakat.Pemerintahan yang kredibel juga memberi sumbangan nyata bagi pencapaiantujuan pembangunan daerah. Ini semua memperlihatkan bahwa agenda-agendapembangunan daerah tidak bisa dilepaskan dari issu-issu peningkatan mutu tek-nokrasi penyelenggaraan pembangunan. Beberapa rekomendasi perbaikan tekno-krasi pembangunan diusulkan di sini.

Ada banyak cara untuk melakukan perbaikan mutu teknokrasi pembangun-an. Pertama, dari sisi perencanaan teknis pembangunan wilayah, penyusunanRTRW daerah jelas merupakan keniscayaan. Sungguh sebuah kejutan mana-kala empiri menunjukkan hanya sedikit kabupaten-kota yang memiliki RTRW—apalagi yang telah melalui proses legislasi parlemen lokal. Dalam perspektifregim desentralisasi, agak kurang masuk akal jika RTRW untuk lingkup yanglebih besar (provinsi dan nasional) dapat disusun di tengah absennya RTRWuntuk lingkup yang lebih rendah (kabupaten-kota). Ini berarti suatu kalen-der penyusunan RTRW daerah secara bertingkat perlu ditetapkan, dari tingkatkabupaten-kota hingga nasional. Inisiatif ini dilakukan di tingkat nasional, karenatujuan pokoknya lebih dari sekedar apakah Daerah ‘memiliki atau tidak memilikiRTWR’, tetapi suatu harmonisasi perencanaan wilayah dalam suatu hirarki yangdefinitif dan rasional.

Namun demikian, kedua, di luar issu-issu perencanaan teknis wilayah, issu-issu yang bersifat kelembagaan juga tak bisa diluputkan dari perhatian. Dalamhal perencanaan dan penganggaran pembangunan, misalnya, mekanisme fine tun-ing untuk kedua institusi ini sangat dibutuhkan. Tentu saja issu-issu kelemba-gaan ini tidak melekat melulu pada eksekutif, karena perencanaan dan peng-anggaran adalah juga domain politik parlemen lokal. Sayangnya, agak lazimterdengar, rencana pembangunan daerah tidak dapat dieksekusi karena prosespolitik dalam pembahasan anggaran mengalami kebuntuan. Jelas ini kemudi-an menganggu pergerakan kalender anggaran, yang selanjutnya juga menggangukalender pelaksanaan rencana pembangunan. Dalam keadaan seperti ini, apayang terjadi kemudian mudah diduga: target pembangunan tidak tercapai.

Fine tuning institusi penganggaran dan perencanaan tidak lain adalah har-monisasi mekanisme penganggaran dan perencanaan. Di dalamnya timing men-jadi krusial, karena siklus anggaran hanyalah 12 bulan. Dalam siklus yang fixed12 bulan, proses teknokratis dan proses politik penganggaran memerlukan pen-jadwalan yang detail dan permanen hingga ke satuan waktu yang lebih kecil lagi.Ini juga mengingat bahwa masih ada proses lain di tingkat Jakarta —legalisasi

Page 104: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

86

APBD— yang perlu diikuti. Jeda waktu dalam proses yang satu jelas mem-pengaruhi proses secara keseluruhan. Namun demikian, dalam keadaan di manajadwal yang detail dan permanen masih gagal dipenuhi, diperlukan suatu escapestrategy tertentu. Escape strategy ini dapat mengambil dua varian. Pertama,memanfaatkan APBD periode lalu sebagai benchmark bagi penetapan APBDtahun berjalan. Kedua, membangun proyeksi anggaran —berbasis perencanaanyang telah dilegalisasi— untuk masa yang lebih panjang daripada satu tahunsebagai benchmark APBD tahun berjalan. Dalam hal yang terakhir, ini berar-ti diperlukan suatu multi-year budget projection yang diharmonisasikan denganmulti-year development planning. Suatu perangkat hukum di tingkat nasionalyang bisa memayungi kemungkinan-kemungkinan ini terasa dibutuhkan untukmendapat basis legal bagi proses fine tuning ini.

Ketiga, perbaikan teknokrasi pembangunan membutuhkan distribusi tu-gas dan otoritas yang sangat definitif antara pemerintah pusat, provinsi, dankabupaten-kota. Titik tumpu desentralisasi yang diletakkan pada pemerintahdi tingkat kabupaten-kota menjelaskan mengapa penegasan relasi vertikal pe-merintah provinsi dan pemerintah kabupaten-kota perlu dilakukan. Saat ini,otoritas dan tugas pemerintah provinsi berada dalam ketidakjelasan yang serius.Selain itu, dalam era desentralisasi sekarang ini hubungan hirarkis pemerintahprovinsi dan kabupaten-kota juga sangat ambigu (Sudarmo dan Sudjana, 2009),padahal pemerintah provinsi masih menjadi bagian utuh bangunan pemerintahansecara keseluruhan. Ketidakjelasan otoritas dan tugas pemerintah provinsi ser-ta ketidakjelasan bangunan hubungan pemerintah provinsi dengan pemerintahdi bawahnya ini sedikit-banyak membawa akibat pada capaian-capaian wilayah,apalagi jika diingat bahwa koordinasi —sekurang-kurangnya secara normatif—adalah kunci penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Lagi-lagi perangkat hukum yang mengatur distribusi tugas dan otoritas secara vertikalmerupakan kebutuhan yang melekat.

Penataan Pembentukan Yurisdiksi

Gelombang arus pemekaran hingga saat ini belum dapat dibendung. Manakalamasalah-masalah dasar pembangunan di tingkat regional belum terselesaikan —dan motif-motif untuk memekarkan daerah masih ada— arus usulan pemekaranagaknya akan terus mengalir. Namun demikian, itu baru satu soal. Soal lainyang membuat arus ini masih mengalir berada di tingkat Jakarta. Apa yangterlihat di tingkat Jakarta tentang pemekaran daerah adalah sebuah paradoksantara pengakuan normatif dan kenyataan empirik. Di satu sisi, ketika sebuahDOB terbentuk, secara normatif, ia seharusnya dibaca sebagai pengakuan formal—oleh pemerintah dan DPR— akan kapasitas yurisdiksi itu untuk menyeleng-

Page 105: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

87

garakan pemerintahan daerah dan mencapai kesejahteraan rakyat.61 Tetapi, disisi lain —sebagaimana dibuktikan dalam studi ini— secara empirik DOB tidaksaja memiliki performa yang lebih inferior dibandingkan dengan bukan-DOB,tetapi pemekaran itu sendiri bahkan bukanlah jalan efektif untuk mencapai ke-sejahteraan. Dengan demikian, pertanyaannnya ialah apa yang menyebabkanparadoks ini terjadi? Ada apa dengan proses evaluasi teknis di tingkat pemerin-tah dan proses legislasi di tingkat parlemen?

Di Jakarta usulan pemekaran sendiri sebetulnya harus menjalani dua prosespanjang sebelum sebuah yurisdiksi dinyatakan resmi terbentuk. Proses pertamaadalah proses teknis. Ini berada di tangan pemerintah melalui Dewan Pertim-bangan Otonomi Daerah (DPOD) yang berbekal PP 78-2007 menjalankan fungsipenelitian aspek-aspek teknis, administratif, dan kewilayahan pembentukan dae-rah, serta melaksanakan fungsi pemantauan dan evaluasi atas kebijakan otono-mi daerah.62 Proses kedua adalah proses politik legislasi. Proses ini berada ditingkat parlemen mengingat daerah setingkat kabupaten-kota dan provinsi harusdibentuk berdasarkan undang-undang. Di dalam konteks ini, parlemen dapatpula mengajukan RUU insiatif pembentukan daerah dan setiap tahun ia selalumenjadi salah satu agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas).63

Mengingat proses politik seringkali bersifat given dan exogenous dalamproses kebijakan, apa yang dapat dilakukan adalah perbaikan dalam proses tekno-krasi. Tampaknya PP 78-2007 perlu mendapat revisi. Proposal pemekaran bia-sanya menyajikan 6-7 dokumen untuk memenuhi syarat administratif, satu setdokumen sebagai bukti pemenuhan syarat fisik kewilayahan, serta serangkaiantabel yang mengulas 35 indikator yang terkelompok dalam 11 faktor. Ini semuadimaktub dalam PP itu. Tetapi, sebagaimana tercermin dalam sifatnya, datayang disampaikan itu adalah informasi tentang current condition, yakni situasipada saat usulan pemekaran disampaikan atau pra-persetujuan pemekaran.64

Berkenaan dengan itu, ada sedikitnya tiga hal yang kurang dalam pene-tapan syarat pembentukan daerah baru dalam PP itu. Pertama, PP tidak men-yaratkan sebuah usulan pemekaran untuk (1) mengaksentuasi konteks latar be-lakang persoalan yang dihadapi oleh daerah pengusul, (2) menjelaskan mengapapemekaran dijadikan opsi untuk memecahkan persoalan itu, (3) memaparkan apaopsi alternatifnya, serta (4) memperlihatkan apa keunggulan dan kelemahan pe-mekaran sebagai sebuah opsi dibandingkan dengan alternatifnya. Keempat halini penting bagi sebuah proses teknokratik untuk memahami rasionalitas di baliksetiap proposal. Jadi hal pertama yang tidak ada di dalam PP 78-2000 adalah

61Lihat catatan kaki nomor 19.62Fungsi lainnya memberikan pertimbangan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan perimbang-

an keuangan antara Pusat dan Daerah (Keputusan Presiden 49-2000).63Secara formal, fungsi ini juga dimiliki oleh Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Namun

secara empirik, fungsi ini kurang teraksentuasi.64Inipun dengan mengasumsikan bahwa data yang dipresentasikan adalah potret riil di daerah.

Page 106: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

88

konteks dan alasan mengapa pemekaran dijadikan jalan pilihan.

Selain itu, kedua, PP juga tidak menyaratkan daerah pengusul untuk me-nyajikan suatu indicative planning yang berisi proyeksi-proyeksi rasional dalamjangka dekat dan menengah atas beberapa situasi yang relevan dengan kon-teks masalah yang dihadapi. Peraturan Pemerintah 78-2000 sejauh ini hanyamenekankan pada evaluasi atas usulan saat ini tanpa mengaitkannya dengan tu-juan pemekaran dan cara pencapaianya pada masa pasca-persetujuan pemekaran.Indicative planning —yang menyajikan satu set informasi dan analisis menge-nai situasi jangka dekat dan menengah untuk dibandingkan dengan situasi per-soalan ketika proposal pemekaran diajukan— memiliki makna penting untukmemberikan gambaran agak kasar kepada seluruh pihak ke mana arah gerakanyurisdiksi baru kelak.

Ketiga, hal yang tampaknya penting untuk dipertimbangkan adalah pene-tapan status daerah. Sejauh ini PP menetapkan suatu kategori status daerahdalam rentang ‘sangat mampu’, ‘mampu’, ‘kurang mampu’, ‘tidak mampu’, dan‘sangat tidak mampu’ untuk memekarkan diri. Status apapun dalam kategori ini,ia senantiasa bermuara langsung pada penetapan keputusan pembentukan DOB,yakni apakah suatu DOB secara teknis dapat dibentuk atau tidak dapat diben-tuk. Studi ini merekomendasikan suatu revisi atas pemberian status itu, yaknipemberian kategori status tidak diarahkan langsung pada pembentukan DOB,tapi pada tingkat di bawahnya: persiapan ke arah pembentukan DOB.Maksudnya ialah evaluasi yang dilakukan DPOD bukanlah evaluasi kelaikan pe-mekaran, melainkan evaluasi kelaikan suatu daerah untuk masuk dalamtahap persiapan pemekaran.

Lima kategori kelaikan seperti dalam PP tetap diberikan, tetapi kali inikategori ini menerangkan apakah suatu daerah ‘laik’ atau ‘tidak laik’ untuk ikutdalam persiapan pembentukan DOB —bukan ‘mampu’ atau ‘tidak mampu’ un-tuk memekarkan diri. Jika suatu daerah mendapat kategori ‘sangat laik’ atau‘laik’, itu berarti ia mendapat peluang untuk masuk ke dalam suatu masa tran-sisi sebelum pemekaran sesungguhnya dilakukan. Sebaliknya, jika suatu daerahmendapat kategori ‘tidak laik’, ia tidak direkomendasikan untuk masuk ke dalammasa persiapan itu. Pembentukan DOB yang sesungguhnya sendiri baru akanberlangsung setelah tahap persiapan ini dilewati dengan catatan capaian terten-tu. Inipun tidak berlangsung otomatis. Manakala evaluasi pada masa transisimelaporkan hasil negatif, masa persiapan ini diperpanjang. Jika dalam masaperpanjangan ini daerah kembali gagal menunjukkan kinerjanya, peluang ke arahpembentukan DOB harus dihentikan. Singkat kata, revisi yang ditawarkan olehstudi ini adalah perubahan oreintasi PP 78-2007, dari penetapan keputusan pem-bentukan daerah menjadi penetapan keputusan persiapan pembentukan DOB.

Tahap transisi atau persiapan pembentukan DOB ini tidak lain adalahmasa inkubasi yang di dalamnya pemantauan —dan ‘pembinaan’— atas pencapai-

Page 107: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

89

an yang telah diusulkan dalam indicative planning dijalankan. Tahap ini adalahjuga tahap pemantapan proses teknokratik sebelum ia masuk pada proses politiklegislasi. Ini berarti bahwa pembentukan daerah baru akan selalu mengikuti duaproses yang berurutan, yakni (1) proses teknokratis lebih dulu untuk kemu-dian diikuti oleh (2) proses politik. Sebagai suatu urutan, kedua proses tidaktumpang-tindih, tidak berlangsung secara pararel, dan juga tidak berjalan de-ngan arah yang terbalik (politik ke teknokratik). Tahap transisi ini adalah tahapantara, sehingga pembentukan yurisdiksi baru bukanlah suatu lompatan yangtiba-tiba tetapi suatu evolusi politik-administrasi yang terencana dan rasional.

Tahap transisi ini memberi keuntungan bagi pemerintah pusat, pemerintahdaerah induk65, pemerintah calon DOB, parlemen, dan masyarakat. Bagi peme-rintah pusat, tersedia cukup waktu untuk melakukan perencanaan dan proyeksikebutuhan fiskal, khususnya transfer Pusat ke Daerah, karena jumlah yurisdiksibaru dalam bentang tahun tertentu ke depan jauh lebih mudah diprediksi. Bagipemerintah daerah induk, tersedia cukup kesempatan untuk melakukan inven-tarisasi dan pengalihan aset, serta penyesuaian APBD dan sistem administrasi.Bagi pemerintah daerah calon DOB tersedia ruang untuk melakukan persiapandan penyesuaian menuju DOB yang independen. Bagi partai politik, selalu terse-dia peluang untuk menampung aspirasi rakyat dan meneruskannya ke tahap le-gislasi setelah tahap teknokratik dilalui. Bagi masyarakat tersedia cukup masauntuk melakukan penyesuaian administrasi sipil dan kependudukan, administrasidunia usaha, dan pelbagai urusan yang berkenaan dengan pembentukan admin-istrasi pemerintahan baru.

Tiga gagasan revisi PP itu barangkali dapat dijadikan sebagai conditionessine quibus non yang termaktub dalam usulan pemekaran. Tujuannya adalahagar setiap daerah pengusul menimbang dengan lebih kritis dan lebih tajam lagisebelum suatu usulan pemekaran dikirimkan66 dan mempersiapkan infrastrukturadministrasi pemerintahan. Dengan begitu, pergerakan pembangunan daerahmenjadi lebih terarah dan rasional.

65Termasuk pemerintah provinsi, jika yang terjadi adalah pemekaran kabupaten-kota66Konflik horisontal di Banggai Kepulauan, Sulwesi Tengah, baru-baru ini mengenai pene-

tapan ibukota kabupaten sesungguhnya amat mengejutkan, mengingat sejak awal pengusulanhal itu seharusnya sudah menjadi bagian dari pemenuhan syarat fisik kewilayahan sebagaimanadiatur dalam PP. Lagi pula, setiap proposal pemekaran wajib pula mencantumkan “dokumenaspirasi masyarakat” sejak tingkat yang paling bawah. Ini mengandaikan bahwa wacana pe-mekaran adalah wacana publik lokal yang terbuka dan partisipatif. Konflik itu menunjukkanada proses yang tidak transparan dan partisipatif; atau sedikitnya, tidak ada konsesus yang pastimengenai calon ibukota hasil pemekaran. Apa yang juga mengejutkan adalah konflik di dalamtubuh UU Pembentukan Daerah Banggai Kepulauan itu sendiri. Undang-Undang 51 Tahun 1999Pasal 10 ayat (3) menyatakan bahwa Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan berkedudukan diBanggai. Tetapi, Pasal 11 menyebutkan. “Selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahunterhitung sejak peresmian Kabupaten Banggai Kepulauan, kedudukan ibukota dipindahkan keSalakan.”

Page 108: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

90

Page 109: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Bab 5

Epilog

Tugas sebuah pemerintahan di manapun di dunia ini dan pada level apapun —negara, provinsi, distrik, sub-distrik, bahkan desa— adalah jelas: membawa rak-yatnya ke dalam semesta kesejahteraan. Tugas ini mulia, karena ia datang darisebuah mandat yang dipercayakan oleh khalayak banyak kepada penyelenggarapemerintahan. Ideologi, kebijakan, cara, bahkan pilihan-pilihan taktis yang di-ambil oleh sebuah pemerintahan —sekali lagi, di manapun dan di level apapun—hanya dapat disebut fruitful jika ia menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai batupenjurunya. Oleh karena itu, kesejahteraan rakyat akan selalu menjadi tolok ukuruntuk setiap langkah yang diambil oleh sebuah pemerintahan.

Pemekaran daerah, sebagai sebuah opsi tindakan administratif, tidak da-pat melepaskan diri dari tanggung jawab ini. Pembentukan yurisdiksi baru,bagaimanapun, dibiayai sepenuhnya oleh khalayak. Pemekaran daerah, bagaima-napun, telah mengubah alokasi dan arsitektur dana publik. Oleh karenanya,sangat masuk akal jika sumber daya yang dialirkan dari khalayak kepada penye-lenggara pemerintahan harus dipulangkan kembali dalam bentuk kesejahteraan.Tantang-an paling esensial bagi ide pemekaran yurisdiksi justru ada di situ.

Namun demikian laporan ini mencatat ada serangkaian motif di belakanggagasan pemekaran —sosial, politik, dan ekonomi. Tidak semua motif dapat di-intervensi oleh alat-alat kebijakan. Hanya motif-motif tertentu, utamanya yangberkenaan dengan problem riil di tingkat masyarakat, yang bisa diintervensioleh instrumen kebijakan. Motif pengelompokan etnis, misalnya, praktis bera-da di luar kendali kebijakan. Begitu pula dengan motif pelebaran konstituensipolitik, hampir tidak ada alat kebijakan yang dapat mengontrolnya. Lagi pu-la, kalaupun ada alat kebijakan untuk itu semua, bukan hanya efektivitasnyayang diragukan, tetapi manfaatnya juga dipertanyakan publik. Demikian pu-la dengan motif-motif ekonomi. Tidak semua motif ekonomi dapat atau perludikendalikan oleh alat-alat kebijakan. Motif ekonomi untuk mendapatkan DanaBagi Hasil bisa dijadikan contoh untuk itu. Tetapi motif-motif ekonomi sepertiperbaikan kesejahteraan dan pengejaran ketertinggalan memiliki dimensi yang

91

Page 110: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

92

lain, dan karenanya motif-motif ini berada dalam rentang kendali alat-alat ke-bijakan. Khusus untuk motif-motif semacam itu, diskusi masih terbuka luas,apakah pemekaran adalah jalan satu-satunya untuk memperbaiki kesejahteraandan mengejar ketertinggalan? Dapatkah dicari jalan langsung yang efektif untukmencapai tujuannya?

Laporan ini telah memeriksa apakah ada welfare effect yang diciptakanmelalui pemekaran daerah. Dua metoda dipakai untuk mengujinya. Pertama,melalui satu seri quasi-experiments, pemekaran diuji dengan menjadikan sub-populasi DOB sebagai yurisdiksi perlakuan untuk dilihat welfare effectnya re-latif terhadap sub-populasi non-DOB sebagai yurisdiksi kontrol yang sepadan(matched pair). Metoda kedua memeriksa efektivitas pemekaran via serangkaianskenario counter-factual dan simulasi melalui satu gugus policy schocks. Meto-da pertama memperlihatkan hasil negatif: yurisdiksi non-pemekaran masih out-perform dibandingkan yurisdiksi pemekaran. Metoda kedua juga memaparkanproyeksi negatif: skenario pemekaran tidak lebih baik daripada skenario non-pemekaran. Gain yang diperoleh dari tindakan tidak memekarkan diri masihlebih besar daripada tindakan sebaliknya. Pain yang dihasilkan masih lebih be-sar andai opsi pemekaran dipilih. Hasil yang senada juga muncul ketika simulasimelalui sejumlah policy shock diberikan. Dengan kata lain, kedua metoda itumelaporkan hasil yang konsisten. Tentu saja ada, dalam kasus-kasus terbatas,yurisdiksi pemekaran yang memamerkan kinerja impresif. Tetapi, untuk keselu-ruhan Indonesia, kedua metoda itu melaporkan potret yang kembar: pemekaranbukan opsi yang meyakinkan di mata kesejahteraan rakyat dan bahkan cenderungmenjadi jalan administratif amat panjang dan memutar yang harus dibayar den-gan korbanan kesejahteraan rakyat. Suatu alternatif yang lebih efektif jelas dibu-tuhkan.

Gagasan tentang pemekaran kini berada di persimpangan dalam penca-paian tujuannya, karena tolehannya ke belakang menampilkan gambaran keselu-ruhan yang buram. Pertanyaannya sekarang adalah, di persimpangan itu, adakahjalan yang bisa lebih efektif untuk menciptakan kesejahteraan rakyat? Lapor-an ini merekomendasikan agar esensi pembangunan daerah ditemukan kembali—suatu reinventing regional development— sebagai alternatif atas wacana pe-mekaran yang mendominasi kebijakan desentralisasi Indonesia. Reinventing re-gional development ini berakar pada empat kelompok persoalan pembangunandaerah yang masih persisten, yakni ketertinggalan wilayah, kemiskinan, keter-batasan infrastruktur ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, serta keterbatasankapasitas teknokrasi. Upaya ‘menemukan kembali pembangunan daerah’ iniadalah upaya reorientasi pandangan —dari inward looking menjadi outward look-ing dengan memberi porsi besar pada pelayanan publik daripada melulu berkutatdengan issu politik-administrasi. Reorientasi ini adalah wacana alternatif yangditawarkan untuk mengimbangi dominasi wacana pemekaran yang menguat sejakdesentralisasi digaungkan.

Page 111: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

93

Reinventing regional development dapat diilustasikan dalam deskripsi be-rikut. Pertama, dibutuhkan satu gugus tindakan untuk menemukan kembalikebijakan antikemiskinan sebagai tindakan penting dalam upaya pembangunanmanusia Indonesia saat ini. Nature permasalahan kemiskinan yang persistenhingga sekarang ini menuntut upaya pengentasan kemiskinan untuk lebih well-targeted, agar efektivitas pengentasan kemiskinan terjaga tinggi. Tetapi (anti-)poverty targeting policy harus dimulai dari kelengkapan data tentang siapa dandi mana orang miskin berada. Pemerintah dan concerned stakeholders di daerahadalah agen pembangunan yang mengenal siapa orang miskin dan di mana merekaberada —bukan pemerintah di tingkat pusat, apalagi agen pembangunan interna-sional. Untuk itu, laporan ini merekomendasikan pengembangan suatu decentra-lized poverty surveillance system sebagai bagian dari perbaikan mutu teknokrasiantikemiskinan. Dengan data yang rinci dan updated, lonceng di kantor-kantorbupati, camat, dan kepala desa selalu siap berbunyi untuk membawa kebijakan kearah perbaikan kesejahteraan kelompok miskin. Dengan data ini, kebijakan an-tikemiskinan yang berdimensi lokal dapat dirancang dengan topangan kebijakanpendukungnya.

Kedua, mendinamisasi pembangunan di titik-titik yang tertinggal juga di-rekomendasikan dalam studi ini. Ini membutuhkan upaya besar, mengingatwilayah-wilayah tertinggal memiliki banyak sekali keterbatasan. Pada saat yangsama, cara pandang konvensional bahwa ibukota kabupaten-kota adalah pusatsegala macam aktivitas —pemerintahan, politik, dan ekonomi— harus diting-galkan. Diperlukan cara pandang lain untuk memecah kegiatan, dari hanya satutitik pijakan ke titik tumpuan yang lebih bervariasi menurut fungsi dan potensiyang dikandungnya. Di tingkat kabupaten-kota, dibutuhkan lebih banyak ke-camatan untuk menjalankan fungsi dan potensi yang berbeda —bukan satu ke-camatan yang dijadikan batu tumpuan bagi seluruh kegiatan: pemerintahan,politik, dan, terlebih lagi, ekonomi. Pembangunan kecamatan dalam format poly-centric system diusulkan untuk mengimbangi kebijakan refocusing pembangunanwilayah ke arah wilayah tertinggal.

Ketiga, penguatan hubungan antardaerah juga direkomendasikan. Satudi antaranya ialah penguatan hubungan untuk menaikkan angka Indeks Pem-bangunan Manusia. Ini bisa distimuli melalui suatu kompetisi berkala berbasiskerjasama yang memperebutkan suatu block grant untuk pembangunan manu-sia —‘HDI Award ’. Yurisdiksi-yurisdiksi dalam geografi yang bertetangga danmempunyai level playing field yang setara diundang untuk mengajukan gagasankerjasama inovatif ke arah perbaikan IPM. Hibah akan diserahkan kepada setiappasangan pemenang dari setiap group berdasarkan perbaikan capaian IPM yangtelah ditunjukkannya.

Namun demikian, liga IPM hanyalah sebuah ilustrasi, karena amat banyakmedan kerjasama dan kompetisi antardaerah yang dapat dipilih. Pada pokoknya,

Page 112: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

94

yang diperlukan adalah (1) kegiatan yang merangsang terjadinya kompetisi antar-daerah, dan (2) kegiatan yang memancing terbentuknya kerjasama antardaerah.Jadi, pemberian insentif dapat dipakai sebagai mesin penggeraknya. Hingga se-jauh ini ruang yang terbuka adalah pemberian insentif fiskal agar daerah mampumeningkatkan daya saing dan agar daerah mengintegrasikan potensi yang un-tuk bekerja dengan efisiensi dan efektivitas tinggi. Dalam hal yang pertama,Daerah tampaknya dimensi kinerja, selain potensi dan kebutuhan Daerah per-lu ditimbang dalam formula alokasi transfer Pusat ke Daerah —suatu transferberbasis kinerja. Sementara itu, dalam hal yang terakhir, seri kerjasama dalamperencanaan (joint planning), pengadaan barang-jasa (joint procurement), danpelayanan publik (joint public service delivery) adalah pilihan yang dapat diambiluntuk penguatan hubungan antaryurisdiksi.

Keempat, mengingat adanya relasi timbal balik antara intensitas kegiatanekonomi dan kepadatan penduduk, kebijakan yang mengaksentuasi kembali ke-seimbangan geografi kependudukan penting dilakukan. Program relokasi pen-duduk perlu mendapat penyegaran, tidak saja dalam daya pikatnya sehingga lebihbanyak partisipan dalam program ini, tetapi juga pendekatannya. Relokasi pen-duduk yang dilekatkan dengan pengembangan sektor pertanian modern menarikuntuk diterapkan, tetapi pengembangan sektor non-pertanian juga memiliki po-tensi tinggi.

Kelima, kapasitas teknokrasi pembangunan perlu mendapat perhatian. Initidak hanya meliputi peningkatan mutu sumber daya birokrasi, tetapi juga men-cakup harmonisasi agenda dan kepentingan rencana kegiatan pembangunan disatu sisi dengan kepentingan penganggaran di lain sisi. Harmonisasi ini adalahfine tuning proses eksekusi kegiatan pembangunan di tingkat pemerintah daerahdengan proses legislasi dan legitimasi politik atas anggaran di tingkat parlemenlokal. Multi-year budget plan dan multi-year development plan dapat diambilsebagai opsi dalam keadaan harmonisasi ini mengalami kebuntuan serius.

Keenam, penataan pembentukan yurisdiksi diperlukan dengan basis per-timbangan rasional. Pembentukan yurisdiksi baru seharusnya mendapat justi-fikasi teknokratis sebelum memperoleh legitimasi politik. Oleh karena itu, diper-lukan suatu proses evolusi yang terencana dalam pembentukan yurisdiksi baru,yakni suatu fase persiapan sebelum pemekaran. Secara teknis apa yang perluditetapkan oleh pemerintah di tingkat pusat terhadap suatu usulan pembentukanyurisdiksi baru adalah pemberian status ‘laik’ atau ‘tidak laik’ untuk masuk tahappersiapan pemekaran, bukan langsung pembentukan DOB. Pembentukan DOByang sesungguhnya baru akan ditetapkan jika tahap persiapan ini berhasil dilaluidengan kinerja yang meyakinkan. Evolusi ini berakhir dalam proses legislasi danlegitimasi politik di tingkat parlemen.

Ditilik dari lingkup kebijakan yang diusulkan, seluruh rekomendasi ini terba-gi ke dalam tiga kelompok: mikro, meso, dan makro. Ini sekaligus juga mencer-

Page 113: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

95

minkan aktor-aktor mana yang dapat mengambil inisiatif atas setiap rekomendasikebijakan itu. Seluruh rekomendasi ini bukanlah rekomendasi baru, tetapi ia per-lu diaksentuasi kembali secara terus menerus, agar momentumnya tetap terjaga,agar memori pembangunan tetap mengingatnya. Oleh karenanya, paket rekomen-dasi alternatif atas pemekaran itu tidak lain disebut temu-ulang pembangunandaerah. Ia bisa pula dilaksanakan dengan cara-cara baru melalui perbaikan ke-mampuan teknokrasi antikemiskinan dan perencanaan wilayah, kerjasama dankompetisi, serta reformasi geografi kependudukan, teknokrasi penyelenggaraanpembangunan, dan penataan proses pembentukan daerah. Pengetahuan dan ru-jukan pengalaman agen pembangunan tentang ini tidaklah sedikit. Jadi, dapatdikatakan sumber daya bukan tak ada. Yang dibutuhkan sekarang adalah me-manggil kembali rujukan pengetahuan dan memori pengalaman itu untuk satutujuan: kesejahteraan rakyat. Sebagaimana telah disebut, tugas pemerintah dimanapun dan di tingkat apapun, tak lain dan tak bukan, adalah memperbaikimutu kehidupan rakyatnya. Rekomendasi ini tidak mengandung vested interesttertentu. Tapi, andaipun ada, satu-satunya vested interest itu adalah kesejahtera-an rakyat sendiri, karena di dalamnya Indonesia dipandang dari persoalan rakyatyang sesungguhnya, yang riil, yang genuine.

Sudah barang tentu keterbatasan dapat dijumpai dalam studi ini. Dari sisimetodologi, keterbatasan dapat ditemui dalam penyajian indikator yang lebih re-levan dan pendekatan metoda ekonometrika. Dari sisi kebijakan yang diusulkan,selain bukan hal baru, ia juga tidak dapat masuk lebih dalam untuk memuatkebijakan yang lebih rinci. Di dalam situasi seperti itu, posisi laporan pada saatini hanya terletak pada pengguliran wacana inti pembangunan daerah, yakni pe-ningkatan kesejahteraan rakyat. Namun demikian, ada sesuatu yang lebih jelas.Agenda di tingkat makro ini membutuhkan koherensi dimensi-dimensi kebijakanitu. Pengalaman mengajarkan bahwa koherensi merupakan tantangan yang pa-ling sulit dihadapi, karena apa yang disebut agen di tingkat makro ini bukanlahsebuah entitas tunggal dan homogen, tetapi agen dengan diversifikasi preferensi.Oleh karena itu, agen-agen yang berkompeten dan concerned stakeholders perluditemukenali dan diundang dalam suatu forum dialog untuk ‘menemukan kembalipembangunan daerah’.

Page 114: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

96

Page 115: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Daftar Pustaka

Acemoglu, Daron, Simon Johnson, dan James A. Robinson. 2001. “The Colo-nial Origins of Comparative development: An Empirical Investigation.”The American Economic Review, 91(5): 1369-1401.

Acemoglu, Daron, Simon Johnson, dan James A. Robinson. 2002. “Reversalof Fortune: Geography and Instituions in the Making of the World IncomeDistribution.” The Quarterly Journal of Economics, 117(4): 1231-1294.

Alesina, Alberto dan Enrico Spolaore. 1997. “On the Number and Size ofNations.” Quarterly Journal of Economics, 112(4): 1027-1056.

Alesina, Alberto, Enrico Spolaore, dan Romain Wacziarg. 2005. ‘Trade, Growthand the Size of Countries.’ dalam Philippe Aghion and Steven Durlauf(eds.), Handbook of Economic Growth. Elsevier.

Alisjahbana, Armida S. dan Chris Manning. 2006. “Labour Market Dimensionsof Poverty in Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 42(2):235-261.

Bappenas-UNDP. 2008. Evaluation of the Proliferation of Administrative Re-gion in Indonesia.

Bappenas. 2004. Evaluasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru: Ka-jian Kelembagaan, Sumberdaya Aparatur dan Keuangan di Daerah Otono-mi Baru untuk Optimalisasi Pelayanan Masyarakat. Dirjen Otonomi Daerah-Bappenas.

Badjuri, Abdulkahar. 2007. ‘Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme.’dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah: De-sentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPIPress.

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia, Edisi Revisi.

97

Page 116: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

98

del Granado, Francisco Javier Arze. 2009. ‘Spatial Considerations on Decentral-ization and Economies of Concentration in Indonesia.’ dalam Yukon Huangdand Alessandro Magnoli Bocchi (eds.) Reshaping Economic Geography inEast Asia. World Bank.

Collier, Paul dan Anke Hoeffler. 2002. The Political Economy of Secession.Mimeo. Development Research Group. World Bank.

Djohan, Djohermansyah. 2007. ‘Fenomena Etnosentrisme dalam Penyeleng-garaan Otonomi Daerah.’ dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasidan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pe-merintah Daerah. LIPI Press.

DSF. 2007. Costs and Benefits of New Region Creation in Indonesia. FinalReport.

Easterly, William dan Ross Levine. 2003. “Tropics, Germs, and Crops: HowEndowments Influence Economic Development.” Journal of Monetary Eco-nomics, 5(1): 3-39.

Fane, George. 2003. “Change and Continuity in Indonesia’s New Fiscal Decen-tralisation Arrangement.” Bulletin of Indonesian Economic Studies. 39(1):159176.

Fitrani, Fitria, Bert Hofman, dan Kai Kaiser. 2005. “Unity In Diversity? TheCreation of New Local Governments in a Decentralising Indonesia.” Bul-letin of Indonesian Economic Studies. 41(1): 57-79.

Fujita, Masahisa dan Tomoya Mori. 2005. “Frontiers of the New EconomicGeography.” Papers in Regional Science 84(3), 377-405.

Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, dan Rosa Alonso-Terme. 1998. Does Corrup-tion Affect Income Equality and Poverty?. IMF Working Paper 76.

Grossman, Philip J.. 1994. “A Political Theory of Intergovernmental Grants.”Public Choice 78(): 295-303.

Henderson Vernon, Ari Kuncoro, dan Matt Turner. 2004. Corruption in In-donesia. NBER Working Paper No. W10674.

Hofman, Barak D. dan Clark C. Gibson. 2005. Fiscal Governance and PublicServices: Evidence from Tanzania and Zambia. Mimeo. Department ofPolitical Science, University of California.

Hill, Hal. 1996. The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia’s Emerg-ing Giant. Cambridge University Press.

Page 117: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

99

Hill, Hal, Budy P. Resosudarmo, dan Yogi Vidyattama. 2008. “Indonesia’sChanging Economic Geography.” Bulletin of Indonesian Economic Studies44(3): 407-435.

Hill, Hal, Budy P. Resosudarmo, dan Yogi Vidyattama. 2009. ‘Economic Geog-raphy of Indonesia: Location, Connectivity, and Resources.’ dalam YukonHuang dand Alessandro Magnoli Bocchi (eds.) Reshaping Economic Geog-raphy in East Asia. World Bank.

Kant, Surya, Nina Singh, Jagdish Singh, dan A.B. Mukerji. 2004. Reinvent-ing Regional Development: Festschrift to Honour Gopal Krishan. RawatPublications.

Kaufmann, Daniel dan Aart Kray. 2002. “Growth without Governance.’ Econo-mia 3(1): 169-229.

Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Lobaton. 1999. GovernanceMatters. World Bank Policy Research Working Paper 2196.

Knack, Stephen dan Philip Keefer. 1995. “Institutions and Economic Perfor-mance: Cross-National Evidence.” Economics and Politics. 7(3): 207-227.

Knack, Stephen dan Philip Keefer. 1997. “Why don’t Poor Countries CatchUp? A Cross-National Test of an Institutional Explanation.” EconomicInquiry. 35(3): 590-602.

Kingdon, Geeta Gandhi. 2007. The Progress of School Education in India.Global Poverty Research Group (GPRG) and Economic and Social ResearchCouncil (ESRC).

Krugman, Paul. 1993. “First Nature, Second Nature, and Metropolitan Loca-tion.” Journal of Regional Science 33(2): 129-144.

Krugman, Paul. 1998. Development, Geography, and Economic Theory. MITPress.

Kuncoro, Ari. 2004. “Bribery in Indonesia: Some Evidence from Micro-levelData.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 40(3): 329-354.

Kuncoro, Ari. 2009. ‘Spatial Agglomeration, Firm Productivity, and Govern-ment Policies in Indonesia.’ dalam Yukon Huang dand Alessandro MagnoliBocchi (eds.) Reshaping Economic Geography in East Asia. World Bank.

McDonald, James Ted. 2004. “Toronto and Vancouver Bound: The LocationChoice of New Canadian Immigrants.” Toronto and Vancouver Bound: TheLocation Choice of New Canadian Immigrants, 13(1): 85-101.

Page 118: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

100

Meijers, E., Waterhout, B., dan W. Zonneveld. 2005. “Polycentric DevelopmentPolicies in European Countries.” Built Environment 31(2): 97-102.

Nishikimi, Koji. 2008. ‘Specialization and Agglomeration Forces of EconomicIntegration’ dalam Masahisa Fujita, Satoru Kumagai, dan Koji Nishikimi(eds.) Economic Integration in East Asia: Perspectives from Spatial andNeoclassical Economics. Institute of Developing Economies (IDE) JETROdan Edward Elgar Cheltenham.

North, Douglass C.. 2008. ‘Institutions and the Performance of Economies overTime.’ dalam Claude Menard and Mary M. Shirley (eds.) Handbook ofNew Institutional Economics. Springer.

Oates, Wallace E.. 1999. “An Essay on Fiscal Federalism.” Journal of EconomicLiterature 37(3): 1120-1149.

Olsson, Ola dan Douglas A. Hibbs Jr.. 2005. “Biogeography and Long-runEconomic Development.” European Economic Review, 49(4): 443-460.

Otsuka, Keijiro dan Tetsushi Sonobe. 2009. ‘Geography of Cluster-based Indus-trial Development.’ dalam Yukon Huang dand Alessandro Magnoli Bocchi(eds.) Reshaping Economic Geography in East Asia. World Bank.

Qibthiyyah, Riatu Mariatul. 2008. Essay on Political and Fiscal Decentraliza-tion. PhD Dissertation. George State University.

Rasyid, Ryaas. 2007. ‘Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya.’dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah: De-sentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPIPress.

Rauscher, Michael. 1998. “Leviathan and Competition among Jurisdictions:The Case of Benefit Taxation.” Journal of Urban Economics 44(1): 59-67.

Rodrik, Dani. 2003. ‘Introduction: What do We Learn From?.’ dalam DaniRodrik (ed.) In Search of Prosperity: Analytic Narrative on EconomicGrowth. Princeton University Press.

Rodrik, Dani, Arvind Subramanian, dan Fransesco Trebbi. 2004. “InstitutionsRule: The Primacy of Institutions over Geography and Integration in Eco-nomic Development.” Journal of Economic Growth, 9(2): 131-165.

Rosengard, Jay K., Richard H. Patten, Don E. Johnston Jr, dan Widjojo Koe-soemo. 2007. “The Promise and the Peril of Microfinance Institutions inIndonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 43(1): 87-112.

Schrijver, Frans. 2006. Regionalism after Regionalisation: Spain, France, andthe United Kingdom. Amsterdam University Press.

Page 119: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

101

Sudarmo, Sri Probo dan Brasukra G. Sudjana. 2009. The Missing Link: TheProvince and Its Role in Indonesia’s Decentralisation. UNDP Indonesia.

Suyanto, Isbodorini. 2007. ‘Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme.’dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah: De-sentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPIPress.

Tobler, Waldo R.. 1970. “A Computer Movie Simulating Urban Growth in theDetroit Region”. Economic Geography 46(2): 234-240.

WHO Ghana. 2005. Bringing Immunization Services Closer to Communities:The Reaching Every District Experience in Ghana. WHO Publication.

WHO. 2005. Bringing Immunization Services Closer to Communities: TheReaching Every District Experience in Ghana.

Williamson, Oliver E.. 2008. ‘Transaction Cost Economics.’ dalam ClaudeMenard and Mary M. Shirley (eds.) Handbook of New Institutional Eco-nomics. Springer.

World Bank. 1994. Better Health in Africa: Experience and Lessons Learned.World Bank.

World Bank. 1997. The State in a Changing World. World Development Report1997. World Bank.

Yamauchi, Futoshi, Megumi Muto, Reno Dewina, dan Sony Sumaryanto. 2009.‘Spatial Networks, Incentives, and the Dynamics of Village Economies: Evi-dence from Indonesia.’ dalam Yukon Huang dan Alessandro Magnoli Bocchi(eds.) Reshaping Economic Geography in East Asia. World Bank.

Zhang Tiedao, Zhao Min Xia, Zhao Xueqin, Zhang Xi, dan Wang Yan. 2004.Universalizing Nine-Year Compulsory Education for Poverty Reduction inRural China Scaling up Poverty Reduction: A Global Learning Process.Conference Shanghai, 25-27 May.

Page 120: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

102

Page 121: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Lampiran Teknis

Metoda Evaluasi

Untuk sampai pada suatu evaluasi umum mengenai perbandingan indikator-indikator ekonomi dan sosial, diperlukan satu gugus prosedur untuk menjaminevaluasi ini proper secara metodologis. Metodologi yang diterapkan di sini analogdengan metodologi dalam riset-riset eksperimental di luar ilmu-ilmu sosial. Olehkarena itu, ia bersifat quasi-experimental.

Prinsip pokok di balik metodologi ini adalah pengambilan sampel amatanyang comparable dan “fair” untuk dianalisis. Comparability merujuk pada kese-bandingan amatan, sedangkan fairness pada kesamaan peluang bagi suatu am-atan untuk dipilih. Ini berarti setiap kelompok amatan —yaitu DOB sebagaikelompok perlakuan dan non-DOB sebagai kontrol67— harus dijamin memilikikarakteristik yang kurang-lebih serupa.68 Keserupaan karakteristik itulah yangmenghasilkan kesebandingan amatan. Ia juga membuat amatan memiliki proba-bilitas yang sama untuk diambil sebagai sampel. Kegagalan dalam pengambilanamatan yang sebanding membawa analisis pada resiko selection bias. Selectionbias merujuk pada suatu distorsi dalam data atau evidence yang dianalisis akibatkesalahan dalam pengambilan amatan yang membuat treated group dan controlgroup tak sebanding.

Dua langkah awal perlu lebih dulu dikerjakan sebelum pembandingan indi-kator-indikator sosial dan ekonomi antara DOB dan non-DOB dilakukan. Per-

67Untuk simplifikasi, studi ini hanya membagi amatan menjadi dua: DOB sebagai treated dannon-DOB sebagai control. Daerah Otonomi Baru dinyatakan sebagai daerah yang mengalamiperubahan regim administratif. Berdasarkan konstruksi ini, daerah induk tidak dikategorisasisebagai DOB, tapi non-DOB —sama seperti daerah lain yang tidak mengalami perubahan regim(tidak mengambil opsi pemekaran).

68Bahkan, tidak ada jaminan bahwa dua distrik yang bertetangga secara geografis sekalipunmemiliki karakteristik yang sama. Dalam analogi riset eksperimental, sebelum sebuah perlakuandiberikan dan efeknya diamati, periset eksperimental harus memastikan bahwa sampel yangakan dibandingkan (treated dan control) berada dalam lingkungan yang sama serta memilikikarakterstik fisik dan genetis yang juga serupa. Dengan demikian, efek yang diamati itu murniberasal dari perbedaan perlakuan, bukan dari faktor lain.

103

Page 122: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

104

tama, studi ini mengeksplorasi satu gugus karakteristik yang dicerminkan olehkedua kelompok amatan itu. Kedua, dengan mempertimbangkan gugus karak-teristik ini, studi ini membangun sebuah fungsi probabilistik untuk menghasilkansuatu besaran yang disebut propensity score. Propensity score ini merupakan sua-tu ukuran yang dapat memberikan informasi mengenai besarnya peluang DOBsebagai treated dan non-DOB sebagai control untuk diambil sebagai amatan.

Selanjutnya, amatan dalam setiap kelompok perlakuan dan kontrol ini di-seleksi berdasarkan kesamaan propensity score-nya. Ini berarti bahwa amatanyang terpilih adalah amatan yang berpeluang sama untuk dibandingkan sejalandengan kesamaan karakteristiknya. Pada tahap ini, pengujian statistik perludilakukan untuk memastikan bahwa propensity score antara kelompok perlakuandan kontrol ini tidak berbeda. Berdasarkan konstruksi ini, kendati pada awalnyalebih dari 400 kabupaten-kota dieksplorasi, pembandingan indikator sosial danekonomi dalam evaluasi ini hanya terfokus pada amatan-amatan yang comparable.

Mencari Kesebandingan Amatan

Studi ini menggunakan satu kelas fungsi probabilistik, yang disebut sebagai fungsiprobit, untuk mendeteksi karakteristik DOB dan non-DOB. Secara kategoris,karakteristik yang ditangkap dari kedua kelompok yurisdiksi ini adalah karak-teristik yang berdimensi geografis, demografis, politik, dan ekonomi. Lebih spe-sifik lagi, karakteristik itu adalah rentang kendali, jarak dari ibukota provinsi,fraksionalisasi politik, jumlah penduduk, share sektor ekstraktif (kehutanan danpertambangan) terhadap anggaran pemerintah lokal (APBD), rasio Dana AlokasiUmum (DAU) terhadap APBD, serta apakah suatu distrik termasuk dalam kate-gori daerah tertinggal atau tidak.69

Patut dicatat di sini, seluruh karakteristik ini ditelaah secara post factum.Maksudnya, yurisdiksi DOB dan non-DOB dianalisis hanya setelah peristiwa pe-mekaran berlangsung. Jadi, secara keseluruhan pelacakan karaketeristik ini tidak-lah selalu berarti sebagai upaya untuk menemukan motif pemekaran —walaupun,untuk beberapa karakteristik tertentu, bisa dimungkinkan. Ia tidak memper-tanyakan mengapa suatu yurisdiksi terpecah (splitting) menjadi dua atau tigaDOB, tetapi apa karakteristik yang bisa ditelaah untuk membandingkan DOBdengan non-DOB.

Ada cukup alasan mengapa satu gugus karakteristik yang disebut di atasperlu dieksplorasi. Pertama, selain selalu membawa perubahan regim, pemekaranjuga menghasilkan perubahan dalam geografi, demografi, politik, dan ekonomiwilayah. Oleh karenanya, diperlukan satu gugus variabel yang dapat menangkap

69Data mutakhir yang mampu menangkap observasi yang besar mengenai fraksionalisasi etnisuntuk merepresentasi dimensi sosiologis pemekaran tidak tersedia.

Page 123: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

105

perubahan itu. Di sinilah analisis menjadi bersifat post factum. Analisis postfactum atas DOB dan non-DOB ini berkehendak untuk menangkap “hasil” dariperubahan itu, bukan “proses”-nya. Kedua, bertalian dengan proses komputasipropensity score, karakteristik-karakteristik itu akan dimanfaatkan untuk menghi-tung seberapa besar peluang suatu DOB dan non-DOB terpilih sebagai sampel.

Khusus mengenai karakterisitik yang pertama, berbasis pada pendekatanfactor analysis, laporan ini membangun sebuah indeks rentang kendali. Di sinirentang kendali sebagai sebuah latent concept dibentuk dari dua dimensi kunci:geografi dan pemerintahan. Dimensi geografi menelusuri luas fisik yurisdiksi danketinggiannya dari permukaan laut (altitude). Ini melukiskan besarnya area yangharus di-cover oleh setiap yurisdiksi. Dimensi yang kedua, dimensi pemerintahan,meliputi seberapa banyak suatu kabupaten-kota harus melayani yurisdiksi yanglebih rendah, yakni kecamatan dan desa.

Secara intuitif, rentang kendali akan semakin panjang pada yurisdiksi-yurisdiksi dengan geografi yang luas, terletak di ketinggian, serta memiliki banyakkecamatan dan desa. Tabel Lampiran Teknis 1 memberi konfirmasi atas intuisiini: semakin luas suatu yurisdiksi, semakin tinggi ia terletak dari permukaanlaut, serta semakin banyak kecamatan dan desa yang harus dilayani, semakinpanjang pula rentang kendali yang ada. Ini tercermin pada nilai positif setiapfactor loading dan koefisien variabel pembentuk rentang kendali. Dengan kon-struksi ini sebuah indeks rentang kendali lalu dibuat. Selanjutnya, bersama-samakarakteristik yang lain, ia ditelaah dalam suatu fungsi probit.

TABEL LAMPIRAN TEKNIS 1.Rentang Kendali: Hasil “Factor Analysis”

Eigen Loading Koef. RentangFaktor

ValueVariabel

Factor 1 Kendali

Faktor 1 1,381 Luas Wilayah 0,128 0,026

Faktor 2 0,105 Ketinggian dari Muka Laut 0,175 0,039

Faktor 3 -0,092 Jumlah Kecamatan 0,815 0,454

Faktor 4 -0,184 Jumlah Desa 0,819 0,467

Jumlah observasi: 440 distrik

Hasil analisis probit menunjukkan bahwa DOB cenderung memiliki rentangkendali yang lebih sempit daripada daerah lain. Ini sejalan dengan adanya pen-ciutan luas wilayah ataupun jumlah kecamatan dan desa yang harus dilayani.Hal serupa juga terjadi dalam jumlah penduduk: DOB cenderung less populated.Mudah diduga, penciutan luas wilayah berarti penciutan populasi pula. Semen-

Page 124: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

106

tara itu, ditemukan juga bahwa, di dae-rah hasil pemekaran, partai-partai poli-tik dalam parlemen cenderung lebih terfragmentasi dibandingkan dengan partai-partai politik di yurisdiksi non-DOB. Ini menegaskan analisis di bab awal menge-nai political fractionalization. Terdeteksi pula bahwa secara geografis yurisdiksibentukan baru pada umumnya terletak jauh dari ibukota provinsi sebagai pusatkegiatan ekonomi dan pemerintahan.

Hasil analisis berikutnya memperlihatkan bahwa di yurisdiksi hasil pe-mekaran dua sektor ekstraktif kehutanan dan pertambangan mengambil peranyang lebih besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) kabupaten-kota dibandingkan de-ngan peran yang dijumpai di yurisdiksi lain. Juga, menarikuntuk dicatat bahwa transfer Pusat dalam bentuk DAU secara sistematik men-jadi pembeda penting antara DOB dan non-DOB. Dalam perspektif post-factum,temuan tentang pentingnya hasil ekstraksi kehutanan dan pertambangan ser-ta perolehan DAU ini bisa menjelaskan motif ekonomi di belakang pemekaran.Akhirnya, fakta bahwa daerah hasil pemekaran lebih tertinggal dibandingkandengan daerah lain menjadi determinan penting pemekaran pula. Semua deter-minan ini signifikan secara statistik pada selang 1-10 persen (Tabel LampiranTeknis 2). Dalam kalimat lain, pola yang ditunjukkan oleh setiap karakteristikini adalah pola yang sistematik —bukan semata-mata sebuah “kebetulan”.

Berdasarkan parameter karakteristik DOB dan non-DOB sebagaimana di-diskusikan itu, propensity score selanjutnya dikalkulasi. Secara teknis, score initidak lain dari nilai prakiraan atas fungsi probit yang jatuh pada kisaran nilaiantara nol hingga satu. Hasil komputasi memperlihatkan bahwa propensity scoreyang mendapatkan common support dari kedua kelompok DOB dan non-DOBitu berada dalam selang 0,067-0,989.

Data nilai prakiraan ini lalu dipecah ke dalam dua kelompok amatan, yakniDOB sebagai treated dan non-DOB sebagai control, seperti dipresentasikan dalamGambar Lampiran Teknis 1. Propensity score di setiap kelompok kemudian didis-tribusikan ke dalam beberapa blok hingga tercapai jumlah blok optimum. Jumlahblok optimum ini diraih melalui sebuah proses algoritma, sedemikian rupa hing-ga perbedaan propensity score antara amatan di daerah perlakuan dan di daerahbukan-perlakuan tidak signifikan secara statistik.

Langkah berikutnya adalah uji keseimbangan (balancing test) terhadap se-tiap karakteristik di setiap blok yang ditemukan. Pengujian ini untuk memas-tikan bahwa tidak ada perbedaan statistik dalam setiap karakteristik DOB dannon-DOB yang diamati. Hasil uji memperlihatkan seluruh karakterisitik yangdiamati mampu memenuhi balancing property. Amatan dengan propensity scoredan karakteristik yang tidak berbeda secara statistik ini adalah amatan yang se-banding. Amatan inilah yang dipakai sebagai sampel untuk mengevaluasi capaianDOB dan non-DOB dalam sektor ekonomi dan sosial.

Page 125: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

107

TABEL LAMPIRAN TEKNIS 2.Fungsi Probit Pembentukan Daerah Otonomi Baru

Variabel: DOB=1, lainnya=0 Koef. Std. Err. Signf. Koef. Std. Err. Signf.

Rentang Kendali -0,41 0,14 *** -0.81 0.11 ***

Jarak dari Ibukota Provinsi (Ln) 0,13 0,07 * 0.25 0.07 ***

Fraksionalisasi Politik 2,93 1,39 ** 2.56 1.32 **

Jumlah Penduduk (Ln) -0,60 0,12 ***

Share Sektor Ekstraktif 1,28 0,43 *** 1.62 0.40 ***

Rasio DAU terhadap APBD 0,43 0,22 * 0.68 0.21 ***

Daerah Tertinggal (Dummy) 0,40 0,18 **

Kemiskinan 0.02 0.01 ***

Konstanta 3,39 2,01 * -4.62 1.08 ***

Jumlah Amatan 430 430

Likelihood Ratio χ2 178,05 *** 141,85 ***

Pseudo-R2 0,33 0,26

Tanda ***, **, dan * signifikan pada taraf 1, 5, dan 10%.

GAMBAR LAMPIRAN TEKNIS 1. Sebaran “Propensity Score”

Dari 430 kabupaten-kota yang diamati, paling banyak hanya 139 DOB dan175 non-DOB —atau total 73 persen amatan— yang dapat diperbandingkan.Dinyatakan dengan cara lain, maksimum hanya 175 amatan kontrol yang matcheddengan 139 amatan perlakuan. Proses algoritma atas amatan ini menghasilkan

Page 126: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

108

lima blok propensity score yang tidak berbeda secara statistik antara kelompokperlakuan dan kelompok kontrol (Tabel Lampiran Teknis 3). Di dalam setiapblok itu seluruh karakteristik yang telah dispesifikasi juga dijelajahi. Hasil anali-sis menunjukkan tujuh karakteristik kelompok perlakuan dan kelompok kontroltidak berbeda secara statistik. Ini berarti proses algoritma telah mampu mere-duksi confounding factors, sehingga selection bias dapat diminimumkan. Berba-sis amatan-amatan yang sebanding ini, evaluasi capaian DOB dan non-DOBdilakukan.

Membandingkan Capaian

Dalam literatur evaluasi, perbedaan capaian antara kelompok perlakuan dan kon-trol disebut sebagai Average Treatement Effect for the Treated (ATET). Dalamkonteks studi ini, ATET tidak lain adalah selisih capaian indikator-indikator70

di empat sektor antara yurisdiksi pemekaran (perlakuan) dan yurisdiksi non-pemekaran (kontrol).71

Ada beberapa teknik yang berbeda untuk menghitung ATET, tetapi se-cara kualitatif hasil penggunaan teknik-teknik itu biasanya sama. Tiga teknik,tapi tanpa prefe-rensi khusus, dipakai di sini. Ketiganya ialah stratification, near-est neighbor, dan kernel matching. Teknik stratification membagi data propensityscore ke dalam beberapa selang (intervals) atau blok, sedemikian hingga di dalamsetiap selang kelompok perlakuan dan kelompok kontrol mempunyai propensityscore yang kurang-lebih sama. Nearest neighbor mencari amatan dalam kelom-pok kontrol yang mempunyai propensity score paling dekat dengan propensityscore kelompok perlakuan. Di dalam kernel matching seluruh amatan dalamkelompok perlakuan dipadu-pasangkan dengan rataan terbobot seluruh amatandalam kelompok kontrol. Bobot itu secara proporsional berbanding terbalik de-ngan jarak propensity score antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.Dengan menggunakan tiga teknik ini, evaluasi bergerak dari sektor kesejahte-raan umum, diikuti oleh pendidikan dan kesehatan, lalu diakhiri dengan sektorinfrastruktur.

70Pilihan indikator, hingga tingkat tertentu, dilimitasi oleh ketersediaan data.71Penjabaran ini hanyalah untuk kepentingan simplifikasi diskusi. Penjabaran yang lebih

tepat tentang ATET adalah selisih antara capaian suatu yuridiksi yang mengambil opsi pe-mekaran dengan capaian jika ia tidak mengambil opsi itu. Di bagian-bagian teks berikutnyadalam laporan ini, setiap kali DOB dan non-DOB dibandingkan, ia dimaksudkan berada dalampengertian sebagaimana dijabarkan.

Page 127: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

109

TABEL LAMPIRAN TEKNIS 3. Blok Optimal dan Uji Keseimbangan

Blok Propensity Score Jumlah Rataan Propensity Score

(Karakteristik Amatan) Amatan (Rataan Nilai Karakteristik)

Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Selisih

t-stat.

Blok 1 54 15 0,125 0,120 0,005 0,393

• Rentang Kendali 54 15 0,093 0,314 -0,221 -0,865

• Jarak dari Ibukota Provinsi 54 15 3805 4065 -0,260 -0,550

• Fraksionalisasi Politik 54 15 0,794 0,815 -0,021 -0,963

• Jumlah Penduduk (Ln) 54 15 12912 12931 -0,019 -0,124

• Share Sektor Ekstraktif 54 15 0,070 0,056 0,014 0,323

• Rasio DAU-APBD 54 15 0,289 0,383 -0,094 -0,922

• Daerah Tertinggal (Dummy) 54 15 0,481 0,400 0,081 0,553

Blok 2 72 16 0,288 0,327 -0,038 -2,512

• Rentang Kendali 72 16 -0,213 -0,494 0,281 1522

• Jarak dari Ibukota Provinsi 72 16 4380 4010 0,370 0,982

• Fraksionalisasi Politik 72 16 0,828 0,827 0,001 0,062

• Jumlah Penduduk (Ln) 72 16 12462 12365 0,097 0,934

• Share Sektor Ekstraktif 72 16 0,091 0,073 0,019 0,409

• Rasio DAU-APBD 72 16 0,334 0,402 -0,068 -0,688

• Daerah Tertinggal (Dummy) 72 16 0,472 0,438 0,035 0,249

Blok 3 25 41 0,492 0,516 -0,024 -1,527

• Rentang Kendali 25 41 -0,445 -0,468 0,023 0,181

• Jarak dari Ibukota Provinsi 25 41 5019 4899 0,121 0,635

• Fraksionalisasi Politik 25 41 0,848 0,847 0,001 0,078

• Jumlah Penduduk (Ln) 25 41 12085 11977 0,108 1,132

• Share Sektor Ekstraktif 25 41 0,084 0,121 -0,037 -0,790

• Rasio DAU-APBD 25 41 0,445 0,425 0,021 0,198

• Daerah Tertinggal (Dummy) 25 41 0,560 0,488 0,072 0,562

Blok 4 19 41 0,686 0,682 0,003 0,212

• Rentang Kendali 19 41 -0,427 -0,475 0,048 0,418

• Jarak dari Ibukota Provinsi 19 41 5101 5144 -0,042 -0,216

• Fraksionalisasi Politik 19 41 0,860 0,845 0,015 1,200

• Jumlah Penduduk (Ln) 19 41 11649 11686 -0,037 -0,381

• Share Sektor Ekstraktif 19 41 0,158 0,169 -0,011 -0,189

• Rasio DAU-APBD 19 41 0,637 0,541 0,096 1,261

• Daerah Tertinggal (Dummy) 19 41 0,632 0,805 -0,173 -1,443

Blok 5 5 26 0,879 0,886 -0,007 -0,300

• Rentang Kendali 5 26 -0,640 -0,498 -0,141 -0,827

• Jarak dari Ibukota Provinsi 5 26 5105 5517 -0,412 -1,155

• Fraksionalisasi Politik 5 26 0,846 0,832 0,014 0,561

• Jumlah Penduduk (Ln) 5 26 10877 10896 -0,019 -0,075

• Share Sektor Ekstraktif 5 26 0,292 0,334 -0,042 -0,348

• Rasio DAU-APBD 5 26 0,619 0,576 0,043 0,428

• Daerah Tertinggal (Dummy) 5 26 0,800 0,962 -0,162 -1,342

Keterangan: Taraf signifikansi yang ditetapkan sebagai benchmark default adalah satu persen.

Page 128: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

110

Determinan Capaian Sosial-Ekonomi

Dalam spesifikasi yang paling sederhana, capaian pembangunan dapat dinyatakansebagai fungsi dari satu gugus determinan plus sebuah dummy variable yangmembedakan DOB dari non-DOB. Dalam laporan ini, spesifikasi itu disebutachievement function. Achievement function, sebagaimana juga fungsi-fungsi re-gresi lainnya, selalu mengandung intercept dan slope. Intercept ditangkap melaluiparameter konstanta, sedangkan slope dicerminkan oleh koefisien setiap determi-nan. Dalam ekspresi yang simplistis, koefisien-koefisien ini menjelaskan seberapabesar efek suatu determinan, misalnya DAU, terhadap suatu capaian, misalnyaIPM.

Akan tetapi, ada beberapa issu yang mengemuka dalam spesifikasi seper-ti ini. Pertama, dalam spesifikasi yang sederhana itu, efek pemekaran melaluidummy variable hanya bisa ditangkap melalui intercept, bukan slope. Dengandummy variable, slope dianggap sama antara DOB sebagai kelompok perlakuandan non-DOB sebagai kontrol. Tidak cukup alasan mengapa hanya interceptyang berperan sebagai pembeda antara DOB dan non-DOB; mengapa perbedaanparameter slope tidak diperhitungkan.

Kedua, pemekaran bukanlah fenomena yang bersifat eksogen. Ada satuset variabel yang menentukan pengambilan keputusan pemekaran, misalnya fak-ta rendahnya capaian daerah seperti terlihat dalam ketertinggalan wilayah dankemiskinan. Dalam hal ini, rendahnya capaian daerah menjadi alasan pentingbagi pengambilan keputusan pemekaran, sementara keputusan pemekaran jugaditujukan untuk memperbaiki capaian daerah. Jadi, cukup alasan untuk mene-tapkan pemekaran sebagai fenomena yang bersifat endogenous.

Ketiga, selection bias. Dalam amatan yang tidak random, seperti dalamstudi yang dilaporkan ini, selection bias merupakan issu yang lazim terjadi. Keti-ka amatan telah ditentukan sebagai kelompok perlakuan dan kontrol, secarastatistik kedua kelompok ini unequal. Pengambilan sampel kabupaten-kota tan-pa memperhatikan keterbandingannya mengandung resiko bias selection. Untukitu diperlukan suatu teknik yang dapat mengoreksi bias ini. Propensity scoreyang ditransformasi ke dalam Mills ratio bisa digunakan untuk mengoreksi biasitu. Mills ratio, tepatnya inverse Mills ratio, adalah nisbah antara propensityscore dalam bentuk probability distribution function (PDF) dan propensity scoredalam bentuk cumulative distribution function (CDF). Keduanya memberikangambaran mengenai distribusi peluang sebuah random variable.

Page 129: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

111

Dengan tiga pertimbangan di atas, spesifikasi dengan dummy variable DOBdan non-DOB tadi perlu dimodifikasi. Sebelumnya terdapat hanya satu achieve-ment function di mana pemekaran dan non-pemekaran ditangkap oleh sebuahdummy variabel. Kini, dummy variabel itu disubstitusi oleh Mills ratio yangditransformasi dari propensity score sudah diperoleh sebelumnya. Lalu, untukmembandingkan capaian DOB dan non-DOB, achievement function itu dipecahke dalam dua bagian: satu untuk DOB, lainnya untuk non-DOB.

Akhirnya, untuk menjalankan counter-factual analysis, sample switchingantara DOB dan non-DOB diterapkan setelah parameter setiap determinan di-estimasi. Secara intuitif ini berarti perilaku yurisdiksi DOB dijadikan perilakunon-DOB. Sebaliknya, yurisdiksi non-DOB disimulasi untuk berperilaku seper-ti yurisdiksi DOB. Hasil prediksi melalui sample switching ini dipakai untukmenjawab pertanyaan: apa yang terjadi dengan capaian suatu yurisdiksi —yang secara faktual tidak mengambil opsi pemekaran— jika ia mengambil op-si itu (counter-factual)? Atau, apa yang terjadi jika DOB berperilaku sebagainon-DOB? Bagaimana dengan sebaliknya. Perbandingan predicted achievementantar-kedua skenario itu dapat memperlihatkan pain dan gain pemekaran.

Namun demikian, sebelum sampai pada analisis counter-fatual, laporan inilebih dulu melacak faktor-faktor penentu capaian daerah. Geografi, governance,dan input factors merupakan tiga dari sejumlah kelompok determinan yang dapatmempengaruhi capaian perkembangan ekonomi sosial. Di dalam setiap kelom-pok ada satu gugus variabel yang relevan. Dalam hal geografi, studi-studi antar-negara menunjukkan betapa kelompok determinan ini tidak dapat diabaikan be-gitu saja (Acemoglu et al., 2001, 2002; Easterly dan Levine, 2003; Rodrik et al.,2004, Olsson dan Hibbs Jr., 2005).

Ada banyak alasan mengapa geografi dapat mengambil peran penting dalampembangunan ekonomi dan kemajuan sosial. Pertama, jelas karena geografimenyediakan ruang fisik tempat anggota masyarakat berinteraksi untuk pemenuh-an kebutuhan sosial dan ekonomi. “Ruang” selalu menjadi kata kunci dalaminteraksi masyarakat ini. Kedua, geografi juga bertaut dengan ketersediaansumber-sumber alam yang dapat didayagunakan secara ekonomis. Tambang,mineral, hasil hutan, atau perikanan adalah contoh-contoh sumber daya alamyang dapat ditransformasikan ke arah kesejahteraan masyarakat. Ketiga, posisigeografi suatu yurisdiksi menentukan curah hujan, iklim, pasokan air, ataupunkesuburan lahan yang kemudian dapat mempengaruhi produktivitas sektor per-tanian dan aktivitas tautannya.

Tetapi, keempat, geografi juga berpotensi membawa kerugian ketika sua-tu lokus geografi tertentu menjadi tempat perkembangbiakan beragam penyakitseperti malaria atau vektor pembawa penyakit lain. Juga tidak kalah penting,suatu lokus geografi tertentu bisa merupakan tempat yang rawan terhadap gem-pa, longsor, banjir, dan bencana alam lain. Akhirnya, ke lima, geografi dapat

Page 130: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

112

pula menciptakan keterkucilan (remoteness) dan keterkuncian (landlockedness)wilayah, termasuk juga kondisi sebaliknya. Suatu lokus geografi bisa terkucilketika ia terletak amat jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi dan sosial. Se-lain itu, ia dapat pula terkunci karena absennya akses pada moda transportasidarat, air, dan udara. Pendek kata, geografi dapat menjelma menjadi rahmat,tetapi bisa pula ia berubah menjadi kutuk.72 Daftar lengkap variabel geografiditampilkan dalam Lampiran Deskripsi Data.

Tentu saja geografi tidak cukup. Akhir-akhir ini diskurus pembangunandunia mengarah juga pada mutu penyelenggaraan pemerintahan. Governancesemakin luas diketahui perannya dalam perbaikan kesejahteraan rakyat. Negeri-negeri yang dijalankan oleh well-governed bureaucracy cenderung menunjukkankinerja yang meyakinkan (Knack and Keefer, 1995, 1997; Kaufmann et al., 1999;Gupta et al., 1998). Hampir telah menjadi konsensus bahwa tingkat korupsiyang rendah, birokrat yang bermutu, ataupun kapasitas teknokrasi yang tinggimenaikkan taraf hidup rakyat dengan sangat berarti. Sebaliknya, korupsi dankinerja governance yang buruk bisa menurunkan produktivitas, memperdalamkemiskinan, memperburuk ketimpangan pendapatan, ataupun menjatuhkan mu-tu infrastruktur publik. Jadi, good governance meningkatkan kapasistas kelemba-gaan pemerintahan dalam perencanaan, pengalokasian, dan pengelolaan sumberdaya. Good governance memperlebar ruang bagi sistem checks and balances un-tuk bekerja, sehingga mempertinggi akuntabilitas dan transparansi proses pem-bangunan. Good governance juga menaikkan efektivitas penyu-sunan dan imple-mentasi kebijakan pemerintah maupun public sector secara keseluruhan.

Input factors adalah kelompok determinan ketiga. Capaian ekonomi dansosial sudah barang tentu ditentukan pula oleh bagaimana dan seberapa be-sar input diinjeksi ke dalam sistem. Sarana kesehatan yang buruk atau fasili-tas pendidikan yang kurang pasti menjadi persoalan yang sangat berat untukmeningkatkan mutu manusia. Begitu juga kemampuan pembiayaan yang min-im atau infrastruktur fisik yang bermutu rendah, semuanya ikut menentukantinggi-rendahnya capaian ekonomi dan sosial. Setiap sektor sudah barang tentumemiliki input factors yang khas. Dalam unit analisis kabupaten-kota, ia dapatberupa tingkat kemiskinan distrik, penduduk, sarana pendidikan dan kesehatan,termasuk juga besar dana yang diinjeksi untuk setiap sektor. Dalam logika pro-duksi barang dalam suatu perusahaan, input factors adalah alat, bahan, danmaterial yang dipakai untuk menghasilkan output.

72Di beberapa bagian dunia, sumber daya alam bahkan telah melahirkan perebutan bahkankonflik berdarah yang berkepanjangan. Di belahan dunia lainnya, kisruh mengenai batas-batasteritorial, termasuk saling klaim atas wilayah darat dan laut, juga sering meningkatkan kete-gangan antar-yurisdiksi.

Page 131: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

113

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

TE

KN

IS4A

.D

eter

min

anIn

dek

sP

emb

angu

nan

Man

usi

a

Dep

enden

tV

ari

able

:D

OB

Buka

n-D

OB

Dep

enden

tV

ari

able

:D

OB

Buka

n-D

OB

IPM

Koef

.R

SE

Koef

.R

SE

IPM

Koef

.R

SE

Koef

.R

SE

Geo

gra

fi:

Geo

gra

fi:

•In

dones

iaB

ara

t0,9

00,5

1*

1,8

30,5

0***

•Jaw

a-1

,70

1,2

9-0

,84

0,5

5

•L

uas

Wilay

ah

(Ln)

-0,4

10,2

2*

-0,6

10,1

6***

•L

uas

Wilay

ah

(Ln)

-0,5

00,2

4**

-0,8

80,1

8***

•K

epula

uan

-1,0

00,6

2-2

,09

0,5

4***

•K

epula

uan

-1,3

30,6

4**

-2,9

90,5

3***

•N

isbah

Sek

t.E

kst

rak.

3,0

21,3

4**

3,7

31,3

1***

•N

isbah

Sek

t.E

kst

rak.

2,1

61,3

84,1

81,4

5***

Gov

ernance

:G

over

nance

:

•T

eknokr.

Per

enca

naan

2,0

11,0

8*

0,1

80,3

4•

Tek

nokr.

Per

enca

naan

2,0

31,0

6*

-0,1

30,3

6

•T

eknokr.

Fis

kal

4,1

59,3

412,3

63,5

6***

•T

eknokr.

Fis

kal

9,8

310,5

812,0

73,4

8***

•K

oru

psi

0,4

70,5

8-0

,86

0,5

1*

•K

oru

psi

0,5

00,6

3-0

,75

0,5

1

Input

Fact

or:

Input

Fact

or:

•K

emis

kin

an

-0,1

10,0

3***

-0,1

80,0

2***

•K

emis

kin

an

-0,1

30,0

3***

-0,1

60,0

3***

•P

usk

esm

as/

1000

Pop.

3,9

39,4

526,9

88,6

***

•P

usk

esm

as/

1000

Pop.

5,9

79,5

224,1

09,4

0***

•Jum

lah

Sek

ola

h+

0,0

50,0

2***

0,0

10,0

1•

Jum

lah

Sek

ola

h+

0,0

40,0

2***

0,0

10,0

1

•Jum

lah

Pen

duduk

-1,1

80,7

2-1

,10

0,5

4**

•Jum

lah

Pen

duduk

-0,3

60,7

3-0

,11

0,5

4

Konst

an

80,9

06,8

2***

85,6

74,9

4***

Konst

an

8,6

73,7

5**

0,9

12,7

4

Mills

Rati

o13,2

24,2

7***

4,4

32,7

8M

ills

Rati

o74,9

27,0

3***

78,7

65,0

8***

Jum

lah

Am

ata

n110

274

Jum

lah

Am

ata

n110

274

F-S

tati

stik

14,5

034,0

0F

-Sta

tist

ik15,3

431,5

9

R2

0,5

50,6

0R

20,5

50,5

7

RM

SE

2,4

32,6

2R

MSE

2,4

42,6

9

RSE

:R

obust

Sta

ndard

Err

or;

+D

ikore

ksi

ole

hL

uas

Wilay

ah

Page 132: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

114

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

TE

KN

IS4B

.D

eter

min

anIn

dek

sP

emb

angu

nan

Man

usi

a

Dep

enden

tV

ari

able

:D

OB

Buka

n-D

OB

Dep

enden

tV

ari

able

:D

OB

Buka

n-D

OB

IPM

Koef

.R

SE

Koef

.R

SE

IPM

Koef

.R

SE

Koef

.R

SE

Geo

gra

fi:

Geo

gra

fi:

•In

dones

iaB

ara

t0.4

00.5

01.2

90.4

9***

•Jaw

a-2

.09

1.1

9*

-1.2

10.5

5**

•K

epula

uan

-1.1

60.6

4*

-1.9

70.5

4***

•K

epula

uan

-1.3

90.6

4**

-2.8

70.5

2***

•N

isbah

Sek

t.E

kst

rakt.

1.6

21.1

22.5

71.4

1*

•N

isbah

Sek

t.E

kst

rakt.

1.5

31.1

73.4

61.4

6**

Gov

ernance

:G

over

nance

:

•T

eknokr.

Per

enca

naan

1.6

81.0

1*

0.1

30.3

5•

Tek

nokr.

Per

enca

naan

1.8

60.9

6**

-0.1

50.3

6

•T

eknokr.

Fis

kal

4.7

57.5

47.3

03.0

4**

•T

eknokr.

Fis

kal

10.1

48.8

18.8

73.0

2***

•K

oru

psi

0.6

40.6

1-0

.89

0.4

9*

•K

oru

psi

0.5

80.6

3-0

.74

0.5

0

Input

Fact

or:

Input

Fact

or:

•K

emis

kin

an

-0.1

30.0

3***

-0.2

00.0

2***

•K

emis

kin

an

-0.1

40.0

3***

-0.1

70.0

3***

•P

usk

esm

as/

1000

Pop.

9.6

48.9

041.2

37.6

2***

•P

usk

esm

as/

1000

Pop.

10.1

88.8

033.4

58.2

4***

•Jum

lah

Sek

ola

h+

0.0

50.0

2***

0.0

00.0

1•

Jum

lah

Sek

ola

h+

0.0

40.0

2**

0.0

00.0

1

•P

op.

Den

sity

(Ln)

0.3

80.2

2*

0.6

90.1

6***

•P

op.

Den

sity

(Ln)

0.5

00.2

4**

0.9

70.1

8***

Konst

an

66.2

82.1

5***

68.9

51.7

7***

Konst

an

66.4

72.0

3***

68.3

52.0

5***

Mills

Rati

o5.7

92.8

0**

-3.8

01.6

0***

Mills

Rati

o5.0

32.4

9**

-3.5

51.7

2**

Jum

lah

Am

ata

n110

274

Jum

lah

Am

ata

n110

274

F-S

tati

stik

11.7

731.9

0F

-Sta

tist

ik12.9

632.6

0

R2

0.5

30.5

7R

20.5

40.5

6

RM

SE

2.4

72.6

9R

MSE

2.4

471

2.7

113

RSE

:R

obust

Sta

ndard

Err

or;

+D

ikore

ksi

ole

hL

uas

Wilay

ah

Page 133: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

115

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

TE

KN

IS5.

Det

erm

inan

Par

tisi

pas

iS

ekol

ah

Dep

enden

tV

ari

able

:D

OB

Buka

n-D

OB

Dep

enden

tV

ari

able

:D

OB

Buka

n-D

OB

Part

isip

asi

Kasa

rSek

ola

hK

oef

.R

SE

Koef

.R

SE

Part

isip

asi

Kasa

rSek

ola

hK

oef

.R

SE

Koef

.R

SE

Geo

gra

fi:

Geo

gra

fi:

•In

dones

iaB

ara

t1,2

82,3

62,7

61,5

**

•In

dones

iaB

ara

t2,8

11,8

44

1,2

1***

•K

epula

uan

-3,3

72,3

3-0

,97

1,9

3•

Kep

ula

uan

-0,2

92,0

41,3

1,5

9

•N

isbah

Sek

tor

Ekst

rakti

f-0

,92

4,6

93,5

64,1

8•

Nis

bah

Sek

tor

Ekst

rakti

f0,0

84,3

61,1

74,1

5

Gov

ernance

:G

over

nance

:

•T

eknokra

siP

eren

canan

2,0

13,4

6-2

,60

1,2

9•

Tek

nokra

siP

eren

canaan

0,8

72,7

1-2

,11

1,0

7**

•T

eknokra

siF

iska

l42,3

219,3

2***

51,0

79,2

5***

•T

eknkra

siF

iska

l7,0

119,6

24,0

47,5

5***

•K

oru

psi

4,1

73,1

4-0

,98

1,6

4•

Koru

psi

2,9

13,0

5-0

,04

1,5

6

Input

Fact

or:

Input

Fact

or:

•K

emis

kin

an

0,1

00,1

1-0

,11

0,0

8***

•K

emis

kin

an

0,0

90,1

0,0

10,0

7

•T

ingka

tM

elek

Huru

f0,7

80,2

3***

0,4

30,1

2***

•L

am

aSek

ola

h6,5

60,9

8***

5,4

50,4

5***

•Jum

lah

Sek

ola

h+

0,3

20,0

5***

0,0

30,0

9***

•Jum

lah

Sek

ola

h+

0,2

20,0

5***

0,0

10,0

6

•N

isbah

Guru

-Muri

d0,0

40,7

60,6

60,4

9•

Nis

bah

Guru

-Muri

d0,5

10,4

60,6

0,4

5

•D

AK

Pen

did

ikan+

6,0

30,7

7***

6,2

70,5

***

•D

AK

Pen

did

ikan+

4,6

0,7

3***

4,8

70,4

6***

Konst

an

5,6

222,4

7*

60,1

213,6

4***

Konst

an

32,9

59,4

9***

49,7

86,2

8***

Mills

Rati

o-7

,18

10,7

2-2

9,2

76,3

5***

Mills

Rati

o-1

1,2

010,4

6-1

7,3

05,5

5***

Jum

lah

Am

ata

n114

283

Jum

lah

Am

ata

n114

283

F-S

tati

stik

31,0

6***

40,5

4***

F-S

tati

stik

56,3

7***

61,2

5***

R2

0,6

10,6

5R

20,7

0,7

6

RM

SE

10,2

89,9

4R

MSE

9,0

48,2

6

RSE

:R

obust

Sta

ndard

Err

or;

+D

ikore

ksi

ole

hL

uas

Wilay

ah

Page 134: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

116

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

TE

KN

IS6.

Det

erm

inan

Vak

sin

asi

Bay

i

Dep

enden

tV

ari

able

:D

OB

Buka

n-D

OB

Vaksi

nasi

Bay

iK

oef

.R

SE

Koef

.R

SE

Geo

gra

fi:

•In

dones

iaB

ara

t0,8

62,1

4-0

,70

1,3

•K

epula

uan

1,0

72,2

30,8

61,7

9

•N

isbah

Sek

tor

Ekst

rakti

f13,2

55,1

9***

-1,0

73,7

4

Gov

ernance

:

•T

eknokra

siP

eren

canaan

-3,6

73,4

91,4

41,0

4

•T

eknokra

siF

iska

l28,8

216,9

9*

18,7

29,2

8*

•K

oru

psi

3,3

73,1

90,3

91,7

Input

Fact

or:

•K

emis

kin

an

-0,3

40,1

***

-0,1

20,0

6*

•Jum

lah

Sara

na

Kes

ehata

n+

1,5

20,5

7***

0,7

10,2

7***

•D

AK

Kes

ehata

np

erka

pit

a73,9

826,3

***

46,0

125,7

3*

Konst

an

74,4

57,9

6***

81,0

95,2

3***

Mills

Rati

o26,9

710,7

6***

9,3

7,2

2

Jum

lah

Am

ata

n109

274

F-S

tati

stik

5,4

34,8

4

R2

0,3

40,1

2

RM

SE

9,1

48,8

0

RSE

:R

obust

Sta

ndard

Err

or;

+D

ikore

ksi

ole

hL

uas

Wilay

ah

Page 135: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

117

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

TE

KN

IS7.

Det

erm

inan

Pan

jan

gJa

lan

Dep

enden

tV

ari

able

:D

OB

Buka

n-D

OB

Dep

enden

tV

ari

able

:D

OB

Buka

n-D

OB

Panja

ng

Jala

nA

bso

lut

Koef

.R

SE

Koef

.R

SE

Panja

ng

Jala

nA

bso

lut

Koef

.R

SE

Koef

.R

SE

Geo

gra

fi:

Geo

gra

fi:

•In

dones

iaB

ara

t-0

,07

0,3

80,0

10,1

3•

Jaw

a-0

,76

0,5

40,0

90,1

3

•L

uas

Wilay

ah

(Ln)

-0,1

60,1

60,2

20,0

4***

•L

uas

Wilay

ah

(Ln)

-0,1

70,1

50,2

20,0

4***

•K

epula

uan

0,2

90,6

20,1

60,1

4•

Kep

ula

uan

0,2

90,6

10,1

80,1

2

•N

isbah

Sek

tor

Ekst

rakti

f0,7

40,8

8-0

,63

0,3

5*

•N

isbah

Sek

tor

Ekst

rakti

f0,7

10,8

7-0

,64

0,3

4*

Gov

ernance

:G

over

nance

:

•T

eknokra

siP

eren

canaan

1,4

40,6

5**

0,3

00,0

9***

•T

eknokra

siP

eren

canaan

1,4

10,6

2**

0,3

10,1

0***

•T

eknokra

siF

iska

l1,1

66,7

01,9

30,8

1**

•T

eknokra

siF

iska

l5,5

56,2

61,8

20,8

6**

•K

oru

psi

0,4

60,4

10,0

60,1

7•

Koru

psi

0,4

30,4

10,0

50,1

7

Input

Fact

or:

Input

Fact

or:

•D

AK

Pem

b.

Jala

n0,7

00,3

7*

0,2

20,1

1*

•D

AK

Pem

b.

Jala

n0,7

20,3

8*

0,2

20,1

1**

Konst

an

-0,8

42,7

41,2

80,9

1K

onst

an

-1,1

62,9

11,9

10,5

0***

Mills

Rati

o1,9

01,7

22,0

50,4

2***

Mills

Rati

o2,1

01,7

21,2

80,9

2

Jum

lah

Am

ata

n63

197

Jum

lah

Am

ata

n63

197

F-S

tati

stik

3,2

718,1

2F

-Sta

tist

ik3,6

718,8

8

R2

0,1

70,4

R2

0,1

80,4

0

RM

SE

1,2

80,6

3R

MSE

1,2

70,6

3

RSE

:R

obust

Sta

ndard

Err

or;

+D

ikore

ksi

ole

hL

uas

Wilay

ah

Page 136: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

118

Model Spasial IPM

Model ekonometrika spasial, secara prinsip, mirip dengan model ekonometri stan-dard. Pembeda utamanya terletak pada upaya menangkap perilaku amatanberdasarkan jarak geografi satu amatan de-ngan amatan lain. Ini berarti asum-si dasar mengenai independensi antar-amatan, sebagaimana diasumsikan dalammodel standard, tidak berlaku lagi, karena ada korelasi antara satu amatan den-gan amatan lain.

Untuk menangkap jarak geografi amatan diperlukan sebuah matriks jarakberdimensi N kali N dengan N adalah jumlah amatan. Dalam konteks studiini, matriks itu berukuran 440 kali 440 amatan. Isinya adalah jarak geografiantara amatan pertama dengan ke dua, ke tiga, dst; amatan ke dua denganke satu, ke tiga, ke empat, dst. Terhadap matriks ini dilakukan standardisasi-baris sedemikian rupa sehingga nilai-nilai di dalam setiap akan membentuk polatertentu: makin jauh jarak antar-amatan, makin kecil nilai sel di dalam matriksitu. Hasil pengolahan data dengan menggunakan model ini disajikan dalam TabelLampiran Teknis 8.

TABEL LAMPIRAN TEKNIS 8. Model Spasial IPM

StandardIndeks Pembangunan Manusia Koefisien

ErrorSignifikansi

Geografi:• Indonesia Barat 0, 13 0, 34• Luas Wilayah (Ln) -0, 70 0, 09 ***• Kepulauan -1, 13 0, 47 **Governance:• Teknokrasi Perencanaan 0, 46 0, 28 *• Korupsi 0, 13 0, 46Input Factors:• Kemiskinan -0, 16 0, 02 ***• Jumlah Penduduk (Ln) -0, 35 0, 17 **Konstan 15, 95 4, 06 ***Korelasi Spasial (r) 0, 95 0, 05 ***Wald Test 354, 75 ***LM Test 87, 66 ***Jumlah Amatan 440R2 0, 56

Secara kualitatif, hasil yang dipamerkan dalam Tabel ini serupa denganhasil yang dipaparkan dalam Tabel Lampiran 4.2. Tetapi, ada pembeda penting

Page 137: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

119

di sini, yakni kehadiran paramater yang menangkap korelasi spasial (ρ). Ko-relasi ini bernilai positif dan signifikan secara statistik. Ini menunjukkan nilaicapaian IPM suatu yurisdiksi, selain dipengaruhi oleh variabel-variabel kontrollain, ditentukan juga nilai capaian IPM yang diperoleh tetangga geografinya.Dibaca dengan cara lain, distrik-distrik akan terkelompok sedemikian rupa se-hingga mereka yang memiliki nilai IPM rendah akan berada dalam cluster yangsama. Begitu pula dengan distrik-distrik yang bernilai IPM tinggi: mereka akanterkelompok dalam cluster yang sama.

Page 138: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

120

Page 139: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Lampiran A

ATET: Dampak Pemekaran

121

Page 140: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

122

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

A.1

Pen

yusu

nIP

M Nea

rest

Ker

nel

Reg

ioP

erla

ku

an

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

laku

an

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

laku

an

Kontr

ol

Matc

hin

g•

PD

RB

per

kap

ita

Su

mate

ra56

59

3,3

41

56

27

4,4

656

59

3,0

81

Jaw

a-B

ali

628

1,3

51

66

5,0

25

628

1,4

26

Nu

saT

enggara

43

-2,2

25

52

15,7

89

52

15,3

39

Kalim

anta

n17

14

0,7

45

22

73,7

62

22

92,3

89

Su

law

esi

15

37

1,0

82

22

10

1,7

75

22

30

1,6

42

Malu

ku

77

0,4

79

11

30,2

61

11

30,2

28

Pap

ua

16

10

1,5

27

17

55,6

27

17

91,2

16

Ind

on

esia

139

175

2,1

19

139

65

2,5

29

139

175

1,9

97

(1,2

33)

(1,7

21)

(1,2

62)

•H

ara

pan

Hid

up

Su

mate

ra56

59

-1.0

58

56

27

-0.8

84

56

59

-1.0

69

Jaw

a-B

ali

628

-0.7

37

66

0.2

67

628

-0.7

66

Nu

saT

enggara

43

1.5

00

52

2.4

20

52

0.2

54

Kalim

anta

n17

14

-1.6

66

22

7-1

.359

22

9-1

.362

Su

law

esi

15

37

0.7

93

22

10

1.6

86

22

30

1.0

04

Malu

ku

77

-0.5

00

11

3-0

.345

11

3-0

.271

Pap

ua

16

10

-0.4

97

17

50.7

82

17

90.0

01

Ind

on

esia

139

175

-0.3

68

139

65

-0.0

93

139

175

-0.3

89

(-0.9

99)

(-0.1

75)

(-1.0

95)

•M

elek

Hu

ruf

Su

mate

ra56

59

-0.7

68

56

27

0.1

07

56

59

-1.0

50

Jaw

a-B

ali

628

6.6

60

66

7.0

00

628

6.2

05

Nu

saT

enggara

43

1.1

75

52

4.6

60

52

0.8

25

Kalim

anta

n17

14

-1.0

48

22

7-0

.773

22

9-1

.112

Su

law

esi

15

37

4.1

01

22

10

2.7

45

22

30

3.5

73

Malu

ku

77

-1.7

57

11

3-1

.691

11

3-1

.477

Pap

ua

16

10

-19.9

61

17

5-1

5.6

94

17

9-1

8.9

70

Ind

on

esia

139

175

-1.4

49

139

65

-1.5

12

139

175

-1.6

21

(-1.1

10)

(-1.1

40)

(-1.3

22)

Ket

eran

gan

:A

ngka

dala

mku

run

gad

ala

ht-

stati

stik

per

bed

aan

anta

raca

paia

nD

OB

dan

Non

-DO

B.

Page 141: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

123

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

A.2

Par

tisi

pas

iK

asar

SD

,S

MP

dan

SM

AN

eare

stK

ern

elR

egio

Per

laku

an

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

laku

an

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

laku

an

Kontr

ol

Matc

hin

g•

SD

Su

mate

ra56

59

-7,7

88

56

27

-9,1

32

56

59

-7,5

77

Jaw

a-B

ali

628

2,9

36

66

3,7

45

628

3,4

48

Nu

saT

enggara

43

-2,7

10

52

-1,3

04

52

-3,9

74

Kalim

anta

n17

14

2,1

14

22

71,7

86

22

91,8

12

Su

law

esi

15

37

2,9

25

22

10

5,1

50

22

30

5,6

12

Malu

ku

77

-2,9

26

11

3-0

,226

11

30,9

23

Pap

ua

16

10

-12,2

09

17

5-1

3,6

28

17

9-1

1,8

98

Ind

on

esia

139

175

-3,2

35

139

65

-3,3

40

139

175

-2,8

00

(-1,6

83)

(-1,8

51)

(-1,4

33)

•S

MP

Su

mate

ra56

59

-10,6

19

56

27

-5,2

52

56

59

-9,8

93

Jaw

a-B

ali

628

-4,6

41

66

-5,9

82

628

-4,8

68

Nu

saT

enggara

43

3,4

60

52

-8,4

76

52

1,6

44

Kalim

anta

n17

14

-7,5

41

22

7-7

,089

22

9-8

,304

Su

law

esi

15

37

9,1

27

22

10

11,3

20

22

30

8,6

18

Malu

ku

77

-9,5

76

11

3-5

,715

11

3-4

,469

Pap

ua

16

10

-12,8

22

17

5-1

0,9

92

17

9-1

1,6

48

Ind

on

esia

139

175

-5,3

83

139

65

-3,7

75

139

175

-4,8

21

(-1,7

92)

(-1,0

50)

(-1,8

40)

•S

MA

Su

mate

ra56

59

-28,6

54

56

27

-14,8

82

56

59

-27,9

45

Jaw

a-B

ali

628

-20,1

76

66

-19,7

18

628

-19,5

32

Nu

saT

enggara

43

4,5

45

52

0,8

88

52

2,6

28

Kalim

anta

n17

14

-4,7

22

22

71,6

84

22

9-1

,815

Su

law

esi

15

37

3,9

16

22

10

2,7

21

22

30

0,5

59

Malu

ku

77

-8,3

53

11

3-6

,295

11

3-4

,651

Pap

ua

16

10

-30,5

64

17

5-2

8,0

67

17

9-2

6,4

78

Ind

on

esia

139

175

-17,2

59

139

65

-14,1

74

139

175

-16,2

99

(-3,5

27)

(-2,1

38)

(-3,5

32)

Ket

eran

gan

:A

ngka

dala

mku

run

gad

ala

ht-

stati

stik

per

bed

aan

anta

raca

paia

nD

OB

dan

Non

-DO

B.

Page 142: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

124

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

A.3

Par

tisi

pas

iM

urn

iS

D,

SM

Pd

anS

MA

Nea

rest

Ker

nel

Reg

ioP

erla

ku

an

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

laku

an

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

laku

an

Kontr

ol

Matc

hin

g•

SD

Su

mate

ra56

59

-2,5

68

56

27

-2,4

42

56

59

-2,3

98

Jaw

a-B

ali

628

0,8

70

66

-0,1

32

628

0,8

05

Nu

saT

enggara

43

-5,1

57

52

-5,7

72

52

-4,7

07

Kalim

anta

n17

14

0,1

99

22

72,1

87

22

91,1

82

Su

law

esi

15

37

1,0

57

22

10

0,7

56

22

30

-0,2

51

Malu

ku

77

1,9

93

11

32,4

06

11

33,1

25

Pap

ua

16

10

-12,3

29

17

5-1

1,1

76

17

9-1

1,4

95

Ind

on

esia

139

175

-2,3

53

139

65

-1,7

33

139

175

-2,3

27

•S

MP

Su

mate

ra56

59

-8,6

39

56

27

-5,0

76

56

59

-8,0

39

Jaw

a-B

ali

628

-2,1

63

66

-5,9

23

628

-2,3

48

Nu

saT

enggara

43

2,0

80

52

-6,8

18

52

0,7

35

Kalim

anta

n17

14

-8,3

55

22

7-7

,313

22

9-8

,483

Su

law

esi

15

37

3,8

69

22

10

0,9

92

22

30

0,1

57

Malu

ku

77

-6,4

77

11

3-4

,985

11

3-4

,177

Pap

ua

16

10

-7,7

18

17

5-6

,908

17

9-7

,225

Ind

on

esia

139

175

-4,8

82

139

65

-3,9

68

139

175

-4,5

08

(-2,3

61)

(-1,5

01)

(-2,2

11)

•S

MA

Su

mate

ra56

59

-22,5

23

56

27

-10,5

79

56

59

-22,1

91

Jaw

a-B

ali

628

-14,1

07

66

-18,1

40

628

-15,9

18

Nu

saT

enggara

43

4,6

10

52

1,3

78

52

2,6

60

Kalim

anta

n17

14

-4,9

73

22

70,0

77

22

9-2

,514

Su

law

esi

15

37

3,2

14

22

10

1,4

23

22

30

-0,1

41

Malu

ku

77

-10,4

76

11

3-6

,575

11

3-4

,670

Pap

ua

16

10

-23,9

41

17

5-2

1,5

86

17

9-2

1,3

94

Ind

on

esia

139

175

-13,2

24

139

65

-10,6

46

139

175

-12,8

51

(-3,1

05)

(-2,1

54)

(-3,2

09)

Ket

eran

gan

:A

ngka

dala

mku

run

gad

ala

ht-

stati

stik

per

bed

aan

anta

raca

paia

nD

OB

dan

Non

-DO

B.

Page 143: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

125

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

A.4

Uji

anN

asio

nal

SD

,S

MP

dan

SM

AN

eare

stK

ern

elR

egio

Per

laku

an

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

laku

an

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

laku

an

Kontr

ol

Matc

hin

g•

SD

Su

mate

ra56

59

-0,1

75

56

27

-0,1

47

56

59

-0,2

40

Jaw

a-B

ali

628

0,1

32

66

0,1

75

628

0,0

81

Nu

saT

enggara

43

-0,7

23

52

-0,7

90

52

-0,6

59

Kalim

anta

n17

14

-0,2

18

22

7-0

,242

22

9-0

,332

Su

law

esi

15

37

-0,1

46

22

10

-0,1

21

22

30

-0,1

25

Malu

ku

77

-0,6

07

11

3-0

,715

11

3-0

,650

Pap

ua

16

10

0,6

68

17

51,0

51

17

90,7

41

Ind

on

esia

139

175

0,0

20

139

65

-0,0

60

139

175

-0,0

11

(0,1

07)

(-0,3

10)

(-0,0

58)

•S

MP

Su

mate

ra56

59

-0,2

12

56

27

-0,0

85

56

59

-0,2

10

Jaw

a-B

ali

628

0,0

43

66

0,1

70

628

0,0

53

Nu

saT

enggara

43

0,2

70

52

0,2

26

52

0,3

86

Kalim

anta

n17

14

-0,1

85

22

70,0

24

22

9-0

,064

Su

law

esi

15

37

-0,0

39

22

10

-0,0

27

22

30

-0,0

52

Malu

ku

77

-0,4

56

11

3-0

,330

11

3-0

,259

Pap

ua

16

10

-0,3

92

17

5-0

,295

17

9-0

,288

Ind

on

esia

139

175

-0,0

80

139

65

-0,0

35

139

175

-0,0

71

(-0,9

31)

(-0,3

17)

(-0,8

45)

•S

MA

Su

mate

ra56

59

-0,2

84

56

27

-0,0

36

56

59

-0,2

62

Jaw

a-B

ali

628

0,2

13

66

0,1

90

628

0,1

93

Nu

saT

enggara

43

-0,0

50

52

-0,2

96

52

-0,0

26

Kalim

anta

n17

14

-0,0

98

22

7-0

,061

22

9-0

,112

Su

law

esi

15

37

-0,1

71

22

10

0,0

48

22

30

-0,0

94

Malu

ku

77

-0,2

20

11

3-0

,099

11

30,0

03

Pap

ua

16

10

-0,5

23

17

5-0

,539

17

9-0

,442

Ind

on

esia

139

175

-0,1

26

139

65

-0,0

67

139

175

-0,1

21

(-1,3

39)

(-0,6

74)

(-1,4

94)

Ket

eran

gan

:A

ngka

dala

mku

run

gad

ala

ht-

stati

stik

per

bed

aan

anta

raca

paia

nD

OB

dan

Non

-DO

B.

Page 144: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

126

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

A.5

Vak

sin

asi

Bay

iN

eare

stK

ern

elR

egio

Per

laku

an

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

laku

an

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

laku

an

Kontr

ol

Matc

hin

g•

BC

GS

um

ate

ra56

59

-1.9

98

56

27

1.7

27

56

59

-1.4

93

Jaw

a-B

ali

628

-3.4

01

66

-0.3

58

628

-3.4

49

Nu

saT

enggara

43

0.8

83

52

4.4

58

52

-1.1

38

Kalim

anta

n17

14

-1.8

53

22

7-1

.604

22

9-1

.608

Su

law

esi

15

37

3.0

17

22

10

9.9

90

22

30

6.9

72

Malu

ku

77

-13.7

97

11

3-1

1.8

40

11

3-1

2.7

68

Pap

ua

16

10

-11.2

89

17

5-1

0.9

09

17

9-1

0.0

47

Ind

on

esia

139

175

-3.8

71

139

65

-4.2

21

139

175

-3.4

24

(-2.5

33)

(-2.0

86)

(-2.1

77)

•C

am

pak

Su

mate

ra56

59

0.3

41

56

27

3.1

20

56

59

1.1

58

Jaw

a-B

ali

628

-3.0

85

66

0.5

42

628

-3.3

87

Nu

saT

enggara

43

3.6

23

52

9.5

56

52

3.1

68

Kalim

anta

n17

14

-0.3

70

22

7-0

.975

22

9-0

.578

Su

law

esi

15

37

1.3

53

22

10

4.9

17

22

30

3.5

04

Malu

ku

77

-13.7

93

11

3-1

1.5

50

11

3-1

1.9

86

Pap

ua

16

10

-17.2

32

17

5-2

0.8

71

17

9-1

5.5

80

Ind

on

esia

139

175

-2.9

83

139

65

-3.8

70

139

175

-2.4

86

(-1.8

51)

(-1.7

89)

(-1.2

91)

•D

PT

Su

mate

ra56

59

-1.0

96

56

27

2.2

06

56

59

-0.6

56

Jaw

a-B

ali

628

-1.1

66

66

2.0

50

628

-1.2

68

Nu

saT

enggara

43

-5.2

60

52

-1.3

24

52

-5.7

45

Kalim

anta

n17

14

-1.0

93

22

7-1

.214

22

9-1

.596

Su

law

esi

15

37

1.7

91

22

10

6.4

92

22

30

5.0

91

Malu

ku

77

-14.8

69

11

3-1

2.9

45

11

3-1

3.8

08

Pap

ua

16

10

-9.9

21

17

5-1

1.1

64

17

9-8

.858

Ind

on

esia

139

175

-3.6

76

139

65

-4.1

56

139

175

-3.2

71

(-2.0

67)

(-2.3

53)

(-1.9

60)

Page 145: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

127

Nea

rest

Ker

nel

Reg

ioP

erla

ku

an

Kontr

ol

Str

ati

fica

tion

Per

laku

an

Kontr

ol

Nei

ghb

or

Per

laku

an

Kontr

ol

Matc

hin

g

•H

epati

tis

Su

mate

ra56

59

-2.2

09

56

27

1.7

51

56

59

-1.6

09

Jaw

a-B

ali

628

-0.4

65

66

6.4

83

628

-0.2

05

Nu

saT

enggara

43

5.8

55

52

12.3

98

52

3.5

24

Kalim

anta

n17

14

0.2

58

22

7-0

.015

22

90.4

07

Su

law

esi

15

37

2.2

70

22

10

4.8

02

22

30

3.7

37

Malu

ku

77

-16.1

91

11

3-1

3.2

09

11

3-1

4.0

22

Pap

ua

16

10

-17.1

36

17

5-2

0.6

21

17

9-1

5.6

23

Ind

on

esia

139

175

-4.7

41

139

65

-5.5

14

139

175

-4.2

15

(-2.1

41)

(-2.2

24)

(-2.3

72)

•P

oli

oS

um

ate

ra56

59

-0.5

44

56

27

0.4

09

56

59

-0.6

23

Jaw

a-B

ali

628

-0.6

74

66

1.6

10

628

-0.6

34

Nu

saT

enggara

43

-2.6

68

52

-2.4

06

52

-2.6

72

Kalim

anta

n17

14

0.2

77

22

7-0

.972

22

9-1

.124

Su

law

esi

15

37

-0.5

31

22

10

3.5

50

22

30

1.6

58

Malu

ku

77

-0.1

63

11

3-1

.317

11

3-1

.666

Pap

ua

16

10

-5.1

40

17

5-1

1.3

91

17

9-5

.085

Ind

on

esia

139

175

-1.0

23

139

65

-2.3

84

139

175

-1.0

74

(-0.8

74)

(-2.0

80)

(-0.8

39)

Ket

eran

gan

:A

ngka

dala

mku

run

gad

ala

ht-

stati

stik

per

bed

aan

anta

raca

paia

nD

OB

dan

Non

-DO

B.

Page 146: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

128

Page 147: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

Lampiran B

Deskripsi Data

129

Page 148: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

130

TA

BE

LL

AM

PIR

AN

B.

Des

krip

siD

ata

Nam

aV

ari

ab

elSatu

an

Sum

ber

Daer

ah

Oto

nom

iB

aru

dum

my

(jik

a1=

daer

ah

oto

nom

i,baru

,0=

lain

nya)

BP

S:

Reg

ency

an

dM

un

icip

ali

tyC

odes

19

93

-20

07,

Indones

ian

Leg

al

Info

rmati

on

Wilay

ah

Indones

iaB

ara

tdum

my

(jik

a1=

kabupate

n-k

ota

ber

ada

pada

zona

wilay

ah

WIB

,0=

lain

nya)

Bapp

enas:

Geo

gra

fis

dan

Adm

inis

trasi

Wilay

ah,

Pem

ban

gun

an

Da

era

hd

ala

mA

ngk

a2

00

6

Wilay

ah

Pula

uJaw

adum

my

(jik

a1=

kabupate

n-k

ota

ber

ada

di

Pula

uJaw

a,

0=

lain

nya)

Bapp

enas:

Geo

gra

fis

dan

Adm

inis

trasi

Wilay

ah,

Pem

ban

gun

an

Da

era

hd

ala

mA

ngk

a2

00

6

Wilay

ah

Kep

ula

uan

dum

my

(jik

a1=

kabupate

n-k

ota

mer

u-

paka

nw

ilay

ah

kep

ula

uan,

0=

lain

nya)

Bakosu

rtanal

Wilay

ah

Daer

ah

Ter

tinggal

dum

my

(jik

a1=

kabupate

n-k

ota

term

asu

kka

tegori

tert

inggal,

0=

lain

nya)

Bapp

enas:

Geo

gra

fis

dan

Adm

inis

trasi

Wilay

ah,

Pem

ban

gun

an

Da

era

hd

ala

mA

ngk

a2

00

6

RT

RW

Dis

ahka

ndum

my

(jik

a1=

kabupate

n-k

ota

mem

ilik

iyang

RT

RW

Dis

ahka

n,

0=

lain

nya)

Kim

pra

swil:

Data

Sta

tus

RT

RW

Pro

pin

si,

Kabupate

ndan

Kota

di

Indones

iata

hun

2003

Koru

psi

dum

my

(jik

a1=

bupati

-walikota

terk

ait

kasu

sdugaan

koru

psi

,0=

lain

nya)

htt

p:/

/w

ww

.det

iknew

s.co

m/in

dex

.php/

det

ik.r

ead/ta

hun/2007/bula

n/09/tg

l/21/ti

me/

080623/id

new

s/832658/id

kanal/

10

Indek

sP

embangunan

Manusi

ain

dek

sU

ND

PH

um

an

Dev

elo

pm

ent

Rep

ort

(20

01

),B

PS:

Da

tad

an

Info

rma

siK

emis

ki-

na

n2

00

5-2

00

6)

Angka

Hara

pan

Hid

up

tahun

UN

DP

Hu

ma

nD

evel

op

men

tR

epo

rt(2

00

1),

BP

S:

Da

tad

an

Info

rma

siK

emis

ki-

na

n(2

00

5-2

00

6)

Angka

Mel

ekH

uru

fp

erse

nU

ND

PH

um

an

Dev

elo

pm

ent

Rep

ort

(20

01

),B

PS:

Da

tad

an

Info

rma

siK

emis

ki-

na

n(2

00

5-2

00

6)

Page 149: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

131

Nam

aV

ari

ab

elSatu

an

Sum

ber

PD

RB

Non-M

igas

per

Kapit

alo

gari

tma

Dep

art

emen

Keu

angan:

PD

RB

Kabupat-

enK

ota

(2000-2

006)

Rata

-rata

Lam

aSek

ola

hta

hun

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a2

00

7,

BP

S:

Da

tad

an

Info

rma

siK

emis

kin

an

(20

05

-2

00

6)

Angka

Part

isip

asi

Kasa

r:SD

/se

der

aja

tp

erse

nD

epdik

nas:

Sta

tist

ikP

endid

ikan

2006

Angka

Part

ispasi

Murn

iSD

/se

der

aja

tp

erse

nD

epdik

nas:

Sta

tist

ikP

endid

ikan

2006

Angka

Part

isip

asi

Kasa

rSM

P/se

der

aja

tp

erse

nD

epdik

nas:

Sta

tist

ikP

endid

ikan

2006

Angka

Part

isip

asi

Murn

iSM

P/se

der

aja

tp

erse

nD

epdik

nas:

Sta

tist

ikP

endid

ikan

2006

Angka

Part

isip

asi

Kasa

rSM

A/se

der

aja

tp

erse

nD

epdik

nas:

Sta

tist

ikP

endid

ikan

2006

Angka

Part

isip

asi

Murn

iSM

A/se

der

aja

tp

erse

nD

epdik

nas:

Sta

tist

ikP

endid

ikan

2006

Rata

-rata

Nilai

Uji

an

Nasi

onal

dan

Uji

an

Sek

ola

huntu

kSD

/se

der

aja

tabso

lut

Dep

dik

nas:

Sta

tist

ikP

endid

ikan

2006

Rata

-rata

Nilai

Uji

an

Nasi

onal

dan

Uji

an

Sek

ola

huntu

kSM

P/se

der

aja

tabso

lut

Dep

dik

nas:

Sta

tist

ikP

endid

ikan

2006

Rata

-rata

Nilai

Uji

an

Nasi

onal

dan

Uji

an

Sek

ola

huntu

kSM

A/se

der

aja

tabso

lut

Dep

dik

nas:

Sta

tist

ikP

endid

ikan

2006

Tin

gka

tV

aksi

nasi

Rata

-rata

Pen

duduk

per

sen

BP

S:

Da

tad

an

Info

rma

siK

emis

kin

an

(20

00

-20

06

)

Angka

Kem

ati

an

Bay

iji

wa

UN

DP

Hu

ma

nD

evel

op

men

tR

epo

rt2

00

1

Per

salinan

ole

hT

enaga

Med

isp

erse

nB

PS:

Da

tad

an

Info

rma

siK

emis

kin

an

(20

00

-20

06

)

Pem

ilik

an

Jam

ban

Sen

dir

ip

erse

nB

PS:

Da

tad

an

Info

rma

siK

emis

kin

an

(20

00

-20

06

)

Akse

sA

irB

ersi

hp

erse

nB

PS:

Da

tad

an

Info

rma

siK

emis

kin

an

(20

00

-20

06

)

Panja

ng

Jala

nK

abupate

n-K

ota

Kilom

eter

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a2

00

7

Panja

ng

Jala

np

erL

uas

Wilay

ah

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a2

00

7

Pro

duksi

Lis

trik

pet

awatt

hour

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a2

00

7

Luas

Wilay

ah

logari

tma

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a2

00

7

Page 150: Pemekaran daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Mencari Jalan Alternatif

132

Nam

aV

ari

ab

elSatu

an

Sum

ber

Kontr

ibusi

Sek

tor

Keh

uta

nan

dan

Sek

tor

Per

tam

bangan-G

alian

terh

adap

PD

RB

per

sen

Dep

art

emen

Keu

angan:

PD

RB

Kabupat-

enK

ota

(2000-2

006)

Rasi

oD

AU

per

AP

BD

Dep

art

emen

Keu

angan:

Rin

gka

san

AP

BD

2006

Jara

kdari

Ibukota

Pro

pin

sikilom

eter

Pet

adasa

rB

PS

(2004)

Fra

ksi

onalisa

siP

oliti

kin

dek

sK

om

isi

Pem

ilih

an

Um

um

Angka

Kem

iskin

an

per

sen

UN

DP

Hu

ma

nD

evel

op

men

tR

epo

rt(2

00

1),

BP

S:

Da

tad

an

Info

rma

siK

emis

kin

-an

(20

00

-20

06

)

Jum

lah

Pusk

esm

as

per

1000

pen

duduk

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a2

00

7

Jum

lah

Sek

ola

hp

er1000

pen

duduk

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a2

00

7

Jum

lah

Pen

duduk

logari

tma

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a2

00

7

Jum

lah

Guru

per

Muri

dlo

gari

tma

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a

DA

KP

endid

ikan

per

Jum

lah

Pen

duduk

logari

tma

Dep

art

emen

Keu

angan:

Rin

gka

san

AP

BD

2006

Jum

lah

Sara

na

Kes

ehata

n(R

Sdan

Pusk

esm

as)

logari

tma

BP

S:

Pro

pin

siD

ala

mA

ngk

a2

00

7

DA

Kkes

ehata

np

erju

mla

hp

enduduk

Dep

art

emen

Keu

angan:

Rin

gka

san

AP

BD

2006

DA

KIn

frast

ruktu

rJala

np

erlu

as

wilay

ah

logari

tma

Dep

art

emen

Keu

angan:

Rin

gka

san

AP

BD

2006