antara/sahrul manda tikupadang pemekaran … filemenyetujui pemekaran walenrang dan lamasi menjadi...

1
SENIN, 25 APRIL 2011 28 F OKUS P ARYO BHAWONO S EPULUH tahun sudah, perjalanan otonomi daerah di Tanah Air. Hingga saat ini tercatat sudah 205 daerah oto- nom baru bermunculan, dari Sabang hingga Merauke. Sepuluh tahun tentu tidak sebentar. Jika daerah otonom baru diibaratkan seperti bayi yang baru lahir dan harus disuapi, dalam usianya yang sudah 10 tahun, bayi itu ten- tulah sudah bisa makan dan minum tanpa harus disuapi lagi. Bahkan, berlari sejauh yang dia inginkan. Itulah sebenarnya tujuan pemekaran, seperti yang diamanatkan dalam Undang- Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diperbaiki menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Salah satu tolok ukur keberhasilan daerah pemekaran adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat- nya, tumbuhnya daya saing daerah, dan melancarkan akses masyarakat terha- dap pelayanan publik. Alih-alih berharap demikian, nya- tanya perjalanan otonomi daerah di Indonesia tak semulus yang diinginkan. Sebanyak 78% dari 205 daerah otonom baru yang ada, mendapatkan nilai merah dalam rapor terbaru yang dirilis Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pekan lalu. Ada empat indikator yang dipakai Ke- mendagri dalam mengevaluasi, yaitu ke- sejahteraan rakyat (produk domestik regional bruto/PDRB per kapita), good governance, pelayanan publik, dan daya saing. Faktor kegagalan paling besar terletak pada tidak tercapainya kesejahteraan rakyat dengan PDRB di bawah rata-rata. Hal ini tentu tidak berdiri sendiri karena sangat tergantung dengan PAD dan pengelolaan keuangan daerah. Dari hasil evaluasi itu juga terlihat jelas, ba- gaimana terseretnya PAD daerah-daerah yang baru saja dimekarkan. Alokasi belanja apara- tur lebih besar ketimbang belanja publik. Pada sisi lain, dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) dari pusat terus digelontorkan ke daerah pemekaran baru. Hampir sebagian besar pendapatan APBD berasal dari DAK dan DAU. Meskipun demikian, kesejahteraan rakyat tak kunjung datang. Dana yang habis banyak itu tidak juga menjadi solusi menyejahtera- kan rakyat. Lantas, adakah yang salah dari mekanisme penataan ataupun pembentukan daerah otonom baru? Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng memotret tiga titik kegagalan sebagian besar daerah pemekaran itu. Titik pertama, ia menyebutkan, gagal saat proses pembentukan. Pada proses pembentu- kan, terangnya, dominasi kepentingan politik terlalu kuat sehingga dukungan pembentuk- an malah menyampingkan syarat adminis- tratif, teknis, dan sik. “Akibatnya, daerah otonom baru, tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi tujuan otonomi daerah.” Titik kedua, lanjut Robert, kegagalan saat masa transisi tiga tahun. Ia mengatakan, selama periode 0-3 tahun mekarnya sebuah daerah, pemerintah tidak mampu melakukan pendampingan. Tugas pemerintah untuk mengawal daerah otonom hanya sekadar formalitas saja, seperti pelatihan dan seminar. Pendampingan berhenti di atas kertas. Padahal, daerah otonom baru memiliki kebutuhan riil seperti peningkatan ke- mampuan dan pengawasan ketat, meng- ingat ketidakmampuan mereka melakukan pemerintahan secara mandiri. Tidak pernah belajar Dua kegagalan itu akhirnya memperparah kegagalan ketiga, yakni menciptakan ke- sejahteraan masyarakat. Alhasil, daerah oto- nom baru pun tidak memiliki orientasi untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah. Daerah otonom baru lebih suka menguras anggarannya untuk kebutuhan belanja apara- tur daripada kebutuhan publik. Meskipun moratorium daerah pemekaran dilakukan pada 2010, Robert masih me- nyimpan kekhawatiran, pemerintah pusat dan DPR tidak belajar dari kegagalan yang ada. Terbukti, kini regulasi pembentukan DOB kini tak mengalami perkembangan. “Tetap saja ada tiga jalur proposal pemekaran. Kalau tidak dibatasi, ini akan semakin liar.” Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Ganjar Pranowo menga- takan pihaknya justru menganggap daerah otonom baru mampu memajukan daerahnya. “Data yang kami terima rata-rata daerah me- miliki kualikasi sedang, yakni pertumbuhan 60%,” ujarnya sedikit bingung. Menurut Ganjar, data itu merupakan hasil evaluasi pemerintah terhadap keberadaan daerah otonom baru, pada 2008 dan 2009. Namun, imbuh Ganjar, jika angka kega- galan 78% seperti yang dikemukakan Ke- mendagri itu benar, kinerja pemerintah pusat selama ini perlu dipertanyakan. “Jika data Kemendagri benar, lalu apa yang dilakukan pemerintah pusat sepanjang 2010? Bagai- mana bisa terjadi kemerosotan?” ucap Ganjar, balik bertanya. Pada prinsipnya, Ganjar mengatakan pem- binaan itu penting untuk mengatasi terlalu kentalnya proses politik, di balik pembentuk- an daerah otonom baru. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat mengingatkan pembinaan daerah otonom baru juga tidak lepas dari kontrol yang ketat dari kalangan legislatif. “Seha- rusnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jadi jaring pengaman. Tapi itu tidak berfungsi karena dua lembaga ini jadi mandul,” kata Syarif. Begitu pun, saat menilai kelayakan daerah- daerah yang meminta pemekaran. Pihak yang seharusnya bertugas menilai, malah jadi konsultan bagi daerah pemekaran. (*/P-4) [email protected] Anggaran sudah terkuras banyak, tetapi rakyat tidak kunjung sejahtera. Kegagalan ini jangan lagi didiamkan karena publik berhak menuntut lebih. Wajah Ganda Otonomi Daerah PEMEKARAN PROVINSI: Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Rakyat Tana Luwu berunjukrasa di kantor DPRD Sulsel, Makassar, beberapa waktu lalu. Mereka meminta Pemprov Sulsel menyetujui pemekaran Walenrang dan Lamasi menjadi Kabupaten Luwu Tengah sebagai syarat pembentukan Provinsi Luwu Raya. PEMEKARAN KECAMATAN: Warga yang dikoordinasi ulam Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) menuntu ANTARA/SAHRUL MANDA TIKUPADANG

Upload: lydien

Post on 03-Apr-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SENIN, 25 APRIL 201128 FOKUS P

ARYO BHAWONO

SEPULUH tahun sudah, perjalanan otonomi daerah di Tanah Air. Hingga saat ini tercatat sudah 205 daerah oto-nom baru bermunculan, dari Sabang

hingga Merauke.Sepuluh tahun tentu tidak sebentar. Jika

daerah otonom baru diibaratkan seperti bayi yang baru lahir dan harus disuapi, dalam usianya yang sudah 10 tahun, bayi itu ten-tulah sudah bisa makan dan minum tanpa harus disuapi lagi. Bahkan, berlari sejauh yang dia inginkan.

Itulah sebenarnya tujuan pemekaran, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diperbaiki menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Salah satu tolok ukur keberhasilan daerah pemekaran adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat-nya, tumbuhnya daya saing daerah, dan melancarkan akses masyarakat terha-dap pelayanan publik.

Alih-alih berharap demikian, nya-tanya perjalanan otonomi daerah di Indonesia tak semulus yang diinginkan. Sebanyak 78% dari 205 daerah otonom baru yang ada, mendapatkan nilai merah dalam rapor terbaru yang dirilis Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pekan lalu.

Ada empat indikator yang dipakai Ke-mendagri dalam mengevaluasi, yaitu ke-sejahteraan rakyat (produk domestik regional bruto/PDRB per kapita), good governance, pelayanan publik, dan daya saing.

Faktor kegagalan paling besar terletak pada tidak tercapainya kesejahteraan rakyat dengan PDRB di bawah rata-rata. Hal ini tentu tidak berdiri sendiri karena sangat tergantung dengan PAD dan pengelolaan keuangan daerah.

Dari hasil evaluasi itu juga terlihat jelas, ba-gaimana terseretnya PAD daerah-daerah yang baru saja dimekarkan. Alokasi belanja apara-tur lebih besar ketimbang belanja publik.

Pada sisi lain, dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) dari pusat terus digelontorkan ke daerah pemekaran baru. Hampir sebagian besar pendapatan APBD berasal dari DAK dan DAU.

Meskipun demikian, kesejahteraan rakyat tak kunjung datang. Dana yang habis banyak itu tidak juga menjadi solusi menyejahtera-kan rakyat. Lantas, adakah yang salah dari mekanisme penataan ataupun pembentukan daerah otonom baru?

Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng memotret tiga titik kegagalan sebagian besar daerah pemekaran itu.

Titik pertama, ia menyebutkan, gagal saat

proses pembentukan. Pada proses pembentu-kan, terangnya, dominasi kepentingan politik terlalu kuat sehingga dukungan pembentuk-an malah menyampingkan syarat adminis-tratif, teknis, dan fi sik. “Akibatnya, daerah

otonom baru, tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi tujuan otonomi daerah.”

Titik kedua, lanjut Robert, kegagalan saat masa transisi tiga tahun. Ia mengatakan, selama periode 0-3 tahun mekarnya sebuah

daerah, pemerintah tidak mampu melakukan pendampingan. Tugas pemerintah untuk mengawal daerah otonom hanya sekadar formalitas saja, seperti pelatihan dan seminar. Pendampingan berhenti di atas kertas.

Padahal, daerah otonom baru memiliki kebutuhan riil seperti peningkatan ke-mampuan dan pengawasan ketat, meng-

ingat ketidakmampuan mereka melakukan pemerintahan secara mandiri.

Tidak pernah belajarDua kegagalan itu akhirnya memperparah

kegagalan ketiga, yakni menciptakan ke-sejahteraan masyarakat. Alhasil, daerah oto-nom baru pun tidak memiliki orientasi untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah.

Daerah otonom baru lebih suka menguras anggarannya untuk kebutuhan belanja apara-tur daripada kebutuhan publik.

Meskipun moratorium daerah pemekaran dilakukan pada 2010, Robert masih me-

nyimpan kekhawatiran, pemerintah pusat dan DPR tidak belajar dari

kegagalan yang ada. Terbukti, kini regulasi pembentukan DOB kini tak mengalami perkembangan.

“Tetap saja ada tiga jalur proposal pemekaran. Kalau tidak dibatasi, ini

akan semakin liar.”Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi II DPR

dari Fraksi PDIP Ganjar Pranowo menga-takan pihaknya justru menganggap daerah otonom baru mampu memajukan daerahnya. “Data yang kami terima rata-rata daerah me-miliki kualifi kasi sedang, yakni pertumbuhan 60%,” ujarnya sedikit bingung.

Menurut Ganjar, data itu merupakan hasil evaluasi pemerintah terhadap keberadaan daerah otonom baru, pada 2008 dan 2009.

Namun, imbuh Ganjar, jika angka kega-galan 78% seperti yang dikemukakan Ke-mendagri itu benar, kinerja pemerintah pusat selama ini perlu dipertanyakan. “Jika data Kemendagri benar, lalu apa yang dilakukan pemerintah pusat sepanjang 2010? Bagai-mana bisa terjadi kemerosotan?” ucap Ganjar, balik bertanya.

Pada prinsipnya, Ganjar mengatakan pem-binaan itu penting untuk mengatasi terlalu kentalnya proses politik, di balik pembentuk-an daerah otonom baru.

Bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat mengingatkan pembinaan daerah otonom baru juga tidak lepas dari kontrol yang ketat dari kalangan legislatif. “Seha-rusnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jadi jaring pengaman. Tapi itu tidak berfungsi karena dua lembaga ini jadi mandul,” kata Syarif.

Begitu pun, saat menilai kelayakan daerah-daerah yang meminta pemekaran. Pihak yang seharusnya bertugas menilai, malah jadi konsultan bagi daerah pemekaran. (*/P-4)

[email protected]

Anggaran sudah terkuras banyak, tetapi rakyat tidak kunjung sejahtera. Kegagalan ini jangan lagi didiamkan karena publik berhak menuntut lebih.

Wajah Ganda Otonomi Daerah

PEMEKARAN PROVINSI: Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Rakyat Tana Luwu berunjukrasa di kantor DPRD Sulsel, Makassar, beberapa waktu lalu. Mereka meminta Pemprov Sulsel menyetujui pemekaran Walenrang dan Lamasi menjadi Kabupaten Luwu Tengah sebagai syarat pembentukan Provinsi Luwu Raya.

PEMEKARAN KECAMATAN: Warga yang dikoordinasi ulamDewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) menuntu

ANTARA/SAHRUL MANDA TIKUPADANG