pembuatan gula semut aren
TRANSCRIPT
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
1/10
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 89 Agustus 2009Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal
Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN 2081-7152
A180
PEMBUATAN GULA SEMUT AREN MENGGUNAKAN
TEKNIK PENGUAPAN HAMPA
Satrijo Saloko dan Lalu Iskandar
Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram
Jl. Pendidikan 37 Mataram 83125 Telp. (0370) 647857e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Gula semut merupakan hasil pengentalan nira berbentuk serbuk yang berasal
dari pohon palma, berwarna kuning sampai coklat tua. Kelebihan gula semut
dibandingkan gula merah dan gula pasir antara lain yaitu daya simpannya lebih lama
(kurang lebih dua tahun), mudah larut, bentuknya menarik, memiliki aroma yang khas
dan nilai ekonominya lebih tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan gula semut aren
menggunakan teknik penguapan hampa. Metode yang digunakan adalah metodeeksperimental dengan percobaan di laboratorium. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial terdiri atas dua faktor yaitu faktor
suhu evaporasi (T) dan lama evaporasi (t). Data hasil pengamatan dianalisis dengananalisis keragaman pada taraf nyata 5% dan bila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji
beda nyata jujur pada taraf nyata yang sama.Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor suhu memberikan pengaruh yang
nyata terhadap rendemen, kadar air, gula reduksi, kadar sukrosa serta warna.Sedangkan faktor lama evaporasi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap
rendemen, kadar air, kadar abu, gula reduksi, kadar sukrosa serta rasa. Interaksi
antara perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar sukrosa namun
tidak memberikan pengaruh yang nyata pada rendemen, kadar air, kadar abu kadardan gula reduksi. Panelis lebih menyukai perlakuan T3t3 (suhu 90
oC dan lama
evaporasi 50 menit) dengan kriteria warna coklat kekuningan, sedangkan rasa disukai
untuk semua perlakuan.
Kata kunci: Gula semut aren, Penguapan Hampa
PENDAHULUAN
Gula semut merupakan hasil pengentalan nira palma (aren, kelapa, siwalan)
berbentuk serbuk dan lebih dikenal dengan nama palm sugar, berwarna kuning
sampai coklat tua (Balai Informasi Pertanian, 2000). Gula semut masih kalah populer
dengan gula pasir, tetapi disisi lain bisnis gula semut cukup menguntungkan, bukan
saja harganya yang lebih mahal dari gula pasir, namun permintaan pasar terutama
ekspor masih belum terpenuhi. Gula semut dikenal sebagai bahan pemanis,
penyedap, memberikan tekstur dan warna coklat pada berbagai jenis makanan.
Pembuatan gula semut sebetulnya hampir sama dengan pembuatan gula aren
cetak yaitu dengan jalan menguapkan nira sampai kental, kemudian didinginkan dan
dilanjutkan dengan pengadukan sampai terbentuk butiran atau serbuk gula (Balai
Penelitian dan Pengembangan Industri,1988).
Teknik pembuatan gula semut dengan alat penguapan hampa (vacuum
evaporator) dilakukan dengan memanaskan bahan dengan menentukan suhu dan
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
2/10
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
3/10
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
4/10
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 89 Agustus 2009Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal
Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN 2081-7152
A183
Perlakuan Rendemen Kadar Air Kadar Gula Reduksi
T1
T2T3
8,59 a
9,66 b10,13 c
3,00 a
2,39 b2,04 c
5,62 a
5,96 b6,77 c
BNJ 5% 1,09 0,12 0,94
Ket. : Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
nyata 5%
Sedangkan hasil analisis purata kadar sukrosa gula semut pada interaksi
perlakuan suhu (T) dan lama evaporasi (t) yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Purata Kadar Sukrosa dan Warna Gula Semut pada Interaksi Perlakuan
Suhu (T) dan Lama Evaporasi (t)
Perlakuan Kadar Sukrosa Warna
T1t1
T1t2T1t3
T2t1
T2t2
T2t3
T3t1
T3t2
T3t3
70,63 a
76,73 b76,49 cb
73,13 a
81,53 b
75,40 c
86,84 c
82,53 b
84,09 c
8,33 a
7,40 b7,27 bc
7,80 bd
5,20 a
7,47 b
8,80 c
8,27 cb
8,67 cc
BNJ. 5% 7,41 0,07
Dari hasil analisis keragaman rendemen gula semut (Tabel 1) menunjukkan
bahwa faktor suhu memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen gula semut
yang dihasilkan, sedangkan lama evaporasi dan interaksinya memberikan pengaruh
yang tidak nyata. Rendemen gula semut untuk perlakuan T1 (suhu 70oC) berbeda
nyata dengan perlakuan T2 (suhu 80oC ) dan T3 (suhu 90oC). Rendemen tertinggi
diperoleh pada perlakuan T3 (10,13%), sedangkan rendemen terendah diperoleh pada
perlakuan T1(8,59%). Hubungan suhu evaporasi dengan rendemen gula semut
mengikuti pola linier dengan persamaan y = 0,7649x + 7,928 (Gambar tidak
disajikan). Hal ini berarti bahwa kenaikan suhu satu satuan akan menyebabkanpeningkatan rendemen sebesar 76,49,%.
Tingkat perbedaan rendemen tersebut ditentukan oleh kadar sukrosanya. Hasil
analisis menunjukkan semakin tinggi suhu evaporasi terhadap gula semut
memberikan kadar sukrosa yang semakin meningkat, karena sukrosa mempunyai sifat
higroskopis dan sangat mudah larut dalam air yang berarti daya kelarutan sukrosa
akan lebih cepat bila suhu yang digunakan dalam proses pembuatan gula semut terus
ditingkatkan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi suhu maka daya larut sukrosa akan
semakin cepat dan akan menghasilkan rendemen yang semakin tinggi. Dengan
melihat jumlah air yang teruapkan pada saat evaporasi, semakin tinggi suhu dan
semakin lama waktu yang digunakan untuk memanaskan nira maka air yang
teruapkan lebih banyak pada suhu yang lebih tinggi sehingga kandungan sukrosa yang
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
5/10
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 89 Agustus 2009Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal
Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN 2081-7152
A184
ada pada setiap perlakuan akan meningkat diikuti dengan peningkatan jumlah air yang
teruapkan (penurunan kadar air pada setiap perlakuan).
Analisis keragaman kadar air gula semut menunjukkan bahwa faktor suhu
evaporasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air gula semut yang
dihasilkan. Pengaruh faktor suhu evaporasi terhadap kadar air gula semut untuk
perlakuan T1 (suhu 70oC) berbeda nyata dengan perlakuan T2 (suhu 80
oC ) dan T3
(suhu 90oC). Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T1(3,00%), sedangkan
kadar air terendah diperoleh pada perlakuan T3 (2,04%). Meningkatnya suhu
evaporasi yang digunakan mengikuti pola linier dengan persamaan y = -0,632x +
3,887 (Gambar tidak disajikan). Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan suhu
pengentalan satu satuan akan mengakibatkan penurunan kadar air sebesar 63,23%.
Penurunan kadar air gula semut ini disebabkan semakin tingginya suhu dan
semakin lamanya evaporasi akan mengakibatkan semakin menurunnya kadar air gula
semut yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu penguapan yang diterima oleh bahan
akan mengakibatkan terjadinya perubahan sifat semi permiabel menjadi lebih
permiabel sehingga dalam keadaan seperti ini akan lebih memudahkan keluarnya air
selama proses penguapan. Rendahnya kadar air disebabkan oleh semakin tingginya
suhu evaporasi yang digunakan sehingga penguapan yang terjadi pada cairan nira
semakin tinggi.
Semakin lama tingkat pemekatan memberikan persentasi kadar air yang
semakin kecil. Hal tersebut terlihat pada saat evaporasi nira dengan menggunakan
teknik penguapan hampa menunjukkan semakin tinggi suhu dan semakin lama
evaporasi menunjukkan volume air yang teruapkan semakin meningkat. Kisaran
kadar air gula semut yang dihasilkan selama penelitian ini masih memenuhi Standar
Nasional Indonesia yaitu maksimal 3,0%.
Perlakuan evaporasi pada gula semut dengan suhu lebih tinggi dapat
mempengaruhi kadar abu, dimana evaporasi dengan suhu yang lebih tinggi
memberikan kadar abu yang lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan suhu yang
lebih rendah. Hal tersebut terjadi karena dengan meningkatnya suhu mengakibatkan
terjadinya perombakan atau perusakan senyawa-senyawa makro molekul seperti
karbohidrat (sukrosa) akan lebih banyak terurai dan menguap pada saat pengabuan,
sehingga hanya komponen mineral yang tertinggal yang ada pada bahan. Hasil
analisis keragaman kadar abu gula semut (Tabel 1) menunjukkan bahwa faktor suhu
dan lama evaporasi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar
abu gula semut yang dihasilkan. Kadar abu tertinggi pada kombinasi perlakuan T1t1
(1,03%), sedangkan kadar abu terendah diperoleh pada perlakuan T2t2 (0,97%).
Kedua kombinasi tersebut menghasilkan kadar abu yang masih memenuhi SNI yaitu
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
6/10
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 89 Agustus 2009Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal
Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN 2081-7152
A185
maksimal 2%.
Hasil analisis purata kadar gula reduksi gula semut (Tabel 3) menunjukkan
bahwa faktor suhu evaporasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
kadar gula reduksi gula semut yang dihasilkan. Perlakuan T1 (suhu 70oC)
memberikan perbedaan yang nyata dengan perlakuan T2 (suhu 80oC) dan T3 (suhu
90oC). Kadar gula reduksi tertinggi pada perlakuan T3 (6,77%), sedangkan kadar
gula reduksi terendah diperoleh pada perlakuan T1 (5,62%). Hubungan suhu
evaporasi dengan kadar gula reduksi gula semut mengikuti pola linier dengan
persamaan y = 0,5704x + 4,905 (Gambar tidak disajikan). Hal ini berarti bahwa
kenaikan suhu satu satuan akan menyebabkan peningkatan kadar gula reduksi sebesar
57,04%.
Peningkatan kadar gula reduksi sejalan dengan meningkatnya kadar air bahan
dimana semakin tinggi kadar air bahan semakin tinggi pula kadar gula reduksi yang
dihasikan. Namun pada kenyataanya dengan menggunakan teknik penguapan hampa
ini akan memberikan dampak yang sebaliknya yaitu semakin rendah kadar airnya
maka kadar gula reduksi semakin tinggi. Hal ini diduga terjadi karena pada saat
pemasakan suhu yang digunakan lebih rendah dengan suhu titik didih air (kurang dari
100oC) dengan tekanan rendah dapat menguapkan air lebih cepat dan lebih banyak
sehingga hal tersebut dapat membuktikan bahwa dengan menggunakan teknik
evaporasi hampa proses terjadinya inversi dapat dikurangi atau dapat dicegah.
Sedangkan rendahnya kadar gula reduksi ini diduga disebabkan oleh suhu
pengentalan yang digunakan rendah namun dapat menguapkan cairan nira lebih cepat
dari pada menggunakan suhu titik didih air, sehingga air yang akan diuapkan lebih
cepat dan lebih banyak. Kadar gula reduksi gula semut yang dihasilkan terkecil
diperoleh pada kombinasi perlakuan T1t1 (5,62%) sedangkan kadar gula reduksi
tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuam T3t3 (6,77%), dan kisaran kadar gula
reduksi tersebut masih memenuhi SNI.
Faktor suhu dan lama evaporasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap kadar sukrosa gula semut. Pengaruh faktor suhu evaporasi terhadap kadar
sukrosa gula semut untuk perlakuan T1 (suhu 70oC) memberikan perbedaan yang
nyata dengan perlakuan T2 (suhu 80oC ) dan T3 (suhu 90oC). Kadar sukrosa tertinggi
pada perlakuan T3 (84,49 %), sedangkan kadar sukrosa terendah diperoleh pada
perlakuan T1 (66,93 %). Hubungan suhu dan lama evaporasi terhadap kadar sukrosa
mengikuti pola linier dengan persamaan y = 2,0295x + 671 (Gambar tidak disajikan).
Hal ini berarti bahwa kenaikan suhu dan waktu satu satuan menyebabkan peningkatan
kadar sukrosa sebesar 20,295%.
Pola linier yang ditunjukkan pada kadar sukrosa gula semut ini disebabkan
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
7/10
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 89 Agustus 2009Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal
Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN 2081-7152
A186
karena semakin tinggi suhu evaporasi akan semakin tinggi kadar sukrosanya. Hal ini
disebabkan pada suhu yang lebih tinggi pembentukan kristal gula lebih cepat bila
dibandingkan dengan suhu yang lebih rendah karena pada proses penguapan nira
berbentuk larutan gula encer (air dan molekul sukrosa) akan mengalami pergerakan
antara molekul sukrosa yang satu dengan yang lainnya. Bila molekul airnya diuapkan
maka jarak antara molekul sukrosa yang satu dengan yang lainnya akan semakin
dekat bahkan bertabrakan akibatnya terjadi penggabungan dan pembentukan rantai
rantai yang dinamakan submikron. Selama proses penguapan dengan menggunakan
teknik penguapan hampa akan terlihat inti-inti kristal. Inti kristal tersebut akan
berangsur-angsur terbentuk yang secara bertahap menempel pada bidang permukaan
inti kristal. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi suhu penguapan akan
semakin cepat pembentukan kristal. Menurut Goutara dan Wijandi (1975),
terbentuknya inti kristal karena terjadinya penggabungan dan terbentuknya rantai-
rantai submikron terjadi dalam keadaan jenuh selama penguapan.
Peningkatan dan penurunan kadar sukrosa erat kaitannya dengan keberadaan
air yang ada pada bahan. Pada tingkat kadar air yang lebih tinggi akan memberikan
sukrosa yang semakin rendah. Hal ini disebabkan semakin tingginya kadar air akan
memperbesar terjadinya reaksi hidrolisis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suroso
dkk, (2003) yang menyatakan reaksi hidrolisis akan meningkat dengan semakin
meningkatnya kadar ion hidrogen dan semakin meningkatnya suhu.
Sejalan dengan semakin lama evaporasi akan memberikan kadar sukrosa yang
lebih tinggi. Peningkatan kadar sukrosa tersebut berhubungan dengan suhu
pemanasan. Pada tingkat evaporasi yang lebih lama jumlah air yang teruapkan lebih
besar sehingga komposisi gula yang dihasilkan lebih banyak mengandung sukrosa
atau kadar sukrosa menjadi bertambah sejalan dengan semakin lama pengentalan.
Menurut Goutara dan Wijandi (1975), proses penguapan atau pengentalan diupayakan
menguapkan atau membuang bahan-bahan bukan gula sebanyak-banyaknya sehingga
dihasilkan kadar sukrosa yang maksimal dalam nira, karena keberadaan bahan-bahan
bukan gula tersebut dapat menghambat pembentukan kristal. Kadar sukrosa gula
semut yang dihasilkan terkecil diperoleh pada kombinasi perlakuan T1t1 (71,60%),
sedangkan kadar sukrosa terbesar diperoleh pada kombinasi perlakuan T3t3
(84,48%). Perolehan kadar sukrosa tersebut masih dibawah SNI yang mensyaratkan
minimal 90%.
Berdasarkan hasil analisis keragaman (Tabel 2) bahwa warna gula semut
memberikan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan. Pola perubahan warna gula
semut dapat dilihat pada Gambar 1a, yang menunjukkan bahwa hasil rerata tingkat
suhu dan lama evaporasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
8/10
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 89 Agustus 2009Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal
Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN 2081-7152
A187
0
2
4
6
8
10
KadarWarna
T1t1 T1t2 T1t3 T2t1 T2t2 T2t3 T3t1 T3t2 T3t3
Suhu dan Lama Pemanasan
gula semut yang dihasilkan. Makin tinggi nilai panelis warna menggambarkan makin
coklat kekuningan warna gula semut yang dihasilkan. Skor warna tertinggi diperoleh
pada perlakuan T3t1 (10,12), dengan kreteria warna coklat kekuningan. Warna yang
terbentuk pada gula semut disebabkan proses penguapan yang digunakan untuk proses
evaporasi nira dalam kondisi hampa sehingga dapat mencegah terjadinya proses
karamelisasi. Penggunaan suhu yang relatif rendah dan waktu evaporasi yang singkat
memberikan warna gula semut yang disenangi oleh panelis. Pembentukan warna
gula semut terjadi karena reaksi browning selama proses evaporasi hal ini sesuai
dengan pendapat Winarno (1992) yang menyatakan bahwa warna dapat ditimbulkan
karena reaksi kimia antara gula dan asam amino dari protein yang dihasilkan sehingga
terjadi browning atau reaksi maillard. Pendapat ini juga didukung oleh Desrosier
(1988) yang menyatakan bahwa produk-produk yang menggunakan panas dapat
menyebabkan warna coklat pada bahan pangan tersebut karena bereaksinya gula
reduksi dengan asam amino.
(a) (b)
Gambar 1. Grafik Pengaruh Suhu dan Lama Evaporasi Terhadap Warna Gula Semut (a) danWarna Gula Semut (b).
Skor warna terendah diperoleh pada perlakuan T2t2 (5,07) dengan kriteria
warna agak coklat kekuningan. Keadaan ini disebabkan karena suhu pemasakan yang
diberikan tidak dapat menghirolisis sukrosa secara maksimum, sehingga gula reduksi
yang dihasilkan rendah, dengan demikian gula reduksi yang akan bereaksi dengan
asam amino sangat sedikit, maka terjadinya reaksi browning dapat dicegah. Menurut
Komalasari (1991), bahwa sifat-sifat cita rasa dan warna dari bahan pangan yang
dimasak dan diolah tergantung dari reaksi gula reduksi dan kelompok asam amino
yang menghasilkan zat warna coklat.
Berdasarkan hasil analisis keragaman pada rasa gula semut memberikan
pengaruh yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Pola perubahan rasa gula semut
dapat dilihat pada Gambar 1b, yang menunjukkan hasil pengaruh yang tidak berbeda
5,8
6
6,2
6,4
6,6
6,8
7
7,2
7,4
7,6
KadarRasa
T1t1 T1t2 T1t3 T2t1 T2t2 T2t3 T3t1 T3t2 T3t3
Suhu dan Lama Pemanasan
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
9/10
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 89 Agustus 2009Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal
Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN 2081-7152
A188
nyata antar perlakuan. Skor rasa tertinggi diperoleh pada perlakuan T3t1 (7,48)
dengan kriteria rasa suka, sedangkan skor rasa terendah diperoleh pada perlakuan
T1t3 (6,48) dengan kriteria rasa agak suka.
Hal ini disebabkan pada proses pembuatan gula semut dengan teknik
penguapan hampa menggunakan suhu evaporasi dibawah titik didih air dan waktu
yang singkat, sehingga hasil yang diperoleh tetap memberikan rasa yang sama yaitu
disukai oleh panelis. Dengan suhu rendah dan waktu yang relatif singkat serta
tekanan rendah pada alat mempunyai fungsi mempertahankan ciri khas rasa gula
semut. Menurut Syarifudin (2001), untuk menghindari terjadinya reaksireaksi selama
proses evaporasi dapat dilakukan dengan suhu rendah dan tekanan hampa yang
bertujuan untuk mempertahankan ciri khas rasa, warna dan aroma bahan pangan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut : Suhu evaporasi yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kadar rendemen, kadar air, kadar gula reduksi, kadar sukrosa dan warna, serta tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar abu dan rasa gula semut. Interaksi perlakuan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar sukrosa. Warna gula semut yang
paling disukai oleh penelis adalah perlakuan T3t3 (suhu 90o
C dan lama evaporasi 50
menit dengan kriteria warna coklat kekuningan, sedangkan panelis menyukai rasa
pada semua perlakuan. Suhu tinggi dan waktu yang relatif pendek pada tekanan
rendah dengan teknik penguapan hampa ini mampu mempertahankan ciri khas rasa,
warna dan aroma gula semut.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC., 2000. Official Methods of Analysis. 16th ed. AOAC International.Gaithersburg, Maryland.
Belibali Kadir B., and Ali C.Dalgic, 2007. Rheological Properties Of Sour-Cherry
Juice and Concentrate. International Journal of Food Science & Technology.
Vol. 42 No. 6 : 773-776.
Balai Informasi Pertanian, 2000. Pembuatan Gula Semut. Padang. Liptan.
Balai Penelitian dan Pengembangan Industri,1988. Alat Pengkristal Gula Serbuk/Gula
Semut. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian
Semarang.
Departemen Perindustrian RI 1990. Standar Nasional Indonesia Gula Semut. Jakarta.
Desrosier, N.W, 1988. Teknologi Pengawetan Pangan . Universitas Indonesia .Jakarta.
Goutara dan S Wijandi, 1975. Dasar-Dasar Pengolahan Gula Tebu. Departemen Hasil
Pertanian . Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
-
8/4/2019 Pembuatan Gula Semut Aren
10/10
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 89 Agustus 2009Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal
Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN 2081-7152
A189
Hariyadi, Purwiyatno, 2002. Pemanfaatan Limbah Cair Tahu Untuk Memproduksi
Ingredien Pangan Fungsional. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga
Penelitan dan Pengabdian Masyarakat. IPB. Bogor.
Qazuini, M. 1984. Pengujian inderawi Bahan Makanan dan Minuman. Universitas
Mataram. Mataram
Saloko, S. Cahyawan Catur ,E. M. dan Handayani, 1997. Pembuatan Konsentrat Sari
Buah Srikaya dengan Evaporator Vakum. Lembaga Penelitian UniversitasMataram. Mataram
Sudarmadji, S. Haryono dan Suhardi, 1987. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan
dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta .
Sunarnani dan Soedibyo, 1992. Pembuatan Konsentrat Sari Buah Jeruk DenganEvaporator Vakum Jurnal Hortikultura . Volume 2. No. 3. 1992.
Suroso, Adi Riswanto dan Aris Sujatmoko 2003. Pengaruh Kadar Air Bahan Baku
dan Jumlah Bibit Terhadap Gula Semut yang Dihasilkan.Seminar Nasional
dan (PATPI) Peranan Industri Dalam Pengembangan Produk Pangan
Indonesia. Yogyakarta 22-23 juli 2003.
Syarifudin, 2001. Pengaruh Suhu Pengentalan Terhadap Sifat Fisik dan Kimia
Konsentrat Sari Buah Nenas (Ananas comossus L ). Skripsi Fakultas Pertanian
Universitas Mataram. Mataram.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.