pemberian obat irasional dalam perspektif hukum

Upload: dony-septriana-rosady

Post on 02-Mar-2016

50 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pemberian Obat Irasional dalam Perspektif HukumDisusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Keamanan ObatPengajar :

Drs. Ahmad Gazali, Apt., S.H., M.HKes.

Disusun oleh:

Dony Septriana RosadyNIM 11.93.0037PROGRAM MAGISTER HUKUM KESEHATAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG2012BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kesehatan merupakan kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup. Hidup yang berkualitas salah satunya ditandai dengan kesehatan yang baik. Seseorang yang memiliki keluhan kesehatan biasanya berobat ke dokter. Dokterb sudah menjadi hal yang biasa untuk meresepkan obat untuk menangani keluhan yang dirasakan oleh pasie. Namun demikian, bukan berarti kesehatan adalah pemberian obat. Tidak semua gangguan kesehatan harus senantiasa dijawab dengan obat.

Isu tentang obat dalam sistem pelayanan kesehatan selalu mampu menjadi bahasan yang menarik. Di satu sisi obat dapat memberikan efek yang diinginkan, namun efek samping selalu menghantui pemberian obat kepada pasien. Dunia kedokteran selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi yang dilematis, kondisi antara risk dan benefit. Bila penggunaan obat dilakukan secara bijak maka manfaat yang dapat dirasakan mungkin besar dan bahkan pada beberapa kasus dapat menyelamatkan jiwa pasien yang sedang kritis. Banyak pasien beranggapan bahwa konsultasi medis adalah kunjungan memperoleh obat. Dalam kamus bahasa Indonesia, konsultasi medis adalah perundingan antara pemberi dan penerima layanan kesehatan untuk mencari penyebab terjadinya penyakit dan untuk menentukan cara-cara pengobatan. Meski begitu, tidak sedikit pasien yang sudah memahami bahwa kondultasi medis tidak selalu adanya pemberian resep obat dari seorang dokter, semuanya tergantung keputusan klinis dan pertimbangan yang terbaik bagi pasien.Tujuan kegiatan edukasi tentang obat adalah mengajak pasien untuk menyadari bahwa urusan kesehatan juga merupakan tanggung jawab pasien, bukan hanya tanggung jawab tenaga medis. Pasien dituntut untuk proaktif mempelajari dasar-dasar kesehatan, mulai dari upaya preventif (misalnya imunisasi dan pemberian makanan dengan gizi seimbang pada anak) sampai dengan pemakaian obat secara bijak. Pemakaian obat yang rasional, yang berarti bukan memusuhi obat, bukan memusuhi antibiotik.BAB II

PEMBAHASANA.Pembahasan

Panduan penanganan suatu penyakit biasanya sudah disusun oleh organisasi profesi dokter. Tanpa sepenuhnya disadari, banyak pihak terlalu memberikan ekspektasi yang tinggi terhadap obat-obatan. Ketika kesehatan terganggu, lantas banyak orang mencari/meminta obat. Mereka cenderung kurang memahami bahwa keluhan yang sering muncul harian (demam, batuk pilek (ISPA), diare akut) dan juga banyak penyakit lainnya (TBC, tifus, Inefeksi saluran kemih/ISK, eksim, ampak, dst dst) sudah memiliki panduan penanganannya. Panduan ini merupakan hasil penelitian yang sudah terjamin kekuatannya dalam membuktikan penanganan yang terbaik (yang efektif dan aman) untuk penyakit-penyakit tersebut. Panduan ini bisa ditemukan di berbagai buku teks kedokteran.

Pada panduan selsema mislanya tidak disebutkan obat apapun selain obat pereda demam seperti parasetamol, seharusnya tenaga medis dan pasien memahami dan menerapkannya dengan benar sehingga ketika flu/selesma, berapapun suhu demamnya, kita tidak mengkonsumsi antibiotik, atau obat pilek, atau obat batuk. Obat-obatan tersebut tidak ada dalam panduan selesma/flu.

Pada technical briefing seminar WHO awal tahun 2004 perihal Kebijakan Obat Esensial dikemukakan bahwa di negara sedang berkembang, jumlah obat yang diresepkan, padahal sebenarnya tidak perlu. diberikan sebesar 39 59%. Hal ini mencerminkan tingginya biaya yang dibelanjakan untuk obat yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan. Jelas ini menunjukkan suatu pemborosan dalam bidang kesehatan.

Kesehatan banyak dipahami hanya sebagai urusan dokter dan tenaga medis lainnya. Padahal seharusnya pasien/konsumen kesehatan juga merupakan pihak yang paling berkepentingan akan kesehatan dan kesejahteraan dirinya. Pasien merupakan pihak yang merugi ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pasien merupakan pihak yang seharusnya sangat memahami keluhannya dan memberikan perhatian yang lebih terhadap penanganan keluhannya. Di negara dengan sistem kesehatan yang kuat sekalipun, agka kematian akibat efek samping obat masih menempati urutan ke 5, di atas angka kematian akibat HIV/AIDS dan juga angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas.

Dokter dianggap paling tahu soal obat dan sangat memahami obat-obatan. Kemajuan ilmu kedokteran dan kemajuan ilmu perihal obat-obatan sangat pesat sehingga tenaga medis sering tidak berhasil untuk senantiasa mengikuti perkembangan keilmuannya.

Masih banyak pasien yang memperoleh obat disesuaikan dengan gejala (ggejala pasein 6 maka obatnya mungkin bisa 6 atau lebih) bukan berdasarkan masalah atau diagnosis. Pengobatan gejala (simtomatik atau pengobatan untuk menghilangkan gejala) bisa menyesatkan karena masalah dasarnya justru tidak terdeteksi atau tidak tertangani. Masalah lainnya adalah overmedicated, dimana ketika hanya butuh 1 atau 2 obat, ternyata pasien memperoleh banyak obat, satu obat untuk satu gejala.

Keprihatinan lainnya yaitu banyaknya obat yang di luar Indonesia sudah tidak dipergunakan, namun di Indonesia masih diberikan khususnya untuk anak-anak. Misalnya obat untuk menanganin keluhan pilek. Padahal, obat pilek yang mengandung dekongestan, tidak pernah terbukti efektif bahkan terbukti tidak aman bagi bayi dan anak kecil. Oleh karena itu, sebaiknya pemberian obat pilek untuk bayi dan anak kecil (obat pilek puyer racikan mauopun obat pilek sirup bermerek) serta untuk manula perlu dibatasi.

Contoh lainnya yaitu pada penggunaan obat batuk. Batuk karena selesma dan flu tidak ada obatnya (obat batuk, obat pengencer dahak, bukan sebagai obat kausatif). Tidak perlu diberikan obat untuk menekan batuk karena batuk sendiri seharusnya tidak boleh ditekan. Batuk justru membantu untuk membersihkan jalan napas. Ketika selesma, flu atau alergi, saluran napas memproduksi banyak mukus sehingga respon tubuh melakukan batuk agar mukus tersebut dapat terdorong keluar. Batuk bukan merupakan penyakit. Batuk bukan hal yang buruk. Ketika anak batuk karena asma, seharusnya diberikan obat asma bukan obat batuk. Di lain pihak, banyak juga anak batuk diberikan obat puyer yang berisi obat asma. Jelas ini merupakan pengoabtan yang tidak rasional. Obat anti muntah dan obat diare juga contoh obat yang terkadang penggunaannya tidak rasional. Diare dan muntah adalah refleks tubuh untuk membersihkan semua yang tidak seharusnya berada pada saluran cerna. Diare dan muntah sebaiknya tidak diberi obat anti muntah dan diare secara terus menerus, karena obat-obatan tersebut tidak menyembuhkan penyakitnya bahkan potensial menimbulkan efek samping. Obat satu-satunya untuk diare akut adalah terapi cairan.

Persepsi menyesatkan lainnya adalah terkait dipahaminya bahwa antibiotik adalah obat dewa. Entah siapa yang memulai kesalahan persepsi ini sehingga banyak pihak (tenaga medis maupun konsumen kesehatan) memiliki pola pikir bahwa ketika sakit, antibiotik solusinya agar proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Pemikiran tersebut diyakini agar tidak terjadi infeksi sekunder (infeksi tambahan) kuman. Para tenaga medis membuat alasan bahwa di Indonesia kondisinya berbeda dengan di luar negeri, di Indonesia banyak kuman jadi tetap harus diberikan antibiotika. Padahal, pasien non-Indonesia dengan demam dan batuk pilek, meski tinggal di Indonesia, mereka tahu bahwa mereka tidak memerlukan antibiotika.

Di beberapa negara sedang berkembang, persentase peresepan antibiotika yang sebenarnya tidak perlu diberikan sebesar 52% - 75%. Penelitian di beberapa tempat di Sumbar menunjukkan bahwa tingkat pemakaian antibiotika sebesar 90%. Tingkat penggunaan antibiotika untuk balita mencapai 83% dan 60% pada mereka di atas 5 tahun. Ironis, fakta di lapangan menunjukkan bahwa anak merupakan populasi yang paling terpapar pada antibiotika. Pada anak, ada 3 kondisi yang hampir selalu diberikan antibiotika yaitu demam, radang tenggorkan, dan diare. Padahal ketiga penyakit ini umumnya disebabkan oleh virus, sehingga seharusnya tidak membutuhkan antibiotika. Semakin sering anak memperoleh antibiotika, kemungkinan besar semakin sering mereka jatuh sakit.

Persepsi yang sering keliru di masyarakat bahwa pergi ke dokter untuk memperoleh resep/obat. Tidak sedikit pasien yang beranggapan bahwa konsultasi medis adalah kunjungan berobat atau upaya meminta obat. Dalam kamus bahasa Indonesia, konsultasi medis adalah perundingan antara pemberi dan penerima layanan kesehatan untuk mencari penyebab terjadinya penyakit dan untuk menentukan cara-cara pengobatannya. Singkatnya, konsultasi medis adalah upaya advokasi, upaya berbagi informasi, upaya meminta penjelasan dan kejelasan. Namun, sudah cukup banyak pula konsumen yang memahami bahwa konsultasi medis tidak selalu berarti memperoleh obat, karena keputusan klinis tergantung penyebab gangguan kesehatan yang tengah dialaminya.

Misalnya pada kasus bayi diare. Penyebab utamanya adalah infeksi virus dan obatnya adalah cairan rehidrasi oral (oralit) dan ASI untuk mencegah dehidrasi. Dokter memberi informasi perihal penyebab, tatalaksana, dan risiko komplikasi. Dokter menyatakan bahwa diare akan sembuh sendiri, tidak ada obat yang diperlukan selain cairan rehidrasi oral. Dengan demikian, konsultasi medis tidak senantiasa harus diakhiri dengan penulisan secarik kertas resep. Nasehat dokter yang profesional juga suatu bentuk obat. Pada dasarnya, tidak banyak gangguan kesehatan yang tatalaksananya harus berupa pemberian obat. Ketika memang dibutuhkan obat, faktor lain yang berperan dalam peresepan obat pun perlu diperhitungkan.Obat injeksi banyak dipahami secara salah bahwa obat tersebut lebih cepat memberikan penyembuhan. Di negara sedang berkembang, persentase pemberian obat secara injeksi (yang sebenarnya bisa diberikan secara oral) juga tinggi berkisar 20%76%. Jika dilihat kasus per kasus ternyata didapati kenyataan bahwa tidak banyak pasien yang membutuhkan pemberian obat melalui suntikan. Selain itu, dipandang dari berbagai aspek, selama obat masih dapat diberikan secara oral maka dipilih obat-obatan per oral. Pemberian melalui suntikan banyak menimbulkan dampak negatif termasuk tingginya biaya karena pasien umumnya harus rawat inap di rumah sakit dan meningkatnya risiko efek samping obat. Kemungkinan masuknya bakteria ke tubuh saat penyuntikan dilakukan semakin tinggi dan sering menyisakan perasaan tidak nyaman. WHO melaporkan bahwa sedikitnya ada 15 juta penyuntikan per tahun di seluruh belahan dunia. Separuhnya mempergunakan jarum suntik yang tidak steril. Setiap tahun, tercatat 2,3 4,7 juta infeksi hepatitis dan 160.000 infeksi HIV akibat pemberian obat melalui suntikan.

Persepsi terkait pengobatan dengan biaya yang mahal dianggap berkualitas masih banyak berkembang di masyarakat. Layanan kesehatan yang berkualitas adalah layanan kesehatan yang profesional artinya mendahulukan kepentingan pasien (jika tidak butuh obat dokter harus berani mengatakan yang sebenarnya dan pasien harus menghormatinya). Penggunaan obat yang rasional adalah pola pemberian obat yang tepat yaitu pemilihan obat yang sesuai dengan diagnosis penyakitnya, tepat konsumsinya, tepat dosisnya, tepat jangka waktu pemberiannya, dan aman, dengan harga semurah mungkin serta dengan pemberian informasi yang obyektif. Singkatnya, pola pemakaian obat yang aman dan efektif (cost-effective), efisien dengan good outcome. Pendekatannya sesuai alur di bawah:

1.Pasien dan permasalahannya. Dokter harus mengumpulkan data perihal perjalanan penyakit dan pengobatan yang pernah diperoleh pasien.

2.Diagnosis: diagnosis tepat atau akurasi tinggi. Bila tidak memungkinkan, setidaknya ada diagnosis perkiraan untuk selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang (laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan sebagainya).

3.Tujuan terapi : dipengaruhi jenis penyakit dan keparahannya. Secara garis besar tujuan adalah kesembuhan atau berkurangnya/hilangnya gejala/keluhan.

4.Pemilihan obat. Dilakukan dalam dua tahapan berikut:

a. Menetapkan obat yang akan dipilih dengan catatan, hanya sebagian gangguan kesehatan yang memang membutuhkan obat. Nasehat yang profesional juga obat. Tidak jarang, ketika pasien tidak membutuhkan obat, dokter tetap memberikan resep misalnya suplemen atau imunomodulator.

b. Dari berbagai obat yang tersedia di tahap pertama di atas, dilakukan kajian dari berbagai aspek yaitu efektivitas, keamanan, suitability, biaya, kemudahan pemberiannya, serta persyaratan penyimpanannya. Pada anak misalnya, sirup tentunya lebih suitable ketimbang puyer (belum lagi bicara soal stabilitas obat di udara tropis). Dari sisi efektivitas versus biaya, obat generik tentunya menjadi pilihan ketimbang obat bermerek. Ketika membutuhkan antibiotik, tentunya dipilih yang sesuai target yang dibidik.

5.Terapi dimulai: Dokter meresepkan obat; memberi penjelasan manfaat dan efek samping obat serta tindakan seandainya terjadi reaksi efek samping obat.

a. Hasil terapi : Dokter melakukan penilaian terhadap terapi yang sudah dilakukan agar dapat menyimpulkan hasilnya.

b. Kesimpulan terapi : Dokter menilai tercapai tidaknya tujuan terapi. Bila tujuan tidak/belum tercapai, dokter meninjau kembali akurasi diagnosis serta mengevaluasi kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu kita waspadai perihal pemakaian obat:

1.Kemungkinan interaksi antar satu obat dengan obat lainnya

2.Kemungkinan efek samping dan pengetahuan akan indikasi kontra pemberian suatu obat

3.Kepedulian perihal rasio untung ruginyaDi negara maju, konsumen menghargai dokter yang mau memberikan penjelasan perihal kerja obat yang harus dikonsumsi serta penjelasan perihal efek-efek yang mungkin terjadi.

Dalam pasal 104 ayat 2 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional. Artinya pemberian obat-obatan harus didasarkan atas dasar keilmuan yang baik dan benar.BAB III

PENUTUPA. Penutup

Pengobatan irasional masih banyak terjadi di masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya kesalahan paradigma tenaga medis dalam pemberian pelayanan kesehatan juga kesalahan paradigma pasien mengenai kesehatan.Tenaga medis masih banyak yang tidak menghargai panduan penanganan kasus penyakit sehingga pelaksanaan pelayanan tindakan medis dirasa ada yang kurang tepat. Ketidaktepatan dalam pemberian pelayanan dapat berdampak tidak hanya terhadap biaya pelayanan yang menjadi tinggi tetapi juga berdampak pada bidang kesehatan yang lebih luas. Pemberian antibiotik yang tidak efektif dan tidak tepat dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik dan menyebabkan biaya kesehatan selanjutnya menjadi lebih mahal.

Meski pasal 104 ayat 2 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional, namun praktik pengobatan irasional masih banyak terjadi. Hal ini perlu segera ditangan agar dampak yang terjadi tidak meluas.

Sosialisasi terkait penggunaan obat rasional harus dilakukan terhadap seluruh tenaga medis dalam melakukan peresepan dan dalam penanganan keluhan-keluhan pasien. Edukasi terhadap masyarakat pun perlu dilakukan agar masyarakat dapat peduli dan memahami kesehatan dirinya secara baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.2. Purnamawati Sujud Pujiarto. Pola Pengobatan Rasional. YOP. Jakarta : 2011.3. Yusmaninita. Rasionalitas Penggunaan Obat. RSUP H.Adam Malik. 2009.

4. Yunita Sari Pane, Aznan Lelo. Peresepan Obat yang Rasional. FK USU. Medan: 2011.5. ____. Problem of Irrational Drug Use. University of Boston. 2011.