pelanggaran pemilu 2009 dan tata cara penyelesaiannya

Upload: egi-gumilang

Post on 14-Oct-2015

124 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pelanggaran

TRANSCRIPT

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 1

    POSITION PAPER

    Pelanggaran Pemilu 2009 Dan

    Tata Cara Penyelesaiannya

    Jakarta, Desember 2008

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 2

    Pelanggaran Pemilu 2009 Dan

    Tata Cara Penyelesaiannya

    Tim Penyusun:

    Yulianto

    Veri Junaidi

    Konsorsium Reformasi Hukum Nasional

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 3

    Pengantar Penerbit

    Pemilihan Umum (pemilu) sebagai bagian dari system demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Karena melalui pemilu tidak hanya menjamin berlangsungnya proses sirkulasi dan regenerasi kekuasaan. Tetapi partisipasi dan representasi atas kepentingan rakyat terhadap terpenuhinya pemerintahan yang baik, akan senantiasa terjaga. Kepentingan rakyat sebagai bagian dari hak-hak konstitusional yang harus selalu dijamin, dilindungi dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu system pemilu yang dibangun, hendaknya dikreasikan dengan tujuan dan maksud tersebut. Termasuk didalam setiap penyelenggaraan pemilu, diharapkan dapat berjalan secara jujur dan adil (free and fair election) serta transparan.

    Namun tidak bisa dihindari, dalam setiap penyelenggaraan pemilu. seringkali muncul persoalan atau perkara pemilu. Persoalan-persoalan tersebut muncul karena ketidakpuasan terhadap penyelenggara (KPU), seperti keputusan/kebijakan yang dikeluarkan tidak transparan, kekurangcermatan dalam menghitung dsb. Persoalan juga muncul karena adanya penyimpangan dan kecurangan yang dilakukan para peserta pemilu, seperti pemalsuan identitas, money politik, dan sebagainya. Persoalan-persoalan tersebut apabila dibiarkan dan tidak diberikan mekanisme penyelesaian (mekanisme hukum) yang jelas dan tegas, bukan hanya dapat mengganggu kelancaran/kesuksedan pemilu, tetapi akan mengakibatkan rendahnya kredibilitas dan legitimasi pemilu. Hingga pada gilirannya dapat mengancam dan mengabaikan hak-hak konsitusional para peserta pemilu dan masyarakat pada umumnya.

    System dan politik hukum bagi pemilu 2009 telah digariskan melalui konstitusi (UUD 1945), UU Pemilu (legeslatif dan Presiden), serta UU MK. Melalui UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Untuk Anggota Legeslatif (DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kabupaten dan DPD), ditentukan bahwa perkara pemilu dapat dibedakan menjadi perkara yang bersifat administrative, pelanggaran pidana dan sengketa hasil. Masing-masing perkara tersebut, telah diatur mekanisme dan prosedur penyelesaiannya. Untuk perkara yang bersifat administrative, mekanisme penyelesaiannya melalui Bawaslu/Panwaslu. Sedangkan untuk penanganan perkara pelanggaran pidana, mekanismenya diserahkan kepada kepolisian, kejaksaan dan pengadilan umum (MA). Dan untuk perkara sengketa hasil pemilu, termasuk sengketa pilkada, proses penyelesaiannya melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 4

    Ditengarai dalam penyelenggaraan pemilu 2009 nanti, perkara yang muncul intensitas dan kompleksitasnya akan semakin rumit. Jika melihat kembali pada pemilu 2004, terdapat 3153 kasus pelanggaran dalam pemilu legeslatif dan 274 kasus dalam pemilu presiden. Sedangkan dalam kasus sengketa hasil, tercatat 500 pengaduan ke Mahkamah Konstitusi. Dari angka tersebut, 370 merupakan perkara MK. Untuk pilkada, lebih dari 167 gugatan diajukan ke MA atau pengadilan tinggi dan hanya tiga kasus yang dikabulkan. Jumlah tersebut kemungkinan besar akan meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah partai peserta pemilu, juga aturan jenis dan kualifikasi pidana pemilu yang bertambah. Yang menarik, perkara sengketa hasil pemilu bisa terjadi antar caleg dalam satu partai yang sama, antar caleg lintas partai dan sengketa antar partai politik. Kompleksitas masalah akan bertambah jika regulasi yang mengatur untuk penanganan dan penyelesaian perkara pemilu, tidak diatur secara rinci, jelas dan limitative. Hal ini bisa menambah keruwetan persoalan, yang bisa berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan berujung pada ketidakadilan didalam penerapannya.

    Berkait dengan itu, instrumen yang tak kalah penting adalah menyangkut tatacara penjatuhan hukuman bagi semua pihak yang telah melakukan pelanggaran terhadap aturan main. Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah keterbatasan wewenang Bawaslu dalam penanganan pelanggaran pemilu. Tidak jauh berbeda dengan Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu 2004, wewenang dan tugas Bawaslu adalah; mengawasi kemungkinan adanya pelanggaran di setiap tahapan, mengkaji dan meneruskan dugaan pelanggaran pemilu kepada pihak lain yang berkompeten. Undang-undang tidak membebani Bawaslu untuk mengawal hasil kajian atas dugaan pelanggaran pemilu yang telah diteruskan. Dengan keterbatasan tersebut maka penanganan perkara dari hulu (sejak terjadinya pelanggaran) hingga muara (keputusan terhadap pelaku pelanggaran) akan menemui hambatan.

    Position paper ini mencoba memberikan gambaran terhadap hal-hal mengenai alur/proses tatacara penanganan pelanggaran pemilu tersebut diatas. Dalam position paper ini juga disampaikan beberapa kritik dan rekomendasi yang perlku dilakukan supaya aturan yang telah ditentukan dalam UU Pemilu maupun Peraturan turunannya dapat menjawab kebutuhan penegakan hukum pemilu. Dengan adanya position paper ini diharapkan masyarakat pada umumnya dan pihak-pihak yang akan terlibat dalam proses pemilu dapat lebih mudah memahami bagaimana aturan main pemilu dilaksanakan sehingga kualitas pemilu dapat terjaga.

    Sangat disadari bahwa dalam penyusunan Position Paper tentang tata cara penanganan pelanggaran pemilu ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu maka kritik dan saran sangat kami harapkan.

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 5

    Terlepas dari segala kekurangan tersebut, tidak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam proses penyusunan position paper ini khususnya lembaga-lembaga pemantau pemilu, dan terutama Yayasan Tifa yang telah mendukung proses penyusunan dan penerbitan position paper ini.

    Jakarta, Mei 2009

    Firmansyah Arifin

    Ketua KRHN

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 6

    KATA PENGANTAR

    Penyelenggaraan pemilu tahun 2009 seyogianya mempunyai makna penting bagi proses

    konsolidasi politik di Indonesia. Ada beberapa alasan dapat diajukan yang antara lain: kesatu,

    pemilu tahun 2009 adalah pemilu kedua dalam era reformasi yang dilaksanakan oleh komisi

    pemilihan yang independen sehingga seharusnya kualitas penyelenggaraan akan lebih baik

    dibandingkan dengan pemilu 2004; kedua, penyelenggaraan pemilu dilengkapi oleh badan

    pengawas yang juga bersifat tetap dan independen untuk memastikan agar pemilu dilaksanakan

    sesuai dengan asas pemilu, yaitu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil; ketiga, ada

    civil societies yang secara khusus mengabdikan dan mewakafkan waktunya agar proses

    penyelenggaraan pemilu obyektif, berkualitas dan secara sungguh-sungguh dalam mewujudkan

    kedaulatan rakyat.

    Transformasi kedaulatan rakyat melalui penggunaan hak pilih yang dimiliki rakyat dalam suatu

    proses penyelenggaraan pemilu yang baik sesuai asas penyelenggaraan pemilu di atas, diyakini

    akan dapat memilih wakil-wakil rakyat yang amanah karena mereka memiliki profesionalitas

    dan integritas untuk membangun tata kelola kekuasaan yang baik. Dalam konteks pemilu

    legislatif 2009, maka seyogianya anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

    Daerah yang dipilih dalam pemilu tersebut dapat mennciptakan atmosfir kekuasaan legislatif

    yang kondusif dalam nenjalankan tugas dan kewenangannya yang berpucuk pada sebesar-

    besarnya kepentingan rakyat.

    Fakta menegaskan, penyelenggaraan pemilu legislatif tahun 2009 tidak lebih baik dari pemilu

    tahun 2004. Ada beberapa kalangan menyatakan, pemilu kali ini lebih buruk dari pemilu

    sebelumnya, dan bahkan sebagian lainnya memberikan penilaian sebagai pemilu yang terburuk.

    Ada cukup banyak indikasi dan fakta dapat diajukan untuk sampai pada kesimpulan di atas,

    mulai dari masalah Daftar Calon Tetap (DCT) hingga penghitungan suara hasil pemilu dan

    penentuan kursi sesuai dengan jumlah suara di suatu daerah pemilihan. Diantara tahapan tersebut

    ada cukup banyak pelanggaran, baik pelanggaran yang bersifat administrasi maupun pidana

    pemilu selain sengketa hasil pemilu. Berbagai fakta atas banyaknya pelanggaran dan

    ketidakmampuan menangani pelanggaran itu dapat mencederai kualitas pemilu.

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 7

    Buku ini memperoleh kontekstualitas karena telah berhasil mengemukakan hal ichwal yang

    berkaitan dengan berbagai pelanggaran pemilu, khususnya bagaimana proses dan prosedur

    penanganan pelanggaran pemilu sesuai dengan ketentuan yang tersebut dalam perundangan

    maupun kesepakatan diantara para penegak hukum untuk mengatur prosedur beracara. Jadi,

    salah satu kekuatan yang berhasil dikemukakan dalam buku ini adalah menjelaskan prosedur

    atau tata cara penyelesaian pelanggaran pemilu secara gamblang. Pendekatan yuridis normatif

    digunakan untuk mengidentifikasi, bagaimana prosedur penyelesaian pelanggaran pemilu diatur

    di dalam peraturan perundangan dan sebagiannya didapatkan dari hasil analisis atas berbagai

    kelemahan peraturan dimaksud dengan mengaitkannya pada penanganan sebagian kasus-kasus

    pelanggaran pemilu. Berpijak pada hasil analisis tersebut maka diajukan berbagai kritik atas

    ketentuan maupun pelaksanaan aturan yang mengalami kesulitan dalam penerapannya.

    Buku ini akan menjadi sangat menarik bila dapat menampilkan berbagai masalah dan kasus-

    kasus yang memperlihatkan pelanggaran atas prosedur pemilu. Berdasarkan kasus dan masalah

    tersebut dapat dilihat sejauhmana kompleksitas masalah dan dapat dikaji sejauhmana dampak

    atas kasus terhadap kualitas pemilu. Sebaran masalah dan modus operandi kasus dapat

    dikatagorisir dan dikualifisir untuk kemudian dianalisis lebih mendalam untuk mengetahui

    penyebab utamanya dan cara mengatasinya. Usulan gagasan perbaikan yang lebih komprehensif

    hanya dapat dilakukan bilamana dilakukan kajian yang mendalam atas kompleksitas masalah dan

    keragaman kasus.

    Pada keadaan yang senyatanya, ada berbagai masalah yang belum diatur secara tegas di dalam

    perundangan. Misalnya saja, tertukarnya surat suara dalam cakupan sebaran yang cukup luas.

    Tindakan dimaksud dapat terjadi karena adanya kelalaian tetapi bukan tidak mungkin terjadi

    karena kesengajaan. Persoalan menjadi problematik karena lembaga KPU membuat kebijakan

    yang menyebabkan suara pemilih menjadi tidak berarti. Bawaslu secara tegas menyatakan,

    tindakan dimaksud adalah tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 288 UU No. 10

    Tahun 2008. Alasan yang diajukan Bawaslu, tindakan tersebut menyebabkan suara seorang

    pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapatkan tambahan

    suara. Pihak kepolisian menafsirkan masalah di atas secara berbeda dengan menyatakan,

    tindakan dari KPU tersebut adalah merupakan kebijakan yang tidak dapat dikualifikasi serbagai

    tindak pidana.

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 8

    Hal serupa juga terjadi dengan tindakan KPU dalam menafsirkan penetapan perolehan kursi

    sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 10 Tahun 2008. Tindakan

    KPU dalam menafsir pasal di atas ternyata berbeda dengan pendapat sebagian pembuat undang-

    undang maupun kalangan ahli yang faham soal pembagian kursi. Para pihak yang dirugikan

    mengalami kesulitan untuk mempersoalkan perbuatan KPU karena sudah tidak dapat lagi

    mempersoalkannya melalui sengketa pemilu yang limit waktu hanya 3x24 jam setelah penetapan

    suara nasional. Peraturan perundangan yang ada belum cukup mengatur masalah hukum

    berkenaan dengan kasus seperti tersebut di atas.

    Hal serupa dengan masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pada saat ini, soal DPT telah

    berkembang menjadi isu dan masalah politik dengan disetujuinya Hak Angket oleh DPR atas

    masalah DPT. Jika saja peraturan yang ada sudah mengatur secara tegas dan jelas hal-hal

    berkaitan dengan pertanggungjawaban para pihak yang menyebabkan DPT menjadi masalah

    maka tidak perlu terjadi hak angket.

    Beberapa kasus seperti telah dikemukakan di atas dapat memperlihatkan, peraturan perundangan

    yang ada belum cukup mengatur potensi masalah yang muncul di dalam proses penyelenggaraan

    pemilu. Untuk itu perlu dirumuskan suatu klausul pasal yang dapat dipakai untuk

    mengakomodasi suatu masalah yang potensial muncul di dalam suatu penyelenggaraan pemilu

    yang pada awalnya belum dapat diidentifikasi.

    Hal lain yang juga harus mendapat perhatian adalah standing position dan mekanisme koordinasi

    aparatur di dalam sistem peradilan pidana pemilu. Perlu diatur dan dirumuskan secara tegas, apa

    fungsi dan kedudukan Bawaslu beserta jajarannya dalam system peradilan pidana pemilu. Bila

    Bawaslu dan Panwaslu di Propinsi dan Kabupaten/ Kota ditempatkan sebagai penyelidik maka

    fungsinya hanya mengidentifikasi dan memastikan apakah ada suatu peristiwa pidana saja

    berdasarkan suatu bukti permulaan. Bawaslu tidak perlu diwajibkan untuk mencari dan

    mengumpulkan barang bukti karena tugas dimaksud adalah kewenangan dari penyidik atau

    lembaga kepolisian. Bawaslu sedari awal tidak didesain mempunyai kewenangan sub poena atau

    upaya paksa sehingga tidak dapat diharapkan untuk menemukan dan mengumpulkan barang

    bukti.

    Hal serupa juga dengan masalah koordinasi penanganan pidana pemilu. Apakah lembaga

    kepolisian mempunyai kewenangan untuk menolak hasil pemeriksaan Bawaslu padahal belum

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 9

    pernah secara resmi menerima laporan pengaduan yang diserahkan oleh Bawaslu? Persoalan ini

    menjadi cukup urgen untuk diselesaikan karena komposisi Bawaslu sekarang berbeda dengan

    Panwaslu pada tahun 2004 yang salah satu unsurnya adalah pihak dari lembaga kepolisian dan

    kejaksaan. Pada pemilu 2009, Bawaslu dalam salah satu pernyataannya menyatakan, lembaga

    kepolisian kerapkali menolak laporan kasus yang dikrimkan oleh Bawaslu dengan alasan yang

    tidak jelas sehingga ada kesan pihak kepolisian telah bertindak tidak netral. .

    Buku ini dapat menjadi langkah awal untuk kemudian dilanjutkan dengan tulisan lainnya seperti

    beberapa catatan di atas guna mengelaborasi lebih lanjut berbagai masalah atau pelanggaran

    yang muncul dalam seluruh proses dan tahapan penyelenggaran pemilu. Dari situ kelak akan

    dapat diajukan berbagai perubahan untuk kepentingan perbaikan perundangan pemilu.

    Penyelenggaran pemilu yang baik, diasumsikan akan dapat dilakukan secara optimal, bila

    disertai dengan aturan yang jelas dan tegas untuk menindak siapapun yang bertindak lalai atau

    mempunyai intensi melakukan pelanggaran atas tata cara dan prosedur penyelenggaraan pemilu.

    Selamat dan terima kasih kepada para penulis yang telah berhasil menampilkan tulisan yang

    ringkas, padat dan gamblang tentang hal ichwal pelanggaran pemilu. Ungkapan senada juga

    dihaturkan pada Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) karena telah dan tetap

    memperlihatkan dedikasinya untuk senantiasa melakukan kajian kritis pada berbagai masalah

    publik, khususnya di dalam soal kepemiluan. Semoga saja, sidang pembaca akan mendapatkan

    manfaat yang sebesar-besarnya atas seluruh uraian dan penjelasan yang tersebut di dalam buku

    ini.

    Jakarta, Juni 2009

    DR. Bambang Widjojanto

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 10

    Daftar Isi

    KATA PENGANTAR .. A. Pelanggaran Pemilu : Ancaman Terhadap Proses Demokratisasi B. Pelanggaran Pemilu 2009 ..

    1. Pelanggaran Administrasi .. 2. Tindak Pidana Pemilu 3. Perselisihan Hasil Pemilu ..

    C. Sengketa Pemilu 2009 1. Perselisihan Hasil Pemilu 2. Sengketa Administrasi Pemilu

    D. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Pemilu . 1. Mekanisme Pelaporan 2. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Administrasi . 3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu ..

    a. Proses Penyidikan b. Proses Penuntutan c. Proses Persidangan .. d. Proses Pelaksanaan Putusan

    4. Perselisihan Hasil Pemilu .. E. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilu F. Potensi Masalah Hukum Pemilu 2009..

    1. Waktu Terjadinya Pelanggaran .. 2. Penanganan Laporan .. 3. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi 4. Penegasan Wewenang dan Tanggung Jawab Penyelesaian Pelanggaran Administrasi ... 5. Pengertian Hari ................................................................................... 6. Tindakan Terhadap TNI ......................................................................... 7. Persidangan Anak ................................................................................... 8. Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) .............................................. 9. Proses Banding . 10. Jumlah Aparat Penegak Hukum 11. Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan ....................................... 12. Pelaksanaan Putusan ............................................................................. 13. Gugatan Putusan KPU ...........................................................................

    G. Rekomendasi .

    Lampiran 1. Perbandingan Waktu Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu Menurut UU No. 12/2003, UU No. 10/2008 dengan UU 42/2008

    Lampiran 2. Bentuk dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemilu Menurut UU No. 10/2008 Lampiran 3. Bentuk dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemilu Menurut UU No. 42/2008

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 11

    Daftar Skema

    Skema 1. Alur Penanganan Pelanggara Pemilu Skema 2. Penanganan Laporan Di Bawaslu Skema 3. Waktu Penanganan Laporan/ Temuan Pelanggaran Oleh Bawaslu Skema 4. Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilu Skema 5. Waktu Penyidikan Skema 6. Proses Penuntutan Skema 7. Proses Persidangan Skema 8. Proses Penuntutan dan Persidangan Skema 9. Alur Perselisihan Hasil Pemilu Skema 10. Batas Waktu Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 12

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 13

    A. Pelanggaran Pemilu : Ancaman Terhadap Proses Demokratisasi

    Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah mengucapkannya. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak.

    Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang belum final. Beberapa permasalahan tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan, baik UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, maupun UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden, belum lengkap, multi tafsir, bahkan ada yang tidak sinkron. Adanya persoalan menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada tidak cukup menjangkau.

    Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara konsisten.

    Tersedianya aturan yang konkrit dan implementatif penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum sehingga pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.

    B. Pelanggaran Pemilu 2009

    Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pilleg) dan UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) pada dasarnya mengatur hal yang

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 14

    sama dalam penanganan pelanggaran. Keduanya mengatur tentang kewajiban, larangan pada setiap tahapan yang disertai dengan ancaman atau sanksi.

    Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain :

    1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;

    2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;

    3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

    4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;

    5. Pemantau dalam negeri maupun asing;

    6. Masyarakat Pemilih dan masyarakat secara umum yang disebut sebagai setiap orang.

    Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi: (1) pelanggaran administrasi pemilu; (2) pelanggaran pidana pemilu; dan (3) pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

    1. Pelanggaran Administrasi

    Pasal 248 UU Pilleg dan Pasal 191 UU Pilpres, mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi.

    Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya ; tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.

    2. Tindak Pidana Pemilu

    Pasal 252 UU Pilleg dan Pasal 195 UU Pilpres, mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

    C. Sengketa Pemilu 2009

    1. Perselisihan Hasil Pemilu

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 15

    Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.

    Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di MK.

    2. Sengketa Administrasi Pemilu

    Satu jenis pelanggaran yang menurut UU KPU menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (Pasal 129 UU 12/2003). Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya.

    Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat. Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memberikan ruang khusus untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.

    Contoh kasus yang telah nyata ada adalah 1) sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu. 2) sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.

    D. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur

    dalam UU Pemilu hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU, selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK dan sengketa administrasi masih menjadi perdebatan.

    Skema 1 : Alur Penanganan Pelanggaran Pemilu

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 16

    1. Mekanisme Pelaporan

    Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam BAB XX UU Pilleg dan BAB XVIII UU Pilpres. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang.

    Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh Warga Negara Indonesia anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran.

    Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.

    Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan. Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi 1) pelanggaran pemilu yang bersifat administratif dan 2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana. Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan.

    Adapun Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 247 UU Pilleg dan Pasal 190 UU Pilpres. Bahwa laporan pelanggaran harus disampaikan secara tertulis kepada pengawas pemilu, baik Bawaslu, Panwaslu provinsi,

    PELAPOR

    JAKSA PU PIDANA

    PENYIDIK POLRI

    BAWASLU

    PN HAKIM

    KHUSUS

    PELANGGARAN

    ADMIN KPU

    SANKSI ADMIN

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 17

    Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Laporan tersebut harus memuat beberapa hal, antara lain:

    a. nama dan alamat pelapor;

    b. pihak terlapor;

    c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan

    d. uraian kejadian.

    Mengenai materi muatan laporan, Pasal 3 ayat (2) Peraturan Bawaslu No.05 /2008 menambahkan beberapa pointer, sehingga laporan tentang pelanggaran memuat hal-hal sebagai berikut:

    a. nama dan alamat pelapor;

    b. waktu dan tempat kejadian perkara;

    c. nama dan alamat pelanggar;

    d. nama dan alamat saksi-saksi;

    e. uraian kejadian

    Skema 2 : Penanganan Laporan Di Bawaslu

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 18

    Skema 3 : Waktu Penanganan Laporan/Temuan Pelanggaran Oleh Bawaslu

    2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi

    Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7 hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu. Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU.

    PIDANA PELAPOR

    BAWASLU

    MAKS 3 HARI

    ADMIN

    INFO TAMBAHAN MAKS 5 HARI

    BKN PELANGGARAN

    PELA

    NG

    GA

    RA

    N

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    PELANGG. ADM KE KPU

    KAJIAN BAWASLU

    LAP TERTULIS KE BAWASLU

    PID PEMILU KE PENYIDIK

    POLRI

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 19

    Peraturan KPU No. 44/2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Adminsitrasi Pemilu mengatur pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran administrasi dilakukan dalam waktu 7 hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu dan mengambil keputusan hukum terhadap pelanggaran tersebut sesuai dengan tingkat pelanggaran yang terjadi paling lambat 14 hari setelah dokumen diterima dari Bawaslu.

    Skema 4 : Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilu

    Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU,

    KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 248 - 251 UU Pilleg (Pasal 191 194 UU Pilpres), tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur pidana (lihat UU 10/2008 Pasal 113 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), dan Pasal 123 ayat (2) dan UU 42/2008 Pasal 178 ayat (2), Pasal 83 ayat (2), dan Pasal 88 ayat (2).

    3. Mekanisme penyelesaian pelanggaran pidana pemilu

    a. Proses Penyidikan

    Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.

    Mengacu kepada Pasal 247 angka (9) UU Pilleg (Pasal 190 angka (9) UU Pilpres), temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari. Guna mengatasi kendala waktu

    K P U

    BAWASLU

    PEM

    ERIK

    SAA

    N

    7 H

    AR

    I

    SAN

    KSI

    A

    DM

    IN

    14 H

    AR

    I

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 20

    dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim beranggotakan antara 4-5 orang.

    TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI

    BARESKRIM 7 TIM (4 Dalam Negeri + 3 Luar Negeri)

    POLDA 5 TIM

    POLWIL 3 TIM

    POLRES 10 TIM

    Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap 1) kelengkapan administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan 2) materi/laporan yang antara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan.

    Berdasarkan indentitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).

    Skema 5 : Waktu Penyidikan

    b. Proses Penuntutan

    UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk Jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang Jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain di luar

    TERIMA LAP DARI BAWASLU

    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

    MENYERAHKAN BP II

    MENYERAHKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN OLEH POLRI

    PERBAIKAN BERKAS

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 21

    pidana pemilu. Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008.

    Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada Penuntut Umum.

    Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik. Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala.

    Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakumdu). Adanya Sentra Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.

    Skema 6 : Proses Penuntutan

    c. Proses Persidangan

    Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran dimungkinkan dilakukan dengan persidangan secara maraton, bahkan jika diperlukan persidangan dapat dilanjutkan hingga malam hari. Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan

    PENYIDIK KEPOLISIAN 14 H

    PENUNTUT UMUM

    Pengembalian Berkas

    3 H

    3 H Pengembalian

    berkas

    PENGADILAN NEGERI 5 H

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 22

    tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.

    Pengajuan perkara pidana pemilu, berdasarkan SEMA 12 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proses Persidangan Pelanggaran Pidana Pemilu, dapat dilakukan melalui 2 cara, baik acara biasa maupun acara singkat. Acara biasa digunakan untuk perkara pidana pemilu dengan ancaman hukuman lebih dari 5 (lima) tahun, antara lain Pasal 266, 291, 297, 298, 300 dan Pasal 306 UU Pilleg (Pasal 208, 246, 248 UU Pilpres). Terhadap pelanggaran pidana pemilu itu, penyidik, penuntut umum dan hakim dapat melakukan penahanan terhadap terdakwa.

    Pelanggaran pidana pemilu dengan ancaman hukuman kurang dari 5 (lima) tahun, dimana pembuktiannya mudah (sumir), maka perkaranya diajukan dengan acara singkat. Perkara dengan pembuktian sumir, jika tidak dihadiri terdakwa tidak dapat diputus verstek, maka berkas perkara dikembalikan kepada penuntut umum (vide Bab XVI KUHAP).

    Persidangan pelanggaran pidana pemilu dilakukan dalam 7 hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA. PERMA No. 03/2008 tentang Penunjukan Hakim Khusus Perkara Pidana Pemilu, menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah minimal 4 orang hakim untuk Pengadilan Negeri dan 6 orang untuk Pengadilan Tinggi, dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu.

    Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan. PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima.

    PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.

    Skema 7 : Proses Persidangan

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 23

    d. Proses Pelaksanaan Putusan

    3 hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa.

    Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud.

    Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU Pilleg dan UU Pilpres yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 59 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa. Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari.

    Skema 8 : Proses Penuntutan & Persidangan

    PENGADILAN TINGGI

    7Hri

    7HH

    Memeriksa Mengadili Mumutus

    PERMOHONAN BANDING

    3 H

    Memeriksa Mengadili Mumutus

    PUTUSAN

    3 H

    PENUNTUT UMUM

    3 H EKSEKUSI

    PENGADILAN NEGERI

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 24

    E. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilu

    Perselisihan Hasil Perolehan Suara

    Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisihan tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui MK. Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No. 14/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

    Peraturan itu menyebutkan bahwa pemohon dalam perselisihan hasil perolehan suara adalah perseorangan calon anggota DPD peserta pemilu, partai politik peserta pemilu atau partai politik dan partai lokal peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota (DPRK) di Aceh. Adapun termohon dalam perselisihan itu adalah KPU. Dalam perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota, DPRA, DPRK, KPU Provinsi dan Kabupaten/ Kota atau Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP Kabupaten/ Kota Aceh merupakan turut termohon.

    Permohonan tersebut diajukan oleh pemohon peserta pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Permohonan diajukan kepada MK secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya. Permohonan tersebut diserahkan dalam 12 rangkap setelah ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal pimpinan pusat atau dewan pimpinan partai politik bersangkutan serta calon anggota DPD peserta pemilu atau kuasanya. Terhadap permohonan yang diajukan calon anggota DPD atau partai politik lokal peserta pemilu DPRA dan DPRK di Aceh dapat dilakukan melalui permohonan online, email atau faksimili. Atas permohonan tersebut, permohonan asli harus sudah diterima MK dalam 3 hari sejak habisnya batas waktu pengajuan permohonan. Permohonan tersebut harus memuat beberapa hal, antara lain:

    a. nama dan alamat pemohon, termasuk nomor telepon (kantor, rumah, hand phone), nomor faksimili, dan atau email;

    b. uraian tentang:

    0

    PELIMPAHAN BERKAS

    PERKARA KE PN

    1 2 3 4

    5

    6

    12

    13 14 15 16 17 18 .... . .

    25 26 27 28

    BP II DITERIMA

    JPU

    PUTUSAN PN

    KESEMPATAN BANDING

    PUTUSAN BANDING

    PELIMPAHAN BERKAS BANDING

    EKSEKUSI PUTUSAN

    29 30 31

    PENYAMPAIAN PTS KPD JPU

    ..

    0

    TP PEMILU YG MEMPENGARUHI

    PEROLEHAN SUARA

    TAP HSL PEMILU SCR

    NAS

    1 2 3 4 5

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 25

    - kesalahan hasil penghitungan suara yang dimumkan KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon;

    - permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.

    Pengajuan permohonan kepada MK tersebut disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya.

    Apabila kelengkapan dan syarat permohonan di atas dianggap tidak cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi.

    3 hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan.

    Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 hari sebelum hari persidangan.

    Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi : 1) pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam. 2) pemeriksaan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.

    Putusan MK dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan MK bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.

    Skema 9 : Alur Perselisihan Hasil Pemilu

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 26

    Skema 10 : Batas Waktu Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu

    F. Potensi Masalah Hukum Pemilu 2009

    1. Waktu Terjadinya Pelanggaran.

    0

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20. 3233

    PENE

    TAPA

    N HA

    SIL

    PEMI

    LU

    SCR

    NASI

    ONAL

    REGI

    STRA

    SI P

    ERKA

    RA

    PUTUSAN MK

    PERM

    OHON

    AN

    SIDA

    NG P

    ERTA

    MA

    PENY

    AMPA

    IAN

    KET

    TERT

    ULIS

    KPU

    KPD

    MK

    PEMB

    ERIT

    AHUA

    N

    HARI

    SID

    ANG

    PENG

    IRIM

    AN P

    ERMO

    HONA

    N KP

    D TE

    RMOH

    ON (K

    PU)

    KPU

    kpd

    MK

    PERB

    AIKA

    N

    PERM

    OHON

    AN

    PEMOHON

    PEMERIKSAAN PENDAHULUA

    N

    DIREGISTRASI PENETA

    PAN HARI

    SIDANG

    PANITERA MK

    PEMERIKSAA

    N

    TIDAK DIREGISTRASI

    PEMBUKTIAN

    RAPAT PERMUSYAW

    PUTUSAN

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 27

    Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempos delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum. Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru diterima setelah 3 hari.

    2. Penanganan laporan.

    Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu.

    3. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi.

    Peraturan KPU No. 44/2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU Pemilu bahkan ketentuan waktu penanganan pelanggaran melebihi batas waktu dari yang telah ditentukan. UU Pemilu mengatur pelanggaran yang bersifat administrasi diselesaikan oleh KPU dalam waktu 7 hari, tetapi Peraturan KPU justru memperpanjang menjadi 14 hari. Adanya aturan berbeda mengenai masalah ini akan dapat mengakibatkan penolakan dari pelaku karena dasar hukum penanganannya (Peraturan KPU 44/2008) dinilai bertentangan dengan Undang-undang. Peraturan KPU yang seharusnya memperjelas justru memberikan ketidakpastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan.

    4. Pengertian hari.

    UU Pilleg dan Pilpres tidak memberikan definisi dan penjelasan mengenai hari untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Mahkamah Agung telah bersepakat bahwa hari disini adalah hari kerja tetapi Kejaksaan menegaskan bahwa yang dimaksud dengan hari 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) sebagaimana diatur dalam KUHAP. Sementara KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).

    5. Tindakan terhadap TNI.

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 28

    UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008 ataupun UU 42/2008, sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.

    6. Persidangan anak

    UU Pilleg dan UU Pilpres tidak mengatur secara khusus mekanisme persidangan dengan terdakwa anakanak. Undang - undang itu hanya mengatur keberadaan hakim khusus dalam menangani pelanggaran pidana pemilu, tanpa membedakan apakah terdakwanya anak anak atau tidak.

    7. Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

    Pembuatan kesepahaman antara Ketua Bawaslu, Kepala Kepolisian dan Jaksa Agung RI No. 055/A/JA/VI/2008; B/06/VI/2008; 01/BAWASLU/KB/VI/2008 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu dan Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu Legislatif Tahun 2009, belum menjawab kebutuhan terhadap percepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU itu menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali, masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.

    8. Proses Banding.

    Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung sejak permohonan banding diterima. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang dihitung sejak permohonan banding diterima. Adanya titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara.

    9. Jumlah Aparat Penegak Hukum.

    Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah aparat tersebut masih dirasakan kurang, sehingga dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu yang

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 29

    singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.

    10. Pelaksanaan putusan.

    UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan?

    11. Gugatan Putusan KPU.

    UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu. Selain itu dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.

    Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu

    Alternatif (I) Alternatif (II) Alternatif (III) Alternatif (IV)

    Gugatan, permintaan pihak yang merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan

    Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan

    Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi tidak mengikat

    Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 30

    G. Rekomendasi

    Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi. Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU - Bawaslu dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu.

    Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten. Untuk itu melihat dari sejumlah permasalahan di atas, kami merekomendasikan beberapa hal :

    1. KPU harus segera merevisi aturan tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan lebih operasional. Peraturan tentang pedoman tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.

    2. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.

    3. Waktu Terjadinya Perkara.

    Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan perlu menyamakan persepsi tentang maksud waktu terjadinya perkara. Bahwa terjadinya perkara dihitung sejak pelanggaran itu diketahui oleh pelapor.

    4. Penanganan laporan

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 31

    Bawaslu perlu mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada penyidik.

    5. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi

    Peraturan KPU No. 44/2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi perlu direvisi dengan menyesuaikan waktu penanganan pelanggaran dengan UU Pemilu, bahwa penyelesaian penanganan pelanggaran administrasi di KPU selama 7 hari.

    6. Pengertian hari.

    Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan dan KPU perlu menyamakan persepsi tentang pengertian hari. Hari yang dimaksud adalah hari kerja, sehingga pelanggaran dapat diselesaikan dan menghindari daluarsa waktu penanganan.

    7. Tindakan terhadap TNI.

    Perlu ada kesepakatan bersama antar aparat penegak hukum bahwa pemeriksaan terhadap TNI tidak memerlukan ijin khusus, karena UU Pemilu tidak mengatur permasalahan itu. Terhadap kewenanganan penyidangan anggota TNI, hendaknya MA membuat aturan khusus sebagai acuan dalam penanganan pelanggaran pidana pemilu yang dilakukan oleh anggota TNI. Karena pelanggaran pidana pemilu merupakan pelanggaran dalam ranah peradilan sipil, maka peradilan yang menyidangkannya adalah pengadilan negeri.

    8. Persidangan anak

    MA harus menunjuk hakim khusus yang akan menangani perkara pidana pemilu dengan terdakwa anak anak dengan memberlakukan hukum acara dalam peradilan anak.

    9. Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

    Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan harus mencabut Pasal 12 MOU tentang Sentra Gakkumdu. Karena ketentuan pasal itu telah menyalahi batas waktu bolak balik perkara antara kepolisian dan kejaksaan.

    10. Proses Banding.

    MA harus mempertegas mempertegas ketentuan yang mengatur tentang waktu banding di Pengadilan Negeri.

    11. Jumlah Aparat Penegak Hukum.

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 32

    Penentuan jumlah aparat penegak hukum hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan. Artinya jumlah aparat khusus yang menangani pelanggaran pemilu dapat dimaksimalkan sesuai dengan jumlah perkara yang masuk.

    12. Pelaksanaan putusan.

    Pasca putusan, hendaknya pengadilan segera mengirimkan salinan putusan kepada jaksa pununtut umum agar segera dapat dilakukan eksekusi.

    13. Gugatan Putusan KPU.

    MA mencabut SEMA 8 Tahun 2005 yang telah menghilangkan kewenangan Pengadilan TUN dalam menyelesaikan gugatan terhadap keputusan yang dikeluarkan KPU. SEMA itu hanya dapat diberlakukan terhadap sengketa pilkada dan tidak dapat diberlakukan terhadap Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Keberadaan SEMA 8/2005 telah menabrak konsep hukum administrasi negara, bahwa KPU sebagai pejabat TUN, setiap keputusannya bersifat administratif dan dapat digugat melalui Peradilan TUN. Oleh karena itu, MA perlu menetapkan mekanisme khusus dalam penanganan sengketa TUN terkait penyelenggaraan pemilu

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 33

    Lampiran 1.

    Perbandingan Waktu Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu Menurut UU No. 12/2003 dengan UU No. 10/2008

    TAHAPAN UU 10/2008 UU 12/2003

    Pasal Waktu Pasal Waktu

    Laporan kepada Bawaslu tentang pelanggaran pemilu

    247 ayat (4) 3 hari 127 ayat (4) 7 hari

    Tindak lanjut laporan oleh bawaslu

    247 ayat (6) 3 hari 128 ayat (2) 7 hari

    Bawaslu memerlukan keterangan tambahan

    247 ayat (7) 5 hari 128 ayat (3) 14 hari

    Penyidikan kepolisian 253 ayat (1) 14 hari 131 ayat (2) 30 hari Pelimpahan berkas ke JPU

    131 ayat (3) 7 hari

    Pengembalian berkas kepada penyidik kepolisian

    253 ayat (2) 3 hari 138 ayat (1) UU 8/1981

    7 hari

    Penyampaian kembali berkas perkara ke JPU

    253 ayat (3) 3 hari 110 ayat (4) UU 8/ 1981

    14 hari

    Pelimpahan berkas perkara oleh JPU ke PN

    253 ayat (4) 5 hari 131 ayat (4) 14 hari

    Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan PN

    255 ayat (1) 7 hari 133 ayat (4) 21 hari

    Permohonan banding 255 ayat (2) 3 hari 233 ayat (2) UU 8/1981

    7 hari

    Pelimpahan berkas perkara permohonan banding oleh PN

    255 ayat (3) 3 hari 236 ayat (1) UU 8/1981

    14 hari

    Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan PT

    255 ayat (4) 7 hari 133 ayat (4) 14 hari

    Penyampaian hasil putusan PN dan PT ke JPU

    256 ayat (1) 3 hari - -

    Pelaksanaan hasil putusan PN dan PT

    256 ayat (2) 3 hari - -

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 34

    Lampiran 2:

    Bentuk dan Unsur Unsur Tindak Pidana Pemilu Menurut UU No. 10 Tahun 2008

    Pasal Kualifikasi Delik Unsur Unsur Pidana Pemilu Sanksi Pidana

    Tahapan Pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih: Pasal 260

    Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Menyebabkan orang lain kehilangan

    hak pilih

    Penjara 12 24 bulan dan denda 12 24 juta

    Pasal 261

    Memberi keterangan tidak benar

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Memberi keterangan tidak benar

    mengenai diri sendiri atau diri orang lain

    4. Tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Pasal 262

    Menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih

    1. Setiap orang 2. Dengan kekerasan atau ancaman

    kekerasan 3. Menggunakan kekuasaan yang ada

    padanya pada saat pendaftaran pemilih

    4. Menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu

    Pidana Penjara 12 -36 bulan dan denda 12 36 juta

    Pasal 263

    Tidak memperbaiki daftar pemilih sementara

    1. Petugas PPS/PPLN 2. Dengan sengaja 3. Tidak memperbaiki daftar pemilih

    sementara 4. Setelah mendapat masukan dari

    masyarakat dan peserta pemilu

    Pidana Penjara 3 - 6 bulan dan denda 3 6 juta

    Pasal 264

    Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, PPL dan PPLN

    1. Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN

    2. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, PPL dan PPLN

    3. Dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap

    4. Merugikan WNI yang memiliki hak

    Pidana Penjara 6 - 36 bulan dan denda 6 36 juta

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 35

    pilih Pendaftaran dan Penetapan Peserta Pemilu

    Penetapan Jumlah Kursi dan Pencalonan DPR, DPD, DPRD: Pasal 265

    Melakukan perbuatan curang

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Melakukan perbuatan curang untuk

    menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya

    4. Untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD (sebagaimana dimaksud pasal 13)

    Pidana Penjara 12 36 bulan dan denda 12 36 juta

    Pasal 266

    Membuat surat atau dokumen palsu, atau menggunakan surat/ dokumen palsi

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Membuat surat atau dokumen 4. Dengan maksud untuk memakai atau

    menyuruh orang memakai atau 5. Sengaja menggunakan surat atau

    dokumen yang dipalsukan 6. Untuk menjadi bakal calon anggota

    DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota atau calon Peserta Pemilu (sebagaimana dimaksud pasal 63 dan pasal 73)

    Pidana Penjara 36 72 bulan dan denda 36 72 juta

    Pasal 267

    Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Kabupaten/ Kota.

    1. Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota

    2. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu (sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat 3)

    Pidanan Penjara 6 - 36 bulan dan denda 6 36 juta

    Pasal 268

    Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Kabupaten/ Kota.

    1. Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota

    2. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu dan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (sebagaimana dimaksud pasal 60 ayat 3 dan pasal 70 ayat 3)

    Pidana Penjara 6 - 36 bulan dan denda 6 36 juta

    Tahapan Masa Kampanye

    Pasal 269

    Melakukan kampanye di luar jadwal waktu

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Melakukan kampanye di luar jadwal

    waktu yang telah ditetapkan KPU,

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 36

    KPU Propinsi, KPU Kabupaten/ Kota untuk masing-masing peserta pemilu (sebagaimana dimaksud pasal 82)

    Pasal 270 jo Pasal 84 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, dan i

    Melanggar larangan pelaksanaan kampanye

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Mempersoalkan dasar negara

    Pancasila, Pembukaan UUD 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau

    4. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI, atau

    5. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan atau peserta pemilu yang lain, atau

    6. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat

    7. Mengganggu ketertiban umum, atau 8. Mengancam untuk melakukan

    kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat dan atau peserta pemilu lain, atau

    9. Merusak dan atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu, atau

    10. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, atau

    11. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan atau

    12. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.

    Pidana Penjara 6 24 bulan dan denda 6 24 juta

    Pasal 271 jo Pasal 84 ayat (2)

    Melanggar larangan kampanye mengikut sertakan pejabat tertentu

    1. Setiap pelaksana kampanye 2. Mengikut sertakan ketua, wakil ketua,

    ketua muda, hakim agung pada MA, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah MA, dan hakim konstitusi pada MK; atau

    3. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota BPK; atau

    4. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan deputi gubernur BI; atau

    5. Pejabat BUMN/BUMD; atau 6. PNS; atau 7. Anggota TNI dan POLRI; atau 8. Kepala desa; atau

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 30 60 juta

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 37

    9. perangkat desa; atau 10. Anggota badan permusyawaratan

    desa; atau 11. WNI yang tidak memiliki hak

    memilih. Pasal 272 jo Pasal 84 ayat (3)

    Pejabat ikut serta sebagai pelaksana kampanye

    1. Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung/Hakim Konstitusi, hakim-hakim pada semua badan peradilan,

    2. Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan,

    3. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia

    4. Pejabat BUMN/ BUMD 5. Ikut serta sebagai pelaksana

    kampanye

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 25 50 juta

    Pasal 273 jo pasal 84 ayat (3)

    Pegawai negeri sipil sebagai pelaksana kampanye

    1. Setiap PNS, Anggota TNI dan Polri, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan Anggota BPD

    2. Ikut serta sebagai pelaksana kampanye

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Pasal 273 jo pasal 84 ayat (5)

    Pegawai negeri sipil sebagai peserta kampanye

    1. Setiap PNS 2. Mengerahkan PNS dilingkungan

    kerjanya atau 3. Menggunakan fasilitas negera

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Pasal 274

    Memberi uang atau materi lain kepada peserta kampanye.

    1. Pelaksana kampanye 2. Dengan sengaja 3. Menjanjikan atau memberikan uang

    atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye

    4. Secara langsung atau tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu

    5. Sehingga surat suaranya tidak sah (sebagaimana dimaksud pasal 87)

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 38

    Pasal 275 jo Pasal 123 ayat (1)

    Mengakibatkan terganggunya tahapan atau pelaksanaan kampanye

    1. Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU Provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota, peserta kampanye

    2. Dengan sengaja atau lalai 3. Melakukan tindak pidana Pemilu

    atau pelanggaran administrsi pemilu yang mengakibatkan terganggunya tahapan kampanye yang sedang berlangsung

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta

    Pasal 276

    Memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan

    1. Setiap orang 2. Memberi/menerima dana kampanye

    melebihi batas yang ditentukan pasal 131 a (1) (2) dan pasal 133 a (1) dan a (2)

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 1 5 milyar

    Pasal 277 jo pasal 139

    Menerima sumbangan kampanye dari pihak asing

    1. Peserta pemilu 2. Terbukti menerima sumbangan dan

    atau bantuan kampanye dari pihak asing; tidak jelas identitas penyumbangnya; pemerintah, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD; atau pemerintah desa dan badan usaha milik desa

    3. Tidak melaporkan dana itu kepada KPU dan tidak menyerahkannya kepada kas negara paling lambat 14 hari setelah kampanye berakhir.

    Pidana Penjara 12 - 36 bulan dan denda 12 36 juta

    Pasal 278

    Mengacaukan jalannya kampanye

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Mengacaukan, menghalangi,

    mengganggu jalannya kampanye pemilu

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta

    Pasal 279 ayat (1) jo Pasal 107

    Karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya tahapan pemilu

    1. Pelaksana kampanye 2. Karena kelalaiannya 3. Mengakibatkan terganggunya

    tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Pasal 279 ayat (2) jo Pasal 107

    Sengaja mengakibatkan terganggunya tahapan pemilu

    1. Pelaksana kampanye 2. Dengan sengaja 3. Mengakibatkan terganggunya 4. tahapan penyelenggaraan Pemilu di

    tingkat desa/kelurahan

    Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 39

    Pasal 280

    Sengaja atau lalai mengakibatkan terganggunya tahapan pemilu

    1. Setiap pelaksana, peserta, atau petugas kampanye

    2. Terbukti dengan sengaja atau lalai 3. Mengakibatkan terganggunya

    tahapan penyelenggaraan Pemilu

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta

    Pasal 281

    Memberi keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Memberikan keterangan tidak benar

    dalam laporan dana kampanye (sebagaimana dimaksud pasal 134, 135 (1) (2)

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 - 24 juta

    Masa Tenang Pasal 282 jo pasal 245 ayat (2)

    Mengumumkan hasil survey dalam masa tenang

    1. Setiap orang 2. Mengumumkan hasil survey/jajak

    pendapat dalam masa tenang

    Pidana Penjara 3 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Tahap pemungutan dan Penghitungan Suara Pasal 283

    Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi yang ditentukan

    1. Ketua KPU 2. Dengan sengaja 3. Menetapkan jumlah surat suara yang

    dicetak melebihi jumlah yang ditentukan (dimaksud pasal 145 ayat (2), (3), (4))

    Pidana Penjara 12 24 bulan dan denda 120 240 juta

    Pasal 284

    Sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan

    1. Setiap perusahaan percetakan surat suara

    2. Dengan sengaja 3. Mencetak surat suara melebihi jumlah

    yang ditetapkan oleh KPU (sebagaimana dimaksud pasal 146 ayat (1))

    Pidana Penjara 24 48 bulan dan denda 500 juta 10 milyar

    Pasal 285

    Tidak menjaga kerahasiaan surat suara

    1. Setiap perusahaan percetakan surat suara

    2. Tidak menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keutuhan surat suara (sebagaimana dimaksud Pasal 146 ayat 1)

    Pidana Penjara 24 48 bulan dan denda 500 juta 10 milyar

    Pasal 286

    Sengaja memberi uang kepada pemilih

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Saat pemungutan suara 4. Menjanjikan atau memberikan uang

    atau materi lainnya kepada pemilih 5. Supaya tidak menggunakan hak

    pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu

    6. Sehingga surat suaranya tidak sah

    Pidana Penjara 12 36 bulan dan denda 6 36 juta

    Pasal 287

    Menghalangi seseorang

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 40

    menggunakan hak pilih

    3. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau

    4. melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara.

    24 juta

    Pasal 288

    Menyebabkan suara pemilih tidak bernilai

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Melakukan perbuatan yang

    menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang

    Pidana Penjara 12 36 bulan dan denda 12 - 36 juta.

    Pasal 289

    Sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Pada saat pemungutan suara

    mengaku dirinya sebagai orang lain

    Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta

    Pasal 290

    Memberi suara lebih dari satu

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Pada waktu pemungutan suara

    memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu TPS atau lebih

    Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta

    Pasal 291

    Menggagalkan pemungutan suara

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Menggagalkan pemungutan suara

    Pidana Penjara 24 60 bulan dan denda 24 60 juta

    Pasal 292

    Majikan tidak memberikan kesempatan pekerja memberikan suara

    1. Seorang majikan atau atasan 2. Tidak memberikan kesempatan

    seorang pekerja 3. Memberikan suaranya pada

    pemungutan suara, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak dapat ditinggalkan

    Pidana Penjara 6 - 12 bulan dan denda 6 12 juta

    Pasal 293

    Merusak hasil pemungutan suara

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Merusak atau menghilangkan hasil

    pemungutan suara yang sudah disegel

    Pidana Penjara 12 - 36 bulan dan denda 12 36 juta

    Pasal 294 jo pasal 155 ayat (2)

    Tidak memberikan surat suara pengganti

    1. Ketua dan anggota KPPS/ KPPSLN 2. Dengan sengaja 3. Tidak memberikan surat suara

    pengganti hanya satu kali kepada pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan tidak mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Pasal 295 jo

    Memberitahu pilihan pemilih

    1. Setiap orang yang bertugas membantu pemilih

    Pidana Penjara 3 12 bulan dan denda 3

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 41

    pasal 156 ayat (2)

    kepada orang lain 2. Dengan sengaja 3. Memberitahukan pilihan pemilih

    kepada orang lain

    12 juta

    Pasal 296 ayat (1) jo Pasal 220 ayat (2)

    Tidak menetapkan pemungutan suara ulang

    1. Anggota KPU Kabupaten/ Kota 2. Tidak menetapkan pemungutan suara

    ulang di TPS, padahal pemungutan ulang telah diusulkan oleh KPPS dan telah diteruskan kepada PPK

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 - 24 juta

    Pasal 296 ayat (2)

    Tidak melaksanakan pemungutan suara ulang

    1. Ketua dan anggota KPPS 2. Dengan sengaja 3. Tidak melaksanakan ketetapan KPU

    untuk melaksanakan pungutan suara ulang di TPS

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Penetapan Hasil Pemilu Pasal 297

    Merusak atau menghilangkan berita acara pemungutan suara

    1. Setiap orang 2. Karena kelalaiannya 3. Menyebabkan rusak/hilangnya

    berita acara pemungutan, penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang sudah disegel

    Pidana Penjara 12 - 60 bulan dan denda 500.juta -1 milyar

    Pasal 298

    Mengubah berita acara hasil pemungutan suara

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Mengubah berita acara hasil

    penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara

    Pidana Penjara 12 - 60 bulan dan denda 500 juta 1 milyar

    Pasal 299 ayat (1)

    Karena kelalaiannya mengakibatkan berita acara hasil rekapitulasi hilang/ rusak

    1. Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPK

    2. Karena kelalaiannya 3. Mengakibatkan hilang atau

    berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara

    Pidana Penjara 6 - 12 bulan dan denda 6 12 juta

    Pasal 299 ayat (2)

    Dengan sengaja mengakibatkan berita acara hasil rekapitulasi hilang/ rusak.

    1. Anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/ Kota, PPK

    2. Dengan sengaja 3. Mengakibatkan hilangnya atau

    berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara

    Pidana Penjara 12 - 24 bulan dan denda 12 24 juta

    Pasal 300

    Merusak sistem informasi penghitungan suara

    1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Merusak / mengganggu /

    mendistorsi sistim informasi perhitungan suara hasil pemilu

    Pidana Penjara 60 - 120 bulan dan denda 500 juta - 1 milyar

    Pasal 301

    Sengaja tidak membuat berita

    1. Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN 2. Dengan sengaja

    Pidana Penjara 12 - 36 bulan dan denda 6

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 42

    acara perolehan suara

    3. Tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara Peserta Pemilu dan calon anggota

    4. DPR, DPD, dan DPRD (sebagaimana dimaksud pasal 154 ayat (3))

    12 juta

    Pasal 302

    Tidak memberi salinan berita acara pemungutan suara

    1. Setiap KPPS/KPPSLN 2. Dengan sengaja 3. Tidak memberikan salinan satu

    eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS (sebagaimana dimaksud pasal 180 ayat 2 dan ayat 3)

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Pasal 303

    Tidak mengamankan kotak suara

    1. Setiap KPPS/KPPSLN 2. Tidak menjaga, mengamankan

    keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama (sebagaimana dimaksud pasal 180 ayat (4) dan ayat (5))

    Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta

    Pasal 304

    Panwaslu tidak mengawasi penyerahan kotak suara

    1. Setiap Panwaslu Lapangan 2. Tidak mengawasi penyerahan kotak

    suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota (sebagaimana dimaksud pasal 180 ayat (6))

    Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta

    Pasal 305

    Tidak mengumumkan hasil penghitungan suara

    1. Setiap PPS 2. Tidak mengumumkan hasil

    penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya (sebagaimana dimaksud pasal 181)

    Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Pasal 306

    KPU tidak menetapkan hasil pemilu

    1. Setiap anggota KPU 2. Tidak menetapkan perolehan hasil

    Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD 3. provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

    secara nasional (sebagaimana dimaksud pasal 199 ayat (2))

    Pidana Penjara 24 - 60 bulan dan denda 240 600 juta

    Pasal 307 jo pasal 245 ayat

    Mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari pemungutan suara

    1. Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat

    2. Mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/ tanggal

    Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 43

    (3) pemungutan suara Pasal 308 jo pasal 245 ayat (4)

    Tidak memberitahukan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi pemilu

    1. Setiap orang atau lembaga 2. Melakukan penghitungan cepat 3. Tidak memberitahukan hasil

    penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu

    Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta

    Pasal 309

    KPU tidak melaksanakan putusan pengadilan

    1. Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota

    2. Tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (sebagaimana dimaksud Pasal 257 ayat (2))

    Pidana Penjara 12 - 24 bulan dan denda 12 24 juta

    Pasal 310

    Bawaslu tidak menindaklanjuti temuan pelanggaran pemilu oleh KPU

    1. Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Lapangan, Panwaslu LN

    2. Dengan sengaja 3. tidak menindaklanjuti temuan

    dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu

    Pidana Penjara 3 - 36 bulan dan denda 3 -36 juta

    Pasal 311

    Pemberatan 1. Penyelenggara Pemilu 2. Memenuhi unsur dalam Pasal

    260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300

    Pidana ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 44

    Unsur Unsur Tindak Pidana Pemilu Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

    tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

    Dasar Hukum (UU 42/2008)

    Kualifikasi Delik Unsur Unsur Pelanggaran Pidana Pemilu Ancaman Pidana

    Tahapan Pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih: Pasal 202 Menyebabkan orang lain

    kehilangan hak pilih 4. Setiap orang 5. Dengan sengaja 6. Menyebabkan orang lain kehilangan hak

    pilih

    Pidana Penjara 12 24 bulan dan denda 12 24 juta

    Pasal 203 Memberi keterangan tidak benar 5. Setiap orang 6. Dengan sengaja 7. Memberi keterangan tidak benar mengenai

    diri sendiri atau diri orang lain 8. Tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk

    pengisian daftar pemilih

    Pidana Penjara 3 12 bulan dan denda 3 12 juta

    Pasal 204 Menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih

    5. Setiap orang 6. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 7. Menggunakan kekuasaan yang ada padanya

    pada saat pendaftaran pemilih 8. Menghalangi seseorang untuk terdaftar

    sebagai pemilih dalam Pemilu

    Pidana Penjara 12 -36 bulan dan denda 12 36 juta

    Pasal 205 Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu

    5. Setiap anggota KPU 6. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu 7. Dalam melaksanakan verifikasi kebenaran

    dan kelengkapan administrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden

    Pidana Penjara 6 36 bulan dan denda 6 36 juta

    Pasal 206 Tidak mengumumkan dan atau tidak memperbaiki DPS setelah mendapat masukan masyarakat dan pasangan calon

    1. Setiap anggota KPU, KPU Popinsi, KPU Kabupaten/ Kota dan PPS

    2. Dengan sengaja 3. Tidak mengumumkan dan/atau tidak

    memperbaiki DPS setelah mendapat masukan dari masyarakat dan pasangan

    Pidana penjara 3 6 bulan dan denda 3 6 juta

  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 45

    calon Pasal 207 Tidak menindaklanjuti temuan

    pengawas pemiludalam penyusunan DPS

    1. Setiap anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS, dan PPLN

    2. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, PPLN

    3. Dalam melakukan penyusunan dan pengumuman DPS, perbaikan DPS, penetapan DPT

    4. Merugikan WNI yang memiliki hak pilih

    Pidana penjara 6 36 bulan dan denda 6 36 juta

    Pendaftaran bakal Pasangan Calon dan penetapan Pasangan Calon Pasal 208 Membuat surat atau dokumen

    palsu, atau menggunakan surat/ dokumen palsu