pelaksanaan konseling behavioral dalam...
TRANSCRIPT
PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL DALAM
MENGATASI PHOBIA KUCING SEORANG KLIEN
DI RASAMALA 2 MENTENG DALAM TEBET
JAKARTA SELATAN
Oleh:
Yuni Rosita
101052022672
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Konseling Behavioral Dalam Mengatasi
Phobia Kucing Seorang Klien di Rasamala 2 Menteng Dalam Tebet Jakarta Selatan”
telah diujikan dalam sidang ujian Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam.
Jakarta. 26 Maret 2008
Muna Qasah
Ketua, Sekretaris,
Dr. Murodi, MA Nasichah, MA
NIP. 150 254 102 NIP. 150 276 102
Dengan Penguji,
Penguji I Penguji II
Drs. Studi Rizal, LK, MA Drs. M. Lutfi, MA
NIP. 150 262 876 NIP. 150 268 782
Pembimbing
Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, MA
NIP. 150 299 324
LEMBAR PERSETUJUAN
PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL DALAM MENGATASI
PHOBIA KUCING SEORANG KLIEN DI RASAMALA 2
MENTENG DALAM TEBET JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Mencapai
Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Yuni Rosita
NIM. 101052022672
Di Bawah Bimbingan
Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A
NIP : 150299 324
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh Gelar Strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Februari 2008
Yuni Rosita
ABSTRAK
Yuni Rosita
Pelaksanaan Konseling Behavioral Dalam Mengatasi Phobia Kucing Seorang
Klien Di Rasamala 2 Menteng Dalam Tebet Jakarta Selatan
Zoophobia merupakan penyakit psikologis yang dapat disembuhkan jika ada
upaya aktif dari penderita untuk menghilangkannya. Konseling behavioral adalah
teknik yang menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan pemecahan
masalah manusia. Sedangkan fungsi konselor hanya membantu saja, membantu agar
penderita atau klien dapat mencapai perubahan sebagaimana yang diinginkan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan yang terjadi
dari klien setelah dilakukan konseling.
Subjek yang diteliti yaitu Putri, seorang anak perempuan berusia 12 tahun
(masa akhir anak-anak), lahir di kota Bandung pada tanggal 8 Oktober 1994. ia
adalah anak pertama dari seorang ayah yang berpendidikan SLTA dengan pekerjaan
swasta dan ibu yang berpendidikan SLTA dengan bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Ketakutan klien terhadap kucing sudah cukup kronis, hal ini ditandai dengan gelisah,
gugup, tangan dan kakinya gemetar, banyak berkeringat, dan telapak tangan yang
berkeringat jika melihat film dokumenter di televisi, dan akan berlari jika melihat
kucing.
Melalui konseling behavioral yang penulis lakukan selama 22 kali pertemuan
dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan pengenalan
terhadap kucing melalui cerita, menonton film, mengadakan kontak secara bertahap
mulai dari boneka, sampai akhirnya melakukan kontak langsung dengan kucing
telah mampu mengobati phobia terhadap kucing yang diderita oleh Putri.
Oleh karena itu, konseling behavioral telah tepat dalam menyembuhkan
phobia terhadap kucing karena putri yang semula takut terhadap kucing, kini telah
mampu melakukan kontak dengan binatang tersebut.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat
Allah swt karena rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah
membawa umatnya mampu dalam mengenal, mencari, dan menjaga serta
menegakkan syariat Islam.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai halangan dan
rintangan, akan tetapi pada akhirnya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang sebesar-besarnya terutama kepada:
1. Dr. H. Murodi, M.A. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan para
Pembantu Dekan.
2. Drs. M. Lutfi, M.A. Ketua Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Nasichah,
M.A. Sekretaris Jurusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. selaku dosen pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran-saran
selama penulisan skripsi ini.
ii
4. Para Penguji dan Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-ilmunya dengan tulus ikhlas,
sehingga menambah khazanah keilmuan penulis guna menghadapi perjuangan
hidup selanjutnya.
5. Seluruh karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Dakwah dan Komunikasi yang telah membantu menyediakan dan
memudahkan penulis terhadap referensi skripsi ini.
6. Regina Reksha Putri yang telah bersedia memberikan kesempatan dan
meluangkan waktunya kepada penulis untuk menjadi klien.
7. Bapak Hendriya dan Ibu Marwanti yang telah memberikan kepercayaan,
meluangkan waktu, sehingga penyusunan skripsi ini berjalan sesuai dengan
waktu yang telah direncanakan.
8. Ayahanda Ach. Husaini dan Ibunda Suminah tercinta yang dengan tulus dan
ikhlas mencurahkan perhatian, kasih sayang, do’a dan dukungan moril maupun
meteril yang senantiasa mengiringi penulis. Jazakumullah khairan katsiiron.
9. Suami tercinta, Rahmat Hidayat yang selalu memberikan motivasi, do’a kepada
penulis.
10. Ananda tersayang Sabrina Syifanadina yang selalu memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis.
11. Kakanda dan Adinda Ach. Fauzie, SH.I dan Ach. Syariffudin yang telah
memberikan dukungan, semangat, dan doa kepada penulis.
iv
12. Rekan-rekan jurusan BPI angkatan 2001 yang telah memberikan dukungan dan
kenangan yang manis kepada penulis selama ini.
Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada semua yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan teman-teman berikan kepada penulis,
semoga Allah swt memberikan segala rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis.
Jakarta, 29 Februari 2008
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................ 7
D. Tinjauan Pustaka..................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ............................................................. 8
F. Sistematika Penulisan.............................................................. 11
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konseling Behavioral.............................................................. 13
1. Pengertian Konseling ........................................................ 13
2. Pengertian Behavioral ....................................................... 14
3. Tujuan Konseling Behavioral ............................................ 16
4. Teknik Konseling Behavioral ............................................ 17
B. Phobia..................................................................................... 19
1. Pengertian Phobia.............................................................. 19
2. Macam-macam Phobia ...................................................... 25
vi
3. Penyebab Timbulnya Phobia ............................................. 26
BAB III PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL DALAM
MENGATASI PHOBIA KUCING
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ........................................ 30
1. Data Klien dan Lingkungan Keluarga Klien ...................... 30
2. Data Peneliti...................................................................... 32
B. Pelaksanaan Konseling Behavioral.......................................... 33
1. Keadaan klien sebelum diberikan konseling ..................... 33
2. Tahap dan teknik konseling ............................................... 33
C. Hasil yang dicapai melalui konseling ...................................... 44
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 46
B. Saran....................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 48
LAMPIRAN ................................................................................................ 51
vii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya:
Nama : HENDRIYA
Tempat Tanggal Lahir : Lampung, 28 Agustus 1961
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Rasamala II/35 Rt. 006/09
Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan
Dengan ini menyatakan bahwa anak saya yang bernama: REGINA REKSHA
PUTRI, lahir di Bandung, tanggal 8 Oktober 1994, telah diberikan konseling oleh
saudari Yuni Rosita (1010520672) seorang mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dan hasil konseling yang diberikan sudah cukup bagus, karena anak saya
sekarang sudah ada perubahan tingkah lakunya terhadap seekor kucing. Walaupun
tidak 100% hilang traumanya itu, tetapi menurut saya, semua yang dilakukan oleh
saudari Yuni Rosita sudah cukup mengesankan, untuk itu saya dan keluarga
mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
Demikian surat ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila tidak benar
saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai peraturan yang berlaku.
Jakarta. 29 Februari 2008
Saya yang menyatakan
HENDRIYA
WAWANCARA DAN OBSERVASI
Sabtu, 11 Februari 2006
Peneliti : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien : Waalaikumussalam
Peneliti : Apa kabar Put?
Klien : Baik
Peneliti : Put, kenapa sih kamu masih takut sama kucing? Padahal kamu kan
sudah besar?
Klien : Ngak tahu ya, aku juga bingung kenapa? Ketakutanku sama kucing
tuh muncul begitu saja, pokoknya kalo ada kucing aku langsung
takut biar kucing itu jauh.
Peneliti : Kalau lagi ngomongin kucing, kamu juga takut?
Klien : Ngak, kalau sekedar bahan omongan dalam pikiranku juga kucing
itu binatang yang jinak.
Peneliti : Nah, kalu begitu coba dong dalam kenyataan kamu buat juga
seperti itu. Kucing kan ngak berbahaya dibanding anjing yang suka
menggonggong bahkan menggigit. Jadi coba dong untuk ngak takut
sama kucing.
Klien : Iya kak, saya coba.
Peneliti : Oke, Put. Sampe di sini dulu pertemuan hari ini. Sampe besok ya,
kita nonton film tentang kucing.
Klien : Ya, sama-sama.
Minggu, 19 Februari 2006
Peneliti mengajak klien untuk menonton film kartun tentang kucing. Peneliti melihat
tidak ada ciri-ciri fisik, behavioral, dan kognitif yang timbul dari diri klien.
Sabtu, 25 Februari 2006
Peneliti mengajak klien untuk menonton film nyata atau dokumenter tentang kucing.
Pada pertemuan ini, peneliti melihat ciri-ciri fisik klien mulai mengalami phobia
kucing berupa: gelisah, gugup, tangan dan kakinya gemetar, adanya sensasi dari pita
ketat yang mengikat di sekitar dahi, banyak berkeringat, telapak tangan yang
berkeringat, dan mengadukan ke peneliti bahwa ia merasa pening. Kemudian ia
minta izin untuk pulang ke rumah yang merupakan reaksi yang bersifat
behavioristik.
Minggu 26 Februari 2006
Peneliti : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien : Waalaikumussalam
Peneliti : Apa kabar Put?
Klien : Baik
Peneliti : Setelah kemarin kita menonton film tentang kucing kemarin, apa
yang Putri pikirkan?
Klien : Putri merasa khawatir sesuatu yang jelek akan menimpa ketika
Putri melihat melihat kumis kucing bergerak-gerak, melihat kuku
kucing mencakar-cakar lantai, dan kibasan bulunya ketika selesai
dimandikan.
Peneliti : Put, itu semua kan tidak membahayakan kamu, itu semua hanya
terjadi di dalam film. Lagipula kuku kucing mencakar-cakar kan
hanya di lantai saja, bukan ke manusia dan terbukti dalam film
tersebut orang yang memegang bulu kucing, mencium kucing, dan
memandikannya tidak mengalami apapun yang mencederai dirinya
maupun menyakitinya.
Klien : Iya sih, tapi Putri ngak tau kenapa Putri takut melihat itu semua?
Peneliti : Oke, biar Putri ngak merasa takut lagi, kita coba nonton lagi film
kucing lagi ya, kapan-kapan?
Klien : Dicoba ya kak?
Peneliti : Oke, kakak tunggu, kalo Putri dah enakan.
Sabtu, 4 Maret 2006
Peneliti : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien : Waalaikumussalam
Peneliti : Apa kabar Put?
Klien : Baik
Peneliti : Gimana, kalau hari ini kita nonton film kucing lagi?
Klien : Jangan sekarang deh kak, minggu depan aja ya?
Peneliti : Oke kita ketemu minggu depan
Sabtu, 18 Maret 2006
Peneliti : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien : Waalaikumussalam
Peneliti : Apa kabar Put?
Klien : Baik
Peneliti : Gimana, kalau hari ini kita nonton film kucing lagi?
Klien : Oke, Putri dah siap?
Selama film ditayangkan peneliti masih melihat ciri-ciri fisik masih dialami oleh
klien walaupun klien tidak merasa pening. Peneliti kemudian mengakhiri film pada
pertengahannya karena peneliti melihat klien mulai menunjukkan gejala-gejala
untuk menghindar dan pulang ke rumah.
Minggu, 19 Maret 2006
Peneliti : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien : Waalaikumussalam
Peneliti : Apa kabar Put?
Klien : Baik
Peneliti : Put, Apakah suatu saat Putri mau mempunyai peliharaan seperti
kucing?
Klien : Sebenarnya sih mau, tapi ngak tau ya kapan?
Peneliti : Put, sekarang kita main boneka kucing aja yuk?
Klien : Oke.
Peneliti melihat tidak ada ciri-ciri fisik phobia yang timbul ketika klien bermain
dengan boneka kucing yang dipegangnya.
Sabtu, 25 Maret 2006
peneliti mengajak klien menonton film dokumenter tentang kucing. Peneliti melihat
ciri-ciri fisik yang timbul hanya keringat yang keluar dari tangan.
Minggu, 26 Maret 2006
Peneliti : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien : Waalaikumussalam
Peneliti : Apa kabar Put?
Klien : Baik
Peneliti : Gima perasaan kamu sekarang setelah beberapa kali kita nonton
film kucing?
Klien : Alhamdulillah sekarang mulai nyaman tapi masih merasa takut.
Peneliti : Ya, ngak apa-apa, yang penting kamu ada perkembangan lebih
baik, mudah-mudahan rasa takutnya cepet sembuh!
Klien : Amiin.
Minggu, 2 April 2006
peneliti kemudian melakukan teknik modeling dengan membawa seekor anak
kucing dan mengelus bulu-bulunya. Klien hanya memperhatikan peneliti dari jarak 2
meter dan kemudian ciri-ciri fisik phobia kembali muncul sampai muncul rasa
pening dan klien menghindar dengan kembali ke rumahnya.
Minggu, 9 April 2006
Peneliti mengulang kembali teknik modeling sebagaimana yang dilakukan pada
pertemuan sebelumnya atau pertemuan kesepuluh. Namun, kali ini jarak klien
dengan objek phobianya berjarak jauh, yaitu 5 meter.
Peneliti : Gimana Put, apakah kamu merasa pening?
Klien : Ngak, cuma tangan Putri berkeringat?
Peneliti : Tenang Put, kucing ini ngak berbahaya kok, kan kucingnya juga
masih kecil.
Klien masih terlihat ragu dan masih menjaga jarak.
Sabtu, 15 April 2006
Peneliti kembali melakukan hal yang sama seperti pertemuan kesepuluh dan
kesebelas, namun jarak klien dengan objek phobia di dekatkan pada jarak 2 meter.
Kali ini, peneliti kembali melihat munculnya ciri-ciri fisik phobia, namun rasa
pening tidak dialami oleh klien.
Minggu, 16 April 2006
Peneliti memberikan tongkat dan kemudian meminta klien untuk menyentuh bulu
dari kucing yang peneliti pegang dengan tongkat tersebut. Klien tanpa ragu-ragu.
Peneliti kemudian menuntun tongkat tersebut dan melepaskannya ketika mulai
menyentuh bulu kucing tersebut. Klien tampak gugup dan berkeringat, tetapi
kemudian ia mulai terbiasa dan terlihat kegugupan serta keringatnya mulai
berkurang.
Minggu, 23 April 2006
Peneliti mulai menuntun tangan klien yang dilapisi sarung tangan untuk menyentuh
bulu kucing. Sempat terlihat ciri-ciri fisik phobia yang keluar walau tidak sampai
pada timbulnya rasa pening.
Sabtu, 29 April 2006
Kembali peneliti mengulang teknik seperti di pertemuan keempat belas. Kali klien
mulai tenang dan mulai menikmati.
Minggu, 30 April 2006
Peneliti : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien : Waalaikumussalam
Peneliti : Apa kabar Put?
Klien : Baik
Peneliti : Gima perasaan kamu sekarang setelah mencoba beberapa kali kita
berinteraksi dengan kucing dengan perantara?
Klien : Alhamdulillah sekarang mulai berkurang rasa takutnya dibanding
sebelumnya.
Peneliti : Kalau begitu, gimana kalau besok dicoba untuk bersentuhan
langsung dengan kucing tanpa memakai apa-apa, mau?
Klien : Insya Allah, Putri coba ya kak?
Peneliti : Oke.
Sabtu, 6 Mei 2006
Untuk pertama kalinya klien memegang bulu kucing tanpa harus memakai perantara,
baik tongkat maupun sarung tangan. Pada awalnya, peneliti masih turut memegang
tangan klien. Peneliti melihat masih ada ciri-ciri fisik phobia yang keluar dari klien
walaupun tanpa pening kepala. Peneliti melihat klien sangat gugup dan merasakan
tangan klien berkeringat cukup banyak. Namun peneliti tetap meyakinkan klien
bahwa hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi dan meminta klien untuk merasa rileks
saja saat menyentuh dan mengelusnya. Sekitar setengah jam berlalu, peneliti melihat
klien mulai sedikit menikmatinya walau terlihat masih gugup dan tangan masih
banyak mengeluarkan keringat. Peneliti kemudian mengakhiri pertemuan.
Minggu, 7 Mei 2006
Peneliti : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien : Waalaikumussalam
Peneliti : Apa kabar Put?
Klien : Baik
Peneliti : Gimana perasaan kamu sekarang setelah mencoba mengelus bulu
kucing secara langsung?
Klien : Masih rada takut dan masih khawatir hal buruk akan menimpa
diriku.
Peneliti : Ngak apa-apa kok, kalo cuma ngelus bulu kucing doang. Ngak
dicakar kan sama kucing tadi?
Klien : Iya sih.
Minggu, 14 Mei 2006
kembali peneliti mengajak klien untuk mengelus bulu kucing secara langsung. Kali
ini, peneliti tidak menuntun tangannya tetapi masih tetap memegang kucingnya.
Klien masih belum bereaksi, ia terdiam beberapa saat. Peneliti memberikan isyarat
kepadanya agar segera menyentuhnya, setelah menyentuh bulu kucing tersebut
peneliti langsung menghentikannya. Peneliti kemudian mewawancarai klien.
Peneliti : Gima perasaan kamu sekarang?
Klien : Alhamdulillah, aku udah bisa menikmatinya?
Peneliti : Alhamdulillah
Minggu, 21 Mei 2006
Kembali peneliti mengajak klien untuk mengelus bulu kucing secara langsung tanpa
dituntun. Kali ini pelan-pelan, klien menyentuhnya selama kurang lebih setengah
jam walau kucing masih dipegang peneliti. Tidak ada ciri-ciri fisik yang keluar
selain terlihat masih ada kegugupan dan keringat masih keluar dari telapak
tangannya. Peneliti kemudian menghentikan pertemuan.
Minggu, 28 Mei 2006
Peneliti meminta klien mengelus-elus bulu kepala kucing yang sedang tidur. Klien
tampak gugup, ia terlihat ragu. Kemudian peneliti memberikan peragaan kepada
klien kemudian menuntun tangan klien untuk menyentuh bulu kepala kucing
tersebut. Peneliti masih melihat keringat keluar dari telapak tangannya dan terlihat
klien masih gugup. Baru saja tangan klien menyentuh bulu kepala kucing yang
sedang tertidur, peneliti menghentikannya.
Minggu, 2 Juni 2006
Peneliti memberikan jeda waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar satu minggu dari
pertemuan sebelumnya.
Peneliti : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien : Waalaikumussalam
Peneliti : Apa kabar Put?
Klien : Baik
Peneliti : Gimana perasaan kamu sekarang setelah mengelus bulu kepala
kucing yang sedang tertidur?
Klien : Sedikit cemas, takut, dan gugup.
Peneliti : Coba perhatiin kakak, gimana kakak mengelus kepala kucing!
Gimana mau coba lagi?
Klien : Oke, saya coba!
Peneliti : Put, kalau kamu menyentuh langsung bulu kepala dari kucing yang
sedang tidur dengan waktu yang cukup lama, kakak bisa nyatakan
kamu sembuh dari phobia, berani?
Klien : Berani!
Kemudian klien perlahan-lahan mulai menyentuh bulu kepala kucing dan ia pun
mulai mengelus-ngelusnya sampai seperempat jam. Peneliti hanya melihat klien
sedikit gugup dan tangannya sedikit berkeringat.
Jakarta, 29 Februari 2008
REGINA REKSHA PUTRI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
�ُ��َ ��ً��َِ �ً� �َ�ُآ�ا ِ�ْ� َ�ْ�ِ�ِ�ْ� ُذر�َ �ْ�َ �َ �ِ���ا َ&َ�ْ!ِ�ْ� َ�ْ�َ!%�ُ$�ا اَ# َوْ�َ!ْ َ� ا
��ا َ*ْ�ً( َ)ِ' ً'اُ�$ُ!َ� َوْ
Artinya Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. 4:9)
Setiap orang tua menginginkan anaknya terlahir dengan sempurna, baik fisik
maupun kejiwaannya. Namun keinginan tersebut tak selamanya didapatkan. Allah
Maha Tahu atas segala yang terbaik baik makhluknya. Orang tua yang memiliki
anak yang mengalami masalah kejiwaan, buka berarti Allah tidak sayang kepada
hambanya, tapi itu merupakan suatu ujian bagi orang tua agar sabar dengan apa-apa
yang Allah berikan kepadanya.
Sabar dalam arti yang sebenarnya bukan berarti pasrah tanpa berbuat apa pun
terhadap apa yang menimpa kita. Sabar yang sebenarnya bersifat aktif, orang sakit
bisa dikatakan sabar apabila ia telah berusaha untuk menyembuhkan penyakit
tersebut, dan menyerahkan sepenuhnya kesembuhan penyakitnya kepada Allah.
Begitu juga jika kita memiliki anak yang mengalami gangguan kejiwaan, perlu ada
suatu tindakan agar gangguan kejiwaan tersebut dapat sembuh dari anak kita.
Sehubungan dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa tersebut,
sebagai orang tua kita diingatkan agar kita merasa khawatir terhadap anak-anak yang
lemah. Lemah dalam pengertian di sini bisa lemah iman, ilmu, kejiwaan ataupun
materi/harta benda. Kelemahan iman akan membuat seseorang mudah goyah
akidahnya dan akan dengan mudah pindah ke agama lain. Lemah ilmu akan
membuat seseorang menjadi bodoh, dan akan sulit dapat memperoleh kehidupan
yang layak. Kemiskinan atau lemah harta akan membuat orang sengsara, bahkan
Nabi pernah bersabda ”Kadang kefakiran mendekati kekufuran.” Dan yang akan
dibahas dalam skripsi ini adalah kelemahan jiwa dalam bentuk ketakutan yang
berlebihan.
Kecemasan dan ketakutan yang wajar akan mampu diatasi oleh kemampuan
mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi konflik yang dialami, namun pada
kenyataannya ada yang tidak mampu menghadapi konflik-konflik tersebut, sehingga
mengakibatkan perilaku yang tidak wajar dan menderita gangguan mental.
Sangat beragam bentuk-bentuk gangguan mental yang dapat diderita oleh
semua orang sesuai dengan tingkat kesulitan, kondisi mental dan lingkungan orang
tersebut, akibatnya makin banyak permasalahan psikologis yang menjadi beban
pemikiran manusia untuk dicari jalan keluarnya.
Salah satu bentuk gangguan mental adalah phobia memiliki arti sebagai
ketakutan yang berlebihan dan irrasional terhadap ”something”.1 ”Something” ini
menjadikan phobia memiliki tambahan kata, misalnya sesuatu itu adalah hewan,
maka disebut sebagai zoophobia (ketakutan dan ketidaksukaan yang ekstrim dan
tidak normal terhadap hewan). Bahkan penderita jenis ini memiliki spesifikasi
khusus, misalnya phobia terhadap kecoa, ular, tikus, kucing atau kepada yang
lainnya.
Orang yang menderita phobia jika dirinya pada situasi menurut orang lain
situasi tersebut dianggap wajar, sementara menurut dirinya itu adalah situasi sulit,
penuh dengan ketegangan dan ketakutan sehingga panik dan gemetar, tentu akan
menambah kekalutan dan problem tersendiri yang berakibat mereka menjadi rendah
diri, malu dan tak mampu beraktivitas sebagaimana mestinya.
Jelaslah pada situasi ketakutan yang berlebihan tersebut dapat menganggu
aktivitas yang semestinya dijalankan. Hal ini tentulah tidak dapat dibiarkan dan
perlu dicari jalan atau upaya untuk menyembuhkan phobia. Fahmi Musthofa
menyatakan bahwa ”takut-takut tersebut dapat dianggap sebagai tanda tidak wajar,
penderita tidak mengetahui sebabnya dan tidak dapt melepaskan diri daripadanya
atau sanggup menguasainya, disamping itu ia merasa bahwa dalam berbagai situasi
1 AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (New York:
Oxford University Press, 1995), Fifth Edition, p. 867.
kelakuannya menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta menyebabkan tertawaan
orang”.2
Ketidakwajaran perilaku yang dialami penderita phobia secara langsung telah
banyak merugikan perkembangan kepribadian dan sosial dirinya, tentunya hal ini
memerlukan penanganan yang lebih serius dan khusus lagi. Dapat dipahami jika
para ahli psikologi mencari solusi yang tepat untuk menanggulagi dan meringankan
beban terhadap permasalahan tersebut, ternyata kesembuhan penderita phobia juga
memerlukan bantuan orang-orang disekitarnya, bukan hanya psikolog saja, yang
dimaksudkan di sini adalah keluarga sang penderita phobia yang terdiri dari ayah,
ibu, dan saudaranya seperti yang dikatakan David Lewis: ”Jenis dukungan yang
tepat sangatlah bermanfaat bila anda menderita kesulitan yang sangat mengikat,
Agoraphobia (takut meninggalkan rumah) terutama sangat bergantung pada orang
lain, ketergantungan ini dapat dengan cepat menjadi kebiasaan baik bagi penderita
phobia maupun rekan atau keluarganya”.3
Phobia merupakan gejala yang sangat jarang timbul bagi kebanyakan orang,
tak seorang pun tahu dengan tepat berapa orang yang menderita phobia. Witri Suarti
menyatakan bahwa ”tidak sedikit orang yang sangat terkenal atau seorang bintang
film Hollywood yang menderita phobia seperti Nicole Kidman yang ternyata phobia
terhadap kupu-kupu, juga Orlando Bloom mengaku takut pada babi, sementara lalu
Madonna yang takut mendengar suara gemuruh halilintar, Keanu Reeves yang takut
gelap, dan Jennifer Aniston, Colin Farrel, Whoopi Goldberg, hingga Aretha Franklin
yang takut akan ketinggian”.4
Tentunya hal ini membuktikan bahwa phobia dapat diderita oleh siapa saja
tidak mengenal strata sosial dan jenis kelamin. Apalagi sekarang ini dengan
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan semakin bertambah pula jenis phobia
2 Fahmi Musthofa, terjemahan Zakiah Daradjat, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah
dan Masyarakat, (Jakarta: Erlangga, 1991), Jilid II, h. 87. 3 David Lewis, Taklukan Phobia Anda seri Psikologi Popular, (Jakarta: Arcan, 1987), h. 49.
4 Witri Suarti, ”Phobia Bikin Susah”, Wanita Indonesia, Edisi 909 / 7 - 13 Mei / 2007.
yang ada, sehingga makin banyak pula penderita phobia yang perlu ditolong. Lalu
muncullah beberapa fenomena yang mengiringi hal tersebut diantaranya
bermunculan buku-buku terbaru mengenai teknik mengatasi phobia yang ditulis para
ahli psikologi yang dapat dijalankan sendiri oleh penderitanya dan menjadi artikel
yang tetap pada majalah kesehatan terbitan ibukota serta para penderita yang tidak
malu-malu lagi mengungkapkan phobianya kepada orang sekitarnya.
Phobia sudah menjadi masalah umum dan mungkin sering terjadi, kalau
melihat fenomena yang timbul di sekitarnya. Di Indonesia diperkirakan terdapat 10
juta penderita kecemasan phobia, namun angka ini belum mencakup phobia ringan
yang dapat diartikan sebagai suatu ketakutan yang tidak terlalu mengganggu
kehidupan.5
Phobia merupakan masalah yang cukup serius yang dapat diderita oleh
orang-orang disekitarnya jika tidak ditangani dan diatasi dengan seksama dan
sungguh-sungguh dapat menyebabkan perilaku yang menyimpang, timbulnya
kecemasan secara berlebihan serta gejala yang mengiringi phobia seperti ketegangan
otot, rasa panik, sakit kepala, jantung berdebar, sakit perut, gemetar, rasa lelah yang
berlebihan dan ingin menangis.
Perkembangan psikologis individu penderita phobia terganggu, merasa
dirinya tidak berguna, bodoh dan pasif yang pada akhirnya menganggap dirinya
gagal, akibat lain dari phobia yang tidak ditangani. Disinilah seseorang memerlukan
kondisi yang wajar dan normal sebagai seorang yang sehat yang dapat mendorong
5 Anindhita Maharrani, “Phobia Aneh Para Selebritis”, Majalah Higina, No. 028, Januari
1994.
dirinya agar tampil sebagaimana mestinya, sebagai layaknya orang disekitarnya
bukan seorang yang mengalami perilaku yang menyimpang sebagai seorang
penderita phobia.
Penderita phobia, khususnya zoophobia, tidak dapat disembuhkan hanya
dengan tindakan bimbingan (guidance), tetapi harus dengan tindakan konseling. Hal
ini dikarenakan, phobia merupakan penyakit psikologis yang dapat disembuhkan
jika ada upaya aktif dari penderita untuk menghilangkannya. Sedangkan fungsi
konselor hanya membantu saja, membantu agar penderita atau klien dapat mencapai
perubahan sebagaimana yang diinginkan, dan ini merupakan ciri serta tujuan dari
pada pskologi konseling.6
Adapun pendekatan dari psikologi konseling yang digunakan adalah
pendekatan behavioral. Pendekatan ini menekankan pada perilaku spesifik, yaitu
perilaku yang memang berbenturan atau yang berlawanan dengan lingkungan dan
diri klien sendiri. Pendekatan ini lebih bersifat suatu pelatihan terhadap perilaku
klien, sehingga pendekatan ini menekankan pada teknik dan prosedur untuk
memfasilitasi perubahan perilaku pada diri klien. Maka, pendekatan behavioral ini
lebih mementingkan penggunaan teknik pengubah perilaku (behavioral
modivication). Peran konselor di sini sebagai model bagi klien daripada kualitas
hubungan konseling.7
6 Abu Bakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, (Jakarta: Studia Press,
2004), h. 2.
7 Ibid., h. 22-23.
Dari keterangan di atas penulis tertarik untuk menjadikan zoophobia
(ketakutan terhadap binatang) sebagai objek penelitian untuk skripsi ini, dengan
melakukan konseling terhadap klien yang menderita phobia kucing. Klien adalah
seorang anak perempuan penderita phobia kucing berusia 12 tahun.
Untuk itu penulis mengambil judul ”PELAKSANAAN KONSELING
BEHAVIORAL DALAM MENGATASI PHOBIA KUCING SEORANG KLIEN
DI RASAMALA 2 MENTENG DALAM TEBET JAKARTA SELATAN”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Permasalahan pada skripsi ini dibatasi hanya pada persoalan konseling
behavioral terhadap seorang klien phobia kucing berusia 12 tahun yang berdomisili
di Jl. Rasamala 2, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Adapun rumusan
masalahnya adalah bagaimanakah pelaksanaan konseling behavioral dalam
mengatasi phobia kucing seorang klien yang berdomisili di Jl. Rasamala 2, Menteng
Dalam, Tebet, Jakarta Selatan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengahapus/menghilangkan tingkah
laku maldaptif (masalah) untuk digantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah
laku adaptif yang diinginkan klien. Tingkah laku adaptif yang ingin dituju adalah
secara bertahap klien dapat berinteraksi langsung dengan kucing tanpa dibantu oleh
siapapun untuk berinteraksi tersebut.
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai penambah khazanah pengetahuan di bidang psikologi konseling
yang berguna bagi mahasiswa, psikolog, kalangan akademisi dan pihak-
pihak terkait.
2. Sebagai syarat bagi penulis untuk meraih gelar sarjana strata satu (S1)
Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I) di Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Penulis juga melakukan kajian pustaka untuk mendapatkan data-data yang
diperlukan dan relevan dengan penelitian ini yang bersumber dari buku, majalah,
internet, dokumen-dokumen, dan sumber-sumber lainnya.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif.
Metode ini dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian
pada saat sekarang (atau setelah dilakukan konseling) berdasarkan fakta-fakta
yang tampak atau sebagaimana adanya.8 Hal ini dikarenakan, penelitian ini
bersifat kualitatif dimana tidak membutuhkan populasi atau hanya menyelidiki
satu obyek penelitian.
2. Tempat dan Waktu Penelitian
8 Handari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1998), Cet. ke-8, h. 63.
Penelitian dilakukan di rumah peneliti dan di rumah klien yang
berdomisili di wilayah yang sama, yaitu di Jl. Rasamala 2 Menteng Dalam,
Tebet, Jakarta Selatan.
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 11 Februari sampai dengan 2 Juni
2006.
3. Subyek dan Obyek Penelitian
a. Subyek Penelitian
Subyek dari penelitian ini adalah ibu dari klien yang berpendidikan
SLTA dengan bekerja sebagai ibu rumah tangga, yang didampingi oleh
peneliti sebagai mahasiswi Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Obyek Penelitian
Obyek dari penelitian ini adalah seorang klien yang mengalami
phobia kucing, seorang anak perempuan berusia 12 tahun (masa akhir anak-
anak) dengan nama Regina Reksha Putri. Penelitian dilakukan sebelum ia
masuk ke jenjang pendidikan SLTP.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a. Wawancara, adalah teknik dialog yang dilakukan pewawancara
(interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(interviewee).9 Di dalam psikologi konseling, wawancara merupakan
9 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), h. 144.
teknik yang tepat untuk digunakan. Dengan wawancara, konseling dapat
berjalan dengan lancar dan sesuai tujuan serta dapat menciptakan
hubungan yang baik, harmonis, dan kooperatif antara klien dan
konselor.10
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah antara
pembimbing dengan klien, dan peneliti dengan orang tua klien.
b. Observasi. Observasi adalah sebuah metode ilmiah berupa pengamatan
dan pencatatan secara sistematik terhadap fenomena-fenomena yang
diselidiki.11
Observasi yang dilakukan adalah dengan mengamati keadaan
sosial ekonomi keluarga klien dan kondisi lingkungan tempat tinggal
klien.
c. Studi pustaka. Studi pustaka adalah sebuah metode ilmiah berupa
pencarian literatur berupa buku, makalah ilmiah, jurnal, artikel, internet,
dan sebagainya berupa tulisan dari ahli yang berkenaan dengan konseling
behavioral dan phobia.
5. Teknik Analisa Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, maka penelitian ini
termasuk penelitian non hipotesis yang bukan bertujuan untuk membuktikan
ataupun menguji suatu teori, namun hanya ingin menggambarkan suatu
fenomena yang terjadi dan membandingkan dengan standar yang telah
10 Abubakar Baraja (1998), op.cit. h. 33. 11 Jalaludin Rachmat, Metodologi Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1999). Cet. ke-7, h. 83.
dibakukan. Maka teknik analisi data yang digunakan dalam penelitian ini ada
beberapa tahapan yaitu:
a. Data Collection
Pada tahap kegiatan ini data dikumpulkan melalui observasi, dan
wawancara yang mendalam. Dari kedua teknik tersebut akan diperoleh data
kualitatif. Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara, dan studi
dokumentasi dicatat sebagai catatan data lapangan.
b. Data Reduction
Adalah kegiatan merangkum dan meringkas catatan lapangan dengan
memilih dan menilai data informasi yang penting dan berhubungan dengan fokus
masalah penelitian. Catatan data atau informasi yang akurat sangat diperlukan.
Untuk lebih meyakinkan data yang terkumpul agar lebih grounded (berdasar
pada data) maka verifikasi dilakukan selama penelitian tingkat kepercayaan hasil
penelitian akan lebih terjamin.
c. Data Display
Adalah kegiatan merangkum hasil penelitian dalam susunan yang teratur
dan sistematis. Pada kegiatan ini data dirangkum secara deskriptif dan
sistematik, sehingga akan memudahkan mencari tema sentral sesuai dengan
fokus penelitian, dan memudahkan dalam memberi makna yang sesuai.
6. Teknik Penulisan
Untuk teknik penulisan, maka penulis mengacu kepada buku pedoman
penulisan yang diterbitkan oleh UIN Pres pada tahun 2007 yang berjudul
Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi cetakan ke-2.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I merupakan bagian pendahuluan dari skripsi, yang terdiri dari atas
latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penyusunan.
BAB II suatu tinjaun teori yang berisi teori-teori tentang konseling
behavioral dan phobia.
BAB III merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang
membahas tentang pelaksanaan konseling behavioral dalam mengatasi phobia
kucing, yang terdiri dari gambaran umum obyek penelitian, pelaksanaan konseling
behavioral, dan hasil yang dicapai melalui konseling.
BAB IV adalah bagian akhir dari skripsi ini yang merupakan penutup, terdiri
atas kesimpulan dan saran.
Daftar pustaka dan lampiran merupakan penunjang dan satu kesatuan dari
penulisan skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konseling Behavioral
1. Pengertian Konseling
Menurut Prayitno dan Erman Amti istilah konseling, secara etimologis,
berasal dari bahasa Latin, yaitu ”consilium” yang berarti ”dengan” atau
”bersama” yang dirangkai dengan ”menerima” atau ”memahami”.12
Selanjutnya
mereka menyatakan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari
”sellan” yang berarti ”menyerahkan” atau ”menyampaikan”.13
Menurut Michael E. Cavanagh konseling adalah ”a relationship between
a trained helper and a person seeking help in which both the skills of the helper
and the atmosphere that he or she creates help people learn to relate with
themselves and others in more growth-producing ways.”14
Yang artinya
hubungan antara seorang penolong yang terlatih dan seorang yang mencari
pertolongan, di mana keterampilan si penolong dan situasi yang diciptakan
olehnya menolong orang untuk belajar berhubungan dengan dirinya sendiri dan
orang lain dengan terobosan-terobosan yang semakin bertumbuh.
12 Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta
dan Pusat Perbukuan Depdiknas, 2004), Cet.ke-2, h. 99. 13 Ibid. 14 Michael E. Cavanagh, Books, The Counseling Experience. A Theoretical and Practical
Approach, (New York: Cole Publishing Company, 1982), h. 5.
13
Sementara itu Departemen Pendidikan Nasional mendefinisikan
konseling sebagai pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan
maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam
bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar,
dan perencanaan karier melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung,
berdasarkan norma-norma yang berlaku.15
2. Pengertian Behavioral
Konseling behavioral adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur
yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Konseling ini menyertakan
penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku
ke arah cara-cara yang lebih adaptif.16
Dalam konseling behavioral, gejala-gejala gangguan yang dilihat adalah
hasil dari pembelajaran, bukan dari dorongan tak sadar, konseling memusatkan
dua hal utama, yakni tingkah laku yang tampak adalah sesuatu yang dapat
diamati dan diukur. Kedua pada ABC tingkah laku yaitu antecedents (stimulus
apakah yang menjadi pemicu prilaku), behavior (tingkah laku apa yang
ditunjukkan), dan consegneces (apakah yang menjadi penguatan bagi tingkah
laku tersebut) melalui penerapan teknik pembelajaran sosial, seperti modeling,
15 Departemen Pendidikan Nasional, “Panduan Model Pengembangan Diri untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah”, ktsp.diknas.go.id/download/ktsp_sma/13.ppt, 2004, h. 7. 16 Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling Psikokonseling, (Bandung: Refika Aditama,
1999), h. 321.
pengkondisian klasikal dan operah, klien mampu mengubah tingkah laku yang
tidak diinginkan dengan mempelajari tingkah laku yang baru.17
Menurut Corey, konseling tingkah laku berbeda dengan sebagian besar
pendekatan konseling lainnya, ditandai oleh :
a. Pemusatan perhatian pada tingkah laku yang tampak dan spesifik.
b. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.
c. Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah .
d. Penaksiran objektif atas hasil-hasil konseling.18
Sedangkan Winkel berpandangan bahwa konseling behavioral pada
dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa prilaku manusia merupakan hasil
suatu proses belajar dan dapat diubah dengan mempelajari hal yang baru.
Dengan demikian, proses konseling pada dasarnya di pandang sebagai suatu
proses belajar.19
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sesuatu yang menjadi
ciri khas dari konseling behavioral yaitu tingkah laku adalah sesuatu yang
dipelajari dan dapat diukur lewat pembelajaran juga.
17 Stephen M. Kosslyn & Robin S. Rosenberg, Psychology, (The Brain, The Person, The
World, Allyn & Bacon, USA), h. 96. 18 Gerald Corey (1999), loc. cit. 321. 19
Ibid., h. 326.
3. Tujuan Konseling Behavioral
Krumboltz dalam Ray Colledge mengemukakan tiga prinsip dalam
membentuk tujuan dalam proses konseling:
a. Setiap tujuan disesuaikan pada tiap klien.
d. Tujuan tidak harus memenuhi nilai-nilai konselor, namun setidaknya tujuan
tersebut harmonis.
e. Sasaran yang ingin dicapai harus dapat diamati (abservable). 20
Selain dalam proses konseling ditentukan tujuan yang ingin dicapai,
setiap klien yang terlibat dalam proses konseling juga memiliki tujuan individu,
antara lain :
a. Mengendalikan perilaku yang tidak tepat.
b. Menguatkan tingkah laku yang lebih sesuai.
c. Mengurangi atau menghilangkan tingkah laku yang menyimpang.
d. Menaklukan kelemahan reaksi cemas.
e. Mencapai kemampuan untuk tetap bersikap tenang.
f. Mempunyai kapasitas untuk bersikap asertif.
g. Memiliki keterampilan sosial yang baik.
h. Mencapai kompetensi dalam fungsi seksual.
i. Memiliki pengendalian diri.21
20 Ray Colledge, Mastering Counseling Theory, (New York: Pal Grave Master Service,
2002), h. 35.
4. Teknik Konseling Behavioral
Menurut Gilbert dalam Ray Colledge, hal yang paling penting untuk
mengajarkan teknik behavioral pada klien yang bertujuan membantu klien
mengendalikan tingkah lakuknya dan menjadi konselor bagi dirinya sendiri. Hal
ini menjadi sesuatu yang esensi ketika klien mencapai tahap akhir program
konseling, mereka memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan
yang dapat muncul di kemudian hari.22
Berikut ini adalah teknik-teknik utama dalam konseling tingkah laku bagi
para penderita phobia.
a. Latihan asertif
b. Desensitisasi Sistematis
c. Pengkondisian Aversi
d. Pembentukan Tingkah laku Model23
Latihan asertif digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan
untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini
terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu
mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak,
mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya. Cara yang digunakan adalah
21 Ibid. 22 Ibid., h. 55. 23 Sugiharto, “Pendekatan Konseling Behavioral”, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/,
23 Januari 2008, h. 2-3.
dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok
juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang
memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami
dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah
menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan
respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan
pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan
secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik
relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara
negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang
berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
Pengkondisian Aversi dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan
buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar
mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus
tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan
secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki
kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah
laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Pembentukan Tingkah laku Model digunakan untuk membentuk tingkah
laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam
hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat
menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati
dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang
berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa
pujian sebagai ganjaran sosial.
Secara umum para konselor adalah menciptakan hubungan yang hangat
dan penuh empati dengan kliennya. Berikut ini adalah fungsi konseling dalam
konseling tingkah laku.
a. Mengarahkan klien dalam menentukan bentuk target yang ingin dicapai dan
langkah-langkah untuk mencapainya.
b. Menganalisa tingkah laku klien baik yang ingin di ubah maupun yang akan
dipelajari.
c. Mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperhatikan bahwa ia
menerima dan memahami klien. 24
B. Phobia
1. Pengertian Phobia
David Lewis mengatakan Phobia adalah suatu perasaan ketakutan yang
ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak memperlihatkan ancaman yang sejati
terhadap kelangsungan hidup. Responnya mungkin sesuatu yang cenderung
mental, mengingat fakta yang mudah diingat sekalipun dan kebanyakan suatu
24 Ray Colledge (2002), op.cit. h. 56.
sensasi panik buta. Mungkin sama halnya dengan reaksi fisik yang
mengakibatkan gejala yang melumpuhkan, misalnya perut melilit, mual, pusing,
mulut kering, gemetar, tersipu-sipu, berdebar-debar, dan pernafasan tak teratur.25
Sedangkan menurut pengertian yang diambil dari Kamus Psikologi karya
Dali Gulo mengatakan: ”Ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap benda atau
situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasarkan
kenyataan”.26
Phobia merupakan ketakutan yang tidak wajar serta dimunculkan dalam
bentuk kecemasan yang berlebihan yang mengganggu psikis dan fisiknya yang
hanya bukan sekedar rasa takut biasa karena adalah hal yang manusiawi jika
setiap orang mempunyai rasa takut, hal ini disebabkan rasa takut sedikit banyak
merupakan manifestasi dari mekanisme pertahanan diri (defence mechanisme)
yang esensial, dengan mempunyai rasa takut dapat lebih dini mendeteksi bahaya
yang mungkin datang, tetapi jika takut itu mulai mengganggu dan berlebih-
lebihan maka hal itu menyimpang atau menderita gangguan phobia.27
Sangat beragam phobia dapat diderita oleh seseorang dan setiap orang
mempunyai ketakutan yang berbeda-beda dan ketakutan mempunyai cakupan
yang lebih luas lagi, daripada hanya sekedar perasaan tidak suka, namun rasa
25 David Lewis, Taklukan Phobia Anda seri Psikologi Popular, (Jakarta: Arcan, 1987), h. 5. 26 Dali Gulo, Kamus Psikologi, (Bandung: Tarsito, 1987), h.212. 27 Anindhita Maharrani, ”Apakah Phobia Itu?”, Majalah Higina, Edisi 031, April 1994.
takut dan kecemasan tersebut memang variatif tergantung yang menjadi faktor
penyebab terjadinya phobia.28
Phobia dapat menyebabkan seseorang mengalami ketakutan yang luar
biasa terhadap apa yang dianggap oleh orang lain sebagai suatu hal biasa dan tak
perlu ditakuti sementara buat dirinya merupakan yang perlu dihindari dan
terkadang jika dihadapi emosi penderita phobia sering tak terkendali. “Kengerian
atau ketakutan yang tidak terkendali pada umumnya disebabkan oleh sifat
abnormal atau sifat yang sakit terhadap situasi atau obyek tertentu.”29
Berdasarkan beberapa uraian dan teori yang dikemukakan di atas dapat
dipahami bahwa phobia merupakan ketakutan yang tidak rasional dan berlebih-
lebihan sehingga menimbulkan kecemasan yang melibatkan emosinya terkadang
tidak terkendali pada situasi atau obyek tertentu yang memicu ketakutan
tersebut.
Kadang penderitaan orang yang mengalami phobia ditambah oleh
perasaan yang timbul dari dirinya sendiri, karena ia merasa bahwa ketakutannya
hanya dirinya sendiri yang mengalaminya sehingga menimbulkan rasa malu dan
minder. Hasilnya, penderitaan sang phobik semakin parah, jika hal ini didiamkan
tanpa dicari solusi yang tepat maka kita tentu dapat membayangkan apa yang
terjadi kelak, tentu seumur hidup sang phobik dilanda ketakutan, kecemasan
28 Ibid. 29 James Derver, Kamus Psikologi, (Bandung: Tarsito 1988), h. 78.
yang terus menerus dan berakibat pada terganggunya aktivitas yang biasa
dilakukan kebanyakan orang.
Menurut Kartini Kartono phobia adalah ketakutan atau kecemasan yang
abnormal, tidak rasional dan tidak bisa dikontrol terhadap suatu situasi atau
obyek tertentu, merupakan ketakutan yang khas neurotis, sebagai symbol dari
konflik-konflik neurotis yang kemudian menimbulkan ketakutan dan
kecemasan.30
.
Phobia seringkali merupakan ketakutan yang tidak rasional yang
disembunyikan rapi terselubung oleh orang yang menderitanya diakibatkan dari
konflik-konflik neurotis yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan.
Mereka yang menderita phobia mencoba menyembunyikan dari teman,
tetangga atau rekan sejawat, kadang bahkan dari anggota keluarga sendiri,
merasa malu dengan apa yang terjadi, penderita merasa bodoh, ngeri akan olok-
olok dan penghinaan serta merasa bahwa apa yang mereka derita diyakini
sebagai suatu penyakit mental yang serius, menyebabkan banyak sekali penderita
phobia menanggung kesedihannya dengan diam-diam dan rahasia.” Penderita
phobia seringkali menganggap dirinya bodoh atau lemah.”31
Adakalanya penderitaan mereka ditambah oleh perasaan bersalah dan
depresi, mereka sedih karena kekhawatiran dan kecemasan membatasi
30 Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu Anak (Seri Psikologi Terapan), (Jakarta:
CV. Rajawali, 1981), Jilid I, h. 320.
31 David Lewis (1987), op. cit. 15.
kehidupan mereka, menghalangi untuk melakukan apa yang menjadi kegemaran
mereka dan melenyapkan kesenangan mereka, merasa tidak atau sering kurang
dihargai oleh kebanyakan orang, tidak bisa melakukan aktivitas yang biasa
dilakukan, mereka mungkin merasa bersalah dengan apa yang diakibatkan
phobia terhadap dirinya, baik nyata maupun khayalan, kepada orang yang
mereka kasihi, sering menganggap bahwa dirinya sebagai orang yang gagal
sehingga mengecewakan suami, istri, anak, saudara dan orangtua mereka.
David Lewis menyatakan ”phobia apa saja jenisnya sangat tidak
menyenangkan, beberapa begitu mengikat sehingga membelenggu korbannya
kedalam cara hidup yang amat memprihatinkan dan mengecewakannya”.32
Phobia akan dapat menyerang siapa saja ia tidak peduli jenis kelamin dan
usia, siapa saja mempunyai kemungkinan untuk menjadi penderita phobia dan
bukan merupakan penyakit jiwa tetapi merupakan hasil pembelajaran dari situasi
tertentu, dan merupakan problem yang sangat jarang dan sedikit dipahami.
Pada dasar-dasar suatu survey di Inggris para psikolog membuat
perkiraan bahwa hampir 15 juta warga Amerika menderita phobia, tetapi
diperkirakan hanya 44.000 orang saja yang sedemikian besar ketakutannya
sehinga sangat mengganggu kegiatan sehari-hari.33
Biarpun sangat sedikit orang yang mengalami phobia jika tidak ditangani secara serius menanggulanginya maka
berakibat pada terganggunya perkembangan kepribadian dan sosialisasi penderita, bahkan dapat melumpuhkan aktivitas
32 Ibid., h. 17.
33 Linda L Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar terj. Mari Jumati (Jakarta: Erlangga, 1991),
Edisi ke-2 Jilid II, h.227.
yang biasa dilakukan hingga penderita tidak dapat berbuat apa-apa. “Phobia dipandang sebagai gangguan phobia bila
gangguan tersebut sudah sedemikian rupa parahnya sehingga yang bersangkutan seperti dilumpuhkan.”34
Melihat yang terjadi akibat dari phobia yang mungkin saja diderita satu
anggota keluarga seseorang, tentu orang tersebut tidak tinggal diam dan menutup
mata serta hanya merasa bersimpati saja terhadap penderita phobia, tetapi
bagaimana memikirkan masalah tersebut untuk segera ditanggulangi dan dicari
jalan untuk pemecahannya. Masalah phobia bukan hanya masalah yang harus
ditangani oleh psikiater atau psikolog saja melainkan juga semua pihak yang
dapat membantu proses-proses penyembuhan diantaranya adalah teman dekat,
rekan sejawat, guru dan keluarganya.
Dalam penanganannya harus ditangani secara serius dan sungguh-
sungguh serta berkesinambungan, karena semua orang menyadari bahwa
berperilaku wajar dan normal seperti orang kebanyakan merupakan sikap yang
harus dimunculkan dalam bermasyarakat tanpa harus mengalami halangan dan
hambatan demi tercapainya manusia Indonesia yang sehat lahir dan batin
seutuhnya.
Dari kenyataan tersebut di atas, salah satu tindakan yang dilakukan
adalah dengan melakukan usaha pencegahan atau preventif. Upaya yang
dilakukan dengan memberikan pengertian dan menciptakan kondisi sesuai
dengan tingkat usia dan pengetahuan serta mampu mengarahkan jika terjadi
gejala kecenderungan dan ketakutan yang lebih dini sehingga dapat dicegah
untuk menjadi akut dan cenderung menetap.
34 Ibid.
2. Macam-macam Phobia
Phobia sebagai perilaku yang irasional dialami oleh sebagian orang pada
umumnya berdampak pada terganggu dan terhambatnya perkembangan
kepribadian dan sosialisasi sehingga tidak mampu beraktivitas secara maksimal,
bila hal ini tidak mendapat perhatian tentu saja akan terjadi penderitaan yang
berlarut-larut, bukan saja terhadap penderita phobia itu sendiri tetapi
menyangkut juga orang banyak disekitarnya. Adapun macam-macam phobia
yang cenderung banyak terjadi dan beberapa macam sumber ketakutan menurut
David Lewis adalah sebagai berikut :
1. Ketakutan akan air (Hydrophobia) 2. Ketakutan akan air mani (Spematophobia) 3. Ketakutan akan angka 13 (Triskaidekaphobia) 4. Ketakutanakan anjing (Sino phobia) 5. Ketakutan akan api (Fir phobia) 6. Ketakutan akan aurat wanita (Europhobia) 7. Ketakutan akan benda suci (Hierophobia) 8. Ketakutan akan benta tinggi (Batophobia) 9. Ketakutan akan berpergian (Homophobia) 10. Ketakutan akan binatang (Zoophobia).
35
Bentuk-bentuk dan macam sumber phobia menunjukkan beragam dan
banyak jenis phobia yang dapat diderita oleh orang disekitarnya. Hal ini tentu
mendorong untuk mengarahkan agar penderita phobia agar bersikap dan
berperilaku seperti yang diharapkan melalui bimbingan serta tuntutan yang dapat
membantu penderita phobia agar sembuh dan terhindar phobia yang
berkepanjangan sehingga dapat berperilaku wajar dan normal sesuai dengan
norma dan nilai yang berkembang di masyarakat. Dengan mengetahui berbagai
35 Davis Lewis (1987), op cit. h. 6.
jenis phobia diharapkan mampu menggolongkan jenis phobia yang diderita oleh
salah satu anggota keluarga.
3. Penyebab Timbulnya Phobia
Linda L Dovidoff menyatakan pandangan modern mengenai phobia yang
diterima oleh kebanyakan spesialis dan didukung oleh banyak bukti klinis
maupun riset, ialah bahwa hal itu diakibatkan oleh proses pembelajaran yang
patut disayangkan namun seluruhnya normal.36
Phobia tercipta dari pengkondisian akan situasi seperti yang telah
diuraikan di atas, diungkapkan lebih jelas penyebab timbulnya phobia,
”ketakutan dapat timbul berdasarkan penciptaan situasi responden sedemikian
rupa ketika rangsangan netral sebelumnya dihubungkan dengan obyek-obyek
yang menimbulkan kecemasan”.37
. Dari teori yang telah dikemukakan dapat
dipahami bahwa salah satu penyebab phobia adalah melalui proses pembelajaran
dari pengkondisian perilaku atau situasi tertentu sehingga akan dapat perilaku
yang cenderung mengalami kecemasan dan ketakutan.
Sementara itu David Lewis dalam bukunya “Taklukkan Phobia Anda”
mencoba menjelaskan penyebab phobia dengan menggunakan konsep SHCI, Hal
ini dilakukan agar lebih mudah menjelaskan terjadinya phobia. (S) adalah
Stimulus, (C) adalah keCemasan, (H) adalah pengHindaran, dan (I) adalah
Imbalan. Contohnya sebagai berikut, jika seseorang menderita phobia
Sinophobia (ketakutan pada Anjing) binatang anjing adalah pencetusnya atau
stimulusnya (S) yang mengakibatkan keCemasan (C) ditandai dengan perasaan
gemetar, jantung berdebar keras dan takut luar biasa, lalu muncullah kebutuhan
akan pengHindaran (H) terhadap Anjing tersebut dengan menjauhkan diri atau
mencoba menghindarinya dengan berlari, hal ini membawanya pada peredaan
ketakutan yang memberikan sang phobic Imbalan (I) yaitu merasa aman dari
jangkauan anjing, segala reaksi phobic berkembang sebagai akibat urutan
peristiwa yang sama, oleh karena itu SHCI melengkapi perangkat pembentukan
penghambat psikologis yang menjadi sumber phobia sehingga seseorang
mengalami ketakutan yang cenderung menetap.38
36 Linda L Dovidoff (1991), loc. cit. h. 277.
37 Ibid., h. 228.
38 David Lewis (1987), op. cit. 26.
Para ahli psikologi aliran Behavioral berpendapat bahwa penyebab
phobia adalah proses pembelajaran terhadap situasi tertentu seperti yang
diungkapkan sebelumnya dihalaman atas, lain halnya dengan pandangan aliran
psikoanalisa mengenai penyebab phobia seperti yang diungkap pada contoh
berikut oleh seorang tokoh psikoanalisa Sigmund Freud “Hans seorang anak
laki-laki berusia 9 tahun, sangat ketakutan kalau-kalau ia diterjang seekor kuda
sehingga sama sekali tidak berani bermain di luar rumah. Freud melakukan
pengamatan terhadap perilaku Ayah Hans, lalu menganalisis perilaku Hans.
Beliau menemukan bahwa anak tersebut sangat mencintai ibunya, dan
menginginkan kasih sayang ibunya secara berlebihan, dan amat khawatir kalau-
kalau saingannya yaitu ayahnya akan menghalangi hasratnya dengan cara
menjauhkan dirinya dari ibunya. Freud melihat hal ini kecemasan anak berkaitan
dengan Oedipus komplek yang kemudian dialihkan pada ketakutan pada kuda.”39
Dari uraian contoh yang dikemukakan oleh Freud maka dapat
disimpulkan bahwa penyebab phobia adalah konflik yang dipendam kemudian
dialihkan kepada kecemasan dan ketakutan pada sesuatu kondisi atau benda,
melihat hal ini tepatlah jika pakar psikologi psikoanalisa berpendapat ”phobia
sebagai reaksi kecemasan yang dialihkan, mereka mengasumsikan bahwa
39 Linda L. Davidoff (1991), loc. cit. h. 228.
ketakutan secara tidak sadar dialihkan dari pengalaman pertama membangkitkan
kecemasan kepada obyek yang kurang membahayakan”.40
Sangatlah tepat jika apa yang dirumuskan oleh Kartini Kartono mengenai
penyebab phobia, yang merupakan gabungan teori-teori yang telah dikemukakan
di atas diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Pernah mengalami ketakutan hebat, pengalaman traumatis shock
hebat (tekanan batin yang hebat).
b. Pengalaman asli dibarengi perasaan malu dan bersalah lalu ditekan
kedalam ketidaksadaran untuk melupakannya.
c. Jika mengalami rangsangan yang serupa menimbulkan ketakutan
yang bersyarat sungguhpun pengalaman aslinya sudah dilupakan,
respon ketakutan hebat selalu muncul melenyapkan respon-respon
tadi dalam ketidaksadaran.41
.
Dengan demikian kiranya sudah dapat dipahami penyebab terjadinya phobia
pada seseorang yang mungkin ada di sekitar dan menjadi acuan untuk menghindari
terjadi kondisi dan situasi yang memicu terjadinya ketakutan yang cenderung
menetap serta mengganggu aktivitas terutama dalam keluarga.
40 Ibid.
41 Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), Jilid I, h.321-322.
BAB III
PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL
DALAM MENGATASI PHOBIA KUCING
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Data Klien dan Lingkungan Keluarga Klien
Klien bernama Putri, seorang anak perempuan berusia 12 tahun (masa
akhir anak-anak), lahir di kota Bandung pada tanggal 8 Oktober 1994. ia adalah
anak pertama dari seorang ayah yang berpendidikan SLTA dengan pekerjaan
swasta dan ibu yang berpendidikan SLTA dengan bekerja sebagai ibu rumah
tangga. Pada saat ini, klien telah masuk pendidikan SLTP.
Awal pertama kali Putri terkenal phobia kucing dari usia kurang lebih 2
tahun. Ia mengalami peristiwa traumatik di usia tersebut ketika seekor kucing
melompati wajahnya. Pada saat phobia menerpa, ciri-ciri fisik yang timbul dari
Putri adalah takut dan langsung lari jika bertemu dengan kucing walau dalam
jarak yang cukup jauh. Phobia juga tidak hanya dialami Putri, tetapi kedua
orang tuanya juga mengalaminya. Ayahnya Putri terkena phobia terhadap tikus
sedangkan ibunya terkena phobia terhadap cacing, bahkan sampai saat ini.
Phobia Putri terhadap kucing tidak pada keseluruhan dari tubuh kucing itu,
melainkan hanya pada bagian-bagian tertentu saja, yaitu bulu dan kuku. Jika
dilihat dari peristiwa traumatik pada Putri di usia kurang lebih 2 tahun yang
menimbulkan phobia terhadap kucing sampai usia 12 tahun atau telah
berlangsung kurang lebih 10 tahun dan belum adanya tanda-tanda menghilang
sebelum dilakukan konseling, maka peneliti dapat mendiagnosis bahwa klien
(Putri) mengalami phobia yang sudah masuk kategori phobia kronis yag
signifikan secara klinis. Karena itu, untuk memberikan konseling kepadanya
perlu diketahui terlebih dahulu kondisi psikologi anak seusianya.
Pada kasus Putri, pada masa bayinya ia telah mengalami peristiwa yang
telah membentuk pola perilaku, minat, dan sikapnya terhadap kucing dengan
menjadikannya sebagai hewan yang menakutkan dan ini berlangsung sampai
sebelum konseling dilakukan. Terlebih kini, Putri memasuki masa akhir anak-
anak dan sebentar lagi akan memasuki masa puber. Pada masa akhir anak-anak
ini terdapat beberapa bahaya psikologis, yaitu bahaya dalam berbicara, bahaya
emosi, bahaya sosial, bahaya bermain, bahaya dalam konsep diri, bahaya moral,
bahaya menyangkut minat, dan bahaya dalam penggolongan seks.42
Sehingga,
jika phobia kucing pada masa ini tidak tertangani, maka phobia ini akan sulit
sekali untuk disembuhkan karena pada masa akhir anak-anak sangat
menentukan kesehatan psikologisnya di masa remaja, dewasa, dan masa tuanya.
42 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan terj. (Jakarta: Erlangga, 2004), cet. ke-II, h. 78.
Adapun dari bahaya-bahaya psikologis tersebut yang terkait dari usaha
peneliti untuk membebaskan klien dari phobia terhadap kucing adalah bahaya
emosi dan konsep diri. Dengan konseling ini, peneliti berupaya mencegah
timbulnya emosi yang meledak-ledak dari diri klien karena klien dianggap tidak
matang kepribadiannya oleh teman-teman sebaya maupun orang dewasa karena
phobia kucing yang dideritanya sehingga kurang disenangi oleh orang-orang
lain. Juga untuk menjaga agar klien merasa puas dengan dirinya sendiri.
2. Data Peneliti
Peneliti adalah Yuni Rosita, seorang ibu rumah tangga yang masih aktif
sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dilahirkan
di Jakarta, 19 Juni 1982. Peneliti berdomisili di Jl. Rasamala II/36 Rt. 007/09
Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Pendidikan terakhir Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas.
B. Pelaksanaan Konseling Behavioral
1. Keadaan klien sebelum diberikan konseling
Keadaan klien sebelum diberikan konseling adalah klien merasa phobia
terhadap kucing, baik dalam bentuk asli maupun dalam bentuk gambar, baik
dari jauh apalagi dekat, sehingga klien sama sekali tidak dapat melakukan
kontak dengan kucing baik dalam bentuk sebenarnya maupun dalam gambar.
Kondisi ini mengakibatkan klien suka ”diganggu” teman-temannya dengan
kucing, sehingga klien merasa malu ketika bermain dengan teman-temannya.
2. Tahap Konseling behavioral
Pada tahap ini, peneliti membaginya dalam lima tahap, yaitu: pertama,
peneliti menyatakan kepedulian atau keprihatinan dan membentuk kebutuhan
akan bantuan. Kedua, peneliti membentuk hubungan dengan klien. Ketiga,
peneliti menentukan tujuan dan mengeksplorasi pilihan konseling pada klien.
Keempat, peneliti menangani masalah klien dengan teknik mengubah perilaku
(behavioral modivication) yang ada pada tahap ini dilakukan beberapa kali.
Kelima, peneliti menilai hasil dan mengakhiri konseling.43
a. Konseling Tahap Pertama
Konseling tahap pertama, peneliti menyatakan kepedulian atau
keprihatinan dan membentuk keutuhan akan bantuan, dilakukan pada akhir
bulan Januari 2006. Peneliti melakukan satu tindakan di luar kelaziman
konseling karena klien masih anak-anak, yaitu mendatangi rumah klien dan
mengajaknya bermain agar terjadi interaksi serta membuka komunikasi
dengan memintanya untuk bercerita tentang phobia kucing yang dialaminya.
43 Sugiharto, “Pendekatan Konseling Behavioral”, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/,
23 Januari 2008, h. 3.
Dalam interaksi ini, peneliti menyatakan kepedulian bahwa peneliti merasa
prihatin dan turut sedih dengan apa yang diderita klien. Kemudian peneliti
menawarkan kesediaan untuk membantunya keluar dari phobia terhadap
kucing yang tawaran ini belum diresponnya secara penuh dan terlihat adanya
keraguan klien kepada peneliti dengan menyatakan, ”Mbak kita main aja
yuk!” sambil menundukkan kepalanya ke bawah.
b. Konseling Tahap Kedua
Pada tahap kedua ini, peneliti berupaya membentuk hubungan dengan
klien yang dilaksanakan pada awal bulan Februari 2006 minggu pertama.
Selama tiga hari berturut-turut, peneliti berinteraksi dengan klien
sepulangnya klien dari sekolah atau pada saat sore hari. Pada hari pertama
peneliti menawarkan diri untuk membantu klien menyelesaikan ”PR”
sekolahnya sebagai bantuan yang bertujuan untuk membentuk hubungan
yang lebih erat, agar klien membuka diri dan bersedia ditangani. Tujuan
kedua untuk mencapai tujuan tersebut, di kesempatan itu peneliti meminta
klien agar tidak memanggil peneliti dengan panggilan mbak tetapi dengan
panggilan kakak. Pada hari kedua, hubungan peneliti dan klien mulai
terbentuk. Pada hari ketiga peneliti meminta klien untuk datang ke tempat
peneliti. Pada hari ketiga inilah klien mulai membuka diri dengan
menceritakan kesulitan-kesulitan yang dialaminya kepada peneliti selama
menderita phobia kucing.
c. Konseling Tahap Ketiga
Konseling tahap ketiga, yang dilakukan pada minggu kedua bulan
Februari 2006 adalah tahap menentukan tujuan dan mengeksplorasi pilihan
konseling kepada klien. Di tahap ini, peneliti memberikan masukan kepada
klien agar ia mau dibantu peneliti untuk menghilangkan phobianya terhadap
kucing dan klien mengiyakan dengan menyatakan bahwa ia ingin sekali
dibantu.
d. Konseling Tahap Keempat
Konseling tahap keempat adalah peneliti menangani masalah klien
dengan teknik pengubah perilaku (behavioral modivication). Tahap ini
berlangsung cukup lama, yaitu dari minggu kedua bulan Februari sampai
dengan bulan Juni 2006 atau dibagi ke dalam 22 kali pertemuan.
Pada pertemuan pertama, (Sabtu, 11 Februari 2006) peneliti
menjelaskan kepada klien tentang kucing sebagai hewan peliharaan yang
tidak terlalu berbahaya dibanding hewan peliharaan lain, seperti anjing.
Peneliti kemudian menyatakan kepada klien kenapa klien masih merasa
takut. Klien menjawabnya bahwa ketakutannya kepada kucing muncul secara
tiba-tiba ketika ia berhadapan dengan hewan tersebut walau dalam jarak yang
jauh. Ia sendiri merasa aneh, sebab jika kucing dijadikan sebagai bahan
pembicaraan seperti ini, ia tidak merasa takut dan menganggap kucing
memang hewan jinak.
Pertemuan kedua (Minggu, 19 Februari 2006), peneliti mengajak
klien untuk menonton film kartun tentang kucing. Peneliti melihat tidak ada
ciri-ciri fisik, behavioral, dan kognitif yang timbul dari diri klien.
Pada pertemuan ketiga (Sabtu, 25 Februari 2006), peneliti mengajak
klien untuk menonton film nyata atau dokumenter tentang kucing. Pada
pertemuan ini, peneliti melihat ciri-ciri fisik klien mulai mengalami phobia
kucing berupa: gelisah, gugup, tangan dan kakinya gemetar, adanya sensasi
dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi, banyak berkeringat, telapak
tangan yang berkeringat, dan mengadukan ke peneliti bahwa ia merasa
pening. Kemudian ia minta izin untuk pulang ke rumah yang merupakan
reaksi yang bersifat behavioristik.
Pada pertemuan keempat (Minggu 26 Februari 2006), peneliti
mendatangi klien masih merasa belum nyaman terhadap pertemuan ketiga
itu. Pada pertemuan ini, peneliti menanyakan tentang apa yang dipikirkan,
klien menjawab bahwa ia merasa khawatir tentang sesuatu yang buruk dan
mengerikan akan menimpa dirinya tanpa bisa dijelaskan olehnya secara lebih
rinci ketika melihat kumis kucing bergerak-gerak, melihat kuku kucing
mencakar-cakar lantai, dan kibasan bulunya ketika selesai dimandikan.
Peneliti kemudian memberikan pengertian kepada klien bahwa hal-hal
tersebut tidak membahayakan klien, terbukti dalam film tersebut orang yang
memegang bulu kucing, mencium kucing, dan memandikannya tidak
mengalami apapun yang mencederai dirinya maupun menyakitinya.
Pada pertemuan kelima (Sabtu, 4 Maret 2006), peneliti kembali
mengajak klien menonton film dokumenter tersebut. Namun klien merasa
enggan. Peneliti kembali meyakinkan klien, bahwa menonton kucing dari
layar kaca tidak akan membahayakan dirinya. Klien setuju namun ia
meminta tidak pada minggu-minggu ini.
Pada pertemuan keenam atau minggu kedua setelah pertemuan
kelima (Sabtu, 18 Maret 2006), klien bersedia menonton lagi film
dokumenter tentang kucing. Kali ini, peneliti memeluk dirinya saat ia
menonton untuk memberi rasa aman. Selama film ditayangkan peneliti masih
melihat ciri-ciri fisik masih dialami oleh klien walaupun klien tidak merasa
pening. Peneliti kemudian mengakhiri film pada pertengahannya karena
peneliti melihat klien mulai menunjukkan gejala-gejala untuk menghindar
dan pulang ke rumah.
Pada pertemuan ketujuh (Minggu, 19 Maret 2006), peneliti mulai
mencoba menghilangkan rasa tersiksa klien masih ada saat menyaksikan film
dokumenter kucing tersebut dengan melakukan pengalihan teknik
pengubahan perilaku dengan melakukan wawancara mengenai persoalan
kucing dengan pertanyaan apakah suatu saat klien mau mempunyai
peliharaan seperti kucing? Klien kemudian menjawab bahwa sebenarnya ada
keinginan tesebut tetapi ia belum mengetahui kapan hal itu terjadi.
Pertemuan ini diselingi dengan bermain-main dengan boneka-boneka kucing.
Peneliti melihat tidak ada ciri-ciri fisik phobia yang timbul ketika klien
bermain dengan boneka kucing yang dipegangnya.
Pada pertemuan kedelapan (Sabtu, 25 Maret 2006), peneliti mengajak
klien menonton film dokumenter tentang kucing. Peneliti melihat ciri-ciri
fisik yang timbul hanya keringat yang keluar dari tangan.
Pada pertemuan kesembilan (Minggu, 26 Maret 2006), peneliti
mewawancari klien mengenai apa yang dirasakan ketika menonton film
dokumenter tentang kucing pada hari kemarin. Klien kemudian menjawab
bahwa ia merasa nyaman walau masih merasa ada ketakutan.
Pada pertemuan kesepuluh (Minggu, 2 April 2006), peneliti
kemudian melakukan teknik modeling dengan membawa seekor anak kucing
dan mengelus bulu-bulunya. Klien hanya memperhatikan peneliti dari jarak 2
meter dan kemudian ciri-ciri fisik phobia kembali muncul sampai muncul
rasa pening dan klien menghindar dengan kembali ke rumahnya.
Pada pertemuan kesebalas (Minggu, 9 April 2006), peneliti
mengulang kembali teknik modeling sebagaimana yang dilakukan pada
pertemuan sebelumnya atau pertemuan kesepuluh. Namun, kali ini jarak
klien dengan objek phobianya berjarak jauh, yaitu 5 meter. Peneliti
menanyakan kepada klien apa ia merasa pening, klien menjawab tidak, tetapi
tangannya berkeringat. Peneliti terus meyakinkan klien bahwa apa yang ia
lakukan dapat pula dilakukan oleh klien karena kucing bukan hewan yang
membahayakan manusia. Klien masih terlihat ragu dan masih menjaga jarak.
Pada pertemuan kedua belas (Sabtu, 15 April 2006), peneliti kembali
melakukan hal yang sama seperti pertemuan kesepuluh dan kesebelas, namun
jarak klien dengan objek phobia di dekatkan pada jarak 2 meter. Kali ini,
peneliti kembali melihat munculnya ciri-ciri fisik phobia, namun rasa pening
tidak dialami oleh klien.
Pada pertemuan ketiga belas (Minggu, 16 April 2006), peneliti
memberikan tongkat dan kemudian meminta klien untuk menyentuh bulu
dari kucing yang peneliti pegang dengan tongkat tersebut. Klien tanpa ragu-
ragu. Peneliti kemudian menuntun tongkat tersebut dan melepaskannya
ketika mulai menyentuh bulu kucing tersebut. Klien tampak gugup dan
berkeringat, tetapi kemudian ia mulai terbiasa dan terlihat kegugupan serta
keringatnya mulai berkurang.
Pada pertemuan keempat belas (Minggu, 23 April 2006), peneliti
mulai menuntun tangan klien yang dilapisi sarung tangan untuk menyentuh
bulu kucing. Sempat terlihat ciri-ciri fisik phobia yang keluar walau tidak
sampai pada timbulnya rasa pening.
Pada pertemuan kelima belas (Sabtu, 29 April 2006), kembali peneliti
mengulang teknik seperti di pertemuan keempat belas. Kali klien mulai
tenang dan mulai menikmati.
Pada pertemuan keenam belas (Minggu, 30 April 2006), peneliti
melakukan wawancara dengan klien mengenai apa yang dirasakan dari yang
dialaminya ketika berinteraksi walau tidak langsung dengan objek
phobianya. Klien menjawab bahwa ia mulai merasa berkurang rasa takutnya
dibanding pada waktu sebelum konseling dengan berinteraksi bersama objek
phobianya. Peneliti kemudian menyatakan bahwa besok, pada pertemuan
ketujuh belas, ia bersama peneliti akan bersentuhan dengan objek phobianya
secara langsung tanpa adanya perantara. Peneliti kemudian menanyakan
kepada klien apakah ia bersedia? Agak lama, klien kemudian menjawab
bahwa ia bersedia.
Pada pertemuan ketujuh belas (Sabtu, 6 Mei 2006), untuk pertama
kalinya klien memegang bulu kucing tanpa harus memakai perantara, baik
tongkat maupun sarung tangan. Pada awalnya, peneliti masih turut
memegang tangan klien. Peneliti melihat masih ada ciri-ciri fisik phobia
yang keluar dari klien walaupun tanpa pening kepala. Peneliti melihat klien
sangat gugup dan merasakan tangan klien berkeringat cukup banyak. Namun
peneliti tetap meyakinkan klien bahwa hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi
dan meminta klien untuk merasa rileks saja saat menyentuh dan
mengelusnya. Sekitar setengah jam berlalu, peneliti melihat klien mulai
sedikit menikmatinya walau terlihat masih gugup dan tangan masih banyak
mengeluarkan keringat. Peneliti kemudian mengakhiri pertemuan.
Pada pertemuan kedelapan belas (Minggu, 7 Mei 2006), peneliti
melakukan wawancara dengan klien dan menanyakan perasaan yang
dialaminya saat menyentuh bulu kucing secara langsung. Klien menjawab
bahwa ia merasakan takut dan masih khawatir bahwa hal buruk akan
menimpa dirinya saat mengelus bulu kucing walau ketakutan dan
kekhawatiran tersebut mulai berkurang.
Pada pertemuan kesembilan belas (Minggu, 14 Mei 2006), kembali
peneliti mengajak klien untuk mengelus bulu kucing secara langsung. Kali
ini, peneliti tidak menuntun tangannya tetapi masih tetap memegang
kucingnya. Klien masih belum bereaksi, ia terdiam beberapa saat. Peneliti
memberikan isyarat kepadanya agar segera menyentuhnya, setelah
menyentuh bulu kucing tersebut peneliti langsung menghentikannya. Peneliti
kemudian mewawancarai klien, dan klien menjawab ia mulai bisa
menikmatinya.
Pada pertemuan kedua puluh (Minggu, 21 Mei 2006), kembali
peneliti mengajak klien untuk mengelus bulu kucing secara langsung tanpa
dituntun. Kali ini pelan-pelan, klien menyentuhnya selama kurang lebih
setengah jam walau kucing masih dipegang peneliti. Tidak ada ciri-ciri fisik
yang keluar selain terlihat masih ada kegugupan dan keringat masih keluar
dari telapak tangannya. Peneliti kemudian menghentikan pertemuan.
Pada pertemuan kedua puluh satu (Minggu, 28 Mei 2006), peneliti
meminta klien mengelus-elus bulu kepala kucing yang sedang tidur. Klien
tampak gugup, ia terlihat ragu. Kemudian peneliti memberikan peragaan
kepada klien kemudian menuntun tangan klien untuk menyentuh bulu kepala
kucing tersebut. Peneliti masih melihat keringat keluar dari telapak
tangannya dan terlihat klien masih gugup. Baru saja tangan klien menyentuh
bulu kepala kucing yang sedang tertidur, peneliti menghentikannya.
Untuk pertemuan kedua puluh dua (Minggu, 2 Juni 2006), peneliti
memberikan jeda waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar satu minggu dari
pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan kedua puluh dua ini, peneliti
menanyakan mengenai apa yang dirasakan klien ketika menyentuh bulu
kepala kucing yang sedang tertidur. Klien menjawabnya bahwa ada sedikit
kecemasan, ketakutan, dan gugup, tetapi ketika melihat peneliti begitu
menikmati dan dapat melakukannya, ia pun mencoba untuk menghilangkan
rasa kecemasan, ketakutan, dan gugupnya. Untuk pertemuan ini peneliti
menyatakan kepada klien bahwa ia akan sembuh dari rasa phobia terhadap
kucing jika dapat menyentuh langsung bulu kepala dari kucing yang sedang
tidur dengan waktu yang cukup lama, yaitu seperempat jam. Kemudian klien
perlahan-lahan mulai menyentuh bulu kepala kucing dan ia pun mulai
mengelus-ngelusnya sampai seperempat jam. Peneliti hanya melihat klien
sedikit gugup dan tangannya sedikit berkeringat.
e. Konseling Tahap Kelima
Peneliti menyatakan kepada klien bahwa ia telah berhasil
menghilangkan phobia kucing walau masih belum penuh. Peneliti kemudian
mengakhiri konselingnya dengan menyarankan agar ia mulai akrab untuk
bermain-main dengan kucing walau rasa ketakutan masih tetap ada.
C. Hasil yang Dicapai Melalui Konseling
Dari konseling yang dilakukan, peneliti melihat bahwa klien mengalami
phobia yang cukup kronis sehingga pada tahap keempat harus dilakukan dengan
banyak pertemuan dan dengan berbagai macam teknik, yakni terapi dengan
memperkenalkan kucing melalui cerita maupun melalui media film agar klien
mengenal kucing yang sebenarnya. Setelah memperkenalkan kucing, peneliti
mencoba mengadakan kontak langsung antara klien dengan kucing mulai dari
boneka, bulu, mencoba memegang sampai akhirnya dapat memegang kucing.
Tahapan-tahapan ini bisa dikatakan berhasil karena klien sudah berani bersentuhan
langsung dengan objek phobianya walau masih gugup dan keringat masih keluar
dari tangannya.
Terapi ini dapat dicoba untuk terapi-terapi phobia terhadap binatang jinak
lainnya dengan tahapan yang sama. Hal yang terpenting dari terapi ini adalah
bagaimana klien tetap mempertahankan kesembuhan phobianya. Peran keluarga
tentu akan sangat berperan untuk mempertahankan kesembuhan klien. Masalahnya
pada kasus si Putri adalah kedua orang tuanya juga mengalami phobia terhadap
binatang lainnya yakni tikus dan cacing. Sehingga diperlukan tindakan lanjutan bagi
terapi orang tuanya agar dapat membantu mempertahankan kondisi Putri yang sudah
sembuh.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Ada beberapa tahap yang dilakukan peneliti dalam mengatasi phobia kucing
yaitu peneliti menyatakan kepedulian atau keprihatinan dan membentuk
keutuhan akan bantuan, dengan mendatangi rumah klien dan mengajaknya
bermain agar terjadi interaksi serta membuka komunikasi dengan meminta untuk
bercerita tentang phobia kucing yang dialaminya.
2. Peneliti berupaya membentuk hubungan dengan klien yaitu dengan menawarkan
diri untuk membantu klien menyelesaikan ”PR” sekolahnya dan meminta klien
untuk memanggil peneliti dengan panggilan kakak, disinilah hubungan peneliti
dengan klien mulai terbentuk, lalu klien mulai membuka diri dengan
menceritakan masalah-masalah yang dialaminya.
3. Dengan menentukan tujuan dan mengeksplorasi pilihan konseling kepada klien,
peneliti memberi masukan kepada klien agar mau dibantu peneliti untuk
menghilangkan phobianya terhadap kucing.
4. Menangani masalah klien dengan teknik pengubah perilaku (behavioral
modivication) yaitu langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan
pengenalan terhadap kucing melalui cerita, menonton film dokumenter,
mengadakan kontak secara bertahap mulai dari boneka, sampai akhirnya
melakukan kontak langsung dengan kucing. Konseling ini dapat dikatakan
berhasil karena si klien sudah mau melakukan kontak dengan kucing.
5. Klien merasa senang dapat sembuh dari phobia terhadap kucing. Kini klien tidak
merasa minder lagi akibat dari rasa takut tersebut. Dan klien mempunyai
keinginan memelihara kucing di rumahnya.
B. Saran
Pada kesempatan ini, penulis memberikan saran-saran:
1. Kepada para mahasiswa, peneliti hendaknya mau mengembangkan konseling
behavioral untuk mengatasi phobia seperti yang dialami oleh Putri sehingga
dapat mengurangi jumlah anak-anak yang mengalami phobia terhadap binatang
ternak pada umumnya dan kucing pada khususnya.
2. Pengembangan konseling behavioral diperlukan guna menambah khazanah
pengetahuan tentang cara-cara mengatasi phobia terhadap binatang sehingga
banyak cara yang dapat ditempuh oleh peneliti untuk mengatasi phobia terhadap
binatang.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 1998.
Baraja, Abu Bakar, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, Jakarta: Studia Press,
2004.
Cavanagh, Michael E, Books, The Counseling Experience. A Theoretical and
Practical Approach, New York: Cole Publishing Company, 1982.
Colledge, Ray, Mastering Counseling Theory, New York: Pal Grave Master Service,
2002.
Corey, Gerald, Teori dan Praktek Konseling Psikoterapi, Bandung: Refika Aditama,
1999.
Davidoff, Linda L Psikologi Suatu Pengantar terj. Mari Jumati, Jakarta: Erlangga,
1991, Edisi ke-2 Jilid II.
Departemen Pendidikan Nasional, “Panduan Model Pengembangan Diri untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah”, ktsp.diknas.go.id/download/ktsp_sma/13.ppt, 2004.
Derver, James, Kamus Psikologi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1988.
Gulo, Dali, Kamus Psikologi, Bandung: Tarsito, 1987.
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, New York:
Oxford University Press, 1995 Fifth Edition.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan terj. Jakarta: Erlangga, 2004.
Kartono, Kartini Patologi Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, Jilid I, 1983.
______, Peranan Keluarga Memandu Anak (Seri Psikologi Terapa, Jakarta: CV.
Rajawali, 1981, Jilid I.
Kosslyn, Stephen M. & Rosenberg, Robin S., Psychology, The Brain, The Person,
The World, Allyn & Bacon, USA.
Lewis, David, Taklukan Phobia Anda seri Psikologi Popular, Jakarta: Arcan, 1987.
Maharrani, Anindhita “Phobia Aneh Para Selebritis”, Majalah Higina, No.028,
Januari 1994.
_______,”Apakah Phobia Itu?”, Majalah Higina Edisi 031, April 1994.
Musthofa, Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, terj
Zakiah Derajat, Jakarta, Erlangga, 1991, Jilid II.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1998, Cet ke-8.
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka
Cipta dan Pusat Perbukuan Depdiknas, 2004, Cet.ke-2.
Rachmat, Jalaludin, Metodologi Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999, Cet ke-7.
Suarti, Witri, ”Phobia Bikin Susah”, Wanita Indonesia, Edisi 909 / 7 - 13 Mei /
2007.
Sugiharto, “Pendekatan Konseling Behavioral”, http://akhmadsudrajat
.wordpress.com/, 23 Januari 2008.